Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERAN KIMIA ANALITIK DALAM ANALISIS KANDUNGAN BAHAN


KIMIA OBAT (BOK) PADA OBAT BAHAN ALAM (OBA)

Untuk memenuhi matakuliah Analisis Instrumentasi II

Yang diampu oleh Dra. Surjani Wonorahardjo, Ph.D

Disusun oleh:

Andi Alfira Ratna Faradisa Dewi (160332605827)

Fadilla Ika Seftiyana (160332605841)

Firaz Apriyanto (160332605901)

Iin Parwati (160332605819)

Nova Wisnu Wardhana (160332605868)

Rizki Eka Bella (160332605825)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN KIMIA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penggunaan Obat Tradisional kini semakin marak, apalagi alasannya
kalau bukan karena Obat Tradisional dianggap memiliki resiko efek
samping rendah daripada obat sintetis (meskipun pandangan ini
sebenarnya salah kaprah).
Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki hasil bumi yang
melimpah dan kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk ribuan jenis
tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Terbukti dengan
banyaknya resep Obat Tradisional yang dibuat berdasarkan informasi
turun-temurun dari nenek moyang sejak zaman dahulu kala (empiris).
Hingga sekarang, masyarakat masih menggunakan istilah Obat
Tradisional atau Obat Herbal untuk menyebut obat yang berasal dari
bahan-bahan alami. Namun perlu diketahui bahwa saat ini, istilah Obat
Tradisional dan Obat Herbal tidak lagi relevan digunakan untuk obat-
obatan yang berasal dari bahan-bahan alami. Mengapa?
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 7 tahun 2012, Obat
Tradisional berarti bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat.
Kata "turun-temurun" berarti ramuan tersebut sudah ada sejak lama.
Namun seiring perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan,
ada banyak penemuan baru terkait khasiat suatu tanaman. Sehingga istilah
obat herbal sebenarnya kurang relevan, karena jika mengacu pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata "Herbal" berasal dari kata dasar "Herba"
yang berarti "tanaman terna". Sementara itu Obat Tradisional tidak hanya
berasal dari tanaman, melainkan juga bisa berasal dari hewan maupun
mineral. Istilah yang lebih tepat adalah “ Obat Bahan Alam (OBA)” .
Sumber Obat Bahan Alam sama seperti definisi Obat Tradisional, namun
khasiatnya bukan hanya berdasarkan informasi empiris melainkan
diperoleh juga melalui penelitian di masa kini.
Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokkan dan Penandaan, Obat Bahan Alam Indonesia terbagi
dalam tiga kategori berdasarkan cara pembuatan, klaim penggunaan dan
tingkat pembuktian khasiatnya, yakni Jamu, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka. Ketiganya harus memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
untuk menjamin keamanan dan kemanfaatannya.

Pengetahuan masyarakat mengenai pemanfaatan tanaman obat


bahan alam masih sangat rendah. Contoh kecil akibat dari pengetahuan
tentang pemanfaatan tanaman obat tradisional yang masih sangat randah
adalah seringnya masyarakat salah dalam menentukan bahan baku dalam
pembuatan obat herbal dan tidak tahu bagaimana cara mengolah bahan
tersebut, sehingga yang didapat bukanlah manfaat melainkan efek samping
yang berlebih.
Berdasarkan Permenkes RI NO.007 tahun 2012, obat tradisional
dilarang menggunakan bahan kimia yang berkhasiat obat. Namun pada
kenyataannya di pasaran masih juga beredar OBA yang mengandung
bahan kimia obat (BKO), seperti Parasetamol, Cyproheptadine,
Sibutramine, Dexamethason, Prometazin, Chlorpeniramine,
Promethazine, Sildenafil, acetaminophen, dan bahan kimia obat lainnya.

Sejalan dengan perkembangan obat tradisional ini menjadikan


persaingan yang semakin ketat dan cenderung membuat industri jamu
menghalalkan segala cara untuk dapat bertahan serta mencampurkan jamu
dengan bahan kimia berbahaya sering dilakukan untuk menjadikan jamu
tersebut berkhasiat secara instan. Hal ini berbahaya bagi tubuh manusia
karena selain memiliki efek samping dan kontra indikasi, obat sintetik juga
memiliki dosis tertentu yang harus dipatuhi saat terapi agar menimbulkan
efek terapi dan tidak terjadi reaksi toksisitas karena kelebihan dosis
pemakaian (Hermanto, 2007).
Sibutramin HCl merupakan salah satu obat antiobesitas yang
berkhasiat sebagai anoreksansia. Dimana anoreksansia merupakan zat-zat
berdaya menekan nafsu makan dan digunakan menunjang diet pada
penanganan obesitas. Obesitas diidentifikasikan sebagai keberadaan
lemak tubuh dalam jumlah abnormal, yang dapat mengakibatkan
kegemukan dan overweight pada keadaan tinggi badan dan jumlah otot
tertentu. Obesitas merupakan pencetus faktor resiko untuk diabetes dan
dapat meningkatkan resiko akan timbulnya hernia, varices, dan artrose
pada lutut dan kaki.
Identifikasi dalam percobaan ini menggunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT), hal ini diperlukan untuk menentukan
adanya penambahan bahan kimia obat dalam jamu pelangsing. Sibutramin
memiliki gugus kromofor yang berupa benzen klorida, sehingga dapat
dianalisis menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud obat bahan alam (OBA) dan penggolongannya?
b. Apa kriteria Obat Bahan Alam (OBA) ?
c. Bagaimana peran ilmu kimia dalam bidang obat bahan alam (OBA)?
d. Apa dampak yang ditimbulkan jika terdapat BKO (Bahan Kimia
Obat) di dalam OBA ?
e. Apa saja metode dan prinsip kerja yang digunakan untuk analisis
sibrutamin HCl dalam jamu pelangsing ?
f. Bagaimana cara menganalisis bahan kimia obat Sibutramin HCl dan
kadar yang terkandung dalam jamu pelangsing ?

1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Obat Bahan Alam (OBA) dan
penggolongannya
b. Untuk mengetahui kriteria Obat Bahan Alam (OBA)
c. Untuk mengetahui peran ilmu kimia dalam bidang Obat Bahan Alam
(OBA).
d. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan jika terdapat BKO
(Bahan Kimia Obat) di dalam OBA.
e. Untuk mengetahui apa saja metode yang digunakan untuk analisis
sibrutamin HCl dalam jamu pelangsing dan bagaimana prinsip
kerjanya.
f. Untuk mengetahui cara menganalisis bahan kimia obat Sibutramin
HCl dan kadar yang terkandung dalam jamu pelangsing.
BAB II

ISI

2.1. Pengertian Obat Bahan Alam (OBA) dan penggolongannya

Menurut Peraturan Kepala BPOM RI, Obat Bahan Alam (OBA) atau
Obat Tradisional (OT) merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik) atau
campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM tentang Ketentuan Pokok


Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam (OBA) Indonesia
terbagi dalam tiga kategori berdasarkan cara pembuatan, klaim
penggunaan dan tingkat pembuktian khasiatnya, yaitu Jamu, Obat Herbal
Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka.
a. Jamu
Jamu merupakan salah satu OBA yang mana klaim khasiatnya
dibuktikan secara turun-temurun (empiris) namun tidak boleh
mengklaim memberikan kesembuhan penyakit. Jamu Diproduksi secara
sederhana dengan peralatan yang sederhana dan bahan bakunya belum
terstandar.
b. Obat Herbal Terstandar (OHT)
OHT merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
bakunya telah distandarisasi.
c. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik
dan uji klinik, dan bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi.
2.2. Kriteria Obat Bahan Alam (OBA)

Beberapa regulasi yang erkaitan dengan Obat Bahan Alam (OBA):

 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan


 PERMENKES No. 381 tahun 2007 mengenai Kebijakan Nasional Obat
Tradisional (KOTRANAS)
 PERMENKES No. 006 tahun 2012 tentang Usaha dan Industri Obat
Tradisional
 Kepusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.41,1384 tahun 2005 mengenai
Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka
 Keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411 tahun 2004 mengenai
Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam
Indonesia
 Peraturan Kepala BPOM No. 12 tahun 2014 mengenai persyaratan Mutu
Obat Tradisional

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melalui Deputi


Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen,
Ondri Dwi Sampurno, bahwa sesuai dengan peraturan Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) dan Peraturan Kepala BPOM (PerKa), penggunaan
bahan baku herbal berkhasiat harus melalui beberapa kriteria yang harus
dipenuhi, diantaranya adalah:

1. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi


persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan / khasiat.
2. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) yang berlaku.
3. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat
menjamin penggunaan OBA secara tepat, rasional, aman sesuai dengan
hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.
4. Tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), alkohol lebih dari
1% kecuali berbentuk Tingtur yang pemakainnya harus diencerkan dulu,
narkotika dan psikotropika, serta bahan lain yang dapat membahayakan
kesehatan, seperti kava-kava, ephedra, dan sebagainya.
5. Tidak boleh dibuat dalam bentuk sediaan intravaginal (dimasukkan
dalam vagina), tetes mata, parenteral (injeksi), dan suppositoria
(dimasukkan ke dalam anus) kecuali untuk wasir.

Untuk pengembangan jenis obat herbal berbahan baku alam harus


dinilai aman dan berkhasiat, sesuai dengan acuan farmakope, yakni, output
hasil fisik dari proses standarisasi yang didukung dengan penelitian yang
legal. Artinya, industri yang akan membuat suatu jenis obat herbal yang
teruji secara klinis, harus melihat buku acuan standar Farmakope Hebal
Indonesia (FHI) sebagai acuan dasar penelitian yang sedang dilakukan.
Bahkan, dalam Undang-undang Kesehatan No. 39 Tahun 2009. Untuk
memproduksi, obat herbal yang teruji secara klinis harus diterapkan syarat
ketat.

Kriteria produk Obat Bahan Alam (OBA) yang dijamin keamanan


dan khasiatnya harus memenuhi persyaratan:

a) Keamanan
- Uji mikroba patogen
- Uji batas logam berat
- Uji ALT (Angka Lempeng Total)
- Uji kapang / khamir
- Tidak mengandung bahan yang dilarang

b) Mutu
- Uji kadar air
- Cara pembuatan
- Sumber perolehan bahan baku
- CA bahan baku
- CA produk jadi
- Keseragaman bobot / volume
- Stabilitas produk jadi

c) Informasi Produk / Label


- Indikasi
- Aturan pemakaian
- Ukuran keamanan
- Komposisi
- Kadaluarsa
d) Manfaat

Penentuan klaim: evaluasi berbasis empiris, pra klinik, dan klinik

Selain itu untuk mendapatkan izin edar, produk Obat Bahan Alam
(OBA) juga harus memenuhi syarat pendaftaran OBA, yaitu memenuhi
data administrasi dan data teknis. Data administrasi meliputi izin
industri / importir; penanggungjawab industri, CPOB /CPOTB (lokal):
CFS, GMP, Letter of authorization (impor). Sedangkan data teknis
meliputi formulasi/komposisi dan khasiat masing-masing bahan, data
mutu dan teknologi pembuatan, penandaan (etiket, brosur).

2.3. Peran Ilmu Kimia dalam Bidang Obat Bahan Alam (OBA)

Dalam penelitian dengan pengembangan obat bahan alam, ilmu


kimia memiliki peranan yang sangat penting untuk
mempertanggungjawabkan khasiat obat tersebut secara empiris sehingga
dipercaya oleh masyarakat. Adapun peran ilmu kimia dalam penelitian dan
pengembangan obat bahan alam antara lain :

a. Eksplorasi dalam penemuan senyawa obat atau bahan baru


Dalam eksplorasi penemuan senyawa obat atau bahan baru, ilmu
kimia memiliki peran dalam proses ekstrasi suatu bahan tanamanan obat
dengan menggunakan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya
sehingga diperoleh ekstrak dari tanaman obat tersebut. Ekstrak tanaman
obat ini kemudian dilakukan uji farmakologis yang bertujuan untuk
mengetahui efek farmakologis yang dapat disebabkan oleh ekstrak obat.
Uji farmakologis merupakan uji awal untuk mengetahui keakftifan suatu
ekstrak tanaman obat dalam mengobati atau mencegah penyakit tertentu.
Setelah mengetahui keaktifan dari ekstrak tanaman obat maka dilakukan
skrinning fitokimia yang bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia
yang terdapat didalam ekstrak obat tersebut. Kandungan kimia dari
ekstrak aktifakan diisolasi atau dipisahkan sehingga dapat diketahui
besar kandungan kimia dan dapat dikembangkan menjadi suatu sediaan
obat. Apabila kandungan kimia dalam tanaman obat cukup besar maka
ekstrak dapat dikembangkan menjadi obat modern, sedangkan jika
kandungan kimianya kecil maka ekstrak hanya dapat dikembangkan
sebagai obat tradisional. Tahapan selanjutnya dalam proses eskplorasi
senyawa obat baru yaitu uji praklinik dan uji toksisitas pada hewan uji
sebagai acuan untuk dosis dan aktivitas yang bagus.
b. Penyiapan bahan baku obat
Bahan baku obat tradisional pada umumnya dalam bentuk simplisia
dan ekstrak. Penyiapan bahan baku dalam bentuk simplisia harus sesuai
dengan persyaratan yaitu tingkat kehalusan serbuk menentukan kualitas
ekstrak obat yang dihasilkan. Semakin halus serbuk bahan baku, maka
semakin banyak ekstrak yang didapatkan, semakin mudah proses
ekstraksi senyawa aktif dengan pelarut tertentu dan semakin tinggi
kualitas obat yang dihasilkan. Dalam penyiapan bahan baku obat, ilmu
kimia memiliki peranan dalam menjaga kualitas ekstrak yang
terstandarisasi berdasarkan farmakope Indonesia dengan menelaah
proses pembuatannya antara lain :
 Menentukan pelarut dalam proses ekstraksi
 Sifat sediaan ekstrak
 Pengujian ekstrak
 Pengujian kemurnia ekstrak
 Kadar air ekstrak
 Kadar logam berat
 Kadar senyawa anorganik
 Kadar residu pestisida
 Kontaminan alkali dan asam
 Metode pembuatan ekstrak
Ilmu kimia memiliki peranan dalam menentukan segala proses yang
terjadi dalam pembuatan ekstrak sehingga diperoleh senyawa aktif yang
bersifat sebagai sediaan obat dengan kualitas yang sangat baik.
c. Standarisasi obat
Prinsip standarisasi suatu sediaan obat dalam bentuk ekstrak atau
simplisia yaitu berdasarkan senyawa aktif atau golongan senyawanya.
Standarisasi dilakukan mulai dari tahap penyiapan bahan baku hingga
tahap sediaan obat jadi. Standarisasi obat tradisional dikelompokkan
menjadi 3 kelompok antara lain :
 Standarisasi bahan
 Standarisasi proses
 Standarisasi produk
d. Uji bioaktivitas
Uji bioaktivitas merupakan suatu uji yang dilakukan untuk
mengetahui aktivitas yang dihasilkan dari sediaan obat. Uji bioaktivitas
dapat dilakukan secara in vitro di luar sel dan in vivo (di dalam sel). Suatu
senyawa metabolit sekunder yang digunakan sebagai bahan sediaan obat
memiliki aktivitas yang beraneka ragam antara lain: antioksidan,
antiinflamasi, antibakteri, antijamur, antidiabetes, antikanker, antitumor,
antidiare dan lainnnya.

2.4. Dampak yang Ditimbulkan Jika terdapat BKO (Bahan Kimia Obat)
Sibutramin HCl di dalam Jamu Pelangsing
Obat herbal merupakan jenis obat yang memiliki komposisi dari
jenis-jenis tanaman herbal yang berkhasiat tinggi. Jenis obat ini sangat baik
dikonsumsi karena tidak akan menimbulkan efek samping bagi pemakainya.
Namun sayangnya, saat ini mulai banyak yang mencampurkan bahan herbal
dengan BKO atau bahan kimia obat. BKO merupakan suatu istilah dalam
bidang kefarmasian di Indonesia untuk obat-obat sintesis yang dicampurkan
dengan obat herbal. Pencampuran bahan kimia obat ini bertujuan untuk
membuat khasiat dari obat herbal bisa cepat terasa oleh penggunanya.
Namun, bukannya efektif, hal ini justru ternyata dapat memberikan efek
negatif pada tubuh bila dikonsumsi secara terus-menerus.
Dewasa ini banyak ditemui jamu pelangsing yang mengandung
BKO Sibutramin HCl. Sibutramin HCl merupakan salah satu obat
antiobesitas yang berkhasiat sebagai anoreksansia. Dimana anoreksansia
merupakan zat zat berdaya menekan nafsu makan dan digunakan untuk
menunjang diet pada penanganan obesitas. Obesitas didefinisikan sebagai
keberadaan lemak tubuh dalam jumlah abnormal, yang mengakibatkan
kegemukan dan overweight pada keadaan tinggi badan dan jumlah otot
tertentu.
Sibutramin HCl tidak boleh dikonsumsi oleh pasien dengan riwayat
penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau stroke. Jika
Sibutramin HCl ini dikonsumsi dalam dosis yang berlebihan akan
menimbulkan beberapa efek samping yaitu dapat meningkatkan tekanan
darah (hipertensi), denyut jantung, sakit kepala, insomnia (sulit tidur),
konstipasi, migrain, depresi, sistem kekebalan tubuh menurun dan gula
darah menurun drastis.

2.3. Metode dan Prinsip Kerja yang Digunakan untuk Analisis Sibrutamin
HCl dalam Jamu Pelangsing
Metode yang dapat digunakan adalah metode kromatografi lapis
tipis (KLT) untuk analisis kualitatif. Oleh karena sibutramin HCl memiliki
gugus kromofor yang berupa benzena klorida, sehingga dapat dianalisis
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis sebagai analisis kuantitatif.
a. Analisis kuantitatif
Analisis kualitatif digunakan metode KLT yaitu Kromatografi Lapis
Tipis yang bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan bahan kimia
obat sibutramin HCl pada jamu pelangsing. KLT merupakan salah satu
metode isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap (adsorpsi)
dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang
akan bergerak mengikuti kepolaran eluen. Oleh karena daya serap
adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen
bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang
menyebabkan pemisahan.
Pada proses adsorpsi senyawa kimia dapat terpisah-pisah
disebabkan oleh daya serap adsorban terhadap tiap-tiap komponen kimia
tidak sama. Sedangkan partisi adalah kelarutan tiap-tiap komponen kimia
dalam cairan pengelusi (eluen) tidak sama dimana arah gerakan eluen
disebabkan oleh gaya sentrifugal sehingga komponen kimia dapat
bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda.
KLT merupakan jenis kromatografi yang dapat digunakan untuk
menganalisis senyawa secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun,
disini KLT digunakan untuk menganalisis senyawa secara kualitatif.
Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir (fase diam)
ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan
yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan
berupa bercak atau pita, setelah pelat/lapisan ditaruh dalam bejana
tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak).
Pemisahan terjadi setelah perambatan kapiler (pengembangan),
selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan/dideteksi.
Deteksi dilakukan dengan menggunakan sinar UV

b. Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif digunakan metode spektrofotometer UV-Vis,
spektrofotometer UV-Vis menggunakan cahaya sebagai tenaga yang
mempengaruhi substansi senyawa kimia. Cahaya yang digunakan
menggunkan foton yang bergetar dan menjalar sacara lurus dan
merupakan tenaga listrik dan magnet yang keduanya saling tegak lurus.
Tenaga foton bila mempengaruhi senyawa kimia, maka akan
menimbulkan tanggapan (respon). Prinsip kerjanya sendiri adalah
interaksi antara energy yang berupa sinar monokromatis dari sumber
sinar dengan materi berupa molekul. Besar energi yang diserap tertentu
dan menyebabkan elektron tereksitasi dari keadaan dasar ke keadaan
tereksitasi yang memiliki energi lebih tinggi. Serapan tidak terjadi
seketika pada daerah UV-Vis untuk semua struktur elektronik, tetapi
hanya pada sistem-sistem terkonjungasi, struktur elektronik dengan
adanya ikatan π dan non bonding elektron.
Prinsip kerja spektrofotometer berdasarkan hukum Lambert Beer
yaitu bila cahaya monokromatik (Io) melalui suatu media (larutan), maka
sebagian cahaya tersebut diserap (Ia), sebagian dipantulkan (Ir), dan
sebagian lagi dipancarkan (It).
Cara kerja alat spektrofotometer UV-Vis yaitu sinar dari sumber
radiasi diteruskan menuju monokromator. Cahaya dari monokromator
diarahkan terpisah melalui sampel dengan sebuah cermin berotasi.
Detektor menerima cahaya dari sampel secara bergantian secara
berulang-ulang, sinyal listrik dari detektor diproses, diubah ke digital dan
dilihat hasilnya selanjutnya perhitungan dilakukan dengan komputer
yang sudah terprogram.

2.5. Analisis Bahan Kimia Obat Sibutramin HCl dan Kadar yang
Terkandung dalam Jamu Pelangsing
1. Pengumpulan Sampel
2. Pembuatan Larutan Standar KLT
Ditimbang secara akurat 50 mg sibutramin HCl dan dipindahkan ke
dalam labu takar 100 mL, dilarutkan dengan metanol dan diencerkan hingga
kandungan sibutramin HCl menjadi 500 μg/mL. Diambil 10 mL
dipindahkan ke labu takar 100 mL dan diencerkan, kemudian difiltrasi.
3. Preparasi Sampel KLT
1 g sampel yang telah diserbuk halus ditimbang dengan seksama,
dimasukkan ke dalam labu takar 5 mL dan dilarutkan menggunakan
metanol. Dikocok selama 30 menit dan disaring. Filtrat dimasukkan dalam
labu takar 10 mL dan tambah dengan metanol.
4. Pembuatan Larutan Standar Spektrofotometri UV-Vis
Standar sibutramin ditimbang dengan teliti sebanyak 125 mg dan
dilarutkan menggunakan aqua bidestilata sampai 100 ml. Dipipet 50 μL dan
ditambahkan dengan aqua bidestilata sampai 10 mL, kemudian dibaca
absorbansinya pada rentang panjang gelombang 200 – 400 nm untuk
mencari λmaks menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Maluf et. al, 2007).
5. Pembuatan Kurva Baku
Dibuat seri konsentrasi 50, 75, 100, 125 dan 150 μL dari larutan
standar dan ditambahkan dengan pelarut aqua bidestilata sampai 10 mL,
kemudian dibaca pada alat spektrofotometer UV-Vis dengan panjang
gelombang 223,5 nm dan dihitung kurva bakunya.
6. Preparasi Sampel Spektrofotometri UV-Vis
Timbang 200 mg secara seksama sampel yang diperkirakan
mengandung sibutramin, kemudian letakkan dalam labu takar 25 mL
tambahkan dengan aqua bidestilata. Dipipet 250 μL dan ditambah dengan
aqua bidestilata sampai 10 mL, kemudian dibaca absorbansinya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
7. Analisis Kualitatif
Analisis dilakukan menggunakan metode KLT dengan fase diam
silika gel GF254 dengan jarak pengembangan sebesar 8 cm, fase gerak
campuran etil asetat : N-Heksan (7:3), aseton : kloroform (7:3), aseton :
kloroform : N-heksan (5:3:2). Data KLT diperoleh dengan menghitung Rf
yang didapat.
8. Analisis kuantitatif
Dari larutan standar diperoleh hasil panjang gelombang maksimal,
persamaan kurva baku dan nilai R, persamaan kurva baku digunakan untuk
menghitung kadar sibutramin di dalam sampel. Hasil penotolan pada KLT
yang mempunyai Rf sama kemudian dianalisis menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 223,5 nm dan pada
panjang gelombang inilah didapatkan data absorbansi yang maksimum.
Data absorbansi yang diperoleh kemudian dicari kadarnya menggunakan
persamaan kurva baku dan dihitung RSD-nya.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ilmu kimia memiliki peranan yang sangat penting untuk


mempertanggungjawabkan khasiat Obat Bahan Alam (OBA) secara empiris
sehingga dipercaya oleh masyarakat. Peran tersebut diantaranya, eksplorasi
dalam penemuan senyawa obat atau bahan baru, penyiapan bahan baku
obat, standarisasi obat, dan uji bioaktivitas. OBA yang akan diedarkan di
masyarakat harus memenuhi kriteria untuk menjamin keamanan dan
khasiatnya, salah satunya yaitu tidak mengandung Bahan Kimia Obat
(BKO). Bila dalam OBA terdapat BKO, kinerja obat akan lebih cepat
sehingga cepat yang biasa disebut ‘cespleng’ yang terasa oleh penggunanya,
akan tetapi bila dikonsumsi terus-menerus akan memberikan dampak,
diantaranya hipertensi, insomnia, depresi, hingga menurunkan system imun.
Adanya kandungan BKO, misalnya sibutramin dapat dianalisis secara
kualitatif dengan metode KLT dan secara kuantitatif dengan metode
spektrofotometri UV-Vis.

3.2. Saran

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak


terdapat kesalahan dan jauh dari sempurna baik dari segi isi maupun
pembahasan. Penulis akan memperbaiki penulisan makalah dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai
pembahasan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

HS, Adhe Wisnu, Sri Sudewi, dan Widya Astuty L. 2017. Analisis Bahan Kimia
Obat Sibutramin HCl paada Jamu Pelangsing yang Beredar di Kota
Manado. PHARMACON, Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, Vol. 6
(4):2302, 2493.

Susila, Pundra Oktagia. 2013. Identifikasi dan Kuantifikasi Bahan Kimia Obat
Sibutramin dalam Jamu Pelangsing yang Beredar Di sekitar Surakarta.

Naskah Publikasi. Dikutip dari


http://eprints.ums.ac.id/27518/9/NASKAH_PUBLIKASI.pdf

Gultom, Irmina. 2018. Ini Dia Bedanya Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan
Fitofarmaka. Artikel. Diakses dari
https://www.kompasiana.com/irmina.gultom/5bdab8f4ab12ae2c5c388fe5/i
ni-dia-bedanya-jamu-obat-herbal-terstandar-dan-fitofarmaka?page=all

Saputra, Wahyu Eko. 2017. Regulasi Ketat untuk Menjamin Keamanan dan

Khasiat Fitofarmaka. Artikel. Diakses dari


http://teknopreneur.com/2017/11/24/regulasi-ketat-untuk-menjamin-
keamanan-dan-khasiat-fitofarmaka/

Sintawati, Kenik. 2017. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen

Makanan, dan Kosmetik. Diakses dari


https://diklatbpom.files.wordpress.com/2017/09/dit-penilaian-ot-sm-dan-
kosmetik-untuk-pkpa-04092017.pdf

Luthfan, Muhammad. 2016. Regulasi Izin Obat Tradisional. Diakses dari

https://www.slideshare.net/mluthfan2/regulasi-ijinedarbpom-2-68222848

Paramitha, Ni Wayan Indah. 2013. Peranan Kimia Analitik. Diakses dari

https://www.scribdt.com/doc/311906130/Peranan-Kimia-Dalam-Obat-
Tradisional

Candra, Asep. 2010. Inilah Efek Samping Obat Kimia dalam Jamu. Artikel.
Diakses dari
https://lifestyle.kompas.com/read/2010/08/24/13290087/Inilah.Efek.Sampi
ng.Obat.Kimia.dalam.Jamu

Anonim. 2018. Sibutramine Hydrochloride.Artikel. Diakses dari

https://www.tabletwise.com/medicine-id/sibutramine-hydrochloride

Anda mungkin juga menyukai