Anda di halaman 1dari 19

A. I.

1 Pengertian Pengobatan Tradisional


Pengobatan tradisional merupakan salah satu pengobatan yang masih banyak
dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya oleh masyarakat yang jauh dari
akses pelayanan kesehatan modern seperti puskesmas dan rumah sakit. Menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80% dari total populasi di benua Asia dan
Afrika bergantung pada pengobatan tradisional. WHO juga telah mengakui
pengobatan tradisional dapat mengobati berbagai jenis penyakit infeksi, penyakit
akut, dan penyakit kronis (Yuningsih R, 2012). Sementara itu, menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, pengobatan tradisional adalah pengobatan
dan/ atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada
pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku (Fitrianti dan Angkasawati, 2015)

Pengobatan tradisional merupakan salah satu kekayaan bangsa yang berwujud


kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal yang terjaga, mendukung kelestarian
penggunaan ramuan obat tradisional secara turun temurun. Pengobatan tradisional
adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatannya yang
mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun temurun, dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (UU No.23 Tahun 1992).

I.2 Aspek hukum pengobatan tradisional

Menurut (Rarung, 2017) Berdasarkan beberapa materi yang telah disampaikan pada
Bab sebelumnya, maka Penulis berkeinginan untuk membahas mengenai aspek-aspek
hukum pengobatan tradisional yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Aspek Keberlakuan Pengobatan Tradisional


Pengobatan tradisional pada awalnya telah dikenal lama oleh masyarakat di
Indonesia semenjak pemahaman pengobatan yang bersifat mistik, kepercayaan
pada tenagatenaga gaib yang berakar pada animisme. Dalam perkembangannya,
pengobatan tradisional di Indonesia dipengaruhi oleh banyak budaya asing,
seperti India, Cina, Timur Tengah (Arab) dan Eropa. Budaya-budaya tersebut
terutama mempengaruhi cara-cara pengobatan tradisional melalui pendekatan
keagamaan. Secara umum pengobat tradisional dibagi dua kategori yaitu pengobat
tradisional yang menggunakan ramuan dan pengobat tradisional yang
menggunakan keterampilan. Untuk pengobat tradisional yang menggunakan
ramuan dinamakan shinse dan tabib, sementara untuk pengobat tradisional yang
menggunakan keterampilan dinamakan refleksiologis, spa therapis, dukun urut,
dan lain-lain.

Keberlakuan pengobatan tradisional diatur dalam beberapa ketentuan sebagai


pendukung diakuinya pengobatan tradisional yaitu terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (9) yang mendefinisikan Obat
Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Pengaturan tentang pengobatan tradisional lebih lanjut mengenai tata cara dan
jenis pelayanan kesehatan tradisional lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2014 dengan gagasan yang bertujuan antara lain:
a. Membangun sistem pelayanan kesehatan tradisional yang bersinergi dengan
pelayanan konvensional.
b. Membangun sistem pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang
bersinergi dan dapat berintegrasi dengan pelayanan kesehatan konvensional di
fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Memberikan perlindungan kepada masyarakat.
d. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan tradisional.
e. Memberikan kepastian hukum terhadap pengguna dan pemberi pelayanan
kesehatan tradisional.
Ketentuan-ketentuan lain yang juga menunjang terhadap berlakunya pengobatan
tradisional di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undang, yakni:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Bahwa
keterkaitan antara UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dengan pengobatan tradisional terdapat dalam beberapa Pasal yang
menentukan kedudukan konsumen bahkan produsen mengenai hal-hal tentang
kenyamanan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa serta untuk
memperoleh informasi dan perlindungan sebagai konsumen dikarenakan
konsumen dalam hal ini menjadi pihak yang akan menerima pelayanan terhadap
tubuh fisik maupun psikis dengan pengobatan herbal yang seringkali kurang
dipahami oleh konsumen atau masyarakat umum. Maka, pengobatan tradisional
ditunjang keberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Bahwa
keterkaitan antara UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan dengan pengobatan tradisional dimana setiap tenaga kesehatan adalah
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan baik yang modern maupun
tradisional serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pengalaman
atau pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Di dalam Pasal 1 ayat (4)
membuka peluang untuk hadirnya metode pengobatan tradisional dengan
mendefinisikan setiap upaya kesehatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. Dan di dalam Undang-undang ini juga
mengatur tentang tanggungjawab dan tatacara pengawasan dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
2. Aspek Perijinan Pengobatan Tradisional
Izin pengobatan tradisional adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau badan
yang mendirikan dan/atau menyelenggarakan sarana pelayanan kesehatan. Setiap orang
yang menyelenggarakan pengobatan tradisional wajib memiliki izin. Hal ini sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 60 yang
menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang
berwenang”.13 Lembaga kesehatan yang dimaksud adalah Pemerintah Daerah yang
dalam hal ini dapat memberikan izin di Daerah terkait.
Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan diartikan
bahwa izin dalam praktik tenaga kesehatan ditandai dengan diberikan Surat Izin Praktik
(SIP) dan SIP yang dimaksud, diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atas
rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota. 14 Namun di
dalam pengobatan tradisional surat izin praktik yang digunakan yaitu dengan istilah
Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT) adalah sebagai bukti tertulis yang diberikan
kepada pengobat tradisional yang metodenya telah dikaji, diteliti dan diuji terbukti
aman dan bermanfaat bagi kesehatan. Selanjutnya Surat Terdaftar Pengobat Tradisional
(STPT) yang merupakan bukti tertulis yang diberikan kepada pengobat tradisional yang
telah melaksanakan pendaftaran.

3. Aspek Pelayanan Pengobatan Tradisional


Pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan Pengobatan
tradisional yang menggunakan keterampilan ialah ilmu dan seni pengobatan
berdasarkan himpunan dari pengetahuan dan pengalaman praktik, baik yang dapat
diterangkan secara ilmiah ataupun tidak, dalam melakukan diagnosis, prefensi dan
pengobatan terhadap ketidakseimbangan fisik, mental maupun sosial. Pedoman
utama merupakan pengalaman praktik yaitu hasil-hasil pengamatan yang diteruskan
dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun tulisan
b. Pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan Pengobatan tradisional
yang menggunakan ramuan ialah media pengobatan yang menggunakan tanaman
dengan kandungan bahan-bahan alamiah sebagai bahan bakunya.

4. Aspek Pembinaan dan Pengawasan Pengobatan Tradisional


Pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan
norma agama. Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan yaitu dengan melakukan pembinaan terhadap
masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional. Dalam melakukan pembinaan
terhadap masyarakat, Menteri dapat melimpahkan wewenang kepada gubernur,
dan/atau bupati atau walikota.
5. Aspek Manfaat dan Keamanan Pengobatan Tradisional
Pembangunan kesehatan nasional merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat di Indonesia. Berbagai program pembangunan yang
diselenggarakan pemerintah selama ini, pada hakikatnya adalah upaya peningkatan
kualitas hidup masyarakat Indonesia. Pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan hidup sehat setiap penduduk dalam mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang optimal, pada hakikatnya adalah upaya untuk menciptakan
manusia yang berkualitas dan mempunyai produktivitas kerja yang tinggi, sehingga
akan menjadi modal pembangunan yang tangguh.

I.3 Contoh Pengobatan Tradisional


Salah satu contoh pengobatan tradisional masyarakat tidak terlepas dari kepercayaan
bahwa yang memberikan kesembuhan adalah kekuatan ghaib (Gollin, 2001), seperti
Masyarakat suku Dayak Kanayatn di Desa Ambawang yang meyakini hal demikian.
Masyarakat setempat selain memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat maupun alat
pengobatan, tumbuhan juga digunakan dalam ritual yang menyertai usaha
pengobatan. Pengobatan tradisional dipertahankan karena dinilai lebih ekonomis
dibandingkan dengan pengobatan modern ( fadilah, dkk, 2015).
B. I.1 Pengertian Obat-Obat Narkotika
Narkoba merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu
pengetahuan. Namun, sebaliknya jika terjadi penyalahgunaan, maka narkoba
merupakan suatu ancaman bencana bagi kelangsungan bangsa. Narkoba juga dapat
menimbulkan ketergantungan bila tanpa pembatasan, pengendalian dan pengawasan
yang seksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku di negara kita yang
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.22 tahun 1997 tentang
Narkotika dan Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 1997 tentang
Psikotropika. Kategori narkoba yang sering disalahgunakan penggunaannya antara
lain ganja, sabu-sabu, ekstasi, coca, opium, morphin dan heroin. Sedangkan obat-obat
berbahaya yang biasanya disalahgunakan penggunaannya serta dijadikan bahan
pengganti narkoba oleh para pecandu narkoba ialah hypnotic (obat tidur), sedatyves
(obat penghilang rasa sakit), trengulizer (obat-obat penenang) dan sebagainya.

I.2 Aspek-Aspek obat narkotik

I.3 Contoh kasus Penyalahgunaan Narkotik


Contoh kasus narkotika yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu yaitu tertangkapnya 8
orang pemuda di Kota Padang Panjang yang digrebek tim BNN Provinsi Sumatera Barat
saat berada di kosannya, tepatnya di Jalan Soekarno Hatta RT 06 Kelurahan Bukit
Surungan, Kecamatan Padang Panjang Barat, sekitar pukul 00.34 WIB.6 Mereka mengaku
sebagai mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Kota Padang Panjang. Saat
digeledah didapati dalam ruang kos tersebut barang bukti berupa 1 kotak ganja seberat
lebih kurang 1 kg, 5 paket ganja siap edar dengan nilai Rp.100.000, dan 6 bungkus paket
ganja dengan nilai Rp.20.000 (pasbana, 2018).
I.7 Lampiran UU Narkotik
C. I.1 Pengertian
Psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain, psikotropika
dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan. Peredaran psikotropika di Indonesia jika dilihat
dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya, apabila memenuhi syarat sebagaimana
yang telah diatur oleh UndangUndang (Adi Surya, Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671)

I.3 Contoh kasus penyalahgunaan psikotropika

Dalam salah satu kasus yang dianggap sebagai perbuatan penyalahgunaan psikotropika
adalah kasus yang menjerat artis Tora Sudiro dan Mieke Amalia. Tora bersama
istrinya ditangkap oleh Polres Metro Jakarta Selatan karena memiliki 30 butir Dumolid
di rumahnya kawasan Ciputat, Jakarta Selatan pada Rabu, 2 Agustus 2017 dan tidak
dapat menunjukan bukti kepemilikan obat psikotropika tersebut dengan menunjukan
resep dokter. 3 Sebelumnya Tora memang telah melakukan terapi kepada salah
seorang psikiater dan menyarankan serta memberikan rekomendasi untuk
mengkonsumsi obat tersebut demi mengatasi gangguan sulit tidurnya. Namun setelah
gangguan tersebut hilang ia tidak dapat diberikan resep obat tersebut dan membeli obat
tersebut tanpa izin (Adi Surya, Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671)
I.4 Lampiran
D. I.1 Informed consent

Menurut (Kinanti , 2015) Informed consent atau persetujuan tindakan medis adalah
persetujuan yang yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Definisi ini
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Medis. Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan, hal tersebut diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Persetujuan tersebut diterbitkan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap dari dokter mengenai:

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

Pada hakikatnya, informed consent adalah suatu pemikiran bahwa keputusan pemberian
obat terhadap pasien harus terjadi berdasarkan kerja sama antara dokter dan pasien.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa informed consent dalam perjanjian
terapeutik adalah pemenuhan atas asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian
dimana berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa
suatu perjanjian akan terjadi ketika kedua belah pihak mencapai kesepakatan. Adam
chazawi (dalam Endang Kusuma Astuti, 2009: 88) menyebutkan bahwa informed consent
memiliki fungsi ganda. Bagi dokter informed consent memberikan rasa aman dalam
menjalankan tindakan medis terhadap pasien, sekaligus dapat dijadikan sebagai alat
pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau
keluarganya bila suatu saat timbul akibat yang tidak dikehendaki. Persetujuan dari pasien
dalam hal ini mempunyai arti yang sangat luas sebab dengan sekali pasien membubuhkan
tanda tangannya di formulir persetujuan medis, maka dianggap pasien telah informed dan
pasien telah menyerahkan nasibnya kepada dokter, dan dokter boleh melaksanakan apa
yang menurut dokter baik. Namun, di sisi pasien, informed consent merupakan
perwujudan dari hak pasien dimana pasien berhak mendapatkan informasi penyakit yang
dideritanya, tindakan medis apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit akibat
tindakan itu alternatif terapi lainnya serta pronosisinya. (Endang Kusuma Astuti, 2009:
88). Bentuk informed consent dibedakan menjadi dua yaitu : (Endang Kusuma Astuti,
2009: 141).

1. Informed consent yang dinyatakan secara tegas

a. Informed consent yang dinyatakan secara lisan yaitu apabila tindakan medis itu
tidak berisiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan terapi medis,
sedangkan untuk tindakan medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan,
informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.

b. Informed consent yang dinyatakan secara tertulis yaitu bentuk yang paling tidak
diragukan. Namun, jika dilakukan dengan cara lisan juga syah, kecuali jika ada
syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent tertulis untuk prosedur
tertentu.

2. Informed consent yang dinyatakan secara diam-diam atau tersirat Informed consent
juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat ada gerakan pasien yang diyakini oleh dokter.
Dengan anggukan kepala, maka dokter dapat menangkap isyarat tersebut sebagai tanda
setuju. Dapat dikatakan bahwa pasien membiarkan dokter untuk memeriksa bagian
tubuhnya, dengan pasien membiarkan/menerima dan tidak menolak maka dokter
menganggap hal ini sebagai suatu persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan guna
mendapatkan terapi dari penyakitnya. Demikian pula, dalam hal persetujuan tindakan
medis yang dilakukan oleh pasien jika pasien telah menyetujui ataupun tidak bertanya
lebih lanjut tentang informasi dari dokter, dianggap telah mengetahui penjelasan dokter.
I.2 Dasar Hukum Informed Consent Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam
Pasal 45 Undang – undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana
dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan
sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap,
sekurang-kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.20 Persetujuan tersebut
dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan


tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :

Pasal 1

1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien

2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-saudara kandung atau pengampunya.

3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan


kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau
rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.

4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh pasien.

5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang
berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi
spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan
perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak 10 terganggu kesadaran fisiknya,
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan
(retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuatkeputusan secara bebas.

Pasal 2

1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.

2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.

3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.

Pasal 3

1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh


persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.

3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.

4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan
setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan
setuju. 5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan pasien
akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar
peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran
Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan
tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis
sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik

Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan


Tindakan Medis.

4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang


Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.

6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

I.3 Bentuk-bentuk Informed consent

Ada dua bentuk Informed consent yaitu: (1) dengan pernyataan (expression), dapat secara
lisan (oral) dan secara tertulis (written); (2) dianggap diberikan, tersirat (implied) yaitu dalam
keadaan biasa atau normal dan dalam keadaan gawat darurat. (Pakendek, 2010)

Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang
akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Sebaiknya pasien
diberikan pengertian terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan. Misalnya,
pemeriksaan dalam lewat anus atau dubur atau pemeriksaan dalam vagina, dan lain-lain yang
melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Di sini belum diperlukan pernyataan
tertulis, cukup dengan persetujuan secara lisan saja. Namun bila tindakan yang akan
dilakukan mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan atau prosedur
pemeriksaan dan pengobatan invasif, harus dilakukan secara tertulis . (Pakendek, 2010).

Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan
tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap pasien pada waktu dokter
melakukan tindakan, misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,
pemberian suntikan pada pasien, penjahitan luka dan sebagainya. Implied consent berlaku
pada tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum (Pakendek, 2010).

Pendapat Mertokusumo, menyebutkan bahwa informed consent dari pasien dapat dilakukan
dengan cara antara lain 6: (1) dengan bahasa yang sempurna dan tertulis; (2) dengan bahasa
sempurna secara lisan; (3) dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak
lawan; (4) dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan; (5) dengan diam atau
membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan . (Pakendek, 2010).

Menurut . (Pakendek, 2010) Pernyataan IDI tentang informed consent yang tertuang dalam
Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88 adalah:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri
2. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta
risikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ni
dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi
informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik
lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,
baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan,
tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Daftar Pustaka
Anonim,(2014). Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses Melalui
Http://Ikafkunpad.Org/Wp-Content/Uploads/2014/10/Pmk-No.-512-Ttg-Izin-Praktik-
Dan-Pelaksanaanpraktik-Kedokteran.Pdf Pada Tanggal 11 Oktober 2016 Pada Pukul
15.00

Budiyanto.(2010). Hukum Dan Etik Kedokteran. Standar Profesi


Medisdanauditmedishttps://Budi399.Wordpress.Com/2010/11/22/Hukumetikkedokteran
-Standar-Profesi-Medis-Audit-Medis/ Pada Tanggal 11 Oktober 2016 Pukul15.46

Kinanti , (2015). Urgensi Penerapan Mekanisme Informed Consent Untuk Mencegah Tuntutan
Malpraktik Dalam Perjanjian Terapeutik. Privat Law Vol. Iii No 2 Juli-Desember 2015

Diah, Pratita.2013."Tinjauan Pelaksanaan Prosedur Informed Consentpasien Bedah Ortopedi


Di Rs Bhayangkara Semarang Pada Tahun 2013."Diakses
Melaluihttp://Eprints.Dinus.Ac.Id/6608/1/Jurnal_13000.Pdf Pada Tanggal 9
Oktober2016.

Hadi Purwandoko, Prasetyo .1999. Problematika Implementasi Informedconsent


(Telaahpelaksanaanpermenkesno 585/Menkes/Per/Ix/1989). Diakses
Memaluihttp://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?
Article=148673&Val=5869&Title=Problematika%20implementasi%20informed
%20consent%20(Telaah%20pelaksanaan%20permenkes.%20no.
%20585/Menkes/Per/X/1989%20). Pada Tanggal 9 Oktober2016.

Fitrianti dan Angkasawati, 2015, Pengobatan Tradisional Gayo Untuk Ibu Nifas (Gayo’s
Traditional Medication For Puerperal Mother, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol.
18 No. 2 April 2015: 111–119
Fadilah, dkk, 2015, Pemanfaatan Tumbuhan dalam Pengobatan Tradisional Masyarakat Suku
Dayak Kanayatn di Desa Ambawang Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya.
Protobiont (2015) Vol. 4 (3) : 49-59

Pakendek, 2010. Informed Consent Dalam Pelayanan Kesehatan. Al-Ihkâ Vo l.V(2)

Rarung, 2017, Tanggungjawab Hukum Terhadap Pelaku Pembuat Obat-Obatan Tradisional


Ditinjau Dari Undangundang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Lex Crimen
Vol. Vi/No. 3/Mei/2017

Tohari, Hamim, Santoso Santoso, And Akhmad Ismail.2014. Informed Consentpada Pelayanan
Sirkumsisi Di Puskesmas Waru, Kabupaten Pamekasan, Provinsijawa Timur Periode 1
Januari–31 Desember 2013.
Diaksesmelaluihttp://Eprints.Undip.Ac.Id/44650/3/Hamim_Tohari_22010110110013_Ba
b2kti.Pdfpada Tanggal 9 Oktober 2016.

Titiek Soelistyowatie.2011. Penerapan Hukum Informedconsent Terhadap Pelayanan


Keluarga Berencana Di Rumah Sakit Tugorejo Semarang. Diakses
Melalui Http://Jurnal.Abdihusada.Ac.Id/Index.Php/Jurabdi/Article/Viewfile/3/3 Pada
Tanggal 9oktober 2016.

Winandayu, Pawitra.2013. Tangung Jawab Dokter Terhadap Pasien Gawatdarurat Atas


Tindakan Medis Berdasarkanimplied Consent (Studikasus Di Rumah Sakit Panti
Nugroho Yogyakarta). Diakses Melalui Http://Ejournal.Uajy.Ac.Id/3608/2/1hk10026.Pdf.
Pada Tanggal 9 Oktober 2016
Tohari,Hamim.
(N.D).Informed.Diaksesmelaluihttp://Eprints.Undip.Ac.Id/44650/3/Hamim_Tohari_2201
0110110013bab2kt.

Anda mungkin juga menyukai