Anda di halaman 1dari 16

JURNAL PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

ABSORBSI OBAT PER ORAL SECARA IN VITRO

KELOMPOK C1.3:

Rezalia Asia Putri 182210101058

Annisa Putri Pranata 182210101059

Mohammad Labib Ghiffary 182210101060

Dimas Aloisius 182210101068

Karina Efi Sugianty 182210101103

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA

BAGIAN FARMASETIKA FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2021
A. TUJUAN PERCOBAAN
Mahasiswa dapat memahami pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui
saluran pencernaan secara in vitro.

B. TEORI DASAR
Absorbsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari tempat pemberian
ke dalam sirkulasi darah di dalam tubuh. Absorbsi obat dari saluran pencernaan ke
dalam darah umumnya terjadi setelah obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling
membrane tempat terjadinya absorbsi. Semakin larut obat didalam lipida maka akan
semakin baik absorbsinya. Faktor utama yang mempengaruhi absorbsi obat yaitu
karakteristik sifat fisika kimia molekul, property dan komponen cairan gastrointestinal
serta sifat membrane absorbsi (Banker, 2002). Selain itu, luas permukaan dinding
usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna, dan aliran darah ke
tempat absorbsi juga mempengaruhi absorbsi obat. Agar suatu obat dapat mencapai
tujuan organ yang dinginkan, obat tersebut harus melewati berbagai membran yang
memiliki struktur lipoprotein.
Sebagian besar obat merupakan asam atau basa organik lemah. Absorpsi obat
dipengaruhi oleh derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan
membran. Membran sel lebih permeabel terhadap bentuk obat yag tidak terionkan
daripada bentuk terionkan, karena obat bentuk tak terion lebih larut lemak
dibandingkan dengan bentuk terion. Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan
pKa obat seperti terlihat pada persamaan Henderson-Hasselbalch sebagai berikut :
 Untuk suatu asam :
fraksi obat yang terionkan
pH= pKa+log
fraksi obat yang tak terionkan
 Untuk suatu basa :
fraksi obat yang terionkan
pH= pKa−log
fraksi obat yang tak terionkan
Dengan menyusun kembali persamaan untuk asam :
fraksi obat yang terionkan
log = pKa− pH
fraksi obat yang tak terionkan
Maka secara teoritis dapat ditentukan jumlah relatif dari suatu obat dalam bentuk tidak
terionkan pada berbagai kondisi pH.
1. Penyusun Membran Sel
Membran sel adalah fitur universal yang dimiliki semua jenis sel berupa
lapisan antarmuka yang disebut membrane plasma, yang memisahkan sel dengan
lingkungan luar sel, guna melindungi inti dan system kelangsungan hidup sel yang
ada di sitoplasma. Umumnya membran mempunyai ketebalan 7,5 nm – 10,0 nm.
Senyawa utama penyusun membran adalah protein dan lipid. Protein biasanya
mencakup setengah sampai dua pertiga dari total berat kering membrane. Jenis dan
proporsi molekul protein dan lipid yang terkandung pada membran beragam,
tergantung pada jenis membran dan kondisi fisiologis dari sel yang bersangkutan.
Perbedaan ini dapat dilihat diantara membran plasma, tonoplast, retikulum
endoplasma, diktiosom, kloroplast, nukleus, mitokondria, dan benda mikro
(peroksisom dan glioksisom). Komposisi membran berbeda-beda tergantung pada
spesies dan lingkungan tempat tumbuhnya.

Gb.1. Struktur membrane sel

Membran sel merupakan perantara bagi keluar masuknya zat terlarut.


Kemampuan membran plasma meloloskan substansi tertentu masuk atau
keluar dari sel, tetapi membatasi pergerakan substansi tertentu. Hal tersebut
disebut permeabilitas selektif.
Fungsi membrane sel yaitu :
a. Tempat berlangsungnya berbagai reaksi kimia
b. Melindungi bagian sel dan memberikan bentuk bagi sebuah sel
c. Sebagai reseptor terhadap rangsangan yang ditujukan bagi sebuah sel
d. Membrane sel bisa menjadi media komunikasi antar lingkungan dalam sel dan
lingkungan luar sel.
e. Melakukan seleksi terhadap berbagai zat yang masuk ataupun keluar sel.
 Komponen kimia membrane sel
Berdasarkan analisis kimia, membran sel tersusun atas lipida dan protein
(lipoprotein). Lipidanya berupa fosfolipid, glikolipid dan sterol. Sterol umumnya
berupa kolesterol. Menurut Ardiyanto (2011:1) protein penyusun membran sel
terutama terdiri dari glikoprotein, Berikut adalah penyusun membrane sel :
1. Lipid
Membrane sel terdiri dari 3 kelas lipid antara lain : fosfolipid, glikolipid, dan
kolesterol.
2. Protein
Protein dalam membrane merupakan kunci untuk fungsi membrane secara
keseluruhan. Protein berguna terutama dalam transportasi bahan kimia dan system
informasi di seluruh membrane.
3. Karbohidrat
Karbohidrat dalam membrane sel terdapat dalam bentuk yang berkaitan dengan
lipid atau protein, selain itu juga terdapat pada permukaan sel yang berfungsi
dalam interaksi sel dan sekitarnya.
Umumnya membrane sel mempunyai bagian kepala polar hidrofilik dengan
daya ikat glikoserofosforilester yang terdiri atas fosfat, gliserol, dan gugus
tambahan seperti kalian, serina, dll. dengan dua rantai hidrofobik asam lemak yang
membentuk sebuah ikatan ester. Selanjutnya, ada protein yang berupa protein
integral membrane dan protein transmembrane. Protein integral mempunyai domain
yang membentang di bagian luar sel dan di sitoplasma. Protein integral juga
memiliki fungsi untuk memasukkan zat-zat yang ukurannya lebih besar. Protein
transmembrane terintegrasi pada lipid dan menembus 2 lapisan
lipid/transmembrane. Bersifat ampifatik, memiliki sekuens protein, hidrofobik,
menembus lapisan lipid dan untaian asam amino hidrofilik. Banyak diantaranya
merupakan glikoprotein, gugus gula pada sebelah luar sel.
Membran sel mempunyai sifat yang dinamis dan asimetris, bersifat dinamis
karena mempunyai struktur seperti air sehingga memungkinkan molekul lipid dan
protein untuk bergerak. Membrane sel bersifat asimetris karena komposisi protein
dan lipid di bagian luar tidak sama dengan komposisi protein dan lipid di bagian
dalam sel.
2. Mekanisme Absorbsi Obat Melewati Membran
Absorpsi suatu obat adalah pengambilan obat dari permukan tubuh termasuk juga
mukosa saluran cerna atau dari tempat-tempat tertentu pada organ dalam ke dalam
aliran darah atau ke dalam sistem pembuluh limfe. Karena obat baru dapat
menghasilkan efek terapeutik bila tercapai konsentrasi yang sesuai pada tempat
kerjanya, maka absorpsi yang cukup menjadi syarat untuk suatu efek terapeutik,
kecuali untuk obat yang bekerja local. Absorbsi obat umumnya terjadi secara pasif
melalui proses difusi. Kecepatan absorpsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya
yang terpenting adalah sifat fisikokima bahan obat, terutama sifat stereokimia dan
kelarutannya seperti :
a. Besar partikel
b. Bentuk sediaan obat
c. Dosis
d. Rute pemberian dan tempat pemberian
e. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
f. Besarnya luas permukaan yang mengabsorbsi
g. Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi
h. Integritas membrane
i. Aliran darah organ yang mengabsorbsi
Untuk dapat mentransport obat ketempat yang tepat dalam tubuh molekul zat
kimia harus dapat melintasi membrane semi permiabel berdasarkan adanya perbedaan
konsentrasi, antara lain melintasi dinding pembuluh ke ruang antar jaringan
(interstitium). Pada proses ini beberapa mekanisme transport memegang peranan
yaitu:

1) Transport pasif  tidak menggunakan energi, misalnya perjalanan molekul obat


melintasi dinding pembuluh ke ruang antar jaringan (interstitium), yang dapat
terjadi melalui dua cara :
a) Filtrasi, melalui pori-pori kecil dari membran. Zat-zat yang difiltrasi adalah air
dan zat-zat hidrofil yang molekulnya lebih kecil dari pori, seperti alkohol, urea
(BM < 200)
b) Difusi, zat melarut dalam lapisan lemak dari membran sel. Zat lipofil lebih
lancar penerusannya dibandingkan zat hidrofil.

2) Transport aktif  memerlukan energi. Pengangkutan dilakukan dengan


mengikat zat hidrofil (makro molekul) pada protein pengangkut spesifik yang
umumnya berada di membran sel (carrier). Setelah membran dilintasi obat
dilepaskan kembali. Glukosa, asam amino, asam lemak dan zat gizi lain di
absorpsi dengan cara transport aktif. Berbeda dengan difusi, cepatnya penerusan
pada transport aktif tidak tergantung dari konsentrasi obat.

3) Endositosis (Pinosistosis dan fagositosis)


Pada pinositosis tetesan-tetesan cairan kecil diserap dari saluran cerna,
sedangkan pada fagositosis yang diserap adalah zat padat, membran permukaan
tertutup keatas dan bahan ekstrasel ditutup secara vesikular.
3. Asam Salisilat
Asam salisilat atau yang biasa disebut (asam ortohidroksibenzoat) memiliki
struktur kimia C7H6O3, berat molekul 138,1, titik sublimasi 76oC, titik lebur 159oC.
Kelarutan dalam air 0,2 g/100 mL pada 20oC. Asam salisilat merupakan asam yang
bersifat iritan lokal, yang dapat digunakan secara topikal. pKa untuk asam salisilat
adalah 2,97 dan memiliki nilai pH 4–5. Dalam bidang dermatologi, asam salisilat telah
lama dikenal dengan khasiat utamanya sebagai bahan keratolitik. Hingga saat ini asam
salisilat masih digunakan dalam terapi veruka, kalus, psoriasis, dermatitis seboroik
pada kulit kepala, dan iktiosis. Penggunaannya semakin berkembang sebagai bahan
peeling dalam terapi penuaan kulit, melasma, hiperpegmentasi pasca inflamasi, dan
akne (Lee dan Kim, 2003; Muhammad et al., 2016).
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa terdapat tiga faktor yang berperan
penting pada mekanisme keratolitik asam salisilat yaitu melarutkan ikatan korneosit,
menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselluler, dan melonggarkan serta
mendisintegrasikan korneosit. Mekanisme kerja zat ini adalah pemecahan struktur
desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit. Terminologi
desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja asam salisilat topikal. Efek
desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ( Levequ
dan Saint, 2002).
Secara umum, penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan memiliki efek
samping minimal dibandingkan dengan rute pemberian secara oral, namun pemberian
topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi obat akibat
absorpsi sistemik yang harus diwaspadai. Obat-obat yang bersifat asam lemah seperti
asam salisilat, umumnya tidak terion pada cairan lambung dan hampir semua terion
pada cairan usus (Aulton, 2002).
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan daya absorpsi 70%
dalam bentuk utuh dalam lambung, tetapi sebagian besar absorpsi terjadi dalam usus
halus bagian atas. Sebagian asam salisilat dihidrolisis kemudian didistribusikan ke
seluruh tubuh dan segera menyebar ke seluruh tubuh dan cairan transeluler setelah
diabsorpsi. Kecepatan absorpsi tergantung dari kecepatan disintegrasi dan disolusi
tablet, pH, permukaan mukosa, dan waktu pengosongan lambung. Salisilat dapat
ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, liur, dan air susu. Kadar tertinggi
dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian (Sulistyaningrum et al., 2012).
Asam salisilat memiliki efek samping berupa iritasi mukosa lambung dengan
resiko tukak lambung dan perdarahan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain tablet yang tidak larut, penyerapan non-ionisasi oleh lambung dan hambatan
produksi prostaglandin yang protektif. Asam salisilat jika digunakan dalam dosis besar
dapat mengiritasi mukosa lambung karena hilangnya efek perlindungan dari
prostasiklin (PgI2) terhadap mukosa lambung, yang sintesisnya turut dihalangi oleh
blokade siklooksidase (Randjelovic et al., 2015).
4. Absorbsi Obat Per-Oral Secara In Vitro
Obat-obat yang bersifat asam lemah (pKa 3,0) seperti asam salisilat, umumnya
tidak terion pada cairan lambung dan hampir semua terion pada cairan usus. Usus
halus panjangnya sekitar 6 meter. Terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Area
permukaan dalam luas di sepanjang usus halus membantu absorbsi produk
pencernaan.
Absorpsi obat mengharuskan molekul-molekul obat berada dalam bentuk
larutan pada tempat absorpsi. Disolusi dari bentuk-bentuk sediaan padat dalam cairan-
cairan saluran cerna merupakan syarat untuk menyampaikan suatu obat ke sirkulasi
sistemik setelah pemberian oral. Umumnya absorpsi obat pada saluran cerna terjadi
secara difusi pasif sehingga untuk dapat diabsorpsi, obat harus larut dalam cairan
pencernaan. Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi, serta sifat-sifat fisikokimia obat
tersebut. Obat-obat yang diabsorpsi oleh difusi pasif, yang menunjukkan kelarutan
dalam air rendah, cenderung memiliki laju absorpsi oral lebih lambat daripada yang
menunjukkan kelarutan dalam air yang tinggi.
Pergerakan molekul melalui membran biologi membutuhkan energi dan terjadi
perbedaan potensial kimia. Proses ini sama seperti difusi terfasilitasi yang
membutuhkan pembawa, namun transpor aktif membutuhkan energi untuk bergerak
dari konsentrasi yang rendah menuju konsentrasi yang lebih tinggi. Beberapa kriteria
yang harus dipenuhi oleh molekul obat agar dapat dinyatakan mempunyai mekanisme
transpor aktif:
1. Molekul (senyawa) ditranspor dari daerah yang mempunyai perbedaan potensial
kimia yang rendah menuju yang lebih tinggi.
2. Hasil metabolisme senyawa akan mengganggu transpor.
3. Kecepatan transpor akan mengalami penjenuhan apabila konsentrasi dari senyawa
meningkat.
4. Sistem transpor umumnya memperlihatkan struktur kimia spesifik.
5. Senyawa kimia dengan struktur yang hampir sama akan bekerja sebagai
kompetitif inhibitor.
Metode kantung terbalik merupakan teknik in vitro yang mudah dan cepat
dilaksanakan serta dapat ditemukan seluruh tipe sel dan lapisan mukosa sehingga
mencerminkan proses/lingkungan sebenarnya saat obat mengalami proses absorpsi di
usus. Pada umumnya, manusia sering mengonsumsi makanan ataupun obat-obatan
secara oral. Obat yang sering diberikan secara oral akan diteruskan ke dalam sirkulasi
sistemik yang disebut sebagai proses absorbsi.
Absorbsi obat merupakan suatu proses pergerakan obat dari tempat pemberian
ke dalam sirkulasi umum di dalam tubuh. Absorbsi obat dari saluran pencernaan ke
dalam darah umumnya terjadi setelah obat tersebut larut dalam cairan di sekeliling
membrane tempat terjadinya absorbsi. Absorbsi obat akan lebih baik jika semakin baik
kelarutannya dalam lipida sampai absorbsi optimal tercapai. Faktor utama yang
mempengaruhi absorbsi obat yaitu karakteristik sifat fisika kimia molekul, property,
dan komponen cairan gastrointestinal serta sifat membrane absorbsi.
Luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan
saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorbsi, semuanya mempengaruhi laju dan
jumlah absorbsi obat walaupun ada variasi. Agar suatu obat dapat mencapai tempat
kerja di jaringan/organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran yang
memiliki struktur lipoprotein.
C. ALAT DAN BAHAN
Alat : Bahan :
- Tabung Crane and Wilson (yang - Cairan Lambung Buatan tanpa
telah dimodifikasi) pepsin pH 1,2 (CLB)
- Water bath - Cairan Usus Buatan tanpa
- Tabung gas oksigen pankreatin pH 6,8 (CUB)
- Selang silikon - Larutan NaCl 0,9% b/v
- Spektrofotometer UV-VIS - Asam salisilat
- Kuvet - Eter
- pH meter - Gas Oksigen
- Timbangan analitik - Alkohol
- Peralatan bedah - Seng sulfat
- Alat-alat gelas lain - Barium hidroksida

Hewan : tikus putih jantan

D. PROSEDUR
Petunjuk Umum

Dilakukan percobaan absorpsi obat (asam salisilat) per oral secara in vitro
menggunakan alat Tabung Crane and Wilson yang telah dimodifikasi yang di
dalamnya terpasang usus tikus yang sudah dibalik.

Percobaan dilakukan dalam 2 (dua) kondisi pH cairan mukosal yang berbeda yaitu
menggunakan cairan lambung buatan (CLB) yang mempunyai pH 1,2 dan cairan
usus buatan (CUB) yang mempunyai pH 6,8.

Petunjuk Khusus
Pembuatan cairan mukosal dan cairan serosal
1) Cairan mukosal dibuat untuk menggambarkan cairan saluran cerna.
Dibuatlah 2 (dua) macam cairan mukosal yaitu CLB dan CUB tanpa enzim
sebanyak 1 Liter.  

CLB dilarutkan 2,0 g natrium klorida P dan 3,2 gpepsin P dalam 7,0 ml asam
kiorida P dan air hingga 1000 ml. pH dilarutan lebih kurang 1,2 disesuaikan
dengan pH lambung  

CUB dilarutkan 6,8 g kalium fosfat monobasa P dalam 250 ml air, dicampur dan
ditambahkan 77 ml natrium hidroksida 0,2 N dan 500 ml air. Tambahkan 10,0 g
pankreatin F, dicampur dan diatur pH hingga 6,8±0,1 dengan penambahan natrium
hidroksida 0,2 N atau asam kiorida 0,2 N. Diencerkan dengan air hingga 1000 ml.

Dilarutkan sebanyak masing-masing 500 mg asam salisilat dalam masing-masing


100 ml CUB dan CLB. Saring masing-masing larutan, tentukan kadar awal larutan.

2) Cairan serosal dibuat untuk menggambarkan cairan darah.

Dalam percobaan ini cairan serosal direpresentasikan oleh larutan NaCl 0,9% (b/v)
yang isotonis dengan cairan darah.

Dibuatlah larutan NaCl 0,9% (b/v) sebanyak 100 mL atau langsung menggunakan
cairan infus.

a. Pembuatan Kurva Baku asam salisilat dalam NaCl 0,9%


Dibuat kurva baku asam salisilat dalam NaCl 0,9% dengan seri konsentrasi yaitu
5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm.

Pembuatan baku induk asam salisilat


125 mg
x 1000 ppm=250 mg
500 ml
Ditimbang 125 mg asam salisilat dan dilarutkan dalam 500 ml NaCl 0,9%

Pengenceran baku induk


x
x 250 ppm=5 ppm
50 ml
x = 1 ml
x
x 250 ppm=10 ppm
25 ml
x = 1 ml
x
x 250 ppm=15 ppm
50 ml
x = 3 ml
x
x 250 ppm=20 ppm
25 ml
x = 2 ml
x
x 250 ppm=30 ppm
25 ml
x = 3 ml
x
x 250 ppm=40 ppm
25 ml
x = 4 ml
b. Penyiapan usus halus tikus bagian ileum yang dibalik

Digunakan tikus putih jantan.

Diuasakan tikus tersebut selama 20 – 24 jam dengan tetap memberinya minum

Dibunuh tikus menggunakan eter atau dengan cara lain.

Dibedah perut tikus di sepanjang linea mediana dan keluarkan usus tikus

Dibuang usus tikus sepanjang 15 cm di bawah pylorus dan gunakan usus tikus
sepanjang 20 cm di bawahnya untuk percobaan.

Ujung anal dari potongan usus tersebut diikat dengan benang, kemudian dengan
menggunakan batang gelas yang berdiameter 2 mm, balikkan usus tikus sehingga
bagian dalam (mukosa) menjadi di luar dan bagian luar menjadi di dalam

Direndam usus tikus yang telah di balik dalam larutan NaCl fisiologis (0,9%) sebelum
digunakan

c. Percobaan absorpsi obat

Diisi waterbath dengan air kran dan atur alat pada suhu 37⁰C

Digunakan 2 (tabung) Crane and Wilson, atur jarak pipa pendek dan panjang sebesar
15 cm.

Dipasang dua usus tikus yang sudah dibalik pada kanula bagian tengah dari masing –
masing dua tabung

Diikat masing-masing kedua ujung usus tikus dengan hati-hati jangan sampai usus
putus atau bocor
Dimasukkan cairan serosal ke dalam kanula tengah dan pastikan cairan serosal masuk
ke dalam usus dan pastikan usus tidak bocor dan catat volume cairan serosal yang bisa
masuk

Setelah dipastikan cairan serosal masuk dan usus tidak bocor, letakkan kanula pada
tabung Crane and Wilson yang sebelumnya telah diisi cairan mukosal yaitu CUB dan
CLB yang mengandung asam salisilat sebanyak 100 mL dan telah terpasang di
waterbath bersuhu 37⁰C.

Dialiri kanula pinggir dengan oksigen melalui selang silicon atur kecepatan
gelembung agar sama antara tabung 1 dan 2. (100 gelembung permenit)

Dipantau usus agar selama percobaan terendam cairan mucosal.

Diambil sampel dari kanula tengah (cairan serosal) sebanyak 1,5 mL pada menit ke 5,
10, 20, dan 30.

Setiap pengambilan sampel, diganti cairan serosal dengan jumlah volume yang sama
(1,5 mL)

Dipipet sebanyak 1,0 mL sampel dan masukkan ke dalam tabung reaksi

Sampel kemudian ditambah dengan 2 ml larutan sengsulfat 5% dan 2 ml barium


hidroksida 0,3 N. Larutan dikocok dan dipusingkan (sentrifuge) selama 5 menit.

Diambil bagian yang jernih.

Bagian yang jernih diukur absoran sampel pada panjang gelombang maksimum

Dicatat hasil percobaan mengikuti format tabel Hasil percobaan absorpsi asam salisilat
per oral secara in vitro
Dibuat grafik hubungan Qb/cm2 (luas area usus) (sumbu Y) terhadap waktu (sumbu
X) untuk kedua kondisi percobaan dalam satu grafik sehingga didapat dua garis.
(Hitung jari2 usus dan panjang usus sebagai data untuk menghitung luas area usus)

Dibuat persamaan regresi linier antara Qb/cm2 (sebagai Y) dan waktu (sebagai X)
untuk dua kondisi percobaan sehingga didapat dua persamaan Y = BX + A

Dari persamaan yang didapat dihitung:


Tetapan absorpsi (K)  (tetapan absorpsi adalah nilai B dari persamaan)
Tetapan permeabilitas (Pm)  (Pm = B/kosentrasi Asam salisilat dalam cairan
mucosal)
lag time (X) untuk kedua kondisi percobaan dengan memasukkan nilai Y = 0

Dicatat hasil perhitungan mengikuti format tabel rekap hasil perhitungan parameter
absorpsi dari percobaan

E. TUGAS SEBELUM PRAKTIKUM


1. Penimbangan dan pengenceran kurva baku asam salisilat
125 mg
×1000 ppm=250 ppm
500 ml
Ditimbang 125 mg asam salisilat dan dilarutkan dalam 500 mL NaCl 0,9%
2. Pengenceran baku induk asam salisilat
x mg
 × 250 ppm=5 ppm
50 ml
x = 1 ml
x mg
 × 250 ppm=10 ppm
25 ml
x = 1 ml
x mg
 × 250 ppm=15 ppm
50 ml
x = 3 ml
x mg
 × 250 ppm=20 ppm
25 ml
x = 2 ml
x mg
 × 250 ppm=30 ppm
25 ml
x = 3 ml
x mg
 × 250 ppm=40 ppm
25 ml
x = 4 ml
3. Pembuatan larutan asam salisilat (sampel)
500 mg
×1000 ppm=5000 ppm
100 ml
Ditimbang 500 mg asam salisilat masing-masing dalam CUB dan CLB tanpa
enzim hingga 100 ml.
DAFTAR PUSTAKA

Aulton, M. E. 2002. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design Second Edition 530,
ELBS Fonded by British Government. 499-530.
Banker, G.S., Siepmann, J. and Rhodes, C. eds. 2002. Modern pharmaceutics. CRC Press.
listyaningrum, S.K., Nilasari, H., Effendi, E.H. 2012. Penggunaan Asam Salisilat dalam
Dermatologi. J Indon Med Assoc;62: 277-84.
Lee, K.W., Kim, Y.J., and Lee, C.Y. 2003. Cocoa Has more Phenolik Phytochemical and A
higher Antioxidant Capacity than Teas and Red Wine,J.Agric. Food Chem., 51( 52 ),729
– 7295.
Nila, A., & Halim, M. 2013. Dasar-dasar Farmakologi 2. Kementrian Pendidikan Dan
Kebudayaan, 9–15.
Randjelovic, P., Veljkovic, S., Stojilkovic, N., Sokolovic, D., Ilic, I., Lacetic, D., Randjelovic,
D. 2015. The Beneficial Biological Properties of Salicyclic Acid. Acta Facultatis
Medicae Naissensis, 32(4), 259-265.
Salsabillah, A. N. 2020. Transpor Pasif Melintasi Membran tanpa Mengeluarkan Energi.
Universitas Negeri Jakarta, June.
Wibawa, A. A. P. P. 2016. B i o m e m b r a n.

Anda mungkin juga menyukai