PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada bulan Desember 2013 di Aceh, dilaporkan seorang bayi berusia 34
hari mengalami muntah-muntah, lemas, dan perut kembung akibat kelalaian
perawat ketika memberikan obat. Bayi L awalnya mengalami diare, lalu dokter
menyarankan agar pasien diinfus. Namun, seorang perawat yang notabenenya
masih praktek kerja lapangan di rumah sakit tersebut melakukan kesalahan dengan
memberikan obat ranitidin dan norages kepada bayi tersebut yang harusnya
diberikan kepada pasien lain. Alhasil, bayi L mengalami muntah-muntah, lemas,
dan perut kembung. Kasus tersebut merupakan kesalahan penggunaan obat, yang
termasuk dalam kesalahan pelayanan kesehatan. Dari kasus tersebut, dapat
diketahui bahwa harusnya peran seorang farmasis dalam hal pelayanan obat
sangat besar dan perlu ditingkatkan lagi.
Farmasi berasal dari Bahasa Yunani: pharmakon, yang berarti : obat.
Farmasi mempelajari pengembangan ilmu dan teknologi pembuatan obat dalam
bentuk sediaan yang dapat digunakan untuk menyembuhkan kondisi pasien.
Farmasi meliputi tentang cara membuat, meracik, memformulasi,
mengidentifikasi, mengkombinasi, serta menganalisis obat. Dalam farmasi
terdapat beberapa bidang di antaranya ilmu kimia, matematika, biologi dan fisika.
Farmasi Fisika ini suatu kajian atau cabang ilmu hubungan antara fisika
(sifat-sifat fisika) dengan kefarmasian (sediaan farmasi, farmakokinetik, serta
farmakodinamiknya) yang mempelajari tentang analisis kualitatif serta kuantitatif
senyawa organik dan anorganik yang berhubungan dengan sifat fisikanya serta
menganalisis pembuatan dan pengujian hasil akhir dari sediaan obat. Dengan
adanya perkembangan teknologi, Farmasi Fisika juga dituntut berkembang, bukan
hanya mempelajari teknologi farmasetis, tetapi juga mempelajari terdapat ilmu
yang mempelajari tentang sifat fisiko kimia molekul obat, kinetika dan orde
reaksi, kelarutan dan faktor yang mempengaruhinya, difusi dan disolusi, stabilitas,
system disperse (koloid, emulsi, disperse padat), emulsiflkasi, viskositas juga
kelarutan dan koefisien distribusi.
1
Kelarutan dan koefisien distribusi dari suatu sediaan obat sangat penting
untuk seorang farmasis, sebab hal ini dapat membantu memilih pelarut yang
paling baik untuk obat atau kombinasi obat dan dapat membandingkn larutan apa
saja yang dapat terdispersi pada pelarut yang tidak saling bercampur. Pada suatu
obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga
obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik. Senyawa-
senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna
atau tidak menentu.
Koefisien distribusi dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara
koefisien larutan satu dengan larutan lainnya. Koefisien distribusi adalah
perbandingan konsentrasi senyawa dalam campuran dua fase yang tak larut pada
kesetimbangan. Perbandingan ini merupakan ukuran perbedaan kelarutan senyawa
dalam dua fase tersebut. Oleh karena itu, diharapkan koefisien larutan awal lebih
besar dari koefisien larutan berikutnya.
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat diketahui seberapa pentingnya
kelarutan bagi suatu sediaan obat. Oleh karena itu, pada praktikum ini dilakukan
percobaan kelarutan dan koefisien distribusi untuk mengetahui kelarutan dari
sampel dan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh suhu terhadap kelarutan.
2. Bagaimana menentukan berat residu, zat terlarut, dan konsentrasi dari
Grafaclor.
3. Bagaimana kelarutan Grafaclor.
1.3 Tujuan Percobaan
1. Untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kelarutan.
2. Untuk mengetahui cara menentukan berat residu, zat terlarut, dan
konsentrasi dari Grafaclor.
3. Untuk mengetahui kelarutan Grafaclor.
2
1.4 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini adalah penentuan kelarutan Grafachlor pada pelarut
dengan suhu yang berbeda, dan kemudian disaring, lalu dilakukan pengeringan
menggunakan oven dengan suhu 100°C selama 20 menit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Pengertian kelarutan
Kelarutan juga tergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus
polar dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar
suatu zat makin zat tersebut larut dalam air. Selain itu, penambahan surfaktan
dapat juga ditambahkan zat-zat pembentuk kompleks untuk menaikkan kelarutan
suatu zat. (Tungadi, 2009).
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut.
Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas
daya melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh. Karena suatu larutan jenuh
yang berhubungan dengan kelebihan solut membentuk kesetimbangan dinamik,
maka bila mana sistem tersebut diganggu, efek gangguan tersebut dapat
diramalkan berdasarkan kaidah Le Chatelier. Perubahan temperatur merupakan
salah satu gangguan. Kita tahu bahwa kenaikan temperatur menyebabkan posisi
kesetimbangan bergeser ke arah yang akan mengabsorbsi panas. Karena, kalau
solut tambahan yang ingin melarut dalam larutan jenuh harus mengabsorbsi
energi, maka kelarutan zat tersebut akan bertambah jika temperatur dinaikkan.
Sebaliknya, jika solut tambahan yang dimasukkan ke dalam larutan jenuh
menimbulkan proses eksotermik, maka solut akan menjadi kurang larut jika
temperatur dinaikkan (Martin et al., 1993)
2.1.2 Pengertian larutan
Larutan merupakan campuran homogen yang terdiri dari dua zat atau
lebih. Suatu larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Zat yang
jumlahnya banyak biasanya disebut pelarut, sementara zat yang jumlahnya sedikit
disebut zat terlarut. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja dipilih zat yang lebih sedikit
sebagai pelarut, tergantung pada keperluannya, tetapi di sini akan digunakan
pengertian yang biasa digunakan untuk pelarut dan terlarut. Campuran yang dapat
saling melarutkan satu lama lain dalam segala perbandingan dinamakan larutan
4
„miscible'. Udara merupakan larutan miscible. Jika dua cairan yang tidak
bercampur membentuk dua fasa dinamakan cairan “immiscible” (Fitri
Khoerunnisa 2017).
Suatu larutan mengandung satu zat terlarut atau lebih dari satu pelarut. Zat
terlarut merupakan komponen yang jumlahnya sedikit, seadangkan pelarut adalah
komponen yang terdapat dalam jumlah yang banyak (Achmad, 1996)
Karena larutan merupakan campuran molekul (atom atau ion dalam
beberapa hal), biasanya molekul-molekul pelarut agak berjauhan dalam larutan
dibanding dalam pelarut murni. Jadi, pembentukan larutan dapat dibuat sebagai
proses hipotesis berikut: yang pertama, jarak antara molekul-molekul meningkat
menjadi jarak rata-rata yang ditampilkan dalam suatu larutan. Tahap ini disertai
dengan peningkatan entalpi, reaksinya adalah reaksi endoterm. Dalam proses
tahap endoterm kedua, pemisahan yang sama terhadap molekul-molekul terlarut
pun terjadi. Tahap ketiga dan merupakan tahap terakhir adalah membiarkan
molekul-molekul pelarut dan terlarut untuk bercampur (Petrucci, 1985)
Fase larutan dapat berwujud gas, padat ataupun cair. Larutan gas misalnya
udara. Larutan padat misalnya perunggu, amalgam dan paduan logam yang lain.
Larutan cair misalnya air laut, larutan gula dalam air, dan lain-lain. Komponen
larutan terdiri dari pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute). Pada bagian ini
dibahas larutan cair. Pelarut cair umumnya adalah air. Pelarut cair yang lain
misalnya benzena, kloroform, eter, dan alkohol. Jika pelarutnya bukan air, maka
nama pelarutnya disebutkan. Misalnya larutan garam dalam alkohol disebut
larutan garam dalam alkohol (alkohol disebutkan), tetapi larutan garam dalam air
disebut larutan garam (air tidak disebutkan) (Tungadi, 2009).
2.1.2 Faktor - Faktor kelarutan
Menurut Martin dkk, 1993 Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan
suatu zat padat dalam cairan antara lain :
1. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak
bergerak dan kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat
tersebut menghambur dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah
5
ke atas sistem sehingga mempunyai perbedaan konsentrasi. Pada pengadukan
yang tinggi sistem menjadi turbulent. Gaya sentrifugal dari putaran cairan
mendorong partikel ke arah luar dan atas.
2. pH (keasaman atau kebasaan)
Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan
kelompok asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk
ion yang biasanya larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit
lemah sangat dipengaruhi oleh pH larutan.
3. Suhu
Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat
hubungannya dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan
didefinisikan sebagai banyaknya panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila
satu mol zat terlarut dilarutkan dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan
satu larutan jenuh.
Kenaikan temperatur menaikkan kelarutan zat padat yang mengabsorpsi
panas (proses endotermik) apabila dilarutkan. Pengaruh ini sesuai dengan asas Le
Chatelier, yang mengatakan bahwa sistem cenderung menyesuaikan diri sendiri
dengan cara yang sedemikian rupa sehingga akan melawan suatu tantangan
misalnya kenaikan temperatur. Sebaliknya jika proses pelarutan eksoterm yaitu
jika panas dilepaskan, temperatur larutan dan wadah terasa hangat bila disentuh.
Kelarutan dalam hal ini akan turun dengan naiknya temperatur. Zat padat
umumnya termasuk dalam kelompok senyawa yang menyerap panas apabila
dilarutkan.
4. Komposisi cairan pelarut
Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam
satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (kosolvensi) dan
kombinasi pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven.
5. Ukuran partikel
Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran partikel.
Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat.
6
6. Surfaktan
Pengaruh surfaktan Obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah yang
sukar larut, dapat dilarutkan dengan bantuan kerja dari zat aktif permukaan
dengan menurunkan tegangan permukaan antara zat terlarut dengan mediumnya.
Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan pelarutan obat
tergantung jumlah dan jenis surfaktan yang digunakan. Pada umumnya dengan
adanya penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan
pelarutan bahan obatnya.
7. Pembentukan kompleks
Salah satu faktor yang penting dalam pembentukan kompleks molekular
adalah persyaratan ruang. Jika pendekatan dan asosiasi yang dekat dari molekul
donor dan molekul akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan atau
mungkin berbentuk ikatan hidrogen dan berpengaruh lain harus dipertimbangkan.
Metode ini membuat pentingnya pembentukan kompleks molekular
8. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan
tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar.
2.1.3 Jenis-Jenis Larutan
Menurut Sinala s., (2016), kesetimbangan, larutan dibagi menjadi tiga
yaitu:
1. Larutan jenuh
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan (tepat larut dalam batas kelarutannya) dengan fase
pelarutnya.
2. Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh
Suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi di bawah
konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur
tertentu.
7
3. Larutan lewat jenuh
Suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang
banyak pada suhu tertentu sehingga terdapat zat terlarut yang tidak dapat larut
lagi.
2.1.4 Istilah Kelarutan
Kelarutan dapat didefinisikan dalam istilah kuantitatif sebagai konsentrasi
zat terlarut dalam larutan jenuh pada suhu tertentu dan secara kuantitatif dapat
pula dinyatakan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk
membentuk dispersi molekul yang homogen. Istilah kelarutan dapat dilihat pada
tabel di bawah ini (Ditjen POM, 1979).
8
karena pelarut aprotik, dan dapat membentuk jembatan hidrogen dengan
nonelektrolit.
c.) Pelarut Semipolar
Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu
derajat polaritas tertentu dalam molekul pelarut nonpolar, sehinga menjadi dapat
larut dalam alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan .
2.1.6 Faktor- Faktor Kelarutan
Menurut Martin.dkk (1993), Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan
suatu zat padat dalam cairan antara lain:
1. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak
bergerak dan kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat
tersebut menghambur dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah
ke atas sistem sehingga mempunyai perbedaan konsentrasi.
2. pH (Keasaman atau Kebasaan)
Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan
kelompok asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk
ion yang biasanya larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit
lemah sangat dipengaruhi oleh pH larutan.
3. Suhu
Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat
hubungannya dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan
didefinisikan sebagai banyaknya panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila
satu mol zat terlarut dilarutkan dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan
satu larutan jenuh.
4. Kenaikan Temperatur
Menaikkan kelarutan zat padat yang mengabsorpsi panas (proses
endotermik) apabila dilarutkan. Pengaruh ini sesuai dengan asas Le Chatelier,
yang mengatakan bahwa sistem cenderung menyesuaikan diri sendiri dengan cara
yang sedemikian rupa sehingga akan melawan suatu tantangan misalnya kenaikan
temperatur. Sebaliknya jika proses pelarutan eksoterm yaitu jika panas dilepaskan,
9
temperatur larutan dan wadah terasa hangat bila disentuh. Kelarutan dalam hal ini
akan turun dengan naiknya temperatur. Zat padat umumnya termasuk dalam
kelompok senyawa yang menyerap panas apabila dilarutkan.
5. Komposisi Cairan Pelarut
Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam
satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (kosolvensi) dan
kombinasi pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven.
6. Ukuran Partikel
Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran partikel.
Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat.
7. Surfaktan
Pengaruh surfaktan Obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah yang
sukar larut, dapat dilarutkan dengan bantuan kerja dari zat aktif permukaan
dengan menurunkan tegangan permukaan antara zat terlarut dengan mediumnya.
Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan pelarutan obat
tergantung jumlah dan jenis surfaktan yang digunakan. Pada umumnya dengan
adanya penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan
pelarutan bahan obatnya.
8. Pembentukan Kompleks
Salah satu factor yang penting dalam pembentukan kompleks molekular
adalah persyaratan ruang. Jika pendekatan dan asosiasi yang dekat dari molekul
donor dan molekul akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan atau
mungkin berbentuk ikatan hydrogen dan berpengaruh lain harus dipertimbangkan
metode ini membuat pentingnya pembentukan kompleks molekular.
9. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan
tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar.
2.1.7 Koefisien distribusi
Dalam kimia fisik, suatu koefisien partisi (P) atau koefisien distribusi (D)
adalah perbandingan konsentrasi senyawa dalam campuran dua fase yang tak larut
pada kesetimbangan. Perbandingan ini merupakan ukuran perbedaan kelarutan
10
senyawa dalam dua fase tersebut. Koefisien partisi umumnya mengacu pada
perbandingan konsentrasi spesi senyawa tidak terionisasi sedangkan koefisien
distribusi mengacu pada perbandingan konsentrasi semua spesi senyawa
(terionisasi dan yang tidak terionisasi) (kwon, 2001).
Koefisien distribusi dapat dirumuskan sebagai berikut
C1 Ca
KD = atau KD =
C2 Co
Keterangan
KD = Koefisien distribusi
C1 = konsentrasi solut pada pelarut 1
C2 = konsentrasi solut pada pelarut 2
Ca = konsentrasi solut pada pelarut air
Co = konsentrasi solut pada pelarut organic
11
2.1.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi Koefisien Distribusi
1. Temperatur yang digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi akan semakin cepat sehingga vo-
lumetitrasi menjadi kecil, akibatnya berpengaruh pada nilai k.
2. Jenis Pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap
makaakan mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh juga terhadap
nilai k.
3. Jenis Pelarut
Apabila zat yang akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap
atauhigroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi
zat terlarut tersebut) akibatnya akan berpengaruh pada nilai k.
4. Kosentrasi
Makin besar kosentrasi zat terlarut maka semakin besar pula harga k.
2.3 Uraian Bahan
2.3.1 Alkohol (Dirjen POM, 1995; Rowe, 2009).
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol
Berat Molekul : 46,07 g/mol
Rumus Struktur :
12
Khasiat : Sebagai antiseptik (menghambat pertumbuhan
bakteri)
Kegunaan : Untuk mensterilkan atau membersihkan alat yang
akan digunakan agar terhindar dari cemaran
bakteri
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat terlindungi dari
cahaya, di tempat sejuk, jauh dari nyala api
2.3.2 Aquades (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009).
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Aquades, Air suling
Nama kimia : Dihidrogen monoksida
Rumus molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Rumus Struktur :
13
Pemerian : serbuk hablur, putih sampai praktis putih, tidak
berbau, stabil diudara. Melebur pada suhu kurang
250⁰ disertai peruaraian
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut
dalam aseton, dalam methanol; sukar larut dalam
kloroform; sangat sukar larut dalam eter
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Obat anti pradangan
Khasiat : Memiliki efek imunosupresa
14
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
16
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Hasil Pengamatan
Sampel Gambar Berat Residu Volume Kelarutan
4.2.1 Kelarutan
Diketahui :
c. Volume = 50 mL
Ditanyakan :
a. Berat residu
b. Zat terlarut
c. Konsentrasi
Penyelesaian :
17
1. Suhu Normal
a. Berat residu = Berat kertas saring isi residu – Berat kertas saring kosong
= 1,7521g – 0,9070 g
= 0,8451 g
b. Zat terlarut = berat sampel – Berat residu
= 1 g – 0,8451 g
= 0,1549 g
Zat terlarut
c. Kosentrasi =
Volume
0,1549
=
26 mL
= 0,0059 g/mL
2. Suhu Panas
a. Berat residu = Berat kertas saring isi residu – Berat kertas saring kosong
= 1,8721g – 0,9070 g
= 0,9651 g
d. Zat terlarut = berat sampel – Berat residu
= 1 g – 0,9651 g
= 0,344 g
Zat terlarut
e. Kosentrasi =
Volume
0,0344
=
24 mL
= 0,0014 g/mL
4.2.1 Koefisien Distribusi
1. Tanpa Minyak
N titran x V titran x BE
% kadar tanpa minyak = x 100%
B sampel x 1000
0,1 N x 1,5 mL x 40
= x 100%
0,1 gram x 1000
6
= x 100%
100
= 6%
18
2. Dengan Minyak
N titran x V titran x BE
% kadar dengan minyak = x 100%
B sampel x 1000
0,1 N x 1, 0 mL x 40
= x 100%
0,1 gram x 1000
4
= x 100%
100
= 4%
3. Koefisien Fase Minyak = % kadar dengan minyak - % kadar tanpa minyak
=4%-6%
= -2 %
koefisien fase minyak
4. Korfisien Distribusi =
% kadar tanpa minyak
-2 %
=
6%
= -0,3
19
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan kelarutan dan koefisien
distribusi dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kelarutan, cara
menentukan berat residu, zat terlarut, dan konsentrasi dari Grafaclor, serta untuk
mengetahui kelarutan dari garfaclor. Kelarutan merupakan banyaknya mol zat
terlarut dalam tiap liter larutan. Menurut Sinko (2014), kelarutan didefinisikan
sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, dan
secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua zat atau lebih
untuk membentuk dispersi molekuler homogen.
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan kelarutan dan
koefisien distribusi. Kelarutan untuk mengetahui pengaruh suhu normal
dan suhu tinggi pada sampel obat grafaclor serta mengetahui prinsip dan
faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan dan koefisien distribusi
Pada percobaan ini menggunakan obat grafachlor. Grafachlor
adalah obat kombinasi kortikosteroid Dexamethason dan antihistamin
Dexchlorpheniramin. Obat ini memiliki efek antiinflamasi, antialergi, dan
antihistamin. Grafachlor digunakan untuk mengobati kasus-kasus alergi
dan inflamasi yang membutuhkan terapi dengan kortikosteroid, seperti
gatal-gatal pada kulit, dermatitis (eksim), reaksi alergi obat, rhinitis alergi,
asma, dan lain-lain.
Adapun langkah pertama yang dilakukan dalam percobaan ini
disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Alat yang digunakan yaitu,
batang pengaduk, cawan porselin, corong, gelas kaca, gelas ukur, lumpang
dan alu, neraca analitik, oven, penangas air, pipet tetes, spatula, dan sudip.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, aquades,
aluminium foil, grafachlor, kertas perkamen, kertas saring, dan tisu.
Setelah itu dibersihkan alat yang akan digunakan dengan alkohol 70%
untuk membersihkan alat dari mikroorganisme atau bakteri. Menurut Laila
(2020), etanol 70% mempunyai efek disinfektsi bakteri yang paling kuat
20
sehingga mampu membunuh bakteri-bakteri yang terdapat pada alat yang
akan digunakan. Saat alkohol dengan konsentrasi 70% mengenai kuman,
maka alkohol akan menembus sepenuhnya kedalam sel dan membuat
kuman atau bakteri mati, untuk mencegah terjadi infeksi atau pencemaran
oleh mikroorganisme atau membasmi kuman penyakit.
Digerus grafachlor hingga halus kemudian ditimbang sebanyak 1 gram
menggunakan neraca analitik. Menurut Junghanns et al., (2008), Kelarutan sangat
erat hubunganya dengan ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, maka
semakin besar luas permukaan sehingga kemungkinan partikel tersolvasi semakin
besar pula. Penurunan ukuran partikel menjadi kurang dari 1m dipercaya dapat
lebih meningkatkan tekanan solvasi dan menimbulkan gangguan interaksi pada
zat terlarut yang memudahkan proses kelarutan. Sehingga dilakukan penggerusan
untuk memperkecil ukuran partikel dari sampel dan membantu dalam proses
penyaringan nanti dalam kelarutan sampel tersebut. Menurut Rizki Sindi (2017),
Neraca analitik merupakan alat yang digunakan untuk menimbang dan
mengetahui massa suatu bahan yang mempunyai ketelitian yang sangat tinggi
hingga empat angka dibelakang koma dibandingkan dengan neraca ohaus menurut
Tini Wati (2016), Neraca ohaus adalah neraca yang berguna untuk mengukur
massa benda atau logam dalam praktek laboratorium. Batas ketelitian neraca
ohauss yaitu 0,1 gram. Tingkat ketelitian pada neraca analitik yang sangat tinggi
menjadi alasan yang tepat bahwa neraca analitik lebih baik digunakan daripada
neraca ohaus yang tingkat ketelitannya hanya satu angka dibelakang koma.
Diukur masing masing aquadest sebanyak 30 mL menggunakan gelas ukur
dan dimasukan aquadest ke dalam penangas air dan panaskan. Tujuan pemanasan
menurut Ginting dkk (2019), Suatu zat padat akan lebih larut dalam pelarut panas
dibandingkan dengan pelarut dingin karena partikel pada suhu tinggi bergerak
lebih cepat dibandingkan pada suhu rendah.
21
kelarutan sampel pada suhu yang berbeda. Semakin tinggi suhu pelarut,
maka akan semakin cepat proses melarutnya suatu zat terlarut dalam
pelarut, begitupun sebaliknya. Menurut Sri Winarti (2008), kontak antara
zat terlarut dengan zat pelarut menjadi lebih efektif hal ini menyebabkan
zat terlarut menjadi lebih mudah larut pada suhu tinggi. Sampel yang telah
dimasukkan ke dalam gelas berisi pelarut selanjutnya diaduk untuk
mempercepat proses melarutnya sampel tersebut. Menurut Nurul (2016),
pengadukan merupakan suatu cara yang dapat dilakukan agar proses
pelarutan berjalan lebih cepat, hal ini pula yang menyebabkan tumbukan
antar partikel sampel menjadi lebih cepat, sehingga mempercepat proses
pelarutan.
Ditimbang kertas saring kosong menggunakan neraca analitik, lalu
jenuhkan. Menurut Glitter (2019), tujuan penjenuhan dilakukan yaitu
untuk mengoptimalkan proses pengembangan fase gerak, memperkecil
penguapan pelarut dan menghasilka bercak lebih bundar dan lebih baik
Penggunaan kertas saring berfungsi untuk membantu proses
penyaringan,dalam hal ini untuk memisahkan antar zat pada dengan zat cair dalam
suatu campuran. Menurut Mana (2017), kertas saring adalah suat kertas yang
umum digunakan memisahkan zat padat dari cairan.
Disaring larutan hingga tersisa residu kemudian dimasukkan residu
kedalam oven pada suhu 1000C selama 20 menit untuk dikeringkan. Menurut Vera
dkk (2018), pengeringan menggunakan oven secara efektif dapat mengurangi
kadar air yang terdapat pada sampel yang akan dikeringkan. Menurut Bernard et
al (2014), pengeringan menggunkan dengan oven menggunkan suhu yang lebih
tinggi dari pengeringan dengan sinar matahari dan kering angin serta dalam waktu
yang lebih singkat akan mempercepat proses inaktivasi enzim polifenol oksidase
sehingga proses pengeringan menjadi lebih tingggi.
Sampel yang sudah dikeringkan selanjutnya ditimbang kembali
menggunakan neraca analitik untuk mengetahui berat sampel setelah
dipanaskan dengan oven. Penimabangan kembali sampel yang sudah
dikeringkan ini bertujuan untuk mengetahui berat kertas saring berisi
22
sampel yang sudah tidak terdapat kadar air.
Berdasarkan percobaan dan perhitungan yang telah dilakukan,
dapat diketahui berat residu Grafachlor pada suhu normal sebesar 0,845 g,
zat terlarut sebesar 0,154 g, dan konsentrasi sebesar 0,0059 g/mL.
Sedangkan pada suhu panas, berat residu grafachlor sebesar 0,5965 g, zat
terlarut sebesar 0,344 g, dan konsentrasi sebesar 0,0014 g/mL.
Adapun kemungkinan kesalahan yang terjadi dalam percobaan ini
yaitu kurang teliti dalam penimbangan sampel dan penyaringan larutan
sampel sehingga mempengaruhi berat residu, zat terlarut, serta konsentrasi
yang dihasilkan pada masing-masing suhu.
23
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
24
praktikan.
25