Anda di halaman 1dari 19

PRAKTIKUM 3

KELARUTAN – PENGARUH SURFAKTAN

I. Tujuan Praktikum
a. Menentukan kelarutan suatu zat secara kuantitatif
b. Menjelaskan pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat

II. Dasar Teori


Kelarutan adalah jumlah zat yang terlarut pada waktu berada dalam
keseimbangan dengan bagian padat pada suhu tertentu. Kelarutan mempunyai
peranan yang sangat penting dalam dunia farmasi karena suatu obat baru dapat
diabsorbsi setelah zat aktifnya terlarut dalam cairan usus, sehingga salah satu usaha
mempertinggi efek farmakologi dari sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat
aktifnya. Selain itu dapat membantu para ahli farmasi dalam membantunya memilih
medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, dapat membantu
mengatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan
farmasetis dan lebih jauh lagi dapat bertindak sebagai standar uji kemurnian,
pengetahuan yang lebih mendetail mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang
berhubungan dengan itu juga memberikan informasi mengenai struktur obat dan gaya
antarmolekul obat. Kelarutan dari suatu senyawa bergantung pada sifat kimia dan
fisika zat terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan, pH
dan untuk jumlah yang lebih kecil bergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Dalam
percobaan ini akan dilakukan uji kelarutan asam benzoat dan asam borat dalam
pelarut air.
Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah solut yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah solven. Pada suatu temperatur
tertentu suatu larutan jenuh yang bercampur dengan solut yang tidak terlarut
merupakan contoh lain dari keadaan kesetimbangan dinamik (Moechtar, 1989).
Karena suatu larutan jenuh yang berhubungan dengan kelebihan solut
membentuk kesetimbangan dinamik, maka bilamana sistem tersebut diganggu, efek
gangguan tersebut dapat diramalkan berdasarkan kaidah Le Chatelier. Kita tahu
bahwa kenaikan temperatur menyebabkan posisi kesetimbangan bergeser ke arah
yang akan mengabsorbsi panas. Karena, kalau solut tambahan yang ingin melarut
dalam larutan jenuh harus mengabsorbsi energi, maka larutan zat tersebut akan
bertambah jika temperatur dinaikkan. Sebaliknya, jika solut tambahan yang
dimasukkan ke dalam larutan jenuh menimbulkan proses eksotermik, maka solut akan
menjadi kurang larut jika temperatur dinaikkan (Moechtar, 1989).
Pada umumnya, kelarutan kebanyakan zat padat dan zat cair dalam solven
cair bertambah dengan naiknya temperatur. Untuk gas dalam zat cair, kelakuan yang
sebaliknya terjadi. Proses larut untuk gas dalam zat cair hampir selalu bersifat
eksotermik, sebab partikel-partikel solut telah terpisah satu sama lain dan efek panas
yang dominan akan timbul akibat solvasi yang terjadi bilamana gas larut. Kaidah Le
Chatelier meramalkan bahwa kenaikan temperatur akan mengakibatkan perubahan
endotermik, yang untuk gas terjadi bilamana ia meninggalkan larutan. Oleh karen a
itu, gas-gas menjadi kurang larut jika temperatur zat cair di mana gas dilarutkan
menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, mendidihkan air. Gelembung-gelembung kecil
tampak pada permukaan panci sebelum pendidihan terjadi. Gelembung-gelembung
tersebut mengandung udara yang diusir dari larutan jika air menjadi panas. Kita juga
menggunakan kelakukan kelarutan gas yang umum bilamana kita menyimpan botol
yang berisi minuman yang diberi CO2 dalam almari es dalam keadaan terbuka.
Cairan tersebut akan menahan CO2 yang terlarut lebih lama bilamana ia dijaga tetap
dingin, sebab CO2 lebih larut pada temperatur-temperatur rendah. Lain contoh dari
phenomenon ini adalah gas-gas yang terlarut dalam air mengalir dalam telaga-telaga
dan dalam sungai-sungai. Kadar oksigen yang terlarut, yang merupakan keharusan
bagi kehidupan marine, berkurang dalam bulan-bulan dimusim panas, dibanding
dengan kadar oksigen selama musim dingin (Moechtar, 1989).
Aksi pelarut dari cairan nonpolar, seperti hidrokarbon berbeda dengan zat
polar. Pelarut non polar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion
elektrolit lemah dan kuat, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Sedangkan
pelarut polar dapat melarutkan zat terlarut nonpolar dengan tekanan yang sama
melalui interaski dipole induksi (Martin , 1993).
Larutan terjadi apabila suatu zat padat bersinggungan dengan suatu cairan,
maka zat padat tadi terbagi secara molekular dalam cairan tersebut. Kelarutan suatu
zat tergantung atas dua faktor, yaitu luasnya permukaan dan kecepatan difusi.
Umumnya zat dengan molekul besar, kecepatan kecil dibanding dengan zat yang
molekulnya dengan penggerusan kristal sampai halus, akan memperluas permukaan
sedangkan dengan pemanasan tidak hanya kelarutanya bertambah tetapi juga
menaikkan kecepatan difusi (Martin, 1993).
Jika suatu larutan ditempatkan terpisah dari suatu contoh pelarut murni yang
digunakan dalam larutan itu hanya oleh suatu dinding berpori yang dapat dilewati
oleh molekul pelarut tetapi tidak oleh molekul zat terlarut, maka molekul-molekul
pelarut akan berpindah kedalam larutan kearah menyamakan konsentrasi larutan
pada kedua sisi dinding pemisah. Dinding pemisah yang bersifat seperti itu disebut
membran semipermeabel (semipermeable membrane). (Martin, 1990)
Kekuatan tarik menarik antara atom-atom menyebabkan pembentukan
molekul ion. Kekuatan dari suatu intramolekuler yang berkembang diantara molekul-
molekul seperti itu, menentukan keadaan fisik bahan (yaitu padat, cair atau gas) pada
kondisi tertentu seperti suhu dan tekanan.Pada kondisi biasa kebanyakan senyawa
organik, jadi juga kebanyakan zat obat, berbentuk molekul suatu zat padat (Howard,
1990).
Apabila molekul-molekul saling mempengaruhi maka terjadi gaya tarik
menarik. Menyebabkan molekul-molekul bersatu, sedangkan gaya tolak menolak
mencegah terjadinya interpenetrasi dan dekstruksi molekuler. Bila gaya tarik menarik
dan tolak menolak sama maka energi potensial diantara dua molekul adalah minimum
dan sistem itu paling stabil (Howard, 1990).
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi
maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu
pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya
melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh. Agar supaya diperhatikan berbagai
akan kemungkinan kelarutan diantara dua macam bahan kimia yang menentukan
jumlah masing-masing yang diperlukan untuk membuat larutan jenuh, disebutkan dua
contoh bahan sediaan resmi larutan jenuh dalam air, yaitu larutan Tropikal Kalsium
Hidroksida, USP (Calcium Hydroxide Tropical Solution, USP), dan larutan Oral
Kalium Iodida, USP (Potasium Iodide Solution, USP) (Howard, 1990).
Menurut metode kelarutan, sejumlah besar obat ditempatkan dalam wadah
yang tertutup baik, bersama-sama dengan larutan zat pengompleks dalam berbagai
konsentrasi dan botol dikocok dalam bak pada temperatur konstan sampai tercapai
kesetimbangan. Cairan supernatan dalam porsi yang cukup diambil dan dianalisis
(Alfred, 1990).
Higuchi dan Lach menggunakan metode kelarutan untuk menyelidiki
kompleksasi dari p-amino asam benzoat (PABA) oleh kafeina. Hasil diplot seperti
pada gambar dimana titik A garis memotong sumbu tegak adalah kelarutan obat
dalam air. Dengan penambahan kafeina, kelarutan p-amino asam benzoat naik secara
linear disebabkan karena kompleksasi. Pada titik B, larutan dijenuhkan terhadap
kompleks dan obat itu sendiri. Kompleks terus terbentuk dan mengendap dari sistem
jenuh apabila semakin banyak kafeina ditambahkan. Pada titik C, semua kelebihan
zat padat PABA telah masuk dalam larutan dan telah diubah menjadi kompleks
(Alfred, 1990).
Suatu zat dapat melarut dalam pelarut tertentu, tetapi jumlahnya selalu
terbatas, batas itu disebut kelarutan. Kelarutan adalah jumlah zat terlarut yang dapat
larut dalam sejumlah pelarut pada suhu tertentu sampai membentuk larutan jenuh
(Esteien Y, 2005).
Kelarutan untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam
pengertian umumkadang-kadang perlu digunakan tanpa mengindahkan perubahan
kimia yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam
bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20 C dan kecuali dinyatakan lain
menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau satu bagian volume zat cair larut
dalam bagian tertentu volume pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka
adalah kelarutan pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh
menunjukkan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran
debu. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa 1 g zat padat atau 1ml zat cair
dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan suatu zaat tidak diketahui dengan pasti,
kelarutannya dapat ditunjukkan dengan istilah (Ditjen POM, 1979).
Jumlah bagian pelarut diperlukan
Istilah kelarutan
untuk melarutkan 1 bagian zat

Sangat mudah larut Kurang dari 1

Mudah larut 1 sampai 10

Larut 10 sampai 30

Agak sukar larut 30 sampai 100

Sukar larut 100 sampai 1000

Sangat sukar larut 1000 sampai10.000


Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

Faktor yang mempengaruhi kelarutan


 Sifat dari solute dan solvent
Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan substansi polar
lainnya. Substansi nonpolar cenderung untuk miscible dengan substansi nonpolar
lainnya, dan tidak miscible dengan substansi polar lainnya Sifat pelarut
(Sukardjo, 1977)
 pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak mudah
terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin sukar larut, sedangkan
semakin besar pKa maka suatu zat akan akan mudah larut (Lund, 1994).
 Suhu
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses melarutnya
melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan menurunkan
kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran panas/kalor (reaksi
eksotermik) (Lund, 1994).
 Solution aditif.
 Additivies baik dapat meningkatkan atau mengurangi kelarutan zat terlarut dalam
pelarut tertentu (Lund, 1994).
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik
dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan
minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena
sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan
air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian
polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini
yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air
dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase
air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai
alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus
hidroksil.
Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya.
Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut
akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan
permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase
kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih dominan, maka
molekul molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak
dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah
sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan
melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi
terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan
permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan
permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan
terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya
(Genaro, 1990).
Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti linier
alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil etoksilat
sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi
limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu, minyak bumi yang digunakan
merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang
menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan
berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui
Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat
asam lemak rantai panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation.
Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan
garam alkil dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam
lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina,
dialkanol amina dan alkil amina oksida
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif
dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
Uraian Bahan

 Tween 80

Zat Tween 80 (Polysorbate 80)

Atlas E; Armotan PMO 20; Capmul POE-O; Cremophor


PS 80; Crillet 4; Crillet 50; Drewmulse POE-SMO;
Drewpone 80K; Durfax 80; Durfax 80K;E433;Emrite
6120; Eumulgin SMO; Glycosperse O-20;Hodag PSMO-

Sinonim 20;Liposorb O-20;Liposorb O-20K; Montanox 80;


polyoxyethylene 20 oleate; polysorbatum 80; Protasorb
O-20;Ritabate 80;(Z)-sorbitan mono-9-octadecenoate
poly (oxy1,2-ethanediyl) derivatives; Tego SMO 80; Tego
SMO 80V; Tween 80.
(HOPE 6th 2009, hal. 550)

Struktur

(HOPE 6th 2009, hal. 549)

Rumus molekul C64H124O26. (HOPE 6th 2009, hal. 549)

Titik lebur -

Polisorbat memiliki bau yang khas dan hangat, rasanya agak


Pemerian pahit. Warna dan bentuk fisik pada 250C adalah cairan
minyak berwarna kuning. (HOPE 6th 2009, hal. 550)
Kelarutan Sangat mudah larut dalam air; larut dalam etanol; tidak larut
dalam minyak mineral. (HOPE 6th 2009, hal. 551)
Stabil pada elektrolit, asam lemah,dan basa lemah. (HOPE
Stabilitas
6th 2009, hal. 551)

Perubahan warna dan atau pengendapan terjadi dengan


berbagai zat, khususnya fenol, tanin, tar, dan bahan tarlike.
Inkompabilitas
Aktivitas antimikroba pengawet paraben berkurang dengan
adanya polisorbat. (HOPE 6th 2009, hal. 551)

Wadah tertutup rapat terlindung dari cahaya, sejuk dan


Penyimpanan
kering. (HOPE 6th 2009, hal. 551)

1-15% sebagai emulgator tipe o/w. (HOPE 6th 2009, hal.


Kadar 550)
penggunaan
HLB : 15,0

 Asam Benzoat ( BM : 122,12) (HOPE 6th; hal 61 – 63)


Zat Asam Benzoat
Sinonim Acidum benzoicum, Benzenecarboxylic acid,
Benzeneformic
acid, Carboxybenzene.
Struktur

Rumus molekul C7H6O2


Titik leleh 122 º C
Pemerian Berbulu, terang, kristal atau serbuk putih atau tidak
berwarna. Pada dasarnya tidak berasa dan tidak berbau, atau
dengan sedikit bau khas sifat dari kapur barus.
Kelarutan Kelarutan asam benzoat dipertinggi dengan penambahan
asam sitrat atau sodium asetat ke larutan.
Dengan air 1 : 300, aseton 1 : 2.3 , kloroform 1 : 4.5 , etanol
1 : 2.7 pada suhu 150C, eter 1 : 3
Data fisik Titik didih : 249.20C
Stabilitas Larutan asam benzoat bisa disterilkan dengan autoklaf atau
filtrasi. Larutan asam benzoat stabil pada sekitar 8 minggu
ketika disimpan di botol polivinil klorida pada suhu
ruangan. Bagian terpenting harus disimpan pada wadah
tertutup baik, dingin, dan kering.
Inkompatibilitas Melalui reaksi khas dari asam organik, seperti dengan alkali
atau logam berat. Aktivitas bahan pengawet bisa berkurang
dengan interaksi kaolin.
Titik didih 249.2 º C
Kegunaan Bahan pengawet, antijamur untuk sediaan topikal seperti
salep
Kadar kegunaan Topical preparation : 0.1-0.2%

III. Alat dan Bahan


a. Alat
 Mixer  Gelas kimia
 Batang pengaduk  Corong
 Kaca arloji  Buret
 Timbangan analitik  Erlenmayer
 Gelas ukur
b. Bahan
 Aquadest  Phenolftalein
 Kertas saring  NaOH
 Asam benzoat  Tween 80

IV. Prosedur Kerja


1. Dibuatlah larutan dengan komposisi berikut dalam gelas kimia :
Bahan W1 W2 W3 W4 W5
Air (ml) 20 20 20 20 20
Tween 80 (g) 0,2 0,4 0,6 0,8 1

2. Diaduk sampai homogen. Masing-masing gelas kimia diberi label.


3. Ditambahkan asam benzoat sedikit demi sedikit ke dalam masing-masing
larutan hingga diperoleh larutan yang jenuh.
4. Dikocok larutan dengan mixer selama beberapa menit. Jika ada endapan yang
larut selama pengocokan, tambahkan lagi asam benzoat sampai diperoleh
larutan yang jenuh kembali.
5. Larutan disaring menggunakan corong dan kertas saring.
6. Tentukan kadar asam benzoate yang terlarut dalam masing-masing larutan
dengan cara titrasi sebagai berikut. Pipet 5 ml larutan zat, tambahkan ke
dalamnya 3 tetes indicator fenolftaleinlalu dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai
timbul warna merah muda. Dilakukan penetapan duplo.
7. Dibuatlah kurva antara kelarutan asam benzoat dengan konsentrasi tween 80
yang digunakan.
V. Hasil Pengamatan
 Pembakuan asam oksalat
asam oksalat yang ditimbang :
N=

0,1 =

m= = 0,3154 gram

 Standarisasi NaOH
V1 = 11 ml
V2 = 10,9 ml
V3 = 11,2 ml
VNaOH NNaOH = Vas.oksalat Nas.oksalat

NNaOH =

NNaOH =

= 0,0906 N

 Titrasi asam benzoat


1. Konsentrasi tween 80 = 0,2 ⁄
V1 = 0,35
V1 N1 = V2 N2
0,35 0,0906 = 5 N2
N2 = 0,006342 N

2. Konsentrasi tween 80 = 0,4 ⁄


V1 = 0,4
V1 N1 = V2 N2
0,4 0,0906 = 5 N2
N2 = 0,007248 N
3. Konsentrasi tween 80 = 0,6 ⁄
V1 = 0,45
V1 N1 = V2 N2
0,45 0,0906 = 5 N2
N2 = 0,008154 N

4. Konsentrasi tween 80 = 0,8 ⁄


V1 = 0,6
V1 N1 = V2 N2
0,6 0,0906 = 5 N2
N2 = 0,010872 N

5. Konsentrasi tween 80 = 1 ⁄
V1 = 0,7
V1 N1 = V2 N2
0,7 0,0906 = 5 N2
N2 = 0,012684 N

 Tabel perbandingan konsentrasi kelarutan asam benzoat dengan tween 80

Bahan W1 W2 W3 W4 W5
Air (ml) 20 20 20 20 20
Tween 80 (gr ) 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
V titrasi (ml) 0.35 0.4 0.45 0.6 0.7
 Kurva perbandingan konsentrasi

Grafik Peningkatan ml Titrasi


0.8
0.7
Volume NaOH (ml) 0.6
0.5
0.4
0.3 Peningkatan ml Titrasi

0.2
0.1
0
0.2 0.4 0.6 0.8 1 Konsetrasi Tween 80 (gram)

VI. Pembahasan

Sebagaimana halnya pelarut campur, pada percobaan ini pun kita akan
melihat pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan zat. Kelarutan zat yang
dimaksud dalam percobaan ini adalah Asam benzoat pada pelarut air dengan
menambahkan surfaktan yakni Tween 80. Masing-masing konsentrasi Tween 80
telah ditentukan konsentrasinya, yakni 0,2gram : 0,4 gram : 0,6 gram : 0,8 gram: 1
gram dalam 20 ml air. Pencampuran antara air dan Tween 80 tersebut dilakukan
pada gelas kimia yang masing-masing telah diberi label. Kemudian, dilarutkan
asam benzoat sedikit demi sedikit ke dalam masing-masing gelas kimia tersebut.
Lalu, dikocok larutan dengan menggunakan mixer selama beberapa menit, jika ada
endapan yang larut selama pengocokan maka asam benzoat tersebut ditambahkan
lagi sampai didapat larutan yang jenuh kembali. Larutan yang telah jenuh tersebut
di saring dengan corong plastik dan kertas saring. Hasil filtrasi tersebut di titrasi
sedangkan residu dibuang.
Filtrat yang telah didapat kemudian dititrasi, dengan cara larutan basa yang
akan diteteskan (titran) dimasukkan ke dalam buret (pipa panjang berskala) dan
jumlah yang terpakai dapat diketahui dari tinggi sebelum dan sesudah titrasi.
Larutan asam yang dititrasi dimasukkan kedalam gelas kimia (erlenmeyer) dengan
mengukur volumenya terlebih dahulu dengan memakai pipet ukur. Untuk
mengamati titik ekivalen, dipakai indikator yang warnanya disekitar titik ekivalen.
Dalam titrasi yang diamati adalah titik akhir bukan titik ekivalen. Cara ini
digunakan sebagaimana teori (syukri, 1999). Kemudian pada titrasi percobaan ini
digunakan filtrat masing-masing sebanyak 5ml dan NaOH 0,1 M sebagai larutan
basa yang banyaknya sebagaimana telah diketahui dan tertera pada hasil
pengamatan.
Titrasi diberhentikan setelah terjadi perubahan warna yaitu warna merah
muda. Sebagaimana dalam teori disebutkan bahwa Pada proses titrasi ini digunakan
suatu indikator yaitu suatu zat yang ditambahkan sampai seluruh reaksi selesai yang
dinyatakan dengan perubahan warna. Perubahan warna menandakan telah
tercapainya titik akhir titrasi (Brady, 1999)
Dari hasil titrasi ini kita dapat menghitung konsentrasi Asam benzoat, yaitu
dengan menghitungnya menggunakan rumus :
V1 x M1 = V2 x M2
Dari masing-masing konsentrasi Asam Benzoat dan konsentrasi Tween 80 yang
digunakan maka dapat disimpulkan bahwa semakin banyak konsentrasi Tween 80
yang digunakan maka konsentrasi Asam benzoat semakin banyak yang didapatkan.
Jadi, penambahan surfaktan dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat. Penambahan
surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan.
Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan konstan walaupun
konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi
konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk misel.
Dalam praktikum kali ini, digunakan suatu surfaktan dari golongan
nonionik yaitu tween 80 dengan konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi yang
berbeda tersebut ditujukan untuk mengetahui peningkatan konsentrasi asam
benzoat yang terlarut dalam konsentrasi yang berbeda-beda tersebut. Dalam
praktikum kelarutan yang dipengaruhi surfaktan ini, fungsi surfaktan dalam
kelarutan memiliki andil yang cukup besar, ada beberapa mekanisme kerja
surfaktan yang akan dijelaskan, yaitu sebagai berikut :
Mekanisme Kerja Surfaktan
Pada aplikasinya sebagai bahan pembersih untuk material kain, tanah dan
sejenisnya, surfaktan dapat bekerja melalui tiga cara yang berbeda, yakni roll up,
emulsifikasi dan solubilisasi.
a. Roll up
Pada mekanisme ini, surfaktan bekerja dengan menurunkan tegangan
antarmuka antara minyak dengan kain atau material lain yang terjadi dalam
larutan berair.
b. Emulsifikasi
Pada mekanisme ini surfaktan menurunkan tegangan antarmuka minyak-larutan
dan menyebabkan proses emulsifikasi terjadi.
c. Solubilisasi
Melalui interaksi dengan misel dari surfaktan dalam air (pelarut), senyawa
secara simultan terlarut dan membentuk larutan yang stabil dan jernih.
Dari penjabaran diatas mekanisme kerja surfaktan yang berkaitan dengan
kelarutan zat dalam pelarut (air) yang dicampur dengan surfaktan adalah
mekanisme kerja yang ke 3 yakni solubilisasi.
Dalam praktikum, titrasi tidak dilakukan duplo karena pada titrasi pertama
telah ditemukan peningkatan konsentrasi asam benzoat. Dari hasil pengamatan
didapatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan (tween), maka semakin
tinggi pula volume petitrat (NaOH) untuk mencapai volume titik akhir titrasi
(TAT) hal ini dikarenakan asam benzoat yang terlarut semakin banyak.
VII. Kesimpulan

 Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah solut yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah solven.
 Kelarutan suatu zat tergantung atas dua faktor, yaitu luasnya permukaan dan
kecepatan difusi.
 Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi
maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu
pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya
melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh.
 Kelarutan diantara dua macam bahan kimia yang menentukan jumlah masing-
masing yang diperlukan untuk membuat larutan jenuh
 Semakin banyak konsentrasi Tween 80 yang digunakan maka semakin banyak
didapatkan konsentrasi Asam benzoat.
 penambahan surfaktan dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat. Penambahan
surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan
larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan
ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi
membentuk misel.
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, Jakarta : Depkes.

Dirjen POM, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Jakarta :Depkes.

Estien Y, 2005. “Kimia Fisika Untuk Paramedis”, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Moechtar, 1989, Farmasi Fisika, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ansel C. Howard, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Jakarta : Universitas Indonesia

Press.

Martin, Alfred, 1990, Farmasi Fisika Edisi I, Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Rosenberg. 1992. “Kimia Dasar”. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Underwood, A,L., (1993), Analisa kimia Kuantitatif, Penerbit Erlangga, Surabaya

Rowe, Raymond C.,dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th ed.London:

Pharmaceutical Press.

Tungadi, Robert. (2009).“Penuntun Praktikum Farmasi Fisika“. Jurusan FarmasiUniversitas

Negeri Gorontalo. Gorontalo

Atkins' Physical Chemistry, 7th Ed. by Julio De Paula, P.W. Atkins

Syukri, S. 1999. Kimia Dasar. Bandung : Penerbit ITB.

Adamson, A.W., 1982., Physical chemistry of surface., A wiley-Interscience Publication, USA.

Anda mungkin juga menyukai