Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan tentang kelarutan dan fenomena distribusi dari suatu sediaan obat
sangat penting untuk seorang farmasis, sebab hal ini dapat membantu memilih
medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat. Fenomena
distribusi adalah suatu fenomena dimana suatu senyawa terdistribusi ke dalam
senyawa yang tidak saling bercampur, dimana hal ini bergantung pada interaksi fisika
dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut. Kelarutan suatu zat dinyatakan
sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan
tertentu. Kelarutan dinyatakan dalam mililiter pelarut yang dapat melarutkan suatu
gram zat, pelepasan zat dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat
fisika dan kimia zat-zat tersebut serta formulasinya (Martin, 1990).
Daya kelarutan suatu zat memegang peranan penting dalam formulasi suatu
obat.Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang ditemukan saat ini bersifat
hidrofobik.Kegunaan klinik dari obat-obatan hidrofobik menjadi tidak efisien dengan
rendahnya daya kelarutan, dimana akan mengakibatkan kecilnya penetrasi obat
tersebut di dalam tubuh. Kelarutan suatu zat berkhasiat yang kurang dari 1 mg/mL
mempunyai tingkat disolusi yang kecil karena kelarutan suatu obat dengan tingkat
disolusi obat tersebut sangat berkaitan.
Untuk menentukan suatu jenis pelarut, harus mengetahui sifat polaritas dari zat
terlarut tersebut. Dalam farmasi fisika, ada istilah yang disebut dengan like dissolve
like, maksud dari istilah ini adalah suatu kelarutan bergantung pada pengaruh kimia,
listrik, struktur yang menyebabkan interaksi timbal balik zat pelarut dan zat terlarut.
Untuk melarutkan suatu zat, sering juga ditemukan zat-zat pelarut yang tidak
saling bercampur. Dalam sistem dua cairan yang tidak saling bercampur, dapat
berlaku hukum distribusi. Hukum ini menyatakan bahwa, jika jika kedalam sistem
dua cairan tidak saling bercampur ditambahkan senyawa ketiga, maka senyawa ini
akan terdistribusi masuk ke dalam dua cairan tersebut. Hukum ini digunakan hanya
untuk konsentrasi zat yang umum pada kedua fase, yaitu monomer atau molekul
sederhana dari zat.
Dalam praktikum kali ini, akan dilakukan percobaan untuk menentukan
kelarutan dan koefisien distribusi dengan menggunakan sampel asam borat dan asam
salisilat sebagai zat terlarut serta air dan paraffin cair sebagai pelarut.
1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
1.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan dan koefisien distribusi
zat padat dalam pelarut air dan paraffin cair pada berbagai suhu.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Menentukan perbandingan kelarutan dan koefisien distribusi dari asam borat
dan asam salisilat dalam pelarut air pada suhu kamar dan 450C serta pelarut paraffin
cair..
1.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan dari asam borat dan asam salisilat pada suhu kamar dan
450C dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan dan menimbang residu zat
yang tidak larut dan penentuan koefisien distribusi asam borat dan asam salisilat
dalam pelarut air dan paraffin cair berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat
dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur yang dititrasi dengan larutan baku
NaOH 0,0979 N yang ditandai dengan perubahan warna dari tidak berwarna menjadi
merah muda dengan bantuan indikator fenoftalein.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar teori
2.1.1 Larutan
Larutan adalah campuran yang bersifat homogen antara molekul, atom
ataupun ion dari dua zat atau lebih. Disebut campuran karena susunannya atau
komposisinya dapat berubah. Disebut homogen karena susunanya begitu seragam
sehingga tidak dapat diamati adanya bagian-bagian yang berlainan, bahkan dengan
mikroskop optis sekalipun (Tungadi, 2009).
Larutan jenuh adalah suatu larutan yang zat terlarutnya berada dalam
kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut) (Sinko, 2005).
Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah suatu larutan yang mengandung
zat trlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada
temperature tertentu (Martin, 1990).
Larutan lewat jenuh adalah suatu laruta yang mengandung zat terlarut dalam
konsentrasi lebih banyak daripada seharusnya pada temperature tertentu dan terdapat
juga zat terlarut yang tidak larut (Sinco, 2005).
2.1.2 Kelarutan
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut
dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah etanol di
dalam air. Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni
ataupun campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat.
Kelarutan bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit terlarut,
seperti perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering diterapkan pada
senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada sangat sedikit kasus yang
benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa kondisi, titik
kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan yang
disebut lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil (Woedepss) (Tungadi, 2009).
Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat
terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan
dinyatakan dalam satuan mililiter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.
Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut dalam 500 mL air. Kelarutan juga
dinyatakan dalam satuan molalitas, molaritas dan persen (Tungadi, 2009).
Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat
kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat baru dapat di
absorpsi setelah zat aktifnya terlarut dalam cairan usus, sehingga salah satu usaha
untuk mempertinggi efek Farmakologi dari sediaaan adalah dengan menaikkan
kelarutan zat aktifnya (Tungadi, 2009).
Menurut Dirjen POM (1979), faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan
adalah pengadukan, suhu, luas permukaan, fikositas, ukuran partikel, pH larutan, dan
polimerfisme. Selain faktor di atas penambah surfaktan juga akan mempengaruhi
kelarutan. Surfaktan adalah suatu zat yang digunakan untuk menakkan kelarutan
suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu polar dan non polar.
Kelarutan juga tergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar
dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat
makin zat tersebut larut dalam air. Selain itu, penambahan surfaktan dapat juga
ditambahkan zat-zat pembentuk kompleks untuk menaikan kelarutan suatu zat
, misalnya penambahan uretan dalam pembuatan injeksi khinin (Tungadi, 2009).
Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat
ditunjukkan dengan istilah berikut (Dirjen POM, 1979) :
Jumlah bagian pelarut yang
Istilah Kelarutan diperlukan untuk melarutkan 1
bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1000
Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000
Daya kelarutan suatu zat berkhasiat memegang peranan penting dalam
formulasi suatu sediaan zat. Lebih dari 50% senyawa kimia baru yang ditemukan saat
ini bersifat hidrofobik. Kegunaan secara klinik dari obat-obat hidrofobik menjadi
tikad efesien dengan rendahnya daya kelarutan, dimana akan mengakibatkan kecilnya
penetrasi obat tersebut didalam tubuh. Kelarutan seuatu karena kelarutan suatu obat
dengan tingkat disolusi obat tersebut sangat berkaitan (Jufri dkk, 2004).
2.1.3 Koefisien distribusi
Koefisien distribusi merupakan suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta
mempunyai harga tetap pada suhu tertentu (Pratiwi, 2013).
Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling
bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran
dari dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara dua fase
sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan kedalam pelarut
tidak tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat
tersebut akan tetap terdistribusikan diantara kedua lapisan dengan konsentrasi tertentu
(Anita, 2013).
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan
aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain
diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor
yang mempengaruhi tetapan distribusi adalah jenis zat pelarut, konsentrasi, jenis zat
terlarut dan suhu (Anita, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantaranya:
1. Temperatur yang digunakan.
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi
menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
2. Jenis pelarut.
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan
sangat mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan nilai k.
3. Jenis terlarut.
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau higroskopis,
maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya
mempengaruhi harga k.
4. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k.
Koefisien distribusi adalah suatu perbandingan kelarutan suatu zat dalam dua
pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, dimana hal ini bergantung pada
interaksi fisika dan kimia antara pelarut dan senyawa terlarut (Martin, 1990).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah.
Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama-tama harus
menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas lemak untuk
kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat-zat yang larut dalam lemak
dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak dapat mendifusi
menyeberangi pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar, jika tidak sama sekali.
Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam lemak, dan pH pada tempat
absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai obat merupakan dasar dari teori
pH-partisi. Penentuan derajat disosiasi atau harga pKa dari zat obat merupakan suatu
karakteristik fisika-kimia yang relatif penting terhadap evaluasi dari efek-efek yang
mungkin pada absorbsi dari berbagai tempat pemberian (Ansel, 2005).
Pengetahuan tentang koefisien partisi atau koefisien distribusi sangat penting
diketahui oleh seorang farmasis. Prinsip dari koefisien ini sangat banyak
berhubungan dengan ilmu farmasetik, termasuk disini adalah pengawetan system
minyak-air, kerja obat di tempat yang tidak spesifik, absorbsi dan distribusi obat ke
seluruh tubuh (Martin, 1993).
Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut. Hukum
distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase, yaitu
monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut. Koefisien partisi minyak-air
adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat
melalui membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-
kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin,
1993).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh sifat
kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa senyawa
yang larut baik dalam bentuk lemak terkonsentrasi dalam jaringan yang mengandung
banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak diambil oleh jaringan
lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel. Pengaruh distribusi telah
disebut pengaruh obat artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang
diinginkan dari segi terapeutik kita mengharapkan distribusi dapat diatur artinya
konsentrasi obat pada tempat kerja lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain
pada organisme, walaupun demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada
distribusi dalam bentuk hal kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba
melalui penyuntikan atau infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk
memperoleh kerja yang terarah (Ernest, 1999).
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau
bahkan praktis tidak larut. Dengan demikian pengaruh pH sangat besar terhadap
kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah (Sardjoko, 1987).
2.2 Uraian Bahan
1. Air suling (Dirjen POM,1979)
Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Air suling
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna.


Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan.
Kegunaan : Sebagai pelarut.
Khasiat : Zat tambahan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2. Alkohol (Dirjen POM, 1995 ; Rowe, 2009)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Alkohol
Rumus molekul : C2H5OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

H3C OH
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan
mudah bergerak, bau khas, rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasa.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Kegunaan : desinfektan
Khasiat : Sebagai desinfektan (mencegah pertumbuhan /
pencemaran jasad renik) pada benda mati. Digunakan
juga sebagai antiseptik untuk menghambat
mikroorganisme pada jaringan hidup.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya,
ditempat yang sejuk, jauh dari jangkauan api.
3. Asam Borat (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : ACIDUM BORICUM
Nama Lain : Asam Borat
Rumus Molekul : H3BO3
Berat Molekul : 61,83 g/mol
Rumus Struktur : OH

HO OH

Pemerian : Hablur, serbuk hablur putih atau sisik mengkilap


tidak berwarna; kasar; tidak berbau; rasa agak asam
dan pahit kemudian manis.
Kelarutan : Larut dalam 20 bagian air, dalam 3 bagian air
mendidih, dalam 16 bagian etanol (95%) P, dan
dalam 5 bagian gliserol P.
Kegunaan : Sebagai zat aktif.
Khasiat : Sebagai antiseptikum ekstern.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
4. Asam Salisilat (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : ACIDUM SALICYLICUM
Nama Lain : Asam Salisilat
Rumus Molekul : C7H6O3
Berat Molekul : 138,12 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur putih biasanya berbentuk jarum halus atau


serbuk hablur halus putih; rasa agak manis, tajam dan
stabil di udara. Bentuk sintetis warna putih dan tidak
berbau. Jika dibuat dari metil salisilat alami dapat
berwarna kekuningan atau merah jambu dan berbau
lemah mirip mentol.
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzena; mudah
larut dalam etanol dan dalam eter; larut dalam air
mendidih; agak sukar larut dalam kloroform.
Kegunaan : Sebagai zat aktif.
Khasiat : Keratolitikum (menghilangkan lapisan kelatin di
kulit) dan antifungi (Mengobati dan mencegah
jamur).
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
5. Fenolftalein (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : PHENOLPTHALEINUM
Nama Lain : Fenolftalein, Indikator PP
Rumus Molekul : C20H14O4
Berat Molekul : 318,33 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur putih atau putih kekuningan lemah,


tidak berbau, stabil di udara.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol.
Kegunaan : Sebagai indikator.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
6. Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1979; Subandi, 2010)
Nama Resmi : NATRII HYDROXYDUM
Nama Lain : Natrium Hidroksida
Rumus Molekul : NaOH
Berat Molekul : 40,00 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Hablur batang, butiran halus, hablur atau kepingan.


Kelarutan : Mudah larut dalam etanol (95%) P.
Kegunaan : Sebagai larutan baku.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
7. Paraffin Cair (Dirjen POM, 1995)
Nama Resmi : PARAFFIN LIQUIDUM
Nama Lain : Paraffin cair
Rumus Molekul : C15H11ClO7
Berat Molekul : 338.6 g/mol
Rumus Struktur :

Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berflouresensi, tidak


berwarana, hampir tidak berbau, hampir tidak
mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan etanol 95%, larut
dalam kloroform dan eter.
Kegunaan : Sebagai fase minyak dalam distribusi obat.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindungi dari cahaya.
BAB 3
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada pukul 17.00 WITA hari Sabtu tanggal 06
Oktober 2018 bertempat di Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi,
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum Farmasi Fisika ini yaitu, Batang
Pengaduk, Buret (Pyrex), Corong, Corong Pisah, Gelas Beaker (Pyrex), Gelas Ukur
(Pyrex), Neraca Analitik, Penjepit, Penangas Air (Kris), Pipet Tetes, Spatula, Klem
dan Statif, dan Termometer.
Adapun bahan yang digunakan pada Praktikum Farmasi Fisika dalam
Penentuan Kelarutan dan Koefisien Distribusi ini yaitu, Air, Alkohol, Asam Borat,
Asam Salisilat, Indikator Fenoftalein, Kertas Perkamen, Kertas Saring, NaOH,
Parafin Cair dan Tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Penentuan Kelarutan
a. Pada Suhu Kamar
1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbang asam sebanyak salisilat 2 g
4. Disiapkan 50 ml air pada gelas kimia
5. Dimasukkan asam salisilat 2 g kedalam 50 mL air
6. Diaduk hingga homogen
7. Ditimbang kertas saring kosong
8. Dijenuhkan kertas saring terlebih dahulu dengan cara dibasahi sedikit dengan
aquadest ke seluruh permukaan kertas
9. Disaring asam salisilat menggunakan kertas saring melalui corong
10. Diambil residu dari asam salisilat yang telah disaring
11. Ditimbang kertas saring yang berisi residu dari asam salisilat
12. Dihitung kelarutan dari asam borat
b. Pada Suhu 450C
1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbang asam sebanyak salisilat 2 g
4. Disiapkan 50 ml air pada gelas kimia
5. Dipanaskan air dalam gelas kimia hingga mencapai suhu 450C
6. Dimasukkan asam salisilat 2 g kedalam air 50 mL air
7. Diaduk hingga homogeny
8. Ditimbang kertas saring kosong
9. Dijenuhkan kertas saring terlebih dahulu dengan cara dibasahi sedikit dengan
aquadest ke seluruh permukaan kertas
10. Disaring asam salisilat menggunakan kertas saring melalui corong
11. Diambil residu dari asam salisilat yang telah disaring
12. Ditimbang kertas saring yang berisi residu dari asam salisilat
13. Dihitung kelarutan dari asam borat
3.3.2 Penentuan Koefisien Distribusi
a. Pembuatan larutan baku NaOH 0,1 N
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Ditimbang 0,4 g NaOH
4. Disiapkan 50 ml air pada gelas kimia
5. Diaduk hingga homogeny
6. Dimasukkan 50 ml NaOH kedalam buret
b. Penentuan Koefisien Distribusi Tanpa Minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70 %
3. Ditimbang asam borat sebanyak 0,1 g
4. Dilarutkan asam borat di dalam aquadest 100 mL sebagai larutan stok
5. Diaduk hingga homogen
6. Diambil asam borat sebanyak 25 mL untuk dititrasi
7. Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes
8. Dititrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda
9. Dicatat volume titrasi
10. Dihitung koefisien partisinya
b. Penentuan Koefisien Distribusi Dengan Minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70 %
3. Ditimbang asam borat sebanyak 0,1 g
4. Dilarutkan asam borat di dalam aquadest 100 mL sebagai larutan stok
5. Diaduk hingga homogeny
6. Diambil asam borat sebanyak 25 mL untuk dititrasi
7. Ditambahkan 25 mL paraffin cair
8. Dimasukkan ke dalam corong pisah lalu dikocok
9. Dipisahkan lapisan air dari lapisan minyak
10. Diambil lapisan air dan ditambahkan indikator fenoftalein 3 tetes
11. Dilakukan titrasi dengan NaOH sampai terjadi perubahan warna menjadi
merah muda
12. Dicatat volume titrasi
13. Dihitung koefisien partisinya
BAB 4
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Tabel Pengamatan Kelarutan Asam Salisilat
Suhu Berat BKS BKS + Residu
Sampel
(0C) Sampel (g) (g) Residu (g) (g)
Asam Salisilat Kamar 2 0,7794 5,1790 4,3996
Asam Salisilat 45 2 0,7782 6,0476 5,2694

4.1.2 Tabel Pengamatan Koefisien Distribusi Asam Borat dalam Minyak dan
Air
Volume Titran
Sampel Berat (g) Tanpa Minyak (ml) Dengan Minyak (ml)
Asam borat 0,1 9 18

4.2 Perhitungan
4.2.1 Kelarutan Asam Salisilat
1. Residu = (Berat Kertas Saring + Residu) - Berat Kertas Saring
Suhu kamar : 5,1790 g – 0,7794 g = 4,3996 g
Suhu 450C : 6,0476 g – 0,7782 g = 5,2694 g
2. Gram zat terlarut asam salisilat
X = Berat sampel - berat residu
Suhu kamar : X = 2 g – 4,3996 g = -2,3996 g
Suhu 45oC : X = 2 g – 5,2694 g = -3,2694 g
3. Kelarutan asam salisilat
Jumlah zat terlarut
X=
mL pelarut
2,3996 g
Suhu kamar : X = = 0,047992 g/mL
50 mL
3,2694 g
Suhu 45o C : X = = 0,065388 g/mL
50 mL
4.2.2 Koefisien Distribusi Asam Borat
Keterangan :
C1 : Tanpa minyak
C2 : Dengan minyak
K : Koefisien distribusi
Dik : N Titran = 0,1 N
Volume Titran C1 = 9 mL
Volume Titran C2 = 18 mL
Berat sampel = 0,1 g
Be asam borat = 20,67
Penye:
V titran x N titran x Be
% C1 = x 100%
Berat sampel
9 x 0,1 x 20,67
% C1 = x 100%
0,1
= 18.603 %
V titran x N titran x Be
% C2 = x 100%
Berat sampel
18 x 0,1 x 20,67
% C2 = x 100%
0,1

= 37.206 %
Menghitung koefisien distribusi
Koefisien fase minyak = % C1 – % C2
= 18.603 % – 37.206 %
= –19.143 %
Koefisien fase tanpa minyak = Koefisien fase minyak – % C1
= –19.143 % – 18.603 %
= –37.206 %
𝐾𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑓𝑎𝑠𝑒 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘
K=
𝐾𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑓𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘
−19.143 %
K=
−37.206 %
= 0,51
4.3 Pembahasan
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat telarut melarut pada suatu pelarut.
Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan
sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk disperse molekular
homogen (Martin, 1990).
Koefisien distribusi obat adalah koefisien partisi yang erat hubungannya dengan
ilmu farmasi (ilmu resep). Satu hal penting dari fenomena distribusi adalah sifat
senyawa obat itu agar dapat melalui membran sel yang terdiri dari lipoprotein atau
suatu lapisan hidrofil dan hidrofob (Cammarata, S,1995).
Kelarutan dan distribusi obat penting diketahui dalam dunia farmasi, karena
saat merancang formula kelarutan merupakan salah satu parameter yang harus
diperhatikan agar formula yang dirancang dapat diabsrobsi dengan baik dalam tubuh.
Selain itu koefisien distribusi juga merupakan acuan suatu obat lebih larut minyak
atau air, hal ini dapat dilihat dengan semakin besarnya koefisien distribusi, maka
formula tersebut semakin larut dalam minyak atau yang dimaksudkan adalah
membran dalam tubuh, begitupun sebaliknya jika semakin kecil koefisien distribusi
maka obat tersebut semakin larut air atau darah dalam tubuh.
Pada percobaan ini ditentukan laju kelarutan dari suatu zat yang dilihat dari
faktor yang mempengaruhinya, yaitu temperatur atau suhu. Serta diukur koefisien
distribusi dari asam borat sebagai sampel.
4.3.1 Penentuan Kelarutan Asam Salisilat
Pada percobaan kali ini, hal yang pertama kali dilakukan adalah penyiapan alat
dan bahan. Kemudian alat tersebut dibersihkan dengan alkohol 70%. Menurut Tjay
(2007), alkohol 70% yang digunakan bersifat sebagai desinfektan yang bertujuan
untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Hal selanjutnya yang dilakukan
adalah penimbangan 2 g asam salisilat sebagai sampel sebanyak 2 buah dengan
menggunakan kertas perkamen sebagai wadah untuk menimbang sampel. Menurut
Widodo dan Lusiana (2010), zat yang digunakan dalam hampir seluruh analisis
melibatkan sampel padatan sehingga sampel harus ditimbang sebelum digunakan agar
berat sampel yang akan digunakan lebih akurat.
Dua kertas saring kosong kemudian ditimbang dengan alasan untuk
mendapatkan berat kertas saring kosong yang akan digunakan dalam perhitungan
berat residu. Kemudian diukur air suling masing-masing 50 mL dan dimasukkan pada
dua gelas kimia yang berbeda. Untuk air suling yang satu dipanaskan dengan
diuapkan diatas penangas air sampai suhu 45⁰C, dan yang satunya lagi dibiarkan pada
suhu kamar. Perbedaan suhu ini memiliki alasan karena tujuan percobaan kali ini
adalah membandingkan kelarutan pada suhu yang berbeda dalam hal ini digunakan
suhu kamar dan suhu 45oC.
Setelah air mencapai suhu 45⁰C, kedua asam salisilat dilarutkan, diaduk dengan
batang pengaduk secara bersamaan dengan kecepatan yang sama. Hal ini menurut
Martin (1993) pengadukan ini bersifat katalisator untuk mempercepat kelarutan
terjadi selain pengadukan, suhu pun berpengaruh pada kelarutan suatu zat.
Pengadukan dilakukan selama 2 menit, dapat dilihat adanya residu, dan langkah
yang dilakukan berikutnya yaitu menyaring dengan kertas saring dengan bantuan
corong. Menurut Underwood (2012), kertas saring adalah suatu kertas semi-
permeabel yang dipotong melingkar dan ditempatkan dalam suatu corong pemisah,
agar zat tidak larut dapat dipisahkan. Sebelum kertas saring digunakan, kertas saring
harus dijenuhkan terlebih dahulu, hal ini dimaksudkan karena pori-pori kertas saring
sangatlah kecil, dengan proses penjenuhan maka akan membuka pori-pori dari kertas
saring tersebut, jika tidak ditetesi terlebih dahulu maka air atau filtrat yang akan
disaring tidak akan jatuh dari kertas saring. Kemudian disaring hingga semua residu
benar-benar tertinggal di kertas saring.
Setelah disaring ditimbang kertas saring dengan residu pada neraca analitik.
Hasil yang diperoleh dikurangi dengan berat kertas saring kosong yang ditimbang
pada awal tadi, maka akan didapatkan berat residu asam salisilat yang dilarutkan pada
suhu yang berbeda.
Kelarutan asam salisilat menurut Ditjen POM (1995), yaitu larut dalam 550
bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P dan
eter P, larut dalam larutan ammonium asetat P, dinatrium hidrogenfosfat P, kalium
sitrat P dan natrium sitrat P. Dilihat dari kelarutan asam salisilat, ternyata asam
salisilat larut dalam air namun tak diketahui pada suhu berapa asam salisilat akan
larut secara sempurna. Pada percobaan ini, digunakan suhu kamar dan suhu 45oC,
alasannya untuk melihat perbandingan kelarutan yang terjadi, apakah pada suhu
kamar asam salisilat itu melarut sempurna atau sebaliknya.
Dari data yang diperoleh terlihat adanya perbedaan pada suhu kamar dan 45⁰C.
Berat residu pada suhu kamar yaitu 4,3996 g, sedangkan berat residu yang dilarutkan
pada air suling dengan suhu 45⁰C yaitu 5,2694 g. Berat residu yang dihasilkan
ternyata melebihi berat sampel yang digunakan. Hal ini dikarenakan dalam percobaan
tidak melewati proses pengeringan residu. Selain itu, dalam proses penimbangan
terjadi ketidakakuratan yang diakibatkan adanya udara yang ada didalam neraca
analitik.
4.3.2 Koefisien Distribusi Asam Borat
Praktikum kedua adalah penentuan koefisien distribusi dalam dua pelarut yang
tidak saling bercampur. Langkah pertama yaitu disiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan, kemudian ditimbang asam borat 0,1 g dan dimasukkan pada gelas beker,
kemudian dilarutkan dengan air suling sebanyak 50 mL. Selanjutnya, membuat
larutan baku NaOH, karena NaOH yang bersifat basa akan direaksikan dengan
larutan asam yaitu sampel yang digunakan adalah asam borat agar terjadi perubahan
warna ketika ditambahkan indicator fenoftalein yang menjadi titik akhir dari titrasi
yang pada kali ini menggunakan metode titrasi alkalimetri (titrasi asam-basa) dengan
jumlah NaOH sebanyak 0,2 g. Pembuatan larutan baku NaOH disiapkan 100 ml air
pada gelas kimia untuk melarutkan NaOH 0,2 g dan diaduk hingga larut. Setelah
larutan baku selesai maka dimasukkan kedalam buret sebagai titran.
Pertama larutan asam borat dibagi menjadi dua larutan, untuk larutan pertama
dipipet 25 mL larutan asam borat dan dimasukkan dalam labu erlenmeyer, kemudian
ditambahkan indikator fenoftalein sebanyak tiga tetes, dan dititrasi dengan larutan
baku NaOH 0,1 N. Titik akhir titrasi akan ditandai dengan perubahan warna, dari
yang tidak berwarna menjadi warna merah muda. Ketika penambahan fenoftalein
pada larutan asam borat, fenoftalein belum bereaksi atau belum merubah warna dari
larutan. Perubahan warna ini terjadi ketika larutan asam borat ditambahkan dengan
NaOH karena fenoftalein sendiri akan member perubahan warna ketika dalam
suasana basah. Persen kadar dari larutan pertama ini yaitu 18.603 %.
Kemudian untuk larutan kedua dipipet larutan asam borat 25 mL dan
dimasukkan dalam corong pisah. Tujuannya adalah untuk memudahkan pada proses
pemisahan nanti. Setelah itu dimasukkan 25 mL paraffin cair dan digoyang-
goyangkan, hal ini dimaksudkan agar asam borat yang ada pada larutan air bisa
terdispersi juga dalam larutan minyak. Setelah itu akan terbentuk dua lapisan, yaitu
minyak dan air. Kemudian dibuka keran yang ada pada corong pisah untuk
mengeluarkan air, kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dengan
penambahan indikator fenoftalein yang ditandai dengan perubahan warna, dari yang
tidak berwarna menjadi warna merah muda. Persen kadar yang didapatkan yaitu
37.206 %. Untuk perhitungan koefisien fase minyak dihitung dengan mengurangi
kadar tanpa minyak dan kadar dengan penambahan minyak, dan hasilnya yaitu -
19.143 %. Sementara untuk perhitungan koefisien fase tanpa minyak dihitung dengan
mengurangi koefisien fase minyak dengan kadar tanpa minyak, dan hasilnya yaitu -
37.206 %. Maka koefisien distribusi yang didapatkan dengan cara perbandingan
antara koefisien fase minyak dengan koefisien tanpa minyak yaitu 0,51.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kelarutan asam salisilat pada suhu 45oC lebih mudah larut dibandingkan
dengan kelarutan asam salisilat pada suhu kamar. Karena semakin tinggi
suhu maka semakin tinggi kelarutan dari suatu zat begitupun sebaliknya.
2. Nilai koefisien distribusi dari asam borat yang dihasilkan adalah 0,51, yang
menandakan bahwa asam borat lebih ke fase air karena nilai yang
dihasilkan < 1.
5.2 Saran
5.2.1 Saran Untuk Laboratorium
Sebaiknya alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum lebih
dilengkapi agar praktikum berjalan lancar.
5.2.2 Saran Untuk Asisten
Agar lebih sabar dalam membimbing praktikan dan diharapkan kepada
asisten agar lebih mengawasi dan membimbing praktikan terutama yang belum
paham tentang apa yang akan dilakukan pada percobaan-percobaan selanjutnya.
5.2.3 Saran Untuk Praktikan
Agar lebih berhati-hati saat melakukan praktikum dan tetap menjaga
kebersihan laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA

Alberty, Robert dkk. 1996. Physical chemistry. USA : John Wiley and sons inc

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas Indonesia Press :
Jakarta

Arsyad, M. N. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Gramedia. Jakarta.

Atkins' Physical Chemistry, 7th Ed. by Julio De Paula, P.W. Atkins

Baroroh, 2004. Penentuan molaritas dalam kimia. Jakarta : KANASIUS

Cammarata s. 1995. Farmasi Fisika. Jakarta : UI-Press

Direktur jendral Pelayanan Obat dan Makanan. 1979. Farmakope Indonesia Edisi
III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Direktur jendral Pelayanan Obat dan Makanan. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rahman, 2007, ”Kimia Farmasi Analisis”, Pustaka
Pelajar. Yogyakarta

Harjayanti, R. 2008. Penentuan kepekatan suatu zat. Bandung : Cipta Pustaka

Jufri, Mahdi, dkk, 2004. Formulasi Gameksan dalam Bentuk Mikroemulsi, Majalah
ilmu kefarmasian.

Khopkar, S. M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas Indonesia


Press.

Kleinfelter, Keenam.1996. ”kimia untuk universitas”. Jakarta: Erlangga

Martin, A., 1990, “Farmasi Fisika”, Buku I, UI Press, Jakarta

Mirawati.2013. Penentun Praktikum Farmasi Fisika . Makassar, Jurusan Farmasi.


Universitas Muslim Indonesia.

Moechtar., 1990, “Farmasi Fisika”, UGM Press, Yogyakarta

Rowe, C.R., Sheskey, J.P., and Weller, J.P., 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 6th edition. London: American Pharmaceutical Association

Sinko, P. 1990. Farmasi Fisika . Buku II, UI Press, Jakarta


Subandi. 2010, Mikrobiologi perkembangan, Kajian dan Pengamatan dalam
Perspektif Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, Indonesia.

Syamsuni, A. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. EGC: Jakarta

Tungadi, Robert. 2009.“Penuntun Praktikum Farmasi Fisika“. Jurusan Farmasi


Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo

Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan Semi Makro.
Kalman Media Pustaka : Jakarta

Widodo, A.S., dan Paramita, W., 2010, “Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar
pada Daun Kangkung Air (Ipomoea aquatica) yang difermentasi”, J. Ilmiah
Perikanan dan Kelautan,

Anda mungkin juga menyukai