Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Koefisien partisi adalah distribusi kesetimbangan dari analit antara fasa
sampel dan fasa gas, dan kesetimbangan dari perbandingan kadar zat dalam dua
fase. Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makromolekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat. (Martin,1990).
Koefisien partisi lipida – air suatu obat adalah perbandingan kadar obat
dalam fase lipoid dan fase air setelah dicapai kesetimbangan. Peranan koefisien
partisi obat dalam bidang farmasi sangat penting. Teori-teori tentang absorbs,
ekstraksi, dan kromatografi banyak terkait dengan teori koefisien partisi
(Anonim,2012).
Pada umumnya, obat-obat bersifat asam lemah dan basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air, sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih mudah
larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau
bahkan praktis tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap kecepatan
absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah sangat besar.
            Berdasarkan uraian diatas adanya pemahaman tentang koefisien partisi
akan bermanfaat dalam hubungannya dengan ekstraksi dan kromatografi obat.
Semakin besar nilai koefisien partisinya maka semakin banyak senyawa dalam
pelarut organic. Nilai koefisien partisi suatu senyawa tergantung pelalrut organic
tertentu yang digunakan untuk melakukan pengukuran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasakan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penulisan makalah ini
yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan koefisen partisi?
2. Apa saja macam-macam dari koefisien partisi
3. Bagaimana metode pengukuran dari kofisien partisi ?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien partisi?
1
5. Bagaimana hubungan korfisien partisi terhadap liposom, adsorbsi , distribusi obat
dan PH ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari koefisien partisi
1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenis dari koefisien partisi
1.3.3 Untuk mengetahui kegunaan dari koefisien partisi
1.3.4 Untuk mengetahui metode pengukuran dari kofisien partisi
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana hubungan korfisien partisi terhadap liposom,
adsorbsi, distribusi obat dan PH

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Koefisien Partisi

Koefisien partisi adalah distribusi kesetimbangan dan analit dan keseimbangan


dari perbandingan kadar zat dalam dua fase. Koefisien partisi minyak air adalah
suatu petunjuk sifat lipofilik/hidrofilik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui
membran lemak dan interaksi dengan makro molekul pada reseptor. Adanya
pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH pada koefisien partisi akan
bermanfaat dalam hubungan dengan ekstrak dan kormatografi obat
(Mochtar,2007).

Koefisien partisi menggambarkan pendistribusi obat ke dalam pelarut system


dua fase,yaitu pelarut organik dengan air. Koefisien partisi semakin besar dan
difusi trans menjadilebih mudah disebabkan molekul semakin larut dalam lemak.
Organisasi yang terdiri dari fase lemak dan air. Sehingga bila koefisien partisi
tinggi ataupun rendah, maka hal ini akan menjadi hambatan pada proses difusi zat
aktif. Penentuan koefisien secara ekspemen dilakukan dengan cara distribusi
senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem kesetimbangan termodinamika
dua pelarut yang berbeda kepolaran yaitu h-optanol dan air (Ansel, 1989).

Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahkan ke dalam


campuran pelarut yang paling tidak bercampur, zat terlarut tersebut
mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut berdasarkan
afinitasnya pada masing-masing fase. Senyawa polar (misalnya gula, asam amino,
atau obat-obat terion) akan cenderung menyukai fase berair atau fase polar,
sedangkan senyawa-senyawa non polar (misalnya obat-obat yang tidak
terionisasi), akan menyukai fase organik atau fase non polar. Senyawa
yang ditambahkan mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut yang
tidak bercampur berdasarkan hukum partisi, yang menyatakan bahwa
“senyawa tertentu pada suhu tertentu, akan memisahkan dirinya sendiri diantara
dua pelarut yang saling tidak bercampur pada perbandingan konsentrasi

3
yang tetap”. Perbandingan yang tetap ini dikenal dengan koefisien
partisi.

[ organik ]
P=
[ berair ]

senyawa tersebut dan dapat dinyatan secara matematis sebagai berikut.P


adalah koefisien partisi senyawa; [organik] adalah konsentrasi senyawa dalam
fase organik atau fase minyak; dan [berair] adalah konsentrasi senyawa dalam
fase air. Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi, sehingga satuannya
dihilangkan dan P tidak memiliki satuan (Cairns, 2009).

2.2 Macam-macam Koefisien Partisi

2.2.1 Koefisien partisi sejati atau TPC (True Partition Coefficient)

Untuk koefisien partisi ini pada percobaan harus memenuhi syarat kondisi
sebagai berikut:

 Antara kedua pelarut benar-benar tidak dapat campur satu sama lain.

 Bahan obatnya (solute) tidak mengalami asosiasi atau disosiasi.

 Kadar obatnya relatif kecil (<0,01 M).

 Kelarutan solute pada masing-masing pelarut kecil.


2.2.2 Koefisien partisi semu atau APC (Apparent Partition Coefficient)
Apabila persyaratan TPC tidak dapat dipenuhi, maka hasilnya adalah
koefisien partisi semu. Dalam biofarmasetika dan pada berbagai tujuan yang lain,
umumnya memiliki kondisi non ideal dan tidak disertai koreksinya, sehingga
hasilnya adalah koefisien partisi semu. Biasanya sebagai fase lipoid adalah
oktanol, kloroform, sikloheksan, isopropil miristat, dan lain-lain.
2.3 Metode Pengkuran Koefisien Partisi

Koefisien partisi ini dapat diukur degan beberapa metode.Adapun


metode untuk mengukur koefisien partisi adalah sebgaia berikut :
1. Metode Spektrofotometri derivatif

4
Metode Spektrofotometri derivatif adalah suatu teknik analisis dengan
kemampuan memisahkan campuran obat yang memiliki spektra tumpang tindih.
Selain itu, telah digunakan pula untuk penetapan kadar obat yang tercampur
dengan hasil peruraiannya. Spektrofotometri derivatif telah digunakan secara luas
pada analisis bahan anorganik, penentuan konstanta ionisasi senyawa kimia,
koefisien partisi obat antara lapisan lipid dan air, analisis klinis, analisis makanan,
dan penetapan kadar di bidang farmasi (Nurhidayati, 2007).
Metode Spektrofotometri derivatif ini didasarkan pada pengukuran
serapan sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang
gelombang spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi
dengan detector fototube. Dalam analisis cara spektrofotometri terdapat tiga
daerah panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, yaitu daerah UV
(200-380 nm), daerah visible (380-700 nm), dan daerah inframerah (700-3000
nm).
Menurut ( Sukmawati, 2010) prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan
hukum Lambert-Beer, bila cahaya monokromatik melalui suatu media (larutan),
maka sebagian cahaya tersebut diserap, sebagian dipantulkan, dan sebagian lagi

dipancarkan. Larutan yang akan diuji absorbansinya dimasukkan kedalam kuvet


yaitu wadah larutan sampel yang dimasukkan ke dalam spektofotometer.
Gambar spektrofotometer dan prinsip kerjanya dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
Gambar 2.4.1. Alat spektrofotometer

Gambar 2.4.2.Prinsip kerja alat spektrofotometer

5
2. Metode labu kocok
Pada metode ini, obat yang ditentulan nilai P-nya dimasukkan secara
tradisional ke dalam corong pisah yang mengandung kedua fase tidak bercampur
walaupun akan sama baiknya jika kita menggunakan tabung sentrifus (dan
memerlukan sampel yang lebih sedikit). Kedua fase tak bercampur yang dipilih
biasanya adalah 1-oktanol dan larutan penyangga dengan pH 7,4. Oktanol
digunakan pada penentuan koefisien partisi karena hasil yang diperoleh memiliki
korelasi terbaik dengan data biologi yang didapatkan secara in vivo ini. Ini
mungkin karena kedelapan atom karbon pada dasarnya bersifat hidrofobik (atau
tidak suka air), dan satu gugus hidroksilnya bersifat hidrofilik (atau suka air), dan
secara bersama-sama memberikan keseimbangan yang paling mendekati dengan
yang ditemukan pada membran sel manusia. Penyangga berait dengan pH 7,4
menggambarkan kompartemen berair di dalam tubuh, misalnya plasma darah.
Kedua fase dicampurkan untuk mendapatkan oktanol terjemahkan larutan
penyangga pada fase bagian atas dan larutan penyangga terjenuhkan oktanol pada
fase bagian bawah. Begitu kedua fase terpisah (dibutuhkan waktu beberapa saat),
obat segera ditambahkan dan isi labu di kocok secara mekanik selama paling tidak
1 jam. Kedua fase dibiarkan memisah (atau disentrifuge jika anda sedang terburu-
buru) dan kemudian konsentrasi obat di dalam fase berair ditentukan. Ini dapat
dilakukan dengan cara titrasi jika obat tersebut cukup asam atau basa, atau yang
lebih sering digunakan secara spektrofotometri. Konsentrasi di dalam fase oktanol
diketahui dengan cara pengurangan dan nilai dapat dihitung Metode ini bekerja
dengan sangat baik jika jumlah sampel cukup dan obat memiliki gugus kromofor
untuk penetapan kadar spektroskopi fase berair.
Hal yang penting pada jenis ekstraksi cair-cair ini bukanlah volume fase
organik, melainkan jumlah pengekstraksian yang dilakukan, Ekstraksi 10 ml fase
organik sebanyak 5 kali akan memisahkan senyawa yang lebih banyak disbanding
kan dengan satu kali ekstraksi volume 50 ml, walaupun volume total pelarut
organik yang digunakan sama. Sama halnya, sepuluh kali ekstraksi fasa organik
sebanyak 5 ml akan lebih efisien lagi dan demikian seterusnya. Efek ini (yang
umum pada semua jenis ekstraksi) merupakan sesuatu yang masuk akal. Setiap
kali salah satu fase dipindahkan dan digantikan dengan pelarut yang baru.

6
kesetimbangan untuk proses partisi akan tersusun ulang sesuai dengan
perbandingan koefisien partisi, dan obat akan meninggalkan fase berair menuju
fase organic dan memperbaiki perbandingan kesetimbangan.
Suatu persamaan dapat diturunkan untuk menghitung peningkatan
efisiensi penggunaan ekstraksi ganda terhadap ekstraksi tunggal:

n
A
W n =W ( PS+ A )
Wn adalah massa obat yang tertinggal di dalam fase berair setelah n kali ekstraksi,
W adalah massa awal obat di dalam fase berair,
A adalah volume fase berair,
S adalah volume fase pelarut (atau senyawa organik),
P adalah koefisien partisi, n adalah jumlah ekstraksi.
3. Metode Kromatografi cair berperforma tinggi (HPLC)
Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan perbedaan
pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk memisahkan komponen
(berupa molekul) yang berada pada larutan. Molekul yang terlarut dalam fase
gerak, akan melewati kolom yang merupakan fase diam. Molekul yang memiliki
ikatan yang kuat dengan kolom akan cenderung bergerak lebih lambat dibanding
molekul yang berikatan lemah. Dengan ini, berbagai macam tipe molekul dapat
dipisahkan berdasarkan pergerakan pada kolom (Rekker, R.F., 1977)

Menurut (Tahir, 2001)Kromatografi partisi adalah sama dengan pengocokan


kontinu dengan prinsip partisi multilkikatif, dengan bentuk sama.  Daya
pemisahannya memang sangat baik. Prosedur kromatografi merupakan metode
pemisahan. Dibandingkan metode pemisahan klasik seperti destilasi, kristalisasi,
pengendapan ekstraksi dan lain-lain, mempunyai keuntungan dalam pelaksanaan
yang lebih sederhana. Penggunaan waktu yang singkat terutama karena
mempunyai kepekaan yang tinggi serta kemampuan memisahkan yang tinggi.
Pemisahan campuran senyawa melalui kromatografi partisi didasarkan atas
koefisien partisi setiap zat yang berbeda dalam dua fase cairan yang tidak
bercampur Adapun yang digunakan dalam pengukuran koefisien partisi ini adalah
metode Kromatografi cair berperforma tinggi 

7
Kromatografi cair berperforma tinggi ((Inggris): high performance liquid
chromatography, HPLC) merupakan salah satu teknik kromatografi untuk zat
cair yang biasanya disertai dengan tekanan tinggi. Seperti teknik kromatografi
pada umumnya, HPLC berupaya untuk memisahkan molekul berdasarkan
perbedaan afinitasnya terhadap zat padattertentu. Cairan yang akan dipisahkan
merupakan fase cair dan zat padatnya merupakan fase diam (stasioner). Teknik ini
sangat berguna untuk memisahkan beberapa senyawa sekaligus karana setiap
senyawa mempunyai afinitas selektif antara fase diam tertentu dan fase gerak
tertentu. Dengan bantuan detektor serta integrator kita akan mendapatkan
kromatogram. Kromatorgram memuat waktu tambat serta tinggi puncak suatu
senyawa.

Kerja HPLC pada prinsipnya adalah pemisahan analit-analit berdasarkan


kepolarannya, alatnya terdiri dari kolom (sebagai fasa diam) dan larutan tertentu
sebagai fasa geraknya. Yang paling membedakan HPLC dengan kromatografi
lainnya adalah pada HPLC digunakan tekanan tinggi untuk mendorong fasa gerak.
Campuran analit akan terpisah berdasarkan kepolarannya, dan kecepatannya
untuk sampai ke detektor (waktu retensinya) akan berbeda, hal ini akan teramati
pada spektrum yang puncak-puncaknya terpisah (Rekker, R.F., 1977)

Urutan skala polaritas : golongan fluorocarbon < golongan hidrokarbon <


senyawa terhalogenasi < golongan eter < golongan ester < golongan keton <
golongan alkohol < golongan asam.HPLC dapat menganalisa secara kualitatif dan
kuantitatif. Pada proses kualitatif cara yang paling umum untuk mengidentifikasi
adalah dengan melihat Retention time (RT). Peak yang mempunyai RT yang sama
dengan standard umumnya adalah sebagai peak milik analat. Selain melihat RT
hal lain yang perlu dilihat adalah spektrum 3D dari signal kromatogram. Zat yang
sama akan mempunyai spektrum 3D yang juga sama. Sehingga jika spektrum 3D
antara dua zat berbeda, maka kedua zat tersebut juga dipastikan adalah zat yang
berlainan, meskipun memiliki RT yang sama.

Kemudian melalui analisa kuantitatif dapat diketahui kadar komponen yang


dianalisis di dalam sampel.  Yang berperan dalam proses separasi pada system
HPLC adalah kolom. Ada kolom yang digunakan untuk beberapa jenis analisa,

8
misalnya kolom C18 yang dapat digunakan untuk analisa carotenoid, protein,
lovastatin, dan sebagainya. Namun ada juga kolom yang khusus dibuat untuk
tujuan analisa tertentu, seperti kolom Zorbax carbohydrat (Agilent) yang khusus
digunakan untuk analisa karbohidrat (mono-, di-, polysakarida). Keberhasilan
proses separasi sangat dipengaruhi oleh pemilihan jenis kolom dan juga fasa
mobil.

Setelah komponen dalam sample berhasil dipisahkan, tahap selanjutnya adalah


proses identifikasi. Hasil analisa HPLC diperoleh dalam bentuk signal
kromatogram. Dalam kromatogram akan terdapat peak-peak yang
menggambarkan banyaknya jenis komponen dalam sample.Sample yang
mengandung banyak komponen didalamnya akan mempunyai kromatogram
dengan banyak peak. Bahkan tak jarang antar peak saling bertumpuk (overlap).
Hal ini akan menyulitkan dalam identifikasi dan perhitungan konsentrasi. Oleh
karena itu biasanya untuk sample jenis ini dilakukan tahapan preparasi sample
yang lebih rumit agar sample yang siap diinjeksikan ke HPLC sudah cukup bersih
dari impuritis. Sample farmasi biasanya jauh lebih mudah karena sedikit
mengandung komponen selain zat aktif. Sample ini umumnya hanya melalui
proses pelarutan saja (Rekker, R.F., 1977)

4. Kromatografi lapis tipis (KLT)


Pada teknik ini, nilai Rf obat digabungkan dengan koefisien partisi secara
matematika. Plat tipis atau lembaran kertas diberi lapisan awal dengan fase
organik (biasanya parafin atau oktanol) dan dibiarkan mengering. Sampel
kemudian diletakkan pada plat dan plat dibiarkan mengembang. Fase gerak yang
digunakan, dapat berupa air atau campuran air dengan pelarut organik yang dapat
bercampur (seperti aseton) untuk meningkatkan kelarutan obat (Nogrady, T.,
1992)
Setelah plat mengembang, bercak-bercak yang terbentuk segera dilihat
(dengan menggunakan lampu ultraviolet jika obat tersebut memiliki gugus
kromofor, atau dengan uap iodin jika obat tidak memiliki gugus kromofor), dan R f
masing-masing bercak ditentukan. Rf adalah hasil pembagian antara jarak
perpindahan bercak dengan jarak pengembangan pelarut, dan dituliskan dalam

9
bentuk nilai desimal. Rf dapat dihubungkan dengan koefisien partis melalui
persamaan di bawah ini.

k
P=
( R1 )−1
f

K adalah tetapan untuk sistem yang digunakan, yang ditentukan dengan


menjalankan sejumlah senyawa-senyawa standar yang nilai P-nya telah diketahui
di dalam sistem dan nilai dan menghitung k.
Metode KLT dalam penentuan nilai P memberikan hasil terbaik pada
senyawa-senyawa yang memiliki struktur dan sifat-sifat fisika yang mirip.
Keuntungan menggunakan teknik ini di dalam menentukan nilai P adalah
banyaknya senyawa yang dapat ditentukan secara bersamaan pada satu plat, dan
jumlah sampel yang diperlukan sangat sedikit. Sebaliknya, sulit untuk
menemukan standar yang sesuai, dan fase gerak berair memerlukan waktu hingga
berjam-jam untuk dapat bergerak naik pada plat KLT yang berukuran besar.
(Sukmawati, 2010)
2.4 Faktor-faktor yang Memperngaruhi Koefisien Partisi
Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan porositas pelarut
organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada pada pelarutorganik
maupun solut (Gustian et all, 2013). Nilai koefisien partisi n-oktanol-air (Log P)
dipengaruhi oleh substituen alkil yang membentuk gugus esterpada rantai
samping polimer (-COOR’) semakin panjang rantai alkil pada R’maka nilai log P
semakin besar yang berarti pula nilai kelarutan dalam airakan semakin kecil. Hal
ini juga dapat dilihat pada nilai Log Sw (kelarutandalam air), semakin panjang
rantai alkil pada-COOR’ menyebabkan semakinkecil kelarutan senyawa polimer
di dalam air (Iswanto et all, 2004).Koefisien partisi dipengaruhi oleh keadaan
terion dan tidak terionnyasolute, dimana keadaan terion lebih terlarut dalam fase
polar dan keadaantidak terion lebih terlarut dalam fase nonpolar. Diketahui bahwa
membrankulit yang berupa lipoprotein terdiri dari fase polar dan nonpolar.
Keadaandisosiasi solute tersebut dipengaruhi oleh pH (keasaman) sediaan obat
dantempat berpenetrasi (Kartika, 2013).

10
2.5. Hubungan Koefisien Partisi

Koefisien partisi ini sangat berhubungan dengan beberapa hal, antara lain :

2.5.1. Hubungan Koefisien Partisi Terhadap Liposom

Liposom mulai dikembangkan oleh Bangham pada tahun 1965 sebagai sistem
penghantaran obat, sejak itu mulai banyak penelitian tentang liposom yang
digunakan untuk drug targeted, karena sistem ini mudah dimodifikasi. Sistem
penghantaran obat kanker dengan sistem liposom bertarget merupakan obyek
utama dalam penelitian liposom karena melalui sistem sistemik tidak hanya
bekerja di sel kanker tapi bekerja di sel lainnya. Pada artikel ini akan mulai
dibahas dengan pemahaman tentang formulasi dan evaluasi dari sistem liposom
itu sendiri (Abdassah, M., 2013)
2.5.2. Hubungan korfisien partisi terhadap Absorbsi
Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh keofisien partisi. Hal ini
disebabkan oleh komponen dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida.
Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam lipida akan dengan mudah
melaluinya. Sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan sukar
diabsorpsi. Obat-obat yang larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki
koefisien partisi lipida-air yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut
dalam lipid akan memiliki koefisien partisi yang sangat kecil (Suseno, 2011).
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basah lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air, sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan (unionized)
lebih mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya
kecil atau bahkan praktis tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap
kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah sangat besar
(Suseno, 2011).
2.5.3. Hubungan Koefisien Partisi Terhadap Distribusi Obat
Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi
obat dalam tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat harus menembus
sejumlah sel untuk mencapai reseptor. Dimana koefisien partisi juga menentukan
jaringan mana yang dapat dicapai oleh suatu senyawa. Senyawa yang sangat

11
mudah larut dalam air (hidrofilik) tidak akan sanggup melewati membran lipid
untuk mencapai organ yang kaya akan lipid, misalnya otak .
Koefisien partisi menggambarkan pendistribusi obat ke dalam pelarut
system dua fase, yaitu pelarut organik dengan air. Koefisien partisi semakin besar
dan difusi trans menjadi lebih mudah disebabkan molekul semakin larut dalam
lemak. Organisasi yang terdiri dari fase lemak dan air. Sehingga bila koefisien
partisi tinggi ataupun rendah, maka hal ini akan menjadi hambatan pada proses
difusi zat aktif. Penentuan koefisien secara eksperimen dilakukan dengan cara
distribusi senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem kesetimbangan
termodinamika dua pelarut yang berbeda kepolaran yaitu h-optanol dan air
(Ansel, 1989).
2.5.4. Hubungan korfisien partisi terhadap PH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan keasaman atau
kebasahan larutan. Adanya pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH
pada koefisien partisis akan bermanfaat dalam hubungannya dengan ekstraksi dan
kromatografi obat. Secara sederhana, koefisien partisi suatu senyawa (P) dapat
ditentukan dengan : = , di mana merupakan konsentrasi senyawa padat pada fase
organik dan merupakan senyawa dalam air (Gandjar, dkk, 2007).

Semakin besar nilai P maka semakin banyak senyawa dalam pelarut organik.
Nilai P suatu senyawa tergantung pada pelarut organik tertentu yang digunakan
untuk melakukan pengukuran. Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan
dengan menggunakan partisi air dan n-oktanol, karena n-oktanol dalam banyak
hal menyerupai membran biologis, dan juga merupakan model yang baik pada
kromatografi fase terbalik (Gandjar, dkk, 2007).

Nilai P seringkali dinyataka dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log P1
setara dengan nilai P10. Nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa tertentu
yang mengalami partisi ke dalam pelarut organik tertentu. Partisi dilakukan
dengan air dan pelarut organik dalam jumlah yang sama. P = 10 berarti bahwa 10
bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian berada dalam lapisan
air (Gandjar, dkk, 2007).

12
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penulisan makalah yang telah dilakukan adalah sebagai


berikut:

1. Koefisien partisi adalah distribusi kesetimbangan dan analit dan keseimbangan


dari perbandingan kadar zat dalam dua fase.
2. Koefisien Partisi dibagi menjadi dua, yaitu koefisien partisi sejati atau TPC (True
Partition Coefficient) dan Koefisien partisi semu atau APC (Apparent Partition
Coefficient)
3. Ada tiga cara yang dapat digunak anuntuk menentukan nilai koefisien partisi,
yaitu metode labu kocok,penggunaan kromatografi lapis tipis atau kromatografi
cair kinerja tinggifase terbalik.
4. Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan porositas pelarut
organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada pada pelarutorganik
maupun solute.
5. Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi
obat dalam tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat harus menembus
sejumlah sel untuk mencapai reseptor. Dimana koefisien partisi juga
menentukan jaringan mana yang dapat dicapai oleh suatu senyawa.

3.2 Saran

Saran dalam pembuatan makalah ini adalah masih dijumpai banyak


kekurangan dalam enulisan makalah ini, sehingga bimbingan dari dosen sangat
dibutuhkan. Selain itu, referensi yang digunakan untuk materi ini tidak dibatasi
oleh dosen pengampu sehingga referensi yang digunakan juga bermacam-macam
yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang akan dibahas saat kuliah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdassah, M., 2013, “Liposom Sebagai Sistem Penghantaran Obat Kanker”,


Farmasi FMIPA UNPAD, Bandung
Ansel, H. 1989. Kimia Farmasi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Cairns, D., 2008,”Intrisari Kimia Farmasi”, Edisi kedua, EGC, Jakarta
Gandjar . 2007. Spektofotometri Derivatif. UGM, Yogyakarta.
Kartika, W. I., 2013, “Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p-
Metoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi Sediaan
Topikal”, Universitas Airlangga, Surabaya
Mochtar.2007. Kimia Farmasi Analisis. Universitas Indonesia, Jakarta
Nogrady, T., 1992,”Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia”, Edisi kedua,
Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB, Bandung
Nurhidayati, 2007. Spektofotometri Derivatif Dan Aplikasinya Dalam Bidang
Farmasi. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, September 2007, Vol. 5, No.
2 Hal. 2
Rekker, R.F., 1977, The Hydrophobic Fragmental Constant. New York: Elsevier
Science Pub

Reksohadiprojo, M.,S. 1985. Strategi dalam riset obat melalui pendekatan


farmakokimia atau kimia medisinal. Yogyakarta: UGM
Sukmawati, 2010. Efek Berbagai Peningkat Penetrasi Terhadap Penetrasi
Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. Jurnal Penelitian Sains
& Teknologi, Vol. 11, No. 2, 2010
Hal. 1
Suseno, 2011. Analisis hubungan koefisien partisi dengan permeabilitas
ibuprofen, ketoprofen, dan fenoprofen. Majalah farmaeusetik vol 3(2)
Tahir, 2001. Komparasi Nilai Koefisien Partisi Teoritik Berbagai Senyawa Obat
Dengan Metoda Hancsh-Leo, Metoda Rekker Dan Penggunaan Program
Clogp. Pusat Kimia Komputasi Indonesia-Austria Jurusan Kimia Fakultas
MIPA Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

15

Anda mungkin juga menyukai