Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PREFORMULASI

“KOEFISIEN PARTISI”

Disusun Oleh:
Kelompok 3 S1-IVB
1. Leni Triani (1601021)
2. Ainun Alfatma (1701047)
3. Berliani Aprilia Rahmadewi (1701051)
4. Desi SetiaWati (1701055)
5. Fadila Toha (1701059)
6. Hamida Nur Azri (1701063)
7. M. Saleh Budi Ishaqi Pohan (1701069)
8. Nida Larasati (1701073)
9. Reza Afda (1701079)
10. Serly Nuryahati Happy (1701083)
11. Tryanita Aisyah (1701087)
12. Yoga Yudhistira (1701090)
13. Hanalia Zahara (1801129)
14. Desi Linda Sari (1801124)

Dosen Pengampu :
Dr. Gressy Novita, M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
anugerahnya kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah preformulasi ini. Terima kasih
kami ucapkan kepada ibu Dr. Gressy Novita, M.Farm, Apt selaku pembimbing serta dosen
preformulasi yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini di
buat agar pembaca mendapat pengetahuan, serta sebagai tugas di Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi Riau (STIFAR). Kami mengucapkan terimakasih atas partisipasi, bantuan dan juga
dukungan yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kami menerima kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kebaikan
makalah ini dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
semua.

Pekanbaru, 15 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2

1.3. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3

2.1 Definisi Koefisien Partisi ............................................................................................ 3

2.2 Jenis-Jenis Koefisien Partisi ....................................................................................... 3

2.3 Kegunaan Koefisien Partisi ........................................................................................ 4

2.4 Pengukuran Percobaan Koefisien Partisi.................................................................... 7

2.5 Pemilihan Pelarut ....................................................................................................... 10

2.6 Hubungan Koefisien Partisi dengan Drug Delivery ................................................... 10

2.7 Hubungan Koefisien Partisi dengan Liposom ............................................................ 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 11

3.2 Saran .......................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem

dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien

partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Selain itu,

organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi

ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan menjadi hambatan pada proses difusi zat

aktif (Ansel, 1989).

Penentuan koefisien partisi secara eksperimen dilakukan dengan cara pendistribusian

senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem keseimbangan termodinamik antara dua

pelarut yang berbeda kepolaran yaitu pelarut n-oktanol dan air (Tahir, 2001).

Dalam pembuatan obat luar atau topikal, terdapat dua tahapan kerja obat topikal agar

dapat memberikan efeknya yaitu obat harus dapat lepas dari basis dan menuju ke

permukaan kulit, selanjutnya berpenetrasi melalui membran kulit untuk mencapai tempat

aksinya. Faktoryang mempengaruhi salah satunya adalah koefisien partisi. Oleh karena

itu, koefisien partisi juga merupakan hal yang sangat penting dan perlu

diperhatikan (Aprhyanthy, 2012).

Untuk meningkatkan fluks obat yang melewati membran kulit, dapat digunakan

senyawa-senyawa peningkat penetrasi. Fluks obat yang melewati membran dipengaruhi

oleh koefisien difusi obat melewati stratum corneum, konsentrasi efektif obat yang

terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antara obat dan stratum corneum dan tebal

lapisan membrane (Sukmawati, 2010).

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pembuatan makalah ini, maka rumusan masalah pada

makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Apa itu koefisien partisi ?

2. Apa saja jenis-jenis dari koefisien partisi ?

3. Bagaimana pengukuran percobaan koefisien partisi?

4. Bagaimana pemilihan pelarut dalam koefisien partisi ?

5. Bagaimana hubungan antara koefisien partisi dengan drug delivery dan liposom ?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai

berikut :

1. Mengetahui itu koefisien partisi ?

2. Mengetahui apa saja jenis-jenis dari koefisien partisi ?

3. Mengetahui bagaimana pengukuran percobaan koefisien partisi?

4. Mengetahui bagaimana pemilihan pelarut dalam koefisien partisi ?

5. Mengetahui bagaimana hubungan antara koefisien partisi dengan drug delivery dan

liposom ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Koefisien Partisi


Ketika suatu senyawa (atau zat terlarut) ditambahkan ke dalam campuran pelarut
yang paling tidak bercampur, zat terlarut tersebut mendistribusikan dirinya sendiri di
antara kedua pelarut berdasarkan afinitasnya pada masing-masing fase disebut koefisien
partisi. Senyawa polar (misalnya gula, asam amino, atau obat-obat terion) akan
cenderung menyukai fase berair atau fase polar, sedangkan senyawa-senyawa nonopolar
(misalnya obat-obat yang tidak terion), akan menyukai fase organik atau fase nonpolar.
Senyawa yang ditambahkan mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut yang
tidak bercampur berdasarkan hukum partisi, yang menyatakan bahwa “senyawa tertentu
pada suhu tertentu, akan memisahkan dirinya sendiri di antara dua pelarut yang saling
tidak bercampur pada perbandingan konsentrasi yang tetap”. Perbandingan yang tetap ini
dikenal dengan koefisien partisi senyawa tersebut dan dapat dinyatan secara matematis
sebagai berikut :

[organik]
P=
[berair]

P adalah koefisien partisi senyawa; [organik] adalah konsentrasi senyawa


dalam fase organik atau fase minyak; dan [berair] adalah konsentrasi senyawa dalam fase
air. Koefisien partisi adalah perbandingan konsentrasi, sehingga satuannya dihilangkan
dan P tidak memiliki satua.

2.2 Jenis jenis koefisien partisi


Ada dua macam koefisien partisi:
1. Koefisien partisi sejati atau TPC (True Partition Coefficient)
Untuk koefisien partisi ini pada percobaan harus memenuhi syarat kondisi
sebagai berikut :
a. Antara kedua pelarut benar-benar tidak dapat campur satu sama lain
b. Bahan obatnya (solute) tidak mengalami asosiasi atau disosiasi
c. Kadar obatnya relatif kecil (0,01 M)
d. Kelarutan solute pada masing-masing pelarut kecil
3
2. Koefisien partisi semu atau APC (Apparent Partition Coefficient)
Apabila persyaratan TPC tidak dapat dipenuhi, maka hasilnya adalah koefisien
partisi semu Dalam biofarmasetika dan pada berbagai tujuan yang lan, umumnya
memiliki kondisi non ideal dan tidak disertai koreksinya, sehingga hasilnya
adalah partisi semu. Biasanya sebagai fase lipoid adalah oktanol, kloroform,
sikloheksana, isopropil miristat, dan lain-lain Fase air yang biasanya digunakan
adalah larutan dapar.

2.3 Kegunaan Koefisien Partisi


Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat digunakan
untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan eliminasi obat di dalam tubuh.
Pengetahuan tentang nilai P dapat digunakan untuk memperkirakan onset kerja obat atau
durasi kerja obat, atau untuk mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian
kimia medisinal, yaitu ilmu pengetahuan tentang rancangan obat yang rasional,
melibatkan hubungan struktur – aktivitas, yang menggunakan koefisien partisi dalam
persamaan matematika yang mencoba menghubungkan anatar aktivitas biologis suatu
obat dengan karakteristik fisika dan kimianya.
Pada kenyataannya, hubungan sederhana di atas berlaku hanya jika zat terlarutnya
tidak terion pada pH pengukuran. Jika zat terlarut merupakan asam lemah atau basa
lemah (dan terdapat obat dalam jumlah yang besar), proses ionisasi untuk membentuk
garam akan sangat memengaruhi profil kelarutan obat. Garam yang terion penuh akan
jauh lebih mudah terlarut di dalam air dibandingkan dengan asam atau basa yang tidak
terion, sehingga perbandingan di atas akan bervariasi bergantung pada pH pengukuran.
Ada dua cara untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama, rincian percobaan diatur
untuk memastikan bahwa P terukur merupakan koefisien partisi molekul-molekul yang
tidak terion (ini berarti nilai P untuk asam diukur pada pH rendah ketika asam tidak
terion, dan sama halnya koefisien partisi untuk basa diukur pada pH tinggi untuk
mencegah terjadinya ionisasi); atau kedua, perbandingan di atas didefinisikan kembali
sebagai koefisien partisi tampak, untuk membedakannya dari koefisien partisi spesies
yang tidak terion, yang kini disebut sebagai koefisien partisi sebenarnya.

4
Koefisien partisi tampak (apparent partition coefficient, Papp) bergantung pada
proporsi senyawa yang terdapat di dalam larutan, yang selanjutnya bergantung pada pH
larutan, atau

Papp = P × ftidak terion

ftidak terion sama dengan fraksi jumlah total obat yang tidak terion pada pH tersebut. Ini
berarti jika ftidak terion = 1, Papp = Ptrue dan senyawanya tidak terion.
Kisaran kemungkinan nilai P yang ditemukan dalam molekul obat adalah luas,
mulai dari fraksi yang kecil hingga bernilai beberapa ribu. Dengan alasan ini, telah umum
digunakan bentuk logaritma (bilangan dasar 10) koefisien partisi atau log P. Ini berlaku
terutama pada hubungan kuantitatif struktur-aktivitas (quatitative structur-activity
relationship, QSAR). Pada QSAR, sifat-sifat fisiko-kimia suatu obat (seperti
hidrofobisitas, interaksi sterik atau efel elektronik) diukur, dan sebuah persamaan
diturunkan, yang dapat digunakan untuk memperkirakan aktivitas biologi, obat-obat yang
serupa lainnya. Teknik QSAR menjadi populer dengan adanya kemajuan dalam komputer
yang mampu melakukan analisis regresi ganda untuk mendapatkan persamaan yang
cukup ompleks yang diperlukan.
Dalam mengkaji sifat-sifat di atas, maka digunakan deskriptor deskriptor sebagai
parameter terseleksi. Deskriptor merupakan sifat-sifat alamiah yang dimiliki oleh suatu
senyawa dan diperkirakan memiliki korelasi terhadap aktivitas atau sifat-sifat kimia dan
fisika senyawa tersebut. Banyak jenis deskriptor yang telah digunakan dalam analisis
QSAR, di antaranya adalah: koefisien partisi oktanol-air (log P), muatan parsial (q),
momen dwi kutub (μ), konstanta Hammet (σ), polarisabilitas(α ), berat molekul, volume
molar (Vm), dan luas permukaan van der Waals.
Nilai Log P (koefisien partisi n-oktanol – air) merupakan parameter penting dalam
perancangan senyawa obat baru, karena sistem n-oktanol – air merupakan pelarut yang
mirip dengan darah manusia. Semakin besar nilai Log P, maka dapat digambarkan bahwa
kelarutan senyawa tersebut di dalam darah manusia semakin baik.
Besarnya senyawa yang bercampur atau larut dalam oktanol tergantung pada
koefisien partisi oktanol/air (O/A) dari senyawa tersebut. Makin tinggi koefisien
partisinya menunjukkan bahwa senyawa tersebut semakin bersifat lipofil artinya semakin
mudah terlarut dalam lemak. Sebaliknya apabila koefisien O/A nya semakin rendah

5
senyawa tersebut lebih mudah larut dalam fase air atau disebut bersifat hidrofil. Dengan
menghitung besarnya cacahan radioaktivitas dalam fase oktanol dibanding dengan
radioaktivitas dalam fase air dapat diketahui koefisien partisinya, sedangkan
lipofilisitasnya dinyatakan dengan P(oct/air) yang sama dengan logaritma dari koefisien
partisi O/A (Nunn, 1992 dalam Oekar dkk, 2010).
Lipofilisitas = logP(oct)

dimana,
radioaktivitas fraksi oktanol
P(oct) =
radioaktivitas fraksi air

Karakteristik fisiko-kimia yang diteliti dari suatu radiofarmaka adalah nilai


lipofilisitas dengan cara menentukan besarnya koefisien partisi radiofarmaka tersebut
dalam pelarut nonpolar dan polar, yang dinyatakan dengan log Poct/air. Penentuan
koefisien partisi (POc/Air) suatu radiofarmaka adalah penting untuk mengetahui cara kerja
atau untuk mengetahui akumulasi radiofarmaka apabila telah dimasukkan ke dalam
tubuh. Senyawa yang mempunyai Poct/air tinggi artinya bersifat lipofilik dan sangat mudah
menembus lapisan lipid. Sebaliknya yang mempunyai nilai Poct/air rendah artinya bersifat
hidrofilik akan sangat mudah diekskresikan melalui ginjal. Hal ini akan mempengaruhi
sifat biologisnya seperti toksisitas dan juga akan menentukan efek radiasi terhadap tubuh.
Koefisien partisi lipid – air dari suatu obat, yaitu rasio dari kelarutan di dalam
suatu pelarut organik terhadap kelarutan obat tersebut di dalam air. Umumnya, semakin
besar koefisien partisi dan kelarutan obat dalam lipid, makin mudah suatu obat
menembus membran sel

6
Gambar 1. Macam-macam rute gerakan obat melewati membran sel (sumber : Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2009)

2.4 Pengukuran percobaan koefisien partisi


Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai p di laboratorium kimia
antara lain :
1. Metode labu kocok
Pada metode ini, obat yang ditentulan nilai P-nya dimasukkan secara
tradisional ke dalam corong pisah yang mengandung kedua fase tidak bercampur
walaupun akan sama baiknya jika kita menggunakan tabung sentrifus (dan
memerlukan sampel yang lebih sedikit). Kedua fase tak bercampur yang dipilih
biasanya adalah 1-oktanol dan larutan penyangga dengan pH 7,4 . Oktanol digunakan
pada penentuan koefisien partisi karena hasil yang diperoleh memiliki korelasi
terbaik dengan data biologi yang didapatkan secara in vivo ini. Ini mungkin karena
kedelapan atom karbon pada dasarnya bersifat hidrofobik (atau tidak suka air), dan
satu gugus hidroksilnya bersifat hidrofilik (atau suka air), dan secara bersama-sama
memberikan keseimbangan yang paling mendekati dengan yang ditemukan pada
membran sel manusia. Penyangga berait dengan pH 7,4 menggambarkan
kompartemen berair di dalam tubuh, misalnya plasma darah.

Kedua fase dicampurkan untuk mendapatkan oktanol terjemahkan larutan


penyangga pada fase bagian atas dan larutan penyangga terjenuhkan oktanol pada
fase bagian bawah. Begitu kedua fase terpisah (dibutuhkan waktu beberapa saat),
obat segera ditambahkan dan isi labu di kocok secara mekanik selama paling tidak 1
jam. Kedua fase dibiarkan memisah (atau disentrifuge jika anda sedang terburu-buru)
dan kemudian konsentrasi obat di dalam fase berair ditentukan. Ini dapat dilakukan
dengan cara titrasi jika obat tersebut cukup asam atau basa, atau yang lebih sering
digunakan secara spektrofotometri. Konsentrasi di dalam fase oktanol diketahui
dengan cara pengurangan dan nilai dapat dihitung Metode ini bekerja dengan sangat
baik jika jumlah sampel cukup dan obat memiliki gugus kromofor untuk penetapan
kadar spektroskopi fase berair.
Hal yang penting pada jenis ekstraksi cair-cair ini bukanlah volume fase
organik, melainkan jumlah pengekstraksian yang dilakukan, Ekstraksi 10 ml fase

7
organik sebanyak 5 kali akan memisahkan senyawa yang lebih banyak disbanding
kan dengan satu kali ekstraksi volume 50 ml, walaupun volume total pelarut organik
yang digunakan sama. Sama halnya, sepuluh kali ekstraksi fasa organik sebanyak 5
ml akan lebih efisien lagi dan demikian seterusnya. Efek ini (yang umum pada semua
jenis ekstraksi) merupakan sesuatu yang masuk akal. Setiap kali salah satu fase
dipindahkan dan digantikan dengan pelarut yang baru. kesetimbangan untuk proses
partisi akan tersusun ulang sesuai dengan perbandingan koefisien partisi, dan obat
akan meninggalkan fase berair menuju fase organic dan memperbaiki perbandingan
kesetimbangan.
Suatu persamaan dapat diturunkan untuk menghitung peningkatan efisiensi
penggunaan ekstraksi ganda terhadap ekstraksi tunggal:

n
A
Wn = W ( )
PS + A

Wn adalah massa obat yang tertinggal di dalam fase berair setelah n kali
ekstraksi, W adalah massa awal obat di dalam fase berair, A adalah volume fase
berair, S adalah volume fase pelarut (atau senyawa organik), P adalah koefisien
partisi, n adalah jumlah ekstraksi.

2. Kromatografi lapis tipis (KLT)


Pada teknik ini, nilai Rf obat digabungkan dengan koefisien partisi secara
matematika. Plat tipis atau lembaran kertas diberi lapisan awal dengan fase organik
(biasanya parafin atau oktanol) dan dibiarkan mengering. Sampel kemudian
diletakkan pada plat dan plat dibiarkan mengembang. Fase gerak yang digunakan,
dapat berupa air atau campuran air dengan pelarut organik yang dapat bercampur
(seperti aseton) untuk meningkatkan kelarutan obat.
Setelah plat mengembang, bercak-bercak yang terbentuk segera dilihat (dengan
menggunakan lampu ultraviolet jika obat tersebut memiliki gugus kromofor, atau
dengan uap iodin jika obat tidak memiliki gugus kromofor), dan Rf masing-masing
bercak ditentukan. Rf adalah hasil pembagian antara jarak perpindahan bercak
dengan jarak pengembangan pelarut, dan dituliskan dalam bentuk nilai desimal. Rf
dapat dihubungkan dengan koefisien partis melalui persamaan di bawah ini.

8
k
P=
1
(R ) − 1
f

K adalah tetapan untuk sistem yang digunakan, yang ditentukan dengan


menjalankan sejumlah senyawa-senyawa standar yang nilai P-nya telah diketahui di
dalam sistem dan nilai dan menghitung k.
Metode KLT dalam penentuan nilai P memberikan hasil terbaik pada senyawa-
senyawa yang memiliki struktur dan sifat-sifat fisika yang mirip. Keuntungan
menggunakan teknik ini di dalam menentukan nilai P adalah banyaknya senyawa
yang dapat ditentukan secara bersamaan pada satu plat, dan jumlah sampel yang
diperlukan sangat sedikit. Sebaliknya, sulit untuk menemukan standar yang sesuai,
dan fase gerak berair memerlukan waktu hingga berjam-jam untuk dapat bergerak
naik pada plat KLT yang berukuran besar.

3. Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)


Metode analisis ini memiliki prinsip kimia yang sama dengan metode KLT,
hanya metode ini memiliki efisiensi (serta biaya) yang jauh lebih besar. Sebagai
pengganti nilai Rf, waktu retensi obat ditentukan dan dihubungkan dengan P melalui
persamaan yang sama dengan persamaan untuk KLT. Waktu retensi, seperti
namanya, adalah waktu yang diperlukan sampel untuk terelusi dari kolom KCKT.
Kelemahan utama teknik ini di dalam menentukan nilai P adalah pendeteksian obat
yang tidak memiliki gugus kromofor ketika detektor UV tidak dapat digunakan. Pada
kasus seperti ini, hal yang harus dilakukan adalah menghubungkan sistem KCKT
dengan detektor indeks bias (refractive index, RI) atau detektor elektrokimia
(electrochemical detector, ECD). Detektor RI bekerja berdasarkan perubahan indeks
bias fase gerak ketika zat terlarut terelusi untuk mendeteksi sinyal, sementara fungsi
ECD seperti elektroda kecil untuk mengoksidasi atau mereduksi analit pada saat
terelusi. Pada kasus lain, sebelum dilakukan penentuan nilai P, yang harus
dipertimbangkan dengan serius adalah menentukan nilai P obat-obat lainnya. Oleh
karena itu, jangan pernah membuat senyawa yang tidak dapat dideteksi dengan UV.
Pengoptimalan sistem KCKT dengan RI atau ECD memerlukan waktu yang sangat
lama, maka metode pendeteksian dengan cara ini sebaiknya dihindari.

9
Ada beberapa keuntungan pada penentuan P dengan metode KCKT, yaitu tidak
memerlukan sampel yang banyak dan sampel juga tidak harus murni 100. Selain itu,
apabila telah didapatkan sistem yang lengkap, biaya penentuannya hanya sebatas
pada pembelian pelarut tingkat KCKT dan membayar biaya listrik yang digunakan.

2.5 Pemilihan pelarut


Kelarutan obat dalam suatu pelarut tertentu dipengaruhi oleh struktur kimia obat
tersebut. Olek karena itu nilai log kofesien partisi ( log p ) sering digunakan sebagai
parameter yang hubungkan antara struktur kimia obat dan aktifitas biologi. Nilai log
p yang benar menunjukkan lipofiritas yang benar.

2.6 Hubungan Koefisien Partisi dengan Drug Delivery


Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam
tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat harus menembus sejumlah sel untuk
mencapai reseptor. Dimana koefisien partisi juga menentukan jaringan mana yang dapat
dicapai oleh suatu senyawa. Senyawa yang sangat mudah larut dalam air (hidrofilik) tidak
akan sanggup melewati membran lipid untuk mencapai organ yang kaya akan lipid,
misalnya otak .

2.7 Hubungan Koefisien Partisi dengan Liposom


Liposom mulai dikembangkan oleh Bangham pada tahun 1965 sebagai sistem
penghantaran obat, sejak itu mulai banyak penelitian tentang liposom yang digunakan
untuk drug targeted, karena sistem ini mudah dimodifikasi. Sistem penghantaran obat
kanker dengan sistem liposom bertarget merupakan obyek utama dalam penelitian
liposom karena melalui sistem sistemik tidak hanya bekerja di sel kanker tapi bekerja di
sel lainnya. Pada artikel ini akan mulai dibahas dengan pemahaman tentang formulasi dan
evaluasi dari sistem liposom itu sendiri.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem

dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien

partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Selain itu,

organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi

ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan menjadi hambatan pada proses difusi zat

aktif.

Penentuan koefisien partisi secara eksperimen dilakukan dengan cara

pendistribusian senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem keseimbangan

termodinamik antara dua pelarut yang berbeda kepolaran yaitu pelarut n-oktanol dan air.

3.2 Saran

Makalah ini tidak luput dari kesalahan. Kami mengharapkan saran dan kritik dari

pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdassah, M., 2013, “Liposom Sebagai Sistem Penghantaran Obat Kanker”, Farmasi FMIPA
UNPAD, Bandung
Cairns, D., 2009,”Intrisari Kimia Farmasi”, Edisi kedua, EGC, Jakarta
Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, “Kajian Hubungan Kuantitatif Struktur Sifat
Terhadap Suhu Transisi Gelas Turunan Poli(Asam Akrilat)”, Prosiding Pertemuan
Ilmiah Pengetahuan dan Teknologi Bahan, Serpong
Kartika, W. I., 2013, “Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p-Metoksisinamat) Pada
Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi Sediaan Topikal”, Universitas Airlangga,
Surabaya
Nogrady, T., 1992,”Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia”, Edisi kedua, Terjemahan
Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB, Bandung

12

Anda mungkin juga menyukai