Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA II

“UJI KELARUTAN”

FARMASI G

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

Catur Salsa Bella J (201810410311073)

Farah Kamila Salsabila (201810410311296)

Sandy Budipangestu (201810410311303)

Dicky Dana Permana Putra (201810410311308)

Indah (201810410311316)

Nisaiyah Wahidatul Mamlu’ah (201810410311321)

Zetty Cahya Ningtiaz (201810410311332)

Safira Bunga Nurlita (201810410311333)

Aulina Trisna Sukmawaty (201810410311334)

Nur Annisa (201810410311347)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena penulis
dapat  menyelesaikan makalah ini dengan judul “ UJI KELARUTAN” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun sesuai materi perkuliahan yang terdapat di praktikum Farmasi Fisika
II yang telah dilaksanakan untuk memenuhi hasil praktikum Farmasi Fisika II. Materi-materi
penulis juga mengambil dari berbagai sumber pustaka dan beberapa website dari internet.
Dengan demikian, para pelajar farmasi dapat memperluas wawasannya, memahami, dan
mengaplikasikan isi makalah ini dalam kefarmasian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dalam penyusunan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat membantu mahasiswa farmasi maupun pembaca lain dalam
memahami praktikum Farmasi Fisika II. Kritik dan saran yang membangun selalu Penulis
harapkan demi membentuk sebuah bacaan/makalah yang lebih baik lagi.

Malang, 28 November 2019

i
Penyusun,

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.1. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3. Tujuan Percobaan..............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3
2.1. Dasar Teori........................................................................................................................3
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................................................9
3.1 Alat dan Bahan..................................................................................................................9
3.2 Prosedur Kerja.................................................................................................................10
3.3 Skema Kerja....................................................................................................................11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................................12
4.1 Pengukuran Pengaruh Pelarut Campur terhadap Parasetamol........................................12
4.2 Perhitungan Kadar Parasetamol Terlarut........................................................................12
4.3 Kurva Hubungan kadar Campur terhadap Kelarutan Parasetamo..................................15
4.4 Pembahasan.....................................................................................................................16
BAB V KESIMPULAN...............................................................................................................18
LAMPIRAN..................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Larutan merupakan suatu campuran homogen antara 2 zat dari molekul, atom
ataupun ion dimana zat yang dimaksud adalah zat padat, minyak larut dalam air. Secara
kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam
larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.

Kelarutan suatu senyawa dalam zat pelarut tergantung sifat fisik dan kimia dari
zat terlarut tersebut. Salah satu sifat fisik yang dapat kita amati setiap saat adalah
peristiwa larutnya suatu zat padat dalam pelarut air. Konsentrasi zat terlarut dalam larutan
jenuh pada temperatur tertentu disebut sebagai kelarutan. Kelarutan dalam bidang farmasi
sapat didefinisikan sebagai berikut kelarutan kelarutan suatu obat adalah 1 gram zat
terlarut yang akan dilarutkan dalam sejumlah mL pelarut.

Agar suatu obat dapat di absoprsi, maka obat tersebut mula-mula harus larut
dalam media cairan tempat absorpsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara
oral dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung usus. Melalui bidang farmasi
seseorang dapat mengetahui dan memilih medium pelrut yang baik untuk suatu obat atau
kombinasi obat, membantu mangatasi kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada
waktu pembuatan larutan. Kelarutan sangat penting untuk diketahui karena hal ini
diperlukan untuk memilih pelarut yang tepat untuk suatu sediaan obat.

1.1. Rumusan Masalah

1. Apa yang ditentukan dalam praktikum uji kelarutan?


2. Apa saja faktor yang mempengaruhi kelautan suatu zat?
3. Bagaimana usaha dalam meningkatkan kelarutan zat aktif dalam pembuatan sediaan
cair?

1.3. Tujuan Percobaan

1. Menentukan kelarutan suatu zat secara kuantitatif

1
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat
3. Menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan suatu
zat aktif dalam pembuatan sediaan cair

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar Teori

Kuantitatif :

Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut di dalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.

Kualitatif :

Interaksi spontan dari dua atau lebih senyawa membentuk dispersi molecular yang
homogen.

Kelarutan senyawa dalam pelarut polar seperti air, sebagian besar disebabkan oleh
polaritas pelarut, yaitu momn dipolnya. Pelarut polar melarutkan senyawa-senyawa ionic
dan senyawa polar lainnya. Di samping momen dipol ikatan hydrogen antara senyawa
dengan pelarut ternyata berpengaruh dominan pada proses pelarutan senyawa polar dalam
air.

Kelarutan senyawa polar juga ditentukan oleh struktur senyawa tersebut, yaitu
perbandingan antara gugus polar dan gugus non polar dalam senyawa. Apabila ada gugus
polar tambahan dari dalam molekul senyawa, seperti pada propilenglikol dan gliserin,
maka kelarutannya dalam pelarut polar semakin meningkat.

Pelarut semi-polar seperti propilenglikol dan etanol, dapat menginduksi molekul


secara non polar dengan derajat polarisasi tertentu, sehingga dapat larut dalam pelarut
tersebut.

Dengan demikian, untuk memperkirakan kelarutan suatu senyawa perlu


diperhatikan berbagai sifat yang menyebabkan terjadinya interaksi timbal balik antara
senyawa dengan pembawa seperti : polaritas, tetapan dielektrik, asosiasi, solvasi dan
sebagainya. Timbulnya sifat-sifat tersebut tergantung pada truktur molekul senyawa.

3
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain adalah :

1. Ph
2. Temperatur
3. Jenis pelarut
4. Bentuk dan ukuran partikel zat

Kelarutan juga tergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan
non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus polar dan non polar suatu zat
makin zat tersebut larut dalam air. Selain itu, penambahan surfaktan dapat juga
ditambahkan zat-zat ppembentuk kompleks untuk menaikkan kelarutan suatu zat,
misalnya penambahan uretan dalam pembuatan injeksi khinin (Tungandi, 2009).
Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat
dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian
bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut.
Kelarutan juga didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Kelarutan suatu senyawa tergantung pada
sifat fisika kimia zat pelarut dan zat terlarut, temperatur, pH larutan, tekanan untuk
jumlah yang lebih kecil tergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Bila suatu pelarut
pada temperatur tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya melarutkannya
larutan ini disebut larutan jenuh (Martin dkk, 1993).

4
4 Proses pelarutan suatu bahan dapat digambarkan terjadi dalam 3 tahap (Martin
dkk, 1993), tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahap pertama menyangkut pemindahan suatu molekul zat dari zat terlarut atau
pelepasan satu molekul dari kristal solut pada temperatur tertentu. Kerja yang
dilakukan dalam memindahkan satu molekul dari zat terlarut sehingga dapat lewat ke
wujud uap membutuhkan pemecahan ikatan antar molekul-molekul berdekatan.
Proses pelepasan ini melibatkan energi sebesar 2W22 untuk memecah ikatan antar
molekul yang berdekatan dalam kristal. Tetapi apabila molekul melepaskan diri dari
fase zat terlarut, lubang yang ditinggalkan tertutup, dan setengah dari energi diterima
kembali, maka total energi dari proses pertama adalah W22.
2. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang cukup besar
untuk menerima molekul zat terlarut. Energi yang dibutuhkan pada tahap ini adalah
W11. Bilangan 11 menunjukkan bahwa interaksi terjadi antar molekul solven.
3. Tahap ketiga molekul zat terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang pelarut.
Lubang dalam pelarut 2 yang terbentuk, sekarang tertutup. Pada keadaan ini, terjadi
penurunan energi sebesar – W12, selanjutnya akan terjadi penutupan rongga kembali
dan kembali terjadi penurunan energi potensial sebesar – W12, sehingga tahap ketiga
ini melibatkan energi sebesar – W12. Interaksi solut – solven ditandai dengan 12.
Ketiga tahap proses tersebut secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :

5
Secara keseluruhan, energi ( W ) yang dibutuhkan untuk semua tahapan proses
tersebut adalah :
W = W22 + W11 – 2W12………………………...….( 1 )
Semakin besar W atau selisih energi yang dibutuhkan pada tahap 1 dan 2 dengan
energi yang dilepaskan pada tahap 3, maka semakin kecil kelarutan zat. Bila suatu zat
melarut, kekuatan tarik menarik antar molekul dari zat terlarut harus diatasi oleh
kekuatan tarik menarik antara zat terlarut dengan pelarut. Ini menyebabkan
pemecahan kekuatan ikatan antar zat terlarut dan pelarut untuk mencapai tarik
menarik zat pelarut-pelarut (Martin dkk, 1993)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat padat dalam cairan antara
lain (Martin dkk, 1993):
a. Intensitas Pengadukan. Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat
padat tidak bergerak dan kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana
karakter zat padat tersebut menghambur dari dasar wadah. Zat padat dan
larutannya tidak berpindah ke atas sistem sehingga mempunyai perbedaan
konsentrasi. Pada pengadukan yang tinggi sistem menjadi turbulent. Gaya
sentrifugal dari putaran cairan mendorong partikel ke arah luar dan atas.
b. pH (keasaman atau kebasaan). Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obat-
obat ini bereaksi dengan kelompok asam dan basa kuat serta dalam jarak pH
tertentu berada pada bentuk ion yang biasanya larut dalam air, sehingga jelaslah
bahwa kelarutan elektrolit lemah sangat dipengaruhi oleh pH larutan.
c. Suhu. Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat
hubungannya dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan
didefinisikan sebagai banyaknya panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila
satu mol zat terlarut dilarutkan dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan
satu larutan jenuh. Kenaikan temperatur menaikkan kelarutan zat padat yang
mengabsorpsi panas (proses endotermik) apabila dilarutkan. Pengaruh ini sesuai
dengan asas Le Chatelier, yang mengatakan bahwa sistem cenderung
menyesuaikan diri sendiri dengan cara yang sedemikian rupa sehingga akan
melawan suatu tantangan misalnya kenaikan temperatur. Sebaliknya jika proses
pelarutan eksoterm yaitu jika panas dilepaskan, temperatur larutan dan wadah

6
terasa hangat bila disentuh. Kelarutan dalam hal ini akan turun dengan naiknya
temperatur. Zat padat umumnya termasuk dalam kelompok senyawa yang
menyerap panas apabila dilarutkan.
d. Komposisi cairan pelarut. Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran
pelarut daripada dalam satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut
bersama (kosolvensi) dan kombinasi pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut
disebut kosolven.
e. Ukuran partikel. Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran
partikel. Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat.
f. Pengaruh surfaktan. Obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah yang sukar
larut, dapat dilarutkan dengan bantuan kerja dari zat aktif permukaan dengan
menurunkan tegangan permukaan antara zat terlarut dengan mediumnya. Jika
digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan pelarutan obat
tergantung jumlah dan jenis surfaktan yang digunakan. Pada umumnya dengan
adanya penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan
pelarutan bahan obatnya (Lesson dan Cartensen, 1974).
g. Pembentukan kompleks. Gaya antar molekuler yang terlibat dalam
pembentukan kompleks adalah gaya van der waals dari dispersi, dipolar dan tipe
dipolar diinduksi. Ikatan hidrogen memberikan gaya yang bermakna dalam
beberapa kompleks molekuler dan kovalen koordinat penting dalam beberapa
kompleks logam. Salah satu faktor yang penting dalam pembentukan kompleks
molekular adalah persyaratan ruang. Jika pendekatan dan asosiasi yang dekat dari
molekul donor dan molekul akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan
atau mungkin berbentuk ikatan hidrogen dan berpengaruh lain harus
dipertimbangkan. Metode ini membuat pentingnya pembentukan kompleks
molekular. Dibawah kompleks ini diartikan senyawa yang antara lain terbentuk
melalui jembatan hidrogen atau gaya dipol – dipol, juga melalui antar aksi
hidrofob antar bahan obat yang berlainan seperti juga bahan obat dan bahan
pembantu yang dipilih. Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu
perubahan sifat yang lebih penting dari bahan obat, seperti ketetapan, daya
resorpsinya dan 10 tersatukannya, sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu

7
pengujian yang cermat dan cocok. Pembentukan kompleks sekarang banyak
dijumpai pengunaannya untuk perbaikan kelarutan, akan tetapi dalam kasus lain
juga dapat menyebabkan suatu perlambatan kelarutan (Voigt, 1984).
h. Tekanan. Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan
tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat
mengubah kelarutan suatu zat (Sienko dan Plane, 1961).

8
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

A. Alat
- spektrofotometer UV-Vis
- waterbath shaker
- Erlenmeyer
- Labu ukur
- Pipet volume
- Mikropipet
- Beaker Glass
- Batang pengaduk
- Filter holder
- membran filter 0,45micrometer
B. Bahan
- Parasetamol
- Gliserin (p.g)
- Propilen glikol (p.g)
- Aquades (Air suling)
C. Kebutuhan Pelarut
- Aquadest ad 50 ml ( A dan B)
- Penentuan Propilenglikol 5% ad 50 ml
5 ml x ml
=
100 ml 50 ml
x=2,5 ml
- Penentuan Propilenglikol 10% ad 50 ml
10 ml x ml
=
100 ml 50 ml
x=5 ml

9
- Penentuan Gliserin 5% ad 50 ml
5 ml x ml
=
100 ml 50 ml
x=2,5 ml
- Penentuan Gliserin 10% ad 50 ml
10 ml x ml
=
100 ml 50 ml
x=5 ml

3.2 Prosedur Kerja

A. Penentuan Kelarutan
1. Ke dalam erlenmeyer 100 ml diisi pelarut sebanyak 50,0 ml.
2. Gelas erlenmeyer ditempatkan pada waterbath shaker yang telah dilengkapi
dengan penangas air pada suhu konstan (35 ± 0,5°C).
3. Timbang parasetamol ±1,5 gram, dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang telah
berisi pelarut (2).
4. Dikocok pada kecepatan dan suhu konstan sampai diperoleh larutan parasetamol
jenuh (sebelumnya dilakukan orientasi waktu tercapainya kelarutan jenuh
parasetamol dengan menggunakan pelarut air).
5. Setelah tercapai kesetimbangan larutan jenuh, pengocokan dihentikan dan
didiamkan selama 10 menit.
6. Diambil larutan bagian atas dengan semprit injeksi sebanyak 3 ml lalu disaring
menggunakan filter holder yang telah dilengkapi membran filter 0,45 µm
dipasang, semprit injeksi ditekan dan larutan ditampung ke dalam tabung reaksi.
7. Larutan tersebut dipipet sebanyak 100 µl, dimasukkan labu ukur 25,0 ml dan
diencerkan secara kuantitatif.
8. Ditentukan kadarnya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
244 nm.
9. Ditentukan kadar parasetamol dengan menggunakan kurva baku yang tersedia.
B. Pembuatan Larutan Baku Parasetamol
1. Buat larutan parasetamol dengan kadar 2,0 sampai 10,0 ppm.
2. Amati dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum (244 nm).

10
3. Buat kurva baku (kadar vs absorban) dan gaya regresi y = bx+a.
Kurva baku parasetamol (panjang gelombang maks = 243,04 nm)
Kadar Absorbansi
2,096 0,1356
5,240 0,3441
8,384 0,5395
10,480 0,6422
20,960 1,4065
Persamaan regresi : Y = 0,06740x – 0,01610 (r=0,99928)

3.3 Skema Kerja

Dimasukan pelarut sebanyak 50ml ke dalam erlenmayer 100ml

Letakkan erlenmayer pada watterbath shaker yang dilengkapi pemanas air pada suhu
konstan 26 derajat celcius (suhu ruang)

Ditimbang parasetamol kurang lebih 2 gram

Dimasukan ke dalam erlenmayer yang telah berisi pelarut

Kocok pada kecepatan dan suhu konstan ad jenuh (1 jam) diamkan 10 menit

Diambil dengan spatula injeksi 5ml bagian

Pasang filter holder yang dilengkapi membran filter 0,45 mikrometer masukkan ke
tabung reaksi

Dipipet 100 mikromillil masukkan ke labu ukur 25,0ml dan diencerkan secara
kuantitatif. Ditentukan kadarnya

11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengukuran Pengaruh Pelarut Campur terhadap Parasetamol

Tabel kelarutan paracetamol pada berbagai kadar pelarut campur :

No Pelarut Absorba Kadar Kadar x Kelarutan


n (ppm) pengenceran
1 Aquadest A 0,312 4,8680 4868 ppm 1 : 205,42
2 Aquadest B 0,532 8,1320 8132 ppm 1 : 122,97
3 Propilenglikol 5% 0,271 4,2596 10649 ppm 1 : 93,91
4 Propilenglikol 10% 0,206 3,2953 8238,3 ppm 1 : 121,39
5 Glyserin 5% 0,690 10,4763 10476,3 ppm 1 : 95,45
6 Glyserin 10% 0,429 6,6039 6603,9 ppm 1 : 151,41

4.2 Perhitungan Kadar Parasetamol Terlarut

Regresi → y =bx+a y = 0,06740x + (-0,01610)

1. Aquadest A
0,312 = 0,06740x - 0,01610
X = 4,8680 ppm
2. Aquadest B
0,532 = 0,06740x - 0,01610
X = 8,1320 ppm
3. Propilenglikol 5%
0,271 = 0,06740x - 0,01610
X = 4,2596 ppm
4. Propilenglikol 10%
0,206 = 0,06740x - 0,01610
X = 3,2953 ppm

5. Glyserin 5%

12
0,690 = 0,06740x - 0,01610
X = 10,4763 ppm
6. Glyserin 10%
0,429 = 0,06740x - 0,01610
X = 6,6039 ppm
 Kadar x Pengenceran
1. Aquadest A = 4,8680 ppm x 1000 = 4868 ppm
2. Aquadest B = 8,1320 ppm x 1000 = 8132 ppm
3. Propilenglikol 5% = 4,2596 ppm x 2500 = 10649 ppm
4. Propilenglikol 10% = 3,2953 ppm x 2500 = 8238,3 ppm
5. Gliserin 5% = 10,4763 ppm x 1000 = 10476,3 ppm
6. Gliserin 10% = 6,6039 ppm x 1000 = 6603,9 ppm
 Kelarutan
1. Aquades A
4868 mg 1000 mg
=
1000ml x ml
x = 205, 42 ml
1 :205 , 42
2. Aquades B
8132mg 1000 mg
=
1000 ml x ml
x=122,97 ml
1 :122,97
3. Propilenglikol 5%
10649mg 1000 mg
=
1000 ml x ml
x=93,91 ml
1 :93,91
4. Propilenglikol 10%
8238,3 mg 1000 mg
=
1000 ml x ml
x=121,39 ml

13
1 :121,39
5. Gliserin 5%
10476,3mg 1000 mg
=
1000 ml x ml
x=95 , 45 ml
1 :95 , 45
6. Gliserin 10%
6603,9 mg 1000 g
=
1000 ml x ml
x=151,42 ml

1 : 151,42

14
4.3 Kurva Hubungan kadar Campur terhadap Kelarutan Parasetamo

Kurva Kadar Vs Konsentrasi Propilenglikol


Kdar x Pengenceran (ppm) 12000 10649
10000

8000 8238.3

6000
4868
4000

2000

0
0% 2% 4% 6% 8% 10% 12%
Konsentrasi Propilenglikol (%)

Kurva Kadar Vs Konsentrasi Gliserin


12000
10476.3
Kadar x Pengenceran (ppm)

10000

8000
6603.9
6000
4868
4000

2000

0
50% 100% 150% 200% 250% 300% 350% 400% 450% 500% 550%
Konsentrasi Gliserin (%)

15
4.4 Pembahasan

Larutan adalah campuran homogen antara zat pelarut dan zat terlarut. Kelarutan
adalah kemampuan suatu zat melarut dalam pelarut tertentu.Larutan pada umumnya
dibagi menjadi tiga yaitu larutan jenuh adalah larutan yang zat terlarutnya dapat melarut
dalam zat pelarutnya dalam konsentrasi yang maksimal. Larutan lewat jenuh terjadi pada
saat zat terlarut sudah melewati batas maksimal zat pelarut untuk melarutkannya,yang
biasanya ditandai dengan terbentuknya endapan. Lautan tak jenuh terjadi saat zat terlarut
belum mencapai batas maksimal zat pelarut untuk melarutkannya.
Kelarutan dalam besaran kuantitatif didefinisikan sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu, sedangkan secara kualitatif didefinisikan
sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler
homogen. Menurut U.S.Pharmacopeia dan National Formulary definisi kelarutan obat
adalah jumlah ml pelarut di mana akan larut dalam gram zat terlarut
Pada praktikum ini, kami akan melihat pengaruh pelarut campur terhadap
kelarutan zat. Kelarutan zat yang dimaksud dalam percobaan ini adalah Paracetamol pada
pelarut campur yakni air, PEG, dan Glicerin.
Pada praktikum farmasi fisika kelompok 3 didapatkan hasinyal yaitu nilai
absorban dari aquadest adalah 0,312 dan 0,532. Nilai absorban pada propilenglikol 5%
adalah 0,271 sedangkan nilai absorban pada propilenglikol 10% adalah 0,206. Secara
teoritis nilai absorban pada aquadest harusnya yang lebih rendah dibandingkan nilai
absorban pada propilenglikol 5% dan 10%. Untuk nilai absorban pada glicerin 5% dan
10% didapatkan hasil 0,690 dan 0,429. Secara teoritis yang yang dihasilkan oleh
kelompok 3 pada glicerin bagus, karena hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
absorban aquadest maupun propilenglikol. Akan tetapi, nilai absorban pada glicerin 10%
rendah dibandingkan glycerin 5%. Kemudian untuk kelarutan, aquades A memiliki
kelarutan 1 : 205,42 aquades B memiliki kelarutan 1 : 122,97 Propilenglikol 5% memiliki
kelarutan 1 : 93,91 propilenglikol 10% memiliki kelarutan 1: 121,39 gliserin 5%
memiliki kelarutan 1: 95,45 dan gliserin 10% memiliki kelarutan 1 : 151,42.
Secara teoritis absorban yang dihasilkan oleh kelompok 3 pada glicerin bagus,
karena hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai absorban aquadest maupun
propilenglikol. Akan tetapi, nilai absorban pada glicerin 10% rendah dibandingkan

16
glycerin 5%. Kemudian untuk kelarutannya mengalami ketidaksesuaian dengan teoritis
pada hasil kelarutan aquades B yang seharusnya lebih besar daripada aquades A atau
mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Untuk Propilenglikol dan Glicerin
kelarutannya sesuai tidak sesuai dengan teoritis yaitu mengalami peningkatan pada
konsentrasi 10% dibandingkan konsentrasi 5%.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat praktikum disebabkan oleh beberapa
faktor seperti kurangnya teliti praktikan dalam menghitung atau mengamati percobaan,
kurangnya waktu yang lama untuk proses penjenuhan larutan sehingga penjenuhan
larutan harus dilakukan lebih dari 1 jam agar mendapatkan hasil larutan jenuh yang baik.

17
BAB V
KESIMPULAN
Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, suhu, jenis pelarut dan terlarut, zat
penambah kelarutan, volume pelarut, dan pembentukan kompleks. Pada percobaan ini, terfokus
pada jenis pelarut yang berbeda dan zat terlarutnya sama yaitu paracetamol. Usaha-usaha yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat aktif dalam sediaan cairan seperti,modifikasi
kimia, penambahan bahan ketiga untuk membentuk antar molekul kompleks dengan zat terlarut,
penambah kosolven, dan penambahan surfaktan.

Pada percobaan yang telah kelompok kami lakukan yaitu kelarutan antara paracetamol
dan aquadest, paracetamol dan propilenglikol, paracetamol dan gliserin. Pada pelarut aquadest,
aquadest A yang diaduk menggunakan magnetic stirer memiliki absorban lebih rendah yaitu
0.312, sedangkan aquadest B yang diletakkan pada waterbath shaker memiliki absorban 0.532.

Hasil yang kami miliki pada pelarut propilenglikol dan gliserin tidak sesuai teoritis, yang
seharusnya absorban propilenglikol 5% lebih rendah daripada propilenglikol 10% dan gliserin
5% lebih rendah daripada gliserin 10%. Namun, data yang kami dapat absorban propilenglikol
10% dan gliserin 10% lebih rendah daripada propilenglikol 5% dan gliserin 5%.

18
LAMPIRAN

19
(E-Book Farmakope Indonesia Edisi V halaman 32)

DAFTAR PUSTAKA
Martin, A., 1993, Physical Pharmacy, 4th ed., Lea&Febiger, Philadelphia, London, P.324-361.

Florence A.T., and Attwood D., 1998, Physicochemical Principles of Pharmacy, 3rd Ed. The
Macmillan Press Ltd.

Tugadi, Robert. 2009. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Jurusan Farmasi Universitas Negeri
Gorontalo. Gorontalo.

Lesson, L.J., 1974, Disolution Technology, 3-22, the Ind Pharm Techn Section of the Acad of
Pharm Scrences, Washington.

Voigt, R., Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soendani N, Edisi V, 593-
595; 600, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sienko, M.J., Plane, R.A., 1961, Chemistry, 2nd Ed., 206-211, McGrawHill Book Co., New York.

Kementerian Kesehatan RI, 2014, Farmakope Indonesia Edisi V, Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Kesehatan

20

Anda mungkin juga menyukai