Anda di halaman 1dari 40

Laporan Praktikum

FARMASI FISIKA

“ KELARUTAN DAN KOEFISIEN DISTRIBUSI”

OLEH :

NAMA : FITRIAWATI KALUKU


NIM : 821319054
KELAS : B- D3 FARMASI 2019
KELOMPOK : II (DUA)
ASISTEN : BELINDA A. MANTALI

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
Lembar Pengesahan

LAPORAN PRAKTIKUM
FARMASI FISIKA
“ KELARUTAN DAN KOEFISIEN DISTRIBUSI ”

OLEH

FITRIAWATI KALUKU
(821319054)
B – D3 FARMASI 2019

MENGETAHUI Gorontalo, Oktober 2020


ASISTEN
NILAI

BELINDA A. MANTALI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nya kami bisa menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Fisika
dengan judul “Kelarutan dan Koefisien Distribusi”. Kami menyadari bahwa
dalam penyelesaian laporan ini tercapai berkat bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami berterima kasih kepada asisten-asisten Farmasi Fisika yang
telah membimbing pada saat praktikum sampai pembuatan laporan ini, Sehingga
laporan praktikum Farmasi Fisika ini dapat terselesaikan.
Tujuan pembuatan laporan praktikum ini untuk menunjang pengetahuan
kepada pembaca mengenai kelarutan dan koefisien distribusi, juga digunakan
sebagai pelengkap pelajaran dalam laboratorium Teknologi Farmasi.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini terdapat kekurangan. Untuk
itu kami memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dalam
penulisan laporan praktikum ini.

Penyusun,

Fitriawati Kaluku
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Maksud dan Tujuan ...................................................................... 2

1.3 Prinsip Percobaan ......................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3

2.1 Teori ............................................................................................. 3

2.2 Uraian Bahan ................................................................................ 8

BAB III METODE KERJA ........................................................................... 11

3.1 Alat yang digunakan .................................................................... 11

3.2 Bahan yang digunakan ................................................................. 11

3.3 Cara Kerja .................................................................................... 11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 14

4.1 Tabel Hasil Pengamatan ............................................................... 14

4.2 Perhitungan .................................................................................. 14

BAB V PEMBAHASAN ............................................................................... 17

BAB VI PENUTUP ......................................................................................... 20

5.1 Kesimpulan .................................................................................. 20

5.2 Saran ............................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam bidang farmasi, untuk memilih medium pelarut yang paling baik
untuk obat atau kombinasi obat, akan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetik, dan lebih jauh
lagi dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian. Pengetahuan yang lebih
mendetail mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga
memberikan informasi mengenai struktur obat dan gaya antarmolekul obat.
Selain itu, pelepasan zat dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat
kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat baru dapat
diabsorbsi setelah zat aktifnya telarut dalam cairan usus, sehingga salah satu
usaha untuk mempertinggi efek farmakologi dari sediaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya.
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat telarut melarut pada suatu pelarut.
Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan
sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk disperse
molekular homogen. Kelarutan suatu senyawa bargantung pada sifat fisika, dan
kimia zat terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan,
pH larutan dan untuk jumlah yang kecil, bergantung pada hal terbaginya zat
terlarut.
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut
dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah etanol di
dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris lebih tepatnya disebut miscible.
Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni ataupun
campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat. Kelarutan
bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit terlarut, seperti
perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering diterapkan pada
senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada sangat sedikit kasus
yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa kondisi, titik
kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan
yang disebut lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil
(Woedepss) (Tungandi, 2009).
1.2 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan zat padat dalam pelarut
pada berbagai suhu dan koefisien distribusi zat padat dalam dua pelarut yang
tidak saling bercampur.
1.3 Tujuan Percobaan
Menentukan kelarutan dari asam salisilat pada suhu kamar dan suhuu panas
serta koefisien distribusi dari paracetamol dalam pelarut air dan minyak kelapa
yang tidak saling bercampur.
1.4 Prinsip Percobaan
Penentuan tingkat kelarutan asam salisilat pada suhu yang berbeda dengan
menghitung berat residu asam salisilat, dimana berat residu akan menentukan
konsentrasi suatu larutan dan penentuan koefisien distribusi paracetamol
berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat dalam dua pelarut yang tidak
saling bercampur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Kelarutan
Kelarutan suatu zat dalam suatu pelarut tertentu dan pada suhu tetap.
Senyawa mempunyai beberapa bentuk-bentuk Kristal yang berbeda. Perbedaan
ini dapat diperlihatkan dalam bentuk kelarutannya ini dapat digunakan sebagai
suatu cara untuk menetapkan apakah suatu senyawa membentuk Kristal berbeda
atau tidak (Martin, 1999).
Kelarutan dapat didefinisikan dalam besaran kualitatif sebagai kosentrasi
zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif
dapat didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk
membentuk disperse molekuler homogen (Martin, 1990).
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu tertentu. Larutan dalam campuran homogen bahan yang
berlainan dapat dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat
didalam cairan. Disamping itu terdapat larutan didalam kondisi padat (misalnya
gelas, bentuk Kristal campur) (Voight, 1995).
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh
adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam kosentrasi di bawah
kosentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada suhu tertentu, dan
larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam
kosentrasi lebih banyak daripada yang seharusnya ada pada temperatur tertentu,
terdapat juga zat terlarut yang tidak larut (Martin, 1990).
2.1.2 Istilah Kelarutan
Jika kelaruatan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya
dapat ditunjukkan dengan istilah berikut (Dirjen POM, 1979):
Istilah Kelarutan Jumlah bagian pelatut diperlukan
untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 0
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1.000
Sangat sukar larut 1.000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi kelarutan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan sebagai berikut (Sardjoko,
1987; Sinila, 2016):
1. Sifat dari solute dan solvent
Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan substansi
polar lainnya. Substansi nonpolar cenderung untuk miscible dengan
substansi nonpolar lainnya, dan tidak miscible dengan substansi polar
lainnya Sifat pelarut
2. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak
mudah terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin sukar
larut, sedangkan semakin besar pKa maka suatu zat akan akan mudah larut.
Suatu larutan digolongkan asam kuat jika memiliki daya hantar listrik kuat
(larutan elektrolit kuat) dan nilai pH rendah (konsentrasi molar ion H+
tinggi). Sebaliknya, jika daya hantar listrik lemah dan nilai pH sedang
(sekitar 3–6), larutan tersebut tergolong asam lemah. Demikian juga larutan
basa dapat digolongkan sebagai basa kuat jika memiliki daya hantar listrik
kuat dan pH sangat tinggi. Jika daya hantar listrik lemah dan nilai pH
sedang (sekitar 8–11), larutan tersebut tergolong sebagai basa lemah (Sinila,
2016).
3. Suhu
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/ kalor (reaksi eksotermik)
4. Solution aditif
Additivies baik dapat meningkatkan atau mengurangi kelarutan zat
terlarut dalam pelarut tertentu.
5. Cosolvensi (Zat Penambah Kelarutan)
Cosolvensi adalah peristiwa kenaikan kelarutan suatu zat
karena\ adanya penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut. Misalnya
luminal tidak larut dalam air, tetapi larut dalam campuran air dan gliserin
atau solutio petit.
6. Kelarutan
Zat yang mudah larut memerlukan sedikit pelarut, sedangkan zat
yang sukar larut memerlukan banyak pelarut. Kelarutan zat anorganik yang
digunakan dalam farmasi umumnya adalah:
a. Dapat larut dalam air
Semua garam klorida larut, kecuali AgCl, PbCl2, Hg2Cl2. Semua
garam nitrat larut kecuali nitrat base. Semua garam sulfat larut kecuali
BaSO4, PbSO4, CaSO4.
b. Tidak larut dalam air
Semua garam karbonat tidak larut kecuali K2CO3, Na2CO3. Semua
oksida dan hidroksida tidak larut kecuali KOH, NaOH, BaO, Ba(OH)2.
semua garam phosfat tidak larut kecuali K3PO4, Na3PO3.
7. Temperatur
Zat padat umumnya bertambah larut bila suhunya dinaikkan, zat
padat tersebut dikatakan bersifat endoterm karena pada proses kelarutannya
membutuhkan panas. Beberapa zat yang lain justru kenaikan temperatur
menyebabkan tidak larut, zat tersebut dikatakan bersifat eksoterm, karena
pada proses kelarutannya menghasilkan panas. Misalnya zat KOH dan
K2SO4
8. Salting Out
Salting Out adalah peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang
mempunyai kelarutan lebih besar dibanding zat utama, akan menyebabkan
penurunan kelarutan zat utama atau terbentuknya endapan karena ada reaksi
kimia.
9. Salting In
Salting In adalah adanya zat terlarut tertentu yang menyebabkan
kelarutan zat utama dalam solvent menjadi lebih besar.
10. Pembentukkan Kompleks
Pembentukan kompleks adalah peristiwa terjadinya interaksi antara
senyawa tak larut dengan zat yang larut dengan membentuk garam kompleks.
Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama- tama
harus menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas
lemak untuk kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat- zat yang larut
dalam lemak dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak
dapat mendifusi menyeberangi pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar,
jika tidak sama sekali. Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam
lemak, dan pH pada tempat absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai
obat merupakan dasar dari teori pH- partisi. Penentuan derajat disosiasi atau
harga pKa dari zat obat merupakan suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif
penting terhadap evaluasi dari efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari
berbagai tempat pemberian (Ansel, 1989).
2.1.4 Koefisien Distribusi
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1990).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak
dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka
hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol 5 air dari obat (Martin, 1999).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan : bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu
temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding
distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini
tidak tergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga
angka banding berubah dengan sifat dasar pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan
temperatur (Svehla,1990).
Perbandingan distribusi, koefisien distribusi, atau koefisien partisi
dikenal dengan tetapan kesetimbangan K atau persamaan yang dikenal dengan
hukum distribusi, jelas hanya dapat dipakai dalam larutan encer dimana
koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1990):
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam
larutan, yaitu menurut Cammarata (1995):
1. Temperatur
Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu
10℃.
2. Kekuatan Ion
Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik
Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik
diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan
ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju
distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya
sama maka laju distribusinya negatif.
4. Katalisis
Katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis negatif). Katalis
dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi
sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik
Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika
laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen
atau hidroksi.
6. Cahaya Energi
Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk
terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup
akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul– molekul.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh
sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa
senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang
mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak
diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel
(Ernest, 1999).
II.2 Uraian Bahan
1. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Aquadest
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak


berbau dan tidak mempunyai rasa
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2. Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe, 2009)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Etanol, alcohol
Rumus molekul : C2 H6 O
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah


menguap dan mudah bergerak, bau
khas, rasa panas. Mudah terbakar
dengan nyala biru yang tidak berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform dan dalam eter
Khasiat : Sebagai antibakteri, sebagai pelarut
Kegunaan : Sebagai zat pelarut dan tambahan, juga
dapat membunuh kuman serta dapat
mematikan dan menghambat
pertumbuhan jamur
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung
dari cahaya, ditempat sejuk,jauh dari nyala api
3. Asam Salisilat (Dirjen POM, 1995 ; Sweetman, 2009 ; British, 2009)
Nama resmi : Acidum salicylicum
Nama lain : Asam salisilat
Rumus molekul : C7H6O3
Berat molekul : 138,12 g/mol
Rumus struktur :
Pemerian : Hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus
atau serbuk hablur halus putih, rasa agak manis,
tajam
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam benzena,
mudah larut dalam etanol dan dalam eter, larut
dalam air mendidih,agak sukar larut dalam
kloroform
Khasiat : Anti Fungi (Anti Jamur)
Kegunaan : Sebagai sampel
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
BAB III
METODE KERJA
3.1 Alat
Alat yang digunakan pada perocbaan ini yaitu batang pengaduk,
corong, gelas ukur, kaca arloji, kertas perkamen, lumping danalu, neraca
ohouse, oven, pipet, dan pot salep.
3. 2 Bahan
Bahan yang digunakan pada pecobaan ini yatitu alkohol 70%,
aquadest, asam salisilat, kertas saring, dan tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Penentuan kelarutan
a. Penentuan kelarutan dengan air dalam suhu normal
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Dibersikan alat dengan menggunakan alcohol 70%.
3. Ditimbang Asam Salisilat sebanyak 2 gram.
4. Diukur air sebanyak 25 ml pada gelas ukur.
5. Dimasukan air sebanyak 25 ml kedalam gelas kimia .
6. Dimasukan Asam salisilat kedalam air 25 ml lalu diaduk hingga
homogen.
7. Ditimbang kertas saring kosong kemudian jenuhkan.
8. Disaring asam salisilat pada kertas saring dengan menggunakan
corong dan kertas saring.
9. Diambil residunya.
10. Dimasukan kedalam oven sampai kering agar tidak ada lagi kadar air.
11. Ditimbang kertas saring yang berisi asam salisilat yang sudah kering
b. Penentuan kelarutan dengan air dalam suhu tinggi
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersikan alat dengan menggunakan alcohol 70%
3. Dipanaskan air dengan menggunakan penangas air
4. Ditimbang asam salisilat sebanyak 2 gram
5. Diukur air yang telah dipanaskan sebanyak 25 ml kemudian
dimasukkan kedalam gelas kimia
6. Dimasukan asam salisilat kedalam 25ml air panas tadi lalu diaduk
hingga homogen
7. Ditimbang kertas saring kosong kemudian jenuhkan
8. Disaring asam salisilat pada kertas saring dengan menggunakan
corong dan kertas saring.
9. Diambil residunya
10. Dimasukan kedalam oven sampai kering agar tidak ada lagi kadar air
11. Ditimbang kertas saring yang berisi asam salisilat yang sudah kering
3.3.2 Penentuan koefisien distribusi
a. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%.
3. Ditimbang paracetamol sebnayak 0,1 g, kemudian dilarutkan dalam
100ml aquadest diaduk hingga homogen
4. Diambil larutan paracetamol tadi sebnayak 25ml untuk dititrasi.
5. Ditambahkan indikator fenolftalein sebnayak 2 tetes.
6. Dititrasi dengan NaoH sebanyak 25 tetes (1,25 ml) sampai terjadi
perubahan warna menjadi warna ungu.
7. Dicatat hasilnya.
8. Dihitung koefisien distribusinya
b. Penentuan koefisen distribusi dengan minyak
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Dibersihkan alat dengan menggunakan alkohol 70%.
3. Ditimbang paracetamol sebnyak 0,1 g, kemudian dilarutkan dalam
100ml aquadest diaduk hingga homogeny.
4. Diambil larutan paracetamol tadi sebnyak 25ml dimasukkan kedalam
corong pisah.
5. Ditambahkan dengan corn oil sebanyak 25 ml.
6. Dicampurkan larutan paracetamol dan corn oil dengan cara dikocok.
7. Didiamkan selama beberapa menit sampai larutan paracetamol dan
minyak terpisah atau terlihat batas antara keduanya.
8. Dipisahkan larutan paracetamol dan lapisan minyak.
9. Diambil larutan air yang mengandung air tadi untuk dititrasi..
10. Ditambahkan indikator fenolftalein sebnyak 2 tetes.
11. Dititrasi dengan NaOH sebanyak 18 tetes (0,9 ml) sampai terjadi
perubahan warna menjadi warna ungu.
12. Dicatat hasilnya.
13. Dihitung koefisen distribusinya
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Tabel Pengamatan
4.1.1 Kelarutan
Sampel Suhu Kertas saring kosong Kertas saring
residu
Asam salisilat Normal 0,405 g 1,978 g
Asam salisilat Panas 0,405 g 0,98g

4.1.2 Koefisien Distribusi


Volume Titran
Sampel Tanpa Minyak Dengan Minyak
Paracetamol 1,25 ml 0,9 ml

4.2 Perhitungan
4.2.1 Kelarutan
a. Berat residu
Diketahui : Kertas saring kosong (suhu normal)
= 0,405 g
Kertas saring residu (suhu normal)
= 1.978 g
Kertas saring kosong (suhu panas)
= 0,405 g
Kertas saring residu (suhu panas)
= 0,981 g
Penyelesaian :
a. Suhu normal : Kertas saring residu – kertas saring kosong
= 1,978 g – 0,405 g = 1,573 g
b. Suhu panas : Kertas saring residu – kertas saring kosong
= 0,981 g – 0,405 g = 0,576 g
b. Zat terlarut
Diketahui : Berat sampel = 2 g
Residu (suhu normal) = 1,573 g
Resid u (suhu tinggi) = 0,576 g
Penyelesaian :
Suhu normal : Berat sanpel – residu
= 2 gr – 1,573 g
= 0,427 g
Suhu panas : Berat sanpel – residu
= 2 gr - -0,576 g
= 1,424 g
c. Konsentrasi kelarutan
Diketahui : Volume pelarut = 25 ml
Zat terlarut (suhu normal) = 0,427 g
Zat terlarut (suhu tinggi) = 1,424 g
Penyelesaian :
zat terlarut
Suhu normal : x 100%
volume terlarut
0,427
= x 100% = 1,71 %
25
zat terlarut
Suhu tinggi : 𝑥 100%
volume terlarut
1,424
= x 100% = 5,96 %
25

4.2.2 Koefisien Distribusi


a. % kadar
Diketahui : Vtitran tanpa minyak = 1,25 ml
Vtitran dengan minyak = 0,9 ml
Ntitran = 0.1 N
BE = 40
Berat sampel = 0,1 g
Penyelesaian :
Vtitran x Ntitran x BE
%kadar tanpa minyak : 𝑥 100%
Berat sampel

1,25x 0,01 x 40
𝑥 100%
0,1 x 1.000
5
𝑥 100% = 5 %
100
Vtitran x Ntitran x BE
%kadar dengan minyak : x 100%
Berat sampel
0,9 x 0,01 x 40
𝑥 100%
0,1 x 1.000
3,6
𝑥 100%
100

3,6%
Koefisien fase minyak : % kadar minyak - % kadar tanpa minyak
= 3,6% - 5%
= -1,4 %
Fase Minyak −1,4%
Koefisien Distribusi : = = 0,6 %
% kadar minyak 5%
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan praktikum Kelarutan dan Koefisien Distribusi kali ini untuk
mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan zat padat dalam pelarut
pada berbagai suhu dan koefisien distribusi zat padat dalam dua pelarut yang
tidak saling bercampur.
Tujuan percobaan yaitu untuk menentukan kelarutan dari asam salisilat
pada suhu kamar dan suhu panas serta koefisien distribusi dari paracetamol
dalam pelarut air dan minyak kelapa yang tidak saling bercampur.
Prinsip percobaan ini yaitu penentuan tingkat kelarutan asam salisilat
pada suhu yang berbeda dengan menghitung berat residu asam salisilat, dimana
berat residu akan menentukan konsentrasi suatu larutan dan penentuan koefisien
distribusi paracetamol berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat dalam dua
pelarut yang tidak saling bercampur.
Alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu batang pengaduk, corong,
gelas ukur, kaca arloji, kertas perkamen, lumpang dan alu, neraca ohause, oven,
pipet, dan gelas kimia, sedangkan bahan yang digunakan yatitu alkohol 70%,
aquadest, asam salisilat, kertas Saring, paracetamol, minyak kelapa dan tisu
Langkah awal yang dilakukan yaitu menyiapkan semua bahan yang
diperlukan, setelah itu dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan dari
pembersihan alat ini untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada alat
karena menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi sebagai antiseptik
(membunuh atau mematikan mikrorganisme pada jaringan hidup dan
desinfektan (mematikan mikroorganisme pada benda mati).
Ditimbang kertas saring kosong dan ditimbang asam salisilat masing-
masing 2 gr. Selanjutnya, diukur aquadest masing-masing sebanyak 25 ml
menggunakan gelas ukur. Lalu dituangkan aquadest yang bersuhu kamar dan
setelah itu dimasukkan asam salisilat ke dalam wadah, lalu diaduk menggunakan
batang pengaduk dengan kecepatan pengadukan yang konstan atau sama, tujuan
dilakukan pengadukan sebagai penentuan suatu zat terlarut, semakin banyak
jumlah pengadukan, maka zat terlarut menjadi mudah larut. Kelarutan
bergantung juga pada sifat dan konsentrasi zat-zat lain terutama ion-ion dalam
campuran tersebut (Hardjaji, 1993)
Proses kelarutan di atur oleh tiga facktor. Facor utama adalah gaya
kohesi zat terlarut. Fakctor kedua adalah gaya kohesi perlarut dan ketiga adalah
hasil interaksi antara zat terlarut yang terdisolusi dan molekul pelarut setelah
pemutusan. Selanjutnya, dijenuhkan kedua kertas saring yang akan digunakan
untuk menyaring larutan asam salisilat dengan cara ditetesi air pada permukaan
kertas, agar pori-pori pada kertas saring terbuka. Menurut Effendi (2003),
penjenuhan kertas saring dilakukan untuk mempercepat lewatnya air pada kertas
saring. Setelah itu, disaring residu dari kedua larutan asam salisilat
menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan. Lalu kertas saring yang
berisi residu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 45°C sampai mengering.
Menurut Hasibuan (2005), tujuan pengeringan adalah untuk penghidratan atau
penghilangan sebagian atau keseluruhan uap air dari suatu bahan.
Setelah residu kering, kemudian ditimbang masing residu dan dihitung
kelarutannya. Dari penimbangan tersebut, didapatkan hasil penimbangan residu
kering pada suhu kamar memiliki berat 1,573 gr. Setelah dihitung maka
didapatkan nilai kelarutan pada suhu kamar yaitu 0,427 gr/ml.
Percobaan selanjutnya yaitu untuk menentukan koefisen distribusi.
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan koefisien distribusi zat terlarut
(NaOH) dalam sistem n-Heksan air berdasarkan ekstraksi pelarut, di mana
sampel NaOH diharapkan dapat terpisah dalam salah satu pelarut. Ekstraksi
pelarut adalah ekstraksi yang menggunakan dua fase cair yang berperan sebagai
pelarut, dalam hal ini n-Heksan dan air.

Kemungkinan kesalahan yang terjadi disebabkan oleh kesalahan


penimbangan awal sampel, kesalahan dalam cara kerja dan kesalahan dalam
perhitungan yang disebabkan oleh kesalahan perhitungan sampel diawali.
Dapat disimpulkan bahwa suhu dapat mempengaruhi suatu kelarutan,
karena semakin tinggi suhu maka semakin besar pula kelarutan dari suatu zat.
Dan berdasarkan pernyataan, ketika hasilnya <1 maka cenderung bersifat polar
(suka air) dan jika ia >1 maka dia non polar (suka minyak). Dan berdasarkan
hasil yang kami dapatkan pada percobaan koefisien distribusi kali ini adalah -
0,28%. Jadi, sampel Paracetamol ini bersifat polar (suka air).
Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat
hubungannya dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan
didefinisikan sebagai banyaknya panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila
satu mol zat terlarut dilarutkan dalam dalam suatu pelarut untuk menghasilkan
satu larutan jenuh. (Martin,dkk. 1993).
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa nilai
kelarutan asam salisilat pada suhu kamar yaitu 1,573 gr/ml. Hal ini
membuktikan bahwa suhu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses
kelarutan suatu zat. Jika zat di tambahkan ke dalam pelarut tidk bercampur
dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebt
tetap berdistribusi di antara kedua lapisan dengan perbandingan konsentrasi
tertentu.
Penentuan koefisien distribusi parasetamol tanpa minyak menunjukkan nilai
lebih besar dibandingkan perlakuan dengan minyak. Pengujian kadar pada hasil
titrasi mendapati hasil dengan kadar 3,6%. Penentuan koefisien distribusi
parasetamol tanpa minyak menunjukkan nilai lebih kecil dibandingkan perlakuan
tanpa minyak. Pengujian kadar pada hasil titrasi mendapati hasil dengan kadar 5%.
6.2 Saran
6.2.1 Untuk Asisten
Diharapkan asisten senantiasa mendampingi praktikan agar tidak terjadi
kesalahan pada praktikum berlangsung dan mengajari apabila praktikan tidak
mengerti.
6.2.2 Untuk Laboratorium
Perlu adanya penambahan sarana dan prasarana laboratorium agar lebih
lengkap sehingga jalannya praktikum dapat efisien, baik dalam waktu maupun
hasilnya. Diharapkan laboratorium juga melengkapi ketersediaan alat dan bahan
agar praktikum dapat berjalan mulus.
6.2.3 Untuk Jurusan
Sebaiknya jurusan menyediakan anggaran demi kebutuhan laboratorium
serta menyediakan anggaran demi kebutuhan laboratorium agar praktikum
berjalan lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. diterjemahkan oleh.


Ibrahim, F., Edisi IV, Jakarta, Universitas Indonesia Press,

Atkins PW. 1994. Physical Chemistry. Ed ke-5. England: oxford Univ Pr,.

Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.Jakarta: UI Press. Pp. 940-1010,


1162, 1163, 1170.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen.


Kesehatan RI.

Ditjen POM. 2009. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi pertama. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI. Hal. 52.

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta , Penerbit : Kanisius.

Ernest, Mutschler. 1999. Dinamika Obat. Penerjemah: Mathilda B, Widianto


dan Anna Setiadi Ranti. Edisi V. Cetakan Ketiga. Bandung. Penerbit
ITB. Hal. 416.

Gholib. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

G.Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimiko.
Penerjemah: L.Setiono, A. HadyanaPudjaatmaka. Jakarta: PT. Kalman
Media Pusaka

Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar.Jakarta : Penerbit Gramedia.

Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi.
Bumi Aksara, Jakarta.

Kasmiyatun, Mega. 2010. Ekstraksi Asam Sitrat dan Asam Oksalat : Pengaruh
Konsentrasi Solut terhadap Koefisien Distribusi. Semarang : Program
Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Untag Semarang

Khopkar, S. M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas.


Indonesia Press.

Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A.1990. Farmasi Fisik Dasar dan
Kimia Fisik diterjemahkan oleh Yoshita, Edisi Ketiga, Hal 141-142,
Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Padmaningrum, R. T. 2008 .Titrasi Iodometri. Yogyakarta, UNY.

Sardjoko. 1987. Pedoman kuliah rancangan obat. Yogyakarta: PAU


Bioteknologi Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.

Sinala, S. 2016. Farmasi Fisik. Jakarta, Pusdik SDM Kesehatan,

Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta. 29–31.


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Voigt, R. 1995 .Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh.


Soendani N. S., Yogyakarta. UGM Press.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Alat dan Bahan
1. Alat
NAMA GAMBAR FUNGSI
Batang pengaduk Untuk mengaduk
larutan sampel

Buret Untuk media titrasi

Corong Untuk mempermudah


penuangan sampel

Corong pisah Untuk menyatukan


larutan air dan minyak

Erlenmeyer Untuk media larutan


saat penyaringan
Gelas ukur Untuk mengukur larutan

Kaca arloji Untuk meletakkan


residu saat pengeringan

Lumpang alu Untuk menggerus


sampel padat

Neraca analitik Untuk mengukur sampel

Oven Untuk mengeringkan


sampel

Penangas air Untuk memanaskan air


Pot sampel Untuk menyatukan zat
pelarut dan zat terlarut

Spatula Untuk mengambil


sampel

Sudip Untuk mengambil


sampel pada lumpang
alu

2. Bahan
NAMA GAMBAR FUNGSI
Alkohol Sebagai pembersihan
alat

Aquadest Sebagai pelarut sampel

Asam salisilat Sebagai sampel


kelarutan
Fenoftalein Sebagai indikator

Indiktor PP Sebagai indikator

Kertas perkamen: sebagai tempat


peletakkan sampel pada
saat penimbangan

Kertas saring Sebagai penyaringan


residu

Larutan baku NaOH Sebagai larutan baku

Minyak kelapa Sebagai tambahan


pelarut koefisien
distribusi
Paracetamol Sebagai sampel

Tisu Untuk membersihkan


sampel
Lampiran 2 : Diagram Alir

a. Larutan Suhu Normal

Asam Salisilat

- Di siapkan alat dan bahan


- Di bersihkan menggunakan alkohol 70%.
- Di timbang asam salisilat sebanyak 2 gr, lalu
dimasukkan ke dalam pot salep.
- Di Diukur aquadest sebanyak 25 ml lalu
dituangkan kedalam pot salep berisi asam salisilat.
Kemudian diaduk larutan tersebut.
- Disaring menggunakan kertas saring sampai
menghasilkan residu.
- Di letakkan residu di kaca arloji dan dimasukkan
ke dalam oven pada suhu 100ocsampai sampel
kering.
- Ditimbang residu asam salisilat yang telah kering.
- Dihitung kelarutan asam salisilat.

Hasil
b. Larutan Suhu Panas

Asam Salisilat

- Di siapkan alat dan bahan


- Dibersihakan menggunakan menggunakan
alkohol 70%
- Ditimbang asam salisilat sebanyak 2 gr, lalu
dimasukkan ke dalam pot salep.
- Dipanaskan aquadest dan diukur sebanyak 25 ml,
lalu dituangkan dalam pot salep yang berisi asam
salisilat. Kemudian diaduk larutan tersebut.
- Disaring menggunakan kertas saring sampai
menghasilkan residu.
- Diletakkan residu di kaca arloji dan dimasukkan
kedalam oven pada suhu 100oc sampai sampel
residu kering.
- Ditimbang residu asam salisilat yang telah kering.
- Dihitung kelarutan asam salisilat.

Hasil
c. Koefisien Distribusi Tanpa Minyak

Paracetamol
- Disiapkan alat dan bahan.
- Dibersihkan menggunakan alkohol 70%.
- Pembuatan larutan baku NaOH 0,01 N. Dihitung
4,0001 gram NaOH kristal dan dilarutkan dalam
air bebas CO2 sebanyak 100 ml.
- Digerus tablet paracetamol dan ditimbang
gerusan paracetamol sebanyak 0,1 gram dan
dilarutkan dalam 25 ml aquadest.
- Ditambahkan indikator fenoftalein.
- Dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,01 N
hingga berubah warna.
- Dicatat hasilnya.

Hasil
d. Koefisien Distribusi Dengan Minyak

Paracetamol

- Disiapkan alat dan bahan.


- Dibersihkan menggunakan alkohol 70%.
- Ditimbang gerusan tablet paracetamol 0,1 gram
dan dilarutkan dalam 25 ml aquadest kemudian
diaduk.
- Dimasukkan larutan dalam corong pisah.
- Diukur minyak kelapa sebanyak 25 ml dan
dimasukkan dalam corong pisah yang berisi
larutan paracetamol.
- Dikocok larutan tersebut hingga terdispersi.
- Diambil larutan larutan aquadest yang telah
dipisahkan dengan minyak lalu ditambahkan
indikator fenoftalein kemudian dititrasi dengan
larutan baku NaOH 0,01 N.
- Dicatat hasilnya.

Hasil
Lampiran 3 : Skema Kerja
A. Penentuan Kelarutan
1. Penentuan Kelarutan Dalam Suhu Normal

Dibersihkan alat Ditimbang


Disiapkan alat
dengan alkohol asam salisilat
dan bahan
70% sebanyak 2 gr

Ditimbang Dimasukan asam Diukur air 25


kertas saring salisilat kedalam ml, dimasukan
kosong 25 ml air, diaduk pada gelas
hingga homogen kimia

Disaring asam Diambil residu Dimasukan


salisilat pada kedalam oven
kertas saring sampai kering
dengan corong
Ditimbang
kertas saring
yang berisi
residu asam
salisilat

2. Kelarutan Pada Suhu Tinggi

Disiapkan alat Dibersihkan Ditimbang 2 g


dan bahan alat dengan asam salisilat,
alkohol 70% lalu
dimasukkan ke
dalam pot
sampel

Residu Disaring Dipanaskan


diletakkan di menggunakan aquadest dan
atas kaca arloji kertas saring diukur 25 ml
dan aquadest, lalu
dimasukkan ke dituangkan ke
dalam oven dalam pot
hingga kering sampel berisi
asam salisilat.
Kemudian
diaduk.
Ditimbang
residu yang
telah
dikeringkan

3. Koefisienn Distribusi Tanpa Minyak

Disiapkan alat Dibersihkan Diukur4,0001


dan bahan alat dengan gr NaOH
alkohol 70% kristal dan
dilarutkan
dalam air bebas
CO2 sebanyak
100 ml dan
dimasukkan
dalam buret

Ditambahkan Dilarutkan Digerus tablet


indikator paracetamol paracetamol
fenoftalein 0,1 gr dalam 25 dengan
ml aquadest menggunakan
lumpang alu
Dtitrasi dengan
larutan baku
NaOH 0,01 N
hingga berubah
warna

4. Koefisien Distribusi Dengan Minyak

Disiapkan alat Dibersihkan Diukur4,0001


dan bahan alat dengan gr NaOH
alkohol 70% kristal dan
dilarutkan
dalam air bebas
CO2 sebanyak
100 ml dan
dimasukkan
dalam buret

Ditambahkan Dilarutkan Digerus tablet


indikator paracetamol paracetamol
fenoftalein 0,1 gr dalam 25 dengan
ml aquadest menggunakan
lumpang alu
Dtitrasi dengan
larutan baku
NaOH 0,01 N
hingga berubah
warna

Anda mungkin juga menyukai