FARMASI FISIKA
OLEH :
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMASI FISIKA
“ KELARUTAN DAN KOEFISIEN DISTRIBUSI ”
OLEH
FITRIAWATI KALUKU
(821319054)
B – D3 FARMASI 2019
BELINDA A. MANTALI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nya kami bisa menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Fisika
dengan judul “Kelarutan dan Koefisien Distribusi”. Kami menyadari bahwa
dalam penyelesaian laporan ini tercapai berkat bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami berterima kasih kepada asisten-asisten Farmasi Fisika yang
telah membimbing pada saat praktikum sampai pembuatan laporan ini, Sehingga
laporan praktikum Farmasi Fisika ini dapat terselesaikan.
Tujuan pembuatan laporan praktikum ini untuk menunjang pengetahuan
kepada pembaca mengenai kelarutan dan koefisien distribusi, juga digunakan
sebagai pelengkap pelajaran dalam laboratorium Teknologi Farmasi.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini terdapat kekurangan. Untuk
itu kami memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dalam
penulisan laporan praktikum ini.
Penyusun,
Fitriawati Kaluku
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam bidang farmasi, untuk memilih medium pelarut yang paling baik
untuk obat atau kombinasi obat, akan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan farmasetik, dan lebih jauh
lagi dapat bertindak sebagai standar atau uji kemurnian. Pengetahuan yang lebih
mendetail mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga
memberikan informasi mengenai struktur obat dan gaya antarmolekul obat.
Selain itu, pelepasan zat dari bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat
kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat baru dapat
diabsorbsi setelah zat aktifnya telarut dalam cairan usus, sehingga salah satu
usaha untuk mempertinggi efek farmakologi dari sediaan adalah dengan
menaikkan kelarutan zat aktifnya.
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat telarut melarut pada suatu pelarut.
Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan
sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk disperse
molekular homogen. Kelarutan suatu senyawa bargantung pada sifat fisika, dan
kimia zat terlarut dan pelarut, juga bergantung pada faktor temperatur, tekanan,
pH larutan dan untuk jumlah yang kecil, bergantung pada hal terbaginya zat
terlarut.
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut
dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah etanol di
dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris lebih tepatnya disebut miscible.
Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni ataupun
campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat. Kelarutan
bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit terlarut, seperti
perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering diterapkan pada
senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada sangat sedikit kasus
yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa kondisi, titik
kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan
yang disebut lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil
(Woedepss) (Tungandi, 2009).
1.2 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan zat padat dalam pelarut
pada berbagai suhu dan koefisien distribusi zat padat dalam dua pelarut yang
tidak saling bercampur.
1.3 Tujuan Percobaan
Menentukan kelarutan dari asam salisilat pada suhu kamar dan suhuu panas
serta koefisien distribusi dari paracetamol dalam pelarut air dan minyak kelapa
yang tidak saling bercampur.
1.4 Prinsip Percobaan
Penentuan tingkat kelarutan asam salisilat pada suhu yang berbeda dengan
menghitung berat residu asam salisilat, dimana berat residu akan menentukan
konsentrasi suatu larutan dan penentuan koefisien distribusi paracetamol
berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat dalam dua pelarut yang tidak
saling bercampur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Dasar Teori
2.1.1 Definisi Kelarutan
Kelarutan suatu zat dalam suatu pelarut tertentu dan pada suhu tetap.
Senyawa mempunyai beberapa bentuk-bentuk Kristal yang berbeda. Perbedaan
ini dapat diperlihatkan dalam bentuk kelarutannya ini dapat digunakan sebagai
suatu cara untuk menetapkan apakah suatu senyawa membentuk Kristal berbeda
atau tidak (Martin, 1999).
Kelarutan dapat didefinisikan dalam besaran kualitatif sebagai kosentrasi
zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperature tertentu, dan secara kualitatif
dapat didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk
membentuk disperse molekuler homogen (Martin, 1990).
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu tertentu. Larutan dalam campuran homogen bahan yang
berlainan dapat dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat
didalam cairan. Disamping itu terdapat larutan didalam kondisi padat (misalnya
gelas, bentuk Kristal campur) (Voight, 1995).
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan fase padat (zat terlarut). Larutan tidak jenuh atau hampir jenuh
adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam kosentrasi di bawah
kosentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada suhu tertentu, dan
larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam
kosentrasi lebih banyak daripada yang seharusnya ada pada temperatur tertentu,
terdapat juga zat terlarut yang tidak larut (Martin, 1990).
2.1.2 Istilah Kelarutan
Jika kelaruatan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya
dapat ditunjukkan dengan istilah berikut (Dirjen POM, 1979):
Istilah Kelarutan Jumlah bagian pelatut diperlukan
untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut Kurang dari 1
Mudah larut 1 sampai 0
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1.000
Sangat sukar larut 1.000 sampai 10.000
Praktis tidak larut Lebih dari 10.000
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi kelarutan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan sebagai berikut (Sardjoko,
1987; Sinila, 2016):
1. Sifat dari solute dan solvent
Substansi polar cenderung lebih miscible atau soluble dengan substansi
polar lainnya. Substansi nonpolar cenderung untuk miscible dengan
substansi nonpolar lainnya, dan tidak miscible dengan substansi polar
lainnya Sifat pelarut
2. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak
mudah terionisasi. Semakin kecil pKanya maka suatu zat semakin sukar
larut, sedangkan semakin besar pKa maka suatu zat akan akan mudah larut.
Suatu larutan digolongkan asam kuat jika memiliki daya hantar listrik kuat
(larutan elektrolit kuat) dan nilai pH rendah (konsentrasi molar ion H+
tinggi). Sebaliknya, jika daya hantar listrik lemah dan nilai pH sedang
(sekitar 3–6), larutan tersebut tergolong asam lemah. Demikian juga larutan
basa dapat digolongkan sebagai basa kuat jika memiliki daya hantar listrik
kuat dan pH sangat tinggi. Jika daya hantar listrik lemah dan nilai pH
sedang (sekitar 8–11), larutan tersebut tergolong sebagai basa lemah (Sinila,
2016).
3. Suhu
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/ kalor (reaksi eksotermik)
4. Solution aditif
Additivies baik dapat meningkatkan atau mengurangi kelarutan zat
terlarut dalam pelarut tertentu.
5. Cosolvensi (Zat Penambah Kelarutan)
Cosolvensi adalah peristiwa kenaikan kelarutan suatu zat
karena\ adanya penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut. Misalnya
luminal tidak larut dalam air, tetapi larut dalam campuran air dan gliserin
atau solutio petit.
6. Kelarutan
Zat yang mudah larut memerlukan sedikit pelarut, sedangkan zat
yang sukar larut memerlukan banyak pelarut. Kelarutan zat anorganik yang
digunakan dalam farmasi umumnya adalah:
a. Dapat larut dalam air
Semua garam klorida larut, kecuali AgCl, PbCl2, Hg2Cl2. Semua
garam nitrat larut kecuali nitrat base. Semua garam sulfat larut kecuali
BaSO4, PbSO4, CaSO4.
b. Tidak larut dalam air
Semua garam karbonat tidak larut kecuali K2CO3, Na2CO3. Semua
oksida dan hidroksida tidak larut kecuali KOH, NaOH, BaO, Ba(OH)2.
semua garam phosfat tidak larut kecuali K3PO4, Na3PO3.
7. Temperatur
Zat padat umumnya bertambah larut bila suhunya dinaikkan, zat
padat tersebut dikatakan bersifat endoterm karena pada proses kelarutannya
membutuhkan panas. Beberapa zat yang lain justru kenaikan temperatur
menyebabkan tidak larut, zat tersebut dikatakan bersifat eksoterm, karena
pada proses kelarutannya menghasilkan panas. Misalnya zat KOH dan
K2SO4
8. Salting Out
Salting Out adalah peristiwa adanya zat terlarut tertentu yang
mempunyai kelarutan lebih besar dibanding zat utama, akan menyebabkan
penurunan kelarutan zat utama atau terbentuknya endapan karena ada reaksi
kimia.
9. Salting In
Salting In adalah adanya zat terlarut tertentu yang menyebabkan
kelarutan zat utama dalam solvent menjadi lebih besar.
10. Pembentukkan Kompleks
Pembentukan kompleks adalah peristiwa terjadinya interaksi antara
senyawa tak larut dengan zat yang larut dengan membentuk garam kompleks.
Untuk memproduksi suatu respon biologis, molekul obat pertama- tama
harus menyeberangi suatu membran biologis beraksi sebagai suatu pembatas
lemak untuk kebanyakan obat-obat dan mengizinkan absorbsi zat- zat yang larut
dalam lemak dengan difusi pasif sedangkan zat-zat yang tidak larut dalam lemak
dapat mendifusi menyeberangi pembatasan hanya dengan kesulitan yang besar,
jika tidak sama sekali. Hubungan antara konstanta disolusi, kelarutan dalam
lemak, dan pH pada tempat absorbsi serta karakteristik absorbsi dari berbagai
obat merupakan dasar dari teori pH- partisi. Penentuan derajat disosiasi atau
harga pKa dari zat obat merupakan suatu karakteristik fisika-kimia yang relatif
penting terhadap evaluasi dari efek-efek yang mungkin pada absorbsi dari
berbagai tempat pemberian (Ansel, 1989).
2.1.4 Koefisien Distribusi
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1990).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak
dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka
hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol 5 air dari obat (Martin, 1999).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan : bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu
temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding
distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini
tidak tergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga
angka banding berubah dengan sifat dasar pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan
temperatur (Svehla,1990).
Perbandingan distribusi, koefisien distribusi, atau koefisien partisi
dikenal dengan tetapan kesetimbangan K atau persamaan yang dikenal dengan
hukum distribusi, jelas hanya dapat dipakai dalam larutan encer dimana
koefisien keaktifan dapat diabaikan (Martin, 1990):
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam
larutan, yaitu menurut Cammarata (1995):
1. Temperatur
Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu
10℃.
2. Kekuatan Ion
Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.
3. Konstanta Dielektrik
Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik
diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan
ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju
distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya
sama maka laju distribusinya negatif.
4. Katalisis
Katalisis dapat menurunkan laju – laju distribusi (Katalis negatif). Katalis
dapat juga menurunkan energi aktivitas denganss mengubah mekanisme reaksi
sehingga kecepatan bertambah.
5. Katalis Asam Basa Spesifik
Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika
laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen
atau hidroksi.
6. Cahaya Energi
Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk
terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup
akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul– molekul.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh
sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa
senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang
mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak
diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel
(Ernest, 1999).
II.2 Uraian Bahan
1. Air Suling (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : Aqua destillata
Nama lain : Aquadest
Rumus molekul : H2O
Berat molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :
4.2 Perhitungan
4.2.1 Kelarutan
a. Berat residu
Diketahui : Kertas saring kosong (suhu normal)
= 0,405 g
Kertas saring residu (suhu normal)
= 1.978 g
Kertas saring kosong (suhu panas)
= 0,405 g
Kertas saring residu (suhu panas)
= 0,981 g
Penyelesaian :
a. Suhu normal : Kertas saring residu – kertas saring kosong
= 1,978 g – 0,405 g = 1,573 g
b. Suhu panas : Kertas saring residu – kertas saring kosong
= 0,981 g – 0,405 g = 0,576 g
b. Zat terlarut
Diketahui : Berat sampel = 2 g
Residu (suhu normal) = 1,573 g
Resid u (suhu tinggi) = 0,576 g
Penyelesaian :
Suhu normal : Berat sanpel – residu
= 2 gr – 1,573 g
= 0,427 g
Suhu panas : Berat sanpel – residu
= 2 gr - -0,576 g
= 1,424 g
c. Konsentrasi kelarutan
Diketahui : Volume pelarut = 25 ml
Zat terlarut (suhu normal) = 0,427 g
Zat terlarut (suhu tinggi) = 1,424 g
Penyelesaian :
zat terlarut
Suhu normal : x 100%
volume terlarut
0,427
= x 100% = 1,71 %
25
zat terlarut
Suhu tinggi : 𝑥 100%
volume terlarut
1,424
= x 100% = 5,96 %
25
1,25x 0,01 x 40
𝑥 100%
0,1 x 1.000
5
𝑥 100% = 5 %
100
Vtitran x Ntitran x BE
%kadar dengan minyak : x 100%
Berat sampel
0,9 x 0,01 x 40
𝑥 100%
0,1 x 1.000
3,6
𝑥 100%
100
3,6%
Koefisien fase minyak : % kadar minyak - % kadar tanpa minyak
= 3,6% - 5%
= -1,4 %
Fase Minyak −1,4%
Koefisien Distribusi : = = 0,6 %
% kadar minyak 5%
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan praktikum Kelarutan dan Koefisien Distribusi kali ini untuk
mengetahui dan memahami cara penentuan kelarutan zat padat dalam pelarut
pada berbagai suhu dan koefisien distribusi zat padat dalam dua pelarut yang
tidak saling bercampur.
Tujuan percobaan yaitu untuk menentukan kelarutan dari asam salisilat
pada suhu kamar dan suhu panas serta koefisien distribusi dari paracetamol
dalam pelarut air dan minyak kelapa yang tidak saling bercampur.
Prinsip percobaan ini yaitu penentuan tingkat kelarutan asam salisilat
pada suhu yang berbeda dengan menghitung berat residu asam salisilat, dimana
berat residu akan menentukan konsentrasi suatu larutan dan penentuan koefisien
distribusi paracetamol berdasarkan perbandingan kelarutan suatu zat dalam dua
pelarut yang tidak saling bercampur.
Alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu batang pengaduk, corong,
gelas ukur, kaca arloji, kertas perkamen, lumpang dan alu, neraca ohause, oven,
pipet, dan gelas kimia, sedangkan bahan yang digunakan yatitu alkohol 70%,
aquadest, asam salisilat, kertas Saring, paracetamol, minyak kelapa dan tisu
Langkah awal yang dilakukan yaitu menyiapkan semua bahan yang
diperlukan, setelah itu dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%. Tujuan dari
pembersihan alat ini untuk membunuh mikroorganisme yang ada pada alat
karena menurut Dirjen POM (1979), alkohol berfungsi sebagai antiseptik
(membunuh atau mematikan mikrorganisme pada jaringan hidup dan
desinfektan (mematikan mikroorganisme pada benda mati).
Ditimbang kertas saring kosong dan ditimbang asam salisilat masing-
masing 2 gr. Selanjutnya, diukur aquadest masing-masing sebanyak 25 ml
menggunakan gelas ukur. Lalu dituangkan aquadest yang bersuhu kamar dan
setelah itu dimasukkan asam salisilat ke dalam wadah, lalu diaduk menggunakan
batang pengaduk dengan kecepatan pengadukan yang konstan atau sama, tujuan
dilakukan pengadukan sebagai penentuan suatu zat terlarut, semakin banyak
jumlah pengadukan, maka zat terlarut menjadi mudah larut. Kelarutan
bergantung juga pada sifat dan konsentrasi zat-zat lain terutama ion-ion dalam
campuran tersebut (Hardjaji, 1993)
Proses kelarutan di atur oleh tiga facktor. Facor utama adalah gaya
kohesi zat terlarut. Fakctor kedua adalah gaya kohesi perlarut dan ketiga adalah
hasil interaksi antara zat terlarut yang terdisolusi dan molekul pelarut setelah
pemutusan. Selanjutnya, dijenuhkan kedua kertas saring yang akan digunakan
untuk menyaring larutan asam salisilat dengan cara ditetesi air pada permukaan
kertas, agar pori-pori pada kertas saring terbuka. Menurut Effendi (2003),
penjenuhan kertas saring dilakukan untuk mempercepat lewatnya air pada kertas
saring. Setelah itu, disaring residu dari kedua larutan asam salisilat
menggunakan kertas saring yang telah dijenuhkan. Lalu kertas saring yang
berisi residu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 45°C sampai mengering.
Menurut Hasibuan (2005), tujuan pengeringan adalah untuk penghidratan atau
penghilangan sebagian atau keseluruhan uap air dari suatu bahan.
Setelah residu kering, kemudian ditimbang masing residu dan dihitung
kelarutannya. Dari penimbangan tersebut, didapatkan hasil penimbangan residu
kering pada suhu kamar memiliki berat 1,573 gr. Setelah dihitung maka
didapatkan nilai kelarutan pada suhu kamar yaitu 0,427 gr/ml.
Percobaan selanjutnya yaitu untuk menentukan koefisen distribusi.
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan koefisien distribusi zat terlarut
(NaOH) dalam sistem n-Heksan air berdasarkan ekstraksi pelarut, di mana
sampel NaOH diharapkan dapat terpisah dalam salah satu pelarut. Ekstraksi
pelarut adalah ekstraksi yang menggunakan dua fase cair yang berperan sebagai
pelarut, dalam hal ini n-Heksan dan air.
Atkins PW. 1994. Physical Chemistry. Ed ke-5. England: oxford Univ Pr,.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta , Penerbit : Kanisius.
G.Svehla. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimiko.
Penerjemah: L.Setiono, A. HadyanaPudjaatmaka. Jakarta: PT. Kalman
Media Pusaka
Hasibuan, Malayu S.P. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi.
Bumi Aksara, Jakarta.
Kasmiyatun, Mega. 2010. Ekstraksi Asam Sitrat dan Asam Oksalat : Pengaruh
Konsentrasi Solut terhadap Koefisien Distribusi. Semarang : Program
Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Untag Semarang
Martin, A., Swarbick, J., dan Cammarata, A.1990. Farmasi Fisik Dasar dan
Kimia Fisik diterjemahkan oleh Yoshita, Edisi Ketiga, Hal 141-142,
Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Padmaningrum, R. T. 2008 .Titrasi Iodometri. Yogyakarta, UNY.
2. Bahan
NAMA GAMBAR FUNGSI
Alkohol Sebagai pembersihan
alat
Asam Salisilat
Hasil
b. Larutan Suhu Panas
Asam Salisilat
Hasil
c. Koefisien Distribusi Tanpa Minyak
Paracetamol
- Disiapkan alat dan bahan.
- Dibersihkan menggunakan alkohol 70%.
- Pembuatan larutan baku NaOH 0,01 N. Dihitung
4,0001 gram NaOH kristal dan dilarutkan dalam
air bebas CO2 sebanyak 100 ml.
- Digerus tablet paracetamol dan ditimbang
gerusan paracetamol sebanyak 0,1 gram dan
dilarutkan dalam 25 ml aquadest.
- Ditambahkan indikator fenoftalein.
- Dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,01 N
hingga berubah warna.
- Dicatat hasilnya.
Hasil
d. Koefisien Distribusi Dengan Minyak
Paracetamol
Hasil
Lampiran 3 : Skema Kerja
A. Penentuan Kelarutan
1. Penentuan Kelarutan Dalam Suhu Normal