Anda di halaman 1dari 29

TUGAS BIOFARMASETIKA

Teori Pelarutan dan Transport Trans Membran

DOSEN PENGAMPU :

Andhi Fahrurroji, M.Sc., Apt.

NIP: 198408192008121003

DISUSUN OLEH :

Kelompok / Kelas : 3 / Reguler A


Anggota Kelompok : Isna Lailatun Nisfiyah (I1021171016)
Ridha Sakbania (I1021171023)
Chairani Fitria Hanum (I1021171025)
Dhea Rezeki Yunita (I1021171066)

PROGRAM STUDI FARMASI

BADAN PENGELOLA FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2020
BAB I

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang

Teori pelarutan sangat penting untuk diketahui dalam bidang farmasi. Kelarutan
adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1
bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu
pelarut. Kelarutan juga didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada temperature tertentu. Kelarutan suatu senyawa tergantung
pada sifat fisika kimia zat pelarut dan zat terlarut, temperatur, pH larutan, tekanan untuk
jumlah yang lebih kecil tergantung pada hal terbaginya zat terlarut. (Depkes RI, 1995)

Pergerakan obat melintasi berbagai membran sangat penting untuk banyak proses
farmakokinetik dan farmakodinamik. Sifat dasar dari transportasi obat dibagi menjadi proses
transelular dan paraseluler, di mana rute transelular adalah yang paling umum. Transport
transelular, baik difusi pasif atau carrier mediated CM, terjadi melintasi sel usus (enterosit),
melalui membran apikal dan basolateral. transpor paracellular terjadi antara sel-sel epitel
(Dahlgren and Lennernäs, 2019). Proses penyerapan obat secara oral dari bentuk sediaan
farmasi sangat kompleks. Namun, langkah-langkah utama terjadi selama obat oral
penyerapan dapat dianggap sebagai bagian dari proses serial : (1) Pembubaran obat dari
bentuk sediaan ; (2) Kelarutan obat sebagai fungsi karakteristik fisikokimia ; (3) Obat
permeabilitas efektif terhadap mukosa usus dan (4) Metabolisme presistemik obat. (Ning
Song, 2004)
Makalah ini membahas tentang teori pelarutan dan transport trans membrane untuk
obat. Makalah ini juga membahas tentang uji disolusi obat, absorbsi obat, pengujian in vivo
dan in vitro obat serta factor apa saja yang mempengaruhi absorbsi obat dalam tubuh.
Makalah ini penting dibuat untuk mengetahui dan mempelajari lebih lanjut tentang teori
pelarutan dan transport trans membrane dalam ilmu biofarmasetika.

I.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
a. Mengetahui teori pelarutan dan transport trans membrane pada tubuh manusia.
b. Mengetahui absorbsi obat dan factor apa saja yang mempengaruhinya.
c. Mengetahui mekanisme pelepasan obat dan organ apa saja yang terlibat.
d. Mengetahui cara pengujian obat secara in vivo dan in vitro.

I.3. Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan teori pelarutan dan transport trans membrane?
b. Bagaimana mekanisme absorbsi obat dalam tubuh dan factor apa saja yang
mempengaruhinya?
c. Bagaimana mekanisme pelepasan obat dalam tubuh dan organ apa saja yang
terlibat?
d. Bagaimana cara pengujian obat secara in vivo dan in vitro?

I.4. Manfaat Makalah


a. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang teori pelarutan dan transport trans
membrane.
b. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang absorbsi obat dan factor apa saja
yang mempengaruhinya.
c. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang mekanisme pelepasan obat dalam
tubuh dan organ apa saja yang terlibat.
d. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengujian obat secara in vivo dan in
vitro.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Teori Kelarutan


Menurut Farmakope Indonesia (Depkes RI, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat
dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian bobot
zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut.
Kelarutan juga didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam
larutan jenuh pada temperature tertentu. Kelarutan suatu senyawa tergantung pada sifat
fisika kimia zat pelarut dan zat terlarut, temperatur, pH larutan, tekanan untuk jumlah yang
lebih kecil tergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Bila suatu pelarut pada temperatur
tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya melarutkannya larutan ini disebut
larutan jenuh (Martin dkk, 1993).

Tabel 1. Istilah Perkiraan Kelarutan (Martin dkk, 1993)


Istilah Bagian Pelarut yang dibutuhkan untuk 1 Bagian Zat Terlarut
Sangat mudah larut Kurang dari 1 bagian
Mudah larut 1 sampai 10 bagian
Larut 10 sampai 30 bagian
Agak sukar larut 30 sampai 100 bagian
Sukar larut 100 sampai 1000 bagian
Sangat sukar larut 1000 sampai 10000 bagian
Praktis tidak larut Lebih dari 10000 bagian

Proses pelarutan suatu bahan dapat digambarkan terjadi dalam 3 tahap


(Martin dkk, 1993), tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tahap pertama menyangkut pemindahan suatu molekul zat dari zat terlarut atau
pelepasan satu molekul dari kristal solut pada temperatur tertentu. Kerja yang dilakukan
dalam memindahkan satu molekul dari zat terlarut sehingga dapat lewat ke wujud uap
membutuhkan pemecahan ikatan antar molekul-molekul berdekatan. Proses pelepasan ini
melibatkan energi sebesar 2W22 untuk memecah ikatan antar molekul yang berdekatan
dalam kristal. Tetapi apabila molekul melepaskan diri dari fase zat terlarut, lubang yang
ditinggalkan tertutup, dan setengah dari energy diterima kembali, maka total energi dari
proses pertama adalah W22.
2. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang cukup besar untuk
menerima molekul zat terlarut. Energi yang dibutuhkan pada tahap ini adalah W11. Bilangan
11 menunjukkan bahwa interaksi terjadi antar molekul solven.
3. Tahap ketiga molekul zat terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang pelarut. Lubang
dalam pelarut 2 yang terbentuk, sekarang tertutup. Pada keadaan ini, terjadi penurunan
energi sebesar – W12, selanjutnya akan terjadi penutupan rongga kembali dan kembali
terjadi penurunan energi potensial sebesar – W12, sehingga tahap ketiga ini melibatkan
energi sebesar – W12. Interaksi solut – solven
ditandai dengan 12.
Secara keseluruhan, energi ( W ) yang dibutuhkan untuk semua tahapan proses
tersebut adalah :
W = W22 + W11 – 2W12………………………...….(1 )
Semakin besar W atau selisih energi yang dibutuhkan pada tahap 1 dan 2 dengan energi
yang dilepaskan pada tahap 3, maka semakin kecil kelarutan zat. Bila suatu zat melarut,
kekuatan tarik menarik antar molekul dari zat terlarut harus diatasi oleh kekuatan tarik
menarik antara zat terlarut dengan pelarut. Ini menyebabkan pemecahan kekuatan ikatan
antar zat terlarut dan pelarut untuk mencapai tarik menarik zat pelarut-pelarut (Martin dkk,
1993)
Jenis-jenis pelarut yang biasanya digunakan untuk melarutkan antara lain
(Martin dkk, 1993):
a. Pelarut Polar
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu momen
dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lain. Sesuai dengan itu, air
bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan melarutkan gula dan senyawa
polihidroksi lain. Air melarutkan fenol, alkohol, aldehid, keton amina dan senyawa lain yang
mengandung oksigen dan nitrogen yang dapat membentuk ikatan hidrogen dalam air.
b. Pelarut non polar
Aksi pelarut dari cairan non polar seperti hidrokarbon berbeda dengan zat polar.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi gaya tarik menarik antara ion elektrolit kuat dan
lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut juga tidak dapat memecahkan
ikatan kovalen dan elektrolit dan berionisasi lemah karena pelarut non polar tidak dapat
membentuk jembatan hidrogen dengan non elektrolit. Oleh karena itu, zat terlarut ionik dan
polar tidak dapat larut atau hanya dapat larut sedikit dalam pelarut non polar. Tetapi
senyawa non polar dapat melarutkan zat terlarut non polar dengan tekanan yang sama
melalui interaksi dipol induksi. Molekul zat terlarut tetap berada dalam larutan dengan
adanya sejenis gaya van der waals – London lemah. Maka, minyak dan lemak larut dalam
karbon tetraklorida, benzena dan minyak mineral. Alkaloida basa dan asam lemak larut
dalam pelarut non polar (Martin dkk, 1993).
c. Pelarut Semipolar
Pelarut semipolar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat
polaritas tertentu dalam molekul pelarut non polar, sehingga menjadi dapat larut dalam
alkohol, contoh : benzena yang mudah dapat dipolarisasikan kenyataannya senyawa
semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang dapat menyebabkan
bercampurnya cairan polar dan non polar (Martin dkk, 1993).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat padat dalam cairan antara lain
(Martin dkk, 1993):
a. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak dan
kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat tersebut menghambur
dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah ke atas sistem sehingga
mempunyai perbedaan konsentrasi. Pada pengadukan yang tinggi sistem menjadi turbulent.
Gaya sentrifugal dari putaran cairan mendorong partikel ke arah luar dan atas.
b. pH (keasaman atau kebasaan)
Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obat-obat ini bereaksi dengan kelompok
asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk ion yang biasanya
larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit lemah sangat dipengaruhi oleh
pH larutan.
c. Suhu
Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat hubungannya
dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Panas pelarutan didefinisikan sebagai banyaknya
panas yang dibebaskan atau diperlukan apabila satu mol zat terlarut dilarutkan dalam dalam
suatu pelarut untuk menghasilkan satu larutan jenuh. Kenaikan temperatur menaikkan
kelarutan zat padat yang mengabsorpsi panas(proses endotermik) apabila dilarutkan.
Pengaruh ini sesuai dengan asas Le Chatelier, yang mengatakan bahwa sistem cenderung
menyesuaikan diri sendiri dengan cara yang sedemikian rupa sehingga akan melawan suatu
tantangan misalnya kenaikan temperatur. Sebaliknya jika proses pelarutan eksoterm yaitu
jika panas dilepaskan, temperatur larutan dan wadah terasa hangat bila disentuh. Kelarutan
dalam hal ini akan turun dengan naiknya temperatur. Zat padat umumnya termasuk dalam
kelompok senyawa yang menyerap panas apabila dilarutkan.
d. Komposisi cairan pelarut
Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam satu pelarut
saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (kosolvensi) dan kombinasi pelarut
menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven.
e. Ukuran partikel
Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran partikel. Semakin kecil
ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat.
f. Pengaruh surfaktan
Obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah yang sukar larut, dapat dilarutkan
dengan bantuan kerja dari zat aktif permukaan dengan menurunkan tegangan permukaan
antara zat terlarut dengan mediumnya. Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka
kecepatan pelarutan obat tergantung jumlah dan jenis surfaktan yang digunakan. Pada
umumnya dengan adanya penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah
kecepatan pelarutan bahan obatnya (Lesson dan Cartensen, 1974).
g. Pembentukan kompleks
Gaya antar molekuler yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah gaya van
der waals dari dispersi, dipolar dan tipe dipolar diinduksi. Ikatan hydrogen memberikan gaya
yang bermakna dalam beberapa kompleks molekuler dan kovalen koordinat penting dalam
beberapa kompleks logam. Salah satu factor yang penting dalam pembentukan kompleks
molekular adalah persyaratan ruang. Jika pendekatan dan asosiasi yang dekat dari molekul
donor dan molekul akseptor dihalangi oleh faktor ruang, kompleks akan atau mungkin
berbentuk ikatan hidrogen dan berpengaruh lain harus dipertimbangkan. Metode ini
membuat pentingnya pembentukan kompleks molekular. Dibawah kompleks ini diartikan
senyawa yang antara lain terbentuk melalui jembatan hidrogen atau gaya dipol – dipol, juga
melalui antar aksi hidrofob antar bahan obat yang berlainan seperti juga bahan obat dan
bahan pembantu yang dipilih. Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu
perubahan sifat yang lebih penting dari bahan obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya dan
tersatukannya, sehingga dalam setiap kasus diperlukan suatu pengujian yang cermat dan
cocok. Pembentukan kompleks sekarang banyak dijumpai pengunaannya untuk perbaikan
kelarutan, akan tetapi dalam kasus lain juga dapat menyebabkan suatu perlambatan
kelarutan (Voigt, 1984).
h. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan tekanan
kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat mengubah kelarutan
suatu zat (Sienko dan Plane, 1961).
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan kelarutan suatu zat
(Grant and Brittain, 1995):
a. Metode agitasi.
Solven dan solut zat padat dalam jumlah berlebihan digojog atau diaduk dalam suatu
bejana. Suhu percobaan dikontrol, khususnya bagi kelarutan yang sifatnya tergantung pada
suhu. Sejumlah larutan yang sudah jenuh dipisahkan dari sistem dengan cara disentrifugasi
pada suhu dimana tercapai keseimbangan, difiltrasi menggunakan glass-wool, atau cukup
dituang untuk kemudian dianalisis dengan metode yang sesuai.

b. Metode kolom alir.


Suatu kolom dari gelas atau stainless steel dipak dengan solut zat padat atau dengan
suatu bahan pendukung. Solven dipompa dengan tekanan gas melewati kolom tersebut.
Permukaan kontak yang luas antar solut-zat padat dengan solven akan mempercepat
tercapainya keseimbangan sehingga solven dijenuhkan kemudian dianalisis.

c. Metode sintesis.
Sejumlah solut (atau solven yang sudah diketahui jumlahnya) yang sudah ditimbang
ditempatkan dalam wadah yang sesuai kemudian digojog pada suhu konstan. Solven yang
sudah diketahui jumlahnya (atau solut yang sudah diketahui jumlahnya) ditambahkan ke
dalamnya secara bertahap sampai mencapai batas kelarutan.

II.2. Transport Trans Membrane

Pergerakan obat melintasi berbagai membran sangat penting untuk banyak proses
farmakokinetik dan farmakodinamik (Dahlgren and Lennernäs, 2019). Usus kecil adalah
tempat utama penyerapan obat yang diberikan secara oral karena sifat anatomisnya yang
unik. Khususnya, kehadiran (mikro) vili secara drastis meningkatkan luas permukaan
mukosa usus sehingga menghasilkan luas permukaan serap yang sangat besar pada usus
kecil. (Berben; dkk, 2018). Sifat dasar dari transportasi obat dibagi menjadi proses
transelular dan paraseluler, di mana rute transelular adalah yang paling umum. Transport
transelular, baik difusi pasif atau carrier mediated CM, terjadi melintasi sel usus (enterosit),
melalui membran apikal dan basolateral. transpor paracellular terjadi antara sel-sel epitel
(Dahlgren and Lennernäs, 2019).

Jenis transportasi usus sangat terkait dengan beberapa sifat fisikokimia obat seperti
yang dijelaskan oleh aturan lima Lipinski yang menunjukkan apakah suatu obat
kemungkinan diserap setelah pemberian oral. Misalnya, tergantung pada lipofilisitas obat,
difusi pasif melalui enterosit (difusi transelular, Gambar 1 (A)) adalah rute yang disukai untuk
senyawa lipofilik, sedangkan senyawa kecil hidrofilik diserap melalui difusi pasif antara
enterosit (paracellular difusi, Gambar. 1 (B)). Namun, kontribusi difusi paraselular pasif untuk
keseluruhan transpor obat terbatas karena area yang tersedia untuk jenis transpor ini hanya
menyumbang 0,01% dari total luas permukaan membran usus. Berbeda dengan rute
transpor pasif ini, beberapa obat mencapai sirkulasi sistemik melalui penggunaan aktif (Gbr.
1 (C)), yang membutuhkan energi. Sebagai hasil dari ketergantungan energi ini, transpor
aktif memungkinkan transpor obat terhadap gradien konsentrasi. Selain itu, transporter eflux
(Gambar 1 (D)) membatasi penyerapan obat usus dengan secara aktif mengangkut obat
kembali ke lingkungan luminal. Akhirnya, transcytosis, yaitu senyawa yang bermigrasi dari
luminal ke sisi serosal dari lapisan epitel usus oleh penggabungan vesikel dari membran sel,
dapat berkontribusi pada penyerapan obat-obatan tertentu (Gbr. 1 (E)). Dalam beberapa
dekade terakhir, mayoritas new chemical entities (NCEs) telah meningkat dalam lipofilisitas
dan ukuran; sebagai hasilnya, banyak dari NCEs ini lebih disukai diserap oleh difusi
transelular pasif (Gbr. 1 (A)). Saat ini, 80% -95% dari obat yang tersedia secara komersial
sebagian besar diserap secara transelular (Berben; dkk, 2018). . transelular pasif adalah
mekanisme dominan untuk transfer zat obat, tetapi ini berdampingan dengan proses trans-
membran CM (Dahlgren and Lennernäs, 2019).

Liposom atau vesikel adalah bilayer fosfolipid bulat yang dapat dibentuk dengan
ekstrusi dispersi lipid berair melalui membran dengan ukuran pori yang ditentukan atau
dengan sonikasi dispersi lipid.  Liposom dapat secara relatif mudah disiapkan sebagai
struktur unilamellar atau multilamellar.  Komposisi bilayer dapat bervariasi termasuk berbagai
lipid yang berbeda dan komponen membran lainnya.  Sementara vesikel mudah diakses,
sejumlah teknik yang dapat digunakan membatasi penelitian dengan menggunakan vesikel. 
Pada prinsipnya, dua jenis percobaan dapat dilakukan.  Perubahan bentuk dan ukuran
vesikel karena stimulus eksternal, mis.  interaksi dengan obat, dapat dipantau menggunakan
teknik hamburan, seperti hamburan cahaya, sinar-X sudut kecil atau hamburan neutron. 
Eksperimen ini, bagaimana-tuas, tidak memberikan wawasan tentang perubahan dalam
fungsi membran.  Sifat fungsional membran seperti transportasi molekul melintasi bilayer
menggunakan vesikel dapat dilakukan dengan studi fluoresensi. Dalam percobaan semacam
itu, liposom biasanya diisi dengan pewarna fluoresens dan misalnya pembentukan pori
dalam bilayer akan mengarah pada penghilangan pewarna dan dengan demikian perubahan
dalam fluoresensi yang diukur (Knobloch dkk., 2015)

II.3. Sistem Disolusi


Tes disolusi adalah prosedur resmi didirikan di farmakope berbagai negara, yang
menyatakan jumlah zat terlarut sebagai fungsi waktu, menggunakan media disolusi dengan
pH, suhu dan volume yang ditentukan Farmakope monograf menentukan perangkat
(keranjang, dayung atau lainnya) dan kondisi uji pembubaran yang sesuai untuk setiap
senyawa. Kepentingan farmasi komunitas dalam tes pembubaran dimulai pada 1950-an
setelah mengamati bahwa profil disintegrasi farmasi bentuk dosis tidak menjelaskan profil
bioavailabilitas. Edwards adalah yang pertama melaporkan bahwa jika gastrointestinal.
Penyerapan obat cepat, maka pembubaran bentuk sediaan farmasi mengendalikan
bioavailabilitas obat, pratinjau dari apa yang akan diusulkan kemudian oleh Amidon sebagai
sistem klasifikasi biofarmasi (BCS). Dari 1960-an hingga 1980-an, efek dari pembubaran
bioavailabilitas obat dan dampaknya formulasi tentang bioavailabilitas dipelajari secara luas.
Contoh klasik seperti itu sebagai ketidakefektifan tolbutamide dan carbamazepine, dan
perubahan bioavailabilitas fenitoin dan digoksin. Setelah diselidiki, kasus-kasus ini
menunjukkan korelasi antara perubahan dalam profil pembubaran dan toksisitas klinis atau
ketidakefektifan. (Romero, 2017)
Pemodelan disolusi sering digunakan untuk evaluasi biofarmasi ab initio dan dalam
model gastrointestinal eksperimental untuk merasionalisasi pemilihan formulasi dan
kekuatan dosis.  Pengujian disolusi juga merupakan salah satu alat analitis yang paling
penting di laboratorium kontrol kualitas industri farmasi (QC).  Pengembangan metode
analitis biasanya melibatkan pemilihan aparatus disolusi, mengoptimalkan media disolusi
dan kondisi hidrodinamik (mis., Laju pengadukan atau aliran) dengan tujuan untuk
menyediakan daya reproduksi dan sensitivitas yang memadai atau daya diskriminatif, dan
menentukan spesifikasi disolusi yang sesuai untuk produk obat (Shekunov dan
Montgomery, 2016)

II.4. Sistem Pelepasan Terkontrol Disolusi


Sistem pelepasan terkontrol pembubaran Jelas bahwa suatu obat dengan laju
disolusi lambat akan menunjukkan sifat-sifat yang bertahan, karena pelepasan obat akan
dibatasi oleh laju disolusi. Dengan demikian dengan mengurangi tingkat disolusi obat,
pelepasan berkelanjutan dapat dipastikan. Pembubaran suatu obat dapat dibatasi dengan
berbagai pendekatan seperti menyiapkan garam atau turunan lain yang sesuai dari obat
dengan kelarutan terbatas, atau melapisi obat dengan bahan yang larut perlahan: di mana
ketebalan mantel dapat dikontrol sehingga diinginkan agar dapat dipertahankan secara
berkelanjutan. / profil pelepasan obat terkontrol dapat dicapai. Metode lain untuk mencapai
pelepasan berkelanjutan adalah dengan menyiapkan tablet obat dengan pembawa larut
yang cocok di mana kontrol atas pelepasan obat dapat dicapai dengan mengendalikan
ketebalan lapisan obat dengan mantel pengontrol laju. Metode alternatif untuk
mengendalikan pelepasan obat adalah dengan pemberian obat sebagai manik-manik yang
memiliki lapisan dengan ketebalan yang berbeda sehingga dosis awal dan dosis
pemeliharaan diberikan. Polimer yang digunakan untuk menunda pembubaran obat
bertujuan untuk memperlambat laju di mana molekul obat terpapar air dari lingkungan berair
di sekitar sistem pengiriman obat. Hal ini dapat dicapai dengan pelapisan atau matriks
polimer yang larut pada kecepatan yang lebih lambat daripada obat. (Raza, 2017)
Dengan demikian sistem pengiriman terkontrol pembubaran dapat dibagi menjadi dua jenis
(Raza, 2017):
Enkapsulasi Kontrol pembubaran Subpos
Dalam sistem ini partikel obat atau butiran dilapisi dengan bahan larut lambat.
Ketebalan lapisan yang digunakan menentukan pelepasan obat dari partikel atau butiran ini.
Partikel dengan lapisan lebih tipis akan memberikan dosis awal sedangkan partikel dengan
lapisan lebih tebal akan memberikan dosis pemeliharaan. Partikel-partikel yang dilapisi ini
dapat dikompresi langsung ke dalam tablet atau ditempatkan dalam kapsul. Setelah lapisan
dilarutkan, obat menjadi tersedia untuk disolusi. Produk-produk ini tidak boleh dikunyah
karena lapisannya mungkin rusak. Produk enkapsulasi memberikan beberapa keuntungan
misalnya, timbulnya penyerapan jika produk pellet enkapsulasi kurang sensitif terhadap
pengosongan lambung. Pintu masuk pelet ke usus kecil (di mana sebagian besar
penyerapan obat terjadi) biasanya lebih seragam daripada dengan formulasi tablet lepas-
lepas yang tidak disintegrasi. Sistem enkapsulasi yang umum digunakan (sistem
multipartikulat) adalah partikel mikro (mikrosfer atau mikrokapsul), nanopartikel (nano-bola
atau kapsul nano) dan liposom.
Kontrol pembubaran matriks
Sistem matriks kontrol pembubaran umumnya digunakan untuk mengontrol
pelepasan obat yang sangat larut dalam air. Sistem ini diformulasikan dengan
mendispersikan obat secara homogen melalui membran pengontrol laju. Laju pelepasan
obat dikendalikan oleh laju penetrasi cairan disolusi ke dalam matriks, porositas, keberadaan
aditif hidrofobik dan keterbasahan sistem dan permukaan partikel. Sistem pelepasan
terkontrol difusi Dalam sistem kontrol difusi laju pelepasan suatu obat tergantung pada
difusinya melalui membran inert sistem pengiriman. Sistem difusi dapat dibagi menjadi dua
subclass utama:
Kontrol difusi matriks
Sistem matriks adalah perangkat di mana obat tersebar secara homogen di seluruh
matriks polimer. Sistem ini banyak digunakan untuk mempertahankan dan mengendalikan
pelepasan obat yang terlarut atau tersebar. Dalam hal ini tingkat sistem pelepasan obat
tergantung pada difusi dan bukan pada tingkat pembubaran obat. Dalam hal sistem matriks
hidrogel, mekanisme pelepasan terdiri dari proses difusi eksterior dan interior. Dalam difusi
eksterior, molekul obat berdifusi dari permukaan matriks hidrogel menjadi sebagian besar
fase cair. Konsentrasi obat di dekat permukaan matriks hidrogel tetap tertinggi dan
berkurang dengan panjang. Ketika sebagian besar cairan diaduk dengan baik, nilai
konsentrasi obat adalah konstan. Difusi eksterior bukanlah mekanisme umum yang
mengontrol pelepasan obat tetapi merupakan fenomena interior, terutama difusi interior yang
mengontrol pelepasan obat dalam sebagian besar kasus. Sistem difusi matriks dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis:
Sistem matriks hidrofobik
Dalam sistem ini digunakan bahan yang tidak larut dalam air seperti lilin, gliserida,
asam lemak, dan bahan polimer seperti etil selulosa, metil selulosa, dan kopolimer akrilat.
Pelepasan obat terjadi dengan difusi yang dapat dijelaskan oleh model kinetik akar kuadrat
Higuchi. Difusi molekul seperti itu dalam larutan air dihambat oleh matriks polimer tidak larut
di mana molekul obat harus melakukan perjalanan melalui jalur berliku untuk keluar dari
perangkat. Rantai polimer seperti yang ada di hidrogel yang terhubung silang membentuk
penghalang difusi. Kehadiran bahan yang tidak larut dalam formulasi membantu
mempertahankan dimensi fisik dari matriks hidrofobik selama pelepasan obat. Penghalang
untuk difusi dapat dikurangi dengan pembengkakan hidrogel di mana rongga dibuat dalam
struktur gel. Hidrogel seperti itu juga dapat mengambil manfaat dari karakteristik perekat bio
yang memungkinkan mereka untuk berada di dalam saluran pencernaan untuk periode
waktu yang lama. Modulator laju pelepasan terlarut tertentu seperti laktosa juga dapat
digunakan untuk memiliki pola pelepasan yang diinginkan. Dalam sistem tersebut, dimensi
fisik dalam larutan fisiologis dipertahankan oleh bahan-bahan yang tidak larut. (Raza, 2017)
Sistem matriks hidrofilik
Sistem matriks hidrofilik adalah salah satu sistem yang paling banyak digunakan
untuk mengontrol tingkat pelepasan obat karena fleksibilitasnya untuk mendapatkan profil
pelepasan obat yang diinginkan, efektivitas biaya, dan penerimaan peraturan yang luas.
Bahan pembatas laju primer dari matriks hidrofilik adalah polimer yang membengkak ketika
bersentuhan dengan larutan encer dan membentuk lapisan gel pada permukaan sistem.
Polimer yang digunakan dalam pembuatan matriks hidrofilik dapat dibagi menjadi tiga
kelompok besar.
Turunan selulosa: Metilselulosa, hidroksietil selulosa, hidroksipropil metil selulosa dan
natrium karboksimetil selulosa, dll. Kategori asam akrilat adalah Carbopol 934. Bahan
hidrofilik lainnya yang digunakan untuk persiapan tablet matriks adalah asam alginat, gelatin,
dan gusi alami. Ketika media pelepasan dan polimer secara termodinamik kompatibel,
pelarut menembus ke dalam ruang bebas antara rantai makromolekul. Stres yang
disebabkan oleh pelarut berpenetrasi dapat menyebabkan relaksasi polimer dan matriks
membengkak. Ini menyebabkan obat melepaskan lebih cepat. Di sisi lain dibutuhkan lebih
banyak waktu untuk obat berdifusi keluar dari matriks karena pembengkakan matriks
memperpanjang jalur difusi. Terlepas dari mekanisme pembengkakan dan difusi,
pembubaran polimer adalah mekanisme penting lainnya yang dapat memodulasi laju
pengiriman obat. Dalam kebanyakan kasus, kinetika pelepasan obat adalah hasil dari
kombinasi mekanisme ini. (Raza, 2017)
Sistem lilin lemak
Sistem ini dibuat dari lilin lipid atau bahan terkait lainnya. Dalam sistem ini obat
dilepaskan melalui difusi pori dan erosi. Sistem ini lebih sensitif terhadap cairan pencernaan
dalam usus daripada matriks polimer yang tidak larut. Ada berbagai teknik mempersiapkan
sistem lilin lemak seperti semprotan congealing di udara, campuran congealing dalam media
air dan kemudian semprotkan pengeringan. Butiran juga bisa disiapkan dengan
mencampurkan yang aktif bahan-bahan dengan bahan lilin dan pengisi lainnya yang sesuai
dan kemudian dipadatkan dengan roller compactor, memanaskan dalam campuran yang
sesuai seperti fluidized-bed dan steam jacketed blender atau granulasi dengan larutan
bahan lilin atau bahan pengikat lainnya. Dalam sistem ini laju pelepasan obat yang
diinginkan dan pemuatan obat dapat dicapai dengan menggunakan surfaktan yang sesuai.
(Raza, 2017)

II.5. Absorpsi Obat

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Palingpenting untuk diperhatikan adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena
memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm,
diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui
jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler, obat diabsorpsi
melalui beberapa metode, terutama transport aktif dan transport pasif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorsi obat adalah sebagai berikut: (Gunawan, 2009)
a. Metode absorpsi
a.1. Transport pasif. Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses
difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan
konsentrasi rendah. Transport pasif dapat terjadi selama molekul-molekul kecil dapat
berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membran
seimbang.
a.2. Transport Aktif. Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan obat dari
daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi.

b. Kecepatan Absorpsi. Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sistemik hanya
sedikit sel, maka absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam
tubuh. Waktu untuk berbagai cara absorpsi obat adalah:
b.1.Detik s/d menit: IV, inhalasi
b.2.Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
b.3.Lambat sekali, berjam-jam/berhari-hari: per rektal/sustained release.

c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan obat adalah:


c.1. Aliran darah ke tempat absorpsi
c.2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
c.3. Waktu kontak permukaan absorpsi

d. Kecepatan Absorpsi dapat:


d.1. diperlambat oleh nyeri dan stress, nyeri dan stress mengurangi aliran darah,
mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster;
d.2. makanan tinggi lemak, makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat
pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi obat; faktor bentuk obat, absorpsi
dipengaruhi formulasi obat seperti tablet, kapsul, cairan, sustained release, dan lain-lain; dan
d.3. kombinasi dengan obat lain, interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan
atau memperlambat absorpsi tergantung jenis obat.

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh
tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut
dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif
sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang
diberikan harus banyak. (Gunawan, 2009)

Langkah pertama dalam proses penyerapan obat adalah pelepasan dan dispersi
obat bentuk sediaan padat dalam cairan usus kecil. Dalam proses ini, diberikan obat padat
bentuk sediaan hancur secara fisik serta pembentukan bubuk obat. Mekanisme ini proses
tidak mudah dijelaskan dengan menggunakan model matematika untuk memprediksi
penyerapan, karena disintegrasi fisik dari bentuk senyawa dosis biasanya diasumsikan
cepat. Terlebih lagi, proses rumit penyerapan oral pada sebagian besar obat diberikan
secara oral yaitu sulit diprediksi. Karena kompleksitas ini, simulasi model farmakokinetik
telah dikembangkan sebagai alat untuk menggabungkan berbagai proses ini dalam upaya
menangkap secara mekanis proses penyerapan obat oral. Untuk memprediksi perilaku
farmakokinetik obat oral di tubuh manusia, usus kecil ditandai sebagai serangkaian
kompartemen di mana obat transit dan menyerap. Beberapa proses berbeda dari
penyerapan obat di usus kecil. Cairan juga tergantung pada pH gastrointestinal, volume,
waktu transit dan morfologi.(Kartono, 2018)

Mekanisme lintas membrane berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi


mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan) bersaing dalam proses perlintasan zat
aktif melalui membrane.(Syukri, 2002)
a. Filtrasi atau konvektif
Filtrasi atau yang disebut juga “difusi secara konvensi” adalah mekanisme
penembusan pasif melalui pori-pori suatu membrane . semua senyawa yang
berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membrane. Sebagian
besar membrane (membrane seluler epitel halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7Ǻ)
dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih
kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya
terdiri atas rantai panjang.(Syukri, 2002)
b. Difusi pasif (pH partisi hipotesis)
Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun membrane.
Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa
memerlukan energy, sehingga mencapai keseimbangan di kedua sisi membrane.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hokum
difusi Fick.(Syukri, 2002)

Proses penyerapan obat secara oral dari bentuk sediaan farmasi sangat kompleks.
Namun, langkah-langkah utama terjadi selama obat oral penyerapan dapat dianggap
sebagai bagian dari proses serial : (1) Pembubaran obat dari bentuk sediaan ; (2) Kelarutan
obat sebagai fungsi karakteristik fisikokimia ; (3) Obat permeabilitas efektif terhadap mukosa
usus dan (4) Metabolisme presistemik obat. (Ning Song, 2004)
Mengetahui tentang karakteristik khusus ini membran sel, beberapa faktor terkait
obat-obatan seperti lipofilisitas, hidrofilisitas, molekul ukuran, luas permukaan dan kutub van
der Walls molekul fleksibilitas dan sebagainya harus dipertimbangkan kapan mengakses
permeabilitas obat, memodifikasi struktur properti dan akhirnya merancang lebih efektif
alternatif. Karena itu hubungan antara di atas mempengaruhi sifat dan permeabilitas usus
dibahas sebagai berikut. Karena sifat lipid dari membran sel, lipofilisitas molekul telah lama
dianggap faktor penting dalam desain obat. (Ning Song, 2004)
Lipofilis adalah umumnya diukur secara eksperimental dengan mengukur log10
dari koefisien partisi antara n-oktanol dan air (log P). Hubungan antara log P dan
permeabilitas non-linear, dengan penurunan dalam permeabilitas pada log P. rendah dan
tinggi non-linearitas diteorikan karena: (1) terbatas difusi molekul lipofilik yang buruk menjadi
membran sel fosfolipid, dan (2) partisi preferensial yang sangat lipofilik molekul ke dalam
membran sel fosfolipid, mencegah lewatnya bagian berair dari membran. Properti luas
permukaan dinamis juga ada efek pada permeabilitas obat. (Ning Song, 2004)
Area permukaan kutub (PSA) dari suatu molekul didefinisikan sebagai area jika van
der Walls surface yang timbul dari oksigen atau nitrogen atom atau atom hidrogen yang
melekat pada oksigen atau atom nitrogen. "Dynamic" PSA (PSAd) adalah Nilai rata-rata
tertimbang Boltzmann dihitung dari ansambel konformer berenergi rendah yang diperoleh
oleh dari pencarian konformasi terperinci. Palm K dan rekan kerja mengkorelasikan luas
permukaan dinamis sifat molekul obat dengan penyerapan obat. Korelasi linear terbalik yang
baik antara dinamika luas permukaan kutub dan koefisien permeabilitas dalam monolayer
epitel usus manusia Caco-2 sel dan usus tikus yang ada diperoleh, menunjukkan bahwa luas
permukaan kutub dinamis adalah faktor penting dalam transportasi trans-seluler pasif
melintasi membran sel. Kemampuan ikatan hidrogen suatu molekul (Perkiraan
hidrofilisitasnya) adalah hal penting lainnya properti untuk permeabilitas membran seluler. Di
Veber. Penelitian DF dan rekan kerja, donor ikatan hidrogen diambil sebagai heteroatom
dengan setidaknya satu hidrogen terikat. Akseptor ikatan hidrogen adalah diambil sebagai
heteroatom apa pun tanpa positif formal biaya. Ketersediaan hayati oral yang lebih tinggi
ditemukan terkait dengan jumlah ikatan hidrogen yang lebih rendah. (Ning Song, 2004)
Selain itu, permeabilitas juga dipengaruhi oleh beberapa hal faktor lain dan
merupakan fungsi multi-efek semua faktor-faktor ini. Secara khusus, bioavailabilitas oral
lebih tinggi memang terkait dengan berat molekul yang lebih rendah, yang merupakan
pengganti properti lainnya, seperti luas permukaan kutub dan jumlah ikatan hidrogen, juga
sebagai ikatan yang dapat diputar (didefinisikan sebagai ikatan tunggal, bukan dalam
sebuah cincin, terikat pada atom berat nonterminal). Dengan peningkatan berat molekul,
sifat-sifat ini juga cenderung meningkat. Juga sifat-sifat zat terlarut dapat memiliki efek pada
permeabilitas obat. Keduanya berpotensi dan berikatan hidrogen volume zat terlarut
berkontribusi pada permeabilitas dan menunjukkan bahwa sifat permeabilitas-membatasi
lingkungan mikro di dalam sel tergantung pada sifat-sifat zat terlarut khusus. (Ning Song,
2005)

II.6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Absorbsi

Factor-faktor yang mempengaruhi absorbs obat sebgai berikut (Joenoes, 2002):


a. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang dalam
kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas permukaan
total, bertambah mudah larut.
b. Pengaruh daya larut obat
Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada (Joenoes, 2002):
1.Sifat kimia : modifikasi kimiawi obat
2.Sifat fisik : modifikasi fisik obat
3.Prosedur dan teknik pembuatan obat
4.Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien
c. Beberapa factor lain fisiko-kimia obat
1.pKa dan derajat ionisasi obat
konsentrasi relative bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan juga pada
pH lingkungannya. Kebanyakan obat berupa asam lemah atau basa lemah; oleh
karena absorpsi dengan cara difusi pasif hanya terjadi dalam bentuk tidak
terionisasi (atau molekul), maka perbandingan obat yang tidak terionisasi sangat
menentukan absorpsi. pKa obat merupakan factor penting, apakah obat itu bila
diberikan per oral diabsorpsi lebih banyak di lambung atau lebih banyak di usus.
(Joenoes,2002)
2.koefisien partisi lemak/air

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal di atas proses, dan akhirnya
mempengaruhi tingkat dan luasnya penyerapan obat oral. Faktor-faktor ini dapat dibagi
menjadi tiga kategori (Nai-Ning Song, 2005) :
a. Kategori pertama mewakili sifat fisikokimia obat, termasuk kelarutan, permeabilitas
usus, pKa, lipofilisitas, stabilitas, luas permukaan, ukuran partikel dan sebagainya.
b. kategori kedua terdiri dari faktor fisiologis, seperti pH gastrointestinal, pengosongan
lambung, kecil waktu transit usus, garam empedu, mekanisme penyerapan dan
seterusnya.
c. Kategori ketiga berisi bentuk sediaan faktor, seperti larutan, kapsul, tablet, suspensi
dan seterusnya.

II.7. Anatomi dan Fisiologi Organ yang Jadi Subjek Pelepasan Sediaan Obat
Saluran pencernaan sangat berurusan dengan pencernaan makanan dan
mempersiapkannya untuk disimilasi tubuh. Seluruh saluran pencernaan dibatasi oleh selaput
lendir (membran mukosa), dan bibir sampai ujung akhir esofagus, ditambah lapisan-lapisan
epitelium. Saluran pencernaan terdiri atas bagian-bagian berikut (Pearce, 2009):
a. Mulut (kelenjar ludah)
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan. Mulut
terdiri atas dua bagian, bagian luar sempit (vestibula) yaitu ruang di antara gusi serta
gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisi-
sisinya oleh tulang maksilaris dan semua gigi, dan di sebelah belakang bersambung
dengan awal faring. Atap mulut dibentuk oleh palatum, lidah terletak dilantainya dan
terikat pada tulang hioid. Digaris tengah sebuah lipatan membran mukosa (frenulum
linguas) menyambung lidah dengan lantai mulut. Di kedua sisi terletak papila
sublingualis, yang memuat lubang kelenjar ludah submandibularis. Sedikit eksternal
dari papila ini terletak lipatan sublingualis tempat lubang-lubang halus kelenjarludah
sublingualis bermuara. Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis. Di
bawahnya terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini
sangat kaya akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf
sensoris. Di mulut terdapat enzim ptialin (amilase ludah) berfungsi untuk mengubah
gula atau tepung menjadi bentuk yang lebih sederhana. Pada mulut terdapat bagian-
bagian yaitu bibir, palatum, dan gigi-gigi. Pada dinding pipi yang dilapisi dari dalam
oleh mukosa yang mengandung papila-papila. Otot yang terdapat pada pipi ialah otot
buksinator. Palatum (langit-langit) terdiri atas dua bagian, yaitu palatum keras yang
tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan tulang maksilaris, dan lebih ke
belakang terdiri atas dua tulang palatum. Gigi terdapat du kelompok, yaitu gigi
sementara (gigi sulung) dan gigi tetap. Terdapat dua puluh gigi sulung, sepuluh pada
setiap rahang. Dari tengah ke kedua sisi berturut-turut dinamai dua insisivus atau gigi
seri, satu kanina atau gigi taring, dan dua molar atau geraham (Pearce, 2009).

b. Faring (Tekak)
Faring atau tekak terletak di belakang hidung, mulut, dan laring
(tenggorokan). Faring berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan membran berotot
(muskulo membranosa) dengan bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan dari
dasar tengkorak sampai di ketinggian vertebrata servikal keenam, yaitu ketinggian
tulang rawan krikoid, tempat faring bersambung dengan esofagus. Pada ketinggian
ini laring juga bersambung dengan trakea (batang tenggorok) (Pearce, 2009).
Panjang faring kira-kira tujuh cm dan dibagi atas tiga bagian (Pearce, 2009):
1) Nasofaring, di belakang hidung. Di dinding pada daerah ini terdapat lubang
saluran Eustakhius. Kelenjar-kelenjar adenoid terdapat pada nasofaring.
2) Faring oralis, terletak di belakang mulut. Kedua tonsil ada di dinding lateral
daerah faring ini.
3) Faring laringeal, ialah bagian terendah yang terletak di belakang laring.
Di belakang faring terdapat 7 lubang, dua dari saluran Eustakhius, dua bagian
posterior lubang hidung (nates) yang berada di belakang rongga hidung, mulut, laring
dan esofagus. Dinding faring tersusun atas tiga lapisan, yaitu lapisan mukosa, lapisan
fibrosa, dan lapisan berotot. Lapisan mukosa yag terletak paling dalam, bersambung
dengan lapisan dalam hidung, mulut, dan saluran Eutakhius. Lapisan dalam pada
bagian atas faring ialah epitelium saluran pernapasan dan bersambung dengan
epitelium hidung. Bagian bawah faring yang bersambung dengan mulut dilapisi
epitelium berlapis. Lapisan fibrosanya terletak antara lapisan mukosa dan lapisan
berotot. Otot utama pada faring ialah otot konstriktor, yang berkontraksi sewaktu
makanan masuk ke faring dan mendorongnya kedalam esofagus (Pearce, 2009).

c. Esofagus (kerongkongan)
Esofagus ialah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm, di atas
dimulai darin faring, sampai pintu masuk kardiak lambung dibawah. Terletak di
belakang trakea dan di depan tulang punggung. Setelah melalui toraks, menembus
diafragma, masuk ke dalam abdomen, dan menyambung dengan lambung. Esofagus
berdinding 4 lapis. Disebelah luar terdiri atas lapisan jaringan ikat yang renggang,
sebuah lapisan otot yang terdiri dua lapis serabut otot, yang satu berjalan longitudinal
dan yang lain sirkular, sebuah lapisan submukosa, dan di paling dalam terdapat
selaput lendir (mukosa) (Pearce, 2009).
Kerongkongan adalah tabung berotot yang menghubungkan rongga mulut
dengan lambung. Kerongkongan melewati leher dan dada dan mengeluarkan lendir
untuk membantu melewati ingesta. Lapisan epitel keratin pada manusia dengan
tingkat pergantian sel epitel 5-8 hari. Muscularis ialah lurik, halus, dan beragam agar
tidak dapat muntah. Hal ini terutama disebabkan oleh lipatan pembatas yang
memisahkan nonglandular dari lambung kelenjar dan diafragma crura yang tidak
dapat muntah. Kelenjar lendir submukosa hadir di seluruh kerongkongan pada
manusia. Serosa tidak ada di semua bagian perut kecuali esofagus. Karena serosa
terdiri dari kolagen, sangat penting dalam memegang jahitan. Kontraksi otot yang
kuat dari kerongkongan, bersama dengan suplai darah yang buruk dan kurangnya
serosa, berarti bahwa penyembuhan dari luka yang tajam atau tajam membuat
prognosis yang buruk untuk fungsional yang kembali normal (Gelberg, 2014).

d. Lambung
Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang dapat mekar paling
banyak. Terletak terutama di daerah epigastrik, dan sebagian di sebelah kiri di
daerah hipokondriak dan umbilikal. Lambung terdiri dari bagian atas, yaitu fundus,
batang utama, dan bagian bawah yang horizontal, yaitu antrum pilorik. Lambung
berhubungandengan esofagus melalui orifisium atau kardia, dan dengan duodenum
melalu orisium pilorik. Lambung terletak di bawah diafragma, di depan pankreas. Dan
limpa menempel pada sebelah kiri fundus (Pearce, 2009). Lambung terdiri atas 4
lapisan yaitu (Pearce, 2009):
1) Lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa,
2) Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapis, serabut longitudinal yang tidak dalam
dan tersambung dengan otot esofagus, serabut sirkuler yang paling tebal dan
terletak di pilorus serta membentuk otot sfingter dan berada di bawah lapisan
pertama, dan serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambung dan
berjalan dari orifium kardiak kemudian membelok ke bawah melalui
kurvaniraminor (lengkung kecil).
3) Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah dan
saluran limfe.
4) Lapisan mukosa yang terletak di sebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak
kerutan atau rugae, yang hilang bila organ itu mengembang karena berisi
makanan.
Membran mukosa dilapisi epitelium silindris dan berisi banyak saluran limfe.
Semua sel-sel itu mengeluarkan sekret mukus. Permukaan mukosa ini dilintasi
saluran-saluran kecil dari kelenjar-kelenjar lambung. Semua ini berjalan dari kelenjar
lambung tubuler yang bercabang-cabang dan lubang-lubang salurannya dilapisi
epitelium silinder. Epitelium dari bagian kelenjar yang mengeluarkan sekret berubah-
ubah dan berbeda-beda di beberapa daerah lambung. Lambung menerima makanan
dari esofagus melalui orifisium kardiak dan bekerja sebagai penimbun sementara,
sedangkan kontraksi otot mencampur makanan dengan getah lambung. Gelombang
peristaltik dimulai tinggi di fundus, berjalan berulang-ulang, setiap menit 3 kali dan
merayap perlahan-lahan ke pilorus. Makanan mula-mula harus dibuat cair, kemudian
jumlah kecil, kira-kira 70cc, berjalan melalui lubang pilorik masuk duodenum. Isi
lambung sangat asam dan ketika jumlah kecil itu masuk duodenum, sfingter pilorik
menututp sampai isi asam itu sebagian telah dinetralkan oleh kerja getah duodenum,
pankreas, dan empedu yang alkalis. Pepsin yang dihasilkan dari pepsinogen dalam
lingkungan asam hcl dan bekerja atas protein, mengubahnya menjadi bahan yang
lebih mudah larut,yang disebut pepton. Renin ialah ragi yang membekukan susu dan
membentuk kasein dari karsinogen yang dapat larut (Pearce, 2009).

e. Hati dan Pankreas


Dua cairan pencerna masuk duodenum melalui saluran-salurannya, yaitu
empedu melalui hati dan getah pankreas dari pankreas. Empedu diperlukan untuk
pencernaan lemak yang diemulsikan (artinya dipecahkan kecil-kecil), dengan
demikian membantu kerja lipase. Sifatnya alkali dan membantu membuat makanan
yang keluar dari lambung yang asam menjadi netral. Garam empedu mengurangi
tegangan permukaan isi usus dan membantu membentuk emulsi dari lemak yang
dimakan. Enzim pembeku susu oleh beberapa ahli fisiologi dianggap ada didalam
getah pankreas (Pearce, 2009). Getah pankreas berisi tiga jenis enzim pencerna
yang bekerja atas tuga jenis makanan berikut (Pearce, 2009). Sifatnya alkali :
1) Amilase, mencerna hidrat karbon; sifatnya lebih kuat dari ptialin, bekerja atas zat
tepung mentah maupun yang telah dimasak dan mengubahnya menjadi
disakarida.
2) Lipase, ialah enzim yang memecah lemak menjadi gliserin dari asam lemak.
Paling kuat bila bekerja sama dengan empedu.
3) Tripsin, mencerna protein. Tripsin dihasilkan enzim tripsinogen yang terdapat
dalam getah pankreas dan yang diubah menjdai enzim pencerna tripsin oleh
salah satu enzim sukus enterikus, yaitu enterokinase. Kerja tripsin lebih kuat
daripada enzim pepsin yang berasal dari getah lambung. Tripsin menurunkan
protein dan pepton menjdai golongan polisakarida.

f. Usus halus
Usus kecil berfungsi dalam pencernaan, sekresi, dan penyerapan. Luas
permukaan fungsional usus kecil adalah 1 sel tebal dan secara nyata meningkat
dengan adanya banyak lipatan mukosa yang mengandung vili. Setiap sel serap pada
vili ini memiliki batas microvillus yang semakin meningkatkan luas permukaan dan
mengandung glikokaliks yang menampung enzim pencernaan (Gelberg, 2014). Usus
halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang dalam
keadaan hidup. Angka yang biasa diberikan, 6 meter adalah penemuan setelah mati
bila otot kehilangan tonusnya. Usus halus memanjang dari lambung, sampai katup
ileo-kolika, tempat bersambung dengan usus besar. Usus halus terleta di daerah
umbilikus dan dikelilingi usus besar (Pearce, 2009). Dibagi dalam beberapa bagian,
yaitu (Pearce, 2009):
1) Duodenum (usus 12 jari), adalah bagian pertama usus halus yang 25 cm
panjangnya, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala
pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam duodenum
pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopankreatika, atau ampula Vateri,
10 cm dari pilorus. Terdapat kelenjar Brunner yang dapat mengeluarkan sekret
cairan kental alkali yang bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari
pengaruh asam lambung.
2) Jejunum (usus kosong), menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus
yang selebihnya.
3) Ileum (usus penyerapan), menempati tiga perlima akhir.
Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi kime dari lambung.
Isiduodenum bersifat alkali. Dinding usus halus terdiri atas keempat lapisan yang
sama dengan lambung, yaitu (Pearce, 2009):
1) Dinding lapisan luar, adalah membran serosa, yaitu peritoneum yang membalut
usus dengan erat.
2) Dinding lapisan berotot, terdiri atas dua lapis serabut saja; lapisan luar terdiri atas
serabut longitudinal, dan di bawah ini ada lapisan tebal terdiri atas serabut
sirkular. Di antara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan pleksus saraf.
3) Dinding submukosa, terdapat diantara otot sirkular dan lapisan yang terdalam
yang merupakan perbatasannya. Dinding submukosa ini terdiri atas jaringan
areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar, dan plekus
saraf yang disebut pleksus Meissner.
4) Dinding submukosa dan mukosa dipisahkan selapis otot dasar yang disebut
mukosa muskularis. Serabut-serabut berasal dari sini naik ke vili dan dengan
berkontraksi membantu mengosongkan semua lakreal.

g. Usus Besar
Usus besar atau kolon yang kira-kira satu setengah meter panjangnya adalah
sumbangan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileosekal, yaitu tempat
sisa makanan lewat. Refleks gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung dan
meimbulkan peristaltik di dalam usus besar. Refleks ini menyebabkan defekasi atau
pembuangan air besar. Kolon mulai sebagai kantong yang mekar dan terdapat
apendiks termiformis atau umbai cacing. Apendiks juga terdiri atas keempat lapisan
dinsing yang sama seperti usus lainnya, hanya lapisan submukosanya berisi
sejumlah besar jaringan limfe, yang dianggap mempunyai fungsi serupa dengan
tonsil. Sebagian terletak di bawah sekum dan sebagian di belakang sekum atau
disebut retrosekum. Dalam apendiksitis apendiks meradang, yang umumya
menghendaki operasi apendektomi (Pearce, 2009).
Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Dari
sini kolon naik melalui daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon asendens. Di
bawah hati membelok pada tempat yang disebut fleksura hepatika, lalu berjalan
melalu tepi daerah epigastrik dan umbilikal sebagai kolon transversus. Rektum 10 cm
terbawah dari usus besar, dimulai pada kolon sigmoideus dan berakhir pada saluran
anal yang kira-kira 3 cm panjangnya. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga
otot internal dan eksternal. Sfingter eksterna menjaga saluran anus dan orifisum
supaya tertutup. Usus besar tidak ikut serta dalam pencernaan atau absorpsi
makanan. Bila usus halus mencapai sekum, semua zat makanan telah diabsorpsi
dan isinya cair. Selama perjalanan didalam kolon isinya menjadi makin padat karena
air absorpsi dan ketika rektum dicapai maka feses bersifat padat-lunak. Peristaltik
didalam kolon sangat lamban, diperlukan waktu kira-kira 16-20 jam bagi isinya untuk
mencapai fleksura sigmoid. Fungsi kolon yaitu (Pearce, 2009):
1) Absorpsi air, garam, dan glukosa;
2) Sekresi musin oleh kelenjar di dalam lapisan dalam;
3) Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon di dalam tumbuh-tumbuhan, buah-
buahan dan sayura hijau, dan penyiapan sisa protein yang belum dicernakan oleh
bakteri guna ekskresi; dan
4) Defekasi (pembuangan air besar)
h. Kulit
Kulit adalah organ tubuh terbesar, terhitung sekitar 15% dari total berat badan
orang dewasa.  Ini melakukan banyak fungsi vital, termasuk perlindungan terhadap
penyerang fisik, kimia, dan biologis eksternal, serta pencegahan kelebihan
kehilangan air dari tubuh dan peran dalam termoregulasi.  Kulit terus menerus,
dengan selaput lendir yang melapisi permukaan tubuh.  Sistem integumentary
dibentuk oleh kulit dan struktur turunannya.  Kulit terdiri dari tiga lapisan: epidermis,
dermis, dan jaringan subkutan.  Tingkat paling luar, epidermis, terdiri dari konstelasi
sel khusus yang dikenal sebagai keratinosit, yang berfungsi untuk mensintesis
keratin, protein panjang seperti benang dengan peran pelindung.  Lapisan tengah,
dermis, pada dasarnya terdiri dari protein struktural fibrilar yang dikenal sebagai
kolagen.  Dermis terletak di jaringan subkutan, atau panniculus, yang mengandung
lobus kecil sel lemak yang dikenal sebagai liposit.  Ketebalan lapisan-lapisan ini
sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografis pada anatomi tubuh.  Kelopak
mata, misalnya, memiliki lapisan epidermis paling tipis, berukuran kurang dari 0,1
mm, sedangkan telapak tangan dan kaki memiliki lapisan epidermis paling tebal,
berukuran sekitar 1,5 mm.  Dermis paling tebal di punggung, di mana 30-40 kali lebih
tebal dari epidermis atasnya (Paul, dkk., 2011)
II.8. Mekanisme Pelepasan Obat
Obat yang diberikan efcktifitasnya dapat dilihat dari profil kadrr obat dalam darah,
obat akan memberikan efek jika kadar obat dalam darahnya berada di antara konsentrasi
minimum efektif (KME) dan dibawah konsentrasi minimum toksik (KMT). Obat yang diberikan
peroral biasanya diberikan satu atau dua atau tiga kali sehari bahkan lebih dari tiga kali
sehari dengan tujuan untuk mendapatkan konsentrasi obat dalam darah selalu berada
diantara KME dan KMT, Sistem penghantaran obat yang ideal adalah sistem yang jika
diberikan dalam dosis tunggal dapat menghantarkan obat sedini mungkin (memiliki waktu
laten pendek), memberikan efek farmakologi selama mungkin (durasi panjang) dan
menghantarkan obat langsung pada tempat kerjanya (sasaran target) dengan aman. Sistem
penghantaran obat ideal ini sulit sekali untuk dibuat. Oleh karena itu pada penelitian ini
dikembangkan sediaan obat yang dirancang sedemikian schingga ednu karakteristik
melepaskan obat dengan waktu mempunyai. sesuai dengan yang direncanakan, untuk
meningkatkan efektifitas obat (Indrawati,2011).

Pemberian oral adalah rute paling populer untuk efek sistemik karena kemudahan
menelan, rasa sakit, penghindaran, keserbagunaan dan yang paling penting, kepatuhan
pasien. sistem pengiriman oral yang solid tidak memerlukan kondisi steril dan karenanya,
lebih murah untuk diproduksi. Kepatuhan pasien, dosis dosis tinggi, dan efisiensi produksi
menjadikan tablet sebagai sediaan padat pilihan. Pilihan eksipien dan peralatan akan
terpengaruh secara signifikan jika teknologi bentuk sediaan padat berubah sebagai respons
terhadap perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam penemuan obat seperti
genomik. Suntikan umumnya tidak disukai untuk digunakan oleh pasien kecuali difasilitasi
oleh injektor otomatis yang canggih. Penghirupan adalah salah satu sistem alternatif yang
baik untuk mengantarkan obat-obatan ini, tetapi peningkatan penelitian tentang biofarmasi
sejauh ini telah menghasilkan entitas kimia yang dominan dengan bobot molekul rendah
(Bhuyian,dkk,2013).

Rute oral tetap menjadi rute yang sempurna untuk pemberian agen terapeutik karena
biaya rendah terapi, pembuatan dan kemudahan administrasi menyebabkan tingginya
tingkat kepatuhan pasien. Istilah "pelepasan segera" formulasi farmasi meliputi setiap
formulasi di mana laju pelepasan obat dari formulasi dan / atau penyerapan obat, tidak
dihargai, atau sengaja, terbelakang oleh manipulasi galenik. Dalam kasus ini, pelepasan
segera dapat diberikan melalui pengencer atau pembawa yang sesuai yang dapat diterima
secara farmasi, yang pengencer atau pembawa tidak memperpanjang, sampai taraf yang
cukup besar, laju pelepasan dan / atau penyerapan obat. Dengan demikian, istilah ini tidak
termasuk formulasi yang disesuaikan untuk menyediakan pelepasan obat yang
“dimodifikasi”, “dikendalikan”, “berkelanjutan”, “diperpanjang”, “diperpanjang” atau
“ditunda”( Bhuyian,dkk,2013).

II.8.1. PELEPASAN OBAT DARI SEDIAAN KONVENSIONAL PERORAL

Bentuk sediaan konvensional yang diberikan peroral umumnya berupa bentuk padat
(seperti : serbuk, granul.pellet, mikrokapsul, tablet, kapsul, tablet salut, tablet salut enterik
dll), dan cair (larutan, suspensi, emulsi). Obat dapat masuk ke pembuluh darah apabila
sudah dilepaskan dari bentuk sediaannya dan dalam bentuk terlarut ditempat terjadinya
absorpsi. Oleh karena itu profil kadar obat dalam darah dapat diprediksi dari model
pelepasan obat dari bentuk sediaanya. Walaupun pada hakekatnya model pelapasan obat
ini hanya mempersiapkan obat dalam bentuk terlarut di tempat pemberian yang siap untuk
diabsorpsi. Hal ini disebabkan karena pada pemberian oral banyak sekali faktor yang
mempengaruhinya, seperti adanya makanan, minuman,enzim,asam lambung dan lainnya
(Indrawati,2011).

II.8.2. PELEPASAN OBAT PER ORAL DARI SISTEM PENGANTARAN OBAT BARU

Model pelepasan yang dikenal dalam sistim penghantaran obat cukup banyak,
seperti controlled release, sustain release, delayed release, continous release, prolog
release, depot, gradual release, long term release, programe release, proportionate release,
protracted release, repository, retrad, slow relase dan lain-lain. Istilah baku yang digunakan
dalam USP XXIII ada dua, yaitu delayed release dan extendea release. Delayed release
atau lepas tunda adalah sediaan yang bertujuan untuk menunda pelepasan obat sampai
sediaan telah melewati lambung, sedang extended release atau sustained release atau
lepas lambat adalah suatu sediaan - yang dibuat scdemikian rupa sehingga zat aktif akan
tersedia selama jangka waktu tertentu setclah obat diberikan. Adapun grtended-release
dosage form adalah suatu bentuk sediaan yang dibuat dengan cara khusus, sediaan segera
mencapai level obat terapi dan mempertahankannya selama 8-12 jam setelah pemberian
satu kali dosis tunggal. Controlled release dosage form (sediaan dengan pelepasan
terkontrol / terkendali) adalah suatu bentuk sediaan yang dibuat secara khusus, sediaan
segera mencapai level obat terapi dan mempertahankannya selama 8-12 jam setelah
pemberían satu kali dosis tunggal. Controlled release dosage form (sediaan dengan
pelepasan terkontrol / terkendali) adalah suatu bentuk sediaan yang dibuat secara khusus,
sediaan dirancang untuk melepas obat dengan kinetik orde nol dalam jumlah yang sesuai
mempertahankan level obat terapeutik selama 24 jam atau lebih (Indrawati,2011).

II.8.3. METODE PELEPASAN OBAT KE OTAK

1. Gangguan pada BBB


Pemikiran di balik pendekatan ini adalah untuk memecah penghalang sejenak
dengan menyuntikkan larutan manitol ke dalam arteri di leher. Konsentrasi gula tinggi
yang dihasilkan dalam kapiler otak mengambil air dari sel-sel endotel, menyusut
mereka, sehingga membuka persimpangan yang rapat. Efeknya berlangsung selama
20-30 menit, di mana obat bebas berdifusi, yang biasanya tidak akan melewati BBB.
Metode ini memungkinkan pengiriman agen kemoterapi pada pasien dengan limfoma
serebral, glioma ganas dan tumor sel kuman SSP yang disebarluaskan. Stres
fisiologis, peningkatan sementara dalam tekanan intrakranial, dan pengiriman agen
antikanker yang tidak diinginkan ke jaringan otak normal adalah efek samping yang
tidak diinginkan dari pendekatan ini pada manusia (Tiwari,dkk,2012).

2. Pengiriman intraventrikular / intratekal

Menggunakan wadah plastik, yang ditanam secara subkutan di kulit kepala


dan dihubungkan ke ventrikel di dalam otak oleh kateter keluar. Suntikan obat ke
dalam CSF adalah strategi yang sesuai untuk lokasi yang dekat dengan ventrikel saja
(Tiwari,dkk,2012).

3. Pemberian obat intra nasal


Setelah pengiriman melalui hidung, obat-obatan pertama kali mencapai epitel
pernapasan, di mana senyawa-senyawa dapat diserap ke dalam sirkulasi sistemik
dengan tranpsi pasif seluler dan para seluler, transpor buatan, dan penyerapan
melalui trancytosis. Ketika formulasi obat hidung disampaikan dalam dan cukup tinggi
ke dalam rongga hidung, mukosa penciuman dapat dicapai dan transportasi obat ke
otak dan / atau CSF melalui reseptor penciuman neuron dapat terjadi
(Tiwari,dkk,2012).

4. Sistem yang memungkinkan untuk pengiriman obat-koloididal pembawa obat Koloidal


pembawa obat
Sistem seperti solusi misel, vesikel dan dispersi kristal cair, serta dispersi
nanopartikel yang terdiri dari partikel kecil menunjukkan harapan besar sebagai
sistem pengiriman obat. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sistem dengan
pemuatan dan pelepasan obat yang dioptimalkan, umur simpan yang lama dan
toksisitas rendah. Obat yang dimasukkan berpartisipasi dalam struktur mikro sistem,
dan bahkan dapat mempengaruhinya karena interaksi molekuler, terutama jika obat
tersebut memiliki sifat amfifilik dan / atau mesogenik (Tiwari,dkk,2012).

5. Misel
Misel yang dibentuk oleh perakitan sendiri kopolimer blok amphiphilic (5-50
nm) dalam larutan air sangat menarik untuk aplikasi pengiriman obat. Obat-obatan
dapat secara fisik terperangkap dalam inti misel kopolimer blok dan diangkut pada
konsentrasi yang dapat melebihi kelarutan air intrinsiknya. Selain itu, blok hidrofilik
dapat membentuk ikatan hidrogen dengan lingkungan berair dan membentuk kulit
yang rapat di sekitar inti misel. Akibatnya, isi inti hidrofobik secara efektif dilindungi
terhadap hidrolisis dan degradasi enzimatik. Selain itu, korona dapat mencegah
pengakuan oleh sistem retikuloendotelial dan oleh karena itu eliminasi awal misel dari
aliran darah. Fakta bahwa komposisi kimianya, berat molekul total, dan rasio panjang
blok dapat dengan mudah diubah, yang memungkinkan kontrol ukuran dan morfologi
misel. Fungsionalisasi kopolimer blok dengan kelompok yang saling berhubungan
dapat meningkatkan stabilitas misel yang sesuai dan meningkatkan kontrol temporal
mereka(Tiwari,dkk,2012).

6. Liposom
Liposom pertama kali diproduksi di Inggris pada tahun 1961 oleh Alec D.
Bangham. Salah satu ujung dari setiap molekul larut dalam air, sedangkan ujung
yang berlawanan adalah tidak larut dalam air. Obat yang larut dalam air yang
ditambahkan ke air terperangkap di dalam agregasi ujung hidrofobik; obat yang larut
dalam lemak dimasukkan ke dalam lapisan fosfolipid. 124Dalam kasus sel fagosit,
liposom diambil, dinding fosfolipid ditindaklanjuti oleh organel yang disebut lisosom,
dan obat dilepaskan. Sistem pengiriman liposomal sebagian besar masih bersifat
eksperimental; mekanisme yang tepat dari tindakan mereka dalam tubuh sedang
dipelajari, seperti juga cara untuk menargetkan mereka ke jaringan yang sakit
tertentu (Tiwari,dkk,2012).

7. Teknologi Nano
Sistem nanopartikulat untuk pengiriman obat otak Salah satu kemungkinan
untuk mengantarkan obat ke otak adalah penggunaan nanopartikel. Nanopartiacles
adalah partikel polimer yang terbuat dari polimer alami atau buatan dengan ukuran
antara 10 dan 1000 nm (1 mm). Obat-obatan dapat diikat menginformasikan larutan
padat atau dispersi atau diadsorpsi ke permukaan atau secara kimia terpasang.
Nanopartikel poli (butylcyanoacrylate) mewakili satu-satunya partikel nano yang
sejauh ini berhasil digunakan untuk pengiriman obat in vivo ke otak. Obat pertama
yang di-liver ke otak menggunakan nanopartikel adalah hexapeptidedalargin (Tyr-D-
Al-Gly-Phe-Leu-Arg), analog Leu-enkephalin dengan aktivitas opioid
(Tiwari,dkk,2012).

II.8.4. KESULITAN PASIEN DALAM OBAT ORAL (Bhuyian,dkk,2013) :

 Pasien mungkin menderita tremor sehingga mereka kesulitan untuk meminum tablet,
bubuk dan cairan. Pada disfasia, hambatan fisik dan kepatuhan terhadap esofagus
dapat menyebabkan ulserasi gastrointestinal.
 Menelan bentuk sediaan padat seperti tablet dan kapsul dan menghasilkan kesulitan
bagi orang dewasa muda dari perkembangan sistem otot dan saraf yang tidak
lengkap dan pasien usia lanjut menderita disfasia.
II.8.5. KEUNGGULAN OBAT ORAL (Bhuyian,dkk,2013): 
 Efektif dalam konsentrasi yang lebih rendah 
 Lebih sedikit efek pada kompresibilitas dan kemampuan mengalir 
 Lebih efektif secara intragranula

II.9. Pengujian Obat secara In vitro dan In vivo


II.9.1. Uji in vitro
Umumnya uji antioksidan in vitro menggunakan perangkap radikal bebas relatif
mudah dilakukan. Di antara metode pembersihan radikal bebas, metode DPPH juga lebih
cepat, sederhana (mis. Tidak terlibat dengan banyak langkah dan reagen) dan tidak mahal
dibandingkan dengan model uji lainnya. Di sisi lain, uji dekolorisasi ABTS berlaku untuk
antioksidan hidrofilik dan lipofilik. Dalam artikel ini semua metode in vitro dijelaskan dan
penting untuk dicatat bahwa seseorang dapat mengoptimalkan secara logis metode masing-
masing untuk melayani tujuannya di sini eksperimental karena tidak ada satu metode yang
bersifat absolut daripada contoh (Alam,dkk,2013).

Berdasarkan tidak adanya atau ada kondisi sink, ada tiga jenis utama alat
disolusi (Hasan; dkk, 2017) :
a. Kompartemen Tertutup - pada dasarnya alat volume terbatas yang beroperasi di
bawah kondisi non-tenggelam. Misalnya. App-I & II.
b. Kompartemen Terbuka - Satu di mana bentuk sediaan terkandung dalam kolom
yang dibawa dalam kontak terus menerus dengan segar, media disolusi mengalir
(kondisi sink sempurna).
c. System tipe dialysis – digunakan untuk obat yang kelarutannya buruk dalam air di
mana pemeliharaan kondisi sink akan membutuhkan sejumlah besar cairan disolusi.
Ketentuan untuk semua pada umumnya (Hasan; dkk, 2017) :
a. Temperatur 37 ± 0,50 C
b. pH ± 0,05 unit dalam monografi yang ditentukan
c. Kapasitas 1000 ml
d. Jarak antara bagian dalam bawah kapal dan dayung / keranjang dipertahankan pada
25 ± 2 mm.
e. Untuk bentuk sediaan salut enterik, pertama dilarutkan dalam 0,1 N HCl & kemudian
dalam buffer pH 6,8 untuk mengukur pelepasan obat. (Batas - NMT 10% obat harus
larut dalam asam setelah 2 jam) dan sekitar 75% harus larut dalam buffer setelah 45
menit.
Jenis- jenis USP apparatus yang digunakan untuk pengujian disolusi (Hasan; dkk,
2017):
a. Apparatus I- Basket Apparatus
1) Kecuali ditentukan lain dalam monograf individu, gunakan mesh 40.
2) Berguna untuk: Kapsul, beads, rilis tertunda / bentuk sediaan Enteric Coated,
bentuk sediaan apung.
3) Volume standar: 900/1000 ml 1, 2, 4 liter kapal
4) Keuntungan: lebih dari 200 monograf, perubahan pH penuh selama pengujian,
dapat dengan mudah otomatis yang penting untuk penyelidikan rutin.
5) Kekurangan: Interaksi disintegrasi-disolusi, hydrodynamic Dead jone di bawah
keranjang, degassing sangat penting, volume terbatas ----- kondisi sink untuk
obat-obatan yang kurang larut.
b. Apparatus-II - Paddle Apparatus
Metode Pilihan Pertama
1) Unit dosis dibiarkan tenggelam ke dasar kapal sebelum rotasi pelat dimulai.
2) Sepotong kecil, longgar tanpa bahan reaktif seperti tidak lebih dari beberapa
putaran kawat heliks dapat dilampirkan ke unit dosis yang jika tidak akan
mengambang.
3) Perangkat sinker lain yang divalidasi dapat digunakan.
4) Berguna untuk: Tablet, Kapsul, Beads, rilis tertunda, bentuk dosis salut enteric
5) Volume standar: 900/1000 ml
6) Keuntungan: Mudah digunakan, kuat, dapat dengan mudah disesuaikan dengan
apparatus 5, pengalaman panjang, perubahan pH mungkin, dan dapat dengan
mudah otomatis yang penting untuk penyelidikan rutin.
7) Kekurangan: perubahan pH / media seringkali sulit, hidrodinamika kompleks
bervariasi dengan lokasi bentuk sediaan dalam kapal (lengket, mengambang)
dan karenanya dapat secara signifikan mempengaruhi pembubaran obat, coning.
c. Apparatus III – Reciprocating cylinder
1) Perakitan terdiri dari seperangkat bejana kaca silindris dan datar; satu set tabung
kaca resiprok; alat kelengkapan stainless steel (tipe 316 atau setara) dan layar
yang terbuat dari bahan non-penyerap dan non-aktif (polypropelene) yang cocok
dan yang dirancang untuk menyesuaikan bagian atas dan bawah silinder bolak-
balik; dan unit motor dan drive untuk membalas silinder secara vertikal di dalam
kapal.
2) Pembuluh sebagian direndam dalam penangas air yang cocok dengan berbagai
ukuran yang sesuai yang menahan suhu pada 37 ± 0,5 selama pengujian.
3) Unit dosis ditempatkan dalam silinder bolak-balik & silinder dibiarkan bergerak ke
atas dan ke bawah terus-menerus. Pelepasan obat ke dalam pelarut dalam
silinder diukur.
4) Berguna untuk: Tablet, Beads, formulasi pelepasan terkontrol
5) Volume standar: 200-250 ml / stasiun
6) Keuntungan: Mudah untuk mengubah profil pH, hidrodinamika dapat secara
langsung dipengaruhi oleh memvariasikan tingkat dip
7) Kekurangan: volume kecil (maks. 250 ml), sedikit pengalaman, data terbatas
d. Apparatus IV – flow through cell
1) Perakitan terdiri dari reservoir dan pompa untuk Media Pembubaran; aliran
melalui sel; penangas air yang mempertahankan Medium Dissolution pada 37 ±
0,5.
2) Ukuran sel ditentukan dalam monograf individu.
3) Pompa mendorong Media Pembubaran ke atas melalui sel flow-through.
4) Tempatkan manik-manik kaca ke dalam sel yang ditentukan dalam monograf.
5) Tempatkan 1 unit dosis di atas manik-manik atau, jika ditentukan dalam
monograf, pada pembawa kawat.
6) Pasang kepala filter, dan kencangkan bagian-bagiannya dengan alat penjepit
yang cocok.
7) Diperkenalkan oleh pompa, Media Dissolution dihangatkan sampai 37 ± 0,5
melalui bagian bawah sel untuk mendapatkan laju aliran yang ditentukan dalam
monograf individu.
8) Kumpulkan elute dengan fraksi pada setiap waktu yang dinyatakan.
9) Lakukan analisis sebagaimana diarahkan dalam monograf individu
10) Berguna untuk : Obat dengan kelarutan rendah, Partikel mikro, Implan,
Supositoria, Formulasi pelepasan terkontrol
11) Variasi: Sistem terbuka & Sistem tertutup
12) Keuntungan: Mudah mengubah pH media, profil-PH dimungkinkan, kondisi
wastafel
13) Kekurangan: Deaeration diperlukan, volume media yang tinggi, kerja intensif
e. Aparatus V - Paddle over disk
1) Gunakan dayung dan rakitan kapal dari Apparatus 2 dengan tambahan stainless
2) Rakitan cakram baja yang dirancang untuk menahan sistem transdermal di
bagian bawah kapal.
3) Perangkat lain yang sesuai dapat digunakan, asalkan tidak sorb, bereaksi
dengan, atau mengganggu spesimen yang sedang diuji
4) Rakitan disk untuk memegang sistem transdermal dirancang untuk
meminimalkan "mati" volume antara unit disk dan bagian bawah kapal.
5) Rakitan disk menahan sistem datar dan diposisikan sedemikian rupa sehingga
permukaan pelepasannya sejajar dengan bagian bawah pisau dayung.
6) Kapal dapat ditutup selama pengujian untuk meminimalkan penguapan.
7) Berguna untuk: patch transdermal
8) Volume standar: 900 ml
9) Kekurangan: Unit disk membatasi ukuran patch.
f. Apparatus VI – silinder
1) Gunakan unit kapal dari apparatus 1 kecuali untuk mengganti keranjang dan
poros dengan elemen pengaduk silinder stainless steel dan untuk
mempertahankan suhu pada 32 ± 0,5 selama pengujian.
2) Unit dosis ditempatkan pada silinder di awal setiap tes, hingga bagian luar
silinder sedemikian rupa sehingga sumbu panjang sistem pas mengelilingi
keliling silinder & menghilangkan gelembung udara yang terperangkap.
3) Tempatkan silinder di dalam peralatan, dan segera putar sesuai laju yang
ditentukan dalam masing-masing monograf.
g. Apparatus VII – reciprocating holder
1) Rakitan terdiri dari satu set wadah solusi terkalibrasi volumetrik yang terbuat dari
kaca atau bahan lembam lainnya yang sesuai, motor dan drive drive untuk
membalas sistem secara vertikal dan satu set pemegang sampel yang sesuai.
2) Wadah larutan sebagian direndam dalam penangas air yang sesuai dengan
ukuran apa pun yang memungkinkan mempertahankan suhu, di dalam wadah
pada 32 ± 0,5
3) Untuk sistem pengiriman obat tablet Coated, lampirkan setiap sistem yang akan
diuji ke pemegang sampel yang sesuai (misalnya, dengan menempelkan tepi
sistem dengan lem 2-siano akrilat ke ujung batang aplastik atau dengan
menempatkan sistem ke dalam kantung jaring nilon kecil di bagian akhir) dari
rodor plastik di dalam kumparan logam yang terpasang pada batang logam).
4) Untuk sistem pengiriman obat transdermal menempelkan sistem ke
sampleholder berukuran yang sesuai dengan cincin-O yang sesuai sehingga
bagian belakang sistem berdekatan dan dipusatkan di bagian bawah tempat
sampel berbentuk disk atau dipusatkan di sekitar lingkaran lingkar berbentuk
silinder. pemegang sampel. Potong kelebihan media dengan pisau asharp.
5) Untuk sistem pengiriman obat lain, lampirkan setiap sistem untuk diuji pada
pemegang yang sesuai seperti yang dijelaskan dalam monograf individu
Metode untuk pengujian disolusi yaitu (Hasan; dkk, 2017) :
a. Metode rotating basket
Tablet atau kapsul ditempatkan dalam keranjang mesh silinder stainless steel.
Keranjang ditempatkan di kapal yang disimpan pada suhu konstan. Keranjang
diputar pada kecepatan konstan (antara 25 dan 150 putaran per menit). Sampel
ditarik untuk analisis dari posisi yang sama setiap kali.
b. Metode dayung
Peralatan untuk metode paddle sama dengan yang untuk metode rotating
basket. Desain dayung dan kecepatan berputar adalah penting. Dayung harus
berputar dengan lancar tanpa goyangan dan pusaran tidak harus terbentuk ketika
dayung berputar. Tablet atau kapsul dibiarkan tenggelam ke dasar kapal sebelum
dayung mulai berputar. Peralatan mungkin tampak sedikit kasar untuk melakukan
pengukuran yang penting. Namun, itu adalah instrumen toleransi dekat yang
didefinisikan secara tepat.

II.9.2. Uji In vivo


Model farmakokinetik dosis tunggal in vivo klasik di mana larutan atau formulasi
obat diberikan secara oral, atau langsung ke lambung atau usus pada spesies hewan
yang cocok, dapat juga digunakan untuk menyelidiki Peff, fraksi yang diserap dan
ketersediaan hayati. Dalam studi tersebut, nilai untuk fraksi yang diserap termasuk
dampak dari proses biofarmasi lainnya seperti disolusi, presipitasi, transit, dll.. Model
hewan in vivo ini adalah yang paling relevan secara klinis karena faktor fisiologis,
seperti waktu pengosongan lambung, kadar air luminal dan degradasi obat, dan
metabolisme first-pass pasca-penyerapan memengaruhi parameter yang ditentukan
dan hasil yang diprediksi. Jenis model ini jelas kurang berlaku untuk studi mekanistik
penyerapan usus, karena dampak relatif dari faktor yang berbeda dapat sulit untuk
menilai secara rinci (Dahlgren and Lennernäs, 2019).
Untuk semua metode in vivo, sampel yang akan diuji biasanya diberikan kepada
hewan uji (tikus, tikus, dll.) Pada rejimen dosis tertentu seperti yang dijelaskan oleh
masing-masing metode. Setelah jangka waktu tertentu, hewan biasanya dikorbankan
dan darah atau jaringan digunakan untuk pengujian (Alam,dkk,2013).

Ketika menggunakan model GI in vivo ini, motilitas didefinisikan sebagai


pergerakan saluran GI yang menyebabkan pencampuran dan transit chyme luminal
di atas permukaan usus serap dan sekretaris. Proses pencampuran dan transit ini
terletak baik di lumen dan di daerah yang berdekatan dengan epitel usus, dan
dikoordinasikan dan diatur melalui interaksi berputar yang kompleks antara sejumlah
sistem fisiologis termasuk, tetapi tidak terbatas pada, enterik, otonom, dan sistem
saraf pusat. Telah disarankan bahwa aktivitas motorik jarak jauh dan jarak pendek
dalam saluran GI dapat berinteraksi untuk mendorong chyme luminal yang tidak
tercerna di sepanjang saluran, di mana pencampuran regional meningkatkan
penyerapan usus. Jika gangguan terjadi pada salah satu sistem ini, itu dapat
mengganggu koordinasi peristaltik propulsi, berpotensi menyebabkan dismotilitas dan
akhirnya berbagai gejala spesifik GI. Relevansi pola motilitas ini dengan penyerapan
obat dan nutrisi usus adalah topik penelitian penting untuk masa depan (Dahlgren
and Lennernäs, 2019).
Penting juga untuk mempertimbangkan efek yang ditimbulkan oleh proses
pencernaan GI ini terhadap penyerapan obat dalam usus dari formulasi berbeda dan
efek lokal dari beberapa obat dengan target dalam lumen (enzim luminal seperti
lipase dan -amilase) atau reseptor di sisi luminal epitel. Ketika diisolasi dari sistem
saraf pusat, usus adalah satu-satunya organ yang memiliki aktivitas neuronal
integratif. Aktivitas ini dapat dirangsang oleh konten luminal yang bertindak sebagai
transduser sensorik spesifik pada sel epitel spesifik tertentu, seperti sel
enterochromaffin, yang melepaskan 5-hydroxytryptamine. 5-hydroxytryptamine
menstimulasi neuron intrinsik dan ekstrinsik primer yang ada pada pleksus
submukosa dan mienterik. Peran efek neuronal dan endokrin lokal integratif pada
penyerapan usus perlu dipahami dengan lebih baik (Dahlgren and Lennernäs, 2019).
SOAL PILIHAN GANDA

1. Proses tranportai obat komersial umumnya melalui proses…


A. Transeluler
B. Paraseluler
C. Transport masuk aktif
D. Transport efflux aktif
E. transcytosis
Pembahasan : Jenis transportasi usus sangat terkait dengan beberapa sifat
fisikokimia obat seperti yang dijelaska oleh aturan lima Lipinski yang menunjukkan
apakah suatu obat kemungkinan diserap setelah pemberian oral. Misalnya,
tergantung pada lipofilitas obar, difusi pasif melalui enterosit (difusi transeluler)
adalah rute yang disukai untuk senyawa lipofilik, sedangkan senyawa kecil hidrofilik
diserap melalui difusi pasif antara enterosit (paraceluler difusi). Namun, kontribusi
difusi paraseluler pasif untuk keseluruhan transport obat terbatas karena area yang
tersedia untuk jenis transport ini hanya menyumbang 0,01% dari total luas
permukaan membrane usus.

2. Berikut dibawah ini yang bukan merupakan organ subyek pelepasan obat adalah...
A. Lambung
B. Ileum
C. Usus besar
D. Usus buntu
E. Jejunum
Pembahasan : proses pelepasan obat dapat terjadi pada organ-organ seperti
lambung, ileum, jejunum dan usus besar. Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan
menempel pada otot iliopsoas. Pada usus buntu (sekum) tidak terjadi penyerapan
dan pelepasan obat dikarenakan makanan atau obat sudah berupa metabolitnya
seperti air dan mineral yang dapat diserap kembali pada usus besar (Pearce, 2009).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat dalam tubuh adalah sebagai berikut,
kecuali…
A. Bentuk sediaan
B. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat
C. Pengaruh daya larut obat
D. pKa dan derajat ionisasi obat
E. koefisien partisi lemak/air
Pembahasan : factor-faktor yang mempengaruhi absorbs obat dalam tubuh meliputi
pengaruh besar-kecilnya partikel obat, pengaruh daya larut obat (sifat fisikokimia
obat), pKa dan derajat ionisasi obat, dan koefisien partisi lemak/air. (Joenoes, 2002)

4. Berikut merupakan metode pelepasan obat ke otak, kecuali….


a. Misel
b. Liposom
c. Konvensional peroral
d. Teknologi Nano
e. Pemberian Obat Intranasal
Pembahasan: dikarenakan metode-metode yang terdapat didalam metode pelepasan
obat otak yaitu antara lain Pengiriman intraventrikular / intratekal, Gangguan pada
BBB, Sistem yang memungkinkan untuk pengiriman obat-koloididal pembawa obat
Koloidal pembawa obat, misel, liposom, teknologi nano, dan pemberian obat
intranasal, sedangkan yang pelepasan obat konvensional peroral merupakan
pelepasan obat oral secara umum, dan hanya berlaku untuk sediaan oral saja.

5. Sebutkan alasan Rute oral tetap menjadi rute yang sempurna untuk pemberian agen
terapeutik?
a. biaya rendah terapi, pembuatan dan kemudahan administrasi menyebabkan
tingginya tingkat kepatuhan pasien
b. biaya rendah terapi, pembuatan dan kemudahan administrasi menyebabkan
rendahnya tingkat kepatuhan pasien
c. biaya tinggi terapi, pembuatan dan kemudahan administrasi menyebabkan
tingginya tingkat kepatuhan pasien
d. biaya tinggi terapi, pembuatan dan kemudahan administrasi menyebabkan
rendahnya tingkat kepatuhan pasien
e. biaya terapi nya sama, pembuatan dan kemudahan administrasi menyebabkan
tingginya tingkat kepatuhan pasien
Pembahasan: Rute oral tetap menjadi rute yang sempurna untuk pemberian agen
terapeutik karena biaya rendah terapi, pembuatan dan kemudahan administrasi
menyebabkan tingginya tingkat kepatuhan pasien Pemberian oral adalah rute
paling populer untuk efek sistemik karena kemudahan menelan, rasa sakit,
penghindaran, keserbagunaan dan yang paling penting, kepatuhan pasien.
sistem pengiriman oral yang solid tidak memerlukan kondisi steril dan karenanya,
lebih murah untuk diproduksi. Kepatuhan pasien, dosis dosis tinggi, dan efisiensi
produksi menjadikan tablet sebagai sediaan padat pilihan.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, M. N., Bristi, N. J., & Rafiquzzaman, M. (2013). Review on in vivo and in vitro methods
evaluation of antioxidant activity. Saudi Pharmaceutical Journal, 21(2), 143-152.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1319016412000357

Berben P, Brandl A.B, Brandl M, Faller B, Flaten G.E, Jacobsen A.C, Brouwers J, Augustijns
P. 2018. Drug Permeability Profiling Using Cell-Free Permeation Tools: Overview
And Applications. European Journal of Pharmaceutical Sciences. 119 : 219–233.
(Website: https://doi.org/10.1016/j.ejps.2018.04.016.)
Bhuyian, M. A., Dewan, I., Ghosh, D. R., & Islam, M. A. (2013). Immediate release drug
delivery system (Tablets). International Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research, 4(1), 124.. http://ijpsr.com/bft-article/immediate-release-drug-delivery-
system-tablets/?view=fulltext

Dahlgren D dan Lennernäs H. 2019. Intestinal Permeability and Drug Absorption: Predictive
Experimental, Computational and In Vivo Approaches. Pharmaceutics.
11(411) : 1 18. (website : https://doi.org/10.3390/pharmaceutics11080411 )

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (Website:
https://books.google.co.id/books?id=UoE7zQEACAAJ&dq=editions:VvK2gkJ
9f8C&)

Gelberg, HB. 2014. Comparative Anatomy, Physiology, and Mechanisms of Disease


Production of the Esophagus, Stomach, and Small Intestine. Toxicologic Pathology.
42. 54-66. (website : https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0192623313518113).
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
(website:https://books.google.co.id/books?
id=5hNTDwAAQBAJ&pg=PA127&dq=farmakologi+dan+terapi+edisi+5+gunawan)

Hasan M.M, Md Mizanur Rahman M.M, Md Rakibul Islam M.R, Hasan H, Hasan M.M dan
Rashid H.A. 2017. A Key Approach On Dissolution Of Pharmaceutical Dosage
Forms. The Pharma Innovation Journal. 6(9): 168-180.
(website:https://www.researchgate.net/publication/319153199_A_KEY_APPROAC
ON_DISSOLUTION_OF_PHARMACEUTICAL_DOSAGE_FORMS.)

Indrawati, T. (2011). Sistem Penghantaran Obat Baru Peroral dengan Pelepasan Terkontrol.
Jurnal ilmu kefarmasian, 2(1). http://portal.kopertis3.or.id/handle/123456789/608

Joenoes, Z.N. 2002. Ars. Prescribendi Resep yang Rasional Jilid 3. Surabaya: Airlangga
University Press. (Website: https://books.google.co.id/books?
id=DquWDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Ar
+Prescribendi+Resep+yang+Rasional+Jilid+3+Joenoes)

Kartono A., RE Fitri, H Syafutra, ST Wahyudi, T Sumaryada. 2018. Pharmacokinetic of Oral


Drug Absorptionusing Modified Compartmental Absorption and Transit Modelin Small
Intestine. The 8th International Conference on Theoretical and Applied Physics.
1(1):1-10.(Website:
https://www.researchgate.net/publication/329882403_Pharmacokinetic_of_Oral_Drug
)

Knobloch J., Suhendro DK., Zieleniecki, JL, Shapter, JG. 2015. Membrane–Drug Interactions
Studied using Model Membrane Systems. Saudi Journal of Biological Sciences. 3(7):
714-718. (website :
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1319562X15000650?via%3Dihub)

Martin A., Swarbick J., dan Cammarta A. 1993. Farmasi Fisik : Dasar-dasar Farmasi Fisik
dalam Ilmu Farmasetika Vol. 1 Edisi III. Jakarta: UI Press.
(Website:http://www.perpus.poltekkestasikmalaya.ac.id//index.php?p=show_detail&i
d=88)

Ning N. S., Shao-Yu Zhangb, Chang-Xiao Liu. 2004. Overview of factors affecting oral drug
absorption. Asian Journal of Drug Metabolism and Pharmacokinetics. 4(3): 167-176.

(Website:https://www.researchgate.net/publication/229018971_Overview_of_factors
affecting oral_drug_absorption)

Paul AJ., Maria AMSN., dan Carolyn. 2011. Anatomy and Physiology of the Skin. Journal of
the Dermatology Nurses Association. 3(4) : 203-213.
(website: https://journals.lww.com/jdnaonline/FullText/2011/07000/Anatomy_and_Ph
ysiology_of_the_Skin.3.aspx)

Pearce, EC. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama;212-239. (website:https://books.google.co.id/books?
id=55OShlTLNCMC&printsec=fron
cover&dq=anatomi+dan+fisiologi&hl=jv&sa=X&ved=0ahUKEwiT2ZuChbboAhW_gU
FHbqzBhwQ6AEILjAC#v=onepage&q=anatomi%20dan%20fisiologi&f=false).

Raza S.N. dan Nisar Ahmad Khan. 2017. Role Of Mathematical Modelling In Controlled
Release Drug Delivery. International Journal of Medical Research and
Pharmaceutical Sciences. 4(5): 84-95. (Website:
https://www.semanticscholar.org/paper/ROLE-OF-MATHEMATICAL
MODELLING-IN CONTROLLED-DRUG-Raza)

Romero D.C. dan Felipe Rebello Lourenço. 2017. Measurement Uncertainty Of Dissolution
Test Of Acetaminophen Immediate Release Tablets Using Monte Carlo Simulations.
Brazilian Journal of Pharmaceutical Science. 53(3): 1-9.
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1984-82502017000300613
Shekunov B., dan Montgomery ER. 2016. Theoretical Analysis of Drug Dissolution:
Solubility and Intrinsic Dissolution Rate. Journal of Pharmaceutical Sciences. 1(1): 1-
13 (website: https://www.jpharmsci.org/article/S0022-3549(15)00196-3/fulltext )
Syukri. 2002. Biofarmasetika. Yogyakarta: UII Press.

Tiwari, G., Tiwari, R., Sriwastawa, B., Bhati, L., Pandey, S., Pandey, P., & Bannerjee, S. K.
(2012). Drug delivery systems: An updated review. International journal of
pharmaceutical investigation, 2(1), 2.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3465154/

Anda mungkin juga menyukai