Anda di halaman 1dari 23

LAPORANPRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL

SEMESTER GANJIL 2019/2020

PENENTUAN KOEFISIEN PARTISI MINYAK/AIR ASAM


SALISILAT

Hari/Jam Praktikum : Senin/10.00-13.00


Tanggal Praktikum : 23 September 2019
Kelompok :4
Asisten : 1. Elsa Daw Cristin
2. Windi Fresha Qomara
Anggota :
Hasna Khairunnisa 260110190086 Pembahasan
M. Fadhil G.P. 260110190070 Perhitungan
Bunga Mustikawati 260110190088 Tujuan, alat bahan,
prosedur
Paramitha Ayu Aidi 260110190089 Teori dasar
Alvina Farah 260110190090 Pembahasan
Sri Betha Putri 260110190087 Data pengamatan

LABORATORIUM KIMIA FISIKA


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2019
PENENTUAN KOEFISIEN PARTISI MINYAK/AIR ASAM SALISILAT

I. Tujuan
1.1 Menentukan koefisien partisi asam salisilat, suatu senyawa antiseptik
untuk infeksi saluran kemih, menggunakan metode pengocokan.

II. Prinsip
2.1 Like dissolve like
Like dissolve like merupakan suatu konsep yang menjelaskan dimana
senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa
yang bersifat nonpolar akan larut dalam pelarut nonpolar. (Afrianti et
all, 2014)
2.2 ECC
Ekstaksi cair-cair adalah teknik menyiapkan sampel klasik untuk
mengekstraksi analit, membersihkan komponen matriks yang
menggangu, memekatkan analit, dan mengubah pelarut sehingga hasil
analit sesuai dengan teknik yang digunakan. (Rohman, 2014)
2.3 Netralisasi
Menurut Arrhenius, netralisasi merupakan hasil reaksi antara asam dan
basa, dimana H+ dari asam bereaksi dengan OH- dari basa dan sifat-sifat
keasaman dan kebasaan keduanya hilang. (Sastrohamidjojo, 2005)

III. Reaksi
3.1 Reaksi asam salisilat + NaOH
C6H4(OH)COO(aq) + NaOH(aq) → C6H4(OH)COONa(aq) + H2O(l)
(Nofia dan Ulfa, 2016)
Asam salisilat + Natrium hidroksida → Natrium salisilat + Air
(Gandjar dan Rohman, 2007)
3.2 Reaksi asam oksalat + NaOH
H2C2O4(aq) + 2NaOH(aq) → Na2C2O4(aq) + 2H2O(l)
(Day dan Underwood, 1990)

Asam oksalat + Natrium hidroksida → Natrium oksalat + Air


(Vogel, 1979)

IV. Teori Dasar


Asam-asam salisilat atau asam-asam lemak bebas yang larut dalam
air, dipisahkan dari fase airnya menggunakan pelarut organik yang tidak larut
dalam fasa air. Semakin encer konsentrasi asam yang terlarut dalam fasa air,
proses ekstraksi akan semakin mudah. Konsentrasi asam yang larut dalam
fasa air maksimum adalah 3%. Pemakaian pelarut konvensional seperti
alcohol, keton, dan eter akan menghasilkan koefisien partisi yang rendah
(Putranto, 2012).
Koefisien partisi dapat digambarkan sebagai pendistribusian obat
kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dengan air. Bila
koefisien partisi tinggi ataupun rendah, maka hal ini akan menjadi hambatan
pada proses difusi zat aktif. Penentuan koefisien secara eksperimen dilakukan
dengan cara distribusi senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem
kesetimbangan termodinamika dua pelarut yang berbeda kepolaran yaitu h-
oktanal dan air (Ansel, 1989).
Ketika suatu senyawa pereaksi ditambahkan kedalam suatu campuran
pelarut yang keduanya tidak saling bercampur, zat terlarut tersebut
mendidtribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut tersebut berdasarkan
afinitasnya kepada masing-masing fase, senyawa tersebut akan
mendistribusikan dirinya sendiri di antara kedua pelarut yang tidak
bercampuir pada suhu tertentu dengan sebuah perbandingan konsentrasi yang
tetap, perbandingan itu biasa disebut koefisien partisi (Cairns, 2004).
Suatu senyawa yang ditambahkan kedalam campuran dan dua zat
yang tidak saling bercampur, apabila berlebih, senyawa tersebut akan
mendistribusi dirinya diantara kedua fase sehingga masing-masing menjadi
jenuh, sedangkan apabila senyawa yang ditambahkan kurang atau tidak cukup
untuk menjenuhkan larutan, senyawa tersebut tetap terdistribusi diantara
kedua fase, tapi dengan perbandingan konsentrasi tertentu (Cammarta et al,
1993).
Koefisien partisi distribusi kesetimbangan dan analit serta
kesetimbangan dari perbandingan kadar zat dalam dua fase. Koefisien partisi
minyak air adalah suatu petunjuk sifat hidrofilik/hidrofobik dari molekul obat
(Mochtar, 2017).
Sifat hidrofilik adalah sifat dimana suatu bagian yang menyukai air
atau bersifat polar, sedangkan hidrofobik adalah bagian yang tidak menyukai
air atau bersifat non polar (Wasis, 2008).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu fenomena
distribusi adalah sifat kelarutan itu sendiri dari pada suatu bahan obat,
senyawa yang larut baik dalam bentuk lemak sedangkan sebaliknya zat
hidrofis hampir tidak diambil ataupun diserap oleh jaringan lemak (Ernest,
1999).
Adapun rumus untuk menentukan koefisien partisi yaitu sebagai
berikut.
[𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘]
𝑃=
[𝑎𝑖𝑟]
Keterangan :
P = Koefisien Partisi
[𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘] = Konsentrasi senyawa pada fase organik
[𝑎𝑖𝑟] = Konsentrasi senyawa pada fase air
(Megantara et al, 2018)
Semakin besar nilai P menunjukkan senyawa dalam fase organik yang
semakin banyak. Hal ini menunjukkan bahwa pealrut organik tertentu yang
digunakan untuk melakukan pengukuran menentukan nilai P suatu zat
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Penetapan koefisien partisi dapat dilakukan dengan melarutkan zat
dalam larutan yang mengandung air dan dikocok dengan pelarut organik
(Megantara et al, 2014).
Ekstraksi cair-cair atau ekstraksi solvent adalah proses yang
memanfaatkan perbedaan kelarutan zat terlarut yang akan dipisahkan antara
larutan asal dan pelarut pengekstrak (solvent) untuk memisahkan fasa yang
cair. Penggunaan ekstraksi cair-cair terdiri dari dua kategori, yaitu yang
bersaing langsung dengan operasi pemisahan lain dan yang tidak mungkin
dilakukan oleh operasi pemisahan lain (Mirwan, 2013).
Ekstraksi cair-cair (ECC) adalah suatu proses pemisahan secara
kimia-fisika suatu senyawa dan fase airnya dengan menggunakan pelarut
organik yang tidak larut dalam fase air (Putranto, 2011).
Pemilihan pelarut yang ideal untuk digunakan dalam ekstraksi
merupakan faktor yang penting. Jenis pelarut pengektraksi mempengaruhi
jumlah senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak, sesuai konsep like
dissolve like dimana senyawa kovalen akan larut pada pelarut kovalen polar
pula, dan senyawa kovalen non polar akan larut pada pelarut kovalen non
polar pula (Anfianti et al, 2014).
Dalam ECC, sampel diletakkan dalam ccorong pemisah meskipun alat
pemisah seperti tabung uji atau tabung reaksi juga mungkin digunakan
(Rohman, 2014).
Konsep ‘like dissolve like’ merupakan konsep yang menerangkan
kecenderungan suatu zat dengan kekuatan antarmolekul yang sama untuk
saling bercampur. Larut atau tidaknya suatu substansi dalam substansi lain
sebagian besar tergantung pada gaya antarmolekul yang ada dalam substansi.
Agar larutan terbentuk, partikel zat terlarut harus terdispersi di seluruh zat
pelarut. Proses ini memerlukan zat pelarut dan zat terlarut yang awalnya
terpisah lalu menjadi bercampur (Myers, 2003).
Konsep like dissolve like menyatakan bahwa kelarutan suatu zat atau
senyawa dalam suatu pelarut sangat bergantung pada kecocokan sifat atau
struktur kimia antara zat terlarut dengan pelarut (Arnata, 2017).
Jenis-jenis netralisasi dibagi menjadi empat yaitu netralisasi asam
kuat dan basa kuat menghasilkan larutan netral, asam kuat dan basa lemah
menghasilkan garam tapi tidak membentuk air, asam lemah dan basa kuat
menghasilkan larutan basa, asam lemah dan basa lemah menghasilkan larutan
yang tergantung dari kekuatan asam atau basa. (Utomo, 2008)
Netralisasi dapat membantu menghilangkan zat warna dan kotoran
berupa getah dan lender dalam minyak dan lemak. (Kurniati et all, 2015)
Netralisasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk
menghilangkan kotoran atau zat pengganggu pada suatu zat (Kurniati dan
Susanto, 2015).

V. Alat dan bahan


5.1 Alat
a. Batang pengaduk
b. Beaker glass

c. Bulb

d. Buret

e. Corong

f. Corong pemisah
g. Gelas ukur

h. Labu Erlenmeyer

i. Labu ukur
j. Perkamen

k. Pipet

l. Spatel

m. Statif

n. Timbangan analitik
5.2 Bahan
a. Aquades
b. Asam oksalat
c. Indikator fenolftalein
d. Kloroform
e. Larutan asam salisilat
f. Larutan NaOH

VI. Prosedur
Prosedur yang pertama kali dilakukan adalah pembuatan larutan
NaOH. Padatan NaOH ditimbang menggunakan timbangan analitik. Padatan
NaOH lalu dilarutkan dengan pelarut air. Setelah itu, larutan NaOH akan
terbentuk.
Prosedur selanjutnya adalah pembuatan larutan fenolftalein. Padatan
fenolftalein ditimbang menggunakan timbangan analitik. Padatan fenolftalein
lalu dilarutkan dengan pelarut etanol. Setelah itu, larutan fenolftalein akan
terbentuk.
Setelah pembuatan larutan fenolftalein, dilakukan pembakuan larutan
NaOH. Larutan NaOH dimasukkan ke dalam buret terlebih dahulu. Lalu asam
oksalat 0,1 N dimasukkan dalam labu Erlenmeyer. Fenolftalein sebanyak 3
tetes ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer. Setelah itu, dilakukan titrasi
asam oksalat dengan NaOH lalu konsentrasi NaOH akan diketahui.
Selanjutnya, pembuatan larutan asam salisilat dilakukan. Asam
salisilat yang akan dilarutkan ditimbang terlebih dahulu. Lalu, asam salisilat
dilarutkan dengan pelarut air dan larutan asam salisilat akan terbentuk.
Prosedur selanjutnya adalah penentuan konsentrasi asam salisilat
dalam air. NaOH dimasukkan ke dalam buret menggunakan corong. Asam
salisilat 15 ml lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lalu, 20 ml air
ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Fenolftalein sebanyak 2 tetes
ditambahkan juga dalam erlenmeyer. Selanjutnya dilakukan titrasi asam
salisilat dengan NaOH.
Prosedur yang terakhir dilakukan adalah penentuan konsentrasi asam
salisilat dalam pelarut organic. Asam salisilat 15 ml terlebih dahulu dilarutkan
ke corong pemisah. Kloroform sebanyak 10 ml lalu ditambahkan ke corong
pemisah, kemudian corong pemisah ditutup dengan penutup kaca dan
dilakukan pengocokan. Larutan dalam corong pemisah didiamkan hingga air
dan kloroform terpisah. Lalu larutan di bagian bawah dikeluarkan ke dalam
erlenmeyer dan ditambahkan air sebanyak 20 ml. Fenolftalein sebanyak 2
tetes ditambahkan dalam Erlenmeyer lalu dilakukan titrasi dengan NaOH
hingga warna merah muda dan larutan organik akan tertitrasi.

VII. Data Pengamatan


7.1 Pembuatan larutan NaOH
No Perlakuan Hasil Foto
1 Menimbang padatan NaOH 4 gram
NaOH

2 Melarutkan padatan Padatan NaOH terlarut


NaOH dengan pelarut dalam 1000 mL akuades
akuades

7.2 Pembuatan indikator fenolftalein


No Perlakuan Hasil Foto
1 Menimbang padatan Didapatkan serbuk
fenolftalein pada fenolftalein 0,1 gram
timbangan analitik

2 Melarutkan padatan Telah melarutkan


fenolftalein dengan padatan fenolftalein
pelarut etanol dengan pelarut etanol

3 Didapat larutan Larutan fenolftalein 1%


fenolftalein

7.3 Pembakuan larutan NaOH


No Perlakuan Hasil Foto
1 Memasukkan Telah dimasukkan 25
larutan NaOH ke mL NaOH ke buret
buret
2 Memasukkan asam Telah dilarutkan
oksalat 0,1 M ke 3 0,6032 gr asam oksalat
erlenmeyer dalam 50 mL akuades
3 Manambahkan 2 Telah ditambahkan 2
tetes fenolftalein ke tetes fenolftalein ke 3
labu erlenmeyer erlenmeyer
4 Mentitrasi asam a. 18,55 mL NaOH
oksalat dengan dalam 10 mL asam
NaOH oksalat
b. 16 mL NaOH
dalam 10 mL asam
oksalat
c. 19,25 mL NaOH
dalam 10 mL asam
oksalat
5 Konsentrasi NaOH 0,06 M
diketahui
7.4 pembuatan larutan asam salisilat
No Perlakuan Hasil Foto
1 Menimbang padatan Didapatkan 1,0009
asam salisilat pada asam salisilat
timbangan analitik

2 Melarutkan asam Telah dilarutkan asam


salisilat dengan 10 mL salisilat dengan 10 mL
etanol etanol
3 Mengukur volume Telah diukur akuades
akuades 90 mL dengan sebanyak 90 mL
gelas ukur
4 Melarutkan padatan Telah dilarutkan asam
asam salisilat dengan salisilat dengan akuades
akuades pada beaker hingga larut
glass
7.5 penentuan konsentrasi asam salisilat dalam air
No Perlakuan Hasil Foto
1 Mengukur larutan asam Didapatkan 15 mL
salisilat pada gelas ukur asam salisilat
2 Memasukkan larutan Telah dimasukkan
asam salisilat yang telah larutan asam salisilat ke
diukur, pada labu Erlenmeyer
Erlenmeyer
3 Menambahkan akuades Telah ditambahkan 20
ke dalam labu mL akuades ke
Erlenmeyer Erlenmeyer
4 Menambahkan Telah diteteskan 2 tetes
indikator fenolftalein ke fenolftalein
dalam Erlenmeyer
5 Memasukkan larutan Telah dimasukkan
NaOH ke dalam buret larutan NaOH ke dalam
buret

6 Melakukan titrasi Titrasi I: Volume


NaOH= 10,4 mL
Titrasi II: Volume
NaOH= 10,7 mL
Titrasi III: Volume
NaOH= 10,5 mL

7.6 penentuan konsentrasi asam salisilat dalam pelarut organic


No Perlakuan Hasil Foto
1 Memasukkan larutan Telah dimasukkan 15
asam salisilat yang telah mL larutan asam
dibuat ke corong pisah salisilat ke corong pisah
2 Memasukkan larutan Telah dimasukkan
kloroform yang ke kloroform ke
corong pisah Erlenmeyer
3 Mengocok corong pisah Telah mengocok corong
dengan kecepatan pisah dengan kecepatan
konstan konstan dan sesekali
keran dibuka untuk
mengeluarkan gas yang
terbentuk
4 Meletakkan corong Telah meletakkan
pisah pada statif corong pisah pada statif
5 Membuka penutup Telah dibuka penutup
corong pisah corong pisah
6 Memasukkan lapisan Telah memasukkan
bawah ke labu lapisan bawah ke labu
erlenmeyer erlenmeyer
7 Mengukur akuades pada Telah diukur 20 mL
gelas ukur akuades dan
dimasukkan ke labu
erlenmeyer
8 Menambah 2 tetes Telah ditambahkan 2
fenolftalein ke tetes fenolftalein ke
erlenmeyer erlenmeyer
9 Menitras larutan dengan Didaptkan larutan
NaOH berubah warna menjadi
merah muda

VIII. Perhitungan
8.1. Menghitung Massa Oksalat 0,1 M 50 ml
𝑁 = 𝑀. ∝
𝑚 1000
𝑁= ×
𝑀𝑟 𝑚𝑙
𝑁 = 0,1.2
𝑚 1000
20,2 = ×
126 50
𝑁 = 0,2 N
𝑚 = 0,63 gram
8.2. Menghitung Massa NaOH 0,1 N 1000 ml
𝑁 = 𝑀. ∝
𝑚 1000
𝑀= ×
𝑀𝑟 𝑚𝑙
0,1 = 𝑀. 1
𝑚 1000
0,1 = ×
40 1000
𝑀 = 0,1 M
𝑚 = 4 𝑔𝑟𝑎𝑚
8.3. Pembakuan NaOH
H2C2O4 NaOH
10 ml 18,55 ml
10 ml 16 ml
10 ml 19,25 ml
Rata - Rata 10 ml 17,93 ml
𝑀1 × 𝑉1 = 𝑀2 × 𝑉2
0,1 × 10 = 𝑀2 × 17,93
𝑀2 = 0,06 M
8.4. KoefisienPartisiAsamSalisilat
Pelarut Air Pelarut Air
10,4 ml 7,1 ml
10,7 ml
10,5 ml
Rata - Rata 10,53 ml 7,1 ml

𝑀𝑎𝑖𝑟 × 𝑉𝑎𝑖𝑟 = 𝑀𝑁𝑎𝑂𝐻 × 𝑉𝑁𝑎𝑂𝐻


𝑀𝑎𝑖𝑟 × 35 = 0,06 𝑀 × 10,53 ml
𝑀𝑁𝑎𝑂𝐻 = 0,018 M
𝑀𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 × 𝑉𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 = 𝑀𝑁𝑎𝑂𝐻 × 𝑉𝑁𝑎𝑂𝐻
𝑀𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 × 35 = 0,06 𝑀 × 7,1 ml
𝑀𝑁𝑎𝑂𝐻 = 0,014 M
[𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘]
maka, 𝑃 =
[𝑎𝑖𝑟]
[0,014 𝑀]
𝑃=
[0,018 𝑀]
P = 0,78
8.5. Konsentrasi semula Asam salisilat
𝑚
𝑛=
𝑀𝑟
1,007
𝑛=
138
𝑛 = 0,000729 mol
𝑛
𝑀=
𝑣
7,297
𝑀=
100
𝑀 = 0,0729 𝑀
IX. Pembahasan
Hukum partisi menyatakan bahwa suatu senyawa akan
mendistribusikan dirinya di antara dua pelarut, yaitu fase air dan fase organik,
yang saling tidak bercampur (Cairns, 2008).
Dalam praktikum kali ini telah ditentukan koefisien partisi sebuah zat
sampel, yaitu asam salisilat dengan metode pengocokan.
Prosedur pertama yang dilakukan adalah pembuatan larutan NaOH
0,1 M. Sesuai dengan perhitungan, padatan NaOH yang harus ditimbang
adalah 4 gram dengan menggunakan timbangan analitik. Dalam
menggunakan timbangan anilitik, harus diperhatikan beberapa hal, seperti
memastikan timbangan analitik diletakkan jauh dari AC dan pintu agar tidak
ada udara yang mempengaruhi hasil penimbangan, memastikan timbangan
analitik diletakkan di permukaan yang rata agar seimbang, memastikan
gelembung air pass tepat berada di tengah yang menunjukkan bahwa posisi
timbangan analitik sudah seimbang, membersihkan timbangan dengan
menggunakan kuas supaya tidak ada zat lain yang dapat menyebabkan
kontaminasi, mentara timbangan analitik setelah memasukkan kertas
perkamen/kaca arloji supaya massanya tidak ikut tertimbang, dan menutup
kedua pintu saat melihat hasil penimbangan agar tidak ada udara yang ikut
tertimbang. Dalam menimbang padatan NaOH, tidak menggunakan kertas
permaken, melainkan menggunakan kaca arloji karena padatan NaOH mudah
menguap. Kemudian, mengukur volume aquadest sebanyak 1000 ml dengan
menggunakan gelas ukur, agar terbentuk larutan NaOH 0,1 N, sesuai
perhitungan yang ada. Gelas ukur digunakan untuk mengukur volume larutan
baku sekunder, sedangkan labu ukur digunakan untuk mengukur volume
larutan baku primer. Untuk membuat larutan NaOH diperlukan air bebas
karbondioksida (CO2) supaya ketika NaOH dilarutkan dalam pelarut, NaOH
tidak bereaksi dengan CO2 di dalam pelarutnya. Oleh karena itu, aquadest
dipanaskan terlebih dahulu hingga mendidih dalam keadaan terbukan agar
CO2 terbebas dari air. Lalu, padatan NaOH dilarutkan di dalam gelas beaker.
Setelah terbentuk larutan NaOH 0,1 N, larutan NaOH tersebut harus ditutup
menggunakan plastik pembungkus supaya tidak ada CO2 yang masuk
kembali.
Prosedur yang kedua adalah membuat larutan indikator fenolftalein.
Pertama-tama menimbang padatan fenolftalein sebanyak 0,1 gram.
Kemudian mengukur volume etanol sebanyak dengan menggunakan gelas
ukur. Untuk melarutkan fenolftalein digunakan etanol karena fenolftalein
sedikit larut dalam air dan larut dalam alkohol (Ditjen POM, 1979). Setelah
itu, padatan fenolftalein dilarutkan dalam pelarut etanol, di dalam gelas
beaker, dan didapatkan larutan indikator fenolftalein 1%. Alasan
digunakannya indikatior fenoltalein karena fenolftalein merupakan sebuah
indikator basa, dan larutan NaOH yang menjadi titrannya, merupakan larutan
basa. Fenolftalein tidak berwarna pada kondisi asam dan menjadi merah pada
kondisi basa (Mahardiani dan purwono, 2009).
Prosedur yang ketiga adalah pembakuan larutan NaOH. Pembakuan
larutan NaOH perlu dilakukan karena NaOH merupakan larutan baku
sekunder yang konsentrasinya tidak stabil atau dapat berubah dalam
penyimpanannya. Dalam pembakuan larutan NaOH ini, digunakan larutan
asam oksalat 0,1 N karena larutan asam oksalat merupakan larutan baku
primer. Oleh karena itu, harus dibuat larutan asam oksalat 0,1 N terlebih
dahulu. Padatan asam oksalat yang telah ditimbang adalah sebanyak 0,6302
gram. Kemudian mengukur volume aquadest sebanyak 50 ml, dan melarutkan
asam oksalat dalam aquadest tersebut. Didapatkan larutan asam oksalat 0,1 N
Sebenarnya menurut perhitungan, massa asam oksalat yang digunakan tidak
sesuai dengan volume aquadest atau volume akhir asam oksalat 0,1 N yang
diinginkan. Menurut perhitungan, massa asam oksalat yang seharusnya
ditimbang adalah sebanyak 0,3151 gram. Kesalahan ini tentu mempengaruhi
hasil pembakuan NaOH. Setelah membuat larutan asam oksalat 0,1 N,
prosedur kembali pada pembakuan NaOH, dengan dimulai dari memasukkan
larutan NaOH ke dalam buret sebanyak 50 ml, sebagai titran. Memasukkan
larutan asam oksalat ke dalam tiga labu Erlenmeyer dengan masing-masing
volume sebanyak 10 ml, dan masing-masing labu Erlenmeyer ditetesi
indicator fenolftalein sebanyak 2 tetes. Kemudian, titrasi dilakukan sebanyak
tiga kali supaya hasilnya lebih akurat, dan mencatat masing-masing volume
NaOH yang digunakan untuk ketiga titrasi. Volume tersebut menentukan
konsentrasi NaOH, dan didapat konsentrasi NaOH sebesar 0,06 M sesuai
perhitungan.
Prosedur yang keempat adalah pembuatan larutan asam salisilat.
Dalam pembuatan larutan asam salisilat tidak boleh dilarutkan langsung
dengan aquades. Sebelum dicampurnya asam salisilat dengan aquades ,
terlebih dahulu asam salisilat dilarutkan dengan etanol. Dilarutkan dahulu
oleh etanol karena sifat dari asam salisilat itu sendiri yang sukar larut dalam
air, benzena, dan kloroform tetapi mudah larut dalam eter dan etanol (Depkes
RI, 1995). Asam salisilat memiliki gugus polar dan gugus non polar. Hal ini
menyebbakan asam salisilat dapat larut disebagian pelarut polar dan juga
dapat larut disebagian pelarut non polar. Namun karena memiliki 2 gugus
sekaligus , asam salisilat sukar larut dalam air yang merupakan pelarut polar,
tetapi mudah larut pada etanol yang merupakan senyawa semi polar. Oleh
karena itu, dalam praktikum kali ini kami membuat larutan asam salisilat
sebanyak 1 gram yang dilarutkan dengan sedikit etanol , lalu ditambahkan
air dengan volume yang telah ditentukan , dan didapatlah larutan asam
salisilat. Pada saat dilakukan pelarutan, didapatkan hasil yang tidak sesuai ,
yaitu munculnya kristalan putih atau semacam gumpalan didalam asam
salisilat yang telah dilarutkan dengan air dan etanol. Ini terjadi karena
kesalahan dalam perbandingan antara air dan etanol atau adanya kontaminasi
dengan lingkungan luar. Akan tetapi ,meskipun hasil yang didapat merupakan
larutan etanol dengan kristal atau gumpalan putih, tetap masih bisa diambil
15 ml larutan asam salisilat yang akan digunakan pada proses titrasi
selanjutnya. (Muchtaridi dan Justina, 2007)
Setelah diketahui konsentrasi dari NaOH maka kita dapat mencari
konsentrasi asam salisilat dengan pereaksi air. Karena untuk dapat
menghitung koefisien partisi dibutuhkan konsentrasi senyawa dalam fase air.
Maka dari itu dilakukan titrasi asam salisilat dengan aquadest. Dalam
menentukan koefisien partisi dibutuhkan juga konsentrasi senyawa dalam
fase organik atau fase minyak. Dalam percobaan ini pereaksi organik yang
digunakan adalah klorofom. Untuk mencari konsentrasi asam salisilat dengan
pereaksi organiknya dilakukan dengan metode pengocokan yaitu
mencampurkan asam salisilat, aquades, dan klorofom ke dalam corong
pemisah. Kemudian kocok campuran larutan tersebut agar klorofom
mengikat senyawa asam salisilat. Klorofom mempunyai sifat tidak bercampur
dengan air maka setelah pengocokkan akan terlihat air akan memisah dari
klorofom. Setelah terlihat pemisahannya maka diambilah air dari corong
pemisah tersebut , alasan kenapa air yang terambil dari corong pemisah
adalah karena kerapatan atau massa jenis air lebih besar , kemudian dilakukan
titrasi dengan menggunakan NaOH. Dilakukan titrasi untuk mencari tahu
konsentrasi dari asam salisilat + aquades + klorofom. Setelah didapatkan
konsentrasi-konsentrasi dari tahap-tahap percobaan diatas maka kita dapat
mencari koefisien partisi dari asam salisilat dengan menggunakan
perhitungan yang ada.
Untuk menghitung konsentrasi asam salisilat yang terlarut dalam
chloroform atau fase organik, maka seluruh lapisan bawah dikeluarkan dari
corong pemisah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer untuk selanjutnya di
titrasi dengan larutan NaOH. Jumlah larutan asam salisilat dalam fase
organik yang dikeluarkan dari corong jumlahnya harus sama dengan yang
dimasukkan sebelumnya larutan asam salisilat fase air, yaitu 15 ml,
kemudian tetesi sebanyak 2 tetes indikator fenoftalein sebelum akhirnya
dihitung konsentrasinya dengan metode titrasi dengan NaOH. Kemudian
dihitung normalitas dari larutan asam salisilat yang diperoleh.
Setelah didapati data data moralitas dari fase organik dan fase air
kemudian dilanjutkan dengan penghitungan koefisien partisi. Untuk
menetukan koefisien partisi hal yang dilakukan adalah dengan membagi
normalitas dari fase organik dengan normalitas fase air dengan hasil 0,78.
X. Kesimpulan
9.1 Telah menentukan koefisien partisi asam salisilat, yaitu 0,78.

XI. Daftar Pustaka


Afrianti, I., Kusmawati, I., Oktarina, R. 2014. Pengaruh Jenis Pelarut
Pengekstraksi terhadap Kadar Sinesetin Dalam Ekstrak Daun
Orthosiphon Stamineus Benth. E-journal Planta Husada. Vol 2(1): 1-
4
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press
Arnata, W. Widarta, W. R. 2017. Ekstrasi komponen bioaktifdaun alpukat
dengan bantuan ultrasonikpada berbagai jenis dan konsentrasi pelarut.
Jurnal Agritech. Vol 37(2) : 148-157
Cairns, Donald. 2004. Intisari Kimia Farmasi. Jakarta: EGC Buana
Kedokteran
Cammarta, A. Martin, A. Swarbrick, J. 1993. Farmasi fisik dasar-dasar kimia
fisik dalam ilmu farmasetik. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Day, R. A. Underwood, A. L.1990. Analisa kimia kualitatif. Jakarta: Erlangga
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesahatan Republik Indnesia
Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Ernest. 1999. Dinamika Obat. Bandung: I TB
Gandjar, I. G dan Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Gillespie, Allesia, M. 1994. Manual of Spectrofluorometric and
Spectrophotometric Derivative Experiments. London: CRC Press
Kurniati, Y dan Susanto, W. 2015. Pengaruh basa NaOh dan kandungan ALB
CPO terhadap kualitas minyak kelapa sawit pasca netralisasi. Jurnal
Pangan dan Agroindustri. Vol 3(1): 194
Leba, Maria Aloisia Vron. 2017. Ekstraksi dan Real Kromatografi.
Yogyakarta: Deepublish
Megantara, S. Muchtaridi. Purnomo, H. Yanuar, A. 2018. Kimia Medicinal
Dasar-dasar dalam Petancangan Obat. Jakarta: Prenadamedia
Mirwan, A. 2013. Keberlakuan model HB-GFT soistem n-Heksana-MEK-
Air pada ekstraksi cair-cair kolom isian. Jurnal Konversi. Vol 2(1):
33
Mochtar. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Jakarta: Universitas Indonesia
Muchtaridi dan Justina. 2007. Kimia Jilid 2. Jakarta: Quadra
Myers, R. 2003. The basics of chemistry. London: Greeenwood Press
Nofia. Ulfa, A. M. 2011. Analisa asam benzoate dan asam salisilat dalam obat
panu sediaan cair. Jurnal Kebidanan. Vol 2(2): 51-59
Putranto, A. M.H. 2011. Metoda Ekstraksi Cair-Cair sebagai Alternatif untuk
Pembersihan Lingkungan Perairan dari Limbah Cair Industri Kelapa
Sawit. Jurnal Gradien. Vol 8(1): 746-751
Rohman, A. 2014. Validasi Penjaminan Mutu Metode Analisis Kimia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada
University
Svehla. 1979. Analisis anorganik kualitatif makro dan semimakro. Jakarta:
PT Kalman Media Pustaka
Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai