Anda di halaman 1dari 16

SUWARMI, MSc, Apt

1
Koefisien Partisi (P atau Log P)
Perbandingan konsentrasi senyawa dalam campuran
dua fase yang saling tak larut pada  saat
kesetimbangan.
Perbandingan ini merupakan ukuran perbedaan 
kelarutan senyawa dalam dua fase tersebut.
Koefisien partisi umumnya mengacu pada
perbandingan konsentrasi senyawa tidak
terionisasi sedangkan koefisien distribusi mengacu
pada perbandingan konsentrasi semua spesi
senyawa (terionisasi dan yang tidak terionisasi).

2
 Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Setelah
obat sampai ke peredaran darah, obat harus
menembus sejumlah sel untuk mencapai reseptor.
Dimana koefisien partisi juga menentukan jaringan
mana yang dapat dicapai oleh suatu senyawa.
Senyawa yang sangat mudah larut dalam air
(hidrofilik) tidak akan sanggup melewati membran
lipid untuk mencapai organ yang kaya akan lipid,
misalnya otak (Nogrady, 1992).

3
 Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke
dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat
itu akan mendistribusi diri di antara kedua fase
sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu
ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur
dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan
larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di
antara kedua lapisan dengan perbandingan
konsentrasi tertentu (Martin, dkk, 1990).
 Jika C1 dan C2 adalah konsenntrasi kesetimbangan
zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan
kesetimbangan menjadi : C1/C2 =K .

4
 Tetapan kesetimbangan K dikenal sebagai perbandingan
distribusi atau koefisien partisi. Persamaan tersebut
dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat
dipakai dalam larutan encer di mana koefisien keaktifan
dapat diabaikan (Martin, dkk, 1990).
 Menurut Nernst, koefisien partisi dapat disederhanakan
sesuai dengan persamaan:
 
 P = Co/Cw atau
   Log P = log Co – log Cw
 
 Co adalah kadar molal dalam fase non-air dan Cw adalah
kadar molal dalam air, setelah mengalami
kesetimbangan partisi (Sardjoko, 1993).

5
 Semakin besar nilai P maka semakin banyak senyawa
dalam pelarut organik. Nilai P suatu senyawa tergantung
pada pelarut organik tertentu yang digunakan untuk
melakukan pengukuran.
 Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan
menggunakan partisi air dan n-oktanol, karena n-oktanol
dalam banyak hal menyerupai membran biologis, dan
juga merupakan model yang baik pada kromatografi fase
terbalik (Gandjar, dkk, 2007).
 Nilai P seringkali dinyataka dengan nilai log P. Sebagai
contoh nilai log P1 setara dengan nilai P10. Nilai P = 10
merupakan nilai P untuk senyawa tertentu yang
mengalami partisi ke dalam pelarut organik tertentu.
Partisi dilakukan dengan air dan pelarut organik dalam
jumlah yang sama. P = 10 berarti bahwa 10 bagian
senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian
berada dalam lapisan air (Gandjar, dkk, 2007).

6
 Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh
keofisien partisi. Hal ini disebabkan oleh komponen
dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida.
 Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam
lipida akan dengan mudah melaluinya. Sebaliknya
obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan sukar
diabsorpsi.
 Obat-obat yang larut dalam lipida tersebut dengan
sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air yang
besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam
lipid akan memiliki koefisien partisi yang sangat kecil
(Anonim, 2012).

7
 Koefisien partisi minyak – air adalah suatu petunjuk
sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat.
 Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi
dengan makromolekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol /
air dari obat (Martin, dkk, 1990).
 Lipofilitas molekul diukur dari nilai log P dengan P
dinyatakan sebagai koefisien partisi kelarutan dalam
lemak/ air yang mempunyai rentang nilai -0,4 sampai
5 dan optimal pada nilai log P – 3 (Husniati, dkk,
2008).

8
 Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau
basah lemah. Jika obat tersebut dilarutkan dalam air,
sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pH larutannya.
 Obat-obat yang tidak terionkan (unionized) lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam
bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis
tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap
kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah
atau basa lemah sangat besar (Anonim, 2012).

9
Beberapa obat mengandung gugus – gugus yang mudah
mengalami ionisasi. Oleh karena itu, koefisien partisi obat-obat
ini pada pH tertentu sulit diprediksi terlebih jika melibatkan lebih
dari satu gugus yang mengalami ionisasi daripada gugus yang
lain pada pH tertentu.

Persamaan Henderson-Haselbach yang menunjukkan perkiraan


konsentrasi yang terion pada suatu pH tertentu.
1). Untuk senyawa yang bersifat asam lemah

(H)= ka. asam , maka pH = pka + log (obat bentuk ion)


garam ( obat bentuk molekul)
 
2). Untuk senyawa yang bersifat basa lemah
pH = pka + log (obat bentuk molekul)
( obat bentuk ion)
 
(Kim, 2004) 

10
Hipotesis pH-partisi
 Menyatakan bahwa : senyawa atau obat yang dapat
terionisasikan akan menembus membran biologi,
terutama dalam bentuk takterionkan (netral)
sehingga obat yang bersifat asam akan lebih baik
absorbsinya dalam suasana asam yaitu pada pH
yang lebih kecil dari pKa dan obat yang bersifat basa
akan lebih baik absorbsinya dalam suasana basa.

11
Jika suatu senyawa, asam atau basa mengalami ionisasi sebesar
50% (pH=pKa) maka koefisisen partisinya setengah dari koefisien
partisi obat yang tidak mengalami ionisasi (Gandjar, dkk, 2007).

Ada dua macam koefisien partisi.


1.  Koefisien partisi sejati atau TPC (True Partition Coefficient)
Untuk koefisien partisi ini pada percobaan harus memenuhi syarat
kondisi sebagai berikut :
a. Antara kedua pelarut benar-benar tidak dapat campur satu sama
lain.
b. Bahan obatnya (solute) tidak mengalami asosiasi atau disosiasi.
c.  Kadar obatnya relatif kecil (<0,01 M).
d.  Kelarutan solute pada masing-masing pelarut kecil.
Jika semua persyaratan tersebut dipenuhi, maka berlaku persamaan :
TPC = C1/C2
Dengan : C1 = kadar obat dalam fase lipid.
             C2 = kadar obat dalam ase air.

12
13
2.  Koefisien partisi semu atau APC (Apparent
Partition Coefficient)
Apabila persyaratan TPC tidak dapat dipenuhi, maka hasilnya
adalah koefisien partisi semu. Biasanya yang sering
digunakan sebagai fase lipid adalah oktanol,
kloroform, sikloheksan, isopropil miristat. Fase air yang
biasanya digunakan adalah larutan dapar. Pada keadaan ini
berlaku persamaan :
Dengan : (C1⁰-C2ʹ) a / C2ʹ . b
C20       = Kadar obat salam fase air mula-mula.
C2’       = Kadar obat dalam fase air setelah mencapai
kesetimbangan.
a          = Volume fase air.
b          = Volume fase lipid.
Suhu yang digunakan : 30⁰C , 37⁰C.
                                                 

14
Pada percobaan penentuan koefisien partisi
digunakan obat yang bersifat asam lemah yaitu
asam salisilat.
Asam salisiat bersifat sukar larut dalam air dan
dalam benzene, mudah larut dalam etanol dan dalam
eter, larut dalam air mendidih, dan agak sukar larut
dalam klorofom.
Asam salisilat dilarutkan dalam air dibuat dengan pH
yang berbeda, kemudian ditambahkan pelarut
kloroform sebagai fase lipid, dihitung konsentrasi
asam salisilat yang terdistribusi dalam air dan
kloroform pada saat kesetimbangan.

15
 TERIMAKASIH...

16

Anda mungkin juga menyukai