FARMASI FISIK K
Suwarmi, M.Sc., Apt
FARMASI FISIKA
2. Sistem dispersi zat padat dalam zat cair, zat cair dalam zat cair,
zat padat dalam zat padat, muatan listrik pada antarmuka, gaya
tarik-menarik dan tolak menolak antar partikel (potensial zeta),
stabilitas dan destabilitas sistem dispersi koloid, Rheologi.
SISTEM DISPERSI
DISPERSI MOLEKULER
DISPERSI KOLOIDAL
DISPERSI KASAR
Penggolongan sistem dispersi berdasarkan ukuran partikel
Golongan Jangkauan Sifat Sistem Contoh
Ukuran partikel
Dispersi Kurang dari 1, Partikel tidak terlihat dlm Molekul oksigen,
Molekule 0 nm mikroskop Elektron, dpt Ion-ion umumnya
r melewati ultra filtrasi dan dan glukosa
membran semipermeabel,
Mengalami difusi cepat.
D E F
UKURAN DAN BENTUK PARTIKEL KOLOID
Cara pembuatan :
1. Dispersi : partikel kasar direduksi ukurannya
2. Kondensasi : partikel subkoloid diagregasi
3. Koloid Amfifilik (Gabungan Liofilik dgn Liofobik)
MEKANISME KERJA
SAMA SPERTI SURFAKTAN
PENGGOLONGAN KOLOID GABUNGAN
Sifat zat aktif yang menunjukkan
perubahan yang terjadi sccara
drastis pada critical micelle
concentration (cmc)
(dimodifikasi dari Preston, J.
Phys Coll.Chem, 52,85
1948. Hak cipta, the William &
Wilkins
Tegangan permukaan
turun sampai CMC, diatas
CMC teg permukaan
konstan, antarmuka
menjadi jenuh dan
terbentuk misel
KOLOID
1.Efek Faraday-Thyndall
Bila seberkas cahaya yg kuat dilewatkan melalui sol
koloid, akan terlihat suatu kerucut yg dihasilkan dari
pemendaran cahaya oleh partikel-partikel koloid.
Tingkat Kekeruhan
Gerak Brown
gerak acak, gerak tidak beraturan atau gerak zig zag partikel
koloid. Gerakan ini terjadi karena benturan tidak teratur
antara partikel koloid terdispersi dan medium pendispersi.
Benturan ini mengakibakan partikel koloid bergetar dengan
arah tidak beraturan dan jarak yang pendek.
Faktor yang mempengaruhi :
1.Temperatur
2.Ukuran Partikel
3.Viskositas Medium Pendispersi
DIFUSI
Gerak Brown OSMOTIK
SEDIMENTASI
Adanya gerak Brown mengakibatkan partikel-partikel koloid
dalam sistem koloid menjadi relatif stabil karena gerakan
yang terus-menerus akibat tumbukan dari partikel koloid
akan mengurangi pengaruh gaya gravitasi.
Kecepatan gerak partikel koloid dinyatakan
berbanding terbalik dengan ukuran partikel koloid.
Jadi, Makin besar partikelnya makin
kecepatannya akan semakin berkurang.
Gerak Brown juga dipengaruhi suhu sistem
koloid. Dimana jika terjadi kenaikan suhu dari
sistem koloid, maka akan meningkatkan
kecepatan gerak partikel pendispersi dan
akibatnya gerakan partikel koloid juga akan
semakin cepat.
ADSORSPSI KOLOID
.
Koloid akan mengalami koagulasi dengan cara:
1. Mekanik
Cara mekanik dilakukan dengan pemanasan, pendinginan
atau pengadukan cepat.
2. Kimia
Dengan penambahan elektrolit (asam, basa, atau garam).
Contoh Koagulasi Koloid
Penyimpangan
III a = RT/M
II
cg
GAYA GRAVITASI
SEDIMENTASI
GERAK BROWN
Pada ukuran partikel yang sangat kecil (< 0,5 µm) kisaran ukuran
koloid Gerak Brown lebih dominan
Berpengaruh
Tidak Berpengaruh
Pers. Einstein
Koloid encer & Bulat LIOFOBIK
SIFAT-SIFAT ELEKTRIS KOLOID
AGREGASI
PARTIKEL KOLOID
Contoh soal
1.Koefisien difusi untuk protein bulat pd 20oC adalah 7,0x
10-7 cm2/detik dan volume spesifik parsial 0,75 cm3/g.
Viskositas pelarut 0,01 poise (0,01g/cm detik).
Hitung : a. Berat molekul
b. jari-jari partikel protein
a.
M= 1 1 2 (8,31x10-7) x 293 3
M = 100.000 g/mol
b. D = R T r= R T
6πηrN 6πηND
r = (8,31x10-7) x 293
6 x 3,14 x 0,01 x (6,02x1023) x (7,0x10-7 )
= 31 x 10 -8 cm = 31 A
Karakteristik Aliran
VISKOSITAS
Peran rheologi
Pemindahan Sediaan
Pengaruh Rheologi dan Viskositas
Penerimaan Konsumen
Stabilitas Fisika
Availabilitas
Jarak Antar Kartu (r)
F A
Pd Tiap Kartu
Berbanding Terbalik
Dengan Jarak
SISTEM NEWTON
A
F’
Viskositas Absolut
Faktor Yg Mempengaruhi Viskositas
1. Temperatur
2. Konsentrasi
Sistem Newton
Sistem yang konsistensi/viskositasnya tidak tergantung
pada Shearing Stress
Rate of shear
m = 1/
η
η = 1/
m
Shearing Stress
Pseudoplastis Dilatan Plastis Thiksotropi Rheopeksi
Bingham
Casson
1. Plastis
Rate Of Shear
A B
U = Viskositas plastis
Yield
Value
Shearing Stress
Shearing stress
Peningkatan
Shear stress
4. THIKSOTROPI
Perubahan konsistensi yang terjadi akibat peningkatan shearing str
yang bersifat reversibel dengan proses pemulihan yang lebih Lama
pada saat sediaan didiamkan.
1. Thiksotropi Positif
Konsistensi pada saat pendiaman setelah pemberian
Shearing stress lebih encer dibandingkan pada saat pemberian
Shearing stress
THIKSOTROPI
2. Thiksotropi Negatif
Konsistensi pada saat pendiaman setelah pemberian
Shearing stress lebih besar dibandingkan perubahan konsistensi
pada saat dibrikan Shearing stress
Thiksotropi Bentuk Kembung
Ciri khas dari rheologi ( kurva Hesteresis)
Dari bentonit
Rate Of Shear
Shearing Stress
Kurva Histeresis bentuk taji
Rate Of Shear
Shearing Stress
Thiksotropi Negatif
Shearing Stress
Thiksotropi Dalam formulasi
Catatan.
Derajat thiksotropi sediaan bisa berubah setelah periode waktu tertentu dan
Mengakibatkan formulasi sediaan tidak memadai.
5. RHEOPEKSI
Sifat alir yang karakteristiknya kebalikan dari sifat alir thiksotropi
Rate Of Shear
Shearing Stress
PENENTUAN SIFAT RHEOLOGIS
Bahan
Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Rata-Rata
Propilen Glikol 1,9 detik 1,82 detik 1,88 detik 1,87 detik
Viskometer Ostwald
η1 = t1 ρ1
η2 = t2 ρ2
Diketahui :
η Air : 0,89 cp (Handbook of Pharmaceutical Excipient, 6th edition)
v Viskositas Alkohol
ηaqua = t1 ρ1 , 0,89 cp = 2,4 x 1
ηalkohol = t2 ρ2 η2 = 4,20 x 0,8041
ηalkohol = t2 ρ2
ηaqua t1 ρ1
ηalkohol = t2 ρ2. ηaqua
t1 ρ1
η2 = 4,20 x 0,8041x 0,89 cp
2,4 x 1
Ηalkohol = 1,25 cp
2. ALAT YG BEROPERASI PD RATE OF SHEAR LEBIH DARI SATU KALI
Untuk zat yang bersifat non Newton
Contoh :
Viskometer Stomer
Viskometer Hoeppler
Viskometer Cup dan Bob
Viskometer Haake Rotovisco
VISKOMETER HOEPPLER
η = t ( Sb – Sf ) B
Pada Kestimbangan
Gaya Keatas = Gaya kebawah
G (detik-1 )
200
A
B
C
D
Cairan
1.Pencampuran Semisolid
2.Pengurangan Ukrn Partikel 1.Penyebaran & pelekatan
3.Pemindahan, pemompaan 2.Pemindahan/pengeluaran
Dan pengaliran 3.Homogenitas
4.Stabilitas Fisik 4.Pelepasan obat
Padatan Pemrosesan
1.Aliran Serbuk 1.Kapasitas produksi
2.Pengemasan 2.Efisiensi Pemrosesan
Alat dan Metode Pengukuran Viskositas
1. Viskosimeter kapiler
PENGANTAR
STABILITAS OBAT
waktu tertentu.
Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu
sediaan farmasi untuk menjaga atau
mempertahankan jumlah dan menekan
pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat
dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu
tertentu yang diinginkan (WHO, 1977)
Penyebab kerusakan bahan aktif
Kerusakan bahan aktif dapat terjadi melalui beberapa
cara :
1). Hidrolisis
Obat yang mengandung ester, amida, laktam,
4). Fotodegradasi
Cahaya dapat menyebabkan penguraian atau
degradasi. Reaksi ini dapat terjadi tidak hanya
selama penyimpanan, tetapi juga selama produk
digunakan. Sebagai contoh cahaya matahari dapat
berpenetrasi ke kulit sampai kedalaman tertentu
yang cukup untuk menyebabkan degradasi obat
pada permukaan kapiler atau mata pasien yang
menggunakan obat.
5). Polimerisasi
Polimerisasi adalah proses bergabungnya dua
atau lebih molekul membentuk suatu kompleks
molekul. Sebagai contoh polimerisasi amino-
penisilin
LAJU REAKSI
Laju reaksi menunjukan perubahan konsentrasi zat
yang terlibat dalam reaksi setiap satuan waktu.
Konsentrasi pereaksi dalam suatu reaksi kimia
semakin lama semakin berkurang, sedangkan hasil
reaksi semakin lama semakin bertambah (Anderton,
1997).
Dinyatakan dalam term pengurangan konsentrasi
ORDE REAKSI
Jumlah atom atau molekul yang terlibat dalam reaksi
yang konsentrasinya menentukan laju reaksi.
C = Co- kot
C
Slope =-k
t(1/2) = 0,5Co/ ko
t 90 = 0,1Co/ ko
t
2). Orde pertama
(-dC/dt) = k1.C
C = Co e-kt
ln C/Co= -kt
log C = log Co – (k1/2,303) t
Plot Log C vs t linear dengan slope –(k1)/ 2,303)
maka ; Slope =-k/2,303
Log C
t(1/2) = 0,693/ k1
t 90 = 0,105/ k1 t
3. Orde kedua
(-dC/dt) = k (C)2
setelah diintegralkan diperoleh :
1/C = 1/Co + k . t
Slope= k
t(1/2) = 1/ k2. Co
1/C
t 90 = 0,111/ Co.k2
t
CARA MENENTUKAN ORDE REAKSI
1. Dengan mensubstitusikan konsentrasi obat yang
diperoleh ke dalam persamaan orde reaksi, bila
diperoleh harga k yang relatif konstan berarti
reaksi berjalan pada orde tersebut.
1/T
Keterangan:
Y = variabel terikat
X = variabel bebas
A = intersep
B = koefisien regresi/slop
Pengaruh pH
pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan).
Pengertian pH dalam aplikasinya berbeda-beda. Di
dalam sistem yang sering digunakan ( NBS sistem,
NBS = National Bureau of Standards),
Bahan
- FeCl3
- Asetosal
- Asam Salisilat
CARA KERJA
PEMBUATAN BAKU ASAM SALISILAT DAN PENGUKURAN
ABSORBANSI Ditimbang asam salisilat 50 mg
Dipipet 10,0 ml baku asam salisilat, dilakukan pengenceran 10x dengan aqua
dest. Ad 100 ml
Pembuatan blanko
Dipipet aqua dest. 10,0 ml, ditambah 2,0 ml FeCl 5%
konsentrasi sesungguhnya
mg penimbangan = 50,5 mg = 101 ppm
L volume 0,05 L
Rentang Absorbansi (0,2 – 0,8)
konsentrasi sesungguhnya
mg penimbangan = 50 mg = 200 ppm
L volume 0,25 L
Data Absorbansi Asetosal
T Waktu Suhu 40⁰C Suhu 55⁰C Suhu 70⁰C
(menit)
Orde 2 (t Vs 1/Ct)
A = 0,0065
B = 7,09 x 10-6
r = 0,2726
Degradasi Asetosal pada pemanasan suhu
40 derajat mengikuti orde 0 karena harga
r-nya paling mendekati -1.
C = Co- kot
Sehingga slope = B= - k
Maka laju reaksi (k) = 0,01662 ppm/ menit
t1/2 = 0,5 Co/ k =(0,5x200 ppm)/ 0,01662
t1/2 = 6015,3994 menit =4,....hari=........th
t90 = 0,1 Co/ k = (0,1x200ppm)/0,01662
t90 = 1203,3694 menit = ...... hari.
t Ct (ppm)
0 153,311 ppm
1 149,9863ppm
2 147,9401ppm
3 144,6153 ppm
4 142,6971ppm
Degradasi Asetosal pada pemanasan suhu 55 derajat
mengikuti orde 2 karena harga r-nya paling mendekati
-1.
1/C = 1/Co + k . t
Plot 1/ C vs t linear dengan slope (B) = k
maka ; k = 0,0001218 ppm/ menit
t(1/2) = 1/ k. Co
t1/2 = .....................
t 90 = 0,111/ Co.k2
t90 =............................
t Ct (ppm)
0 199,886 ppm
1 131,5715ppm
2 120,7018ppm
3 114,052ppm
4 105,9957ppm
Degradasi Asetosal pada pemanasan suhu 70
derajat mengikuti orde 1 karena harga r-nya
paling mendekati -1.
log C = log Co – (k1/2,303) t
Plot Log C vs t linear dengan slope (B) = –(k1)/
2,303
maka ; k=-B x2,303
k = 0,14115 x 2,303 = 0,3251 ppm/
menit
t(1/2) = 0,693/ k1
t1/2= 2,13 menit
t 90 = 0,105/ k1
Arrhenius
k = Ae –Ea/RT
log k = log A – Ea/RT/ 2,303
Dimana :
k : tetapan laju kecepatan reaksi kimia
A : tetapan yang dinamakan faktor persamaan.
Ea : energi aktivasi Arrhenius
R : tetapan gas (8,3143 J/Mol.K) atau (1,987 kal/ mol)
T : suhu absolut
Carilah Ea, k pada suhu kamar (25 derajatCelcius)
, waktu paruh dan waktu kadaluwarsa bila reaksi
mengikuti orde 1!
log k = log A – Ea/RT/ 2,3 03 atau
Ln k = ln A – Ea/RT
Y = A + Bx
Maka Regresikan 1/T vs log k atau 1/T vs ln k
Suhu oC k (mg/ hari) Suhu o K Ln k
40 1,32 x 10-3 313 - 6,630
55 2,45 x 10-3 328 - 6,011
70 4,07 x 10-3 343 -5,504
A = 6,263
B = -4032,82
r = -0,9995
A = 6,263
B = -4032,82
r = -0,9995
a. B = -Ea/R
Ea = -B x R = 4032,82 x 1,987 kal/ mol
= 8013,21 kal/mol
1
Koefisien Partisi (P atau Log P)
Perbandingan konsentrasi senyawa dalam campuran
dua fase yang saling tak larut pada saat
kesetimbangan.
Perbandingan ini merupakan ukuran perbedaan
kelarutan senyawa dalam dua fase tersebut.
Koefisien partisi umumnya mengacu pada
perbandingan konsentrasi senyawa tidak
terionisasi sedangkan koefisien distribusi mengacu
pada perbandingan konsentrasi semua spesi
senyawa (terionisasi dan yang tidak terionisasi).
2
Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Setelah
obat sampai ke peredaran darah, obat harus
menembus sejumlah sel untuk mencapai reseptor.
Dimana koefisien partisi juga menentukan jaringan
mana yang dapat dicapai oleh suatu senyawa.
Senyawa yang sangat mudah larut dalam air
(hidrofilik) tidak akan sanggup melewati membran
lipid untuk mencapai organ yang kaya akan lipid,
misalnya otak (Nogrady, 1992).
3
Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke
dalam campuran dari dua cairan tidak bercampur, zat
itu akan mendistribusi diri di antara kedua fase
sehingga masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu
ditambahkan ke dalam pelarut tidak tercampur
dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan
larutan, maka zat tersebut tetap berdistribusi di
antara kedua lapisan dengan perbandingan
konsentrasi tertentu (Martin, dkk, 1990).
Jika C1 dan C2 adalah konsenntrasi kesetimbangan
zat dalam pelarut1 dan pelarut2, persamaan
kesetimbangan menjadi : C1/C2 =K .
4
Tetapan kesetimbangan K dikenal sebagai perbandingan
distribusi atau koefisien partisi. Persamaan tersebut
dikenal dengan hukum distribusi, jelas hanya dapat
dipakai dalam larutan encer di mana koefisien keaktifan
dapat diabaikan (Martin, dkk, 1990).
Menurut Nernst, koefisien partisi dapat disederhanakan
sesuai dengan persamaan:
P = Co/Cw atau
Log P = log Co – log Cw
Co adalah kadar molal dalam fase non-air dan Cw adalah
kadar molal dalam air, setelah mengalami
kesetimbangan partisi (Sardjoko, 1993).
5
Semakin besar nilai P maka semakin banyak senyawa
dalam pelarut organik. Nilai P suatu senyawa tergantung
pada pelarut organik tertentu yang digunakan untuk
melakukan pengukuran.
Beberapa pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan
menggunakan partisi air dan n-oktanol, karena n-oktanol
dalam banyak hal menyerupai membran biologis, dan
juga merupakan model yang baik pada kromatografi fase
terbalik (Gandjar, dkk, 2007).
Nilai P seringkali dinyataka dengan nilai log P. Sebagai
contoh nilai log P1 setara dengan nilai P10. Nilai P = 10
merupakan nilai P untuk senyawa tertentu yang
mengalami partisi ke dalam pelarut organik tertentu.
Partisi dilakukan dengan air dan pelarut organik dalam
jumlah yang sama. P = 10 berarti bahwa 10 bagian
senyawa berada dalam lapisan organik dan 1 bagian
berada dalam lapisan air (Gandjar, dkk, 2007).
6
Kecepatan absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh
keofisien partisi. Hal ini disebabkan oleh komponen
dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida.
Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam
lipida akan dengan mudah melaluinya. Sebaliknya
obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan sukar
diabsorpsi.
Obat-obat yang larut dalam lipida tersebut dengan
sendirinya memiliki koefisien partisi lipida-air yang
besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam
lipid akan memiliki koefisien partisi yang sangat kecil
(Anonim, 2012).
7
Koefisien partisi minyak – air adalah suatu petunjuk
sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat.
Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi
dengan makromolekul pada reseptor kadang-kadang
berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol /
air dari obat (Martin, dkk, 1990).
Lipofilitas molekul diukur dari nilai log P dengan P
dinyatakan sebagai koefisien partisi kelarutan dalam
lemak/ air yang mempunyai rentang nilai -0,4 sampai
5 dan optimal pada nilai log P – 3 (Husniati, dkk,
2008).
8
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau
basah lemah. Jika obat tersebut dilarutkan dalam air,
sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
terionkan tergantung pH larutannya.
Obat-obat yang tidak terionkan (unionized) lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam
bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis
tidak larut, dengan demikian pengaruh pH terhadap
kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah
atau basa lemah sangat besar (Anonim, 2012).
9
Beberapa obat mengandung gugus – gugus yang mudah
mengalami ionisasi. Oleh karena itu, koefisien partisi obat-obat
ini pada pH tertentu sulit diprediksi terlebih jika melibatkan lebih
dari satu gugus yang mengalami ionisasi daripada gugus yang
lain pada pH tertentu.
10
Hipotesis pH-partisi
Menyatakan bahwa : senyawa atau obat yang dapat
terionisasikan akan menembus membran biologi,
terutama dalam bentuk takterionkan (netral)
sehingga obat yang bersifat asam akan lebih baik
absorbsinya dalam suasana asam yaitu pada pH
yang lebih kecil dari pKa dan obat yang bersifat basa
akan lebih baik absorbsinya dalam suasana basa.
11
Jika suatu senyawa, asam atau basa mengalami ionisasi sebesar
50% (pH=pKa) maka koefisisen partisinya setengah dari koefisien
partisi obat yang tidak mengalami ionisasi (Gandjar, dkk, 2007).
12
13
2. Koefisien partisi semu atau APC (Apparent
Partition Coefficient)
Apabila persyaratan TPC tidak dapat dipenuhi, maka hasilnya
adalah koefisien partisi semu. Biasanya yang sering
digunakan sebagai fase lipid adalah oktanol,
kloroform, sikloheksan, isopropil miristat. Fase air yang
biasanya digunakan adalah larutan dapar. Pada keadaan ini
berlaku persamaan :
Dengan : (C1⁰-C2ʹ) a / C2ʹ . b
C20 = Kadar obat salam fase air mula-mula.
C2’ = Kadar obat dalam fase air setelah mencapai
kesetimbangan.
a = Volume fase air.
b = Volume fase lipid.
Suhu yang digunakan : 30⁰C , 37⁰C.
14
Pada percobaan penentuan koefisien partisi
digunakan obat yang bersifat asam lemah yaitu
asam salisilat.
Asam salisiat bersifat sukar larut dalam air dan
dalam benzene, mudah larut dalam etanol dan dalam
eter, larut dalam air mendidih, dan agak sukar larut
dalam klorofom.
Asam salisilat dilarutkan dalam air dibuat dengan pH
yang berbeda, kemudian ditambahkan pelarut
kloroform sebagai fase lipid, dihitung konsentrasi
asam salisilat yang terdistribusi dalam air dan
kloroform pada saat kesetimbangan.
15
TERIMAKASIH...
16