Anda di halaman 1dari 10

III.

Teori Dasar

3.1 Larutan

Larutan didefinisikan sebagai campuran homogen antara dua atau lebih zat

yang terdispersi baik sebagai molekul, atom maupun ion yang komposisinya dapat

berpariasi. Larutan dapat berupa gas, cairan, atau padatan. Larutan encer adalah

larutan yang mengandung sebagian kecil solute, relative terhadap jumlah pelarut.

Sedangkan larutan pekat adalah larutan yang mengandung sebagian besar solute.

Solute adalah zat terlarut. Sedangkan solvent (pelarut) adalah medium dalam

mana solute terlarut (Sukardjo, 1997).

3.2 Jenis Larutan

3.2.1 Larutan Jenuh

Larutan jenuh adalah suatu larutan yang zat terlarutnya berada dalam

kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut) (Sinko, 2005).

3.2.2 Larutan Tidak Jenuh atau Hampir Jenuh

Larutan Tidak Jenuh atau Hampir Jenuh adalah suatu larutan yang

mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan

sempurna pada pH tertentu (Martin, 1990).

Martin, A. (1990). Farmasi Fisika Buku I. UI Press: Jakarta.

3.2.3 Larutan Lewat Jenuh

Larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut

dalam konsentrasi lebih banyak daripada seharusnya pada tempratur tertentu dan

terdapat juga zat terlarut yang tidak larut (Sinko, 2005).


3.2 Kelarutan

Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat

terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan

dinyatakan dalam satuan milliliter pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.

Misalnya 1 gram asam salisilat akan larut dalam 500 mL air. Kelarutan juga

dinyatakna dalam satuan molalitas dan persentase (Tungandi, 2009).

Pelepasan zat aktif dari bentuk sediannya sangat dipengaruhi oleh sifat-

sifat kimia dan fisika zat tersebut serta formulasinya. Pada prinsipnya obat baru

dapat diabsorpsi setelah zat aktifnya terlarut dalam cairan usus sehingga salah satu

usaha untuk mempertinggi efek Farmakologi dan sediaan adalah dengan

menaikkan kelarutan zat aktifnya (Tungandi, 2009).

Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu zat

terlarut (solute), untuk larutan dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan

dalam jumlah maksimum zat terlarut dalam suatu pelarut pada kesetimbanyangan.

Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut dengan

perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah etanol di dalam

air. Sifat ini lebih lebih dalam bahasa Inggris lebih tepatnya disebut miscible.

Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni ataupun

campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat. Kelarutan

bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit terlarut, seperti

perak klorida dalam air. Istilah “tak larut” (insoluble) sering diterapkan pada

senyawa yang sulit larut walaupun sebenarnya hanya ada sangat sedikit kasus

yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa kondisi, titik
kesetimbangan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan yang disebut

lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil (woedepss) (Tungandi, 2009).

3.3 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain:

3.3.1 pH

Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan umumnya

adalah Zat organik yang bersifat asam lemah, dimana kelarutannya sangat

dipengaruhi oleh pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik lemah seperti

barbiturat dan sulfonamida dalam air akan bertambah dengan naiknya pH karena

terbentuk garam yang mudah larut dalam air. Sedangkan basa-basa organik lemah

seperti alkoholida dan anastetika lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila

pH larutan diturunkan dengan penambahan asam kuat maka akan terbentuk garam

yang mudah larut dalam air. (Genaro, R.A., 1990)

Hubungan antara pH dengan kelarutan asam dan basa lemah digambarkan

oleh persamaan sebagai berikut :

Untuk asam lemah :


𝑆−𝑆𝑜
pHp = pKw + log ( )
𝑆𝑜

Untuk basa lemah :


𝑆−𝑆𝑜
pHp = pKw - pKb + log ( )
𝑆𝑜

Keterangan:

pHp = harga pH terendah/tertinggi dimana zat yang berbentuk asam atau basa

lemah masih dapat larutharga pH terendah/tersih dapat larut.

S= konsentrasi molar zat dalam yang ditambahkan

So = Kelarutan molar fraksi asam atau basa yang tidak terdisosiasi


3.3.2 Temperatur

Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung kepada temperatur, titik

leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan suatu zat padat

dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor)

mengakibatkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut.

Merenggangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar

molekul tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-

molekul air. Berbeda dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan

menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan karena gas

yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air bila suhu meningkat.

(Sri Wahyuni, Y, 2005)

3.3.3 Jenis pelarut

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar

akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya.

Kelarutan juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan

non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat,

makin sukar zat tersebut larut dalam air. (Martin et al., 1993)

Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut dalam

senyawa polar. Misalnya gula, NaCl, alkohol, dan semua asam merupakan

senyawa polar sehingga mudah larut dalam air yang juga merupakan senyawa

polar. Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar,
misalnya lemak mudah larut dalam minyak. Senyawa nonpolar umumnya tidak

larut dalam senyawa polar, misalnya NaCl tidak larut dalam minyak tanah.

(Martin et al., 1993)

Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam Kristal.

b. Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini

bersifat amfiprotik.

c. Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.

Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik antara ion-

ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Iapun tidak dapat memecahkan

ikatan kovalen dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat

melarutkan zat-zat non polar dengan tekanan internal yang sama melalui induksi

antara aksi dipol. Pelarut semi polar dapat menginduksi tingkat kepolaran

molekul-molekul pelarut non polar. Ia bertindak sebagai perantara (Intermediete

Solvent) untuk mencampurkan pelarut non polar dengan non polar. (Martin et al.,

1993).

3.3.4 Pengaruh bentuk dan ukuran partikel

Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu

zat, sesuai dengan persamaan berikut :

𝑆 2.𝛶.𝑉
log 𝑆𝑜 = 2,303.𝑅.𝑇.𝑟

Keterangan :

S = Kelarutan dari partikel halus


So = Kelarutan zat padat yang ukuran partikelnya lebih besar

r = Jari-jari Partikel

v = Volume partikel dalam cm2 per mol

R = Konstanta Gas

T = Temperatur absolute/Suhu

γ = Tegangan Permukaan

Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh

terhadap kelarutan zat. Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah

larut bila dibandingkan dengan partikel yang bentuknya simetris. (Martin et al.,

1993).

3.3.5 Pengaruh konstanta dielektrik

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut

polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non

polar sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan

dielektrik ini menurut moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain.

Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari

tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan % volume

masing-masing komponen pelarut. Adakalanya suatu zat lebih mudah larut

dalam pelarut campuran dibandingkan pelarut tunggalny. Fenomena ini dikenal

dengan istilah co-solvency dan pelarut yang mana dalam bentuk campuran

dapat menaikkan kelarutan suatu zat diseut co-solvent. Etanol, gliserin dan

propilen glikol adalah co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi

untuk pembuatan eliksir. (Martin et al., 1993)


3.3.6 Pengaruh penambahan zat-zat lain

Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikan

kelarutan suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian

polar dan non polar.apabila didispersikan dalam air pada konsentrasi yang

rendah, akan berkumpul pada permukaan dengan mengorientasikan bagian

polar ke arah air dan bagian non polar kearah udara, surfaktan mempunyai

kecenderungan berasosiasi membentuk agregat yang dikenal sebagai misel.

Konsentrasi pada saat misel mulai terbentuk disebut konsentrasi misel kritik

(KMK). (Attwood & Florence, 1985)

Pelarut

Pelarut (solven) didefinisikan sebagai suatu medium dimana zat terlarut

(solute) terlarut (Baroroh, 2004).

Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair,

gas yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan

dalam kehidupan sehari-hari adalah air (Shevla, 1979).

3.4 Titrasi

Titrasi adalah metode analisis kuantitatif untuk menentukan kadar suatu

larutan. Dalam titrasi, zat yang akan ditentukan konsentrasi dititrasi oleh larutan

yang konsentrasinya diketahui dengan tepat dan disertai dengan pembahasan

indikator. Larutan yang diketahui konsentrasinya dengan tepat disebut larutan

baku atau larutan standar, sedangkan indikator adalah zat yang memberikan tanda
perubahan pada saat titrasi berakhir yang dikenal dengan istilah titik akhir titrasi.

Titrasi asam basa merupakan metode penentuan kadar larutan asam dengan zat

peniter (zat penitrasi) suatu larutan basa atau penentuan kadar larutan basa dengan

zat peniter (zat penitrasi) suatu larutan asam. Indikator fenolftalein digunakan

untuk menentukan titik akhir titrasi diharapkan mendekati titik ekivalen titrasi

yaitu kondisi pada saat larutan asam tepat bereaksi dengan larutan basa (Day,

2002).Day, 2002. Analisis Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Titrasi asam basa adalah menetralkan larutan yang tidak diketahui dengan

cara meneteskan (titrasi) suatu asam kuat dan basa kuat yang diketahui

konsentrasinya kedalam larutan tersebut. Penetralan merupakan kata kunci yang

harus dipahami dalam titrasi jenis ini dimana ion hydrogen yang menyebabkan

suatu larutan yang bersifat asam bereaksi dengan ion hidoksida yang

menyebabkan larutan basa bersifat basa sehingga membentuk suatu molekul air,

sehingga membentuk molekul air. Untuk mengetahui sempel yang bersifat basa ,

maka standar yang digunakan untuk proses titrasi adalah standar asam( motode

lebih jauh dikenal dengan istilah asimetri ), demikian juga sebaiknya standar bias

digunakan untuk mengetahui konsentrasi sampel yang bersifat basa yang dikenal

dengan istilah alkalimetri. (Winanti, 2012).

3.4 Indikator

Indikator adalah zat yang memiliki perbedaan warna yang mencolok

dalam medium asam basa. Salah satu indikator yang umum digunakan adalah

fenolftalein, yang tidak berwarna dalam larutan asam netral, tapi berwarna

merah muda dalam larutan basa. Pada titik ekuivalen, semua KHP (Kalium
Hidrogen Ftalat) telah dinetralkan oleh NaOH dan larutan masih tidak berwarna.

Namun, jika kita menambahkan hanya satu tetes lagi larutan NaOH dari buret,

warna larutan akan segera berubah menjadi merah muda karena sekarang larutan

bersifat basa. Dengan mengetahui massa KHP yang bereaksi (yang berarti

jumlah molnya), kita dapat menghitung kosentrasi larutan NaOH (Chang, 2004:

112).

3.5 Surfaktan

Surfaktan adalah suatu zat yang digunakan untuk menaikkan kelarutan

suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu polar dan non polar

(Ditjen POM, 1979).

Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti , kelarutannya dapat

ditunjukkan dengan istilah berikut (Ditjen POM, 1979):

Istilah Kelarutan Jumlah Bagian Pelarut yang diperlukan untuk

melarutkan 1 bagian zat

Sangat Mudah Larut Kurang dari 1

Mudah Larut 1 sampai 10

Larut 10 sampai 30

Agak Sukar Larut 30 sampai 100

Sukar Larut 100 sampai 1000

Sangat Sukar Larut 1000 sampai 10.000

Praktis Tidak Larut Lebih dari 10.000


DAFTAR PUSTAKA

Attwood, D., & Florence, A.T., 1985, Surfactan System, 1st Ed., Chapman and
Hall, London, New York.

Baroroh, U. L.U. (2004). Diktat kimia Dasar 1. Universitas Lambung Mangkurat:

Banjarbaru.

Day, 2002. Analisis Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III: Jakarta.

Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Jakarta: UI Press.

Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sinko, P. (1990). Farmasi Fisika Buku II. UI Press: Jakarta.

Shevla. (1979). Buku Ajar Vogel Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan

Semimikro. PT Kalman Medika Pusaka: Jakarta.

Tungandi, R. (2009). Penuntun Praktikum Farmasi Fisika. Jurusan Farmasi

Universitas Negeri Gorontalo: Gorontalo.

Winanti. (2012). Titrasi Asam Basa. Bandung: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai