JAKARTA
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Survailens GIZI BURUK dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Semoga makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang
kurang berkenan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa mendatang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.Selamat
membaca.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan..................................................................................... 19
5.2 Saran................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 20
3
BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai penelitian menunjukkan dampak serius masalah gizi buruk terhadap kesehatan,
bahkan terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa. Dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak antara lain anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara serta gangguan
perkembangan lain. Sementara dampak jangka panjang berupa penurunan skor intelligence quotient
Kurang gizi juga berpotensi menjadi penyebab kemiskinan melalui rendahnya kualitas sumber
daya manusia dan produktivitas. Gizi buruk yang tidak dikelola dengan baik, pada fase akutnya akan
mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus
bangsa.
Mengingat dampak yang sedemikain serius tersebut, sudah seyogyanya seluruh potensi dan
komponen dikerahkan untuk mencegah dan menangulangi masalah gizi buruk ini. Tindakan penting
terkait usaha pencegahan antara lain dengan melakukan kegiatan surveilans epidemiologi masalah gizi
ini.
Banyak pengertian surveilans yang sudah umum dikenal selama ini. Antara lain menurut WHO,
surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik
dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat
mengambil tindakan. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu
kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian
dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi nya pada masyarakat sehingga dapat
dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.
4
1. Apa itu surveilans gizi buruk?
1.3 Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
Gizi buruk adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat dan di sebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama,
(Khaidirmuhaj, 2009). Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang
berhubungan dengan kehidupan. Kekurangan zat gizi adaptif bersifat ringan sampai dengan berat. Gizi
kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun.
Terkait dengan masalah gizi masyarakat di Indonesia, beberapa dasar hukum dan pedoman
pelaksanaan surveilans gizi buruk antara lain:
1. Surat Menteri Kesehatan Nomor: 1209, tanggal 19 Oktober 1998 yang menginstruksikan
agar memperlakukan kasus gizi buruk sebagai sebuah kejadian luar biasa.
Pada Kepmenkes di atas, salah satu sasaran surveilans epidemiologi kesehatan adalah
pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Gizi (SKG) dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKG
KLB) gizi buruk. Sedangkan berdasarkan surveilans gizi adalah pengamatan yang dilakukan terhadap
anak balita dalam rangka mencegah terjadinya kasus gizi buruk.
Sedangkan menurut WHO, praktek surveilans gizi dilakukan dengan melakukan pengamatan
keadaan gizi dalam rangka untuk membuat keputusan yang berdampak pada perbaikan gizi penduduk
dengan menyediakan informasi yang terus menerus tentang keadaan gizi penduduk, berdasarkan
pengumpulan data langsung sesuai sumber yang ada, termasuk data hasil survey dari data yang sudah
ada.
6
2.2 Tujuan Survailens Epidemiologi Gizi Buruk
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi,
sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons
pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi
1) Menggambarkan status gizi penduduk dengan referensi khusus bagi mereka yang
menghadapi risiko
Tujuan surveilans gizi buruk adalah untuk pencegahan dan pengendalian penyakit gizi buruk
dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan gizi buruk, memperoleh
7
informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan gizi buruk, penanggulangan
maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi.
Manfaat surveilans epidemiologi (SE) yaitu deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi
dan distribusinya, perhitungan trend, identifikasi pola penyakit, identifikasi kelompok risiko tinggi
menurut waktu, orang dan tempat, identifikasi faktor risiko dan penyebab lainnya,deteksi perubahan
pelayanan kesehatan yang terjadi, dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis,
mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya, memberikaninformasi dan data dasar
untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa akan datang,membantu menetapkan masalah
kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan. Inti kegiatan surveilans
pada akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke pemegang
kebijakan guna ditindaklanjuti dalam pembuatan program intervensi yang lebih baik untuk
menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia (HIMAPID dalam Sikumbang 2008).
Melihat dari manfaat Surveilans epidemiologi secara umum, maka manfaat surveilans
epidemiologi gizi buruk yaitu:
1.Dapat diketahui distribusi gizi buruk menurut orang, tempat, waktu, dan kelompok umur
pada suatu daerah tertentu dimana dilakukannya surveilans.
2. Bagi pensurvei (puskesmas), sebagai bahan informasi penting mengenai suatu KLB gizi buruk
dan dapat digunakan untuk penentu kebijakan selanjutnya dalam langkah penanggulangan
KLB tersebut.
3.Bagi masyarakat, surveilans epidemiologi gizi buruk dapat dijadikan sebagai informasi dan
sebagai bahan masukan agar masyarakat lebih meningkatkan lagi kesehatannya.
Menurut Mason et al (1984), terdapat tiga jenis utama sistem surveilans gizi, yaitu:
1.Pemantauan gizi jangka panjang sebagai masukan untuk perencanaan nasional, untuk
menganalisis dampak kebijakan dan untuk memprediksi kecenderungan masa depan
2. Evaluasi dampak program gizi dan proyek-proyek tertentu yaitu informasi yang dirancang
untuk memungkinkan tanggapan langsung melalui program atau proyek modifikasi
8
3.Peringatan dini atau atau sistem peringatan tepat waktu untuk mengidentifikasi kekurangan
pangan akut, untuk mendapatkan tanggapan jangka pendek.
Sistem surveilans gizi adalah mengumpulkan data dasar program yang difokuskan pada
masalah gizi bayi, anak-anak, dan wanita hamil. Sistem surveilans gizi berfungsi ntuk menyediakan data
lokal spesifik yang berguna untuk mengelolaan program gizi kesehatan masyarakat. Sistem ini
memberikan informasi yang sangat berguna, tetapi juga ada tantangan metodologis yang berkaitan
dengan keterwakilan, pengawasan mutu dan indikator sensitivitas dan spesifisitas.
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi gizi buruk yang jelas, contohnya data
masalah gizi bayi, anak-anak, dan wanita hamil. Dengan pengumpulan ini dapat terlihat kelompok
populasi yang mempunyai risiko terbesar terkena gizi buruk; memastikan jenis dan penyebab gizi
buruk; memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya KLB gizi buruk; untuk mencatat
kejadian gizi buruk secara keseluruhan dan seberapa jauh penyebarannya.
Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu.
Analisa dapat berupa teks, table, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan
informasi yang akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana
menentukan tindakan dalam menghadapi status KLB gizi buruk yang terjadi.
Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna
menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan ke unit terkait anatara lain berupa laporan kepada
atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.
Kegiatan surveilans gizi dimulai dengan pengumpulan data, pengolahan dan analisis data,
diseminasi informasi dan tindak lanjut/ respon.
9
Berikut adalah contoh kasus, yaitu pengumpulan data kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat
di Kabupaten/Kota antara lain meliputi pembinaan pencatatan dan pelaporan serta melakukan
rekapitulasi hasil kegiatan di Puskesmas/Kecamatan, sebagai berikut :
kasus gizi
buruk
Kapsul
Vitami
10
nA
Balita
Darah
Dalam pelaksanaan pengumpulan data, bila ada puskesmas yang tidak melapor atau melapor
tidak tepat waktu, data laporan tidak lengkap dan atau laporan tidak akurat maka
pengelola kegiatan gizi diharuskan melakukan pembinaan secara aktif untuk melengkapi data.
Kegiatan ini dapat dilakukan melalui telepon, Short Message Service (SMS) atau kunjungan langsung ke
puskesmas.
Selain merekap data kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat dari Puskesmas, pengelola kegiatan
gizi juga perlu melakukan kompilasi laporan kasus gizi buruk yang dirawat di RS atau informasi dari
masyarakat dan media. Bila ada laporan kasus gizi buruk dari masyarakat atau media, pengelola gizi
perlu melakukan klarifi kasi ke puskesmas mengenai laporan/informasi tersebut untuk melakukan
konfirmasi status gizinya. Klarifi kasi laporan kasus gizi buruk dapat dilakukan melalui telepon dan sms.
Bila hasil konfirmasi ternyata balita tersebut benar gizi buruk (BB/PB atau BB/TB <-3 SD dengan
atau tanpa gejala klinis) maka perlu dilakukan pelacakan atau penyelidikan kasus.
Pelacakan kasus meliputi waktu kejadiannya, tempat/ lokasi kejadian dan identitas orangnya
termasuk umur, jenis kelamin dan penyebab terjadinya kasus gizi buruk.
11
c. Dicurigai kemungkinan adanya rawan pangan.
Keluaran yang diharapkan dari langkah pengumpulan data adalah adanya rekapitulasi laporan
terkait dengan jumlah puskesmas yang melapor, ketepatan waktu, kelengkapan dan kebenaran data
yang dilaporkan.
rekapitulasi laporan kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat dari puskesmas. Kegiatan ini
dilakukan oleh pengelola gizi setiap bulan, kecuali untuk data pemberian ASI eksklusif 0-6
bulan, pemberian kapsul vitamin A pada balita, dan pemantauan konsumsi garam beryodium tingkat
rumah tangga dilakukan setiap 6 bulan sekali.
Pengolahan data dapat dilakukan secara manual maupun komputerisasi. Hasil pengolahan
berupa cakupan masingmasing indikator Pembinaan Gizi Masyarakat, sedangkan analisis data
dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan yaitu analisis deskriptif dan analitik.
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang data cakupan
kegiatan pembinaan gizi masyarakat. Tujuannya adalah untuk menetapkan daerah prioritas untuk
pembinaan wilayah dan menentukan kecenderungan antar waktu.
Tabel 2
Tahun 2009
12
N Puskesma Jumlah Jumlah Balita %
o s Balita Ditimbang
13
9
Dari tabel diatas, cakupan D/S di Kabupaten Teluk Cinta belum mencapai target yaitu masih
79% (target 85%). Disparitas cakupan antar wilayah di Kabupaten ini cukup tinggi, terlihat dari cakupan
terendah sebesar 54% di Puskesmas Sukamaju dan tertinggi sebesar 96% di Puskesmas Tirtamulya.
Dengan demikian, prioritas pembinaan dilakukan pada Puskesmas Sukamaju (54%) dan Jatiasri (64%)
karena cakupannya masih kurang.
Tabel 3
Tahun 2009
Men 3 7 3 8 3 7
1 4168
tari 293 9 418 2 251 8
Tenj 3 8 3 9 2 7
2 3713
olaya 305 9 453 3 599 0
14
Kara 3 6 4 8 4 8
3 4968
nganyar 428 9 123 3 322 7
Suka 3 8 3 8 3 8
4 4326
sari 764 7 591 3 850 9
Cima 2 7 3 7 2 7
5 3836
laya 954 7 030 9 877 5
Jatis 3 6 4 7 4 8
6 5646
ari 613 4 122 3 573 1
Tega 4 9 4 9 3 7
7 4947
lraya 502 1 700 5 908 9
Suk 5 8 4 8 4 7
8 6181
majaya 068 2 945 0 759 7
Mek 3 7 3 7 3 7
9 4503
arsari 287 3 422 6 332 4
1 Tirta 3 9 3 9 3 8
3710
0 mulya 562 6 339 0 191 6
1 Suka 2 5 3 7 3 7
4695
1 maju 535 4 521 5 709 9
1 Sam 6 9 6 9 5 8
6670
2 purna 003 0 070 1 936 9
4 7 4 8 1 8
Kabupaten 57363
5313 9 77734 3 6302 1
Dari tabel diatas, cakupan D/S di Kabupaten Teluk Cinta umumnya meningkat dari 79% pada
bulan Januari menjadi 83% pada bulan Februari namun terjadi penurunan menjadi 81% pada bulan
15
Maret. Dapat juga dilihat bahwa secara umum cakupan yang tinggi pada wilayah kerja Puskesmas
adalah di bulan Februari.
Analisa analitik dimaksudkan untuk memberikan gambaran hubungan antar 2 (dua) lebih
indikator yang saling terkait, baik antar indikator gizi maupun indikator gizi dengan indikator program
terkait lainnya. Tujuan analisis ini antara lain untuk menentukan upaya yang harus dilakukan bila
terdapat kesenjangan cakupan antara dua indikator. Berikut adalah contoh cakupan distribusi kapsul
Vitamin A dengan D/S:
Tabel 4
Balita dapat
D/S
N Pusk Jumlah Vitamin A
o esmas Balita Ju % J %
mlah umlah
1 Ment 4168 32 7 2 60
ari 51 8 501
2 Tenjo 3713 25 7 3 90
laya 99 0 342
3 Karan 4968 43 8 4 95
ganyar 22 7 720
4 Sukas 4326 38 8 2 64
ari 50 9 769
5 Cimal 3836 28 7 3 87
aya 77 5 337
16
6 Jatias 5 4 8 35 63
ri 646 573 1 57
7 Tegal 4 3 7 38 77
raya 947 908 9 09
8 Sukm 6 4 7 58 95
ajaya 181 759 7 72
9 Meka 4 4 9 41 92
rsari 503 053 0 43
1 Tirta 3 3 8 25 69
0 Mulya 710 191 6 60
1 Suka 4 4 9 39 85
1 maju 695 319 2 91
1 Samp 6 6 9 53 80
2 urna 670 003 0 36
Kabupaten 5 4 45 80
7363 7706 8 936
Berdasarkan sasaran Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat ditetapkan bahwa target
cakupan Vitamin A dan D/S masing-masing adalah 85%. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa wilayah
yang cakupan Vitamin A dan D/S sudah mencapai target ada 3 Puskesmas yaitu Karanganyar,
Mekarsari dan Sukamaju. Sedangkan wilayah yang belum mencapai target adalah Puskesmas Mentari,
Jatiasri dan Tegalraya. Puskesmas lainnya hanya mencapai target salah satu indikator saja. Untuk lebih
jelasnya dapat dibuat berdasarkan kuadran dengan cara sebagai berikut:
Buat sumbu X sebagai cakupan Vitamin A dan sumbu Y sebagai cakupan D/S
Buat garis lurus masing masing sumbu sebagai garis target hingga membelah area
menjadi 4 kuadran.
17
Kuadran I adalah wilayah dengan cakupan Vitamin A dan D/S tinggi atau diatas
target. Kuadaran II adalah wilayah dengan cakupan Vitamin A tinggi namun cakupan D/S rendah,
sebaliknya Kuadaran III adalah wilayah dengan cakupan Vitamin A rendah namun cakupan D/S tinggi.
Sedangkan kuadran IV adalah wilayah dengan cakupan Vitamin A danD/S rendah.
2. Penyajian Data
Hasil pengolahan dan analisis data kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat dapat disajikan dalam
bentuk narasi, tabulasi, grafik dan peta.
Diseminasi informasi dilakukan untuk menyebarluaskan informasi hasil pengolahan dan analisis
data untuk mendapatkan dukungan dari lintas sektor dan lintas program di setiap
jenjang pemerintahan tentang hasil kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat. Kegiatan diseminasi
informasi dapat dilakukan dalam bentuk pemberian umpan balik dan sosialisasi advokasi pada
pertemuan lintas program dan lintas sektor.
1. Umpan Balik
Pengelola kegiatan gizi memberikan umpan balik bulanan berbentuk absensi laporan dan hasil
cakupan indikator pembinaan gizi ke puskesmas dan rumah sakit. Umpan balik disertai dengan ulasan
terhadap hasil yang telah dicapai, kelengkapan data disertai dengan saran-saran yang harus dilakukan
oleh puskesmas. Selain hal tersebut, umpan balik hendaknya memuat pula ucapan terima kasih bagi
puskesmas yang telah mengirim data secara lengkap dan tepat waktu.
Diseminasi informasi dapat juga dilakukan kepada lintas sektor, lintas program dan puskesmas
melalui pertemuan koordinasi dan rapat konsultasi di tingkat Kabupaten/Kota. Bila memungkinkan
18
diseminasi informasi dapat dilakukan pula melalui media secara berkala. Hasil yang diharapkan
dari kegiatan diseminasi informasi adalah disepakatinya upaya pemecahan masalah untuk perbaikan
dan peningkatan pelaksanaan kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat.
Tindak lanjut sebagai respon dilakukan apabila data cakupan indikator Pembinaan Gizi
Masyarakat menunjukkan adanya kekurangan atau kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan yang
seharusnya dicapai. Tindak lanjut terhadap hasil analisis yang bersifat teknis dilakukan oleh pengelola
program gizi, sedangkan yang bersifat kebijakan dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Hasil kegiatan dan contoh tindak lanjut dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5
TIDAK LANJUT
INDIKATO DU AS
MASALAH
R (DESA/ /KECAMA
TAN
KELURA
HAN)
19
atau konfirmasi, Rumah
tinggi terjadinya
kasus gizi
buruk.
e. Melakukan
penyelidikan
kasus bersama
dengan lintas program dan
20
lintas sektor
terkait
untuk menggerakan
masyarakat datang
ke
posyandu.
c. Melakukan promosi
tentang manfaat
kegiatan di posyandu
21
mendapat oleh oleh Peningkatan Pemberian
motivator
ASI konselor Air Susu Ibu (PP ASI).
Eksklusif b.
b. b. Meningkatkan
Pembentukan
Pembentukan kemampuan petugas
KP-ASI
KP-ASI puskesmas dan
atau
atau rumah sakit
kelas
kelas ibu dalam melakukan
ibu konseling ASI.
c. Membina
puskesmas
untuk
memberdayakan
konselor dan
motivator
Lanjutan Tabel 5
TIDAK LANJUT
INDIKATOR MASALAH S A
(DESA/
/KECAMAT
KELURAHA
AN
N)
22
garam beryodium Ketersediaan Melapor ke Puskesmas/Camat Perindustrian dan
meminta Dinas Perdagangan Kabupaten/
Garam Puskesmas
Beryodium dipasar dan Peindag Kota untuk
desa rendah untuk melakukan melakukan operasi pasar
Camat
operasi pasar garam beryodium.
garam
b. Melakukan
Beryodium promosi/kampanye
peningkatan penggunaan
garam beryodium.
perlu meminta
puskesmas untuk
melakukan
sweeping.
c. Melakukan
pembinaan kepada
puskesmas
23
dengan cakupan
rendah.
tersedia, maka
perlu
meminta
Puskesmas
untuk melakukan
peningkatan
integrasi
dengan program
KIA khususnya
kegiatan Ante
Natal Care (ANC) .
c. Melakukan
pembinaan kepada
puskesmas
24
dengan cakupan
rendah.
Catatan : Matriks ini hanya contoh, pelaksanaan kegiatan dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi di daerah
a) Informasi epidemiologi KLB gizi buruk terdistribusi kepada program terkait, pusat-
b) Terkumpulnya data kesakitan dan data KLB gizi buruk di Puskesmas, Rumah Sakit
c) Dapat mendistribusikan data kesakitan serta data KLB gizi buruk kepada unit
surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi.
d) Terlaksananya pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk tabel, grafik,
peta dan analisis epidemiologi gizi buruk lebih lanjut oleh Unit surveilans Dinas
e) Dapat mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta hasil
analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi kepada program terkait di Puskesmas,
Rumah Sakit, Laboratorium, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional, pusat-pusat riset, pusat-
pusat kajian dan perguruan tinggi serta sektor terkait lainnya
25
1. Pertama, ketidakakuratan data, terjadi karena pengisian formulir masih dilakukan
secara manual sehingga untuk mengisi seluruh formulir baik standar maupun buku bantu
terdapat data yang sama ditulis berulang kali, sehingga
3. Banyak bayi, anak-anak dan ibu hamil yang tidak tercatat dalam program gizi
disebabkan karena tidak terpantau bahkan tidak dilaporkan
antar satu program dengan program lainnya. Pemerintah pusat telah mengeluarkan
Kepmenkes No.1116/SK/VIII/2003 yang mengatur penyelenggaraan sistem surveilans.
Kepmenkes ini menyebutkan agar dibentuk unit surveilans dan unit pelaksana teknis
surveilans serta dibentuk jejaring surveilans antara unit-unit tersebut. Pengamatan
menunjukkan bahwa pelaksanaan Kepmenkes belum berjalan secara maksimal di daerah.
Belum ada Perda atau Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang merujuk ke Kepmenkes.
Surveilans saat ini banyak didanai pemerintah pusat. Dana masuk dalam anggaran pusat
yang bersifat program vertikal. Tidak ada dana untuk pengembangan surveilans di daerah.
Akibatnya jarang sekali dilakukan pencegahan sekunderprimer oleh pemerintah daerah.
Respons oleh pemerintah pusat dari kegiatan surveilans lebih banyak ke pencegahan
tersier yang mempunyai risiko keterlambatan
kedudukan unit surveilans dalam tatanan struktural dinkes dan optimalisasi anggaran,
terutama dari APBD. Ada kemungkinan pemerintah daerah merasa bahwa urusan
surveilans adalah urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak
memprioritaskan program surveilans dan menganggap surveilans tidak terlalu penting.
Persepsi pemerintah daerah seperti ini yang menjadikan alokasi anggaran untuk
pelaksanaan kegiatan surveilans sangat rendah.
26
meliputi:
jabfung, minimnya dukungan anggaran, dan tidak adanya dukungan dari Perda
2. Segi proses, dinyatakan bahwa jejaring surveilans selama ini tidak ada, belum ada
konfirmasi kasus, belum terjadi koordinasi lintas program apalagi lintas sektoral, respon
selama ini hanya bersifat by case
epidemiologi dan umpan balik pun belum ada di semua daerah, hanya saja di beberapa
daerah umpan balik dilakukan dengan pertemuan bulanan dokter, atau ada pula yang
memberi umpan balik dengan menyebarkan edaran ke Puskesmas - Puskesmas.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan membuat surveilans epidemiologi kita dapat mengetahui informasi tepat waktu
tentang masalah kesehatan populasi ,sehingga penyakit dan faktor resiko dapat dideteksi dini dan
dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Dibalik kekurangan dan
kelebihannya, semua dapat dilaksanakan optimal dengan adanya dukungan dari pemerintah dan
masyarakat itu sendiri.
3.2 Saran
Surveilans kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan dalam perencanaan dan penanggulangan penyakit
terutama dalam penanggulangan gizi buruk. Maka dari itu, dalam pengoperasian data surveilans
haruslah relevan dan akurat sehingga dalam pengambilan keputusan jadi tepat sasaran.
28
DAFTAR PUSTAKA
2. https://www.scribd.com/doc/187407705/143768110-Surveilans-Epidemiologi-Gizi-
Buruk (diakses pada 19 Maret 2018)
5. Gibney M.J. Dkk. 2009. Public Health Nutrition (terjemahan). Penerbit Buku
Kedokteran
29