Anda di halaman 1dari 111

TUGAS

DASAR MANAJEMEN

Oleh :

1. Lisda Yanti J1B119010


2. Nur Haerati J1B119012
3. Nur Hasanah S J1B119013
4. Nur Izzah Sariyana J1B119014
5. Rayhanatu Qalbi J1B119015
6. Sarfa J1B119016
7. Suci Pratiwi J1B119018

PRODI ILMU GIZI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

2020
1. IDENTIFIKASI PERCEPATAN PENYEBARAN COVID
BERDASARKAN JURNAL DAN MEDIA

COVID 19 di identifikasi pertama kali pada tanggal 31 desember 2019 di


wuhan cina.
Saat itu ada seorang pria yang umur 61 tahun yang menderita pnemonia
yang parah sayangnya pada 9 januari kemarin dia meninggal dunia respiratory
failed, gagal ginjal dll. laki laki ini merupakan pelanggan di seafood market

INSIDER : The human seafood market in wuhan closed on january 1 after


it was found to be the most likely starting point for the outbreak of this coronavirus,
also called 2019-nCov.

Dimana pasar tradisional ini di duga sebagai sumber dari virus ini, dimana
pasar tradisonal ini binatang binatang bercampur aduk.

Sama seperti sars dan mers, ncovid 19 ini dari hewan.

Berdasarkan Jurnal of medical virulogy saintis dicina itu mencoba untuk


mengkomper protein couds dari corona virus ini dengan binatang lain yang bisa
menjadi house korona virus yang lain. dimana virus korona ini mirip sama protein
yang ada di ular

Journal of MEDICAL VIROLOGY : To determine possible virus reservoir,


we have carried out compherensive sequence analysis and comparison in
congjuction with relative synonymous codon usage (RSCU) bias among different
animal species based on the 2019-nCoV sequence. Result obtained.

Additionally, our findings suggest that snake is the most probable wildlife
animal reservoir for the 2019-nCoV based on its RSCU bias close to snake
compared to other animals.

Cuma sekarang permasalahannya para saintis ini susah mengecek legitimasi


dari penemuan ini karena seafood market itu sudah di tutup sama pemerintah.
pemerintah cina sendiri dianggap sempat meremehkan covin ini, karena
setelah meninggal pertama ini ada 8 orang yang ditangkap dan di interogasi sama
polisi karena telah byebarin rumor ini secara berlebihan tantang kasus ini.

Kemudian beberapa hari kemudian ada seorang dr paru yang juga dekat
sama pemerintahan cina, dan dia umumkan bahwa pnemonia ini undercontrol dan
tidak separah seperti orang orang bilang dan walaupun banyak juga yang bilang jika
dibandingkandengan kasus SARS dan MERS pemerintah cina cukup gercep dan
cukup transparan.

Virus secara general tidak termasuk dalam living organism. karena virus
akan aktiv jika berada dalam HOST CELL, jadi seperti parasit di berbagai macam
makhluk hidup. Virus tersendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu Dna virus dan RNA
Virus, perbedaan nya yaitu di dalam host cell metabolisme sell itu banyak
bergantung dari protein biosintesis dimana DNA di transkip menjadi RNA terus di
translasi menjadi protein.

DNA virus fokus nya menyerang pada transkipsi sedangkan RNA virus
berfokus untuk menyerang translasi. corona virus termaksud ke dalam jenis RNA
Virus sementara itu RNA virus termasuk ke dalam positiv sense corona virus yaitu
bisa langsung aktiv saat masuk host cell. Jadi struktur virion (virus particle) nya itu
seperti gambar dibawah ini:

Genome atau genetik materialnya adalah linear RNA dilindungi oleh protein
yang namanya capsid, yang dilakukanvirus setelah masuk ke sel adalah :

1. membuat copyan d dari geno material (Making copy of genetic material-


Replication of RNA)
2. Making viral protein

Karena corona ini merupakan Enveloped virus jadi dibagian luar helical capsid
dilindungi lagi olehlipid bilayer dan protein, gara gara membran ini tubuh kita dan
sistem imun kita tidak bisa mengenali virus sebagai forent objek. karena lapisan
nya di ambil dari Retikulum endoplasma yang di ambil dan package through golgi
apparat dari host cell proses nya terjadi saat virus ini mau keluar dari host cell
tersebut.

CORONAVIRIDAE

1. OC43 & 229E (1960s): Common cold


2. SARS (2003) : Severe Acute Respiratory Syndrome
3. NL63 (2004) : Identified in 7 months old child
4. HKU-1 (2005): first patient just returned to hongkong from china
5. MERS(2012) : Middle Eastern Respiratory Syndrome, "comel flu"
6. 2019-nCoV : Wuhan, China.

Corona virus yang ada di manusia biasanya menyebabkan sakit yang ringan
sampai sedang di upper respiratory tract itu dari hidung, laring sampai faring dan
biasanya sakitnya itu tidak berlangsung lama. Synthom nya itu:

1. Runny nose
2. Headache
3. cough
4. fever
5. Sore throat
6. General feeling of being

Selain itu corona virus juga menyebabkan sakit di lower resporatory treact
dari trakea sampai alveolus contohnya pnemonia dan brongkitis.

Hasil analisis dari 41 pasien pertama menunjukkan bahwa cara kerja virus corina
ini sama dengan SARS dan MERS, hanya saja n-CoV ini jarang menyebabkan
hidung meler atau Runny nose.
ScienceNews : An analysis of the illnes in the first 41patients diagnosed
with 2019-nCoV from wuhan, China suggest that the virus acts similarly to SARS
and MERS. Like the other two, 2019-nCoV casues pneumonia. But unlike those
viruses, the new one rarely produces runny noses or intestinal symptoms,
researchea report January 24 in the Lancet. Most of the people affected in that first
group were healthy, with fewer than a third having choronic medical conditions
that could make them more vulnerable to infection.

Jadi setelah negara cina terjangkit virus ini, pemerintah cina akhirnya
membuat pernyataan resmi bahwa virus ini merupakan virus yang serius, dimana
bisa menyebar antara manusia dengan manusia.

Sebelum statement ini keluar para tenaga medis yang menangani pasien
pasien yang awalnya dikira pneumonia tidak memakai alat perlindungan
akhirnyamenyebabkan15 dokter dan suster disatu rumah sakit wuhan juga terkena
virus ini

South China Morning Post : "Definitely more than 15 medical workers are
infected," the doctor said, declining to give his name bacause he was not authorised
to speak publicly about the issue.

Manny were not initially informed about the potential for people-to-person
transmission and even now we don't have enough protective gear, test kits and other
supplies.

13 diantaranya tertular oleh 1 pasien. setelah itu di isolasi beberapa kota di


cina. Rumah sakit di china juga kalang kabut karena para tenaga medis kekurangan
protective gear.

BUSINES INSIDER : As the Wuhan virus spreads, doctors in the city say
they face a, flooding' of patients and not enough protective gear.

Selama hal itu terjadi banyak video yang bertebaran video pasien virus ini
bertebaran di pelataran RS sehingga pemerintah cina membuat gedung khusus virus
ini yang di buat selama 6 hari dan tempat tidur untuk pasien cukup.
THE WASHINTON POST: China hopes to build a temporary hospital in
wuhan in six day.

Saat itu WHO belum mengeluarkan global healt immergency menurut


mereka itu masih terlalu cepat, saat itu.

Kemudian virus ini menyebar ke berbagai negara contohnya hongkong,


makao, singapur, thailan, vietnam, bahkan nepal.

Setelah berita ini banyak negara yang memberi kebijakan contohnya korea
utara melarang warga cina untuk datang ke negaranya.

CNN INDONESIA : Takut Virus Corona, Korea Utara Larang Turis


Berkunjung.

Walaupun Indonesia saat itu belum terkena virus 2019-nCoV ini, Tapi
diseluruh negara sudah memberikan warning kemada pemerintahannya. Beda
dengan di negara Indonesia malah menyambut kedatangan turis china sebanyak 150
orang.

KOMPAS.COM: Duduk perkara gubernur SUMBAR sambut kedatangan


150 Turis China, Di protes hingga komentar wagub.

Kemudian, tidak berapa lama kemudian 2019-nCoV ini menyebar ke Indonesia.

Kasus penyebaran corona di Indonesia

Kasus pertama diumumkan langsung oleh presiden jokowi, pasie pertama


diketahui positif korona pada 2.maret 2020. pasien diketahui perempuan berusia 31
tahun warga depok, kemudian di isolasi di RS pusat Infeksi surya soroso.

Kasus kedua merupakan perempuan berusia 64 tahun merupakan ibu dari


pasien pertama.

Kemudian 6 maret, jubir pemerintah kembali mengungumkan 2 pasien


positif korona untuk mengetahui penyebaran virus Kementrian dan juga dinas
kesehatan ini beserta anggotanya kapolri dan BIN melakukan penelusuran melalui
dari identifikasi kasus pertama awalnya tim mendapatkan data bahwa 80 orang yang
berada diacara yang sama dengan pasien di kasus satu dengan dua ini diketahui
positif korona setelah di identifikasi dari 80 orang dikerucutkan lagi menjadi 20
orang kemudian dilakukan kembali pendalaman untuk mengetahui seberapa jauh
kontak dengan pasien awal, ada tressing kemudian di mapatkan lagi hingga 7 orang,
dan dari 7 orang tersebut ini dibawah ke RS SURYANTI SAROSO.

Kasus 1 dan 2 3 4 dan 5 mereka di observasi lebih jauh karena menunjukkan


gejala serupa influenza meski tidak ada yang menunjukkan influenza berat dan dari
sini di dapatkan lagi 2 orang yang positif korona. ahmad yurianto tidak
menyebutkan jenis kelamin pasien. Namun diketahui berusia 33 tahun.

Kasus ke 4 sama dengan kasus ke 3 jenis kelamintidak disebutkan, dan


berusia 34 tahun.

kasus ke 5 diumumkan pada 8 maret dimana pasien berjenis kelamin laki


laki berusia 55 tahun yang mana pasien ini merupakan hasil tressing juga dari kasus
awal, dan Ahmat Yurianto menyebut juga kasus ini sebagai bagian dari klaster
jakarta.

Kasus 06 pasien merupakan laki laki berusia 36 tahun yang tidak ada
kaitannya dengan tressing awal yangmerupakan ABK dari kapal pesiar diamond
princess.

Kembali lagi bertambah. Kasus 7 hingga kasus 19 dan bertambah hingga


saat ini.

KOMPAS TV : KASUS 2019-nCoV di Indonesia


2. KAJI MANAJEMEN PENANGANAN COVID-19

1. Masker Bedah (Medical/Surgical Mask)

Kegunaan: Melindungi pengguna dari partikel yang dibawa melalui udara (airborne
particle), droplet, cairan, virus atau bakteri. Material: Non woven spunbond
meltblown spunbond (sms) dan spunbond meltblown meltblown spunbond (smms).

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use).

Masker bedah tidak direkomendasikan untuk penanganan langsung pasien


terkonfirmasi Covid-19. t Masker dapat menahan dengan baik terhadap penetrasi
cairan, darah dan droplet. t Bagian dalam dan luar masker harus dapat
terindentifikasi dengan mudah dan jelas. t Penempatan masker pada wajah longgar
(loose fit) t Masker dirancang agar tidak rusak dengan mulut (misalnya berbentuk
mangkok atau duckbill).

Memiliki Efisiensi Penyaringan Bakteri (bacterial filtration efficiency) 98%. t


Dengan masker ini pengguna dapat bernafas dengan baik saat memakainya
(Differential Pressure/∆P < 5.0 mmH2O/ cm2). t Lulus uji Bacteria Filtration
Efficiency in vitro (BFE), Particle Filtration Efficiency, Breathing Resistance,
Splash Resistance, Dan Flammability.

2. Respirator N95

Kegunaan: Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan dengan menyaring atau


menahan cairan, darah, aerosol (partikel padat di udara), bakteri atau virus.

Material: Terbuat dari 4-5 lapisan (lapisan luar polypropilen, lapisan tengah
electrete (charged polypropylene).

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use)

Respirator yang dapat digunakan: N95 atau Filtering Face Piece (FFP2).

Penempatan pada wajah ketat (tight fit).


Masker dirancang untuk tidak dapat rusak dengan mulut (misalnya berbentuk
mangkok atau duckbill) dan memiliki bentuk yang tidak mudah rusak.

Memiliki efisiensi filtrasi yang baik dan mampu menyaring sedikitnya 95% partikel
kecil (0,3 micron).

Kemampuan filtrasi lebih baik dari masker bedah.

Direkomendasikan dalam penanganan langsung pasien terkonfirmasi Covid-19.

Dengan masker ini pengguna dapat bernafas dengan baik saat memakainya
(Differential Pressure/∆P < 5.0 mmH2O/ cm2).

Lulus uji Bacteria Filtration Efficiency in vitro (BFE), Particle Filtration Efficiency,
Breathing Resistance, Splash Resistance, dan Flammability.

3. Pelindung Mata (Goggles)

Kegunaan: Melindungi mata dan area di sekitar mata pengguna atau tenaga medis
dari percikan cairan atau darah atau droplet.

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use) atau dapat dipergunakan kembali
setelah dilakukan desinfeksi/dekontaminasi.

Material: Plastik/Arcylic bening.

tahan terhadap air dan goresan

bersifat fleksibel untuk menyesuaikan dengan kontur wajah tanpa tekanan yang
berlebihan.

dapat disesuaikan dengan kuat sehingga tidak longgar saat melakukan aktivitas
klinis.

Tersedia celah angin/ udara yang berfungsi untuk mengurangi uap air.

tidak diperbolehkan untuk dipergunakan kembali jika ada bagian yang rusak.

4. Pelindung Wajah (Face Shield)


Kegunaan: Melindungi mata dan wajah pengguna/tenaga medis (termasuk bagian
tepi wajah) dari percikan cairan atau darah atau droplet.

Material: Plastik bening yang dapat memberikan visibilitas yang baik bagi
pemakainya maupun pasien.

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use) atau dapat dipergunakan kembali
setelah dilakukan desinfeksi/dekontaminasi.

Face shield tahan terhadap uap air (disarankan).Ikatan face shield dapat disesuaikan
untuk melekat dengan kuat di sekeliling kepala dan pas pada dahi.

Face shield tidak diperbolehkan untuk dipergunakan kembali jika ada bagian yang
rusak.

5. Sarung Tangan Pemeriksaan (Examination Gloves)

Kegunaan: Melindungi tangan pengguna atau tenaga medis dari penyebaran infeksi
atau penyakit selama pelaksanaan pemeriksaan atau prosedur medis.

Material: Nitrile, latex, isoprene.

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use).

Non steril

Bebas dari tepung (powder free).

Memiliki cuff yang panjang melewati pergelangan tangan (minimum 230 mm,
ukuran S, M, L).

Desain bagian pergelangan tangan harus dapat menutup rapat tanpa kerutan.

Sarung tangan tidak boleh menggulung atau mengkerut selama penggunaan.

Sarung tangan tidak boleh mengiritasi kulit.

6. Sarung Tangan Bedah (Surgical Gloves)

Kegunaan: Melindungi tangan pengguna atau tenaga kesehatan dari penyebaran


infeksi atau penyakit dalam pelaksanaan tindakan bedah.
Material: Nitrile, latex, isoprene.

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use).

Steril.

Bebas dari tepung (powder free).

Memiliki cuff yang panjang, melewati pergelangan tangan, dengan ukuran antara
5-9.

Desain bagian pergelangan tangan harus dapat menutup rapat tanpa kerutan.

Sarung tangan tidak boleh menggulung atau mengkerut selama penggunaan.

Sarung tangan tidak boleh mengiritasi kulit.

7. Gaun Sekali Pakai

Kegunaan: Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan dari penyebaran infeksi


atau penyakit, hanya melindungi bagian depan, lengan dan setengah kaki.

Material: Non woven, Serat Sintetik (Polypropilen, polyester, polyetilen, dupont


tyvex).

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use).

Berwarna terang/cerah agar jika terdapat kontaminan dapat terdeteksi dengan


mudah.

Tahan terhadap penetrasi cairan darah dan cairan tubuh lainnya, virus.

Tahan terhadap aerosol, airborne, partikel padat.

Panjang gaun setengah betis untuk menutupi bagian atas sepatu boots.

Terdapat lingkaran (cuff) yang elastis pada pergelangan tangan.

Lulus uji fluid penetration resistant atau blood borne pathogens penetration resistant
dan partial body protection.

8. Coverall Medis
Kegunaan: Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan dari penyebaran infeksi
atau penyakit secara menyeluruh dimana seluruh tubuh termasuk kepala, punggung,
dan tungkai bawah tertutup.

Material: Non woven, Serat Sintetik (Polypropilen, polyester, polyetilen, dupont


tyvex) dengan pori-pori 0.2-0.54 mikron (microphorous).

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use).

Berwarna terang/ cerah agar jika terdapat kontaminan dapat terdeteksi/ terlihat
dengan mudah.

Tahan terhadap penetrasi cairan, darah, virus.

Tahan terhadap aerosol, airborne, partikel padat.

9. Heavy Duty Apron

Kegunaan: Melindungi pengguna atau tenaga kesehatan terhadap penyebaran


infeksi atau penyakit.

Material: 100% polyester dengan lapisan PVC, atau 100% PVC, atau 100% karet,
atau bahan tahan air lainnya.

Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use) atau dapat dipergunakan kembali
setelah dilakukan desinfeksi atau dekontaminasi.

Apron lurus dengan kain penutup dada.

Kain: tahan air, dengan jahitan tali pengikat leher dan punggung.

Berat minimal: 300g/m2.

Covering size: lebar 70-90 cm x tinggi 120-150 cm.

10. Sepatu Boot Anti Air (Waterproof Boots)

Penutup Sepatu (Shoe Cover)

Kegunaan: Melindungi kaki pengguna/tenaga kesehatan dari percikan cairan atau


darah.
Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single Use) atau dapat dipergunakan kembali
setelah dilakukan desinfeksi atau dekontaminasi.

Material: Latex dan PVC.

Bersifat non-slip, dengan sol PVC yang tertutup sempurna.

Memiliki tinggi selutut supaya lebih tinggi daripada bagian bawah gaun.

Berwarna terang agar kontaminasi dapat terdeteksi dengan mudah.

Sepatu boot tidak boleh dipergunakan kembali jika ada bagian yang rusak.

Kegunaan: Melindungi sepatu pengguna/tenaga kesehatan dari percikan


cairan/darah.

Material: Non Woven Spun Bond. Frekuensi penggunaan: Sekali pakai (Single
Use).

Tidak boleh mudah bergerak saat telah terpasang.

Disarankan tahan air

Strategi Penanggulangan Covid-19 di Indonesia Rabu 8 April 2020 17:00


WIB Ilustrasi virus corona. (NU Online) Oleh Syahrizal Syarif Situasi wabah
Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) di Indonesia semakin mengkhawatirkan,
kasus baru terus meningkat, total kasus konfirmasi sudah melewati angka psikologis
hampir 3.000 (2.956 dengan 222 pasien sembuh dan 240 kematian pada 8 April
2020) meliputi 30 provinsi.

Hanya soal waktu, kasus Covid-19 akan dilaporkan di provinsi lainnya.


Gugus Percepatan Penanggulangan Covid-19 sudah dibentuk, tim pakar
pendamping sudah memberi masukan, strategi utama Social Distancing sudah
diterapkan, desentralisasi laboratorium sudah dijalankan, begitu juga obat sudah
dibeli, rapid test bahkan sudah diujikan. Rumah sakit khusus Covid-19 di
Kemayoran sudah berfungsi, sebentar lagi di Pulau Galang.
Prediksi perkembangan kasus sudah beredar dari pakar perguruan tinggi
terkenal. Kapan puncak kasus harian tertinggi disajikan, berapa jumlah kasus yang
akan ditemukan juga tersaji bahkan berapa kemungkinan jumlah kematian akibat
Covid-19 disampaikan. Tentu sangat menakutkan melihat angka-angkanya,
lengkap dengan skenario pesimis dan optimis. Apa pun skenarionya, pesannya satu,
tempat tidur di rumah sakit yang ada tidak akan cukup menampung mereka yang
membutuhkan.

Angka kasus konfirmasi pada jumlah yang sulit dipercaya, semua


tergantung pada asumsi yang digunakan. Lalu apa strategi yang patut dijalankan.
Sementara hiruk-pikuknya adalah laporan pembubaran kerumunan, simulasi
penutupan arus kendaraan, rencana penutupan jabodetabek, penyemprotan
disinfektan, pelarangan mudik, sampai denda buat pelanggar karantina.

Strategi yang perlu dipertimbangkan adalah strategi yang kemudian diikuti


langkah operasional yang mampu memberi dampak bermakna pada pencegahan
penularan, mampu mengatasi kekurangan kebutuhan fasilitas kesehatan, mampu
mengurangi dampak sosial-ekonomi yang terjadi, dan berdasarkan pada sistem dan
sumber daya yang ada. Usulan strategi disampaikan tanpa uraian panjang, berupa
pokok gagasan saja.

Sebab itu, saya mengusulkan beberapa strategi penanggulangan Covid-19


sebagai berikut:

a. Strategi 1 Penanganan penanggulangan berbasis kabupaten/kota.


Keberhasilan penanggulangan Covid-19 sangat tergantung pada manajemen
kendali di tingkat kabupaten/kota. Sumber daya dan rentang kendali manajemen
memungkinkan. Saat ini tampak peran Gubernur, terutama di Jawa sangat kentara.

b. Strategi 2 Penyediaan tiga jenis fasilitas dengan kebutuhan berbeda.


Pertama, pusat karantina untuk merawat ODP dan PDP. Kedua, rumah sakit khusus
Covid-19 untuk merawat kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan sedang. Ketiga,
penyediaan rumah sakit rujukan untuk kasus konfirmasi dengan gejala klinis serius
atau berat. Pusat karantina dapat dibangun dari pemanfaatan berbagai fasilitas yang
ada.

c. Strategi 3 Penemuan atau deteksi kasus sedini mungkin dengan rapid test
pada orang dengan suhu lebih atau sama dengan 38 derajat celsius, OTG, ODP, dan
PDP serta perluasan pemeriksaan diagnostik. Pembiayaan tidak boleh menjadi
hambatan.

d. Strategi 4 Di bawah kendali manajemen kabupaten/kota dibentuk Desa


Siaga Covid-19. Untuk wilayah perkotaan dapat di bentuk RT siaga covid-19.
Satuan tugas tingkat desa ini membutuhkan tenaga pendukung dapat dengan
memanfaatkan para kader atau tenaga relawan. Fungsi terpenting adalah memantau
status demam harian warga, memberi arahan istirahat di rumah, memantau
pergerakan warga, membantu proses diagnostik dini, membantu proses rujukan dan
memantau status suhu OTG yang berasal dari daerah tertular. Proses pemantauan
dapat memanfaatkan kemajuan internet atau menggunakan instrumen sederhana
berupa simbol status kesehatan.

Penerapan strategi di atas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari


langkah pembatasan mobilitas umum dan strategi lainnya yang sudah dijalankan
termasuk tata kelola sumber daya, logistik, tata kelola relawan medis dan non-medis.
Patut dipertimbangkan apapun langkah strategis yang diambil di hari-hari
mendatang, termasuk opsi karantina wilayah, hendaknya mampu meminimalkan
dampak sosial ekonomi masyarakat yang sudah menderita akibat kehilangan mata
pencaharian. Bahkan bagi mereka ancaman kematian Covid-19 tidak lebih
menakutkan dibanding dengan tidak adanya uang untuk makan bagi anak-anaknya
pada hari itu. Penerapan kendali manajemen yang baik di tingkat pusat, provinsi
dan kabupaten, serta didukung organisasi masyarakat dengan segala potensi
kerelawanannya diharapkan Indonesia mampu melewati masa sulit ini.

Pada Desember 2019, Komisi Kesehatan Masyarakat Wuhan melaporkan


sebuah wabah penyakit yang mirip pneumonia dan baru diketahui penyebabnya
adalah virus corona jenis baru/ Novel Corona Virus. Sejak itu, kasus pertama mulai
ditemukan di luar China, diantaranya Thailand (13 Januari 2020), Jepang (16
Januari 2020), Korea Selatan dan Taiwan (20 Januari 2020). Indonesia mulai
terjangkit COVID-19 sejak 2 Maret 2020 dan jumlah kasus terus meningkat. Kepala
BNPB kemudian memutuskan perpanjangan status keadaan tertentu darurat
bencana wabah penyakit akibat virus corona di Indonesia hingga 29 Mei 2020.

Hal ini mengingatkan kita pada pandemi SARS 2020 lalu. Seluruh daerah
di Indonesia siap siaga, beberapa telah berkoordinasi dengan Gugus Tugas Nasional
Percepatan Penanganan COVID-19 dan menetapkan status tanggap darurat. Situasi
ini jelas bukan situasi normal, sistem kesehatan sudah terganggu fungsinya
sehingga penanganan bencana dan krisis kesehatan (pandemi: salah satu bencana
non alam) harus dilakukan.

Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK dan Pokja Bencana FK -


KMK UGM selama ini selalu terlibat dalam situasi bencana dan krisis kesehatan
yang terjadi di Indonesia. Untuk itu, melalui laman Update Manajemen COVID-19
ini kami hadir untuk berbagi kegiatan, pengetahuan, dan pendampingan untuk
masyarakat, terutama untuk daerah dalam hal ini pemerintah daerah, dinas
kesehatan, puskesmas, rumah sakit, tenaga kesehatan, termasuk juga fakultas
kedokteran dan kesehatan untuk bersama-sama menguatkan sistem kesehatan baik
nasional maupun daerah masing-masing.

Update manajemen COVID-19 adalah upaya untuk mendapingi pihak -


pihak terkait termasuk masyarakat dalam penanganan COVID-19. Fungsi
manajemen penanganan COVID-19 mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
aktivitas dan pengawasan. Menu yang ada di laman ini adalah aturan kebijakan,
media promosi, laporan kegiatan, infografis, jurnal, hasil webinar dan rekomendasi.
Silakan juga memberikan pertanyaan pada link yang sudah kami sediakan.

Kebijakan terkait COVID-19 berisi rangkaian konsep dan asas yang


menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan penanganan COVID-19
nasional dan daerah. Kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah yang berlaku
secara nasional. Selanjutnya pemerintah daerah menurunkan aturan tersebut
menjadi surat keputusan atau surat edaran gubernur di daerah masing - masing.
Kebijakan yang dikeluarkan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang baru dampak dari COVID-19.
Kebijakan COVID-19 sudah dikembangkan sejak Januari 2020 dimulai dengan
adanya buku pedoman tentang kesiapsiagaan menghadapi infeksi Novel
Coronavirus (2019-nCoV) yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI.

Laman ini bertujuan untuk mengumpulkan aturan - aturan di tingkat


nasional, daerah (DIY), dan UGM sehingga mudah untuk ditemukan dan dibaca
berdasarkan tanggal penerbitan regulasi tersebut. Aturan di tingkat universitas
(UGM) harapannya dapat menjadi referensi bagi universitas - universitas lainnya di
seluruh Indonesia bagaimana merespon penanganan COVID-19 ini. Begitu juga
dengan aturan di tingkat DIY yang harapannya dapat menjadi referensi untuk
daerah lain.

Tentunya aturan ini menyesuaikan dengan kebutuhan masing - masing


daerah. Untuk itu kami membuka diskusi dan pertanyaan dari pembaca sekalian
melalui link yang telah disiapkan.
3. EFEKTIFITAS PSBB

PSBB adalah singkatan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar, peraturan


yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam rangka Percepatan
Penanganan COVID-19 agar bisa segera dilaksanakan di berbagai daerah. Aturan
PSBB tercatat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi dalam


keterangan tertulisnya mengatakan PSBB melingkupi pembatasan sejumlah
kegiatan penduduk tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-
19.

“Pembatasan tersebut meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja,


pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas
umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan
pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan," kata
dia.

Kriteria wilayah yang menerapkan PSBB adalah memiliki peningkatan


jumlah kasus dan kematian akibat penyakit COVID-19 secara signifikan dan cepat
serta memiliki kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara
lain.

Bagaimana Pelaksanaan PSBB?

PSBB dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang dan dapat


diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran. Permenkes itu menjelaskan,
sekolah dan tempat kerja diliburkan kecuali kantor atau instansi strategis yang
memberikan pelayanan terkait:

1. pertahanan dan keamanan

2. ketertiban umum

3. kebutuhan pangan

4. bahan bakar minyak dan gas


5. pelayanan kesehatan

6. perekonomian

7. keuangan

8. komunikasi

9. industri

10. ekspor dan impor

11. distribusi logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.

Pada pembatasan kegiatan keagamaan, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan


keagamaan yang dilakukan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas, dengan
menjaga jarak setiap orang. Di luar itu, kegiatan keagamaan dilakukan dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan, dan fatwa atau pandangan
lembaga keagamaan resmi yang diakui oleh pemerintah

Untuk pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum dilaksanakan


dalam bentuk pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak orang. Kegiatan
tersebut terkecuali bagi:

1. supermarket, minimarket, pasar, toko atau tempat penjualan obat-obatan


dan peralatan medis kebutuhan pangan, barang kebutuhan pokok, barang
penting, bahan bakar minyak gas dan energi.

2. fasilitas pelayanan kesehatan atau fasilitas lain dalam rangka pemenuhan


pelayanan kesehatan.

3. tempat atau fasilitas umum untuk pemenuhan kebutuhan dasar penduduk


lainnya termasuk kegiatan olahraga.

Kemudian pada pembatasan kegiatan sosial dan budaya dilaksanakan dalam


bentuk pelarangan kerumunan orang dalam kegiatan sosial dan budaya serta
berpedoman pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui pemerintah dan
peraturan perundang-undangan.
Pembatasan moda transportasi dikecualikan untuk:

1. moda transpotasi penumpang baik umum atau pribadi dengan


memperhatikan jumlah penumpang dan menjaga jarak antar penumpang

2. moda transpotasi barang dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan


dasar penduduk.

Pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan


keamanan dikecualikan untuk kegiatan aspek pertahanan dan keamanan dalam
rangka menegakkan kedaulatan negara, dan mempertahankan keutuhan wilayah,
dengan tetap memperhatikan pembatasan kerumunan orang serta berpedoman
kepada protokol dan peraturan perundang-undangan.

“Pemerintah Daerah dalam melaksanakan PSBB harus berkoordinasi


dengan instansi terkait termasuk aparat penegak hukum, pihak keamanan,
penanggung jawab fasilitas kesehatan, dan instansi logistik setempat," kata Oscar.

Beda PSBB, Karantina, dan Lockdown

Menurut Kemenkes PSBB sejatinya berbeda dengan karantina wilayah


(lockdown), di mana masyarakat tidak diperkenankan untuk beraktivitas di luar
rumah.

"Dalam tindakan karantina, penduduk atau masyarakat di rumah, wilayah


tertentu kawasan RT, RW, atau kawasan kelurahan, atau satu kabupaten, kota," ujar
Oscar.

"Dan masyarakat yang sedang di karantina di rumah sakit, tentu tidak boleh
keluar. Ini yang membedakannya dengan PSBB," kata Oscar melanjutkan.

Lebih lanjut, ia berharap pelaksanaan PSBB dapat memutus rantai


penularan dari hulunya.

"Pelaksanaan ini tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun


juga masyarakat, agar bisa terlaksana dengan baik," katanya, seperti dikutip Antara
News.
Meski berbeda dengan karantina, tetapi Oscar mengatakan PSBB bersifat
lebih ketat daripada imbauan jaga jarak social (social distancing).

"PSBB kita harapkan lebih ketat daripada social distancing. Sifatnya bukan
imbauan, tapi penguatan pengaturan kegiatan penduduk dan penegakan hukum,
tentunya dengan instansi berwenang sesuai UU yang berlaku," kata dia.

Oscar berharap pelaksanaan PSBB dapat memutus rantai penularan dari


hulunya, dan dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang. Namun, tak menutup
kemungkinan untuk diperpanjang dengan indikasi penyebaran yang tinggi.

"Dan tentunya pelaksanaan ini tak hanya menjadi tanggung jawab


pemerintah, namun juga masyarakat agar bisa terlaksana dengan baik,"
pungkasnya.

PSBB itu sendiri merupakan singkatan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar yang
dianggap mampu mempercepat penanggulangan sekaligus mencegah penyebaran
corona yang semakin meluas di Indonesia.

Dilansir dari okezone.com, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menekan


Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka
percepatan penanganan coronavirus disease (Covid-19) pada 31 Maret 2020 lalu.

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto juga turut
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020, yang
mengatur sekaligus merincikan PP Nomor 21 Tahun 2020. PMK tersebut telah
ditetapkan oleh Menkes pada Jumat, 3 April 2020.

Sedangkan untuk penerapan dari PSBB itu sendiri, di Kota Jakarta rencananya akan
dimulai efektif pada hari Jumat, 10 April 2020. Lantas sebenarnya apa itu PSBB
dan apa fungsinya? Bagi yang belum tahu, yuk disimak saja penjelasannya berikut
ini.
Apa itu PSBB?

Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2020 Pasal 1, dijelaskan bahwa


Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan pembatasan kegiatan tertentu dalam
suatu wilayah yang diduga terinfeksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

PSBB itu sendiri merupakan salah satu strategi pemerintah dalam mencegah
kemungkinan penyebaran virus corona, yang mana juga telah tertuang di dalam
aturan PMK Nomor 9 Tahun 2020.

Tertulis pula di dalam aturan PMK Nomor 9 Tahun 2020 pasal 2, bahwa untuk
dapat ditetapkan sebagai PSBB, maka suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota harus
memenuhi dua kriteria. Pertama, yaitu jumlah kasus atau kematian akibat penyakit
meningkat dan menyebar secara signifikan secara cepat ke beberapa wilayah.

Sementara kriteria kedua adalah bahwa wilayah yang terdapat penyakit juga
memiliki kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa yang terdapat di wilayah
atau negara lain. Dari kedua kriteria itulah pada nantinya Menkes dapat menentukan
apakah wilayah atau daerah tersebut layak untuk diterapkan PSBB atau tidak.

Namun, para kepala daerah juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan
PSBB yang didasari oleh data kasus Covid-19 yang terjadi di daerahnya masing-
masing. Apabila suatu wilayah telah disetujui oleh Menkes, maka PSBB akan
diberlakukan selama masa inkubasi terpanjang, yaitu 14 hari.

Namun, apabila setelah 14 hari tersebut masih terlihat adanya penyebaran, seperti
ditemukannya kasus baru, maka masa PSBB akan diperpanjang selama 14 hari
kedepan hingga kasus terakhir ditemukan.

Apa Saja yang Dibatasi dalam PSBB?

Dengan diterapkannya PSBB, khususnya di Ibu Kota Jakarta, diharapkan hal ini
dapat mencegah sekaligus memperlambat penyebaran virus corona di seluruh
wilayah di Indonesia. Berbeda dengan himbauan social distancing, PSBB dapat
dikatakan menerapkan peraturan yang jauh lebih ketat untuk masyarakatnya.

Nah, bagi yang belum tahu, terdapat beberapa hal yang dibatasi selama PSBB ini
berlangsung, diantaranya adalah:

1. Aktivitas di Sekolah dan Tempat Kerja

Membatasi aktivitas sekolah dan tempat kerja masuk ke dalam hal yang harus
diperhatikan selama PSBB berlangsung, kecuali kantor atau instansi strategi yang
memberikan pelayanan ketahanan atau keamanan, ketertiban umum, kebutuhan
pangan, bahan bakar minyak atau gas, kesehatan, perekonomian, keuangan, dan
kebutuhan dasar lainnya.
2. Kegiatan Keagamaan

Selanjutnya, masyarakat juga dihimbau untuk sementara waktu tidak melakukan


aktivitas di luar rumah yang berkemungkinan untuk berkontak dengan sekumpulan
orang dalam jumlah banyak. Selain itu, kegiatan keagamaan juga harus berpedoman
pada peraturan perundang-undangan serta fatwa atau pandangan lembaga
keagamaan resmi yang diakui oleh pemerintah.

3. Kegiatan di Tempat atau Fasilitas Umum


Selama PSBB, kegiatan yang diselenggarakan di tempat atau fasilitas umum harus
dilaksanakan dalam bentuk pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak
atau physical distancing.

Namun, pembatasan ini tidak berlaku untuk supermarket, minimarket, pasar, toko,
atau tempat penjualan obat dan peralatan medis, kebutuhan pangan, barang
kebutuhan pokok, bahan bakar minyak dan gas serta energi.

Selain itu, fasilitas pelayanan kesehatan dan tempat kegiatan olahraga juga masuk
ke dalam daftar yang dikecualikan.

4. Kegiatan Sosial dan Budaya

Sama halnya dengan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan
sosial dan budaya juga harus diadakan dalam bentuk pelarangan kerumunan orang.
Larangan ini juga berpedoman pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui
pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
5. Operasional Transportasi Umum

Selama masa PSBB, transportasi umum masih beroperasi seperti biasa. Hanya saja,
pembatasan dilakukan dengan memperhatikan jumlah penumpang yang naik serta
menjaga jarak antar penumpang.

Tidak hanya itu, moda transportasi barang yang beroperasi untuk memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat juga dikecualikan.

Fungsi PSBB di Indonesia

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi virus corona
Covid-19 di Indonesia, maka terhitung mulai dari hari Jumat, 10 April 2020,
pemerintah mulai memberlakukan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Kebijakan ini tentu tak dibuat tanpa adanya alasan yang jelas. Dilansir dari
detik.com, nyatanya terdapat fungsi PSBB yang diperkirakan mampu memberikan
dampak yang cukup signifikan terhadap penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah mengungkapkan bahwa terdapat


banyak sekali fungsi PSBB yang akan kita dapatkan sebagai masyarakat,
diantaranya seperti mencegah terjadinya perkumpulan orang, baik dalam jumlah
kecil hingga jumlah besar, dan menekan penyebaran virus corona itu sendiri di
kalangan masyarakat.

Dengan adanya PSBB, diharapkan hal ini mampu melindungi orang-orang dari
penularan Covid-19 hingga kasus terakhir. Namun, tentu saja tidak ada kebijakan
yang berhasil tanpa adanya kerjasama dari masyarakatnya itu sendiri.

https://www.cekaja.com/info/mulai-diterapkan-di-indonesia-apa-itu-psbb-dan-
apa-fungsinya/

Tiga salah kaprah penerapan PSBB di Indonesia dan solusinya

Febi Dwirahmadi, Griffith University

April 23, 2020 3.30pm WIB

Untuk mencegah laju penyebaran COVID-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya


memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 31
Maret 2020, hampir sebulan sejak kasus COVID-19 pertama kali ditemukan di
Indonesia.

PSBB atau bisa diartikan sebagai lockdown parsial merupakan salah satu intervensi
yang dilakukan pemerintah setelah sebelumnya mengimbau masyarakat untuk
menjaga jarak (physical distancing). Kebijakan ini membatasi mobilitas
masyarakat, salah satunya dengan menutup sekolah-sekolah dan kantor-kantor,
guna memutus rantai penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19.

Saat ini, COVID-19 sudah menyebar ke seluruh 34 provinsi di Indonesia. Hingga


23 April, jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 bertambah menjadi [7.418 kasus
dan 635 meninggal (https://www.covid19.go.id/)

Tim ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia


memperkirakan jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 bisa menyentuh 2,5 juta
orang dengan jumlah korban mencapai 240.244 jiwa.
Namun hingga saat ini baru 18 provinsi yang mendapatkan izin dari pemerintah
pusat untuk menerapkan PSBB.

Selain itu, banyak daerah yang menunjukkan penerapan yang tidak efektif.
Beberapa ruas jalan di Jakarta masih macet meski penerapan PSBB sudah
memasuki minggu kedua.

Sebagai ahli kesehatan masyarakat, saya melihat pelaksanaan PSBB ini di


Indonesia memiliki setidaknya tiga masalah dan berikut solusinya:

1. Proses birokrasi yang rumit


Semua bermula dari proses penetapan PSBB di daerah-daerah yang harus
mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan.

Untuk mendapatkan persetujuan, setiap pemerintah daerah harus memenuhi


beberapa persyaratan, di antaranya jumlah kasus yang memadai dan penyebaran
kasus yang cepat dan kejadian penularan virus lokal di wilayah tersebut. Meski
dalam persyaratan tersebut, tidak disebutkan dengan jelas parameternya.

Akibatnya beberapa daerah seperti Fakfak dan Sorong di Papua Barat, Mimika di
Papua, Tegal di Jawa Timur, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, dan Rote Ndao
di Nusa Tenggara Timur telah mendapatkan penolakan atas permohonan mereka
untuk menerapkan PSBB di daerah mereka.
Penduduk pemukiman kumuh di
Jakarta sedang mengantre untuk mendapatkan bantuan makan siang gratis di masa
pandemi. Mast Irham/EPA

Pemerintah pusat berargumen bahwa persetujuan dari pusat penting agar tindakan
yang dilakukan oleh pusat dan daerah dalam menangani penularan COVID-19
selaras dan efektif.

Namun dengan proses birokrasi yang cukup memakan waktu, saya ragu niat baik
tersebut akan terwujud.

Bahkan setelah mendapat persetujuan, pemerintah daerah belum otomatis dapat


menerapkan PSBB secara langsung. Mereka harus menyiapkan diri untuk
menyebar informasi tentang pemberlakuan PSBB di daerahnya kepada masyarakat.

Waktu adalah segalanya dalam aksi pencegahan COVID-19. Keterlambatan


keputusan yang diambil pemerintah dapat berakibat fatal karena memberikan
kesempatan untuk virus menyebar semakin besar. Hal seperti ini terjadi
di Iran dan Amerika Serikat.

Untuk memangkas birokrasi, pemerintah bisa saja menerapkan PSBB secara


serentak dilakukan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali
atau lockdown total.

Hal tersebut sudah secara terbukti secara efektif di Australia. Pemerintah Australia
telah menerapkan pembatasan sosial secara serentak di seluruh negara bagian.
Namun penerapan di tiap negara bagian berbeda tergantung pada tingkat besaran
kasus dan kesiapan daerah tersebut dalam memberikan dukungan kepada
masyarakat. Misalnya, penerapan lockdown di negara bagian New South Wales
lebih ketat karena daerah tersebut memiliki jumlah kasus terbanyak di Australia,
mencapai sekitar 44% dari total kasus COVID-19 di Australia. Orang yang
melanggar harus membayar denda A$11.000 atau Rp107 juta atau menghadapi
tuntutan penjara selama enam bulan.

2. Tanpa disertai basis riset


Penerapan PSBB di Indonesia bermasalah karena tidak dilandasi dengan basis data
dan riset.

Belajar dari beberapa negara yang sampai saat ini cukup sukses dalam menghambat
laju penyebaran COVID-19, mereka selalu menggunakan basis data dan riset dalam
melakukan pembatasan mobilitas masyarakat.

Dalam laman resmi pemerintah Australia untuk COVID-19, mereka menyertakan


hasil riset terkait dengan kesiapan fasilitas kesehatan ketika lockdown diterapkan.
Riset tersebut untuk mempersiapkan rumah-rumah sakit terhadap kemungkinan
jumlah pasien kritis yang membludak selama lockdown.

Sampai saat ini, pemerintah belum memiliki perhitungan seperti ini. Untuk itu,
pemerintah harus lebih melibatkan peneliti dan ilmuwan untuk memastikan bahwa
kebijakan PSBB yang diterapkan benar-benar efektif.

Taiwan adalah contoh sukses yang lain. Walaupun hanya berjarak 150 kilometer
dari asal virus berasal yaitu Cina, Taiwan hanya membukukan 426 kasus dan 6
kematian. Salah satu pilar kesuksesan Taiwan dalam penanganan COVID-19
adalah kemampuan mereka untuk menghasilkan kebijakan yang berbasis data dan
informasi.
3. Bahasa yang rumit
Cara pemerintah dalam mengkomunikasikan pandemi COVID-19 ke masyarakat
banyak menuai kritik. Beberapa ahli menilai bahasa yang digunakan
pemerintah terlalu rumit dan tidak mudah dipahami oleh kebanyakan masyarakat.

Keberhasilan berkomunikasi dengan masyarakat selama merupakan kunci


keberhasilan upaya pemerintah dalam menanggulangi laju penyebaran COVID-19.
Jika masyarakat tidak mengerti pentingnya penerapan PSBB, bagaimana mereka
bisa memahami pentingnya mematuhi anjuran pemerintah untuk membatasi gerak
mereka.

Banyaknya pelanggaran yang terjadi selama PSBB ini kemungkinan besar berasal
dari ketidakpahaman masyarakat selain juga pengawasan yang kurang efektif.

Polisi mencatat bahwa terjadi 18.974 pelanggaran dalam sepekan setelah


pemberlakuan PSBB di Jakarta.

Hasil penelitian yang dilakukan paska pandemi H1N1 pada tahun


2009 menunjukkan bahwa masyarakat dapat secara sukarela menjalankan arahan
dari pemerintah ketika mereka memahami dengan baik apa dampak dari kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah.

Untuk memperbaiki gaya komunikasi pemerintah, Indonesia bisa belajar dari


Selandia Baru. Perdana Mentri Jacinda Ardern menggunakan bahasa yang
sederhana, bahkan dalam siaran persnya, untuk menjelaskan skenario yang dipilih
negara tersebut dalam menerapkan lockdown total. Penanganan COVID-19 di
Selandia Baru banyak menuai pujian.
Polisi berjaga sewaktu
pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Cimahi Bandung, Jawa
Barat. Algi Febri Sugita / SOPA Images/Sipa USA

Dalam membangun sistem pengawasan yang efektif, pemerintah perlu membangun


kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat.

Keterlibatan dan kepatuhan warga sangat menentukan tingkat kesuksesan


pembatasan sosial dalam menekan laju persebaran COVID-19. Sebuah penelitian
di Australia menunjukkan penerapan lockdown di negara tersebut bisa efektif jika
melibatkan 80% penduduk selama 13 minggu.

Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaan PSBB termasuk dalam
aspek pengawasannya.

Di negara bagian Queensland, Australia, masyarakat dapat melaporkan melalui


aplikasi apabila mereka menyaksikan ada warga atau pelaku bisnis yang melanggar
peraturan yang telah diberlakukan.
PSBB Dinilai Tak Efektif Putus Mata Rantai Penyebaran Covid-19

Merdeka.com - Anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)


Hermawan Saputra menilai penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
tak efektif memutus mata rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19. Ada
sejumlah faktor yang menyebabkan kebijakan tersebut belum memberikan
dampak signifikan pada penanganan virus mematikan itu.
Pertama, penerapan PSBB tidak dilakukan secara serentak. Baik di Ibu Kota
DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan wilayah lainnya.

"Penyangga ini kan baru PSBB seminggu setelah Jakarta. Jadi Jakarta bergerak
sendiri," kata Hermawan saat dihubungi merdeka.com, Rabu (22/4).

Kedua, kebijakan kepala daerah dalam menjalankan PSBB berbeda-beda.


Akibatnya, koordinasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya belum optimal.

"Belum lagi hubungan dengan pemerintah pusat terutama dengan Menhub yang
tak kunjung menyetop alat transportasi dan lain-lain. Nah itu semua menyebabkan
efektivitas PSBB itu belum terbukti karena intervensinya sangat longgar sekali,"
sambungnya.
1 dari 2 halaman

Terpisah, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus


Radiansyah menilai, PSBB memang tidak efektif untuk memutus mata rantai
penyebaran Covid-19. Penyebabnya, pemerintah tidak tegas memberikan sanksi
kepada perusahaan yang tidak mengikuti aturan PSBB. Sehingga masih banyak
perusahaan di sektor industri yang beraktivitas normal.

"Sektor industri masih beraktivitas normal, kantor-kantor masih buka, industri-


industri manufaktur itu hampir semua karyawan buruhnya tinggal di wilayah
penyangga DKI. Jarang mereka tinggal di dekat pabrik," jelasnya.

Lantaran perusahaan masih beroperasi seperti biasa, karyawan terpaksa bekerja.


Mereka akhirnya harus berangkat kerja menggunakan transportasi umum seperti
KRL.

"Karena itu, transportasi masih berjubel-jubel, masih padat. KRL itu baik yang
berasal dari Bogor, Depok, Cikarang, masih. Terus KRL yang dari Serang apalagi
karena di sana belum PSBB juga. Jadi pada akhirnya apa yang diharapkan kita
sosial distancing, physical distancing, itu tidak banyak berpengaruh, tidak berjalan
dengan baik," ujarnya.

2 dari 2 halaman

Selain tidak adanya sanksi tegas, ego sektoral kementerian dan lembaga
pemerintah menjadi penyebab PSBB tak berjalan semestinya. Misalnya,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian
Perindustrian. Ketiga lembaga tersebut masing-masing mengeluarkan aturan yang
saling bertentangan.
"Antar kementerian sendiri di pusat enggak satu suara, enggak kompak, enggak
solid, mereka ego sektoral masing-masing," ucapnya.

Pemerintah juga tidak memberikan sanksi kepada warga yang nekat mudik di
tengah wabah Covid-19. Padahal, mudik membuka peluang besar bagi penularan
virus asal Wuhan, China itu.

Berikutnya, masalah jaring pengaman sosial. Trubus menyebut, jaring pengaman


sosial seperti bansos, sembako hingga kartu pra kerja belum tepat sasaran.
Akibatnya, keluarga miskin kelaparan dan terpaksa melanggar aturan PSBB.

Bila serius ingin memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Trubus menyarankan
pemerintah melakukan lockdown terbatas di wilayah yang sudah tercatat sebagai
zona merah. Misalnya DKI Jakarta.

Meskipun pemerintah pusat menutup ruang lockdown, Gubernur DKI Jakarta bisa
mengambil kebijakan sendiri.

"Dengan kewenangan yang dimiliki Pemprov dalam hal ini Gubernur DKI itu bisa.
Dia lockdown wilayah, lockdown wilayah terbatas khusus DKI Jakarta. Saya kira
itu yang paling efektif," tutup Trubus. (mdk/fik)
Melihat Efektivitas Penerapan PSBB untuk Cegah Corona

Suasana di dalam gerbong KRL Bekasi Arah Jakarta. Foto: Dok. Vivi Anggraini

Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB ) telah diterapkan di daerah, termasuk


DKI Jakarta dan wilayah penyangganya (Bogor, Depok, Bekasi). Kebijakan ini
dibuat untuk meningkatkan populasi besar selama pandemi virus corona agar
tingkat penularan bisa berkurang.
Aturan ini juga mengklaim pemerintah sebagai jalan tengah dari desakan berbagai
pihak yang ingin Indonesia - ditetapkan ibu kota-- untuk dikunci . Namun, berkali-
kali Presiden Jokowi bersikukuh RI tak akan terkunci karena kultur Indonesia tak
bisa disamakan dengan negara lain.

Petugas kepolisian memperbarui identitas pengendara motor yang berpenumpang


saat menerapkan PSBB di Perbatasan Jakarta - Depok, Depok, Jawa Barat, Rabu
(15/4). Foto: ANTARA FOTO / Asprilla Dwi Adha

Selama PSBB, Pemda akan meliburkan sekolah, tempat kerja, dan beribadah di
rumah hingga mencapai operasional moda transportasi. Semua orang akan
menginap di rumah, dikirim ke luar kota.

Dalam survei yang dirilis SMRC pada Jumat (17/4), sebanyak 87,6 persen
masyarakat (1.200 responden) setuju PSBB diterapkan. Pertanyaannya,
berhasilkahkah PSBB di Indonesia? Apakah semua orang berhak mendapat hak
istimewa untuk tetap di rumah yang bisa mematuhinya?

Tak Bisa WFH, perusahaan tak terapkan protokol COVID-19


Ambil contoh Jakarta. Rupanya, masih ada perusahaan yang mengeluhkan tak
bisa bekerja dari rumah karena belum ada persetujuan dari perusahaan. Memang,
ada kontribusi sektor usaha yang diterbitkan, yaitu kesehatan, bahan pangan, energi,
komunikasi / teknologi, keuangan, logistik, hotel, konstruksi dan industri strategis.

Namun, berbagai perusahaan itu membuat protokol kesehatan dengan benar. Felix,
nama disamarkan-red, harus tetap masuk kantor sementara PSBB sudah berlaku.

Polisi melakukan imbauan kepada pengendara mobil untuk dapat mendukung


Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kawasan Menteng, Jakarta
(11/4). Foto: ANTARA FOTO / Nova Wahyudi
“Lampu Parahnya mau lobi itu dimatikan, semua jadi hitam, jadi kalau dari jalan
raya kelihatannya gelap, jadi jadi kantor itu tutup. Mungkin buat menghindari sidak
dari pemerintah kali, ya, ”kata Felix kepada kumparan.

Belum lagi yang dialami Marlia. Hingga saat ini, kantornya berfungsi seperti biasa,
bekerja di ruangan sempit berisi 13 orang sehingga tidak memungkinkan
untuk jarak fisik .

“Dengan jumlah karyawan 13 orang, luas ruangan kantor yang dibuat hanya sekitar
20-30 meter persegi, di mana karyawan satu dengan yang lain tidak dapat mencapai
jarak sesuai anjuran untuk jarak sosial ,” kata Marlia.

Masjid
di Bekasi meniadakan salat Jumat saat PSBB. Foto: Istimewa

Melihat masjid di Bekasi masih gelar salat berjemaah

PSBB Bekasi menyelesaikan soal kegiatan sementara di masjid, khusus salat


berjemaah dan salat Jumat, untuk menghindari virus corona. Salah satu masjid yang
meniadakan salat Jumat adalah masjid El-Muwahidin di Jalan RA Kartini, Bekasi
Timur, Kota Bekasi.
Menurut tukang ojek pangkalan dan marbut, masjid itu memang sudah satu bulan
meniadakan salat Jumat, memulihkan imbauan DKM dan MUI. Namun, salat zuhur
berjemaah tetap digelar, karena tak bisa membendung jemaah yang tiba-tiba datang
ke masjid. Meski demikian, pihak masjid tetap mengedepankan prinsip
menjaga jarak secara fisik .

Mudik belum dilarang, padahal sangat berbahaya

Survei SMRC menunjukkan 31 persen warga di Jakarta akan mudik


lebaran. Sementara itu, angkanya 11 persen dari jumlah penduduk, atau sebanyak
200 juta, ada 20 juta warga Indonesia yang ingin mudik lebaran pada bulan depan.

SMRC dikeluarkan agar pemerintah pusat tidak ragu untuk menambahkan mudik
lebaran. Sampai saat ini, Presiden Jokowi mengambil alih faktor ekonomi, sambil
tetap mengimbau untuk tidak mudik.

Padahal, memindahkan orang dari daerah ke daerah sangat berbahaya. Orang itu
bisa saja menjadi pembawa virus dan menulari kelompok rentan di kampung
halaman seperti orang tua dan orang yang mendukung penyerta.
"Maka harus ada usaha yang lebih baik untuk mencegah warga pulang kampung,
khusus warga di DKI," ujar Direktur SMRC, Sirojudin Abbas.

KRL masih disetujui dan disetujui

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama empat kepala daerah di Jabar dihadiri
agar operasional KRL disetop 14 hari untuk menggantikan penyebaran
corona. Sebab, percuma saja jika Pemda melakukan PSBB belum lengkap stasiun
penghubung Jakarta masih padat dan rawan penularan.

Meski Emil juga sempat ditolak, kemungkinan penyetopan KRL akan dilakukan
pada 18 April, sembari menanti PSBB diberlakukan di Tangerang Raya.

Namun, keinginan itu tidak dikabulkan. Kemenhub yang hadir sementara di bawah
komando Luhut Binsar memutuskan Budi Karya, memutuskan untuk tidak
membatalkan total KRL.

"Iya (tidak ditutup)," ujar juru bicara Kemenhub, Adita Irawati.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tanggal 9 April 2020


tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran
COVID-19.

Peraturan tersebut mengatur tiga hal, yaitu mengatur transportasi untuk seluruh
wilayah, mengendalikan transportasi pada wilayah yang berstatus PSBB, dan
mengendalikan transportasi untuk kegiatan mudik tahun 2020.

Diperlukan, pemerintah hanya menyetujui KRL, yaitu operasional pukul 06.00


WIB-18.00 dan kapasitas penumpang hanya 60 persen per gerbong.
Rangkaian Kereta MRT dan rangkaian kendaraan melintas di kawasan Fatmawati,
Jakarta Selatan. Foto: ANTARA FOTO / Sigid Kurniawan

Penumpang duduk di bangku yang memiliki stiker panduan antarpenumpang di


kereta gerbong MRT, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO / Aprillio Akbar

PSBBitkan tidak maksimal

Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Prof. Amin Soebandrio,


menilai masih banyak masyarakat yang mendukung dan berkegiatan di Jakarta
membuktikan penerapan PSBB masih belum maksimal. Padahal, beberapa
perusahaan sudah menyediakan untuk tutup.
"Ya, artinya dari sudut itu memang belum (maksimal) meminta masayarakat belum
sepenuhnya maksimal ya adalah banyak faktornya sih artinya mengapa masyarakat
masih datang dari luar Jakarta ke Jakarta pasti mereka masih ada pekerjaan, kalau
ada kerjaan mau perusahaan tutup," kata Amin .

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio seusai RDPU


dengan Komisi VII DPR, Senin (17/2). Foto: Rafyq Panjaitan / kumparan

Namun, Amin enggan menyalahkan warga Jakarta yang mau keluar karena harus
bekerja. Agar PSBB di Jakarta berjalan maksimal, Gugus Tugas COVID-19 harus
langsung masuk ke lapangan dan mendata perusahaan yang tidak menerima aturan
PSBB.

"Berharap yang bisa ditindak perusahaannya, jangan orangnya," ungkapnya.

Terkunci masih digaungkan

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, meragukan kebutuhan PSBB. Orang-
orang masih keluar-masuk Jabodetabek, banyak pula yang ke luar Jabodetabek dan
luar Pulau Jawa jadi semakin populer.
Menurut Refly, PSBB lemahnya terlihat dari akses keluar-masuk Jabodetabek yang
tak bisa ditutup. Karena menurut UU Kekarantinaan Kesehatan, PSBB hanya
membahas meliburkan sekolah dan tempat kerja, bukan menutup akses.

"Saya sejak awal meragukan efektifitas PSBB. Mengapa? Kan masyarakat di rumah
saja, tetapi butuh keluar cari makan, penghidupan, termasuk belanja ke pasar," ujar
Refly.

Refly
Harun pada acara Diskusi Kelompok Fokus (FGD) Konstitusi di Hotel Ashley,
Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan / kumparan

Untuk itu, Refly minta pemerintah segera menerapkan karantina wilayah atau
kuncian. Dengan kuncian, kebutuhan rakyat wajib pemerintah, seperti termaktub
dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Meminta tak ada lagi alasan bagi rakyat untuk
keluar rumah.

"Jika (menurut) saya (segera) terkunci, karena saya tidak hitung ekonomi dan
politiknya, yang saya hitung korban jiwa. Jika hitung politik dan ekonomi enggak
selesai-selesai, karena PSBB tidak tahu lama, lalu , dari tanggung sekalian
[kuncian], tapi tadi terima kasih makan, "ucapnya.
"Jadi, jika pemerintah tidak memenuhi kebutuhan pokok, mungkin kurung orang.
Jika penuh, kebutuhan pokok paling tidak (orang) di rumah masing-masing.
Masyarakat enggak akan marah (pengaduan di rumah) kalau dikasih makan,"
lanjutnya.

https://kumparan.com/kumparannews/melihat-efektivitas-penerapan-psbb-untuk-
cegah-corona-1tF9fTxlVsH
4. EFEKTIFITAS KARANTINA WILAYAH

Beberapa ahli menganalisis bahwa penyebaran Coronavirus Disease"


(Covid-19) akan terus berlanjut. Pandemi ini diperkirakan akan mencapai
puncaknya di Indonesia menjelang akhir April dan awal Mei nanti. Hal tersebut
disebabkan adanya budaya mudik atau pulang kampung besar-besaran. Untuk
mencegah dan memotong penyebaran virus ini, beberapa kepala daerah telah
mengimbau kepada para perantau di zona merah untuk menunda mudik dalam
waktu dekat.

Bahkan, beberapa daerah mengambil inisiatif dengan menerapkan "local


lockdown" dengan memasang barikade beton di akses pintu masuk daerah tersebut,
sehingga membatasi aktivitas keluar masuk daerah tersebut.

Sejatinya, dalam kajian hukum dan kebijakan di Indonesia, istilah lockdown tidak
ditemukan. Ketentuan yang paling mendekati dengan istilah ini dan telah eksis
adalah karantina. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan).

Dalam UU tersebut, local lockdown dapat diakomodasi dengan menerapkan


kebijakan "karantina wilayah". Yang dimaksud sebagai karantina wilayah adalah
pembatasan penduduk suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya
yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Karantina Wilayah

UU itu menyebutkan bahwa wewenang pelaksanaan karantina wilayah merupakan


kebijakan pemerintah pusat yang dilaksanakan lewat Pejabat Karantina Kesehatan,
Karantina Wilayah, dan Pembatasan Sosial berskala besar ditetapkan oleh Menteri.
Karantina Wilayah diselenggarakan dalam rangka melakukan tindakan mitigasi
risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Untuk melaksanakan karantina wilayah perlu mempertimbangkan beberapa hal,
seperti pertimbangan epidemiologis, ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya,
teknis operasional, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.

Pasal 53 UU tersebut menjelaskan bahwa karantina wilayah merupakan bagian


respons dari kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, diatur mengenai
pelaksanaan karantina wilayah bagi seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah
apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit
antaranggota masyarakat di wilayah tersebut.

Pasal 54 menguraikan bahwa Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan


penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan
karantina wilayah. Artinya, terdapat sosialisasi awal terlebih dahulu sebelum
dilaksanakan local lockdown. Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan
dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian yang berada
di luar wilayah karantina.

Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.
Jika selama masa karantina wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di
wilayah tersebut ada yang menderita penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang sedang terjadi, maka dilakukan tindakan isolasi dan segera dirujuk ke rumah
sakit.

Pasal 55 menyatakan bahwa selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup


dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat. Tanggung jawab pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dimaksud tersebut dilakukan
dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.
Peraturan Pelaksana yang Mendesak

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020
tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dikepalai oleh Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, langkah kebijakan
tersebut belum cukup. Mengenai hal ini, Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan
menyatakan, karantina wilayah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun sampai
saat ini, 30 Maret, belum ada peraturan pelaksana dari UU Kekarantinaan
Kesehatan ini.

Padahal, setidaknya telah ada 1285 orang telah terinfeksi dan 114 orang meninggal.
Sehingga Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana karantina wilayah
sangat mendesak untuk ditetapkan. Terlebih, salah salah satu spirit yang
ditanamkan dalam menghadapi wabah ini adalah alinea keempat UUD 1945 yang
menegaskan, tujuan didirikannya negara ini adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sehingga, perlindungan terhadap segenap bangsa menjadi hukum tertinggi, atau


dalam term hukum. Solus populi suprema lex. Walaupun beberapa daerah telah
memproklamasikan daerahnya menerapkan "lockdown", tetapi perlu adanya
kesatuan langkah yang jelas dalam melawan bencana ini. Agar kebijakan yang
dilaksanakan secara parsial oleh beberapa daerah tersebut tidak kontraproduktif.

Dalam membentuk Peraturan Pemerintah terkait hal ini, khususnya mengenai


karantina wilayah, perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, ketentuan
mengenai penetapan karantina wilayah harus mempertimbangkan karakteristik dan
kondisi wilayah sehingga tidak terjadi penyeragaman. Hal tersebut dapat dilakukan
melalui klusterisasi atau leveling. Sehingga, konsekuensi terhadap penutupan akses
dan kegiatan disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut.

Kedua, jaminan terhadap ketahanan kebutuhan dasar harus diperhatikan ketika


masa karantina wilayah, apalagi UU ini menghendaki bahwa tanggung jawab
pemenuhan kebutuhan dasar tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Kendatipun dapat juga melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait.

Ketiga, hak-hak kelompok rentan (vulnerable groups) seperti wanita, anak-anak,


masyarakat adat, lanjut usia, bahkan masyarakat miskin harus dipastikan.

Keempat, dalam pelaksanaan karantina wilayah perlu melibatkan pemerintah


daerah. Hal ini sebagai wujud pengakuan terhadap otonomi daerah.

Kelima, perlu adanya ketegasan mengenai ketentuan sanksi yang agar


menimbulkan efek jera. Sanksi dapat berupa sanksi administratif berbentuk denda.
Sanksi tersebut tidak hanya dapat menjerat perseorangan, bahkan korporasi dapat
dikenai sanksi tersebut yang berupa pencabutan izin usaha.

Muhammad Addi Fauzani peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia
Analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti Jakarta, Trubus Rahadiansyah,
mengatakan setiap daerah yang ingin menerapkan karantina wilayah atau lockdown
guna mencegah penyebaran COVID-19 perlu mempertimbangkan ketersediaan
anggaran dan logistik bagi masyarakat.

"Yang pertama adalah ketersediaan bahan dasar, kebutuhan dasar seperti sembako
itu logistiknya memang harus tersedia," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Menurut dia, logistik menjadi hal penting untuk disiapkan oleh pemerintah kepada
masyarakat. Hal itu terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketersediaan logistik dinilainya menjadi krusial mengingat kondisi saat ini bisa saja
orang panik sehingga memborong barang-barang atau kebutuhan pangan dan
sebagainya.

Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah atau pemangku kepentingan dalam hal ini
sangat penting guna mencegah kepanikan masyarakat saat situasi pandemi COVID-
19 belum reda.

Setelah logistik terpenuhi, Trubus mengingatkan daerah yang akan menerapkan


karantina wilayah mesti menyiapkan anggaran terutama bagi masyarakat
berpenghasilan rendah tadi.

"Anggarannya cukup tidak? Itu masalahnya. Karena masalah yang paling krusial
ini mereka yang masyarakat berpenghasilan rendah," ujarnya.

Pengajar di Universitas Trisakti tersebut mengingatkan agar pemerintah


memastikan melindungi masyarakat ekonomi lemah saat karantina wilayah
dilakukan. Proteksi itu bisa dengan mempercepat memberikan mereka Bantuan
Langsung Tunai (BLT) per jiwa atau bantuan jenis lainnya.
"Itu untuk menjaga agar mereka ini bisa melakukan physical distancing. Karena
yang penting itu kan physical distancing," ujarnya.

Secara umum, kata dia, karantina wilayah atau lockdown itu diperbolehkan
sepanjang pemerintah atau pengambil kebijakan melakukan kajian mengenai
dampak.

"Jadi dampaknya itu dampak sosial ekonomi yang paling diutamakan. Di situ
pemerintah daerah harus melihat sejauh mana dampak daripada karantina wilayah,"
katanya.
5. KESALAHAN MANAJEMEN PENANGANAN COVID-19

Lambatnya penanganan, prioritas yang salah tempat, dan ketidakpercayaan


terhadap transparansi data, telah membawa Indonesia menuju krisis sosio-ekonomi
dalam perang menghadapi wabah virus corona. Pada tahap awal penyebaran virus
corona, pemerintah Indonesia dinilai abai dalam melakukan tindakan preventif.
Pernyataan kontra-produktif dari pejabat dapat menjadi buktinya. Seperti klaim dari
Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto yang sempat mengatakan
pernyataan tak berdasar dengan menyebut masyarakat harus tenang karena infeksi
virus corona bisa sembuh sendiri.

Sana Jaffrey, sarjana nonresiden pada Program Asia di Carnegie


Endowment for International Peace menilai Indonesia telah melakukan blunder
dalam penanganan pandemi virus corona Covid-19. Dalam artikelnya yang
ditayangkan Carnegie Endowment, ia berkesimpulan bahwa Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menunda langkah-langkah pencegahan dan mengandalkan klaim yang
tidak terbukti bahwa cuaca tropis akan memperlambat transmisi di negara terpadat
keempat di dunia itu. Pertaruhan itu ternyata tidak membuahkan hasil. Indonesia
sekarang menghadapi sistem kesehatan yang runtuh, resesi ekonomi yang dapat
terhempas selama dua dekade, dan ancaman kerusuhan sosial yang kian meningkat.
“Tanpa perbaikan dalam penanganan kasus, negara tersebut akan membayar biaya
jangka panjang yang amat curam,” ujar Sana. Ia menganalisa, ada beberapa unsur
yang menjadikan pemerintah Indonesia gagap dalam menangani pandemi Covid-
19.

Unsur tersebut antara lain, sikap penolakan terhadap krisis, menutup-tutupi


data, terlalu melibatkan unsur militer, dan politisasi krisis.

1. Penolakan Terhadap Krisis


Ketika ilmuan dari Univeritas Harvard menyebut virus Corona
semestinya sudah memasuki Indonesia selambatnya pada Februari 2020,
Terawan malah terlihat tidak terlalu menanggapi. Tak lama setelah
pernyataan Terawan, Jokowi mengumumkan kasus pertama virus corona di
Indonesia yang menginfeksi dua warga Depok pada 2 Maret 2020.
Sebenarnya, menurut Sana, banyak pihak meragukan temuan itu benar-
benar kasus pertama. Jokowi mengesampingkan status lockdown, dengan
alasan ia mempelajari dampak ekonomi yang keras di negara-negara
berkembang lainnya seperti India, saat diberlakukan lockdown. Dengan
tidak adanya tindakan pengamanan yang ketat, kematian akibat virus corona
melonjak menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Pada 28 April, hitungan
resmi pemerintah dari kasus positif melampaui 9.500 setelah tes dilakukan
pada 62.000 orang, kurang dari 0,02 persen dari total populasi. Negara ini
telah mencatat 773 kematian, termasuk lebih dari 40 dokter dan perawat.
Pemerintah juga mengakui kehadiran lebih dari 213.000 kasus yang diduga
sedang menunggu untuk diuji. Krisis yang meningkat memicu deklarasi
darurat kesehatan nasional dan pengenaan langkah-langkah jarak sosial di
Jakarta dan daerah-daerah lain yang terkena dampak. Pembatasan nasional
untuk perjalanan komersial melalui udara, laut, dan darat sekarang berlaku.
Indonesia tidak mungkin bisa mencegah dampak dari virus corona sama
sekali. Terlepas dari status pendapatan menengahnya, kelompok ini
memiliki pengeluaran kesehatan per kapita terendah di antara ekonomi
regional utama. Namun, sebagai salah satu negara paling rawan bencana di
dunia, Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam memobilisasi respons
darurat lokal. Jauh dari sempurna, manajemen epidemi SARS (2003) di
masa lalu, tsunami Boxing Day (2004), dan wabah flu burung (2006)
setidaknya memiliki kompetensi minimal.

2. Menutupi data
Ketidakpedulian pemerintah yang mendalam terhadap data
menciptakan pilihan yang keliru: alih-alih mempersiapkan hal yang tak
terhindarkan, para pejabat mencari cara untuk menghindari tanggapan
wabah. Sementara para pejabat senior melontarkan teori-teori yang tidak
berdasar tentang dampak ringan dari virus dalam cuaca tropis, para dokter
memohon kepada Jokowi untuk mengabaikan saran yang salah dan para
ilmuwan mengeluh karena tidak diikutsertakan dalam proses tanggapan
pandemi pemerintah.
Jokowi telah membela tanggapan pemerintahannya dengan
mencatat ketidakmampuan para ilmuwan untuk memberikan prediksi pasti
tentang COVID-19. Namun, upaya pemerintah menahan data tentang
tingkat infeksi hanya menambah ketidakpastian ini, dengan konsekuensi
yang mematikan.
Dalam mengumpulkan data resmi, Departemen Kesehatan awalnya
bersikeras menghitung hanya tes reaksi berantai polimerase yang dilakukan
di satu fasilitas di Jakarta, mengabaikan lonjakan terduga kasus dan hasil
positif dari tes rapid antibodi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Tidak
yakin dengan angka resmi, para jurnalis mengumpulkan data dari
pemakaman, catatan medis, dan penghitungan para gubernur untuk
mengungkapkan lebih dari 2.200 pasien dalam pengawasan (PDP) telah
meninggal saat menunggu tes corona.
Jokowi mengakui pemerintahannya telah menyembunyikan data
untuk mencegah kepanikan massal. Lebih parah lagi, pemerintahannya
menggunakan data cacat ini untuk menunda intervensi kritis. Penundaan
waktu penerapan langkah-langkah untuk meningkatkan deteksi dengan
mendistribusikan peralatan pengujian baru ke laboratorium daerah telah
mengurangi efektivitasnya. Di tengah tingkat infeksi yang sudah tinggi,
pengujian mungkin tidak dapat membendung penularan, kecuali jika
dilengkapi dengan fasilitas isolasi massal untuk orang yang terinfeksi di
kota-kota padat penduduk, di mana masyarakat tinggal di satu hunian penuh
sesak dengan sejumlah besar anggota keluarga.
Upaya penahanan juga datang terlambat. Satuan tugas nasional
untuk mengoordinasikan respons pemerintah hanya dibentuk pada
pertengahan Maret setelah seruan langsung dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO). Deklarasi darurat kesehatan, yang memberikan dasar hukum
untuk tindakan menjaga jarak, butuh dua minggu tambahan. Relatif lemah
menurut standar global, pembatasan itu tidak melarang perjalanan domestik
masuk dan keluar dari daerah yang terkena dampak, meskipun ada
ketakutan yang luas akan penularan.
Para menteri bersikeras perkiraan resmi kematian yang rendah tidak
menjamin tindakan yang lebih keras bagi 270 juta orang penduduk.
Pemerintah akhirnya melarang sebagian besar perjalanan komersial pada 24
April dalam upaya untuk mencegah perjalanan mudik tahunan yang dilakoni
rata-rata 20 juta orang menjelang Idul Fitri, tetapi diperkirakan 1,6 juta telah
pulang kampung terlebih dahulu.
Selain keterlambatan, serangkaian tindakan penahanan yang
dikandung dengan buruk telah mempercepat krisis kesehatan dan dampak
ekonominya. Sejak awal, Jokowi ingin menghindari penguncian daerah
karena dampak ekonominya pada sektor informal, yang mencakup hampir
60 persen tenaga kerja Indonesia.
Namun, sarannya untuk bekerja dari rumah diadopsi di daerah
perkotaan oleh pekerja kerah putih, yang dilayani oleh tenaga kerja informal.
Tanpa sumber pendapatan utama atau bantuan pemerintah, para penjaja
makanan, tukang cukur, dan pengendara ojek motor online terpaksa kembali
ke kota asal mereka dan memaparkan potensi penularan virus terhadap
masyarakat di daerah.

3. Dominasi militer
Ketiga, dominasi militer dalam pengelolaan krisis kesehatan telah
menghasilkan kombinasi yang tidak dapat dipertahankan dari penegakan
hukum yang kacau dan kejam. Semua personel yang bertugas
mengoordinasi respon krisis adalah pensiunan perwira militer, termasuk
Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo,
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Achmad
Yurianto, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Agama
Fachrul Razi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Kepala
Staf Kepresidenan Moeldoko. Pemerintahan Jokowi peiode kedua memiliki
konsentrasi personel militer tertinggi dari kabinet mana pun sejak jatuhnya
kediktatoran militer Suharto pada 1998.
Krisis dalam skala ini di belahan dunia manapun akan membutuhkan
dukungan logistik dari militer. Namun, dominasi personel militer di pos-pos
sipil terkemuka telah mengamankan respons Indonesia terhadap COVID-19.
Awalnya Jokowi mempertimbangkan untuk menanggapi krisis kesehatan
dengan menyatakan darurat sipil, yang secara legal menjadi rencana
cadangan untuk memerangi pemberontakan dan perang saudara.
Penolakan dari kelompok masyarakat sipil mencegah langkah ini,
tetapi tak lama kemudian Kapolri Idham Aziz mengeluarkan instruksi untuk
menangkap orang-orang yang dituduh memicu penghinaan kepada presiden
dan para pejabat lainnya. Setidaknya 76 kritikus telah ditahan, termasuk
seorang peneliti yang menerbitkan artikel tentang kemungkinan kesalahan
dalam data COVID-19 pemerintah.
Fokus keamanan pemerintah juga mencegahnya memobilisasi
sumber-sumber otoritas sipil secara efektif. Seperti negara-negara Asia
lainnya, Indonesia memiliki struktur yang luas dari asosiasi lingkungan
yang mengumpulkan data kesehatan dan memastikan kepatuhan publik
terhadap upaya vaksinasi pemerintah dan program keluarga berencana. Para
pemimpin asosiasi itu juga berfungsi sebagai titik kontak pertama dalam
mengoordinasikan respons bencana pemerintah.
Alih-alih menyusun strategi nasional untuk menegakkan langkah-
langkah penahanan melalui kelompik-kelompok akar rumput tersebut,
pemerintah memerintahkan para pemimpin lokal untuk menggunakan
kebijaksanaan mereka dalam menanggapi krisis. Dengan tidak adanya
instruksi atau sumber daya yang jelas, intervensi di tingkat masyarakat pun
berantakan. Beberapa pemimpin daerah telah mengoordinasikan
pengiriman bantuan, sementara yang lain telah memberlakukan penguncian
lokal. Namun, semakin banyak yang menanggapi dengan mengusir staf
medis yang terpapar bersama dengan PDP sekaligus menolak pemakaman
korban COVID-19.
4. Politisasi krisis
Akhirnya, politisasi administrasi krisis kesehatan telah merusak
kemampuan untuk mengoordinasikan respons yang efektif dengan para
pemimpin daerah dan kelompok masyarakat sipil. Hal ini paling terlihat
dalam pertikaian yang sedang berlangsung antara pemerintah pusat dan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang menjadi saingan sengit
Jokowi pada Pilkada Jakarta 2017 setelah mengalahkan sekutunya mantan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait isu penistaan agama.
Terlepas dari kenyataan sekutu Anies para kelompok Islam telah
mendesak jamaah untuk membatalkan pertemuan keagamaan dan menunda
perjalanan, para pendukung Jokowi menuduh Anies bermain politik.
Faktanya, pemerintah pusat secara sistematis merusak upaya Anies untuk
mengelola krisis. Meskipun Jakarta menjadi pusat pandemi di Tanah Air,
permintaan anies untuk memaksakan pembatasan pergerakan berulang kali
ditolak. Setelah deklarasi darurat kesehatan nasional, permintaannya
ditunda lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan
hanya disetujui setelah berhari-hari tawar-menawar tentang data.
Hubungan pemerintah dengan kelompok masyarakat sipil juga terus
memburuk meskipun dukungan mereka tetap penting untuk mengelola
krisis. Di tengah pandemi, parlemen mengumumkan rencana untuk
pengesahan dua RUU yang sangat tidak populer. Salah satunya adalah
RKUHP yang memicu demonstrasi mematikan tahun lalu dan lainnya
adalah RUU Cipta Lapangan Kerja yang ditolak oleh serikat pekerja. Sidang
parlemen akhirnya ditangguhkan minggu ini untuk menghindari bentrokan
yang berpotensi kekerasan setelah serikat pekerja mengeluarkan seruan
untuk protes yang menentang ketentuan pembatasan pergerakan.
6. STAKEHOLDER YANG TERLIBAT DALAM PENANGANAN
COVID

PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT

Berikutmerupakan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi penanganan


COVID-19:

1. Instalasi Kesehatan Tingkat Pertama.

2. Rumah Sakit Rujukan.

3. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota/Kabupaten.

4. Dinas Kominfo Provinsi dan Kota/Kabupaten

5. Kementerian Kesehatan RI.

6. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

7. Kantor Staf Presiden RI.

SASARAN KHALAYAK/STAKEHOLDERS

Sasaran khalayak dibagi menjadi 2 klaster utama seperti dibawah ini. Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah bersama-sama menyusun dan menyebarkan produk
komunikasi yang sesuai untuk kedua klaster tersebut secara nasional dan spesifik
sesuai dengan daerah masing-masing.

Klaster sasaran khalayak:

1. Pelaksana penanganan/pihak-pihak yang terlibat.

a. Para pelaksana harus mengerti rencana aksi yang dilakukan pemerintah pusat
dan daerah dalam penanganan dan komunikasi. Pastikanjalur
informasi dua arah berlaku dan disepakati oleh seluruh pihak.

b. Sistem komunikasi harus dibentuk untuk memastikan komunikasi terjadi dengan


lancar.
2. Publik & Keluarga

3. Media

4. Guru & anak sekolah

5. Kelompok berisiko (usia lanjut, orang sakit, ibu menyusui)

6. Organisasi agama/pemuda/masyarakat

7. Swasta

KANAL KOMUNIKASI

Sasaran khalayak/stakeholder dapat dijangkau melalui berbagai kanal, baik melalui


media mainstream, media sosial maupun melalui jaringan komunikasi yang telah
terbentuk. Berikut adalah kanal yang bisa digunakan:

● Website sebagai rujukan pertama. Silahkan merujuk kepada website resmi


Kemenkes khusus untuk COVID-19.

● Televisi

● Media Cetak

● Media Online

● Radio

● SMS gateaway

● Media Sosial

● Jaringan sekolah

● Jaringan organisasi kepemudaan/agama/politik

● Jaringan informal lainnya

Dewan Pers Minta Insan Pers Ajak Stakeholders Tangani COVID-19


Dewan Pers meminta insan pers terus mengajak pemangku kepentingan
(stakeholder) terlibat menangani COVID-19 agar timbul kesadaran bersama
melawan COVID-19 dari seluruh kekuatan bangsa baik dari unsur pemerintah,
dunia usaha, serta kelompok masyarakat dan Pers.

“Dewan Pers meminta agar media massa terus mengajak para pemangku
kepentingan dan masyarakat untuk ikut bahu membahu bersama pemerintah
menanggulangi pandemi COVID-19. Sehingga penanggulangan pandemi ini
menjadi upaya bersama yang melibatkan seluruh kekuatan bangsa baik unsur
pemerintah, dunia usaha, kelompok masyarakat dan pers,” ujar Mohammad Nuh
Ketua Dewan Pers berdasarkan rilis di Jakarta, Kamis (26/3/2020).

Dewan Pers juga mengucapkan terima kasih untuk segenap unsur Pers Nasional
yang tanpa kenal lelah terus meliput dan memberitakan perkembangan pandemi
COVID-19 di tanah air. Sehingga masyarakat Indonesia, pada umumnya, bisa
mengetahui dan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.

“Khususnya dalam membangun kesadaran kolektif untuk mencegah semakin


meluasnya pandemi COVID-19,” kata Nuh, seperti dilansir Antara.

Dewan Pers ingin mengingatkan kepada semua pihak bahwa yang dibutuhkan saat
ini tidak hanya sebatas pada penanganan medis terhadap masyarakat yang terpapar
atau diduga terpapar virus corona, tetapi juga dampak turunan pandemi COVID-19,
khususnya di bidang sosial dan ekonomi.

Dewan pers menyambut baik berbagai paket kebijakan yang telah diluncurkan
Pemerintah untuk menangani dampak sosial-ekonomi tersebut, meskipun harus
dikawal realisasinya di lapangan.

Dewan Pers ingin, insan Pers mengajak semua pihak memperkuat solidaritas sosial
dengan memberi perhatian khusus untuk meringankan beban ekonomi masyarakat
yang kehilangan mata pencaharian sehari-hari atau yang mengalami penurunan
penghasilan karena masih banyak warga masyarakat yang bekerja di sektor
informal dan menggantungkan diri pada pendapatan harian.
Dewan Pers mengingatkan kembali kepada insan pers agar tetap mematuhi protokol
kesehatan dan Standar Operasional Prosedur COVID-19, demi menjaga kesehatan
dan keselamatan para insan pers.

“Jangan sampai ketika meliput COVID-19, justru ada insan pers yang terpapar
COVID-19,” pungkasnya. (ant/ang/rst)

PUBLIKA.CO.ID, MEDAN – Dalam upaya percepatan Penanganan Covid-19 di


Sumatera Utara, seluruh stakeholder di Sumatera Utara diminta meningkatkan
sinergi. Sehingga semua kegiatan yang dilakukan terkait penanganan Covid-19
berjalan efektif.

Demikian disampaikan Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Sumut


Mardiaz Kusin Dwihananto saat menggelar Rapat Koordinasi Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 Sumut di Pendopo Rumah Dinas Gubernur Jalan
Sudirman Medan, Senin (13/4).

Mardiaz mengatakan jika koordinasi berjalan dengan baik, maka seluruh kegiatan
dalam upaya penanganan Covid-19 akan berjalan terukur, terarah dan efektif.

“Seperti saat penyemprotan disinfektan di tempat umum, jika ada koordinasi antara
instansi, penyemprotan bisa dilakukan secara serentak,” ungkap Mardiaz.

Mardiaz juga menyampaikan perlunya edukasi mengenai Covid-19 di tingkat


lingkungan terbawah seperti RT atau RW, sehingga masyarakat langsung menerima
informasi mengenai Covid-19. Dimulai dari apa yang dihindari hingga bagaimana
sifat penyebaran virus tersebut.

“Kami harapkan komunikasi dan sinergi, begitu juga dengan kabupaten/kota dan
diharapkan RT-RW dapat juga mengedukasi,” kata Mardiaz.

Senada dengan Wakapolda, Wakil Gubernur (Wagub) Sumut Musa Rajekshah juga
menyampaikan pentingnya koordinasi dan sinergi sangat dibutuhkan dalam upaya
percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Sumatera Utara (Sumut).
Selain untuk memudahkan pelaksanaan tugas, sinergi seluruh pihak yang terkait
juga akan membuat semuanya menjadi efektif dan efisien.

“Terpenting saya ingin menegaskan bagi kita semua, bahwa sangat diperlukan
kebersamaan dan kekompakan. Jangan saling menyalahkan atau melemparkan
tanggung jawab kepada yang lain. Dengan komunikasi yang baik dan transparan
agar tidak timbul permasalahan yang tidak kita inginkan,” kata Wagub.

Selain itu, data terkait Covid-19 juga harus tersinkronisasi dengan baik. Mulai dari
kabupaten/kota hingga provinsi. Data yang dimaksud dimulai dari orang yang
terjangkit, pasien dalam pengawasan (PDP) hingga donasi-donasi yang masuk ke
Tim Gugus Tugas.

“Untuk hal ini, kita perlu kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari kabupaten/kota
hingga ke provinsi,” kata Wagub.

Diharapkan juga, setiap donasi yang masuk dari masyarakat agar didistribusikan
dengan tepat sasaran agar bantuan tersebut sampai di wilayah yang benar-benar
membutuhkan, serta tidak menumpuk di satu wilayah saja.

Peran Relawan dalam Penanganan Virus Corona Covid-19 di Indonesia

Pandemi virus corona penyebab COVID-19 di Indonesia masih belum mereda. Per
Minggu sore (29/3/2020), jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 1.285 atau
bertambah 130 kasus, dan kematian ada di angka 114 kasus.

Tenaga medis, yang dianggap sebagai garda terdepan dalam penanganan pandemi
virus corona, sudah disiagakan dan terus menjalankan tugasnya di berbagai rumah
sakit, khususnya rumah sakit rujukan.

Namun, jumlah tenaga medis yang ada dianggap masih kurang. Dilansir dari
Liputan6, Indonesia masih banyak membutuhkan banyak tenaga medis.

Koordinator Relawan Gugus Tugas COVID-19, Andre Rahardian, mengungkap


ada sekitar 1.500 dan 2.500 perawat yang dibutuhkan untuk menghadapi
mewabahnya virus Corona yang telah menyebar ke berbagai provinsi di Indonesia.
Tenaga medis yang dibutuhkan, seperti dokter spesialis paru, dokter spesialis anesti,
dokter umum pranata laboratorium, bagian administrasi rumah sakit, hingga sopir
ambulans.

Dalam kesempatan ini, Andre Rahardian mengungkapkan, Pemerintah Indonesia


melalui Gugus Tugas COVID-19 memanggil warga yang terketuk, untuk menjadi
relawan dan membantu penanganan pasien yang terjangkit virus Corona hingga
pasien yang masuk kategori pasien dalam pengawasan (PDP).

Meski begitu, tetap ada beberapa kriteria yang ditetapkan sebelum seseorang bisa
menjadi relawan. Termasuk, apa pula peran yang akan dijalani para relawan
nantinya.

Berikut Bola.com rangkum dari Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan
Masyarakat COVID-19 di Indonesia, Senin (30/3/2020):

Peran Relawan dalam Penanganan Virus Corona Covid-19 di Indonesia

Jakarta - Pandemi virus corona penyebab COVID-19 di Indonesia masih belum


mereda. Per Minggu sore (29/3/2020), jumlah kasus positif di Indonesia mencapai
1.285 atau bertambah 130 kasus, dan kematian ada di angka 114 kasus.

Tenaga medis, yang dianggap sebagai garda terdepan dalam penanganan pandemi
virus corona, sudah disiagakan dan terus menjalankan tugasnya di berbagai rumah
sakit, khususnya rumah sakit rujukan.

Namun, jumlah tenaga medis yang ada dianggap masih kurang. Dilansir dari
Liputan6, Indonesia masih banyak membutuhkan banyak tenaga medis.

Koordinator Relawan Gugus Tugas COVID-19, Andre Rahardian, mengungkap


ada sekitar 1.500 dan 2.500 perawat yang dibutuhkan untuk menghadapi
mewabahnya virus Corona yang telah menyebar ke berbagai provinsi di Indonesia.
Tenaga medis yang dibutuhkan, seperti dokter spesialis paru, dokter spesialis anesti,
dokter umum pranata laboratorium, bagian administrasi rumah sakit, hingga sopir
ambulans.

Dalam kesempatan ini, Andre Rahardian mengungkapkan, Pemerintah Indonesia


melalui Gugus Tugas COVID-19 memanggil warga yang terketuk, untuk menjadi
relawan dan membantu penanganan pasien yang terjangkit virus Corona hingga
pasien yang masuk kategori pasien dalam pengawasan (PDP).

Meski begitu, tetap ada beberapa kriteria yang ditetapkan sebelum seseorang bisa
menjadi relawan. Termasuk, apa pula peran yang akan dijalani para relawan
nantinya.

Peran Relawan

• Membantu menyebarkan informasi akurat kepada masyarakat


• Membantu mengedukasi dan memberikan dukungan psikologi untuk
mengurangi kepanikan masyarakat selama wabah COVID-19
• Membantu dalam mengorganisasi dan mengarahkan masyarakat yang
memerlukan informasi terkait alur tes maupun alur tindakan di masyarakat
maupun di rumah sakit.
• Membantu dalam memantau dan memberikan informasi yang dibutuhkan
oleh OTG maupun ODP yang melaksanakan karantina rumah
• Membantu dalam menyalurkan kebutuhan pokok masyarakat, khususnya
untuk OTG dan ODP dalam karantina rumah maupun kelompok rentan.
• Untuk relawan medis, dapat memberikan dukungan kepada para dokter,
perawat, pekerja rumah sakit, petugas ambulans, dll. Relawan medis yang
terlatih jika dibutuhkan dapat melakukan edukasi pencegahan dan rapid test
kepada kelompok OTG di fasilitas umum dengan menggunakan APD
(masker dan sarung tangan non steril sekali pakai) dan hasil tes dilaporkan
melalui mekanisme pelaporan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan
dan pengendalian infeksi.
Beragamnya pemangku kepentingan yang terlibat aktif di tengah wabah Covid-19
mengisyaratkan bahwa pemerintah punya kekuatan untuk melibatkan para
pemangku kepentingan dari sektor pemerintah itu sendiri hingga pihak swasta.
Pemangku kepentingan memiliki jenis yang berbeda sesuai dengan atribut yang
mereka miliki. Ada tiga atribut untuk memetakan pemangku kepentingan dalam
kasus ini, yaitu atribut kekuasaan (power), legitimasi (legitimacy), dan urgensi
(urgency).

Kekuasaan dalam pemangku kepentingan didefinisikan sebagai suatu hubungan


antara aktor sosial. Aktor sosial yang kekuasaannya lebih besar akan mampu
membuat aktor sosial yang tidak memiliki kekuasaan dapat melakukan sesuatu
yang mereka inginkan. Lebih gampangnya dikenal dengan kemampuan mereka
yang memiliki kekuasaan untuk mewujudkan hasil yang mereka inginkan.

Selain pemerintah pusat melalui berbagai lembaga seperti Kementrian Kesehatan,


Gugus Tugas Covid-19, pemerintah daerah (provinsi, kota dan kabupaten) adalah
stakeholder yang memiliki kekuasaan. Dengan kekuasaan ini seharusnya
pemerintah mampu mengendalikan publik dalam hal kepatuhan untuk melakukan
himbauan pemerintah terkait wabah Covid-19.

Namun, alih-alih dapat mengendalikan masyarakat dalam wabah ini, beberapa


pesan yang disampaikan pemerintah dan para pejabat publik justru menimbulkan
kegaduhan dan perdebatan yang pada akhirnya menjadi komunikasi yang tidak
efektif, karena apa yang menjadi tujuan pemerintah kurang berhasil.

Misalnya imbauan yang diberikan kepada masyarakat untuk melakukan social


distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan mudik ke
kampung halaman. Dengan berbagai macam alasan, masyarakat masih banyak yang
tidak patuh untuk melakukan social distancing sebagai salah satu ikhtiar untuk
memutus mata rantai penyebaran virus Corona.

PSBB yang dilaksanakan di beberapa daerah, seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok,
dan Bandung juga kurang mendapatkan atensi dan ketaatan dari masyarakat.
Bahkan data terakhir dari Jakarta menunjukkan dengan pemberlakuan PSBB
selama 14 hari dari 10-23 April 2020, justrun terjadi kenaikan kasus positif Covid-
19. Sebagai stakeholder utama yang memiliki kekuasaan, pemerintah tidak tegas
dalam menggunakan kekuasaannya tersebut.

Atribut legitimasi sendiri dapat berlaku untuk banyak tingkat analisis, yang paling
umum adalah individu, organisasi dan masyarakat. Sehingga legitimasi dapat
dibangun secara sosial dan normatif. Suatu kebaikan sosial yang memang
diinginkan yang mana merupakan sesuatu yang lebih banyak dimiliki daripada
sekedar persepsi diri belaka.

Legitimasi yang berada di berbagai tingkat organisasi sosial menghasilkan nilai-


nilai dan norma-nomra yang dibangun dalam komunitas atau kekuatan moral yang
terbukti dengan sendirinya sehingga diterima oleh komunitas. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah contoh stakeholder yang
memiliki legitimasi ketika terjadinya wabah Covid-19.

Kedua organisasi profesi ini bahkan lebih didengarkan dan dipatuhi oleh
masyarakat daripada apa yang disampaikan oleh pemerintah. Ketika MUI
mengeluarkan fatwa mengenai penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah
Covid-19, sebagian besar umat Muslim di Indonesia mematuhinya.

Misalnya fatwa berkaitan dengan agara sementara tidak melaksanakan ibadah


sholat wajib, sholat Jumat, dan sholat tarawih di masjid. Begitu pula pesan-pesan
yang disampaikan oleh IDI terkait dengan ciri-ciri umum gejala orang yang
terjangkit virus Corona dan cara-cara pencegahan penularan virus Corona, lebih
banyak mendapatkan atensi dan kepatuhan dari masyarakat.

Sedangkan atribut urgensi merupakan panggilan yang menuntut perhatian sesegera


mungkin dan mendesak. Urgensi sendiri hanya terjadi ketika dua kondisi terpenuhi,
yaitu, ketika suatu hubungan atau klaim yang sifatnya sensitif terhadap waktu dan
ketika hubungan atau klaim itu menjadi sangat penting bagi pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan yang memiliki atribut ini salah satu contohnya adalah
media.
Dalam masa pandemi Covid-19, media menjadi pihak yang sangat aktif
membombardir masyarakat dengan berbagai macam informasi mengenai wabah ini.
Mulai dari media massa konvensional seperti koran, radio, dan televisi sampai
media baru dengan berbagai platformnya secara serentak membanjiri masyarakat
dengan berbagai macam informasi terkait Covid-19.

Media tidak hanya cepat dalam mendapatkan perhatian masyarakat, tetapi bahkan
telah sampai pada tahap menebarkan “ketakutan” di dalam masyarakat. Dengan
berbagai alasan dan kepentingan, media menjadikan pihak yang menebarkan
informasi secara cepat, baik informasi yang benar maupun informasi yang salah,
sehingga informasi apapun mengenai Covid-19 mendapatkan perhatian yang
sesegera mungkin dari publik.

Komunikasi pemangku kepentingan di tengah wabah Covid-19 melibatkan hampir


dari semua lini pemerintahan, pihak swasta dan dukungan media. Pemerintah dan
para pemangku kepentingan lainnya seharusnya dapat bersinergi dan bahu
membahu menghadapi pandemi ini.

Dengan semua porsi keterlibatannya, pemerintah sebagai pemangku kepentingan


utama seharusnya memiliki klaim prioritas utama bagi pembuat keputusan yang
proaktif dan juga reaktif karena hubungannya dengan pemangku kepentingan
lainnya serta berpengaruh pada prospek kelangsungan hidup untuk sistem
pemangku kepentingan yang menerima manfaat.

Sayangnya dalam hal ini, secara pelaksanaan teknis dilapangan terjadi tumpang
tindih informasi yang mengakibatkan masyarakat masih menganggap pemerintah
kurang tegas dalam memberikan penyelesaian atau problem solving yang bahkan
terkesan tidak memiliki legitimasi yang kuat serta urgensi. Kebijakan yang dibuat
oleh para pemangku kepentingan menjadi tidak sama dan tidak merata di setiap
daerah terdampak Covid-19.

KETUA Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Wiranto, memanggil


sejumlah stakeholder untuk mengetahui kondisi terkini mengenai penanganan virus
novel korona (COVID-19), baik secara nasional maupun global.
Dalam rapat tersebut, Wiranto menyebut Kementerian Kesehatan telah menetapkan
kasus COVID-19 dalam tahap siaga darurat. Untuk itu, dibutuhkan sinergi antar
kementerian lembaga serta masyarakat luas agar kasus COVID-19 tidak meningkat
ke tahap tanggap darurat.

"Kita hindari tanggap darurat. Jadi kembali hasil rapat tadi mengimbau kepada
masyarakat berpartisipasi untuk menjaga Indonesia agar terbebas dari virus ini
dalam kondisi siaga darurat dan tidak meningkat pada tanggap dadurat," kata
Wiranto di Kantor Watimpres, Jakarta Pusat, Senin (17/2).

T, Sekretaris Dirjen P2P Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menuturkan,


status siaga darurat ditetapkan karena adanya suspect COVID-19 di Indonesia.
Lebih dari itu, hingga kini kondisi penyebaran COVID-19 meluas ke puluhan
negara.
BANSOS TEPAT SASARAN

NEGARA sudah semestinya hadir dalam setiap kesulitan hidup rakyatnya


akibat pandemi covid-19. Kehadiran negara tidak hanya dalam bentuk politik
anggaran, tapi memastikan penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat waktu dan
tepat sasaran.

Dari sisi politik anggaran, tampak nyata keberpihakan pemerintah untuk mengatasi
penyebaran covid-19 beserta dampak ikutannya. Namun, bantuan yang disalurkan
belum sepenuhnya tepat sasaran karena data yang digunakan tidak akurat.

Keberpihakan dari sisi politik anggaran, misalnya, pada kesempatan pertama


pemerintah melakukan refocusing dan relokasi APBN. Diperoleh dana Rp405,1
triliun untuk menanggulangi dampak ekonomi wabah covid-19, sebesar 27% atau
Rp110 triliun dipakai untuk bansos.

Pemerintah daerah juga melakukan refocusing dan relokasi APBD. Sejauh ini, per
16 April, terkumpul dana daerah Rp56,57 triliun. Sebanyak 31% atau Rp17,5 triliun
dialokasikan untuk belanja hibah/bansos mengatasi dampak covid-19 di daerah.

Lebih dari cukup dana yang dipakai untuk bansos. Eloknya, pusat dan daerah
berkolaborasi menentukan sasaran bansos sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Satu orang mendapatkan bantuan berlimpah, orang lain malah gigit jari karena tidak
mendapatkan bansos. Kondisi seperti ini, jika terjadi, hanya memicu kecemburuan
sosial.

Pencairan anggaran untuk bansos sudah tepat waktu. Bantuan diberikan kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan, jauh hari sebelum pemerintah melarang
mudik.

Pulang kampung tidak hanya berkaitan dengan keperluan merayakan Lebaran.


Sebagian pekerja di sektor informal telanjur pulang kampung akibat tidak ada lagi
pekerjaan harian di kota. Para pekerja informal paling rentan atas kebijakan kerja
di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Ditambah lagi pemberlakuan
pembatasan sosial berskala besar melawan covid-19.

Pemberian bansos khusus untuk pekerja sektor informal yang masih bertahan di
kota bisa dianggap sebagai insentif atas kepatuhan mereka mengikuti kebijakan
pelarangan mudik.

Harus tegas dikatakan bahwa penyaluran bansos masih perlu diperbaiki. Pada
awalnya bansos mendapat sentimen positif publik, tapi sekarang muncul penilaian
negatif. Implementasi penyaluran bansos yang tidak terarah dan tumpang tindih
dianggap menjadi penyebab masyarakat tidak lagi memandang program bansos
secara positif.

Ambil contoh di DKI Jakarta. Sejauh yang terekam dalam pemberitaan media
massa, ada orang-orang kaya mendapatkan bansos, meski kemudian dikembalikan.
Nama orang meninggal juga tertera dalam daftar penerima bansos. Sebaliknya,
mereka yang membutuhkan bansos malah tidak menerima bantuan.

Mestinya, data penerima bansos harus sesuai nama dan alamat, serta berbasis nomor
induk kependudukan. Di sinilah letak persoalannya. Negara ini tak kunjung naik
kelas dalam hal memperbaiki data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).

DTKS dipergunakan Kementerian Sosial sebagai basis data pemberian bansos


kepada masyarakat secara nasional. Data awal disodorkan pemerintah kabupaten
dan kota. Jika terdapat kekeliruan DTKS di Kementerian Sosial, bisa dipastikan ada
kesalahan input data dari kabupaten dan kota.

DTKS mestinya dipadankan dengan data kependudukan di Direktorat Jenderal


Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri berdasarkan
nomor induk kependudukan. Ini pekerjaan rumah pemerintah yang harus segara
diselesaikan.
Tidak ada kata terlambat untuk terus-menerus memperbarui data oleh pemerintah
daerah. Sebaiknya pembaruan itu melibatkan RT/RW karena pihaknya yang paling
mengetahui kondisi riil di lapangan.

Tidak kalah pentingnya ialah memastikan bansos tidak terkait kepentingan politik
elektoral kepala daerah yang akan maju dalam pilkada. Di beberapa daerah
ditemukan foto diri kepala daerah di bungkusan bansos.

Patut diapresiasi gerakan rakyat yang turut membantu sesama yang terpapar
dampak covid-19. Ada gerakan mengumpulkan dan menyalurkan bantuan, ada pula
kelompok masyarakat yang membagi-bagikan nasi bungkus. Tidak sedikit warga-
warga di perumahan yang tergerak dan bergotong-royong membantu tetangga yang
paling terdampak covid-19.

Kemiskinan akibat dampak covid-19 bukan angka statistik belaka. Satu orang saja
tidak bisa makan, negara harus hadir memberikan bantuan. Akan tetapi, tanpa
perbaikan data, bansos hanya menimbulkan kecemburuan sosial.

NEGARA sudah semestinya hadir dalam setiap kesulitan hidup rakyatnya akibat
pandemi covid-19. Kehadiran negara tidak hanya dalam bentuk politik anggaran,
tapi memastikan penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat waktu dan tepat sasaran.

Dari sisi politik anggaran, tampak nyata keberpihakan pemerintah untuk mengatasi
penyebaran covid-19 beserta dampak ikutannya. Namun, bantuan yang disalurkan
belum sepenuhnya tepat sasaran karena data yang digunakan tidak akurat.

Keberpihakan dari sisi politik anggaran, misalnya, pada kesempatan pertama


pemerintah melakukan refocusing dan relokasi APBN. Diperoleh dana Rp405,1
triliun untuk menanggulangi dampak ekonomi wabah covid-19, sebesar 27% atau
Rp110 triliun dipakai untuk bansos.

Pemerintah daerah juga melakukan refocusing dan relokasi APBD. Sejauh ini, per
16 April, terkumpul dana daerah Rp56,57 triliun. Sebanyak 31% atau Rp17,5 triliun
dialokasikan untuk belanja hibah/bansos mengatasi dampak covid-19 di daerah.
Lebih dari cukup dana yang dipakai untuk bansos. Eloknya, pusat dan daerah
berkolaborasi menentukan sasaran bansos sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
Satu orang mendapatkan bantuan berlimpah, orang lain malah gigit jari karena tidak
mendapatkan bansos. Kondisi seperti ini, jika terjadi, hanya memicu kecemburuan
sosial.

Pencairan anggaran untuk bansos sudah tepat waktu. Bantuan diberikan kepada
masyarakat yang sangat membutuhkan, jauh hari sebelum pemerintah melarang
mudik.

Pulang kampung tidak hanya berkaitan dengan keperluan merayakan Lebaran.


Sebagian pekerja di sektor informal telanjur pulang kampung akibat tidak ada lagi
pekerjaan harian di kota. Para pekerja informal paling rentan atas kebijakan kerja
di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Ditambah lagi pemberlakuan
pembatasan sosial berskala besar melawan covid-19.

Pemberian bansos khusus untuk pekerja sektor informal yang masih bertahan di
kota bisa dianggap sebagai insentif atas kepatuhan mereka mengikuti kebijakan
pelarangan mudik.

Harus tegas dikatakan bahwa penyaluran bansos masih perlu diperbaiki. Pada
awalnya bansos mendapat sentimen positif publik, tapi sekarang muncul penilaian
negatif. Implementasi penyaluran bansos yang tidak terarah dan tumpang tindih
dianggap menjadi penyebab masyarakat tidak lagi memandang program bansos
secara positif.

Ambil contoh di DKI Jakarta. Sejauh yang terekam dalam pemberitaan media
massa, ada orang-orang kaya mendapatkan bansos, meski kemudian dikembalikan.
Nama orang meninggal juga tertera dalam daftar penerima bansos. Sebaliknya,
mereka yang membutuhkan bansos malah tidak menerima bantuan.

Mestinya, data penerima bansos harus sesuai nama dan alamat, serta berbasis nomor
induk kependudukan. Di sinilah letak persoalannya. Negara ini tak kunjung naik
kelas dalam hal memperbaiki data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
DTKS dipergunakan Kementerian Sosial sebagai basis data pemberian bansos
kepada masyarakat secara nasional. Data awal disodorkan pemerintah kabupaten
dan kota. Jika terdapat kekeliruan DTKS di Kementerian Sosial, bisa dipastikan ada
kesalahan input data dari kabupaten dan kota.

DTKS mestinya dipadankan dengan data kependudukan di Direktorat Jenderal


Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri berdasarkan
nomor induk kependudukan. Ini pekerjaan rumah pemerintah yang harus segara
diselesaikan.

Tidak ada kata terlambat untuk terus-menerus memperbarui data oleh pemerintah
daerah. Sebaiknya pembaruan itu melibatkan RT/RW karena pihaknya yang paling
mengetahui kondisi riil di lapangan.

Tidak kalah pentingnya ialah memastikan bansos tidak terkait kepentingan politik
elektoral kepala daerah yang akan maju dalam pilkada. Di beberapa daerah
ditemukan foto diri kepala daerah di bungkusan bansos.

Patut diapresiasi gerakan rakyat yang turut membantu sesama yang terpapar
dampak covid-19. Ada gerakan mengumpulkan dan menyalurkan bantuan, ada pula
kelompok masyarakat yang membagi-bagikan nasi bungkus. Tidak sedikit warga-
warga di perumahan yang tergerak dan bergotong-royong membantu tetangga yang
paling terdampak covid-19.

Kemiskinan akibat dampak covid-19 bukan angka statistik belaka. Satu orang saja
tidak bisa makan, negara harus hadir memberikan bantuan. Akan tetapi, tanpa
perbaikan data, bansos hanya menimbulkan kecemburuan sosial.
7. KECEPATAN DAN KETEPATAN TES SWAB DAN PCR

1. TEST PCR
Sebelum kita melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR), kita wajib terlebih
dulu melakukan pemeriksaan swab.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil spesimen lendir menggunakan swab
pada hidung atau tenggorokan pasien.
Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat sebagai patokan diagnosis, sebab virus corona
akan menempel di hidung atau tenggorokan bagian dalam saat ia masuk ke tubuh.

Cara Pemeriksaan Swab


1. Tenaga medis akan meminta pasien untuk duduk dan sedikit mendongakkan
kepala.
2. Tenaga medis akan memasukkan alat berbentuk cotton bud dengan ukuran yang
jauh lebih panjang, ke dalam lubang hidung pasien. Alat ini akan terus dimasukkan
hingga mencapai bagian belakang hidung.
3. Teknik swab dilakukan untuk menyapukan alat ke area belakang hidung. Ujung
alat bisa menyerap cairan atau lendir yang terdapat di area tersebut. Alat akan
didiamkan sejenak untuk membuat cairan atau lendir terserap sempurna.

2. RAPID TEST

Rapid test corona hanya bisa digunakan sebagai screening atau penyaringan
awal.
Bisanya tes ini membutuhkan waktu kira-kira 15 sampai 30 menit.

Cara Tes
Pemeriksaan ini menggunakan sampel darah pasien untuk mendapatkan IgG dan
IgM dalam darah, sejenis antibodi yang terbentuk dalam tubuh saat kita mengalami
infeksi virus.
Saat terinfeksi, jumlah antibodi ini akan bertambah dan pembentukannya terdeteksi
melalui rapid test ini.

Hasil
Jika ditemukan ada antibodi, maka pasien dinyatakan positif memiliki infeksi, maka
itu, pasien yang positif saat rapid test harus menjalani pemeriksaan lanjutan dengan
pemeriksaan swab.
Sementara itu, pasien yang mendapatkan hasil negatif, ada baiknya mengulang
rapid test di hari ketujuh hingga kesepuluh setelah tes pertama.
Pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan ulang ini untuk menghindari hasil false
negative dan juga false positive dalam tes.
Pasalnya, bisa jadi antibodi belum terbentuk meski sudah terinfeksi virus sehingga
hasilnya negatif, atau sudah terinfeksi namun bukan karena Covid-19.
Sebab, antibodi yang terbentuk dan ditangkap dalam rapid test bukan hanya akibat
Covid-19 saja, namun bisa juga karena virus yang lain.
Jadi, tes ini hanya menunjukkan apakah kita terinfeksi suatu virus atau tidak.

Presiden Joko Widodo telah menyerukan agar dilakukannya rapid test sejak Jumat
(20/3/2020) lalu di Jakarta Selatan melalui live streaming di akun Youtube
Sekretariat Presiden. Hal ini dilakukan untuk melakukan deteksi dini terkait infeksi
virus Corona baru, COVID-19 di masyarakat. Di sisi lain, ada metode Polymerase
Chain Reaction (PCR) yang diklaim lebih akurat untuk melakukan pemeriksaan
Coronavirus atau COVID-19 tersebut. Lantas, apa beda rapid test dan metode PCR?
Juru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan praktis tes
massal atau rapid test yang dilaksanakan berbasis data menggunakan darah. "Untuk
tes massal kita gunakan darah. Pakai alat kit, kurang dari 2 menit, maka akan bisa
tahu hasilnya. Kalau screening [pemeriksaan] positif, akan diperiksa lagi dengan
PCR untuk tahu [positif] yang sesungguhnya," ungkapnya. Dengan menggunakan
sampel darah tersebut, rapid test akan mengukur antibodi pasien dan tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya virus COVID-19 seperti melansir ABS News.
Departemen Kesehatan Filipina berulangkali mengingatkan bahwa kit tersebut
rentan terhadap negatif palsu. Pasalnya, alat tersebut mungkin tidak dapat
mendeteksi antibodi pada tahap awal infeksi. Sementara itu, metode PCR yang
sering disebut dengan swab test yang menggunakan sampel cairan dari saluran
pernapasan bawah sebagai bahan pemeriksaan. Tes ini dilakukan oleh para petugas
kesehatan dengan menyeka bagian belakang tenggorokan. Dari segi waktu
pemeriksaan, hasil pemeriksaan dengan rapid test hanya membutuhkan waktu 10
menit hingga 2 jam melansir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara itu,
CDC menyebutkan pemeriksaan dengan metode PCR paling cepat membutuhkan
waktu sekitar 20 hingga 30 menit. Metode PCR tersebut diklaim memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap virus COVID-19. Pada metode PCR, ketika
sampel cairan dari saluran pernapasan bawah tiba di lab, para peneliti mengesktrak
asam nukleat di dalamnya. Asam nukleat tersebut mengandung genom virus yang
dapat menentukan adanya infeksi atau tidak dalam tubuh. Kemudian, peneliti dapat
memperkuat daerah genom tertentu dengan menggunakan teknik yang dikenal
sebagai reaksi berantai transkripsi polimerase terbalik. Pada dasarnya, hal ini
memberi para peneliti sampel besar yang kemudian dapat mereka bandingkan
dengan virus Corona baru, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2. Virus SARS-CoV-
2 memiliki hampir 30.000 nukleotida, blok bangunan yang membentuk DNA dan
RNA. Sementara itu, tidak semua orang dapat melakukan tes PCR ini. Hanya
mereka yang berisiko saja yang akan diuji. Sedangkan rapid test dimulai dengan
pengambilan sampel darah mereka yang dikategorikan berisiko terjangkit. Jika
hasil rapid test negatif maka yang bersangkutan akan diminta mengisolasikan diri
sementara waktu dan mengulang tes tersebut 7-10 hari kemudian. Namun jika hasil
rapid test positif maka harus dikonfirmasi dengan metode Real Time Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR) atau metode PCR. Jika tes PCR pun menunjukkan hasil
positif, maka orang tersebut akan dirawat di rumah sakit. Melansir laman resmi
Pemprov DKI Jakarta alur rapid tes, terdapat tiga kriteria atau ruang lingkup yang
dapat mengikuti tes massal deteksi infeksi COVID-19 ini, yaitu: 1. Kontak erat
risiko rendah atau orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus pasien dalam
pengawasan. 2. Kontak erat resiko tinggi atau orang yang memiliki riwayat kontak
dengan kasus pasien terkonfirmasi/ probabel COVID-19. 3. Orang Dalam
Pemantauan (ODP) yang telah mengalami gejala COVID-19 yang meyakinkan
berupa demam, batuk, hingga sesak napas. Di samping itu ODP juga hendaknya
memenuhi salah satu kriteria berikut: - Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
luar negeri yang melaporkan transmisi lokal, - Memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di area transmisi lokal Indonesia. Berdasarkan data yang diperbarui oleh
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada pukul 15.40 WIB, Kamis
(2/4/2020) kemarin, terdapat penambahan kasus positif baru sebanyak 113 pasien.
Penambahan ini membuat total jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia
menjadi 1.790 pasien dan setidaknya 1.508 pasien positif COVID-19 sedang
menjalani perawatan. Sementara itu, jumlah pasien COVID-19 yang berhasil
sembuh bertambah menjadi 112 orang. Namun, angka kasus kematian pasien positif
COVID-19 di Indonesia juga meningkat menjadi 170 jiwa. Hingga hari ini, jumlah
provinsi yang tercatat memiliki kasus positif COVID-19 masih sama dengan Rabu
kemarin, yakni 32 daerah.
9. Strategi Yang Efektif Untuk Mengatasi COVID 19 ( Corona Virus )

Beberapa negara memilih berbagai kebijakan untuk menangani pandemi


Covid-19 dan Indonesia memilih kebijakan jaga jarak. Kebijakan ini tidak cukup
efektif untuk mencegah perluasan pandemi Covid-19, dibuktikan dengan
peningkatan pesat pasien positif. Tes massal sebagai kebijakan lanjutan juga perlu
dibarengi dengan pertimbangan sosio-ekonomi Indonesia serta kesiapan instrumen
kesehatan.

penanganan covid-19 ialah kesatuan tindakan yang lahir dari kebijakan


strategis komprehensif. Kebijakan ini harus mengatasi kondisi terkini dan
mengantisipasi dampaknya di kemudian. Keselamatan dan keamanan masyarakat
harus terjamin dan tidak sekadar menjadi materi perdebatan.

Eropa kini menjadi pusat penyebaran. Asia berangsur pulih sebagian, tapi
sebagian lagi sedang bersiap menghadapi gelombang besar. Namun di tengah
berita-berita ini sekelompok negara berhasil mengendalikan penyebaran virus -
yang sudah menginfeksi lebih dari 200 ribu orang dan menewaskan lebih dari 8.000
orang lainnya.

"Ada beberapa negara yang berhasil mengambil langkah untuk mengendalikan


wabah ini, dan menurut saya kita bisa belajar dari mereka," kata ahli penyakit
menular Tolbert Nyenswah, Profesor di Johns Hopkins University Bloomberg
School of Public Health.

"Di China kasus sudah berkurang, tapi langkah sangat agresif yang mereka lakukan
tak mudah ditiru oleh negara-negara demokratis. Di beberapa negara lain telah
melakukan langkah berbeda yang sama agresifnya, dan mereka berhasil,"
tambahnya.

Taiwan, misalnya, dengan jumlah penduduk 23,6 juta dan bertetangga dengan
China, hingga hari Senin (16/03), melaporkan 67 kasus dan satu kematian selama
lebih dari dua bulan mereka melawan virus corona. Sementara itu Hong Kong
(dihuni 7,5 juta penduduk dan berbatasan langsung dengan China) mencatat adanya
155 infeksi dan empat kematian selama dua bulan. Jepang yang populasinya 120
juta, kasusnya tak melebihi 800, sedangkan Korea Selatan melaporkan 8.000 kasus,
tetapi mereka berhasil menekan infeksi baru dan jumlah kematian turun drastis
dalam minggu-minggu terakhir. Menurut Prof Nyenswah, hasil-hasil di negara-
negara ini tidak hanya tergantung dari lokasi geografis atau jumlah penduduk
(sekalipun itu memainkan faktor besar dan bisa sangat berpengaruh), tetapi lebih
banyak dari kebijakan yang inovatif, kesiapan dan respons yang cepat.

Apa langkah-langkah yang lebih efektif?


1. Tes, tes dan lebih banyak tes

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para ahli yang ditanya oleh BBC
Mundo sepakat bahwa deteksi cepat merupakan faktor utama dalam menahan
penyebaran pandemi. "Kita tak bisa mengambil langkah atau tahu dampak
sesungguhnya dari virus ini jika kita tak tahu berapa orang yang telah terinfeksi,"
kata Nyenswah.

Krys Johnson, pakar penyakit menular di Temple University, Amerika Serikat,


sepakat bahwa faktor ini membuat hasil berbeda antara satu negara dengan negara
lainnya.

Pengetesan memperlihatkan hasil yang lebih baik, sementara di tempat lain kasus
meningkat dengan pesat. "Korea Selatan mengetes lebih dari 10.000 orang sehari
yang berarti orang yang mereka tes dalam dua hari lebih banyak daripada orang
yang dites di Amerika dalam sebulan," katanya.

Dalam jumpa pers hari Senin (16/03), Direktur WHO Tedros Adhanom
Ghebreyesus mengatakan bahwa tes bagi siapapun yang punya gejala merupakan
"tulang punggung" bagi penghentian penyebaran pandemi ini.

Namun ia mengingatkan, banyak negara yang terus melakukan pemeriksaan hanya


terhadap pasien yang punya gejala serius. Ini bisa membuat catatan statistik keliru
bahkan membiarkan orang dengan gejala ringan, padahal terinfeksi, terus
menyebarkan virus.
2. Isolasi mereka yang terinfeksi

Johnson berkata bahwa pemeriksaan kesehatan tak hanya berujung pada


isolasi mereka yang sakit dan mencegah virus berkembang lebih luas, tapi juga
membuka jalan untuk mendeteksi kemungkinan infeksi yang belum berkembang
menjadi gejala.

Korea Selatan dan China telah melakukan kerja luar biasa dalam melacak,
mengetes, dan mengendalikan warga mereka," katanya. Menurutnya, China sangat
waspada dalam mendeteksi kasus-kasus potensial yang bisa jadi merupakan salah
satu penyebab turun drastisnya infeksi baru yang dilaporkan.

"Orang demam dikirim ke 'klinik demam' dan dites untuk flu dan covid-19.
Ketika hasilnya positif covid-19, mereka diisolasi di tempat yang disebut 'hotel
karantina' untuk mencegah penularan ke anggota keluarga," kata Johnson.

Tak seperti China, di Taiwan, Singapura dan Hong Kong, sekalipun tak ada situs
karantina, aturan yang ditegakkan adalan mengatur agar orang tetap berada di
rumah dengan menerapkan denda yang kadang besarnya bisa mencapai Rp47 juta.
Namun menurut Nyenswah, melacak potensi infeksi merupakan landasan utama
dari strategi ini.

Ia mengingatkan bahwa pemerintah Taiwan dan Singapura mengembangkan


strategi untuk melacak orang yang kontak dengan pasien yang sakit. Siasat itu
dilakukan mulai dari melakukan wawancara hingga melihat kamera keamanan dan
catatan perjalanan, hotel, serta pengujian kepada mereka yang mungkin terpapar.

"Contohnya, pada tanggal 12 Maret, di Hong Kong diduga ada 445 kasus dan
dilakukan 14.900 tes di antara orang yang kontak untuk mendeteksi kemungkinan
infeksi. Hasilnya, diketahui 19 orang positif," katanya.
3. Persiapan dan reaksi cepat
Menurut Nyenswah, yang pernah melawan Ebola di Afrika Barat, salah satu
elemen dasar untuk pengendalian virus adalah bertindak cepat sebelum penularan
meluas di komunitas. "Negara seperti Taiwan dan Singapura memperlihatkan
langkah cepat untuk mendeteksi dan mengisolasi kasus baru. Ini bisa jadi faktor
penentu dalam mengendalikan penyebaran,"
Dalam artikel yag diterbitkan di Journal of the American Medical
Association, respons di Taiwan memperlihatkan bahwa pengendalian mereka
berasal dari cara yang telah mereka kembangkan untuk peristiwa sejenis. Tahun
2003 mereka membuat komando terpusat untuk mengendalikan epidemi. Badan ini,
yang mencakup beberapa agensi penyelidikan dan pemerintahan, dibentuk sesudah
krisis yang disebabkan oleh SARS. Sejak itu mereka melakukan berbagai langkah
persiapan dan peyelitikan untuk menanggapi kemungkinan epidemi.

"Persiapan dan langkah cepat sangat penting dalam tahap awal wabah. Di
Eropa dan Amerika Serikat, kita menyaksikan kurangnya persiapan dan lambatnya
tanggapan," Sebelum dipastikan terjadinya penularan antara manusia di
pertengahan Januari, Taiwan telah mulai memeriksa semua penumpang dari
Wuhan, tempat pertamakali wabah terjadi. Hong Kong mulai menerapkan deteksi
temperatur mulai tanggal 3 Januari dan menerapkan karantina 14 hari bagi turis
yang masuk wilayah mereka.

Setiap dokter diinstruksikan melaporkan semua pasien yang demam atau punya
masalah pernapasan akut serta sejarah bepergian ke Wuhan.
4. Jaga jarak
, ketika penularan pertama dilaporkan di sebuah komunitas, langkah
pencegahan sudah sulit diterapkan. Maka langkah berikutnya, seperti menjaga jarak
(social distancing), lebih efektif untuk mencegah pihak yang paling rentan terhadap
penularan. "Sekali ada penyakit ini di satu negara, langkah pencegahan tidak lagi
tepat. Anda harus mulai mengambil langkah yang tepat atau kehilangan
kemungkinan penghentian yang efektif terhadap wabah ini," kecepatan penerapan
instruksi untuk jaga jarak seperti di Hong Kong dan Taiwan adalah kunci untuk
mengurangi penularan. Hong Kong telah meminta orang dewasa untuk bekerja dari
rumah sejak akhir Januari serta menutup sekolah dan kumpul-kumpul.

Langkah ini ditiru di banyak negara, tapi menurut Johnson, kuncinya adalah
seberapa cepat keputusan itu dibuat. Singapura misalnya tak pernah menutup
sekolah karena adanya dampak ekonomi bagi keluarga yang punya anak kecil.
Strategi yang dilakukan, menurut koran The Straits Times adalah mengetes dan
mengawasi murid dan pengajar setiap harinya.
5. Mempromosikan gaya hidup higienis

Sejak wabah virus corona mulai dilaporkan terjadi di luar China, WHO
berkeras menyarankan untuk jaga jarak, mencuci tangan secara rutin dan gaya
hidup higienis guna mencegah penyebaran virus.

"Banyak negara di Asia yang belajar dari pengalaman SARS di tahun 2003.
Di sana juga ada kesadaran menjalankan hidup higienis tak hanya untuk
menghindar penyakit, tapi juga agar tak menulari orang lain. Sangat penting dalam
kasus ini," .

Di Taiwan, Singapura dan Hong Kong, banyak tersedia cairan anti bakter di
jalan. Pemakaian masker juga biasa dilakukan, bahkan sebelum wabah virus
corona. Pemerintah Taiwan mempromosikan cuci tangan lewat internet sembari
memperkuat mekanisme pembersihan jalan dan tempat-tempat umum.

"Ini satu faktor yang kadang terlupa di tengah langkah-langkah drastis yang
sedang diambil. Menurut saya langkah-langkah yang dilakukan oleh warga seperti
cuci tangan terbukti merupakan salah satu yang paling efektif
Meskipun hal ini terlihat mudah, dalam kenyataannya tidaklah sederhana. Sejauh
tidak ada kebijakan edukasi sosial yang tepat, keresahan dan kepanikan masyarakat
menengah ke bawah akan tetap berlangsung. Informasi tak terkendali tentang
covid-19 dan kegagalan persuasi memutus rantai persebaran, menjadi cermin tidak
adanya perubahan sikap dan perilaku. Bila hal ini berlanjut, dampak fungsional juga
tidak akan berjalan untuk edukasi bahaya covid-19. Selain itu, sifat komunal dan
pola mata pencarian kerap menegasi langkah terapan edukasi sosial.

Kebijakan edukasi sosial bahaya covid-19 harus disusun secara sistematis tanpa
menimbulkan keresahan dan kepanikan masyarakat. Tujuannya, menyiapkan
masyarakat menghadapi bahaya covid-19 secara cerdas dan bijak, selayaknya
edukasi tentang cara menghadapi bencana alam. Hanya dengan kebijakan edukasi
sosial inilah pengendalian covid-19 dapat dilakukan, mengingat proporsi potential
carrier terbesar ada pada masyarakat menengah ke bawah.

Ketiga, kebijakan nasional untuk memobilisasi dunia industri berpartisipasi


menghadapi covid-19. Pelibatan industri nasional dilakukan dengan meminta
mereka untuk sementara waktu memproduksi secara massal peralatan pencegahan,
pemeriksaan, dan penanganan covid-19. 'Mimikri' usaha yang demikian diarahkan
untuk mencukupi ketersediaan masker, sanitizer, APD, serta bahan pangan bagi
kalangan yang rentan pada kebutuhan primer ini.

Perlu stimulus
Alih usaha sementara untuk memproduksi barang dan bahan makanan tentu
bukan hal yang sulit, jika industri nasional mengedepankan kepekaan terhadap
kebutuhan nyata masyarakat. Konsekuensinya, kebijakan meminta partisipasi dunia
industri ini perlu diiringi kebijakan lain yang mengarah pada stimulus ekonomi.
Artinya, stimulus ini harus dapat mengaktifkan kesegeraan dalam membantu
menghadapi covid-19, memberikan apresiasi untuk bantuan yang diberikan, dan
menjadi cara pemerintah melakukan payback terhadap pengorbanan dunia industri.

Bila tiga kebijakan di atas disinergikan, penanganan covid-19 tentu dapat


maksimal. Sinergi kebijakan ini tidak sekadar menjadi short-cut penanganan
bahaya, tapi juga menuju ke pemantapan keteguhan dan kesigapan elemen bangsa
menangani covid-19.

Pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 merupakan langkah


bermakna dalam mengatasi covid-19. Selain menyinergikan langkah-langkah
percepatan, gugus tugas ini perlu memperhatikan sinergi kebijakan di atas. Hal yang
tentu harus diutamakan ialah 'mengawal' percepatan dan penerapan kebijakan
hingga ke daerah-daerah sehingga mewujud kesatuan tindakan dalam penanganan
covid-19.
1. ASPEK MANAJEMEN PLANNING COVID 19

Kala berita tentang merebaknya sebuah virus baru dari Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, Tiongkok, dilaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) pada 31 Desember 2019, hampir bisa dipastikan tidak seorang pun
mengira realitas dunia akan berubah total menjadi seperti ini. Bahkan saat WHO
mencatat kematian pertama akibat virus ini pada 11 Januari 2020, dunia
bergeming. Sebagian barangkali mengira kejadian ini hanya akan terjadi di
Wuhan, tidak di belahan lain dunia.

Melihat kegentingan situasi dan makin meluasnya sebaran virus serta


ditemukannya data bahwa penularan telah terjadi secara lokal di banyak negara,
Direktur Jenderal WHO mengumumkan kondisi kegawatdaruratan kesehatan
dunia (PHEIC) pada 30 Januari lalu. Hal ini memberikan isyarat kuat kepada
dunia bahwa wabah yang berawal di satu kota telah menyebar ke tempat-tempat
lain dan berpotensi membawa dampak luar biasa terhadap populasi dunia. Bila
negara-negara tidak segera bersiap menghadapinya, risiko yang dihadapi akan
sangat besar, mengenai semua sektor pembangunan.

Berbagai kepustakaan ilmiah yang mengulas tentang wabah sudah


menggaris bawahi pentingnya kesiapan setiap negara dalam menghadapi
epidemi baru. Melalui International Health Regulation (2005), WHO bersama
semua negara anggotanya juga telah bersepakat menjalankan traktat
internasional ini untuk meningkatkan kapasitas negara menghadapi wabah
melalui pendekatan cegah, deteksi, dan respons. Kita mengenal wabah flu
Spanyol pada 1918, serta polio, SARS, MERS-CoV, dan ebola. Tapi hanya flu
Spanyol yang diklasifikasikan sebagai pandemi karena dampaknya yang begitu
luas terhadap kehidupan populasi dunia. Akhirnya, setelah 102 tahun, pada 10
Maret 2020, pandemi kembali diumumkan untuk penyakit dengan nama Covid-
19.
Dalam menghadapi SARS-CoV-2, dunia seolah-olah dipaksa untuk
masuk ke situasi yang setara dengan Perang Dunia III. Pada abad ke-21 ini,
perang dunia membenturkan manusia dengan musuh yang tidak terlihat
wujudnya, tapi membuat lebih dari 30 ribu orang kehilangan nyawa serta 500
ribu lebih orang sakit di 199 negara di dunia. Musuh ini membuat kita merasa
hidup dalam realitas yang mirip meski tidak sepenuhnya sama dengan jalan
cerita film fiksi ilmiah. Harus diakui bahwa situasi ini memberikan tekanan
mental kepada kita karena tingginya faktor ketidaktahuan dan ketidakpastian
tentang apa yang bisa mengalahkannya.

Pertanyaannya sekarang, bila pandemi adalah sebuah perang yang harus


dimenangi, apa yang harus dilihat, dikaji, dan dikerjakan secara kolektif sebagai
warga dunia serta apa yang tiap negara harus lakukan di medan peperangannya
masing-masing? Beberapa pedoman berpikir berikut ini dapat menjadi patokan
universal dalam menyusun strategi.

Rasa solidaritas tinggi dibutuhkan antara individu dan antarbangsa.


Sejak awal munculnya wabah ini, WHO selalu menyuarakan pentingnya
solidaritas sebagai kompas bersama dunia untuk keluar dari pandemi. Hal ini
penting dilakukan agar semua upaya tetap berfokus pada tujuan utama untuk
menekan laju penyebaran virus, memastikan tiadanya stigma bagi penderita,
dan mempertahankan tingkat kesehatan populasi semaksimal mungkin. Bila
memakai analogi peperangan, inilah salah satu penanda utamanya: pemimpin
menyuarakan solidaritas kepada seluruh khalayak. Sebagai contoh, kemunculan
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dalam siaran langsung di stasiun televisi
pada 16 Maret lalu merupakan yang pertama kalinya setelah sebelumnya PM
Belanda melakukan hal yang sama pada era 1970-an saat krisis minyak terjadi.

Kesehatan populasi sejatinya mempunyai nilai politis amat besar karena


dampaknya pada kehidupan politik, ekonomi, komersial, hingga kebebasan
individu. Inilah dasar dari pernyataan “kesehatan adalah pilihan politis”. Sebab,
tanpa keberpihakan pemimpin pada kesehatan penduduknya, berbagai aspek
kehidupan bernegara akan mandek. Merujuk pada sejarah Perang Dunia II, para
pemimpin perang, seperti Patton dan Eisenhower, beriringan dengan politikus
serta negarawan, seperti Churchill, Roosevelt, Nehru, dan Sukarno; melakukan
asesmen komprehensif mengenai dampak perang terhadap setiap aspek
kehidupan manusia serta menentukan strategi yang jitu. Keberpihakan ini
menjadi penting karena dalam kondisi normal, kesehatan hampir selalu menjadi
sektor pembangunan yang dikalahkan. Prioritas pada sektor lain yang lebih
kasatmata menjadi lebih favorit dibanding sektor yang hakikatnya baru tampak
setelah belasan, bahkan puluhan tahun.

Harus diingat bahwa pertaruhan terbesar dari kekalahan berperang


melawan pandemi adalah runtuhnya sistem kesehatan nasional. Sederhananya,
layanan kesehatan tidak lagi tersedia karena tiadanya tenaga kesehatan; rumah
sakit tidak lagi bisa menampung dan memberikan pengobatan yang dibutuhkan
karena ketidaktersediaan alat dan obat; sistem rujukan dan pemantauan
kesehatan masyarakat tidak lagi berjalan efektif; serta pasien yang sudah
mengidap penyakit lain dan membutuhkan layanan kesehatan tidak lagi bisa
mendapatkannya. Cara memperkuat sistem kesehatan banyak dikaji dalam
literatur ilmiah, pengalaman, dan contoh baik negara lain yang terbukti efektif
berdasarkan evidence yang ada.

Dengan ketiga prinsip berpikir itulah sebuah strategi nasional yang


tajam dan holistik dapat dibangun dengan komponen berikut ini.

1. Pertama, prioritas diletakkan pada penyelamatan nyawa manusia, termasuk


dan utamanya tenaga kesehatan, agar sektor pembangunan lain kembali
bekerja dengan optimal. Tanpa penyelesaian pandemi yang tuntas, beban
ekonomi negara akan jauh lebih besar dalam jangka panjang dibandingkan
dengan biaya yang harus dikeluarkan saat ini. Selain itu, potensi dampak
sosial dan politik harus diperhitungkan. Kekerasan domestik, instabilitas
politik, dan keresahan publik adalah sedikit contoh dari ekses masalah yang
muncul seiring dengan terjadinya pandemi.
2. Kedua, berpedoman pada kecepatan bertindak dan ketepatan cakupan,
memastikan dilakukannya tes secara luas, pelacakan kontak, kepastian
pemberian layanan kesehatan, dan isolasi kasus. Dalam situasi pandemi,
kita tidak lagi punya kemewahan untuk memilih langkah mana yang akan
diambil. Semuanya harus dijalankan bersamaan sebagai elemen utama dari
mempertahankan dan memperkuat sistem kesehatan nasional.
3. Ketiga, sinergi dan aksi bersama antarlembaga pemerintah dengan pelibatan
aktif masyarakat sipil. Pandemi bukan hanya urusan pemerintah, melainkan
masalah seluruh bangsa. Agar strategi berkelanjutan, dibutuhkan
perencanaan skenario dengan strategi yang matang dan tepat dalam
memetakan situasi yang mungkin terjadi setelah pandemi berakhir.
Idealnya, skenario menjelaskan kebutuhan kerangka regulasi khusus untuk
kegawatdaruratan kesehatan yang memungkinkan semua elemen dalam
pemerintahan dan masyarakat sipil, termasuk sektor swasta, media, para
pakar, dan peneliti, untuk segera bergerak di tingkat pusat hingga daerah.

Khusus untuk Indonesia, beberapa kondisi berikut ini harus digarisbawahi.

1. Pertama, faktor risiko populasi terhadap Covid-19 dan dampaknya terhadap


sistem kesehatan nasional. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018,
disebutkan bahwa prevalensi penyakit tidak menular (kanker, diabetes,
penyakit kardiovaskular) meningkat. Lalu, berdasarkan data World Bank,
Indonesia adalah negara dengan populasi perokok tertinggi di dunia (76,2
persen). Padahal perokok dan orang dengan penyakit-penyakit tersebut
berisiko tinggi tertular virus SARS-CoV-2. Kondisi status kesehatan
populasi setelah pandemi berakhir nanti dipastikan lebih buruk ketimbang
sekarang, menambah beban pada sistem kesehatan nasional dan daerah.
Peran layanan kesehatan primer menjadi semakin krusial dalam menjaga
ketahanan sistem kesehatan.
2. Kedua, besarnya sektor informal di Indonesia mempunyai konsekuensi
yang menuntut komitmen pemerintah untuk memenuhinya. Menekan laju
penyebaran virus dan memutus rantai penularan mengharuskan manusia
membatasi interaksi langsung dan tidak beraktivitas dalam kerumunan.
Diberlakukannya pembatasan jarak fisik dan sosial serta kebijakan bekerja
di rumah membuat para pekerja esensial, terutama di sektor informal,
terkena dampak paling signifikan. Jejaring pengaman sosial harus segera
diaktifkan dan pemerintah menjamin pemberian insentif ekonomi, melekat
pada intervensi kesehatan populasi yang dijalankan.
3. Ketiga, utilisasi jejaring multilateral dan global health diplomacy. Dalam
situasi pandemi, saat banyak negara memperebutkan akses terhadap obat
dan vaksin, Indonesia sebaiknya segera menjadi bagian aktif dari upaya
global ini. Sebagai contoh, WHO meluncurkan riset multinasional bernama
Solidarity Trial yang mengundang keterlibatan banyak negara untuk
menemukan obat anti-Covid-19 dari obat-obatan yang telah beredar saat ini.
Sementara itu, untuk akses terhadap vaksin, tersedia Coalition for Epidemic
Preparedness Innovations (CEPI) sebagai platform multinegara yang
mempercepat pembuatan serta produksi vaksin untuk mencegah Covid-19.

Filsuf Thomas Hobbes mengatakan bahwa berpolitik sama dengan


mempunyai kuasa untuk menentukan hidup-matinya semua warga negara.
Virus corona telah memperlihatkan arti power yang sesungguhnya. Ia menguliti
lapisan di bawahnya menjadi sesuatu yang terlihat publik: menantang
kekuasaan dan penguasa untuk berani berpihak pada kesejahteraan banyak
orang, dengan segala konsekuensinya. Pandemi ini adalah ujian terberat untuk
semua pemimpin di dunia karena langkah dan kebijakan yang diambil
menunjukkan kecakapannya sebagai seorang pemimpin perang, negarawan,
komunikator, serta ahli strategi terunggul di mata dunia dan warga yang telah
memberikan kekuasaan ke tangannya.

Hampir 90% negara-negara di dunia terkena Covid-19 (Coronavirus


COVID-19 Global Cases by John Hopkins CSSE), dimana dituliskan bahwa
sebanyak 168 dari 193 negara (yang diakui United Nations/Persatuan Bangsa-
Bangsa) mengonfirmasi terjangkit virus corona.

Jumlah ini kemungkinan akan bertambah dengan seiring waktu karena


seluruh negara masih berupaya untuk mencari antivirusnya. Seluruh negara
sedang kewalahan dalam menghadapi penyebaran Covid-19, tak terkecuali bagi
negara adi daya seperti Amerika Serikat dan China. Kedua negara adi daya ini
mengalami goncangan psikologi dengan jatuhnya korban jiwa dan kondisi
ekonomi yang menurun.

Virus Covid-19 dalam istilah kedokteran disebut sebagai 2019 Novel


Coronavirus (2019-nCoV). Dikutip dari Center for Disease Control and
Prevention, cdc.gov, Covid-19 merupakan jenis virus yang diidentifikasi
sebagai penyebab penyakit pada saluran pernapasan, yang pertama kali
terdeteksi muncul di Kota Wuhan, China. Dikarenakan warga Wuhan tidak
peduli terhadap menyebarnya Covid-19 dan otoritas setempat yang tidak
membuka informasi kepada publik maka virus ini dengan massive menjangkiti
warga. Sehingga pihak otoritas setempat memberlakukan kebijakan lockdown
pada tanggal 23 Januari hingga 8 April mendatang.

Indonesia mulai menghadapi Covid-19.


Kasus pertama Covid-19 di Indonesia adalah seorang WNI yang
berinteraksi dengan rekannya -seorang warga negara Jepang- yang kemudian
didiagnosa positif terjangkiti Covid-19. Kasus pertama ini muncul pada tanggal
2 Maret 2020 dan langsung diinformasikan oleh Menteri Kesehatan Terawan
Agus Putranto di RSPI Sulianti Saroso. Setelah itu kasus penyebaran Covid-19
terus berkembang. Hingga tanggal 25 Maret 2020 di Indonesia tercatat
terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 790 orang dan korban meninggal
dunia sebanyak 58 jiwa. Sekitar 24 provinsi telah terpapar virus Covid-19 ini
dan sebagian besar ada pada provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Tiga
provinsi yang secara geografis berdekatan dan memiliki interaksi yang cukup
intens pada hari-hari biasanya sehingga dikenal dengan sebutan Jabodetabek
(Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi).

Selaku pemegang kekuasan eksekutif di negeri ini, Presiden Joko


Widodo menggunakan otoritasnya untuk menghadapi penyebaran Covid-19
dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus
Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 pada tanggal 13
Maret 2019. Gugus tugas ini segera bekerja dengan segala sumber daya yang
dimilikinya dan menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia dalam menghadapi
penyebaran Covid-19. Bahkan kemudian gugus tugas ini diharapkan terbentuk
hingga ke RT dan RW agar program dan kebijakan yang ditetapkan di pusat
dapat diimplementasikan ke daerah. Memang sebaiknya demikian karena
permasalahan menghadapi penyebaran Covid-19 ini tidak hanya di daerah
sekitar Jakarta dan pulau Jawa saja melainkan sudah menjadi bencana nasional,
bahkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah menetapkan Covid-19
sebagai sebuah pandemi.

Dalam Keppres ini ada lima tugas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-
19.

1. Pertama, menetapkan dan melaksanakan rencana operasional


percepatan penanganan Covid-19.
2. Kedua, mengoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan
percepatan penanganan Covid-I9.
3. Ketiga, melakukan pengawasan pelaksanaan percepatan penanganan
CovidD-19.
4. Keempat, mengerahkan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan
percepatan penanganan Covid-19.
5. Dan kelima, melaporkan pelaksanaan percepatan penanganan Covid-19
kepada Presiden dan Pengarah.
Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa penyebaran Corona 2019 di
dunia cenderung terus-menerus meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan
korban jiwa dan kerugian material yang lebih besar dan telah berimplikasi pada
aspek sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa negara yang terkena dampak parah dari kasus Covid-19 telah
memberlakukan kebijakan lockdown (parsial maupun total) guna menurunkan
penularan virus ini. Sebut saja Inggris, Italia, China, Malaysia, Belgia, Belanda,
Argentina dan sebagainya. Lockdown –menurut kamus Bahasa Inggris- berarti
kuncian. Dalam konteks ini dapat pula kita artikan sebagai usaha untuk
mengunci penyebaran Covid-19 agar tidak menular kepada warga lain.
Kebijakan lockdown ini adalah sebuah kebijakan dalam keadaan darurat dan
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas tinggi dalam sebuah negara.
Dengan kata lain tidak bisa sembarangan dalam menetapkannya.

Terdapat beberapa kekhawatiran apabila kebijakan lockdown ini diterapkan


di Indonesia. Negeri ini dihadapkan pada ancaman kesehatan nasional dan
goncangan ekonomi yang signifikan. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya
pemerintah sebagai otoritas yang berwenang masih mengkaji kemungkinan dan
kebijakan lain selain melakukan lockdown.

Upaya pemerintah.

Status keadaan darurat wabah Covid-19 di Indonesia terhitung 91 hari


sejak tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020 yang ditetapkan melalui
Keputusan Kepala BNPB No. 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status
Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di
Indonesia. Hal ini kemudian memunculkan sederet kebijakan, edaran dan
himbauan dari pemerintah baik di pusat maupun daerah. Dalam hal informasi,
kita juga terbantu dengan banyaknya infografis (informasi dalam bentuk
gambar) yang dibuat oleh pemerintah (berbagai instansi) dan lembaga-lembaga
non-pemerintah. Informasi terkait penanggulangan dan penyebaran Covid-19
ini tersebar luas diberbagai media sosial, namun sayangnya diikuti pula oleh
banyak informasi yang tidak valid (hoax).

Melalui UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana maka


BNPB memiliki sejumlah kemudahan akses strategis, seperti pengerahan SDM
dan komando untuk memerintah lembaga negara. BNPB telah mengupayakan
secara baik dan terarah mengenai istilah-istilah dalam penanggulangan
penyebaran Covid-19. Dalam beberapa minggu terakhir, kita dibiasakan dengan
istilah social distancing (pembatasan sosial), lockdown, rapid test, swab test,
hazmat, PDP, OPD, APD dan lain sebagainya. Istilah-istilah ini patut untuk
diketahui khalayak ramai karena saat ini perhatian masyarakat untuk
permasalahan Covid-19 tergolong kurang, padahal di media massa -baik cetak
maupun elektronik- dan media sosial informasi tentang ini sudah sedemikian
ramainya.

Salah satu himbauan pemerintah yang patut mendapat perhatian serius


seluruh rakyat Indonesia adalah social distancing (pembatasan sosial).
Himbauan ini diserukan langsung oleh Presiden Joko Widodo, "Saatnya kita
kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah". Himbauan social
distancing menuntut adanya kesadaran warga untuk menjaga jarak dalam
kerumunan, seperti menjaga jarak dari orang lain minimal 1 meter, tidak
bepergian ke area publik (mall, bioskop, stadion, sekolah, tempat ibadah,
gedung pemerintahan, dan lain-lain), mengenakan masker, tidak bersentuhan
dan sebagainya. Himbauan social distancing ini kemudian menghasilkan
kebijakan belajar dari rumah (siswa dan mahasiswa), salat wajib di rumah,
bekerja dari rumah, penundaan pembayaran kredit untuk 1 tahun, hingga
membatalkan UN 2020.

Negara benar-benar serius dalam hal ini namun sayangnya berbanding


terbalik dengan komitmen rakyat Indonesia. Rakyat kita tidak serius
menanggapinya padahal sendi-sendi negara bisa kolaps apabila permasalahan
ini terus berlanjut. Dari permasalahan ini seharusnya muncul semangat bela
negara karena dengan adanya rasa cinta pada bangsa dan negara maka dapat
menumbuhkan perasaan rela berkorban, taat pada aturan (himbauan), berfikir
jangka panjang, mengutamakan kepentingan umum dan eksistensi negara.
Mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, organisasi keagamaan tingkat pusat
maupun daerah, dan organisasi non-pemerintah lainnya telah memberikan
himbauan agar masyarakat melakukan social distancing demi meminimalisir
penyebaran Covid-19 ini.

Virus Covid-19 terus menebar ketakukan, sementara obatnya hingga


saat ini belum ditemukan. Hal ini sangat mengkhawatirkan sehingga
menimbulkan kepanikan yang berlebihan dan dapat menurunkan imunitas
tubuh. Oleh karenanya sudah sepatutnya setiap kita harus bahu membahu dalam
mentaati pemerintah dan pemuka agama; menjaga kebersihan dan kesehatan
diri dan keluarga; menjadi inisiator kepatuhan dalam ber-social distancing;
menumbuhkan semangat sense of belonging; menjadi teladan dan influencer
dalam masyarakat; tidak menjadi panic-buyer; tidak menimbun alat kesehatan
dan kebutuhan pokok; serta tindakan-tindakan bela negara lainnya yang dapat
menjaga keberlangsungan bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai.
Untuk semakin mempercepat penanganan virus corona (Covid)-19,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membentuk Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 tahun
2020. Keppres ini ditandatangani Jokowi pada Jumat (13/3/2020) pada saat
pemerintah mengumumkan jumlah kasus positif di Indonesia melonjak menjadi
69 kasus dengan empat orang meninggal dunia.

Dalam Keppres ini ada lima tugas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-
19.

1. Pertama, menetapkan dan melaksanakan rencana operasional percepatan


penanganan Covid-19.
2. Kedua, mengoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan
percepatan penanganan Covid-I9.
3. Ketiga, melakukan pengawasan pelaksanaan percepatan penanganan
CovidD-19.
4. Keempat, mengerahkan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan
percepatan penanganan Covid-19.
5. Dan kelima, melaporkan pelaksanaan percepatan penanganan Covid-19
kepada Presiden dan Pengarah.

Di dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa penyebaran Corona 2019 di


dunia cenderung terus-menerus meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan
korban jiwa dan kerugian material yang lebih besar dan telah berimplikasi pada
aspek sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
2. ASPEK ORGANIZING

Dalam manajemen terdapat unsur organizing, gunanya untuk mencapai tujuan


dengan diadakannya organisasi dalam penanganan suatu masalah atau tugas.

Organizing adalah proses dalam memastikan kebutuhan manusia dan fisik setiap
sumber daya tersedia untuk menjalankan rencana dan mencapai tujuan yang
berhubungan dengan organisasi. Organizing juga meliputi penugasan setiap
aktifitas, membagi pekerjaan ke dalam setiap tugas yang spesifik, dan menentukan
siapa yang memiliki hak untuk mengerjakan beberapa tugas.

Aspek utama lain dari organizing adalah pengelompokan kegiatan ke departemen


atau beberapa subdivisi lainnya. Misalnya kepegawaian, untuk memastikan bahwa
sumber daya manusia diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Memekerjakan
orang untuk pekerjaan merupakan aktifitas kepegawaian yang khas. Kepegawaian
adalah suatu aktifitas utama yang terkadang diklasifikasikan sebagai fungsi yang
terpisah dari organizing.

Agar tujuan tercapai maka dibutuhkan pengorganisasian. Dalam organisasi


biasanya diwujudkan dalam bentuk bagan organisasi. Yang kemudian dipecah
menjadi berbagai jabatan. Pada setiap jabatan biasanya memiliki tugas, tanggung
jawab, wewenang dan uraian jabatan (Job Description).

Sama halnya dengan penanganan covid-19 ini maka Presiden Joko widodo
menunjuk kepala badan nasional penanggulangan bencana Doni Monardo sebagai
ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan 2019-nCoV dengan tujuan
pembentukan ini agar mempercepat tugas penanganan 2019-nCoV melalui sinergi
antara kementrian Lembaga dan pemerintah daerah.

KepPRes RI no 7 tahun 2020 :

Gugus tugas percepatan penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19)

Gugus tugas akan langsung bertanggung jawab kepada presiden, dengan struktur :

Ketua : Doni Monardo (KBNPB)


Dan di bantu 2 orang wakil yaitu :
1. Asisten operasi panglima TNI
2. Asisten koperasi Kapolri
Sementara anggota gugus tugas terdiri dari :

Unsur unsur kementrian dan lembaga negara.

Adapun pengarah dalam gugus tugas ini adalah :

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusiadl dan


kebudayaan, Menteri koordinator bidang Politik Hukumdan keamanan,
Menteri kesehatan, dan Menteri keuangan.

KOMPAS TV : Jokowi beri kepercayaan penuh pada Doni Monardo untuk


pimpin gugus tugas percepatan penanganan Covid-19

Tugas gugus percepatan penanganan Covid-19 :

1. menetapkan dan melaksanakan rencana operasional percepatan penanganan


covid-19
2. mengoordinasikan dan mengendalukan pelaksana kegiatan percepatan
penanganan Covid-19
3. melakukan pengawasan pelaksanaan percepatan penanganan Covid-19
4. Mengerahkan sumber daya untuk pelaksanaan percepatan penanganan
Covid-19
5. Melaporkan pelaksanaan percepatan penanganan Covid-19 kepada presiden
dan pengarah.

Berita satu : Ini tigas gugus tugas percepatan penanganan Covid-19


3. ASPEK ACTUATING

Perencanaan dan pengorganisasian yang baik kurang berarti bila tidak diikuti
dengan pelaksanaan kerja. Untuk itu maka dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas dan
kerjasama. Semua sumber daya manusia yang ada harus dioptimalkan untuk
mencapai visi, misi dan program kerja organisasi. Pelaksanaan kerja harus sejalan
dengan rencana kerja yang telah disusun. Kecuali memang ada hal-hal khusus
sehingga perlu dilakukan penyesuian.

Setiap SDM harus bekerja sesuai dengan tugas, fungsi dan peran, keahlian dan
kompetensi masing-masing SDM untuk mencapai visi, misi dan program kerja
organisasi yang telah ditetapkan.

Dalam penanganan covid-19 ini pemerintah telah melakukan beberapa pelaksanaan


yaitu :

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, telah melakukan


berbagai langkah pencegahan masuknya COVID-19 ke wilayah Indonesia, yaitu:

Menerbitkan surat edaran kepada seluruh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota,
Rumah Sakit Rujukan, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), dan Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan (BTKL), untuk meningkatkan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan masuknya penyakit ini.

Menempatkan 135 thermal scanner di seluruh bandar udara di Indnesia terutama


yang mempunyai penerbangan langsung dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Memberikan health alert card dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) pada
penumpang.
Menunjuk sedikitnya 100 Rumah Sakit Rujukan yang sebelumnya dipakai pada
kasus flu burung dan menyiapkan 21 kapsul evakuasi (meja dorong isolasi pasien)
sebagai langkah pencegahan.

2. Kementerian Kesehatan membuka kontak layanan yang dapat diakses


masyarakat untuk mencari informasi perihal virus corona. Nomor layanan
informasi yang dapat dihubungi adalah 0215210411 dan +6281212123119.

3. Pada 2 Februari 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan:

Penundaan seluruh penerbangan dari dan ke RRT yang berlaku mulai 5 Februari
2020 pukul 00.00 WIB. Pelarangan seluruh orang masuk dan transit ke Indonesia
apabila selama 14 hari terakhir berada di RRT. Pencabutan sementara bebas visa
dan visa on arrival untuk warga negara RRT. Penghentian sementara impor live
animal dari RRT.

4. Sebagai bentuk perlindungan, Pemri telah memulangkan WNI dari Provinsi


Hubei, RRT, pada 2 Februari 2020. Kepada para WNI tersebut telah diterapkan
langkah-langkah sebagai berikut:

Memastikan ketersediaan dan akses terhadap logistic di Wuhan (sebelum dilakukan


evakuasi): karena adanya kebijakan karantina dari Pemerintah RRT, KBRI Beijing
telah mengirimkan bantuan dana kepada WNI yang sebagian besar merupakan
mahasiswa untuk keperluan membeli makanan dan logistic di Wuhan.
Mengirimkan bantuan logistic dari Indonesia: BNPB melalui Kementerian Luar
Negeri dan KBRI Beijing telah mengirimkan 10.000 masker N-95 untuk WNI di
RRT.

Melakukan penjemputan sukarela: 237 WNI dan 1 WNA yang berada di Provinsi
Hubei pada tanggal 1 – 2 Februari 2020.

Sejak tanggal 2 Februari 2020, seluruh WNI bersama 5 tim aju dari KBRI Beijing
serta 42 anggota tim evakuasi menjalani observasi kesehatan selama 14 hari (masa
inkubasi virus) di Pangkalan Udara TNI AU Raden Sadjad di Pulau Natuna.

Pada 15 Februari 2020, seluruh WNI beserta tim evakuasi telah menyelesaikan
masa karantina observasi kesehatan dan dinyatakan sehat, bebas dari virus corona.

dalam kata lain Langkah yang diambil oleh pemerintah saat ini adalah dengan
melakukan social distancing kepada masyarakat dimana kebijakan ini diharapkan
akan meminimalisir penyebaran virus ini.

Banyak sekali pihak yang menilai bahwa social distancing tidak begitu efektif untuk
mengatasi masalah saat ini. Akhirnya banyak sekali pihak yang menuntut
pemerintah untuk melakukan lockdown di Indonesia.

Dilansir kompas.com Sabtu (21/03/2020), presiden jokowi menolak untuk


melakukan lockdown.

Karena kebijakan ini dianggap akan berpengaruh terhadap perekonomian indonesia.


Bagaimana tidak, banyak masyarakat indonesia yang berpenghasilan harian
sehingga jika menerapkan kebijakan lockdown maka mereka akan kehilangan
penghasilan sehingga akan menimbulkan masalah yang lain.
Tidak hanya mengenai virus saja bahkan bisa menjadi krisis ekonomi atau membuat
banyak masyarakat indonesia menjadi kelaparan dan membuat masalah lain di
tengah masalah virus saat ini.

Kebijakan lain yang akhirnya diambil pemerintah yaitu dengan melakukan tes
massal atau rapid test untuk mencegah penyebaran virus covid-19 di Indonesia ,
dalam siaran langsung pada akun Youtube Sekretariat Presiden. Hal ini mendapat
sambutan baik dari masyarakat.

Masyarakat meminta untuk pemerintah mempercepat melakukan rapid test karena


banyak ditemukan kasus positif virus covid-19 tanpa menunjukan gejala apapun.
Sehingga dikhawatirkan virus ini akan lebih cepat menyebar dan menambah korban
jiwa.

Selain itu Pak Joko Widodo juga siap untuk memesan 2 juta obat untuk covid-19
yang telah berhasil menyembuhkan beberapa pasien covid-19 dibeberapa negara.
Dalam keterangan pers di Istana Negara, Jum'at (20/03/2020), Jokowi menerangkan
bahwa obat yang dipesan merupakan dua jenis obat yang segera didistribusikan.

Dikutip dalam CNBC Indonesia, saat ini, ujar Iwantono, ada keluhan dari
masyarakat soal rumah sakit dan tenaga medis yang belum siap dalam menghadapi
penyebaran virus corona. Dia mengatakan, banyak orang ingin tes Covid-19, tetapi
tidak terlayani dengan baik, banyak rumah sakit yang tidak dapat melakukan.
4. CONTROLING

Kasus positif virus corona atau covid-19 di Indonesia terus meningkat hari demi
hari. Tercatat, hingga Senin (30/3/2020), terdapat 1.414 kasus dengan korban
meninggal sebanyka 122 orang.

Menanggapi kondisi sedimikian rupa, Koordinator Tim Respons Covid-19


Universitas Gajah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad membagikan skenario
pengendalian Covid-19.

Skenario tersebut dibeberkan setelah Tim Satgas Covid-19 UGM


mengembangkan model prediksi menggunakan pendekatan Agent Based
Modelling (ABM) yang dinamakan DIY Covid-19. Mereka menstimulasikan
dampak mobilitas penduduk dan intervensi social distancing terhadap penularan
Covid-19.

Selengkapnya, berikut 3 skenario tersebut.

1. Penerapan Social Distancing

Andono menyampaikan, langkah pertama yang bisa ditempuh pemerintah


untuk menekan penyebaran Covid-19 yakni dengan pemberlakukan sosial
distancing, terutama kawasan zona merah.

"Wilayah yang belum masuk kategori zona merah perlu menerapkan


moderate sosial distancing minimal selama empat minggu lalu diveluasi," ungkap
Andono dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com.

Moderate social distancing sendiri adalah upaya untuk menutup sejumlah


fasilitas seperti kantor swasta, sekolah, tempat ibadah dan tempat wisata.

Sementara untuk kawasan zona merah perlu menerapkan karantina wilayah


minimal selama tiga minggu. Diikuti dengan penutupan akses keluar masuk
wilayah hingga setelah Hari Raya Idul Fitri.
"Bagi wilayah yang masuk kategori zona merah tetapi melawati puncak outbreak
dapat menutup lalu lintas keluar masuk kecuali untuk transportasi logistik,"
tambahnya.

2. Peningkatan Skrining dan Diagnonis

Strategi kedua yang direkomendasikan Andoni untuk memutus mata rantai


penyebaran Covid-19 yakni dengan meningkatkan skrining dan diagnosis kasus.

Sebab menurutnya, kekinian proses tersebut masih tersedia dalam kapasitas


kecil sehingg belum maksimal memerangi Covid-19

"Perlu meningkatkan kapasitas skrining dan diagnosis minimal 10 kali lebih


besar dari yang tersedia saat ini," ujar Andono.

3. Peningkatan Fasilitas Kesehatan

Strategi terakhir yang bisa diterapkan untuk menekan penularan Covid-19


yakni dengan meningkatkan layanan kesehatan, baik berupa ruang perawatan
maupun alat-alat penunjang medis.

"Pemerintah perlu membangun fasilitas isolasi/karantina non rumah sakit


untuk memisahkan pasien yang tidak membutuhkan perawatan dan populasi
umum" ucap Andono.

Sementara untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19, pemerintah juga


perlu meningkatkan kapasitas yang tersedia rumah sakit baik berupa ruang ICU,
ventilator maupun alat pelindung tenaga medis.

"Memastikan kecukupan alat pelindung untuk tenaga medis dapat


menangani jumlah pasien yang terus meningkat," terang Andono, memungkasi.
ASPEK EVALUASI

1 . Penegertian Evaluasi

evaluasi adalah suatu proses identifikasi untuk mengukur/ menilai apakah suatu
kegiatan atau program yang dilaksanakan sesuai dengan perencanaan atau tujuan
yang ingin dicapai.

2. Evaluasi tentang pandemi virus COVID 19

Dunia sedang dihebohkan dengan munculnya Pandemi Corona Virus


Disease (Covid-19), yang membawa dampak signifikan ke perubahan dunia. Mulai
dari aspek ekonomi, sosial, hingga kehidupan sehari-hari, hampir tak ada yang bisa
berkelit dari kemunculan virus Covid-19 ini, tidak terkecuali terhadap pelayanan
publik sejak virus corona pertama kali muncul akhir Desember 2019 lalu.

pada bagian ini kami telah menegevaluasi tentang penangan covid 19 oleh
pemerintah. Jadi menurut evaluasi yang kami ddapat kan mulai dari media masa artikel
maupun jurnal, Bahwa pemerintah sudah sangat berusaha untunk menangani kasus
pandemi virus corona ini. ). Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan
pemerintah Indonesia terus melakukan evaluasi kebijakan penanganan virus korona
(covid-19) setiap harinya. Langkah ini dinilai dapat memberikan dampak maksimal
untuk melawan wabah virus tersebut. Menurutnya, kebijakan yang diambil
pemerintah sesuai dengan keunikan negara itu sendiri, termasuk kondisi demografi,
kebudayaan, dan ekonomi.
Sejak diumumkan kasus positif virus Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret
2020 lalu, pemerintah meningkatkan langkah-langkah dalam menangani pandemi
global dari Covid-19. Sebelum itu, pemerintah juga telah meningkatkan kesiagaan
banyak rumah sakit dan peralatan yang sesuai dengan standar internasional,
termasuk pada anggaran yang secara khusus dialokasikan bagi segala upaya
pencegahan dan penanganan. Dan Sejak awal Maret 2020, berbagai kebijakan telah
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Mulai dari membatasi hubungan
sosial (social distancing), menghimbau untuk bekerja di rumah (work from
home) bagi sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN), meniadakan kegiatan
ibadah, dan meminta masyarakat untuk tetap di rumah serta mengurangi aktivitas
ekonomi di luar rumah. Kebijakan tersebut bermaksud baik, namun dampak dari
kebijakan tersebut memiliki resiko tinggi, hingga akhir Maret 2020 kebijakan
pemerintah bukan hanya social distancing tapi dilanjutkan dengan Physical
Distancing, dan juga pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB).

Karenanya, sejak awal virus ini terdeteksi di Indonesia, pemerintah sudah


memiliki komitmen jelas. "Komitmen kami untuk memutus rantai infeksi, dan itu
sudah jelas," tuturnya. Lewat gugus tugas nasional, Indonesia aktif meningkatkan
upaya terkait uji covis-19. Ini termasuk mengisolasi, menguji, merawat, dan
melacak pasien dan yang melakukan kontak dengan pasien. saat ini, kasus infeksi
covid-19 di Indonesia sebanyak 4.470 dengan jumlah kesembuhan mencapai 548.
Sementara itu, kasus kematian kini sebanyak 498 orang.

pemerintah Indonesia terus mengevaluasi kebijakan penanganan pandemi


Covid-19 setiap hari. Hal itu guna memberikan dampak lebih maksimal dalam
upaya melawan pandemi Covid-19. "Setiap hari kami mengevaluasi kebijakan,
mencoba membuatnya dapat diterapkan dan memberikan dampak lebih dalam
upaya melawan virus," ujar Retno Marsudi saat memberikan keterangan pers
melalui video di Jakarta, Kamis (16/4).

Menlu mengatakan kebijakan yang diambil pemerintah selalu didasari


relevansi dan karakter kebudayaan, kondisi demografi dan ekonomi. Menlu juga
menyampaikan kembali pernyataan Presiden bahwa tidak ada kebijakan atau
formula yang dapat diimplementasikan secara pas bagi semua negara. Menlu
mengatakan Covid-19 merupakan tantangan semua negara tanpa terkecuali. Yang
penting dilakukan saat ini adalah belajar dari pengalaman negara-negara lain. Selain
itu, kata Menlu, diperlukan kerja sama antara setiap negara untuk menjalankan
sejumlah fokus prioritas, yakni mengatasi pandemi, memitigasi dampak ekonomi
dan melindungi warga negara.
Sebelumnya, Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-
19 memproyeksikan puncak kasus positif Covid-19 di Indonesia akan terjadi pada
awal Mei 2020 hingga awal Juni 2020. Tim pakar memprediksi estimasi pada masa
puncak bisa mencapai hingga 95 ribu kasus positif Covid-19.

"Kami telah kaji dan kombinasikan semua prediksi dan kami percaya
puncak dari pandemi di Indonesia ini akan mulai terjadi di antara awal Mei 2020
hingga sekitar awal Juni 2020. Kasus selama masa puncak ini kumulatif 95 ribu
kasus," kata Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19,
Wiku Adisasmito dalam konferensi pers secara virtual bersama Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dan Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi di Jakarta, Kamis (16/4). Wiku mengatakan prediksi itu datang dari
berbagai kajian yang dilakukan para ahli, dan lembaga ilmiah. Setelah masa puncak
di awal Juni, kenaikan jumlah kasus positif akan mulai melandai.

Periode Juni hingga Juli 2020, kata Wiku, jumlah kasus positif Covid-19 di
Indonesia mencapai 106 ribu kasus. Wiku mengemukakan pemerintah akan terus
berupaya untuk memutus rantai penularan virus Corona baru agar jumlah kasus
positif tidak mencapai angka yang diprediksikan.

"Bagaimanapun kita percaya angka ini bukan angka yang sudah rigid. Kami terus
menerapkan berbagai kebijakan agar jumlah kasus positif bisa lebih rendah dari
yang diproyeksikan,

Di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


sendiri, sebagai dasar dalam penyelenggara pelayanan publik dalam memberikan
pelayanan tidak diatur mengenai pembatasan pelayanan publik, sebagaimana yang
diterapkan oleh penyelenggara pelayanan publik saat ini,. Tetapi berdasarkan
undang-undang ini diatur bahwa penyelenggara pelayanan publik mempunyai
kewajiban untuk memenuhi komponen standar pelayanan minimal seperti
persyaratan, dasar hukum, sistem mekanisme prosedur, jangka waktu penyelesaian,
biaya, produk layanan, dan lain-lain sesuai dengan dalam Pasal 21. Sehingga
walaupun ada kebijakan pembatasan pelayanan publik tersebut, penyelenggara
pelayanan publik tetap harus mematuhi standar pelayanan minimal dengan tetap
memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing pihak baik penyelenggara
maupun masyarakat, sebagaimana diatur dalam BAB IV dari Pasal 14 sampai
dengan Pasal 19. Sehingga walaupun terjadi pembatasan dalam pemberian
pelayanan publik, tetapi penyelenggara masih memberikan pelayanan publik yang
efektif dan prima kepada masyarakat.

pemerintah untuk tetap berada di rumah dan pembatasan pemberian


pelayanan publik ini memang membuat masyarakat menjadi kurang nyaman dalam
menerima pelayanan publik, tetapi ini merupakan kebijakan yang saat ini diambil
pemerintah adalah upaya untuk membatasi atau menghentikan penyebaran Virus
Corona. Dengan adanya pembatasan ini apakah kemudian hak-hak dari masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan publik menjadi berkurang? Itu merupakan
pertanyaan mendasar dari sebagian besar masyarakat.

Dengan adanya pembatasan pelayanan publik menjadi sedikit berkurang benefit


yang diperoleh masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik. Akan tetapi,
masyarakat tetap mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik,
dan masyarakat mempunyai peran dalam pengawasan terhadap pembatasan
pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik. Peran
masyarakat sesuai dengan Undang-undang adalah, untuk mengawasi jalannya
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Seperti yang diatur dalam Pasal 39 menjelaskan bahwa, masyarakat seharusnya
disertakan mulai dari penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi
jalannya pelaksanaan pelayanan publik.

Dalam keadaan darurat dan mendesak saat ini yang dikarenakan penyebaran
virus Covid-19 yang sangat cepat ini, masyarakat mungkin tidak dilibatkan dalam
penyusunan standar pelayanan terkait pembatasan pelayanan publik. Akan tetapi,
masyarakat masih mempunyai peran yang lain yaitu sebagaimana diatur dalam
Pasal 35 ayat (3) bahwa masyarakat adalah sebagai pengawas eksternal.
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik itu dapat dilakukan oleh
pengawas internal dan eksternal, masyarakat yang merupakan pengawas eksternal
dapat melakukan tugas pengawasannya dengan melalui laporan atau pengaduan,
akan tetapi masyarakat tidak bisa menilai atau melakukan pengawasan secara penuh
terkait standar layanan, dikarenakan kondisi sekarang masih tidak normal.
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini dilakukan dengan memastikan
apakah pembatasan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara ini masih
memenuhi komponen-komponen dalam standar pelayanan, sesuai dengan yang
diatur dalam Pasal 21, serta masyarakat masih mendapatkan haknya sebagaimana
diatur juga dalam Pasal 18.
DAFTAR PUSTAKA

Afiah, S., Farida, A. S., & Muslim, J. Inovasi kebijakan publik tentang pencegahan
dan penanggulangan corona virus disease 19 (Covid-19) di Jawa
Barat. Digital Library UIN Sunan Gunung Djati.
Debataraja, C. L. B., & Krisnadi, I. Perancangan Prototype Sistem Monitoring
Komparasi Jarak Jauh Sensor Suhu Menggunakan Iot Selama Masa
Pandemik Covid-19 Di Indonesia.
Khaeruman, B., Nur, S., Mujiyo, M., & Rodliyana, D. (2020). Pandemi Covid-19
dan kondisi darurat: Kajian hadis tematik. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Nurhayati, T., & Aji, R. H. S. (2020). Emansipasi Melawan Pandemi Global: Bukti
Dari Indonesia. 'ADALAH, 4(1).
Purwanto, A. (2020). Studi Eksplorasi Dampak Work From Home (WFH)
Terhadap Kinerja Guru Selama Pandemi Covid-19. EduPsyCouns: Journal
of Education, Psychology and Counseling, 2(1), 92-100.
Setiawan, Y. I. S. (2020). Penetapan Karantina Wilayah Menurut Pandangan Legal
Positivisme Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Pandemi
Coronavirus Disease (Covid)-19.
Susanto, A. R. I., Indradi, A. H., Arsyah, A. M., Mulyani, C. K., Athilla, K. D., Al
Faruq, M. H., ... & Aldebarant, N. R. R. Kajian Politik Hukum Pemerintah
dalam Penanganan Pandemi Covid-19.
WHO. 2020. Rational use of personal protective equipment for coronavirus disease
2019 (COVID-19).
WHO.int. (2020, 29 Maret). Modes of transmission of virus causing COVID-19:
implications for IPC precaution recommendations. Diakses pada 8 April 2020,
dari https://www.who.int/emergencies/diseases/novel- coronavirus-
2019/technical-guidance
WHO.int. (2020, 6 April). Rational use of personal protective equipment for
coronavirus disease (COVID-19) and considerations during severe shortages.
Diakses pada 8 April 2020, dari https://www.who.int/
emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-guidance.
Link :
https://amp-suara
com.cdn.ampproject.org/v/s/amp.suara.com/news/2020/03/31/100430/peneli
ti-ungkap-3-skenario-pengendalian-covid-19-apa-
saja?amp_js_v=a3&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=
15896990586142&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=
Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.suara.com%2Fne
ws%2F2020%2F03%2F31%2F100430%2Fpeneliti-ungkap-3-skenario-
pengendalian-covid-19-apa-saja

https://www.bbc.com/indonesia/majalah-51974072.Virus corona: Lima


strategi sukses yang dipakai berbagai ...
https://mediaindonesia.com/read/detail/298499-kebijakan-antisipatif-
inovatif-penanganan-covid-19
https://kolom.tempo.co/read/1328253/menuju-strategi-nasional-
penanganan-covid-19. Menuju Strategi Nasional Penanganan Covid-19 -
Kolom ...
http://www.balairungpress.com/2020/04/prioritas-kebijakan-pemerintah-
indonesia-dalam-menangani-pandemi-covid-19/.Prioritas Kebijakan
Pemerintah Indonesia dalam Menangani ...

https://www.suarasurabayanet.cdn.ampproject.org/v/s/www.suarasurabaya.net/kel
anakota/2020/dewan-pers-minta-insan-pers-ajak-stakeholders-tangani-covid-19

https://publika-co-
id.cdn.ampproject.org/v/s/publika.co.id/2020/04/13/wakapolda-sumut-
seluruh-stakeholder-harus-bersinergi-dalam-penanganan-covid-19
https://m.liputan6.com/bola/read/4214904/peran-relawan-dalam
penanganan-virus-corona-covid-19-di-indonesia
https://www.biem.co/read/2020/04/25/57863/astri-wulandari-stakeholder-
communication/
https://m.mediaindonesia.com/read/detail/290582-siaga-darurat-covid-19-
wiranto-panggil-stakeholder-terkait
https://mantaranewscom.cdn.ampproject.org/v/s/m.antaranews.com/amp/ber
ita/1390618/analisis-karantina-wilayah-perlu-pertimbangkan-anggaran-dan-
logistik?amp_js_v=a3&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#ao
h=15896719228601&csi=1&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com
&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.antaran
ews.com%2Fberita%2F1390618%2Fanalisis-karantina-wilayah-perlu-
pertimbangkan-anggaran-dan-logistik
https://kumparan.com/kumparannews/melihat-efektivitas-penerapan-psbb-
untuk-cegah-corona-1tF9fTxlVsH
https://amp.kompas.com/regional/read/2020/01/27/07024531/duduk-
perkara-gubernur-sumbar-sambut-kedatangan-150-turis-china-diprotes
https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200122133429-269-
467622/takut-virus-korona-korea-utara-larang-turis-berkunjung

https://www.washingtonpost.com/newssearch/?query=china%20hopes%20t
o%20build%20a%20twmporaru%20hospital%20in%20wuhan%20in%20six
%20day&sort=Relevance&datefilter=All%20Since%202005
https://www.businessinsider.sg/?r=US&IR=T
https://www.scmp.com/topics/asia-
tech?gclid=CjwKCAjwwYP2BRBGEiwAkoBpAnrFb9Pha-
88K88_Yh97N2LCuUpaCYiezLTTRicw1-
AjKe4Hac7aaxoCsOoQAvD_BwE
https://www.sciencenews.org/
https://tirto.id/arti-psbb-yang-dibuat-untuk-cegah-penyebaran-corona-di-
indonesia-eMXT
https://bencana-kesehatan.net/index.php/72-full-page/3906-update-
manajemen-covid-19
https://www.nu.or.id/post/read/118863/strategi-penanggulangan-covid-19-
di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai