Anda di halaman 1dari 4

Nama : Anisah Fadhilah Madjid

NIM : K011181368
Current Issue
Kondisi Stunting di Dunia, Indonesia dan Beberapa Kota
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya
asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil)
dari standar usianya. Dampak stunting umumnya terjadi disebabkan kurangnya
asupan nutrisi pada 1.000 hari pertama anak. Hitungan 1.000 hari di sini dimulai
sejak janin sampai anak berusia 2 tahun, jika pada rentang waktu ini, gizi tidak
dicukupi dengan baik, dampak yang ditimbulkan memiliki efek jangka pendek.
Adapun gejala stunting jangka pendek meliputi hambatan perkembangan,
penurunan fungsi kekebalan, penurunan fungsi kognitif, dan gangguan sistem
pembakaran, Sedangkan gejala jangka panjang meliputi obesitas, penurunan
toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan osteoporosis.
Masalah stunting banyak dialami oleh sebagian besar anak di Negara miskin
dan Berkembang. Sebesar 66% anak yang berusia dibawah 5 tahun dengan stunting
berasal dari negara berkembang dengan income menengah kebawah (WHO, 2018).
Sekitar 90% anak-anak stunting berada di Negara Afrika dan Asia (De onis et al,
2013). Prevalensi stunting yang terjadi di negara Afrika Selatan 18,6%, di Ethiopia
sebesar 26,4%, Nigeria 22,2 %, serta 6 juta anak stunting di Amerika Latin dan
Karibia. Sedangkan prevalensi stunting di negara Asia seperti India (38,4%), Pakistan
(45 %) dan Bangladesh (36,1%) (Unicef, 2019). Berdasarkan data WHO tahun 2016,
prevalensi balita stunting di wilayah Asia Tenggara mencapai 33,8% yang berada di
negara Myanmar sebesar 35%, Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan
Singapura (4%) (Apriluana & Fikawati, 2018). Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang berada di kawasan Asia Tenggara yang sedang membangun dan
masih memiliki beberapa kekurangan dan ketertinggalan terutama dibidang
kesehatan khususnya masalah gizi (Kemenkes, 2018). Salah satu masalah kekurangan
gizi di Indonesia adalah stunting dan prevalensi stunting di Indonesia tertinggi kedua
(36,4%) dibandingkan dengan negara lain di wilayah Asia Tenggara dan peringkat
kelima didunia (Pusdatin, 2018). Saat ini, secara global masih terdapat 149 juta anak
di bawah usia 5 tahun yang menderita stunting.
Di Indonesia, kasus stunting masih menjadi masalah kesehatan dengan
jumlah yang cukup banyak. Hal ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dengan
manifestasi kegagalan pertumbuhan (growth faltering) yang dimulai sejak masa
kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. Kejadian balita stunting (pendek)
merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia, lebih dari 2 juta anak
menderita gizi buruk dan lebih dari 7 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami
stunting. Kondisi ini menuntut komitmen politik dari pemerintah pusat dan daerah
untuk menunjukkan keseriusan intervensi pangan dan gizi dalam agenda
kebijakannya. Kurangnya komitmen politik telah diidentifikasi sebagai alasan utama
rendahnya prioritas yang diterima oleh intervensi pangan dan gizi. Berdasarkan data
Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi
tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu
27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Pada 2018, menurut data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), angkanya terus menurun hingga 23,6 persen.
Masalah stunting yang tertinggi di Indonesia, salah satunya berada di Provinsi
Sulawesi Selatan menempati urutan keempat jumlah penderita stunting di
Indonesia. Penderita stunting tertinggi terdapat di Kabupaten Enrekang. Pengelolah
data program Gizi Dinkes Enrekang mengatakan ada beberapa faktor utama
penyebab besarnya stunting di Kabupaten Enrekang. Faktor tersebut adalah pola
makan, pola asuh dan sanitasi. Namun, yang paling umum ditemukan adalah pola
asuh. Padahal rata-rata perekonomian masyarakat enrekang sudah bagus dan layak,
serta diklaim bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Enrekang mengalami
penurunan tahun 2018 lalu yaitu pada tahun 2017 jumlah angka kemiskinan
mencapai 13,5 persen sedangkan di tahun 2018 jumlahnya tersisa 12,49 persen,
berdasarkan data nasional yang dipresentasikan pada rapat koordinasi terkait jumlah
angka kemiskinan di Sulawesi selatan dan juga Mayoritas masyarakatnya penghasil
sayuran telah dilakukan, tetapi karena pola asuh yang masih kurang dipahami oleh
para orang tua. Dinas kesehatan Kabupaten Enrekang merupakan salah suatu
institusi pelayanan kesehatan yang memiliki fungsi salah satunya adalah membuat
kebijakan teknis dibidang kesehatan, dengan demikian Dinas Kesehatan Kabupaten
Enrekang bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
dengan memberikan program-program dalam mengatasi permasalahan dibidang
kesehatan. Upaya kesehatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, dalam hal ini Dinas Kesehatan tentunya dapat
melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berkaitan dengan bidang
kesehatan.
Banyaknya anak stunting akan memengaruhi kualitas generasi muda
Indonesia di masa mendatang, maka upaya konvergensi percepatan pencegahan
stunting dilaksanakan mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran
pembangunan di daerah untuk memastikan:
a. Perencanaan kegiatan pencegahan stunting dilakukan dengan berbasis
data.
b. Intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif dialokasikan dalam dokumen
perencanaan dan penganggaran.
c. Pemantauan secara terpadu dan melakukan penyesuaian pelaksanaan
program/kegiatan berdasarkan temuan di lapangan untuk meningkatkan
kualitas dan cakupan intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif.
d. Sistem manajemen data yang baik untuk mengukur hasil-hasil
pelaksanaan program/kegiatan.
e. Hasil evaluasi kinerja digunakan sebagai dasar perencanaan dan
penganggaran tahun berikutnya.
Untuk memastikan konvergensi percepatan pencegahan stunting tercapai
secara efektif dan efisien, perlu dilakukan 8 (delapan) Aksi Konvergensi/Aksi Integrasi
yaitu:
1. Analisis Situasi
Melakukan identifikasi sebaran stunting, ketersediaan program, dan
kendala dalam pelaksanaan integrasi intervensi gizi.
2. Rencana Kegiatan
Menyusun rencana kegiatan untuk meningkatkan pelaksanaan integrasi
intervensi gizi.
3. Rembuk Stuting
Menyelenggarakan rembuk stunting tingkat kabupaten/kota.
4. Perbup/Perwali tentang Peran Desa
Memberikan kepastian hukum bagi desa untuk menjalankan peran dan
kewenangan desa dalam intervensi gizi terintegrasi.
5. Pembinaan Kader Pembangunan Manusia
Memastikan tersedianya dan berfungsinya kader yang membantu
pemerintah desa dalam pelaksanaan intervensi gizi terintegrasi di tingkat
desa.
6. Sistem Manajemen Data
Meningkatkan sistem pengelolaan data stunting dan cakupan intervensi
di tingkat kabupaten/kota.
7. Pengukuran dan Publikasi Data Stunting
Melakukan pengukuran pertumbuhan dan perkembangan anak balita
dan publikasi angka stunting kabupaten/kota.
8. Reviue Kinerja Tahunan
Melakukan review kinerja pelaksanaan program dan kegiatan terkait
penurunan stunting selama satu tahun terakhir.
Dalam upaya pencegahan masalah stunting, anggaran dana yang dikeluarkan
oleh pemerintah sudah cukup banyak. Pungkas Bahjuri selaku Direktur Kesehatan
dan Gizi Masyarakat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasioanl
(PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappedas) mengatakan tentang
penajaman perencanaan dan penganggaran program percepatan penurunan
stunting “Berdasarkan data yang di peroleh dari dokumen rencana kerja anggaran
Kementerian/Lembaga, teridentifikasi bahwa anggara belanja untuk stunting
meningkat sebesar 27,5 triliun rupiah dari tahun sebelumnya menjadi 35,7 terilun
rupiah. Selain itu, jumlah output pada intervensi spesifik, intervensi sensitif dan
kegiatan dukungan teknis di daerah juga bertambah menjadi 220 dari sebelumnya 86
output kegiatan”.
Oleh karena itu, upaya pencegahan baiknya dilakukan sedini mungkin yaitu
pada usia 1.000 hari pertama kehidupan, asupan nutrisi yang baik sangat dianjurkan
dikonsumsi oleh ibu hamil, kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat
kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko
terjadinya stunting. Tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dirinya, asupan
nutrisi yang baik juga dibutuhkan jabang bayi yang ada dalam kandungannya, pada
saat bayi telah lahir, penelitian untuk mencegah Stunting menunjukkan bahwa,
konsumsi protein sangat mempengaruhi pertambahan tinggi dan berat badan anak
di atas 6 bulan, Anak yang mendapat asupan protein 15 persen dari total asupan
kalori yang dibutuhkan terbukti memiliki badan lebih tinggi dibanding anak dengan
asupan protein 7,5 persen dari total asupan kalori Anak usia 6 sampai 12 bulan
dianjurkan mengonsumsi protein harian sebanyak 1,2 g/kg berat badan.
Menurut saya, kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan
serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya
stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu
(pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan
nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum
Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan
Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Dengan demikian adanya
faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil yaitu terlalu muda, terlalu tua,
terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang
terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.

Anda mungkin juga menyukai