Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai masalah gizi yang cukup berat yang ditandai dengan

banyaknya kasus gizi kurang pada balita. Penyebab dari gizi kurang salah satunya

adalah stunting. Stunting adalah salah satu masalah kurangnya gizi kronis yang

disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat

pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi

mulai dari janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua

tahun. Kekurangan gizi pada usia dini menyebabkan penderitanya mudah sakit dan

memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Stunting diukur sebagai status

gizi dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan, umur, dan jenis kelamin

balita. Stunting atau perawakan pendek (shortness) merupakan suatu keadaan

dimana tinggi badan seseorang yang tidak sesuai dengan umur, yang penentuannya

dilakukan dengan menghitung indeks Z-skor TB/U. Seseorang yang dikatakan

stunting bila Z-skor TB/U-nya dibawah -2 SD (standar deviasi) (Laksono &

Kusrini, 2019)
Berdasarkan hasil pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bali (2016)

ditemukan beberapa penyebab anak mengalami stunting yaitu faktor gizi buruk

yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Penyebab utama stunting yaitu

perilaku ibu hamil yang meliputi pengetahuan ibu hamil, sikap ibu hamil serta

tindakan apa saja yang sudah dilakukan untuk mencegah stunting. Pengetahuan

keluarga terutama pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada

masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan, masih terbatasnya layanan Antenatal
Care (ANC). Pengetahuan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet tambah darah.

Ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) berisiko melahirkan

bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Kurangnya akses makanan bergizi

hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal dan

kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Jika tidak ditangani dengan baik, anak

akan berisiko mengalami stunting (Dinkes Bali, 2016).


Pencegahan stunting dapat dilakukan sedini mungkin sejak masa kehamilan.

Adapun sikap ibu hamil dalam mencegah terjadinya stunting pada anak yaitu

dengan meningkatkan pola makan ibu hamil dengan makanan yang berkualitas

baik. Zat besi dan asam folat adalah kombinasi nutrisi penting selama kehamilan

yang diketahui dapat mencegah stunting pada anak setelah dilahirkan. Tindakan

yang telah dilakukan ibu hamil dalam mencegah stunting pada anak yaitu

memberikan makanan tambahan berupa biskuit pada ibu hamil juga dapat

mengatasi kekurangan energi dan protein kronis pada ibu.


Menurut Kemenkes, stunting juga bisa dicegah dengan dengan melakukan pola

hidup bersih dan sehat serta akses memadai terhadap air bersih dan kebersihan

lingkungan. Akses sanitasi yang baik serta pola hidup yang bersih bisa turunkan

risiko penyakit dan infeksi. Infeksi akibat masalah kebersihan dikatakan sangat

berkaitan erat dengan masalah kekurangan gizi. Hal tersebut dapat dicegah dengan

cara Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yaitu mencuci tangan

menggunakan sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, berhenti

buang air besar sembarangan, pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan

limbah cair rumah tangga.


Dampak stunting dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan

otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam

tubuh. Dampak stunting pada jangka panjang akan mempengaruhi kemampuan


kognitif dan prestasi belajar anak, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah

sakit, disabilitas pada usia tua, menculnya penyakit degeneratif sehingga akan

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan (Kemeskes R.I,

2016).
Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki masalah gizi balita

terutama stunting dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017

tentang Kebijakan Stategis Pangan dan Gizi yang berfokus pada 1000 Hari Pertama

Hidup (HPK) yang dimulai sejak dalam kandungan (270 hari) hingga sampai

dengan anak berusia 6 tahun. Program ini merupakan langkah awal yang paling

penting untuk dilakukan sebagai pemenuhan gizi pada anak sejak dini. Gerakan

1000 HPK terdiri dari intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi

gizi spesifik umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan meliputi imunisasi, PMT

ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet

besi-folat pada ibu hamil, promosi ASI eksklusif, MP-ASI dan lain-lain. Intervensi

sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan yang

menyasar masyarakat umum seperti penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai

penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, kesetaraan gender dan

lain-lain (Kemenkes R.I, 2013).


Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, prevalensi stunting di Indonesia

mencapai 37,2% dan data dari Pemantauan Status Gizi 2016 mencapai 27,5%. Hal

ini berarti pertumbuhan yang tidak maksimal dialami oleh sekitar 8,9 juta anak

Indonesia atau 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan data dari

Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2018 menyebutkan bahwa kejadian stunting

di pada tiga kabupaten tertinggi yaitu yang pertama Kabupaten Bangli 43,2%, yang

kedua Kabupaten Jembrana 29,1% dan yang ketiga Kabupaten Karangasem 26,2%.
Tenaga kesehatan dan masyarakat harus saling bersinergi baik itu tenaga

keperawatan, bidan, gizi, analis kesehatan, keperawatn gigi, dan kesehatan

lingkungan. Pada awal tahun 1988, World Health Organization menekankan bahwa

apabila profesi kesehatan belajar berkolaborasi pada tingkat mahasiswa, maka

profesi kesehatan tersebut cenderung dapat berkerjasama lebih efektif dalam tim

klinik atau tugas tertentu, sehingga untuk meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan diperlukan sebuah sistem kerja kolaborasi antar profesi kesehatan atau

Interprofessional Education (IPE).


World Health Organization (2010) menjelaskan bahwa Interprofessional

Education (IPE) “occurs when two or more proffesions learn about, from and with

each other to enable effective collaboration and improve” . Di dalam IPE

(Interprofessional Education) pasien/klien/komunitas menjadi “center” dari

penerapan IPE. Interprofessional Education (IPE) merupakan salah satu

pembelajaran bagi mahasiswa untuk berkoordinasi diantara berbagai profesi

kesehatan untuk menangani suatu masalah.


Desa Bangbang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Tembuku, Kabupaten Bangli yang memerlukan perhatian khusus karena masih

rendahnnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang masalah-masalah kesehatan.

Dilihat dari hasil studi pendahuluan di Puskesmas Pembantu Desa Bangbang di

dapatkan masalah kesehatan stunting pada balita. Berdasarkan data yang diperoleh

dari Puskesmas Pembantu Desa Bangbang diperoleh Baduta sebanyak 81 orang

dan ibu hamil sebanyak 47 orang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan

masalahnya adalah “bagaimana pemecahan masalah kesehatan menggunakan


sistem Interprofessional Education (IPE) dalam Praktik Kerja Lapangan/Kuliah

Kerja Nyata (KKN) di Desa Bangbang, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli?”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata IPE (KKN IPE), mahasiswa

diharapkan mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam menerapkan ilmu

pengetahuan dan teknologi secara interdisipliner sehingga mampu melakukan

komunikasi interprofesional, kerjasama sebagai tim kesehatan dan manajemen

konflik serta memberikan manfaat yang maksimal kepada sasaran dan Program

sehingga warga masyarakat terutama sasaran terpilih dan masyarakat lainnya lebih

mengetahui pentingnya kesehatan.


2. Tujuan Khusus
a. Menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari
b. Melakukan kerja sama dalam tim
c. Melakukan orientasi lapangan untuk mengenal kondisi wilayah Desa

Bangbang, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.


d. Melakukan identifikasi permasalahan kesehatan yang ada di Desa Bangbang,

Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.


e. Melakukan pengumpulan data kesehatan di Desa Bangbang, Kecamatan

Tembuku, Kabupaten Bangli.


f. Melakukan pengolahan data kesehatan di Desa Bangbang, Kecamatan

Tembuku, Kabupaten Bangli.


g. Melakukan analisis prioritas masalah kesehatan di Desa Bangbang, Kecamatan

Tembuku, Kabupaten Bangli.


h. Menyusun rencana pemecahan masalah kesehatan di Desa Bangbang,

Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.


i. Melaksanakan kegiatan pemecahan masalah kesehatan di Desa Bangbang,

Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.


j. Menyusun laporan kegiatan pemecahan masalah kesehatan di Desa Bangbang,

Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.

D. Manfaat
1. Manfaat bagi mahasiswa
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa serta membangun

kerjasama secara interprofesional education sebagai calon tenaga kesehatan yang

siap bekerja dan mengabdi kepada masyarakat dimanapun ditempatkan.


2. Manfaat bagi masyarakat
Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memandirikan dirinya sendiri

dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan keluarga dan masyarakat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Stunting

Balita pendek (stunting) adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan

oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan

yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih

dalam kandungan dan baru muncul saat anak berusia dua tahun. Stunting adalah

status gizi yang didasarkan pada indeks BB/U atau TB/U dimana dalam standar

antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada

ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/stunting) dan <-3

SD (sangat pendek/severely stunted) (Trihono dkk, 2015).

Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui deficit 2 SD

dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi

internasional. Penyebab langsung stunting dan pertumbuhan terlambat yaitu factor

rumah tangga dna keluarga, pemberian makanan pendamping ASI yang tidak

mencukupi¸pemberian ASI dan terjadinya infeksi (WHO, 2014). Stunting dapat

diartikan sebagai kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu

dan digunakan sebagai indicator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak.

Prevalensi stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian proses

stunting melambat pada saat anak berusia sekitar 3 bulan. Terdapat perbedaan

interpretasi kejadian stunting diantara kedua kelompok usia anak. Pada anak yang

berusia dibawah 2-3 tahun, menggambarkan proses gagal bertumbuh atau stunting

yang masih sedang berlangsung/terjadi. Sementara pada anak yang berusia lebih
dari 3 tahun, menggambarkan keadaan dimana anak tersebut telah mengalami

kegagalan pertumbuhan atau telah menjadi stunted. Stunting merupakan dampak

dari berbagai faktor seperti berat lahir yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak

yang kurang tepat, asupan nutrisi kurang dan infeksi berulang serta berbagai faktor

lingkungan lainnya (Sandra dkk, 2017).

B. Penyebab Stunting

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulatif menurut

beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan

sepanjang siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang

peningkatan stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan

manusia merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, hormon, zat gizi dan

energi dengan faktor lingkungan. Proses pertumbuhan manusia merupakan

fenomena yang kompleks yang berlangsung selama kurang lebih 20 tahun

lamanya, mulai dari kandungan sampai remaja yang merupakan hasil interaksi

antara faktor genetik dan lingkungan. Pada anak-anak, penambahan tinggi badan

pada tahun pertama kehidupan merupakan yang paling cepat dibandingkan periode

waktu setelahnya. Pada usia 1 tahun, anak akan mengalami peningkatan tinggi

badan sampai 50% dari panjang badan lahir. Kemudian tinggi badan tersebut akan

meningkat 2 kali lipat pada usia 4 tahun dan 3 kali lipat pada usia 13 tahun (Sandra

dkk, 2017).

Periode pertumbuhan paling cepat pada masa anak-anak juga merupakan masa

dimana anak berada pada tingkat kerentanan paling tinggi. Kegagalan pertumbuhan

dapat terjadi selama masa gestasi (kehamilan) dan pada 2 tahun pertama kehidupan
anak atau pada masa 1000 hari pertama kehidupan anak. Stunting merupakan

indikator akhir dari semua faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan anak pada 2 tahun pertama kehidupan yang selanjutnya akan

berdampak buruk pada perkembangan fisik dan kognitif anak saat bertambah usia

nantinya (Sandra dkk, 2017).

Pertumbuhan yang cepat pada masa anak membuat gizi yang memadai menjadi

sangat penting. Buruknya gizi selama kehamilan, masa pertumbuhan dan masa

awal kehidupan anak dapat menyebabkan anak menjadi stunting. Pada 1000 hari

pertama kehidupan anak, buruknya gizi memiliki konsekuensi yang permanen

(UNICEF, 2013). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak.

Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor

langsung dan faktor tidak langsung. Penyebab faktor langsung dari kejadian

stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan faktor tidak

langsung adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor

budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (BAPPENAS, 2011).

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh

faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Secara lebih

detail, beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting dapat digambarkan

sebagai berikut:

1. Faktor Langsung

a. Faktor Ibu
Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama prekonsepsi,

kehamilan dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu seperti usia ibu

terlalu muda atau terlalu tua, pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa,

BBLR, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat dan hipertensi

(Sandra dkk, 2017).

b. Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai proses pertumbuhan.

Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat

ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas

dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan,

umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Narsikhah, 2012). Menurut

Amigo et al., dalam Narsikhah (2012) salah satu atau kedua orang tua yang

pendek akibat kondisipatologi (seperti defiseiensi hormon pertumbuhan) memiliki

gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar

peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi,

bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan

anak dpaat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak

terpapar faktor risiko yang lain.

c. Asupan Makanan

Kualitas makan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk,

kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani,

kandungan tidka bergizi dan rendahnya kandungan energi pada complementary

foods. Praktik pemberian makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian makan

yang jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit,
konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi,

pemberian makan yang tidak berespon. Bukti menunjukkan keragaman diet yang

lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani terkait dengan

perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru menunjukkan bahwa rumah tangga

yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang diperkaya nutrisi

pelengkap akan meningkatkan asupan gizi dan mengurangi risiko stunting (Sandra

dkk, 2017).

d. Pemberian ASI Eksklusif

Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi Delayed Initation,

tidak menerapkan ASI eksklusif dan penghentian dini konsumsi ASI. Sebuah

penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (Delayed Initiation)

meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI

tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus,

ataupun susu selain ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan

pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai tumbuh

kembangyang optimal. Setelah 6 bulan, bayi mendapatkan makanan pendamping

yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang

berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan tehadap asuhan

nutrisi penting pada bayi (Sandra dkk, 2017).

e. Faktor Infeksi

Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu ineksi enterik seperti diare,

enteropati dan cacaing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan (ISPA),

malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi dan inflamasi. Penyakit

infeksi akan berdampak pada gangguan masalah gizi. Infeksi klinis menyebabkan
lambatnya pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan anak yang memiliki

riwayat penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting (Picauly & Toy,

2013).

f. Faktor Hemoglobin

Anemia adalah masalah kesehatan masyarakat global yang mempengaruhi

kesehatan manusia serta perkembangan sosial dan ekonomi di negara berkembang

dan negara maju. Masalah kesehatan ini dapat mempengaruhi setiap tahap

kehidupan. Masalah ini banyak ditemukan pada wanita hamil dan anak

kecil. Sesuai dengan statistik kesehatan yang diterbitkan oleh anemia WHO

mempengaruhi 60 % populasi di negara berkembang. Diperkirakan hampir

1,6 miliar orang menderita kekurangan zat besi di seluruh dunia. Anemia adalah

salah satu gangguan darah yang paling umum, terjadi ketika volume total sel Darah

Merah menjadi sangat rendah atau kita dapat mengatakan jumlah hemoglobin

dalam sel-sel ini menjadi rendah. Anemia dapat terjadi karena proses seperti

produksi sel darah merah yang rusak karena kurangnya nutrisi penting dalam

makanan atau peningkatan pemanfaatan nutrisi seperti selama kehamilan. Anemia

juga dapat disebabkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah ( hemolisis )

karena penyakit parasit seperti malaria dan mungkin merupakan hasil dari

kehilangan darah, yang dihasilkan dari aliran menstruasi yang berat. Anemia dapat

dideteksi dengan mengukur kadar hemoglobin dalam darah. Sangat penting untuk

mendeteksi kadar hemoglobin dalam darah seseorang. Banyak teknik atau metode

yang digunakan untuk mendeteksi hemoglobin dalam darah yang

didokumentasikan secara rinci oleh World Health Organization (Bhatia & Singh,

2015).
Ada berbagai metode klinis yang dilakukan untuk tes hemoglobin yang

disetujui oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) di antaranya adalah metode

hemoglobin Sahli. Metode Sahli didasarkan pada prinsip mengubah hemoglobin

menjadi hematin asam dan kemudian secara visual mencocokkan warnanya dengan

kaca yang solid standar. Prosedur ini melibatkan encer hidroklorik asam yang

ditambahkan ke silinder yang lulus mengandung sampel darah sampai warna

sampel darah diencerkan cocok dengan gelas standar. Kuantitas asam encer akan

ditambahkan ditentukan oleh kadar hemoglobin darah sampel. Persyaratan utama

untuk metode ini adalah Sahli hemoglobinometer dan pipet darah Sahli. (Kharkar

& Ratnaparkhe, 2017)

Metode cyanmethemoglobin adalah yang paling akurat metode mengukur

hemoglobin dan dipertimbangkan “referensi standar”. Peralatannya juga

paling kompleks di antara tes yang dijelaskan di atas. Di metode ini, sampel darah

utuh yang terukur ditambahkan ke cairan pengencer Drabkin. Sel darah merah

dihipolisasi dan hemoglobin diubah menjadi senyawa stabil, hemiglobincyanide.

Sampelnya adalah ditempatkan dalam colorimeter dan jumlah cahaya itu

diserap oleh sampel darah pada tertentu panjang gelombang sebanding dengan

jumlah hemoglobin dalam darah. Selain itu ada alat baru yang mulai digunakan

untuk pengujian Hb, alat tersebut yaitu Point of care testing (POCT) didefinisikan

sebagai pemeriksaan uji diagnostik yang berdekatan dengan penderita. Secara lebih

luas POCT dinyatakan sebagai uji laboratorik yang dilaksanakan oleh petugas

(personal) yang berlatar belakang pendidikan bukan laboratorik klinis atau

dilakukan oleh penderitanya sendiri. POCT dapat bersinonim lebih luas yakni: uji

sampingan (ancillary testing), uji satelit (satellite testing), uji sisi ranjang (bedside
testing), uji dekat penderita (near patient testing), uji di rumah (home testing), uji

luar laboratorium (out of laboratory testing) (Kharkar & Ratnaparkhe, 2017).

g. Faktor Kesehatan Gigi

Ibu hamil yang memiliki gigi berlubang akan sakit suatu saat nanti dan jika hal

itu susah terjadi otomatis nafsu makan ibu akan berkurang dan asupan nutrisi untuk

bayi akan berkurang. Dimana hal ini menjadi masalah utama yang menyebabkan

anak stunting maka dari itu sebaiknya masalah-masalah dalam rongga mulut segera

diselesaikan karena rongga mulut merupakan jalan pertama asupan nutrisi.

2. Faktor Tidak Langsung


a. Faktor Sosial Ekonomi

Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan

terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013). Menurut

Bishwakarma dalam Khoirun dkk (2015), status ekonomi keluarga yang rendah

akan mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya

menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan yang

berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin, dan mineral,

sehingga meningkatkan resiko kurang gizi.

b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan ibu yang rendah dapat mempengaruhi pola asuh dan perawatan

anak. Selain itu juga berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan

yang akan dikonsumsi oleh anaknya. Penyediaan bahan dan menu makan yang

tepat untuk balita dalam upaya peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila

ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Ibu dengan Pendidikan
rendah antara lain akan sulit menyerap informasi gizi sehingga anak dapat

beresiko mengalami stunting (Sulastri, 2013).

c.Faktor Gizi

Pengetahuan gizi yang rendah dapat menghambat usia perbaikan gizi yang baik

pada keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi

tetapi harus mengerti dan mau berbuat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh

seseorang tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan

jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi adalah salah satu faktor

yang mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang mempunyai

pengetahuan gizi akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat

berkembang dengan optimal (Sulastri, 2013).

Sikap terhadap gizi merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui

atau tidak menyetujui terhadap suatu pernyataan (ststement) yang diajukan. Sikap

terhadap gizi sering kali terkait erat dengan pengetahuan gizi. Pengukuran sikap

dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengukuran yang dilakukan

secara langsung yaitu dengan mewawancarai atau memberi pertanyaan kepada

responden mengenai pendapatnya tentang suatu objek.

Tindakan yang dapat kita lakukan untuk mengatur gizi agar seimbang yaitu

dengan mengatur pola konsumsi. Serangkaian cara bagaimana makanan diperoleh,

jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang mereka makan dan pola

hidup mereka, termasuk berapa kali mereka makan atau frekuensi makan. Faktor

yang mempengaruhi pola komsumsi diantaranya ketersediaan waktu, pengaruh


teman, jumlah uang yang tersedia dan faktor kesukaan serta pengetahuan dan

pendidikan gizi (Suhardjo, 2006).

d. Faktor Lingkungan

Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas yang tidak

adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidaknyamanan pangan, alokasi pangan

yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal dari rumah

tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko mengalami

stunting (Putri dan Sukandar, 2012).

D. Dampak Stunting

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut,

dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan

dalam jangka panjang akibat buruk yang ditimbulkan adalah menurunnya

kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga

mudah sakit dan resiko tinggi untuk munculnya pernyakit diabetes, kegemukan,

penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua,

serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya

produktifitas ekonomi (Kemenkes R.I, 2006).

Masalah gizi khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda

dengan dampak negatif yang akan berlangsung selam hidupnya. Studi

menunjukkan bahwa anak pendek berhubungan dengan prestasi pendidikan yang

buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah bagi orang

dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk

tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang pendidikan, miskin, kurang sehat dan
lebih rentan terhadap penyakit menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan

predictor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas yang

selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa mendatang

(UNICEF, 2012).

Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan

perempuan di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang

menunjukkan hubungan antara perawakan orang dewasa yang lebih pendekdan

hasil pasar tenaga kerja seperti penghasilan yang lebih rendah dan produktifitas

yang lebih buruk (Hoddinott et al, 2013). Proses stunting disebabkan oleh asupan

zat gizi yang kurang dan infeksi yang berulang yang berakibat pada terlambatnya

perkembangan fungsi kognitif dan kerusakan kognitif permanen. Pada wanita,

stunting dapat berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan janin saat

kehamilan, terhambatnya proses melahirkan serta meingkatkan risiko underweight

dan stunting pada anak yang dilahirkannya, yang nantinya juga dapat membawa

risiko kepada gangguan metabolisme dan penyakit kronis saat anak tumbuh dewasa

(Sandra dkk, 2017).

E. Upaya dalam Mencegah Stunting

Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan di negara-negara

berkembang berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Menurut World Health

Organization (WHO) (2010), upaya tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Zero Hunger Strategy

Strategi uyang mengkoordinasikan program dari sebelas kementrian yang

berfokus pada yang termiskin dari kelompok miskin.


2. Dewan Nasional Pangan dan Keamanan Gizi

Monitor strategi untuk memperkuat pertanian keluarga, dapur umum dan

strategi untuk meningkatkan makanan sekolah dan promosi kebiasaan makanan

sehat.

3. Bolsa Familia Program

Menyediakan transfer tunai bersyarat utnuk 11 juta keluarga miskin. Tujuannya

adalah untuk memecahkan siklus kemiskinan antar generasi.

4. Sistem surveilans pangan dan gizi

Pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi dan yang determinan.

5. Strategi kesehatan keluarga

Menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas melalui strategi

perawatan primer.

Menurut Lancet pada Asia Pasific Regional Workshop (2010) upaya

pencegahan stunting diantaranya:

1. Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan)


2. Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (6 bulan – 2 tahun)
3. Intervensi mikronutrien melalui fortifikasi dan pemberian suplemen
4. Iodisasi garam secara umum
5. Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah
6. Intervensi tentang kebersihan dan sanitasi

Di Indonesia upaya pencegahan stunting diungkapkan oleh Bappenas (2011)

yang disebut strategi 5 pilar, yang terdiri dari:

1. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada pra hamil, hamil dan anak
2. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
3. Peningkatan aksesbiliti pangan yang beragam
4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat
5. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan panga

Mencegah stunting dengan strategi nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

(STBM). STBM merupakan pendekatan untuk merubah perilaku hygiene dan

sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Pada tahun

2014, naungan hukum pelaksanaan STBM diperkuat dengan dikeluarkannya

PERMENKES Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbabis Masyarakat.

Dalam PERMENKES tersebut terdapat 3 komponen strategi penyelenggaraan

STBM yang saling mendukung satu sama lain yaitu :

1. Penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment)


2. Peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation)
3. Peningkatan penyediaan akses sanitasi (supply improvement)

Apabila salah satu dari komponen STBM tersebut tidak ada maka proses

pencapaian 5 (lima) pilar STBM tidak maksimal. 5 (lima) pilar tersebut yaitu :

1. Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS)


2. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAM-RT)
4. Pengelolaan sampah rumah tangga dengan aman
5. Pengelolaan limbah cair rumah tangga dengan aman

F. Perilaku Ibu Hamil Dalam Mencegah Stunting

Upaya pencegahan stunting berdasarkan perilaku ibu hamil meliputi,

pengetahuan ibu hamil, sikap ibu hamil dan tindakan yang dilakukan ibu hamil

untuk mencegah stunting pada anaknya. Sebagai berikut:

1. Pengetahuan
a. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya dengan sendirinya sehingga

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi

terhadap objek. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian pengetahuan

manusia diperoleh melalui indra penglihatan dan indra pendengaran (Notoatmodjo,

2010).

b. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif memiliki enam tingkatan

(Notoatmodjo, 2010) yaitu :

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingatkan

kembali (recall) terhadap sesuatu yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar-benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpresikan materi

tersebut dengan benar.

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada suatu kondisi atau situasi.

4) Analisis (Analysis)

Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

objek kedalam komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut

dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan

bagian didalam suatu nentuk keseluruhan yang baru.


6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampua untuk meletakkan justifikasi atau

penelitian terhadap suatu materi atau objek.

c. Sumber Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan bias diperoleh dari :

1) Media masa, meliputi : televisi, radio, koran, majalah, tabloid dan lain-lain.
2) Pendidikan, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal maupun non

formal.
3) Petugas kesehatan, sebagai sumber informasi yang dapat diperoleh langsung

dari petugas kesehatan.


4) Pengalaman, pengalaman dapat diperoleh secara langsung dari pengalamam

petugas kesehatan maupun individu.

BAB III

TINJAUAN MASALAH DAN RENCANA PENYELESAIAN MASALAH


A. Hasil Pengumpulan Data
- Hasil
- Prioritas

B. Program Kegiatan
1. Edukasi Keluarga Ibu Hamil dengan pendekatan keluarga
a. Sarana :
b. Kegiatan : Konseling ibu hamil
c. Materi :
d. Bentuk Kegiatan : Diskusi
e. Waktu : 2 x 30 menit
2. Edukasi Keluarga Baduta dengan pendekatan keluarga
a. Sarana :
b. Kegiatan : Konseling baduta
c. Materi :
d. Bentuk Kegiatan : Diskusi
e. Waktu : 2 x 30 menit
3. Penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat)
a. Sarana :
b. Kegiatan : Penyuluhan
c. Materi : PHBS
d. Bentuk Kegiatan : Penyuluhan
e. Waktu : 1 x 30 menit
4. Promkes pada remaja
a. Sarana :
b. Kegiatan : Promosi kesehatan mengenai
c. Materi :
d. Bentuk Kegiatan : Penyuluhan
e. Waktu : 1 x 60 menit
5. Pembuatan PMT bagi kader
a. Sarana :
b. Kegiatan :
c. Materi :
d. Bentuk Kegiatan :
e. Waktu :

BAB IV
METODE

A. Kerangka Pemecahan Masalah

B. Gizi

C. Bidan

Keperawatan Gigi Stunting


D.
Sanitasi
E.
TLM

Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai