Stunting, sebuah istilah untuk anak yang secara antropometri lebih pendek dari rerata tinggi badan normal anak-
anak seusianya (secara tegas dalam standar WHO 2005 disebutkan bila berada dibawah -2 Zscore
untuk stunted/pendek dan dibawah -3 Zscore untuk severe stunted/sangat pendek).
Saat ini stunting menjadi topik perbincangan di dunia gizi dan kesehatan karena salah satu masalah gizi ini
rupanya menjadi ancaman terbesar bagi kualitas hidup manusia di masa mendatang. Tidak hanya urusan tinggi
badan, stuting menjadi penting untuk diberantas karena terkait dengan hambatan pertumbuhan otak anak,
penurunan kualitas belajar hingga penurunan produktivitas di usia dewasa dan ancaman peningkatan penyakit
tidak menular (obesitas, hipertensi, diabetes mellitus, dsb). Dan yang perlu digarisbawahi adalah hingga saat ini
masih banyak orang tua yang tidak menyadari masalah pendek pada anak karena seorang anak yang stunting
umumnya tidak terlihat seperti anak yang bermasalah, dan hal ini seperti dianggap umum saja bila dari orang tua
yang pendek maka wajar bila anak-anaknya juga pendek. Dengan 27,5% balita Indonesia yang stunting (PSG,
2016), ini menjadi tantangan besar tidak hanya bagi pemerintah namun juga semua sektor yang terkait.
Masalah stunting tidak hanya disebabkan oleh asupan makan yang kurang dari kebutuhan. Seperti halnya
masalah kurang gizi lainnya, bahwa secara langsung stunting memang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi
yang cukup serta ancaman penyakit infeksi yang berulang dan kedua hal ini saling mempengaruhi. Namun bila
dilihat lebih dalam bahwa dua penyebab langsung ini sangat dipengaruhi oleh bagaimana pola asuh ibu,
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, hingga sanitasi lingkungan.
Dalam sebuah jurnal juga disebutkan bahwa hygiene dan sanitasi yang buruk menyebabkan gangguan
inflamasi usus kecil yang mengurangi penyerapan zat gizi dan meningkatkan permeabilitas usus yang disebut
juga Environmental Enteropathy (EE) dimana terjadi pengalihan energi, yang seharusnya digunakan untuk
pertumbuhan tetapi akhirnya digunakan untuk melawan infeksi dalam tubuh. (EHP vol.122)
Tema HGN 2017-2019 yaitu : Bersama membangun gizi menuju Bangsa sehat berprestasi
Sub Tema HGN 2018 : ialah Mewujudkan Kemandirian Keluarga dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) untuk Pencegahan Stunting.
Slogan HGN 2018 : Bersama Keluarga Kita Jaga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)
Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U)
atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre
Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2.00 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari
– 3.00 SD (severely stunted).
Peta di atas menunjukkan bawah selama tiga tahun terakhir warna merah dan kuning mendominasi
proporsi stunting di Indonesia, dengan kata lain proporsi stunting di Indonesia masih berkisar 20-39%.
Mari kita lihat sejenak wilayah barat Indonesia, Daerah Istimewa Aceh sempat mengalami perbaikan di
tahun 2016 akan tetapi kembali menjadi merah pada tahun 2017. Demikian halnya dengan Sumatera
Selatan pada Tahun 2016 berwarna Hijau akan tetapi kembali kuning pada tahun 2017.
Sumatera Utara mengalami progres yang baik, dari Merah pada tahun 2015 menjadi kuning hingga tahun
2017, justeru terjadi sebailknya di Sumatera Barat, dua tahun berturut-turut berwarna kuning dan berubah
menjadi hitam pada tahun 2017. Bengkulu dan Bangka Belitung juga mengalami hal yang sama, dari hijau
menjadi kuning, kemudian Lampung dari Kuning menjadi Merah.
Provinsi yang ada di Pulau Jawa tidak mengalami perubahan warna selama tiga tahun terakhir. Begitu pula
dengan Kalimantan barat dan Kalimantan tengah tetap konsisten dengan warnah merahnya, yang menarik
adalam Provinsi Bali, terjadi peningkatan yang cukup baik di Provinsi Tersebut dari dua tahun berturut
turut berwarna kuning berubah menjadi Hijau di tahun 2017.
Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia Bagian Tengah, Kalimantan Timur mengalami peningkatan
masalah, dari kuning (2015 & 2016) menjadi merah (2017). Di Pulau Sulawesi yang menarik adalah
Sulawesi Barat, dari Kuning (2015) menjadi hitam di tahun 2016 dan 2017. Sedangkan di Sulawesi Utara,
pada tahun 2015 proporsinya cukup baik (kuning) akan tetapi dua tahun terakhir berubah menjadi merah.
Provinsi Papua dan Papua barat mengalami peningkatan masalah di tahun 2017, sedangkan di Maluku
mengalami perbaikan, dari Merah di tahun 2015 berubah menjadi Kuning di tahun 2016 dan 2017.
Salah satu fakta yang menarik dari peta di atas ialah, kegiatan inovasi apa yang telah dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Bali sehingga mampu menurunkan masalah stunting dengan sangat baik, dari 21% di
tahun 2015 menjadi 20% di tahun 2016 dan menjadi 19% di tahun 2017.
Penyebab Stunting
Balita Kerdil atau Stunting tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil
maupun anak balita, akan tetapi disebabkan oleh multi dimensi secara umum beberapa penyebab stunting
ialah Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan
gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Masih terbatasnya layanan kesehatan
termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post
Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke
makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal serta
kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip
dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi.
Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Kerangka Ini merupakan intervensi yang ditujukan
kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting,
umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek. Sasaran intervensi
dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita.
Kerangka kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai
kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% penurunan Stunting. Sasaran
dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat dilaksanakan melalui
beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12
kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai
berikut :
1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan dilaksanakan oleh Pemerintah
Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk mencegah dan mengurangi pervalensi stunting.
Stunting bukan tidak mungkin dicegah atau bahkan dikoreksi yang dibutuhkan ialah penguatan kerjasama
antara program dan lintas sektor karena masalah stunting adalah masalah SDM Bangsa Indonesia yang
akan datang.
Stunting
UMUR SAMA,,TINGGI BADAN BERBEDA…..
Mengapa stunting menjadi penting? Selain karena jumlahnya yang cukup tinggi di Indonesia,
ternyata stunting menggambarkan kejadian kurang gizi pada balita yang berlangsung dalam
waktu yang lama dan dampaknya yang bukan hanya secara fisik, tetapi justru pada fungsi
kognitif .
Apa yang dimaksud dengan stunting dan bagaimana cara mengukurnya ?
Bila kita merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal
30 Desember 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian Pendek
dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut
Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted
(pendek) dan severely
Dengan kata lain stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya
dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya
berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya.
Pendek dan sangat pendek menggambarkan bahwa kita masih menghadapi masalah gizi kurang
kronis.
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, walaupun prevalensi gizi kurang dan buruk telah
mengalami penurunan dari 18,4% tahun 2007 menjadi 17,9% tahun 2010, namun kita masih
memiliki 35,6% balita pendek. Prevalensi Balita pendek terdiri dari sangat pendek 18,5% dan
pendek 17,1%. Penurunan terjadi pada balita pendek dari 18,0% menjadi 17,1% dan balita
sangat pendek dari 18,8% menjadi 18,5%.
Kita masih harus bekerja keras mengatasi stunting ini, karena batas non public health yang
ditetapkan WHO, 2005 adalah 20%, sedangkan saat ini prevalensi balita pendek di seluruh
propinsi masih di atas 20%. Artinya semua propinsi masih dalam kondisi bermasalah kesehatan
masyarakat.
Mengacu pada Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, sasaran pembangunan pangan
dan gizi pada tahun 2015 yaitu menurunkan prevalensi gizi kurang balita menjadi 15,5% dan
prevalensi balita pendek menjadi 32%, artinya sampai tahun 2015 kita masih harus menurunkan
3,6%. Walaupun secara nasional belum mencapai target prevalensi balita pendek, namun
sudah ada 11 propinsi yang sudah berhasil mencapai target yaitu Jambi (30,2%), Bangka
Belitung (29,0%), Bengkulu (31,6%), Kepulauan Riau (26,9%), DKI Jakarta (26,6%), DI.
Yogyakarta (22,5%), Bali (29,3%), Kalimantan Timur (29,1%), Sulawesi Utara (27,8%), Maluku
Utara (29,4%) dan Papua (28,3%).
Apakah gizi buruk disebabkan stunting. Memang “Tidak”., karena prevalensi Stunting kita
35,6%, sedangkan gizi buruk 4,9%.Namun anak stunting bila tidak dipantau pertumbuhannya
dapat menderita gizi buruk.
Pada ibu hamil juga terdapat 44,4% yang mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal dan
49,5% wanita hamil yang mengonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal yang berdampak
pada terhambatnya pertumbuhan janin yang dikandungnya.
Selain asupan yang kurang, seringnya anak sakit juga menjadi penyebab terjadinya gangguan
pertumbuhan. Sanitasi lingkungan mempengaruhi tumbuh kembang anak melalui peningkatan
kerawanan anak terhadap penyakit infeksi. Anak yang sering sakit akibat rendahnya perilaku
hidup bersih dan sehat dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan kronis dan berdampak anak
menjadi pendek.
Dari hasil Riskesdas, 2010 lebih dari setengah (54,9%) masyarakat kita memiliki akses sumber
air minum tidak terlindung. Hanya 55,5% masyarakat yang terakses dengan sanitasi, di
perkotaan 71,4% dan pedesaan 38,5%. Penanganan sampah di masyarakat 52% dibakar dan
penggunaan bahan bakar arang dan kayu bakar 40,0%. Selain itu juga ternyata Dua dari 3
perokok kita (76,7%) merokok di rumah dan dampak dari semua ini berpotensi menyebabkan
penyakit diare dan gangguan pernapasan pada balita.
Hampir 70% pembentukan sel otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan sampai anak
berusia 2 tahun. Jika otak mengalami hambatan pertumbuhan, jumlah sel otak, serabut sel
otak, dan penghubung sel otak berkurang. Dilihat dari tingkat keparahannya, anak usia 3 tahun
yang stunting severe (-3<z≤2) pada laki-laki memiliki kemampuan membaca lebih rendah 15
poin dan perempuan 11 poin dibanding yang stunting mild (z>-2).
Hal ini mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah
dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara
pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat
penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat mencukupi kebutuhan
pangan. Karena itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih
pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa,
sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek estetika, seseorang yang tumbuh
proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang tubuhnya pendek.
Strategi apa yang paling tepat untuk mencegah terjadinya balita stunting ini ?
Berbagai upaya telah kita lakukan dalam mencegah dan menangani masalah gizi di masyarakat.
Memang ada hasilnya, tetapi kita masih harus bekerja keras untuk menurunkan prevalensi
balita pendek sebesar 2,9% agar target MD’s tahun 2014 tercapai yang berdampak pada
turunnya prevalensi gizi kurang pada balita kita.
Bagaimana caranya ?
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungandengan
cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus
mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan
terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai
umur 6 bulan (eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI)
yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi
suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Kejadian stunting pada balita yang bersifat
kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita
dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan
upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga
dapat dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting.
Bersama dengan sektor lain meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan dan penyediaan sarana
prasarana dan akses keluarga terhadap sumber air terlindung, serta pemukiman yang layak.
Juga meningkatkan akses keluarga terhadap daya beli pangan dan biaya berobat bila sakit
melalui penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
FOKUS KITA
Jika kita berhasil menurunkan prevalensi pendek (TB/U) 1% akan diikuti penurunan prevalensi
berat kurang (BB/U) 0,5%, sehingga pada untuk tahun 2011-2014 dengan penurunan 4%
prevalensi balita pendek dapat menurunkan 2% prevalensi balita berat kurang. Artinya pada
tahun 2015, target MDG’s prevalensi balita pendek sebesar 32% dapat tercapai, karena kita
berhasil menurunkan 35,6% menjadi 31,6%
PENDAHULUAN
Masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010
prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan besar pendek.
Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010). Dengan
capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada
tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai.
Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa 35,6% anak Indonesia “stunted”. Sebagai akibatnya,
produktivitas individu menurun dan masyarakat harus hidup dengan penghasilan yang
rendah.Stunting atau penurunan tingkat pertumbuhan pada manusia utamanya disebabkan oleh
kekurangan gizi. Lebih jauh lagi, kekurangan gizi ini disebabkan oleh rusaknya mukosa usus oleh
bakteri fecal yang mengakibatkan terjadinya gangguan absorbsi zat gizi. Dengan demikian,
peningkatan cakupan sanitasi dan perilaku hygiene sebesar 99% dapat membantu menurunkan
insiden diare sebesar 30% dan menurunkan prevalensi stuntingsebesar 2,4%.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sanitasi buruk mengakibatkan beragam dampak negatif, baik bagi
kesehatan, ekonomi maupun lingkungan. Saat ini, tantangan pembangunan sanitasi semakin berat
dengan adanya temuan bahwa sanitasi buruk mengakibatkan sebagian besar generasi penerus
bangsa terdiagnosa stunted. Sanitasi buruk dan air minum yang terkontaminasi mengakibatkan diare
yang mengganggu penyerapan zat-zat gizi dalam tubuh. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan
zat gizi yang memadai sehingga pertumbuhannya terhambat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Defenisi Stunting
Stunting merupakan istilah para nutrinis untuk penyebutan anak yang tumbuh tidak sesuai dengan
ukuran yang semestinya (bayi pendek). Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat
pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang
menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur
rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain
seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai
dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi
badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau
kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi
kurang pada anak.
Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang
mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi
kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau
kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetic
sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN, 2000).
Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau kurang dari minus dua
standar deviasi (-2 SD) dibawah rata-rata standar atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek
dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009) (WHO, 2006). Ini adalah indikator
kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan
yang dipengaruhi lingkungan dan keadaan sosial ekonomi.
2.2. Penyebab Stunting
Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang
terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Pada masa ini
merupakan proses terjadinya stunted pada anak dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2
tahun pertama kehidupan.
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi
kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi
akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan
yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta
mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin
mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted
(Allen and Gillespie, 2001).
Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja seperti yang telah dijelaskan
diatas, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu
sama lainnnya. Terdapat tiga faktor utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut :
1. Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu
karbohidrat, protein,lemak, mineral, vitamin, dan air).
3. Riwayat penyakit.
Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunted antara lain kekurangan energi dan protein,
sering mengalami penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor
kemiskinan. Prevalensi stunted meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam
dua tahun pertama kehidupan, proses pertumbuhan anak masa lalu mencerminkan standar gizi dan
kesehatan.
Menurut laporan UNICEF (1998) beberapa fakta terkait stunted dan pengaruhnya antara lain sebagai
berikut :
1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami
stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi
deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar
secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan
stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-
anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
2. Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor dasar yang
menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab
dari stunted adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak
sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak
dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi,
berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran
kota dan komunitas pedesaan.
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunted pada usia lima tahun cenderung
menetapsepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan
kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan mempengaruhi secara langsung pada
kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses
pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.
Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan rekomendasi NCHS dan WHO.
Standarisasi pengukuran ini membandingkan pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi
atau Z-score untuk usia dan jenis kelamin yang sama pada anak- anak. Z-score adalah unit standar
deviasi untuk mengetahui perbedaan antara nilai individu dan nilai tengah (median) populasi
referent untuk usia/tinggi yang sama, dibagi dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan.
Beberapa keuntungan penggunaan Z-score antara lain untuk mengiidentifikasi nilai yang tepat dalam
distribusi perbedaan indeks dan perbedaan usia, juga memberikan manfaat untuk menarik
kesimpulan secara statistik dari pengukuran antropometri.
Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur (stunted) adalah penting dalam
mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak pada wilayah dengan banyak masalah gizi buruk.
Dalam menentukan klasifikasi gizi kurang dengan stunted sesuai dengan ”Cut off point”, dengan
penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak balita berdasarkan tinggi badan menurut Umur (TB/U)
Standar baku WHO-NCHS berikut (Sumber WHO 2006)
2.5. Dampak Stunting
Stunting dapat mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi
rendah dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara
pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat penghasilan
rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan. Karena
itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi
juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi
beban negara. Selain itu dari aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan
lebih menarik dari yang tubuhnya pendek.
Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian,
kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak
seimbang (Allen & Gillespie, 2001). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa
emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki.
1. Mencegah Stunting pada Balita
Berbagai upaya telah kita lakukan dalam mencegah dan menangani masalah gizi di masyarakat.
Memang ada hasilnya, tetapi kita masih harus bekerja keras untuk menurunkan prevalensi balita
pendek sebesar 2,9% agar target MD’s tahun 2014 tercapai yang berdampak pada turunnya
prevalensi gizi kurang pada balita kita.
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur, namun
pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Jika
terjadi gangguan pertumbuhan tinggi badan pada balita, maka untuk mengejar pertumbuhan tinggi
badan optimalnya masih bisa diupayakan, sedangkan anak usia sekolah sampai remaja relatif kecil
kemungkinannya. Maka peluang besar untuk mencegah stunting dilakukan sedini mungkin. dengan
mencegah faktor resiko gizi kurang baik pada remaja putri, wanita usia subur (WUS), ibu hamil
maupun pada balita. Selain itu, menangani balita yang dengan tinggi dan berat badan rendah yang
beresiko terjadi stunting, serta terhadap balita yang telah stunting agar tidak semakin berat.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara
melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus
mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan
terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6
bulan (eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup
jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat
gizi berupa kapsul vitamin A. Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat
dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar.
Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk
mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat dilakukan pencegahan
terjadinya balita stunting.
Bersama dengan sektor lain meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan dan penyediaan sarana
prasarana dan akses keluarga terhadap sumber air terlindung, serta pemukiman yang layak. Juga
meningkatkan akses keluarga terhadap daya beli pangan dan biaya berobat bila sakit melalui
penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Peningkatan pendidikan ayah dan ibu yang berdampak pada pengetahuan dan kemampuan dalam
penerapan kesehatan dan gizi keluarganya, sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang
baik. Mempermudah akses keluarga terhadap informasi dan penyediaan informasi tentang
kesehatan dan gizi anak yang mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap keluarga juga
merupakan cara yang efektif dalam mencegah terjadinya balita stunting.
Advertiser
Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan, yaitu:
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu
hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus
atau telah mengalami KurangEnergiKronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada
ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama
kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu
Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif).
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus
dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A,
taburia, imunisasi dasar lengkap.
· Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga.
Pada Seorang wanita dewasa yang sedang hamil, kebutuhan gizinya dipergunakan untuk kegiatan
rutin dalam proses metabolisme tubuh, aktivitas fisik, serta menjaga keseimbangan segala proses
dalam tubuh. Di samping proses yang rutin juga diperlukan energi dan gizi tambahan untuk
pembentukan jaringan baru, yaitu janin, plasenta, uterus serta kelenjar mamae. Ibu hamil dianjurkan
makan secukupnya saja, bervariasi sehingga kebutuhan akan aneka macam zat gizi bisa terpenuhi.
Makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah makanan yang mengandung zat pertumbuhan
atau pembangun yaitu protein, selama itu juga perlu tambahan vitamin dan mineral untuk
membantu proses pertumbuhan itu.
Jumlah makanan untuk ibu yang sedang menyusui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, akan
tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi
dan berenergi tinggi, seperti diisarankan untuk minum susu sapi, yang bermanfaat untuk mencegah
kerusakan gigi serta tulang. Susu untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan flour dalam ASI. Jika
kekurangan unsur ini maka terjadi pembongkaran dari jaringan (deposit) dalam tubuh tadi,
akibatnya ibu akan mengalami kerusakan gigi. Kadar air dalam ASI sekitr 88 gr %. Maka ibu yang
sedang menyusui dianjurkan untuk minum sebanyak 2–2,5 liter (8-10 gelas) air sehari, di samping
bisa juga ditambah dengan minum air buah.
Ketika memasuki usia 1 tahun, laju pertumbuhan mulai melambat tetapi perkembangan motorik
meningkat, anak mulai mengeksplorasi lingkungan sekitar dengan cara berjalan kesana kemari,
lompat, lari dan sebagainya. Namun pada usia ini anak juga mulai sering mengalami gangguan
kesehatan dan rentan terhadap penyakit infeks seperti ISPA dan diare sehingga anak butuh zat gizi
tinggi dan gizi seimbang agar tumbuh kembangnya optimal. Pada usia ini ASI tetap diberikan. Pada
masa ini berikan juga makanan keluarga secara bertahap sesuai kemampuan anak. Variasi makanan
harus diperhatikan. Makanan yang diberikan tidak menggunakan penyedap, bumbu yang tajam, zat
pengawet dan pewarna. dari asi karena saat ini hanya asi yang terbaik untuk buah hati anda tanpa
efek samping
a. Kalsium
Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang serta gigi, pembekuan darah dan kontraksi otot.
Bahan makanan sumber kalsium antara lain : ikan teri kering, belut, susu, keju, kacang-kacangan.
b. Yodium
Yodium sangat berguna bagi hormon tiroid dimana hormon tiroid mengatur metabolisme,
pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Yodium juga penting untuk mencegah gondok dan
kekerdilan. Bahan makanan sumber yodium : ikan laut, udang, dan kerang.
c. Zink
Zink berfungsi dalam metabolisme tulang, penyembuhan luka, fungsi kekebalan dan pengembangan
fungsi reproduksi laki-laki. Bahan makanan sumber zink : hati, kerang, telur dan kacang-kacangan.
d. Zat Besi
Zat besi berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh, pertumbuhan otak, dan metabolisme energi.
Sumber zat besi antara lain: hati, telur, ikan, kacang-kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan.
e. Asam Folat
Asam folat terutama berfungsi pada periode pembelahan dan pertumbuhan sel, memproduksi sel
darah merah dan mencegah anemia. Sumber asam folat antara lain : bayam, lobak, kacang-
kacangan, serealia dan sayur-sayuran.
2.8. Pemfokusan Tenaga Kesehatan
Hal yang menjadi pemfokusan adalah menurunkan prevalensi pendek. Jika kita berhasil menurunkan
prevalensi pendek (TB/U) 1% akan diikuti penurunan prevalensi berat kurang (BB/U) 0,5%, sehingga
pada untuk tahun 2011-2014 dengan penurunan 4% prevalensi balita pendek dapat menurunkan 2%
prevalensi balita berat kurang. Artinya pada tahun 2015, target MDG’s prevalensi balita pendek
sebesar 32% dapat tercapai, karena kita berhasil menurunkan 35,6% menjadi 31,6%.
Selama ini pemerintah sudah berusaha mengurangi Gizi buruk, terutama pertumbuhan yang
terhambat, merupakan sebuah masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Untuk
mengatasi tantangan itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiatif di tahun 2012 untuk menciptakan
lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi. Ini meliputi peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional
(Scaling Up Nutrition – SUN) dan mendukung pengembangan regulasi tentang pemberian ASI
eksklusif, rencana nasional untuk mengendalikan gangguan kekurangan iodine, panduan tentang
pencegahan dan pengendalian parasit intestinal dan panduan tentang suplementasi multi-nutrient
perempuan dan anak di Klaten, Jawa Tengah.
Manajemen masyarakat tentang gizi buruk akut dan pemberian makan bayi dan anak menjelma
menjadi sebuah paket holistic untuk menangani gizi buruk, sementara pengendalian gizi anak dan
malaria ditangani bersama untuk mencegah pertumbuhan yang terhambat (stunting) (Laporan
Tahuna Unicef Indonesia, 2012).
Untuk membantu pemerintah dalam melakukan perbaikan gizi pada balita Stunting, menurut Unicef
Indonesia perhatian khusus harus diberikan pada:
Revisi standar minimal pelayanan kesehatan untuk mencakup aksi-aksi dan sasaran gizi,seperti aksi-
aksi yang berhubungan dengan konseling gizi, makanan pendamping ASI dan gizi ibu.
Penguatan sistem informasi kesehatan untuk meningkatkan keandalan data, promosi pengawasan
suportif terhadap program kesehatan dan gizi, dan promosi penggunaan data oleh petugas
kesehatan secara terus-menerus untuk meningkatkan dampak program.
Penguatan program fortifikasi pangan nasional dengan memperbarui standar fortifikasiuntuk terigu,
pengharusan fortifikasi minyak, dan peningkatan penegakan legislasi yang ada; tentang iodisasi
garam.