Disusun Oleh :
1. Dina Yusrotul Imamah (222110102035)
2. Devy Eka Nazullah (222110102043)
3. Aulia Dzakiyyah Mamnun (222110102047)
4. Dola Elisa Silitonga. (222110102055)
D. Stunting Menjadi Salah Satu Persoalan dalam Kesehatan yang Sudah Berrlangsung Lama
dan Belum Terselesaikan Sampai Saat Ini.
• Pemahaman dan pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa kondisi tubuh anak yang
pendek itu terjadi karena faktor keturunan (genetik), sehingga hal ini membuat masyarakat hanya
menerima hal tersebut tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal genetika itu adalah
faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya jika dibandingkan dengan faktor
perilaku, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan.
• Faktor ekonomi keluarga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Dimana
masyarakat yang memiliki pendapatan yang menengah kebawah atau masyarakat miskin mereka
memiliki daya beli yang rendah, dimana masyarakat miskin lebih cenderung berfokus pada
karbohidrat atau lebih sedikit pada makanan berprotein tinggi, yang pada akhirnya mereka
mengonsumsi jumlah makanan yang tidak mencukupi dan juga jumlah zat gizi yang terdapat
pada makanan juga tidak lengkap.
• Faktor ketidaktahuan atau kurangnya literasi atau pengetahuan mengenai gizi dan
kesehatan oleh keluarga terutama ibu. Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya
mengatasi masalah gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan
makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik
akan melahirkan anak yang bergizi baik. Sehingga dengan bertambahnya pengetahuan ibu
terhadap gizi dan kesehatan berarti tingkat kepatuhan keluarga dalam menjaga kebersihan
lingkungan akan menjadi lebih baik, pemberian asupan makanan yang bergizi pada ibu yang
sedang hamil akan terus dilakukan, pemberian asi ekslusif akan terus berlangsung selama
minimal 6 bulan serta melakukan deteksi stunting dini akan terus terjadi hingga pertumbuhan
anak menjadi maksimal.
• Praktek pengasuhan atau pola asuh orang tua yang tidak baik seperti masih kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan dan gizi dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan balita.
Oleh karena itu, perlu digencarkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya stunting
dan cara pencegahannya. Sehingga kelak ketika sudah menjadi orang tua diharapkan masyarakat
dapat berperan dalam mencegah stunting sejak dini. Sehingga, prevelensi stunting di Indonesia
tidak berada di angka mengkhawatirkan lagi.
• Akses terhadap makanan bergizi seimbang belum merata. Padahal faktor utama
terjadinya stunting adalah kurangnya asupan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Pertumbuhan otak dan tubuh berkembang pesat pada 1000 HPK yang dimulai sejak janin
hingga anak berumur dua tahun. Pemenuhan gizi pada tahap tersebut sangat penting agar tumbuh
kembang anak dapat optimal.
• Rendahnya akses terhadap sanitasi yang baik, akses air bersih, dan fasilitas pelayanan
kesehatan, Karena akibat hambatan akses tersebut mendekatkan anak pada risiko ancaman
penyakit infeksi akibat rendahnya tingkat kebersihan sanitasi dan air. Oleh karena itu perlu
dilakukan pembiasaan kepada anak untuk selalu menjaga kebersihan dengan rajin mencuci
tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
KESIMPULAN
Stunting menjadi salah satu permasalahan gizi yang masih banyak di Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan
angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh dan
kembang pada balita, akibat kekurangan gizi sejak dalam kandungan yang berdampak pada
tubuh dengan tinggi atau panjang yang kurang dibandingkan dengan usia sebenarnya. Dampak
dari balita yang mengalami stunting dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap morbiditas
dan mortalitas penyakit menular, mengurangi prestasi pendidikan mereka di masa depan dan
mengurangi produktivitas ekonomi mereka di masa mendatang.
Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan
dengan Biro Pusat Statistik (BPS) dengan dukungan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
(Stunting) angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6% pertahun dari
27,7% pada tahun 2019 dan menjadi 24,4% pada tahun 2021. Dari hasil tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun
2019 dan hanya 5 provinsi yang mengalami kenaikan yaitu, Nusa Tenggara Timur (37,80%),
Sulawesi Barat (33,80%), Aceh (33,20%), Nusa Tenggara Barat (31,40%), dan Sulawesi
Tenggara (30,20%).
Badan Pusat Statistik (BPS) juga membuat instrumen khusus berupa IKPS dengan tujuan
agar dapat digunakan untuk membandingkan bagaimana perkembangan cakupan-cakupan
intervensi terhadap rumah tangga sasaran, baik secara nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Laporan Indeks Khusus Penanganan Stunting disusun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
data dan informasi bagi pemerintah dalam memantau kinerja penanganan stunting di Indonesia.
Sehingga diharapkan dapat menjelaskan manfaat IKPS untuk Kementerian/Lembaga dan
pemerintah daerah, serta dapat menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
perancangan kebijakan penanganan stunting di Indonesia.