Anda di halaman 1dari 8

PAPER BIOSTATISTIKA STUNTING

Dosen Pengampu : Irma Prasetyowati, S.KM., M.Kes.

Disusun Oleh :
1. Dina Yusrotul Imamah (222110102035)
2. Devy Eka Nazullah (222110102043)
3. Aulia Dzakiyyah Mamnun (222110102047)
4. Dola Elisa Silitonga. (222110102055)

Program Studi Gizi


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember
2022
1. Latar belakang
Salah satu permasalahan gizi yang masih banyak di Indonesia adalah stunting. Stunting
adalah kondisi gagal tumbuh dan kembang pada balita, akibat kekurangan gizi sejak dalam
kandungan yang berdampak pada tubuh dengan tinggi atau panjang yang kurang dibandingkan
dengan usia sebenarnya. Kasus stunting juga akan memperburuk kondisi kesehatan balita.
Dampak dari balita yang mengalami stunting dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap
morbiditas dan mortalitas penyakit menular, mengurangi prestasi pendidikan mereka di masa
depan dan mengurangi produktivitas ekonomi mereka di masa mendatang. Hal tersebut
dikarenakan balita penderita stunting mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif optimal seperti kesulitan berbicara, berjalan, hingga sering mengalami sakit.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting
saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita. Prevalensi stunting ini telah
mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Jika dilihat per provinsi, mengacu pada
hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, Nusa Tenggara Timur merupakan daerah dengan
prevalensi stunting tertinggi, yaitu 37,8%. Selanjutnya Provinsi Sulawesi Barat (33,8%), Aceh
(33,2%), Nusa Tenggara Barat (31,4%), dan Sulawesi Tenggara (30,2%). Sementara jika dilihat
per kabupaten, mengacu pada data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), kabupaten dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia adalah Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Hal yang harus diketahui adalah bagaimana stunting bisa terus terjadi dan bertambah
kasusunya. Bahkan sekarang adalah era dimana sudah Society 5.0 teknologi Artificial
Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kian meningkat pesat. Dengan kemajuan teknologi
bidang kesehatan pun juga terkena dampaknya seperti alat kesehatan yang semakin canggih dan
faskes yang memadai. Penyebab stunting termasuk multidimensi, yang artinya banyak faktor
selain kesehatan yang menyumbang resiko. Melainkan juga faktor keluarga, ekonomi, sosial, dan
budaya. Termasuk di dalamnya adalah kurangnya asupan gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil
dan anak balita, faktor keluarga, mulai dari ketidakadekuatan praktik pemberian makan, praktik
pemberian ASI, infeksi penyakit serta pola pengasuhan anak. Faktor eksternal, yaitu masyarakat
dan lingkungan sekitar, di samping terbatasnya pelayanan kesehatan ibu dan anak, akses air
bersih, dan sanitasi lingkungan, hal tersebut juga ikut berpengaruh. Dari permasalahan di atas,
dimaksudkan agar paper yang ditulis bisa memaparkan biostatistika stunting lebih jelas beserta
data-datanya.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan sistem biostatistika pada kasus stunting di Indonesia?
2. Bagaimana kefektifan sistem biostatistika dalam meninjau kasus stunting di Indonesia?
3. Apakah angka kasus stunting mempengaruhi indikator kesehatan masyarakat?
4. Mengapa stunting menjadi salah satu persoalan dalam kesehatan yang sudah berlangsung lama
dan belum terselesaikan sampai saat ini?
3. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui penerapan sistem biostatistika pada kasus stunting di Indonesia.
2. Mahasiswa mengetahui kefektifan sistem biostatistika dalam meninjau kasus stunting di
Indonesia.
3. Mahasiswa mengetahui pengaruh angka stunting terhadap indikator kesehatan masyarakat.
4. Mahasiswa mengetahui penyebab stunting belum terselesaikan sampai saat ini.
A. Penerapan Sistem Biostatistika pada Kasus Stunting di Indonesia.
Indonesia mempunya Badan Pusat Statistika (BPS) yang bertugas untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan statistik dasar, melaksanakan koordinasi dan kerjasama, serta
mengembangkan dan membina statistik sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku. Dalam hal ini juga termasuk menghitung prevalensi kejadian stunting di Indonesia
setiap tahunnya baik dalam level nasional, provinsi maupun level kabupaten/kota karena
percepatan penurunan stunting merupakan salah satu program prioritas nasional pemerintah di
bidang Kesehatan

B. Kefektifan Sistem Biostatistika dalam Meninjau Kasus Stunting di Indonesia.


Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan bekerjasama denga Biro Pusat Statistik (BPS)
dengan dukungan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Sekretariat Wakil
Presiden Republik Indonesia melakukan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dengan
mengumpulkan data dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan jumlah blok sensus (BS)
sebanyak 14.889 Blok Sensus dan 153.228 balita.
Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 angka stunting secara nasional mengalami penurunan
sebesar 1,6% pertahun dari 27,7% pada tahun 2019 dan menjadi 24,4% pada tahun 2021. Dari
hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2019 dan hanya 5 provinsi yang mengalami kenaikan yaitu, Nusa
Tenggara Timur (37,80%), Sulawesi Barat (33,80%), Aceh (33,20%), Nusa Tenggara Barat
(31,40%), dan Sulawesi Tenggara (30,20%).
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yang merupakan bentuk kerjasama Kementerian Kesehatan
dengan Biro Pusat Statistik (BPS) tentunya mendapat hasil yang seperti itu melalui proses
pengumpulan data-data baik melalui informasi sistem data dari posyandu, puskesmas, dan rumah
sakit serta pelayanan kesehatan lainnya maupun informasi dari masyarakat itu sendiri baik
melalui survei, observasi, angket (kuesioner), dan juga interview (wawancara). Tentunya
berdasarkan hasil pengumpulan data-data tersebut, tidak hanya data berapa banyak angka
stunting yang tercatat yang akan diperoleh namun juga faktor penyebab maupun alasan mengapa
balita dapat mengalami stunting.
Sehingga melalui informasi tersebut pemerintah dapat lebih memahami dan mengerti bagaimana
cara atau upaya yang lebih baik dan tepat untuk mengatasi, mencegah, dan mengurangi angka
stunting di Indonesia. Selain itu, dengan melalui metode ini juga pemerintah dapat lebih
memahami pengelompokkan daerah atau provinsi mana yang mengalami balita stunting yang
lebih tinggi maupun yang lebih rendah sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah
dalam menangani agar terjadi penurunan stunting yang cepat di Indonesia terutama di daerah
atau provinsi yang angka stuntingnya tinggi.
Oleh karena itu, penggunaan sistem biostatistika atau metode statistik dalam meninjau atau
penanganan masalah stunting di Indonesia sangat efektif. Mengingat penyediaan data prevalensi
stunting melalui sistem pendataan yang akurat merupakan hal yang sangat penting dalam
melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap upaya percepatan penurunan stunting di tingkat
nasonal, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini dapat menjadi salah satu strategi pemerintah
dalam upaya penanggulangan stunting dan juga menjadi pandangan bagi pemerintah untuk
membentuk upaya atau cara yang lebih baik dan efektif dalam penanggulangan stunting di
Indonesia hingga akhirnya harapan pemerintah mengenai tingkat stunting di Indonesia pada
tahun 2024 menjadi 14% dapat tercapai.

C. Angka Kasus Stunting Mempengaruhi Indikator SDM.


Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas
SDM yang dimiliki karena tanpa didukung oleh SDM yang berkualitas maka pembangunan yang
dijalankan tidak akan mencapai target yang diharapkan.
Kualitas SDM suatu bangsa dapat tercermin dari besaran masalah stunting yang dimilikinya
karena stunting memberikan dampak yang sangat merugikan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Anak yang lahir stunting akan memiliki risiko terhadap rendahnya kemampuan
kognitif, tinggi badan tidak optimal serta memiliki risiko yang lebih besar menderita penyakit
degeratif pada usia dewasa. Selain itu juga memberikan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Maka stunting harus dicegah secara bersamasama oleh sektor kesehatan maupun sektor diluar
kesehatan. Upaya pencegahan stunting dapat dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan
intervensi gizi sensitive pada kelompok 1000 Hari Pertama Kehidupan, mulai dari masa
kehamilan, bayi sampai anak usia dua tahun.

D. Stunting Menjadi Salah Satu Persoalan dalam Kesehatan yang Sudah Berrlangsung Lama
dan Belum Terselesaikan Sampai Saat Ini.
• Pemahaman dan pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa kondisi tubuh anak yang
pendek itu terjadi karena faktor keturunan (genetik), sehingga hal ini membuat masyarakat hanya
menerima hal tersebut tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal genetika itu adalah
faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya jika dibandingkan dengan faktor
perilaku, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan.
• Faktor ekonomi keluarga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Dimana
masyarakat yang memiliki pendapatan yang menengah kebawah atau masyarakat miskin mereka
memiliki daya beli yang rendah, dimana masyarakat miskin lebih cenderung berfokus pada
karbohidrat atau lebih sedikit pada makanan berprotein tinggi, yang pada akhirnya mereka
mengonsumsi jumlah makanan yang tidak mencukupi dan juga jumlah zat gizi yang terdapat
pada makanan juga tidak lengkap.
• Faktor ketidaktahuan atau kurangnya literasi atau pengetahuan mengenai gizi dan
kesehatan oleh keluarga terutama ibu. Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya
mengatasi masalah gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan
makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik
akan melahirkan anak yang bergizi baik. Sehingga dengan bertambahnya pengetahuan ibu
terhadap gizi dan kesehatan berarti tingkat kepatuhan keluarga dalam menjaga kebersihan
lingkungan akan menjadi lebih baik, pemberian asupan makanan yang bergizi pada ibu yang
sedang hamil akan terus dilakukan, pemberian asi ekslusif akan terus berlangsung selama
minimal 6 bulan serta melakukan deteksi stunting dini akan terus terjadi hingga pertumbuhan
anak menjadi maksimal.
• Praktek pengasuhan atau pola asuh orang tua yang tidak baik seperti masih kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan dan gizi dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan balita.
Oleh karena itu, perlu digencarkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya stunting
dan cara pencegahannya. Sehingga kelak ketika sudah menjadi orang tua diharapkan masyarakat
dapat berperan dalam mencegah stunting sejak dini. Sehingga, prevelensi stunting di Indonesia
tidak berada di angka mengkhawatirkan lagi.
• Akses terhadap makanan bergizi seimbang belum merata. Padahal faktor utama
terjadinya stunting adalah kurangnya asupan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Pertumbuhan otak dan tubuh berkembang pesat pada 1000 HPK yang dimulai sejak janin
hingga anak berumur dua tahun. Pemenuhan gizi pada tahap tersebut sangat penting agar tumbuh
kembang anak dapat optimal.
• Rendahnya akses terhadap sanitasi yang baik, akses air bersih, dan fasilitas pelayanan
kesehatan, Karena akibat hambatan akses tersebut mendekatkan anak pada risiko ancaman
penyakit infeksi akibat rendahnya tingkat kebersihan sanitasi dan air. Oleh karena itu perlu
dilakukan pembiasaan kepada anak untuk selalu menjaga kebersihan dengan rajin mencuci
tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
KESIMPULAN
Stunting menjadi salah satu permasalahan gizi yang masih banyak di Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan
angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh dan
kembang pada balita, akibat kekurangan gizi sejak dalam kandungan yang berdampak pada
tubuh dengan tinggi atau panjang yang kurang dibandingkan dengan usia sebenarnya. Dampak
dari balita yang mengalami stunting dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap morbiditas
dan mortalitas penyakit menular, mengurangi prestasi pendidikan mereka di masa depan dan
mengurangi produktivitas ekonomi mereka di masa mendatang.
Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan
dengan Biro Pusat Statistik (BPS) dengan dukungan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
(Stunting) angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6% pertahun dari
27,7% pada tahun 2019 dan menjadi 24,4% pada tahun 2021. Dari hasil tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar dari 34 provinsi di Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun
2019 dan hanya 5 provinsi yang mengalami kenaikan yaitu, Nusa Tenggara Timur (37,80%),
Sulawesi Barat (33,80%), Aceh (33,20%), Nusa Tenggara Barat (31,40%), dan Sulawesi
Tenggara (30,20%).
Badan Pusat Statistik (BPS) juga membuat instrumen khusus berupa IKPS dengan tujuan
agar dapat digunakan untuk membandingkan bagaimana perkembangan cakupan-cakupan
intervensi terhadap rumah tangga sasaran, baik secara nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Laporan Indeks Khusus Penanganan Stunting disusun dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
data dan informasi bagi pemerintah dalam memantau kinerja penanganan stunting di Indonesia.
Sehingga diharapkan dapat menjelaskan manfaat IKPS untuk Kementerian/Lembaga dan
pemerintah daerah, serta dapat menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan dalam
perancangan kebijakan penanganan stunting di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai