Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/332655749

PENCERNAAN Kecernaan Pakan Secara IN VIVO dan IN VITRO

Experiment Findings · April 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.14385.02409

CITATIONS READS

0 7,986

6 authors, including:

Lia Sutiani
Bogor Agricultural University
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Physiology of Aquatis Animals View project

All content following this page was uploaded by Lia Sutiani on 25 April 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENCERNAAN
Kecernaan Pakan Secara IN VIVO dan IN VITRO

Lia Sutiani/C24170002
Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Insitut Pertanian Bogor

Abstrak
Ikan membutuhkan energi dalam melakukan aktivitas motoric. Energi tersebut dapat diperoleh
melalui pencernaan makanan pada ikan. Pencernaan dapat dilakukan secara in vitro menggunakan
proses enzimatik. Proses enzimatik tersebut terjadi pada perombakan protein dan lemak. Pencernaan in
vitro merupakan pencernaan yang terjadi di luar organ pencernaan atau dilakukan di laboratorium.
Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari praktikum ini adalah menentukan enzim yang paling bekerja pada
protein dan emulsifikator paling cepat pada lemak. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan analisis statistik deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa enzim
yang paling bekerja dalam menghidrolisa protein adalah enzim pepsin. Sementara emulsifikator yang
bekerja paling cepat dalam memisahkan atau mengemulsikan lemak adalah cairan empedu.

Kata kunci : lemak, pencernaan in vitro, protein

Abstract
Fish need energy in carrying out motor activities. This energy can be obtained through
digestion of food in fish. Digestion can be carried out in vitro using enzymatic processes. The enzymatic
process occurs in the alteration of protein and fat. In vitro digestion is digestion that occurs outside the
digestive organs or is carried out in the laboratory. This experiment was conducted at the Laboratory
of Aquatic Physiology, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agricultural Institute. The
purpose of this lab is the enzyme that works best on the fastest proteins and emulsifiers in fat. The
method used is a Completely Randomized Design (CRD) with descriptive statistical analysis. The
results obtained showed that the enzyme that was most successful in hydrolyzing proteins was the pepsin
enzyme. While the emulsifier that works the fastest in running or emulsifying fat is bile.

Keywords: in vitro digestion, lipid, protein

Latar Belakang
Ikan di dalam mendapatkan nutrisi dari makanannya menurut Murtidjo (2001)
bergantung dari kemampuan ikan mencerna dan mengabsorbsi zat makanannya. Pencernaan
tersebut bergantung dari sifat fisik dan kimia makanan yang dipengaruhi pula dengan macam
dan kualitas enzim di dalam usus kecil atau lambung. Adapun faktor lainnya adalah sifat kimia
air, temperatur air, jenis makanan, frekunesi makanan, dan lainnya. Pencernaan ikan dengan
hewan vertebrata lainnya memiliki perbedaan karena beberapa ikan kehilangan asam
lambungnya akibat tidak memiliki lambung atau dikenal dengan lambung semu. Secara
mekanis, pencernaan makanan dimulai dengan denaturasi asam dari makanan yang dicerna dan
mendorong hidrolisis protein secara enzimatik (Greger dan Windhorst 1996 dalam Mazlan et
al. 2016)
Ditinjau dari daya cernanya, makanan ikan dapat tercerna secara cepat atau lambat
tergantung dari daya kerja enzim pencernaan pada ikan. Makanan yang telah tercerna tersebut
menghasilkan nutrien yang diserap oleh tubuh dan sisa hasil pencernaan yang dikeluarkan
dalam bentuk feses, proses ini disebut dengan kecernaan (Tristiarti et al. 2013). Pengukuran
kecernaan menurut Tristiarti et al. (2013) dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kecernaan in

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


vivo dan in vitro. Pengukuran kecernaan secara in vivo merupakan pengukuran kecernaan yang
prosesnya terjadi di dalam tubuh hewan. Sementara pengukuran secara in vivo terjadi di luar
tubuh hewan dengan meniru proses pencernaan yang terjadi di saluran pncernaan hewan
tersebut. Hal diartikan bahwa pengukuran secara in vitro merupakan pengukuran pada
pencernaan dengan menggunakan beberapa indikator seperti enzim untuk mengukur daya
cerna pada pencernaan ikan. Pencernaan in vitro menurut Fent et al. (2006) merupakan cara
yang paling efektif dalam aktivitas bahan kimia dan hemat alat biaya.
Salah satu nutrisi yang paling banyak terkandung dalam ikan adalah protein.
Pencernaan protein ini dapat dilakukan secara in vitro pada vertebrata (McLean et al. 1997).
Protein dikenal sebagai komponen yang berperan penting dalam pertumbuhan suatu makhluk
hidup. Unit-unit penyusun protein adalah asam-asam amino dan atau peptida (Damodara 1996
dalam Saputra 2006). Proses perceranaan untuk merombak protein membutuhkan beberapa
enzim seperti enzim tripsin, kimotipsin, pepsin dan sebagainya. Enzim yang berfungsi
mencerna protein tersebut disebut dengan enzim protease (Saputra 2006). Daya cerna protein
menentukan kemampuan protein yang dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim
pencernaan. Apabila daya cerna protein tinggi makan jumlah asam amino yang terserap dan
digunakan tubuh ikan tinggi, sedangkan jika daya cenaanya rendah maka bersifat sebaliknya
(Muchtadi 1989 dalam Saputra 2006).
Di samping protein, ikan juga membutuhkan lemak sebagai sumber energi yang dapat
disumbangkan oleh protein sehingga protein dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
pertumbuhan. Lemak menurut Anjusary dan Marzuqi (2013) mempunyai kandungan energi
yang paling besar apabila dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Secara umum, ikan
mampu mencerna dan memanfaatkan lemak lebih efisien dibandingkan hewan darat. Oleh
sebab itu, tidak banyak lemak yang terkadung dalam daging ikan karena telah tercerna untuk
pertumbuhan dan nutrisi lainnya. Tingkat kecernaan lemak yang tinggi akan menghasilkan
kecernaan protein yang tinggi pula, dan bersifat sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan asam
lemak pada lemak dapat digunakan untuk memberikan dorongan pada metabolisme ikan
sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kecernaan pada protein.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui enzim mana yang paling banyak
menghidrolisa protein dan emulsifikator mana yang paling baik dalam mengemulsikan lemak.

Metode Percobaan
Waktu dan Tempat
Praktikum ini diadakan pada hari Rabu, 27 Maret 2019 pada pukul 09.00-12.00 WIB
di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap (RAL) dengan menggunakan daging ikan yang telah dipotong menyerupai bentuk
dadu. Seluruh kelompok dibagi dua dengan masing-masing ada yang mendapat percobaan
mengenai pencernaan protein menggunakan beberapa enzim dan percobaan mengenai
emulsifikator pada lemak. Keseluruhan data yang dihasilkan tersebut kemudian diolah dan
menjadi satu data utama.

Prosedur Percobaan
a. Pencernaan Protein secara Invitro dengan Menggunakan berbagai jenis Enzim

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


Prosedur percobaan yang dilakukan pertama kali adalah empat buah tabung reaksi
disiapkan setelah itu masing-masing tabung reaksi tersebut diisi dengan 3 potongan daging
ikan. Selanjutnya, ditambahkan ke dalam setiap tabung reaksi dengan 3 ml akuades.
Berikutnya, setiap tabung reaksi diberi perlakuan yang berbeda-beda, yaitu tabung 1 sebagai
kontrol diisi dengan 1,5 ml ekstrak enzim, tabung 2 diberi enzim pepsin, tabung 3 diberi enzim
papain, dan tabung 4 diberi enzim brolin. Setelah semuanya diberi enzim, masing-masing
tabung reaksi tersebut dikocok dengan interval waktu setiap 15 menit selama masa inkubasi,
yaitu 1 jam. Setiap 15 menit sekali tersebut diamati tingkat kekeruhan pada cairan dan dicatat
hasilnya. Tabung reaksi dengan cairan yang keruh menandakan bahwa banyak zat terlarut
sehingga menunjukkan enzim pada cairan tersebut paling efektif bekerja.
b. Pencernaan Lemak secara Invitro dengan Menggunakan Enzim Pankreatik
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah disiapkannya tiga buah tabung reaksi yang
masing-masing diisi dengan 5 ml akuades. Selanjutnya, setiap tabung reaksi diisi dengan 2 ml
minyak goring. Adapun perlakuan yang diberikan pada setiap tabung tersebut berbeda-beda,
yakni tabung 1 diisi dengan 1 ml akuades, tabung 2 diisi dengan 1 ml cairan empedu, dan
dimasukkan 1 ml cairan kuning telur pada tabung 3. Berikutnya, masing-masing tabung
dikocok dengan interval waktu setiap 10 menit selama masa inkubasi 1 jam. Setiap 10 menit
tersebut, diamati perubahan tingkat kekeruhan pada cairan dan dicatat hasilnya.

Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan melakukan pengamatan pada daging ikan yang
telah diberi perlakuan baik secara kontrol maupun diberi tambahan enzim. Adapun pada
pengamatan dengan uji lemak menggunakan cairan empedu dan kuning telur. Setiap perlakuan
tersebut memiliki daya cerna yang berbeda-beda. Berikut adalah tabel tingkat konsumsi
oksigen pada ikan tersebut.
Tabel 1 Hasil pengukuran pencernaan protein
Waktu Kontrol Pepsin Papain Bromelin
15
30
45
60

Tabel 2 Pengemulsian lemak


Waktu Kontrol Empedu Kuning Telur
15
30
45
60

Analisis Data
Data parameter biologi diperoleh dari analisis daging ikan dengan menganalisis protein
dan lemak pada ikan. Analisis dilakukan secara statistik menggunakan analisis deskriptif
rancangan acak lengkap (RAL) yang diolah dengan program Excel 2017 for Windows.
Kemudian data dianalisis lanjut dengan uji Tukey dengan tujuan mengetahui perbedaan
diantara nilai tengah variabel (Steel & Torrie 1991).

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


a. Pencernaan Protein
Protein merupakan salah satu zat atau nutrisi yang terkandung pada ikan. Di dalam
pencernaan ikan terdapat beberapa enzim yang berfungsi merombak atau mencerna senyawa
protein tersebut agar menjadi energi bagi ikan. Sebagai katalisator, setiap enzim memiliki daya
kerja yang berbeda dalam mencerna makanan. Berikut adalah hasil daya cerna beberapa enzim
terhadap protein pada ikan yang dilakukan secara in vitro dilihat dari tingkat kekeruhannya.
Tabel 1 Kecernaan Protein
Waktu Kontrol Pepsin Papain Bromelin
15 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)
45 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
60 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
Keterangan:
- : bening
+ : sedikit keruh
++ : agak keruh
+++ : keruh
++++ : sangat keruh

Melalui hasil data yang diperoleh dapat diketahui bahwa pada tabung reaksi tanpa
perlakuan atau kontrol menghasilkan cairan dengan tingkat kekeruhan yang bening di setiap
15 menit selama 1 jam tersebut. Sementara pada tabung reaksi yang diberi beberapa perlakuan
menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Tabung reaksi dengan penambahan enzim pepsin
memiliki daya cerna protein dengan tingkat kekeruhan agak keruh di setiap 15 menitnya. Hal
yang sama juga terjadi pada tabung reaksi yang diberi perlakuan dengan enzim bromelin,
namun hanya berbeda tingkat kekeruhan yang sifatnya lebih keruh dibandingkan perlakuan
dengan enzim pepsin. Adapun pada tabung reaksi dengan penambahan enzim papain
mengalami perubahan pada menit ke-45 yang awalnya daya cerna dengan tingkat kekeruhan
agak keruh menjadi lebih keruh. Kondisi tersebut terjadi hingga menit ke-60.

b. Pencernaan Lemak
Tidak hanya mengandung protein, daging ikan juga mengandung lemak. Enzim yang
berfungsi untuk mengemulsikan lemak pada ikan berbeda dengan enzim yang digunakan pada
protein. Sama halnya dengan enzim pada pencernaan protein, enzim pada pencernaan lemak
juga memiliki daya cerna yang berbeda pula. Berikut adalah daya cerna enzim dalam
pengemulsian lemak.
Tabel 2 Kecernaan Lemak
Waktu Kontrol Empedu Kuning Telur
10 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
20 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
40 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
50 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
Keterangan:
+ : cepat memisah
++ : lambat memisah

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


+++ : sangat lambat memisah

Hasil data tersebut memperlihatkan bahwa daya cerna kuning telur paling lambat
dibandingkan dengan daya cerna enzim pada cairan empedu dan pada perlakuan kontrol.
Tabung reaksi dengan perlakuan kontrol di setiap 10 menit selama 1 jam tersebut menunjukkan
hasil yang sama, yaitu cepat memisah. Sementara pada tabung reaksi dengan diberi perlakuan
cairan empedu menunjukkan daya cerna lemak ikan yang sifatnya lambat memisah. Perlakuan
dengan kuning telur menghasilkan daya cerna yang berkebalikan dengan perlakuan tabung
secara kontrol, yakni daya cernanya sangat lambat untuk memisahkan atau mengemulsikan
lemak dalam waktu 1 jam tersebut.

Pembahasan
Hasil dari percobaan menunjukkan bahwa tabung reaksi tanpa perlakuan atau kontrol
lebih cepat merombak atau mengemulsikan protein dibandingkan dengan diberi perlakuan
dengan penambahan enzim. Enzim-enzim tersebut merupakan jenis enzim yang dapat
merombak protein menjadi unit-unit asam amino. Enzim yang mampu menghidrolisis protein
dikenal dengan enzim proteolitik disebut juga dengan peptidase, protease, atau ptroteinase.
Enzim ini termasuk dalam kelas enzim hydrolase (EC 3) dan dapat dikelompokkan dalam
subkelas peptida hydrolase atau peptidase (Tohzer et al. 2013).
Melalui hasil data yang diperoleh dapat diketahui pula bahwa kinerja enzim papain
lebih cepat dibandingkan enzim bromelin di menit-menit awal, namun di menit akhir daya
cerna proteinnya hampir sama. Hal tersebut menjelaskan bahwa daya kerja kedua enzim
tersebut hampir sama. Enzim papain dan bromelin ini mempunyai kemampuan menghidrolisis
lebih baik dibandingkan enzim nutrease (Hasan et al. 2012). Papain merupakan suatu enzim
proteolitik yang asalnya dari getah pepaya. Enzim ini mampu memecah molekul protein
sehingga pencernaan in vitro pada protein ikan dapat menggunakan enzim papain ini. Selain
itu, enzim ini memiliki kegunaan lainnya seperti pengempukan daging, pembuatan konsentrat
protein, dan sebagai anti dingin dalam industri pembuatan bir (Yuniwati et al. 2008 dalam
Hasan et al. 2012). Enzim papain ini dapat ditemukan secara komersial (dijual) atau secara
murni (alami). Aktivitas rata-rata enzim papain komersial menurut Hasnan (1991) dalam Hasan
et al. (2012) sebesar 36,89 unit/gram. Sementara pada enzim papain murni aktivitas kerjanya
mencapai 488 unit/gram sehingga memiliki kemampuan menghidrolisis lebih cepat.
Sementara itu, enzim bromelin merupakan enzim yang diperoleh dari ekstrak batang
nanas (Maulana et al. 2018). Bromelin hati nanas paling aktif dalam mencerna kolagen.
Biasanya paling banyak ditemukan pada kepala ikan dan kurang aktif sebagai alat pencernaan
dalam mencerna protein (Elfitasari et al. 2013). Hal ini sesuai dengan hasil percobaan yang
menunjukkan bahwa kinerja enzim bromelin paling rendah dilihat dari tingkat kekeruhan
larutan yang bersifat keruh. Meski daya cernanya rendah, enzim bromelin menurut Elfitasari
et al. (2013) dapat menghidrolisis protein kompleks menjadi asam amino dengan ikatan peptida
lebih banyak. Enzim ini berfungsi memecah protein dalam pakan menjadi asam amino dan
ikatan peptida. Hal tersebut dikarenakan daya kerja enzim yang rendah sehingga lebih mudah
mencerna asam amino dan ikatan peptida dibandingkan pada protein kompleks.
Enzim lainnya yang digunakan dalam percobaan ini untuk menghidrolisis protein
adalah enzim pepsin. Enzim pepsin merupakan protease pada asam yang penting dan banyak
digunakan dalam hidrolisis protein (Dave et al. 2011). Melalui efek pemanasan, enzim ini
mampu mencerna protein, peptida, dan komponen asam amino bebas dari pencernaan pepsin-
pacreatin-erepsin (Salter dan Ford 1966). Enzim pepsin merupakan enzim yang berasal dari
lambung yang menghasilnya pepsinogen. Pepsinogen merupakan bentuk enzim yang belum
aktif (prekursor) dari pepsin, yakni untuk mencerna protein (Sumirat dan Wijayanto 2009).
Enzim pepsin pada ikan sebagian besar dapat ditemukan pada perut ikan. Ada beberapa jenis

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


pepsin di dalam lambung, masing-masing tersebut memiliki struktur protein yang berbeda dan
enzimatik. Enzim pepsin disintesis dan disekresikan dalam membrane lambung (Dave et al.
2011).
Sama seperti pencernaan protein tanpa perlakuan apapun atau kontrol, pencernaan pada
lemak juga lebih cepat terjadi pada perlakuan secara kontrol. Perlakuan secara kontrol, yakni
hanya diberi penambahan akuades mampu memisahkan lemak lebih cepat dibandingkan
perlakuan dengan empedu atau kuning telur. Pencernaan lemak dengan penambahan kuning
telur menunjukkan bahwa lemak sulit terpisah atau terurai. Kuning telur (egg yolk) menurut
Hirata et al. (1983) mampu mengemulsikan lemak dengan cara kuning telur dalam kondisi
mentah. Meski demikian, kinerja kuning telur ini memang lebih rendah dibandingkan cairan
empedu dilihat dari hasil data yang diperoleh.
Lemak di dalam saluran pencernaan menurut Saraswati et al. (2013) dapat dihidrolsis
di dalam empedu atau bercampur dengan empedu yang dihasilkan oleh organ hati membentuk
micelle. Micelle inilah yang akan mengemulsikan lemak. Cairan empedu mampu menghasilkan
enzim yang mampu menguraikan lemak, yaitu enzim lipase. Enzim ini berfungsi menguraikan
trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol (Saraswati et al. 2013). Asam dari empedu atau
asam empedu juga memiliki fungsi surfaktan sehingga berguna sebagai pelarut untuk
mengemulsikan lemak agar mudah diserap oleh tubuh (Ishihara et al. 2007). Selain itu, garam
dari empedu menurut Handali et al. (2015) disekresikan ke dalam usus duodenum dan
teradsorbsi ke permukaan lipid lalu lemak tersebut teremulsi.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Sistem pencernaan ikan prosesnya dapat dilakukan secara in vitro. Pencernaan secara
in vitro dilakukan di laboratorium dengan menggunakan beberapa enzim. Pencernaan tersebut
berupa pencernaan protein dan lemak. Enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisa
protein paling cepat adalah enzim pepsin, sedangkan enzim dengan daya cerna paling lambat
adalah enzim bromelin. Sementara pada lemak, emulsifikator paling cepat dalam
mengemulsikan lemak adalah cairan empedu. Asam empedu dan garam empedu mampu
bekerja sebagai pelarut dalam mengemulsikan lemak dengan dibantu enzim lipase. Adapun
emulsi lemak menggunakan kuning telur membutuhkan waktu yang lebih lama karena lemak
pada ikan lambat memisahnya.

Saran
Diharapkan praktikum ini dapat dipraktikan menggunakan jenis enzim lainnya dan
pencernaan yang dilakukan lebih bervariasi. Misalnya, dengan percobaan pada karbohidrat.
Tentu enzim yang digunakan untuk mencerna karbohidrat berbeda dengan pencernaan pada
lemak atau protein. Hal tersebut dikarenakan agar ilmu yang diperoleh banyak terkait
pencernaan in vitro pada ikan.

Daftar Pustaka
Anjusary DN, Marzuqi M. 2013. Kecernaan nutrient pakan dengan kadar protein dan lemak
berbeda pada juvenile ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola). Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 5 (2) : 311-323.
Dave D, Brooks MS, Ghaly AE, Budge SM, Zhao L. 2011. Extraction, purification, and
characterization of fish pepsin : a critical review. Food Processing and Technology
Journal. 2 (6) : 2-14.

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


Elfitasari T, Subandiyono N. 2013. Pengaruh penggunaan bromelin terhadap tingkat ep
pemanfaatan protein pakan dan pertumbuhan lele dumbo (Clarias gariepinus). Journal
of Aquaculture Management and Technology. 2 (2) : 57-63.
Fent K, Galicia HF, Kunz PY. 2006. Comparison of in bitro and in vivo estrogenic activity of
UV filters in fish. Toxicological Sciences. 90 (2) : 349-361.
Hasan Z, Kurniawati N, Simanjorang E. 2012. Pengaruh penggunaan enzim papain dengan
konsentrasi yang berbeda terhadap karakteristik kimia kecap tutut. Jurnal Perikanan
dan Kelautan. 3 (4) : 209-220.
Handali S, Ameri A, Moghimipour E. 2015. Absorption-enhancing effects of bile salts.
Molecules. 20. 14451-14473.
Hirata M, Oka A, Tamiya T, Watanabe T. 1983. Improvement of dietary value of libve foods
for fish larvae by feeding them on ώ3 highly unsaturated faaty acids and fat-soluble
vitamins. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries. 49 (3) : 471-479.
Ishihara K, Murata Y, Yokoyama M, Takeuchi T, Matsunari H, Kim SK. 2007. Efect of
different dietary taurine levels on the conjugated bile cid composition and growth
performance of juvenile and fingerling Japanese flouder Paralichthys olivaceus.
Aquaculture. 273. 595-601.
Maulana T, Dewanti LP, Rizal A, Buwini ID, Nurhayati A, Rostika R. 2018. Papain and
bromelain crude enzyme extract in commercial feed, effectiveness toward pisciculture
production of striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus) in aquaculture facility.
AACL Bioflux. 11 (5) : 1598-1602.
Mazlan AG, Rahim SM, Das SK, Hashim M, Abidin AZ, Diana. 2016. Enzymatic digestion of
stomachless fish Zenarchopterus buffonis. AACL Bioflux. 9 (3) : 695-703.
McLean E, Kjaer A, Bassompierre M. 1997. A rapid and inexpensive method for documenting
fish meal quality and screening novel protein sources for use in aquafeeds. Ribarstvo.
55 (4) : 137-145.
Murtidjo BA. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Yogyakarta (ID) : Kanisius.
Salter DN, Ford JE. 1966. Analysis of enzymically digested food proteins by Sephandex-gel
filtration. Journal Nutrition. 20 : 843-860.
Saputra D. 2014. Penentuan daya cerna protein in vitro ikan bawal (Colossoma macropomum)
pada umur panen berbeda. ComTech. 5 (2) : 1127-1133.
Saraswati TR, Praseno K, Suparyanti. 2013. Indeks kuning telur (IKT) dan haugh unit (HU)
telur puyuh (Coturnix cortunix japonica) setelah penambahan tepung kunyit (Curcuma
longa L.) dan tepung ikan pada pakan. Jurnal Biologi. 2 (3) : 67-75.
Stell RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik.
Jakarta (ID) : PT Gramedia.
Sumirat EW. Wijayanto BA. 2009. Pembuatan media pembelajaran biologi sekolah menengah
tingkat pertama. Journal Speed. 1 (4) : 63-70.
Tozser J, Toth F, Motyan JA. 2013. Research applications of proteolytic enzymes in molecular
biology. Biomolecules. 3 (4) : 923-942.
Tristiarti, Ismadi VDYB, Wulandari KY. 2013. Kecernaan serat kasar dan energi metabolis
pada ayam kedu umur 24 minggu yang diberi ransum dengan berbagai level protein
kasar dan serat kasar. Animal Agriculture Journal. 2 (1) : 9-17.

Lampiran

Hasil Data
Keceraan Protein
Kelompok Waktu (menit) Enzim

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


Kontrol Papain Brolin Pepsin
15 (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)(+)
30 (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)(+)
1
45 (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)(+)
60 (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)(+)
15 (-) (+)(+) (+) (+)(+)(+)
30 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)
3
45 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
60 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
15 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)(+)
30 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)(+)
5
45 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)(+)
60 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)(+)
15 (-) (+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (-) (+) (+)(+) (+)(+)(+)
7
45 (+) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
60 (+) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
15 (-) (+)(+) (+) (+)(+)(+)
30 (-) (+)(+) (+) (+)(+)(+)
9
45 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)
15 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
30 (-) (+)(+) (+)(+)(+) (+)(+)(+)
11
45 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (-) (+)(+) (+)(+) (+)(+)(+)

Kecernaan Lemak
Waktu Emulsi
Kelompok
(menit) Kontrol Cairan empedu Kuning telur
10 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
20 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
2
40 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
50 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
10 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
20 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
4
40 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
50 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
10 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
20 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
6
30 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
40 (+) (+)(+) (+)(+)(+)

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


50 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
10 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
20 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
8
40 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
50 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
60 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
10 (+) (+) (+)(+)(+)
20 (+) (+) (+)(+)(+)
30 (+) (+) (+)(+)(+)
10
40 (+) (+) (+)(+)(+)
50 (+) (+) (+)(+)(+)
60 (+) (+) (+)(+)(+)
10 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
20 (+) (+)(+) (+)(+)(+)
30 (+) (+) (+)(+)
12
40 (+) (+) (+)(+)
50 (+) (+) (+)(+)
60 (+) (+) (+)(+)

Screenshot Journal

Kelompok 1/Kak Tina Sulastri


Kelompok 1/Kak Tina Sulastri
Kelompok 1/Kak Tina Sulastri
Kelompok 1/Kak Tina Sulastri
Kelompok 1/Kak Tina Sulastri

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai