Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM

EVALUASI ZAT GIZI PROTEIN IN VIVO

Dosen Pengampu:

Puspito Arum, S, Gz.M. Gizi

Oleh :

Golongan / Kelompok : B / 1

Eka Udayana (G42170500)

Hardiyanti Rahmadani (G42170521)

Eka Serly Saftri (G42170522)

Indah Kusuma S. W. (G42170567)

Dyyannatus Solikhah (G42170567)

Ira Maulidia (G42170569)

Salsabila Rahmatillah S.(G42170572)

Filadelfia Natasha L. (G42170523)

Progam Studi Gizi Klinik

Jurusan Kesehatan

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang melimpahkan
rahmat serta hidayah nya kepada kami sehigga kami dapat menyelesaikan laporan pratikum mata kuliah
Evaluasi Zat Gizi. Dalam penulisan ini kami banyak menghadapi kesulitan dan hambatan tetapi berkat
dorongan dan dukungan dari teman-teman sehingga kesulitan dan hambatan tersebutdapat diatasi. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga
penulisan laporan ini dapat diselesaikan.

Akhir kata semoga laporan pratikum ini sapat berguna bagi kami khususnya dan para pembaca
pada umumnya. Namun walaupun laporan ini selesai tentulah masih banyak kekurangan hal ini
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
mengarah kepada perbaikan isi laporan ini sangat kami harapkan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................. 4
1.2 Tujuan ........................................................................................................................................... 4
1.3 Manfaat ......................................................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................................................................... 6
METODOLOGI PRAKTIKUM ............................................................................................................. 6
3.1 Waktu dan Tempat........................................................................................................................ 6
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................................................. 6
3.2.1 Alat ........................................................................................................................................ 6

3.2.2 Bahan..................................................................................................................................... 6

3.3 Prosedur Kerja .............................................................................................................................. 7


· Tikus Datang ........................................................................................................................... 7

· Pemberian Pakan ..................................................................................................................... 7

· Pembuatan Pakan .................................................................................................................... 8

· Perhitungan Protein ................................................................................................................. 9

BAB III ................................................................................................................................................. 11


PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 11
BAB V .................................................................................................................................................. 24
PENUTUP ............................................................................................................................................ 24
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 24
5.2 Saran ........................................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 25
LAMPIRAN.......................................................................................................................................... 27
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein merupakan salah satu zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan kebutuhan yang cukup
besar disamping zat gizi lain, seperti karbohidrat. Protein sendiri dapat diperoleh dari bahan pangan
hewani dan nabati. Protein cukup banyak terkandung di dalam bahan pangan hewani dengan daya cerna
yang lebih baik dibandingkan protein pada bahan pangan nabati. Namun, terdapat juga dalam bahan
pangan nabati yang kaya akan kandungan protein yang lengkap, seperti kedelai. Kedelai merupakan
alternatif sumber protein yang menjanjikan untuk menggantikan protein hewani. Protein kedelai
mengandung asam amino yang lengkap. Selain itu protein kedelai mengandung asam amino yang relatif
lebih tinggi daripada protein biji-bijian lainnya, terutama asam amino lisin (FAO 1971).

Nilai gizi protein pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang
terkandung di dalam makanan, tetapi juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan
asam-asam amino secara biologis atau dapat atau tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh. Tidak
semua protein dalam bahan pangan yang dikonsumsi dapat di hidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan
menjadi asam-asam amino. Dalam bentuk asam aminolah protein dari susunan makanan dapat
dimanfaatkan oleh tubuh (Winarno, 1997).

Suatu cara penilaian untuk mengetahui avaibilitas protein dalam tubuh ini disebut teknik evaluasi
protein. Metode evaluasi mutu gizi protein digolongkan menjadi 2 macam. Kedua metode tersebut yaitu
metode secara in vitro (secara kimia, mikrobiologis atau enzimatis) dan metode secara in vivo (secara
biologis menggunakan hewan percobaan secara utuh termasuk manusia (Muchtadi, 2010). Beberapa
parameter yang digunakan dalam evaluasi mutu biologis protein antara lain: Protein Efficiency Ratio
(PER), Net Protein Ratio (NPR), True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein
Utilization (NPU). Maka dari itu untuk mengetahui mutu protein diperlukan evaluasi gizi pada protein.

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengukur nilai Protein Efficiency Ratio (PER) dan Net
Protein Ratio (NPR) yang diperoleh dari pemberian protein pada pakan hewan coba terhadap nilai
gizi protein.
1.3 Manfaat
Untuk mengetahui pengaruh pemberian protein terhadap pakan hewan coba.
BAB II

METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum evaluasi gizi dengan judul “Evaluasi Gizi Protein in Vitro“ dilakukan pada hari selasa
26 maret – 9 april 2019, praktikum ini dilaksanakan di labolatorium analisis zat gizi Politeknik Negeri
Jember.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
- Timbangan
- Loyang
- Oven
- Sendok
- Plastik
- Pisau
- Kertas
- Lateks

3.2.2 Bahan
- Tepung maizena
- Minyak jagung
- CMC
- Multi vitamin
- Multi mineral
- Tempe
3.3 Prosedur Kerja

 Tikus Datang
Pada praktikum evaluasi gizi dengan judul praktikum Evaluasi Nilai Gizi Protein In Vitro
menggunakan hewan uji coba yaitu tikus putih (mencit). Dari praktikum tersebut akan mendapatkan
hasil data tikus yang dibagi menjadi tiga yaitu tikus pertama dengan nama “AL”, tikus kedua dengan
nama “EL”, dan tikus ketiga dengan nama “DUL”. Dari data tersebut akan mengetahui data mulai
dari pakan yang diberikan, pakan sisa, pakan termakan dan berat badan tikus selama 15 hari.

1. Sebelum tikus datang, setiap kelompok persiapkan tempat alas (tempat tinggal tikus), sekam,
tempat makan, dan tempat minum untuk tikus.
2. Tikus datang pada hari selasa 26 Maret 2019 pukul 16.45 WIB.
3. Pemasukan tikus pertama, kedua, dan ketiga ke dalam alas (tempat tinggal tikus) yang telah di
sediakan sekam.
4. Penimbangan dan pencatatan berat badan tikus untuk mengetahui pakan yang akan diberikan
pada tikus.
5. Pemberian minum pada tikus.
6. Penempatan tikus ke dalam ruangan yang telah ditentukan (ruang hewan uji coba).

 Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakukan selama pemeliharaan tikus yaitu 15 hari yang merupakan periode
pengamatan pakan yang termakan dan berat badan tikus coba. Pakan diberikan pada pagi hari sekitar
pukul 07.00 – 10.00. Konsumsi pakan yang diberikan, pakan sisa, dan pakan termakan pada masing-
masing tikus dihitung setiap hari. Pakan yang tersisa dalam wadah dan yang tercecer dihitung sebagai
sisa pakan.
1. Sisa pakan diambil dan ditimbang untuk mengetahui porsi pakan yang dikonsumsi tikus,
menggunakan rumus: Berat pakan yang termakan (gram) = Berat pakan yang diberikan (gram) –
Berat pakan sisa (gram).
2. Pembersihan kandang tikus dilakukan rutin setiap hari guna menjaga kesehatannya, dengan cara
membuang kotoran dan menggantikan alas (kertas).
3. Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali (catat hasil), untuk menentukan
jumlah / porsi pakannya.
4. Perhitungan jumlah pakan yaitu 10% dari berat badan tikus (catat hasil), lalu pakan ditimbang
dalam wadah yang telah disediakan.
5. Pemberian pakan tikus dilakukan setip hari secara terukur dengan memperhatikan jumlah atau
takaran yang sesuai.
6. Air minum diberikan secara ad libitum dan penggantian air dilakukan setiap hari.

 Pembuatan Pakan
Pembuatan pakan dilakukan pada saat sebelum tikus datang dan dipelihara selama 15 hari,
supaya pada saat tikus telah tersedia setelah dilakukan penimbangan langsung dapat diberi pakan
yang sudah dibuat tadi. Pembuatan pakan menggunakan bahan-bahan dan langkah-langkah sebagai
berikut :

A. Bahan : 1. Tepung maizena (681,8 gram)

2. Minyak jagung (85,2 gram)

3. Multivitamin (15 gram)

4. CMC (6 gram)

5. Multimineral (30 gram)

B. Langkah-langkah :
1. Setelah bahan-bahan ditimbang seseuai beratnya, kemudian masukkan bahan satu persatu
kedalam wadah yang telah disiapkan.
2. Kemudian aduk hingga semua bahan tercampur menjadi satu. Bahan-bahan yang sudah
dicampur dan diaduk hingga rata kemdian diuleni hingga menjadi kalis seperti adonan kue
kering.
3. Setelah kalis sedikit padat dan tidak terlalu lembek, adonan diletakkan pada loyang yang
alasnya telah dilumuri oleh sedikit minyak agar adonan tidak lengket. Setelah ditata diatas
loyang, adonan dipotong kecil-kecil tipis atau berbentuk dadu/persegi panjang agar pada saat
pemanggangan adonan matang merata dan tidak gosong ataupun kurang matang.
4. Lalu panggang kurang lebih selama 20 menit sampai kering dan berubah warna. Selama
proses pemanggangan harus selalu dijaga dan diamati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
5. Setelah adonan matang merata, angkat dari loyang dan masukkan kedalam plastic sambil
diangin-anginkan agar pakan yang sudah jadi tidak ayem/melempem.

Pembuatan pakan tikus dilalukan dalam 2 kali praktikum, dikarenakan pada hasil akhir pakan
tikus yang sudah jadi berat yang dihasilkan masih kurang untuk perkiraan persedian pakan tikus
selama 15 hari dengan 3 tikus dan berat badan tikus yang berbeda.

 Perhitungan Protein
 Diketahui :
T. maizena = 681,8 gram = 2 gram protein
Tempe = 638,6 gram = 133 gram protein
135
Protein total = 135 gram = 1510,84 𝑥 100% = 8,93%
130,09+102,51+127,25
Jumlah konsumsi = = 119,95 : 15 = 7,99
3

 8,93% x 7,99 x 15 = 10,70

1−7−14,3
Kenaikan BB rata-rata = 3
= -6,76

38+18+39
Penurunan BB rata-rata = =31,66
3

 Jawab :
 PER sampel = perub BB / jumlah protein konsumsi
= -6,76 / 10.70 = -0,63
 PER kasein terkoreksi = 2,5 / PER kasein teranalisis
= 2,5 / 2,35 = 1,064
 PER terkoreksi = PER sampel / PER kasein terkoreksi
= -0,63 / 1,064 = -0,59
𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑦𝑔 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖)−𝑃𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡(𝑛𝑜𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛)
 𝑁𝑃𝑅 =
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑚𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖

−6,76−31,66
= = −3,59
10,70
BAB III

PEMBAHASAN

 Eka Udayana (G42170500)

Pada praktikum kali ini menggunakan hewan coba (Tikus putih) pada evaluasi nilai gizi protein
yang dilakukan menggunakan dua perlakuan pada hewan coba dengan pemberian pakan tanpa
penambahan protein (Non – protein) sebagai kontrol dan pemberian pakan dengan penambahan protein
dari tempe. Nilai gizi protein adalah mutu ukuran yang menunjukkan seberapa banyak dan lengkap asam-
asam amino esensial dalam protein yang dimakan dapat memenuhi kebutuhan manusia dan kemampuan
suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh
(Winarno, 1997). Metode biologis pada evaluasi nilai gizi protein umumnya menggunakan tikus putih
(albino rat) sebagai hewan percobaan, namun ada juga yang menggunakan mencit, ayam atau hewan lain
(kera ekor panjang) dan bahkan manusia. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi suatu
protein secara biologis, antara lain PER (protein efficiency ratio), nilai cerna atau daya cerna, nilai
biologis, dan net protein utilization (NPU) (Muchtadi, 2010).

Pada uji yang dilakukan kali ini menggunakan hewan coba dengan pemeliharaan selama 15 hari
dengan melakukan penimbangan berat badan 3 hari sekali dan pemberian pakan pada hewan coba sebesar
10% dari berat badan hewan coba. Selanjutnya dilakukan perhitungan PER dan NPR. Menurut Muchtadi
(2010) nilai gizi protein pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang terkandung
dalam makanan, namun juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan asam-asam amino
secara biologis dan dapat/ tidaknya zat gizi tersebut digunakan tubuh hal ini akan sangat berpengaruh
pada perubahan berat badan hewan coba, dari data yang diperoleh selama 15 hari pada kelompok non–
protein maupun kelompok dengan penambahan protein tempe mengalami penurunan namun penurunan
paling banyak terjadi pada kelompok non-protein hal ini disebabkan kurangnya konsumsi protein pada
kelompok non-protein hal ini disebabkan karena protein dapat berfungsi sebagai zat pembangun/
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Pertumbuhan berarti bertambahnya massa otot atau bobot
badan. Pertumbuhan dapat terjadi bila kecukupan asam amino dari proteinnya melebihi untuk
pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi, 2010).

Perhitungan PER diperoleh dari perbandingan antara pertambahan berat badan dan jumlah protein
yang dikonsumsi , untuk menghitung nilai PER dan NPR dibutuhkan data berat badan dan total konsumi,
dari data yang diperoleh perubahan kenaikan berat badan rata – rata yaitu -6,76 dan penurunan berat
badan rata – rata yaitu 31,66, dari hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan konsumsi protein total
yaitu sebesar 8,93 % dengan konsumsi sebanyak 7,99 sehingga hasil yang diperoleh dari perhitungan
sebesar 10,70. Nilai PER sampel yang diperoleh – 0,63 dan PER kasein terkoreksi 1,064 sehingga hasil
dari PER terkoreksi – 0,59. Nilai NPR yang diperoleh dari hasil perhitungan yaitu – 3,59 menunjukkan
angka negatif, Kekurangan asupan protein menyebabkan gangguan pada penyerapan dan transportasi zat-
zat gizi, sehingga yang dikonsumsi tidak dapat menambah massa otot, bahkan sebaliknya. Jadi, makanan
yang dikonsumsi ini hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup (Tasar, 2000).

 Hardiyanti Rahmadani (G42170521)

Hewan coba adalah hewan yang akan dipelihara sebagai hewan model hewan uji coba yang
berkaitan untuk pembelajaran dan pengembangan dalam berbagai macam dibidang ilmu dengan cara
pengamatan dan penelitian di laboratorium. Hewan uji coba yang sering digunakan yakni mencit (Mus
muskulus) dan tikus putih (Rattus Norvegicus), namun kali ini menggunakan hewan percobaan mencit
pada penelitian kesehatan banyak dilakukan untuk uji keamanan atau kelayakan suatu bahan obat dan
penelitian yang berkaitan dengan suatu penyakit ataupun uji pangan pemberian pakan dengan kandungan
gizi non-protein maupun protein. Mencit yang diperlakukan dengan baik akan memudahkan penanganan
dalam praktikum, begitupun sebaliknya apabila perlakuan dengan cara yang kasar akan menimbulkan
sifat agresif bahkan dapat menggigit pada kondisi tertentu (Malole dan Pramono, 1989).

Perlakuan pakan pada tikus dapat dibedakan menjadi dua yaitu non-protein (tanpa penambahan
kandungan gizi protein) dengan komposisi terdiri dari tepung maizena, minyak jagung, multi vitamin,
multi mineral, dan CMC, sedangkan protein (dengan komposisi seperti bahan non-protein, tetapi
penambahan kandungan gizi protein yaitu tempe). Perlakuaan pemberian pakan dengan penambahan
protein tempe merupakan bahan pangan yang mengandung sumber protein kaya akan asam amino
esensial dan dianggap sebagai bahan pangan pengganti daging atau ungags (babu, dkk., 2009). Peran
terpenting protein yaitu komponen utama otot dan jaringan tubuh untuk memproduksi hormone, enzim,
dan hemoglobin (Hoffman dan Falvo, 2004). Sehingga kualitas protein suatu bahan pangan tergantung
pada kandungan asam amino esensial dan kemampuannya yang dicerna oleh organ pencernaan
(Schaffsma 2000). Metode yang sering digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein adalah metode
keseimbangan nitrogen dan pertumbuhan.

Beberapa parameter mutu protein adalah protein efficiency ration (PER), net protein ratio (NPR),
biological value (BV), net protein utilization (NPU), dan daya cerna sejati (DC Sejati). Pengukuran nilai
gizi protein berdasarkan metode pertumbuhan memerlukan data berat badan untuk meberi total konsumsi
yang akan diberikan dan sumber makanan dari non-protein maupun protein selama 15 hari. Menghitung
dari hasil data yang diperoleh pada uji coba pada hewan coba mencit menggunakan metode PER dan
NPR dengan menghitung perkembangan berat badan, pakan yang diberikan, pakan termakan, dan paka
sisa selama 15 hari tersebut. Dari data keseluruhan rata-rata tikus pertama, kedua, dan ketiga.

Dari hasil data komposisi bahan pangan uji non-protein dan protein sangat berpengaruh nyata
pada jenis perlakuan pemberian pakan. Sehingga kenaikan berat badan kelompok non-protein sangat
nyata lebih rendah sehingga berat badan tikus sering menurun dibandingkan kelompok protein tempe
yang semakin hari meningkat dan terkadang menurun.untuk hasil perhitungan dengan jumlah yang
negative, karena pengeluaran feses dalam bentuk cair dan banyak yang terjadi sisa pakan yang terbuang
sehingga mengalami penurunan berat badan. Pembuatan pakan tikus bahan pangan yang non-protein, dan
hanya pada tepung maizena.

PER yang digunakan untuk mengetahui seberapa efektif protein yang terdapat dalam bahan
pangan sehingga mempengaruhi pertumbuhan hewan coba. Nilai PER sampel protein uji yang diperoleh
dari perlakuan protein (tempe) didapatkan hasil -0.63. dibandingkan dengan PER standar yaitu PER
kasein terkoreksinya yaitu 1,064. Sehingga diperoleh PER terkoreksinya -0,59.

Dari data hasil NPR diperlukan untuk data penurunan berat badan yang dihitung sebgai rata-rata
dari kelompok non-protein, NPR dihitung untuk tiap ekor tikus yaitu tiga ekor tikus tiap kelompok dan
diperoleh hasil total keseluruahan yaitu -3,59.

 Eka Serly Saftri (G42170522)

Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan
antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam
mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono, 1989). Kecernaan makanan didefinisikan sebagai jumlah
pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau yang tidak disekresikan melalui feses (McDonald, 1980).
Kecernaan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen (%). Pengukuran kecernaan dilakukan dengan
pemberian pakan yang diketahui jumlahnya, lalu berat feses yang diekskresikan ditimbang.

Pada pembarian pakan tikus ditimbang sebesar 10% dari berat badan tikus, kemudian tikus
ditimbang 3 hari sekali dan dilakukan penimbangan jumlah pakan sisa dan jumlah pakan yang termakan
oleh tikus.

Pada umumnya penilaian mutu gizi konsumsi pangan dalam arti pemanfaatannya oleh tubuh
sering dihampiri atau didekati penilaian pemanfaatan protein dari pangan atau makanan yang dikomsumsi
tubuh, yang biasa disebut dengan penilaian mutu protein. Dalam pratikum ini telah melakukan percobaan
dengan bahan pangan tempe maupun tanpa tambahan bahan makanan. Beberapa parameter yang
digunakan dalam evaluasi mutu biologis protein antara lain: Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein
Ratio (NPR).

Perhitungan Nilai Protein Efficiency Ratio

Penentuan nilai PER dapat diketahui dengan pengujian pakan tikus selama 15 hari, dengan
menggunakan kasein sebagai protein referensi. Perhitungan dilakukan untuk setiap ekor tikus, dan nilai
rata-rata dihitung untuk tiap grup. Perhitungan PER tidak berlaku untuk kelompok tikus non-protein.
Perhitungan PER dilakukan dengan menggunakan rumus berikut.

 PER sampel = perubahan BB

Jumlah protein konsumsi


= -6,76
10,70
= -0,63

 PER kasein terkoreksi = 2,5

PER kasein teranalisis

= 2,5
2,35
= 1,064
 PER terkoreksi = PER sampel

PER kasein terkoreksi


= -0,63
1,064
= -0,59
Perhitungan Nilai Net Protein Ratio

Perhitungan nilai NPR dilakukan sama seperti persyaratan PER. Akan tetapi, NPR memerlukan
waktu percobaan selama 15 hari dan diikutsertakan satu grup tikus yang diberi ransum non-protein untuk
memperhitungkan jumlah protein yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh. NPR dihitung berdasarkan
rumus berikut.

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑦𝑔 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖)−𝑃𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡(𝑛𝑜𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛)


𝑁𝑃𝑅 = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑚𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖

−6,76−31,66
= 10,70
= −3,59

Pada hasil perhitungan yang telah dilakukan dan pada praktikum yang telah dilaksanakan NPR
menghasilkan yaitu -3,59. Penurunan berat badan dihitung sebagai rata-rata dari grup tikus yang
menerima ransum non-protein. Nilai NPR dihitung untuk tiap ekor tikus, dan nilainya dirata-ratakan
untuk tiap grup. Jadi, dapat diketahui percobaan pakan tikus selama 15 hari dengan hasil perhitungan
kenaikan BB rata-rata menghasilkan hasil yang negariv yaitu dengan jumlah -6,76 (itu mengartikan
bahwa tikus mengalami penurunan BB selama percobaan) sedangakan pada penurunan BB rata-rata yaitu
31,66. Dan untuk hasil nilai PER sampel yaitu menghasilkan -0,63, sedangkan PER kasein terkoreksi
yaitu menghasilkan 1, 064, dan PER terkoreksi yaitu menghasilkan -0,59. NPR menghasilkan yaitu -3,59.
Penurunan berat badan menuurut (Tasar, 2000) menyatakan kandungan protein dalam maizena, yaitu
zein, ternyata tidak mengandung glisin atau lisin dan hanya sedikit sekali triptofan. Bila tikus percobaan
muda diberi pakan yang mengandung semua zat dalam jumlah yang cukup kecuali satu-satunya jenis
protein yang terdapat hanya-lah zein. Kekurangan asupan protein menyebabkan gangguan pada
penyerapan dan transportasi zat-zat gizi, sehingga yang dikonsumsi tidak dapat menambah massa otot,
bahkan sebaliknya. Jadi, makanan yang dikonsumsi ini hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup.
Menurut Sam dan Manuel (2002), beberapa studi pada hewan dan manusia yang obesitas menyatakan
bahwa kedelai sebagai makanan sumber protein mempunyai efek antiobesitas yang penting bagi tubuh.
memiliki PER negativ berarti tidak cukup protein untuk pertumbuhan, namun mungkin hanya cukup
untuk pemeliharaan tubuh (yang akan dijawab oleh nilai NPR). Pertumbuhan tubuh berarti peningkatan
massa otot, dimana peningkatan massa otot hanya mungkin terjadi apabila ketersediaan campuran asam-
asam amino lebih banyak dibandingkan ketersediaannya untuk pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi,
2010).
Pada pembuatan pakan tikus bahan pangan yang digunakan tidak banyak mengandung protein,
bahan pangan yang mengandung protein hanyalah tepung maizena yang tidak mengandung glisin dan
membuat penurunan berat badan seperti yang telah dijelaskan diatas. Untuk itu hasil perhitungan yang
dihasilkan mengalami jumlah yang negativ dan feses yang dihasilkan berupa cair dan banyak terjadi sisa
pakan yang terbuang.

 Indah Kusuma S W (G42170567)

Pada praktikum evaluasi gizi ini dengan judul praktikum Evaluasi Nilai Gizi Protein In Vitro
menggunakan hewan uji coba yaitu tikus putih (mencit). Tikus putih merupakan hewan coba yang
digunakan untuk penelitian biomedik. Dari praktikum tersebut mendapatkan hasil data sebanyak 3 tikus,
dari data tersebut akan mengetahui data mulai dari pakan yang diberikan, pakan sisa, pakan termakan dan
berat badan tikus selama 15 hari. Pemberian pakan dilakukan selama pemeliharaan tikus yaitu 15 hari
yang merupakan periode pengamatan pakan yang termakan dan berat badan tikus coba. Pakan yang
diberikan pada pagi hari. Konsumsi pakan yang diberikan, pakan sisa, dan pakan termakan pada masing-
masing tikus dihitungsetiap hari. pakan yang termakan pada masing – masing tikus dihitung setiap hari.
pakan yang tersisa dalam wadah dan yang tercecer di hitung sebagai sisa pakan. Pembuatan pakan
dilakukan pada saat sebelum tikus datang dan di pelihara selama 15 hari, supaya pada saat tikus telah
bersedia setelah dilakukan penimbangan langsung dapat diberi pakan yang sudah di buat tadi. Pembuatan
pakan tanpa protein yang di dalamnya terdapat tepung maizena , minyak jagung, multivitamin, CMC, dan
multimineral sebagai kontrol dan pemberian pakan menggunakan protein yaitu tempe yang di dalamnya
terdapat tepung maizena dan tempe.

Metode biologis untuk evaluasi nilai gizi protein pada umumnya menggunakan tikus putih
sebagai hewan percobaan; tetapi ada juga yang menggunakan mencit, ayam atau hewan lain (kera ekor
panjang) dan bahkan manusia. Parameter yang ditetapkan dalam evaluasi nilai gizi suatu protein secara
biologis, antara lain: PER (protein efficiency ratio), nilai cerna atau daya cerna (DC), nilai biologis
(biological value, BV), dan net protein utilization (NPU) (Djoko Pekik Irianto, 2006).

Protein efficiency ratio (PER) pada dasarnya menghitung efisiensi suatu protein pangan untuk
digunakan dalam sintesis protein tubuh. Apabila didefinisikan, maka PER adalah perbandingan antara
pertambahan berat badan dengan jumlah protein yang dikonsumsi. Nilai cerna atau daya cerna suatu
protein adalah perbandingan antara jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh usus halus dengan
jumlah protein yang dikonsumsi. Nilai biologis adalah perbandingan antara jumlah asam-asam amino
yang dapat ditahan (diretensi) oleh tubuh (untuk sintesis protein tubuh) dengan jumlah asam-asam amino
yang dapat diserap oleh usus halus. Sedangkan net protein utilization (NPU) adalah perbandingan antara
jumlah asam-asam amino yang dapat ditahan oleh tubuh dengan jumlah protein yang dikonsumsi (Djoko
Pekik Irianto, 2006).

Nilai gizi protein akan menentukan jumlah yang harus dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan
tubuh akan protein, protein dengan nilai gizi rendah harus dikonsumsi dalam jumlah lebih banyak
dibandingkan dengan protein yang bernilai gizi tinggi (Djoko Pekik Irianto, 2006).
Dari hasil data yang diperoleh nilai NPR yang diperoleh yaitu, -3,59 yang menunjukkan
kekurangan asupan protein, dan hasil yang diperoleh perubahan kenaikan berat badan rata – rata yaitu -
6,76 dan penurunan BB rata-rata yaitu 31,66. Perbandingan PER kasein terkoreksi dengan PER terkoreksi
lebih tinggi PER kasein terkoreksi yaitu 1,064 sedangkan PER terkoreksi -0,59,sedangkan nilai PER
sampel yang diperoleh -0,63.

 Dyyannatus Solikhah (G42170567)

Penelitian evaluasi nilai gizi protein in vivo ini menggunakan tikus percobaan sebagai model
dengan masa pemeliharaan selama 15 hari. Sebanyak 6 ekor tikus dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok non protein dan kelompok protein tempe. Setiap hari dilakukan pengumpulan dan
penimbangan sisa makanan untuk mengetahui jumlah pakan termakan, serta setiap tiga hari sekali
dilakukan penimbangan berat badan. Pengukuran nilai gizi protein berdasarkan metode pertumbuhan
yaitu dengan memerlukan data berat badan dan total konsumsi protein selama 15 hari. Parameter yang
digunakan yaitu PER dan NPR.
Peran terpenting protein adalah sebagai komponen utama otot dan jaringan tubuh. Protein dapat
pula digunakan untuk memproduksi hormon, enzim dan hemoglobin (Hoffman dan Falvo 2004). Kualitas
protein suatu bahan pangan tergantung pada kandungan asam amino esensial dan kemampuannya dicerna
oleh organ pencernaan (Schaffsma 2000). Tempe merupakan pangan olahan kedelai yang dihasilkan
melalui proses fermentasi dalam waktu tertentu menggunakan kapang (jamur) Rhizopus sp. Pada proses
pertumbuhannya, kapang tersebut menghasilkan beberapa enzim yang mampu menghidrolisis senyawa-
senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah dicerna dan diserap
tubuh (Kiers, dkk., 2003).
Hasil data yang telah didapatkan terlihat bahwa jumlah pakan termakan oleh kelompok non
protein sedikit lebih rendah dibandingkan kelompok protein tempe. Lindemann, dkk., (2002); Kurihara
(2009); Kusnandar (2010) menjelaskan bahwa protein sebagai salah satu komponen penyusun bahan
pangan memiliki fungsi sebagai pemberi rasa gurih pada bahan pangan. Sehingga hal itu berdampak pada
kenaikan berat badan rata-rata kelompok non protein yaitu -6,76 yang menandakan bahwa terjadi
penurunan berat badan. Sedangkan pada kelompok protein tempe cenderung mengalami kenaikan berat
badan. Hal ini karena kualitas protein yang terkandung dalam bahan pangan, akan mempengaruhi
pertumbuhan dilihat dari komposisi asam amino esensial, kemampuan tubuh untuk mencerna, serta
bioavaibilitas asam amino yang dikandungnya (Schaafsma 2000; Hoffman dan Falvo 2004). Tempe
merupakan bahan pangan sumber protein yang kaya akan asam amino esensial dan sering dianggap
sebagai bahan pangan pengganti daging atau unggas (Babu, dkk., 2009).
Metode yang digunakan untuk melihat hubungan antara kenaikan berat badan dengan konsumsi
protein adalah metode Protein Efficiency Ratio (PER). PER merupakan parameter mutu gizi protein yang
paling banyak digunakan. Hoffman dan Falvo (2004) menjelaskan bahwa PER digunakan untuk
mengetahui seberapa efektif protein yang terdapat dalam bahan pangan mempengaruhi pertumbuhan
hewan coba. Nilai PER sampel protein uji kemudian dibandingkan dengan nilai PER standar, yaitu PER
kasein. Kasein digunakan sebagai standar dikarenakan kandungan asam amino esensial yang terdapat
pada kasein tersebut cukup lengkap untuk pertumbuhan hewan coba.
Konsumsi protein didapat dari perhitungan antara protein total yaitu 8,93 % dengan jumlah
konsumsinya yaitu 7,99 gram sehingga diperoleh hasil 10,70. Nilai PER sampel yaitu -0,63 sementara
untuk PER kasein yaitu 1,064 sehingga hasil PER terkoreksi yaitu -0,59. Sumber protein hewani memiliki
nilai PER lebih tinggi dibandingkan dengan sumber protein nabati. Nilai PER tempe tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan nilai PER kasein dari sumber hewani seperti susu (Hoffman dan Falvo, 2004).
Analisis kualitas protein dengan menggunakan metode PER memiliki kelemahan, yaitu adanya asumsi
bahwa seluruh protein yang dikonsumsi digunakan untuk pertumbuhan, sementara untuk pemeliharaan
jaringan tubuh tidak diperhitungkan (Muchtadi, 2010).
Mengatasi permasalahan tersebut, digunakan metode Net Protein Ratio (NPR) pada kelompok
non protein. Pada penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat badan yang dihitung
sebagai rata-rata dari kelompok tikus yang memperoleh ransum non-protein. Nilai NPR pada kelompok
non protein yaitu -3,59. Berdasarkan nilai PER dan NPR, dapat diketahui bahwa asupan protein yang
terdapat dalam ransum protein tempe dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan baik oleh tikus
percobaan baik untuk pertumbuhan maupun untuk pemeliharaan tubuh.

 Ira Maulidia (G42170569)

Nilai cerna protein yaitu ketika mengonsumsi protein, protein tersebut akan dipecah menjadi
asam amino, sehingga tubuh bisa menyusun ulang asam amino tersebut menjadi protein yang dibutuhkan.
Protein dicerna pertama kali di dalam lambung. Asam lambung (HCl) memiliki pH sekitar 1.5, yang
menyebabkan rantai protein terbuka (terdenaturasi) untuk memudahkan enzim pencernaan menyerang dan
memutus ikatan peptida. Asam lambung juga mengaktifkan enzim pencernaan protein (protease) seperti
pepsin, yang memecah protein menjadi polipeptida dan pepton. Selama perjalanan menuju usus halus,
sekitar 70% protein terpecah menjadi tripeptida, dipeptida, maupun asam amino sederhana sebanyak 30%
oleh enzim-enzim pencernaan protein (pencreatic protease) antara lain tripsin, kimotripsin, dan
karboksipeptidase (Suhardjo dan Kusharto, 1992). Perjalanan protein berlanjut ke usus halus. Di dalam
usus halus larutan basa yang dihasilkan pankreas (sekitar pH 8) akan menetralkan asam dari lambung
sehingga pH netral (pH 7) agar enzim pencernaan berikutnya bisa bekerja dengan optimal sampai hampir
semua protein menjadi asam amino (Sizer dan Whitney, 2000). Setelah dalam bentuk molekul yang lebih
sederhana ini, asam amino, protein yang terkandung dalam susunan makanan dikonsumsi dapat
dimanfaatkan oleh tubuh.

Pada umumnya penilaian mutu gizi konsumsi pangan dalam arti pemanfaatannya oleh tubuh
sering dihampiri atau didekati penilaian pemanfaatan protein dari pangan atau makanan yang dikomsumsi
tubuh, yang biasa disebut dengan penilaian mutu protein. Dalam pratikum ini telah melakukan percobaan
dengan tikus putih selama 15 hari dengan kelompok 1 memberi bahan pangan tepung maizena dan
minyak jagung, serta kelompok 3 memberi bahan pangan tempe. Beberapa parameter yang digunakan
dalam evaluasi mutu biologis protein antara lain: Protein Efficiency Ratio (PER), Net Protein Ratio
(NPR).

Protein Efficiency Ratio

Penentuan nilai PER yaitu dengan pengujian selama 15 hari, dengan menggunakan kasein sebagai
protein referensi. Perhitungan dilakukan untuk setiap ekor tikus, dan nilai rata-rata dihitung untuk tiap
grup. Perhitungan PER tidak berlaku untuk kelompok tikus non-protein. Perhitungan PER dilakukan
dengan menggunakan rumus berikut.

 PER sampel = perub BB / jumlah protein konsumsi


= -6,76 / 10.70 = -0,63
 PER kasein terkoreksi = 2,5 / PER kasein teranalisis
= 2,5 / 2,35 = 1,064
 PER terkoreksi = PER sampel / PER kasein terkoreksi
= -0,63 / 1,064 = -0,59

Net Protein Ratio

Perhitungan nilai NPR dilakukan sama seperti persyaratan PER. Akan tetapi, NPR memerlukan
waktu percobaan selama 15 hari dan diikutsertakan satu grup tikus yang diberi ransum non-protein untuk
memperhitungkan jumlah protein yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh. NPR dihitung berdasarkan
rumus berikut.

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑦𝑔 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖)−𝑃𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡(𝑛𝑜𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛)


𝑁𝑃𝑅 = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑚𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖

−6,76−31,66
= = −3,59
10,70
Dalam hasil perhitungan NPR menghasilkan yaitu -3,59. Penurunan berat badan dihitung sebagai
rata-rata dari grup tikus yang menerima ransum nonprotein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus, dan
nilainya dirata-ratakan untuk tiap grup.

Jadi, dapat diketahui selama percobaan 15 hari dengan hasil perhitungan kenaikan BB rata-rata
mengahsilkan negarif yaitu -6,76 (yang berarti mengalami penurunan BB selama percobaan) sedangakan
pada penurunan BB rata-rata yaitu 31,66. Dan untuk hasil nilai PER sampel yaitu menghasilkan -0,63,
sedangkan PER kasein terkoreksi yaitu menghasilkan 1, 064, dan PER terkoreksi yaitu menghasilkan -
0,59. NPR menghasilkan yaitu -3,59. Penurunan berat badan menuurut (Tasar, 2000) menyatakan
kandungan protein dalam maizena, yaitu zein, ternyata tidak mengandung glisin atau lisin dan hanya
sedikit sekali triptofan. Bila tikus percobaan muda diberi pakan yang mengandung semua zat dalam
jumlah yang cukup kecuali satu-satunya jenis protein yang terdapat hanya-lah zein. Kekurangan asupan
protein menyebabkan gangguan pada penyerapan dan transportasi zat-zat gizi, sehingga yang dikonsumsi
tidak dapat menambah massa otot, bahkan sebaliknya. Jadi, makanan yang dikonsumsi ini hanya
berfungsi untuk mempertahankan hidup. Menurut Sam dan Manuel (2002), beberapa studi pada hewan
dan manusia yang obesitas menyatakan bahwa kedelai (tempe) sebagai makanan sumber protein
mempunyai efek antiobesitas yang penting bagi tubuh. memiliki PER negatif berarti tidak cukup protein
untuk pertumbuhan, namun mungkin hanya cukup untuk pemeliharaan tubuh (yang akan dijawab oleh
nilai NPR). Pertumbuhan tubuh berarti peningkatan massa otot, dimana peningkatan massa otot hanya
mungkin terjadi apabila ketersediaan campuran asam-asam amino lebih banyak dibandingkan
ketersediaannya untuk pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi, 2010).

 Salsabila Rahmatillah Safri (G42170572)

Pada praktikum Evaluasi Gizi kali ini kami melakukan percobaan yang dilakukan secara in vivo
dengan menggunakan hewan percobaan yaitu tikus putih. Menurut Muchtadi (2010), nilai gizi protein
pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang terkandung di dalam makanan,
tetapi juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan asam-asam amino secara biologis
atau dapat/ tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh.

Sifat dan mutu protein sebagai zat makanan tergantung pada macam serta banyaknya asam-asam
amino yang menyusun protein tersebut. Maka dari itu, dikenal-lah suatu teknik evaluasi nilai gizi protein.
Evaluasi nilai gizi protein dapat dilakukan dengan metode in vitro (secara kimia, mikrobiologis, atau
enzimatis) maupun metode in vivo (secara biologis). Untuk mendekati pada keadaan yang sebenarnya,
perlu meneliti secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan, yang pada penelitian ini
menggunakan tikus putih. Secara biokimia, proses pertumbuhan merupakan suatu petunjuk terjadinya
biosintesis protein jaringan. Kebutuhan akan asam amino untuk sintesis protein tubuhnya harus didapat
dari luar sebagai makanan.

Untuk pembuatan pakan tikus putih menggunakan pakan yang diberi protein dari tempe dan
sebagai kontrolnya menggunakan pakan yang tanpa tambahan protein (non-protein). Perlakuan ini
dilakukan 15 hari pada hewan coba 6 ekor tikus dan dilakukan penimbangan berat badan 3 hari sekali.
Menurut Muchtadi (2010), keuntungan menggunakan tikus percobaan adalah biaya relatif murah, mudah
dikontrol, tidak mampu memuntahkan isi perutnya karena tidak memiliki kantung empedu, dan tidak
berhenti tumbuh, namun kecepatan pertumbuhannya akan menurun setelah berumur 100 hari.

Hasil data yang telah didapatkan dari percobaan yang kami lakukan terlihat bahwa jumlah pakan
termakan oleh kelompok non protein sedikit lebih rendah yaitu -6,76 dibandingkan kelompok protein
tempe. Muchtadi (2010) menjelaskan bahwa proses fermentasi dalam pembuatan tempe dapat
mempertahankan sebagian besar zat-zat gizi yang terkandung dalam kedelai, meningkatkan daya cerna
proteinnya, serta meningkatkan kadar beberapa macam vitamin B. Proses pencernaan akan mengubah
makanan menjadi bentuk yang sesuai untuk diserap ke dalam proses sirkulasi untuk ditransfer ke liver dan
disebarkan ke jaringan-jaringan tubuh. Ketika seseorang mengonsumsi protein, protein tersebut akan
dipecah menjadi asam amino, sehingga tubuh bisa menyusun ulang asam amino tersebut menjadi protein
yang dibutuhkan.

Protein dicerna pertama kali di dalam lambung. Asam lambung (HCl) memiliki pH sekitar 1.5,
yang menyebabkan rantai protein terbuka (terdenaturasi) untuk memudahkan enzim pencernaan
menyerang dan memutus ikatan peptida. Asam lambung juga mengaktifkan enzim pencernaan protein
(protease) seperti pepsin, yang memecah protein menjadi polipeptida dan pepton. Selama perjalanan
menuju usus halus, sekitar 70% protein terpecah menjadi tripeptida, dipeptida, maupun asam amino
sederhana sebanyak 30% oleh enzim-enzim pencernaan protein (pencreatic protease) antara lain tripsin,
kimotripsin, dan karboksipeptidase (Suhardjo dan Kusharto, 1992; Grosvenor dan Smolin, 2002).

Perjalanan protein berlanjut ke usus halus. Di dalam usus halus larutan basa yang dihasilkan
pankreas (sekitar pH 8) akan menetralkan asam dari lambung sehingga pH netral (pH 7) agar enzim
pencernaan berikutnya bisa bekerja dengan optimal sampai hampir semua protein menjadi asam amino
(Sizer dan Whitney, 2000). Setelah dalam bentuk molekul yang lebih sederhana ini, asam amino, protein
yang terkandung dalam susunan makanan dikonsumsi dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Setelah melakukan penimbangan dilakukan perhitungan PER. Perhitungan PER diperoleh
berdasarkan perbandingan antara pertambahan berat badan dan jumlah protein yang dikonsumsi. Nilai
PER menjelaskan semua protein digunakan hanya untuk pertumbuhan tubuh (Muchtadi 2010).
Perhitungan PER yaitu pembaginya adalah jumlah protein yang dikonsumsi Angka jumlah protein
diperoleh dari 10% angka jumlah ransum. Didapatkan 8,93 % dengan jumlah konsumsinya yaitu 7,99
gram sehingga diperoleh hasil 10,70. Nilai PER sampel yaitu -0,63 sementara untuk PER kasein yaitu
1,064 sehingga hasil PER terkoreksi yaitu -0,59 tersebut lebih rendah.

Lalu, Permasalahan tersebut dapat dipecahkan lagi menggunakan metode Net Protein Ratio
(NPR) pada kelompok non protein. Pada penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat
badan yang dihitung sebagai rata-rata dari kelompok tikus yang memperoleh ransum non-protein. Nilai
NPR pada kelompok non protein yaitu -3,59. Berdasarkan nilai PER dan NPR, dapat diketahui bahwa
asupan protein yang terdapat dalam ransum protein tempe dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan baik
oleh tikus percobaan baik untuk pertumbuhan maupun untuk pemeliharaan tubuh. Nilai NPR
memecahkan masalah-masalah teoritis yang terdapat dalam metode PER. Dalam PER, semua protein
yang dikonsumsi dianggap hanya digunakan untuk pertumbuhan. Padahal, protein yang dikonsumsi
tersebut sebagian ada yang digunakan untuk pemeliharaan (maintenance) tubuh (Muctadi, 2010). Pada
penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat badan yang dihitung sebagai rata-rata dari
grup tikus yang menerima ransum non-protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus, dan nilainya dirata-
ratakan untuk tiap grup.

 Filadelfia Natasha Laurentzy (G42170723)


Nilai gizi protein adalah mutu ukuran yang menunjukkan seberapa banyak dan lengkap asam
asam amino esensial dalam protein yang dimakan dapat memenuhi kebutuhan manusia. Nilai gizi protein
pada makanan tidak hanya ditentukan berdasarkan kadar protein yang terkandung di dalam makanan,
tetapi juga ditentukan oleh daya cerna yang menentukan ketersediaan asam-asam amino secara biologis
atau dapat/ tidaknya zat gizi tersebut digunakan oleh tubuh (Winarno, 1997).

Pada praktikum ini melakukan percobaan pada hewan coba. Teknik evaluasi yang mendekati
pada keadaan yang sebenarnya dilakukan secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan, yang
pada penelitian ini menggunakan tikus putih. Untuk pembuatan pakan tikus putih menggunakan pakan
yang diberi protein dari tempe dan sebagai kontrolnya menggunakan pakan yang tanpa tambahan protein
(non-protein). Perlakuan ini dilakukan 15 hari pada hewan coba dan hewan coba dilakukan penimbangan
berat badan 3 hari sekali.
Dari hasil pengamatan diperoleh, tikus non-protein dan tikus dengan protein sama sama
mengalami penurunan berat badan. Namun yang paling banyak mengalami penurunan adalah tikus non-
protein, hal ini disebabkan karena tikus non-protein kekurangan gizi protein dimana pakan yang diberikan
tidak ditambahkan sumber protein. Pakan tersebut hanya mengandung 1% protein yang diperoleh dari
maizena. Sediaoetama (1976) diacu dalam Tasar menyatakan kandungan protein dalam maizena, yaitu
zein, ternyata tidak mengandung glisin atau lisin dan hanya sedikit sekali triptofan. Bila tikus percobaan
diberi pakan yang mengandung semua zat dalam jumlah yang cukup kecuali satu-satunya jenis protein
yang terdapat hanya-lah zein, maka tikus ini akan berhenti tumbuh, menjadi sakit dan selanjutnya tidak
dapat hidup lama lagi.

Setelah mendapatkan data dari berat badan, digunakan dalam perhitungan PER. Perhitungan PER
diperoleh dari perbandingan antara pertambahan berat badan dan jumlah protein yang dikonsumsi. Jumlah
protein yang diperoleh yaitu 8,93% dari pakan protein. Pada tikus dengan protein hasil perhitungan PER
nya negatif. Selanjutnya pada perhitungan NPR diperlukan data penurunan berat badan rata-rata tikus
yang menerima pakan non-protein. Rata-rata penurunan berat badan non-protein yaitu 31,66 g. Untuk
hasil NPR juga negatif, yaitu -3,59. Pada PER dan NPR negatif ini berarti tidak cukup protein untuk
pertumbuhan namun mungkin hanya cukup untuk pemeliharaan tubuh (Permadi, 2011). Ternyata
penggunaan pakan dengan tambahan protein tempe masih dianggap kurang, bahkan hasilnya minus.
Menurut Sam dan Manuel (2002), beberapa studi pada hewan dan manusia yang obesitas menyatakan
bahwa kedelai sebagai makanan sumber protein mempunyai efek antiobesitas yang penting bagi tubuh.
Jadi untuk pakan protein dengan tambahan tempe masih kurang, namun mungkin terdapat faktor lain
akibat penurunan berat badan.
BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan diperoleh, tikus non-protein dan tikus dengan protein sama sama
mengalami penurunan berat badan. Namun yang paling banyak mengalami penurunan adalah tikus non-
protein, hal ini disebabkan karena tikus non-protein kekurangan gizi protein dimana pakan yang diberikan
tidak ditambahkan sumber protein. Perhitungan PER diperoleh dari perbandingan antara pertambahan
berat badan dan jumlah protein yang dikonsumsi. Jumlah protein yang diperoleh yaitu 8,93% dari pakan
protein. Pada tikus dengan protein hasil perhitungan PER nya negatif. Selanjutnya pada perhitungan NPR
diperlukan data penurunan berat badan rata-rata tikus yang menerima pakan non-protein. Rata-rata
penurunan berat badan non-protein yaitu 31,66 g. Untuk hasil NPR juga negatif, yaitu -3,59.

5.2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan praktikum harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sesuai
supaya tidak terjadi kegagalan dalam melakukan praktikum tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Babu, P.D. Bhakyaraj, R. Vidhyalakshmi, R. 2009. A low cost nutritious food “tempeh”. World Journal
of Dairy & Food Sciences 4 (1): 22-27.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1971. Technology production fromsoybean. Agriculture
Service Bulletin, Roma.

Hoffman, J.R. Falvo, M.J. 2004. Protein-which is best?. J Sport Scie and Med.3,118-130.

Kurihara, K. 2009. Glutamate: from discovery as a food flavor to role as a basic taste (umami). Am J Clin
Nutr.90 (suppl):719S–22S. DOI: 10.3945/ ajcn.2009.27462D.
Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan komponen Makro. Jakarta : Dian Rakyat.
Kiers, J.L. Meijer, J.C. Nout, M.J.R. Rombouts, F.M Nabuurs, M.J.A. Meulen, J.V.D. 2003. Effect of
fermented soya beans on diarrhea and feed efficiency in weaned piglets. J. Appl. Microbiol. 95:545.
DOI:10.1046/j.1365-2672.2003.02011.x
Lindemann, B. Ogiwara, Y. Ninomiya, Y. 2002. The discovery of umami.Chem senses.27.843-844.
Muchtadi, D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung : Alfabeta.
Malole M.B.M., Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Permadi, I. (2011). Evaluasi Mutu Biologis Protein Fruit Soy Bar Irwan Permadi Fakultas Teknologi
Pertanian Fruit Soy Bar Biological Protein Quality Evaluation.

Permadi irwan, 2011. EVALUASI MUTU BIOLOGIS PROTEIN FRUIT SOY BAR DAN EFEKNYA
TERHADAP BERAT BADAN TIKUS PERCOBAAN. Fakultas Teknologi Pertanian. ITB.

Sam, J.B. and Manuel T.V. 2002. Beneficial role of dietary phytoestrogens in obesity and diabetes.
American Journal of Clinical Nutrition, vol. 76 no. 6. (Desember): 1191-1201.
http://www.ajcn.com/ (diakses 14 Juni 2011).

Suhardjo dan C.M. Kusharto. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Kanisius, Yogyakarta

Sizer, F.S. dan Whitney, E.N. 2000. Nutrition Concepts and Controversies, 8th Edition. Wadsworth/
Thomson Learning, USA.

Schaafsma, G. 2000. The protein digestibilitycorrected amino acid score. J.Nutr. 130: 1865S-1867S.
Schaafsma, G. 2000. The protein digestibility corrected amino acid score. J.Nutr. 130: 1865-1867S
Tasar. 2000. Mempelajari Mutu Protein Beras Semi Instan yang Diperkaya Isolat Protein Kedelai.
Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai