Anda di halaman 1dari 142

BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

NAMA : AZHAR ADY PRAJA

NIM : 225080500111049

KELOMPOK : 12

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

SISTEM PENCERNAAN

NAMA : AZHAR ADY PRAJA

NIM : 225080500111049

KELOMPOK : 12

NAMA ASISTEN : LAILATUL MUNAWAROH D. K. W.

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu komponen penting dalam kegiatan

budidaya ikan. Pakan juga merupakan unsur terpenting dalam menunjang

pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Sumber materi dan energi dari

pakan yang digunakan untuk menopang kelangsungan hidup serta pertumbuhan

ikan merupakan komponen terbesar (50-70%) dari biaya produksi (Yanuar,

2017). Salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi pakan adalah tingkat

kecernaan pakan oleh ikan. Tingkat kecernaan pakan oleh ikan bergantung pada

jenis atau spesies serta lingkungan.

Pencernaan menurut Hartono, et al. (2015), merupakan proses yang

terjadi di dalam saluran pencernaan dengan memecah makanan menjadi

bagian-bagian yang lebih sederhana. Pemecahan senyawa kompleks menjadi

senyawa sederhana dapat diabsorpsi melalui dinding saluran pencernaan.

Senyawa ini kemudian masuk ke dalam darah dan diedarkan keseluruh tubuh.

Proses ini dilakukan karena ikan membutuhkan materi (nutrien) dan energi untuk

bertahan hidup. Nutrien yang dibutuhkan berupa protein, lemak dan karbohidrat.

Sistem pencernaan sama pentingnya dengan makanan yaitu untuk

bertahan hidup pada hewan. Karakteristik anatomi dari sistem pencernaan

hewan tergantung pada makanan. Karakteristik anatomi juga bergantung pada

habitat dan kandungan nutrisi pada organisme. Morfologi saluran pencernaan

ikan menjelaskan bagaimana makanan diperoleh dan dicerna oleh ikan

(Nawulawa et al., 2013). Proses pencernaan makanan dipercepat oleh enzim

pencernaan. Enzim ini dihasilkan oleh kelenjar pencernaan. Sekresi enzim yang

dihasilkan oleh kelenjar pencernaan berasal dari hati, kantong empedu,


lambung, dan usus. Saluran pencernaan pada ikan secara umum dari awal

hingga akhir meliputi mulut, rongga mulut, pharynx, esophagus, lambung,

pylorus, usus dan anus.

Daya cerna ikan nila (Oreochromis niloticus) atau ikan omnivora selama

5-6 jam. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Wicaksono, et al. (2013) yang

menyatakan bahwa jumlah feses terbanyak terdapat pada usus setelah

pemberian pakan selama 5-6 jam. Nilai kecernaan suatu bahan makanan atau

suatu makanan sangat penting sebagai dasar dalam menilai mutu makanan.

Disamping itu, nilai kecernaan dapat menggambarkan kemampuan ikan dan

kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh ikan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengenali dan menjelaskan

organ-organ sistem pencernaan dan mengetahui sistem pencernaan,

mengetahui daya cerna ikan dan menghitung waktu pengosongan lambung.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa)

mengetahui dan dapat menjelaskan mekanisme pencernaan, mengerti cara

penentuan daya cerna ikan terhadap makanan dan waktu pengosongan

lambung serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Sistem Pencernaan

dilaksanakan pada hari Selasa, 24 Oktober 2023 di Laboratorium Budidaya Ikan

Divisi Reproduksi.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pencernaan

Burhanuddin (2014), menyatakan bahwa mencerna makanan

merupakan suatu proses di dalam tubuh organisme yang mengubah atau

menyederhanakan bahan-bahan makanan agar dapat diserap oleh dinding usus

sehingga berguna bagi tubuh. Pencernaan adalah proses pemecahan

komponen makanan berupa karbohidrat, protein dan lemak yang dikonsumsi

oleh organisme dari bentuk kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana.

Pencernaan makanan dapat terjadi secara mekanis dengan bantuan gigi atau

penggantinya dan secara kimia dengan bantuan enzim pencernaan atau

senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme.

2.2 Fungsi Saluran Pencernaan

Beberapa fungsi saluran pencernaan diantaranya yaitu:

● Mendorong atau mengaduk isi dari gastrointestin (Burhanuddin, 2014).

● Mensekresi cairan-cairan pencernaan (Setiawati et al., 2013).

● Mencerna makanan (Andini dan Widaryati, 2020).

● Mengabsorbsi makanan (Kartika et al., 2018).

2.3 Urutan Saluran Pencernaan Ikan

Fungsi dari masing-masing saluran pencernaan ikan menurut

Burhanuddin (2014), yaitu sebagai berikut:

1. Mulut berfungsi sebagai alat untuk mengambil dan menghisap

makanan

2. Rongga mulut berfungsi untuk mempermudah jalannya makanan ke


saluran pencernaan berikutnya, penerima rasa dan penyeleksi

makanan

3. Faring, pada ikan herbivora berfungsi sebagai penyaring plankton.

Faring pada ikan karnivora dan omnivora berfungsi sebagai penghalus

makanan karena terdapat gigi faring. Lapisan permukaan faring hampir

sama dengan rongga mulut, masih ditemukan organ pengecap

(paringeal)

4. Esofagus berfungsi sebagai alat untuk menelan makanan dan

penyerapan garam melalui difusi (ikan air laut)

5. Lambung berfungsi sebagai penampung makanan dan mencerna

makanan secara kimiawi. Lambung pada ikan herbivora terdapat gizard

(lambung khusus) berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan

secara fisik). Lambung ditutupi oleh sel mukus yang mengandung

mukopolisakarida yang agak asam sebagai pelindung dinding lambung

dari kerja asam klorida

6. Pilorus berfungsi sebagai katup pengatur pengeluaran makanan dari

lambung menuju usus. Beberapa ikan memiliki pyloric caeca sebagai

perluasan bidang untuk penyerapan sari makanan

7. Usus berfungsi sebagai tempat penyerapan sari-sari makanan dan

kemudian diedarkan melalui darah

8. Rektum berfungsi sebagai tempat penyerapan air dan ion-ion

sehingga feses ikan lebih padat

9. Kloaka berfungsi sebagai tempat berakhirnya saluran pencernaan dan

saluran urogenital. Ikan bertulang sejati tidak memiliki kloaka,

sedangkan ikan bertulang rawan memiliki kloaka

10. Anus merupakan ujung saluran pencernaan yang berfungsi sebagai

tempat pengeluaran feses


2.4 Organ Pencernaan

Organ pencernaan merupakan organ yang menghasilkan enzim

untuk proses pencernaan. Adapun organ pencernaan meliputi:

1. Lambung

Fujaya (2008), menyatakan bahwa di dalam lambung menghasilkan

beberapa enzim antara lain:

• HCl berfungsi untuk memecah jaringan (makanan), mempertahankan

osmolaritas lambung, mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin,

menurunkan pH sesuai dengan aktivitas enzim pepsin dan mencegah

pertumbuhan bakteri

• Enzim pepsin berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

2. Hati dan Kantung Empedu

Hati berwarna merah kecoklatan, letaknya di bagian depan rongga

badan dan meluas mengelilingi usus. Hati mempunyai saluran empedu yang

menuju ke dalam kantong empedu. Hati berfungsi sebagai tempat metabolisme

karbohidrat, protein dan lemak serta memproduksi cairan empedu. Kantung

empedu (vesica fellea) berfungsi menampung cairan empedu yang disekresikan

oleh organ hati (Burhanuddin, 2014).

3. Pankreas

Letak pankreas berada setelah lambung dan enzim yang diekskresikan

menuju usus. Pankreas menurut Fujaya (2008), menghasilkan beberapa enzim

antara lain:

• Enzim proteolytic berfungsi untuk melanjutkan dan menguraikan protein

yang dimulai dari lambung oleh pepsin. Contohnya enzim tripsin

berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

• Enzim amylolytic berfungsi untuk menguraikan ikatan polisakarida.


Contohnya enzim amilase berfungsi untuk menguraikan ikatan

polisakarida.

• Enzim lipolytic berfungsi untuk menguraikan 2 ikatan triasilgliserol

menjadi 2 asam lemak bebas dan 1 monogliserol. Contohnya enzim

lipase berfungsi untuk menguraikan lemak menjadi asam lemak

melalui pemecahan ikatan ester

4. Usus

Driskell (2008), menyatakan bahwa enzim didalam usus terdiri dari:

• Enzim phosphatase alkaline berfungsi untuk melepas fosfat dari

komponen organik seperti protein.

• Enzim tri peptidase berfungsi untuk menguraikan ikatan peptida.

• Enzim sellulase, amilase berfungsi untuk menguraikan dekstrin

(polisakarida). Enzim sellulase lebih banyak ditemukan pada ikan

herbivora, sedangkan enzim amilase lebih banyak ditemukan pada ikan

karnivora dan omnivora.

2.5 Prinsip Pencernaan

Prinsip pencernaan berdasarkan mekanismenya dibagi menjadi dua

menurut Zidni, et al. (2018) antara lain:

● Pencernaan secara mekanik

Proses pencernaan bahan makanan secara mekanik atau fisik dimulai

dari bagian rongga mulut, yaitu dengan berperannya gigi dalam proses

pemotongan dan penggerusan makanan.

● Pencernaan secara kimiawi

Proses pencernaan secara kimiawi dipercepat oleh sekresi kelenjar

pencernaan, seperti lambung dan usus. Kelenjar pencernaan ini menghasilkan

enzim pencernaan untuk membantu proses penghancuran makanan.


2.6 Proses Pencernaan

Proses pencernaan menurut Fujaya (2008), terdiri dari 3 proses

meliputi sebagai berikut.

● Pencernaan Karbohidrat

Pencernaan karbohidrat dimulai pada lambung. Hal ini dikarenakan

ikan tidak memiliki air liur. Makanan didalam lambung akan bercampur dengan

enzim amilase yang mengubah pati menjadi dekstrin, kemudian dari lambung

makanan akan masuk ke usus. Amilase pada pankreas memecah pati menjadi

disakarida. Enzim laktase dalam usus mengubah disakarida menjadi galaktosa

dan fruktosa. Galaktosa dan fruktosa pada dinding usus diubah menjadi glukosa.

Terdapat pula enzim sellulase (mengubah sellulosa menjadi sellobiose),

kemudian oleh enzim sellobiase (sellobiose dihidrolisis menjadi glukosa). Bentuk

glukosa pada karbohidrat dapat diserap oleh sel dinding usus (entrocyte).

● Pencernaan Protein

Pencernaan protein dimulai di lambung ditandai dengan adanya enzim

pepsin yang mengubah protein menjadi peptida. Peptida dihidrolisis menjadi

oligopeptida oleh enzim tripsin di segmen usus, selanjutnya oligopeptida

dihidrolisis oleh enzim peptidase menjadi asam amino.

● Pencernaan Lemak

Pencernaan lemak dimulai dari lambung, triasilgliserol dalam makanan

mengalami emulsifikasi di usus. Lipase pankreas mengubah triasilgliserol dalam

usus menjadi 2 asam lemak dan 1 monoasilgliserol.

2.7 Digestibility
2.7.1 Pengertian Digestibility

Geremew, et al. (2015), menyatakan bahwa digestibility merupakan

banyaknya nutrisi pakan yang mampu dicerna di dalam pencernaan. Daya cerna
makanan yang semakin tinggi menunjukan semakin banyak nutrisi yang diserap.

Pengetahuan tentang gizi bagi daya cerna sangat penting karena dapat

mengetahui potensi bahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan.

2.7.2 Faktor yang Mempengaruhi Digestibility

Cepat lambatnya proses digestibility yang terjadi pada ikan dipengaruhi

oleh dua faktor menurut Boangmanalu, et al. (2016) antara lain:

● Faktor internal: kondisi fisiologis ikan, stadia, umur, jenis kelamin, dan

jenis ikan (herbivora, karnivora, omnivora).

● Faktor eksternal: kondisi lingkungan, komposisi pakan, waktu, dan

frekuensi pemberian pakan serta padat tebar.

2.8 Gastric Evacuation Time (GET)


2.8.1 Pengertian Gastric Evacuation Time (GET)

Rogge dan Taft (2010), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time

(GET) adalah waktu yang dibutuhkan perut atau lambung untuk mengosongkan

pencernaan hingga dikeluarkannya feses pertama kali. Waktu pengosongan

lambung pada ikan berhubungan dengan frekuensi pemberian pakan. Frekuensi

pakan dan komposisi pakan merupakan hal yang berpengaruh pada GET.

2.8.2 Faktor yang Mempengaruhi Gastric Evacuation Time (GET)

Faktor yang mempengaruhi GET menurut Rogge dan Taft (2010),

terdiri atas 2 faktor yaitu:

1. Faktor internal: umur ikan, organ pencernaan, digestibility, kondisi

fisiologi ikan dan ukuran ikan.

2. Faktor eksternal: jenis pakan, waktu pemberian pakan dan suhu.


2.9 Hubungan Gastric Evacuation Time (GET) dan Digestibility

Currie, et al. (2015), menyatakan bahwa Gastric Evacuation Time

(GET) merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan cepat lambatnya GET

menunjukkan efektivitas pakan yang diserap. Proses pencernaan termasuk

sebuah fase dimana sebagian besar makanan dicerna dan kemudian sisa

makanan dikeluarkan secara perlahan sebagai feses. Hubungan Gastric

Evacuation Time dan Digestibility adalah ketika digestibility tinggi, maka GET

akan semakin cepat, sedangkan ketika digestibility rendah maka GET akan

semakin lama.

2.10 Jenis pakan

Pakan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu pakan alami, pakan

buatan, dan pakan tambahan.

● Pakan alami merupakan pakan yang berasal dari alam. Contohnya

fitoplankton dan zooplankton (Setyawan et al., 2014).

● Pakan buatan merupakan pakan yang sengaja dibuat, umumnya oleh

pabrik tertentu dengan kadar nutrisi yang sudah ditentukan. Contohnya

pelet (Niode et al., 2017).

● Pakan tambahan merupakan pakan yang hanya diberikan sebagai

alternatif atau tambahan nutrisi. Contohnya keong mas, bekicot, dan

daun pepaya (Roy, 2013).


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsinya

a. Digestibility

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan tentang Digestibility adalah sebagai berikut.

 Toples Kapasitas 5L : Untuk wadah ikan nila (O. niloticus)

 Akuarium : Untuk wadah ikan nila (O. niloticus)

sebelum pengamatan

 Timbangan digital : Untuk menimbang ikan dan pakan

 Sectio set : Untuk membedah ikan nila (O. niloticus)

 Kaca arloji : Untuk menimbang feses dan pakan alami

 Desikator : Untuk mengurangi uap pada kain saring

 Oven : Untuk memberikan suhu pada objek

 Loyang : Untuk alas saat mengoven

 Beaker glass : Untuk wadah membelah ikan saat

ditimbang

 Stopwatch : Untuk menghitung lamanya pengovenan

 Aerator : Untuk menyuplai oksigen

 T aerator : Untuk menyambungkan selang aerator

satu dengan lainnya

 Selang aerator : Untuk menyuplai udara

 Batu aerator : Untuk penghasil udara

 Kain lap : Untuk mengendalikan ikan agar tidak


stres

 Nampan : Untuk wadah alat dan bahan saat

praktikum

 Seser : Untuk mengambil ikan nila (O. niloticus)

 Saringan teh : Untuk menyaring sisa pakan

 Kabel rol : Untuk menghubungkan aliran listrik

 Kamera digital : Untuk mendokumentasi kegiatan

praktikum

 Gunting : Untuk memotong atau membedah ikan

 Pinset : Untuk membantu proses pembedahan

ikan

 Cutter : Untuk membantu membedah ikan

 Kalkulator : Untuk menghitung presentase daya cerna

ikan

 Selang sifon : Untuk membantu menyedot kotoran atau

feses

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Sistem Pencernaan tentang Gastric Evacuation Time adalah sebagai berikut.

 Toples Kapasitas 5L : Untuk wadah ikan nila (O. niloticus)

 Bak Untuk wadah lumut jaring dan cacing

sutra

 Akuarium : Untuk wadah ikan nila (O. niloticus)

sebelum pengamatan

 Timbangan digital : Untuk menimbang ikan dan pakan

 Sectio set : Untuk membedah ikan nila (O. niloticus)


 Kaca arloji : Untuk menimbang feses dan pakan alami

 Stopwatch : Untuk menghitung lamanya pengovenan

 Aerator : Untuk menyuplai oksigen

 T aerator : Untuk menyambungkan selang aerator

satu dengan lainnya

 Selang aerator : Untuk menyuplai udara

 Batu aerator : Untuk penghasil udara

 Kain lap : Untuk mengendalikan ikan agar tidak

stres

 Nampan : Untuk wadah alat dan bahan saat

praktikum

 Seser : Untuk mengambil ikan nila (O. niloticus)

 Kamera digital : Untuk mendokumentasi kegiatan

praktikum

 Kabel rol : Untuk menghubungkan aliran listrik


3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Digestibility

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Sistem tentang Pencernaan Digestibility adalah sebagai berikut.

 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Sebagai ikan pengamatan

daya cerna

 Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) Sebagai pakan nabati alami

 Cacing sutra (Tubifex sp.) : Sebagai pakan hewani alami

 Trash Bag : Sebagai alas membedah ikan

 Pelet : Sebagai pakan buatan

 Kertas label : Sebagai penanda pada toples

 Tisu : Sebagai pembersih alat dan

bahan

 Kain saring (15 cm x 15 cm) : Sebagai penyerap air pada

sisa feses

 Kertas buram : Sebagai wadah ikan nila

(O. niloticus)

 Air : Sebagai media hidup ikan nila

(O. niloticus)

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Sistem Pencernaan tentang Gastric Evacuation Time sebagai berikut.

 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Sebagai ikan pengamatan

GET

 Lumut jaring (Chaetomorfa sp.) : Sebagai pakan nabati alami

 Cacing sutra (Tubifex sp.) : Sebagai pakan hewani alami


 Trash Bag : Sebagai alas membedah ikan

 Pelet : Sebagai pakan buatan

 Kertas label : Sebagai penanda pada toples

 Tisu : Sebagai pembersih alat dan

bahan

 Kain saring (15 cm x 15 cm) : Sebagai penyerap air pada

sisa feses

 Kertas buram : Sebagai wadah ikan nila

(O. niloticus)

 Air : Sebagai media hidup ikan nila

(O. niloticus)
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Daya Cerna (Digestibility)

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

- Dipuasakan selama >24 jam


Toples

- Diisi air sebagian


- Diberi aerasi
- Ditimbang ikan Nila (Oreochromis niloticus)
- Dimasukkan ke toples

Pakan

- Ditimbang 5% dari berat tubuh ikan


- Perlakuan jenis pakan meliputi
1 = lumut jaring
2 = cacing sutra
3 = pellet
- Diberi pada ikan secara terus menerus hingga kenyang (adlibitum)
- Ditunggu dengan lama waktu 6 jam

Kain 15 x 15 cm

- Dioven dengan suhu 100°C selama 15 menit


- Didesikator selama 15 menit
- Ditimbang kain
- Diletakkan kain dalam saringan
- Diambil sisa pakan dan feses dengan saring berbeda
- Dioven sisa pakan dan feses, kemudian ditimbang
- Dihitung digestibility dengan rumus berikut

Digestibility = ×100%

Keterangan:
BTM = Berat Total Makanan (gram)
= Total pakan diberikan – (sisa pakan
kering+sisa pakan di perairan)
BTF = Berat Total Feses (gram)

Hasil
3.2.2 Waktu Pengosongan Lambung (Gastric Evacuation Time)

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

-Dipuasakan selama >24 jam


Toples

-Diisi air bagian


-Diberi aerasi
-Diambil 4 ekor ikan dan ditimbang ikan nila (Oreochromis niloticus)
-Dimasukkan ke masing-masing toples
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 1, sebagai ikan kontrol

-Ditimbang berat tubuh


-Dibedah
-Ditimbang berat lambung
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) 2, 3, 4 sebagai ikan uji

-Ditimbang berat tubuh


-Diberi pakan 5% dari berat tubuh ikan
Perlakuan jenis pakan: 1 = Lumut Jaring (Chaetomorfa sp.) 2
= Cacing Sutra (Tubifex sp.)
3 = Pellet
-Diamati selama 6 jam
-Dibedah masing-masing sesuai perlakuan ketika feses keluar pertama
kali dan ditetapkan sebagai GET x jam
-Diambil lambung dan ditimbang
-Dihitung GET dengan rumus:

GET (jam) =

Rumus ikan yang tidak mengeluarkan feses setelah 6 jam

X (gr/jam) =

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

terhadap sistem pencernaan ikan. Pengamatan sistem pencernaan ikan

dilakukan pada ikan nila (O. niloticus). Pengamatan sistem pencernaan ikan

diawali dengan memberikan pakan terhadap ikan nila yang sudah dipuasakan

selama 24 jam. Pakan diberikan sebanyak 5% dari total bobot ikan. Pakan yang

diberikan terdiri dari tiga jenis, yaitu, cacing sutra, pelet, dan lumut jaring.

Perlakuan pertama oleh kelompok 12 pada ikan nila I dengan bobot 50 gr

menggunakan cacing sutra sebanyak 2,5 gr. Perlakuan kedua pada ikan nila II

dengan bobot 40 gr diberi pakan lumut jaring sebanyak 2 gr. Perlakuan ketiga

pada ikan nila III dengan bobot 35 gr diberi pakan pelet sebanyak 1,75 gr.

Perlakuan keempat pada ikan nila IV dengan bobot 40 gr tidak diberikan

perlakuan karena merupakan variabel kontrol. Kelompok 5 sebagai kelompok

pembanding melakukan perlakuan pertama pada ikan nila I dengan bobot 50 gr

menggunakan cacing sutra sebanyak 1,95 gr. Perlakuan kedua pada ikan nila II

dengan bobot 40 gr diberi pakan lumut jaring sebanyak 2,05 gr. Perlakuan ketiga

pada ikan nila III dengan bobot 35 gr diberi pakan pelet sebanyak 2,3 gr.

Perlakuan keempat pada ikan nila IV dengan bobot 40 gr tidak diberikan

perlakuan karena merupakan variabel kontrol.

Frekuensi pemberian pakan menurut Mabroke, et al. (2021), yaitu

mempunyai perbedaan tergantung usia ikan. Frekuensi pemberian pakan yang

baik dapat membantu mempercepat pertumbuhan ikan. Frekuensi pemberian

pakan terhadap ikan nila sebanyak dua kali sehari sudah cukup untuk

pertumbuhan ikan. Pemberian pakan tiga sampai lima kali dinilai kurang efektif
karena akan meningkatkan penumpukan lemak pada ikan. Pemberian pakan

yang teratur dan cukup dapat mengurangi persaingan antar individu sehingga

kebutuhan nutrisi dapat tercukupi. Pemberian pakan yang berlebih dan tidak

dicerna oleh ikan akan menjadi endapan di dasar perairan, dan dapat bersifat

toksik yang berdampak pada kesehatan ikan.

Ikan nila menurut Gaikowski, et al. (2013), merupakan ikan yang banyak

dibudidayakan di dunia. Persebaran ikan nila terdapat pada lebih dari 85 negara

diseluruh dunia. Ikan nila banyak dibudidayakan secara intensif sebagai ikan

konsumsi. Budidaya ikan nila tidak selalu berjalan lancar, karena adanya

penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan ikan nila. Streptococcus

merupakan salah satu sumber penyakit yang dapat menyerang ikan nila maupun

ikan bersirip lainnya. Penyakit tersebut dapat menurunkan angka produksi ikan

nila di Tiongkok sebanyak 13% pada 2013. Pencegahan dapat dilakukan dengan

pemberian pakan yang baik serta nutrisi yang lengkap. Tambahan obat FFC

pada pakan ikan dapat membantu mengendalikan serangan dari streptococcus

yang dapat menyebabkan kematian.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan pada

sistem pencernaan ikan nila (O. niloticus). Pengamatan dimulai dengan

memberikan pakan kepada ikan nila yang telah dipuasakan selama 24 jam,

dengan jumlah pakan sebanyak 5% dari bobot ikan, terdiri dari tiga jenis pakan

yaitu cacing sutra, pelet, dan lumut jaring. Ada tiga perlakuan yang berbeda

terkait jenis pakan untuk kelompok ikan dengan berat yang berbeda. Frekuensi

pemberian pakan ikan nila berbeda tergantung pada usia ikan. Frekuensi yang

baik adalah dua kali sehari untuk mempercepat pertumbuhan ikan, sedangkan

pemberian pakan yang terlalu sering dapat menyebabkan penumpukan lemak

pada tubuh ikan. Pemberian pakan yang tidak teratur dan berlebihan dapat

mengakibatkan endapan di dasar perairan yang bersifat toksik. Budidaya ikan


nila memiliki persebaran di lebih dari 85 negara di seluruh dunia dan banyak

dibudidayakan sebagai ikan konsumsi. Budidaya ikan nila tidak selalu lancar

karena risiko penyakit, seperti Streptococcus, yang dapat menurunkan produksi

ikan nila. Pencegahan penyakit ini bisa dilakukan dengan pemberian pakan yang

baik dan nutrisi yang lengkap, termasuk tambahan obat FFC pada pakan ikan.

4.2 Gastric Evacuation Time (GET)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

terhadap Gastric Evacuation Time (GET). Pengamatan GET dilakukan untuk

mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh lambung ikan untuk mengosongkan

pencernaan hingga keluar feses untuk pertama kali. Pengamatan GET dilakukan

pada tiga ikan nila yang sudah diberi pakan berbeda, yaitu cacing sutra, lumut

jaring, dan pelet. Hasil pengamatan GET kelompok 12 pada ikan yang diberi

pakan cacing sutra adalah 77 menit. Pengamatan GET pada ikan dengan

pemberian pakan lumut jaring tidak mengeluarkan feses sehingga dilakukan

pembedahan dan didapatkan hasil 57,6 menit. pengamatan GET pada ikan

dengan pemberian pakan pelet mendapat hasil 116 menit. Hasil pengamatan

GET kelompok 5 sebagai kelompok pembanding pada ikan yang diberi pakan

cacing sutra adalah 310 menit. Pengamatan GET pada ikan dengan pemberian

pakan lumut jaring yaitu senilai 235 menit. pengamatan GET pada ikan dengan

pemberian pakan pelet mendapat hasil 295 menit.


Gastric Evacuation Time (GET) menurut Pontes, et al. (2020), merupakan

periode waktu yang diperlukan oleh ikan nila untuk pertama kali mengosongkan

lambungnya. Kegiatan budidaya ikan nila harus diperhatikan dalam pemberian

pakan untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal. Perlakuan khusus,

seperti frekuensi pemberian pakan harus diperhatikan agar pakan dapat tercerna

dengan baik. Faktor fotoperiode dan jenis pakan yang diberikan berperan penting

dalam pertumbuhan ikan. Frekuensi pemberian pakan yang baik dapat

membantu meningkatkan kandungan protein dalam tubuh ikan. Frekuensi

pemberian pakan, nafsu makan ikan, serta nilai GET harus diperhatikan untuk

memanajemen pertumbuhan ikan dengan baik.

Nutrisi pada ikan menurut Hinneh, et al. (2023), merupakan faktor penting

yang dapat digunakan oleh ikan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Pertumbuhan pada ikan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

lingkungan, karakteristik kualitas pakan, dan tahapan pertumbuhan ikan.

Kepadatan tebar dalam sebuah budidaya harus diperhatikan, semakin padat

maka pertumbuhan ikan tidak akan maksimal. Kualitas pakan yang diberikan

kepada ikan harus kualitas terbaik, untuk memaksimalkan laju pertumbuhan

pada ikan. Kandungan serat kasar yang terdapat pada pakan terlalu tinggi dapat

menyebabkan dampak buruk bagi pertumbuhan. Serat kasar pada pakan dapat

menyebabkan retensi nutrisi untuk penyerapan.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

terhadap GET. Pengamatan bertujuan untuk mengukur waktu yang dibutuhkan

oleh lambung ikan nila untuk mengosongkan pencernaan hingga keluar feses

untuk pertama kali. Penelitian ini melibatkan tiga kelompok ikan nila yang diberi

pakan berbeda, yaitu cacing sutra, lumut jaring, dan pelet. Hasil pengamatan

GET menunjukkan variasi waktu yang signifikan antara kelompok pakan.

Kelompok 12 yang diberi pakan cacing sutra memiliki GET sekitar 77 menit,
sementara kelompok yang diberi lumut jaring memerlukan waktu yang jauh lebih

lama, yaitu 576 menit, dengan beberapa ikan memerlukan pembedahan.

Kelompok yang diberi pakan pelet memiliki GET sekitar 116 menit. Jenis pakan

yang diberikan kepada ikan berpengaruh signifikan terhadap GET, dengan pakan

cacing sutra dan pelet memiliki waktu GET yang lebih singkat dibandingkan

dengan lumut jaring. Hasil ini dapat menjadi panduan penting dalam manajemen

pemberian pakan pada budidaya ikan nila, dengan memperhatikan faktor-faktor

seperti frekuensi pemberian pakan dan jenis pakan yang sesuai. GET

merupakan parameter penting yang harus dipertimbangkan dalam budidaya ikan

nila untuk mencapai pertumbuhan maksimal. Nutrisi memiliki peran krusial dalam

perkembangan ikan, dan kualitas pakan yang diberikan harus menjadi fokus

utama. Faktor seperti kepadatan tebar, kualitas pakan, dan tahapan

pertumbuhan ikan memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan ikan. Tingginya

kandungan serat kasar dalam pakan dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi,

sehingga kualitas pakan harus dijaga dengan baik.

4.3 Digestibility

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 materi Sistem Pencernaan

tentang digestibility. Kelompok 12 dan kelompok 5 sebagai kelompok

pembanding telah mendapatkan hasil. Digestibility pada kelompok 12

mendapatkan hasil yang diberi pakan lumut memiliki nilai digestibility 55%. Ikan

yang diberikan pakan cacing sutra memiliki nilai digestibility 1%. Ikan yang diberi
pakan pelet memiliki nilai 81%. Hasil kelompok pembanding yaitu kelompok 5

yang memperoleh nilai sebagai berikut. Ikan yang diberi pakan lumut memiliki

nilai digestibility 75,6 %. Ikan yang diberikan pakan pelet memiliki nilai

digestibility 79,3 %. Ikan dengan perlakuan pemberian pakan cacing sutra

memiliki nilai digestibility 84,5 %.

Digestibility menurut Haidar, et al. (2018), adalah daya cerna ikan

terhadap pakan yang diberikan. Digestibility berhubungan dengan kandungan

nutrisi yang tersedia pada pakan serta tingkat kecernaan bahan. Perbandingan

antara kebutuhan energi dan kebutuhan protein menjadi dasar pemberian pakan

yang optimal. Kebutuhan nutrisi esensial ikan nila terdiri dari asam amino, asam

lemak esensial, mineral, dan vitamin. Ikan nila dapat mencerna pakan dengan

kandungan protein kasar, lemak, karbohidrat untuk menghasilkan energi yang

bervariasi. Komposisi pakan yang tepat dapat menjadikan kebutuhan nutrisi

terpenuhi serta pertumbuhan pada ikan menjadi lebih maksimal.

Pemberian pakan menurut Hassan, et al. (2019), yaitu sangat

berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan pertambahan bobot pada ikan.

Frekuensi pemberian pakan yang rendah akan menghasilkan laju pertumbuhan

spesifik dan pertambahan bobot rendah. Pemberian pakan yang tinggi akan

menghasilkan laju pertumbuhan spesifik dan pertambahan bobot tubuh menjadi

lebih cepat. Kepadatan yang lebih tinggi akan mencegah terjadinya hierarki

dominasi, yang akan meningkatkan konsumsi pakan oleh ikan yang dibudidaya.

Tngkat pemberian pakan yang tinggi akan mengakibatkan ketidakefisienan

metabolisme pencernaan dan penurunan kualitas air. Tingkat pemberian pakan

yang rendah akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan makanan yang

mengakibatkan rendahnya pertumbuhan. Laju pemberian pakan yang meningkat

akan menghasilkan peningkatan laju pertumbuhan spesifik pada ikan. Pemberian

pakan yang optimal pada ikan nila adalah 8% dari berat tubuhnya, disesuaikan
dengan kebutuhan energi dan kebutuhan protein untuk pertumbuhan.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 materi Sistem Pencernaan

dilakukan pengamatan terhadap digestibility. Kelompok 12 memberikan pakan

lumut kepada ikan yang menghasilkan nilai digestibility sebesar 55%, sementara

ikan yang diberi pakan cacing sutra hanya memiliki nilai digestibility 1%, dan ikan

yang diberi pakan pelet memiliki nilai digestibility sebesar 81%. Kelompok

pembanding, yaitu Kelompok 5 mendapatkan hasil yang berbeda pula tergantung

pada perlakuan pemberian pakan. Digestibility adalah daya cerna ikan terhadap

pakan yang diberikan. Hal ini berkaitan dengan kandungan nutrisi dalam pakan

dan tingkat kecernaan bahan. Digestibility menjadi dasar dalam memberikan

pakan yang optimal, dengan memperhatikan perbandingan kebutuhan energi

dan protein. Kebutuhan nutrisi esensial ikan nila, seperti asam amino, asam

lemak esensial, mineral, dan vitamin. Ikan nila memiliki kemampuan mencerna

berbagai komponen pakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan

pertumbuhannya. Frekuensi pemberian pakan yang rendah menghasilkan

pertumbuhan yang lambat, sementara pemberian pakan yang tinggi dapat

mempercepat pertumbuhan. Kepadatan ikan dalam kolam juga memengaruhi

konsumsi pakan dan dominasi hierarki. Tingkat pemberian pakan yang optimal

adalah sekitar 8% dari berat tubuh ikan nila, sesuai dengan kebutuhan energi

dan protein untuk pertumbuhan yang maksimal.

4.4 Hubungan antara Digestibility dengan GET

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur dilakukan pengujian GET dan

digestibility oleh kelompok 12 dan kelompok pembanding. GET dan digestibility

pada ikan memiliki hubungan yang sangat erat. Digestibility dengan GET

memiliki hubungan yang sangat erat. Waktu merupakan faktor penting dalam

hubungan antara digestibility dengan GET. Digestibility yang tinggi dapat


menyebabkan laju pengosongan lambung akan semakin cepat, namun laju

pengosongan tidak mempengaruhi digestibility. Berat lambung ikan yang

dipuasakan akan memiliki perbedaan berat dengan berat lambung ikan yang

telah diberi pakan atau sedang mencerna makanan. Digestibility dapat

mempengaruhi cepat-lambatnya GET tetapi tidak sebaliknya. Waktu

pengosongan lambung terjadi dalam waktu yang lama, belum tentu hal tersebut

dipengaruhi oleh daya cerna, karena dapat disebabkan pula oleh faktor lain

seperti organ pencernaan, usia ikan, suhu, dan lain sebagainya.

Gastric Evacuation Time (GET) menurut De, et al. (2016), yaitu

digunakan untuk memanajemen frekuensi pemberian pakan, anggaran energi,

serta ransum harian pada ikan. Faktor yang dapat mempengaruhi GET adalah

ukuran ikan, kondisi lingkungan, serta komposisi makanan. Suhu perairan sangat

berpengaruh terhadap GET karena dapat mempengaruhi secara langsung pola

makan ikan. Suhu juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi waktu yang

dibutuhkan untuk evakuasi lambung. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan

konversi pakan karena peningkatan kecernaan protein yang disebabkan oleh

meningkatnya trypsin di usus.

Frekuensi pemberian pakan menurut Herrera, et al. (2019), merupakan

faktor penting bagi kehidupan ikan. Frekuensi pemberian pakan harus dilakukan

secara optimal agar pakan dapat tercerna secara maksimal. Frekuensi

pemberian pakan yang tinggi menyebabkan ketidakefisisienan metabolism

pencernaan serta dapat menurunkan kualitas air. Frekuensi pemberian pakan

yang rendah dapat menyebabkan terjadinya persaingan antar individu di dalam

kolam sehingga pertumbuhan tidak terjadi secara maksimal. Laju makan yang

meningkat dapat diikuti dengan laju pertumbuhan spesifik yang juga meningkat

hingga titik tertentu. Frekuensi pakan yang rendah dapat membatasi konsumsi

makanan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kinerja produktif.


Gastric Evacuation Time (GET) dan frekuensi pemberian pakan

merupakan faktor penting dalam kegiatan budidaya perikanan. GET merupakan

faktor kunci dalam mengatur pakan ikan, karena hal ini memengaruhi pola makan

dan pencernaan ikan. GET dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ukuran

ikan, kondisi lingkungan, dan komposisi makanan. Suhu perairan memiliki peran

yang signifikan dalam GET, karena dapat mempengaruhi waktu yang diperlukan

untuk evakuasi lambung serta konversi pakan. Frekuensi pemberian pakan juga

memiliki dampak besar pada kehidupan ikan. Pemberian pakan yang optimal

adalah kunci untuk mencapai pencernaan maksimal. Frekuensi yang terlalu tinggi

dapat mengganggu efisiensi pencernaan dan mengurangi kualitas air di

lingkungan ikan. Frekuensi pemberian pakan yang terlalu rendah dapat

menciptakan persaingan di antara individu ikan dalam kolam, yang dapat

menghambat pertumbuhan. Hal tersebut juga dapat membatasi konsumsi

makanan, yang akhirnya dapat mengurangi produktivitas ikan. Laju pemberian

pakan yang optimal harus seimbang, karena laju pertumbuhan spesifik ikan

dapat meningkat hingga suatu titik tertentu. Manajemen pakan ikan harus

mempertimbangkan semua faktor ini untuk mencapai hasil yang optimal dalam

budidaya ikan yang berkelanjutan.

4.5 Faktor Koreksi

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 sudah berjalan cukup baik,

namun masih terdapat beberapa koreksi. Koreksi yang pertama, yaitu pada saat

proses post test dan pre test yang sangat cepat. Koreksi terhadap praktikan yaitu

lebih ditingkatkan lagi disiplin waktunya sehingga praktikum dapat berjalan tepat

waktu. Kondusifitas praktikan selama jalannya praktikum harus lebih ditingkatkan

pada praktikum selanjutnya.


4.6 Manfaat di Bidang Perikanan

Pengetahuan tentang sistem pencernaan mempunyai banyak manfaat

bagi kegiatan budidaya perairan. Pembudidaya dapat memenuhi kebutuhan

nutrisi ikan yang dibudidayakan sehingga memperoleh hasil maksimal.

Pembudidaya juga dapat memperhatikan komposisi dari pakan agar dapat

tercerna dengan baik oleh ikan. Pengetahuan mengenai efisiensi penggunaan

pakan dapat membantu dalam menekan biaya pakan. Pakan yang tidak

dikonsumsi oleh ikan dapat mengendap pada dasar perairan sehingga dapat

meningkatkan kadar ammonia yang membahayakan ikan.


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

bab sistem pencernaan yaitu sebagai berikut:

1. Pencernaan adalah proses penyederhanaan makanan secara kimiawi

atau mekanik menjadi molekul yang lebih kecil agar dapat terabsorsi ke

dalam tubuh ikan.

2. Proses pencernaan terdiri dari proses pencernaan lemak, protein, dan

karbohidrat yang terjadi dalam tubuh ikan.

3. Jenis pakan yang digunakan terdiri dari tiga jenis yakni, pellet, cacing

sutra dan lumut jaring.

4. Digesbility merupakan banyaknya nutrisi yang mampu dicerna oleh organ

pencernaan pada ikan.

5. Digesbility dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, jumlah pakan,

komposisi pakan, kondisi psikologis, stadia, umur, dan lingkungan

6. GET (Gastric Evacuation Time) adalah waktu yang dibutuhkan perlukan

perut dan lambung untuk mengosongkan pencernaan hingga keluarnya

feses pertama pada interval waktu tersebut.

7. Faktor yang mengendalikan GET adalah pakan yang diberikan, komposisi

pakan, kondisi psikologis dan ukuran ikan.

5.2 Saran

Saran selama berjalannya Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur adalah

praktikan harus lebih menjaga sikap dengan tidak berkata kotor, tidak

membicarakan sesuatu di luar praktikum, dan tetap kondusif. Hafal dengan


skema kerja yang akan dilakukan agar tidak selalu bergantung pada asisten

praktikum. Praktikan harus menjaga alat dan bahan yang diberikan agar tidak

terjadi kerusakan alat laboratorium. Praktikan harus lebih siap atau prepare

sebelum jalannya praktikum agar nilai dari pretest maupun post-test bagus.

.
DAFTAR PUSTAKA

Andini, F., & Widaryati, R. (2020). Pengaruh enzim bromelin dosis berbeda
terhadap pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu Hewani Tropika (Journal Of Tropical
Animal Science), 9(2), 68-74.

Boangmanalu, R., Wahyuni, T. H. & Umar, S. (2016). Kecernaan bahan kering,


bahan organik dan protein kasar langsung yang mengandung tepung
limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) sebagai substitusi tepung
ikan pada boiler. Jurnal Peternakan Integratif, 4(3), 329-340.
https://doi.org/10.32734/jpi.v4i3.2809.

Burhanuddin, A.I. (2014). Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek


Kehidupannya. Deepublish: Yogyakarta.

Currie, K., Lange, B., Herbert, E. W., Harris, O. J. & Stone, D. A. J. (2015).
Gastrointestinal evacuation time, but not nutrient digestibility of greenlip
abalone, Haliotis laevigata Donovan, is affected by water temperature
and age. Aquaculture, 448, (2) 219-228.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2015.01.037.

De, M., Ghaffar, M. A., Bakar, Y., & Das, S. K. (2016). Effect of temperature and
diet on growth and gastric emptying time of the hybrid, Epinephelus
fuscoguttatus × E. lanceolatus. Aquaculture Reports, 4(7), 118-124.
https://doi.org/10.1016/j.aqrep.2016.08.002

Driskell, J. A. (2008). Nutrition and exercise concerns of middle age. CRC


Press: New York. https://doi.org/10.1201/9781420066029

Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi


Perikanan. Rineka Cipta: Jakarta.

Gaikowski, M. P., Wolf, J. C., Schleis, S. M., Tuomari, D., & Endris, R. G. (2013).
Safety of florfenicol administered in feed to tilapia (Oreochromis
sp.). Toxicologic Pathology, 41(4), 639-652.
https://doi.org/10.1177/0192623312463986

Geremew, A. (2015). Digestibility of soybean cake, niger seed cake and linseed
cake in juvenile nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture
Research and Development, 6(5), 1-5.

Haidar, M. N., Bleeker, S., Heinsbroek, L. T. N., & Schrama, J. W. (2018). Effect
of constant digestible protein intake and varying digestible energy levels
on energy and protein utilization in Nile tilapia. Aquaculture, 489(2), 28-
35. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2017.12.035
Hartono, R., Fenita, Y. & Sulistyowati, E. 2015. Uji in vitro kecernaan bahan
kering, bahan organik dan produksi n-nh3 pada kulit buah durian
(Duriozi bethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus) dengan perbedaan waktu inkubasi. Jurnal Sains Peternakan
Indonesia, 10(2), 87-94. https://doi.org/10.31186/jspi.id.10.2.87-94

Herrera, L. A., Santos, A. P. D., Sousa, O. M. D., Kuhnen, V. V., & Sanches, E.
G. (2019). Performance of common snook subjected to different feeding
frequencies and rates using automatic feeders. Pesquisa Agropecuária
Brasileira, 54(4), 58-90. https://doi.org/10.1590/s1678-
3921.pab2019.v54.00225

Hinneh, M. K. Y., Mbeva, L. D., Matolla, G., & Mutio, J. M. (2023). Effect of
different fish feed sources on growth and economic performance of Nile
tilapia (Oreochromis niloticus) within subsistence setup in Liberia. African
Journal of Education, Science and Technology, 7(3), 927-937.

Kartika, G. R. A., Dewi, A. P. W. K., Julyantoro, P. G. S., Suryaningtyas, E. W., &


Ernawati, N. M. (2018). Aplikasi probiotik sederhana pada budidaya ikan
nila di Kabupaten Tabanan, Bali. Buletin Udayana Mengabdi, 17(4), 30-
35.

Mabroke, R. S., Zidan, A. E. N. F., Tahoun, A. A., Mola, H. R., Abo-State, H., &
Suloma, A. (2021). Feeding frequency affect feed utilization of tilapia
under biofloc system condition during nursery phase. Aquaculture
Reports, 19(1), 100625. https://doi.org/10.1016/j.aqrep.2021.100625

Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Nawulawa, V. T., Kato, C. D., Rutaisire, J., Beukes, N., Pletschke, B. & Whiteley,
C. (2013). Enzyme activity in the nile perch gut: implications to nile perch
culture. International Journal of Fisheries and Aquaculture, 5(9), 221-228.

Niode, A. R., Nasriani & Irdja, A. M. (2017). Pertumbuhan dan kelangsungan


hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus) pada pakan buatan yang
berbeda. AKADEMIKA, 6(2), 99-112.
https://doi.org/10.31314/akademika.v6i2.51.

Pontes, M. ~D., Campelo, D. A. V., Takata, R., Oshiro, L. M. Y., & Castelar, B.
(2020). Digestibility and gastrointestinal transit of Ulva fasciata seaweed
meal in tilapia (Oreochromis niloticus) juveniles: basis for the inclusion of
a sustainable ingredient in aquafeeds. Research, Society and
Development, 9(10), e3889108497-e3889108497.
https://doi.org/10.33448/rsd-v9i10.8497

Rogge, C.M. & Taft, D. R. (2010). Preclinical Drug Development. CRC Press:
USA. Roy, R. (2013). Budi Daya Sidat. Agro Media Pustaka. Jakarta
Selatan.
Setiawati, J. E., Tarsim, Adiputra, Y. T. & S. Hudaidah. (2013). Pengaruh
penambahan probiotik pada pakan dengan dosis berbeda terhadap
pertumbuhan, kelulushidupan, efisiensi pakan dan retensi protein ikan
patin (Pangasius hypophthalmus). Jurnal Rekayasa Dan Teknologi
Budidaya Perairan, 1(2), 151-162. https://doi.org/10.31938/jsn.v4i1.70

Setyawan, T., Sugiarti, L. & Wardoyo, S. E. (2014). Kajian banyaknya pupuk


kandang terhadap perkembangbiakan kutu air (Daphnia sp.) di rumah
kaca sebagai pakan alami dalam budidaya ikan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Biologi dan Kimia, 4(1), 1-10.

Wicaksono, R., Agustono & Lokapirnasari, W. P. (2013). Pengukuran kecernaan


lemak kasar, bahan organik dan energi pada pakan ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknik pembedahan.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 5(2), 201-204.

Yanuar, V. (2017). Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda terhadap laju
pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kualitas air di
akuarium pemeliharaan. ZIRAA’AH, 42(2), 91-99.

Zidni, I., Afrianto, E., Mahdiana, I., Herawati, H. & Ibnu, B. S. (2018). Laju
pengosongan lambung ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila
(Oreochoromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 9(2), 147-151.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi

 Sistem Pencernaan

a. Digestibility

Alat dan bahan dipersiapkan Pakan ditimbang sesuai dengan 5%


dari berat tubuh ikan

Timbang sisa pakan kering Sisa feses ditimbang


b. Gastric Evacuation Time (GET)

Tubuh
Ikan ditusuk pada bagian medulla ikan dibedah
oblongata

Organ dalam ikan dipisahkan Berat lambung ikan ditimbang


Lampiran 2. Data Hasil Praktikum

 Sistem Pencernaan

a. Digestibility

Meja Perlakuan Total Berat Kain Berat Berat BTM BTF Digestibility
Pakan Pakan% Saring (gr) Sisa Sisa
(gr) Pakan Pakan
FesesPakan Kering Basah
(gr) (gr)

Cacing Sutra 0,8 1 1 0 0 0,8 0,4 50%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 1,55 1 1 0 0 1,55 0,3 80,64%


1
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 2,1 1 1 1,21 0 0,89 0,5 39%

Cacing Sutra 2 1 1 0,46 0 1,54 0,42 72%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 1,5 1 1 0 0 1,5 0,4 73%


2
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 2,25 1 1 2,22 0 0,03 0,008 73%

Cacing Sutra 1,95 1 1 0,02 0 1,93 0,3 84,5%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 2,05 1 1 0 0 2,05 0,5 75,6%


3
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 2,3 1 1 0,125 0 2,175 0,45 79,3%

4 Cacing Sutra 2,25 1 1 0.2 0.03 2,02 0,3 85,15%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 1,205 100%


1,35 1 1 0,125 0,02 0
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 2,55 1 1 1,73 0,2 0,62 0,09 85,48%

Cacing Sutra 2,75 1 1 0 0 2,75 0 100%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 2,3 1 1 0 0 2,3 0,5 78,3%


5
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 1,7 1 1 1,63 0,038 1,7 0 100%

Cacing Sutra 2,5 1 1 0 0,02 2,48 0,46 81%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 2 1 1 0 0.01 1,99 0 1%


6
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 1,75 1 1 1,12 0 0,63 0,28 55%

Cacing Sutra 2,25 1 1 0,7 0,3 1,25 0,5 60%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 5 1 1 0,5 0,001 4,499 0 100%


7
(Chaetomorfa
sp.)

Pelet 1,6 1 1 1,51 0 0,09 0,035 61%

8 Cacing Sutra 1,95 1 1 0 0,03 1,92 0 100%


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 2,1 1 1 0,008 0,028 2,032 0,16 92%


(Chaetomorfa
sp.)
Pelet 2,05 1 1 2,02 0,01 0,02 0,007 65%

b. Gastric Evacuation Time (GET)

Meja Perlakuan Pakan Berat Lambung Berat GET (menit)


Ikan yang Lambung Ikan
Tidak Kontrol (gr)
Mengeluarkan
Feses (gr)

1 Cacing Sutra - - 323 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring - - 95 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - 0,02 88 menit

2 Cacing Sutra - - 330 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring - - 93 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - - 88 menit

3 Cacing Sutra - - 310 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring - 0,13 235 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - - 295 menit

4 Cacing Sutra - - 247 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 0,37 0,21 250 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - - 235 menit


5 Cacing Sutra 1,13 0,38 540 menit
(Tubifex sp.)

Lumut Jaring - - 284 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet 0,23 0,38 542 menit

6 Cacing Sutra - - 77 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 0,48 0,18 576 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - - 116 menit

7 Cacing Sutra - - 180 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring 0,79 0,2 483,7 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - - 60 menit

8 Cacing Sutra 0,53 0,27 739,2 menit


(Tubifex sp.)

Lumut Jaring - - 331 menit


(Chaetomorfa sp.)

Pelet - - 81 menit
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

PEWARNAAN TUBUH DAN


FOTOTAKSIS

NAMA : AZHAR ADY PRAJA

NIM : 225080500111049

KELOMPOK : 12

NAMA ASISTEN : LAILATUL MUNAWAROH D. K. W.

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan yang hidup di lingkungan perairan dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti cahaya, suhu, salinitas dan sebagainya. Proses mengidentifikasi

ikan juga perlu kita ketahui mengenai warna tubuh ikan itu sendiri serta proses

terjadinya warna tubuh ikan tersebut. Selain itu juga untuk mengetahui

bagaimana pengaruh faktor-faktor luar (lingkungan) terhadap warna serta

perubahan warna pada ikan seperti cahaya atau sinar, predator dan lain

sebagainya (Putriana et al., 2015).

Khoo, et al. (2013), menyatakan bahwa warna pada ikan disebabkan

oleh adanya sel kromatofora. Sel kromatofora dibagi menjadi 5 kategori yaitu

melanophora menghasilkan warna hitam, iridophora memantulkan refleksi

cahaya, xanthophora menghasilkan warna kuning, eritrophora menghasilkan

warna orange dan merah, dan leukophora menghasilkan warna putih.

Warna tubuh ikan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat ikan

tersebut hidup. Warna ikan yang hidup di permukaan akan berbeda dengan

warna tubuh ikan yang hidup di perairan dasar. Warna tubuh ikan dapat

digunakan sebagai salah satu alternatif identifikasi kehidupan ikan, baik

kebiasaan ataupun tingkah laku hidup ikan. Selain itu, warna tubuh ikan dapat

digunakan sebagai ciri tersendiri bagi kondisi ikan tersebut, misalnya saat

memijah warna tubuh ikan akan berbeda dengan saat ikan setelah memijah,

sebagai contoh ikan nila.

Selain warna tubuh ikan, identifikasi juga dapat dilakukan dengan

mengamati pola tingkah laku ikan yang berhubungan dengan kepekaan ikan

terhadap sinar atau cahaya lingkungannya. Kepekaan tersebut disebut dengan


fototaksis (Siregar dan Koenhardono, 2021). Ikan mendekati lampu karena dua

hal, pertama ikan tersebut memang bersifat fototaksis positif dan kedua ikan

tersebut datang untuk mencari makan karena cahaya merupakan indikasi

adanya makanan. Saat siang hari umumnya dijumpai ikan yang bersifat diurnal

(aktif mencari makan pada siang hari). Ikan-ikan tersebut memiliki sifat fototaksis

positif. Ikan yang tidak menyukai adanya cahaya matahari umumnya merupakan

ikan nokturnal yang aktif pada malam hari dan ikan tersebut bersifat fototaksis

negatif.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah mahasiswa (praktikan) dapat mengerti

dan memahami peranan warna tubuh (pigmen) dan fototaksis dalam kehidupan

ikan.

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui perubahan warna

pada ikan dan sifat fototaksis ikan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi pewarnaan tubuh dan

fototaksis dilaksanakan pada hari Selasa, 24 Oktober 2023 di Laboratorium

Budidaya Ikan Divisi Reproduksi.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pewarnaan Tubuh


2.1.1 Pembagian Warna Tubuh

Shukla (2009), menyatakan bahwa ikan memiliki warna tubuh yang

berwarna warni karena adanya pigmen atau warna pada kulitnya. Warna pada

tubuh ikan dibagi menjadi dua yaitu:

1. Schemachrome : dipengaruhi oleh lingkungan

2. Biochrome : pembawa warna

Biochrome dibagi menjadi dua yaitu:

a. Cromathophore

Budi, et al. (2021), menyatakan bahwa warna pada ikan disebabkan

oleh adanya sel kromatofora (sel pigmen) yang terdapat pada kulit bagian

dermis. Sel ini diklasifikasikan menjadi lima kategori warna dasar, yaitu:

● eritrophore yang menghasilkan warna merah dan oranye

● xanthophore yang menghasilkan warna kuning

● melanophore yang menghasilkan warna hitam

● leukophore yang menghasilkan warna putih

● iridophore yang memantulkan refleksi cahaya

b. Guanophore

Guanophore merupakan warna bening pada ikan dimana menyerap

sinar yang diterima untuk dipantulkan dalam spektrum warna yang ada di sel

sisik ikan. Pigmen iridophores yang mirip dengan pigmen guanophore tetapi

lebih banyak memantulkan warna yang terlihat berpendar saat disinari spektrum

dengan kadar UV tinggi (Khoo et al., 2013).


2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Pewarnaan

Faktor yang mempengaruhi pewarnaan tubuh dibagi menjadi dua yaitu

faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi pigmentasi pada ikan menurut

Arifin. et al, (2017), dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran ikan, umur

ikan, tingkat kematangan gonad, genetik, jumlah sel pigmen (kromatofor),

kedalaman pigmen, dan jenis kelamin.

b. Faktor Eksternal

Habitat menurut Hamid. et al, (2020), termasuk dalam faktor eksternal

yang mempengaruhi pewarnaan pada ikan. Ikan yang hidup di terumbu karang

memiliki warna yang menarik dengan tubuh berwarna warni, sedangkan untuk

ikan pelagis memiliki warna lebih hitam pada punggungnya. Faktor kedua yaitu

terdapat pada pakan. Perubahan warna menurut Jalila, et al., (2021), sering

terjadi diakibatkan oleh adanya perubahan jumlah pigmen. Penurunan pigmen

disebabkan karena adanya stres lingkungan seperti cahaya matahari, kualitas

air, dan kandungan pigmen dalam pakan. Kecerahan warna ikan dipengaruhi

oleh faktor genetik, lingkungan, dan nutrisi pakan, selain itu kepekaan warna

tubuh ikan untuk meningkatkan kualitas warna ikan dapat dipengaruhi oleh

warna wadah. Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi pewarnaan. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Sembiring et al. (2013), bahwa ikan yang

dipelihara pada kondisi terang akan memberikan reaksi warna yang berbeda

dengan ikan yang dipelihara di tempat gelap.


2.1.3 Panjang Gelombang Cahaya

Pembagian panjang gelombang menurut Bruno dan Svoronos (2006),

adalah sebagai berikut:

- Warna merah : 620 - 750 nanometer.

- Warna oren : 590 - 620 nanometer.

- Warna kuning : 570 - 590 nanometer.

- Warna hijau : 495 - 570 nanometer.

- Warna biru : 450 - 495 nanometer.

- Warna ungu : 380 - 450 nanometer.

2.2 Fototaksis
2.2.1 Pengertian Fototaksis

Fototaksis menurut Dewi dan Surbakti, (2020), merupakan gerak taksis

yang disebabkan karena adanya rangsangan berupa cahaya. Peristiwa ini dapat

terjadi karena ikan memiliki ketertarikan pada sumber cahaya. Ikan tertarik pada

cahaya melalui penglihatan serta rangsangan melalui otak. Ikan yang

menunjukkan ketertarikan terhadap cahaya hanya terdiri dari ikan fotofilik, yang

umumnya mencakup ikan-ikan pelagis dan sebagian kecil ikan demersal,

sementara itu, ikan yang tidak tertarik pada cahaya atau bahkan menjauhinya

disebut sebagai ikan fotofobik.

2.2.2 Jenis Fototaksis

Jenis fototaksis menurut Rudin, et al. (2017), dibagi menjadi dua yaitu

fototaksis positif dan fototaksis negatif. Fototaksis positif merupakan gerak taksis

mendekati cahaya. Fototaksis negatif merupakan gerak taksis menjauhi cahaya.


2.2.3 Faktor Fototaksis

Setiawan, et al. (2015), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

fototaksis dibagi menjadi dua yaitu:

a. Faktor Internal

● Jenis kelamin, beberapa ikan betina bersifat fototaksis negatif ketika

matang gonad, sedangkan ikan jantan pada jenis yang sama akan

bersifat fototaksis positif ketika matang gonad.

● Penuh atau tidak penuhnya perut ikan, ikan yang sedang lapar lebih

bersifat fototaksis positif daripada ikan yang kenyang.

b. Faktor Eksternal

● Suhu air, ikan akan mempunyai sifat fototaksis yang kuat ketika berada

pada lingkungan dengan suhu air yang optimal (sekitar 28ºC).

● Tingkat cahaya lingkungan, kondisi di waktu siang hari atau pada saat

bulan purnama akan mengurangi sifat fototaksis pada ikan.

● Intensitas dan warna sumber cahaya, jenis ikan yang berbeda maka

akan berbeda juga cara merespon intensitas dan warna cahaya yang

diberikan.

● Ada atau tidaknya makanan, beberapa jenis ikan akan bersifat fototaksis

apabila terdapat makanan, sedangkan jenis ikan yang lain akan

berkurang sifat fototaksisnya.

● Kehadiran predator akan mengurangi sifat fototaksis pada ikan.


2.2.4 Sel Cone dan Sel Rod

Sel-sel yang bekerja pada proses fototaksis menurut Adisendjaja

(2003), ada dua yaitu:

a. Sel Cone

Sel Cone (sel kerucut) berfungsi saat ada cukup cahaya, untuk

memberikan detail objek beserta warnanya. Sel kerucut hanya dapat dirangsang

oleh cahaya terang sehingga mampu melihat warna.

b. Sel Rod

Sel Rod (sel batang) merupakan sel yang bekerja pada saat kondisi

minimum cahaya. Walaupun hanya ada sedikit cahaya (misalnya hanya ada satu

partikel foton), sel rod masih tetap dapat mendeteksi. Sel-sel batang tersebar di

bagian perifer (tepi, samping) dari retina dan dirangsang oleh cahaya redup.

Rangsangan ini penting untuk melihat cahaya pada saat redup dan dalam

keadaan gelap.

2.3 Mekanisme Kerja Sel Cone dan Sel Rod

Wade dan Tavris (2008), menyatakan bahwa sel cone akan bekerja

saat cahaya terang. Mekanisme sel cone bekerja saat terdapat cahaya terang

yaitu contractile myoid elemen akan menggerakkan sel cone untuk mendekati

lensa, dan sel rod menjauhi lensa. Sel rod akan bekerja pada saat cahaya gelap.

Mekanisme sel rod saat cahaya gelap yaitu contractile myoid elemen akan

menggerakkan sel rod untuk mendekati lensa, sedangkan sel cone akan

menjauhi lensa.
3. METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Pewarnaan Tubuh

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang pewarnaan tubuh adalah:

 Toples kapasitas 3L : Untuk wadah ikan sepat siam

(T. tricopterus)

 Seser : Untuk mengambil ikan sepat siam

(T. tricopterus)

 Gunting : Untuk menggunting skotlet

 Kabel rol : Untuk menghubungkan aliran listrik

 Selang aerasi : Untuk menyuplai oksigen

 Batu aerasi : Untuk menghasilkan gelombang aerasi

 Kamera digital : Untuk mendokumentasikan jalannya

praktikum

 Stopwatch : Untuk menghitung lama waktu pengamatan

 T aerator : Untuk menyambungkan selang aerator

 Akuarium : Untuk wadah ikan sebelum pengamatan

 Lampu : Untuk membantu penyerapan warna pada

ikan

 Nampan : Untuk tempat alat dan bahan praktikum

 Fitting lampu : Untuk tempat lampu


b. Fototaksis

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang fototaksis adalah:

 Ember : Untuk wadah air

 Akuarium : Untuk wadah ikan pada saat pengamatan

 Seser : Untuk pengambilan sampel ikan

 Aerator set : Untuk menyuplai oksigen

 Gunting : Untuk menggunting plastik dan selotip

 Kabel rol : Untuk menghubungkan aliran listrik

 Kamera digital : Untuk mendokumentasikan jalannya

praktikum

 Senter cahaya putih : Untuk memberi pencahayaan

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Pewarnaan Tubuh

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang pewarnaan tubuh adalah:

 Ikan Sepat Siam : Sebagai ikan yang diamati

(Trichogaster tricopterus)

 Selotip bening : Sebagai perekat plastik

 Kertas label : Sebagai penanda data pada sempel

 Kertas sukun warna hijau : Sebagai bahan untuk mempengaruhi

warna hijau pada sampel

 Kertas sukun warna biru : Sebagai bahan untuk mempengaruhi

warna biru pada sampel

 Kertas sukun warna : Sebagai bahan untuk mempengaruhi


merah warna merah pada sampel

 Kertas sukun warna : Sebagai bahan untuk mempengaruhi

kuning warna kuning pada sampel

 Kertas sukun warna ungu : Sebagai bahan untuk mempengaruhi

warna ungu pada sampel

 Air : Sebagai media hidup ikan

 Trash Bag : Sebagai wadah sampah

 Karet gelang : Sebagai pengikat plastik pada toples

a. Fototaksis

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis tentang fototaksis adalah:

 Ikan Mas Koki : Sebagai ikan yang diamati

(Carrasius auratus) fototaksisnya

 Ikan Black ghost : Sebagai ikan yang diamati

(Apteronotus albifrons) fototaksisnya

 Lobster air tawar : Sebagai ikan yang diamati

(Cherax quadricarinatus) fototaksisnya

 Ikan Guppy : Sebagai ikan yang diamati

(Poecillia reticulata) fototaksisnya

 Air : Sebagai media hidup ikan

 Styrofoam : Sebagai alas dan penutup akuarium

 Trash bag : Sebagai wadah sampah

 Selotip bening : Sebagai perekat plastik

 Kertas label : Sebagai penanda data pada sempel


3.2 Skema Kerja
3.2.1 Pewarnaan Tubuh

Toples 3 liter

-Disiapkan
-Ditutupi skotlet dengan perlakuan:
Meja 1.Hijau
Meja 2. Merah
Meja 3. Biru
Meja 4. Kuning
Meja 5.Ungu

-Diisi air ¾ bagian


-Diberi aerasi
Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) 1, sebagai ikan kontrol

-Dimasukkan ke dalam toples 1


-Diberi aerasi
-Diadaptasikan selama 15 menit
Ikan Sepat Siam (Trichogaster tricopterus) 2, sebagai ikan uji

-Dimasukkan ke dalam toples 2 dengan perlakuan


-Diberi aerasi
-Diadaptasikan selama 15 menit
-Dicatat warna awal tubuh
-Diberikan pencahayaan
-Dibiarkan selama 2 minggu
-Dilakukan pemeliharaan
-Dicatat waktu saat kembali normal
-Diamati warna akhir

Hasil
3.2.2 Fototaksis

Akuarium

-Disiapkan
-Diisi air ¾ bagian dan diberi aerasi
-Dilapisi seluruh sisi akuarium dengan plastic gelap

Ikan Mas Koki (Carrasius auratus) Ikan Guppy (Poecilia reticulata)

Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Ikan Black Ghost (Apteronotus albifrons)

-Dimasukkan ke dalam akuarium


-Ditunggu sampai keadaan gelap
-Diberi biasan cahaya senter
-Diamati tingkah laku

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pewarnaan Tubuh

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023, dilakukan pengamatan

terhadap pewarnaan tubuh. Pewarnaan tubuh dilakukan dengan menggunakan

ikan sepat siam. Pengamatan dilakukan dengan cara memasukkan ikan ke

dalam toples yang telah dilapisi oleh kertas warna dan ditunggu hasilnya hingga

3 minggu. Hasil pewarnaan tubuh pada kelompok 12 menunjukkan tidak ada

perbedaan warna. Ikan tidak dapat berubah warna sesuai lingkungan baru

kemungkinan disebabkan oleh kulit ikan yang sudah menangkap warna

lingkungan sebelum praktikum. Hasil kelompok 5 sebagai pembanding

menujukkan hasil warna tubuh yang tidak berubah atau tetap berwarna kuning.

Warna tidak berubah disebabkan warna kulit ikan telah terkontaminasi oleh

lingkungan sebelum dilakukannya kegiatan pengamatan.

Mayoritas ikan teleostei menurut Archana dan Jain (2017), yaitu

mengalami perubahan warna sebagai respons terhadap lingkungan. Hal ini

menunjukkan keterlibatan mekanisme hormonal dan saraf serta interaksi hormon

dan neurotransmiter dalam mengatur perubahan warna pada ikan. Pengamatan

pergantian warna lingkungan tempat hidup ikan teramati respons kromatik

bifasik, di mana fase pertama terjadi dengan cepat dan mencakup sebagian

besar perubahan warna ikan, diikuti oleh fase kedua yang berlangsung lebih

lambat dan bertahap. Respons awal yang cepat terhadap latar belakang yang

kontras, seperti yang diamati pada spesies Trichogaster trichopterus. T.

trichopterus menunjukkan keterlibatan koordinasi saraf dalam inisiasi dan

pengaturan perubahan warna awal pada ikan. Hasil survei terhadap adaptasi

terhadap warna lingkungan terang dan gelap pada berbagai teleost menunjukkan
bahwa perubahan warna pada ikan teleostei terkoordinasi melalui pengaruh

mekanisme saraf dan endokrin yang beragam. T. tricopterus menunjukkan

sensitivitas yang tinggi terhadap respons terhadap keadaan lingkungan. Ikan

dapat beradaptasi hampir sepenuhnya dengan warna lingkungan

hidup yang diterimanya dari sekitar.

Warna kulit ikan menurut da Cunha, et al. (2020), merupakan aspek yang

dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Warna pada ikan dewasa dihasilkan oleh

beberapa pigmen (kromatofor). Warna latar belakang pada lingkungan tempat

hidup ikan dapat merubah warna tubuh ikan. Cahaya matahari umumnya juga

dapat mempengaruhi tingkat kecerahan pada kulit ikan. Lingkungan dengan

tingkat kecerahan rendah akan menghasilkan warna tubuh ikan gelap.

Lingkungan yang mempunyai kecerahan tinggi dapat menjadikan ikan tampak

pucat. Ikan mempunyai sel-sel yang dapat menyesuaikan warna dalam setiap

situasi yang terjadi di sekitarnya.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023, dilakukan pengamatan

terhadap pewarnaan tubuh. Pewarnaan tubuh dilakukan dengan menggunakan

ikan sepat siam. Hasil pewarnaan tubuh pada kelompok 12 menunjukkan tidak

ada perbedaan warna. Hasil kelompok 5 sebagai pembanding menujukkan hasil

warna tubuh yang tidak berubah atau tetap berwarna kuning. Warna tidak

berubah pada kedua kelompok disebabkan warna kulit ikan telah terkontaminasi

oleh lingkungan sebelum dilakukannya kegiatan pengamatan. Mayoritas ikan

teleostei mengalami perubahan warna sebagai respons terhadap lingkungan.

Warna pada ikan dewasa dihasilkan oleh beberapa pigmen (kromatofor).

4.2 Fototaksis

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

terhadap sifat fototaksis ikan. Sifat fototaksis merupakan gerak taksis suatu
individu yang disebabkan oleh adanya rangsangan cahaya. Pengamatan

dilakukan kepada ikan guppy, ikan mas koki, ikan black ghost, dan lobster air

tawar. Hasil pengamatan oleh kelompok 12 didapatkan hasil ikan mas koki dan

ikan guppy bersifat fototaksis positif. Ikan black ghost dan lobster air tawar

mempunyai sifat fototaksis negatif. Hasil pengamatan oleh kelompok 5 sebagai

pembanding mendapat hasil yang sama dengan kelompok 12. Faktor lingkungan

yang mungkin memengaruhi pigmen warna kulit ikan menurut Jorjani, et al.

(2019), adalah warna lingkungan, intensitas pencahayaan, spektrum cahaya, dan

juga kepadatan.

4.2.1 Ikan Mas Koki (Carrasius auratus)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuatik dilakukan pengamatan fototaksis

menggunakan beberapa jenis ikan, termasuk ikan Mas Koki (C. auratus).

Pengamatan fototaksis dilakukan dengan menggunakan akuarium yang

dibungkus menggunakan kresek hitam untuk menghindari cahaya dari luar, dan

sumber cahaya dari flash ponsel. Kelompok 12 melakukan pengamatan

fototaksis pada ikan mas koki dan mendapati bahwa ikan mas koki menunjukkan

fototaksis positif. Hasil fototaksis positif menunjukkan bahwa ikan mas koki akan

bergerak mendekati sumber cahaya. Hasil yang sama diperoleh oleh kelompok 5

sebagai pembanding juga mengamati ikan mas koki dan mendapatkan hasil

yang serupa, yaitu ikan mas koki juga berfototaksis positif. Ikan mas koki

cenderung tertarik dan akan berenang mendekati sumber ketersediaan cahaya

karena bersifat fototaksis positif.

Stres pada ikan menurut Jung, et al. (2016), bahwa kondisi ini akan

menghambat fungsi sistem kekebalan tubuh, menyebabkan penyakit dan

dampak buruk lainnya terhadap kesehatan. Ikan mas koki tidak dapat

beradaptasi dengan suhu tinggi dan radiasi cahaya yang terlalu tinggi.
penggunaan cahaya gelombang hijau pada ikan dapat mengurangi stress. Efek

pengurangan stres dan peningkatan kekebalan dari iradiasi LED dengan panjang

gelombang hijau sebanding dengan melatonin yang memiliki fungsi anti-stres.

Lampu LED dengan panjang gelombang hijau secara efektif mengendalikan

stres oksidatif dan mengurangi radikal bebas pada ikan mas yang terpapar

tekanan termal. Efek lampu LED dengan panjang gelombang hijau serupa

dengan suplementasi melatonin.

Ikan hias menurut Shin dan Choi (2014), merupakan salah satu

komponen penting dalam dunia akuakultur. Warna tubuh ikan hias menjadi salah

satu hal yang perlu diperhatikan karena di sanalah letak keistimewaannya. Faktor

lingkungan seperti panjang gelombang cahaya, intensitas, salinitas, dan suhu

dapat mempengaruhi warna kulit. Berbagai panjang gelombang cahaya

mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup dan respon stres ikan. Studi

molekuler dan fisiologis awal telah menganalisis efek spektrum LED sebagai

salah satu dari berbagai faktor lingkungan fotik dengan menggunakan LED

panjang gelombang pendek (biru dan hijau) sebagai sumber cahaya untuk ikan

budidaya. Bobot tubuh ikan pada kondisi LED hijau dan ungu jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan kondisi cahaya lainnya.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur melibatkan pengamatan fototaksis

pada ikan mas koki (C. auratus). Pengamatan ini dilakukan di akuarium yang

dibungkus dengan kresek hitam menggunakan sumber cahaya dari flash ponsel.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan mas koki bersifat fototaksis positif,

yang berarti mereka cenderung bergerak mendekati sumber cahaya. Stres dapat

berdampak negatif pada ikan, termasuk ikan mas koki, dengan menghambat

sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan penyakit. Penggunaan lampu LED

dengan panjang gelombang hijau dapat mengurangi stres pada ikan, dengan

efek serupa dengan suplementasi melatonin. Warna tubuh ikan hias, termasuk
ikan budidaya seperti ikan mas koki, sangat penting dan dapat dipengaruhi oleh

faktor lingkungan seperti panjang gelombang cahaya, intensitas, salinitas, dan

suhu. Studi telah menunjukkan bahwa penggunaan LED dengan panjang

gelombang tertentu, seperti hijau dan ungu, dapat meningkatkan pertumbuhan

ikan dan bobot tubuhnya.

4.2.2 Ikan Guppy (Poecilia reticulata)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

fototaksis menggunakan beberapa jenis ikan, termasuk ikan guppy (P.

reticulata). Pengamatan fototaksis dilakukan dengan menggunakan akuarium

yang dibungkus dengan kresek hitam untuk menghindari cahaya luar, dan

sumber cahaya dari flash ponsel. Kelompok 12 melakukan pengamatan

fototaksis terhadap ikan guppy dan mendapati bahwa ikan guppy mempunyai

sifat fototaksis positif. Hasil fototaksis positif menunjukkan bahwa ikan guppy

akan bergerak mendekati sumber cahaya. Kelompok 5 sebagai pembanding juga

mengamati ikan guppy dan mendapatkan hasil yang serupa, yaitu ikan guppy

mempunyai sifat fototaksis positif. Ikan guppy cenderung akan berenang

mendekati sumber ketersediaan cahaya karena bersifat fototaksis positif.

Gerak taksis menurut Niu, et al. (2018), merupakan respon perilaku

bawaan ikan terhadap keadaan lingkungan. Gerak taksis banyak dipengaruhi

oleh faktor lingkungan seperti keberadaan makanan dan adanya cahaya. Ikan

guppy merupakan salah satu ikan dengan sifat fototaksis positif. Fototaksis positif

artinya ikan bergerak aktif mendekati sumber keberadaan cahaya dalam

lingkungannya. Fototaksis dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi gerakan ikan

dan mengatur perilakunya. Keberadaan makanan dalam lingkungan dapat

merubah perilaku taksis ikan.


Warna tubuh ikan mas menurut Yang, et al. (2021), bahwa perubahannya

dapat dipengaruhi oleh lingkungannya. Ikan guppy menunjukkan warna pucat

pada saat berada pada akuarium putih. Keadaan lainnya, ikan mas koki

berwarna lebih gelap saat dipelihara dalam akuarium dengan latar belakang

hitam. Pemberian pakan pada ikan tidak dapat mempengarhi keindahan tubuh

dari ikan hias. Ikan yang diberikan pakan dan dipuasakan tidak menunjukkan

perbedaan warna. Perbedaan warna hanya ditunjukkan oleh perbedaan warna

lingkungan tempat hidup bagi ikan mas.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

fototaksis pada ikan guppy (P. reticulata). Praktikum ini dilakukan dalam

akuarium yang dibungkus dengan kresek hitam untuk menghindari cahaya luar

dan menggunakan sumber cahaya dari flash ponsel. Kelompok 12 dan Kelompok

5 melakukan pengamatan dan hasilnya menunjukkan bahwa ikan guppy memiliki

sifat fototaksis positif, yang berarti mereka cenderung mendekati sumber cahaya.

Fototaksis adalah salah satu bentuk gerak taksis, yaitu respon perilaku bawaan

ikan terhadap lingkungan. Gerak taksis ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan

seperti cahaya dan makanan. Ikan guppy adalah contoh ikan dengan fototaksis

positif, yang berarti mereka aktif bergerak mendekati sumber cahaya dalam

lingkungannya. Fototaksis dapat digunakan untuk mengatur perilaku ikan. Selain

fototaksis, warna tubuh ikan mas juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Ikan

guppy memiliki warna yang berbeda tergantung pada latar belakang akuarium.

Ikan guppy menjadi pucat saat ditempatkan di akuarium putih, sementara mereka

menjadi lebih gelap saat berada di akuarium dengan latar belakang hitam.

Pemberian pakan atau puasa tidak mempengaruhi warna tubuh ikan, tetapi

warna ini dipengaruhi oleh warna lingkungan tempat ikan hidup.


4.2.3 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

fototaksis menggunakan beberapa jenis ikan, termasuk spesies lobster air tawar

(C. quadricarinatus). Pengamatan fototaksis dilakukan dengan menggunakan

akuarium yang dibungkus dengan kresek hitam untuk menghindari cahaya luar,

dan sumber cahaya dari flash ponsel. Kelompok 12 melakukan pengamatan

fototaksis pada lobster air tawar dan mendapati bahwa lobster ini menunjukkan

fototaksis negatif. Hasil fototaksis negatif menunjukkan bahwa lobster air tawar

bergerak menjauhi sumber cahaya. Kelompok 5 sebagai pembanding juga

mengamati lobster air tawar dan mendapatkan hasil yang serupa, yaitu lobster ini

juga berfototaksis secara negatif. Fototaksis dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor eksternal, salah satunya adalah ketersediaan makanan di sekitar sumber

cahaya. Lobster dapat berubah fototaksis positif apabila tersedia banyak

makanan di dekat sumber cahaya.

Serotonin menurut Fong dan Ford (2013), bahwa zat ini dapat

mempengaruhi perilaku fototaksis dan geotaksis pada amphipoda. Parasit

acanthocephalan dan trematoda memiliki kemampuan untuk memodifikasi

perilaku fototaktik dan geotaktik amphipod sebagai cara untuk meningkatkan

kemungkinan mereka dimakan oleh inang definitifnya. Infeksi parasit

acanthocephalan dikaitkan dengan peningkatan aktivitas serotonergik otak yang

memicu perubahan perilaku. Parasit pengubah serotonin, serotonin dan obat

antidepresan fluoxetine dapat secara signifikan mempengaruhi perilaku fototaksis

dan geotaksis amphipoda. Hewan yang diberi perlakuan disuntik dengan

serotonin maka perilaku berkelahi akan berubah dan perkelahian akan

berlangsung lebih lama.


Perilaku kanibal hewan air menurut He, et al. (2020), merupakan kondisi

yang mungkin dipengaruhi oleh faktor neurokimia, seperti 5-hydroxytryptamine,

fluoxetine, octopamine, dopamine, dan hormon tiroid. Peningkatan kadar hormon

tiroid dalam plasma ikan dapat secara efektif mengurangi kanibalisme.

Penambahan triptofan tambahan ke dalam pakan dapat mengurangi agresivitas

udang karang secara signifikan, dan semakin tinggi triptofan, semakin tinggi

tingkat kelangsungan hidupnya. Peningkatan kandungan 5-hydroxytryptamine

atau penurunan kandungan octopamine dapat efektif mengurangi kanibalisme.

Perilaku kanibalisme hewan akuatik dapat diatur oleh faktor kimia, dan

penambahan faktor neurokimia eksogen dalam pakan dapat secara efektif

mengurangi kejadian kanibalisme. Cahaya terbukti mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap kanibalisme pada udang kuruma pasca larva Penaeus

japonicus. Udang ini aktif di malam hari, dan dalam kondisi gelap ketika tingkat

aktivitas tinggi, kanibalisme meningkat, sedangkan kondisi cahaya intensif atau

jangka panjang menghambat aktivitas larva, menurunkan tingkat pertemuan

mereka, dan dengan demikian mengurangi kanibalisme. Intensitas cahaya harus

disesuaikan dengan fototropisme masing-masing hewan untuk meminimalkan

perilaku kanibalisme akibat cahaya dan meningkatkan tingkat kelangsungan

hidup bagi organisme.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

fototaksis menggunakan lobster air tawar (C. quadricarinatus) di lingkungan

akuarium yang dibungkus dengan kresek hitam dan menggunakan sumber

cahaya dari flash ponsel. Hasil pengamatan Kelompok 12 dan Kelompok 5

sama-sama menemukan bahwa lobster air tawar menunjukkan fototaksis negatif,

yang berarti mereka cenderung menjauhi sumber cahaya. Perilaku fototaksis

dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti ketersediaan makanan di sekitar

sumber cahaya. Lobster air tawar dapat berubah menjadi fototaksis positif jika
ada banyak makanan di dekat sumber cahaya. Serotonin memengaruhi perilaku

fototaksis pada amphipoda dan dapat dimodifikasi oleh parasit acanthocephalan

dan trematoda untuk meningkatkan kemungkinan pemangsaan inang definitifnya.

Infeksi parasit ini dikaitkan dengan peningkatan aktivitas serotonergik otak, yang

mengubah perilaku fototaksis dan geotaksis amphipoda. Faktor neurokimia lain

yang dapat memengaruhi perilaku kanibalisme pada hewan air, seperti hormon

tiroid, triptofan, 5-hydroxytryptamine, fluoxetine, octopamine, dan dopamine.

Hormon tiroid dalam plasma ikan dapat mengurangi kanibalisme, dan

penambahan triptofan dalam pakan dapat menurunkan agresivitas udang

karang. Kandungan 5-hydroxytryptamine yang tinggi atau octopamine yang

rendah juga dapat mengurangi kanibalisme. Pengaruh cahaya terhadap perilaku

kanibalisme pada udang kuruma pasca larva Penaeus japonicus. Cahaya intensif

dapat mengurangi tingkat pertemuan dan kanibalisme mereka, dan intensitas

cahaya harus disesuaikan dengan fototropisme masing-masing hewan untuk

meningkatkan kelangsungan hidup mereka.

4.2.4 Ikan Black Ghost (Apteronotus albifronst)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

fototaksis menggunakan beberapa jenis ikan, termasuk spesies ikan black ghost

(A. albifronst). Pengamatan fototaksis dilakukan dengan menggunakan akuarium

yang dibungkus dengan kresek hitam untuk menghindari cahaya luar, dan

sumber cahaya dari flash ponsel. Kelompok 12 melakukan pengamatan

fototaksis pada ikan black ghost dan mendapati bahwa ikan black ghost ini

menunjukkan fototaksis negatif. Hasil fototaksis negatif menunjukkan bahwa ikan

black ghost bergerak menjauhi sumber cahaya. Kelompok 5 sebagai

pembanding juga mengamati ikan black ghost dan mendapatkan hasil yang

sama. Ikan black ghost yang diamati oleh kelompok 5 juga berfototaksis secara
negatif. Fototaksis dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, salah

satunya adalah ketersediaan makanan di sekitar sumber cahaya.

Organ listrik yang dimiliki pada ikan menurut Bray, et al. (2022),

merupakan kemampuan yang bisa mencerminkan gaya hidup dan keberadaan

ikan tersebut. Gaya hidup nokturnal yang dimiliki beberapa spesies membuat

organ listrik lebih sering digunakan daripada mata sebagai organ petunjuk

ataupun organ yang berguna untuk komunikasi dengan individu lain. Ikan dengan

sifat nokturnal akan lebih aktif dalam beraktivitas pada malam hari. Spesies

gymnotiform memiliki kelainan pada bagian mata terutama pada retina dan

lensanya lebih kecil dibandingkan ikan lainnya. Gaya hidup nokturnal bisa

menghasilkan pelepasan organ listrik mengikuti sirkadian, yang dapat

menunjukkan durasi, amplitudo, dan frekuensi yg lebih besar pada waktu malam

hari. Malam hari menunjukkan bahwa gaya hidup spesies nokturnal sedang

sangat aktif karena minimnya cahaya yang tersedia yang mendukung kegunaan

organ listrik tersebut.

A. albifrons menurut Fernandes, et al. (2017), merupakan spesies ikan

yang banyak ditemui di Indonesia. Ikan black ghost berasal dari Sungai yang

berada di wilayah panama menuju Argentina utara. Wilayah persebaran ikan

tersebut yaitu Samudera Pasifik, Sungai Orinoco, Maracaibo, Amazon, dan San

Fransisco. Ikan black ghost banyak ditemui di Indonesia karena diperdagangkan

sebagai ikan hias. Ikan black ghost mempunyai bentuk tubuh berwarna hitam

dan tipis sehingga dikenal dengan ikan pisau. Ikan black ghost mempunyai ciri

yaitu terdapat dua pita tipis yang melingkari tangkai ekor.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

fototaksis menggunakan ikan black ghost (A. albifrons) dalam lingkungan

akuarium yang dibungkus dengan kresek hitam dan menggunakan sumber

cahaya dari flash ponsel. Hasil pengamatan kelompok 12 dan kelompok 5


sebagai pembanding menunjukkan bahwa ikan black ghost menunjukkan

fototaksis negatif, yang berarti mereka cenderung menjauhi sumber cahaya.

Hasil yang sama menunjukkan konsistensi dalam perilaku ikan black ghost dalam

respons terhadap cahaya. Fototaksis dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal,

dan salah satunya adalah ketersediaan makanan di sekitar sumber cahaya. Hal

tersebut menunjukkan bahwa faktor lingkungan dapat memengaruhi perilaku

fototaksis ikan. Organ listrik pada ikan memiliki peran dalam mencerminkan gaya

hidup dan keberadaan ikan tersebut. Ikan nokturnal cenderung lebih aktif pada

malam hari dan menggunakan organ listrik sebagai pengganti mata dalam

berkomunikasi dan berorientasi. Ikan black ghost menjadi salah satu ikan hias

yang banyak ditemui di Indonesia.

4.3 Faktor Koreksi

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 sudah berjalan cukup baik,

namun masih terdapat beberapa koreksi. Kedisiplinan para praktikan harus

ditingkatkan lagi agar praktikum lebih kondusif. Praktikan harus lebih aktif

menjawab maupun bertanya mengenai materi yang disampaikan. Alat dan bahan

yang dibutuhkan pada praktikum membutuhkan biaya yang besar.Koreksi

terhadap praktikan yaitu lebih ditingkatkan lagi disiplin waktunya sehingga

praktikum dapat berjalan tepat waktu. Kondusifitas praktikan selama jalannya

praktikum harus lebih ditingkatkan kedepannya. Kedepannya, waktu sholat

diperhatikan lagi sehingga praktikan dapat beribadah tepat waktu.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Pengetahuan tentang fototaksis dan pewarnaan tubuh ikan pada kegiatan

budidaya mempunyai banyak manfaat. Pemilihan lokasi budidaya harus

diperhatikan ketika membudidayakan ikan yang mempunyai sifat fototaksis. Ikan


yang mempunyai sifat fototaksis positif harus ditempatkan pada tempat yang

terdapat cahaya, sebaliknya ikan dengan fototaksis negatif ditempatkan pada

tempat minim cahaya. Pengetahuan mengenai pewarnaan tubuh ikan dapat

digunakan untuk menciptakan warna ikan yang lebih menarik. Ikan yang

mempunyai warna tubuh menarik cenderung mempunyai nilai jual lebih tinggi.

Pembudidaya akan mendapat banyak keuntungan apabila berhasil menciptakan

produk perikanan yang berwarna indah.


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi pewarnaan dan fototaksis sebagai berikut.

1. Fototaksis merupakan gerak faksis yang disebabkan adanya respon ikan

terhadap rangsangan cahaya.

2. Fototaksis dibagi menjadi dua macam, yaitu fototaksis positif dan

fototaksis negatif.

3. Fototaksis dipengaruhi oleh jenis ikan, jenis kelamin, suhu air, dan warna

sumber cahaya.

4. Hasil pengamatan kelompok 12 menunjukkan ikan mas koki dan guppy

mempunyai sifat fototaksis positif, sedangkan ikan black ghost dan lobster

air tawar mempunyai sifat fototaksis negatif.

5. Sel reseptor dibagi menjadi dua, yaitu sel cone dan sel rod

6. Pigmen warna kulit ikan dibagi menjadi dua, yaitu schematochrome dan

biochrome.

7. Pewarnaan tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti,

kedalaman pigmen, warna, usia, lingkungan, dan jenis kelamin.

8. Hasil pewarnaan tubuh ikan oleh kelompok 12 yaitu

5.2 Saran

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 minggu pertama berjalan

dengan cukup baik. Asisten praktikum dapat memberikan materi dengan baik

sehingga mudah diterima oleh praktikan. Saran buat praktikan kedepannya


untuk lebih disiplin agar tidak telat masuk praktikum. Kondusivitas pada saat di

laboratorium harus ditingkatkan agar praktikan lain tidak terganggu. Saran buat

asisten praktikum untuk lebih memperhatikan waktu sholat. Harapan buat

praktikum kedepannya supaya dapat dilaksanakan dengan lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Andini, F., & Widaryati, R. (2020). Pengaruh enzim bromelin dosis berbeda
terhadap pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu Hewani Tropika (Journal Of Tropical
Animal Science), 9(2), 68-74.

Boangmanalu, R., Wahyuni, T. H. & Umar, S. (2016). Kecernaan bahan kering,


bahan organik dan protein kasar langsung yang mengandung tepung
limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) sebagai substitusi tepung
ikan pada boiler. Jurnal Peternakan Integratif, 4(3), 329-340.
https://doi.org/10.32734/jpi.v4i3.2809.

Burhanuddin, A.I. (2014). Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek


Kehidupannya. Deepublish: Yogyakarta.

Currie, K., Lange, B., Herbert, E. W., Harris, O. J. & Stone, D. A. J. (2015).
Gastrointestinal evacuation time, but not nutrient digestibility of greenlip
abalone, Haliotis laevigata Donovan, is affected by water temperature
and age. Aquaculture, 448, (2) 219-228.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2015.01.037.

De, M., Ghaffar, M. A., Bakar, Y., & Das, S. K. (2016). Effect of temperature and
diet on growth and gastric emptying time of the hybrid, Epinephelus
fuscoguttatus × E. lanceolatus. Aquaculture Reports, 4(7), 118-124.
https://doi.org/10.1016/j.aqrep.2016.08.002

Driskell, J. A. (2008). Nutrition and exercise concerns of middle age. CRC


Press: New York. https://doi.org/10.1201/9781420066029

Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi


Perikanan. Rineka Cipta: Jakarta.

Gaikowski, M. P., Wolf, J. C., Schleis, S. M., Tuomari, D., & Endris, R. G. (2013).
Safety of florfenicol administered in feed to tilapia (Oreochromis
sp.). Toxicologic Pathology, 41(4), 639-652.
https://doi.org/10.1177/0192623312463986

Geremew, A. (2015). Digestibility of soybean cake, niger seed cake and linseed
cake in juvenile nile tilapia, Oreochromis niloticus L. Aquaculture
Research and Development, 6(5), 1-5.

Haidar, M. N., Bleeker, S., Heinsbroek, L. T. N., & Schrama, J. W. (2018). Effect
of constant digestible protein intake and varying digestible energy levels
on energy and protein utilization in Nile tilapia. Aquaculture, 489(2), 28-
35. https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2017.12.035
Hartono, R., Fenita, Y. & Sulistyowati, E. 2015. Uji in vitro kecernaan bahan
kering, bahan organik dan produksi n-nh3 pada kulit buah durian
(Duriozi bethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus
ostreatus) dengan perbedaan waktu inkubasi. Jurnal Sains Peternakan
Indonesia, 10(2), 87-94. https://doi.org/10.31186/jspi.id.10.2.87-94

Herrera, L. A., Santos, A. P. D., Sousa, O. M. D., Kuhnen, V. V., & Sanches, E.
G. (2019). Performance of common snook subjected to different feeding
frequencies and rates using automatic feeders. Pesquisa Agropecuária
Brasileira, 54(4), 58-90. https://doi.org/10.1590/s1678-
3921.pab2019.v54.00225

Hinneh, M. K. Y., Mbeva, L. D., Matolla, G., & Mutio, J. M. (2023). Effect of
different fish feed sources on growth and economic performance of Nile
tilapia (Oreochromis niloticus) within subsistence setup in Liberia. African
Journal of Education, Science and Technology, 7(3), 927-937.

Kartika, G. R. A., Dewi, A. P. W. K., Julyantoro, P. G. S., Suryaningtyas, E. W., &


Ernawati, N. M. (2018). Aplikasi probiotik sederhana pada budidaya ikan
nila di Kabupaten Tabanan, Bali. Buletin Udayana Mengabdi, 17(4), 30-
35.

Mabroke, R. S., Zidan, A. E. N. F., Tahoun, A. A., Mola, H. R., Abo-State, H., &
Suloma, A. (2021). Feeding frequency affect feed utilization of tilapia
under biofloc system condition during nursery phase. Aquaculture
Reports, 19(1), 100625. https://doi.org/10.1016/j.aqrep.2021.100625

Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Nawulawa, V. T., Kato, C. D., Rutaisire, J., Beukes, N., Pletschke, B. & Whiteley,
C. (2013). Enzyme activity in the nile perch gut: implications to nile perch
culture. International Journal of Fisheries and Aquaculture, 5(9), 221-228.

Niode, A. R., Nasriani & Irdja, A. M. (2017). Pertumbuhan dan kelangsungan


hidup benih ikan nila (Oreochromis niloticus) pada pakan buatan yang
berbeda. AKADEMIKA, 6(2), 99-112.
https://doi.org/10.31314/akademika.v6i2.51.

Pontes, M. ~D., Campelo, D. A. V., Takata, R., Oshiro, L. M. Y., & Castelar, B.
(2020). Digestibility and gastrointestinal transit of Ulva fasciata seaweed
meal in tilapia (Oreochromis niloticus) juveniles: basis for the inclusion of
a sustainable ingredient in aquafeeds. Research, Society and
Development, 9(10), e3889108497-e3889108497.
https://doi.org/10.33448/rsd-v9i10.8497

Rogge, C.M. & Taft, D. R. (2010). Preclinical Drug Development. CRC Press:
USA. Roy, R. (2013). Budi Daya Sidat. Agro Media Pustaka. Jakarta
Selatan.
Setiawati, J. E., Tarsim, Adiputra, Y. T. & S. Hudaidah. (2013). Pengaruh
penambahan probiotik pada pakan dengan dosis berbeda terhadap
pertumbuhan, kelulushidupan, efisiensi pakan dan retensi protein ikan
patin (Pangasius hypophthalmus). Jurnal Rekayasa Dan Teknologi
Budidaya Perairan, 1(2), 151-162. https://doi.org/10.31938/jsn.v4i1.70

Setyawan, T., Sugiarti, L. & Wardoyo, S. E. (2014). Kajian banyaknya pupuk


kandang terhadap perkembangbiakan kutu air (Daphnia sp.) di rumah
kaca sebagai pakan alami dalam budidaya ikan. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Biologi dan Kimia, 4(1), 1-10.

Wicaksono, R., Agustono & Lokapirnasari, W. P. (2013). Pengukuran kecernaan


lemak kasar, bahan organik dan energi pada pakan ikan nila
(Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknik pembedahan.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 5(2), 201-204.

Yanuar, V. (2017). Pengaruh pemberian jenis pakan yang berbeda terhadap laju
pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kualitas air di
akuarium pemeliharaan. ZIRAA’AH, 42(2), 91-99.

Zidni, I., Afrianto, E., Mahdiana, I., Herawati, H. & Ibnu, B. S. (2018). Laju
pengosongan lambung ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila
(Oreochoromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 9(2), 147-151.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Praktikum

 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Toples ditutup menggunakan kertas


Alat dan bahan disiapkan sukun hingga tidak ada cahaya yang
masuk

Kertas sukun bagian atas diberi Aerator dipasang pada toples


lubang menggunakan gunting
b. Fototaksis

Alat dan bahan disiapkan Akuarium diisi air ¾ bagian

Lapisi seluruh sisi akuarium dengan Aerator dipasang pada akuarium yang
plastik gelap telah dilapisi plastik gelap
Lampiran 2. Data Hasil Praktikum

 Pewarnaan Tubuh dan Fototaksis

a. Pewarnaan Tubuh

Meja Toples Ciri-ciri Awal dari Warna Ciri-ciri dan Warna


Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan
1 Ungu Warna kuning cerah, cenderung
pasif dan cenderung di dasar
Oren warna putih, cenderung pasif dan
cenderung di dasar
2 Biru lebih aktif ke permukaan

Kuning cenderung pasif dan lebih berada


di tengah
3 Hijau Warna kuning cerah, sirip
cenderung transparan, pasif, di
dasar
Merah Warna kuning cerah, sirip
cenderung transparan, pasif, di
dasar
4 Hijau Warna Kuning Cerah, sirip
cenderung transparan
Merah Warna kuning cerah, sirip
cenderung transparan
5 Biru warna kuning, cenderung aktif,
cenderung di dasar
Kuning warna kuning, cenderung aktif,
cenderung di dasar
6 Ungu warna kuning, cenderung aktif,
suka dipermukaan
Oren warna kuning, cenderung aktif,
suka dipermukaan
7 Hijau Warna kuning, cenderung pasif,
suka dipermukaan
Merah Warna putih, cenderung pasif,
suka dipermukaan
8 Biru Warna kuning, cenderung pasif,
cenderung di dasar
Kuning Warna kuning, cenderung pasif,
cenderung di dasar
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

OSMOREGULASI

NAMA : AZHAR ADY PRAJA

NIM : 225080500111049

KELOMPOK : 12

NAMA ASISTEN : LAILATUL MUNAWAROH D. K. W.

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekanan osmotik menurut Akbar (2021), termasuk ke dalam salah satu

faktor yang mempengaruhi fisiologi ikan sebagai organisme yang hidup di dalam

perairan. Proses osmoregulasi memiliki peranan penting dalam menjaga tekanan

osmotik tubuh ikan. Upaya beradaptasi dengan lingkungannya, ikan harus

mengatur tingkat keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya agar

tidak kekurangan atau kelebihan air.

Proses osmoregulasi menurut Amrillah, et al. (2015), terjadi juga pada

hewan perairan. Osmoregulasi merupakan upaya untuk mengontrol

keseimbangan ion-ion yang terdapat di dalam tubuhnya dengan lingkungan

melalui sel permeabel. Osmoregulasi terjadi karena perbedaan tekanan osmotik

antara cairan dalam tubuh dengan media (cairan luar tubuh). Proses

osmoregulasi ini sangat mempengaruhi metabolisme tubuh hewan perairan

dalam menghasilkan energi.

Osmoregulasi merupakan bagian penting dalam fisiologi ikan. Ikan

bertulang belakang menjaga osmolalitas cairan tubuh mereka dengan melakukan

osmoregulasi. Ikan air laut kehilangan sepertiga cairan tubuh mereka, sehingga

mereka beradaptasi dengan cara banyak minum dan mengeluarkan sedikit urin

untuk menjaga keseimbangan cairan tubuhnya. Ikan air tawar mempertahankan

keseimbangan cairan tubuh mereka dengan cara sedikit minum dan

mengeluarkan banyak urin. Insang, ginjal dan usus merupakan organ utama

osmoregulasi dan memiliki peran yang berbeda-beda untuk menjaga cairan

tubuh ikan (Wong et al., 2014).


Tekanan osmotik merupakan suatu hal yang harus dihadapi oleh

organisme yang hidup di perairan. Upaya organisme air untuk menjaga tekanan

osmotik tidak lepas dari proses osmoregulasi. Hal tersebut menyatakan bahwa

proses osmoregulasi sangat penting untuk kelangsungan hidup hewan air,

terutama untuk proses adaptasi dengan lingkungannya. Peran osmoregulasi juga

mempengaruhi proses metabolisme hewan air dalam menghasilkan energi. Ikan

memiliki beberapa organ tubuh seperti insang, kulit dan ginjal yang berperan

dalam menjaga cairan tubuh dalam osmoregulasi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengerti dan memahami

peranan salinitas terhadap kehidupan ikan dan proses-proses fisiologis yang

berkaitan dengannya.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat

melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh salinitas air (lingkungan)

yang berbeda terhadap kelangsungan hidup ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Osmoregulasi dilaksanakan

pada hari 2023 di Laboratorium Reproduksi dan melalui video conference Google

Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Osmoregulasi

Osmoregulasi adalah upaya yang dilakukan hewan akuatik untuk

mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam dan di luar tubuh melalui

mekanisme pengaturan tekanan osmotik sehingga proses-proses fisiologis

dalam tubuh berjalan normal (Ardi et al., 2016). Osmoregulasi terdapat proses:

1. Transpor Aktif

Transpor aktif menurut Isnaeni (2006), merupakan pergerakan zat-zat

yang membutuhkan energi. Proses ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi di

antaranya. Transpor aktif dibagi menjadi dua yaitu transpor aktif primer dan

transpor aktif sekunder. Transpor aktif primer memperoleh energi dari proses

hidrolisis ATP, sedangkan transpor aktif sekunder memperoleh energi dari

gradien elektrokimia Na+ atau H+, contohnya pompa Ca2+ pada sel otot dan

pompa Na+ dan K+ pada setiap sel. Pompa Na+ dan K+ bekerja untuk

mempertahankan Na di luar sel tetap lebih tinggi daripada di dalam sel, dan

kadar Kalium di dalam sel tetap lebih tinggi daripada di luar sel.

2. Transpor Pasif

Transpor pasif merupakan perpindahan zat tanpa memerlukan energi.

Transpor pasif dibagi menjadi dua proses, yaitu:

a. Difusi

Inayah (2016) menyatakan bahwa difusi adalah perpindahan zat dari

konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Peristiwa difusi tidak dapat terlepas

dari gradien konsentrasi yang merupakan perbedaan konsentrasi pada larutan.

b. Osmosis

Prastyo (2023), menyatakan bahwa osmosis adalah peristiwa


perpindahan zat pelarut (konsentrasi rendah) ke zat terlarut (konsentrasi tinggi)

melalui lapisan semipermeabel.

2.2 Membran Osmoregulasi

Membran osmoregulasi menurut Pudjaatmaka dan Qodratillah (2002),

diantaranya sebagai berikut:

1. Membran permeabel adalah membran yang dapat ditembus zat pelarut

dan zat terlarut. Contoh: organ rusak.

2. Membran semipermeabel adalah membran yang dapat ditembus

(permeabel) oleh beberapa zat. Contoh: empedu sapi.

3. Membran impermeabel adalah membran yang tidak dapat ditembus

semua zat. Contoh: plastik, kaca, dan karet.

2.3 Pola Regulasi Ion dan Air

Pola regulasi ion dan air menurut Fujaya (2008) ada 3 macam, yakni

sebagai berikut:

1. Regulasi hipertonik atau hiperosmotik ialah pengaturan secara aktif

konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media atau

lingkungan, contoh pada ikan air tawar.

2. Regulasi hipotonik atau hipoosmotik ialah pengaturan secara aktif

konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media atau

lingkungan, contoh pada ikan air laut.

3. Regulasi isotonik atau isotonis ialah konsentrasi cairan tubuh sama

dengan konsentrasi media, misalnya ikan-ikan yang hidup pada daerah

estuari.
2.4 Toleransi Ikan atau Hewan Air terhadap Salinitas

Toleransi ikan atau hewan air terhadap salinitas menurut Ghufran dan

Kordi (2010), yaitu :

1. Eurihalin merupakan ikan yang dapat beradaptasi pada kisaran salinitas

yang cukup luas, contoh ikan bandeng (Chanos chanos), ikan nila

(Oreochromis niloticus), ikan kakap putih (Lates calcarifer) dan ikan

mujair (Oreochromis mossambica).

2. Stenohalin merupakan ikan yang mempunyai toleransi salinitas yang

kecil atau sempit, contoh ikan layang (Decapterus ruselli), ikan queen

angelfish (Holocanthus ciliaris), ikan lele (Clarias sp), ikan mas (Cyprinus

carpio), ikan zebra (Dascyllus melanurus).

2.5 Peran Organ Ikan pada Proses Osmoregulasi

Berikut beberapa organ ikan yang termasuk dalam proses osmoregulasi

ikan yakni:

1. Sel Chloride dalam insang berfungsi untuk transport dan memompa ion-

+ + + 2+ -
ion seperti Na , K , Ca , Mg , Cl (Anggoro et al., 2021)).

2. Kulit berguna sebagai lapisan semipermeabel pada proses osmoregulasi

(Burhanuddin, 2014).

3. Ginjal pada ikan teleostei berfungsi untuk osmoregulasi. Nefron adalah

bagian ikan teleostei yang terdiri dari glomerulus untuk menyaring, dan

tubulus yang berfungsi untuk menyerap cairan dan diubah menjadi urin

(Robert, 2010).

4. Dinding usus bersifat semipermeabel yang dapat menyerap air dan

ion- ion terutama untuk menyerap ion-ion Mg (Antosia et al., 2022).


2.6 Faktor yang Mempengaruhi Proses Osmoregulasi

Faktor yang mempengaruhi proses osmoregulasi ada dua yaitu:

a. Faktor internal menurut Pamungkas (2012), terdiri dari aktivitas, ukuran,

umur, genetik, spesies dan migrasi (katadromus dan anadromus).

b. Faktor eksternal menurut Boyd and Tucker (1998) terdiri dari salinitas

dan suhu.

2.7 Proses Osmoregulasi pada Ikan Air Tawar

Syakirin (2015), menyatakan bahwa osmoregulasi berhubungan erat

dengan usaha ikan untuk mempertahankan komposisi ion-ion yang optimal pada

tubuhnya. Hal ini dilakukan ikan dengan jalan melakukan mekanisme transpor

aktif terutama pada ion natrium, Kalium, dan Chlorida, dengan adanya

mekanisme tersebut terjadi keseimbangan ion-ion dalam cairan intraseluler dan

ekstraseluler (lingkungan). Cairan yang terdapat pada tubuh ikan air tawar

mempunyai tekanan yang lebih besar dari lingkungan (hiperosmotik) sehingga

garam-garam cenderung keluar dari tubuh. Air dari lingkungan yang masuk ke

dalam tubuh ikan secara osmosis melalui permukaan tubuh bersifat permeabel.

Ikan air tawar mempertahankan keseimbangannya dengan cara tidak banyak

minum air, kulitnya diliputi mucus (mencegah garam masuk atau keluar dan

membantu pertukaran ion), melakukan osmosis lewat insang, produksi urinnya

encer, dan memompa garam melalui sel-sel khusus pada insang.

2.8 Proses Osmoregulasi pada Ikan Air Laut

Lantu (2010), menyatakan bahwa kadar konsentrasi garam pada air laut

lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan garam yang ada di tubuh ikan

(hipoosmotik). Hal tersebut menyebabkan air banyak keluar dari tubuh dan
garam akan cenderung masuk ke dalam tubuh, sehingga ikan harus

menggunakan ginjalnya untuk mengeluarkan kelebihan garam dalam bentuk urin

yang pekat. Adaptasi lain yang dilakukan adalah ikan air laut akan lebih banyak

minum untuk menghindari kekurangan air di dalam tubuhnya.

2.8.1 Teleostei (Ikan Bertulang Sejati)

Ikan teleostei bersifat hipoosmotik terhadap air laut dan hiperosmotik

terhadap air tawar. Rahardjo et al. (2011), menyatakan bahwa ikan salmon dan

sidat ketika menghuni perairan tawar tidak banyak minum air, tetapi ketika di laut

minum air 4-15% dari bobot tubuhnya. Fungsi ginjal pun juga berubah dengan

laju filtrasi di glomerulus sangat menurun dan penyerapan kembali di tubulus

ginjal meningkat sehingga urin yang dikeluarkan turun menjadi sekitar 10% dari

volume urin di perairan tawar.

2.8.2 Hagfish

Bone and Moore (2008), menyatakan bahwa volume darah ikan hagfish

sangat isotonis terhadap air laut, sehingga tidak berosmoregulasi, melainkan

hanya terjadi regulasi ion karena komposisi Na+ dan Cl- dalam darah hagfish

sama dengan yang di air laut.

2.8.3 Elasmobranchii (Ikan Bertulang Rawan)

Affandi dan Usman (2002), menyatakan bahwa ikan elasmobranchii

menyimpan urea dan trimethilamin oxides (TMAO) di dalam darah agar cairan di

dalam tubuhnya isotonik atau sedikit hipertonik dari lingkungan. Saat

mempertahankan homoestatis ion, ikan akan mengekskresikan garam (NaCl)

bukan dari insang melainkan dari rectal gland.


2.9 Sebab-Sebab Hewan Air Berosmoregulasi

Fujaya (2008), menyatakan bahwa keseimbangan antara substansi tubuh

dan lingkungan harus seimbang. Adanya membran sel permeabel sebagai

tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat. Perbedaan

tekanan osmosis cairan tubuh dan lingkungan.

2.10 Salinitas Perairan (Kadar Garam Terlarut)

Suhana (2018), menyatakan bahwa berdasarkan kadar salinitasnya,

perairan dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Air Tawar : 0-0,5 ppt

2. Air Payau : 0,5-17 ppt

3. Air Laut : >17 ppt.

2.11 Komposisi Cairan dalam Empedu

Sheriha et al. (2014), menyatakan bahwa empedu sapi tersusun dari

beberapa komposisi diantaranya biliverdin (biru), bilirubin (kuning/urobilin), air,

kolestrol dan lemak.

2.12 Penentuan Air Bersalinitas


2.12.1 Persamaan

Larutan I = 2 ppt, larutan II = 45 ppt. Untuk membuat larutan dengan

konsentrasi 15 ppt sebanyak 10 liter dibutuhkan berapa liter dari masing-masing

larutan?

V1 × N1 = V2 × N2
Diketahui:

N larutan I = 2 ppt; N larutan II = 45 ppt;

N larutan X = 15 ppt ; V larutan X = 10 liter

Jawab : V1 × N1 = V2 x N2

(V larutan X × N larutan X) = (V larutan I × N larutan I) + (V larutan II × N larutan II)

(10 × 15) = (V larutan I × 2) + ((10 – V larutan I) × 45)

150 = 2X + ((450 – 45X)

150 = 450 – 43X

43X = 300

X = 6,97

V larutan I = 6,97 liter

V larutan II = 10 – 6,97

= 3,02 liter

2.12.2 Rumus Bujur Sangkar

Larutan I = 2 ppt, larutan II = 45 ppt. Untuk membuat larutan dengan

konsentrasi 15 ppt sebanyak 10 liter dibutuhkan berapa liter dari masing-

masing larutan?

Larutan I 2 30

15 (konsentrasi larutan yang dibutuhkan)

Larutan II 45 13 +
43

Larutan I =

liter = 6,98 liter

Larutan II =

liter = 3,02 liter


3. METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsi

a. Pengamatan Empedu

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

 Freezer :

 Toples 3 L :

 Kamera digital :

 Nampan :

 Stopwatch :

 Kain lap :

 Gunting :

 Bak besar :

 Penggaris :

 Timbangan OZ :

 Timbangan digital :

b. Toleransi Salinitas

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

osmoregulasi pengamatan toleransi salinitas adalah:

 Toples 3 L :

 Kamera digital :

 Timbangan digital :

 Stopwatch :
 Kain lap :

 Seser :

 Aerator set :

 Kabel roll :

 Beaker glass :

 Penggaris :

 Akuarium :

 Nampan :

3.1.2 Bahan dan Fungsi

a. Pengamatan Empedu

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Osmoregulasi pengamatan empedu adalah:

 Empedu sapi :

 Air tawar :

 Benang Kasur :

 Kertas Label :

 Garam grasak (NaCl) :

 Tisu :

b. Toleransi Salinitas

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

osmoregulasi toleransi salinitas adalah:

 Ikan Nila

(O. niloticus) :

 Ikan Lele Dumbo

(Clarias gariepinus) :
 Ikan Damsel Biru

(Chrysiptera cyanea) :

 Trash Bag :

 Air Tawar :

 Air Laut :

 Garam grasak (NaCl) :

 Kertas label :

 Tisu :

3.2 Skema Kerja


3.2.1 Pengamatan Osmosis pada Empedu Sapi

Toples 4L

- Diisi air sebanyak ¾ bagian

NaCl

- Ditimbang sesuai dengan toleransi yang diinginkan


- Dilarutkan ke dalam air
Empedu
Sapi

- Ditimbang berat awal (W0)


- Dimasukkan ke dalam gelas plastik dengan perlakuan:
Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 20 ppt
Meja 3 = 40 ppt
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 1 jam
- Ditimbang berat akhir (Wt)

Hasil
3.2.2 Toleransi Salinitas

Toples 3L

- Diisi air sebanyak ¾ bagian


NaCl

- Ditimbang sesuai toleransi yang diinginkan


- Dilarutkan ke dalam air

Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Ikan Damsel Biru (Chrysptera cyanea)
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
- Ditimbang berat awal (W0)
- Dimasukkan ikan ke dalam toples dan diberi perlakuan:
Meja 1 = 0 ppt
Meja 2 = 20 ppt
Meja 3 = 40 ppt
- Diamati perubahannya setiap 20 menit selama 2 jam
- Ditimbang berat akhir (Wt)

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil Pengamatan Empedu

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

terhadap osmoregulasi. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan sampel

empedu sapi yang masih segar. Berat awal ( ) dari empedu sapi kelompok 12

adalah 150 gr. Kondisi awal empedu ketika baru dimasukkan ke dalam air

bersalinitas 12 ppt adalah segar, terapung, serta air tetap jernih. Pengamatan

dilakukan berulang setiap 20 menit hingga enam kali pengulangan. Hasil akhir

menunjukkan sampel empedu sapi kelompok 12 masih segar, warna pucat,

terapung, serta air menguning. Kelompok 5 sebagai pembanding juga melakukan

pengamatan osmoregulasi menggunakan empedu sapi. Berat awal ( ) dari

empedu sapi kelompok 5 adalah 135 gr. Kondisi awal empedu ketika dimasukkan

ke dalam air adalah pucat, melayang, serta sedikit mengembang. Pengamatan

dilakukan berulang setiap 20 menit hingga enam kali pengulangan. Hasil akhir

menunjukkan sampel empedu sapi kelompok 5 terlihat pucat, berwarna

kehijauan, mengapung, dan ukuran membesar. Perubahan empedu dari waktu

ke waktu terjadi karena reaksi kimia dan biologis karena penyeimbangan cairan

dalam empedu sapi dengan salinitas lingkungan yang dinamis. Perbedaan hasil

dari kedua kelompok ini dapat terjadi dikarenakan media air memiliki kadar

salinitas yang berbeda.

Spesies mamalia menurut Nouri, et al. (2022), yaitu mempunyai

kemampuan untuk mengelola kandungan air di dalam tubuh untuk merespon

kandungan garam yang tinggi. Osmoregulasi yang diatur oleh jalur saraf dan

hormonal seperti arginine vasopressin (AVP), memainkan peran sentral dalam


mengatur translokasi saluran air aquaporin 2 (AQP2) ke membran plasma.

Saluran natrium epitel α (α-ENaC) yang diatur oleh hormon seperti aldosteron

turut memodulasi jumlah Na+ dalam cairan ekstraseluler dan tekanan darah.

mikrobiota usus memiliki potensi pengaruh dalam regulasi homeostasis garam/air

inang, namun peran utamanya belum dapat diketahui. Penelitian dilakukan

dengan tujuan untuk mengetahui dampak asupan garam terhadap komunitas

mikrobiota dan respons osmoregulasi. Restrukturisasi bakteri usus oleh CMT

dapat mempengaruhi metabolit mikroba dan protein yang berperan dalam

keseimbangan garam dan air serta pemeliharaan osmoregulasi.

Osmoregulasi menurut Wong, et al. (2014), merupakan salah satu

kemampuan fisiologi yang sangat penting bagi makhluk hidup. Osmoregulasi

merupakan kemampuan ikan dalam mengendalikan keberadaan air di luar dan di

dalam tubuh. Osmoregulasi umumnya memperoleh ion pada air laut dan

kehilangan pada saat berada di air tawar. Pencernaan pada makhluk hidup

khususnya ikan mempunyai peran penting atas masuk dan keluarnya air melalui

osmosis. Osmoregulasi berhubungan dengan kadar salinitas pada suatu

perairan. salinitas yang tidak sesuai akan menyebabkan osmoregulasi tidak

maksimal sehingga ikan akan mudah stres.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur 2023 dilakukan pengamatan

terhadap osmoregulasi. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan sampel

empedu sapi yang masih segar. Pengamatan dilakukan berulang setiap 20 menit

hingga enam kali pengulangan. Hasil akhir menunjukkan sampel empedu sapi

kelompok 12 masih segar, warna pucat, terapung, serta air menguning. Hasil

akhir menunjukkan sampel empedu sapi kelompok 5 terlihat pucat, berwarna

kehijauan, mengapung, dan ukuran membesar. Perubahan empedu dari waktu

ke waktu terjadi karena reaksi kimia dan biologis karena penyeimbangan cairan

dalam empedu sapi dengan salinitas lingkungan yang dinamis. Perbedaan hasil
pengamatan oleh kedua kelompok bisa disebabkan oleh perbedaan kadar

salinitas air. Beberapa spesies mamalia mempunyai kemampuan untuk

mengelola kandungan air di dalam tubuh untuk merespon kandungan garam

yang tinggi. Osmoregulasi umumnya memperoleh ion pada air laut dan

kehilangan pada saat berada di air tawar. Pencernaan pada makhluk hidup

khususnya ikan mempunyai peran penting atas masuk dan keluarnya air melalui

osmosis. Osmoregulasi berhubungan dengan kadar salinitas pada suatu

perairan. salinitas yang tidak sesuai akan menyebabkan osmoregulasi tidak

maksimal sehingga ikan akan mudah stres.

4.2 Analisis Hasil Toleransi Salinitas

a. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi tentang

toleransi salinitas pada ikan lele dumbo (Clarias garepinus) didapatkan hasil.

Kelompok 12 mengamati ikan lele dengan bobot awal atau Wo sebesar 90gr.

Kondisi awal lele dumbo kepala diatas, bergerak pasif, serta warna tubuh

normal. Hasil akhir pengamatan didapatkan hasil ikan lele dumbo kepala diatas,

stress, air mengeruh, dan warna normal. Kelompok 5 sebagai kelompok

pembanding mengamati ikan lele dumbo dengan berat 87 gr. Kondisi awal lele

dumbo yaitu pasif, stress, dan warna normal. Kondisi akhir ikan lele yang diamati

yaitu mati dengan air yang sangat keruh.

Ikan lele dumbo menurut Hidayati, et al. (2021), merupakan ikan yang

dapat hidup dengan lingkungan yang berada pada kondisi salinitas sempit. Hal

ini disebabkan ikan lele dumbo termasuk ke dalam ikan jenis air tawar. Terdapat

beberapa dari spesies ikan lele dumbo yang dapat bertahan hidup pada salinitas

air payau. Faktor yang mempengaruhi selain adanya genetik adalah lingkungan

asli yang berada di sekitarnya. Ikan yang sudah terbiasa dengan kondisi
lingkungan yang ekstrim akan memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi.

Ikan lele dumbo menurut Pathak, et al. (2021), melaporkan bahwa

juveniles ikan lele dumbo bahkan dapat bertahan hidup hingga salinitas 5 ppt,

keberhasilan ini mencapai 100% dari kelangsungan hidup. Hal yang

mempengaruhi bisa disebabkan oleh potensi kemampuan adaptasinya terhadap

perubahan luas di lingkungan salinitas. Ciri morfologi ikan lele dumbo tampaknya

serupa dengan ikan lele asli. Ikan lele dumbo tercatat memiliki kemampuan

mengubah komposisi dan kepadatan komunitas invertebrata di sebuah perairan.

Beberapa faktor seperti jangkauan penerimaan pakan yang luas, toleransi yang

tinggi terhadap perubahan lingkungan sekitar. Faktor lainnya, yaitu ketahanan

terhadap penyakit, laju pertumbuhan yang lebih tinggi, kemampuan bersembunyi

di tumbuhan, kebiasaan menghirup udara dan kemampuan berjalan di darat. Hal

tersebut menjadi penyebab cepatnya invasi lele dumbo ke semua jenis

ekosistem air tawar. Kemungkinan ini dapat menjadi penyebab berkurangnya

spesies asli, di mana pun spesies tersebut menginvasi.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi tentang

toleransi salinitas pada ikan lele dumbo (C. garepinus) didapatkan hasil.

Kelompok 12 mengamati ikan lele dengan bobot awal atau Wo sebesar 90gr.

Hasil akhir pengamatan didapatkan hasil ikan lele dumbo kepala diatas, stress,

air mengeruh, dan warna normal. Kelompok 5 sebagai kelompok pembanding

mengamati ikan lele dumbo dengan berat 87 gr. Kondisi akhir ikan lele yang

diamati yaitu mati dengan air yang sangat keruh. Ikan lele dumbo merupakan

ikan yang dapat hidup dengan lingkungan yang berada pada kondisi salinitas

sempit. Hal ini disebabkan ikan lele dumbo termasuk ke dalam ikan jenis air

tawar. Faktor yang mempengaruhi selain adanya genetik adalah lingkungan asli

yang berada di sekitarnya. Ikan yang sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan

yang ekstrim akan memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi.


b. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi tentang

toleransi salinitas pada ikan nila (Oreochromis niloticus) didapatkan hasil.

Kelompok 12 melakukan pengamatan terhadap ikan nila dengan bobot awal 35

gr. Kondisi awal ikan nila adalah dapat bergerak aktif, warna normal, dan

cenderung berada di dasar. Kondisi akhir ikan nila menunjukkan hasil ikan yang

bergerak pasif, warna pudar, namun tidak dalam keadaan stress. Kelompok 5

sebagai kelompok pembanding melakukan pengamatan terhadap ikan nila

dengana berat awal 16 gr. Kondisi awal ikan nila adalah stress, bergerak aktif,

hidup, dan berada di permukaan. Kondisi akhir ikan adalah ikan mati, warnanya

pudar memerah, serta operculum membuka.

Ikan nila menurut Pierrenia, et al. (2021), merupakan ikan yang memiliki

kisaran salinitas sebesar 20 ppt. Ikan nila merupakan salah satu spesies ikan air

tawar yang mengalami peningkatan komoditasnya. Upaya agar meningkatkan

produksi pada ikan nila yaitu dengan dilakukannya budidaya intensif. Upaya

yang dilakukan juga dapat memperhatikan aspek yang mendukung keberhasilan

hidup ikan seperti adanya ketersediaan air. Budidaya intensif dapat ditandai

adanya kepadatan yang tinggi dan adanya peningkatan dalam pemberian pakan.

Ikan nila menurut Chourasia, et al. (2018), bahwa mampu bertahan hidup

di salinitas yang berbeda-beda. Ikan air tawar ini memiliki kelebihan air dan

kekurangan garam di perairan. Hal tersebut dikarenakan kondisi lingkungan ionik

yang rendah dan bersifat hipoosmotik. Ion didapatkan ikan melalui penyerapan

yang ada pada insang. Ion juga dapat diserap oleh ikan melalui makanan-

makanan yang berasal dari saluran pencernaan.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi tentang

toleransi salinitas pada ikan nila (O. niloticus) didapatkan hasil. Kelompok 12
melakukan pengamatan terhadap ikan nila dengan bobot awal 35 gr. Kondisi

akhir ikan nila menunjukkan hasil ikan yang bergerak pasif, warna pudar, namun

tidak dalam keadaan stress. Kelompok 5 sebagai kelompok pembanding

melakukan pengamatan terhadap ikan nila dengana berat awal 16 gr. Kondisi

akhir ikan adalah ikan mati, warnanya pudar memerah, serta operculum

membuka. Ikan nila menurut Chourasia, et al. (2018), bahwa mampu bertahan

hidup di salinitas yang berbeda-beda. Ikan air tawar ini memiliki kelebihan air dan

kekurangan garam di perairan. Hal tersebut dikarenakan kondisi lingkungan ionik

yang rendah dan bersifat hipoosmotik. Ion didapatkan ikan melalui penyerapan

yang ada pada insang. Ion juga dapat diserap oleh ikan melalui makanan-

makanan yang berasal dari saluran pencernaan.

c. Ikan Damsel (Chrysiptera cyanea)

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi tentang

toleransi salinitas pada ikan Ikan Damsel (Chrysiptera cyanea) didapatkan hasil.

Kelompok 12 melakukan pengamatan terhadap ikan damsel biru dengan bobot

0,5 gr. Pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali dengan masing-masing 20 menit.

kondisi awal ikan damsel kelompok 12 adalah bergerak pasif, warna normal,

tidak stress, serta berada di dasar. Kondisi akhir ikan damsel kelompok 12

adalah bergerak pasif, warna tubuh gelap, dan berada di dasar perairan.

kelompok 5 sebagai pembanding mengamati ikan dengan bobot 6 gr. Kondisi

awal ikan adalah stress, warna pudar, bergerak aktif. Kondisi akhir ikan adalah

tidak stress, warna memudar, hidup, dan air mulai mengeruh.

Ikan damsel menurut Madeira, et al. (2020), merupakan salah satu jenis

ikan hias yang banyak digemari dan populer oleh para pembudidaya ikan hias

dan pecinta aquascape. Ikan ini juga dikenal dengan panggilan "Damselfish Half-

blue" karena warna tubuhnya yang biru terang. Ikan damsel ini tergolong jenis

ikan air laut yang banyak ditemui pada daerah terumbu karang yang dangkal.
Ikan damsel biru dikenal sebagai ikan yang agresif karena memiliki pergerakan

yang cepat saat berenag. Ikan damsel memiliki kemampuan beradaptasi dengan

salinitas tinggi dikarenakan habitat aslinya yang berada di laut.

Habitat ikan damsel menurut Nguyen, et al. (2019), merupakan ikan yang

dapat hidup dan tumbuh di air laut. Ikan ini mampu menyesuaikan dan

beradaptasi lingkungan disekitarnya dengan mengeluarkan kondisi cairan tubuh

sesuai dengan lingkungan perairannya. Ikan damsel biasanya hidup pada

salinitas 33 ppt dan suhu yang berkisar antara 25-28°C. Organ yang digunakan

dalam proses osmoregulasi pada ikan ini sama dengan ikan lain pada umumnya.

Terdapat insang, ginjal, dan usus apabila terjadi fluktuasi perubahan salinitas,

ikan akan mengalami perubahan gerak dari aktif menjadi pasif. Hal tersebut

berarti menunjukkan perubahan salinitas akan sangat mempengaruhi kondisi

fisiologis pada hewan dari tingkah laku maupun perubahan pada tubuhnya.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi osmoregulasi tentang

toleransi salinitas pada ikan Ikan Damsel (Chrysiptera cyanea) didapatkan hasil.

Kelompok 12 melakukan pengamatan terhadap ikan damsel biru dengan bobot

0,5 gr. Kondisi akhir ikan damsel kelompok 12 adalah bergerak pasif,

warna tubuh gelap, dan berada di dasar perairan. kelompok 5 sebagai

pembanding mengamati ikan dengan bobot 6 gr. Kondisi akhir ikan adalah

tidak stress, warna memudar, hidup, dan air mulai mengeruh. Ikan damsel

menurut Madeira merupakan salah satu jenis ikan hias yang banyak digemari

dan populer oleh para pembudidaya ikan hias dan pecinta aquascape. Ikan

damsel biru dikenal sebagai ikan yang agresif karena memiliki pergerakan yang

cepat saat berenag. Ikan damsel memiliki kemampuan beradaptasi dengan

salinitas tinggi dikarenakan habitat aslinya yang berada di laut.


4.3 Faktor Koreksi

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur terdapat beberapa faktor koreksi

yaitu antara lain, sebagai berikut. Kedisiplinan para praktikan harus ditingkatkan

lagi agar praktikum lebih kondusif. Praktikan harus lebih aktif menjawab maupun

bertanya mengenai materi yang disampaikan. Alat dan bahan yang digunakan

harus diajaga dengan baik agar tidak terjadi kerusakan. Praktikan harus sudah

mengetahui skema kerja yang akan dilakukan selama jalannya praktikum.

4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Praktikum fisiologi hewan akuakultur pada materi osmoregulitas

memiliki manfaat di bidang perikanan sebagai berikut. Osmoreguralitas dapat

bermanfaat karena pembudidaya dapat mengetahui kondisi lingkungan yang

optimal bagi ikan. Pembudidaya juga dapat mengetahui bagaimana memelihara

ikan yang sesuai dengan lingkungannya. Pembudidaya dapat mengetahui

bagaimana kemampuan ikan dalam mentoleril salinitas yang berbeda dari

lingkungan aslinya. Pemahaman mengenai osmoregulasi membantu dalam

memahami kebutuhan spesies ikan asli dan menerapkan tindakan konservasi

yang sesuai untuk menjaga populasi ikan yang sehat.

.
5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi osmoregulasi adalah sebagai berikut.

1. Penggunaan empedu sapi sebagai bahan uji osmosis dikarenakan

empedu sapi memiliki membran yang dapat ditembus oleh zat cair.

2. Kondisi akhir empedu kelompok 12 yaitu empedu pucat, mengapung dan

air berwarna kuning.

3. Ikan lele dumbo merupakan hewan akuatik yang tidak mampu

mentoleransi salinitas tinggi (stenohalin).

4. Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan eurihalin yang dapat

mentoleransi salinitas besar yaitu kisaran 0–20 ppt.

5. Ikan damsel biru dapat hidup di berbagai lingkungan perairan dengan

kadar salinitas yang beragam .

5.2 Saran

Saran selama berjalannya Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur adalah

praktikan harus lebih menjaga sikap dengan tidak berkata kotor, tidak

membicarakan sesuatu di luar praktikum, dan tetap kondusif. Hafal dengan

skema kerja yang akan dilakukan agar tidak selalu bergantung pada asisten

praktikum. Praktikan harus menjaga alat dan bahan yang diberikan agar tidak

terjadi kerusakan alat laboratorium. Praktikan harus lebih siap atau prepare

sebelum jalannya praktikum agar nilai dari pretest maupun post-test bagus.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. & Usman M. T. (2002). Fisiologi Hewan Air. Unri Press: Pekanbaru.

Akbar, J. (2021). Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan betok (Anabas


testudineus) yang dipelihara pada salinitas berbeda. Bioscientiae, 9(2),
1-8.

Akbulut, N. E. (2002). The plankton composition of Lake Mogan in Central


Anatolia, 27(1), 107-116.

Amrillah, A. M., Widyarti, S. & Kilawati, Y. (2015). Dampak stress salinitas


terhadap prevalensi white spot syndrome virus (WSSV) dan Survival
Rate Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada kondisi
terkontrol. Research Journal of Life Science, 2(1), 110-123.
https://doi.org/10.21776/ub.rjls.2015.002.02.5

Anggoro, S., Indarjo, A., Salim, G., Handayani, K. R., Ransangan, J., Ibrahim, A.
J., & Firdaus, M. (2021). Biologi Perikanan dan Kelautan di Indonesia.
Aceh. Syiah Kuala University Press. 152 hlm.

Antosia, R. M., Putri, I. A., Farduwin, A., Irawati, S. M., & Santoso, N. A. (2022).
Peninjauan ulang kedalaman akuifer menggunakan metode resistivitas
1D di Desa Gayau, Kabupaten Pesawaran. Jurnal Abdi Masyarakat
Indonesia, 2(2), 651-660.

Ardi, I., Setiadi, E., Kristanto, A. H. & Widiyati, A. (2016). Salinitas optimal untuk
pendederan benih ikan betutu (Oxyeleotris marmorata).Jurnal Riset
Akuakultur, 11(4), 339-347. https://doi.org/10.15578/jra.11.4.2016.347-
354

Bone, Q. & Moore, R. (2008). Biology of Fishes. Taylor & Francis. 128pp.
https://doi.org/10.1201/9781134186310

Boyd, C. E. & Tucker, C. S. (1998). Pond Aquaculture Water Quality


Management. Kluwer Academic Publishers, Boston, Massachusettes,
700pp. https://doi.org/10.1007/978-1-4615-5407-3

Coche, A. G., Munir, J. F. & Laughlin, T. ( 1997). Management for Freshwater


Fish Culture: Ponds and Water Practices. Food and Agriculture
Organization of the United Nation. Rome. 233 hlm.

Burhanuddin, A. I. (2014). Ikhtiologi, Ikan, dan Segala Aspek


Kehidupannya. Depublish Publisher: Yogyakarta. Hlm 363-365

Fujaya, Y. (2008). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik


Perikanan. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.

Hadiaty, R. K. (2016). Ichthyofauna of menoreh karst area, Jawa Tengah and the
conservations efforts. Jurnal Iktiologi Indonesia, 16(2), 199-210.
Inayah. (2017). Pengaruh detergen terhadap respon fisiologi, laju pertumbuhan
dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila pada skala laboratorium.
Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau
Kecil, 1(1), 44-50.

Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

Kordi K., M. G. H. & A. B. Tancung. (2010). Pengelolaan Lualitas Air Dalam Budi
Daya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta.

Lantu, S. (2010). Osmoregulasi pada hewan akuatik. Jurnal Perikanan dan


Kelautan, 4(1), 46-50. https://doi.org/10.35800/jpkt.6.1.2010.117

Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya:


Jakarta. hlm 12.

Murtidjo, B. A. (2001). Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius:


Yogyakarta. 108 hlm.

Pamungkas, W. (2012). Aktivitas osmoregulasi, respons pertumbuhan, dan


energetic cost pada ikan yang dipelihara dalam lingkungan bersalinitas.
Media Akuakultur, 7(1), 44-51.

Pamungkas, W. (2012). Aktivitas osmoregulasi, respons pertumbuhan dan


energetic cost pada ikan yang dipelihara dalam lingkungan bersalinitas.
Media Akuakultur, 7(1), 44-51. https://doi.org/10.15578/ma.7.1.2012.44-
51

Prastyo, E. (2023). Pengaruh salt rejection, electric conductivity terhadap kinerja


membrane reverse osmosis. CHEMTAG Journal of Chemical
Engineering, 4(1), 13-22.

Pudjaatmaka, A. H. & Qodratillah, M. T. (2002). Kamus Kimia. Balai Pustaka:


Jakarta.

Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R. & Sulistiono. (2011). Ikhtiologi.


CV Lubuk Agung: Bandung. 396 hlm.

Robert S. N. G. (2010). Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata


Laksana. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.

Sahetapy, J. M. F. (2013). Pengaruh perbedaan volume air terhadap tingkat


konsumsi oksigen ikan nila (Oreochromis sp.). Jurnal Triton, 9(2), 127-
130.

Saputra, H. M., Marusin, N. & Santoso, P. (2013). Struktur histologis insang dan
kadar hemoglobin ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di danau
Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas, 2(2), 138- 144.
Sheriha, G. M., Waller, G. R., Chan, T., & Tillman, A. D. (1968). Composition
of bile acids in ruminants Waller. Lipids, 3(1), 72-78.
https://doi.org/10.1007/BF02530972.

Siagian, M. & Simarmata, A. H. 2015. Profil vertikal oksigen terlarut di Danau


Oxbow Pinang Dalam, Desa Buluh Cina-Siak Hulu, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Jurnal Akuatika, 6(1), 87-94.

Solikhah, T. & Widyaningrum, T. (2015). Pengaruh surfaktan terhadap


pertumbuhan dan histopatologi insang ikan nila Oreochromis niloticus)
sebagai materi pembelajaran siswa SMA kelas X. JUPEMASI-PBIO, 2(1),
248-255.

Stoss, J. (1983). Fish gamete preservation and spermatozoan physiology. In: W.


S. Hoar, D. J. Randall and E.M. Donaldson (Eds). Fish Physiology. 9B.
Academic Press, New York. https://doi.org/10.1016/S1546-
5098(08)60306-4

Suhana, M. P. (2018). Karakteristik sebaran menegak dan melintang suhu dan


salinitas perairan Selatan Jawa. Dinamika Maritim, 6(2), 9-1

Sun, J. L., Zhao, L. L., Cui, C., Du, Z. J., He, Z., Wang, Y., & Yang, S. (2019).
Influence of Long-term Temperature stress on respiration frequency,
na+/k+-atpase activity, and lipid metabolism in common carp (Cyprinus
carpio). Journal of thermal biology, 83(2), 165-171.
https://doi.org/10.1016/S1546-5098(08)60306-4

Susanto, H. (2009). Pembenihan dan Pembesaran Patin. Penebar Swadaya:


Jakarta.

Syakirin, M. B. (2015). Mekanisme pompa natrium kalium (Na+-K+) pada


osmoregulasi ikan bertulang sejati (teleostei). Pena Akuatika: Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 1(1), 24-33.

Wong, M. Khwok-Shing, Ozaki, H., Suzuki, Y., Iwasaki, W. & Takei, Y. (2014).
Discovery of osmotic sensitive transcription factor in fish intestine via a
tanscriptomic approach. BMC Genomics, 15(1134), 1-13.
https://doi.org/10.1186/1471-2164-15-1134

Yusuf, D. M., Sugiharto & Wijayanti, G. E. (2014). Perkembangan post-larva


ikan nilem Osteochilus hasselti C.V. dengan pola pemberian pakan
yang berbeda. Scripta Biologica, 1(3), 185-192.
https://doi.org/10.20884/1.sb.2014.1.3.40
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Praktikum

a. Osmoregulasi pada Empedu Sapi

Toples diisi air sebanyak ¾ bagian Empedu sapi ditimbang dan dicatat
sebagai berat awal (W0)

Dilakukan pengamatan setiap 20 menit Empedu sapi ditimbang dan dicatat


sekali selama 2 jam berat akhir (Wt)
b. Toleransi Salinitas

 Ikan Lele (Clarias gariepinus)

Toples diisi air sebanyak ¾ bagian Sampel ikan lele (Clarias gariepinus )
ditimbang dan dicatat sebagai berat
awal (W0)

Dilakukan pengamatan setiap 20 menit Sampel ikan lele (C. gariepinus)


sekali selama 2 jam ditimbang dan dicatat sebagai berat
akhir (Wt)

 Ikan nila (Oreochromis niloticus)

Toples diisi air sebanyak ¾ bagian Sampel ikan nila (Oreochrimis


niloticus) ditimbang dan dicatat sebagai
berat awal (W0)

Dilakukan pengamatan setiap 20 menit Sampel ikan nila (O. niloticus)


sekali selama 2 jam ditimbang dan dicatat sebagai berat
akhir (Wt)

 Ikan Damsel biru (Chrysiptera cyanea)

Toples diisi air sebanyak ¾ bagian Sampel ikan damsel biru (Chrysiptera
cyanea) ditimbang dan dicatat sebagai
berat awal (W0)

Dilakukan pengamatan setiap 20 menit Sampel ikan nila (C. cyanea) ditimbang
sekali selama 2 jam dan dicatat sebagai berat akhir (Wt)
Lampiran 2. Data Hasil Pengamatan

a. Osmoregulasi

 Pengamatan Empedu Sapi

Meja Waktu Tingkah laku W0(gr) Wt(gr)

13.27 Segar, air jernih, normal, tenggelam

13.47 Segar, air keruh,tenggelam

14.07 Pucat, air kekuningan, tenggelam

14.27 Pucat, muncul gelembung, air


1 menguning 214 gr 213 gr

14.47 Pucat, muncul kekuningan, empedu


membesar

15.07 Pucat, air semakin kuning, empedu


membesar

15.27 Pucat, tekstur lembek, air kuning

13.41 Segar, air jernih, melayang

14.01 Segar, air keruh, melayang

14.21 Agak pucat, air kekuningan,


mengapung

14.41 Pucat, air kuning kehijauan,


mengapung
2 450 gr 340 gr
15.01 Pucat, air sangat keruh (kuning
kehijauan), mengapung

15.21 Pucat, air sangat keruh (kehijauan),


mengapung

15.41
Sangat pucat, air sangat keruh (hijau
kehitaman), ukuran mengecil
13.40 Pucat, air bersih, melayang, ukuran
sedikit membesar

14.00 Pucat, air sedikit keruh, melayang,


ukuran membesar

14.20 Pucat, air keruh, melayang, ukuran


semakin membesar

14.40 Pucat, air cukup keruh, melayang,


3 ukuran semakin membesar 135 gr 138 gr

15.00 Pucat, air cukup keruh, melayang,


ukuran semakin membesar

15.20 Pucat agak hijau, mengapung, air


keruh, ukuran membesar

15.40 Pucat kehijauan, mengapung, air


jernih permukaan menguning, ukuran
membesar

13.43 Segar, tenggelam, air jernih

14.03 Pucat, melayang, air agak keruh

14.23 Pucat, melayang, air agak keruh

14.43 Pucat, mengambang, air agak keruh


4 418 gr 433 gr
15.03 Pucat, mengambang, ukuram
semakin besar, air keruh

15.23 Pucat, mengambang, ukuram


semakin besar, air keruh

15.43 Pucat, mengembang, mengambang,


air keruh

5 13.37 Segar, tenggelam, air jernih, tekstur 166 gr 167 gr


kenyal

13.57 Segar, tenggelam, air mulai


menguning, tekstur kenyal

14.17 Pucat, tenggelam, air menguning,


tekstur kenyal

14.37 Pucat, tenggelam, air menguning,


tekstur kenyal

14.57 Pucat, tenggelam, air menguning,


tekstur kenyal

15.17 Pucat, tenggelam, air menguning,


tekstur kenyal

15.37 Pucat, tenggelam, air menguning

13.50 Segar, air jernih, terapung

14.10 Segar, air jernih, terapung

14.30 Segar, air jernih, terapung

14.50 Segar, air menguning, terapung


6 150 gr 155 gr
15.10 Segar, air menguning, warna pucat,
terapung

15.30 Segar, air kuning, warna pucat,


terapung

15.50 Segar, air kuning, warna pucat,


terapung

13.35 Pucat, air bening, mengapung,


ukuran sedikit membesar

13.55 Pucat, air bening, mengapung,


ukuran membesar

14.15 Pucat sedikit kuning, air kuning,


mengapung, ukuran semakin
membesar
7 125 gr 155 gr
14.35 Pucat kuning, air kuning,
mengapung, ukuran semakin
membesar

14.55 Pucat kuning, air kuning, mengapung

15.15 Pucat lebih kuning, air kuning,


mengapung

15.35 Sangat pucat, kuning, mengapung

8 13.37 Segar, air berubah, mengambang, 152 gr 150 gr


lembek

13.57 Agak pucat, air lebih kuning,


lembek,mengambang

14.17 Agak pucat, air kuning,


lembek,mengambang

14.37 Pucat, lebih kuning, lembek,


mengambang

14.57 Warna biru, lembek, mengambang,


mengecil

15.17 Warna biru, lembek, di dasar,


mengecil

15.37 Mengapung, segar, air kuning, pucat


b. Toleransi Salinitas

 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)


Meja Waktu Tingkah Laku W0 (gr) Wt (gr)
Kepala diatas, warna normal,
13.31
pengambilan nafas cepat
Nafas lambat, lemas, stres, sedikit
13.51
bergerak
14.11 Diam, kepala didalam, bergerak sedikit
1 Bergerak, diam, stres, cenderung kepala 104 gr 101 gr
14.31
ditengah
Warna memudar, pergerakan sedikit, air
14.51
keruh
15.11 Diam, lemas, air keruh, berada didasar
15.31 Diam, napas lambat, berada di dasar
13.32 Aktif, warna normal,
13.52 Sedikit aktif, warna normal
Pergerakan pasif, stres, warna agak
14.12
pekat
2 14.32 Diam, stres, warna pekat, kepala keatas 95 gr 90 gr
14.52 Diam, sirip keatas, warna pekat
Bergerak karena stres, warna semakin
15.12
pekat
15.32 Diam sangat stres, menggantung
3 Stres, pergerakan pasif, warna normal, 87 gr 84 gr
13.40
hidup (lemas)
Stres, pergerakan pasif, warna agak
14.00
pudar, hidup (lemas)
Stres, pergerakan pasif, warna pudar,
14.20
hidup (sangat lemas)
Stres, pergerakan pasif, warna
14.40
memerah, hidup (sangat lemas)
Mati, air keruh, warna pudar pinggir
15.00
memerah, kulit mengelupas
15.20 Mati, air keruh, warna pudar pinggir
memerah, kulit mengelupas
Mati, warna pudar memerah, air sangat
15.40
keruh berbusa, badan terbalik
13.38 Bergerak pasif, warna normal
Ikan masih pasif, mulai mengapung,
13.58
warna agak pudar
Ikan tetap pasif, kulit mengelupas, air
14.18
mulai keruh
4 110 gr 106 gr
Ikan aktif, mulut bawah berwarna merah,
14.38
air keruh
14.58 Mati
15.18 Mati
15.38 Mati
13.33 Tidak aktif, stres, warna normal
13.53 Tidak aktif, stres, warna normal
14.13 Aktif, tidak stres, warna normal
5 14.33 Aktif, stres, warna normal 112 gr 111 gr
14.53 Aktif, stres, warna normal
15.13 Pasif, stres, warna normal
15.33 Pasif, stres, warna normal
Kepala diatas, pasif, warna tubuh
13.46
normal
14.06 Kepala diatas, pasif, warna tetap, stres
14.26 Kepala diatas, pasif, warna normal, stres
6 14.46 Kepala diatas, pasif, warna normal, stres 90 gr 90 gr
15.06 Kepala diatas, pasif, warna normal, stres
Kepala diatas, pasif, stres, air
15.26
mengkeruh, warna normal
15.46 pasif, stres warna pudar
7 13.35 Aktif, warna normal, kepala diatas 100 gr 100 gr
13.55 Pasif, warna memudar, kepala diatas
14.15 Pasif, warna memudar, kepala diatas
14.35 Pasif, warna memudar, mengeluarkan
lendir, kepala dibawah permukaan
Pasif, warna memudar, mengeluarkan
14.55
lendir, posisi ikan dibawah
15.15 Ikan stres, banyak gerak, mati
Mati, warna pucat, mengeluarkan lendir
15.35
banyak
13.42 Pasif, stres, bukaan operkulum lambat,
Pasif, stres, mengeluarkan busa,
14.02
operkulum tertutup
Pasif, stres, mengeluarkan busa,
14.22
operkulum tertutup
8 120 gr 115 gr
Pasif, stres, sirip merah, operkulum
14.42
tertutup
15.02 Mati, mengambang, air keruh
15.22 Mati, mengambang, air keruh
15.42 Mati, mengambang, air keruh

 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Meja Waktu Tingkah laku W0 (gr) Wt (gr)

13.28 Pasif, warna ikan normal, stres

13.48 Pasif, warna ikan normal, stres

14.08 Pasif, warna ikan normal, stres

1 14.28 Pasif, warna ikan normal, stres 44 gr 46 gr

14.48 Pasif, warna ikan normal, stres

15.08 Pasif, warna ikan pudar, stres

15.28 Pasif warna pudar, stres

2. 13.31 Pasif, warna ikan normal 45 gr 40 gr

13.51 Pasif, warna ikan normal

14.11 Pasif, warna ikan memudar, sedikit stres

14.31 Pasif, warna ikan pudar, stres

14.51 Sedikit bergerak, warna memudar, stres

15.11 Pasif, warna pudar, stres


Diam, sangat pucat, sirip ke atas,
15.31
cenderung dibawah

Stres, aktif, hidup, warna cerah,


13.40
cenderung di atas

Stres, aktif, hidup, warna memerah,


14.00
cenderung di bawah

Stres, pasif, pudar, hidup, warna


14.20
memerah, mata putih, berenang miring

3. Stres, pasif, warna merah pekat, hidup, 16 gr 16 gr


14.40
berenang miring

Mati, warna merah, operculum


15.00
membuka, air keruh

Mati, pudar memerah, air keruh,


15.20
operculum terbuka

15.40 Mati, warna pudar, sirip merah

13.34 Pasif, warna normal, stres

13.54 Pasif, warna normal, sirip kemerahan

14.14 Pasif, warna normal, sirip kemerahan

Pasif, pucat, sirip mengelupas dan


14.34
kemerahan
4. 30 gr 29 gr
Pasif, lemas, sirip mengelupas dan
14.54
kemerahan

Mati, pucat, mengambang, air keruh,


15.14
sirip mengelupas

15.34 Mati, pucat, mengambang, air keruh

5. 13.33 Aktif, tidak stres, warna normal 94 gr 99 gr

13.53 Aktif, tidak stres, warna normal

14.13 Pasif, stres, warna normal

14.33 Pasif, stres, warna normal

14.53 Pasif, stres, warna normal

15.13 Pasif, stres, warna normal


15.33 Pasif, stres, warna pucat

Aktif,warna ikan normal, cendrung


13.40
kebawah

14.00 Aktif,warna normal, tidak stres

Pasif, warna normal, cenderung


14.20
kebawah
6. 35 gr 35 gr
14.40 Pasif, warna pudar, stres

15.00 Pasif warna pudar, tidak stres

15.20 Pasif, warna pudar, tidak stres

15.40 Pasif, tidak stres, warna tetap

13.36 Aktif, warna ikan normal, tidak stres

13.56 Pasif, warna tetap, mulai stres

14.16 Pasif, warna kuning, stres

7. 14.36 Pasif, warna normal, stres 30 gr 29 gr

14.56 Pasif, berlendir, warna normal, stres

15.16 Pasif, berlendir, warna normal, stres

15.36 Pasif, berlendir, warna normal, stres

Aktif, cenderung di dasar, tidak stres,


13.37
operculum lambat

Aktif,, di dasar, bukaan operculum


13.57
semakin cepat

14.17 Aktif, di dasar, bukaan operculum cepat


8. 45 gr 41 gr
Pasif, di dasar, bukaan operculum
14.37
melambat

14.57 Mati, air keruh, mengambang

15.17 Mati, air keruh, mengambang

15.37 Mati, air keruh, mengambang


 Ikan Damsel Biru (Chrysiptera cyanea)

Meja Waktu Tingkah laku W0 (gr) Wt (gr)

13.34 Pasif, cenderung di dasar, warna pekat

13.54 Mulai aktif, tetap di dasar, warna tetap

14.14 Bergerak naik, aktif, warna pudar

14.34 Semakin pudar, berada di dasar, pasif


1 2 gr 2 gr
Tubuh miring, bergerak pelan, warna
14.54
pudar

15.14 Tubuh miring, warna pudar, mati

15.34 Ikan mati, warna pudar

Seedikit stress, aktif, pudar, cenderung


13.36
ditengah

Normal, sedikit aktif, pucat, cenderung di


13.56
tengah

14.16 Normal, aktif, pucat, cenderung ke dasar

Normal, aktif, pucat, cenderung di


14.36
2 perumukaan 5 gr 4 gr

Normal, aktif, pucat, cenderung di


14.56
tengah

Normal, aktif, pucat, cenderung di


15.16
tengah

Warna pucat, sedikit aktif, cenderung di


15.36
tengah

3 13.40 Stres, aktif, pudar, hidup 6 gr 2 gr

14.00 Stres, aktif, pudar, hidup

14.20 Stres, aktif, pudar, hidup

14.40 Stres, aktif, pudar, hidup, agak lemes

Stres, aktif, pudar, hidup, lemas, air


15.00
mengeruh

15.20 Tidak stress, pudar, hidup, air mengeruh

15.40 Warna pudar, keunguan, hidup, pasif


13.31 Pasif, warna normal, tidak stres

13.51 Aktif, warna normal, tidak stress

14.11 Aktif, warna normal, tidak stress

4 14.31 Aktif, warna normal, tidak stress 2 gr 2 gr

14.51 Aktif, warna tubuh hitam, tidak stress

15.11 Pasif, warna tubuh hitam, tidak stress

15.31 Pasif, warna tubuh hitam, tidak stress

13.33 Pasif, stress, warna normal

13.53 Aktif, stress, warna normal

14.13 Pasif, stress, warna normal

Pasif, stress, ikan mulai lemah, warna


5 14.33 2 gr 2 gr
normal

14.53 Mati, warna memudar

15.13 Mati, warna memudar

15.33 Mati, warna memudar

Pasif, di dasar, warna normal, tidak


13.45
stress

Pasif, di dasar, warna normal, tidak


14.05
stress

14.25 Pasif, warna semakin gelap, tidak stress

6 14.45 Aktif, warna gelap, cenderung di dasar 0,5 gr 0,5 gr

15.05 Pasif warna gelap, cenderung di dasar

Pasif, warna tubuh gelap, cenderung di


15.25
dasar

Pasif, warna lebih gelap, cenderung di


15.45
dalam

7 13.36 Pasif, warna tetap, cenderung ke bawah 2 gr 8 gr

13.56 Pasif, warna gelap, cenderung ke bawah


14.16 Aktif, warna gelap, cenderung ke bawah

14.36 Aktif, warna gelap, cenderung ke bawah

14.56 Aktif, warna gelap, cenderung ke bawah

15.16 Aktif, warna gelap, cenderung ke bawah

15.36 Aktif, warna gelap, cenderung ke bawah

13.43 Pasif, warna tetap, cenderung di dasar

14.03 Aktif, warna berubah biru, di dasar

14.23 Aktif, warna tetap, di dasar

8 14.43 Aktif, warna tetap, di dasar 5 gr 1 gr

15.03 Pasif, warna tetap, di tengah

15.23 Pasif, warna tetap, di tengah

15.43 Pasif, warna tetap, cenderung di tengah


BUKU KERJA PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AKUAKULTUR

RESPIRASI

NAMA :

NIM :

KELOMPOK :

NAMA ASISTEN :

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pernapasan adalah proses pengikatan oksigen (O2) dan

pengeluaran karbondioksida (CO2) oleh darah melalui permukaan alat

pernapasan. Oksigen sebagai bahan pernapasan dibutuhkan oleh sel untuk

berbagai reaksi metabolisme. Kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh

kemampuannya memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya melalui

proses tersebut (Mahyuddin, 2008).

Insang ikan menurut Saputra, et al. (2013), merupakan organ respirasi

utama yang bekerja dengan mekanisme difusi permukaan dari gas-gas respirasi

(oksigen dan karbondioksida) antara darah dan air. Oksigen yang terlarut dalam

air akan diabsorbsi ke dalam kapiler-kapiler insang dan difiksasi oleh hemoglobin

untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Pengeluaran karbondioksida

dari sel dan jaringan akan dilepaskan ke air di sekitar insang.

Proses respirasi ikan terdapat dua fase yaitu fase inspirasi dan fase

ekspirasi. Fase inspirasi dimulai dengan rongga mulut mula-mula membesar

karena insang bergerak ke samping akibat udara dalam mulut lebih kecil

daripada tekanan udara luar sehingga menyebabkan mulut terbuka dan air

masuk kedalam mulut. Fase ekspirasi ditandai dengan masuknya air ke rongga

mulut, kemudian celah mulut akan tertutup. Tutup insang akan kembali ke posisi

semula diikuti gerakan selaput ke samping, sehingga celah insang terbuka yang

meyebabkan air keluar serta terjadi pertukaran gas (Murtidjo et al., 2001).
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktikum ini adalah untuk mengamati dan

memahami pengaruh suhu (lingkungan) terhadap proses respirasi yang

dilakukan insang.

Tujuan dari praktikum ini adalah agar praktikan (mahasiswa) dapat

mengetahui pengaruh perlakuan suhu yang berbeda terhadap proses respirasi

pada ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi dilaksanakan

pada hari 2023 di Laboratorium Reproduksi dan melalui video conference Google

Meet.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Respirasi

Respirasi (pernapasan) adalah proses masuknya oksigen dengan cara

difusi ke dalam tubuh ikan melewati organ insang dan keluarnya CO2 ke

lingkungan perairan. Oksigen merupakan unsur terpenting bagi kelangsungan

hidup organisme. Kebutuhan oksigen dalam air harus tetap terjaga karena

kekurangan oksigen akan mengakibatkan biota yang dipelihara bersaing satu

sama lain untuk memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga ikan stres bahkan

menyebabkan kematian total (Sahetapy, 2013).

Oksigen dibutuhkan ikan untuk proses penguraian makanan dalam

tubuhnya dan semua komponen. Laju metabolisme berkaitan erat dengan

respirasi karena respirasi merupakan proses ekstraksi energi dari molekul

makanan yang bergantung pada adanya oksigen. Laju metabolisme biasanya

diukur dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi makhluk hidup persatuan

waktu. Hal ini memungkinkan terjadi karena oksidasi dari bahan makanan

memerlukan oksigen untuk menghasilkan energi yang dapat diketahui jumlahnya

juga, laju metabolismenya biasanya cukup diekspresikan dalam bentuk laju

konsumsi oksigen. Respirasi merupakan suatu proses perombakan bahan

makanan dengan menggunakan oksigen, sehingga diperoleh energi dan gas

CO2 . Energi yang dihasilkan dalam proses ini tidak langsung digunakan untuk

aktivitas sel dalam pembentukan ATP dari ADP dan H3PO4 (Akbulut, 2002).

Ikan bernapas menggunakan insang yang merupakan organ respirasi

pada ikan. Insang berfungsi dalam pertukaran gas, selain itu insang juga

berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, serta pengeluaran zat

sisa metabolisme yang mengandung nitrogen. Insang terletak diluar dan


berhubungan langsung dengan air sebagai media hidup ikan, maka organ inilah

yang pertama kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar (Solikhah

dan Widyaningrum, 2015).

2.2 Mekanisme Pemapasan Ikan


2.2.1 Fase Inspirasi

Fase inspirasi menurut Murtidjo (2001), merupakan fase pengambilan

oksigen dan air ke dalam insang. Mekanisme inspirasi adalah sebagai berikut:

tutup insang menutup, mulut terbuka. Hal itu mengakibatkan tekanan dalam

mulut lebih kecil daripada tekanan udara diluar dan air dari luar masuk ke dalam

rongga mulut.

2.2.2 Fase Ekspirasi

Fase ekspirasi adalah fase pengeluaran air dan gas karbondioksida. Air

masuk ke dalam rongga mulut, celah mulut menutup, tutup insang membuka,

sehingga tekanan di dalam rongga mulut lebih besar dan menyebabkan air

keluar melewati celah tutup insang yang akan menyentuh lembaran-lembaran

insang. Hal ini menyebabkan pertukaran gas dimana oksigen berdifusi ke dalam

kapiler darah, kemudian CO2 berdifusi dari darah ke dalam air. Pertukaran O2

dan CO2 pada ikan terjadi pada fase ekspirasi (Murtidjo, 2001).

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respirasi

Respirasi pada ikan dipengaruhi faktor sebagai berikut:

1. Faktor internal menurut Coche, et al. (1997), yaitu usia, spesies,

sexual maturity, ukuran, dan aktivitas ikan.

2. Faktor eksternal menurut Stoss (1983), yaitu suhu, kadar O2, kadar

CO2, pH, dan kepadatan.


2.4 Alat Pernapasan Tambahan

Rahardjo, et al. (2011), menyatakan bahwa alat tambahan pernapasan

pada ikan, yaitu:

1. Labirin

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan labirin yaitu

Gurami (Osphronemus goramy), Betok (Anabas testudineus) dan Sepat

(Trichogaster sp.).

2. Arborescent

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan arborescent

organ yaitu ikan lele (Clarias sp.).

3. Kulit

Contoh ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan melalui kulit

tubuhnya yaitu ikan glodok (Oxudercinae sp.).

2.5 Alur Respirasi pada Ikan

Sumber oksigen menurut Siagian dan Simarmata (2015), yaitu hasil

fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton, difusi oksigen di atmosfer, dan

arus. Alur pada respirasi pada ikan yakni air masuk melalui mulut dan

seterusnya mengalir melalui insang. Insang memiliki lembaran-lembaran halus

yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Pengikatan oksigen dan

pelepasan karbondioksida terjadi di insang. Oksigen dalam darah diedarkan ke

seluruh tubuh oleh nadi. Kondisi darah saat kehilangan oksigen, darah akan

berkumpul di pembuluh balik untuk kembali ke jantung. Kemudian jantung

memompakan darah ke insang lagi.


3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat dan Fungsinya

Alat yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi Respirasi adalah sebagai berikut.

 Heater masak :

 Stopwatch :

 Handtally counter :

 Ember :

 Seser sedang :

 Thermometer Hg :

 Kabel roll :

 Aerator set :

 Akuarium :

 Kamera digital :

 Cool box :

 Nampan :

 Toples 3 L :

3.1.2 Bahan dan Fungsinya

Bahan yang digunakan pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi

Respirasi adalah sebagai berikut.

 Ikan Mas (C. carpio) :

 Es batu :
 Plastik bening :

 Karet gelang :

 Kertas label :

 Tisu :

 Trash bag :

3.2 Skema Kerja

Toples 3L
-

- Diisi air sebanyak ¾ bagian


- Diisi air hingga penuh
- Disesuaikan suhu air dengan perlakuan
- Diukur suhu dengan thermometer Hg dalam toples
- Ditunggu media air sampai pada suhu perlakuan:
Meja 1 = 15°C
Meja 2 = 25°C
Meja 3 = 35°C
- Nila (Oreochromis niloticus)
1 Ekor Ikan

- Dimasukkan ke dalam toples


- Ditunggu selama 5 menit agar ikan beradaptasi
- Diukur DO awal (DO0) dengan DO meter
- Ditutup toples dengan plastik
- Dihitung bukaan operkulum ikan selama 10 menit dengan
handtally counter
- Diulangi sebanyak 3 kali
- Diukur DO akhir (DOt) dengan DO meter

Konsumsi DO =

Keterangan:
∆ DO = Perubahan DO
DO0 = DO awal
DOt = DO akhir

Hasil
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hasil

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi pengamatan

bukaan operculum mendapatkan hasil. Sampel ikan yang digunakan pada

praktikum ini adalah ikan wader. Hasil yang diperoleh kelompok 12 pada bukaan

operculum yaitu nihil karena ikannya mati saat dimasukkan pada air dengan suhu

30°C. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan dengan masing-

masing hasil yang berbeda. Rata-rata bukaan operculum pada ikan nila

kelompok 12 adalah 751. Kelompok 5 sebagai pembanding juga melakukan

pengamatan serupa menggunakan suhu 35°C. pengamatan dilakukan sebanyak

tiga kali dengan hasil yang berbeda. Rata-rata bukaan operculum pada ikan nila

kelompok 5 adalah 1338,67. Perbedaan hasil dari kedua kelompok disebabkan

oleh perbedaan suhu perairan.

Ikan wader menurut Hadiaty (2016), merupakan spesies ikan yang

banyak ditemukan di tiga lokasi utama di Indonesia Ikan wader sangar

membutuhkan keberadaan oksigen untuk proses respirasi. Kehadiran oksigen

dalam jumlah yang kurang dari cukup dapat menimbulkan stres pada ikan dan

bahkan menyebabkan disfungsi tubuh pada mereka. Kematian ikan bisa

disebabkan oleh penurunan kadar oksigen dalam lingkungan hidupnya, yang

merupakan faktor paling umum yang menyebabkan masalah kesehatan pada

ikan. Penurunan kadar oksigen ini bisa terjadi di media budidaya karena

kebutuhan oksigen oleh ikan melebihi pasokan oksigen yang tersedia di

lingkungan tersebut. Kekurangan oksigen dapat berujung pada gangguan

kesehatan serius hingga kematian pada populasi ikan yang sedang

dibudidayakan pada berbagai macam sistem akuakultur.


Respirasi pada ikan menurut Sun, et al. (2019), yaitu proses mengambil

masuk udara atau air melalui mulut, kemudian mengeluarkannya melalui insang.

Frekuensi respirasi ikan secara umum dipengaruhi oleh suhu perairan dan

memiliki dampak langsung terhadap metabolisme ikan. Perubahan suhu

lingkungan mempengaruhi laju metabolisme ikan serta kebutuhan oksigen

sehingga mengakibatkan perubahan dalam frekuensi pernapasan mereka ketika

suhu perairan rendah ikan cenderung memasuki keadaan istirahat dengan

frekuensi pernapasan yang rendah. Suhu perairan yang lebih tinggi dapat

membuat ikan lebih aktif dengan frekuensi pernapasan yang lebih tinggi.

Hubungan antara suhu perairan dan perilaku respirasi ikan menunjukkan adanya

adaptasi ikan terhadap perubahan lingkungan, yang pada gilirannya

memengaruhi pola aktivitas dan kebutuhan oksigen pada ikan.

Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur materi Respirasi pengamatan

bukaan operculum mendapatkan kesimpulan. Sampel ikan yang digunakan pada

praktikum ini adalah ikan wader. Hasil yang diperoleh kelompok 12 pada bukaan

operculum yaitu nihil karena ikannya mati saat dimasukkan pada air dengan suhu

30°C. Rata-rata bukaan operculum pada ikan nila kelompok 12 adalah 751.

Kelompok 5 sebagai pembanding juga melakukan pengamatan serupa

menggunakan suhu 35°C. Rata-rata bukaan operculum pada ikan nila kelompok

5 adalah 1338,67.
4.2 Analisis Grafik DO

Praktikum fisiologi hewan akuakultur pada analis grafik DO mendapatkan

hasil sebagai berikut. Pengamtan DO dilakukan pada air dengan suhu 30°C

dengan menggunakan ikan wader. Hasil pengamatan DO kelompok 12

memperoleh hasil yaitu berat ikan awal sebesar 12 gr. Pengukuran DO awal

didapatkan sebesar 7,16 mg/L dan DO akhir 4,43 mg/L, lalu dihitung konsumsi

DO menggunakan rumus dan didapatkan hasil sebesar 0,228 mg/L. Hasil

pengamatan DO kelompok 5 memperoleh hasil yaitu berat ikan awal sebesar 7

gr. Pengukuran DO awal didapatkan sebesar 6,43 mg/L dan DO akhir 5,63 mg/L,

lalu dihitung banyaknya konsumsi DO menggunakan rumus perhitungan DO

kemudian didapatkan hasil sebesar 0,111 mg/L.

4.3 Faktor Koreksi

Praktikum fisiologi hewan akuakultur materi respirasi telah berjalan

dengan baik dan lancar. Praktikkan yang kurang kondusif pada saat pelaksanaan

praktikum. menjadi salah satu koreksi yang harus dibenahi. Tim asisten telah

menyampaikan materi dengan baik. Kedisiplinan praktikkan harus diperbaiki

terutama dalam keterlambatan. Pemahaman praktikkan dalam skema kerja

harus ditingkatkan lagi ke depannya.


4.4 Manfaat di Bidang Perikanan

Praktikum fisiologi hewan akuakultur pada materi respirasi memiliki

manfaat di bidang perikanan sebagai berikut. Materi respirasi dapat bermanfaat

karena pembudidaya dapat mengetahui kondisi lingkungan yang optimal bagi

ikan terutama pada kondisi suhu yang mempengaruhi kadar oksigen.

Pembudidaya juga dapat mengetahui bagaimana memelihara ikan yang sesuai

dengan lingkungannya. Pembudidaya dapat mengetahui bagaimana efek

oksigen terlarut yang ada di perairan terhadap laju respirasi ikan. Pemahaman

mengenai respirasi dapat membantu pembudidaya agar dapat mengelola ikan

lebih baik lagi ke depannya.


5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat pada praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur

materi pewarnaan dan fototaksis sebagai berikut.

1. Respirasi (pernapasan) adalah proses masuknya oksigen dengan cara

difusi ke dalam tubuh ikan melewati organ insang dan keluarnya CO2 ke

lingkungan perairan.

2. Fase inspirasi adalah fase pengambilan oksigen dan air ke dalam insang.

3. Fase ekspirasi adalah fase pengeluaran air dan gas karbondioksida. Air

masuk ke dalam rongga mulut, celah mulut menutup, kemudian tutup

insang akan membuka.

4. Hasil yang diperoleh kelompok 12 pada bukaan operculum yaitu nihil

karena ikannya mati saat dimasukkan pada air dengan suhu 30°C.

5. Rata-rata bukaan operculum pada ikan nila kelompok 12 adalah 751.

5.2 Saran

Saran selama berjalannya Praktikum Fisiologi Hewan Akuakultur adalah

praktikan harus lebih menjaga sikap dengan tidak berkata kotor, tidak

membicarakan sesuatu di luar praktikum, dan tetap kondusif. Hafal dengan

skema kerja yang akan dilakukan agar tidak selalu bergantung pada asisten

praktikum. Praktikan harus menjaga alat dan bahan yang diberikan agar tidak

terjadi kerusakan alat laboratorium. Praktikan harus lebih siap atau prepare

sebelum jalannya praktikum agar nilai dari pretest maupun post-test bagus.
DAFTAR PUSTAKA

Akbulut, N. E. (2002). The plankton composition of Lake Mogan in Central


Anatolia, 27(1), 107-116.

Coche, A. G., Munir, J. F. & Laughlin, T. ( 1997). Management for Freshwater


Fish Culture: Ponds and Water Practices. Food and Agriculture
Organization of the United Nation. Rome. 233 hlm.

Mahyuddin, K. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya:


Jakarta. hlm 12.

Murtidjo, B. A. (2001). Beberapa Metode Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius:


Yogyakarta. 108 hlm.

Rahardjo, M. F., Sjafei, D. S., Affandi, R. & Sulistiono. (2011). Ikhtiologi. CV


Lubuk Agung: Bandung. 396 hlm.

Sahetapy, J. M. F. (2013). Pengaruh perbedaan volume air terhadap tingkat


konsumsi oksigen ikan nila (Oreochromis sp.). Jurnal Triton, 9(2), 127-
130.

Saputra, H. M., Marusin, N. & Santoso, P. (2013). Struktur histologis insang dan
kadar hemoglobin ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di danau
Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas
Andalas, 2(2), 138- 144.

Siagian, M. & Simarmata, A. H. 2015. Profil vertikal oksigen terlarut di Danau


Oxbow Pinang Dalam, Desa Buluh Cina-Siak Hulu, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Jurnal Akuatika, 6(1), 87-94.

Solikhah, T. & Widyaningrum, T. (2015). Pengaruh surfaktan terhadap


pertumbuhan dan histopatologi insang ikan nila Oreochromis niloticus)
sebagai materi pembelajaran siswa SMA kelas X. JUPEMASI-PBIO, 2(1),
248-255.

Stoss, J. (1983). Fish gamete preservation and spermatozoan physiology. In: W.


S. Hoar, D. J. Randall and E.M. Donaldson (Eds). Fish Physiology. 9B.
Academic Press, New York. https://doi.org/10.1016/S1546-
5098(08)60306-4
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi

 Dissolved Oxygen (DO)

Persiapan toples 2L dan diisi air Diukur suhu dengan thermometer hg


sebanyak ¾ bagian toples dalam toples

Ditunggu media air sampai pada suhu Ikan sampel ditimbang dan dicatat
perlakuan tergantung setiap meja berat tubuhnya

Ikan sampel dimasukkan ke dalam Diukur DO awal dengan DO meter


toples dan ditunggu selama 5 menit
untuk adaptasi
Ikan sampel dibiarkan di dalam toples Diukur DO akhir dengan DO meter
selama 30 menit

 Jumlah Bukaan Operkulum

Persiapan toples 2L dan diisi air Diukur suhu dengan thermometer hg


sebanyak ¾ bagian toples dalam toples

Ditunggu media air sampai pada suhu Ikan sampel dimasukkan ke dalam
perlakuan tergantung setiap meja toples dan ditunggu selama 5 menit
untuk adaptasi
Amati jumlah bukaan operkulum Hitung total jumlah bukaan operkulum
menggunakan handtally counter selama tiga kali pengulangan
selama 10 menit dengan tiga kali
pengulangan
Lampiran 2. Data Hasil Praktikum

a. Respirasi

 Jumlah Bukaan Operkulum

Ulangan Σ Bukaan Rata-


Meja
1 2 3 Operkulum Rata
1 765 1.206 1.292 3.263 1.087,67
2 1.890 891 1.000 3.781 1.260,33
3 1.521 1.339 1.156 4.016 1.338,67
4 0 0 0 0 0
5 560 736 1.028 2.324 774,66
6 743 661 849 2.253 751
7 870 1.212 2.528 4.610 1.152,5
8 0 0 0 0 0

 Dissolved Oxygen (DO)

Meja Perlakuan Berat tubuh DO0 (mg/L) DO0t DO


suhu (gr) (mg/L)
(mg/L)
1 25°C 18 10,04 4,30 0,32
2 30°C 10 844 3,11 0,173
3 35°C 7 6,43 5,63 0,111
4 40°C 6 12,28 10.67 0,268
5 25°C 13 6,82 4,50 0,178
6 30°C 12 7,16 4,43 0,228
7 35°C 17 4,78 2.07 0,15
8 40°C 5 4,03 4,54 0,02
Lampiran 3. Perhitungan

 Jumlah Bukaan Operkulum

MEJA 1 MEJA 2

MEJA 3 MEJA 4

MEJA 5 MEJA 6

MEJA 7 MEJA 8
 Dissolved Oxygen (DO)

MEJA 1 MEJA 2

0,173
0,32

MEJA 3 MEJA 4

0,11 0,268

MEJA 5 MEJA 6

0,178
0,228

MEJA 7 MEJA 8

0,15 0,02
Lampiran 4. Terminologi

Arborescent : Alat pernafasan tambahan pada ikan lele (Clarias sp.)

Aerob : Sebuah reaksi katabolisme yang memerlukan suasana


aerobik dengan proses keberadaan oksigen sangat
dibutuhkan yang menghasilkan energi dengan jumlah
yang besar

Dissolved Oxygen : Jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari
fotosintesis dan absorbs atmosfer

Fase ekspirasi : Keluarnya CO2 dari dalam tubuh

Fase inspirasi : Masuknya O2 dalam tubuh

Fitoplankton : Plankton berjenis tumbuhan yang mampu berfotsintesis


dan menghasilkan oksigen

Fotosintesis : Salah satu cara tumbuhan untuk menghasilkan makanan


satu energi.

Labirin : Alat pernafasan tambahan pada ikan berupa lipatan


epithelium

Metabolisme : Pertukaran zat antara suatu sel atau suatu organisme


secara keseluruhan dengan lingkungannya

Respirasi : Proses pertukaran O2 dan CO2 yang terjadi di alat


pernafasa

Anda mungkin juga menyukai