Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI PERIKANAN AKUAKULTUR

NAMA : EVELYN NANDA BERLIAN S.

NIM : 225080500111047

KELOMPOK :3

ASISTEN : ALDIA ATAA RAHMATIKA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2023
LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI PERIKANAN AKUAKULTUR

(SEKSUALITAS)

NAMA : EVELYN NANDA BERLIAN S.

NIM : 225080500111047

KELOMPOK :3

ASISTEN : ALDIA ATAA RAHMATIKA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spesies pada setiap ikan menurut Saranga, et al. (2021), memiliki sifat

morfologi yang dapat dimanfaatkan untuk membedakan ikan jantan dan ikan

betina dengan jelas, sehingga spesies demikian bersifat seksual dimorfisme.

Sistem penentuan jenis kelamin ikan digambarkan sangat beragam, pada sistem

perkawinan, sistem sensorik dan taktik reproduksi yang sudah berevolusi berkali-

kali melalui proses evolusi yang dilakukan. Penentuan ciri seksual yang diamati

pada setiap individu ikan terdiri dari ciri seksual primer dan ciri seksual sekunder.

Penampilan ciri seksual sekunder pada individu ikan ada yang bersifat permanen

dan bersifat sementara. Karakter morfometrik adalah bagian dari karakter

morfologi yang mempelajari ukuran (size) dan bentuk (shape) organisme secara

kuantitatif. Karakter morfometrik dapat dipelajari melalui dua metode, yaitu

metode morfometrik tradisional dan metode truss morphometrics. Metode truss

morphometrics sudah banyak dibuktikan mampu mengidentifikasi perbedaan

tanda kelamin sekunder (sexing) pada setiap spesies ikan yang umumnya

dimorphisme seksualnya belum dan atau tidak jelas, pada beberapa stadia

ukuran sebelum matang gonad.

Seksualitas ikan menurut Kalor (2020), dapat digunakan untuk

mengetahui ikan yang berkelamin jantan dan betina. Perbedaan tersebut dapat

dilihat melalui ciri seksual primer dan sekunder. Perbedaan jantan dan betina

melalui ciri seksual primer yaitu dengan melihat organ yang berhubungan dengan

sistem reproduksi ikan. Ikan dapat dikatakan jantan apabila dibedah maka organ
dalam nya terdapat testis dan salurannya yang berfungsi sebagai alat reproduksi

ikan jantan. Ikan dapat dikatakan betina ketika dibedah maka terdapat ovarium

dan salurannya yang berfungsi sebagai organ reproduksi ikan betina. Ciri

tersebut hanya dapat ditemukan di bagian dalam tubuh ikan, sedangkan ciri yang

tampak dari luar tubuh ikan disebut juga sebagai ciri seksual sekunder.

Ciri seksualitas ikan jantan dan betina menurut Latuconsina (2020), dapat

ditentukan dengan melihat kebiasaan seksual dari setiap individu ikan. Ciri

seksualitas ikan terbagi menjadi primer dan sekunder. Ciri seksualitas sekunder

ikan juga terbagi menjadi dua yakni dimorfisme dan dikromatisme. Seksualitas

sekunder ikan dapat dibedakan hanya dengan melihat bentuk tubuh bagian

luarnya saja. Umumnya ikan betina memiliki perut yang lebih besar atau buncit

dibandingkan dengan ikan jantan karena pada ikan betina terdapat alat seksual

yang ukurannya lebih besar dibandingkan ikan jantan. Setiap jenis ikan pada

umumnya memiliki ciri seksualitas sekunder yang berbeda beda tergantung

spesies dan habitat hidupnya di perairan.

Sistem penentuan jenis kelamin ikan digambarkan sangat beragam.

Sstem perkawinan, sistem sensorik dan taktik reproduksi yang sudah berevolusi

berkali-kali melalui proses evolusi. Penentuan ciri seksual yang diamati pada

setiap individu ikan terdiri dari ciri seksual primer dan ciri seksual sekunder.

Karakter morfometrik dapat dilihat menggunakan dua metode, yaitu metode

morfometrik tradisional dan metode truss morphometrics. Umumnya setiap

spesies ikan memiliki ciri-ciri seksual primer dan sekunder yang unik tergantung

pada habitat di mana ikan tersebut hidup di perairan.


1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud

Maksud dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur Materi Seksualitas

adalah:

1. Dapat mengetahui dalam bentuk makroskopis organ-organ baik secara

internal atau secara eksternal.

2. Mengetahui gambaran mengenai anatomi dan morfologi organ

seksualitas pada ikan.

1.2.2 Tujuan

Tujuan pada praktikum Biologi Perikanan Akuakultur Materi Seksualitas

ini adalah:

1. Dapat mempraktekkan dan mengetahui dalam bentuk makroskopis

organ-organ baik secara internal atau secara eksternal.

2. Dapat memahami gambaran secara anatomi dan morfologi organ

reproduksi ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Biologi Perikanan Akuakultur dilaksanakan pada Sabtu, 13 Mei

2023 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan


2.1.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila menurut Suyanto (2011), adalah ikan dari jenis tilapia yang

berhabitat di daerah perairan Sungai Nil Afrika. Ikan nila pertama kali

didatangkan di Indonesia sekitar tahun 1969, 1981, dan 1994. Asal dari ikan nila

tersebut beragam, yaitu berasal dari Taiwan, Thailand, dan Filipina. Beragamnya

asal habitat ikan nila menyebabkan munculnya karakteristik yang berbeda pula.

Salah satu hal yang menjadi ciri atau bahan pembanding antara jenis ikan nila

dengan ikan lainnya adalah dengan menggunakan klasifikasi dan morfologi yang

dimiliki ikan. Berikut adalah klasifikasi dari ikan nila (Oreochromis niloticus):

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Sub Klas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila menurut Setiawan, et al. (2020), merupakan ikan yang termasuk

dalam komoditas ikan yang banyak dikembangkan dipermintaan pasar. Ikan nila

bisa dibilang cukup tinggi peminatnya, hal ini dikarenakan rasa daging ikan nila

yang enak, harga yang relatif stabil serta pemeliharaan ikan nila yang mudah.

Morfologi pada ikan nila yaitu ikan nila mempunyai bentuk tubuh yang pipih atau
compressed. Ikan nila memiliki tipe atau posisi mulut terletak di ujung atau bisa

disebut terminal. Sirip ikan nila yaitu berupa garis-garis vertikal berwarna hitam

pada sirip, ekor, punggung dan dubur. Bagian sirip ikan nila yakni caudal atau

sirip ekor yang berbentuk membulat berwarna merah dan biasa digunakan

sebagai indikasi kematangan gonad. Ikan nila disajikan pada Gambar 1.

Sumber: Djunaedi et al. 2016


Gambar 1. Ikan Nila

2.1.2 Ikan Lemon (Labidochromis caeruleus)

Ikan lemon menurut Karslı, et al. (2021), merupakan ikan yang berasal

dari habitat alami perairan Danau Malawi Timur Afrika. Ikan lemon memiliki

kemampuan reproduksi yang mudah sehingga ikan lemon dapat dengan mudah

beradaptasi dan bereproduksi di luar habitat alaminya. Ikan lemon dapat

dibedakan antara kelamin jantan dan betina hanya dengan melihat ukuran dari

ikan dan kecerahan dari warnanya. Ikan lemon dapat dibedakan dengan ikan

lainnya selain dari karakteristik dan ciri khusus adalah dapat menggunakan

klasifikasi dari ikan. Berikut klasifikasi dari ikan lemon (Labidochromis caeruleus):

Famili : Cichlidae

Ordo : Perciformes

Genus : Labidochromis

Spesies : Labidochromis caeruleus


Morfologi ikan lemon (Labidochromis caeruleus) menurut Polat dan

Yagcilar (2021), memiliki ciri morfologi warna tubuh yang khas yaitu berwarna

kuning. Ikan lemon memiliki satu sirip punggung, dimana bagian depan sirip

punggung merupakan sirip keras, sedangkan bagian belakang sirip punggung

merupakan sirip keras melunak. Ikan lemon jantan memiliki tubuh yang berwarna

hitam pada sirip punggung, sirip ventral, dan sirip analnya. Ikan lemon betina

seluruh tubuhnya berwarna kuning termasuk pada sirip punggung, sirip ventral,

dan sirip analnya. Panjang tubuh ikan lemon dewasa berkisar sekitar

10 hingga 12 cm. Ikan lemon disajikan pada Gambar 2.

Sumber: Fishbase, 2023


Gambar 2. Ikan Lemon

2.1.3 Ikan Cupang (Betta splendens)

Bentuk tubuh ikan cupang menurut Abidin dan Puspitasari (2018),

memiliki tubuh yang indah juga ditambah dengan uniknya sirip yang berwarna-

warni. Ikan cupang selain dari warnanya, juga mempunyai karakter unik karena

cenderung bersifat agresif untuk mempertahankan wilayahnya. Ikan cupang

memiliki labirin sebagai alat pernapasan tambahan, sehingga dapat hidup pada

perairan yang tenang karena dapat mengambil udara atau oksigen langsung ke

permukaan air. Ikan cupang dapat dibedakan dengan ikan lainnya dari segi

karakteristik dan ciri khusus, dapat juga dibedakan dengan klasifikasi.


Berikut adalah klasifikasi dari ikan cupang (Betta splendens):

Filum : Chordata

Subfilum : Craeniata

Kelas : Osteichthyes

Subkelas : Actinopterygii

Ordo : Teleostei

Subordo : Percomorphoidei

Famili : Osphronamidae

Subfamili : Macropodusinae

Genus : Betta

Spesies : Betta splendens

Ikan cupang menurut Rachmawati, et al. (2016), merupakan ikan hias

yang memiliki berbagai macam bentuk terutama pada ekornya, seperti tipe

mahkota (crown tail), ekor penuh (full tail) dan slayer. Ikan hias ini memiliki

perbedaan morfologi antara ikan cupang jantan dan ikan cupang betina. Ikan

cupang jantan mempunyai keunggulan dari morfologinya dibandingkan ikan

cupang betina. Ikan cupang jantan memiliki warna tubuh yang cerah dan

menarik, sedangkan ikan cupang betina memiliki warna tubuh yang kurang

menarik. Ikan cupang jantan memiliki bentuk perut yang lebih ramping,

sedangkan ikan cupang betina memiliki bentuk perut yang gemuk. Ikan cupang

jantan memiliki sirip ekor dan sirip anal yang panjang, sedangkan ikan cupang

betina memiliki sirip ekor dan sirip anal yang lebih pendek. Perbedaan morfologi

tersebut yang menyebabkan ikan jantan lebih banyak disukai oleh para pecinta

ikan hias. Ikan cupang disajikan pada Gambar 3.


Sumber: Fishbase, 2023
Gambar 3. Ikan Cupang

2.1.4 Ikan Pelati Pedang (Xyphophorus helleri)

Ikan pelati pedang menurut Rahayu, et al. (2019), merupakan ikan

introduksi dengan karakteristik berukuran kecil, live-bearers. Dimorfisme seksual

dari ikan pelati pedang dapat dilihat dari segi ukuran tubuh, pola warna dan

struktur gonopodium atau digunakan sebagai ciri diagnostik pada ikan jantan.

Dimorfisme seksual ikan pelati pedang betina dilihat dari segi ukuran tubuh dan

pola warna, serta memiliki sisik sikloid. Ikan ini berperan sebagai pengontrol

perkembangan nyamuk malaria dan model pembelajaran biologi. Ciri khusus ikan

pelati pedang dapat dibedakan dengan jelas melalui klasifikasinya. Berikut

adalah klasifikasikan dari ikan pelati pedang (Xiphophorus hellerii) sebagai

berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Cyprinodontiformes

Keluarga : Poecillidae

Subfamili : Poecillinae

Marga : Xiphophorus

Spesies : Xiphophorus hellerii

Ikan pelati pedang menurut Munandar (2021), pada umumnya

mempunyai warna merah. Seiring perkembangan zaman semakin banyak faktor-


faktor yang menyebabkan ikan ini bermutasi. Ikan dengan warna dan bentuk

yang beragam disebabkan oleh ikan yang bermutasi. Ikan pelati pedang jantan

mempunyai ciri-ciri yaitu mempunyai tonjolan sirip pada bagian belakang sirip

perut yang panjang dan mempunyai warna yang lebih cerah daripada sirip

punggungnya. Kepala ikan pelati pedang berukuran besar dan menyerupai

pedang, ekor ikan ini juga mempunyai ukuran panjang seperti pedang. Ikan pelati

pedang betina mempunyai sirip dan ekor yang berbentuk menyerupai kipas dan

lebih tebal dari sirip ikan pelati pedang jantan, kepala berbentuk agak runcing.

Warna ikan pelati pedang betina biasanya kurang cerah dibanding ikan pelati

pedang jantan dan memiliki sirip punggung yang monoton. Ikan pelati pedang

disajikan pada Gambar 4.

Sumber: Liotta, 2019


Gambar 4. Ikan Pelati Pedang

2.1.5 Ikan Neon Tetra (Paracheirodon innesi)

Ikan neon menurut Kabir dan Hawkeswood (2021), merupakan salah satu

jenis ikan hias yang banyak diminati oleh masyarakat pecinta ikan hias. Ikan

neon memiliki beberapa keunikan yang menjadi daya tarik tersendiri. Beberapa

keunikan yang dimiliki ikan neon yaitu mulai dari ukuran yang kecil, memiliki garis

berwarna neon pada tubuhnya, dan mudah untuk penyesuaian habitatnya. Ikan

neon dapat dibedakan dengan ikan lainnya yang memiliki garis tubuh dengan

cara klasifikasi.
Klasifikasi ikan neon tetra (Paracheirodon innesi) menurut Kabir dan

Hawkeswood (2021), adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Actinopterygii

Ordo : Characiformes

Famili : Characidae

Genus : Paracheirodon

Spesies : Paracheirodon innesi

Morfologi ikan neon tetra menurut Romano dan Stefanini (2021),

menunjukkan bahwa ikan neon tetra memiliki memiliki warna mencolok dan

sangat mudah dikenali. Ikan neon tetra memiliki garis lateral berwarna biru

seperti neon dan area berwarna merah di area ventral. Ikan neon tetra jantan

bergerak lebih aktif dibandingkan dengan ikan neon tetra betina. Perbedaan

antara ikan neon tetra betina dan jantan dapat dilihat dari bentuk perut ikan neon

betina yang lebih besar dibandingkan perut ikan neon jantan. Ikan neon tetra

memiliki tubuh yang kuat serta aktif terutama pada ikan neon tetra jantan. Ikan

neon tetra disajikan pada Gambar 5.

Sumber: Fishbase, 2023


Gambar 5. Ikan Neon Tetra
2.2 Pengertian Seksualitas

Seksualitas menurut Nasution (2017), adalah ilmu yang mempelajari

tentang reproduksi ikan, dimana ikan adalah makhluk hidup yang bereproduksi

secara seksual. Pengetahuan tentang reproduksi ikan memilki fungsi untuk

membedakan jenis kelamin antara ikan jantan dan ikan betina. Ikan yang bersifat

heteroseksual yaitu jenis kelamin ikan jantan dan betina terdapat pada individu

yang berbeda. Ikan yang bersifat hermafrodit yaitu jika dalam satu individu

terdapat dua jenis kelamin. Organ reproduksi pada ikan terdapat dua jenis, yaitu

ikan jantan memiliki organ testis yang dapat menghasilkan spermatozoa dan ikan

betina memiiki organ ovarium yang dapat menghasilkan telur.

Seksualitas pada ikan menurut Tan, et al. (2019), terdapat beberapa cara

dalam membedakan individu ikan jantan dan ikan betina. Seksualitas pada ikan

dapat dilihat perbedaannya melalui organ reproduksi ikan. Organ reproduksi

mempunyai ciri yang berbeda antara ikan jantan dan ikan betina. Organ

reproduksi pada ikan jantan memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding organ

reproduksi ikan betina. Morfologi tubuh antara ikan jantan dan ikan betina juga

dapat dilakukan pengamatan untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina.

Perbedaan secara morfologi dapat dilihat dari tubuh ikan jantan yang lebih

ramping dari tubuh ikan betina.

2.3 Sifat Seksualitas

Sifat seksualitas menurut Hasnidar (2019), didefinisikan sebagai sifat atau

karakteristik ikan yang dapat dilihat dari warna tubuh pada ikan jantan dan ikan

betina. Sifat seksual pada ikan yang dilihat dari warna tubuhnya disebut

dikromatisme. Dikromatisme seksual yaitu terdapat perbedaan ikan jantan dan

ikan betina dari warna tubuhnya. Ikan jantan memiliki warna tubuh yang lebih
cerah, sedangkan ikan betina memiliki warna tubuh yang lebih pucat.

Dikromatisme berbeda dengan dimorfisme yang melihat karakteristik seksual

melalui panjang ikan, berat ikan, dan bentuk ikan. Sifat seksualitas dimorfisme

dapat dilihat berdasarkan morfologinya, dimana ikan jantan memiliki bentuk

tubuh yang lebih ramping dibandingkan ikan betina dan sirip ikan jantan lebih

panjang dibandingkan sirip ikan betina yang cenderung lebih pendek.

Sifat seksualitas menurut Manangkalangi, et al. (2018), pada ikan dapat

diamati atau dilihat dari morfologinya seperti berat ikan, bentuk ikan, panjang

ikan dan lainnya. Sifat seksualitas yang dilihat dari morfologi ikan disebut

dimorfisme. Karakteristik dimorfisme seksual pada ikan ditunjukkan dari panjang

tubuh ikan jantan dan ikan betina. Ikan jantan memiliki tubuh yang lebih panjang

dibandingkan tubuh ikan betina. Laju pertumbuhan tubuh pada ikan jantan lebih

cepat dibandingkan pada ikan betina. Karakteristik ini menilai proporsi panjang

tubuh terhadap panjang baku yang lebih besar.

2.4 Macam Seksualitas

Pengamatan seksualitas menurut Ridho dan Patriono (2016), pada ikan

betina dengan memperhatikan bentuk, ukuran panjang, warna, dan kehalusan,

dalam pengisian ovarium pada rongga tubuh ikan betina. Amati ovarium yang

terisi dalam rongga tubuh dan juga ukuran, bentuk dan warna pada telur di

ovarium pada ikan betina. Ikan jantan memiliki kesamaan pengamatan dengan

ikan betina. Perbedaan diantara keduanya yaitu pengisian testis dalam rongga

tubuh serta keluar atau tidaknya cairan dari testis. Individu ikan dikatakan

hermafrodit apabila dalam tubuhnya terdapat jaringan ovarium sebagai penentu

individu betina dan jaringan testis sebagai penentu individu jantan.

Penentu jenis kelamin gonokhorisme menurut Brule, et al. (2022), pada

ikan dikendalikan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Pembuahan pada
gen menentukan jenis kelamin ikan yang umumnya terletak dibagian seksual.

Faktor lingkungan juga menentukan jenis kelamin setelah adanya pembuahan,

dimana suhu selama periode kritis sensitivitas sel mempengaruhi embrio atau

larva. Beberapa spesies perkembangan embrio dan larva dipengaruhi oleh

pengaruh lingkungan dari faktor eksoten dan pengaruh suhu. Ikan spesies

gonokhorisme termosensitif proporsi ikan jantan meningkat dengan suhu yang

lebih tinggi dibanding ikan betina, sehingga menghasilkan ketidakseimbangan

dalam rasio jenis kelamin populasi.

2.5 Perbedaan Jenis Kelamin


2.5.1 Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Ciri Seksualitas Primer

Jenis kelamin berdasarkan ciri seksualitas primer menurut Yonarta, et al.

(2023), dapat dilihat dari ukuran ovarium maupun testis. Seksualitas primer pada

betina memiliki ukuran ovarium sangat kecil, halus, butiran telur masih belum

bisa terlihat dan memiliki warna bening kekuningan ketika masa TKG 1. Tahap

TKG 2 ukuran ovarium pada betina relatif lebih besar daripada sebelumnya di

masa TKG 1, tekstur sedikit kasar, butiran telur sudah sedikit terlihat dan

berwarna kuning muda. Seksualitas primer pada jantan mempunyai ukuran testis

yang sangat kecil, tekstur yang halus, terlihat seperti benang dan memiliki warna

bening keputihan ketika tahap TKG 1. Ukuran testis pada tahap TKG 2 relatif

lebih besar dan lebih jelas dibanding tahap TKG sebelumnya dan tahap ini

memiliki warna putih.

Perbedaan jenis kelamin berdasarkan seksualitas primer menurut Styga

dan Welsh (2021), dapat dilihat melalui perbedaan alat kelamin jantan dan

betina. Ikan betina memiliki tiga lubang, dua lubang berfungsi sebagai tempat

keluarnya kotoran dan urin sedangkan lubang yang ketiga digunakan untuk

mengeluarkan sel telur. Ikan betina memiliki anal sheath yang merupakan lipatan
kecil yang menutupi beberapa bagiandari sirip anal yang pada beberapa spesies

ketika dalam masa pemijahan akan melebar membentuk sebuah urogenital

pouch. Urogenital pouch berfungsi untuk membantu ikan betina dalam

melepaskan dan meletakkan telur secara tepat sebelum pembuahan eksternal

oleh ikan jantan. Alat kelamin jantan disebut papilla yang berfungsi untuk

mengeluarkan sperma. Perbedaan alat kelamin antara jantan dan betina juga

dapat dilihat dari bentuknya, alat kelamin ikan jantan berbentuk tonjolan

sedangkan alat kelamin ikan betina berbentuk bulat.

2.5.2 Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Ciri Seksualitas Sekunder

Ciri seksual sekunder menurut Maftuch, et al. (2022), merupakan salah

satu cara agar dapat membedakan ikan jantan dan ikan betina. Cara mengetahui

jenis kelamin ikan melalui ciri seksual sekunder adalah melihat bentuk luar dari

tubuh ikan. Umumnya ciri seksual sekunder pada ikan dibedakan menjadi dua,

yaitu dimorfisme dan dikromatisme. Ciri dimorfisme adalah morfologi setiap

individu ikan yang dapat digunakan sebagai cara untuk membedakan ikan jantan

dan betina seperti bentuk dan ukuran tubuhnya. Ciri dikromatisme adalah warna

tubuh yang dimiliki oleh setiap individu ikan, pada dasarnya kelamin ikan jantan

dan ikan betina dapat dilihat melalui warnanya, karena warna tubuh yang dimiliki

ikan jantan dan betina memiliki perbedaan seperti motif maupun konsentrasi

warnanya. Ciri tersebut menunjukkan bahwa kita dapat dengan mudah untuk

menentukan ikan jantan dan ikan betina karena hanya dengan melihat

morfologinya saja.

Perbedaan seksual sekunder menurut Iskandar, et al. (2022), dapat

ditinjau melalui analisis morfologi antara ikan jantan dan betina. Perbedaan yang

dapat terlihat dengan jelas adalah melalui ukuran tubuh ikan jantan dan betina.

Ukuran ikan jantan lebih ramping dibandingkan tubuh ikan betina yang lebih
besar. Perbedaan tubuh dapat menjadi petunjuk awal untuk mengidentifikasi

jenis kelamin ikan. Perbedaan tubuh antara Ikan jantan dan betina dapat dilihat

dari bentuk perutnya, ikan jantan memiliki perut ramping dibandingkan ikan

betina, dan ikan betina memiliki bentuk perut lebih gendut. Perbedaan seksual

ikan tidak hanya dilihat dari bentuk saja, ikan jantan dan betina memiliki

perbedaan jumlah lubang pada tubuhnya. Ikan jantan hanya memiliki dua lubang

yaitu lubang urogenital dan lubang anal pada tubuhnya. Pada tubuh ikan betina

terdapat tiga lubang yaitu lubang ureter, genital, dan anal.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., & Puspitasari, H. P. (2018). Mina Bisnis Ikan Cupang: Teori dan
Aplikasi. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Brulé, T., Renán, X., & Colás-Marrufo, T. (2022). Potential Impact of Climate
Change on Fish Reproductive Phenology: A Case Study in Gonochoric
and Hermaphrodite Commercially Important Species from the Southern
Gulf of Mexico. Fishes, 7(4), 156.
https://doi.org/10.3390/fishes7040156

Djunaedi, A., Pribadi, R., Hartati, R., Redjeki, S., Astuti, R. W., & Septiarani, B.
(2016). Pertumbuhan Ikan Nila Larasati (Oreochromis niloticus) di
Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan dan Padat Penebaran yang
Berbeda. Jurnal Kelautan Tropis, 19(2), 131-142.
https://doi.org/10.14710/jkt.v19i2.840

Fishbase. (2023). Diambil dari https://fishbase.mnhn.fr/summary/10691 Diakses


pada tanggal 19 April Jam 20.00 WIB

Fishbase. (2023). Diambil dari https://www.fishbase.se/summary/2327. Diakses


pada tanggal 19 April Jam 10.19 WIB

Fishbase. (2023). Diambil dari https://www.fishbase.se/summary/4768 Diakses


pada tanggal 19 April Jam 20.30 WIB

Hasnidar, H. (2019). Aspek Biologi Reproduksi Ikan Molly, Poecilia latipinna


(Lesueur 1821) di Tambak Bosowa Kabupaten Maros. Jurnal Iktiologi
Indonesia, 19(3), 375-390.
https://doi.org/10.32491/jii.v19i3.503

Iskandar, A., Carman, O., Darmawangsa, G. M., & Hendriana, A. (2022). Aspek
Manajerial Teknis Budidaya Ikan Botia India Botia lohachata untuk
Meningkatkan Performa Produksi Benih. Techno-Fish, 6(2), 83-99.

Kabir, A., & Hawkeswood, T. J. (2021). Identification and Future Prospect of


Some Ornamental Fishes in Bangladesh. Calodema, 847, 1-6.

Kalor, J. D. (2020). Iktiologi. Yogyakarta: Samudra Biru.

Karslı, Z., Şahin, D., Öz, M., Öz, Ü., & Aral, O. (2021). The Effect of Dietary
Supplementation of 17α-Methyltestosterone and 17β-Estradiol Hormones
on Growth, Sex Conversion and Reproduction in Electric Yellow Cichlid
(Labidochromis caeruleus). Pakistan Journal of Zoology, 54(1), 1-6.
https://doi.org/10.17582/journal.pjz/20210105110138

Latuconsina, H. (2020). Ekologi Ikan Perairan Tropis Biodiversitas, Adaptasi,


Ancaman dan Pengelolaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Liotta, M. N., Abbott, J. K., Rios-Cardenas, O., & Morris, M. R. (2019). Tactical
Dimorphism: The Interplay Between Body Shape and Mating Behaviour in
the Swordtail Xiphophorus multilineatus (Cyprinodontiformes: Poeciliidae).
Biological Journal of the Linnean Society, 127(2), 337-350.
https://doi.org/10.1093/biolinnean/blz053

Maftuch, Fariedah, F., Suprastyani, H., Yuwanita, R., Dailami, M., Widyawati,
Y.,Widodo, M. S., Supriatin, F. E., Budianto., A’yunin, Q., Fakhri, M.,
Sanoesi, E. (2021). Dasar-Dasar Akuakultur. Malang: Media Nusa
Creative (MNC Publishing).

Manangkalangi, E., Leatemia, S. P., Sembel, L., Lefaan, P. T., Sala, R., &
Rahardjo, M. F. (2018). Pertumbuhan, Umur, dan Dimorfisme Seksual
Ikan Pelangi Arfak, Melanotaenia Arfakensis Allen, 1990 di Sistem Sungai
Prafi, Manokwari, Papua Barat. VOGELKOP: Jurnal Biologi, 1(2), 66-75.
https://doi.org/10.30862/vogelkopjbio.v1i2.52

Munandar, H. (2021). Pengaruh Pemberian Jenis Pakan Komersial Berbeda


dengan Penambahan Vitamin E terhadap Pemijahan dan Pembesaran
Ikan Plati Pedang (Xiphophorus maculatus). Arwana: Jurnal Ilmiah
Program Studi Perairan, 3(2), 115-124.
https://doi.org/10.51179/jipsbp.v3i2.671

Nasution, S. H. (2017). Karakteristik Reproduksi Ikan Endemik Rainbow


Selebensis (Telmatherina cerebensis Boulenger) dl Danau Towuti. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia, 11(2), 29-37.
https://doi.org/10.15578/jppi.11.2.2005.29-37

Polat, C., & Yağcilar, Ç. (2021). The Effects of Feeding Frequencıes on The
Growth Performance and Life Rate in Electric Yellow Fish Fry
(Labidochromıs caeruleus). Journal of Tekirdag Agricultural Faculty, 18
(3), 578-585.

Rachmawati, D., Basuki, F., & Yuniarti, T. (2016). Pengaruh Pemberian Tepung
Testis Sapi dengan Dosis yang Berbeda Terhadap Keberhasilan
Jantanisasi pada Ikan Cupang (Betta sp.). Journal of Aquaculture
Management and Technology, 5(1), 130-136.

Rahayu, D. A., Nugroho, E. D., & Listyorini, D. (2019). Studi Morfologi dan
Venetik Taksonomi Ikan Introduksi Khas Telaga Sari, Pasuruan. Borneo
Journal of Biology Education (BJBE), 1(1), 18-33.
https://doi.org/10.35334/bjbe.v1i1.958

Ridho, M. R., & Patriono, E. (2016). Aspek Reproduksi Ikan Kakap Putih (Lates
calcarifer Block) di Perairan Terusan dalam Kawasan Taman Nasional
Sembilang Pesisir Kabupaten Banyuasin. Jurnal Penelitian Sains, 18(1),
1-7.

Romano, D., & Stefanini, C. (2021). Any Colour You Like: Using Animal-Robot
Interaction to Unravel Mechanisms Promoting Phenotypically
Heterogeneous Fish Aggregations. In ALIFE 2022: The 2022 Conference
on Artificial Life,1-6.
Saranga, R., Arifin, M. Z., Hariyoto, F. D., Putri, E. T., & Ely, A. J. (2021).
Karakteristik Organ Seksual Sekunder Ikan Tude Batu (Selar boops) dari
Perairan Bitung. Jurnal Bluefin Fisheries, 3(1), 1-14.
https://doi.org/10.15578/jbf.v3i1.99

Setiawan, D. G. E., & Hamzah, S. N. (2020). Pemberdayaan Ekonomi


Masyarakat Pesisir Danau Limboto Melalui Pengolahan Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) Menjadi Produk Unggulan Kkn-Ppm. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 26(4), 266-270.
https://doi.org/10.24114/jpkm.v26i4.19559

Styga, J. M., & Welsh, D. P. (2021). Spawning Substrate Shift Associated with
the Evolution of a Female Sexual Characteristic in a Family of Fishes.
Biological Journal of the Linnean Society, 133(1), 155-165.
https://doi.org/10.1093/biolinnean/blab017

Suyanto, S. R. (2011). Pembenihan dan Pembesaran Nila. Jakarta:


PT Niaga Swadaya.

Tan, B. L., Ching, F. F., & Senoo, S. (2019). Body Size and Morphological
Characteristics in Sex Determination of Humphead Wrasse Cheilinus
undulatus in Captivity. Journal of Physics: Conference Series, 1358, 1-11.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/1358/1/012010

Yonarta, D., Tanbiyaskur, T., Syaifudin, M., Sari, DI, & Sanjaya, R. (2023).
Pematangan Gonad Calon Induk Ikan Selincah (Belontia hasselti Cuvier,
1831) dengan Tingkat Kepadatan Berbeda di Embung Sriwijaya. Jurnal
Sumberdaya Akuatik Indopasifik , 7 (1), 23-32.
https://doi.org/10.46252/jsai-fpik-unipa.2023.Vol.7.No.1.278
LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI PERIKANAN AKUAKULTUR

(TINGKAT KEMATANGAN GONAD)

NAMA : EVELYN NANDA BERLIAN S.

NIM : 225080500111047

KELOMPOK :3

ASISTEN : ALDIA ATAA RAHMATIKA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkat Kematangan Gonad (TKG) menurut Setiawati dan Melianawati

(2020) merupakan suatu parameter dasar yang sangat penting untuk diketahui

bagi para pembudidaya sebagai penanda bahwa reproduksi sudah matang

dalam suatu populasi ikan pada perairan. TKG adalah suatu metode atau

prosedur dari proses perkembangan gonad ketika sebelum memijah dan

sesudah ikan memijah. Hasil metabolisme dari ikan sebagian besar akan

digunakan untuk perkembangan kematangan gonad. Tingkat kematangan gonad

pada suatu ikan dilakukan sebelum pemijahan agar dapat menghasilkan kualitas

benih yang memiliki kualitas tinggi. Tingkat kematangan gonad pada tiap jenis

ikan memiliki waktu yang berbeda-beda.

Faktor tingkat kematangan gonad menurut Desrita, et al. (2020),

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor utamanya adalah ukuran induk

(panjang dan berat), umur, lingkungan perairan dan pakan dengan nutrisi yang

tinggi. Nutrisi yang tinggi mempengaruhi pertumbuhan, sistem reproduksi dan

pematangan gonad. TKG apabila memiliki kecenderungan yang tinggi maka

panjang dan berat tubuh dari ikan juga akan semakin tinggi. Berat dan panjang

ikan tidak selalu berbanding lurus dengan TKG, pada spesies tertentu panjang

dan berat ikan yang sama tidak mempunyai TKG yang sama. Penyebab

terjadinya ketidaksamaan antara TKG dengan panjang dan berat ditentukan oleh

habitat serta kondisi lingkungan dimana ikan tersebut hidup dan berkembang.

Faktor lainnya adalah mudah tidaknya ketersediaan makanan dalam suatu


perairan, karena makanan sangat penting bagi suatu populasi ikan, suhu pada

perairan, salinitas, dan kecepatan pertumbuhan ikan itu sendiri.

Perbandingan panjang dan berat ikan terhadap berat gonad menurut

pernyataan Ibrahim, et al. (2018), digunakan sebagai salah satu parameter

dalam menentukan tingkat kematangan gonad (TKG). Perbandingan panjang

dan berat ikan terhadap berat gonad ada GSI (Gonado somatic index) dan GI

(Gonado index). GSI diukur berdasarkan perbandingan bobot tubuh dan berat

gonad, sementara GI diukur berdasarkan panjang ikan dan berat gonad. Gonado

somatic index sendiri dapat digunakan untuk memperkirakan waktu pemijahan

ikan. Pengamatan nilai GSI biasa dilakukan sebanyak dua kali pada saat awal

dan akhir pengamatan.

Pemahaman tentang Tingkat Kematangan Gonad sangat penting bagi

pembudidaya karena dapat menjadi indikator matangnya reproduksi pada

populasi ikan di perairan. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) merupakan

prosedur untuk memantau perkembangan gonad sebelum dan setelah

pemijahan, di mana sebagian besar metabolisme ikan digunakan untuk proses

ini. Tingkat kematangan Gonad (TKG) cenderung berkaitan dengan panjang dan

berat tubuh yang tinggi pada ikan pada spesies tertentu. Panjang dan berat yang

sama tidak selalu sejalan dengan TKG karena perbedaan kondisi lingkungan di

habitat ikan. Indeks yang digunakan untuk membandingkan panjang dan berat

ikan dengan berat gonad yaitu Gonado Somatic Index (GSI) yang mengukur

perbandingan bobot tubuh dan berat gonad, dan Gonado Index (GI) yang

mengukur perbandingan panjang ikan dan berat gonad.

1.2 Maksud dan Tujuan


1.2.1 Maksud
Maksud dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Tingkat

Kematangan Gonad adalah:

1. Untuk mengetahui secara makroskopis organ reproduksi ikan secara

internal.

2. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi organ seks primer dari ikan, baik

dari bentuk maupun perkembangan gonad.

1.2.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Tingkat

Kematangan Gonad adalah:

1. Mampu mendemonstrasikan secara makroskopis organ reproduksi ikan.

2. Mampu mengidentifikasi organ seks primer dan mampu menentukan

tingkat kematangan gonad.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Biologi Perikanan Akuakultur dilaksanakan pada Sabtu, 13 Mei

2023 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Klasifikasi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Arfiati, et al. (2022),

termasuk dalam filum Chordata, didefinisikan sebagai hewan dengan notochords

atau vertebrata. Chordata berasal dari bahasa Yunani dan dia terdiri dari dua

kata, notor yang berarti tulang belakang dan chorde yang berarti tali. Klasifikasi

ikan nila adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Ordo : Percomorphi

Sub-ordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Mardiyah, et al.

(2023), bahwa bagian punggung ikan nila lebih tinggi dengan tubuh pipih bulat.

Sirip pada ikan nila terdapat lima buah yang terdiri dari satu sirip ekor, sepasang

sirip anal, sepasang sirip perut, sepasang sirip dorsal, dan satu sirip punggung.

Garis lurus (vertikal) terdapat pada sirip ekor dan permukaan tubuh. Garis lurus

memanjang pada ikan nila terdapat di sirip punggung. Pergerakkan ikan nila di

perairan menggunakan ekor, sedangkan penutup insang, sirip dada, dan sirip

perut digunakan sebagai penunjang badan ikan nila. Ikan nila disajikan pada

Gambar 1.
Sumber: Vajargah, 2021
Gambar 1. Ikan Nila

2.2 Tahap dan Gambar Perkembangan Gonad

Tahap perkembangan testis ikan jantan atau disebut dengan

spermatogenesis menurut Tamsil, et al. (2019), yaitu tahapan perkembangan

testis ikan dibagi menjadi lima tahapan. Tahap pertama yaitu spermatogonia,

tahap ini terjadi proses pembentukan sel sperma yang paling awal. Sel-sel

germinal aktif membentuk spermatogonia hampir di seluruh tubulus. Kebanyakan

sel spermatogonia mempunyai sebuah nukleus yang bentuknya tidak beraturan

dengan membran kista yang tidak jelas kelihatan. Nukleus mengandung granula-

granula berwarna terang dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi, serta

mempunyai sebuah nukleolus. Tahap selanjutnya spermatosit primer, proses

akhir spermatogonia akan tumbuh dan membelah menjadi spermatosit primer.

Membran kista spermatosit primer terlihat jelas dan setiap kista mengandung

banyak sel spermatosit primer. Spermatosit primer mempunyai nukleus

berbentuk bola dan mengandung granula-granula berwarna gelap hasil dari

pembelahan sel spermatogonia. Spermatosit primer akan membelah secara

mitosis menjadi dua sel yang lebih kecil menjadi spermatosit sekunder. Ukuran

spermatosit sekunder lebih kecil dibanding spermatosit primer dan nukleusnya

mengandung kromatin yang tebal. Spermatosit sekunder akan membelah lagi

menjadi sel yang lebih kecil sehingga membentuk sel spermatid. Kista-kista yang

berisi spermatosit sekunder akhirnya berkembang dan melepaskan sel-selnya ke


dalam lumen tubulus, kemudian matang sempurna menjadi spermatid. Tahapan

ini disebut pembentukan sel spermatid. Sel spermatid lalu matang sempurna

menjadi sel spermatozoa. Spermatid mengalami perubahan bentuk menjadi

spermatozoa dilengkapi dengan kepala dan ekor sehingga bisa bergerak aktif di

lumen tubulus. Proses spermatogenesis pada ikan diakhiri dengan proses

spermiasi yaitu proses pelepasan spermatozoa atau disebut juga dengan

pemijahan. Morfologi gonad ikan nila jantan disajikan pada Gambar 2.

Sumber: Sari, et al. 2019


Gambar 2. Morfologi Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Jantan

Tahap perkembangan gonad pada ikan betina menurut Al Mahmud, et al.

(2016), terbagi menjadi tujuh tahap. Tahap pertama adalah nukleolus kromatin,

pada tahap ini beberapa oogonium mulai berkembang menjadi oosit primer.

Nukleus berada ditengah dan dikelilingi oleh sitoplasma, ukuran nukleus dan

jumlah nukleolus akan selalu bertambah. Tahap kedua perinuklear awal, terjadi

peningkatan volume sitoplasma dan nukleus secara bersamaan. Nukleolus lebih

kecil, bertambah jumlahnya dan muncul di sekitar pinggiran nukleus, serta

penambahan warna pada sitoplasma oleh hematoksilin. Perinuklear akhir, tahap


ini ukuran oosit menjadi lebih besar dan bentuknya bervariasi. Nukleus menjadi

besar dan sitoplasma cenderung kehilangan hematoksilin yang memberi warna

pada sitoplasma. Vesikel kuning telur, tahap ini ditandai dengan pembentukan

kecil vesikel kuning telur di sitoplasma. Gelembung kuning telur pertama kali

muncul di pinggiran oosit dan secara bertahap menyebar ke arah nukleus. Tahap

granula kuning telur awal, tahap ini ditandai dengan pembentukan banyak butiran

protein kuning telur kecil di sitoplasma yang pertama kali muncul di korteks luar.

Kuning telur vesikel tidak muncul dan tidak terlihat di sitoplasma. Tahap granula

kuning telur, tahap ini diameter oosit meningkat dan terjadi perpaduan butiran

kuning telur dan tetesan lipid. Tahap selanjutnya vitelogenesis yaitu proses

pembentukan kuning telur. Tahap terakhir yaitu ditandai dengan munculnya

folikel kosong dan beberapa jumlah oogonia dan oosit. Berakhirnya proses

vitelogenesis, ikan sudah siap melakukan pemijahan. Morfologi gonad ikan nila

betina disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Sari, et al. 2019


Gambar 3. Morfologi Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Betina

2.3 Tingkat Kematangan Gonad


2.3.1 Menurut Kesteven

Tingkat kematangan gonad (TKG) menurut Kesteven yang dikutip dari

Burnett (1989), terbagi menjadi delapan tingkatan sebagai berikut:

 Dara, organ seksual sangat kecil dekat di bawah rongga tulang vertebral,
testis dan ovarium masih terlihat transparan, tidak berwarna cenderung

abu-abu, telur tidak dapat terlihat dengan mata telanjang.

 Dara matang dan waktu pemulihan, testis dan ovarium tembus cahaya,

berwarna abu-abu kemerahan, telur dapat terlihat melalui kaca pembesar.

 Perkembangan, testis dan ovarium mulai terlihat buram, warna

kemerahan dengan kapiler darah di sekitarnya, gonad memenuhi sekitar

setengah dari ventral rongga tulang; telur terlihat seperti butiran putih.

 Berkembang, testis berwarna putih kemerahan, tidak ada tetes sperma

yang jatuh dibawah tekanan, ovarium berwarna oren kemerahan, telur

terlihat dengan jelas dan memenuhi dua pertiga rongga ventral.

 Bunting, organ seksual memenuhi rongga ventral, testis terlihat berwarna

putih dan apabila ditekan akan mengeluarkan sperma, telur sudah

berbentuk bulat, sebagian sudah terlihat bening dan matang.

 Mijah, telur dan sperma akan keluar dengan tekanan, sebagian telur

terlihat tembus cahaya dan sebagian tertinggal dalam ovarium.

 Salin, penghabisan pengeluaran telur,tidak ada telur yang tersisa di

ovarium.

 Pemulihan, testis dan ovarium dalam keadaan sudah kosong, berwarna

merah, beberapa telur memasuki tahap reabsorbsi.

Fase kematangan gonad menurut Kesteven yang dikutip dari Saparinto,

(2008), terbagi menjadi delapan sebagai berikut:

 Dara, fase ini jika dilihat dengan mata biasa telur tidak akan terlihat,

ovarium dan testisnya bersifat transparan dan berukuran sangat kecil

serta tidak berwarna hingga warna keabu-abuan.


 Dara berkembang merupakan fase dimana ovarium dan testisnya bersih

hingga berwarna abu-abu kemerahan. Telur dapat dilihat apabila

menggunakan kaca pembesar,

 Perkembangan I, pada fase ini setengah ruang ke bagian bawah diisi oleh

gonad, ovarium dan testisnya berwarna merah serta berbentuk bulat

seperti telur, telur dapat dilihat tapi berupa serbuk putih.

 Perkembangan II, di fase telurnya berbentuk bulat dan dapat dibedakan.

Ovarium memiliki warna oren merah dan ⅔ ruang bawah diisi olehnya,

sedangkan testisnya berwarna putih merah, jika perut ikan ditekan maka

tidak ada sperma yang keluar.

 Bunting merupakan fase dimana ruang bawah diisi oleh organ seksual,

telur berbentuk bulat serta terlihat masak dan jernih (beberapa). Berwarna

putih pada testisnya dan jika perut ikan ditekan maka sperma akan

keluar.

 Mijah, fase ini memiliki ciri-ciri kebanyakan telurnya berwarna jernih dan

apabila perut ikan sedikit ditekan, ovarium dan testis akan keluar.

 Salin adalah fase penghisapan kembali pada telur serta ovarium dan

testisnya kosong juga memiliki warna kemerahan.

 Pulih salin, fase ini ditandai dengan warna jernih, keabu-abuan dan

merah pada ovarium serta testisnya.

2.3.2 Menurut Takata

Tingkat kematangan gonad menurut Hartawan, et al. (2023), pada ikan

yang didefinisikan oleh Tester dan Takata (1953) terbagi menjadi lima, yaitu:

 Tidak masak, dimana pada fase ini gonad memiliki ciri-ciri seperti benang,

bentuknya sangat kecil dan transparan. Penampang gonad pada ikan


jantan berwarna kelabu dengan bentuk yang pipih, sedangkan ikan betina

penampang gonadnya terlihat bulat dengan warna kemerahan. 

 Permulaan masak, difase ini gonad mengisi ¼ rongga tubuh dan telur

tidak terlihat. Gonad pada ikan jantan berbentuk pipih dan memiliki warna

keabu-abuan atau putih, sedangkan gonad pada ikan betina bentuknya

bulat dan berwarna kuning. 

 Hampir masak, pada fase ini ½ dari rongga tubuh diisi oleh gonad dan

bentuk telurnya dapat dilihat melalui dinding ovari. Ikan jantan memiliki

gonad berwarna putih, sedangkan gonad ikan betina berwarna kuning.  

 Masak, fase dimana ¾ dari rongga tubuh diisi oleh gonad dan telurnya

mulai terlihat. Gonad pada ikan jantan berisi cairan putih, sedangkan ikan

betina memiliki gonad berwarna bening, hampir bening, atau kuning.

Tonjolan pada lubang pelepasannya disebabkan oleh tekanan halus pada

perutnya.

 Salin, fase ini hampir sama dengan fase kedua dan sulit untuk dibedakan,

serta telurnya tidak terlihat. Gonad pada ikan jantan terdapat bintik-bintik

coklat dan berwarna putih, sedangkan ikan betina memiliki gonad

berwarna merah dan lembek. 

Tingkat kematangan gonad ikan menurut Riyanto (2019), mengutip dari

Tester dan Takata (1953), sebagai berikut:

 Tidak masak, gonad berukuran sangat kecil berbentuk seperti benang

dan transparan. Penampang gonad pada ikan jantan pipih dengan warna

kelabu, penampang pada ikan betina bulat dengan warna kemerah-

merahan.

 Permulaan masak, telur tidak tampak dan ¼ rongga tubuh diisi oleh

gonad. Ikan jantan memiliki warna kelabu atau putih dengan bentuk pipih,
sedangkan ikan betina memiliki warna kemerah-merahan atau kuning dan

memiliki bentuk ulat.

 Hampir masak, gonad yang dimiliki mengisi ½ rongga tubuh, gonad pada

ikan jantan berwarna putih dan pada ikan betina berwarna kuning,

memiliki bentuk telur tampak melalui dinding ovarium.

 Masak gonad, gonad mengisi ¾ rongga tubuh. Ikan jantan memiliki gonad

berwarna putih berisi cairan berwarna putih. Gonad ikan betina memiliki

warna kuning hampir bening atau bening. Telur dapat terlihat kadang-

kadang, dengan adanya tekanan halus pada perutnya, timbul tonjolan

pada lubang pelepasannya.

 Hampir sama dengan tahap kedua dan sulit untuk dibedakan. Gonad

jantan berwarna putih kadang-kadang dengan bintik coklat dan gonad

pada ikan betina berwarna merah lembek dan telur tidak tampak.

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kematangan Gonad

Faktor yang mempengaruhi tingkat kematangan gonad ikan menurut

Tarigan dan Yusni (2020), yaitu terdapat perbedaan pada masing-masing kondisi

lingkungan di perairan berupa perbedaan suhu dan ketersediaan makanan, serta

pertumbuhan pada kondisi ikan. Pertumbuhan telah dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu faktor dalam (intrinsik) dan faktor luar (ekstrinsik). Faktor dalam merupakan

faktor yang timbul dari dalam diri individu ikan tersebut. Faktor dalam yang

meliputi sifat keturunan, umur, ukuran, ketahanan terhadap penyakit, dan

kemampuan memanfaatkan makanan. Faktor luar meliputi sifat fisik dan kimiawi

perairan serta komponen hayati seperti ketersediaan makanan dan kompetisi.

Faktor yang mempengaruhi tingkat kematangan gonad menurut

Helmizuryani, et al. (2020), adalah suplai makanan. Ikan juga menggunakan


energi sebagai pematangan gonad, yang dapat dioptimalkan. Penambahan

suplemen yaitu berupa vitamin C, vitamin E dan Spirulina sp. Berdasarkan

penelitian yang sudah dilakukan, untuk mengetahui pengaruh pemberian

suplemen tambahan terhadap tingkat dan indeks kematangan gonad, diameter

ovarium, dan keberhasilan penetasan pada tetua betina tenggeran panjat

(Anabas testudineus) yang merupakan uji hasil tingkat kematangan gonad. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penambahan Spirulina sp. berpengaruh nyata

terhadap indeks maturasi gonad serta peningkatan bobot tubuh dan gonad.

2.5 Gonado Somatik Indeks (GSI)

Gonado somatik indeks menurut Mousavi-Sabet, et al. (2019), telah

digunakan sebagai indikator masa reproduksi ikan. GSI diukur dengan tidak

adanya statistik pada telur dan larva, akan tetapi perhitungan ini dapat digunakan

sebagai gambaran periode pemijahan. GSI juga digunakan sebagai bentuk

analisis perubahan gonad dari bulan ini ke bulan berikutnya. Fungsi lainnya dari

GSI untuk memperkirakan musim pemijahan terhadap spesies. Pengetahuan

melalui GSI tentang peningkatan gonad pada musim pemijahan dapat

memungkinkan perhitungan terhadap pemijahan berikutnya dengan frekuensi

pemijahan populasi untuk pengelolaannya. Hubungan seksual diputuskan melalui

pemeriksaan jaringan gonad baik dengan mata maupun dengan menggunakan

teropong.

Nilai Gonado Somatik Indeks (GSI) menurut Ma’ruf, et al. (2020),

merupakan bekerjasama menggunakan taraf Kematangan Gonad Ikan (TKG)

yang pengamatannya berdasarkan karakteristik ciri morfologi kematangan gonad

dengan membandingkan perkembangan pada dalam dan di luar gonad, atau nilai

morfologi yang dikuantitatifkan. semakin tinggi perkembangan gonad maka

perbandingan antara berat tubuh serta gonad semakin besar yang diperlihatkan
dengan nilai GSI yang besar. Semakin besar nilai GSI, maka bisa dijadikan

indikator semakin dekatnya ketika pemijahan. Rumus untuk memperoleh nilai

GSI sebagai berikut:

GSI =

Keterangan:

GSI : Gonado Somatic Indeks

Wg : berat gonad (g) dan

Wt : berat tubuh (g)

2.6 Gonado Indeks (GI)

Pengertian Gonado Indeks menurut Yonarta, et al. (2023), merupakan

kondisi yang menunjukkan kematangan seksual ikan yang akan dinyatakan

secara kuantitatif. Gonado indeks ini ditunjukkan untuk perbandingan dalam

tingkat kematangan gonad. Perbandingan dalam GI (Gonado indeks) memakai

indikator berupa berat gonad dengan panjang tubuh ikan. Gonado indeks dengan

nilai 1-10 menandakan bahwa gonad tersebut masih berada di tahap memasak,

sedangkan nilai 10 keatas gonad tersebut sudah masak. Nilai dalam gonado

indeks juga dapat ditandai dengan panjangnya tubuh ikan dan tinggi nya tingkat

kematangan gonad, namun nilai GI (Gonado indeks) juga dapat acak karena

adanya berat gonad dari suatu spesies panjang ikan.

Gonado Indeks (GI) menurut Asrial, et al. (2017), merupakan perhitungan

berat badan ikan dibandingkan dengan panjang badan ikan, dengan

menggunakan rumus:

GI =
Keterangan:

GI : Indeks gonad

Wg : Berat gonad (g)

L : Panjang ikan (cm)


DAFTAR PUSTAKA

Al Mahmud, N., Rahman, H. M. H., Mostakim, G. M., Khan, M. G. Q., Shahjahan,


M., Lucky, N. S., & Islam, M. S. (2016). Cyclic Variations of Gonad
Development of an Air-Breathing Fish, Channa Striata in the Lentic and
Lotic Environments. Fisheries and Aquatic Sciences, 19, 1-7.
https://doi.org/10.1186/s41240-016-0005-0

Arfiati, D., Farkha, K., & Anugerah, D. P. (2022). Ikan Nila (Oreochromis
niloticus). Malang: Media Nusa Creative (MNC Publishing).

Asrial, E., Harris, A., & Abdolah. (2017). Fisheries Biology Aspectsof Yellow
Rasbora from Central Lombok, Indonesia. International Journal of Recent
Scientific Research, 8(11), 21547-21553.

Burnett, J. (1989). Finfish Maturity Sampling and Classification Schemes Used


During Northeast Fisheries Center Bottom Trawl Surveys, 1963-1989
(Vol. 76). Falmouth: US Department of Commerce, National Oceanic and
Atmospheric Administration, National Marine Fisheries Service, Northeast
Fisheries Center.

Desrita., Tarigan, A., & Yusni, E. (2020). Fecundity and Size the First Maturity of
the Gonad of Yellowstripe Scad (Selaroides leptolepis) at Belawan
Aquatic, North Sumatera. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science, 454 (1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/454/1/012136

Feriyanto, A. (2019). Super Komplet Budi Daya dan Bisnis Ikan Lele.
Yogyakarta: LAKSANA.

Hartawan, Kotta, R., Satriya, I., N., B., Tarmizi, A. (2022). Efektivitas Type Mesh
Size yang Berbeda pada Alat Tangkap Gill Net Dasar (Bottom Gill Net)
terhadap Hasil Tangkapan Ikan. AL-AQLU Jurnal Matematika, Teknik dan
Sains, 1(1), 38-45.

Helmizuryani., Jumanto., Muslimin, B., Aminah, R. I. S., & Khotimah, K. (2020).


The Gonadal Maturation of Climbing Perch, Anabas Testudineus (Bloch,
1792) with Dietary Supplement Add on Feed. Aquaculture, Aquarium,
Conservation & Legislation, 13(2), 885-892.

Ibrahim, Y., Saputra, F., Yusnita, D., & Karim, A. (2018). Evaluasi Pertumbuhan
dan Perkembangan Gonad Ikan Serukan Osteochilus sp. yang Diberi
Pakan Tepung Kunyit. Jurnal Akuakultura Universitas Teuku Umar, 2(2),
1-6.
https://doi.org/10.35308/ja.v2i2.1590

Mardiyah, U., Adelina, F., Kamarudin, A. P., Fahmi, R., Wahyu, Y. I., Ariadi, P.
S., Bulotio, N. F., Mustasim., Puspitasari, D., Safitri, N. M., Putra, A. A. S.,
& Henggu, K. U. (2022). Pengetahuan Bahan Baku Perikanan. Padang:
PT Global Eksekutif Teknologi
Ma'ruf, M. M., Syarif, A. F., & Bidayani, E. (2020). Performa Reproduksi Ikan
Betok (Anabas testudineus) Betina dengan Pemberian Pakan Buatan
Berbahan Baku Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata). Jurnal
Perikanan Unram, 10(2), 92-111.
https://doi.org/10.29303/jp.v10i2.130

Mousavi-Sabet, H., Heidari, A., & Salehi, M. (2019). Reproductive Biology of the
Invasive Sharpbelly, Hemiculter leucisculus (Basilewsky, 1855), from the
Southern Caspian Sea Basin. Iranian Journal of Ichthyology, 6(1), 31-40.

Saparinto, C. (2008). Panduan Lengkap Gurami. Jakarta Timur: Penebar


Swadaya Grup.

Sari, N., Supratman, O., & Utami, E. (2019). Aspek Reproduksi dan Umur Ikan
Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Sungailiat, Kabupaten Bangka. Jurnal Enggano, 4(2), 193-207.
https://doi.org/10.31186/jenggano.4.2.193-207

Setiawati, K. H. dan Melianawati, R. (2020). Pertumbuhan dan Tingkat


Kematangan Gonad Ikan Kerapu Batik (Epinephelus polyphekadion) Hasil
Budidaya. Journal of Fisheries and Marine Research, 4(1), 125-131.
https://doi.org/10.21776/ub.jfmr.2020.004.01.18

Tamsil, A., Ghufron, M. H. K. K., Yasin, H., & Ibrahim, T. A. (2019). Biologi
Perikanan. Yogyakarta: Lily Publisher.

Tarigan, A., Bakti, D., & Desrita, D. (2017). Tangkapan dan tingkat Kematangan
Gonad Ikan Selar Kuning (Selariodes leptolepis) di Perairan Selat Malaka.
Acta Aquatica: Aquatic Sciences Journal, 4(2), 44-52.
https://doi.org/10.29103/aa.v4i2.300

Vajargah, M. F. (2021). A Review of the Physiology and Biology of Nile Tilapia


(Oreochromis niloticus). Journal Aquac Mar Biol, 10(5), 244-246.
https://doi.org/10.15406/jamb.2021.10.00328

Yonarta, D., Tanbiyaskur, T., Syaifudin, M., Sari, D. I., & Sanjaya, R. (2023).
Pematangan Gonad Calon Induk Ikan Selincah dengan Tingkat
Kepadatan Berbeda di Embung Sriwijaya. Jurnal Sumberdaya Akuatik
Indopasifik, 7(1), 23-32.
https://doi.org/10.46252/jsai-fpik-unipa.2023.Vol.7.No.1.278
LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI PERIKANAN AKUAKULTUR

(FOOD AND FEEDING HABIT)

NAMA : EVELYN NANDA BERLIAN S.

NIM : 225080500111047

KELOMPOK :3

ASISTEN : ALDIA ATAA RAHMATIKA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengertian makanan menurut Raza'i (2017), adalah suatu yang

terpenting untuk kebutuhan makhluk hidup terutama ikan. Zooplankton

merupakan konsumen pertama yang memanfaatkan produksi primer yang

dihasilkan oleh fitoplankton. Peranan zooplankton sebagai mata rantai antara

produsen primer dengan karnivora besar dan kecil dapat mempengaruhi

kompleksitas rantai makanan dalam ekosistem perairan. Keberadaan

zooplankton akan berbanding lurus dengan keberadaan fitoplankton.

Keberadaan fitoplankton dan zooplankton di perairan, dapat dimanfaatkan

sebagai pakan alami ikan-ikan yang terdapat di suatu perairan. Pakan alami

terbaik di perairan umumnya terdiri dari komposisi yang biasa disebut dengan

Copepoda mix.

Kebiasaan makan ikan menurut Tampi, et al. (2023), dipengaruhi oleh

ketersediaan makanan di perairan dan merupakan faktor yang berpengaruh pada

jumlah populasi ikan. Studi mengenai kebiasaan makan ikan sangat penting

untuk menentukan jenis pakan alami atau habitat dari spesies ikan. Informasi

mengenai makanan ikan adalah hal yang sangat dasar untuk pengelolaan

populasi ikan dan budidaya. Pola makan ikan dapat berubah seiring dengan

bertambahnya ukuran tubuh ikan, hal ini dikarenakan tiap spesies ikan memiliki

selera makan yang berbeda-beda. Pola makan juga bergantung pada jenis

makanan yang tersedia di perairan, dan dimensi mulut ikan menentukan ukuran

makanan yang dapat ditelan, sehingga semakin besar ukuran ikan, semakin
besar pula makanan yang dapat ditelannya. Ketersediaan makanan di perairan

merupakan faktor yang berpengaruh pada jumlah populasi ikan.

Penggolongan kebiasaan makan ikan menurut Dewinta, et al. (2022),

dibedakan dari kecenderungan ikan untuk memilih sendiri makanan yang

disediakan oleh alam liar. Ketersediaan nutrisi pakan dipengaruhi oleh kondisi air

(abiotik) dan predator atau kompetitor (biotik). Nutrisi pakan ikan tergantung dari

ketersediaan jumlah makanan di alam, jika lebih besar dari seluruh stok ikan,

maka tidak ada persaingan. Ketersediaan makanan yang kurang dari jumlah

populasi ikan bisa membuat kompetisi dan mengganggu rantai makanan di

lingkungan perairan. Tumpang tindih menjadi penyebab terganggunya rantai

makanan antara kebutuhan jenis makanan yang sama. Situasi ini menjadikan

ikan memiliki sifat dalam kebiasaan makan mereka terbagi dalam karnivora,

omnivora,dan herbivora.

Zooplankton memainkan peran penting sebagai konsumen pertama yang

memanfaatkan produksi primer dari fitoplankton dalam rantai makanan di

ekosistem perairan. Keberadaan zooplankton dan fitoplankton dapat

dimanfaatkan sebagai pakan alami ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh

ketersediaan makanan di perairan, dan pola makan ikan bergantung pada jenis

makanan yang tersedia dan ukuran mulut ikan. Ketersediaan makanan di

perairan juga berpengaruh pada jumlah populasi ikan. Ketersediaan nutrisi pakan

dipengaruhi oleh kondisi air dan persaingan di lingkungan perairan. Ketersediaan

makanan yang kurang dari jumlah populasi ikan dapat mengganggu rantai

makanan dan memicu persaingan.


1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud

Maksud dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Food and

Feeding Habit ini adalah:

1. Mengerti dan memahami makan dan kebiasaan makan ikan.

2. Mengetahui penggolongan ikan berdasarkan jenis dan cara makan, tipe

usus, serta bentuk gigi ikan.

3. Memahami rantai makanan dan jaring makanan.

1.2.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum Biologi Perikanan materi Food and Feeding Habit

ini adalah:

1. Agar mampu mengaplikasikan materi Food and Feeding Habit dalam

kehidupan sehari-hari khususnya dalam lingkup budidaya.

2. Agar praktikan mampu membedakan jenis ikan berdasarkan makanan

dan kebiasaan makannya.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Biologi Perikanan Akuakultur dilaksanakan pada Sabtu, 13 Mei

2023 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Food and Feeding Habits

Food habits and feeding habits menurut Khairuman dan Amri (2003),

merupakan kebiasaan makan ikan dan cara makan ikan. Kebiasaan makan pada

ikan sangat berpengaruh pada pola makan ikan. Kebiasaan makan ikan sendiri

biasa bergantung pada lokasi atau tempat makan, waktu makan, cara makan

dan jenis makanan kegemaran ikan. Kebiasaan makan ikan sendiri berbeda

antara satu spesies dan spesies yang lain. Para nelayan dan pembudidaya perlu

memahami kebiasaan makan ikan. Pemahaman kebiasaan makan ikan

diperlukan untuk menentukan waktu yang tepat dalam menangkap ikan atau

memberi makan ikan.

Ikan memerlukan makanan menurut Anggoro, et al. (2021), untuk

kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Makanan yang dikonsumsi ikan saat

masih larva dan pada fase dewasa juga berbeda. Makanan utama yang dimakan

ikan ialah berupa plankton (sel tunggal) atau sejenisnya yang memiliki ukuran

mikro dan sejenis dengan detritus. Makanan ikan remaja atau ikan dewasa

sendiri berupa jenis makanan dengan ukuran sesuai dengan bukaan mulut ikan.

Ikan pada spesies ikan tertentu dapat juga memakan makanan dengan tingkat

variasi ukuran yang lebih besar dari bukaan mulut ikan.

2.2 Food and Feeding Habits Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Temesgen, et al. (2022),

merupakan ikan air tawar yang termasuk dalam golongan jenis ikan omnivora

atau pemakan segala. Ikan nila mengkonsumsi fitoplankton, zooplankton,

serangga, detritus, makrofit, bagian ikan, dan nematoda. Ikan pada tahap juvenil
memiliki kecenderungan lebih terhadap serangga atau zooplankton, sedangkan

pada saat dewasa dominasi makanan ikan nila adalah fitoplankton. Juvenil

membutuhkan zooplankton sebagai makanan dengan protein tinggi untuk

mendukung laju pertumbuhan dan metabolisme. Tinjauan dari pernyataan

tersebut makanan ikan nila dapat diketahui melalui ukuran tubuhnya yaitu juvenil

(<10 cm) dan dewasa (>20 cm).

Ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Muhtadi, et al. (2022),

merupakan ikan omnivora yang makanan utamanya adalah fitoplankton

(planktivore). Ikan nila hidup dan mencari makan di seluruh kolom air mulai dari

dasar perairan, tengah perairan dan permukaan perairan. Ikan nila hidup di suhu

antara 14°C hingga 33°C yang merupakan kondisi optimal bagi ikan nila untuk

mencari makan. Ikan nila sebagian besar mengkonsumsi fitoplankton atau

ganggang bentik sebagai makanan utamanya. Ikan nila memiliki toleransi yang

tinggi di perairan dengan limbah yang berat, karena memiliki daya tahan tinggi

terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga ikan nila tetap bisa mencari

makan di seluruh kolom dan kondisi apapun.

2.3 Penggolongan Ikan berdasarkan Jenis Makanan dan Cara Makan

Penggolongan ikan berdasarkan jenis makanan menurut Ahmad (2017),

ikan dapat diklasifikasikan menurut golongan besar jenis makanannya, yaitu

sebagai herbivora, karnivora, dan omnivora. Herbivora adalah ikan yang sumber

makanan utamanya mengkonsumsi fitoplankton, mikroalga, makroalga, alga

filamen, dan alga bentik. Karnivora adalah jenis ikan yang bergantung pada

berbagai jenis makhluk hidup sebagai sumber makanannya termasuk

zooplankton, udang, serangga air, ikan, dan hewan lainnya. Ikan karnivora

sendiri dibagi menjadi dua, yaitu tingkat rendah dan tingkat tinggi. Ikan karnivora

tingkat rendah mengkonsumsi zooplankton, bentik invertebrata, bentik crustacea,


bentik moluska, polip karang, sedangkan ikan karnivora tingkat tinggi

mengkonsumsi ikan, crustacea, moluska, cacing, dan sebagainya. Ikan omnivora

adalah ikan yang mengkonsumsi tumbuhan maupun hewan pemakan alga,

zooplankton, zoobentos, dan moluska kecil.

Penggolongan ikan berdasarkan cara makan menurut Sari, et al. (2020),

terdapat beberapa faktor penting yang mempengaruhi kebiasaan makan ikan,

antara lain preferensi terhadap jenis makanan tertentu, kondisi habitat, ukuran,

dan umur ikan. Perubahan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi ketersediaan

makanan dan berdampak pada perilaku makan ikan. Perbedaan habitat akan

mempengaruhi komposisi makanan dan cara makan pada ikan. Kesukaan ikan

terhadap makanannya sangat relatif karena belum tentu suatu jenis makanan

melimpah di perairan dapat dimanfaatkan oleh ikan. Kebiasaan makanan dan

cara memakan ikan secara alami sangat bergantung pada lingkungan tempat

ikan hidup.

2.4 Penggolongan Ikan berdasarkan Tipe Usus

Penggolongan ikan berdasarkan rasio panjang usus menurut Binsasi

(2020), dapat memberikan informasi tentang jenis makanan yang dikonsumsi

oleh ikan tersebut. Ikan dengan rasio panjang usus yang tinggi cenderung

memiliki sistem pencernaan yang panjang dan kompleks, sehingga dapat

mencerna makanan yang sulit dicerna seperti serat dan tumbuhan. Pengukuran

pada ikan dengan rasio panjang usus yang rendah cenderung memiliki sistem

pencernaan yang lebih pendek dan sederhana, sehingga lebih mudah mencerna

makanan yang mudah dicerna seperti daging atau hewan kecil. Pengukuran

rasio panjang usus terhadap panjang total tubuh ikan nila dilakukan dengan cara

mengukur panjang total tubuh dan panjang usus kemudian membandingkannya.


Rasio panjang usus dan panjang total dianalisis menggunakan rumus Relative

Length of Gut:

Keterangan:

RLG = Panjang usus relatif atau rasio panjang usus dan panjang total

PU = Panjang usus (cm)

PT = Panjang total tubuh (cm)

Ikan berdasarkan tipe ususnya menurut Pratiwy, et al. (2022), terbagi

menjadi ikan herbivora, karnivora dan omnivora. Ikan herbivora umumnya

memiliki panjang usus 2-21 kali dari panjang tubuhnya. Ikan karnivora memiliki

panjang usus 0,5-2,4 kali panjang tubuhnya sedangkan ikan omnivora memiliki

panjang usus 0,8-5 kali dari panjang tubuhnya. Ikan herbivora ususnya relatif

lebih panjang karena untuk menguraikan tumbuhan membutuhkan proses yang

lebih lama. Ikan karnivora memiliki usus yang pendek karena ia dapat mengolah

makanannya lebih cepat dibandingkan ikan herbivora. Ikan omnivora merupakan

ikan yang memiliki panjang usus diantara ikan herbivora dan karnivora yang

artinya tidak terlalu pendek ataupun terlalu panjang sehingga ikan dapat

memakan daging ataupun tumbuhan. Umumnya pada saat ikan tumbuh dan

berkembang pertambahan panjang usus relatif lebih cepat dibandingkan

tubuhnya. Usus harus menyediakan permukaan yang luas agar dapat

memaksimalkan penyerapan makanan saat ikan bertambah besar. Tipe usus

disajikan pada Gambar 1.


Sumber: Setyaningrum, et al. (2020)
Gambar 1. Tipe usus

2.5 Penggolongan Ikan berdasarkan Bentuk Gigi Ikan

Pengelompokan bentuk gigi ikan menurut Nur, et al. (2017), bentuk gigi

ikan dibagi menjadi incisor, canine, dan viliform. Perbedaan bentuk gigi pada ikan

menjadi faktor bagi ikan agar mudah dalam menangkap maupun memangsa

makanannya. Ikan memiliki mulut dan gigi yang berfungsi saat proses pelumatan

makanan. Mulut ikan memiliki beberapa bentuk sesuai dengan cara makan dan

jenis makanannya. Bentuk mulut ikan yaitu terminal, subterminal, subterminal

inferior, subterminal superior, retracted protractile dan protracled protractile.

Bentuk gigi ikan menurut Muruga, et al. (2022), antara lain grabbers

dengan bentuk gigi macrodont, engulfers dengan bentuk gigi edentulate dan

villiform. Beberapa piscivora mungkin memiliki tulang dentigerous (bergigi) kecil

di dalam rongga orofaringnya, morfologi tambahan gigi ini (kecil dan berbentuk

vili), dan lokasinya di dalam tulang orofaringeal rongga, menunjukkan bahwa gigi

ini tidak mungkin menyebabkan kerusakan yang signifikan. Bentuk gigi ikan yang

berbeda menunjukkan cara ikan makan ikan yang berbeda antara satu spesies

dengan spesies lainnya. Ikan pemangsa atau dikenal dengan piscivora memiliki

rahang yang kuat serta struktur gigi yang tajam. Rahang serta gigi yang kuat

dibutuhkan oleh ikan untuk menangkap mangsa. Faktor utama bagi ikan yang

mempengaruhi kinerja makan yaitu bukaan mulut, kekuatan gigitan, kecepatan


gigitan, bentuk gigi, ukuran serta susunan gigi yang berpengaruh terhadap cara

ikan menangkap mangsa. Tipe gigi ikan disajikan pada Gambar 2.

Sumber: Burhanuddin, 2015


Gambar 2. Tipe Gigi Ikan

2.6 Rantai Makanan

Rantai makanan menurut Sartimbul, et al. (2022), adalah suatu peristiwa

yang melibatkan mangsa (produsen) dengan pemangsa (konsumen) didalam

ekosistem. Rantai makanan dapat diartikan sebagai peristiwa makan dan di

makan dari produsen primer hingga konsumen puncak. Rantai makanan pada

ekosistem laut berdasarkan wilayahnya terbagi menjadi 3 yakni wilayah pantai,

laut terbuka dan wilayah yang terkena upwelling. Rantai makanan ekosistem air

tawar lebih pendek dibandingkan air laut, karena pada ekosistem laut jumlah

biota yang terdapat didalamnya lebih beragam. Rantai makanan yang lebih

kompleks dan saling berinteraksi didefinisikan sebagai jaring makanan.

Rantai makanan terbagi menjadi dua tipe dasar menurut Maknun

(2017), yaitu grazing food chain (rantai makanan rerumputan) dan detritus food

chain (rantai makanan sisa). Grazing food chain diawali dari tumbuhan sebagai

trofik awal/produsen. Tipe rantai makanan ini adalah sumber makanannya

langsung berasal dari lamun itu sendiri yang daunnya dimakan oleh konsumen

utama yaitu dugong, penyu, ikan baronang dan bulu babi. Detritus food chain

tidak diawali dari tumbuhan sebagai trofik awal atau produsen, akan tetapi
dimulai dengan sisa-sisa organisme yang telah mati. Organisme yang memakan

makanan detritus disebut detrivora, rantai makanan detritus, contohnya detritus-

detrivores predator. Sisa-sisa organisme yang telah mati dalam rantai makanan

ini adalah daun-daun yang jatuh dari lamun, yang dimakan oleh konsumen

primer (epifit) sebagai nutrisi, yang dipecah oleh bakteri dan kemudian dimakan

oleh konsumen pertama, cacing, udang, kepiting, dan lain-lain. Rantai makanan

disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Putra, et al. (2022)


Gambar 3. Rantai Makanan

2.7 Jaring Makanan

Sumber makanan menurut Michelle, et al. (2017), pada ekosistem air

tawar yang terbagi menjadi dua yaitu, berdasarkan ketersediaan fitoplankton dan

detritus. Ketersediaan fitoplankton dan detritus dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu,

pertama ketersediaan cahaya dan nutrisi untuk pertumbuhan fitoplankton di

perairan, nutrisi dan ketersediaan cahaya adalah kontrol utama pada sumber

daya di jaring makanan, karena kedua faktor bisa merangsang produksi primer

dan perubahan kualitas kimia bahan autotrof yang memasuki perairan. Kedua,

pertumbuhan populasi ikan sebagai konsumen primer pada perairan, Konsumsi

terhadap stoikiometri sumber daya adalah komponen penting pertumbuhan,

dimana positif atau negatif dan besar respon antara herbivora dan detrivora

berbeda dalam menanggapi pengayaan nutrisi. Ketiga, pola dalam dinamika


nutrisi yang didorong oleh konsumen. Konsumen merupakan peran penting

dalam ekosistem dinamika nutrisi, tetapi peran ini kemungkinan berbeda dalam

jaring makanan karena perbedaan sumber daya serta pengolahan yang berbeda

dari limbah konsumen yang dikeluarkan.

Struktur jaring makanan menurut Ullah, et al. (2018), merupakan

hubungan trofik antara komponen komunitas yang berbeda termasuk informasi

dari keseluruhan. Panjang rantai makanan, konektivitas, dan pergerakan karbon

serta nutrisi melalui rantai makanan yang berbeda termasuk pada struktur jaring

makanan. Perubahan iklim bumi seperti pemanasan global dan pengasaman laut

dapat berimbas besar pada struktur dan fungsi dari jaringan makanan laut.

Perubahan iklim bumi berpengaruh pada kurangnya produksi barang dan juga

jasa. Jaring makanan dapat diprediksi akan berubah seiring dengan perubahan

iklim. Energi yang mengalir dari level trofik pertama yaitu produser primer dan

dilanjutkan detritus ke level dua yaitu herbivora dan berlanjut ke tingkatan trofik

ketiga yaitu karnivora. Jaring-jaring makanan disajikan pada Gambar 4.

Sumber: Al Idrus, et al. (2018)


Gambar 4. Jaring-jaring Makanan
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A. (2017). Respon Ikan Karang Pada Area Apartemen Ikan Di Perairan
Tobololo Dan Gamalama Kota Ternate. COJ (Coastal and Ocean
Journal), 1(1), 1-6.
https://doi.org/10.29244/COJ.1.1.1-6

Al Idrus, A., Kesipudin, K., & Mertha, I. G. (2018). Aplikasi Konsep Konservasi
Mangrove untuk Pengembangan Ekowisata di Pantai Selatan Lombok
Timur. Jurnal Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat, 1(1), 1-10.
https://doi.org/10.29303/jpmpi.v1i1.213

Anggoro, S., Indarjo, A., Salim, G., Handayani, K. R., Ransangan, M. J., Ibrahim,
A. J., Firdaus, M. (2021). Biologi Perikanan dan Kelautan di Indonesia.
BM, A. I. (2015). Ikhtiologi, Ikan dan Segala Aspek Kehidupannya.
Yogyakarta: Deepublish.

Dewinta, R., Sulardiono, B., & Widyorini, N. (2022). Analisis Kebiasaan Makanan
dan Kompetisi Makanan Ikan Hasil Tangkapan di Muara Sungai
Wonokerto Demak, Jawa Tengah. Jurnal pasir laut, 6(1), 19-28.
https://doi.org/10.14710/pasir laut.2022.52773

Khairuman & Amri, K. (2003). Petunjuk Praktis Memancing Ikan Air Tawar.
Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Maknun, D. (2017) Ekologi: Populasi, Komunitas, Ekosistem, Mewujudkan


Kampus Hijau, Asri, Islami, dan Ilmiah. Cirebon: Nurjati Press.

Michelle, A., Evans-White., Halvorson, H. M. (2017). Comparing the Ecological


Stoichiometry in Green and Brown Food Webs – A Review and Meta-
analysis of Freshwater Food Webs. Frontiers in Microbiology, 8(1184), 1-
14.
https://doi.org/10.3389/fmicb.2017.01184

Muhtadi, A., Nur, M., Latuconsina, H., & Hidayat, T. (2022). Population Dynamics
and Feeding Habit of Oreochromis niloticus and O. mossambicus in
Siombak Tropical Coastal Lake, North Sumatra, Indonesia: Population
Dynamics and Feeding Habit of Tilapia. Biodiversitas Journal of Biological
Diversity, 23(1), 151-160.
https://doi.org/10.13057/biodiv/d230119

Muruga, P., Bellwood, D. R., & Mihalitsis, M. (2022). Forensic odontology:


Assessing Bite Wounds to Determine the Role of Teeth in Piscivorous
Fishes. Integrative Organismal Biology, 1-15.
https://doi.org/10.1093/iob/obac011

Nur, F. M., Batubara, A. S., & Abidin, M. Z. (2019). Jenis–jenis ikan di Kawasan
PT. Mifa Bersaudara Kabupaten Aceh Barat. Banda Aceh: Syiah Kuala
University Press.
Pratiwy, F. M., Zallesa, S., & Sinaga, J. A. (2022). Eating Habits and Digestive
System of Fish. GSJ, 10(2), 1051-1055.

Putra, A. D., Alexandra, W., & Puspaningrum, A. S. (2022). A Penerapan


Teknologi Augmented Reality Berbasis Android Untuk Pembelajaran
Rantai Makanan Pada Hewan. Jurnal Informatika dan Rekayasa
Perangkat Lunak, 3(1), 1-24.

Raza’i, T. S. (2017). Identifikasi dan Kelimpahan Zooplankton sebagai Sumber


Pakan Alami Ikan Budidaya di Perairan Kampung Gisi Desa Tembeling
Kabupaten Bintan. Intek Akuakultur, 1(1), 27-36.

Sari, T., Hertati, R., & Syafrialdi. (2020). Studi Keanekaragaman Jenis-Jenis Ikan
Di Sungai Batang Pelepat Kabupaten Bungo Propinsi Jambi. Journal
Pengelolaan Sumberdaya Perairan, 4(1), 1-12.
https://doi.org/10.36355/semahjpsp.v4i1.338

Sartimbul, A., Sambah, A. B., Iranawati, F., Fuad, A. Z., Yona, D., Harlyan, L. I.,
Rahman, M. A., Hidayati, N., & Sari, S. H. J. (2022). Oseanografi
Perikanan. Malang: UB press.

Setyaningrum, N., Sugiharto, S., & Susatyo, P. (2020). Komposisi Dan Status
Guild Komunitas Ikan Di Waduk Sempor Jawa Tengah. Depik, 9(3), 411-
420.
https://doi.org/10.13170/depik.9.3.15094

Tampi, A. A., Bataragoa, N. E., Rangan, J. K., Rembet, U. N., Mandagi, S. V., &
Boneka, F. B. (2023). Food Habits of Lencam Lethrinu Food Habits of
Lencam Lethrinus rubrioperculatus Sato, 1978 (Fish: Lethrinidae). Jurnal
Ilmiah Platax, 11(1), 39-45.

Temesgen, M., Getahun, A., Lemma, B., & Janssens, G. P. (2022). Food and
Feeding Biology of Nile Tilapia Oreochromis niloticus in Lake Langeno,
Ethiopia. Sustainability, 14(2), 974.
https://doi.org/10.3390/su14020974

Ullah, H., Nagelkerken, I., Goldenberg, S. U., & Fordham, D. A. (2018). Climate
Change Could Drive Marine Food Web Collapse Through Altered Trophic
Flows and Cyanobacterial Proliferation. Plos Biology, 16(1), 1-21.
https://doi.org/10.1371/journal.pbio.2003446
LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI PERIKANAN AKUAKULTUR

(HUBUNGAN PANJANG DAN BERAT)

NAMA : EVELYN NANDA BERLIAN S.

NIM : 225080500111047

KELOMPOK :3

ASISTEN : ALDIA ATAA RAHMATIKA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan menurut Hormati, et al. (2023), diartikan sebagai

transformasi bentuk yang terjadi pada suatu individu yang disebabkan oleh

pertambahan panjang, bobot, dan volume dalam kurun waktu tertentu.

Pertumbuhan merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh suatu individu.

Makhluk yang hidup pasti akan mengalami yang namanya pertumbuhan. Faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua, yaitu faktor yang berasal dari dalam

dan faktor yang berasal dari luar. Faktor yang berasal dari dalam yaitu keturunan,

pemanfaatan makanan di lingkungannya, dan kemampuan mereka untuk

bertahan terhadap penyakit. Sifat fisika, kimia, dan biologi perairan juga dapat

mempengaruhi pertumbuhan, ketiga sifat tersebut masuk kedalam faktor dari

luar.

Hubungan panjang berat ikan menurut Lelono (2021), merupakan salah

satu parameter biologi yang sangat penting. Hubungan panjang dapat

memberikan informasi dan dapat membantu memahami dinamika populasi ikan.

Informasi yang didapatkan berupa karakteristik morfologi, riwayat hidup ikan,

distribusi dan fungsi stok ikan, menyediakan informasi mengenai biomassa,

kematangan, pola pertumbuhan, kinerja individu spesies ikan dan komunitas ikan

secara keseluruhan. Hubungan panjang berat dapat memberikan kebebasan

untuk menghitung berat dengan panjang tertentu guna pengukuran berat ikan

secara langsung. Hubungan panjang berat ikan sangat penting untuk kegiatan
konservasi dan pengelolaan populasi ikan di alam liar maupun ikan yang sistem

budidayanya terbatas.

Macam-macam pertumbuhan menurut Agustina, et al. (2019), pola

pertumbuhan terbagi menjadi dua macam. Pertumbuhan yang pertama disebut

dengan allometrik dan yang kedua disebut dengan isometrik. Pertumbuhan

allometrik adalah pertumbuhan yang pertambahan panjangnya tidak seimbang

dengan pertambahan dari beratnya, pertumbuhan allometrik terbagi menjadi dua

macam yaitu, pertumbuhan allometrik negatif dan allometrik positif. Allometrik

negatif adalah pertumbuhan yang pertambahan panjangnya lebih cepat dari

pertambahan beratnya, sementara allometrik positif adalah pertumbuhan yang

pertambahan beratnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya. Pertumbuhan

isometrik menunjukkan pertumbuhan yang berbeda dengan pertumbuhan

allometrik dimana pertumbuhan panjang dan beratnya seimbang.

Pertumbuhan adalah transformasi bentuk pada individu yang disebabkan

oleh pertambahan panjang, bobot, dan volume dalam kurun waktu tertentu.

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua, yaitu faktor yang berasal dari

dalam dan faktor yang berasal dari luar. Hubungan panjang berat ikan

merupakan salah satu parameter biologi penting yang dapat memberikan

informasi tentang karakteristik morfologi, riwayat hidup, dan distribusi ikan. Pola

pertumbuhan terbagi menjadi dua macam yaitu pertumbuhan allometrik dan

isometrik, dimana pertumbuhan allometrik dibagi menjadi pertumbuhan allometrik

negatif dan positif. Pertumbuhan isometrik menunjukkan pertumbuhan yang

berbeda dengan pertumbuhan allometrik dimana pertumbuhan panjang dan

beratnya seimbang.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud

Maksud dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Hubungan

Panjang dan Berat ini adalah

1. Dapat mengetahui hubungan antara panjang dan berat pada ikan.

2. Dapat mengetahui hubungan panjang dan berat untuk menentukan

pertumbuhan ikan dalam populasi alami.

1.2.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Hubungan

Panjang dan Berat ini adalah

1. Mampu mendemonstrasikan teknik-teknik pengukuran untuk menentukan

pertumbuhan ikan.

2. Mampu untuk memahami hubungan antara panjang dan berat pada ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Biologi Perikanan Akuakultur dilaksanakan pada Sabtu, 13 Mei

2023 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan


2.1.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila (Oreochromis Niloticus) menurut Suyanto (2011), memiliki

klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Sub Klas : Acanthoptherigii

Ordo : Percomorphi

Subordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Morfologi ikan nila menurut Surahman, et al. (2022), adalah ikan nila yang

mempunyai bentuk tubuh yang memanjang serta melebar dan pipih. Interior ikan

nila tersusun oleh mulut yang dilengkapi dengan dua pasang bibir yang simetris.

Ikan nila dilengkapi dengan berbagai sirip yakni sirip punggung, sirip ekor, sirip

anal, sirip pectoral dan sirip ventral. Sirip ekor ikan nila berbentuk simetris

sehingga dapat digolongkan sebagai bentuk homocercal. Ikan nila juga memiliki

dua pasang sungut di bagian interiornya. Sisik ikan nila berfungsi sebagai

pelindung dari benda-benda asing yang ingin masuk kedalam tubuhnya. Ikan nila

disajikan pada Gambar 1.


Sumber: Fishbase, 2023
Gambar 1. Ikan Nila

2.1.2 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar banyak terdapat di danau, rawa, dan sungai. Secara

ilmiah, klasifikasi lobster air tawar seperti menurut Bachtiar (2006),adalah

sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Crustacea

Kelas : Malacostrada

Famili : Parastacidae

Ordo : Decapoda

Genus : Cherax

Spesies : Cherax lorentzi, Cherax albertisi, Cherax auranus, dan lain-lain.

Lobster air tawar menurut Lekatompessy dan Da Costa (2019), termasuk

salah satu genus yang tergolong kedalam kelompok udang (Crustacea) air tawar

yang memiliki siklus hidup hanya di lingkungan air tawar. Habitat lobster air tawar

(Cherax sp) antara lain danau, rawa atau sungai yang berlokasi di daerah

pegunungan. Sifat yang dimiliki dari lobster air tawar bersifat endemik, karena

terdapat spesifikasi pada spesies lobster air tawar yang ditemukan di habitat

tertentu. Nama lokal lobster air tawar ini merupakan Tako, sedangkan nama

latinnya adalah Cherax quadricarinatus. Genus ini memiliki ciri-ciri tubuh yang

terbagi meliputi warna tubuh ditutup dengan hitam, putih-putihan, hijau, kuning
kemudian warna capitnya hitam, putih-putihan dan sedikit bercak kemerahan.

Bagian cephalothorax pada lobster air tawar berwarna hitam polos dan sedikit

putih-putihan. Lobster air tawar disajikan pada Gambar 2.

Sumber: Fishbase, 2023


Gambar 2. Lobster Air Tawar

2.1.3 Belut (Monopterus albus)

Klasifikasi belut (Monopterus albus) menurut Junariyata dan Dewi (2016),

adalah sebagai berikut:

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Synbranchoideae

Famili : Synbranchidae

Genus : Monopterus

Spesies : Monopterus albus

Morfologi belut (Monopterus albus) menurut Nova, et al. (2020), adalah

tubuh belut sawah (Monopterus albus) berbentuk silindris dengan seluruh bagian

tubuh mengeluarkan lendir. Belut jantan dan betina memiliki perbedaan tubuh

yang terlihat cukup jelas. Morfologi belut jantan dan betina memiliki ukuran yang

berbeda, belut jantan rata-rata memiliki ukuran bagian tubuh lebih besar

dibandingkan dengan belut betina yang memiliki ukuran bagian tubuh yang lebih

kecil. Belut jantan memiliki ukuran yang lebih besar dari betina di bagian-bagian

seperti, ukuran anterior nostril, panjang dari ujung depan rahang atas sampai
posterior nostril, panjang total, panjang badan, dan ukuran lebar mulut. Belut

betina juga memiliki beberapa bagian yang dinyatakan lebih besar dari Belut

jantan, bagian-bagiannya yaitu, lebar badan bagian vent dan panjang ekor,

panjang rahang atas, panjang kepala, dan sudut bukaan mulut sampai belakang

panjang operkulum. Belut disajikan pada Gambar 3.

Sumber: Fishbase, 2023


Gambar 3. Belut

2.2 Pengertian Pertumbuhan

Pengertian pertumbuhan secara umum menurut Sofian, et al. (2019),

adalah perubahan dimensi (panjang, bobot, volume, jumlah, dan ukuran)

persatuan waktu baik individu maupun komunitas. Perubahan itu terjadi pada

keseluruhan tubuh atau organ-organ tertentu dan jaringan, serta dapat menjadi

perubahan tersebut berkaitan dengan komponen tubuh seperti organ dan

jaringan. Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui melalui hubungan panjang total

(mm) dan bobot total (g). Pertumbuhan merupakan pertambahan panjang dan

berat ikan yang dapat dilihat dari perubahan ukuran panjang dan berat dalam

satuan waktu. Pengelolaan terhadap lingkungan budidaya perlu dilakukan untuk

memperoleh pertumbuhan ikan yang optimal.

Pertumbuhan ikan menurut Samsu (2020), merupakan pertambahan

ukuran dan bobot yang terjadi pada setiap individu ikan seiring dengan

bertambahnya umur ikan. Pertumbuhan yang dialami oleh ikan dapat

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor yang mempengaruhi


pertumbuhan ikan umumnya terbagi menjadi dua yakni faktor internal dan

eksternal. Pertumbuhan internal ikan dipengaruhi oleh umur ikan, genetik ikan

serta kinerja organ yang terdapat didalam tubuh ikan. Faktor eksternal yang

mempengaruhi laju pertumbuhan ikan adalah jenis makanan, populasi ikan,

parasit, penyakit yang terdapat pada tubuh ikan. Faktor eksternal yang

berpengaruh paling besar terhadap laju pertumbuhan ikan adalah lingkungan

hidupnya atau kualitas air dari habitat hidupnya. Proses pertumbuhan ikan akan

sangat pesat apabila proses anabolismenya lebih laju dibandingkan

katabolismenya sehingga dapat memanfaatkan seluruh energi yang diterima

dengan sangat baik untuk tumbuh dan berkembang.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan menurut Djunaedi, et al. (2016),

pertumbuhan ikan sangat berpengaruh terhadap beberapa faktor termasuk

nutrisi, kolam, suhu, salinitas, musim, dan aktivitas fisik, karena ikan bersifat

poikiloterm dan hidup di air lingkungan budaya yang memiliki pengaruh kuat.

Peningkatan kepadatan ikan juga berpengaruh dan diikuti dengan pertumbuhan

yang berkurang. Pertumbuhan dapat berhenti akibat adanya kepadatan tertentu

yang disebabkan pasokan makan. Pemberian makan saja tidak akan cukup

untuk pertumbuhan. Perubahan kondisi lingkungan seperti konsentrasi garam

dapat memengaruhi tubuh ikan budidaya. Memelihara ikan nila larasati dari air

tawar ke air payau (tambak) berpengaruh terhadap pertumbuhan dan cita rasa

ikan. 

Ikan nila nirwana menurut Siegers, et al. (2019), merupakan salah satu

strain ikan yang termasuk baru, jenis ikan nila (Oreochromis niloticus) ini memiliki

beberapa keunggulan. Keunggulan nila nirwana terletak pada kecepatan

pertumbuhannya dibandingkan populasi awalnya. Pertumbuhan ikan ini


dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal ini termasuk genetika, jenis kelamin, usia, dan penyakit. Aksi

hormon pengaruh faktor eksternal jika lingkungan tidak sesuai dengan toleransi

tubuh ikan yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah suhu,

kandungan oksigen air, salinitas, kesuburan badan air, dan pencemaran.

2.4 Pertumbuhan Allometrik dan Isometrik

Terdapat dua pola pertumbuhan menurut Salim, et al. (2019), yaitu

pertumbuhan isometrik dan allometrik. Pertumbuhan isometrik dimaksudkan

sebagai perubahan terus menerus secara proporsional antara panjang atau

dengan berat dalam tubuh ikan. Bisa juga diartikan sebagai pertumbuhan

panjang akan selalu diikuti dengan pertambahan berat (pertumbuhan seimbang).

Pertumbuhan allometrik dijelaskan sebagai perubahan antara ukuran dan berat

yang tidak proporsional. Dasar dari pertumbuhan allometrik bersifat sementara,

misalnya karena perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad.

Pertumbuhan allometrik menurut Balukh, et al. (2020), dibagi menjadi dua

yaitu allometrik positif dan allometrik negatif. Pertumbuhan dikatakan sebagai

pertumbuhan allometrik positif apabila nilai b lebih dari 3. Allometrik positif

ditandai dengan berat badan lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan

panjang badan ikan. Allometrik negatif ditandai dengan pertumbuhan panjang

badan ikan lebih cepat dibandingkan dengan berat badan pada ikan. Allometrik

dikatakan negatif apabila nilai b yang didapatkan nilainya kurang dari 3.

2.5 Hubungan Panjang dan Berat

Pertumbuhan menurut Setyohadi dan Wiadnya (2018), didefinisikan

sebagai pertumbuhan bertahap panjang atau berat ikan dari waktu ke waktu.

Panjang dan berat pada ikan dapat dilakukan dengan cara diukur. Pertumbuhan
isometrik dan pertumbuhan allometrik telah digunakan untuk menjelaskan

hubungan yang erat antara panjang dan berat pada ikan. Panjang dan berat ikan

diukur untuk mendapatkan informasi tentang perbedaan berat dan panjang

antara individu atau populasi. Informasi ini dapat digunakan untuk menentukan

masalah ikan seperti obesitas, produktivitas, kesehatan, dan masalah fisiologis

seperti perkembangan gonad. Pola panjang dan berat secara tidak langsung

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berdampak pada ukuran tubuh ikan.

Ketersediaan pakan, pematangan gonad, dan perubahan ukuran tubuh ikan

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai. 

Panjang dan berat ikan menurut Arfiati, et al. (2022), dipengaruhi oleh

variabel internal seperti genetika dan fisiologis. Pengaruh oleh variabel eksternal

seperti suhu, makanan, dan air. Lokasi pengambilan sampel ikan, keterwakilan

sampel ikan yang diperoleh, dan kemungkinan tekanan penangkapan ikan yang

berat adalah tiga faktor yang mungkin menyebabkan variasi dalam

perkembangan ikan, karena variasi unsur lingkungan dan internal yang

mempengaruhi pertumbuhan ikan, spesies yang sama akan tumbuh berbeda di

lingkungan yang berbeda. Ikan yang ditangkap menunjukkan tren perkembangan

yang umumnya menguntungkan, dengan berat bertambah lebih cepat daripada

panjangnya. Rasio panjang terhadap berat ikan dapat berfungsi sebagai proksi

untuk tahap ekologi suatu organisme dalam siklus hidupnya. Koneksi allometrik

dan isometrik satu populasi mungkin berbeda dari yang lain karena banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, M., Setyadji, B., & Tampubolon, P. A. R. P. (2019). Perikanan Tuna


Sirip Kuning (Thunnus albacares Bonnaterre, 1788) pada Armada Tonda
di Samudera Hindia Selatan Jawa. BAWAL Widya Riset Perikanan
Tangkap, 11(3), 161-173.
https://doi.org/10.15578/bawal.11.3.2019.161-173

Arfiati, D., Farkha, K., & Anugerah, D. P. (2022). Ikan Nila (Oreochromis


niloticus). Malang: Media Nusa Creative (MNC Publishing).

Bachtiar, I. Y. (2006). Usaha Budi Daya Lobster Air Tawar di Rumah. Jakarta
Selatan: AgroMedia.

Balukh, R., N., Rahardjo, P., Maulita, M. (2020). Aspek Biologi Ikan Julung-
Julung (Hemiramphus lutkei) di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Buletin JSJ. 2 (2),57-68.
http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/JSJ

Djunaedi, A., Pribadi, R., Hartati, R., Redjeki, S., Astuti, R. W., & Septiarani, B.
(2016). Pertumbuhan Ikan Nila Larasati (Oreochromis niloticus) di
Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan dan Padat Penebaran yang
Berbeda. Jurnal Kelautan Tropis, 19(2), 131-142.
https://doi.org/10.14710/jkt.v19i2.840

Fishbase. (2023). Diambil dari https://www.fishbase.se/summary/Monopterus-


albus.html. Diakses pada tanggal 19 april 2023. pukul 10.00 WIB.

Fishbase. (2023). Diambil dari https://www.fishbase.se/summary/oreochromis-


niloticus.html. Diakses pada tanggal 18 April 2023. Pukul 22.30 WIB.

Fishbase. (2023). Diambil dari https://www.sealifebase.ca/photos/thumbnails-


summary.php?ID=83706. Diakses pada tanggal 19 April 2023 Jam 10.05
WIB

Hormati, C. P., Mudeng, J. D., Longdong, S. N., Pangemanan, N. P., Kalesaran,


O. J., & Tumembouw, S. S. (2023). Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) pada Metode Akuaponik dengan Biofilter Tanaman Berbeda. E-
Journal Budidaya Perairan, 11(1), 62-67.

Junariyata, M. F., & Dewi, T. Q. (2016). Budidaya belut di berbagai wadah.


Jakarta Timur: Penebar Swadaya Grup.

Lekatompessy, H. S., & Da Costa, G. W. (2019). Inventarisasi Jenis-Jenis


Lobster Air Tawar (Cherax sp.) di Danau Tigi Kampung Widimei
Kabupaten Deiyai. TABURA: Jurnal Perikanan Dan Kelautan, 1(1), 1-9.
Lelono, T. D., Bintoro, G., Setyohadi, D., & Risky, M. (2021). The Length–Weight
Relationships and Clasper Maturity of Two Shark (Carcharhinus sorrah,
Carcharhinus falciformis) of Landed in Prigi Coastal Fishing Port
Trenggalek East Jawa. Earth And Environmental Science, 860(1), 1-8.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/860/1/012111

Nova, T. S. D., Yudha, I. G., & Adiputra, Y. T. (2020). Identifikasi Calon Induk
Belut Sawah Monopterus albus (Zuiew, 1793) Jantan dan Betina untuk
Pembenihan dengan Morfometrik Truss. Jurnal Perikanan Unram, 10(2),
167-174.
https://doi.org/10.29303/jp.v10i2.210

Salim, G., Firdaus, M., & Heriyana. (2019). Analisis Hubungan Panjang, Berat
dan Faktor Kondisi Ikan Tempakul (Periopthalmus barbarus) di Kawasan
Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) Kota Tarakan. Jurnal
Harpodon Borneo. 12(1), 20-32.
https://doi.org/10.29303/jp.v10i2.210

Samsu, N. (2020). Peningkatan Produksi Ikan Nila Melalui Pemanfaatan


Pekarangan Rumah Nonproduktif dan Penentuan Jenis Media Budidaya
Yang Sesuai. Yogyakarta: Deepublish.

Setyohadi, D., & Wiadnya, D. G. R. (2018). Pengkajian Stok dan Dinamika


Populasi Ikan Lemuru. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Siegers, W. H., Prayitno, Y., & Sari, A. (2019). Pengaruh Kualitas Air Terhadap
Pertumbuhan Ikan Nila Nirwana (Oreochromis sp.) pada Tambak Payau.
The Journal of Fisheries Development, 3(2), 95-104.

Sofian, Syaeful, A., Merza, S. (2019). Kinerja Pertumbuhan Ikan Gabus (Channa
striata) dengan Suplementasi Astaxanthin pada Level Berbeda. Jurnal
Akuakultur Rawa Indonesia, 7(2), 77-85.

Surahman, E., Sujarwanto, E., & Mahmudah, I. R. (2022). Budi Daya Ikan Nila.
Madiun: Bayfa Cendekia Indonesia.

Suyanto, S. R. (2011). Pembenihan dan Pembesaran Nila. Jakarta: PT Niaga


Swadaya.
LAPORAN PRAKTIKUM

BIOLOGI PERIKANAN AKUAKULTUR

(FEKUNDITAS)

NAMA : EVELYN NANDA BERLIAN S.

NIM : 225080500111047

KELOMPOK :3

ASISTEN : ALDIA ATAA RAHMATIKA

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2023

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fekunditas menurut Slamat, et al. (2018), adalah suatu aspek dalam

dunia perikanan yang mempunyai peranan yang sangat penting. Fekunditas

pada ikan mempunyai hubungan dengan sifat-sifat rasial, dinamika populasi,

hingga produksi dan persoalan stok untuk rekruitmen. Fekunditas pada ikan

betina terdapat pada telur yang berada di bagian ovarium. Fekunditas secara

tidak langsung dapat digunakan untuk menentukan jumlah anak ikan yang

dihasilkan dan dapat menentukan jumlah anak ikan yang berada dalam kelas

umur yang sama. Fekunditas menyebabkan munculnya faktor-faktor lain yang

mempunyai peranan penting yang berkaitan dengan strategi reproduksi spesies

tertentu di alam bebas. Fekunditas mempunyai beberapa jenis, yaitu fekunditas

individu, fekunditas relatif, dan fekunditas mutlak. Semua jumlah telur yang

terkandung dalam ovarium ikan betina biasa disebut fekunditas individu. Semua

ukuran dan masing-masing telur harus dihitung dalam waktu yang sama.

Perbedaan nilai fekunditas menurut Al Ishaqi dan Sari (2019), dapat

disebabkan oleh berbagai faktor. Fekunditas ikan dipengaruhi oleh faktor ukuran,

umur, spesies ikan, dan pengaruh lingkungan seperti habitat dan ketersediaan

nutrisi. Faktor berat induk juga bisa mempengaruhi fekunditas karena berat induk

memiliki kaitan dengan berat gonad. Berat gonad dapat ditentukan dengan cara

melakukan perhitungan melalui pengurangan berat induk pasca pemijahan

dengan pra pemijahan. Nilai fekunditas akan terus meningkat, apabila gonad

semakin berat.
Fekunditas menurut Kordi dan Tamsil (2010), dibagi kedalam empat

macam fekunditas yaitu fekunditas individu, fekunditas mutlak, fekunditas relatif

dan fekunditas total. Fekunditas individu biasanya diterapkan pada ikan yang

mengalami pemijahan tahunan atau pemijahan satu tahun sekali. Ikan pada

pemijahan tahunan mengandung telur dari berbagai tingkat dan akan lebih sulit

menentukan telur yang benar-benar dikeluarkan pada tahun yang akan datang.

Fekunditas total merupakan jumlah telur yang dihasilkan ikan pada saat ikan

tersebut hidup, sedangkan untuk fekunditas relatif merupakan jumlah telur per

satuan berat atau panjang. Fekunditas mutlak biasanya sering dihubungkan

dengan berat ikan, karena berat pada ikan lebih mendekati ikan itu daripada

panjang ikan.

Fekunditas merupakan aspek yang penting dalam perikanan, karena

memiliki hubungan dengan sifat-sifat rasial, dinamika populasi, produksi, dan

persoalan stok untuk rekruitmen. Fekunditas pada ikan betina terletak pada telur

yang terdapat di ovarium dan dapat digunakan untuk menentukan jumlah anak

ikan yang dihasilkan dan berada dalam kelas umur yang sama. Faktor-faktor

seperti ukuran, umur, spesies ikan, dan lingkungan seperti habitat dan

ketersediaan nutrisi dapat mempengaruhi fekunditas. Berat induk juga dapat

mempengaruhi fekunditas karena berat induk terkait dengan berat gonad.

Fekunditas memiliki 4 jenis, yaitu fekunditas individu, fekunditas mutlak,

fekunditas relatif, dan fekunditas total, yang memiliki perhitungan yang berbeda

tergantung pada tujuan penelitian.

1.2 Maksud dan Tujuan


1.2.1 Maksud

Maksud dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Fekunditas

adalah:
1. Mengetahui secara makroskopis organ-organ baik secara eksternal

maupun secara internal.

2. Mengetahui jumlah produksi telur pada setiap sampel ikan.

1.2.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum Biologi Perikanan Akuakultur materi Fekunditas

adalah:

1. Mampu melakukan demonstrasi organ-organ secara makroskopis, baik itu

secara eksternal maupun secara internal.

2. Mampu mengetahui cara mendapatkan telur ikan, serta mengetahui cara

menghitung telur ikan.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Biologi Perikanan Akuakultur dilaksanakan pada Sabtu, 13 Mei

2023 di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Barreras dan Arroyo (2019), adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Superclass : Pisces 

Class : Actinopterygii 

Order : Siluriformes 

Family : Clariidae 

Genus : Clarias 

Spesies : Clarias gariepinus 

Morfologi ikan lele dumbo menurut Hasan, et al. (2020), adalah ikan lele

dumbo memiliki bentuk tubuh luar yang memanjang, bentuk kepala pipih dan

tidak bersisik. Lele dumbo memiliki sungut yang memanjang yang terletak di

sekitar kepala sebagai alat peraba ikan. Ikan lele dumbo mempunyai lima sirip

yaitu sirip ekor, sirip punggung, sirip dada, dan sirip dubur. Ikan lele dumbo

memiliki patil tidak tajam dan giginya tumpul. Ikan lele dumbo memiliki insang

yang berukuran kecil serta mempunyai alat pernafasan tambahan (arborescent

organ) yang terletak pada insang bagian atas. Ikan lele disajikan pada Gambar 1.
Sumber: Liswahyuni, et al. (2021)
Gambar 1. Ikan Lele Dumbo

2.2 Pengertian Fekunditas

Fekunditas menurut Dayani, et al. (2022), merupakan faktor yang

menentukan tingkat produktivitas ikan. Fekunditas didefinisikan sebagai jumlah

telur matang yang dikeluarkan induk betina pada saat masa pemijahan, karena

nilai fekunditas mempengaruhi ras, dinamika populasi, produktivitas, dan potensi

reproduksi pada ikan. Besar kecilnya fekunditas pada ikan dipengaruhi oleh

faktor pakan yang disediakan, ukuran panjang serta berat ikan, serta diameter

telur dan faktor lingkungan. Fekunditas secara tidak langsung dapat menaksir

jumlah anak ikan yang akan dikeluarkan atau dihasilkan saat memijah. Jumlah

telur yang dikeluarkan atau dihasilkan merupakan satu rantai penghubung antara

satu generasi dengan generasi berikutnya.

Fekunditas menurut Anjani, et al. (2018), merupakan jumlah banyaknya

telur masak sebelum dikeluarkan saat ikan memijah. Fungsi pengetahuan

fekunditas adalah sebagai bagian studi sistematis atau studi mengenai ras.

Fungsi lainnya berupa, dinamika populasi, produktivitas, potensi reproduksi dan

sebagainya. Fekunditas secara tidak langsung dapat menaksir jumlah anak ikan

yang akan dikeluarkan atau dihasilkan saat memijah. Telur dengan jumlah yang

dikeluarkan atau dihasilkan merupakan satu rantai penghubung antara satu

generasi dengan generasi berikutnya.


2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fekunditas

Faktor-faktor yang mempengaruhi fekunditas menurut Paul, et al. (2022),

antara lain adalah kondisi ikan ketika epitel germinal diletakkan turun selama

tahun pertama kehidupan. Faktor selanjutnya, adalah kondisi ikan-ikan yang

akan bertelur setiap tahun dipisahkan dari massa ovum yang sedang

berkembang. Faktor lainnya bisa terjadi saat oosit primer sedang dibentuk setiap

tahun. Telur dengan jumlah yang dihasilkan pada fekunditas berhubungan erat

dengan berat rata-rata ovarium. Fekunditas yang lebih baik mengacu pada

naiknya berat ovarium yang ada.

Faktor yang mempengaruhi fekunditas menurut Zahra, et al. (2021),

merupakan kemampuan dalam memanfaatkan makanan dan ukuran tubuh ikan

yakni panjang atau berat. Ukuran ikan yang semakin besar, maka jumlah telur

pada ikan semakin banyak. Besar atau kecilnya tubuh ikan dapat dijadikan

indikator pada ukuran fekunditas. Ikan yang semakin besar, maka jumlah telur

pada ikan semakin banyak. Makanan ikan dengan jumlah dan jenis yang

dikonsumsi juga sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor pada fekunditas.

Makanan yang baik akan mudah dimanfaatkan oleh ikan sehingga menyebabkan

kesuburan pada fekunditas menjadi tinggi.

2.4 Macam-Macam Fekunditas

Macam-macam fekunditas menurut Apriadyanti, et al. (2022), yaitu

fekunditas individu, fekunditas total dan fekunditas relatif. Fekunditas individu

adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang dikeluarkan pada tahun itu pula.

Fekunditas total diartikan sebagai jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan selama

hidupnya. Fekunditas relatif adalah jumlah telur persatuan bobot atau panjang.
Fekunditas memegang peran penting dalam menentukan kelangsungan dan

dinamika populasi ikan.

Fekunditas relatif menurut Ma’ruf, et al. (2020), adalah jumlah telur per

satuan berat atau panjang. Fekunditas total diartikan sebagai jumlah telur yang

telah dihasilkan oleh ikan selama hidupnya. Ikan-ikan yang tua dan besar

ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil. Umumnya fekunditas relatif

lebih tinggi dibanding dengan fekunditas individu. Fekunditas relatif akan menjadi

maksimum pada golongan ikan yang masih muda.

2.5 Cara Mendapatkan Telur

Ikan melakukan pemijahan menurut Hadie, et al. (2016), dilakukan

dengan dua cara, yaitu alami dan buatan. Pemijahan buatan dilakukan dengan

cara menyuntikkan ovaprim pada induk ikan jantan dan induk ikan betina yang

telah matang gonad. Dosis ovaprim yang disuntikkan ke induk yang telah matang

gonad sebanyak 0,5 mL/kg. Proses membutuhkan waktu selama 12 jam dari

waktu setelah penyuntikan ovaprim. Proses selanjutnya induk yang telah disuntik

ovaprim dan rentang waktu 12 jam, induk ikan dilakukan stripping untuk

mendapatkan telur dari induk betina dan sperma dari induk jantan. Spermatozoa

dari induk jantan dimasukkan pada microtube dan dicampur dengan 25 milimikro

DNA, kemudian dimasukkan ke mesin elektroforator untuk kejutan voltase

50,75,100 mV/s. Campurkan spermatozoa tersebut dengan larutan fisiologis 625

µm dan masukkan kedalam tabung untuk pembuahan. Telur hasil pembuahan

buatan dielektroforasi dan dilakukan inkubasi sampai menetas.

Cara mendapatkan telur menurut Lubis, et al. (2022), dapat dilakukan

dengan metode stripping. Metode stripping merupakan metode pemijahan

buatan pada ikan dengan cara pengambilan sperma dan telur secara manual.

Metode ini dilakukan dengan mengerut bagian perut sampai ke arah genital
dengan secara perlahan sampai mengeluarkan cairan sperma untuk induk jantan

dan mengeluarkan telur untuk induk betina. Telur yang sudah dikeluarkan

kemudian disimpan di dalam wadah. Pembuahan pada hasil stripping, dilakukan

dengan telur induk betina dicampurkan dengan sperma dari hasil stripping induk

jantan.

2.6 Cara Menghitung Telur

Cara menghitung telur menurut Ramadhan dan Sari (2018), dapat

dilakukan menggunakan metode transek. Metode transek merupakan jalur

sempit melintang yang akan dipelajari atau diselidiki. Sampel yang diamati

berada pada petak pengamatan yang dipasang, akan dicatat jenisnya dan

dihitung jumlahnya dalam petak pengamatan yang dipasang. Metode transek

berukuran 10x10 cm menggunakan sampel telur ikan yang akan dihitung. Jumlah

telur ikan yang digunakan adalah telur yang telah dikeluarkan sebanyak 109.890

butir dan telur yang tidak dibuahi 9.084 butir yang memiliki nilai Fertilization Rate

(FR) sebesar 91,73%.

Fekunditas menurut Manurung, et al. (2022), dapat dikatakan sebagai

banyaknya butir telur yang terkandung pada gonad betina. Parameter yang biasa

digunakan untuk mengukur potensi reproduksi adalah ovari ikan betina. Ovari

ikan betina mengandung banyak telur yang dapat dihitung dengan sangat

mudah. Nilai fekunditas biasanya dipengaruhi oleh panjang dan bobot tubuh

ikan. Tingginya fekunditas maka akan menentukan banyaknya anakan yang

akan dihasilkan. Penentuan nilai fekunditas dapat dihitung menggunakan rumus

sebagai berikut:
𝐹 = 𝐵𝑔/𝐵𝑓 𝑥 𝐹𝑠

Keterangan:

F : jumlah total fekunditas (butir)

Bg : bobot total ikan

Bf : bobot sampel gonad

FS : jumlah telur dalam sampel gonad

2.7 Cara Mengawetkan Telur

Pemijahan pada ikan menurut Boys, et al. (2016), ada dua cara yaitu

alami dan buatan. Pemijahan alami pada ikan ketika bertemunya induk betina

dan induk jantan yang telah matang gonad, induk betina yang mengeluarkan sel

telur dan induk jantan yang mengeluarkan sel sperma. Pemijahan buatan

dilakukan dengan menyuntikkan larutan ovaprim. Induk betina yang telah

mengeluarkan telur akan di induksi oleh sel sperma dari induk jantan. Tempatkan

telur pada ember 15 liter dan dibiarkan terbuka. Dalam waktu 24 jam ambil telur

dengan menggunakan tabung vinil. Simpan telur pada toples 700 ml dengan

posisi diangin-anginkan.

Pengawetan telur menurut Mitchell, et al. (2020), yang menjelaskan

bahwa pengawetan menggunakan formalin tidak dapat digunakan. Formalin

dapat menyebabkan masalah pada keamanan pangan, serta menyebabkan telur

akan pecah dan menjadi lebih sedikit. Alternatif lain untuk pengawetan telur

selain menggunakan formalin, bisa dilakukan dengan menggunakan metode

pembekuan. Proses menggunakan metode pembekuan ini dapat dimasukkan ke

dalam kulkas dengan suhu 3,8ºC. Metode pembekuan juga memungkinkan untuk

mendapatkan hasil perhitungan yang akurat mengenai berat telur dan fekunditas

yang mutlak.
2.8 Sifat-Sifat Telur

Telur ikan menurut Baharuddin, et al. (2016), salah satu sifatnya yaitu

adhesive. Adhesive mengakibatkan telur ikan akan menempel antara satu

dengan yang lain. Telur ikan yang berada di tengah akan lebih mudah

mengalami kematian. Telur ikan akan tertutup oleh telur ikan yang lain, sehingga

sulit mendapatkan oksigen. Telur ikan yang memiliki sifat adhesive kebanyakan

hidup pada perairan air tawar, seperti telur ikan lele. Sifat telur ikan yang lain

adalah non adhesive atau tidak menempel, seperti telur ikan salmon dan ikan

tawes.

Sifat telur pada ikan menurut Kordi dan Ghufran (2009), yaitu melayang

dan adhesive. Telur ikan yang memiliki sifat melayang biasa dikenal dengan telur

demersal. Telur ikan termasuk non adhesive, yakni melayang di sekitar dasar

perairan. Alat bantu untuk melindungi telur-telur ikan sangat diperlukan. Kolam

perairan untuk kehidupan ikan jika digerakkan menyebabkan telur yang sudah

tenggelam akan kembali melayang. Telur ikan dibedakan menjadi dua, yakni

yang tidak membutuhkan media dan membutuhkan media. Telur ikan yang

membutuhkan media termasuk kelompok adhesif atau menempel pada substrat,

sedangkan telur yang tidak membutuhkan media akan melayang di perairan.

2.9 Hubungan Fekunditas dengan Panjang Berat Ikan

Hubungan fekunditas dengan panjang dan berat ikan menurut Fatah dan

Adjie (2016), adalah bahwa fekunditas dengan panjang tubuh ikan berbanding

lurus. Perbandingan tersebut mengindikasikan bahwa semakin panjang tubuh

yang dimiliki ikan maka akan semakin besar pula fekunditasnya. Hubungan

fekunditas dengan bobot ikan sama seperti hubungan panjang dengan

fekunditas yaitu berbanding lurus. Berat bobot ikan yang semakin besar
menunjukan besarnya fekunditas dari ikan tersebut. Ikan dengan fekunditas yang

besar dapat ditemukan pada ikan yang memiliki panjang dan bobot yang besar

pula, sehingga untuk mencari indukan ikan yang memiliki fekunditas yang besar

maka dapat dilihat dari morfologi tubuhnya.

Hubungan fekunditas pada ikan menurut Osho dan Usman (2019),

ditandai dengan perbandingan berat gonad dan ukuran telur ikan yang signifikan

dimana (P<0,05). Hubungan fekunditas akan berkaitan erat dari panjang total

dan panjang standar pada ikan. Fekunditas berikatan lemah dengan panjang

total dan panjang standar, tetapi akan berikatan negatif antara kematangan

gonad dan faktor-faktor lain seperti, variasi ukuran, variasi telur, bervariasi

panjang total dan faktor lingkungan. Variabel tersebut akan saling berhubungan

dengan fekunditas dan berat gonad yang paling tinggi, dan berikatan dengan

panjang total dan panjang standar. Penelitian ini menunjukkan bahwa 50% ikan

gabus negro (Parachanna obscura) memiliki tingkat fekunditas yang bagus.

Banyak jumlah telur yang dikeluarkan sebanyak 10.965 dengan ukuran panjang

tubuh 26 cm, berat badan 154 gram, berat gonad 9 gram, dan diameter telurnya

1,3 mm. Fekunditas ikan betina yang memiliki skala kecil mempunyai jumlah telur

yang dikeluarkan sebanyak 1820 dengan ukuran panjang tubuh 22 cm, berat

badan 94 gram, berat gonad 2 gram, dan diameter telurnya 1 mm.


DAFTAR PUSTAKA

Al ishaqi, A. B. & Sari, P. D. W. (2019). Pemijahan Ikan Koi (Cyprinus carpio)


dengan Metode Semi Buatan: Pengamatan Nilai Fekunditas, Derajat
Pembuahan Telur dan Daya Tetas Telur. Jurnal Perikanan, 9(2), 216-224.
https://doi.org/10.33512/jpk.v9i2.6862

Anjani, F. D., Adi, W., & Utami, E. (2018). Aspek Reproduksi Ikan Selar Kuning
(Selaroides leptolepis) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Sungai Liat. Jurnal Sumberdaya Perairan, 26-34.

Apriadyanti, M., Sugihartono, M., & Ghofur, M. (2022). Fekunditas Ikan Betok
(Anabas testudineus. Bloch) yang Diinduksi dengan HCG dan Hipofisa
Ayam Broiler. Jurnal Akuakultur Sungai dan Danau, 7(1), 50-54.

Baharudin, A., Syakirin, M. B., & Mardiana, T. Y. (2016). Pengaruh Perendaman


Larutan Teh Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Lele Sangkuriang (Clarias
gariepinus). Pena Akuatika, 14(1), 9-17.

Barreras, R. R. & Arroyo, C. Z. (2019). The First Record of the African Catfish
Clarias gariepinus (Burchell, 1822) in Puerto Rico. International Journal of
Aquatic Science, 10(2), 98-100.

Boys, C. A., Robinson, W., Miller, B., Pflugrath, B., Baumgartner, L. J., Navarro,
A., Brawn, R. & Deng, Z. (2016). How Low Can They Go When Going
with the Flow? Tolerance of Egg and Larval Fishes to Rapid
Decompression. Biology open, 5(6), 786-793.
https://doi.org/10.1242/bio.017491

Dayani, P., Puspitasari, D., Dodianto, & Novriadi. (2018). Pemijahan Ikan Lele
Sangkuriang (Clarias gariepinus var) di Pusat Pembenihan Ikan Kerasaan
UPT Budidaya Ikan Air Payau dan Laut Sumatera Utara. Jurnal
Budidaya Perairan, 9-14.

Fatah, K., & Adjie, S. (2016). Biologi reproduksi ikan betutu (Oxyeleotris
marmorata) di waduk kedungombo propinsi jawa tengah. BAWAL Widya
Riset Perikanan Tangkap, 5(2), 89-96.

Hadie, W., Kusrini, E., Priyadi, A., & Alimuddin, A. (2016). Penyisipan Gen Warna
pada Ikan Carassius auratus Menggunakan Metode Elektroforasi Dalam
Upaya Meningkatkan Kualitas Ikan Hias. Jurnal Riset Akuakultur, 5(3),
335-343.
https://doi.org/10.15578/jra.5.3.2010.335-343

Hasan, U., Siswoyo, B. H., & Manullang, H. M. (2020). Pengembangan Usaha


Pembenihan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Desa Bulu Cina
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 19-23.
https://doi.org/10.46576/rjpkm.v1i1.531
Kordi, M. G. H., & Ghufran, H. (2009). Budi Daya Perairan Buku kedua.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Kordi, M. G. H., & Tamsil, A. (2010). Pembenihan ikan laut ekonomis secara
buatan. Yogyakarta: Lily Publisher.

Liswahyuni, A., Mapparimeng, & Ayyun, Q. (2021). Tingkat Kelangsungan Hidup


dan Pola Pertumbuhan Bibit Ikan Lele (Clarias gariepinus) Dalam
Kepadatan yang Berbeda pada Sistem Budikdamber. Fisheries and
Aquatic Studies, 1(2), 51-59.

Lubis, E. S., Sukendi, & Nuraini. (2022). Pengaruh Pencucian Telur Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus) dengan Larutan Susu Bubuk Dancow Full Cream
terhadap Daya Rekat, Angkat, Pembuahan, Penetasan Telur dan
Kelulushidupan Larva. Jurnal Akuakultur Sebatin, 3(1), 1-13.

Manurung, V. R., Siregar, R. F., Hasibuan, J. S., & Mujtahidah, T. (2022). Studi
Pengamatan Pemijahan Metode Semi Alami Parameter Fekunditas,
Pembuahan, Daya Tetas Telur dan Sintasan Larva Ikan Koi (Cyprinus
carpio) di Desa Perbarakan, Deli Serdang: Studi Pengamatan Pemijahan
Metode Semi Alami. AQUACOASTMARINE: Journal of Aquatic and
Fisheries Sciences, 1(1), 1-6.
https://doi.org/10.32734/jafs.v1i1.8610

Ma’ruf, M. M., Syarif, A. F., & Bidayani, E. (2020). Performa Reproduksi Ikan
Betok (Anabas testudineus) Betina dengan Pemberian Pakan Buatan
Berbahan Baku Tepung Keong Mas (Pomacea canaliculata). Jurnal
Perikanan, 10(2), 92-111.
https://doi.org/10.29303/jp.v10i2.130

Mitchell, S. M., Dadswell, M. J., Ceapa, C., & Stokesbury, M. J. (2020). Fecundity
of Atlantic Sturgeon (Acipenser oxyrinchus, Mitchill 1815) Captured by the
Commercial Fishery in the Saint John River, New Brunswick, Canada.
Journal of Applied Ichthyology, 36(2), 142-150.
https://doi.org/10.1111/jai.14027

Osho, F. E., & Usman, R. A. (2019). Length-weight Relationship, Condition


Factor and Fecundity of African Snakehead from the Anambra River,
South East Nigeria. Croatian Journal of Fisheries, 77(2), 99-105.
https://doi.org/10.2478/cjf-2019-0011

Paul, G. M., Nath, P., & Dutta, A. (2022). Length-weight Relationship, Relative
Condition Factor and Fecundity of Notopterus Notopterus (Pallas, 1769)
From River Brahmaputra in Dhubri, Assam, India. Journal of
Fisheries, 10(3), 1-7.
https://doi.org/10.17017/j.fish.398

Ramadhan, R., & Sari, L. A. (2018). Teknik Pembenihan Ikan Mas (Cyprinus
carpio) Secara Alami di Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Budidaya
Air Tawar (UPT PBAT) Umbulan, Pasuruan. Journal of Aquaculture and
Fish Health, 7(3), 124-132.
https://doi.org/10.20473/jafh.v7i3.11261
Slamat., Krisdianto., & Anshary, P. (2018). Bioekologi dan Reproduksi Ikan Betok
(Anabas testudineus Bloch 1792) di Rawa Monoton. Banjarmasin:
Muhammadiyah Banjarmasin University Press.

Zahra, S., Puspitasari, D., & Rumondang. (2021). Pengaruh Hormon


Gonadotrophin Terhadap Fekunditas Ikan Nilem (Osteochilus hasselti).
Jurnal Budidaya Perairan, 52-56.

Anda mungkin juga menyukai