Anda di halaman 1dari 5

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Protein

Protein menurut Sawitri, et al., (2014) merupakan salah satu senyawa

organik kompleks yang memiliki berat molekul tinggi. Protein juga merupakan

polimer yang dapat terdiri dari monomer – monomer asam amino dengan ikatan

peptida. Fungsi protein dapat digunakan sebagai enzim, hormon dan antibodi. Suatu

polipetida baru dapat menjadi protein apabila dapat berfungsi secara biologis dan

dapat mengkatalisis suatu reaksi metabolik. Polipeptida akan mengalami pelipatan

dengan membentuk susunan tiga dimensi. Lipatan protein apabila mengalami

pemecahan atau pembukaan akan mengubah struktur sekunder sehingga dapat

mengubah fungsi suatu protein.

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena

zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi

sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino

yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak memiliki oleh lemak atau

karbohidrat. Protein di dalam tubuh dapat berguna sebagai zat pembangun dan

pertumbuhan. Protein dapat membentuk jaringan baru di dalam tubuh. Protein dapat

berfungsi sebagai pengatur didalam metabolisme tubuh. Selain hal tersebut protein

juga merupakan salah satu komponen yang dapat membentuk antibodi untuk

mempertahankan daya tahan tubuh (Natsir & Latifa, 2018).


2.2 Morfologi dan Klasifikasi

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu ikan yang

dibudidayakan secara luas di banyak negara termasuk Indonesia.Ikan nila menurut

Azhari dan Tomasoa (2018) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar

yang mendapat perhatian dan sering dibudidayakan. Hal ini sangat beralasan

mengingat kandungan nutrisi seperti protein, terdapat dalam jumlah yang cukup

tinggi dalam daging ikan nila. Ikan nila dapat diklasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Achanthopterygii

Ordo : Perciformes

Familia : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Morfologi ikan nila menurut Lukman, et al. (2014), yaitu lebar badan ikan nila

umumnya sepertiga dari panjang badannya. Bentuk tubuhnya memanjang dan

ramping, sisik ikan nila relatif besar, matanya menonjol dan besar dengan tepi

berwarna putih. Ikan nila mempunyai lima buah sirip yang berada di punggung,

dada, perut, anus, dan ekor. Pada sirip dubur (anal fin) memiliki 3 jari-jari keras dan

9-11 jari-jari sirip lemah. Sirip ekornya (caudal fin) memiliki 2 jari-jari lemah

mengeras dan 16-18 jari-jari sirip lemah. Sirip punggung (dorsal fin) memiliki 17 jari-

jari sirip keras dan 13 jari-jari sirip lemah. Sementara sirip dadanya (pectoral fin)
memiliki 1 jari-jari sirip keras dan 5 jari-jari sirip lemah. Sirip perut (ventral fin)

memilki 1 jari-jari sirip keras dan 5 jari-jari sirip lemah. Ikan nila memiliki sisik cycloid

yang menutupi seluruh tubuhnya.

2.3 Pengujian Protein Metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan

nitrogen total pada protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Metode ini

telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara semi mikro,

sebab hanya membutuhkan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit serta waktu

analisis yang pendek. Metode Kjeldahl cocok untuk menetapkan kadar protein yang

tidak larut atau protein yang sudah mengalami koagulasi akibat proses pemanasan

maupun proses pengolahan lain yang biasa dilakukan pada makanan Metode

Kjeldahl merupakan salah satu metode untuk pengujian protein. Analisa protein

dengan metode Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu

proses destruksi, destilasi dan titrasi.

Menurut Swastawati et al, (2013), Dalam proses destruksi sampel

dipanaskan dengan H2SO4 pekat sehingga terurai menjadi unsur-unsurnya. Agar

proses lebih cepat digunakan katalisator Na2SO4, CuSO4, dan selenium. Proses

destruksi selesai bila larutan sudah jernih atau tidak berwarna. Tahap destilasi yaitu

amonium sulfat dipecah menjadi amonia dengan penambahan NaOH sampai alkalis

dan dipanaskan. Amonia yang terbentuk ditampung dalam H3BO3 pekat yang

sudah diberi indikator BCG dan methyl red. Jumlah H3BO3 yang bereaksi dengan

amonia dapat diketahui dengan menitrasinya dengan menggunakan HCl 0,02 M.

Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru tua menjadi merah
muda. Perlakuan blanko dilakukan untuk mengetahui nitrogen yang berasal dari

reagensia yang digunakan.

2.4 Pengujian Protein Biuret

Pengukuran kadar protein menurut Jubaidah, et al. (2016) dapat dilakukan

dengan metode biuret karena metode ini didasarkan pada pengukuran serapan

cahaya berwarna ungu dari protein yang bereaksi dengan pereaksi biuret dimana

yang membentuk kompleks adalah protein dengan ion Cu2+ yang terdapat dalam

pereaksi biuret dalam suasana basa yang menjadi Cu+, semakin tinggi intensitas

cahaya yang diserap oleh spektrofotometer maka semakin tinggi pula kandungan

protein yang terdapat dalam zat tersebut. Keuntungan dari metode biuret ini adalah

bahan yang digunakan relatif murah akan tetapi kelemahan dari metode ini adalah

sensitivitas terhadap bahan yang diidentifikasi rendah sehingga diperlukan bahan

dalam jumlah yang tidak sedikit. Pengujian protein menggunakan metode biuret

merupakan salah satu metode untuk mengetahui adanya protein di dalam sampel

uji.

Protein dapat ditetapkan kadarnya secara kolometri dengan menggunakan

metode biuret. Metode ini memiliki prinsip bahwa setiap ikatan peptida dapat

membentuk senyawa kompleks. Senyawa kompleks yang terbentuk akan

menghasilkan warna ungu dengan adanya penambahan garam kupri didalam

suasana basa. Pada pereaksi biuret terdari atas campuran protein dengan sodium

hidroksida (berupa larutan) dan tembaga sulfat. Warna violet yang terbentuk

merupakan hasil dari reaksi ini yang menunjukkan adanya 2 atau lebih ikatan

peptida. Metode ini memiliki kekurangan yaitu hasil pembacaan tidak murni

menunjukkan kadar protein saja tetapi senyawa lain yang mengandung gugus fenol,
benzena, ikut terbaca kadarnya dan gugus sulfhidrin. Adapun saat waktu pelaksaan

dengan uji biuret membutuhkan waktu yang lama dan sering dirasa kurang efisien

(Purwanto, 2014).

Anda mungkin juga menyukai