Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL

HUBUNGAN POLA PEMBERIAN MAKAN DENGAN PERKEMBANGAN


MOTORIK TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA ANAK DI DESA
SUKODADI KECAMATAN PAITON KABUPATEN PROBOLINGGO

Mata Kuliah: Metodologi Penelitian

Dosen Pembimbing : Achmad Kusyairi, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh:

Nur Mutmainnah

(NIM 14201.09.17045)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN


PROBOLINGGO

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth
faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan gizi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan
tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang memadai. Periode
24 bulan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga
disebut dengan periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitive
karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat
permanen dan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu diperlukan pemenuhan gizi
yang adekuat pada usia ini (Betty Yosephin, dkk. 2019).
Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak
suboptimal, sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya
pertumbuhan mental (UNICEF,2012; dan WHO, 2010). Masalah gizi
terutama stunting pada anak dapat menghambat perkembangan anak, dengan
dampak negative yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya
seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit menular, serta
penurunan produktivita produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan
risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (Betty Yosephin, dkk.
2019).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017, pravelensi
stunting di dunia sekitar 150,8 juta anak, dan lebih dari 2 juta anak dibawah
umur 5 tahun meninggal dunia karena stunting yang banyak disebabkan oleh
praktik pemberian makan yang buruk dan terjadinya infeksi berulang.
Indonesia menempati peringkat ketiga dengan negara pravelensi stunting
tertinggi di Asia Tenggara setelah Timor Leste dan India yaitu 29,6% pada
tahun 2017 (Buletin Stunting, 2018). Data yang diperoleh dari Pusat Data
dan Informasi (Kementerian Kesehatan RI, 2018) menunjukkan bahwa pada
tahun 2017 terdapat sekitar 150,8 juta (22,2%) dari total populasi anak di
dunia mengalami stunting. Sekitar 55% adalah anak yang hidup dan tinggal
di Asia, sedangkan 39% diantaranya berasal dari afrika. Rata-rata prevalensi
anak stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Kemkes Ri,
2018). Tahun 2015, prevalensi anak pendek di Indonesia sebesar 29%,
mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%, dan prevalensi anak
pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Kemkes RI,
2018).
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki prevalensi
stunting tinggi pada tahun 2015 yaitu sebesar 34.8% (Dinkes Jatim, 2016).
Berdasarkan data pelaksanaan percepatan pencegahan stunting terintegrasi
Provinsi Jawa Timur April 2019 Kabupaten Probolinggo menunjukkan data
prevalensi stunting mencapai 94%, data anak stunting pada tahun 2018
mencapai 17,29 %.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada bulan Januai 2020 di Desa
Sukodadi Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo terdapat 94 kasus
stunting yang terjadi pada anak.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada tubuh dan otak akibat
kekurangan gizi dalam waktu yang lama sehingga anak lebih pendek dari
anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir
(Kemenkes, 2018). Faktor-faktor penyebab terjadinya stunting yaitu berat
badan lahir rendah, tidak mendapatkan asi eksklusif, kekurangan asupan
kalori dan protein, dan tidak imunisasi. WHO mengkategorikan penyebab
langsung dari pengerdilan anak yaitu faktor rumah tangga dan keluarga
(factor ibu dan lingkungan rumah), pemberian makanan pendamping yang
tidak memadai (makanan berkualitas rendah, praktik yang tidak memadai,
dan keamanan pangan dan air), menyusui (praktik yang tidak adekuat), dan
infeksi (infeksi klinis dan subklinis) serta faktor sosial, ekonomi politik;
kesehatan dan perawatan kesehatan; pendidikan masyarakat dan budaya;
budaya pertanian dan sistem pangan; dan air, sanitasi, dan lingkungan
( Beal,dkk. 2018)
Menurut penelitian sebelumnya pola pemberian makan yang kurang
tepat dapat menyebabkan terjadinya kurang gizi dan meningkatkan risiko
terjadinya stunting, sebaliknya pemberian makan yang baik berpengaruh
terhadap status gizi yang baik serta mengurangi resiko stunting. Pemberian
makan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya kegemukan.
Pemberian makanan dipengaruhi oleh ibu, karena ibulah yang sangat
berperan penting dikeluarga dalam pengaturan pemberian makanan pada
anaknya (Dewi Endah Kusumaningtyas,dkk.2017).
Berdasarkan hasil penelitian (Pantaleon, dkk, 2015) mengatakan bahwa
perkembangan motorik anak yang stunting lebih banyak yang kurang 22%
jika dibandingkan dengan anak yang tidak stunting 2%.
Zat gizi memegang peranan penting dalam dua tahun pertama
kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak memerlukan gizi
yang adekuat. Kecukupan zat gizi pada masa ini akan mempengaruhi proses
tumbuh kembang anak pada periode selanjutnya (Pantaleon, dkk. 2015).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kejadian stunting salah satunya pola pemberian makan
dan dampak dari kejadian stunting salah satunya perkembangan motorik
yang terhambat, maka penulis tertarik menganalisis pola pemberian makan
dengan perkembangan motorik terhadap kejadian stunting. Sehingga penulis
tertarik mengambil judul ”Hubungan Pola Pemberian Makan dengan
Perkembangan Motorik Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak di Desa
Sukodadi Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo?”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya,


peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimanakah
Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Perkembangan Motorik Terhadap
Kejadian Stunting Pada Anak di Desa Sukodadi Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo?’’.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui “Bagaimanakah


Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Perkembangan Motorik Terhadap
Kejadian Stunting Pada Anak di Desa Sukodadi Kecamatan Paiton
Kabupaten Probolinggo?’’.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi demografi anak stunting.


2. Mengidentifikasi pola pemberian makan pada anak stunting.
3. Mengidentifikasi tinggi badan anak kejadian stunting.
4. Mengidentifikasi perkembangan motorik pada anak stunting.
5. Menganalisis hubungan pola pemberian makan dengan perkembangan
motorik terhadap kejadian stunting pada anak.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini sebagai informasi, diharapkankan dapat menjadi


referensi pengembangan dalam ilmu keperawatan untuk permasalahan gizi
anak khususnya untuk menambah pengetahuan tentang kejadian stunting
pada anak berdasarkan pola pemberian makan dan perkembangan motorik.

1.4.2 Manfaat Praktisi

1. Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
dalam melakukan penelitian mengenai ”Hubungan Pola Pemberian
Makan dengan Perkembangan Motorik Anak Terhadap Kejadian
Stunting Pada Anak di Desa Sukodadi Kecamatan Paiton Kabupaten
Probolinggo”, serta menambah informasi mengenai pola pemberian
makan dan perkembangan motorik pada anak stunting.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi institusi
pendidikan serta memberikan informasi mengenai pola pemberian
makan dan perkembangan motorik pada anak stunting.
3. Bagi Lahan Penelitian
Dapat menambah pengetahuan bagi anak yang mengalami kejadian
stunting.
4. Bagi Bidang Ilmu Keperawatan
Dapat mendukung teori-teori keperawatan yang berhubungan
dengan”Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Perkembangan
Motorik Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak di Desa Sukodadi
Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo”.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengembangkan dan melengkapi
kekurangan pada penelitian ini.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Pemberian Makan

2.1.1 Konsep Pola Pemberian Makan


Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat
mempengaruhi keadaan gizi yang disebabkan karena kualitas dan kuantitas
makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi tingkat
kesehatan individu. Gizi yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan
normal serta perkembangan fisik dan kecerdasan bayi, anak-anak serta
seluruh kelompok umur. Pola makan merupakan tingkah laku seseorang
atau sekelompok orang dalam pemenuhan kebutuhan makan yang meliputi
sikap, kepercayaan dan pilihan makanan. Pola makan terbentuk sebagai
hasil dari pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial (Waryono,
2010).
2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pemberian makan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola pemberian makan.
1. Faktor status sosial ekonomi
Menurut (Septiana, Djannah dan Djamil, 2010), ekonomi keluarga
secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan pangan
keluarga. Ketersediaan pangan dalam keluarga mempengaruhi pola
konsumsi yang dapat berpengaruh terhadap intake gizi keluarga Tingkat
pendapatan keluarga menyebabkan tingkat konsumsi energi yang baik
2. Faktor pendidikan
Tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang ikut
menentukan ibu dalam menyerap dan memahami informasi gizi yang
diperoleh (Septiana, Djannah dan Djamil, 2010).
3. Faktor lingkungan
Lingkungan dibagi menjadi lingkungan keluarga, sekolah dan
promosi yang dilakukan oleh perusahaan makanan baik pada media
cetak maupun elektronik. Lingkungan keluarga dan sekolah akan
mempengaruhi kebiasaan seseorang yang dapat membentuk pola
makannya. Promosi iklan makanan juga akan membawa daya tarik
kepada seseorang yang nantinya akan berdampak pada konsumsi
makanan tersebut, sehingga dapat mempengaruhi pola makan seseorang
(Sulistyoningsih, 2011).
4. Faktor sosial budaya
Konsumsi makanan seseorang akan dipengaruhi oleh budaya.
Pantangan dan anjuran dalam mengkonsumsi makanan akan menjadi
sebuah batasan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Kebudayaan
akan memberikan aturan untuk menentukan tata cara makan, penyajian,
persiapan dan makanan tersebut dapat dikonsumsi. Hal tersebut akan
menjadikan gaya hidup dalam pemenuhan nutrisi. Kebiasaan yang
terbentuk berdasarkan kebudayaan tersebut dapat mempengaruhi status
gizi dan menyebabkan terjadinya malnutrisi. Upaya untuk pencegahan
harus dilakukan dengan cara pendidikan akan dampak dari suatu
kebiasaan pola makan yang salah dan perubahan perilaku untuk
mencegah terjadinya malnutrisi sehingga dapat meningkatkan status
kesehatan seseorang serta memelihara kebiasaan baru yang telah
dibentuk dengan tetap mengontrol pola makan (Booth and Booth,
2011).
Budaya atau kepercayaan seseorang dapat mempengaruhi
pantangan dalam mengkonsumsi makanan tertentu. Pada umumnya,
pantangan yang didasari kepercayaan mengandung sisi baik atau buruk.
Kebudayaan mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk
mempengaruhi seseorang dalam memilih dan mengolah makanan yang
akan dikonsumsi. Keyakinanan terhadap pemenuhan makanan berperan
penting untuk memelihara perilaku dalam mengontrol pola makan
seseorang (Ames et al., 2012).
5. Faktor agama
Segala bentuk kehidupan di dunia ini telah diatur dalam agama.
Salah satunya yaitu tentang mengkonsumsi makanan. Sebagai contoh,
agama Islam terdapat peraturan halal dan haram yang terdapat pada
setiap bahan makanan. Hal tersebut juga akan mempengaruhi konsumsi
dan memilih bahan makanan.

2.1.3 Pola Pemberian Makan Sesuai Usia

Pola makan balita sangat berperan penting dalam proses


pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung gizi.
Gizi merupakan bagian penting dalam pertumbuhan.Gizi tersebut memiliki
keterkaitan yang sangat erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan.
Apabila pola makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka
pertumbuhan balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek bahkan terjadi gizi
buruk pada balita (Purwani dan Mariyam, 2013).Tipe kontrol yang
diidentifikasi dapat dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya-anaknya ada
tiga, yaitu memaksa, membatasi dan menggunakan makanan sebagai hadiah.

Beberapa literatur mengidentifikasi pola makan dan perilaku orang


tua seperti memonitor asupan nutrisi, membatasi jumlah makanan, respon
terhadap pola makan dan memperhatikan status gizi anak (Karp et al., 2014).
Pola pemberian makan anak harus disesuaikan dengan usia anak supaya
tidak menimbulkan masalah kesehatan (Yustianingrum dan Adriani, 2017).

Kelompok Jenis dan jumlah Frekuensi makanan


Umur makanan
0-3 bulan ASI eksklusif Sesering mungkin
4-6 bulan Makanan lumat 1x sehari
2 sendok makan setiap
kali
7-12 bulan Makanan lembek 2x sehari, 2x selingan
1-3 tahun Makanan keluarga 3x sehari
1.1 ½ piring nasi atau
pengganti
2-3 potong lauk hewani
4-6 tahun 1.2 piring nasi atau 3x 3x sehari
sehari pengganti
2.3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati
1.1 ½ mangkuk sayur
2-3 potong buah
1-2 gelas susu

Sumber : Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi Balita Depkes RI


(2000)

2.2 Konsep Perkembangan Motorik

2.2.1 Perkembangan Motorik Halus

1. Masa Neonatus (0-28 hari)


Perkembangan motorik halus pada masa ini dimulai dengan adanya
kemampuan untuk mengikuti garis tengah bila kita memberikan respons
terhadap gerakan jari atau tangan (Aziz Alimul, 2008).
2. Masa Bayi (28 hari-1 tahun)
a) Usia 1-4 bulan
Perkembangan motorik halus pada usia ini adalah dapat melakukan
hal-hal seperti memegang suatu objek, mengikuti objek dari sisi ke
sisi, mencoba memegang dan memasukkan benda ke dalam mulut,
memegang benda tapi terlepas, memerhatikan tangan dan kaki,
memegang benda dengan kedua tangan , serta menahan benda di
tangan walaupun hanya sebentar (Aziz Alimul, 2008).
b) Usia 4-6 bulan
Perkembangan motorik halus pada usia ini adalah sudah mulai
mengamati benda, menggunakan ibu jari dan jari telunjuk untuk
memegang, mengeksplorasi benda yang sedang dipegang,
mengambil objek dengan tangan tertangkup, mampu menahan kedua
benda di kedua tangan secara simultan, menggunakan bahu dan
tangan sebagai satu kesatuan, serta memindahkan objek dari satu
tangan ke tangan yang lain (Aziz Alimul, 2008).
c) Usia 8-12 bulan
Perkembangan motorik halus pada usia ini adalah mencari atau
meraih benda kecil; bila diberi kubus mampu memindahkan,
mengambil, memegang dengan telunjuk dan ibu jari,
membenturkannya, serta meletakkan benda atau kubus ke tempatnya
(Aziz Alimul, 2008).
3. Masa Anak (1-2 tahun)
Perkembangan motorik halus pada usia ini dapat ditunjukkan dengan
adanya kemampuan dalam mencoba menyusun atau membuat menara
pada kubus (Aziz Alimul, 2008).
4. Masa Prasekolah
Perkembangan motorik halus dapat dilihat pada anak, yaitu mulai
memiliki kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki, menggambar dua
atau tiga bagian, memilih garis yang lebih panjang dan menggambar
orang, melepas objek dengan jari lurus, mampu menjepit benda,
melambaikan tangan, menggunakan tangannya untuk bermain,
menempatkan objek ke dalam wadah, makan sendiri, minum dari
cangkir dengan bantuan (Aziz Alimul, 2008).

2.2.2 Perkembangan Motorik Kasar

1. Masa Neonatus (0-28 hari)


Perkembangan motorik kasar yang dapat dicapai usia ini diawali
dengan tanda gerakan seimbang pada tubuh dan mulai mengangkat
kepala (Aziz Alimul, 2008).
2. Masa Bayi (28 hari-1 tahun)
a) Usia 1-4 bulan
Perkembangan motorik kasar pada usia ini dimulai dengan
kemampuan mengangkat kepala pada saat tengkurap, mencoba
duduk sebentar dengan ditopang, mampu duduk dengan kepala
tegak, jatuh terduduk di pangkuan ketika disokong pada posisi
berdiri, control kepala sempurna, mengangkat kepala sambil
berbaring terlentang, berguling dari terlentang ke miring, posisi
lengan dan tungkai kurang fleksi, dan berusaha untuk merangkak
(Aziz Alimul, 2008).
b) Usia 4-6 bulan
Perkembangan motorik kasar awal bulan ini dapat dilihat pada
perubahan dalam aktivitas, seperti posisi telungkup pada alas dan
sudah mulai mengangkat kepala dengan melakukan gerakan menelan
keua tangannya. Pada bulan ke-4 sudah mampu memalingkan kepala
ke kanan dan ke kiri; duduk dengan kepala tegak; membalikkan
badan; bangkit dengan kepala tegak; menumou beban pada kaki
dengan lengan berayun ke depan dan ke belakang; berguling dari
terlentang ke tengkurap; serta duduk dengan bantuan dalam waktu
yang singkat (Aziz Alimul, 2008).
c) Usia 8-12 bulan
Perkembangan motorik kasar dapat diawali dengan duduk tanpa
pegangan, berdiri dengan pegangan, bangkit lalu berdiri, berdiri 2
detik, dan berdiri sendiri (Aziz Alimul, 2008).
3. Masa Anak (1-2 tahun)
Dalam perkembangan masa anak terjadi perkembangan motorik kasar
secara signifikan. Pada masa ini anak sudah mampu melangkah dan
berjalan dengan tegak. Sekitar usia 18 bulan anak mampu menaiki
tangga dengan cara satu tangan dipegang. Pada akhir tahun ke-2 sudah
mampu berlari-lari kecil, menendang bola, dan mulai mencoba
melompat (Aziz Alimul, 2008).
4. Masa Prasekolah
Perkembangan motorik kasar masa pra sekolah ini dapat diawali dengan
kemampuan untuk berdiri dengan satu kaki selama 1-5 detik, melompat
dengan satu kaki, berjalan dengan tumit jari kaki, menjelajah, membuat
posisi merangkat dan berjalan dengan bantuan (Aziz Alimul, 2008).

2.3 Konsep Status Gizi

2.3.1 Definisi Status Gizi


Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara
asupan energy dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan
keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat
penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari
keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh, yang diwujudkan dalam
bentuk variabel tertentu. Ketidakseimbangan (kelebihan dan kekurangan)
antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan
patologi bagi tubuh manusia (Hidayati,dkk. 2019).

2.3.2 Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan langkah awal dari manajemen gizi.


Secara garis besar metode penilaian gizi dibedakan menjadi dua yaitu
metode langsung dan tak langsung (Setyawati,dkk. 2018). Metode
langsung dibagi menjadi empat yaitu antropometri, klinis, biokimia dan
biofisik. Sedangkan metode tak langsung dibagi menjadi 3 yaitu survei
konsumsi, statistic vital, dan faktor etolologi.

1. Metode penilaian gizi secara langsung


1) Antropometri
Penilaian status gizi dengan menggunakan metode
antropometri ialah pengukuran ukuran, berat, proporsi tubuh,
beberapa literatur menyatakan bahwa antropometri ialah proses
pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh. Hasil pengukuran
antropometri sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
usia, fisiologis, pola makan, dan lain-lain. Metode antropometri
membutuhkan beberapa parameter diantaranya umur, berat badan,
tinggi badan, lingkar kepala, lengan atas, lingkar kepala, dan lingkar
dada. Masing-masing parameter akan dibahas dibawah ini (Iswan
A.Nusi,dkk. 2019).
a) Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.
Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestase
status gizi menjadi salah (Iswan A.Nusi,dkk. 2019).
b) Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu antropometri yang
memberikan gambaran masa tubuh (otot dan lemak). Hal ini
dikarenakan tubuh sangat sensitive terhadap perubahan keadaan
yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi,
menurunnya nafsu makan, dan menurunnyajumlah makanan yang
dikonsumsi, sehingga berat badan merupakan antropometri yang
sangat labil (Iswan A.Nusi,dkk. 2019).
Tabel 2.2 Rumus Perkiraan Berat Badan

Usia Tinggi Badan (cm)


Lahir 3,25
1-12 bulan [Usia (bulan) + 9] : 2
1-6 tahun [Usia (tahun) x 2 + 8]
6-12 tahun [Usia (tahun) x 7 - 5] : 2

c) Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan
normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan
umur. Pertumbuhan tinggi badan, tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadapa masalah defisiensi gizi dalam
waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi
badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama. Tinggi
badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang
telah lalu dan keadaan skarang jika umur tidak diketahui dengan
tepat (Iswan A.Nusi,dkk. 2019).

Tabel 2.3 Rumus Perkiraan Tinggi Badan


Usia Tinggi Badan (cm)
Lahir 50
-1 tahun 75
2-12 tahun Usia (tahun) x 6 + 77
d) Lingkar Kepala
Lingkar kepala : memeriksa keadaan patologi dari besarnya
kepada / peningkatan ukuran kepala contohnya yangs ering
terjadi adalah kepala besar (hidrosefalus) dan kepala kecil
(microsefalus). Lingkar kepala terutama dihubungkan dengan
ukuran otak dan tulang tengkorak. Lingkar kepala juga
digunakan sebagai informasi tambahan dalam pengukuran umur
(Setyawati,dkk. 2018).
e) Lingkar Dada
Biasanya dilakukan pada anak usia 2-3 tahun, karena rasio
lingkar kepala dan lingkar dada sama pada umur 6 bulan.
Setelah umur ini, tulang tengkorak tumbuh secara lambat dan
pertumbuhan dada lebih cepat. Umur antara 6 bulan dan 5
tahun, rasio antara lingkar kepala dan dada adalah kurang dari
satu, hal ini dikarenakan akibat kegagalan perkembangan dan
pertumbuhan / kelemahn otot dan lemak pada dinding dada. Ini
dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan KEP pada
balita. Masalah yang sering ditemukan dalah akurasi
pengukuran (pembacaan), karena pernafasan anak yang tidak
teratur (Setyawati,dkk. 2018).
f) Lingkar lengan atas
Selama tahun pertama kehidupan, pertambahan otot dan
lemak di lengan berlangsung cepat. Pada anak berusia 5 tahun,
pertumbuhan nyaris hampir tidak terjadi, dan ukuran lengan
tetap konstan di angka 16 cm. Apabila anak mengalami
malnutrisi, otot akan mengecil, lemak menipis, dan ukuran
lingkar lengan akan susut. Pengukuran lingkar lengan berguna
untuk mendeteksi malnutrisi anak balita, terutama bila usia yang
tepat tidak diketahui dan alat timbang tidak ada (Setyawati,dkk.
2018).
2) Klinis
Metode ini biasanya digunakan untuk mendeteksi
kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang berhubungan
dengan kekurangan atau kelebihan gizi. Metode ini biasa
menggunakan pendekatan riwayat medis dan pemeriksaan fisik
(Setyawati,dkk. 2018).
3) Biokimiawi
Beberapa tahapan masalah gizi dapat diketahui dengan
metode laboratorium, penyimpanan zat gizi dalam jaringan
tubuh mengalami perubahan secara perlahan sesuai dengan
status gizi seseorang (Setyawati,dkk. 2018).
4) Biofisik
Metode penilaian status gizi yang cara kerjanya melihat
kemmapuan fungsi (khususnya jaringan) dan meliaht perubahan
struktur dari jaringan (Setyawati,dkk. 2018).
2. Metode Penilaian Status Gizi Secara Tak Langsung
1) Survei Konsumsi
Survei konsumsi adalah suatu metode penialaian status gizi
dengan melihat dan menghitung jumlah dan jenis makanan yang
dikonsumsi oleh individu. Akan tetapi survei konsumsi juga bisa
dilakukan pada tingkat rumah tangga. Tujuan dilaksanakannya
survei konsumsi makanan adalah untuk mengetahui kebiasaan
makan, dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat
gizi pada tingkat, kelompok, rumah tangga dan perorangan serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya (Setyawati,dkk. 2018)..
2) Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistic kesehatan seperti angka
kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit tertentu, dan data lainya yang berhubungan dengan gizi
(Setyawati,dkk. 2018)..
3) Faktor Ekologi
Ekologi merupakan suatu pengetahuan yang mengkaji tentang
hubungan timbal balik antara organisme hidup dengan lingkungan
atau dapat dikatakan juga ekologi adalah ilmu mengenai jaringan
hubungan antara zat-zat organism dengan unsur-unsur yang hidup
dan mati dalam ingkungannya (Setyawati,dkk. 2018).
2.3.3 Klasifikasi Status Gizi
Dalam menentukan status gizi pada balita harus ada ukuran baku
yangsering disebut references atau patokan sebuah penilaian. Pengukuruan
baku antropometri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah WHO-
NCHS. Menurut Kemenkes RI (2017) di dalam buku saku pemantauan
status gizi, klasifikasi status gizi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1. Status gizi lebih (over weight)
Gizi lebih (Over weight) Gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh
zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis
atau membahayakan (Almatsier, 2011). Kelebihan berat badan pada
balita terjadi karena ketidakmampuan antara energi yang masuk dengan
keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit olahraga atau keduanya.
Kelebihan berat badan anak tidak boleh diturunkan, karena penyusutan
berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan (Rahim, 2014).
2. Status gizi baik (well nourished)
Status gizi baik adalah dimana keadaan tubuh memperoleh cukup
zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara umum meningkat, atau bisa disebut juga status gizi
optimal (Khanet al, 2017).
3. Status gizi kurang (under weight)
Status gizi kurang pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein dalam
waktu tertentu Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat-zat esensial (Almatsier, 2011).
4. Status gizi buruk
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan
kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada
di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein,
karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi
Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai
pada balita (Yadav et al, 2016)

2.4 Konsep Stunting

2.4.1 Definisi Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari


kekurangan gizi kronis yang terjadi sejak bayi dalam kandungan sampai
usia 2 tahun sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (Simbolon. 2019).

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth


faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan gizi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah
dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang
memadai. Periode 24 bulan merupakan periode yang menentukan kualitas
kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini merupakan
periode yang sensitive karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada
masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu
diperlukan pemenuhan gizi yang adekuat pada usia ini (Betty Yosephin,
dkk. 2019).

2.4.2 Penyebab Stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya


disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun
anak balita (TNP2K.2017). Secara lebih detil, beberapa faktor yang
menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya


pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada
masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan
informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6
bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2
dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan
ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk
mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP-ASI juga dapat
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun
minuman (TNP2K.2017).
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante
Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes
dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan
imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas
(baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan
PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini) (TNP2K.2017).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan
bergizi. Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia
masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS
2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94%
lebih mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah
dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat
telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia
(TNP2K.2017).
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di
lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia
masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih (TNP2K.2017).

2.4.3 Tanda dan Gejala Stunting

1. Pertumbuhan melambat
2. Wajah tampak lebih muda dari usianya
3. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam,tidak banyak
melakukan eye contact.
4. Tanda pubertas terlambat
5. Pertumbuhan gigi terlambat
6. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar (Tim
Indonesiabaik.id. 2019)

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada


anak. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung
maupun tidaklangsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah
asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak
langsungnya adalahpendidikan, status ekonomi keluarga, status gizi ibu
saat hamil, sanitasi air dan lingkungan, BBLR dan masih banyak lagi
faktor lainnya (Danaei et al, 2016).
1. Faktor langsung
1) Asupan gizi balita
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini
merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang dan
tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya
masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat
melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun
apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar
keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh.
Balita yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila
asupan yang diterima tidak mencukupi. Penelitian yang menganalisis
hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balitaatau
nutrisi yang kurang bagi balita berpengaruh terhadap kejadian
balitapendek (Diana, 2018).
2) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab
langsung stunting. Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan
asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan
memperburuk keadaan bilaterjadi kekurangan asupan gizi. Anak
balita dengan kurang gizi akan lebihmudah terkena penyakit infeksi.
Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini
mungkin akan membantu perbaikan gizidengan diiimbangi
pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi
saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat
hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan
dasarkhususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku
sehat (Papieretal,2014).
2. Faktor tidak langsung
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh
seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu
cita-cita tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka
semakin mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga semakin
banyak pula penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya pendidikan
yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadap nilai-nilai yang baru dikenal (Putra, 2016). Tingkat
pendidikan juga menentukan mudah tidaknyaseseorang menyerap
dan memahami pengetahuan tentang gizi dankesehatan. Pengetahuan
mengenai gizi merupakan proses awal dalam perubahan perilaku
peningkatan status gizi, sehingga pengetahuan merupakan faktor
internal yang mempengaruhi perubahan perilaku. Pengetahuan ibu
tentang gizi akan menentukan perilaku ibu dalam menyediakan
makanan untuk keluarga. Ibu dengan pengetahuan gizi yangbaik
dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat
untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu faktor penyebab
stunting pada anak (Ni’mah & Muniroh, 2016).
Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi yang baik akan
mempunyai kemampuan untukmenerapkan pengetahuan gizi dalam
pemilihan dan pengolahan pangansehingga dapat diharapkan asupan
makanannya lebih terjamin, baik dalammenggunakan alokasi
pendapatan rumah tangga untuk memilih panganyang baik dan
mampu memperhatikan gizi yang baik untuk anaknya, serta
pengetahuan orang tua tentang gizi dapat membantu memperbaiki
statusgizi pada anak untuk mencapai kematangan pertumbuhan
(Larsen &Huskey, 2015).
2) Status ekonomi keluarga
Status ekonomi yang kurang dalam keluarga dapat berakibat
pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu
sendiri. Rata-rataasupan kalori dan protein anak balita di Indonesia
masih di bawah AngkaKecukupan Gizi (AKG). Ketersediaan pangan
merupakan faktor penyebab kejadian stunting, ketersediaan pangan
di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan
keluarga yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk
pengeluaran pangan yang lebih rendah. Kemiskinan sebagai
penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi
umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan
ekonomi relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi
pangan (Islam et al, 2018).
3) Status gizi ibu saat hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor,
faktor tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama
kehamilan. Beberapa indikator pengukuran seperti 1) kadar
hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam
darah untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas
(LILA) yaitu gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk
menentukan KEK atau tidak 3) hasil pengukuran berat badan untuk
menentukan kenaikan berat badan selama hamil yang dibandingkan
dengan IMT ibu sebelum hamil (Sukmawati,Hendrayati,
Chaerunnimah,& Nurhumaira, 2018).
4) Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui
status KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang
menunjukkan kekurangan energi dan protein dalam jangka waktu
yang lama. Faktor predisposisi yang menyebabkan KEK adalah
asupan nutrisi yang kurang dan adanya faktor medis seperti
terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu hamil dapat berbahaya
baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat persalinan dan keadaan
yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu yang
mengalami KEK (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, 2015).
Faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK adalah
pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan status anemia.
Kekurangan energy secara kronis menyebabkan cadangan zat gizi
yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat sehingga
dapat menyebabkan terjadinya gangguan baik pertumbuhan maupun
perkembangannya (Warsini,Hadi,& Nurdiati, 2016).
Selain itu, ibu hamildengan KEK berisiko melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir
rendah dan BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak
adekuat. Hubungan antara stunting dan KEK telah diteliti di
Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ibu
hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan risiko
kejadian stunting pada balita (Rika,Harsono,&Yulia, 2017).
5) Kadar Hemoglobin
Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi
terjadinya kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb) pada
saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari anemia tersebut
yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan asam folat, adanya
penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis ataupun
adanya riwayat dari keluarga sendiri. Ibuhamil dengan anemia sering
dijumpai karena pada saat kehamilan keperluan akan zat makanan
bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam darah dan
sumsum tulang (Sukmawati et al, 2018). Nilai cut-offanemia ibu
hamil adalah bila hasil pemeriksaan Hb faktor risiko kejadian
stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada ibu hamil
dapat menyebabkan kejadian stunting pada balita.
6) Kenaikan berat badan ibu saat hamil
Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT
saat sebelum ibu hamil. Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam
status kurang gizi maka penambahan berat badan seharusnya lebih
banyak dibandingkan dengan ibu yang status gizinya normal atau
status gizi lebih. Penambahan berat badan ibu selama kehamilan
berbeda pada masing–masing trimester. Pada trimester pertama berat
badan bertambah 1,5-2Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester
ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu
selama hamil sekitar 9- 12 Kg (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
KIA, 2015). Pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi status kelahiran bayi. Penambahan
berat badan saat hamil perlu dikontrol karena apabila berlebih dapat
menyebabkan obesitas pada bayi sebaliknyaapabila kurang dapat
menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah,prematur yang
merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak balita (Rika et
al, 2017).
7) Berat badan lahir rendah
Berat badan lahir rendah sangat terkait dengan pertumbuhan
dan perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang
dilakukan oleh Fitri (2018) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara BBLR dengan kejadian stunting. Balita yang memiliki riwayat
berat badan lahir rendah memiliki risiko 3 kali mengalami stunting
(Fitri Lidia, 2018).
8) Panjang badan bayi baru lahir
Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat
menyebabkan bayi baru lahir dengan panjang badan lahir pendek.
Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila
panjang badan lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm
(Kemenkes, 2018). Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh
pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan.
9) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif
adalah pemberian ASI tanpa menambahkan dan atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi
sejak baru lahir selama 6 bulan (Riskesdas, 2018).
Manfaat dari pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu
upaya untuk memperoleh tumbuhkembang bayi yang baik. Karena
ASI mengandung semua nutrisi pentingyang diperlukan bayi untuk
tumbuh kembangnya dan mengandung zat antibodi untuk kekebalan
tubuh bayi, serta dapat meningkatkan jalinanatau ikatan batin antara
ibu dan anak (Yusrina & Devy, 2016). Penelitianyang dilakukan di
Kota Sidoarjo yang dilakukan oleh Yusrina (2016)menyatakan
bahwa kejadian stunting disebabkan oleh rendahnyapendapatan
keluarga, pemberian ASI yang tidak Eksklusif, pemberian MP-ASI
yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktoryang
paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang
tidakEksklusif (Yusrina & Devy, 2016).
10) MP-ASI
MP-ASI menurut WHO adalah makanan atau minuman
selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama
pemberian makanan peralihan yaitu pada saat makanan atau
minuman lain yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI
kepada bayi (Rahmad, 2017). Makanan pendamping ASI adalah
makanan tambahan yang diberikan pada bayi setelah umur 6 bulan.
Jika makanan pendamping ASI diberikan terlaludini (sebelum umur
6 bulan) akan menurunkan konsumsi ASI dan bayibisa mengalami
gangguan pencernaan. Namun sebaliknya jika makanan pendamping
ASI diberikan terlambat akan mengakibatkan bayi kurang gizi, bila
terjadi dalam waktu panjang. Periode emas dalam dua tahunpertama
kehidupan anak dapat tercapai optimal apabila ditunjang
denganasupan nutrisi tepat sejak lahir. Bayi (usia 0-11 bulan)
merupakan periode emas sekaligus periode kritis karena pada masa
ini terjadi pertumbuhandan perkembangan yang pesat yang mencapai
puncaknya pada usia 24 bulan. Apabila janin dalam kandungan
mendapatkan gizi yang cukup,maka ketika lahir berat danpanjang
badannya akan normal dan untukmempertahankan hal tersebut, maka
cara yang efektif adalah dengan pemberian makanan pendamping air
susu ibu (MP-ASI) sejak usia 6bulan dan dilanjutkan ASI sampai
usia dua tahun (Rahmad, 2017).
Standar makanan pendamping ASI harus memperhatikan
angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan
teksturmakanan sesuai perkembangan umur bayi. Penelitian yang
dilakukan di Kecamatan Sedayu, menyatakan bahwa umur makan
pertama merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada
balita. Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko
penyakit infeksi seperti diare hal ini terjadi karena MP-ASI yang
diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat gizi
seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selamadiare jika tidak
diganti akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat
menimbulkan dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan
kematian (Khasanah, Hadi, & Paramashanti, 2016).
11) Kondisi Sanitasi dan Akses Air Minum
Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk
dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat
energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh
menghadapi infeksi, zat gizi sulit diserap oleh tubuh dan
terhambatnya pertumbuhan. Berdasarkan konsep dan definisi
Milennium Development Goals (MDGs), rumah tangga memiliki
akses sanitasi layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan
memenuhi syarat kesehatan, antara lain dilengkapi dengan leher
angsa, tanki septik (septic tank) atau Sistem Pembuangan Air
Limbah (SPAL), yang digunakan sendiri atau bersama. Lingkungan
perumahan seperti kondisi tempat tinggal, pasokan air bersihyang
kurang, dan sanitasi yang tidak memadai merupakan faktor-
faktoryang dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting.
Air dan sanitasi memiliki hubungan dengan pertumbuhan
anak. Anak-anak yang berasaldari rumah tangga yang tidak
memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko mengalami
stunting. Sedangkan anak-anak yang memiliki tinggibadan yang
normal pada umumnya berasal dari rumah tangga yang memiliki
fasilitas air dan sanitasi yang baik. Anak-anak yang awalnya
mengalami stunting, jika mereka berasal dari rumah tangga yang
memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik, mereka memiliki
kesempatan sebesar17 % untuk mencapai tinggi badan yang normal
bila dibandingkan dengan anak-anak stunting yang berasal dari
rumah tangga yang memiliki fasilitas air dan sanitasi yang buruk
(Desyanti,Chamilia,Nindya, 2017).

2.4.5 Dampak Stunting


Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak
jangka pendek dan jangka panjang (Atmarita,dkk. 2018).

1. Dampak Jangka Pendek.


a) Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak
optimal; dan
c) Peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak Jangka Panjang.
a) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya);
b) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
c) Menurunnya kesehatan reproduksi;
d) Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah; dan
e) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

Anda mungkin juga menyukai