Anda di halaman 1dari 20

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan

masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin

meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah gizi

tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi

baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari

tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi

anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan

37,1%, dan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar

20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya

gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi

BBLR (<2500 gram) sebesar 10,2% dan bayi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2%

(Balitbangkes, 2013).

Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan masa usia dini maka dalam

jangka pendek akan berpengaruh terhadap terjadinya: 1) gangguan perkembangan sel-sel

otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses

metabolik dari berbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan

reseptor. Selanjutnya dalam jangka panjang, ketiga gangguan tersebut secara paralel,

masing-masing dapat mengakibatkan :1) rendahnya kemampuan kognitif; 2) risiko tetap

stunting pada periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita

penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, DM, jantung coroner, dan obesitas.

Dampak yang ditimbulkan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada

periode umur selanjutnya sehingga akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hidup

manusia Indonesia (Rajagopalan, 2003).

Sesuai dengan agenda ke-5 Nawa Cita Pemerintah yaitu Meningkatkan Kualitas

Hidup manusia Indonesia maka pemerintah memiliki Program Utama Kesehatan yaitu

Program Indonesia Sehat yang didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program
Indonesia Pintar, Program Indonesia Kerja dan Program Indonesia Sejahtera. Adapun

sasaran dari Program Indonesia Sehat adalah meningkatnya derajat kesehatan dan status

gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung nya

gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi BBLR

(dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan

melalui tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan

kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma

sehat dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan,

penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan

pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan,

optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continuum

of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan

dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya.

(Kemenkes, 2016).

Pada hakekatnya penyebab dasar terjadinya masalah kurang gizi adalah masalah

ekonomi yang ditandai dengan rendahnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan

rendahnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yang dapat menyebabkan

rendahnya asupan zat gizi. Selain disebabkan rendah asupan zat gizi maka pola

pengasuhan Balita yang kurang baik dan buruknya kondisi sanitasi lingkungan dan kurang

tersedianya sarana air bersih serta kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, juga

memberikan kontribusi terhadap terjadinya infeksi yang berulang yang pada akhirnya

menyebabkan terjadinya masalah masalah kurang gizi (Unicef, 1998). Mengingat

penyebab masalah gizi adalah multifaktor maka upaya yang harus dilakukan dalam

mengatasi masalah kurang gizi harus melalui pendekatan multisektor. Artinya bahwa

penanggulangan masalah kurang gizi tidak hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja

tetapi juga dilakukan bersama-sama dengan sektor diluar bidang kesehatan. Sektor lain

diluar kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penanggulangan masalah gizi

antara lain adalah sektor ekonomi, pekerjaan umum, pertanian, ketahanan pangan,

perikanan, pendidikan dan sektor terkait lainnya (Bappenas, 2012).

Strategi penurunan masalah stunting yang mengoptimalkan keterlibatan lintas

program dan lintas sektor sudah berhasil dilaksanakan di beberapa negara dengan
prevalensi stunting tinggi, seperti Brazil berhasil menurunkan prevalensi stunting dari

37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1% pada tahun 2007, Peru melalui keterlibatan sektor

kesehatan, pendidikan, ketersedian air bersih dan sanitasi, perumahan, pertanian dan LSM

serta adanya program bantuan untuk penduduk miskin dapat menurunkan prevalensi

stunting dari 22,9% pada tahun 2005 menjadi 17,9% tahun 201, Bolivia melalui program

yang hampir sama dapat menurunkan prevalensi stunting dari 18,5% pada tahun 2008menjadi

13,5% pada tahun 2011, Negara Bagian Maharashtra (India) berhasil menurunkan

prevalensi stunting dari 44% tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012 melalui

pendampingan dan pelatihan terkait tiga hal, yaitu 1) Advocay terkait pentingnya 1000

HPK; 2) Kebijakan intervensi berbasis data; dan 3) Peningkatan kerjasama lintas program

dan sektor. Selanjutnya pengalaman di 9 Negara Sub Sahara Afrika melalui intervensi

multi sektor pada tahun 2005-2009 juga dapat mempercepat penurunan stunting sebesar

43% (Global Nutrition Report, 2014, Haddad, L, et all, 2014)

Dalam rangka percepatan penurunan masalah kurang gizi, pemerintah telah

mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no

42 tahun 2013 yang berisi tentang upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat

melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana

dan terkoordinasi dalam rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan

1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) dan berbagai kebijakan dan program di

Kementerian lain di luar Kesehatan, seperti di Kementerian Pertanian dan Kementerian

terkait lainnya. Adapun prinsip dari Gerakan 1000 HPK tersebut adalah bagaimana upaya

yang harus dilakukan agar dalam 1000 HPK yaitu sejak masa 9 bulan kehamilan (270

hari) dan masa 2 tahun setelah lahir (730 hari) tersebut tidak terjadi kekurangan gizi

(Kemenkumham, 2013).

Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup

besar dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia melalui penetapan 5 Pilar

Penanganan Stunting yaitu 1) Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2)

Kampanye Nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik

dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah,

dan Masyarakat,; 4) Mendorong Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan

dan Evaluasi. Selanjutnya terkait dengan pilar ke 2 maka pada tahun 2017 ditetapkan
1000 desa di 100 kabupaten/kota sebagai prioritas dalam intervensi stunting berdasarkan

pada tingkat kemiskinan, prevalensi stunting dan akses geografi yang akan terus diperluas

pada 514 kabupaten/kota pada tahun 2021 (TNP2K, 2017). Dalam rangka mewujudkan

tujuan pilar ke 2 maka penanganan stunting perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan

berbagai pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia

Usaha, Masyarakat Umum, dan lainnya. Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk

memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat

dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Kota Serang merupakan

Ibukota Provinsi Banten yang memiliki masalah stunting sekitar 7,6 %,

Salah satu hal yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya penurunan stunting di

Kota Serang adalah kurang optimalnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor

terkait penanggulangan masalah stunting. Hal ini turut memberikan kontribusi terhadap

ketidaktahuan dan ketidakpahaman sektor lain diluar kesehatan tentang masalah stunting,

baik penyebab maupun dampak yang ditimbulkan serta daerah mana saja yang banyak

terjadi masalah stunting. Kondisi ini menyebabkan sektor lain di luar kesehatan belum

menggunakan masalah stunting sebagai salah satu dasar dalam perencanaan program dan

kegiatan termasuk dalam hal penetapan lokus dan target sasaran (Prihartini, dkk, 2016).

Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menjaga

asupan gizi anak.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Unicef tahun 1998 maka penyelesaian

masalah gizi bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan karena hanya akan

memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap penyelesaian masalah gizi tetapi justru

yang memberikan kontribusi lebih besar sekitar 70% adalah sesektor lain di luar kesehatan

seperti sektor pertanian, perikanan/peternakan, ketahanan pangan, sosial, pekerjaan

umum, perindusterian dan koperasi, dan sektor terkait lainnya (Lancet, 2011). Namun

demikian, kurangnya koordinasi, baik antar program, sektor dan lembaga pemerintahan

menyebabkan semua kebijakan dan program yang telah direncanakan tidak dapat

dimplementasikan dengan baik sehingga tidak dapat berhasil sesuai yang diharapkan.

Dalam rangka implementasi 5 Pilar Penanganan Stunting dan berdasarkan


pengalaman beberapa negara yang telah berhasil menanggulangi masalah stunting melalui

pendekatan multi sektoral,pengembangan model integrasi Lintas Sektor dalam rangka penurunan
masalah stunting dengan target sasaran utama adalah kelompok remaja puteri dan

wanita usia subur (WUS), serta kelompok 1000 HPK (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusi,

bayi, dan baduta), lintas program dan lintas sektor. Selanjutnya hasil penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi daerah lain dalam upaya

menurunkan masalah stunting.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apakah Model

Integrasi Lintas Sektor dapat menurunkan masalah stunting ?

1.4 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Memperoleh Model Integrasi Lintas Sektor yang efektif dalam upaya menurunkan

masalah Stunting.

b. Tujuan Khusus

1. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor kesehatan dalam upaya

penanggulangan masalah Stunting.

2. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor non kesehatan

(Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan, Pekerjaan Umum, Tata Ruang

dan Pemukiman, Koperasi dan UMKM, Kesra dan sektor lain yang terkait)

dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.

3. Mendapatkan langkah-langkah Strategik kegiatan Integrasi Lintas Sektor

dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.

4. Mempelajari faktor determinan yang berhubungan dengan keberhasilan Model

Integrasi Lintas Sektor dalam penurunan masalah Stunting.

1.5 Manfaat Penelitian

Kementerian Kesehatan

Diperolehnya model integrasi lintas sektor yang efektif dalam upaya

penanggulangan masalah Stunting. Selanjutnya model tersebut diharapkan dapat


diimplementasikan ke daerah lain dalam rangka percepatan penurunan masalah Stunting

pada Balita.

Pemerintah Daerah Melalui pendekatan model ini diharapkan dapat mempercepat penurunan

Masalah Stunting pada Balita di Kota Serang.

BAB II. METODOLOGI

2.1 Kerangka Teori

2.1.1. Kerangka Teori Penyebab Masalah Gizi

Kerangka teori tentang determinan penyebab masalah kurang gizi adalah mengacu

pada teori Unicef, 1998. Penyebab langsung terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak

balita adalah karena tidak adekuatnya asupan zat gizi dan adanya penyakit infeksi yang

berulang, seperti diare, ISPA, dan lain-lain, sedangkan penyebab tidak langsung adalah

kurangnya akses terhadap makanan, kurangnya pola asuh dan kurang memadainya

ketersediaan sarana air bersih dan pelayanan kesehatan. Sebenarnya yang mendasari

penyebab langsung dan tidak langsung tersebut adalah karena fakrtor ekonomi dengan

indikator kemiskinan. Masih tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan sulitnya

mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung tersebut.

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan intervensi yang dilakukan maka peranan dari

sektor kesehatan (intervensi spesifik) hanya memberikan kontribusi sebesar 30 % dan

justru peranan dari sektor non kesehatan (intervensi sensitif) memiliki kontribusi yang

lebih besar yaitu sebesar 70% dalam menanggulangi masalah kurang gizi (gizi kurang,

stunting, kurus). Namun demikian di sektor kesehatan sendiri perlu adanya upaya

peningkatan capaian indikator intervensi spesifik sampai 90% agar dapat memberikan

dampak sekitar 20% terhadap penurunan stunting.

2.1.2 Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia

Saat ini masalah gizi di Indonesia, khususnya masalah stunting masih cukup tinggi

dan masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat, bahkan dalam satu dekade ini

tidak banyak menunjukkan penurunan bahkan dapat dikatakan stagnan dan hal tersebut

dapat dilihat dari prevalensi stunting pada Balita pada tahun 2007 sebesar 36,2% dan

pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang selanjutnya akan berdampak pada daya saing bangsa

sehingga dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas

dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi

secara terus menerus sehingga untuk itu pemerintah bertanggung jawab meningkatkan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap

peningHasil systematic review WHO tentang faktor determinan stunting menunjukkan

menyebutkan bahwa ada 2 kunci keberhasilan penangggulangan masalah ganggungan

pertumbuhan yaitu faktor ibu dan faktor lintas sektor,

Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan status gizi

masyarakat maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain adalah

dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional

Percepatan Perbaikan Gizi (GNPPG) merupakan upaya bersama antara pemerintah dan

masyarakat melalui pengalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara

terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada

seribu hari pertama kehidupan. Tujuan umum dari GNPPG dimaksudkan untuk percepatan

perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 hari pertama kehidupan dengan sasaran

masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah dua tahun,

, perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan

keagamaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, media massa, dunia usaha dan

lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan.

Dalam rangka pelaksanaan GNPPG dibentuk Gugus Tugas GNPPG yang

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Adapaun tugas dari

Gugus Tugas GNPPG antara lain adalah mengkoordinasikan dan menyinkronkan

penyusunan rencana dan program kerja GNPPG pada kementerian dan lembaga

pemerintah non kementerian,

Tujuan dari Pilar ke 3 adalah untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan

kolaborasi serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh

Kementerian/Lembaga terkait. Disamping itu dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan

program yang ada (Puskesmas, Posyandu, Paud, BP SPAM, PKH, dll) terutama dalam

memberikan dukungan kepada ibu hamil ibu menyusui dan balita pada 1000 HPK serta

pemberian insentif dari kinerja program intervensi di wilayah sasaran yang berhasil
menurunkan angka stunting di wilayahnya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan

memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk

mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi prioritas intervensi stunting. Agar

tujuan Pilar ke 3 dapat tercapai dengan maksimal maka dalam

2.1.3 Kerangka Teori Integrasi/Kolaborasi

Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum tercapainya suatu integrasi (kolaborasi)

adalah perlu adanya Komunikasi, Kerjasama dan Koordinasi. Seperti ditunjukkan pada

communication

Collaboration

Corporation Coordination

Pengertian Kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam,

yang melibatkan beberapa orang untuk bekerjasama dengan menggabungkan pemikiran

secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu hal dimana setiap pihak terlibat aling

ketergantungan di dalamnya. Apapun bentuk dan tempatnya dalam kolaborasi terdapat

pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.

Tujuan utama kolabaorasi pada sektor publik adalah untuk peningkatan pelayanan pada

masyarakat.

Namun demikian sebelum terjadinya kolaborasi harus diawali dengan adanya

komunikasi untuk memperoleh komitmen sebagai bentuk dedikasi atau kewajiban yang

mengikat seseorang pada sesuatu atau tindakan tertentu. yang perlu ditindaklanjuti dengan
adanya suatu koordinasi. Pengertian koordinasi adalah upaya memadukan

(mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan beserta

segenap gerak, langkah dan waktu dalam rangka pencpaian tujuan dan sasaran bersama .

Selain itu menurut Dr. Awaluddin Djamin M.P.A, koordinasi juga diartikan sebagai suatu

usaha kerjasama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu

sehingga terdapat saling mengisi, membantu dan melengkapai (LAN, 2015). Setelah

adanya koordinasi maka perlu ditindaklanjuti dengan adaanya suatu kerjasama yaitu

sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih supaya dapat mencapai tujuan

ataupun target yang sudah direncanakan sebelumnya dan juga disepakati bersama

2.2. Kerangka Konsep

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah serta kerangka teori bahwa

dalam penanggulangan masalah stunting, bukan hanya menjadi tanggungjawab sektor

kesehatan melainkan juga oleh beberapa sektor terkait. Oleh karena itu diperlukan adanya

koordinasi dan kerjasama antar lintas sektor terutama dalam perencanaan program dan

kegiatan serta pada saat pelaksanaan intervensi di lapangan disesuaikan dengan tupoksi

masing-masing sektor. diharapkan dapat meningkatkan akses

masyarakat untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan, memiliki Ketersediaan Pangan

yang cukup, memiliki Sanitasi, Jamban Sehat, dan sarana air bersih yang baik,

mendapatkan Pendidikan yang optimal, serta memiliki akses ekonomi yang baik

2.3 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian operasional dengan menggunakan desain

Kuasi Eksperimen. Adapun bentuk intervensi yang diberikan adalah berupa

Pendampingan kepada Pemerintah Daerah Kota Serang dan masyarakat dalam

upaya penurunan masalah Stunting dengan menggunakan pendekatan Model Integrasi

Lintas Sektor

Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu pedoman yang berisikan

tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar terbangun Integrasi Lintas

Sektor serta dapat berfungsi secara efektif dalam upaya menurunkan masalah Stunting.

Pedoman tersebut nantinya dapat digunakan sebagai pelengkap dari Kebijakan


Pemerintah tentang Penetapan Percepatan Penanganan Stunting di 1000 Desa dari 100

Kabupaten/ Kota Prioritas Penanganan Kemiskinan dan Stunting pada tahun 2017-2020

dan dapat digunakan sebagai panduan atau acuan teknis bagi daerah (kabupaten,

Kecamatan, Desa dan Masyarakat) untuk melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya

menurunkan stunting. Selanjutnya diharapkan adanya

peningkatan Akses masyarakat terhadap Pangan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan,

Sanitasi, Jamban sehat dan Air Bersih, dan Ekonomi yang pada akhirnya dapat

menurunkan permasalahan Stunting.

2.4. Output penelitian :

a. Tim Penanggulangan Stunting masih berfungsi secara aktif

b. Peningkatan alokasi anggaran dalam APBD Tahun 2021 yang terkait dengan

program intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif dalam upaya penurunan

masalah Stunting

c. Adanya penambahan Lokus dan Sasaran target dalam upaya penurunan

masalah Stunting

d. Adanya Peningkatan Akses Pangan, Akses Kesehatan, Akses Pendidikan,

Akses Sanitasi, Jamban Sehat dan Air Bersih dan Akses Ekonomi indikator

intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif

4.2. Target Sasaran Pendampingan :

a. Pemerintah Daerah

b. BAPPEDA

c. OPD terkait penurunan masalah Stunting (indikator Spesifik dan indikator

Sensitif)

d. Pemerintahan Tingkat Kecamatan

e. Pemerintahan Tingkat Desa

f. Masyarakat

Berikut ini peranan dan kontribusi yang diharapakan dari masing-masing sektor

sesuai dengan tupoksi yang mereka miliki dalam upaya penurunan masalah stunting :
1. DINAS PERTANIAN

a. Pengembangan “Kebun Gizi” kepada Kelompok-kelompok keluarga miskin atau

rawan pangan.

- Pemberian Paket stimulan pembuatan “Kebun Gizi” terdiri dari satu paket

tanaman sayuran hidroponik

- Memberikan pendampingan bagaimana cara menanam sayuran dan

pemeliharaan ikan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu

sumber vitamin dan protein bagi kelompok-kelompok keluarga miskin atau

rawan pangan. Apabila ada kelebihan hasil budidaya dapat dijual di “Warung

Gizi” sebagai salah satu sumber penghasilan bagi keluarga

- Pemanfaatan lahan pertaninan yang kurang produktif untuk penanaman pohon

Kelor

- Pembinaan cara budidaya pohon kelor sebagai salah satu sumber vitamin dan

mineral bagi keluarga dan sumber penghasilan

2. DINAS KOPERASI, UKM DAN TENAGA KERJA DAN BAGIAN KESRA

a. Pemberdayaan ekonomi kelompok-kelompok keluarga miskin atau rawan pangan

dengan cara pemberian modal usaha dan pembinaan Pengembangan “Warung

Gizi” untuk menampung kelebihan hasil budidaya tanaman sayuran dan pohon

kelor serta budidaya ikan

3. DINAS KESEHATAN

a. Optimalisasi Program Yankes

- Pelaksanaan PIS-PK

- Pelaksanaan Manajemen Puskesmas

b. Optimalisasi Program KIA

- Pengembangan Surveilans KIA

- Peningkatan cakupan ANC

- Peningkatan cakupan Linakes dan PF

- Pengembangan Rumah Tunggu Kelahiran

- Peningkatan cakupan KN1-KN lengkap

- Peningkatan cakupan pemberian dan konsumsi TTD pada ibu hamil dan remaja
- Peningkatan pelaksanaan MTBS

- Pendampingan Buku KIA

- Pemberdayaan Bidan dan Bidan di Desa

c. Optimalisasi Program Gizi

- Pelaksanaan Surveilans Gizi (reposisi Posyandu, pemantauan pertumbuhan

dan perkembangan, monitoring dan evaluasi program gizi)

- Peningkatan cakupan IMD

- Peningkatan cakupan ASI Ekslusif

- Peningkatan cakupan PMBA

- Peningkatan cakupan TTD ibu hamil dan remaja puteri

- Peningkatan cakupan Vitamin A

- Peningkatan cakupan Garam beryodium

- Peningkatan cakupan PMT Balita Kurus

- Peningkatan cakupan PMT Bumil KEK

- Pemberdayaan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG)

- Program Pemberian Makanan Tambahasan berbasis pangan lokal

d. Optimalisasi Program Kesling

- Peningkatan cakupan rumah sehat (sanling, air bersih dan jamban sehat)

- Peningkatan cakupan STBM

e. Optimalisasi Program Promkes

- Peningkatan cakupan PHBS

- Edukasi gizi dan kesehatan Strategi dan alat edukasi

- Pemberdayaan masyarakat SMD/MMD

- Advokasi Dinkes Prov mendampingi Dinkes Kab (asistensi) utk melakukan

advokasi kepada Pemda melalui Dana Dekon

- Kampanye melalui tiga saluran media

f. Optimalisasi Program P2P

- Peningkatan cakupan obat cacing

- Imunisasi Balita dan ibu hamil

g. Optimalisasi Program BPJS


4. DINAS PU PR

- Penyediaan sarana air bersih dan jamban sehat bagi kelompok-kelompok keluarga

miskin atau rawan pangan

- Peningkatan Kualitas Sanitasi Lingkungan di 13 Kelurahan Stunting

. 5. DINAS SOSIAL

- Optimalisasi Program PKH pada keluarga-keluarga miskin atau rawan pangan

6. KEMENAG

- Integrasi Program CATIN dengan Program 1000 HPK

- Pembinaan pondok pesantren

- Pemberdayaan Penyuluh Agama

- Pemberian TTD dan Edukasi gizi dan kesehatan reproduksi kepada santriwati

7. DP3AKB

- Revitalisasi Posyandu

- Meningkatkan Cakupan KB

8. DINAS PENDIDIKAN

- Pemberian edukasi gizi dan kesehatan pada siswa SD, TK dan PAUD dengan cara

melatih para pengajar PAUD dan Sekolah Taman Kanak-kanak tentang gizi dan

kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan

- Pengembangan “Kebun Gizi” di SD, TK dan PAUD

- Progas (Program gizi anak sekolah)

9. ORMAS DAN TOMA

- Sosialiasi dan Pemberdayaan Masyarakat terkait Program-program Kesehatan

termasuk pencegahan stunting melalui 1000 HPK

10. PERGURUAN TINGGI

- Komitmen lokus PKL di 13 Kelurahan Lokus Stunting

Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) adalah pemeringkatan dari

30 indikator yang dikelompokkan menjadi 7 kelompok indikator yaitu 1) Indikator

kesehatan balita, 2) Kesehatan Reproduksi, 3) Pelayanan Kesehatan, 4) Perilaku Sehat, 5)

Penyakit tidak menular ,6) Penyakit Menular, 7) Kesehatan Lingkungan. Selanjutnya


diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan

masyarakat di 440 kab/kota yang datanya berasal dari Riskesdas, Susenas dan Survey

Potensi Desa .

Berdasarkan permasalahan kesehatan balita, Kota Serang mempunyai

permasalahan gizi balita akut dan kronis yaitu prevalensi balita pendek 41,7 persen,

balita gizi kurang 17,2 persen dan balita kurus 16,2 persen. Faktor penyebab langsung

permasalahan kesehatan balita antara lain tingginya penyakit infeksi pada balita seperti

43

diare 14,65 persen dan ISPA 40,28 persen. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu

faktor kesehatan lingkungan antara lain akses sanitasi 16,11 persen dan akses sumber air

bersih 13,95 persen. Selain itu nilai yang rendah terlihat pada perilaku sehat yaitu

presentase merokok sebesar 55,87 persen, cuci tangan dengan benar 45,48 persen, buang

air besar dengan benar 63,65 persen dan aktifitas fisik 25,35 persen.

3.1.3. Implementasi Program Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif

A. Pencapaian Program Intervensi Gizi Spesifik

Pencapaian program spesifik di peroleh dari data sekunder di Dinas kesehatan

yaitu “Profil Kesehatan Kota Serang tahun 2017” , data status gizi balita

hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) tahun 2017, Laporan Survei Cepat Anemia pada

Ibu Hamil tahun 2015, dan Laporan Survei Cepat Pemantauan Konsumsi Gizi tahun 2013

di Kota Serang . Ada 7 indikator yang terkait dengan program spesifik .

Capaian kinerja indikator spesifik pada ibu hamil di Kota Serang disajikan

pada tabel 4

Tabel 4.

Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Hamil

di Kota Serang Tahun 2017

No Indikaktor Spesifik Capaian (%)

1 Cakupan penerima FE3 pada bumil (90 tablet) 89,2*

Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT1

Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT2


72,4*

69,20*

3 Prevalensi bumil anemia 49,06**

4 Cakupan bumil K1 95,02*

5 Cakupan bumil K4 88,35*

6 Cakupan pengobatan kecacingan Tidak ada data

7 Cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT Tidak ada data

Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017

** Survei cepat tahun 2015

Prevalensi anemia gizi pada ibu hamil di Indonesia masih tinggi dan

membutuhkan perhatian yang serius. Penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD)

untuk semua ibu hamil setidaknya 90 tablet selama kehamilan telah menjadi

strategi utama untuk mengurangi prevalensi anemia pada ibu hamil sejak tahun

44

1980-an. Pada tabel 4. menunjukkan bahwa cakupan ibu hamil yang mendapat

TTD FE3 (90 tablet) cukup tinggi 89,2 persen, demikian juga pemeriksaan

kehamilan K1 (95,02%) dan K4 (88,35%) namun prevalensi anemia pada ibu

hamil masih tinggi (49,06%)**.

Kemudian cakupan pengobatan kecacingan dan cakupan ibu hamil Kurang

energi kronis (KEK), tidak tersedia datanya. Menurut pengelola program KIA ,

bahwa sejak tahun 2013, Kota Serang sudah memasuki tahun ke 3

melaksanakan program pemberantasan Filariasis karena termasuk daerah endemis

Filariasis. Program ini ditujukan kepada seluruh penduduk usia > 2 tahun kecuali

wanita hamil. Dengan demikian sudah tidak ada program kecacingan secara

khusus bagi ibu hamil.

Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada ibu Nifas disajikan pada

tabel 5. Terlihat bahwa semua cakupan capaian program mulai dari persalinan

ditolong nakes , neonatal risti yang ditangani , bayi mendapat imunisasi dasar

lengkap, dan KN3, serta ibu nifas mendapat Vitamin A, sudah melebihi 90 persen

atau baik .

Tab
RENCANA KEGIATAN MASING-MASING SEKTOR DALAM UPAYA

PENANGGULANGAN STUNTING

a) Dinas Kesehatan

1. Program Kesga

- Intervensi 1000 hari pertama kehidupan

- Intervensi pemberian PMT untuk ibu hamil sebesar 300 Kkal (1 porsi lebih

banyak dari makan bumil biasanya)

- Kelas ibu ditambah materi stunting (3-4 per- Puskesmas) edukasi bumil

- Edukasi remaja putri upaya pencegahan stunting

2. Program Gizi

- Pemberian TTD pada Remaja Putri dan ibu hamil

- Pemberian Makanan Tambahan Lokal pada ibu hamil”Boboko Kanyaah”

111

3. Program Kesling

- ODF di desa yang sudah Pamsimas

- Desa lokus menunggu realisasi pembngunan SPAM Mandalahayu dan Banjarsari.

- Rencana pengembangan perilaku Higiene untuk cuci tangan dan cuci alat makan

pada tempat khusus di rumah tangga.

- Pengembangan Jimat pada 3 desa lokus yang belum memperoleh Pamsimas tahun

2018 untuk persiapan ODF.

4. Program Yankes

- Optimalisasi penanggungjawab PIS-PK Puskesmas


- Pengembangan Keterpaduan Perkesmas dengan Posyandu dan TB untuk

menunjang pelaksnaan kunjungan rumah oleh nakes (paramedis)

5. Program JKN

- Melanjutkan migrasi peserta keluarga stunting Jamkesda ke JKN saat berobat ke

faskes.

- Menjaring keluarga stunting sakit yang belum menjadi anggota untuk menjadi

anggota JKN saat berobat kef askes.

- Menjaring bumil dari keluarga stunting, kek dan anemia untuk memperoleh

Jampersal saat berobat ke faskes.

6. Program Promkes

- Pelaksanaan Sosialisasi Stunting dan Gebyar ODF

- Penulisan Stunting dan ODF di mobil ambulance

BAB IV KESIMPULAN

1. Sosialisisasi tentang stunting merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan

dalam upaya penurunan masalah stunting karena belum banyak stakeholder dan

masyarakat yang terpapar dan tahu tentang stunting

2. Komitmen Pimpinan mulai dari Bupati, Camat dan Kepala Desa memiliki peran yang

sangat penting dalam menggerakkan seluruh stakeholder dan masyarakat untuk mau

secara bersama-sama melakukan upaya penaanggulangan stunting.

3. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Perbup atau SK Bupati, tentang Tim

Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh masing-masing

OPD dalam penyusunan program dan kegiatan terkait dengan penanggulangan

stunting.

4. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Percam/SK Camat tentang Tim

Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh Camat untuk

melakukan koordinasi lintas sektor di Tingkat Kecamatan dalam penyusunan program

dan kegiatan terkait dengan penanggulangan stunting.

5. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Perdes/SK Kepala Desa tentang Tim

Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh Kepala Desa

untuk melakukan koordinasi lintas sektor dan dasar hukum dalam penggunanaan Dana
Desa dan Alokasi Dana Desa untuk pembiayaan kegiatan penanggungalangan stunting

di Tingkat Desa.

6. Model Pendampingan Integrasi Lintas Sektor Dalam Upaya Penanggulangan Stunting

melalui Gerakan “Kampung Gizi” di Kota Serang dalam waktu 4 bulan

sudah cukup memberikan hasil yang dengan diterbitkannya 1 SK-Bupati, 39 SK

Camat dan 5 SK Kepala Desa tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Stunting.

7. Tersusunnya draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam Upaya Penurunan

Stunting melalui Gerakan “Kampung Gizi”

SARAN

1. Perlu dibuat Rencana Tindak Lanjut kegiatan Tim Koordinasi Penanggulangan

Stunting di masing-masing tingkatan mulai dari Kabupaten, Kecamatan dan Desa

2. Perlunya dibuat rencana Monev terhadap proses kinerja Tim Koordinasi

Penanggulangan Stunting di masing-masing tingkatan mulai dari Kabupaten,

Kecamatan dan Desa

123

DAFTAR PUSTAKA

Acosta AM. Examining the political, institutional and governance aspects of delivering a

national multi-sectoral response to reduce maternal and child malnutrition.

Analysing nutrition governance: Brazil country report. Brighton: Institute of

Development Studies; 2011 (http://www.ids.ac.uk/

files/dmfile/DFID_ANG_Brazil_Report_Final.pdf, accessed 21 October 2014).

Bappenas., 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-

2019. Buku I. Agenda Pembangunan Nasional. Jakarta: Badan Perencanaan

Pembangunan

Bappenas., 2012.Pedoman Perencanaan Program. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan

Gizi. Dalam Rangka Seribu hari Kehidupan (1000 HPK)

Bappenas., 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.

Dalam Rangka Seribu hari Kehidupan (1000 HPK) .

Bhutta, Z., et al., (2013). Evidence based interventions for improving maternal and child

nutrition: What can be done and at what cost?, The Lancet, 382, 452-477. 16.

Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes

Kemenkes RI.

Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013: Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes

Kemenkes RI.

Effendy, Onong Uchjana, 2001. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya.

Global Nutrition Report. Actions and Accountability to Accelerete The World’s Progress

on Nutrtion. A Peer Reviewed Publication. International Food Pollicy Research

2014. Washington DC

Haddad, L., Nisbett, N., Barnet, Inka. And Valli, E. Maharasthra’s Child Stunting

Declines : What is Driving Them ? Findings of a Multidisciplinary Analysis.

2014.

https://www.researchgate,ne....llection_of_Recent_Papers

Lutter C, Casanovas C, Pena M, Diaz A. Landscape analysis on countries’ readiness to

accelerate action to reduce maternal and child undernutrition: the Peru

assessment. SCN News. 2009;37:49–54 (http://www.bvsde.paho.

org/texcom/nutricion/scnnews49.pdf, accessed 21 October 2014).

LAN, 2015. Bahan Ajar Diklat Kepemimpinan Tingkat IV. Agenda membangun tim

efektif Koordinasi dan Kolaborasi. Tahun 2015.

Millennium Challenge Account – Indonesia. 2014. Mengentaskan Kemiskinan Melalui

Pertumbuhan Ekonomi.

Ministerio de Salud y Deportes, Estado Plurinacional de Bolivia. Plan estratégico 2007–

2011 del Programa Multisectorial de Desnutrición Cero. La Paz: Ministerio de

Salud y Deportes; 2009.

Permaesih, D.,dkk. Studi Kajian Masalah Anemia Gizi dan Program Suplementasi Pil Zat

Besi Pada Ibu Hamil. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015.

124

Prihartini, S., dkk. Riset Operasional : Model Percepatan Penanggulangan Masalah

Stunting di Kota Serang Propinsi Jawa Barat. Laporan Penelitian


tahun 2016.

Remans,R et.all. Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an

observational study from 9 sub-Saharan African countries. Am J Clin Nutr

2011;94;1632-42

Rasella, D., et al., (2013). Effect of a conditional cash transfer programme on childhood

mortality: a nationwide analysis of Brazilian municipalities, The Lancet.

Triwinarto, A, dkk. Kontribusi Intervensi Program Spesifik dan Sensitif Program

Perbaikan Gizi Masyarakat di kota Tegal dan Kota Salatiga. Laporan Penelitian

Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan. 2014

Thalheim, Benhard. Collaboration 3C = C3 = Communication + Coordination +

Coordination The Kiei Approach to Collaborative System.

(https://www.researchgate,nellection_of_ Recent_Papers )

The Lancet, (2008). Maternal and Child Undernutrition, Special Series, 371. 2

The World Bank, (2013). Improving Nutrition through Multi-Sectoral Approaches,

Washington, D.C.

Unicef (1998). The State of World’s Children 1998, Oxford University, O

Anda mungkin juga menyukai