PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan
masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin
meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah gizi
tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi
baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari
tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi
anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan
37,1%, dan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar
20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya
gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi
BBLR (<2500 gram) sebesar 10,2% dan bayi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2%
(Balitbangkes, 2013).
Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan masa usia dini maka dalam
otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses
metabolik dari berbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan
reseptor. Selanjutnya dalam jangka panjang, ketiga gangguan tersebut secara paralel,
stunting pada periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita
penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, DM, jantung coroner, dan obesitas.
Dampak yang ditimbulkan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada
periode umur selanjutnya sehingga akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hidup
Sesuai dengan agenda ke-5 Nawa Cita Pemerintah yaitu Meningkatkan Kualitas
Hidup manusia Indonesia maka pemerintah memiliki Program Utama Kesehatan yaitu
Program Indonesia Sehat yang didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program
Indonesia Pintar, Program Indonesia Kerja dan Program Indonesia Sejahtera. Adapun
sasaran dari Program Indonesia Sehat adalah meningkatnya derajat kesehatan dan status
gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung nya
gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi BBLR
melalui tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan
kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma
of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan
dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya.
(Kemenkes, 2016).
Pada hakekatnya penyebab dasar terjadinya masalah kurang gizi adalah masalah
ekonomi yang ditandai dengan rendahnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan
rendahnya asupan zat gizi. Selain disebabkan rendah asupan zat gizi maka pola
pengasuhan Balita yang kurang baik dan buruknya kondisi sanitasi lingkungan dan kurang
tersedianya sarana air bersih serta kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, juga
memberikan kontribusi terhadap terjadinya infeksi yang berulang yang pada akhirnya
penyebab masalah gizi adalah multifaktor maka upaya yang harus dilakukan dalam
mengatasi masalah kurang gizi harus melalui pendekatan multisektor. Artinya bahwa
penanggulangan masalah kurang gizi tidak hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja
tetapi juga dilakukan bersama-sama dengan sektor diluar bidang kesehatan. Sektor lain
diluar kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penanggulangan masalah gizi
antara lain adalah sektor ekonomi, pekerjaan umum, pertanian, ketahanan pangan,
program dan lintas sektor sudah berhasil dilaksanakan di beberapa negara dengan
prevalensi stunting tinggi, seperti Brazil berhasil menurunkan prevalensi stunting dari
37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1% pada tahun 2007, Peru melalui keterlibatan sektor
kesehatan, pendidikan, ketersedian air bersih dan sanitasi, perumahan, pertanian dan LSM
serta adanya program bantuan untuk penduduk miskin dapat menurunkan prevalensi
stunting dari 22,9% pada tahun 2005 menjadi 17,9% tahun 201, Bolivia melalui program
yang hampir sama dapat menurunkan prevalensi stunting dari 18,5% pada tahun 2008menjadi
13,5% pada tahun 2011, Negara Bagian Maharashtra (India) berhasil menurunkan
prevalensi stunting dari 44% tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012 melalui
pendampingan dan pelatihan terkait tiga hal, yaitu 1) Advocay terkait pentingnya 1000
HPK; 2) Kebijakan intervensi berbasis data; dan 3) Peningkatan kerjasama lintas program
dan sektor. Selanjutnya pengalaman di 9 Negara Sub Sahara Afrika melalui intervensi
multi sektor pada tahun 2005-2009 juga dapat mempercepat penurunan stunting sebesar
42 tahun 2013 yang berisi tentang upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat
dan terkoordinasi dalam rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan
1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) dan berbagai kebijakan dan program di
terkait lainnya. Adapun prinsip dari Gerakan 1000 HPK tersebut adalah bagaimana upaya
yang harus dilakukan agar dalam 1000 HPK yaitu sejak masa 9 bulan kehamilan (270
hari) dan masa 2 tahun setelah lahir (730 hari) tersebut tidak terjadi kekurangan gizi
(Kemenkumham, 2013).
Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup
dan Evaluasi. Selanjutnya terkait dengan pilar ke 2 maka pada tahun 2017 ditetapkan
1000 desa di 100 kabupaten/kota sebagai prioritas dalam intervensi stunting berdasarkan
pada tingkat kemiskinan, prevalensi stunting dan akses geografi yang akan terus diperluas
pada 514 kabupaten/kota pada tahun 2021 (TNP2K, 2017). Dalam rangka mewujudkan
tujuan pilar ke 2 maka penanganan stunting perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan
Usaha, Masyarakat Umum, dan lainnya. Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk
memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat
dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Kota Serang merupakan
Salah satu hal yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya penurunan stunting di
Kota Serang adalah kurang optimalnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor
terkait penanggulangan masalah stunting. Hal ini turut memberikan kontribusi terhadap
ketidaktahuan dan ketidakpahaman sektor lain diluar kesehatan tentang masalah stunting,
baik penyebab maupun dampak yang ditimbulkan serta daerah mana saja yang banyak
terjadi masalah stunting. Kondisi ini menyebabkan sektor lain di luar kesehatan belum
menggunakan masalah stunting sebagai salah satu dasar dalam perencanaan program dan
kegiatan termasuk dalam hal penetapan lokus dan target sasaran (Prihartini, dkk, 2016).
Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menjaga
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Unicef tahun 1998 maka penyelesaian
masalah gizi bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan karena hanya akan
memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap penyelesaian masalah gizi tetapi justru
yang memberikan kontribusi lebih besar sekitar 70% adalah sesektor lain di luar kesehatan
umum, perindusterian dan koperasi, dan sektor terkait lainnya (Lancet, 2011). Namun
demikian, kurangnya koordinasi, baik antar program, sektor dan lembaga pemerintahan
menyebabkan semua kebijakan dan program yang telah direncanakan tidak dapat
dimplementasikan dengan baik sehingga tidak dapat berhasil sesuai yang diharapkan.
pendekatan multi sektoral,pengembangan model integrasi Lintas Sektor dalam rangka penurunan
masalah stunting dengan target sasaran utama adalah kelompok remaja puteri dan
wanita usia subur (WUS), serta kelompok 1000 HPK (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusi,
bayi, dan baduta), lintas program dan lintas sektor. Selanjutnya hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi daerah lain dalam upaya
sebelumnya maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apakah Model
a. Tujuan Umum
Memperoleh Model Integrasi Lintas Sektor yang efektif dalam upaya menurunkan
masalah Stunting.
b. Tujuan Khusus
dan Pemukiman, Koperasi dan UMKM, Kesra dan sektor lain yang terkait)
Kementerian Kesehatan
pada Balita.
Pemerintah Daerah Melalui pendekatan model ini diharapkan dapat mempercepat penurunan
Kerangka teori tentang determinan penyebab masalah kurang gizi adalah mengacu
pada teori Unicef, 1998. Penyebab langsung terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak
balita adalah karena tidak adekuatnya asupan zat gizi dan adanya penyakit infeksi yang
berulang, seperti diare, ISPA, dan lain-lain, sedangkan penyebab tidak langsung adalah
kurangnya akses terhadap makanan, kurangnya pola asuh dan kurang memadainya
ketersediaan sarana air bersih dan pelayanan kesehatan. Sebenarnya yang mendasari
penyebab langsung dan tidak langsung tersebut adalah karena fakrtor ekonomi dengan
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan intervensi yang dilakukan maka peranan dari
justru peranan dari sektor non kesehatan (intervensi sensitif) memiliki kontribusi yang
lebih besar yaitu sebesar 70% dalam menanggulangi masalah kurang gizi (gizi kurang,
stunting, kurus). Namun demikian di sektor kesehatan sendiri perlu adanya upaya
peningkatan capaian indikator intervensi spesifik sampai 90% agar dapat memberikan
Saat ini masalah gizi di Indonesia, khususnya masalah stunting masih cukup tinggi
dan masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat, bahkan dalam satu dekade ini
tidak banyak menunjukkan penurunan bahkan dapat dikatakan stagnan dan hal tersebut
dapat dilihat dari prevalensi stunting pada Balita pada tahun 2007 sebesar 36,2% dan
pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang selanjutnya akan berdampak pada daya saing bangsa
sehingga dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas
dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi
secara terus menerus sehingga untuk itu pemerintah bertanggung jawab meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
masyarakat maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain adalah
Percepatan Perbaikan Gizi (GNPPG) merupakan upaya bersama antara pemerintah dan
terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada
seribu hari pertama kehidupan. Tujuan umum dari GNPPG dimaksudkan untuk percepatan
perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 hari pertama kehidupan dengan sasaran
masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah dua tahun,
keagamaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, media massa, dunia usaha dan
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Adapaun tugas dari
penyusunan rencana dan program kerja GNPPG pada kementerian dan lembaga
program yang ada (Puskesmas, Posyandu, Paud, BP SPAM, PKH, dll) terutama dalam
memberikan dukungan kepada ibu hamil ibu menyusui dan balita pada 1000 HPK serta
pemberian insentif dari kinerja program intervensi di wilayah sasaran yang berhasil
menurunkan angka stunting di wilayahnya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan
memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk
Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum tercapainya suatu integrasi (kolaborasi)
adalah perlu adanya Komunikasi, Kerjasama dan Koordinasi. Seperti ditunjukkan pada
communication
Collaboration
Corporation Coordination
Pengertian Kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam,
secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu hal dimana setiap pihak terlibat aling
pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Tujuan utama kolabaorasi pada sektor publik adalah untuk peningkatan pelayanan pada
masyarakat.
komunikasi untuk memperoleh komitmen sebagai bentuk dedikasi atau kewajiban yang
mengikat seseorang pada sesuatu atau tindakan tertentu. yang perlu ditindaklanjuti dengan
adanya suatu koordinasi. Pengertian koordinasi adalah upaya memadukan
segenap gerak, langkah dan waktu dalam rangka pencpaian tujuan dan sasaran bersama .
Selain itu menurut Dr. Awaluddin Djamin M.P.A, koordinasi juga diartikan sebagai suatu
usaha kerjasama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu
sehingga terdapat saling mengisi, membantu dan melengkapai (LAN, 2015). Setelah
adanya koordinasi maka perlu ditindaklanjuti dengan adaanya suatu kerjasama yaitu
sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih supaya dapat mencapai tujuan
ataupun target yang sudah direncanakan sebelumnya dan juga disepakati bersama
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah serta kerangka teori bahwa
kesehatan melainkan juga oleh beberapa sektor terkait. Oleh karena itu diperlukan adanya
koordinasi dan kerjasama antar lintas sektor terutama dalam perencanaan program dan
kegiatan serta pada saat pelaksanaan intervensi di lapangan disesuaikan dengan tupoksi
yang cukup, memiliki Sanitasi, Jamban Sehat, dan sarana air bersih yang baik,
mendapatkan Pendidikan yang optimal, serta memiliki akses ekonomi yang baik
Lintas Sektor
Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu pedoman yang berisikan
tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar terbangun Integrasi Lintas
Sektor serta dapat berfungsi secara efektif dalam upaya menurunkan masalah Stunting.
Kabupaten/ Kota Prioritas Penanganan Kemiskinan dan Stunting pada tahun 2017-2020
dan dapat digunakan sebagai panduan atau acuan teknis bagi daerah (kabupaten,
Kecamatan, Desa dan Masyarakat) untuk melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
Sanitasi, Jamban sehat dan Air Bersih, dan Ekonomi yang pada akhirnya dapat
b. Peningkatan alokasi anggaran dalam APBD Tahun 2021 yang terkait dengan
masalah Stunting
masalah Stunting
Akses Sanitasi, Jamban Sehat dan Air Bersih dan Akses Ekonomi indikator
a. Pemerintah Daerah
b. BAPPEDA
Sensitif)
f. Masyarakat
Berikut ini peranan dan kontribusi yang diharapakan dari masing-masing sektor
sesuai dengan tupoksi yang mereka miliki dalam upaya penurunan masalah stunting :
1. DINAS PERTANIAN
rawan pangan.
- Pemberian Paket stimulan pembuatan “Kebun Gizi” terdiri dari satu paket
pemeliharaan ikan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu
rawan pangan. Apabila ada kelebihan hasil budidaya dapat dijual di “Warung
Kelor
- Pembinaan cara budidaya pohon kelor sebagai salah satu sumber vitamin dan
Gizi” untuk menampung kelebihan hasil budidaya tanaman sayuran dan pohon
3. DINAS KESEHATAN
- Pelaksanaan PIS-PK
- Peningkatan cakupan pemberian dan konsumsi TTD pada ibu hamil dan remaja
- Peningkatan pelaksanaan MTBS
- Peningkatan cakupan rumah sehat (sanling, air bersih dan jamban sehat)
- Penyediaan sarana air bersih dan jamban sehat bagi kelompok-kelompok keluarga
. 5. DINAS SOSIAL
6. KEMENAG
- Pemberian TTD dan Edukasi gizi dan kesehatan reproduksi kepada santriwati
7. DP3AKB
- Revitalisasi Posyandu
- Meningkatkan Cakupan KB
8. DINAS PENDIDIKAN
- Pemberian edukasi gizi dan kesehatan pada siswa SD, TK dan PAUD dengan cara
melatih para pengajar PAUD dan Sekolah Taman Kanak-kanak tentang gizi dan
masyarakat di 440 kab/kota yang datanya berasal dari Riskesdas, Susenas dan Survey
Potensi Desa .
permasalahan gizi balita akut dan kronis yaitu prevalensi balita pendek 41,7 persen,
balita gizi kurang 17,2 persen dan balita kurus 16,2 persen. Faktor penyebab langsung
permasalahan kesehatan balita antara lain tingginya penyakit infeksi pada balita seperti
43
diare 14,65 persen dan ISPA 40,28 persen. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu
faktor kesehatan lingkungan antara lain akses sanitasi 16,11 persen dan akses sumber air
bersih 13,95 persen. Selain itu nilai yang rendah terlihat pada perilaku sehat yaitu
presentase merokok sebesar 55,87 persen, cuci tangan dengan benar 45,48 persen, buang
air besar dengan benar 63,65 persen dan aktifitas fisik 25,35 persen.
3.1.3. Implementasi Program Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif
yaitu “Profil Kesehatan Kota Serang tahun 2017” , data status gizi balita
hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) tahun 2017, Laporan Survei Cepat Anemia pada
Ibu Hamil tahun 2015, dan Laporan Survei Cepat Pemantauan Konsumsi Gizi tahun 2013
Capaian kinerja indikator spesifik pada ibu hamil di Kota Serang disajikan
pada tabel 4
Tabel 4.
69,20*
Prevalensi anemia gizi pada ibu hamil di Indonesia masih tinggi dan
untuk semua ibu hamil setidaknya 90 tablet selama kehamilan telah menjadi
strategi utama untuk mengurangi prevalensi anemia pada ibu hamil sejak tahun
44
1980-an. Pada tabel 4. menunjukkan bahwa cakupan ibu hamil yang mendapat
TTD FE3 (90 tablet) cukup tinggi 89,2 persen, demikian juga pemeriksaan
energi kronis (KEK), tidak tersedia datanya. Menurut pengelola program KIA ,
Filariasis. Program ini ditujukan kepada seluruh penduduk usia > 2 tahun kecuali
wanita hamil. Dengan demikian sudah tidak ada program kecacingan secara
Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada ibu Nifas disajikan pada
tabel 5. Terlihat bahwa semua cakupan capaian program mulai dari persalinan
ditolong nakes , neonatal risti yang ditangani , bayi mendapat imunisasi dasar
lengkap, dan KN3, serta ibu nifas mendapat Vitamin A, sudah melebihi 90 persen
atau baik .
Tab
RENCANA KEGIATAN MASING-MASING SEKTOR DALAM UPAYA
PENANGGULANGAN STUNTING
a) Dinas Kesehatan
1. Program Kesga
- Intervensi pemberian PMT untuk ibu hamil sebesar 300 Kkal (1 porsi lebih
- Kelas ibu ditambah materi stunting (3-4 per- Puskesmas) edukasi bumil
2. Program Gizi
111
3. Program Kesling
- Rencana pengembangan perilaku Higiene untuk cuci tangan dan cuci alat makan
- Pengembangan Jimat pada 3 desa lokus yang belum memperoleh Pamsimas tahun
4. Program Yankes
5. Program JKN
faskes.
- Menjaring keluarga stunting sakit yang belum menjadi anggota untuk menjadi
- Menjaring bumil dari keluarga stunting, kek dan anemia untuk memperoleh
6. Program Promkes
BAB IV KESIMPULAN
1. Sosialisisasi tentang stunting merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan
dalam upaya penurunan masalah stunting karena belum banyak stakeholder dan
2. Komitmen Pimpinan mulai dari Bupati, Camat dan Kepala Desa memiliki peran yang
sangat penting dalam menggerakkan seluruh stakeholder dan masyarakat untuk mau
3. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Perbup atau SK Bupati, tentang Tim
stunting.
4. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Percam/SK Camat tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh Camat untuk
5. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Perdes/SK Kepala Desa tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh Kepala Desa
untuk melakukan koordinasi lintas sektor dan dasar hukum dalam penggunanaan Dana
Desa dan Alokasi Dana Desa untuk pembiayaan kegiatan penanggungalangan stunting
di Tingkat Desa.
7. Tersusunnya draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam Upaya Penurunan
SARAN
123
DAFTAR PUSTAKA
Acosta AM. Examining the political, institutional and governance aspects of delivering a
Pembangunan
Bhutta, Z., et al., (2013). Evidence based interventions for improving maternal and child
nutrition: What can be done and at what cost?, The Lancet, 382, 452-477. 16.
Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes
Kemenkes RI.
Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Riset
Kemenkes RI.
Effendy, Onong Uchjana, 2001. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Global Nutrition Report. Actions and Accountability to Accelerete The World’s Progress
2014. Washington DC
Haddad, L., Nisbett, N., Barnet, Inka. And Valli, E. Maharasthra’s Child Stunting
2014.
https://www.researchgate,ne....llection_of_Recent_Papers
LAN, 2015. Bahan Ajar Diklat Kepemimpinan Tingkat IV. Agenda membangun tim
Pertumbuhan Ekonomi.
Permaesih, D.,dkk. Studi Kajian Masalah Anemia Gizi dan Program Suplementasi Pil Zat
124
2011;94;1632-42
Rasella, D., et al., (2013). Effect of a conditional cash transfer programme on childhood
Perbaikan Gizi Masyarakat di kota Tegal dan Kota Salatiga. Laporan Penelitian
(https://www.researchgate,nellection_of_ Recent_Papers )
The Lancet, (2008). Maternal and Child Undernutrition, Special Series, 371. 2
Washington, D.C.