A. Latar Belakang
Gizi buruk adalah suatu keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 standar deviasi
WHO-NCHS dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus kwashiorkor (Depkes RI, 2008), sedangkan menurut Kemenkes RI (2011),
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight.
Sejak kasus gizi buruk kembali terjadi di Indonesia diawali dengan kasus
yang terjadi di NTT dan NTB kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainya,
pemerintah menaruh perhatian sangat serius pada kasus gizi buruk. Hal ini dilakukan
dengan memberlakukan kembali Surat Menteri Kesehatan Nomor: 1209 tanggal 19
Oktober 1998 yang menginstruksikan agar memperlakukan kasus kurang gizi berat
sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sehingga setiap kasus baru harus dilaporkan
dalam 1x 24 jam dan harus segera ditangani (Kemenkes RI, 2008).
Prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang nasional pada tahun 2010 adalah
17,9 % yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan 13,0 % gizi kurang. Target pencapaian
sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15,5 % maka prevalensi gizi buruk dan gizi kurang
secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 % dalam periode 2011 sampai
2015. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang DI Yogyakarta sebesar 11,3 %, yang
terdiri dari 1,4 % gizi buruk dan 9,9 % gizi kurang (BPP Kemenkes RI, 2010).
Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana tertuang pada
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan 2010- 2014 adalah perbaikan status gizi
masyarakat. Dalam upaya mencapai tujuan dari rencana tersebut telah disusun
Kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat 2010-2014. Salah satu strategi operasional
Pembinaan Gizi Masyarakat dan Kebijakan teknis Pembinaan Gizi Masyarakat 2010-
2014 adalah memenuhi kebutuhan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-
P) bagi balita menderita gizi kurang dan dari keluarga miskin (Kemenkes RI, 2010).
Menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi DIY tahun 2013, jumlah
prevalensi gizi buruk yang ditemukan di kota Gunung Kidul 4,7%, Yogyakarta
4,3%, Sleman 5,5%, Bantul 2,1%,dan Kulon Progo 2,4% (Dinas Kesehatan Provinsi
DIY, 2013).
Puskesmas Playen I sebagai instansi pelayanan kesehatan pada tingkat
kecamatan di kabupaten Gunungkidul melaksanakan pemberian PMT kepada balita
di wilayah kerjanya. Data privalensi jumlah balita mendapat PMT indikator BB/TB
kriteria kurus selama tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2014 adalah 1,2%, tahun
2015 adalah1,42% dan pada tahun 2016 adalah 1,59%. Berdasarkan data tersebut
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pemberian PMT akibat bertambahnya
jumlah balita dengan kriteria kurus berdasarkan indikator BB/TB.
Penyebab gizi buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait,
antara lain asupan makanan yang kurang disebabkan karena tidak tersedianya
makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang,
pola makan yang salah, serta anak sering menderita sakit. Kekurangan konsumsi
makanan yang berlangsung lama, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pemeliharaan gizi anak, serta rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, selain itu
juga dipengaruhi oleh masalah ekonomi dan pelayanan kesehatan, serta pola asuh
yang kurang memadai sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah balita dengan
status gizi buruk (Depkes, 2000).
World Health Organization and United Nations Children’ s Fund
(UNICEF) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil studi epidemiologi, anak dengan
BB/TB < -3 SD dari standar WHO memiliki risiko kematian 9 kali lebih tinggi dari
anak dengan BB/TB > -1 SD (WHO & UNICEF, 2009).
Pemberian Makanan Tambahan adalah program intervensi bagi balita yang
menderita kurang gizi dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan status gizi anak
serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi dan
kondisi gizi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut. Sedangkan pengertian
makanan untuk pemulihan gizi adalah makanan padat energi yang diperkaya dengan
vitamin dan mineral, diberikan kepada balita gizi buruk selama masa pemulihan
(Kemenkes RI, 2011).
Sedangkan pencapaian program PMT dilaporkan melalui F2 Gizi sebesar
42,5%, artinya hanya 20 balita gizi buruk dari 47 balita penderita gizi buruk (<-3 SD,
Indeks BB/U) yang mendapatkan program pemberian makanan tambahan. Fakta
tersebut akan berdampak memberikan sumbangan daerah di tingkat propinsi
khususnya akan tingginya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sekaligus
meningkatkan hilangnya produktivitas manusia di masa mendatang jika tidak
ditangani dengan baik (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan permasalahan di atas,
maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai masalah gizi buruk
yang terjadi di Indonesia.
B. Tujuan
1. Mengetahui proses perencanaan program PMT (Pemberian Makanan
Tambahan).
2. Mengetahui Sumber Daya Manusia atau Institusi yang terlibat dalam program
PMT (Pemberian Makanan Tambahan).
3. Mengetahui besaran dana yang digunakan dalam program PMT (Pemberian
Makanan Tambahan).
4. Mengetahui sasaran dari program PMT (Pemberian Makanan Tambahan).
5. Mengevaluasi proses pelaksanaan program PMT (Pemberian Makanan
Tambahan).
6. Mengevaluasi hasil program PMT (Pemberian Makanan Tambahan)
PEMBAHASAN
A. Gambaran Masalah
Berita munculnya kembali kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur seperti diberitakan oleh KOMPAS (26/5 dan 27/5 2005) dan media
massa lainnya, menunjukkan bahwa masalah kekurangan gizi di negeri tercinta ini
masih "tersembunyikan". Kejadian sekarang ini mirip seperti kejadian tahun 1998,
ketika dilaporkan meningkatnya kejadian gizi buruk di berbagai media massa
(KOMPAS, 13/10/98) "Kasus BayiHO Pertanda Beratnya Kemiskinan";
MERDEKA, 13/10/98 "Fungsikan kembali Posyandu".
Berdasarkan data DEPKES-SUSENAS, (1998) prevalensi gizi kurang
balita sebesar 29,5% dan 10,1% diantaranya menderita gizi buruk. Selanjutnya
terjadi penurunan prevalensi gizi kurang menjadi 24,7% dan gizi buruk 7,5% pada
tahun 2000. Terjadi peningkatan pada tahun 2003 dimana prevalensi gizi kurang
menjadi 27,5% dan 8,3% diantaranya gizi buruk kemudian pada tahun 2005 terjadi
sedikit kenaikan prevalensi gizi kurang menjadi 28,0% dan 8,5% diantaranya gizi
buruk.
Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal
balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok
atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk
berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin
tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin kecil
persentasinya. Kurang Gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui
rendahnya pendidikan dan produktivitas. Lebih dari separuh (54%) kematian anak
balita didasari oleh kekurangan gizi. Kemiskinan menyebabkan anak tidak
mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi (SUSENAS, 2005).
Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses
terhadap ketiga faktor penyebab kekurangan gizi di atas, tetapi untuk mencegah gizi
buruk tidak harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah
kemiskinan dituntaskan. Masalahnya berapa lama kita harus menunggu perbaikan
ekonomi, dan membiarkan anak-anak mati akibat gizi buruk. Kita tahu
pembangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi kemiskinan memakan waktu
lama. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu lebih dari 20
tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40% (1976) menjadi 11%
(1996). Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi
dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi
bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat
(SOEKIRMAN, Pidato Pengukuhan Guru Besar IPB,1991).
WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita
didasari oleh keadaan gizi anak yang tidak baik. Di samping dampak langsung
terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak terhadap
pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang
kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat
kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa dalam kandungan
sampai usia 2 tahun. Dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan
produktivitas, yang diperkirakan antara 20-30% (WHO, 2002).
B. Gambaran Program Yang Pernah Ada Untuk Mengendalikan Gizi Buruk
1. Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan
Kegiatan 1.000 hari pertama kehidupan adalah upaya perbaikan gizi yang
difokuskan sejak bayi dalam kandungan hingga anak mencapai usia 24 bulan atau
disebut periode emas kehidupan. Kegiatannya berupa perbaikan gizi pada ibu hamil,
bayi dan anak sampai usia 24 bulan. Kegiatan ini adalah bagian utama dari
percepatan penanggulangan anak balita pendek (stunting) dan pencegahan kasus gizi
buruk. Ada 8 upaya penanganan masalah gizi pada periode emas kehidupan. Dimulai
dengan pemberian tablet tambah darah sebanyak 90 tablet kepada ibu hamil,
pemberian makanan tambahan pada ibu hamil yang mengalami Kurang Energi
Kronis (KEK), pelayanan inisiasi menyusu dini bagi ibu baru melahirkan, konseling
menyusui dan konseling pemberian makanan pendamping air susu ibu (ASI),
pelaksanaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), penyuluhan bagi seluruh Balita
di Posyandu, pemberian kapsul vitamin A kepada seluruh Balita usia 6–60 bulan
sebanyak 2 kali setahun, pelaksanaan PMT pemulihan bagi Balita gizi kurang di
Puskesmas, dan perawatan bagi Balita gizi buruk termasuk penyediaan mineral mix
rumah sakit dan Puskesmas.
2. Ruang Menyusui
Dalam rangka meningkatkan keberhasilan menyusui, khususnya bagi ibu yang
bekerja, pada tahun 2009 Kementerian Kesehatan mengeluarkan himbauan melalui
surat edaran kepada jajaran kesehatan dan instansi terkait untuk menyediakan ruang
menyusui. Surat edaran tersebut merupakan tindak lanjut dengan keluarnya
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan, serta
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Peningkatan Pemberian Air Susu
Ibu, selama waktu kerja di tempat kerja.
Pada tahun 2010 Menteri Kesehatan telah mengeluarkan surat edaran tentang
penguatan pelaksanaan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10
LMKM) kepada seluruh dinas kesehatan provinsi maupun kabupaten/kota serta
rumah sakit pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia.
Tujuan penguatan 10 LMKM ini adalah agar seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan mempunyai komitmen untuk menetapkan kebijakan tertulis yang
mendukung peningkatan pemberian ASI dengan melaksanakan kegiatan Inisiasi
Menyusu Dini (IMD), mendukung ASI Eksklusif dan melaksanakan rawat gabung,
tidak menyediakan susu formula dan tidak memberikan dot atau kempeng kepada
bayi yang diberikan ASI serta mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung
ASI.
Kementerian Kesehatan telah melaksanakan pelatihan untuk Fasilitator
Menyusui dan Konselor Menyusui, juga pelatihan untuk Fasilitator Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Konselor MP-ASI. Pelatihan dilakukan
mulai dari tingkat Pusat sampai dengan kabupaten/kota. Pada tahun 2010 sebanyak
2.225 Konselor dan 378 Fasilitator Menyusui yang telah dilatih. Pada tahun 2011
meningkat menjadi 2.872 Konselor dan 403 Fasilitator Menyusui, sedangkan jumlah
Konselor MP-ASI baru mencapai 333 orang dan 41 orang sebagai Fasilitator MP-
ASI.
3. Pusat Pemulihan Gizi (PPG)
Komitmen Kementerian Kesehatan untuk memulihkan keadaan gizi kurang dan
gizi buruk di masyarakat ditunjukkan dengan penyediaan Pusat Pemulihan Gizi
(PPG) atau Therapeutic Feeding Center (TFC) di Puskesmas. TFC melayani Balita di
daerah yang banyak ditemukan gizi kurang akut. Pusat Pemulihan Gizi (PPG)
berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan anak gizi buruk secara intensif
di suatu ruangan khusus. Di ruangan khusus ini, ibu atau keluarga terlibat dalam
perawatan anak tersebut. Pada tahun 2010 terdapat 95 PPG yang tersebar di 14
provinsi dan pada tahun 2011 jumlah PPG meningkat menjadi 153 PPG yang
tersebar di 27 provinsi.
4. Taburia
Bubuk Taburia diberikan untuk mencegah terjadinya kekurangan vitamin dan
mineral pada Balita di atas usia 6 bulan. Untuk menanggulangi masalah kurang zat
gizi mikro ini, dilakukan intervensi melalui pemberian bubuk tabur gizi yang
diberikan pada Balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi multi
mikronutrien lebih efektif jika dibandingkan dengan intervensi mikronutrien tunggal
(single dose). Taburia dikembangkan oleh peneliti Kementerian Kesehatan pada
tahun 2006-2008, kemudian diluncurkan penggunaannya tahun 2010 untuk menekan
angka kematian bayi dan Balita, serta menekan prevalensi gizi kurang pada Balita.
Pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan mendistribusikan Taburia sebanyak 5,5 juta
saset ke 6 provinsi dengan sasaran 90.727 Balita. Pada tahun 2011 telah disiapkan
Taburia sebanyak 38 juta saset untuk 412.523 Balita gizi kurang yang
didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia.
5. Fortifikasi
Minyak Goreng Fortifikasi pangan adalah upaya meningkatkan mutu gizi bahan
makanan dengan menambahkan satu atau lebih zat gizi mikro tertentu pada bahan
makanan atau makanan. Fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A di 75 negara
menurunkan 20% prevalensi kekurangan vitamin A pada Balita (Damage
Assessment Report dari UNICEF dan MI, 2004) dan telah diakui oleh WHO dan
Bank Dunia sebagai suatu strategi perbaikan gizi yang cost-effective. Rintisan
fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A di Indonesia dilakukan berdasarkan
studi kelayakan pada tahun 2008-2009 di Makassar. Studi tersebut menunjukkan
bahwa vitamin A bersifat stabil pada saat proses penggorengan hingga tiga kali.
Menteri Kesehatan telah mencanangkan Rintisan Fortifikasi Vitamin A dalam
minyak goreng pada tahun 2011 dengan dilaksanakannya pilot project di beberapa
wilayah, dimulai di Jawa Timur dan Jawa Barat. Pada tahun 2012 studi dilanjutkan
dengan penerapan kewajiban (mandatory) fortifikasi vitamin A dalam minyak
goreng.
6. Rumah Pemulihan Gizi
Pemerintah Kota Yogyakarta tepatnya pada tahun 2010 mendirikan RPG
(Rumah Pemulihan Gizi). RPG sendiri dibuka dan disahkan langsung oleh Menteri
Kesehatan Periode 2009-2014 oleh Ibu Endang Endang Rahayu Sedyaningsih
pada 12 Maret 2010 (Tempo, 2010).
Rumah Pemulihan Gizi (RPG) memiliki berbagai macam jenis pelayanan
yaitu meliputi pelayanan konseling masalah gizi balita, penyuluhan konsultasi
rujukan gizi, penelitian dan pengembangan gizi terapan oleh ahli, menyediakan
makanan dengan spesifikasi gizi bayi dan balita yang dirawat, pendidikan dan
kesehatan gizi, pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan, rujukan dari
posyandu atau puskemas serta perawatan lanjutan pasca perawatan di rumah sakit
(Brosur).
RPG mengalami perkembangan yang pesat dilihat dari jumlah balita yang
menerima perawatan dan konseling dari para dokter. Keberhasilan dari upaya ini
dapat dilihat dari penurunan jumlah balita dengan status gizi buruk. Balita
dengan status gizi buruk pada tahun 2010 sejumlah 178 anak (1,01%) lebih sedikit
apabila dibandingkan tahun 2009 yaitu 198 anak (1,04%). Selama Tahun 2010
telah dirawat balita sangat kurus sejumlah 35 anak dan balita kurus sejumlah 9 anak.
Di akhir perawatan diperoleh hasil sangat kurus 11 anak, kurus 8 anak dan normal 18
anak. Masih terdapat 11 anak yang tidak berubah status gizinya disebabkan
karena ada penyakit penyerta antara lain kebocoran jantung, down syndrome
(kelainan bawaan) dan gangguan tumbuh kembang (RKPD Yogyakarta, 2012).
C. Gambaran Program PMT untuk Menanggulangi Gizi Buruk
Sejak tahun 2011, Kementerian Kesehatan menyediakan anggaran Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) yang antara lain dapat digunakan untuk pembinaan
posyandu dan penyuluhan serta penyediaan makanan pemulihan gizi untuk balita
gizi kurang maupun gizi buruk.
Pemerintah telah melakukan berbagai program untuk upaya mengatasi
masalah gizi buruk dan gizi kurang pada balita, Kementerian kesehatan telah
menetapkan kebijakan yang komprehensif, meliputi pencegahan, promosi/edukasi
dan penanggulangan balita gizi buruk. Upaya pencegahan dilaksanakan melalui
pemantauan pertumbuhan di posyandu. Penanggulangan balita gizi kurang dilakukan
dengan pemberian makanan tambahan (PMT), sedangkan balita gizi buruk harus
mendapatkan perawatan sesuai Tatalaksana Balita Gizi Buruk yang ada.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan gizi dalam penanganan anak gizi
buruk dilakukan melalui pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk bagi tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan. Untuk menekan kematian bayi atau balita, dan menurunkan
prevalensi gizi kurang dan buruk pemerintah menetapkan target bahwa semua
balita gizi buruk dirawat.Penanganan dan pemulihan balita gizi buruk dapat
dilakukan secara rawat inap dan rawat jalan. Selama ini pemulihan balita gizi
buruk dilakukan dengan rawat inap di fasilitas kesehatan, tanpa pemisahan
penderita yang disertai komplikasi ataupun yang tidak disertai komplikasi. Kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaannya antara lain cakupan balita yang ditemukan
dan dirujuk masih rendah, lamanya masa perawatan yang mengakibatkan
perawatan tidak tuntas karena umumnya pulang paksa. Untuk mengatasi kendala
tersebut, penderita gizi buruk tanpa komplikasi dapat dirawat di rumah secara
rawat jalan.Penanganan rawat jalan dilakukan berupa Pemulihan Gizi Berbasis
Masyarakat (PGBM) di rumah tangga yang dikembangkan berdasarkan prinsip
bahwa penemuan penderita gizi buruk secara dini dan ditangani secara tepat maka
tingkat keberhasilan penatalaksanaannya akan tinggi.
Sedangkan program penanggulangan gizi kurang dengan mengadakan
program PMT yang dilakukan oleh pemerintahdengan sasaran PMT Pemulihan
adalah bayi umur 6- 12 bulan dan anak balita umur dibawah dua tahun
(baduta) dari keluarga miskin. Namun dalam pelaksanaannya PMT Pemulihan
diberikan juga kepada balita gizi kurang dan atau buruk dari keluarga miskin dan
tujuannya adalah untuk meningkatkan status gizi anak serta untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi dan kondisi gizi yang baik
sesuai dengan umur anak tersebut. Sedangkan pengertian makanan untuk pemulihan
gizi adalah makanan padat energi yang diperkaya dengan vitamin dan mineral,
diberikan kepada balita gizi buruk selama masa pemulihan (Kemenkes RI, 2011).
D. Gambaran Program
a. Proses Perencanaan
Pemberian Makanan Tambahan adalah program intervensi bagi balita yang
menderita kurang gizi dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan status gizi
anak serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi
dan kondisi gizi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut (Ditjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak, 2011).
Menurut Persagi (2009), pemberian tambahan makanan di samping makanan
yang dimakan sehari ± hari dengan tujuan memulihkan keadaan gizi dan
kesehatan. PMT dapat berupa makanan lokal atau makanan pabrik. Program
Makanan Tambahan Pemulihan (PMT± P) diberikan kepada anak gizi buruk dan
gizi kurang yang jumlah harinya tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan
status gizi anak. Ibu yang memiliki anak di bawah lima tahun yang menderita gizi
kurang / gizi buruk diberikan satu paket PMT Pemulihan.
Kegiatan PMT Pemulihan berbasis makanan lokal bagi balita berusia 6-
59 bulan merupakan serangkaian kegiatan sebagai berikut:
1. Persiapan
Merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka mempersiapkan program
PMT agar dapat berjalan dengan baik. Pada langkah ini diperoleh data
melalui kecamatan/puskesmas, desa/kelurahan, maupun dusun/RW/Posyandu.
Setelah didapatkan data penerima PMT, maka dilaksanakan rapat koordinasi
untuk merencanakan PMT serta menentukan jadwal, lokasi, jenis dan bentuk
PMT, alternatif pemberian, penanggung jawab, dan pelaksana PMT.
2. Pelaksanaan
Penyelenggaraan PMT Pemulihan lokal perlu didukung dengan
penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) oleh tenaga kesehatan
dan kader kepada keluarga sasaran. Dalam pelaksanaan PMT pemulihan, perlu
dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Apabila memungkinkan, hari masak penyelenggaraan PMT Pemulihan
dilakukan setiap hari di tempat tertentu yang disepakati bersama.
b. Bila hari masak setiap hari tidak memungkinkan, maka hari masak
sebaiknya dilakukan 2 kali seminggu.
c. Bagi daerah yang kondisi geografisnya sulit, hari masak dapat dilakukan
sekali seminggu.
Sumber: Hasil PSG Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun 2010- 2012
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa balita gizi buruk pada tahun 2010
sebanyak 255 balita (0,7%), tahun 2011 sebanyak 262 balita (0,7%) dan di tahun
2012 menjadi 242 balita (0,7%). Target yang telah ditentukan dalam Renstra bidang
kesehatan Kabupaten Gunungkidul sebesar 0,6 %, untuk itu perlu adanya upaya
untuk mencapai target tersebut.
Balita gizi kurang pada tahun 2010 sebanyak 4.040 balita (11,2%), tahun
2011 sebanyak 3.747 balita (10,4%) dan tahunn 2012 sebanyak 3.254 balita (9,3%).
Terjadi penurunan prevalensi balita gizi kurang dari tahun 2010 sampai tahun 2012,
tetapi masi dibawah target Renstra bidang kesehatan Kabupaten Gunungkidul
sebesar 9%.
Kurangnya pemanfaatan sumber dana lain, baik yang dari pemerintah,
swasta maupun masyarakat dan PMT Pemulihan yang diberikan belum memenuhi
syarat nilai gizinya. Sumber Daya Manusia untuk petugas gizi profesional di
Puskesmas belum mencukupi dan masih adanya rangkap jabatan yang
mengakibatkan program PMT Pemulihan tidak berjalan dengan baik. Pencatatan
dan pelaporan belum berjalan dengan baik dan Pelaporan masih sering terjadi
keterlambatan. Pemantauan dan pendampingan program PMT Pemulihan yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Puskesmas dan kader kesehatan belum berjalan
dengan baik dan tidak melakukan kunjungan rumah. Status gizi balita setelah
mendapatkan PMT Pemulihan yang mengalami kenaikan status gizi menjadi lebih
baik sebesar 36, 2 %, status gizinya tetap sebesar 58% dan status gizinya turun
sebesar 5,8 %.
Program PMT Pemulihan bertujuan untuk pencegahan dan penanggulangan
balita gizi buruk yang ada di kabupaten Gunungkidul. Dalam penelitian ini
program PMT Pemulihan belum berjalan dengan baik dan belum dapat
meningkatkan status gizi balita gizi buruk yang mendapatkan PMT Pemulihan
secara optimal.