A. Latar Belakang
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang
lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih
rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif.
Dampak stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat
kecerdasan anak. Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan, bagaimana
kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang jika saat ini banyak anak
Indonesia yang menderita stunting. Dapat dipastikan bangsa ini tidak akan mampu bersaing
dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan global. Untuk mencegah hal tersebut,
pemerintah mencanangkan program intervensi pencegahan stunting terintegrasi yang
melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Pada tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di
34 provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak
60 kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan
dapat menekan angka stunting di Indonesia sehingga dapat tercapai target Sustainable
Development Goals (SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan angka stunting hingga 40%.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu
program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya
yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b.Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
d.Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien
(TKPM);
e.Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
f. Pemberantasan kecacingan;
g.Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA;
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif; dan
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b.Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d.Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi
seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan
b.Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b.Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi
narkoba.
1. Situasi Global
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah
gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta
balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih
dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari
sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi
terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
(0,9%).
2. Situasi Nasional
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek
memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang,
kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu
27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung
statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita
pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi
35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi
37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018
yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah.
Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian program.
Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%.
Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita
pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.
3. Situasi di Aceh Tengah
Ketua tim penggerak PKK Kabupaten Aceh Tengah Puan Ratna menyatakan pihaknya siap
menggandeng semua pihak di daerah tersebut untuk menurunkan anga stunting atau kondisi
gagl pertumbuhan tubuh dan otak pada anak akibat kekurangan gizi. “Angka Stunting
Kabupaten Aceh Tengah masih tergolong tinggi dengan kiasaran 38% pada tahun 2018 atau
lebih tinggi dari nasional”, kata Puan Ratna dalam siaran Pers diterima di Banda Aceh,
Senin. Ia menjelaskan Kabupaten Aceh Tengah menjadi satu dari 100 kabupaten dan kota di
Indonesia yang sudah membuat komitmen untuk menurunkan angka stunting.
“PKK juga punya kewajiban untuk berpartisipasi menurunkan angka Stunting di
Kabupaten Aceh Tengah, terutama dalam meningkatkan pemahaman kaum perempuan
terhadap pentingnya menerapkan pola hidup sehat dan sadar gizi”, katanya. Menurut dia,
PKK punya kader hingga ke kampung-kampung yang dapat memberi informasi kepada
masyarakat tentang budaya hidup sehat dan menjaga usia kehamilan serta 1000 har pertama
pasca kelahiran degan gizi bayi yang cukup.
Strategi ke depan terkait dengan pola asuh, maka direkomendasikan beberapa hal antara
lain:
1. Melakukan monitoring pasca pelatihan konselor menyusui utamanya di tingkat
kecamatan dan desa;
2. Melakukan sanksi terhadap pelanggar PP tentang ASI;
3. Melakukan konseling menyusui kepada pada ibu hamil yang datang ke ante natal
care/ANC (4 minggu pertama kehamilan) untuk persiapan menyusui;
4. Meningkatkan kampanye dan komunikasi tentang menyusui;
5. Melakukan konseling dan pelatihan untuk cara penyediaan dan pemberian MP-ASI
sesuai standar (MAD).
Ketahanan pangan (food security) tingkat rumah tangga adalah aspek penting dalam
pencegahan stanting. Isu ketahanan pangan termasuk ketersediaan pangan sampai level
rumah tangga, kualitas makanan yang dikonsumsi (intake), serta stabilitas dari ketersediaan
pangan itu sendiri yang terkait dengan akses penduduk untuk membeli. Masalah ketahanan
pangan tingkat rumah tangga masih tetap menjadi masalah global, dan juga di Indonesia,
dan ini sangat terkait dengan kejadian kurang gizi, dengan indikator prevalensi kurus pada
semua kelompok umur. Dalam jangka panjang masalah ini akan menjadi penyebab
meningkatnya prevalensi stunting, ada proses gagal tumbuh yang kejadiannya diawali pada
kehamilan, sebagai dampak kurangnya asupan gizi sebelum dan selama kehamilan.
Amanat ketahanan pangan di Indonesia adalah dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, dan juga UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan antara lain:
1. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan masyarakat melalui:
a) penetapan target pencapaian angka konsumsi pangan per kapita pertahun sesuai dengan
angka kecukupan gizi;
b) penyediaan pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman, dan tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; dan
c). pengembangan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pola konsumsi pangan
yang beragam, bergizi seimbang, bermutu, dan aman;
2. Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mewujudkan penganekaragaman
konsumsi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan mendukung hidup sehat,
aktif, dan produktif;
3. Penganekaragaman konsumsi pangan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dan membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang,
dan aman serta sesuai dengan potensi dan kearifan lokal;
4. Penganekaragaman konsumsi pangan dilakukan dengan:
a) mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan;
b) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam
pangan dengan prinsip gizi seimbang;
c) meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan pangan lokal; dan
d) mengembangkan dan mendiseminasikan teknologi tepat guna untuk pengolahan pangan
lokal;
5. Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang gizi untuk perbaikan status gizi masyarakat.
Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a) penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan
apabila terjadi kekurangan atau penurunan status gizi masyarakat;
b) penetapan persyaratan khusus mengenai komposisi pangan untuk meningkatkan
kandungan gizi pangan olahan tertentu yang diperdagangkan;
c) pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, dan kelompok rawan
gizi lainnya; dan
d) peningkatan konsumsi pangan hasil produk ternak, ikan, sayuran, buah-buahan, dan
umbi-umbian lokal;
6. Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5
(lima) tahun.
Pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terkait dengan ketahanan
pangan tingkat keluarga, tertulis sebagai berikut:
1. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan
dan masyarakat, melalui antara lain
a) perbaikan pola konsumsi makanan, dan
b) peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi;
2. Pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga miskin dan
dalam keadaan darurat;
3. Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap pendidikan dan informasi yang benar
tentang gizi kepada masyarakat. (Bab VIII, Pasal 142; ayat 3 UU 36/2009).
Dari amanat tersebut masih banyak yang belum terpenuhi, jika memperhatikan fakta yang
ada seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, seperti terkait masih banyaknya antara lain
ibu hamil yang asupannya defisit dari sisi energi dan protein. Beberapa program yang
terekam dari lapangan dan sudah dilaksanakan antara lain:
1) Beras Miskin (Raskin)/Beras Sejahtera (Rastra) (Bulog);
2) Bantuan Pangan Non Tunai (Kementerian Sosial);
3) Program Keluarga Harapan/PKH (Kementerian Sosial);
4) Pemberian Makanan Tambahan/PMT ibu hamil (Kementerian Kesehatan);
5) Bantuan pangan asal sumber lain (Pemda, LSM, dan lain-lain).
C. Kelompok sasaran
1. KELOMPOK PRIORITAS (Sasaran Primer)
Kelompok yang tergabung dan yang akan dilakukan intervensi KPP yaitu:
• Ibu hamil
• Ibu menyusui
• Anak usia 0-23 bulan, Anak usia 24-59 bulan
• Tenaga kesehatan: bidan, sanitarian, tenaga gizi, dokter, perawat
• Kader
2. KELOMPOK PENTING (Sasaran Sekunder)
Kelompok yang berpotensi mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku dan
diintervensi umumnya melalui upaya mobilisasi sosial:
• Wanita usia subur, Remaja
• Lingkungan pengasuh anak terdekat (kakek, nenek, ayah, dan lainnya)
• Pemuka masyarakat
• Pemuka agama
• Jejaring sosial (PKK, group pengajian, dll)
3. KELOMPOK PENDUKUNG (Sasaran Tersier)
Pihak yang terlibat sebagai lingkungan pendukung untuk upaya percepatan pencegahan
stunting, diintervensi melalui advokasi dan informasi publik, terdiri dari:
• Pengambil kebijakan/keputusan: nasional, provinsi, kabupaten, kota dan desa
• Organisasi Perangkat Daerah
• Swasta: dokter, bidan, dokter anak, dokter kandungan
• Dunia usaha
• Donor dan perwakilan media
• Media massa
Perubahan Target kelompok sasaran Target kelompok sasaran Target kelompok sasaran
Perilaku memahami definsi memahami langkah-langkah memiliki kemampuan untuk
yang stunting, mengenali ciri yang dapat diambil untuk menjelaskan halhal seputar isu
Diharapkan umum dan faktor mencegah dan menangani stunting, mengembangkan
risikonya, memiliki anak stunting, serta solidaritas sosial yang lebih
keingintahuan yang lebih mengimplementasikan kuat antar individu, merasa
besar untuk memeriksa langkahlangkah tersebut prihatin dan ingin melakukan
kondisi anak dan dalam gaya hidup sehat perubahan bilamana terdapat
mencari informasi lebih sehari-hari kasus stunting di
banyak terkait stunting lingkungannya
KELOMPOK SASARAN TERSIER Pembuat Kebijakan Tingkat Daerah (Provinsi,
Kabupaten, Kota)
PESAN KUNCI UTAMA: Stunting adalah permasalahan prioritas di daerah yang bisa dituntaskan
melalui komitmen pemimpin daerah dan kerja sama antar Organisasi Perangkat Daerah
PESAN KUNCI UTAMA: Stunting adalah permasalahan mendesak yang terjadi di tengah
masyarakat dan dapat dicegah melalui komitmen pemimpin desa dan kerja sama antar warga
masyarakat
PESAN KUNCI UTAMA: Stunting adalah permasalahan kesehatan yang dapat dicegah dengan
intervensi gizi spesifik dan sensitif oleh penyedia layanan kesehatan yang terampil.
PESAN KUNCI UTAMA: Stunting saat ini menjadi salah satu prioritas kesehatan nasional.
Mendesak untuk melakukan penguatan kesadaran publik untuk membantu mencegah stunting
melalui optimalisasi tumbuh kembang pada 1.000 hari pertama kehidupan anak.
PESAN KUNCI UTAMA Mencegah stunting itu penting, dimulai dari remaja dan calon ibu,
dengan dukungan suami dan keluarga.
PESAN KUNCI UTAMA: Stunting adalah masalah nasional yang bisa dituntaskan melalui
komitmen para pemimpin dan kolaborasi lintas kementerian/lembaga
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
• Menciptakan lingkungan kebijakan daerah yang mendukung kebijakan intervensi gizi yang
konvergen, dengan menyesuaikan kebijakan daerah dengan kebijakan pusat dan kondisi
daerah.
• Memastikan dipenuhinya sumber daya untuk intervensi gizi yang konvergen melalui proses
perencanaan dan penganggaran, meliputi kapasitas SDM, anggaran, dukungan logistik, dan
kemitraan.
• Melakukan pembinaan dan pendampingan pelaksanaan intervensi gizi prioritas yang
konvergen (terpadu) di tingkat kecamatan dan desa.
PUSKESMAS
• Melakukan pendataan masalah gizi masyarakat di tingkat keluarga
• Menganalisis, merumuskan intervensi terhadap permasalahan kesehatan tersebut dengan
intervensi gizi spesifik dan sensitif
• Melaksanakan penyuluhan kesehatan melalui kunjungan rumah
• Memutakhirkan dan mengelola sumber data.
POSYANDU
• Melakukan pemantauan dan pengukuran status gizi
• Memberikan penyuluhan
• Mobilisasi kader untuk mendukung komunikasi interpersonal kepada kelompok target •
Melakukan kunjungan rumah.
LINTAS SEKTOR
Kementerian dan lembaga yang dapat ikut berperan dalam mendorong dan
mengimplementasikan strategi ini diantaranya :
• Kementerian Desa
• Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
• Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
• Kementerian Dalam Negeri
• Kementerian Sosial
• Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
• Dan lain-lain.
Pemantauan dan Evaluasi Di tahap awal pelaksanaan intervensi BCC di 100 kabupaten/kota,
kegiatan sebaiknya ditujukan untuk memperoleh bukti sebagai dasar penyusunan kebijakan
tentang model perbaikan gizi yang dapat diterapkan secara efektif di seluruh wilayah
Indonesia. Ini memastikan bahwa bukti yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara proaktif
saat replikasi dan perluasan program ke seluruh Indonesia.
- Memastikan bahwa kerangka pemantauan dan evaluasi (monev) menjadi salah satu
komponen utama dari strategi di masa mendatang Untuk memantau, menyesuaikan dan
mengukur keberhasilan intervensi perlu diterapkan gabungan antara studi evaluasi dan
pemantauan rutin. Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam
penerapan kerangka monev:
1. Pemantauan
a. Rancang dan terapkan kerangka pemantauan dengan menggunakan berbagai sumber data,
termasuk, bilamana tersedia, data pemantauan rutin, untuk identifikasi kekuatan, kelemahan,
kesenjangan, isu dan masalah yang dihadapi selama implementasi.
b. Hasil pemantauan (misalnya memantau perubahan dalam praktik atau pengetahuan) dapat
dilaksanakan melalui:
* Survei sentinel di daerah sasaran untuk melihat penerimaan dan kemampuan masyarakat
mengingat (recall) pesan-pesan kunci yang disampaikan melalui kampanye media dan
konseling antar pribadi, serta melihat tren praktik yang ada (misalnya peningkatan jumlah
ibu menyusui)
*Analisis data survei nasional (misalnya Riskesdas, SDKI) yang lebih bersifat setempat
untuk kabupaten/kota prioritas.
*Laporan kinerja media massa, pemantauan kegiatan, studi penetrasi, scan media dan studi
saturasi dapat dilakukan oleh perusahaan manajemen kinerja media seperti Nielsen tapi
analisis seringkali membutuhkan dana dari pihak eksternal.
2. Evaluasi
a. Untuk melengkapi pemantauan rutin dapat dilakukan evaluasi di tahap awal (baseline),
tengah waktu (mid-term) dan tahap akhir (endline) untuk melihat seberapa jauh tujuan
kegiatan tercapai, apa pengaruh dan dampak akhir dari upaya advokasi atau komunikasi
tersebut.
b. Pendekatan yang memungkinkan:
*Survei berulang untuk melihat praktik, perilaku dan perubahan dalam faktor-faktor
penentu.
*Studi khusus untuk melihat hubungan antara paparan kepada intervensi (contoh spot media
massa, konseling antar pribadi) dan praktik MIYCN.
c. Evaluasi dampak yang rinci dan teliti dapat memakan biaya yang sangat besar dan
memerlukan kapasitas teknis yang tinggi. Oleh karena itu, walaupun ideal, opsi ini hanya
dapat dipertimbangkan bilamana sumber daya untuk itu tersedia.