Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS KEBIJAKAN STUNTING

Disusun Oleh:

NPM NAMA
01180000016 Bintang Alya Binurika M
01180000001 Mochammad Robi Hidayat
01180000006 Nathasya Echa Indriani
01180000023 Putri Nur Annisa
01180000004 Rika Nurul Azizah

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2021
PENDAHULUAN

Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius


terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu masalah gizi yang
menjadi perhatian utama saat ini adalah masih tingginya anak balita pendek
(Stunting). Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
karena asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama sebagai akibat dari
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan. (1)

Persepsi yang salah di masyarakat akan stunting ini tidak mudah


diturunkan dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah dan berbagai sektor
terkait. Hasil studi membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya
berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar adalah terkait masalah
asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang.
Variabel lain dalam pertumbuhan stunting yang belum banyak disebut adalah
pengaruh paparan asap rokok maupun polusi asap juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan stunting.

Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul


kritis sebagai awal terjadinya pertumbuhan Stunting, yang sebaliknya berdampak
jangka panjang hingga berulang dalam siklus kehidupan. Kurang gizi sebagai
penyebab langsung, khususnya pada balita berdampak jangka pendek
meningkatnya morbiditas. Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan
mempengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan
berdampak pada kualitas sumberdaya manusia. Pada kondisi berulang (dalam
siklus kehidupan) maka anak yang mengalami kurang gizi diawal kehidupan
(periode 1000 HPK) memiliki risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa.(2)

Indonesia dalam catatan Kementrian Kesehatan berdasarkan pada Riset


Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia masuk dalam lima besar sebagai negara
dengan status gizi balita yang menderita stunting dengan angka 30.8 % di tahun
2018 yang mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2013 yang berkisar di
angka 37,2 %. (3)

2
Di sisi lain, hasil riset Bank Dunia (2017) menggambarkan kerugian akibat
stunting mencapai 3-11% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dengan nilai
PDB 2015 sebesar Rp11.000 Triliun, kerugian ekonomi akibat stunting di
Indonesia diperkirakan mencapai Rp300-triliun Rp1.210 triliun per tahun.
Sedangkan pada Balita Stunting (Tinggi Badan per Umur). (1)

Oleh karena itu, intervensi untuk mencegah pertumbuhan Stunting masih


tetap dibutuhkan bahkan setelah melampaui 1000 HPK. Fenomena tersebut diatas
menarik untuk dikaji mengingat masalah Stunting memiliki dampak yang cukup
serius; antara lain, jangka pendek terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada
bayi/Balita, jangka menengah terkait dengan intelektualitas dan kemampuan
kognitif yang rendah, dan jangka panjang terkait dengan kualitas sumberdaya
manusia dan masalah penyakit degeneratif di usia dewasa.

ANALISIS KEBIJAKAN

Persoalan stunting direpresentasikan sebagai persoalan komitmen dan


tanggung jawab pemerintah daerah. Peraturan terbaru akan stunting tertuang
dalam Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang strategi nasional dalam
mempercepat penurunan stunting (4). Strategi Nasional Percepatan Penurunan
Stunting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menurunkan
prevalensi stunting; meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga;
menjamin pemenuhan asupan gizi; memperbaiki pola asuh; meningkatkan akses
dan mutu pelayanan kesehatan; dan meningkatkan akses air minum dan sanitasi.

Dengan ini penulis bermaksud menganalisa Peraturan Presiden No. 72


Tahun 2021 tentang strategi nasional dalam mempercepat penurunan stunting
yang befokus pada isi, konteks, proses dan pelaku.

KONTEN KEBIJAKAN

Demi memenuhi Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional 2020-2024 pada Perpres No. 18 Tahun 2020 (5), pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang strategi percepatan
penurunan stunting, yang mana didalamnya menyatakan bahwa dalam rangka

3
mewujudkan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif, serta
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, dilakukan percepatan penurunan
stunting. Namun Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan perbaikan Gizi belum dapat mengakomodasi upaya
pelaksanaan percepatan penurunan stunting secara efektif sehingga perlu diganti.
Semua peraturan tentang kesehatan merujuk pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (6)

Pada strategi percepatan penurunan stunting menurut Perpres No. 72


Tahun 2021 percepatan penurunan stunting dilaksanakan secara holistik,
integratif, dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara
kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan. Strategi Nasional
Percepatan Penurunan Stunting memiliki langkah-langkah berupa 5 (lima) pilar
yang berisikan kegiatan untuk Percepatan Penurunan Stunting dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan melalui pencapaian target nasional
prevalensi Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun.
Menurut isi kebijakan tersebut pelaksanaan percepatan penurunan stunting
dikelompokan dengan sasaran : Remaja, Calon Pengantin, Ibu hamil, Ibu
menyusui dan anak berusia 0 (nol) – 59 (lima puluh Sembilan) bulan. Dalam
rangka pencapaian target prevalensi stunting ditetapkan antara yang harus dicapai
sebesar 14% (empat belas persen) pada tahun 2024.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di


Indonesia mencapai 30,8 persen. Sementara target WHO, angka stunting tidak
boleh lebih dari 20 persen. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi stunting di
Indonesia sebesar 37,2%, dan pada tahun 2018, angka tersebut berhasil diturunkan
menjadi 30,8% (Riskesdas 2018). Kementerian Kesehatan RI berharap angka
stunting dapat terus turun 3 persen setiap tahun, sehingga target 19% pada tahun
2024 dapat tercapai. (7) Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, juga menetapkan target angka stunting

4
nasional agar bisa turun mencapai 14 % karena Penurunan angka stunting telah
dinyatakan sebagai program prioritas nasional.

Selain peraturan presiden, kebijakan tentang Stunting juga merujuk pada


Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 29 Tahun 2019 tentang penanggulangan
masalah gizi bagi anak akibat penyakit (8). Meskipun Kementerian Kesehatan RI
sudah mengeluarkan kebijakan, namun hasil yang diperoleh belum sesuai harapan.
Faktanya Pertama belum efektifnya program-program pencegahan stunting.
Kedua belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan
sensitif di semua tingkatan terkait dengan perencanaan dan penganggaran,
penyelenggaraan, dan pemantauan dan evaluasi. Ketiga belum efektif dan
efisiennya pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya dan sumber dana.
Keempat keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan program. Kelima
masih minimnya advokasi, kampanye, dan diseminasi terkait stunting, dan
berbagai upaya pencegahannya. (9) Beberapa wilayah yang menuangkan tentang
Peraturan Penyelenggaraan Penurunan dan Pencegahan Stunting diantaranya :

1. Provinsi Jawa Timur


Dituangkan dalam Peraturan Bupati Lamongan Nomor 7 Tahun 2019
Tentang percepatan pencegahan stunting terintegrasi. Terdapat 14 Bab yang
terdiri dari Ketentuan umum; asas, tujuan dan maksud; pilar percepatan
pencegahan stunting; ruang lingkup; pendekatan; edukasi, pelatihan dan
penyuluhan gizi; penelitian dan pengembangan; pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab; penajaman sasaran wilayah pencegahan stunting; peran
pemerintah desa dan masyarakat; pencatatan dan pelaporan; penghargaan;
pendanaan; ketentuan penutup.
2. Provinsi Jawa Barat
Dituangkan dalam Peraturan Bupati Kuningan Nomor 36 Tahun 2019
Tentang penanggulangan stunting di kabupaten kuningan. Terdapat 12 Bab
yang terdiri dari ketentuan umum; Asas, tujuan dan maksud; pilar penurunan
stunting; sasaran; intervensi; pendekatan; edukasi dan penyuluhan gizi;

5
kelembagaan; peran serta masyarakat; pelaporan; penghargaan; pendanaan;
ketentuan penutup.
3. Provinsi Jawa Tengah
Dituangkan dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 34 Tahun 2019
Tentang Percepatan Pencegahan Stunting di Provinsi Jawa Tengah. Terdapat
11 Bab yang terdiri dari Ketentuan umum; maksud dan tujuan; ruang lingkup;
pelaksanaan 8 aksi konvergensi percepatan pencegahan stunting;
pengorganisasian; koordinasi; penilaian kinerja daerah; Kerjasama
monitoring, evaluasi dan pelaporan; pembiayaan; ketentuan penutup.

KONTEKS

Faktor Situasional

Stunting merupakan masalah kekurangan gizi kronis yang menjadi salah


satu masalah kesehatan masyarakat yang dialami oleh hampir seluruh negara di
dunia. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya salah satu target SDG’s untuk
mengakhiri kelaparan dan segala bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030,
sebagai bentuk komitmen berbagai negara dalam menghadapi masalah malnutrisi
tersebut. menurut Riskesdas 2018 menunjukkan terdapat 10,1% anak balita kurus
dan 7,6% balita mengalami kegemukan. Masalah gizi saat ini dikenal dengan
istilah the double burden of malnutrition atau beban ganda masalah gizi. Masalah
gizi kurang termasuk kurus atau wasting, pendek atau stunting, dan defisiensi
mikronutrien, sementara masalah gizi berlebih termasuk berat badan berlebih atau
overweight, obesitas, dan berbagai penyakit tidak menular yang berhubungan
dengan diet. Remaja putri yang mengalami malnutrisi lebih rentan untuk menjadi
wanita dewasa yang juga terkena malnutrisi dan melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah. Dengan demikian, ia akan mewariskan Beban Ganda Masalah
Gizi dari satu generasi ke generasi berikutnya. (10)

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang


dihadapi di Indonesia. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,

6
kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa
yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal.

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting.
Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek),
jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi
yang kurang pada saat kehamilan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil,
Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan
Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat
keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan
terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20
tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR
mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting. Dari sisi asupan gizi, 32%
remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko kekurangan energi kronik
(KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas rata-rata nasional. Jika gizi
remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan datang akan semakin
banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau kekurangan
energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi stunting di
Indonesia.(11)

Hasil penelitian longitudinal data Indonesian Family Life Survey (IFLS)


menunjukkan perubahan Z-score pertumbuhan pada usia dini hingga usia pra-
pubertas; pendek pada usia dini dan tidak berhasil mengejar (catch up)
pertumbuhannya pada usia Balita sebanyak 77% akan tetap pendek pada usia pra-
pubertas. Sebaliknya, anak yang pendek pada usia dini dan berhasil mengejar
pertumbuhannya pada usia Balita, sebanyak 84% akan tumbuh normal pada usia
pra-pubertas. Oleh karena itu upaya perbaikan dan intervensi untuk mencegah
stunting tetap dibutuhkan pada usia balita serta tetap dilakukan pemantauan pada

7
faktor postur tubuh ibu, jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih
remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. (2)

Faktor Struktural

Stakeholder dan pembuat keputusan sangat perlu dilibatkan pada semua


tingkatan. Komitmen semua tingkatan organisasi baik pemerintah maupun WHO
serta Lembaga swadaya lainnya harus distandarisasikan agar mendapat
keseragaman dalam pelaksanaan konsep visi, dan misi penyelenggaraan pelayanan
Kesehatan. Pendataan dan sumber daya sangat perlu diidentifikasi agar dapat
bekerja pada fokus area. Selain itu advokasi sangat penting dalam upaya untuk
peningkatan dan pencegahan stunting. Hal tersebut juga dapat membantu
memastikan bahwa program-program untuk Ibu Hamil dan Remaja diberlakukan,
didanai, dilaksanakan dan berkelanjutan dalam membangun dukungan kepada
pelayanan Kesehatan.
Semakin banyak ditemukanya remaja serta Ibu hamil yang memiliki gizi
kurang, maka akan berdampak kepada bayi yang akan dilahirkan, sehingga hal
tersebut perlu dilakukan pemantauan serta pencegahan agar tidak semakin
bertambahnya kejadian stunting di Indonesia. Selain itu kondisi ekonomi keluarga
juga perlu menjadi perhatian, karena salah satu cara mencukupi kebutuhan gizi
seseorang diperlukan kondisi ekonomi yang stabil. Dengan ini pemerintah bukan
hanya memikirkan bagaimana kebijakan penurunan persentase stunting saja, tetapi
juga harus berperan dalam membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dengan
kondisi ekonomi menengah kebawah.
Seperti yang diketahui bahwa prevalensi stunting pada anak lebih tinggi di
daerah pedesaan (40%) dibandingkan dengan daerah perkotaan (31%), dan jauh
lebih tinggi pada kelompok dengan tingkat kekayaan terendah dibandingkan
dengan kelompok tingkat terkaya. Namun demikian, 29,0% anak-anak di kuintil

8
kekayaan tertinggi mengalami stunting dimana hal ini menggambarkan bahwa
stunting bukan hanya masalah yang terkait dengan kemiskinan.(10)
Selain itu adanya hubungan antara orang tua yang merokok dengan
kejadian stunting juga disebabkan oleh asap rokok. Asap rokok diperkirakan
mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia yang secara farmakologis terbukti
aktif dan beracun yang dapat menyebabkan mutasi (mutagenic) dan kanker
(carcinogenic). Terdapat tiga racun utama dalam rokok yaitu nikotin, tar dan
karbon monoksida menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah apabila terpapar
dalam kurun waktu yang lama. kadar nikotin yang terkandung dalam rokok dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada sistem respirasi dan menimbulkan
komplikasi juga pada organ lainnya. Paparan timbal juga akan mempengaruhi
kesehatan ibu hamil dan janinnya, yang nantinya akan mempengaruhi berat badan
bayi saat dilahirkan. perilaku merokok pada orangtua terutama ayah akan
mempengaruhi proses pertumbuhan dari anak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kebiasaan untuk mengkonsumsi rokok akan menyebabkan anak
terpapar kandungan zat kimia yang berbahaya dari rokok yang akan menghambat
pertumbuhan. Biaya untuk membeli rokok juga akan mengurangi biaya untuk
pemenuhan kebutuhan belanja dalam rumah tangga sehingga asupan gizi yang
harapannya bisa diberikan dengan baik kepada anak tidak terwujud dengan baik.
(12)
Faktor Budaya

Ibu hamil di beberapa daerah di Indonesia, masih menghindari atau


pantang makan buah berwarna kuning, sepeti nanas, pisang, dan papaya. Mereka
percaya bahwa mengkonsumsi buah tersebut dapat mengakibatkan sesuatu atau
malapetaka untuknya dan si calon bayi, sedangkan untuk penolong persalinan, Ibu
masih memeriksakan kehamilannya di layanan kesehatan, namun sebagian dari
informan jika merasakan sakit perut masih percaya dengan adanya dukun. Dalam
pola asuh dan pola makan keluarga, peran pengasuhan Ibu sangatlah minim, ada
perbedaan antara jenis makanan yang dikonsumsi keluarga dengan makanan yang
sering dikonsumsi oleh anak dengan status gizi stunting. Tidak adanya ASI

9
Esklusif, dan makanan pendamping ASI yang diberikan terlalu dini juga menjadi
faktor pemicu terjadinya stunting. (13)

Promosi Kesehatan yang dilakukan dipedalaman sesungguhnya bisa


menurunkan angka stunting, namun hal tersebut belum tentu bisa diterima oleh
masyarakat pedalaman, karena stigma dan kebudayaan mereka yang masih terlalu
kuat sehingga untuk mengubah stigma ini perlu kerjasama serta kepercayaan
antara stakeholder dengan petugas Kesehatan, agar stakeholder dapat memberikan
contoh kepada masyarakat diwilayah tersebut.

Faktor Internasional

Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah
balita stunting di dunia, berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya
(39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak
berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
(0,9%). Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO)3 tahun 2017
tentang data stunting yang dikumpulkan Indonesia termasuk ke dalam negara
ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia
Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-
2017 adalah 36,4%. (14)
Pada bulan Juni 2021, Indonesia memenangkan penghargaan perunggu
Asia Pacific Stevie Awards sebagai program dengan inovasi dalam Publik Service
Communication atas Program Kemitraan Percepatan Pencegahan Stunting yang
diinisasi di tiga kabupaten di Provinsi NTT. Stevie Awards adalah penghargaan
bisnis internasional yang terbuka untuk seluruh organisasi di 29 negara di wilayah
Asia-Pasifik.
Kementerian Kesehatan Bersama Nutrition International, Australia
(melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan), dan Kanada, telah
memberikan zat gizi mikro kepada sekira 211 ribu ibu hamil dan 720 ribu Balita
di 20 Kabupaten di Jatim dan NTT. Zat gizi mikro yang diberikan kepada ibu

10
hamil berupa suplemen tablet tambah darah yang mengandung zat besi dan asam
folat. Sementara zat gizi bagi Balita berupa dua kapsul vitamin A sesuai dosis.
Program ini berfokus pada peningkatan akses layanan kesehatan dan membangun
kesadaran tentang pencegahan stunting khususnya pencegahan kekurangan gizi
mikro melalui Strategi Intervensi Perubahan Perilaku. Pemerintah pusat, provinsi
dan kabupaten berkomitmen terhadap program suplementasi zat gizi mikro
dengan meningkatkan alokasi sumber daya untuk pengadaan, pengelolaan, dan
implementasi program-program tersebut.
Berikut Contoh Negara yang berhasil menurunkan stunting (15) :
1. Peru mengurangi lebih dari setengah tingkat stunting dalam waktu kurang
dari satu dekade, dari 28 persen pada 2008 menjadi 13 persen pada 2016.
Strategi yang digunakan peru dalam penurunan stunting melalui program
JUNTOS atau Bersama, yaitu program bantuan tunai yang menargetkan
masyarakat miskin dengan tujuan meningkatkan sumber daya di tingkat RT,
lalu kesempatan pendidikan juga pemanfaatan layanan kesehatan dan gizi.
2. Brazil berhasil menurunkan 25,6 % menjadi 4,8 % dalam 1990 sampai 2008,
strategi yang digunakan brazil dalam menurunkan stunting adalah dengan
cara peningkatan upah minimum dan perluasan program bantuan tunai,
peningkatan pendidikan perempuan, peningkatan dan perluasan layanan KIA,
perluasan system air dan sanitasi, peningkatan kualitas dan kuantitas makanan
dari kebun keluarga.
3. Bolivia berhasil menurunkan angka stunting dari 18,5 % menjadi 13,5 %
dalam kurun waktu 3 tahun. strategi kebijakan yang digunakan adalah
program Zero Undernutritions yang mendukung pemberian ASI eksklusif
pada bayi 6 Bulan pertama dan penggunaan makanan pendamping dari 6-23
bulan, pertanian keluarga yang berkelanjutan, produksi makanan pokok, serta
keluarga yang berpartisipasi untuk mengonsumsi produk mereka sendiri dan
menerapkan “10 kunci makanan yang lebih aman dan diet sehat”.
4. Di Maharashtra, India berhasil menurunkan angka stunting dari 44 % menjadi
22,8 % dari tahun 2005 sampai tahun 2012. Keberhasilan strategi dilakukan
dengan cara pendekatan seluruh pemerintah dengan meluncurkan program

11
“the rajmata jijau Mother-Child Health and nutrition” program ini berisikan
advokasi pentingnya 1000 hari pertama, memberikan saran kebijakan kepada
pemerintah tentang intervensi berbasis bukti, dan untuk bertindak sebagai
platform untuk mendorong konvergensi antara departemen yang berbeda
dengan tujuan bersama untuk mengurangi kekurangan gizi. misi membangun
keberlanjutan dengan mempromosikan program yang dipimpin oleh
masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Juga mempromosikan perubahan
perilaku melalui penggunaan teknologi dan media, serta media tradisional
seperti sebagai bahan pendidikan cetak dan dari mulut ke mulut. Selain itu,
Misi mendorong data tambahan pengumpulan untuk mengukur kemajuan dan
mengungkapkan kesenjangan.

PROSES KEBIJAKAN

Rencana untuk memberantas kekurangan gizi dan stunting di Indonesia


masuk ke dalam program prioritas nasional dan dimasukan ke dalam rencana kerja
pemerintah (RKP). Dalam pembuatan kebijakan kesehatan ini, pemerintah
khususnya kementerian kesehatan bekerja sama dengan 23 kementerian dan
lembaga lainnya. Proses penyusunan kebijakan di Indonesia setidaknya
melibatkan dua pihak yaitu pihak eksekutif dan pihak legislative. Pihak eksekutif
biasanya diwakili oleh kementerian kesehatan lalu pihak legislative adalah DPR
RI dan nantinya di sahkan oleh presiden. Proses perumusan kebijakan tidak selalu
terbuka untuk Publik, lalu sama halnya untuk pendokumentasian. Dalam hal
penyusunan kebijakan, peran media, pers, dan jurnalistik sangat penting agar
informasi penyusunan ini dapat sampai ke masyarakat.

Selain itu dalam menyusun kebijakan harus ada konsultasi Publik, yang
mana konsultasi Publik ini memegang peranan 60-70 % dari perumusan
kebijakan. Konsultasi Publik melibatkan pihak yang berkepentingan untuk
berdiskusi dan menyampaikan solusi yang diinginkan. Keberhasilan pada tahap
konsultasi Publik akan mempermudah penerimaan Publik sehingga kebijakan
tersebut mudah untuk disosialisasikan dan diterapkan.

12
AKTOR (PELAKU) KEBIJAKAN
Dalam proses pembuatan, sosialisasi dan penerapan kebijakan pada
program penurunan stunting ada beberapa pelaku penyusunan kebijakan, berikut
adalah pelaku penyusunan kebijakan ini :
1. Komite Pengarah
1) Ketua : Wakil Presiden
2) Wakil Ketua : Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Kemenko PMK)
2. Komite Pengendali
1) Ketua : Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan
Pemerataaan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden, Deputi Bidang
Koordinasi Peningkatan Kesehatan, Kemenko PMK, dan Deputi Bidang
Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Bappenas.
2) Anggota : Eselon 1 dari K/L terkait.
3. Tim Teknis
1) Ketua : Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas, Direktur
Gizi Masyarakat, Kemenkes, dan Direktur SUPD III, Kemendagri.
2) Anggota : Eselon 2 dari K/L terkait.
Pelaksanaan kegiatan di Pelayanan Kesehatan setempat (Tenaga Kesehatan), dan
organisasi Dunia yang juga sangat berperan dalam tata laksana konsep, sosialisasi
program internasional dan pendanaan.
REKOMENDASI
Melihat dari hasil analisis kebijakan serta fakor-faktor yang berkaitan
dengan masalah stunting, maka kami memberikan rekomendasi terlebih
masyarakat, untuk mendukung semua program pemerintah terkait pelaksanaan
dan pencegahan demi mempercepat penurunan stunting, dengan cara ikut
mempromosikan melalui media social lalu sharing ilmu dengan keluarga atau
orang terdekat, juga lebih memperhatikan asupan gizi setiap harinya, agar pada
tahun 2024 indonesia mencapai targetnya yaitu sebesar 14 %.

Tambahan Saran untuk pemerintah dalam mempercepat penurunan stunting


yaitu dengan cara mempromosikan produk pangan dan meningkatan kualitas juga

13
kuantitas makanan dari kebun keluarga. Lalu membangun misi keberlanjutan
dengan mempromosikan program yang dipimpin oleh masyarakat dan dikelola
oleh masyarakat.

PENUTUP
Analisa kebijakan ini menunjukan bahwa penerapan kebijakan terkait
dengan pelayanan Kesehatan juga masih belum bisa menurunkan angka pada
penderita stunting di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari faktor budaya dan
faktor situasional yang belum menunjukan bahwa kebijakan ini mampu mengubah
keadaan ekonomi dan pola pikir masyarakat di pedalaman, serta belum adanya
pembaharuan status penurunan angka persentase stunting di Indonesia sejak 2018,
yang merupakan salah satu bentuk keberhasilan atas berjalannya kebijakan
tersebut.
Adanya perhatian pemerintah serta komitmen yang kuat dari seluruh pihak
untuk menurunkan angka persentase stunting di Indonesia, akan sangat membantu
mewujudkan Indonesia agar mencapai persentase stunting <20% dan
permasalahan ekonomi serta permasalahan gizi di Indonesia dapat diatasi dengan
baik, agar tidak ada lagi kenaikan angka stunting di Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Awaludin. Analisis Bagaimana Mengatasi Permasalahan Stunting Di


Indonesia. J Kedokt. 2019;35(4):60.
2. Ketut Aryastami N, Tarigan I. Kajian Kebijakan dan Penanggulangan
Masalah Gizi Stunting di Indonesia Policy Analysis on Stunting Prevention
in Indonesia. Bul Penelit Kesehat. 2017;45(4):233–40.
3. Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan. Hasil
Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehat Republik Indones
[Internet]. 2018;1–100. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf
4. RI P. Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021. 2021;(1).
5. RI P. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 18 Tahun 2020. 2020;
(1):1–5. Available from: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahU
KEwjWxrKeif7eAhVYfysKHcHWAOwQFjAAegQICRAC&url=https
%3A%2F%2Fwww.ojk.go.id%2Fid%2Fkanal%2Fpasar-modal
%2Fregulasi%2Fundang-undang%2FDocuments%2FPages%2Fundang-
undang-nomo
6. UU No 36/2009. Undang-Undang No 36 Tahun 2009. Menkumham. 2009;
7. Ekonomi J, Sosial BDAN. Analisis Kebijakan Pencegahan Dan
Penanggulangan Stunting Di Indonesia : Made Agus Sugianto.
2021;1(3):197–209.
8. Kementrian Kesehatan. Permenkes RI No 29 Tahun 2019. 2019;8(5):55.
9. (TNP2K) TNPPK. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting
2018-2024 (National Strategy for Accelerating Stunting Prevention 2018-
2024). Tim Nas Percepatan Penanggulangan Kemiskin Sekr Wakil Pres
Republik Indones. 2018;(November):1–32.
10. Kementerian PPN/Bappenas. Kajian Sektor Kesehatan Pembangunan Gizi
di Indonesia. Kementerian PPN/Bappenas. 2019. 1–78 p.
11. Kemenkes RI. Buletin Stunting. Kementeri Kesehat RI. 2018;301(5):1163–
78.
12. Ayu N, Eka M, Komang N, Resiyanthi A, Data J, Kintamani I. Kejadian
Stunting Berkaitan Dengan Perilaku Merokok Orang Tua mengetahui “
Kejadian Stunting Berkaitan kuantitatif yang menggunakan desain orangtua
balita di Wilayah kerja Puskesmas 57 orang . Penelitian ini menggunakan
univariat data yang diperoleh dari. J Ilmu Keperawatan Anak.

15
2020;3(2):24–30.
13. Nurjanna. Determinan Sosial Budaya Kejadian Stunting Pada Suku
Makassar Di Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto. Skripsi. 2019;
14. Zainul Rahman, Mariano Werenfridus, Dwiko Rynoza N. R., Aunil Ukhra
NWM. ANALISIS KEBIJAKAN PENCEGAHAN STUNTING DAN
RELEVANSI PENERAPAN DI MASYARAKAT (Studi Kasus: Desa
Donowarih). 2021;
15. WHO. WHA Global Nutrition Targets 2025: Stunting Policy Brief. Econ
Hum Biol. 2020;3(2 SPEC. ISS.):215–40.

16

Anda mungkin juga menyukai