Anda di halaman 1dari 7

KAPASITAS PENGEMBANGAN SDM KESEHATAN

SDM kesehatan merupakan salah satu subsitem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
yang berperanpenting dan strategis dalam pelaksanaan upaya kesehatan dan pencapaian
Universal Health Coverage (UHC) serta Sustainable Development Goals (SDGs). Di samping
itu, Indonesia juga menghadapi tantangan lain yaitu transisi demografi (penduduk menua) dan
transisi epidemiologi yang mengakibatkan Indonesia mengalami tiga beban penyakit (triple
burden of disease) yaitu gizi, penyakit menular yang belum terselesaikan dan meningkatnya
penyakit tidak menular (PTM) serta re-emerging dan emerging diseases. Tantangan ini akan
berdampak pada kebutuhan SDM kesehatan yang lebih kompleks baik dalam jumlah, jenis
maupun kompetensinya. Meskipun produksi SDM kesehatan (tenaga medis dan tenaga
kesehatan) meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dan jenis institusi pendidikan tinggi
bidang kesehatan, sampai saat ini, pemenuhan SDM kesehatan baik dalam jumlah, kualitas dan
distribusi masih merupakan tantangan utama di Indonesia.

Pada dasarnya permasalahan yang terkait dengan sumber daya manusia di bidang
kesehatan mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, penerimaan, dan kualitas. Ketersediaan
berarti memiliki sumber daya manusia kesehatan yang memadai dengan kemampuan yang sesuai
memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Keterjangkauan berarti masyarakat akses sumber
daya manusia kesehatan dalam hal waktu tempuh, transportasi, dan jam kerja layanan terbuka,
mekanisme rujukan dan biaya layanan (biaya langsung dan tidak langsung). Aspek Acceptance
(penerimaan) meliputi ciri dan kapabilitas SDM kesehatan, Hormati semua orang dan jadilah
orang yang dapat dipercaya. Di aspek kualitas memuat komponen kemampuan, kemampuan,
pengetahuan dan perilaku sumber daya manusia Sehat sesuai norma profesi dan harapan
masyarakat.

Persoalan sumber daya manusia untuk kesehatan tidak hanya terkait dengan ketersediaan
dan peruntukan, tetapi juga terkait kualitas. Produksi SDM kesehatan meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah dan jenis institusi pendidikan tinggi di bidang kesehatan pada umumnya
adalah sekolah swasta, namun seringkali diabaikan memberikan standarisasi dan mutu
pendidikan. Meningkatkan kualitas organisasi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi (RistekDikti) telah mengembangkan sistem jaminan kualitas, yang
meliputi: Melakukan sertifikasi oleh lembaga independen dan lembaga independen (yaitu
lembaga) Sertifikasi Mandiri Kesehatan Pendidikan Tinggi (LAM-PT KES).

1. Ketersediaan SDM kesehatan di puskesmas


Dari 9.669 puskesmas, hampir seluruh puskesmas (>90%) telah memiliki dokter, perawat
dan bidan (Risnakes 2017). Namun demikian, masih terdapat kekurangan SDM kesehatan
baik pelaksana UKM maupun UKP. Sebanyak >25%-60% puskesmas tidak mempunyai
dokter gigi, SDM kesehatan masyarakat, SDM kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga
kefarmasian dan tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM). Berdasarkan
provinsi, puskesmas tanpa dokter yang terbanyak terdapat di wilayah Indonesia timur,
yaitu Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur (>20%-
45%). Kekurangan SDM kesehatan juga terjadi di wilayah Indonesia barat. Kekurangan
tenaga ini antara lain disebabkan juga oleh kebijakan moratorium pengangkatan PNS
(Peraturan Bersama MenPANRB No.02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Mendagri No.800-632
Tahun 2011, dan Menkeu No.141/PMK.01/2011), dengan pengecualian pengangkatan
tenaga dokter, bidan dan perawat.
2. Ketersediaan SDM kesehatan di rumah sakit
Dari 9.669 puskesmas, hampir seluruh puskesmas (>90%) telah memiliki dokter,
perawat dan bidan (Risnakes 2017). Namun demikian, masih terdapat kekurangan SDM
kesehatan baik pelaksana UKM maupun UKP. Sebanyak >25%-60% puskesmas tidak
mempunyai dokter gigi, SDM kesehatan masyarakat, SDM kesehatan lingkungan, tenaga
gizi, tenaga kefarmasian dan tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM).
Berdasarkan provinsi, puskesmas tanpa dokter yang terbanyak terdapat di wilayah
Indonesia timur, yaitu Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa
Tenggara Timur (>20%-45%). Kekurangan SDM kesehatan juga terjadi di wilayah
Indonesia barat. Kekurangan tenaga ini antara lain disebabkan juga oleh kebijakan
moratorium pengangkatan PNS (Peraturan Bersama MenPANRB No.02/SPB/M.PAN-
RB/8/2011, Mendagri No.800-632 Tahun 2011, dan Menkeu No.141/PMK.01/2011),
dengan pengecualian pengangkatan tenaga dokter, bidan dan perawat.
3. Pendidikan dan pelatihan
Dari hasil Risnakes 2017, rerata SDM kesehatan yang melaksanakan tugas belajar
pada tahun 2018 adalah 1,68 orang/puskesmas, terbanyak di Provinsi Maluku (3,32
orang/ puskesmas). Tugas belajar ini merupakan salah satu kebijakan dalam rangka
pemenuhan dokter spesialis di RSU. Namun, jumlah peserta yang mengikuti tugas belajar
cukup rendah terutama dari wilayah Indonesia timur. Kondisi ini disebabkan karena
rendahnya tingkat kelulusan seleksi akademik. Hanya separuh RS (53%) yang
memberikan bantuan tugas belajar, terbanyak di Provinsi DKI Jakarta (>60%), Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sementara terendah di Sulawesi Tenggara (29,6%). Dari 46.278
orang PNS/CPNS dan 10.106 orang non-PNS SDM kesehatan di puskesmas, hanya 9,3%
PNS/CPNS dan 2% non-PNS yang pernah mengikuti pelatihan. Sementara itu masih
banyak SDM kesehatan di 34 provinsi yang belum mengikuti pelatihan jabatan
fungsional. Kondisi ini mengakibatkan SDM kesehatan tersebut belum dapat diangkat ke
jabatan fungsional.
4. Taskshifting dan multitasking
Taskshifting adalah sumber daya manusia kesehatan, ia melakukan tugas di luar
latar belakang Pendidikan dan / atau kompetensi di bidang manajemen pasien. meskipun
Dengan kata lain, multitasking adalah sumber daya manusia kesehatan yang melakukan
tugas di latar belakang Pendidikan dan peningkatan kapasitas di bidang manajemen.
Sebanyak 95,9% pusat kesehatan Sumber daya manusia kesehatannya bertanggung jawab
atas bidang manajemen, terhitung 66,1% Manajemen pasien. Tindakan medis umum
yang harus diambil oleh puskesmas Kemampuan dokter juga dilakukan oleh tenaga
kefarmasian, analis, gizi, dan penyehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat (≤5%).
Hal yang sama berlaku untuk abses, sebanyak 74,6% rumah sakit Sumber daya manusia
kesehatan bekerja di luar latar belakang pendidikan dan / atau Memiliki kemampuan.
Sekitar 94,1% terlibat dalam manajemen dan 52,1% orang bekerja di bidang manajemen
pasien di rumah sakit.
5. Pengahsilan SDM kesehatan dan insentif
Sebanyak sepertiga puskesmas (34,5%) dengan SDM kesehatan yang
memperoleh penghasilan di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Provinsi
Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang lebih dari separuh
puskesmasnya memiliki SDM kesehatan yang penghasilannya di bawah UMK.
Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah puskesmas yang
terbesar jumlah SDM kesehatannya dengan penghasilan di atas UMK (99,7%). Sumber
insentif terbesar berasal dari kapitasi JKN (90,6%), diikuti oleh tunjangan kinerja daerah
(50,6%). Hampir seluruh provinsi menerima insentif terbesar dari kapitasi JKN (70%-
100%), kecuali DKI Jakarta (3,5%).
Di tingkat RS, persentase RS yang penghasilan SDM kesehatannya di bawah
UMK sebanyak 24,39%. Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan DKI Jakarta
merupakan provinsi dengan jumlah RS terbesar untuk SDM kesehatan berpenghasilan di
atas UMK (91%- 92%). Sebaliknya, Sulawesi Barat dan Maluku Utara merupakan
provinsi dengan jumlah RS terbesar untuk SDM kesehatan berpenghasilan di bawah
UMK (56%-57%). Meskipun penghasilan SDM kesehatan di RS rendah, namun
kepuasan kerja SDM kesehatan di NTT cukup tinggi. Penghasilan SDM kesehatan di RS
lebih besar dari puskesmas, yang bersumber antara lain dari jasa pelayanan kesehatan
yang cukup besar bila dibandingkan dengan puskesmas.
6. Ketersediaan SDM kesehatan di klinik kesehatan
Jumlah rata-rata dokter per klinik swasta (2 orang) dan Puskesmas (1,9 orang).
Namun, terdapat kesenjangan antara jumlah perawat dan bidan Klinik dan pusat
kesehatan swasta. Rata-rata, ada kurang dari 2 perawat di klinik swasta. Hal ini diduga
karena klinik swasta tidak memberikan layanan rawat inap. Selain dari, Klinik swasta
memiliki lebih sedikit apotek, dan ATLM tidak tersedia. Hal ini dikarenakan tidak semua
klinik swasta melakukan pemeriksaan Layanan laboratorium dan farmasi. Klinik swasta
memberikan kesempatan bagi sumber daya manusia kesehatan Berpartisipasi dalam
pelatihan lebih kecil dari abses.

7. Kualitas SDM kesehatan


Hampir semua jenis program studi (prodi) di perguruan tinggi bidang kesehatan
(Analis Kesehatan, Bidan, Keperawatan, Kesehatan Masyarakat, Apotek, Kesehatan
Lainnya) dimiliki oleh swasta (> 60% -80%), sedangkan program penelitian medis
(termasuk tenaga ahli) Sebagian besar kedokteran gigi dimiliki oleh pemerintah (hampir
80%). Berdasarkan status pengakuan, nilai semua jenis rencana studi privat adalah B dan
C. Program studi milik pemerintah memiliki kelas A dan B. Selain status otentikasi,
parameter kualitas tersebut juga terlihat dari hasil tes kemampuan siswa pada akhir
semester pendidikan. Pada saat yang sama, tingkat kelulusan program studi kedokteran
dan kedokteran gigi adalah sekitar 70%. Lulusan kursus keperawatan, bidan dan
pendidikan rendah. Sepanjang 2015-2017, hal ini terjadi jumlah bidan, perawat dan
lulusan perawat turun signifikan menjadi <42%. Rendahnya kelulusan dalam uji
kompetensi tersebut berkorelasi dengan status akreditasi institusi pendidikan tinggi
bidang kesehatan. Semakin rendah nilai akreditasi suatu institusi pendidikan tinggi, maka
jumlah kelulusan dalam uji kompetensi juga rendah.
8. Kebijakan pengelolaan dan pengembangan SDM kesehatan
a. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan
Sebanyak 79,8% puskesmas dan 77,9% RS menggunakan Metode Analisis Beban
Kerja Kesehatan (ABK Kes) dalam menyusun rencana kebutuhan SDM kesehatan
(Risnakes 2017). Dari hasil evaluasi Badan PPSDM Kemenkes, hanya 5 provinsi
dimana seluruh kabupaten/kotanya memiliki dokumen perencanaan kebutuhan
SDM kesehatan dari seluruh puskesmas dan RSUD yaitu Provinsi Riau, Jambi,
Bangka Belitung, Bengkulu dan Sumatera Barat) (21). Dokumen perencanaan ini
digunakan sebagai acuan untuk pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan di daerah
serta sebagai dasar untuk melakukan distribusi serta redistribusi SDM kesehatan
di daerah.
b. Pemenuhan SDM kesehatan
Pemenuhan SDM kesehatan terdiri dari pemenuhan yang bersifat tetap (PNS dan
PPPK) maupun yang bersifat sementara (PTT daerah, penugasan khusus, serta
kontrak/honorBLUD/swasta/PMA). Di tingkat puskesmas, pemenuhan SDM
kesehatan terdiri dari PTT daerah, Nusantara Sehat (NS) penugasan khusus
berbasis tim maupun individu, serta kontrak/honor. Sementara itu, di RS terdiri
dari penugasan khusus residen,wajib kerja dokter spesialis (WKDS), serta NS
penugasan khusus individu di DTPK.
 Wajib kerja dokter spesialis
Perpres 4/2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dan
Permenkes 69/2016 tentang Penyelenggaraan Wajib Kerja Dokter
Spesialis merupakan kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan
spesialistik di Indonesia. WKDS adalah penempatan dokter spesialis di RS
milik pemerintah pusat dan daerah (RS di DTPK, RS rujukan regional dan
RS rujukan provinsi). Jenis dokter spesialis yang wajib mengikuti WKDS
adalah Sp.A, Sp.OG, Sp.PD, Sp.Bedah dan Sp.An. Adapun masa bakti
peserta WKDS mandiri adalah satu tahun, sedangkan untuk penerima
beasiswa dan/atau program bantuan biaya pendidikan sesuai dengan
perjanjian. Provinsi dengan peserta WKDS terbanyak adalah Jawa Timur,
diikuti oleh Sumatera Utara, Jawa Barat dan NTT.
 Nusantara sehat (NS)
Nusantara Sehat (NS) adalah alokasi khusus sumber daya manusia
untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan perawatan kesehatan di
DTPK 1 dalam 2 tahun. NS bisa berbentuk tim ini mencakup lima jenis
sumber daya manusia kesehatan dan sumber daya manusia berbasis
individu. Membeli peserta NS tidak akan ditempatkan hingga waktu yang
lama karena proses seleksi pelaksanaannya dilakukan dalam dua tahap,
yaitu seleksi administrasi dan seleksi wawancara, tes kesehatan dan
psikologi dan 35 hari persiapan sebelum penempatannya tentu akan
memakan biaya yang tidak sedikit. Di pelaksanaan rekrutmen, tetap
membutuhkan target jumlah SDM kesehatan mencapai tujuan, terutama
dalam hal perekrutan dokter, dibatasi.
 Internship
Sejak 2010, dokter yang baru lulus diwajibkan untuk mengikuti
program ini Dokter Magang Indonesia (PIDI) yang merupakan proses
magang internal kerangka untuk memahami dan kemandirian dan
mengkoordinasikan hasil pendidikan dikombinasikan dengan praktik di
bidang ini, ini merupakan kelanjutan dari pendidikan professional medis.
PIDI berlangsung selama satu tahun (8 bulan di rumah sakit, 4 bulan di
Puskesmas). Setelah PIDI selesai, dokter dapat terus bekerja di jenjang
karier sesuai keinginannya. Magang akan menerima bantuan biaya hidup
anak nakal. Dari 2016 hingga Oktober 2018, ada 50.555 para dokter
melakukan magang di 34 provinsi.
Beberapa kendala penerapan PIDI antara lain kurangnya standar
untuk mengimplementasikan PIDI ada banyak peserta PIDI dalam
perjalanan yang menyebabkan celah perjalanan yang menundanya karena
internet tidak memenuhi keinginan mereka kurangnya koordinasi antara
peserta dan pengurus internal dokter Indonesia (KIDI) dan Sekretariat
PIDI Provinsi di bawah pimpinan Wahana Internsip. PIDI diharapkan
mampu mengatasi pemerataan dokter yang tidak merata, DTPK bersifat
sementara.
9. Praktik ganda
Peraturan Menteri Kesehatan No.2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran mengatur bahwa seorang dokter/dokter
gigi/dokter spesialis dapat bekerja baik di sektor pemerintah maupun swasta dan praktik
mandiri dengan batas maksimum 3 tempat praktik. Kebijakan ini bertujuan untuk
meningkatkan ketersediaan SDM kesehatan di fasyankes primer/sekunder/tersier milik
pemerintah dan swasta. Pada kenyataannya, praktik ganda merupakan salah satu faktor
yang berkontribusi pada terjadinya maldistribusi SDM kesehatan terutama dokter dan
dokter spesialis.
10. Sistem informasi SDM kesehatan
Dari hasil evaluasi Badan PPSDM Kesehatan Juni 2018, hampir semua puskesmas sudah
melengkapi data individu (>93%). Sementara itu, kelengkapan data individu di RS baru
sekitar 6-84%. Sekitar 84% RS pemerintah daerah sudah melengkapi data individu SDM
kesehatannya, sedangkan RS swasta baru mencapai 45% (5). Informasi tentang SDM
kesehatan juga tersedia dari berbagai sumber yaitu dari internal Kemenkes dan sektor
lain, namun belum terintegrasi. Hal ini menyebabkan variasi data antar sumber. Di
samping itu, informasi tentang SDM kesehatan yang bertugas di fasyankes swasta belum
tercakup.

Anda mungkin juga menyukai