Anda di halaman 1dari 29

ANALISIS SPASIAL SEBARAN KASUS DIABETES

MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


SAKO KAMPUS DAN PUNTI KAYU PALEMBANG

Tugas Akhir

Pembimbing:
Mariana, S.K.M., M. Kes

Oleh:
Nabilla Faradilla Aryadinata, S.Ked 04054821719087

Rian Doli Najogi Sihombing, S.Ked 04084821719234

Rostika Fajrastuti, S.Ked 04054821719095

BAGIAN IKM/IKK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang
berjudul “Analisis Spasial Sebaran Kasus Diabetes Mellitus di Wilayah Kerja
Puskesmas Sako Kampus dan Punti Kayu Palembang”, sebagai salah satu syarat
untuk kelulusan di bagian ilmu kesehatan masyarakat dan ilmu kedokteran
komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Mariana, S.K.M., M.Kes selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, masukan, kritikan dan
perbaikan terhadap penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan
kepada para sahabat, atas semua bantuan, baik berupa pikiran maupun bantuan
moral dan spiritual dalam penyusunan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam hal isi
maupun cara penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun sebagai masukan untuk perbaikan di masa
mendatang. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaaat bagi kita semua.

Palembang, September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN DEPAN ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................. 3
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
1.4.1 Aspek Teoritis ................................................................. 4
1.4.2 Aspek Praktis................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4


2.1 Diabetes Melitus.......................................................................... 4
2.1.1 Definisi ............................................................................... 4
2.1.2 Epidemiologi ...................................................................... 4
2.1.3 Klasifikasi .......................................................................... 5
2.1.4 Patofisiologi ....................................................................... 6
2.1.5 Faktor Risiko ...................................................................... 8
2.1.6 Penegakkan Diagnosis ....................................................... 9
2.1.7 Tatalaksana....................................................................... 12
2.1.8 Komplikasi ....................................................................... 17
2.2 Kerangka Teori.......................................................................... 18

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................ 19


3.1 Jenis Penelitian .......................................................................... 19
3.2 Waktu Peneltian ........................................................................ 19
3.2.1 Waktu Penelitian ........................................................... 19
3.2.2 Tempat Penelitian .......................................................... 19
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................ 19
3.3.1 Populasi Penelitian ........................................................ 19
3.3.2 Sampel Penelitian .......................................................... 20
3.4 Kriteria Penelitian ..................................................................... 20
3.5.1 Kriteria Inklusi .............................................................. 20
3.5.2 Kriteria Eksklusi ............................................................ 20
3.5 Variabel Penelitian .................................................................... 20
3.6 Definisi Operasional.................................................................. 21
3.8 Cara Pengumpulan Data ............................................................ 21
3.9 Cara Pengolahan Data ............................................................... 21
3.10 Kerangka Operasional ............................................................... 22

iii
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 23
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Analisis Univariat .......................................................... 23
4.2 Pembahasan ............................................................................... 23
4.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................. 24

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 25


5.1 Kesimpulan ............................................................................... 25
5.2 Saran ......................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperglikemia adalah istilah untuk kadar gula darah yang melebihi batas
normal. Berdasarkan kriteria diabetes melitus yang dikeluarkan oleh International
Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes (ISPAD) dan International
Diabetic Federation (IDF), hiperglikemia adalah kondisi dengan kadar gula darah
sewaktu ≥11.1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan gejala diabetes atau kadar
gula darah puasa (tidak mendapatkan masukan kalori minimal 8 jam sebelumnya)
≥7.0 mmol/L (126 mg/dL) (IDF, 2011).
Jumlah penderita diabetes di dunia terus meningkat. Pada tahun 1990,
jumlah penderitanya baru mencapai angka 80 juta, namun empat tahun kemudian
melonjak menjadi 110,4 juta jiwa (Arisman, 2011). Menurut IDF, angka
penderita diabetes meningkat menjadi 366,2 juta pada tahun 2011 dan 387 juta
jiwa pada tahun 2013. IDF memperkirakan tahun 2035 kasus diabetes akan terus
naik sebesar 55%, yaitu mencapai 592 juta jiwa. Indonesia termasuk dalam salah
satu dari 10 besar negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak. Pada tahun
1995, Indonesia menempati peringkat ke-7 dengan jumlah penderita diabetes
sebanyak 4,5 juta jiwa (Arisman, 2011) dan tahun 2013 jumlah penderita diabetes
bertambah menjadi 8,5 juta jiwa (IDF, 2013).
Penderita diabetes di Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 2013,
jumlah penderita diabetes mellitus mencapai 8,5 juta jiwa, kemudian pada tahun
2014 meningkat menjadi 9,1 juta jiwa. Penyakit diabetes mellitus masih menjadi
ancaman serius bagi dunia kesehatan di Indonesia. Penderita untuk yang berusia
di bawah 40 tahun berjumlah 1.671 juta jiwa, untuk yang berusia 40-59 tahun
berjumlah 4.651juta jiwa, dan untuk yang berusia 60-79 tahun dengan jumlah 2
jutaan jiwa (International Diabetes Federation, 2015).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan pada 2030
penyandang diabetes di Indonesia akan meningkat sebanyak 21,3 juta orang.
Berdasarkan prediksi WHO, Indonesia menduduki peringkat keempat setelah

1
2

Amerika Serikat, China, dan India yang merupakan negara penyandang diabetes
terbanyak, dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Sementara itu, menurut
data Riset Kesehatan Dasar tahun 2008, diabetes merupakan penyebab kematian
nomor 6 dari semua kelompok umur.
Indonesia termasuk ke-10 negara dengan jumlah kasus diabetes melitus
terbanyak di dunia. Angka kejadian diabetes melitus ini terus meningkat dari
tahun 2013 sebesar 75% kemudian menjadi 10,4 % pada tahun 2014. Badan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalansi penderita
diabetes melitus diperkotaan sebesar 14,7 % dan pada daerah pedesaan sebesar
7,2 % dengan proporsi penduduk di Sumatera Selatan khususnya dengan diabetes
melitus sebesar 6,9% (RISKESDAS, 2013).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang jumlah penderita
Diabetes Melitus pada tahu 2014 sebanyak 1218 orang, laki-laki 607 orang,
perempuan 946 orasng kemudian tahun 2015 diperoleh data sebanyak 2415 orang,
laki-laki 1062 orang, perempuan sebanyak 1353 orang. Tahun 2016 mengalami
peningkatan lagi menjadi 4442 orang dengan jumlah pnederita laki-laki sebanyak
1836 orang dan perempuan 2606 orang (Dinas Kesehatan Kota Palembang, 2016).
Mengingat jumlah penderita diabetes yang terus meningkat khususnya di
Kota Palembang, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
Analisis Spasial Sebaran Kasus Diabetes Mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas
Sako Kampus dan Punti Kayu Palembang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah: Bagaimana sebaran kasus diabetes melitus di
wilayah kerja puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui sebaran kasus diabetes melitus di wilayah kerja
puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang.
3

1.3.2 Tujuan Khusus

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Aspek Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data-data ilmiah
untuk bahan pembelajaran mengenai sebaran kasus diabetes melitus di
wilayah kerja puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang.

1.4.2 Aspek Praktis


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat
dan praktisi kesehatan mengenai penyebaran pasien Diabetes Melitus di
wilayah kerja Puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya (PERKENI, 2011).

2.1.2 Epidemiologi
Jumlah penderita diabetes di dunia terus meningkat. Pada tahun 1990,
jumlah penderitanya mencapai angka 80 juta dan empat tahun kemudian melonjak
menjadi 110,4 juta jiwa (Arisman,2011). Menurut International Diabetic
Federation (IDF) pada tahun 2010, angka penderita diabetes menjadi 284,8 juta
jiwa dan satu tahun kemudian tercatat 366,2 juta jiwa mengalami diabetes di
dunia. Pada tahun 2013 bertambah lagi menjadi 387 juta jiwa dan tahun 2035 IDF
memperkirakan kasus diabetes akan meningkat sebesar 55% yaitu mencapai 592
juta jiwa (IDF, 2013).
Indonesia termasuk dalam salah satu dari 10 besar negara dengan jumlah
penderita diabetes terbanyak dalam beberapa tahun terakhir ini (IDF, 2013). Pada
tahun 1995, Indonesia menempati peringkat ke-7 dengan jumlah penderita
diabetes sebanyak 4,5 juta jiwa (Arisman, 2011). Tahun 2010, jumlah penderita
diabetes turun ke peringkat 9 dengan 7 juta jiwa. Satu tahun kemudian, Indonesia
menempati peringkat ke-10 dengan jumlah penderita diabetes sebanyak 7,3 juta
jiwa. Pada tahun 2013, penderita diabetes di Indonesia sebanyak 8,5 juta jiwa dan
menempati urutan ke-7 setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, Russia, dan
Meksiko. Pada tahun 2030 diperkirakan penderita diabetes di Indonesia terus
bertambah menjadi 11,8 juta jiwa dan menempati peringkat ke-9 (IDF, 2013).
Menurut data Riskesdas 2013, jumlah penduduk Sumatera Selatan tahun
2013 usia >14 tahun sebanyak 5.479.724 penduduk. Persentase penduduk
Sumatera Selatan yang pernah didiagnosis menderita diabetes melitus oleh dokter
5

adalah sebesar 0,9% atau sebanyak 49.318 penduduk dan yang belum pernah
didiagnosis oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala-gejala
diabetes melitus seperti sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dengan
jumlah banyak dan berat badan turun adalah sebesar 0,4% atau sebanyak 21.919
penduduk (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014)

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi DMmenurut Powers tahun 2015 adalah yang sesuai dengan
anjuran klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA) tahun 2014 seperti
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus (ADA, 2014)
Tipe Keterangan
Diabetes Tipe 1 Tipe diabetes dengan defisiensi insulin absolut
akibat kerusakan sel-sel β pankreas. Umumnya
disebabkan oleh proses autoimun dan idiopatik.
Diabetes Tipe 2 Mulai dari yang dominan resistensi insulin dengan
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan
defek sekresi insulin dengan resistensi insulin.
Diabetes Tipe Lain 1. Defek genetik fungsi sel β
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas
4. Infeksi
5. Sebab imunologi yang jarang: antibodi insulin
6. Endokrinopati
7. Karena obat atau zat kimia
8. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan
DM (Klinefelter, Turner Syndrome)
Diabetes Gestasional Diabetes selama kehamilan.
(DMG)
6

2.1.4 Patofisiologi
DM tipe 1 merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, lingkungan,
dan imunologi, yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas dan defisiensi insulin.
Kerusakan sel β terbanyak disebabkan oleh reaksi autoimun. Proses autoimun ini
diduga dirangsang oleh infeksi atau lingkungan dan didukung oleh molekul
spesifik sel β. Pada mayoritas kasus, penanda imunologi muncul setelah ada
stimulus sebelum gejala klinis DM terlihat. Massa sel β kemudian mulai menurun,
dan sekresi insulin mengalami gangguan, meskipun toleransi glukosa normal
masih bisa dipertahankan. Gejala-gejala diabetes melitus tidak terlihat dengan
jelas sampai sekitar 80% bagian sel β pakreas rusak (Powers, 2015).

Gambar 2.1 Perkembangan DM Tipe 1 (Powers, 2015)

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin,


resistensi insulin, produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme
lemak abnormal. Obesitas, baik subkutan atau intrabdominal (dibuktikan dengan
rasio lingkar pinggang panggul) adalah kondisi yang paling sering dijumpai pada
DM tipe 2. Pada tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel β
pankreas mengompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Resistensi
insulin yang makin meningkat mengakibatkan terjadi gangguan toleransi glukosa,
7

ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, penurunan sekresi insulin, dan


peningkatan produksi glukosa hati yang terus menerus, dan akan berlanjut pada
diabetes disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa (Powers, 2015).
Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan
target terutama otot rangka dan hepar merupakan gambaran utama diabetes melitus
tipe 2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan obesitas. Mekanisme pasti
mengenai resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui.
Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka merupakan
efek sekunder hiperinsulinemia. Mekanisme resistensi insulin umumnya terjadi akibat
gangguan sinyal post-receptor (PI-3-kinase) yang mengurangi translokasi glucose
transporter (GLUT) 4 ke membran plasma (Powers, 2015).

Gambar 2.2 Patogenesis DM Tipe 2 (Lang, 2000)

2.1.4.1 Abnormalitas Metabolik


Resistensi insulin menyebabkan metabolisme lemak dan otot
menjadi abnormal. Penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin
menurun, sedangkan kadar hepatic glucose output bertambah sehingga
terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Kegagalan dari hiperinsulinemia
untuk menekan glukoneogenesis ini menyebabkan hiperglikemia dan
penurunan penyimpanan glikogen di hati. Hal ini menyebabkan terjadinya
akumulasi lipid dalam serat otot rangka yang dapat mengganggu
8

fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP di mitokondria sehingga


banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit dan terjadi peningkatan
sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit. Keadaan ini
menyebabkan dislipidemia pada penderita diabetes melitus tipe 2, yaitu
peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL (Powers,
2015).
Pada diabetes melitus tipe 2, sekresi insulin meningkat sebagai
respons terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa,
tetapi semakin lama sel β pankreas menjadi lelah dan hal ini memicu
terjadinya kegagalan fungsi sel β. Pulau polipeptida amiloid atau amylin yang
disekresikan oleh sel β akan membentuk deposit amiloid fibrilar. Deposit ini
dapat ditemukan pada pasien yang telah lama menderita diabetes melitus tipe
2 (Powers, 2015).

2.1.4.2 Sindrom Resistensi Insulin


Sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik atau sindrom X
adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan
terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai
bentuk kompensasi sel β pankreas. Sindrom resistensi insulin
menggambarkan kumpulan gangguan metabolik yang mencakup resistensi
insulin hipertensi, dislipidemia (penurunan HDL dan peningkatan
trigliserida), obesitas sentral atau viseral, DM tipe 2 atau gangguan
toleransi glukosa/glukosa darah puasa terganggu, dan penyakit
kardiovaskular (Powers, 2015).

2.1.5 Faktor Risiko


Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2014, faktor risiko
diabetes melitus tipe 2 adalah sebagai berikut.
1. Riwayat keluarga mengidap diabetes.
2. Obesitas dengan BMI ≥25 kg/m2 atau secara etnis mengalami
kelebihan berat badan.
9

3. Ras/etnis (Afrika-Amerika, Latin, Native American, Aslam American,


Pacific Islander).
4. Riwayat impaired fasting glucose (IFG), impaired glucose tolerance
(IGT), atau HbA1c 5,7-6,4%.
5. Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi dengan berat >4 kg.
6. Hipertensi dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg.
7. Kolesterol HDL <35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau trigliserida >250
mg/dL (2,82 mmol/L).
8. Physical inactivity.
9. Sindrom ovarium polisiklik atau akantosis nigrikans.
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.

2.1.6 Penegakan Diagnosis


Diagnosis DM harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa
darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena, sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler. Ada perbedaan antara pemeriksaan untuk
diagnosis DM dan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan diagnosis dilakukan pada
mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi mempunyai
risiko DM. Uji diagnostik dilakukan pada mereka dengan hasil pemeriksaan
penyaring positif (Purnamasari, 2009).

2.1.6.1 Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan tanpa
sebab yang jelas. Keluhan lain yang sering dikemukakan pasien adalah
kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus
vulva pada pasien wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila gejala khas DM tidak ditemukan, penegakkan diagnosis dilakukan
10

dengan pemeriksaan glukosa darah dua kali abnormal, atau dari hasil tes toleransi
glukosa oral (TTGO) abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara
seperti pada Tabel 2.2 (Purnamasari, 2009).

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM (PERKENI, 2011)


No. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Glukosa plasma puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam, atau
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,


bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan dalam kelompok
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140–199 mg/dL (7,8–11,0 mmol/L). Diagnosis
GDPT ditegakkan apabila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan
antara 100–125 mg/dL (5,6–6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2
jam <140 mg/dL. Langkah-langkah diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
dapat dilihat pada Gambar 2.2 (PERKENI, 2011).
11

Gambar 2.3 Langkah-Langkah Diagnosis DM dan TGT (PERKENI, 2011)

2.1.6.2 Pemeriksaan Penyaring


Pemeriksaan penyaring dilakukan pada orang-orang dengan risiko DM,
namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa seperti
pada Tabel 2.3. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass
screening) tidak dianjurkan karena biaya yang mahal dan rencana tindak lanjut
bagi mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan penyaring dianjurkan pada saat
pemeriksaan untuk penyakit lain (general check-up) (PERKENI, 2011).
12

Tabel2.3 Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring
dan Diagnosis DM (mg/dL) (PERKENI, 2011)
Bukan Belum Pasti DM
DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena <110 110–199 ≥200
Darah kapiler <90 90–199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena <110 110–125 ≥126
Darah kapiler <90 90–109 ≥110
Catatan: Untuk kelompok risiko tinggi yang tidakmenunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

2.1.7 Tatalaksana
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Insulin dapat
diberikan pada keadaan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, stres
berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria (PERKENI,
2011).
2.1.7.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat.
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (PERKENI,
2011).
13

Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.


Pendidikan kesehatan pencegahaan primer harus diberikan kepada
kelompok masyarakat risiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder
diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan
untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah mengidap
DM dengan penyulit menahun. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya
harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI,
2011).

2.1.7.2 Terapi Nutrisi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin (PERKENI, 2011).
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
seimbang dalam hal karbohidrat 45-65% total asupan energi. Asupan
lemak yang dianjurkan sekitar 20-25%, tidak diperkenankan melebihi 30%
total asupan energi. Protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan
energi. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 gram/kgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi. Anjuran natrium dan serat untuk
penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu
tidak melebihi 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam
dapur untuk natrium dan ±25 gram/hari untuk serat. Pada pasien DM,
penggunaan pemanis alternatif bisa digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman (Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif
14

dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.


Pemanis berkalori seperti gula alkohol perlu dihitung kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan
karena efek samping pada lemak darah. Pemanis tak berkalori yang masih
dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame pottasium,
sukralose, dan neotame (PERKENI, 2011).
Jumlah kalori yang dibutuhkandapat dilakukan dengan menghitung
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal.
Perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sebagai berikut (PERKENI, 2011).

BBI = 90% x (TB dalam cm – 100) x


1 kg
Untuk pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi:
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg

Tabel 2.4 Interpretasi Perbandingan BB Normal dan BB Ideal


BB normal : BB Interpretasi
ideal
± 10% Normal
< BBI – 10% Kurus
>BBI + 10% Gemuk

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang


sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (PERKENI,
2011). Perhitungan BBI menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat
dihitung dengan rumus:

IMT = BB (kg) / TB (m2)


15

Tabel 2.5 Klasifikasi IMT (WHO, 2014)


Klasifikasi IMT (kg/m2) IMT
Asia Pasifik (kg/m2)
Underweight < 18,5 < 18,5
Normal 18,5 - 22,9 18,5 – 24,9
BB lebih ≥ 23,0 ≥ 25,0
Berisiko 23,0 – 24,9 25,0 – 29,9
Obesitas derajat I 25,0 – 29,9 30,0 – 34,9
Obesitas derajat II ≥ 30,0 35,0 – 39,9
Obesitas derajat III ≥ 40

2.1.7.3 Latihan Jasmani


Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan continuous, rhytmical,
interval, progressive, endurance (CRIPE). Latihan dilakukan sesuai
dengan kemampuan pasien, sebagai contoh adalah olahraga ringan seperti
jalan kaki biasa selama 30 menit dan menghindari kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

2.1.7.4 Intervensi farmakologis


Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik
tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka
dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik dan atau insulin
(PERKENI, 2011).
1. Antidiabetik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
16

c. Penghambat glukoneogenesis: metformin


d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
e. Dipeptidyl peptidase-4 inhibitor (DPP-IV inhibitor)
2. Suntikan
a. Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada
manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua
rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfida, terdapat perbedaan
asam amino antar kedua rantai tersebut. Pasien yang gula darahnya tidak
terkontrol dengan diet atau pemberian obat hipoglikemik oral, kombinasi
insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadang bisa dijadikan
pilihan sementara, misalnya selama kehamilan, namun pada pasien DM
tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan.
Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain
menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan,
menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan
glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen,
menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa (PERKENI,
2011).
b. Agonis Glucagon-Like Peptide 1 (GLP-1)
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan
dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki
cadangan sel β pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat
ini antara lain rasa sebah dan muntah (PERKENI, 2011).
17

2.1.8 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI tahun 2011, komplikasi DM dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu:
2.1.8.1 Komplikasi akut
Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai
normal (<50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM
tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Kadar gula darah yang
terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi
sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.
Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula darah meningkat secara
tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar
nonketotik (KHNK) dan koma laktoasidosis.

2.1.8.2 Komplikasi Kronis


Komplikasi makrovaskuler, yang umum berkembang pada
penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian
otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongestif,
dan stroke. Komplikasi mikrovaskuler, terutama terjadi pada penderita
DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan
amputasi.
18

2.2 Kerangka Teori


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan studi potong lintang (crosssectional) berdasarkan data sekunder
dari rekam medik di Puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari 06 Agustus 2018 sampai dengan 01
September 2018.

3.2.2 Tempat Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan di Puskesmas Sako, Kampus, dan
Punti Kayu Palembang.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
1. Populasi Target
Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh pasien
Diabetes Melitus di wilayah kerja Puskesmas Sako, Kampus, dan
Punti Kayu Palembang.

2. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah seluruh pasien
Diabetes Melitus yang datang berobat ke Puskesmas Sako, Kampus,
dan Punti Kayu Palembang.

19
20

3.3.2 Sampel Penelitian


Sampel penelitian adalah seluruh pasien Diabetes Melitus yang
datang berobat ke Puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang
pada bulan Januari 2018 sampai dengan Agustus 2018 yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik
total sampling yang dilakukan dengan cara berikut:
a. Dari populasi penderita Diabetes Melitus dilakukan pemilihan sampel
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
b. Populasi terjangkau yang telah memenuhi syarat diambil semuanya
sebagai sampel penelitian.

3.4 Kriteria Penelitian


3.4.1 Kriteria Inklusi

3.4.2 Kriteria Eksklusi

3.5 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini adalah

3.6 Definisi Operasional


Definisi operasional untuk setiap variable independen dan dependen
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
21

1. Diabetes Melitus (DM)

Definisi : Glomerulonefritis Diabetes melitus merupakan


suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-
duanya (PERKENI, 2011).
Alat Ukur : Rekam medik
Cara Ukur : Observasi
Hasil Ukur : a. Positif DM (GDS ≥200 mg/dL)
b. Negatif DM (GDS <200 mg/dL; PERKENI,
2011)

3.7 Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder
berdasarkan informasi yang terdapat dalam rekam medik pasien DM di
Puskesmas Sako, Kampus, dan Punti Kayu Palembang Januari 2018-
Agustus 2018.

3.8 Cara Pengolahan Data


22

3.9 Kerangka Operasional


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

24
DAFTAR PUSTAKA

25

Anda mungkin juga menyukai