Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Peranan Dan Implementasi MK Farmakologi Bagi Dietician Pada Pelayanan


Pasien Rawat Inap Dengan Berbagai Diagnosa Penyakit Di Rumah Sakit

Mata kuliah
Farmakologi

Dosen Pengampuh:
Regina M. Sinaga, S.SI, M.Kes, Apt

Oleh:
Muktamar Ahmadi Hasibuan
P01031220066
DIV 5-B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN MEDAN JURUSAN GIZI PROGRAM SARJANA TERAPAN GIZI
DAN DIETETIKA
T.A 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Regina M. Sinaga, S.SI, M.Kes, Apt
sebagai dosen pengampu mata kuliah Farmakologi yang telah membantu memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Lubuk Pakam, Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 6
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 7
A. Asesmen Diagnosis Gizi Dan Merancang Intervensi Gizi Pasien Rawat Inap ............... 7
B. Koordinasi Dengan Tenaga Kerja Lain Dalam Pelaksanaan Intervensi Gizi ................. 8
C. Monitoring dan evaluasi pasien intervensi terhadap dampak asuhan gizi ..................... 9
D. Pemberian Edukasi, Dan Konseling Gizi Pada Pasien ................................................. 11
E. Pencatatan Dan Pelaporan Hasil Asuhan Gizi Kepada Dokter ..................................... 12
F. Perencanaan Pelayanan Gizi ......................................................................................... 12
G. Pengorganisasian........................................................................................................... 14
H. Pelaksanaan Pelayanan Gizi ......................................................................................... 16
I. Pengawasan ................................................................................................................... 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 19
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan gizi di rumah sakit adalah pelayanan yang diberikan dan disesuaikan
dengan keadaan pasien berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme
tubuh. Kegiatan pelayanan gizi di rumah sakit meliputi asuhan gizi rawat jalan, asuhan
gizi rawat inap, penyelenggaraan makanan, serta penelitian dan pengembangan (PGRS,
2013). Pada ruang rawat inap, pelayanan bertujuan untuk memperoleh asupan makan
yang sesuai kondisi kesehatan dalam upaya mempercepat proses penyembuhan,
mempertahankan dan meningkatkan status gizi (Kemenkes 2018).
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan untuk menyediakan
makanan yang berkualitas sesuai kebutuhan gizi, biaya, aman, dan dapat diterima oleh
konsumen guna mencapai status gizi yang optimal (PGRS, 2013). Makanan sebagai
asupan energi dan protein berkaitan erat dengan siklus biologis manusia dan
metabolisme tubuh serta menjadi pendukung dalam terapi farmasi, dimana efektifitas
obat dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam tubuh (Ningrum dan Utami 2017)
Kondisi fisik dan psikis pasien di rumah sakit dapat mempengaruhi tingkat
asupan makan pasien, sehingga tingkat asupan makan pasien dapat dirangsang dengan
cara penampilan hidangan yang menarik saat penyajian. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Gobel dkk 2 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (2011) menyatakan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel penampilan makan jenis
(warna, bentuk, dan porsi), rasa (suhu, aroma, dan kematangan) makanan yang
disajikan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap VIP (Gizi 2015).
Menurut Semedi dkk (2013) Kepuasan pasien juga dapat meningkatkan asupan
energi dan protein pasien yang selanjutnya dapat memperkecil penurunan status gizi
pasien. Kepuasan pasien yang mempengaruhi asupan makan merupakan salah satu
4
faktor penting dalam penyelenggaraan makanan, khususnya pada kegiatan
pendistribusian karena saat pendistribusian, makanan menjadi output dari
penyelenggaraan makanan. Dalam proses penyajian makanan perlu memperhatikan
prinsip-prinsip, salah satu prinsip yaitu prinsip tepat penyajian yang disesuaikan
dengan kelas pelayanan dan kebutuhan. Tepat penyajian yaitu tepat menu, tepat waktu,
tepat tata hidang dan tepat volume (Kemenkes 2018).
Ketepatan waktu pembagian makanan dengan jam makan pasien serta jarak
waktu yang sesuai antara makan pagi, siang dan malam hari dapat mempengaruhi sisa
makanan pasien (Priyanto, 2009). Ketidaktepatan waktu distribusi makanan selain
menyisakan makanan juga memicu pasien untuk mengkonsumsi makanan dari luar
rumah sakit, sehingga dapat menghambat dalam pelaksanakan kepatuhan diet yang
dijalani. Sisa makanan pasien tidak hanya menjadi faktor ketidaktepatan distribusi
makan melainkan pula menjadi salah satu indikator dalam standar pelayanan minimal
rumah sakit yaitu sisa 3 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta makanan yang tidak
dihabiskan oleh pasien tidak boleh lebih dari 20% karena sisa makanan menjadi salah
satu faktor yang digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan suatu penyelenggaran
makanan di sebuah rumah sakit (Kemenkes 2018)
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 128 tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit ditetapkan bahwa indikator standar pelayanan
minimal gizi meliputi ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien (100 %)
dengan capaian minimal ≥ 90%. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rosita (2017)
menyatakan bahwa masih ada ketidaktepatan waktu distribusi pada makan sore sebesar
10,17% berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di RSUD Wates. Penelitian lain
juga dilakukan oleh Ambarwati (2017) yang menyatakan bahwa ketepatan waktu
penyajian makanan sebesar 80,0% sedangkan 20% mengalami ketidaktepatan waktu
dalam penyajian makanan dikarenakan makanan lebih cepat dari jadwal yang telah

5
ditentukan dengan hasil pengamatan karena letak dapur dengan bangsal yang berjarak
< 5 meter (Musaidah, Mangemba, dan Rosdiana 2020).
..
B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
penelitian sebagai berikut
: Bagaimana ketepatan waktu distribusi makanan pasien di instalasi gizi Rumah
Sakit Umum Daerah Sumatera Utara?
C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum Mengetahui ketepatan waktu distribusi makanan pasien di
Rumah Sakit Umum Daerah Umum Daerah Sumatera Utara
b. Tujuan khusus
a. Mengetahui ketepatan waktu distribusi makanan pagi di RSUD
Mengetahui ketepatan waktu distribusi makanan siang di RSUD Umum
Daerah Sumatera Utara.
b. Mengetahui ketepatan waktu distribusi makanan siang di RSUD Umum
Daerah Sumatera Utara
c. Mengetahui ketepatan waktu distribusi makanan sore di Umum Daerah
Sumatera Utara.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asesmen Diagnosis Gizi Dan Merancang Intervensi Gizi Pasien Rawat Inap

Assemen atau pengkajian merupakan bagian awal dari proses pelaksanaan


asuhan gizi, proses pengkajian awal dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi
awal pasien yang masuk rumah sakit. Setelah pengkajian awal selesai dilakukan
penentuan diagnosa yang dilihat dari keadaan umum, hasil pengukuran antropometri
dan hasil pengukuran laboratorium. Bagian akhir adalah proses intervensi lanjut yang
berupa pemberian diet pasien atau pemberian edukasi (Harahap, Karjoso, dan Sugianti
2019)
Proses pengkajian atau assemen yang baik maka akan menentukan proses
selanjutnya, karena tujuan dari pengkajian atau assesmen adalah menetapkan data dasar
tentang kebutuhan, masalah kesehatan, pengalaman yang berkaitan, praktek kesehatan,
tujuan, nilai dan gaya hidup yang dilakukan oleh pasien atau klien. Jadi apabila proses
pengkajian baik maka langkah selanjutnya akan baik atau sempurna sesuai dengan
kebutuhan pasien (Fitri dan Ernita 2019).
Hasil penelitian terkait dengan perlunya proses perencanaan disampaikan oleh
Ida Siti Nurparida 2011, dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Program Pelayanan Gizi
Rumah Sakit dengan Sistem Outsorcing di RSUD Kabupaten Sumedang, bahwa
”Terdapat faktor penghambat keberhasilan pelayanan gizi di RSUD Sumedang
dikarenakan salah satu adalah fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan kegiatan asuhan gizi belum maksimal (Widiastity dan Harleli 2021).

7
Selain itu, PAGT juga menyebutkan bahwa tujuan skrining atau pengkajian
adalah untuk mengidentifikasi pasien/ klien yang berisiko, tidak berisiko malnutrisi
atau kondisi khusus. Kondisi khusus yang dimaksud adalah pasien dengan kelainan
metabolik, hemodialisis, anak, geriatrik, kanker dengan kemoterapi/ radiasi, luka
bakar, pasien dengan imunitas menurun, sakit kritis dan sebagainya (PGRS, 2013:15).
Kendala- kendala tersebut antara lain, petugas kesehatan yang ada di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) belum melakukan pengkajian awal atau skrining gizi
dikarenakan banyaknya jumlah pasien yang masuk IGD yang tidak memungkinkan
dilakukan pengkajian awal sebagai contoh melakukan pemeriksaan antropometri
seperti pengukuran tinggi badan dan berat badan sehingga pengkajian awal terlewati.
Data terkait banyaknya pasien rawat inap di RSUD (Purwaningtyastuti, Nurwanti, dan
Huda 2017).
Kendala yang lain adalah kondisi pasien yang tidak bisa dikaji karena kondisi
yang lemas atau tidak memungkinkan sehingga petugas kesehatan di IGD melakukan
kegiatan untuk mengatasi kegawatdaruratnya terlebih dahulu sesuai dengan prinsip
triage dari pada melakukan assemen gizi. Setelah penanganan kegawatan selesai
biasanya petugas lupa untuk melakukan assesmen gizi kemungkinan menangani
masalah lain atau pasien sudah di pindahkan ke ruang rawat inap (Abdurrachim dan
Eliyanti 2016).

B. Koordinasi Dengan Tenaga Kerja Lain Dalam Pelaksanaan Intervensi Gizi


Koordinasi merupakan elemen terpenting dalam proses melakukan pekerjaan,
koordinasi adalah salah satu bentuk metode komunikasi yang efektif bagi tenaga
kesehatan. Keberhasilan petugas gizi dalam memberikan asuhanya juga tergantung
pada bagaimana proses koordinasi dengan tenaga kesehatan lain baik dokter, perawat
atau tenaga kesehatan lainnya Berkoordinasi dengan dokter, perawat, farmasi, dan
tenaga lain dalam pelaksanaan intervensi gizi sangatlah penting karena membantu

8
proses kesembuhan pasien dan membantu kerja dari petugas gizi tersebut (Studi et al.
2013).
Dalam hal berkoordinasi dengan dokter, perawat, farmasi, dan tenaga lain dalam
pelaksanaan intervensi gizi, peran petugas gizi memberikan asuhan pelayanan gizi pada
pasien rawat inap merupakan suatu bagian dari proses asuhan gizi yang baik.
Koordinasi yang baik akan menghasilkan suatu dampak yang baik juga terhadap
pelayanan kesehatan masyarakat bahwa terdapat faktor penghambat keberhasilan
pelayanan gizi yaitu terbatasnya SDM dan material, belum adanya struktur organisasi
Tim Terapi Gizi (TTG) sehingga tidak jelas dalam pembagian tugas, pendelegasian
wewenang dan koordinasi ditambah dengan kurangnya komunikasi, diseminasi,
supervisi, monitoring dan evaluasi untuk kegiatan asuhan gizi pasien di ruangan
(Petugas et al. 2017)
Karena dalam pelaksanaan intervensi gizi hampir terlaksana dengan baik. Paling
banyak petugas gizi berkoordinasi dengan perawat dibandingkan berkoordinasi dengan
dokter, hal tersebut terjadi karena perawat yag berada diruangan selama 24 jam
menemani pasien dibandingkan dengan dokter hanya datang ketika melakukan visite
saja, maka petugas gizi tidak ketemu dengan dokter. Selain hal tersebut belum adanya
struktur TTG (Tim Terapi Gizi) yang jelas membuat tenaga kesehatan lain kurang
berkontribusi terhadap pelayanan gizi pasien rawat inap selain kurang berkontribusi
TTG penting untuk mentukan kegiatan rutin seperti rapat atau seminar yang terkait
perkembangan ilmu gizi yang terbaru (Hospital 2014).

C. Monitoring dan evaluasi pasien intervensi terhadap dampak asuhan gizi


Proses melakukan monitoring dan evaluasi pasien terhadap intervensi terhadap
dampak asuhan gizi dalam menunjukan peran petugas gizi dalam memberikan
pelayanan asuhan gizi pada pasien rawat inap. Monitoring dapat diartikan sebagai
pengumpulan dan analisa data secara rutin untuk mengetahui kemajuan kegiatan dan

9
memastikan kesesuaian terhadap standar yang telah ditetapkan. Sedangkan Evaluasi
dapat didefinisi sebagai penilaian yang sistematis dan sesubyektif mungkin terhadap
kegiatan yang sedang berjalan atau telah selesa (Supu dan Prawiningdyah 2014)
Dalam melaksanakan tugas sebagai petugas gizi monitoring dan evaluasi
dilakukan, akan tetapi kegiatan monitoring dan evaluasi belum terlaksana secara
komperhensif hal tersebut di sesuai pernyataan dari perawat. Salah satu indikator
monitoring dan evaluasi adalah mengenai makanan sisa yang dimakan pasien. Petugas
gizi menyebutkan makanan sisa tidak ada atau sangat sedikit sekali sesuai dengan data
pendukung yang menyebutkan bahwa makanan sisa dari sampel yang diambil > 20 %.
Hasil tersebut dikatakan tidak ada sisa makanan. Sisa makanan adalah jumlah makanan
yang tidak dimakan oleh pasien dari yang disajikan oleh rumah sakit menurut jenis
makanannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nida (2011) di Rumah Sakit
Jiwa Sambang Lihum, rata-rata sisa makanan pasien bersisa (Gizi 2015).
Data pendukung terkait makanan sisa dari dokumen instalasi gizi pada bulan
Februari 2016 dari sasaran mutu sisa makanan yang tidak dimakan oleh pasien dari
jumlah sempel 50 orang jumlah yang tidak habis nasi sebanyak 3 orang, lauk 3 orang
dan sayur 3 orang dengan pencapaian target < 20 %. Maka indikator kurang dari 20%
makanan sisa menurut standar dinyatakan baik karena tidak lebih dari 30%. Hasil
pengamatan yang dilakukan peneliti di ruang perawatan ruang VIP Kartini pada
tanggal 2 April 2016 dari 13 tempat tidur yang tersedia semua makanan yang disajikan
hampir semua makanan habis termakan pasien. Dari informasi di atas makan dapat
ditarik kesimpulan peran petugas gizi dalam memberikan pelayanan asuhan gizi pada
pasien rawat inap aspek melakukan monitoring dan evaluasi pasien terhadap intervensi
terhadap dampak asuhan gizi adalah masih belum dilaksanakan secara optimal hal
tersebut terjadi karena proses monitoring dan evaluasi tidak melibatkan tenaga
kesehatan lain (Senopati dan Bantul 2016).

10
D. Pemberian Edukasi, Dan Konseling Gizi Pada Pasien
Edukasi atau penyuluhan kesehatan dapat didefinisakan sebagai upaya persuasi
atau pembelajaran kepada masyarakat atau pasien agar masyarakat atau pasien mau
melakukan tindakan- tindakan untuk memelihara, dan meningkatkan taraf
kesehatannya. (Notoatmodjo, 2010; Leistra dkk, 2009) Pemberian edukasi penyuluhan,
motivasi, dan konseling gizi pada klien/pasien dan keluarganya sangatlah penting
karena hal ini merupakan salah satu cara untuk mempercepat proses kesembuhan
pasien. Selain itu edukasi penting sebagai bekal pasien ketika pulang dari rumah sakit
untuk kelanjutan proses penyembuhan dan supaya penyakit yag diderita tidak kambuh
lagi atau tidak semakin parah (Studi et al. 2013)
Terkait dengan pemberian edukasi, penyuluhan, motivasi, dan konseling gizi pada
klien/ pasien dan keluarganya disampaikan oleh salah satu dokter yaitu yang
diwawancarai. Informasi yang diperolah dari hasil wawancara dan observasi dapat
diketahui bahwa peran petugas gizi dalam memberikan edukasi, penyuluhan, motivasi,
dan konseling gizi pada klien/ pasien dan keluarganya pada prinsipnya sudah berjalan
baik tetapi belum maksimal belum semua pasien mendapatkan pelayanan ini karena
banyak kendala yang disebabkan salah satunya tidak imbangnya antara petugas gizi
dengan jumlah pasien dan perbandingan jumlah pasien atau tempat tidur dengan jumlah
tenaga kesehatan khususnya petugas gizi. Data dari profil RSUD dr R Soetrasno Tahun
2015 menyebutkan bahwa jumlah tenaga kesehatan secara keseluruhan + 550 tenaga,
dan petugas gizi hanya 7 orang dengan perbandingan jumlah tempat tidur adalah 295.
Dalam hal ini peran petugas gizi dalam memberikan pelayanan asuhan gizi kepada
pasien rawat inap khususnya memberikan edukasi, penyuluhan, motivasi, dan
konseling gizi pada klien/ pasien dan keluarganya (Senopati dan Bantul 2016)

11
E. Pencatatan Dan Pelaporan Hasil Asuhan Gizi Kepada Dokter
Mencatat dan melaporkan merupakan bukti secara otentik hasil kinerja dari
pekerjaan yang dikerjakan. Mencatat dan melaporkan hasil asuhan gizi kepada dokter
atau petugas kesehatan lain merupakan salah satu peran petugas gizi. Pencatatan dan
pelaporan kegiatan asuhan gizi merupakan bentuk pengawasan dan pengendalia mutu
pelayanan dan komunikasi (Silvia dan Parjanto 2016).
Dari informasi hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa peran petugas gizi
dalam memberikan pelayanan asuhan gizi pada pasien rawat inap aspek mencatat dan
melaporkan hasil asuhan gizi kepada dokter atau tenaga kesehatan lain sudah berjalan
dengan baik sebagai bukti pada lembar integarasi pada catatan medis pasien diisi oleh
tenaga gizi dan dibaca oleh tenaga kesehatan yang lain. Disamping itu, dokumentasi
atau rekam medis merupakan hal yang berkas penting yang berisi catatan dan dokumen
identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang telah diberikan serta tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Dan 2014).
Rekam medis sangat penting dalam pelayanan bagi pasien karena selain dapat
memberikan informasi untuk menentukan keputusan dalam pengobatan, penanganan,
serta tindakan medis, tetapi juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam aspek
hukum dimana rekam medis dapat menjadi alat bukti tertulis untuk menyelesaikan
perkara hukum. Bila ditelusuri lebih jauh, rekam medis mempunyai aspek hukum
kedisiplinan dan etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen
rumah sakit, audit medik, dan memiliki banyak kegunaan untuk berbagai macam
kepentingan (Petugas et al. 2017).

F. Perencanaan Pelayanan Gizi


Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen kesehatan yang berperan
penting dalam mempersiapkan secara sistematis kegiatan yang akan dilakukan untuk

12
mencapai tujuan tertentu. Perencanaan yang baik menuntut adanya sistem monitoring
dan evaluasi yang memadai dan berfungsi umpan balik untuk tindakan
pengendalian.Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 78 tahun 2013 tentang
Pedoman Gizi Rumah Sakit, perencanaan anggaran bahan makanan dibuat dengan
mengumpulkan data tentang macam dan jumlah konsumen / pasien di tahun
sebelumnya, hal tersebut telah dilakukan oleh instalasi gizi RSUD (Silvia dan Parjanto
2016).
Untuk membuat perencanaan anggaran bahan makanan tidak dilakukan survey
harga pasar. Perhitungan anggaran bahan makanan setahun tidak menggunakan indeks
harga makanan. Berdasarkan Buku Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit, terdapat
beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan menu
1. Peraturan pemberian makanan rumah sakit
Peraturan Pemberian Makanan Rumah sakit (PPMRS) sebagai salah satu acuan
dalam penyelenggaraan makanan untuk pasien dan karyawan. 122.
2. Kecukupan gizi konsumen
Menu harus mempertimbangkan kecukupan gizi konsumen dengan menganut pola
gizi seimbang.Sebagai panduan dapat menggunakan buku penuntun diet atau Angka
Kecukupan Gizi mutakhir.
3. Ketersediaan bahan makanan dipasar
Ketersediaan bahan makanan mentah di pasar akan berpengaruh pada macam
bahan makanan yang digunakan serta macam hidangan yang dipilih. Pada saat musim
bahan makanan tertentu, maka bahan makanan tersebut dapat digunakan dalam menu
yang telah disusun sebagai pengganti bahan makanan yang frekuensi penggunaannya
dalam 1 siklus lebih sering.
4. Dana/anggaran Dana
yang dialokasikan akan menentukan macam, jumlah dan spesifikasi bahan
makanan yang akan dipakai

13
5. Karakteristik bahan makanan Aspek
yang berhubungan dengan karakteristik bahan makanan adalah warna, konsistensi,
rasa dan bentuk.Bahan makanan berwarna hijau dapat dikombinasi dengan bahan
makanan berwarna putih atau kuning.Variasi ukuran dan bentuk bahan makanan perlu
dipertimbangkan.
6. Food habit dan Preferences 123
Food preferences dapat diartikan sebagai pilihan makanan yang disukai dari
makanan yang ditawarkan, sedangkan food habit adalah cara seorang memberikan
respon terhadap cara memilih, mengonsumsi dan menggunakan makanan sesuai
dengan keadaan sosial dan budaya. Bahan makanan yang tidak disukai banyak
konsumen seyogyanya tidak diulang penggunaannya.
7. Fasilitas fisik dan peralatan Macam
menu yang disusun mempengaruhi fasilitas fisik dan peralatan yang dibutuhkan.
Namun di lain pihak macam peralatan yang dimiliki dapat menjadi dasar dalam
menentukan item menu/macam hidangan yang akan diproduksi.
8. Macam dan jumlah tenaga Jumlah, kualifikasi dan keterampilan
Tenaga pemasak makanan perlu dipertimbangkan sesuai macam dan jumlah hidangan
yang direncanakan.

G. Pengorganisasian
Pengorganisasian merupakan suatu proses pengelompokkan orang-orang, alat-alat,
tugas-tugas, tanggung jawab atau wewenang dengan sedemikian rupa sehingga tercipta
suatu organisasi yang dapat digerakkan dalam rangka untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Sebagai seorang manajer, kepala instalasi gizi harus terus 129
melaksanakan fungsi manajemen dengan baik yaitu dengan merencanakan,
mengorganisir, mengarahkan, mengkoordinir, mengawasi kegiatan di instalasi gizi
dengan meningkatkan mutu secara keseluruhan dan dapat meningkatkan kepuasan

14
kepada tenaga kesehatan lainnya maupun kepada pasien secara keseluruhan. Dari hasil
penelitian wawancara mendalam tentang struktur organisasi, berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit pada pasal 25 dinyatakan : Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum
kelas B paling sedikit meliputi:
1. Pelayanan medik
2. Pelayanan kefarmasian
3. Pelayanan keperawatan dan kebidanan
4. Pelayanan penunjang klinik
5. Pelayanan penunjang nonklinik
6. Pelayanan rawat inap.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit pada pasal 29 dinyatakan : Pelayanan penunjang klinik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d meliputi pelayanan bank darah,
perawatan intensif untuk semua golongan umur dan jenis penyakit, gizi, sterilisasi
instrumen dan rekam medik. 130 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit pada Pasal 30 dinyatakan : Pelayanan
penunjang nonklinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf e meliputi
pelayanan laundry/linen, jasa boga/dapur, teknik dan pemeliharaan fasilitas,
pengelolaan limbah, gudang, ambulans, sistem informasi dan komunikasi,
pemulasaraan jenazah, system penanggulangan kebakaran, pengelolaan gas medik, dan
pengelolaan air bersih (Hospital 2014).
RSUD Umum adalah rumah sakit kelas B, dengan struktur organisasi di bawah
Kepala Bidang Penunjang adalah Sub Bidang Penunjang Medik, Sub Bidang
Penunjang Non Medik, dan Sub Bidang Logistik dimana Instalasi gizi berada di bawah
koordinasi Sub Bidang Logistik. Struktur organisasi ini berbeda dengan yang terdapat
pada Peraturan menteri kesehatan nomor 56 Tahun 2014. Struktur organisasi di
instalasi gizi sudah mengikuti Peraturan Menteri Kesehatan nomor 78 tahun 2013
tentang Pedoman Gizi Rumah Sakit, namun adanya unit penelitian dan pengembangan
15
perlu dievaluasi dan disesuaikan efektifitasnya dengan kondisi rumah sakit.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 78 tahun 2013 tentang Pedoman Gizi
Rumah Sakit, dijelaskan bahwa dalam memenuhi standar akreditasi dan terlaksananya
pelayanan gizi rumah sakit, dibutuhkan pimpinan pelayanan gizi yang memiliki
kompetensi 131 dan pengalaman di bidang gizi/dietetik, yaitu seorang Registered
Dietisien (RD) dan diutamakan yang telah memperoleh pendidikan manajemen. Di
instalasi gizi RSUD Umum, belum memenuhi pedoman gizi rumah sakit karena tenaga
Registered Dietisien belum ada. Perlunya sarana prasarana yang mendukung kegiatan
unit asuhan gizi rawat jalan agar kegiatan konseling di poliklinik gizi dapat berjalan
baik dan petugas penanggung jawab unit asuhan gizi rawat jalan dapat bekerja sesuai
dengan tupoksinya (Senopati dan Bantul 2016).

H. Pelaksanaan Pelayanan Gizi


Pelaksanaan merupakan tahapan implementasi dari keseluruhan rantai manajemen.
Pada pelaksanaannya instalasi gizi/unit gizi mengelola kegiatan gizi sesuai fungsi
manajemen yang dianut dan mengacu pada pedoman pelayanan gizi rumah sakit yang
berlaku dan menerapkan standar prosedur yang ditetapkan. Pelayanan gizi rawat inap
merupakan pelayanan gizi yang dimulai dari proses pengkajian gizi, diagnosis gizi,
intervensi gizi meliputi perencanaan, penyediaan makanan, penyuluhan/edukasi, dan
konseling gizi, serta monitoring dan evaluasi gizi. Menurut penelitian, separoh dari
pasien mengaku nafsu 133 makannya menurun ketika dirawat inap di rumah sakit
(Hospital 2014).
Pasien perlu diberikan edukasi tentang pentingnya makanan untuk pengobatan,
dengan demikian diharapkan agar dapat meningkatkan asupan makan pasien dan
mengurangi jumlah sisa makanan (Stanga, 2003) Mekanisme pelayanan gizi rawat inap
adalah:
1. Skrining gizi

16
Tahapan pelayanan gizi rawat inap diawali dengan skrining/penapisan gizi oleh
perawat ruangan dan penetapan order diet awal (preskripsi diet awal) oleh
dokter.Skrining gizi bertujuan untuk mengidentifikasi pasien/klien yang berisiko, tidak
berisiko malnutrisi atau kondisi khusus. Kondisi khusus yang dimaksud adalah pasien
dengan kelainan metabolik; hemodialisis; anak; geriatrik; kanker dengan
kemoterapi/radiasi; luka bakar; pasien dengan imunitas menurun; sakit kritis dan
sebagainya. Idealnya skrining dilakukan pada pasien baru 1 x 24 jam setelah pasien
masuk RS.Metoda skrining sebaiknya singkat, cepat dan disesuaikan dengan kondisi
dan kesepakatan di masingmasing rumah sakit (Abdurrachim dan Eliyanti 2016).
2. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)
Proses Asuhan gizi Terstandar dilakukan pada pasien yang berisiko kurang gizi,
sudah mengalami kurang gizi dan atau kondisi khusus dengan penyakit tertentu.
Ketentuan aturan rumah sakit memberikan kontribusi yang 134 signifikan pada
kesembuhan pasien, empati petugas juga akan menambah perbaikan pasien (Compan,
1999) Promosi kesehatan tentang gizi melalui pelayanan gizi di rumah sakit akan
meningkatkan kesembuhan pasien dan menurunkan lama perawatan pasien sehingga
berpengaruh pada biaya perawatan (Giner, 1996) Instalasi gizi RSUD Kudungga masih
belum melaksanakan secara rutin program asuhan gizi terstandar, hanya pada pasien
dengan diagnose tertentu atau sesuai dengan adanya permintaan dokter penanggung
jawab pasien, kurangnya komitmen petugas untuk mengisi daftar formulir diet pasien,
dan daftar formulir lainnya, sehingga pencatatan dan pelaporan rekam medis pasien
tidak lengkap (Petugas et al. 2017).

I. Pengawasan
Pengawasan dilakukan dengan tujuan agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
rencana dan kebijakan yang ditetapkan, mengetahui sedini mungkin kemajuan dan
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan dan apabila ada penyimpangan,

17
melaksanakan perbaikan secara dini dan apabila ada penyimpangan dan memperoleh
141 bahan yang baru dapat digunakan untuk penyusunan program selanjutnya.
Pencatatan dan laporan kegiatan asuhan gizi merupakan bentuk pengawasan dan
pengendalian mutu pelayanan dan komunikasi. Pelayanan gizi di rumah sakit dikatakan
bermutu jika memenuhi 3 komponen mutu, yaitu,
1. Pengawasan dan pengendalian mutu untuk menjamin bahwa produk yang
dihasilkan aman,
2. Menjamin Kepuasan konsumen dan
3. Assessment yang berkualitas.
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang mengusahakan agar
pekerjaan atau kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana, dan kebijakan yang
ditetapkan dapat mencapai sasaran yang dikehendaki. Pengawasan memberikan
dampak positif berupa
1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban
2. Mencegah terulang kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan,
pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban.
3. Mencari cara yang lebih baik atau membina yang lebih baik untuk mencapai tujuan
dan melaksanakan tugas organisasi.
Pada instalasi gizi RSUD Kudungga, pengawasan dan 142 pengendalian mutu
terhadap ketepatan menu dengan bahan makanan yang disiapkan oleh pihak penyedia
makanan sangat diperlukan agar makanan yang diberikan ke pasien dapat mengikuti
siklus menu yang telah disusun dan menu bervariasi.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa petugas gizi belum
melakukan asesmen/ pengkajian, mengidentifikasi/ diagnosis gizi dan merancang
intervensi gizi lanjut pada pasien rawat inap belum secara optimal dikarenakan dua hal,
pertama banyaknya jumlah pasien yang masuk instalasi gawat darurat dan kondisi
pasien yang gawat sehingga proses assesmen terlewatkan, hal tersebut dikarenakan
tidak imbangnya antara petugas gizi dengan jumlah pasien.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di instalasi gizi RSUD, maka penulis
menyarankan sebagai berikut :
1. Perencanaan bahan makanan sebaiknya mengikuti survei pasar dan memakai
perhitungan indeks harga makanan secara terinci.
2. Perlu adanya perubahan siklus menu agar menu lebih bervariasi.
3. Perlunya evaluasi struktur organisasi instalasi gizi dan difasilitasinya sarana
prasarana untuk penanggung jawab unit pelayanan asuhan gizi rawat jalan.
4. Perlu adanya Registered Dietisien dan Dokter Spesialis Gizi yang bertugas di
instalasi gizi RSUD
5. Pendidikan dan pelatihan untuk petugas gizi agar pengetahuannya dapat
meningkat.
6. Skrining gizi dan Proses Asuhan Gizi Terstandar harus dilaksanakan dengan
berpedoman, dan pelaksanaannya harus konsisten.
7. Pentingnya pengawasan dari atasan terhadap pencatatan dan pelaporan, juga
terutama terhadap pelaksanaan asuhan gizi, sehingga konseling gizi ke pasien akan
lebih baik

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachim, Rijanti, dan Malinda Eliyanti. 2016. “Jurnal Riset Kesehatan PROSES
ASUHAN GIZI TERSTANDAR ( PAGT ) TERHADAP TINGKAT
KEPUASAN DAN LAMA HARI RAWAT PASIEN ANAK INFEKSI ( Studi
di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Ulin Banjarmasin ).” 5(2):98–103.

Dan, Hasil. 2014. “Hasil skrining berdasarkan metode MNA ( mini nutritional
assestment ) tidak berpengaruh terhadap lama rawat inap dan status pulang
pasien lanjut usia di RSUP Dr . Sardjito Yogyakarta.” (43).

Fitri, Lidia, dan Ernita. 2019. “Hubungan pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI dini
dengan kejadian stunting pada balita.” Jurnal Ilmu Kebidanan 8(1):19–24.

Gizi, Eva. 2015. “Kecemasan dan status gizi berhubungan dengan lama rawat inap
pada pasien jantung di RSUD Jenderal Ahmad.” (1):98–104.

Harahap, Elly Satriani, Tri Krianto Karjoso, dan Reli Sugianti. 2019. “Analisis Faktor
Ibu Dengan Kejadian Memiliki Anak Balita Stunting Di Kota Pekanbaru.”
Health Care : Jurnal Kesehatan 8(2):1–7. doi: 10.36763/healthcare.v8i2.55.

Hospital, Sardjito. 2014. “Perubahan asupan zat gizi tidak berpengaruh terhadap lama
rawat inap pada pasien dewasa di RSUP Dr . Sardjito Yogyakarta.” 14:14–22.

Kemenkes, RI. 2018. “Kuesioner RT Riskesdas 2018.” Journal of Surgical


Orthopaedic Advances 27(01):1–8.

Musaidah, Dg Mangemba, dan Rosdiana. 2020. “Faktor yang Berhubungan dengan


Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bontomatene Kabupaten
Selayar.” Promotif : Jurnal Kesehatan Masyarakat 10(July 2020):28–32.

20
Ningrum, Eka, dan Tin Utami. 2017. “Perbedaan Status Gizi Stunting Dan
Perkembangan Antara Balita Riwayat BBLR Dengan Balita Berat Lahir
Normal.” Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA) 10(2):46–56.

Petugas, Peran, Gizi Dalam, Memberikan Pelayanan, Gizi Pada, dan Pasien Rawat.
2017. “Unnes Journal of Public Health.” 6(16).

Purwaningtyastuti, Riya, Esti Nurwanti, dan Nurul Huda. 2017. “Asupan vitamin C
berhubungan dengan kadar glukosa darah pada pasien rawat jalan DM tipe 2.”

Senopati, Panembahan, dan Hospital Bantul. 2016. “Asupan kalium-natrium dan


status obesitas sebagai faktor risiko kejadian hipertensi pasien rawat jalan di RS
Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.” 4(1):41–48.

Silvia, Merryna Nia, dan Endy Parjanto. 2016. “Asupan energi dan protein pasien
tidak berbeda menurut tingkat kepercayaan diri dan kinerja ahli gizi dalam
menerapkan proses asuhan gizi terstandar.” 4(1):19–28.

Studi, Program, Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, dan Universitas Diponegoro. 2013.
“Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc.” 2:170–83.

Supu, La, dan Yeni Prawiningdyah. 2014. “Studi kasus kualitas ahli gizi dengan
standar pelayanan minimal gizi di Ruang Rawat Inap RSUD Kabupaten Fakfak
Provinsi Papua Barat.” 32–40.

Widiastity, Wilda, dan Harleli Harleli. 2021. “Hubungan Pemberian MP-ASI


Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita Usia 6 – 24 Bulan di Puskesmas
Soropia.” Nursing Care and Health Technology Journal (NCHAT) 1(2):81–86.
doi: 10.56742/nchat.v1i2.13.

21
22

Anda mungkin juga menyukai