Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus Pertemuan Ke-9 Hari/Tanggal: Senin, 19 April 2021

MK. Patofisiologi Gizi

Kasus IX : Alergi, infeksi dan gangguan saluran nafas

Oleh Kelompok 5 :

Fathimah Uswah Zahidah I14190047


Anny Nila Syauqiyyah I14190049
Maulidhani Sekar Maharani I14190072

Asisten Praktikum:
Akifa Laila Rusyda I14160032

Koordinator Praktikum:
dr. Naufal Muharam Nurdin, M.Si.

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
ALERGI

Nn F, seorang wanita berusia 21 tahun saat berkemah di daerah hutan disengat


serangga tak dikenal di lengan kanan atas. Dalam beberapa menit dia mengalami kemerahan
dan gatal di tempat tersebut. Gejalanya berkembang menjadi gatal-gatal seluruh badan dan
sesak napas. Teman-temannya berusaha membawanya ke rumah sakit. Namun, karena dia
menjadi tidak sadar dalam perjalanan maka teman-temannya mengantarnya ke Puskesmas
terdekat. Setelah kedatangannya, dia terlihat sianosis. Denyut nadinya lemah, 160 kali / mnt.
TD rendah, yakni 70/tidak terdeteksi. Dokter mengevaluasi ABC (airway, breathing,
circulation) dan kemudian segera memberikan epinefrin (1: 1.000) 0,5 ml IM ke pahanya.
Gejalanya berangsur-angsur membaik dan dia kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan.
Nn F tidak pernah mengalami gejala serupa sebelumnya; Namun, dia biasanya
mengalami gatal-gatal saat cuaca dingin. Dia menderita asma sejak dia berumur 8 tahun.
Ibunya menderita eksim kulit. Nn F sangat memperhatikan untuk menjaga gaya hidup sehat.
Dia mempraktikkan diet seimbang dan olahraga secara teratur. Makanan favoritnya termasuk
yogurt dan salad buah. Dia mempertahankan berat badan ideal.
ASSESSMENT

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. F
Umur : 21 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan

2.2 Antropometri
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-
IMT :-
Perhitungan :-
Kesimpulan :-

2.3 Biokimia
-

2.4 Klinis
Pemeriksaan klinis atau pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan oleh ahli
medis pada tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Hasil pemeriksaan
dicatat dalam rekam medis. Rekam medis dan pemeriksaan klinis membantu dalam
penegakan diagnosis. Berikut hasil pemeriksaan klinis dan fisik Nn F.

Tabel 1 Hasil pemeriksaan klinis dan fisik


Pemeriksaan Hasil Kondisi Normal Keterangan
Denyut nadi 160 kali/menit 60-100 kali/menit Takikardia
Tekanan darah 70/tidak terdeteksi 120/80 mmHg Hipotensi
Pemeriksaan fisik
Kemerahan dan
gatal pada lengan
kanan atas
Gatal-gatal seluruh Urtikaria
tubuh
Sesak nafas
Sumber : Nelms et al. (2010)
Kesimpulan:
Pemeriksaan klinis pada Nn F menunjukkan bahwa Nn F mengalami takikardia
karena denyut nadi lebih dari batas normal. Denyut nadi Nn F 160 kali/menit. Nn F
juga mengalami hipotensi karena tekanan darah dibawah normal yaitu 70/tidak
terdeteksi. Pemeriksaan fisik lainnya, Nn F menyalami kemerahan dan gatal pada
bagian yang tersengat kemudian menjalan menjadi gatal-gatal seluruh tubuh dan sesak
nafas.

2.5 Diet
Pasien Nn F selalu memperhatikan dan menjaga gaya hidupnya. Selain itu juga
beliau dapat mempertahankan berat badan ideal. Beliau mempraktikkan diet seimbang
dan olahraga secara teratur. Makanan favoritnya adalah yoghurt dan salah buah.
Setelah mengalami gatal-gatal dan sesak nafas, dokter memberikan dosis epinefrin
(1:1.000) 0,5 ml IM ke pahanya.

PROBLEM LIST

Penderita alergi mengalami beberapa gangguan dalam tubuh. Berikut


merupakan daftar gangguan yang dialami Nn F dan patogenesis terjadinya gangguan
tersebut.
Tabel 2 Problem List
No. Problem list (setidaknya yg di-bold Why? (penjelasan patogenesisnya)
dlm teks)
1. Penyakit Utama: Anafilaksis Anafilaksis adalah reaksi alergi
multisistem yang parah yang terjadi tiba-
tiba setelah kontak dengan alergen.
Presentasi klasik termasuk urtikaria atau
angioedema, hipotensi, dan
bronkospasme. Anafilaksis adalah hasil
dari degranulasi sel mast yang dimediasi
oleh imunoglobulin E, yang melepaskan
mediator imun inflamasi. Mediator ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular, vasodilatasi perifer, peningkatan
produksi lendir, dan kontraksi otot polos
bronkus. Reaksi anafilaktoid tidak
memerlukan paparan alergen sebelumnya,
tetapi perjalanan
Tabel 2 Problem List (lanjutan)
No. Problem list (setidaknya yg di-bold Why? (penjelasan patogenesisnya)
dlm teks)
klinis dan pengobatan identik dengan
anafilaksis. Pencetus utama reaksi
anafilaksis adalah makanan (misalnya
susu, kedelai, telur, kacang-kacangan, dan
kerang), obat-obatan (misalnya, antibiotik
[penisilin], obat antiinflamasi nonsteroid,
anestesi), racun (sengatan Hymenoptera),
bahan kontras intravena , dan lateks.
Hingga 20% reaksi anafilaksis bersifat
idiopatik. Pengobatan pilihan untuk
anafilaksis adalah epinefrin. Dosis
epinefrin yang dianjurkan dalam
anafilaksis adalah 0,3 sampai 0,5 mg
(konsentrasi 1: 1000) secara intramuskular
(IM) setiap 5 sampai 10 menit untuk orang
dewasa. Injeksi intramuskular di paha
anterolateral adalah rute yang disukai
tanpa memandang usia, karena konsentrasi
plasma yang lebih cepat dan lebih tinggi
diperoleh. Epinefrin intravena disediakan
untuk kasus kolaps kardiovaskular yang
tidak responsif terhadap terapi IM (Tupper
2010).
Tanda dan Gejala
2. Eczema Eksim, biasa disebut sebagai 'eksim atopik'
atau 'dermatitis atopik', adalah kondisi
peradangan kulit kronis yang ditandai
dengan ruam merah yang gatal. Eksim
dapat mempengaruhi bagian tubuh
manapun tetapi biasanya menetap di
lipatan kulit seperti lipatan siku atau di
belakang lutut; wajah biasanya terjadi pada
bayi dan orang dewasa. Lesi eksim
bervariasi dalam penampilan mulai dari
kumpulan cairan di kulit (vesikula) hingga
penebalan kulit yang kasar (likenifikasi)
dengan latar belakang kemerahan yang
tidak berbatas tegas. Ciri-ciri lain seperti
pengerasan kulit, bersisik, pecah-pecah
dan bengkak pada kulit dapat terjadi. 1
Kulit kering yang
Tabel 2 Problem List (lanjutan)
No. Problem list (setidaknya yg di-bold Why? (penjelasan patogenesisnya)
dlm teks)
menyebabkan gangguan fungsi pelindung
juga merupakan ciri utama eksim. Eksim
dikaitkan dengan penyakit atopik lainnya
seperti rinitis alergi musiman (demam) dan
asma (Nankervis et al. 2016).
3. Asma Asma didefinisikan sebagai penyakit
inflamasi kronis pada saluran udara.
Peradangan kronis dikaitkan dengan
hiperresponsif saluran napas (respons
penyempitan saluran napas yang
berlebihan terhadap pemicu tertentu
seperti virus, alergen, dan olahraga) yang
menyebabkan episode berulang mengi,
sesak napas, sesak dada dan / atau batuk
yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu
dan intensitasnya. Episode gejala
umumnya dikaitkan dengan obstruksi
aliran udara yang tersebar luas, tetapi
bervariasi, di dalam paru-paru yang
biasanya reversibel baik secara spontan
atau dengan pengobatan asma yang sesuai
seperti bronkodilator kerja cepat (Quirt et
al. 2018).
4. Takikardia Takikardia merupakan keadaan di mana
detak jantung melebihi 100 kali per menit.
Keadaan normal adalah 60-100 kali per
menit. Kondisi percepatan dapat
diakibatkan oleh olahraga, atau respon
terhadap stress, trauma, serta penyakit, Ini
disebut sinus takikardia. Menurut
American Heart Association, ada berbagai
jenis takikardia seperti Atrial atau
Supraventricular tachycardia (SVT) yaitu
percepatan detak jantung dari bagian ruang
atas jantung, sinus tachycardia yaitu
natural pacemaker jantung, simpul
sinoatrial (SA), mengirimkan sinyal listrik
lebih cepat dari biasanya, dan ventricular
tachycardia yaitu electrical signals di
ruang bawah jantung menyala secara
abnormal sehingga mengganggu impuls
Tabel 2 Problem List (lanjutan)
No. Problem list (setidaknya yg di-bold Why? (penjelasan patogenesisnya)
dlm teks)
listrik yang berasal dari simpul sinoatrial
(SA). Penyebab ini bisa meliputi anemia,
hipertiroidisme, hipertensi/hipotensi,
demam, gangguan elektrolit, olahraga
berat, efek samping obat seperti
salbutamol, kebiasaan merokok, konsumsi
kafein atau mengalami stres dan ketakutan
(Willy 2018).
5. Hipotensi Hipotensi adalah tekanan darah rendah
yang kurang dari 90/60 mmHg. Ini dapat
terjadi jika terdapat ketidakseimbangan
antara kapasitas vaskuler dan volume
darah atau jantung terlalu lemah untuk
menghasilkan tekanan darah yang dapat
mendorong darah.
6. Sianosis Sianosis adalah kondisi patologis yang
ditandai dengan perubahan warna kebiruan
pada kulit atau selaput lendir. Sianosis
secara garis besar disebabkan oleh
kelainan hemoglobin terdeoksigenasi dan
kelainan hemoglobin yang abnormal.
Oksigen mungkin tidak mencapai
hemoglobin dalam jumlah yang cukup atau
cukup sebagai akibat dari kondisi yang
mempengaruhi sistem pernapasan, sistem
kardiovaskular, dan sistem saraf pusat
(SSP) (Adeyinka dan Kondamudi 2018).
7. Reaksi Alergi (Hipersensitivitas) Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas)
adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan
yang terjadi ketika jaringan tubuh yang
normal mengalami cedera/terluka.
Mekanisme dimana sistem kekebalan
melindungi tubuh dan mekanisme dimana
reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh
adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga
melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel
lainnya yang merupakan komponen dalam
system imun yang berfungsi sebagai
pelindung yang normal pada sistem
kekebalan. Reaksi ini terbagi menjadi
empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan
Tabel 2 Problem List (lanjutan)
No. Problem list (setidaknya yg di-bold Why? (penjelasan patogenesisnya)
dlm teks)
mekanisme yang ikut serta dan lama waktu
reaksi hipersensitif (Hikmah dan Dewanti
2010).
8. Urtikaria Urtikaria adalah penyakit yang ditandai
dengan plak urtikaria yang eritematosa,
edematosa, gatal dan sementara, serta
menutupi kulit dan selaput lendir. Juga
dikenal sebagai gatal-gatal di antara orang-
orang. Mekanisme utama pembentukan
urtikaria adalah pelepasan berbagai
mediator dari sel mast. Reaksi
hipersensitivitas tergantung
imunoglobulin (Ig) tipe 1 E terlihat pada
urtikaria akut. Antigen yang memasuki
tubuh mengikat antibodi spesifik pada sel
mast dan basofil, menyebabkan pelepasan
banyak mediator, terutama histamin.
Akibatnya, edema akibat eritema dan
peningkatan permeabilitas sekunder akibat
vasodilatasi. Sel mast tidak dapat
distimulasi ulang sampai terjadi
regranulasi setelah degranulasi, yang
menjelaskan mengapa lempeng urtikaria
tidak muncul kembali selama beberapa
hari di wilayah tersebut.
Pada urtikaria kronis, antigen yang
memasuki tubuh berikatan dengan reseptor
IgE afinitas tinggi (FcεRIα) Fc yang
terletak di sel mast dan basofil yang
bersirkulasi di kulit dan terjadi degranulasi
dari sel-sel ini. Ketika antigen yang sama
ditemui untuk kedua kalinya, antibodi IgE
yang sudah ada pada sel mast dan basofil
ini segera mengikat antigen dan
mengembangkan reaksi alergi lebih cepat.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa
autoimunitas juga penting pada urtikaria
kronis. Plak urtikaria memiliki tiga ciri
yaitu ciri khas kemerahan, melepuh, dan
gatal. Terkadang, sensasi terbakar bisa
menyertai. Lesi dapat terjadi di mana saja
Tabel 2 Problem List (lanjutan)
No Problem list (setidaknya yg di-bold Why? (penjelasan patogenesisnya)
dlm teks)
di tubuh dan pulih dalam waktu sekitar 2–
3 jam tanpa meninggalkan bekas.
Pemulihan spontan ini terkadang bisa
berlangsung hingga 1 hari (Kayiran dan
Akdeniz 2019).
DIAGRAM ALIR

Anafilaksis

Syok anafilaksis

Gatal-gatal Denyut nadi Tekanan darah


Sesak Napas
cepat tapi rendah
lemah

Reaksi Asma
Hipotensi
Hipersensitivitas Takikardia

Kekurangan
oksigen
Urtikaria Eczema

Sianosis Hilang
kesadaran

Sumber : (Tupper 2010); (Nankervis et al. 2016); (Quirt et al. 2018); (Willy 2018);
(adeyinka dan Kondamudi 2018); (Hikmah dan Dewanti 2010); (Hikmah dan
Dewanti 2010)
JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa kemungkinan diagnosis Nn F?

Jawaban :
Eksim: Ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa faktor genetik penting dalam
predisposisi eksim. Selain studi keluarga, studi kembar telah menunjukkan
kesesuaian yang jauh lebih tinggi untuk monozigot (identik) (85%) daripada untuk
kembar dizygotic (non-identik) (21% ). Mutasi yang terjadi pada filaggrin
(filament-aggregating-protein ) gen menimbulkan protein filaggrin rusak yang
menyebabkan kulit kering dan peningkatan risiko eksim, serta penyakit yang lebih
parah dan persisten dan asma terkait. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
kecenderungan mengembangkan eksim dapat diprogram saat lahir dan dapat
dikaitkan dengan faktor-faktor seperti paparan tembakau pada ibu.33 Faktor risiko
spesifik untuk ekspresi eksim di lingkungan termasuk hewan peliharaan berbulu;
Namun, ada bukti bahwa ini juga dapat memiliki efek perlindungan.34 Faktor
alergi seperti paparan tungau debu rumah mungkin penting, tetapi faktor non-alergi
seperti paparan pakaian nilon, debu atau sampo juga penting. Sejumlah mekanisme
molekuler dan jenis sel dianggap penting dalam eksim atopik dan ini ditinjau secara
rinci di tempat lain.36 Secara mikroskopis, gambaran karakteristik eksim adalah
cairan di antara sel-sel di epidermis (spongiosis). Ketika parah, cairan ini akhirnya
mengganggu sel-sel yang berdekatan di epidermis untuk membentuk kumpulan
kecil cairan, yang terlihat dengan mata telanjang sebagai vesikula. Pada fase kronis,
eksim atopik ditandai dengan penebalan epidermis yang parah (acanthosis) dan
infiltrasi limfositik di dermis. Patofisiologi eksim atopik mungkin terkait dengan
ekspresi gen abnormal dari sel imun saat mereka menyusup dan tetap berada di
permukaan mukosa dan kulit. Tampaknya ada kegagalan untuk mematikan
dominasi alami limfosit tipe 2 helper (Th2) yang biasanya terjadi pada masa bayi,
yang menyebabkan respons abnormal sitokin (pembawa pesan kimiawi) terhadap
berbagai rangsangan. Kegagalan untuk mencapai keseimbangan normal sel
penolong tipe 1 (Th1) dan sel Th2 ini mungkin disebabkan oleh mutasi pada gen
interleukin-1837 atau gen lain, 38 misalnya yang menghasilkan reseptor untuk
sistem kekebalan bawaan. Cacat komposisi pelindung kulit yang menyebabkan
kulit kering dan peningkatan penetrasi iritan dan alergen juga dianggap kritis
(Nankervis et al. 2016).
Asma: Asma dikaitkan dengan respons imun T helper cell type-2 (Th2), yang
khas dari kondisi atopik lainnya. Pemicu asma mungkin termasuk rangsangan
alergi (mis., Tungau debu rumah, residu kecoa, bulu binatang, jamur, dan serbuk
sari) dan rangsangan non-alergi (mis., Infeksi virus, paparan asap tembakau, udara
dingin, olahraga), yang menghasilkan rangsangan peristiwa yang menyebabkan
peradangan saluran napas kronis. Peningkatan kadar sel Th2 di saluran napas
melepaskan sitokin spesifik, termasuk interleukin (IL) -4, IL-5, IL-9 dan IL-13, dan
mendorong inflamasi eosinofilik dan produksi imunoglobulin E (IgE). Produksi
IgE, pada gilirannya, memicu pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin dan
sisteinil leukotrien, yang menyebabkan bronkospasme (kontraksi otot polos di
saluran napas), edema, dan peningkatan sekresi mukosa, yang mengarah pada
gejala khas asma (Quirt et al. 2018).
Anafilaksis: Sebagian besar episode anafilaksis dipicu melalui mekanisme
imunologis yang melibatkan imunoglobulin E (IgE) yang mengarah pada aktivasi
sel mast dan basofil dan pelepasan selanjutnya dari mediator inflamasi seperti
histamin, faktor pengaktif trombosit, leukotrien, triptase, dan prostaglandin.
Meskipun zat apa pun berpotensi menyebabkan anafilaksis, penyebab paling umum
dari anafilaksis yang dimediasi IgE adalah makanan (terutama kacang tanah,
kacang pohon, kerang dan ikan, susu sapi, telur dan gandum), obat-obatan (paling
umum penisilin dan antibiotik lain), dan serangga menyengat. Olahraga, aspirin,
obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), opiat, dan agen radiokontras juga dapat
menyebabkan anafilaksis, tetapi reaksi anafilaksis terhadap obat ini sering kali
terjadi akibat mekanisme yang dimediasi non-IgE. Dalam kasus lain, penyebab
reaksi anafilaksis tidak diketahui (anafilaksis idiopatik). Pada anak-anak,
anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, sedangkan anafilaksis akibat
racun dan obat lebih sering terjadi pada orang dewasa. Pasien dengan asma dan
penyakit kardiovaskular lebih cenderung mengalami hasil yang buruk dari
anafilaksis.
Dosis epinefrin yang direkomendasikan untuk anafilaksis adalah 0,01 mg / kg
(maksimum 0,5 mg) yang diberikan secara intramuskuler setiap 5-15 menit sesuai
kebutuhan. Pemberian intramuskular ke paha anterolateral direkomendasikan
karena memungkinkan penyerapan yang lebih cepat dan tingkat epinefrin plasma
yang lebih tinggi dibandingkan dengan administrasi subkutan atau intramuskular
di lengan atas. Glukagon juga harus dipertimbangkan pada pasien yang
menggunakan beta-blocker. Semua pasien yang menerima epinefrin darurat harus
segera dibawa ke rumah sakit (idealnya dengan ambulans) untuk evaluasi dan
observasi. Idealnya, pasien harus ditempatkan dalam posisi telentang (telentang),
kecuali gangguan pernapasan mengkontraindikasikannya, untuk mencegah atau
menangkal potensi kolaps sirkulasi. Pasien hamil harus ditempatkan di sisi kiri
mereka. Setelah terlentang, pasien tidak boleh diizinkan untuk duduk sampai benar-
benar stabil, karena risiko 'sindrom ventrikel kosong' yang dapat memicu hilangnya
tekanan darah dan kematian yang dalam (Fischer et al. 2018)

Tabel 3 Tanda dan gejala anafilaksis


Bagian tubuh/sistem Tanda dan Gejala
Kulit Urticarial, angioedema, erythema
(flushing), pruritus, eczema
Sistem respiratori Nasal congestion, sneezing, hoarseness,
cough, laryngeal edema, dyspnea,
bronchospasm, wheezing, chest tightness
Sistem Kardiovaskular Hypotension, dizziness syncope,
tachycardia
Tabel 3 Tanda dan gejala anafilaksis (lanjutan)
Bagian tubuh/sistem Tanda dan Gejala
Sistem gastrointestinal Nausea, vomiting, abdominal pain,
diarrhea
Neurologis Lightheadedness, dizziness, confusion
Oropharyngeal Pruritus, tingling, angioedema
Lainnya Sense of impending doom, anxiety

Sianonis: Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah.
Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis
akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang
sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat pada
ujung-ujung jari (Djer dan Madiyono 2000).
Gangguan hemoglobin terdeoksigenasi selanjutnya dibagi menjadi dua kelompok
besar: sianosis sentral dan sianosis perifer. Sianosis sentral terjadi ketika kadar
hemoglobin terdeoksigenasi di arteri di bawah 5 g / dL dengan saturasi oksigen di
bawah 85%. Rona kebiruan umumnya terlihat di seluruh permukaan tubuh dan terlihat
mukosa. Sebaliknya, sianosis perifer biasanya hanya terlihat pada ekstremitas atas dan
bawah dimana aliran darah kurang cepat. Pada sianosis perifer, terdapat perbedaan
yang signifikan pada saturasi antara darah arteri dan vena. Ini terjadi sebagai akibat
dari peningkatan ekstraksi oksigen oleh jaringan perifer di dasar kapiler. Curah jantung
yang rendah, stasis vena, dan paparan suhu dingin yang ekstrim menyebabkan
vasokonstriksi adalah beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sianosis perifer.
Penyebab Umum Sianosis Sentral diantaranya adalah masalah paru-paru, pertukaran
gas yang terganggu akibat pneumonia, ketidakcocokan perfusi embolisme dan
ventilasi, difusi gas yang terganggu melalui alveoli, dataran tinggi, shunt anatomi,
shunt kanan ke kiri pada penyakit jantung bawaan, malformasi arteriovenosa, shunt
intrapulmonal (Adeyinka dan Kondamudi 2018).
Sianosis biasanya terjadi ketika jumlah oksigen yang terikat ke hemoglobin sangat
rendah. Oksigen dalam darah dibawa dalam dua kondisi fisik. Sekitar 2% dilarutkan
dalam plasma dan 98% lainnya terikat pada hemoglobin. Adanya sianosis mungkin
merupakan indikasi pengiriman oksigen yang tidak adekuat ke jaringan perifer.
Biasanya, ketika kadar hemoglobin terdeoksigenasi sekitar 3 sampai 5 g / dL, sianosis
menjadi sangat jelas. Adanya penyakit kuning, warna kulit, suhu lingkungan, atau
paparan cahaya dapat mempengaruhi penilaian sianosis. (Adeyinka dan Kondamudi
2018).

2. Jelaskan tipe-tipe reaksi alergi perdasarkan respon system imun!

Jawaban :
Tipe I hipersensitivitas sebagai reaksi segera atau anafilaksis sering
berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari ketidaknyamanan sampai
kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi oleh IgE yang dikeluarkan dari sel mast
dan basofil.
Hipersensitivitas tipe II muncul ketika antibodi melilit pada antigen sel pasien,
menandai mereka untuk penghancuran. Hal ini juga disebut hipersensitivitas
sitotoksik, dan ditengahi oleh antibodi IgG dan IgM. Kompleks imun (kesatuan
antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan IgM) ditemukan pada berbagai
jaringan yang menjalankan reaksi hipersensitivitas tipe III. hipersensitivitas tipe IV
(juga diketahui sebagai selular) biasanya membutuhkan waktu antara dua dan tiga
hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai autoimun dan
penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact dermatitis. Reaksi
tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofag.
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang
bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan
berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu :
- Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan sel mast
atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya,
sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan
menyebabkan keluarnya mediatormediator kimia seperti histamine dan
leukotrine.
- Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan allergen
penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan
dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan
memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel mast dan akan
mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan allergen akan menyebabkan
pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme pada otot
polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini
antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret),
oedem dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos
yang ditemukan pada anafilaktic shock). Penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh reaksi alergi tipe 1 adalah konjungtivitis, asma, rhinitis dan syok
anafilaktik.

Reaksi Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)} Reaksi alergi


tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh karena
antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada
permukaan sel. Antibodi yang berperan biasanya Ig G. Berikut (gambar 2 dan 3a)
mekanisme terjadinya reaksi alergi tipe II. Penyakit-penyakitnya yang disebabkan
adalah goodpasture (pendarahan paru-paru, anemia), myasthenia gravis (MG),
Immune hemolytic (anemia hemolitik), immune thrombocytopenia purpura,
thyrotoxicosis (Graves’ disease).
Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders) Merupakan reaksi alegi
yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks antigen antibody
berada di jaringan. Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu diketahui
menyebutkan bahwa imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan alergi sering
disebabkan serum (imunisasi) terhadap Dipteri atau tetanus. Penyakitnya ada
malaria, schistosomiasis dan filariasis, hepatitis B, demam berdarah, systemic lupus
erythematosus (SLE), Farmer’s Lung (sesak nafas, batuk).
Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat)} Reaksi ini
dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsik/internal (“self”). Reaksi ini
melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T. Ekstrinsik : nikel,
bhn kimia Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type I
diabetes), Multiple sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis dan TBC (Hikmah dan
Dewanti 2010).

3. Jelaskan perubahan sistem kardiovaskular apa yang terjadi pada Nn F?

Jawaban :
Pada reaksi anafilaktik terjadi pengeluaran mediator-mediator oleh sel mast dan
sel basofil yang bersifat sistemik. Terdapat 3 fase yaitu fase sensitisasi yaitu
individu setelah terpapar bahan alergen dan selanjutnya menghasilkan antibodi IgE
yang dikeluarkan oleh sel B. Kemudian dilanjutkan dengan fase aktivasi yaitu
antibodi IgE akan berikatan dengan reseptor IgE yang terletak pada permukaan sel
mast atau sel basofil. Ikatan antara antibodi IgE dan reseptor tersebut memicu
degranulasi seluler yang akan melepaskan mediator-mediator. Mediator-mediator
yang dilepaskan oleh sel mast dan sel basofil yaitu histamin, triptase, kimase,
carbopeptida A dan mediator lipid melalui sintesis de novo melepaskan mediator
antara lain cysteinyl leucotriene C4 , Prostaglandin D2 dan platelet activating factor
(PAF). Mediator ini dilepaskan oleh sel mast dan sel basofil dalam beberapa menit.
Sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF-α, interleukin-4 (IL-4), IL-6, dan IL-13
akan dilepaskan beberapa jam atau beberapa hari setelah aktivasi sel mast. Fase
efektor merupakan dampak klinis pada syok organ sebagai akibat pelepasan
mediator-mediator tersebut. Distribusi sel mast tersebar luas pada organ dan
jaringan salah satunya di jantung.
Pada jantung sel mast berlokasi di fibrin myocardial, mengelilingi pembuluh
darah dan bagian intima pembuluh darah arteri. Aktivasi sel mast pada jantung
dengan mengeluarkan mediator-mediator oleh karena rangsangan pada sel mast
organ lainnya. Mediator yang akan dikeluarkan sel mast pada jantung yaitu kimase
yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah kimase yang dikeluarkan oleh sel mast
pada paru dan kulit. Selain itu, renin juga dilepaskan akan memicu Sistem rennin-
angiotensin (RAS). Angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II oleh
angiotensin-converting enzyme (ACE). Kimase yang dilepaskan oleh sel mast
jantung dapat berperan sebagai ACE. Angiotensi II akan mengaktifkan reseptor
Angiotensi I pada saraf simpatis yang merangsang sistem adrenergik.
Hiperaktivitas adrenergik dapat merangsang timbulnya aritmia jantung, infark
miokard dan kematian akibat serangan jantung yang disebabkan oleh anafilaksis.
Mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mast pada jantung adalah histamin.
Histamin merupakan mediator utama pada syok anafilaktik. Histamin disintesis
oleh fosfat piridoxal (vitamin B-6) yang mengandung decarboxilase L-histidin
yang berasal dari asam amino histidin. Histamin memiliki 4 reseptor yang tersebar
pada organ target yaitu H1R, H2R, H3R dan H4R. masing-masing reseptor
memberikan efek yang berbeda-beda.
Pada sistem cardiovaskuler efek reseptor H1 bersama dengan H2 adalah
menimbulkan hipotensi dan takikardi oleh karena pelepasan katekolamin yang
menimbulkan terjadinya aritmia dan blok konduksi atrioventrikular. Histamin
dapat menyebabkan penurunan aliran darah arteri koroner dan menyebabkan
spasme yang berat pada arteri koroner. Selain itu, histamine dapat merangsang
pembentukan faktor-faktor jaringan pada sel otot polos vaskular dan sel endotil
yang terdapat pada jantung. Faktor jaringan akan mengaktifkan factor X dalam
pembentukan thrombin.
Sel mast jantung merupakan sumber utama leukotrin sistenil C4 (LTC4) dan
prostaglandin D2 (PDG2). Efek kardiovaskuler yang ditimbulkan LTC4 adalah
peningkatan resistensi vaskular koroner. Efek ini akan menyebabkan kontriksi
pembuluh darah koroner intramural kecil. Efek kardiovaskuler yang dapat
ditimbulkan oleh PDG2 adalah belum jelas namun pada penelitian eksperimental
hewan dapat disimpulkan bahwa eicosanoid dapat memicu kontraksi arteri koroner
dan aritmia jantung. Eicosanoid berperan dalam kontraktilitas otot jantung
sehingga menimbulkan penurunan perfusi jantung. Efek negatif dapat
menyebabkan gangguan fungsi ventrikel yang akan menimbulkan gangguan
hemodinamik yaitu penurunan tekanan darah yang berlanjut dengan syok
anafilaktik.
Platelet activating factor (PAF) merupakan mediator lipid dari anafilaktik yang
merangsang aggregasi mediator seperti tromboxan dan serotonin yang berasal dari
platelet. Platelet activating factor pada jantung dilepaskan tidak hanya oleh sel mast
namun dapat juga dilepaskan oleh sel lain yaitu basofil, neutrofil, eosinofil dan
makrofag. Efek kardiovaskuler yang ditimbulkan oleh PAF yaitu menurunkan
aliran darah koroner dan menganggu kontraktilitas miokardial. Hal ini disebabkan
PAF merupakan mediator yang memiliki efek aritmogenik secara langsung yang
memiliki kapasitas berinteraksi dengan ion chanel pada myokardiosit.
Gangguan irama yang terjadi dapat disebabkan oleh Karena efek dari mediator
yang dilepaskan saat terjadinya syok anafilaktik yaitu dapat disebabkan
pengeluaran histamin, eicosanoid dan PAF.2,7 Diagnosis anafilaktik ditegakkan
berdasarkan gejala klinis yang muncul segera setelah terpajan alergen atau faktor
pencetus lainnya. Syok anafilaktik termasuk kondisi kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan yang cepat dan tepat untuk mencegah kematian (Pemayun
dan Suryana 2019).

4. Jelaskan mengapa pada pasien Nn F diberikan epinefrin? Apa yang mungkin terjadi
pada pasien bila tidak ditangani segera?

Jawaban :
Pasien mengalami syok anafilaksis yang memiliki manifestasi sistem
kardiovaskular berupa takikardia supraventricular unstable. Hal ini kemudian
diatasi dengan emberian epinefrin. Pemberian epinefrin merupakan terapi utama
pada kondisi yang dialami Ny F, yaitu gangguan ABC akibat syok anafilaksis.
Epinefrin dapat meningkatkan c-AMP pada sel mast dan basofil yang akan
memperbaiki permeabilitas membrane. Hal ini kemudian dapat menghambat
sintesis dan pelepasan histamin dan menjadi mediator lainnya serta akan
memperbaiki kontraksi otot jantung, vasokontriksi perifer dan dilatasi bronkus
(Pemayun dan Suryana 2019). Jika tidak ditangani segera, maka pasien akan
mengalami komplikasi syok anafilaktik diantaranya gagal ginjal, aritmia, setangan
jantung, kerusakan otak, syok kardiogenik

5. Edukasi apa yang harus disampaikan pada pasien agar gejala tidak berulang?

Jawaban :
Diberikan edukasi bahwa syok anafilaktik dapat kembali terjadi sehingga perlu
pencegahan konsumsi yang lebih ketat. Edukasi pada pasien dan keluarga untuk
meningkatkan pengetahuan pasien tentang reaksi alergi yaitu syok anafilaktik
sebagai respon tubuh. Selain itu, edukasi mengenai zat-zat yang dapat memicu
timbulnya reaksi anafilaktik diantaranya 1) Makanan meliputi kacang-kacangan,
putih telur, susu, dan biji-bijian; 2) Sengatan serangga : tawon, lebah, semut api; 3)
protein : streptokinase, insulin, vaksin, lateks; 4) Antibiotika : penisilin,
sepalosporin, sulfametoksazol, trimethoprim, fluorokuinolon, vankomisin; 5)
bahan diagnostic atau terapi : media kontras radiografi, zat warna fluoresin,
immunoglobulin (Pemayun dan Suryana 2019).

6. Teman Nn F juga digigit serangga yang sama, namun gejala yang timbul hanya
sedikit bentol dan gatal pada bekas gigitan. Mengapa responnya bisa berbeda
dengan Nn F?

Jawaban :
Reaksi alergan berbeda-beda pada setiap orang tergantung sistem imunnya.
Semakin lemah sistem imun seseorang maka orang tersebut semakin rentan untuk
terkena penyakit (Wijanartko dan Saturti 2016). Reaksi alergi melibatkan antibodi,
limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam sistem imun yang
berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan (Hikmah dan
Dewanti 2010). Reaksi alergi dapat melepaskan histamin yang bisa menimbulkan
gejala klinis ringan hingga berat. Gejala ringan diantaranya urtikaria,
pembengkakan dan gatal di kulit. Gejala berat diantaranya urtikaria, angioedema,
muntah, nyeri perut, diare hingga anafilaksis yang dapat menyebabkan kematian
(Li et al. 2017).
Teman Nn F tidak menunjukkan gejala berat akibat sengatan serangga, hal ini
dapat terjadi karena sistem imun teman Nn F lebih baik dari sistem imun Nn F.
Sistem imun teman Nn F bereaksi secara normal terhadap alergan jenis serangga
sehingga hanya menimbulkan gejala ringan seperti timbul sedikit bentol dan gatal
pada bekas gigitan. Berbeda dengan Nn F, gejala alergan diperparah karena Nn F
menderita asma dan alergi cuaca dingin yang dapat menimbulkan gatal-gatal.
Kondisi ini memicu gejala alergi yang parah karena sengatan serangga pada Nn F.

7. Bagaimana tatalaksana gizi yang anda anjurkan untuk Nn F?

Jawaban :
Tatalaksana gizi untuk Nn F adalah dengan mengonsumsi makanan yang
bersifat anti alergan seperti yoghurt dan buah-buahan. Ninomiya et al. (2010)
melaporkan bahwa buah stroberi mengandung senyawa aktif linocinnamarin dan
cinnamic acid yang mampu menghambat stimulasi antigen degranulasi,
menghambat reaksi alergi, terutama alergi tipe I (hipersensitifitas). Penelitian
tersebut dilanjutkan oleh Iwamoto et al. (2012) yang melaporkan bahwa buah
stroberi mengandung gliseraldehida-3-fosfat dehidrogenase (GAPDH) yang
mampu menekan produksi IgE pada kondisi alergi secara in vitro. Pemberian obat
juga diperlukan pada Nn F yang mengalami gatal-gatal pada seluruh tubuh atau
urtikaria, Penatalaksanaan utama pada semua bentuk urtikaria adalah pemberian
antihistamin dengan pilihan utama antihistamin H1 untuk mengurangi rasa gatal
(Vella et al 2010).
TUBERKULOSIS

Seorang laki-laki berusia 15 tahun datang ke dokter perawatan utamanya


dengan sering batuk, penurunan berat badan, kelelahan, dan keringat malam
selama empat bulan. Dua bulan lalu dia dirawat karena bronkitis yang tidak kunjung
sembuh. Cardiothorax ro-nya menunjukkan infiltrat lobus kanan atas yang luas dan
beberapa lesi kavitas (berongga). Pasien diduga menderita Tuberkulosis dan
dilakukan tes kulit Tuberkulin yang dibaca dalam 30 menit. Pasien dirujuk ke dokter
spesialis paru anak. Ahli paru mengumpulkan spesimen dahak dan didapat hasil yang
positif mengandung banyak Bacillus tahan asam. Pasien diresepkan regimen
pengobatan TB dengan rencana kontrol dalam 2 bulan.
Pasien didampingi oleh ibu dan saudara laki-lakinya yang berusia 5 bulan. Bayi
tersebut tampak sehat tanpa tanda dan gejala TB.
ASSESSMENT

2.1 Identitas Pasien


Nama : Os
Umur : 15 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

2.2 Antropometri
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-
IMT :-
Perhitungan :-
Kesimpulan :-

2.3 Biokimia
Pemeriksaan laboratorium memberikan gambaran kelebihan serta gangguan
metabolisme zat gizi secara objektif, sehingga berfungsi sebagai salah satu cara untuk
mengidentifikasi masalah gizi dan digunakan sebagai penunjang untuk pemeriksaan.
Berikut merupakan hasil pemeriksaan laboratorium pasien.

Tabel 1 Hasil pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Spesimen dahak Positif mengandung banyak Tuberkulosis
Bacillus tahan asam
Sumber : Willy (2019).

2.3 Klinis
Pemeriksaan klinis atau pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan oleh ahli
medis pada tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit. Hasil pemeriksaan
dicatat dalam rekam medis. Rekam medis dan pemeriksaan klinis membantu dalam
penegakan diagnosis. Berikut hasil pemeriksaan klinis dan fisik pasien.

Tabel 2 Hasil pemeriksaan klinis dan fisik


Pemeriksaan Hasil Kondisi Keterangan
Normal
Sering batuk
Tabel 2 Hasil pemeriksaan klinis dan fisik (lanjutan)
Pemeriksaan Hasil Kondisi Keterangan
Normal
Penurunan BB Anorexia
Kelelahan
Keringat malam
Cardiothorax ro Infiltrat lobus kanan atas Tuberkulosis
yang luas
beberapa lesi kavitas Tuberkulosis
(berongga).

Kesimpulan:
Pemeriksaan klinis pada pasien menunjukkan bahwa pasien mengalami sering
batuk, penurunan berat badan, kelelahan, dan keringat malam selama empat bulan.
Pemeriksaan klinis pada cardiothorax pasien mengalami infiltrat lobus kanan atas yang
luas dan beberapa lesi kavitas (berongga

2.5 Diet
-

PROBLEM LIST

Penderita tuberkulosis mengalami beberapa gangguan dalam tubuh. Berikut


merupakan daftar gangguan yang dialami pasien dan patogenesis terjadinya gangguan
tersebut.

Tabel 3 Problem List


No. Problem list Patogenesis
Penyakit utama
1 Tuberkulosis Penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Myobacterium tuberculosis yang
berbentuk basil dan bersifat tahan asam
(Basil Tahan Asam/BTA) (Darliana
2018).

Faktor risiko/penyakit penyerta


2. Jenis Kelamin (Laki- Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
laki) laki-laki lebih sering terkena tuberculosis
diabandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan oleh laki-laki memiki
aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan sehingga gangguan
Tabel 3 Problem List (lanjutan)
No. Problem list Patogenesis
terpaparnya lebih tinggi (Wulandari
2016).
Tanda dan gejala
3. Sering batuk Batuk merupakan gejala khas penyakit
tuberculosis akibat terkonfimasi bakteri
(Wijaya 2017).
4. Penurunan berat Infeksi yang terjadi pada pasien
badan tuberculosis mengakibatkan penurunan
asupan dan malabsorpsi nutrient serta
perubahan metabolism tubuh sehingga
terjadi proses penurunan massa otot da
lemak (wasting) sebagai manifestasi
malnutrisi energi protein (Pratomo et al.
2017).
5. Kelelahan Pola napas yang tidak efektif
menyebabkan keletihan otot sehingga
meningkatkan kelelahan otot pernapasan
(Rofi’I 2018).
6. Keringat malam Keringat pada malam hari berkaitan
dengan irama sirkadian tubuh. Dalam
keadaan normal (tidak sedang sakit
sekalipun), suhu tubuh paling rendah pada
dini hari (36,1 derajat selsius) dan paling
tinggi saat petang. Peningkatan
termoregulator di hipotalamus akibat
respon dari kerja magrofag, tubuh akan
meningkatkan suhu tubuh. Setelah
keadaan ini tercapai, tubuh akan erusaha
mmengeluarkan kelebihan tubuh dalam
bentuk keringat (Pediatri 2019)
7. Infiltrasi bolus Infiltrasi atau bercak terdapat banyak
pada bolus bagian bawah atau bagian atas.
Bercak yang terbentuk diakibatkan oleh
keberadaan bakteri Myobacterium
tuberculosis (Soedarsono dan Widoretno
2017).
8. Lesi kavitas Kavitas pada tuberculosis paru
merupakan hasil dari proses pengkejuan,
nekrosis dan fibrosis. Kavitas yang
terbentuk merupakan tempat yang sesuai
untuk berkembangnya berbagai
organisme termasuk jamur kerena
Tabel 3 Problem List (lanjutan)
No. Problem list Patogenesis
mengandung cukup banyak oksigen dan
jaringan nekrosis (Soedarsono dan
Widoretno 2017).
DIAGRAM ALIR

Infiltrasi Pola napas Kelelahan


lobus tidak ideal otot
pernapasan

Lesi
kavitas Myobacterium tuberculosis Sering batuk

Berbentuk basil Penurunan asupan

Magrofag
bekerja Bakteri tahan asam Malabsorpsi nutrient

Peningkatan
Basil Tahan Asam/BTA Perubahan metabolisme
termoregulator
di hipotalamus
Penurunan massa otot
Tubuh Tuberkulosis dan lemak
meningkatkan Penurunan asupan
suhu
Risiko Malnutrisi energi
terpaparnya protein
Mengeluarkan lebih tinggi
kelebihan suhu
Wasting
tubuh
Aktivitas
Keringat lebih
malam tinggi

Laki-laki

Faktor risiko

Sumber : (Darliana 2018); (Pratomo et al. 2017); (Rofi’I et al. 2018); (Pediatri 2019);
(Soedarsono dan widoretno 2017); (Wulandari 2016).
JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa patofisiologi penyakit pasien?

Jawaban :
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. TB paling
banyak menyerang organ paru-paru, namun sekitar 20% dapat melibatkan organ
tubuh lainnya, termasuk lesi pada saluran gastrointestinal, saluran genitourinarius,
sistem kardiovaskular, kulit, sistem saraf pusat, dan mata. Faktor risiko terjadinya
TB ekstra paru, termasuk TB okular, adalah infeksi HIV, usia muda, jenis kelamin
perempuan, dan ras-non kulit putih. Tuberkulosis (TB) paru disebabkan karena saat
batuk, bersin maupun berbicara, percikan ludah atau dahak yang keluar dari mulut
penderita tuberkulosis (TB) paru menyebar ke udara (Kenedyanti dan Sulistyorini
2017).
Pada awalnya keluhan sering dijumpai anak adalah penurunan berat badan
atau tidak bertambah dengan disertai kehilangan nafsu makan sehingga anak
terlihat lemas (malaise). Mungkin anak tersebut juga sering berkeringat dan batuk
serta mengi ringan. Biasanya, batuknya kering sehingga sulit untuk memperoleh
sputum. Anak-anak yang menderita tuberkulosis hampir tidak pernah batuk darah
atau ditemukan darah pada air liurnya. Keluhan sistemik seperti demam, keringat
malam, anoreksia, dan aktivitas berkurang jarang ditemukan (Nuriyanto 2018).
Bakteri ini sangat berperan dalam penularan dan penyebab terjadinya penyakit
tuberkulosi (TB) paru jika bakteri yang melayang di udara tersebut terhirup oleh
manusia sehat. bakteri yang terhirup akan masuk ke alveoli melalui jalan nafas,
alveoli adalah tempat bakteri berkumpul dan bakteri mulai memperbanyak diri.
Mycobacterium tuberculosis juga dapat masuk ke bagian tubuh lainnya melalui
system limfe dan cairan tubuh. Sistem imun dan system kekebalan tubuh akan
merespon dengan cara melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menekan bakteri, dan
limfosit spesifik tuberculosis menghancurkan bakteri dan jaringan normal. Reaksi
jaringan tersebut menimbulkan penumpukan eksudat di dalam alveoli yang bisa
mengakibatkan bronchopneumonia. Setelah pemajanan biasanya terjadi infeksi
awal pada 2 sampai 10 minggu (Kenedyanti dan Sulistyorini 2017).
Mycobacterium tuberkulosis (MTB) masuk ke dalam saluran pernafasan
melalui droplet dan sampai di alveolus dimana terdapat makrofag dan dendritik sel.
Proses berikutnya adalah fagositosis MTB oleh makrofag dan dendritik sel.
Makrofag dan dendritik sel kemudian mengeluarkan sitokin proinflamatori seperti
IL-12 dan IL-18. Proses inflamasi ini memicu datangnya monosit dan
memfagositosis kuman yang masih hidup. Di dalam makrofag, MTB menghambat
pertemuan antara fagosom dan lisosom sehingga makrofag hancur sedangkan MTB
bertumbuh. TNF- terbentuk dan memicu respon hipersensitivitas tipe lambat yang
akan menghancurkan makrofag dengan MTB di dalamnya. Sebagai hasilnya, akan
terbentuk sentral nekrosis kaseosa yang dikelilingi oleh makrofag aktif, sel T, dan
sel imun lainnya. Jika respon imun tubuh buruk, maka MTB dapat bermultiplikasi
dan beberapa akan masuk ke dalam sistem limfatik dan sirkulasi menuju ke organ
– organ lain, termasuk mata. Sebaliknya, jika respon imun tubuh baik, maka MTB
akan dimakan oleh sel T sebelum dapat bermultiplikasi dan menyebar (Astari
2019).

2. Jelaskan tentang tes tuberkulin: tujuan, prosedur, interpretasi!

Jawaban :
Tujuan tes tuberkulin adalah menentukan apakah seseorang terinfeksi M.
tuberculosis. Reaksi hipersensitivitas tipe delayed dapat terdeteksi dalam 2-8
minggu setelah infeksi saat seseorang terinfeksi kuman TB. Tes kulit tuberkulin ini
dilakukan dengan injeksi intradermal secara teknik Mantoux menggunakan 0,1 ml
dari 5 TU larutan purified protein derivate (PPD). Interpretasi dan pembacaan
dilakukan dalam 48-72 jam setelah injeksi. Tes ini tidak perlu pada seseorang yang
memilki riwayat positif TKK atau pengobatan TB. Interpretasi hasil TKK untuk
reaksi TKK indurasi lebih dari 5 mm dinilai positif pada yaitu 1) orang dengan
infeksi HIV; 2) Kontak dengan orang dengan penyakit TB infeksius dalam waktu
dekat; 3) orang dengan perubahan fibrotic pada radiografi thorax yang konsisten
dengan riwayat TB; 4) pasien transplantasi organ dan kondisi imunosupresi
(termasuk pengguna prednison ekuivalen lebih dari 15 mg/hari selama 1 bulan atau
lebih atau menggunakan antagonis TNF-alpha). Reaksi TKK indurasi lebih dari 10
mm dinilai positif pada 1) riwayat dari daerah yang tiggi prevalensi TB; 2)
penyalahguna obat injeksi; 3) orang uang bertempat tinggal atau bekerja di tempat
yang berisiko tinggi, seperti fasilitas rehabilitasi jangka panjang, rumah sakit, san
pelayanan kesehatan lain, tinggal bersama dengan HIV/AIDS; 4) petugas
labiratorium mikobakteriologi; 5) anak usia kurang dari 5 tahun; 5) bayi, anak, dan
remaja yang terpapat orang dewasa yang tergolong risiko tinggi. Reaksi Tkk
indurasi lebih dari 15 mm dinilai positif pada orang yang memiliki faktor risiko TB
(Wijaya 2017).

3. Apa regimen utama TB dan apa kemungkinan efek samping obat TB?

Jawaban :
Regimen utama pada pasien TB dapat ditunjukkan melalui tabel berikut ini.

Tabel 4 Regimen utama pada pasien TB


Regimen obat Dosis pada anak Dosis Maksimal
Isoniazid setiap hari 10 mg/kgBB 300 mg
selama 6 atau 9 bulan
Rifampisin setiap hari 10 mg/kgBB 600 mg
selama 4 bulan
Isoniazid + rifapentine Isoniazid : 15 mg/kgBB Isoniazid = 900 mg
setiap minggu selama 3 Rifapentine Rifapentin = 900 mg
Tabel 4 Regimen utama pada pasien TB (lanjutan)
Regimen obat Dosis pada anak Dosis Maksimal
bulan (12 dosis) 10,0-14,0 kg = 300 mg Rifapentin = 900 mg
14,1-25,0 kg = 450 mg
25,1- 32,0 kg = 600 mg
32,1- 49,9 kg = 750 mg
≥50,0 kg = 900 mg
Sumber : Prasetyo (2019).

Efek samping dari obat TB adalah terjadinya default salah satu faktotr risiko.
Efek samping obat anti tuberculosis yang sering muncul adalah kehilangan nafsu
makan, mual sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa terbakar di kaki dan
warna kemerahan pada air seni. Efek samping yang lebih berat yang terjadi adalah
gatal dan kemerahan pada kulit, tuli, gangguan keseimbangan, gangguan
penglihatan, icterus tanoa penyebab lain, bungung dan muntah-muntah hingga
purpura dan renjatan atau syok. Timbulnya efek samping ini kemudian
meningkatkan morbiditas dan mortilitas sebagai maslah yang sangat serius.
putusnya terapi akibat timbulnya efek samping akan menimbulkan 3 resistensi
kuman sehingga memperkuat beban penyakit dan bebean pasien itu sendiri. Oleh
karena itu, salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB adalah kepatuhan pasien
(Seniantara et al. 2018).

4. Apa yang akan Anda sarankan kepada ibu pasien tentang putranya yang bayi?

Jawaban :
Resiko penularan TB Paru pada keluarga sangatlah beresiko, terutama pada
balita dan lansia. Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan keluarga untuk
pencegahan penularan TB paru sebagai berikut; 1) Menjauhkan anggota keluarga
lain dari penderita TB Paru saat batuk, 2) Menghindari penularan melalui dahak
pasien penderita TB Paru, 3) Membuka jendela rumah untuk pencegahan penularan
TB Paru dalam keluarga, 4) Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan
penularan TB Paru dalam keluarga (Lailatul et al. 2015).

5. Apa rencana diet Anda untuk pasien?

Jawaban :
Diet yang dapat diberikan untuk pasien adalah diet tinggi karbohidrat tinggi
protein (TKTP) (Ingi 2019). Pada pasien tuberkulosis paru asupan energi harus
diperhatikan, terutama pada pasien yang mengalami kekurangan berat badan.
Pasien tuberkulosis paru harus mendapatkan asupan energi yang tinggi yaitu 35 –
40 kkal per kilogram berat badan ideal. Asupan energi ini digunakan untuk
mencapai berat badan ideal pada pasian tuberkulosis paru (Saskia dan Grede 2002).
Pada pasien tuberkulosis paru asupan protein yang tinggi sangat diperlukan
untuk menggantikan sel – sel yang rusak dan meningkatkan kadar serum albumin
yang rendah. Jumlah asupan protein yang dianjurkan untuk pasien tuberkulosis
paru adalah sesuai dengan diet energi tinggi protein tinggi yaitu 2,0 – 2,5 gram per
kilogram berat (Almatsier 2009). Pemberian diet melalui oral dengan bentuk
makanan lunak.
Sumber karbohidrat yang dianjurkan untuk diet pasien TB adalah nasi, roti,
mie, macaroni, dan hasil olah tepung-tepungan lain, seperti, cake, tarcis, pudding,
pastri, dodol, ubi, dan karbohidrat sederhana seperti gula pasir. Sumber protein
yang dianjurkan untuk diet pasien TB adalah Daging sapi, ayam, ikan, telur, susu,
dan hasil olah seperti keju dan yoghurt custard dan es krim. Sumber protein ini
tidak dianjurkan dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan kental (Ingi
2019).
DAFTAR PUSTAKA

Adeyinka A, Kondamudi NP. 2018. Cyanosis. Treasure Island (FL): StatPearls


Publishing LLC.
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Astari P. 2019. Tuberkulosis intraocular. Nusantara Medical Science Journal. 4(1):1-
6.
Darliana D. 2018. Manajemen pasien tuberculosis paru. Idea Nursing Journal. 2(1):27-
31.
Djer MM, Madiyono B. 2000. Tatalaksana penyakit jantung bawaan. Sari Pediatri.
2(3): 155-162.
Fischer D, Leek TKV, Ellis AK, Kim H. 2018. Anaphylaxis. Allergy, Asthma and
Clinical Immunology. 14(2): 64-70.
Hikmah N, Dewanti DAR. 2010. Seputar reaksi hipersensitivitas (alergi).
Stomatognatic. 7(2):108-112.
Hikmah N., Dewanti I. D. A. R. 2010. Seputar reaksi hipersensitivitas (alergi). Jurnal
Stomatognatic.7(2):108-120.
Ingi M. F. 2019. Asuhan gizi terstandar pada pasien tuberkulosis paru di ruang rawat
inap RSUD. Prof. Dr. W. Z. Johanes Kupang [kayra tulis ilmiah]. Kupang (ID):
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Iwamoto A., Kazuhiro M., Aiko I., Tamaki K. 2012. Purification and Identification of
an IgE Suppressor from Strawberry in an in vitro Immunization System.
Cytotechnology. 64(3):309-14.
Kayiran MA, Akdeniz N. 2019. Diagnosis and treatment of urticarial in primary care.
North Clinics of Istanbul. 6(1):93-99.
Keneyanti E, Sulistyorini L. 2017. Analisis mycobacterium tuberculosis dan kondisi
fisik rumah dengan kejadian tuberculosis paru. Jurnal Berkala Episemiologi.
5(2): 152-162.
Lailatul N. M., Rohmah S., Wicaksana A. Y. 2015. Upaya keluarga untuk mencegah
penularan dalam perawatan anggota keluarga dengan TB Paru. Jurnal
Keperawatan. 6(2): 108-116.
Li X., Xie Y., Zhou J. 2017. Food allergy management and nutrition strategies. In
Advances in Health and Disease. Volume 1 (pp. 137–172).
Nankervis H, Thomas KS, Delamere FM, Barbarot S, Rogers NK, Williams NC. 2016.
Scoping systematic review of treatments for eczema. NIHR Journals Library.
1(47): 1-12.
Ninomiya M., Tomohiro I., Suguru I., Miho S., Kenji N., Masaharu Y., Kaneyuki K.,
Yoshinori N., Mamoru K. 2010. Phenolic Constituents Isolated from Fragaria
ananassa Duch Inhibit Antigen-Stimulated Degranulation through Direct
Inhibition of Spleen Tyrosine Kinase Activation. Bioorganic & Medical
Chemistry. 18(16):5932–5937.
Nuriyanto AR. 2018. Manifestasi klinis, penunjang diagnosis dan tatalaksana
tuberkulosis paru pada anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. 1(2): 62-
70.
Pediatri S. 2019. Epidemiologi tuberkulosis. Jurnal Kartasasmita. 11(2):124-129.
Pemayun TPD, Suryana K. 2019. Seorang penderita syok anafilaktik dengan
manifestasi takikardi supraventriular. Jurnal Penyakit Dalam Udayana. 3(2):
41-45.
Prasetyo A. 2019. Tatalaksana terkini infeksi laten tuberculosis pada anak. 46(2):273-
265.
Pratomo IP, Burhan E, Tambunan V. 2017. Manutrisi dan tuberkulosis. Jurnal
Indonesia Medical Assosiation. 62(6):230-237.
Quirt J, Hildebrand KJ, Mazza J, Noya F, Kim H. 2018. Asthma. Allergy, Asthma and
Clinical Immunology. 12(2): 50.
Rofi’i M, Warsito BE, SantosoA, Ulliya S. 2018. Diagnosa keperawatan yang sering
ditegakkan perawat pada pasien tuberculosis paru di rumah sakit. Jurnal
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. 1(2):1-8.
Saskia de Pee and Nils Grede. 2002. Food and Nutrition in TB Programming–Rationale
and Practice.
Seniantara IK, Ivana T, Adang YG. 2018. Pengaruh efek samping oat(obat anti
tuberculosis) terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tbc di puskesmas.
Jurnal Keperawatan Suakan Insan. 3(2):1-12.
Soedarsono, Widoretno ETW. 2017. Aspergilloma pada tuberculosis paru. Jurna
Respirasi. 3(2):58-65.
Tupper J. 2010. Anaphylaxis. Canadian Family Physician. 56(10): 1009-1011.
Vella, Widiasmara D., Hutomo M. 2010. Urtikaria - Studi retreospektif. Jurnal Berkala
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 22(3).
Wijanarko S. I., Saturti T. I. A. 2016. Reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Bali(ID):
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Wijaya VN. 2017. Infeksi tuberkulosisi laten-diagnosis dan tatalaksana. Cermin Dunia
Kedokteran. 44(10): 257-260.
Willy T. 2018. Takikardia. Tersedia pada link: https://www.alodokter.com/takikardia
Willy T. Kenali ap aitu pemeriksaan BTA [diakses pada 25 April 2021]. Tersedia pada:
https://www.alodokter.com/kenali-apa-itu-pemeriksaan-bta
Wulandari DH. 2016. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
pasien tuberculosis paru tahap lanjutan untuk minum obat di rs rumah sehat
terpadu tahun 2015. Jurnal Adriministrasi Rumah Sakit. 2(1):17-29.

Anda mungkin juga menyukai