PENDAHULUAN
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa
pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet.
A. DEFINISI
Alergi adalah gangguan yang disebabkan oleh penglepasan IgE dari sel mast dan basophil
yang terpapar antigen (alergen). Gangguan ini meliputi anafilaksis, alergi rhinitis, urtikaria,
asma dan dermatitis (atopik).
Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang
diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal
pada hidung dan mata. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar
10-25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.
Reaksi pseudoallergic (juga disebut reaksi hipersensitivitas non-alergi) adalah reaksi obat
yang menunjukkan tanda-tanda klinis dan gejala reaksi alergi, tetapi tidak imunologi. Mereka
dapat bermanifestasi gejala seperti yang relatif jinak atau parah, peristiwa yang mengancam jiwa
dibedakan dari anafilaksis. Respon terakhir ini digambarkan sebagai reaksi anafilaktoid karena
menyerupai anafilaksis benar, tetapi tidak melibatkan pembentukan IgE-antibodi. Risiko reaksi
yang parah seperti perlu dipertimbangkan ketika meresepkan agen diketahui terkait dengan
reaksi anafilaktoid. Misalnya, penggunaan profilaksis antibiotik seperti ciprofloxacin untuk
mencegah infeksi meningokokus selama wabah dikaitkan dengan tingkat yang relatif tinggi (1:
1.000) reaksi anafilaktoid serius. Ini akan menjadi penting berpotensi lebih besar dalam
pengaturan program profilaksis massa untuk memerangi paparan anthrax. Tidak seperti reaksi
alergi yang benar, yang memerlukan periode induksi selama pasien menjadi peka terhadap
antigen, reaksi pseudoallergic dapat terjadi pada paparan pertama yang obat. Perkembangan
reaksi pseudoallergic dapat dosis terkait, mewujudkan ketika dosis besar obat yang diberikan,
ketika dosis meningkat, atau ketika tingkat administrasi IV meningkat. C.C. telah mengalami
reaksi pseudoallergic umum untuk vankomisin, biasanya disebut sebagai "orang merah sindrom"
atau "sindrom leher merah," yang terutama terjadi ketika dosis besar vankomisin diberikan
dengan cepat. Membedakan antara respon alergi benar dan respon pseudoallergic bisa sulit
karena tanda-tanda dan gejala dapat dibedakan.
B. PATOFISIOLOGI
Mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel
B dan sel T. Aktivasi berlebih oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan
suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Mekanise imun yang
mendasari terjadinya alergi adalah mekanisme tipe I klasifikasi Gell dan Coomb yang diperankan
oleh IgE.
Paparan awal, alergen akan dikenali oleh sel antigen (APC) untuk selanjutnya
mengekpresikan pada sel limfosit T secara langsung atau melalui sitokin. Pada fase akut set T
heler (Th2) memproduksi macam-macam sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Sitokin menginduksi
switching pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi endotel sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe cepat. Sel limfosit T tersensitisasi akan merangsang sel limfosit B
menghasilkan antibodi dari berbagai kelas. Alergen yang utuh diserap oleh usus dan mencapai
pembentukan antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus dan membentuk
imunoglobin tipe IgG, IgM, IgA dan IgE. Kombinasi alergen dengan paparan alergen berikutnya
adalah dua molekul IgE yang terikat pada reseptornya akan mengalami degranukasi dan
mengeluarkan mediator yang sudah ada dalam sel seperti histamin, neutrophil, dan mediator
yang terbentuk kemudian seperti mediator yang terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat.
Metabolisme asam arikidonat terdiri dari jalur sikloosigenase dan jalur lipoksigenase yang
masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi proses
inflamasi.
C. DIAGNOSIS
Riwayat akurat gejala yang terkait dengan pemaparan polen dari tanaman pada tempat tertentu,
perhatian khusus harus dilakukan pada penyebab potensial lainnya yang mensensitisasi
antigen seperti hewan peliharaan.
Pemeriksaan fisik : mukosa nasal mungkin berair atau merah (eritema) ; mungkin ada
polip; konjungtiva mungkin inflamasi atau edema; manifestasi kondisi alergi lain (seperti
asma, eksim) dapat terjadi.
Tes kulit (Skin Test) terhadap Ag yang terhisap atau termakan
Apus nasal (Nasal Smear) dapat merangsang pelepasan sejumlah besar eusinofil.
Total dan spesifik serum IgE mungkin meningkat.
D. TERAPI
1. Terapi nonfarmakologi
Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus alergi.
Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu mengenali pemicu alergi
karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat sulit disembuhkan, hanya mampu dijaga
agar tidak muncul. Pengenalan pemicu ini sangat penting dalam penanganan reaksi
anafilaksis khususnya karena dengan menghindari pemicu, kematian dapat terhindarkan.
2. Terapi farmakologi
Obat antihistamin dan antiserotonin, serta penghambat sel mast adalah pilihan untuk
terapi alergi. Antihistamin generasi lama selalu menimbulkan efek samping
sedasi/mengantuk, seperti: klorfeniramin maleat (CTM), dimenhidrinat, triprolidin, dan
prometasin. Antihistamin generasi baru sebagian besar tidak menimbulkan rasa ngantuk,
seperti: astemisol, loratadin, terfenadin, dan cetrisin. Sementara itu, satusatunya antiserotonin
yang dipasarkan adalah siproheptadin. Obat ini selain menghambat alergi juga dikenal
sebagai pemicu nafsu makan. Penghambat sel mast yang dipasarkan adalah sodium
kromoglikat.
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS 4
IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. T
Umur : 50 tahun
Alamat :-
Pekerjaan :-
Sosial :
RIWAYAT SOSIAL : -
RIWAYAT ALERGI: -
Gangguan saluran
3. Ekstrak Mengatasi rinitis
pernapasan, terutama 25 mg ektrak
butterbur 1 Oral - - alergi musiman
untuk batuk, batuk rejan 2x sehari
kapsul dan parenial
dan asma bronkial
ASSASMENT
Problem Medik Subyektif Objektif Terapi DRP
H1N1 Batuk Respiratory Rate: 25 Zanavimir Terapi tidak tepat
Pilek Suhu tubuh: 39C
Nyeri otot Weight: 65 kg
Nyeri Height: 165 cm
tenggorokan TD : 100/90 mmHg
Influenza Pusing/ sakit
Like Ilness kepala Polifarmsi
Mata berkunang-
(ILI) kunang
Sesak nafas
Susah menelan
Mual, muntah
Diare
Fatique
Nyeri sendi
Pneumonia Demam Leukosit, RR Ciprofloxaxin Terapi tidak tepat
KIE
1. Menyarankan pasien untuk pindah tempat tinggal karena tempat tinggalnya sekarang
dapat memperparah rinitis alerginya dan menyebabkan batuk pada pasien akibat asap
rokok.
2. Menyarankan pada pasien untuk tidak melakukan aktivitas berat selama penyembuhan.
3. Jauhkan diri dari jangkau binatang yang dapat mengakibatkan terjadinya rhinitis alergi
seperti kucing.
4. Memberikan informasi dan peringatan akan efek samping obat yang dapat timbul akibat
penggunaan obat.
MONITORING
1. Monitoring efek samping obat
2. Monitoring terhadap gejala yang menyertai rhinitis alergi.
Monitoring kepatuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2009. Koda-Kimble and Youngs Applied
Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams & Wilkins.
Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9.
Jakarta : EGC
Dezugman, MD., et.al., Allergic Rhinitis Guidline for Clinical Care. 2013. Michigan: University
of Michigan.
Dipiro, Joseph T., Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7th Edition. 2008. New
York: Mc. Graw Hill Medical.
Sukandar,Y.Elin. 2013. ISO Farmakoterapi Buku 1. Edisi 2, PT.ISFI Penerbitan; Jakarta Barat