Anda di halaman 1dari 99

PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PESTISIDA NABATI

OLEH PETANI HORTIKULTURA DI DESA SIDOKERTO,


KECAMATAN SIDOREJO, KABUPATEN MAGETAN

SINTA HERIAN PAWESTRI

DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengambilan


Keputusan Inovasi Pestisida Nabati oleh Petani Hortikultura di Desa Sidokerto,
Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Sinta Herian Pawestri


NIM. I34120075
ABSTRAK

SINTA HERIAN PAWESTRI. Pengambilan Keputusan Inovasi Pestisida Nabati oleh


Petani Hortikultura di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan.
Dibimbing oleh DWI SADONO dan ASRI SULISTIAWATI.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor yang berhubungan dengan


tahapan pengambilan keputusan, menjelaskan proses pengambilan keputusan, serta
menganalisis faktor yang berhubungan dengan tahapan proses pengambilan keputusan
inovasi pestisida nabati oleh petani hortikultura di Desa Sidokerto, Magetan, Jawa
Timur. Penelitian ini melibatkan 44 petani dipilih secara acak tak proporsional dan
informan yang dipilih secara sengaja. Pengumpulan data primer menggunakan
kuesioner dan wawancara mendalam, serta didukung dengan data sekunder. Data
dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat kekosmopolitan, tingkat
keinovatifan, dan tingkat dukungan kelompok memiliki hubungan positif dengan
tingkat pengetahuan sedangkan umur, pekerjaan utama, dan lama usaha memiliki
hubungan negatif dengan tingkat pengetahuan. Tingkat kesesuaian, tingkat
kemungkinan dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati memiliki hubungan positif
dengan tingkat persuasi. Kualitas hortikultura memiliki hubungan positif dengan
tingkat konfirmasi. Saluran antarpribadi dan kelompok memiliki hubungan positif
dengan semua tingkat pengambilan keputusan. Setiap tingkat pengambilan keputusan
berhubungan positif dengan tingkat selanjutnya.

Kata kunci: hortikultura, inovasi, pengambilan keputusan, perlindungan tanaman,


pestisida nabati

ABSTRACT

SINTA HERIAN PAWESTRI. Decision Making of Biopesticide Innovation by


Horticulture Farmers at Desa Sidokerto, Sidorejo Subdistrict, Magetan Regency.
Supervised by DWI SADONO and ASRI SULISTIAWATI.

The objectives of this research were to explain factors related to the decision-
making, to explain decision-making process, and also to analyze the factors correlated
with the decision making process of biopesticide at Desa Sidokerto, Magetan. This
study involved 44 respondents selected by disproportionate random sampling
technique and informants selected purposively. Primary data had been collected using
questionnaire and in-depth interview, supported by secondary data. The data was
analyzed by Rank Spearman correlation test. The result shows that education level, the
width of the farming land, cosmopoliteness level, innovativeness level, and group’s
support level had positive correlation with knowledge level, while age, main
occupation, and duration level of farming have negative correlation with the knowledge
level. Level of compatibility, trialability, and observability had positive correlation
with the persuasion level. Quality of horticulture had positive correlation with the
confirmation level. Meanwhile, interpersonal and group channel had positive
correlation with all of decision-making level. Each level of decision-making also
correlated positively with the next level.

Keywords: biopesticide, decision making, horticulture, innovation, plant protection


PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PESTISIDA NABATI
OLEH PETANI HORTIKULTURA DI DESA SIDOKERTO,
KECAMATAN SIDOREJO, KABUPATEN MAGETAN

SINTA HERIAN PAWESTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi berjudul “Pengambilan Keputusan Inovasi Pestisida Nabati oleh Petani
Hortikultura di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan” ini
dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Dwi Sadono, MSi dan
Asri Sulistiawati, SKPm, MSi sebagai Pembimbing I dan II yang telah memberikan
saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini, serta
Ir Yatri Indah Kusumastuti, MS dan Zessy Ardinal Barlan, SKPm, MSi sebagai
Penguji Utama dan Penguji Akademik atas koreksi dan saran yang diberikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) Sidorejo dan jajarannya, Kepala Desa Sidokerto dan para
perangkat desa, atas bantuan yang diberikan selama di lapangan. Penulis juga
menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Anik Tri Handayani dan Bapak
Heriyanto, orang tua tercinta, serta Gilang Pamungkas, adik tersayang, yang
senantiasa memberikan motivasi, doa, dan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak
lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kontrakan Magetan, Kosan WH,
Keluarga Besar IMPATA khususnya angkatan 49, teman-teman di Departemen
SKPM 49, terutama Eka Puspitasari, Fitri Dwi Prastyanti, Hening Gahayuning, dan
Ulvia Muspita Angraini serta Annisa Fitriani, Rima Aulia Rohmah, dan Siti
Hoelilah yang telah memberi semangat dan doa dalam proses penulisan skripsi ini.

Bogor, Februari 2017

Sinta Herian Pawestri


DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vii


DAFTAR TABEL vii
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
PENDEKATAN TEORITIS 5
Pengambilan Keputusan Inovasi 5
Faktor yang Berkaitan dengan Pengambilan Keputusan Inovasi 7
Pestisida Nabati 10
Kerangka Pemikiran 11
Hipotesis Penelitian 13
PENDEKATAN LAPANGAN 15
Metode Penelitian 15
Lokasi dan Waktu 15
Teknik Penentuan Informan dan Responden 15
Teknik Pengumpulan Data 16
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16
Definisi Operasional 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21
Karakteristik Geografis 21
Karakteristik Sosial Ekonomi 22
Kondisi Pertanian 24
Kelembagaan 25
Kelompok Tani 26
Penyelenggaraan Penyuluhan Pengendalian Hama Terpadu dengan
Pestisida Nabati 26
DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG DIDUGA BERHUBUNGAN
DENGAN TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI
PESTISIDA NABATI 31
Karakteristik Petani Hortikultura 31
Karakteristik Pestisida Nabati yang Dipersepsikan Petani 34
Tingkat Kepuasan Petani 45
Saluran Komunikasi 47
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PESTISIDA
NABATI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN 51
Tahap Pengetahuan 52
Tahap Persuasi 53
Tahap Keputusan 54
Tahap Implementasi 55
Tahap Konfirmasi 56
ANALISIS KORELASI FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PESTISIDA
NABATI 59
Analisis Korelasi antara Variabel pada Karakteristik Petani
Hortikultura dengan Tingkat Pengetahuan 59
Analisis Korelasi antara Variabel pada Karakteristik Pestisida Nabati
yang Dipersepsikan Petani dengan Tingkat Persuasi 61
Analisis Korelasi antara Variabel pada Tingkat Kepuasan Petani
dengan Tingkat Konfirmasi 63
Analisis Korelasi antara Variabel pada Saluran Komunikasi dengan
Semua Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi Pestisida Nabati 64
Analisis Korelasi antar Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi
Pestisida Nabati 65
SIMPULAN DAN SARAN 67
Simpulan 67
Saran 68
DAFTAR PUSTAKA 69
LAMPIRAN 73
RIWAYAT HIDUP 83
DAFTAR GAMBAR

1 Model tahapan proses pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1983) 6


2 Penggolongan berbagai pestisida berdasar penyusunnya (Zulkarnain
2010) 11
3 Kerangka pemikiran pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati 13
4 Distribusi lahan pertanian Desa Sidokerto menurut penggunaan tahun 24
2014
5 Susunan organisasi Klinik PHT Sidodadi di Desa Sidokerto 27

DAFTAR TABEL

1 Jumlah sampel tiap kelompok tani di Desa Sidokerto tahun 2016 15


2 Kebutuhan data penelitian menurut sumber data dan metode
pengumpulan data 16
3 Definisi operasional dari variabel penelitian 17
4 Distribusi lahan Desa Sidokerto menurut penggunaannya tahun
2014 21
5 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut golongan umur tahun
2014 22
6 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut jenis pekerjaan yang
dilakukan tahun 2014 23
7 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut tingkat pendidikan
yang ditempuh tahun 2014 23
8 Kandungan, fungsi, dan sasaran dari tumbuhan yang dijadikan
bahan pestisida nabati 29
9 Jumlah dan persentase petani berdasarkan karakteristik petani di
Desa Sidokerto Tahun 2016 32
10 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat
keuntungan relatif pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 35
11 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat
keuntungan relatif pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 36
12 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat
kesesuaian pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 38
13 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat
kesesuaian pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 38
14 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat
kerumitan pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 39
15 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat
kerumitan pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 41
16 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat
kemungkinan pestisida nabati untuk dicoba di Desa Sidokerto tahun
2016 42
17 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat
kemungkinan pestisida nabati untuk dicoba di Desa Sidokerto tahun
2016 42
18 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat
kemungkinan pestisida nabati untuk diamati di Desa Sidokerto
tahun 2016 44
19 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat
kemungkinan pestisida nabati untuk diamati di Desa Sidokerto
tahun 2016 45
20 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat kepuasan petani
di Desa Sidokerto tahun 2016 46
21 Jumlah dan persentase petani berdasarkan saluran komunikasi yang
digunakan untuk mengakses pestisida nabati di Desa Sidokerto
tahun 2016 48
22 Distribusi petani berdasarkan tahap pengambilan keputusan inovasi
pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 51
23 Jumlah dan persentase petani berdasarkan waktu pengenalan
pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 52
24 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel karakteristik
petani dan saluran komunikasi dengan tingkat pengetahuan
pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 59
25 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel
karakteristik pestisida nabati dengan tingkat persuasi di Desa
Sidokerto tahun 2016 61
26 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman variabel tingkat kepuasan
petani dengan tingkat konfirmasi pestisida nabati di Desa Sidokerto
tahun 2016 63
27 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel saluran
komunikasi dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi
pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 64
28 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antar tingkat pengambilan
keputusan inovasi pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016 66

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sketsa lokasi penelitian 74


2 Daftar responden 75
3 Kerangka sampling 76
6 Hasil uji statistik 78
7 Dokumentasi 82
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu kelompok komoditas pertanian yang


memiliki keragaman cukup tinggi. Terdapat 323 jenis produk hortikultura yang
terdiri dari 60 jenis buah, 80 jenis sayuran, 66 jenis tanaman obat, dan 117 jenis
tanaman hias (Kementan 2013). Dari sekian banyak jenis yang ada, hanya sekitar
90 jenis produk hortikultura di Indonesia yang telah dikembangkan secara
komersial, meliputi 25 jenis sayuran, 26 jenis buah, 24 jenis tanaman hias, dan 15
jenis tanaman obat. Kementan (2013) telah menetapkan 40 komoditas unggulan
nasional dan 11 diantaranya adalah komoditas hortikultura, yaitu cabai, bawang
merah, kentang, jeruk, mangga, manggis, salak, pisang, durian, rimpang, dan
tanaman hias.
Saat ini, upaya pengembangan hortikultura tidak hanya terfokus pada
peningkatan produksi komoditas, baik kuantitas maupun kualitas, tetapi juga terkait
dengan isu-isu strategis dalam pembangunan hortikultura yang lebih luas dan
menyeluruh (Kementan 2013). Salah satu isu strategis pembangunan hortikultura
dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Hortikultura 2015-2016 (Kementan
2014) adalah pembangunan hortikultura yang ramah lingkungan. Perubahan gaya
hidup masyarakat saat ini turut berpengaruh terhadap kecenderungan mereka dalam
konsumsi produk hortikultura yang terjamin kualitas dan keamanannya. Isu ini
menjadi perhatian dalam pengembangan hortikultura karena tidak terkendalinya
penggunaan bahan-bahan kimia, seperti pestisida, pupuk, dan bahan pengawet lain
dalam proses produksi dan pascapanen hortikultura. Pengembangan hortikultura,
menurut Rencana Strategis Direktorat Jenderal Hortikultura 2015-2019, harus
berorientasi pada pengembangan yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan
biopestisida, agensi hayati, pupuk organik, dan konservasi lahan.
Pengembangan sistem perlindungan tanaman hortikultura menjadi salah
satu strategi penting yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura.
Pengembangan sistem perlindungan tanaman hortikultura memiliki peran penting
dalam menjamin produksi, mutu, dan keamanan pangan. Fungsi perlindungan
hortikultura menjadi sangat penting dalam melakukan pengamanan produksi dari
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan memperkuat pengawalan
mutu produk baik di tingkat konsumen domestik dan luar negeri, utamanya dalam
rangka peningkatan produksi yang berorientasi kepada daya saing dan pengelolaan
OPT secara ramah lingkungan (Kementan 2013). Lebih lanjut, Kementan (2013)
menjelaskan bahwa bentuk pengendalian OPT tersebut merupakan gerakan yang
dilakukan bersama-sama oleh petani (beserta kelembagaan kelompoknya, yaitu
klinik (PHT/ PPAT) dan pemerintah (Dinas Pertanian tingkat Provinsi/ Kabupaten/
Kota, UPTD BPTPH, LPHP, LPAH) serta instansi terkait lainnya sebagai
pendamping. Penanganan OPT dilakukan secara ramah lingkungan dengan
menggunakan sarana produksi hortikultura yang ramah lingkungan (pupuk, zat
pengatur tumbuh/ ZPT, dan bahan pengendali OPT/ agens hayati) untuk
menghasilkan produk hortikultura yang memenuhi persyaratan keamanan pangan
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.
2

Penggunaan biopestisida atau pestisida organik telah memberikan manfaat


yang dapat dirasakan petani hortikultura. Menurut artikel dalam Cyber Extension
Kementerian Pertanian (2012), penggunaan biopestisida ini tidak lagi membuat
petani bergantung pada produk sejenis hasil pabrikan. Selain itu, kondisi
pertumbuhan tanaman juga lebih baik dengan penggunaan biopestisida dan pupuk
organik serta lebih efisien secara ekonomi dalam usaha tani. Kelompok tani di Jawa
Tengah telah menerapkan dan bahkan mengembangkan sendiri produk pupuk,
kompos, bokhasi, serta biopestisida.
Menurut data POPT–PHP Jawa Tengah (Kementan 2012), terdapat 161
kelompok tani yang telah memproduksi pupuk organik maupun biopestisida. Tak
hanya di Jawa Tengah, kelompok petani di Jawa Timur, tepatnya di Lamongan,
juga telah menerapkan pengendalian hama dengan menggunakan agen hayati
(Surabaya Pagi 2013). Inovasi penggunaan agen hayati tersebut telah diterapkan di
lahan seluas 60 hektar dan disesuaikan dengan kondisi tanah dan hama yang ada di
wilayah tersebut. Penelitian Wiratno (2011) menemukan bahwa minyak jarak pagar,
cengkeh, dan seraiwangi berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan aktif
pestisida nabati untuk mengendalikan N. lugens. Yenie et al. (2013) membuktikan
bahwa pestisida organik dengan ekstraksi layak dijadikan salah satu alternatif
pembunuh hama dan layak secara ekonomis karena proses dan alat yang digunakan
sederhana. Suku Tengger telah menggunakan pestisida nabati secara turun-temurun,
yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan adas, pahitan, bawang putih, dan jeringau
untuk mengendalikan hama pada tanaman (Wulandari 2011).
Upaya pengendalian hama telah diinisiasi BPP (Balai Penyuluh Pertanian)
dengan membentuk dan mengembangkan kelembagaan Klinik PHT (Pengendalian
Hama Terpadu). Melalui Klinik PHT, petani dapat melakukan koordinasi dan
konsultasi dengan penyuluh dalam mengantisipasi dan menangani serangan hama.
Kegiatan Klinik PHT di Kecamatan Sidokerto, Kabupaten Magetan dimulai sejak
tahun 2014 dan telah mengadakan beberapa kali pertemuan untuk memperkenalkan
prinsip pengendalian hama terpadu kepada petani. Salah satu cara pengendalian
hama yang dikenalkan kepada petani adalah dengan menggunakan pestisida nabati.
Pestisida nabati dianggap sebagai hal baru di kalangan petani di Kecamatan
Sidorejo, Kabupaten Magetan sehingga penggunaannya masih jarang ditemui
meskipun petani telah dikenalkan pada pestisida nabati melalui Klinik PHT. Petani
perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk mengubah kebiasaan penggunaan
pestisida kimiawi yang telah lama dilakukan. Terdapat beberapa tahap yang diduga
dilalui petani untuk sampai pada keputusan menggunakan pestisida nabati. Oleh
karena itu menjadi penting untuk dilakukan penelitian tentang bagaimana proses
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati yang dilalui oleh petani
hortikultura di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan?

Perumusan Masalah

Salah satu tujuan Klinik PHT yang ada di Kecamatan Sidokerto, Kabupaten
Magetan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam
menanggulangi OPT hortikultura dengan cara yang ramah lingkungan, salah
satunya yaitu dengan menggunakan pestisida nabati. Namun kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa belum semua petani mau memutuskan untuk menggunakan
pestisida nabati yang masih dianggap sebagai sesuatu yang baru dalam pertanian.
3

Sehubungan dengan hal tersebut, apa sajakah faktor-faktor yang diduga


berhubungan dengan tahapan pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati di
Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan?
Merujuk pada Rogers (1983), terdapat lima tahapan pengambilan keputusan
inovasi yang dilalui petani yaitu tahap pengetahuan, tahap persuasi, tahap
keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi. Bagaimanakah tahapan
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati yang dilalui oleh petani di Desa
Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan?
Lebih lanjut, menurut Rogers (1983) terdapat beberapa faktor yang diduga
berhubungan dengan tahap pengambilan keputusan inovasi yang dilalui petani
hortikultura, yaitu karakteristik individu petani, karakteristik inovasi yang
dipersepsikan, saluran komunikasi, dan tingkat kepuasan petani. Faktor-faktor apa
sajakah yang berhubungan dengan setiap tahapan pada proses pengambilan
keputusan inovasi pestisida nabati pada petani hortikultura di Desa Sidokerto,
Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan?

Tujuan Penelitian

Penelitian dengan judul “Pengambilan Keputusan Inovasi Pestisida Nabati


oleh Petani Hortikultura di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten
Magetan” ini memiliki rumusan tujuan sebagai berikut.
1. Menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan tahapan pengambilan
keputusan inovasi pestisida nabati,
2. Menjelaskan tahapan pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati oleh
petani, dan
3. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tahapan proses
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati oleh petani hortikultura di Desa
Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan sebagai berikut.


1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam
mempraktikkan ilmu yang telah diperoleh mengenai pengambilan keputusan
inovasi, khususnya inovasi pestisida nabati.
2. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk melakukan
kajian yang berkenaan dengan pengambilan keputusan inovasi. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi memberikan sumbangan pustaka
pada kajian pengambilan keputusan inovasi.
3. Bagi Pemerintah, khususnya Dinas Pertanian dan Balai Penyuluhan Pertanian,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi untuk merencanakan
kebijakan pertanian selanjutnya, khususnya dalam hal penerapan inovasi
pestisida nabati.
4
5

PENDEKATAN TEORITIS

Pengambilan Keputusan Inovasi

Rogers (1983) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan inovasi


adalah sebuah proses yang dilalui oleh individu (atau unit pengambilan keputusan
lainnya) mulai dari pengetahuan tentang sebuah inovasi, pembentukan sikap
terhadap inovasi, pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolak,
penerapan ide baru, hingga konfirmasi atas keputusan yang telah diambil tersebut.
Proses ini terdiri atas serangkaian tindakan dan pilihan selama waktu tertentu
dimana individu atau organisasi mengevaluasi ide baru dan memutuskan apakah
akan menerapkan atau menolak suatu ide baru. Rogers menggambarkan proses
pengambilan keputusan ini dalam lima tahap (Gambar 1). Terdapat pula beberapa
penelitian tentang proses pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi,
seperti yang dilakukan oleh Roswita (2003), Mulyadi et al. (2007), Marwandana
(2014), dan Situmorang et al. (2015).
1. Tahap Pengetahuan
Proses pengambilan keputusan dimulai dengan adanya tahap pengetahuan
ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) terpapar oleh
keberadaan inovasi dan memperoleh pemahaman tentang fungsinya. Mulyadi et
al. (2007) meneliti proses adopsi inovasi pertanian Suku Pedalaman Arfak,
Papua dan menemukan bahwa pada tahap pengetahuan, proses adopsi dapat
berjalan baik (cepat) karena adanya pengaruh faktor kebutuhan belajar, sikap
terhadap kegiatan penyuluhan, orientasi nilai-nilai budaya, saluran komunikasi,
dan karakteristik petani Arfak. Petani di Banuhampu dan Sungai Puar, Agam,
Sumatra Barat menunjukkan adanya perbedaan pengetahuan atas inovasi agen
hayati antara petani SLPHT dan non SLPHT. Hal tersebut disebabkan oleh
tingginya intensitas penyuluhan yang diterima petani SLPHT sehingga
pengetahuan yang didapat juga tinggi (Roswita 2003).
2. Tahap Persuasi
Pada tahap ini individu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap
inovasi. Jika sebelumnya aktivitas mental pada tahap pengetahuan cenderung
menggunakan aspek kognitif (pengetahuan), tahap persuasi ini lebih
menggunakan aspek afektif (perasaan). Tahap ini mengharuskan individu untuk
mengetahui tentang suatu ide atau gagasan baru sehingga kemudian dia dapat
membentuk sikap terhadap ide atau gagasan tersebut. Hasil penelitian Roswita
(2003) pada proses adopsi inovasi agen hayati di Agam, Sumatra Barat
menunjukkan bahwa minat petani terhadap inovasi agen hayati mayoritas berada
pada kategori sedang, yaitu kurang berminat. Hal tersebut dikarenakan
rendahnya penilaian petani terhadap sifat inovasi agen hayati. Penelitian
Marwandana (2014) membuktikan bahwa tingkat pengetahuan petani
berhubungan sangat nyata dengan tingkat persuasi petani terhadap budidaya
jambu kristal.
6
7

3. Tahap Keputusan
Tahap ini terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
ikutserta dalam kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk
mengadopsi atau menolak inovasi. Adopsi (adoption) adalah keputusan untuk
sepenuhnya menggunakan inovasi. Penolakan (rejection) adalah keputusan
untuk tidak mengadopsi suatu inovasi. Penelitian Mulyadi et al. (2007) di Suku
Pedalaman Arfak, Papua menunjukkan bahwa pada tahap keputusan bergantung
pada tahap sebelumnya, yaitu tahap persuasi. Marwandana (2014) menemukan
bahwa tingkat persuasi berhubungan sangat nyata dengan tingkat keputusan
petani terhadap budidaya jambu kristal di Bogor. Begitu pula dengan penelitian
Roswita (2003), petani yang mempunyai sikap yang tinggi dan sedang pada
tahap persuasi cenderung memutuskan untuk menerima inovasi agen hayati.
4. Tahap Implementasi
Implementasi terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan
lainnya) menggunakan suatu inovasi. Pada tahap-tahap sebelumnya, proses
pengambilan keputusan inovasi semata-mata menggunakan proses mental.
Khusus tahap implementasi melibatkan perubahan perilaku yang dapat diamati
sebagai akibat dari penggunaan ide baru. Petani di Agam, Sumatra Barat
membuktikan apakah inovasi agen hayati sesuai dengan dirinya maupun
lingkungannya pada tahap ini (Roswita 2003). Sementara itu, hasil penelitian
Marwandana (2014) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat keputusan
dengan tingkat implementasi petani terhadap budidaya jambu kristal di Bogor.
5. Tahap Konfirmasi
Pada tahap konfirmasi, individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
mencari penguatan atas keputusan inovasi yang telah dibuat. Kebalikannya,
mungkin juga individu akan menghentikan keputusan adopsi jika ia menemukan
informasi yang berlawanan tentang inovasi tersebut. Petani di Pelalawan yang
sampai saat ini melaksanakan SISKA masih berkomunikasi dengan penyuluh
untuk berkonsultasi tentang kesulitan memperoleh bahan campuran pakan ternak
(Situmorang et al. 2015). Marwandana (2014) menemukan adanya hubungan
antara tingkat implementasi dengan tingkat konfirmasi petani terhadap inovasi
budidaya jambu kristal. Hasil penelitian Roswita (2003) menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil petani yang memutuskan untuk melanjutkan menerapkan
agen hayati dan selebihnya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Dengan
demikian pada tahap ini terjadi active rejection yaitu terjadinya penolakan
terhadap inovasi setelah memutuskan untuk mengadopsi atau mencoba
menerapkannya.

Faktor yang Berkaitan dengan Pengambilan Keputusan Inovasi

Karakteristik Unit Pengambilan Keputusan


Terkumpul beberapa variabel dari penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan karakteristik kategori adopter (Rogers 1983). Variabel tersebut terdiri atas
status sosioekonomi (umur dan pendidikan), variabel kepribadian, dan perilaku
komunikasi (partisipasi sosial, kekosmopolitan, paparan media massa, dan paparan
saluran komunikasi antarpribadi). Karakteristik individu yang memiliki hubungan
signifikan dengan pengambilan keputusan antara lain tingkat pendidikan, luas lahan
usahatani, lingkungan sosial, dan lingkungan ekonomi (Susanti et al. 2008)
8

sedangkan umur dan tingkat pendapatan tidak berhubungan secara signifikan.


Cheboi dan Mberia (2014) menemukan bahwa umur memiliki peran yang
signifikan dalam pengambilan keputusan petani terhadap inovasi zero grazing di
Tot, Kenya. Faktor pengalaman bertani dan tingkat kosmopolitan memiliki
hubungan dengan tingkat adopsi petani di Sragen (Amala et al. 2013). Mulyadi et
al. (2007) menemukan bahwa pada tahap pengetahuan proses adopsi inovasi hanya
variabel kebutuhan belajar yang berpengaruh nyata.
Roswita (2003) menyatakan bahwa hampir semua karakteristik petani, baik
internal maupun eksternal berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan
adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati
dengan tingkat keeratan yang berbeda-beda. Karakteristik internal petani
berhubungan sangat nyata dengan hampir semua tahapan, kecuali pengalaman
berusahatani dan luas lahan usahatani tidak menunjukkan hubungan nyata. Hampir
semua karakteristik eksternal petani berhubungan nyata dan positif dengan tahapan
proses keputusan adopsi inovasi agen hayati. Marwandana (2014) menambahkan
pola perilaku komunikasi juga berhubungan nyata dengan tingkat pengenalan
dalam proses pengambilan keputusan inovasi.

Karakteristik Inovasi
Inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasa sebagai sesuatu
yang baru oleh individu atau unit adopsi lainnya (Rogers 1983). Menurut Rogers,
inovasi memiliki karakteristik berdasarkan penerimaan individu. Karakteristik
inovasi tersebut meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan
dicoba, dan kemungkinan diamati.
1. Keuntungan relatif adalah derajat dimana sebuah inovasi dirasakan lebih baik
dibanding dengan ide yang digantikannya.
2. Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi dirasa konsisten dengan nilai yang
telah ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan adopter potensial.
3. Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dirasa sulit untuk dimengerti dan
digunakan.
4. Kemungkinan dicoba adalah derajat dimana inovasi dimungkinkan dapat
diterapkan dengan ukuran yang terbatas.
5. Kemungkinan diamati adalah derajat dimana hasil dari suatu inovasi dapat
dilihat oleh orang lain.
Wisdom et al. (2014) menyebutkan bahwa Backer et al. (1986) telah
melakukan studi psikososial terhadap adopsi inovasi di Amerika dan memperoleh
beberapa temuan penting. Terdapat pula tujuh faktor yang berkaitan dengan
karakteristik inovasi, yaitu: kesamaan dengan praktik yang telah ada, biaya,
kemungkinan diamati, kemungkinan dicoba, kesesuaian, keuntungan relatif, serta
kemudahan untuk dipahami dan digunakan.
Susanti et al. (2008) menemukan bahwa karakteristik inovasi memiliki
hubungan yang tidak signifikan dengan pengambilan keputusan inovasi budidaya
padi organik di Sragen. Amala et al. (2013) menemukan bahwa kelima karakteristik
inovasi memiliki hubungan dengan tingkat adopsi inovasi dengan besar nilai
korelasi yang berbeda-beda. Begitu pula Roswita (2003) menemukan bahwa semua
sifat inovasi berhubungan nyata positif dengan semua tahapan proses keputusan
adopsi inovasi agen hayati dengan tingkat keeratan hubungan yang berbeda-beda,
kecuali tingkat kerumitan menunjukkan hubungan nyata negatif.
9

Petani adopter di Cianjur dan Garut dipengaruhi oleh faktor keuntungan


relatif dan kesesuaian inovasi dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani,
sedangkan petani nonadopter dipengaruhi oleh faktor kesesuaian dan kerumitan
(Indraningsih 2006). Prestiwo et al. (2015) dan Situmorang et al. (2015)
menganalisis lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan pada tahap persuasi,
namun belum meneliti hubungan antara karakteristik inovasi tersebut dengan
pengambilan keputusan.

Tingkat Kepuasan Petani


Kotler (2000) menjelaskan definisi kepuasan sebagai suatu perasaan senang
atau kecewa seseorang setelah membandingkan antara hasil produk yang dipikirkan
dengan hasil yang diharapkan (Irawati 2009). Dalam bidang pertanian, kepuasan
dapat dikaitkan dengan penjualan produk. Marwandana (2014) dalam penelitiannya
memasukkan tingkat kepuasan petani sebagai faktor yang diduga berhubungan
dengan proses pengambilan keputusan inovasi yang terdiri atas dua indikator, yaitu
tingkat produksi budidaya jambu kristal dan tingkat pendapatan yang diperoleh.
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara tingkat
kepuasan petani dan tingkat konfirmasi petani terhadap inovasi budidaya jambu
kristal. Sementara itu, Roswita (2003) memasukkan peluang pasar dalam variabel
karakteristik eksternal petani dalam pengambilan keputusan inovasi pengendalian
hama dengan agen hayati. Penelitian Roswita (2003) membuktikan bahwa peluang
pasar berhubungan sangat nyata dengan tahap pengenalan, persuasi, dan keputusan
serta berhubungan nyata dengan tahap implementasi.

Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi merujuk pada alat atau cara untuk memperoleh pesan
dari individu satu kepada individu lainnya (Rogers 1983). Dalam buku Diffusion of
Innovations, Rogers (1983) menjelaskan dua saluran komunikasi dalam difusi
inovasi. Pertama, media massa adalah semua alat untuk membawa pesan yang
meliputi media massa, seperti radio, televisi, koran, dan sebagainya, yang
memungkinkan sumber pesan dapat menjangkau banyak penerima pesan. Kedua,
saluran antarpribadi adalah saluran komunikasi yang melibatkan pertemuan tatap
muka antara dua atau lebih individu. Dibanding dengan media massa, saluran
antarpribadi lebih efektif dalam mempengaruhi individu untuk mengadopsi ide baru,
khususnya jika saluran antarpribadi menghubungkan dua atau lebih individu
sesama rekan dekat.
Proses pengambilan keputusan inovasi zero grazing di Tot, Kenya
menunjukkan bahwa variabel saluran komunikasi ada dalam setiap tahapan proses
pengambilan keputusan. Pada tahap pengetahuan, para peternak menggunakan
saluran komunikasi antarpribadi teman, tetangga, rekan sesama peternak, agen
perubahan (petugas produksi ternak dan LSM; tahap persuasi: rekan sesama
peternak, anggota keluarga, dan pemuka pendapat; tahap pengambilan keputusan:
demontrasi lapang, rekan sesama peternak, dan petugas ahli (petugas peternakan
dan petugas lembaga bantuan); tahap penerapan: agen perubahan dan early
adopters; dan tahap konfirmasi: keluarga, teman, rekan sesama peternak yang telah
mengadopsi inovasi, demonstrasi lapang, dan kunjungan atau saran dari petugas
ahli (Cheboi dan Mberia 2014).
10

Persepsi petani terhadap pengaruh media atau informasi interpersonal


mempengaruhi keputusan petani adopter dan nonadopter dalam mengadopsi
inovasi teknologi usahatani terpadu (Indraningsih 2006). Onasanya et al. (2006)
menyebutkan beberapa saluran komunikasi yang digunakan petani di Ogun, Nigeria
untuk memperoleh informasi tentang inovasi, yaitu poster, diskusi kelompok,
pertunjukan/ pameran, dan demonstrasi cara. Saluran komunikasi mempengaruhi
tahap keputusan petani Arfak di pedalaman Papua, yaitu melalui saluran
komunikasi vertikal dengan pemerintah, kepala suku, dan pendeta (Mulyadi et al.
2007). Media massa dan forum diskusi belum efektif dilakukan karena kepemilikan
fasilitas media massa masih sedikit. Petani di Sragen menggunakan saluran
komunikasi antarpribadi dengan penyuluh atau tokoh masyarakat pada tahap
konfirmasi untuk menguatkan keputusan yang telah dibuat (Susanti et al. 2008).
Amala et al. (2013) menemukan adanya hubungan antara saluran komunikasi
antarpribadi dengan tingkat adopsi, sedangkan saluran komunikasi melalui media
massa tidak memiliki hubungan dengan tingkat adopsi.

Pestisida Nabati

Pestisida dapat diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun,
menghambat pertumbuhan/ perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai
pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT (Kardinan 2003).
Djojosumarto (2008) dalam buku “Pestisida dan Aplikasinya” menjelaskan bahwa
secara harfiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh).
Pestisida pertanian adalah semua zat kimia, campuran zat kimia, atau bahan-bahan
lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan
untuk keperluan berikut (Djojosumarto 2008):
1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT).
sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida, dan
herbisida.
2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat
pertumbuhan dan mengeringkan tanaman, seperti zat pengatur tumbuh,
defoliant (senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant (senyawa
untuk mengeringkan daun).
Untuk lebih jelasnya, Zulkarnain (2010) menggambarkan berbagai jenis
pestisida pada Gambar 2. Menurut Zulkarnain (2010), pestisida dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu pestisida anorganik dan organik. Pestisida organik digolongkan
berdasar bahan yang digunakan yaitu, pestisida organik sintetik dan pestisida
organik alami. Pestisida organik alami atau biasa disebut pestisida alami saja
dikelompokkan lagi berdasar asalnya, yaitu pestisida alami yang berasal dari
mikroorganisme dan yang berasal dari tanaman.
Pestisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan
dengan pestisida kimia. Sudarmo (2005) menyebutkan keunggulan pestisida nabati
adalah: murah dan mudah dibuat oleh petani, relatif aman terhadap lingkungan,
tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama, kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain, dan
menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
11

Gambar 2 Penggolongan berbagai pestisida berdasar penyusunnya


“Digambar ulang dari Zulkarnain (2010)”

Sementara itu, pestisida nabati juga memiliki beberapa kekurangan dibanding


pestisida kimia, yaitu daya kerjanya relatif lambat, tidak membunuh jasad sasaran
secara langsung, tidak tahan terhadap sinar matahari, kurang praktis, tidak tahan
disimpan, dan kadang-kadang harus disemprotkan berulang-ulang (Sudarmo 2005).
Saat ini telah banyak dilakukan percobaan pembuatan pestisida nabati
dengan memanfaatkan tumbuhan lokal, baik yang dilakukan oleh petani maupun
peneliti di laboratorium. Pestisida nabati dapat dibuat dari daun gamal, pacar cina,
daun tembakau, daun sirih hutan, umbi gadung, biji dan daun mimba, srikaya, daun
papaya, biji jarak, daun sirsak, jeringau, tembakau, bunga piretrum, akar tuba,
cengkeh, tagetes, mindi, bawang putih, dan cabai (Sudarmo 2005). Kardinan (2002)
menjelaskan cara membuat ramuan pestisida nabati untuk mengendalikan hama
secara umum. Ramuan tersebut terbuat dari bahan daun mimba, lengkuas, serai,
deterjen/ sabun colek, dan air. Daun mimba, lengkuas, dan serai ditumbuk atau
dihaluskan. Setelah itu seluruh bahan diaduk merata dalam air dan direndam
semalam (24 jam). Kemudian campuran tersebut disaring hingga menghasilkan
larutan. Larutan tersebut perlu diencerkan terlebih dahulu dengan menambahkan
air. Larutan pestisida nabati ini dapat diaplikasikan dengan disemprotkan pada
tanaman.

Kerangka Pemikiran

Penelitian yang berjudul “Pengambilan Keputusan Inovasi Pestisida Nabati


oleh Petani Hortikultura di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten
Magetan” ini merujuk pada konsep dan teori pengambilan keputusan inovasi
Rogers (1983), serta beberapa hasil penelitian yang berkenaan dengan pengambilan
keputusan inovasi di bidang pertanian.
Proses pengambilan keputusan inovasi terdiri dari lima tahap, yaitu tahap
pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap
konfirmasi (Rogers 1983). Sehubungan dengan itu, variabel terikat dalam penelitian
ini adalah tingkat pengetahuan petani terhadap inovasi pestisida nabati (Y1), tingkat
persuasi inovasi pestisida nabati (Y2), tingkat keputusan inovasi pestisida nabati
(Y3), tingkat implementasi inovasi pestisida nabati (Y4), dan tingkat konfirmasi
inovasi pestisida nabati (Y5). Setiap tahapan proses terdapat faktor-faktor yang
12

diduga berhubungan dengan pengambilan keputusan petani. Merujuk pada hasil


penelitian Marwandana (2014), masing-masing tingkat juga diduga berhubungan
dengan tingkat pengambilan keputusan berikutnya.
Merujuk pada hasil studi terdahulu (Roswita 2006, Prestiwo et al. 2015 dan
Situmorang et al. 2015, karakteristik petani hortikultura (X1) diduga berhubungan
dengan tingkat pengetahuan (Y1). Tingkat pengetahuan diukur ketika petani
mengetahui adanya inovasi dan memperoleh pemahaman tentang penerapan dan
manfaat penerapan inovasi tersebut pada usahatani mereka (Rogers 1983). Terdapat
lima variabel bebas pada karakteristik petani hortikultura, yaitu umur (X1.1), tingkat
pendidikan (X1.2), pekerjaan utama (X1.3), luas lahan (X1.4), lama berusahatani (X1.5),
tingkat kekosmopolitan (X1.6), tingkat keinovatifan petani (X1.7), dan tingkat
dukungan poktan (X1.8).
Lima variabel bebas pada karakteristik inovasi pestisida nabati (X2) diduga
berhubungan dengan tingkat persuasi (Y2). Tingkat persuasi diukur melalui
terbentuknya sikap suka atau tidak suka petani terhadap inovasi setelah mengenal
inovasi (Rogers 1983). Kelima variabel tersebut yaitu tingkat keuntungan relatif
(X2.1), tingkat kesesuaian (X2.2), kerumitan (X2.3), tingkat kemungkinan dicoba
(X2.4), dan tingkat kemungkinan diamati (X2.5) (Roswita 2006 dan Marwandana
2014).
Tingkat kepuasan petani (X3) juga diduga berhubungan dengan tingkat
konfirmasi (Y5). Tingkat konfirmasi petani terhadap inovasi pestisida nabati
merupakan tingkat terakhir dari proses pengambilan keputusan inovasi yang
ditandai dengan usaha petani untuk mencari informasi lebih lanjut guna
menguatkan keputusan yang telah dibuat. Terdapat dua variabel pada tingkat
kepuasan petani, yaitu tingkat produksi hortikultura (X3.1) dan kualitas hortikultura
(X3.2).
Saluran komunikasi (X4) diduga berhubungan dengan kelima tingkat
pengambilan keputusan inovasi, mulai dari tingkat pengetahuan (Y1), tingkat
persuasi (Y2), tingkat keputusan (Y3), tingkat implementasi (Y4), dan tingkat
konfirmasi (Y5). Terdapat tiga variabel bebas pada saluran komunikasi, yaitu
saluran antarpribadi (X4.1), dan saluran media massa (X4.2), dan saluran kelompok
(X4.3) (Roswita 2006 dan Marwandana 2014). Untuk lebih jelasnya, alur kerangka
pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 3.
13

Karakteristik Petani Saluran Komunikasi (X4)


Hortikultura (X1) X4.1 Saluran antarpribadi
X1.1 Umur X4.2 Saluran media massa
X1.2 Tingkat pendidikan X4.3 Saluran kelompok
X1.3 Pekerjaan utama
X1.4 Luas lahan
X1.5 Lama berusahatani
X1.6 Tingkat kekosmopolitan Tahap Pengambilan Keputusan
X1.7 Tingkat keinovatifan Inovasi
X1.8 Tingkat dukungan poktan Tingkat Pengetahuan (Y1)

Tingkat Persuasi (Y2)


Karakteristik Pestisida Nabati
yang Dipersepsikan (X2)
X2.1 Tingkat keuntungan relatif
X2.2 Tingkat kesesuaian Tingkat Keputusan (Y3)
X2.3 Tingkat kerumitan
X2.4 Tingkat kemungkinan dicoba
X2.5 Tingkat kemungkinan diamati
Tingkat Implementasi (Y4)

Tingkat Kepuasan Petani (X3)


X3.1 Tingkat produksi hortikultura Tingkat Konfirmasi (Y5)
X3.2 Kualitas hortikultura

Keterangan:
berhubungan

Gambar 3 Kerangka pemikiran pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang muncul


adalah sebagai berikut.
1. Terdapat hubungan nyata antara variabel-variabel pada karakteristik
individu petani hortikultura: umur (X1.1), tingkat pendidikan formal (X1.2),
pekerjaan utama (X1.3), luas lahan (X1.4), lama berusahatani (X1.5), tingkat
kekosmopolitan (X1.6), tingkat keinovatifan petani (X1.7), dan tingkat
dukungan poktan (X1.8) dengan tingkat pengetahuan petani hortikultura (Y1).
14

2. Terdapat hubungan nyata antara variabel pada karakteristik pestisida nabati


yang dipersepsikan petani: tingkat keuntungan relatif (X2.1), tingkat
kesesuaian (X2.2), kerumitan (X2.3), tingkat kemungkinan dicoba (X2.4), dan
tingkat kemungkinan diamati (X2.5) dengan tingkat persuasi petani
hortikultura (Y2).
3. Terdapat hubungan nyata antara variabel pada tingkat kepuasan petani:
tingkat produksi hortikultura (X3.1) dan kualitas hortikultura (X3.2) dengan
tingkat konfirmasi petani (Y5).
4. Terdapat hubungan nyata antara variabel pada saluran komunikasi: saluran
antarpribadi (X4.1), dan saluran media massa (X4.2), dan saluran kelompok
(X4.3) dengan semua tahap pengambilan keputusan inovasi: tingkat
pengetahuan (Y1), tingkat persuasi (Y2), tingkat keputusan (Y3), tingkat
implementasi (Y4), dan tingkat konfirmasi (Y5).
5. Terdapat hubungan nyata antara setiap tahap pengambilan keputusan
inovasi dengan tahap selanjutnya: tingkat pengetahuan (Y1) berhubungan
nyata dengan tingkat persuasi (Y2); tingkat persuasi (Y2) berhubungan nyata
dengan tingkat keputusan (Y3); tingkat keputusan (Y3) berhubungan nyata
dengan tingkat implementasi (Y4); dan tingkat implementasi (Y4)
berhubungan nyata dengan tingkat konfirmasi (Y5).
15

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei.


Penelitian ini merupakan explanatory research yang berusaha menjelaskan
hubungan kausal antar variabel dengan melakukan pengujian hipotesis. Pendekatan
penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif.

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten


Magetan, Provinsi Jawa Timur (Lampiran 1). Lokasi tersebut dipilih secara sengaja
dengan beberapa alasan: bahwa sebagian besar penduduknya merupakan petani
hortikultura dan merupakan satu-satunya desa yang memiliki Klinik Pengelolaan
Hama Terpadu di Kabupaten Magetan.
Survei lokasi penelitian dilaksanakan setelah kolokium selama dua minggu
pada bulan Maret 2016. Pengambilan data lapang dilakukan pada bulan September
dan Oktober 2016.

Teknik Penentuan Informan dan Responden

Subjek dalam penelitian ini adalah informan dan responden. Informan


adalah orang yang diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai informasi
dan data sebanyak mungkin berkaitan dengan inovasi pestisida nabati. Informan
dalam penelitian ini adalah ketua Klinik PHT, ketua kelompok tani, dan Petugas
Penyuluh Lapang, sedangkan responden dipilih secara sengaja. Responden dalam
penelitian ini adalah orang yang dapat memberikan informasi tentang diri sendiri
dan aktivitas yang berkaitan dengan inovasi pestisida nabati.
Untuk memperoleh responden, maka ditentukan kerangka percontohan
(sampling frame) yang merupakan populasi sasaran penelitian (Lampiran 3).
Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang tercatat sebagai anggota kelompok
tani di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan. Terdapat tiga
kelompok tani dengan jumlah pengurus dan anggota sebanyak 112 orang
(Kelompok Tani Sidomukti 56 orang, Sidomakmur 36 orang, dan Sidorukun 20
orang). Unit analisis yang digunakan adalah individu.
Pemilihan sampel dilakukan secara acak tidak proporsional (dispropor-
tionate cluster random sampling) karena pengenalan pestisida nabati yang berbeda-
beda di tiap kelompok (Faisal 2005). Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 44
petani dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 1 Jumlah sampel tiap kelompok tani di Desa Sidokerto tahun 2016
No. Kelompok Tani Jumlah Anggota (n) Jumlah Sampel (n)
1. Sidomukti 56 28
2. Sidomakmur 36 12
3. Sidorukun 20 4
Total 112 44
16

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi:


1. Data sekunder, meliputi data monografi desa dan data yang berkenaan
dengan penyelenggaraan dan perkembangan inovasi pestisida nabati yang
terangkum dalam laporan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).
2. Data primer, yang diperoleh dari wawancara dengan responden dan
informan. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah
disusun (Lampiran 4) sedangkan informan diwawancarai secara mendalam
dengan menggunakan panduan pertanyaan (Lampiran 5).
Untuk lebih jelasnya, rincian data yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2 Kebutuhan data penelitian menurut sumber data dan metode


pengumpulan data
Sumber Data Metode Pengumpulan
Kebutuhan Data
Pr Sk Kn Kl Data
Monografi desa √ √ Data desa
Sejarah penggunaan √ √ √ √ Data BPP, wawancara
pestisida nabati mendalam
Daftar anggota dan pengurus √ √ Wawancara mendalam
kelompok tani
Karakteristik petani √ √ Kuesioner
Karakteristik pestisida √ √ Kuesioner, wawancara
nabati yang dipersepsikan mendalam
petani
Saluran komunikasi yang √ √ Kuesioner
digunakan petani
Tingkat kepuasan petani √ √ √ Kuesioner, wawancara
mendalam
Keputusan penggunaan √ √ Kuesioner, wawancara
pestisida nabati mendalam

Salah satu instrumen pengambilan data primer dalam penelitian ini adalah
kuesioner. Hasil jawaban kuesioner tersebut telah diuji reliabilitasnya dengan uji
Cronbach’s Alpha menggunakan SPSS 21.0. Kuesioner dapat dinyatakan reliabel
jika nilai Cronbach’s Alpha lebih dari 0,6. Hasil uji reliabilitas kuesioner dalam
penelitian ini menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,804 (Lampiran 6),
yang berarti bahwa kuesioner ini memiliki tingkat reliabilitas yang cukup tinggi.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan data
kualitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel
2013 dan SPSS 21.0. Microsoft Excel 2013 digunakan untuk membuat tabel
frekuensi setiap variabel. Tabel frekuensi ini berguna untuk melihat sebaran
responden berdasarkan variabel yang diteliti. SPSS 21.0 digunakan untuk
melakukan uji statistik korelasi Rank Spearman. Uji Rank Spearman ini berguna
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti.
17

Data kualitatif meliputi informasi tentang monografi desa, sejarah


penggunaan pestisida nabati, dan kepuasan petani setelah menggunakan pestisida
nabati. Data kualitatif ini dianalisis melalui beberapa tahapan: reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi. Tahap reduksi data dimulai dari proses pemilihan,
penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam,
observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk
mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak
perlu. Selanjutnya adalah tahap penyajian data dengan menyusun segala informasi
dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke
dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah tahap terakhir yang merupakan penarikan
kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Guna mengurangi
kemungkinan salah interpretasi, digunakan beragam prosedur yang disebut
triangulasi. Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan untuk mengklarifikasi atau
membandingkan data dan informasi yang berasal dari sumber informasi dan cara
pengumpulan data yang berbeda. Data kualitatif ini kemudian disajikan dalam
bentuk narasi untuk kemudian digunakan sebagai pendukung data kuantitatif yang
diperoleh melalui kuesioner.

Definisi Operasional

Pada Tabel 3 disajikan definisi operasional dari variabel-variabel yang


digunakan dalam penelitian.

Tabel 3 Definisi operasional dari variabel penelitian


Definisi Cara Satuan Tingkat
Variabel
Operasional Pengukuran Pengukuran Pengukuran
X1.1 Umur Lama hidup Dihitung mulai 1. < 44 tahun Rasio
responden dari dari tahun 2. 44–55 tahun
lahir sampai kelahiran 3. > 50 tahun
dengan waktu responden
wawancara yang
diukur dalam
satuan tahun
X1.2 Tingkat Jenjang Dihitung 1. Rendah Ordinal
Pendidikan pendidikan berdasarkan 2. Sedang
formal terakhir strata 3. Tinggi
yang ditempuh pendidikan
responden formal terakhir
yang
ditamatkan
X1.3 Pekerjaan Aktivitas yang Dihitung 1. Bukan Petani Ordinal
Utama rutin dilakukan berdasarkan 2. Petani
untuk sebagian besar
menghasilkan waktu yang
uang dicurahkan
untuk
pekerjaan
tersebut
X1.4 Luas Lahan Area sawah yang Luasan lahan 1. < 0,25 ha Rasio
diusahakan yang 2. 0,25 – 0,5 ha
responden diusahakan 3. > 0,5 ha
dalam hektar
(ha).
18

Definisi Cara Satuan Tingkat


Variabel
Operasional Pengukuran Pengukuran Pengukuran
Dikategorikan
berdasar data
emik
X1.5 Lama Usahatani Lamanya Dikategorikan 1. < 15 tahun Rasio
responden berdasar data 2. 15–30 tahun
menjalankan emik 3. > 30 tahun
usahatani sampai
dengan waktu
wawancara
dilakukan
X1.6 Tingkat Sifat petani yang Dihitung 1. Rendah Ordinal
Kekosmopolitan selalu berupaya berdasarkan 2. Sedang
untuk mencari jumlah skor 3. Tinggi
informasi yang yang diperoleh
dibutuhkan
mengenai
pestisida nabati
ke luar sistem
sosialnya.
X1.7 Tingkat Kecenderungan Dihitung 1. Rendah Ordinal
Keinovatifan responden untuk berdasarkan 2. Sedang
menerima praktik jumlah skor 3. Tinggi
baru dalam yang diperoleh
bertani, diukur
dari pengalaman
sebelumnya dan
rentang waktu
adopsi inovasi.
X1.8 Tingkat Kekuatan Dihitung 1. Rendah Ordinal
Dukungan hubungan berdasarkan 2. Sedang
Kelompok responden dengan jumlah skor 3. Tinggi
kelompok yang diperoleh
berkaitan dengan
penggunaan
pestisida nabati.
X2.1 Saluran Berbagai macam Diukur 1. Rendah Ordinal
Antarpribadi sumber informasi berdasarkan 2. Sedang
tentang inovasi banyaknya 3. Tinggi
yang sumber
memungkinkan informasi yang
adanya dimiliki
komunikasi dua responden
arah dan umpan
balik antara
responden dengan
sumber informasi
tersebut
X2.2 Media Massa Berbagai macam Diukur 1. Rendah Ordinal
sumber informasi berdasarkan 2. Sedang
dari media massa banyaknya 3. Tinggi
yang diakses media massa
responden untuk yang diakses
memperoleh responden
informasi tentang
inovasi.
19

Definisi Cara Satuan Tingkat


Variabel
Operasional Pengukuran Pengukuran Pengukuran
X2.3 Saluran Sumber informasi Diukur 1. Rendah Ordinal
Kelompok berupa berdasarkan 2. Sedang
perkumpulan frekuensi 3. Tinggi
orang yang rutin menghadiri
bertukar pertemuan
informasi kelompok
berkaitan dengan
diri mereka dan
aktivitasnya.
X3.1 Tingkat Tingkat dimana Diukur 0. Tidak tahu Ordinal
Keuntungan penggunaan berdasarkan 1. Merugikan
Relatif inovasi pestisida jumlah skor 2. Sama saja
nabati dianggap yang diperoleh 3.
lebih Menguntungkan
menguntungkan
dibandingkan
dengan inovasi
sebelumnya.
X3.2 Tingkat Tingkat dimana Diukur 0. Tidak tahu Ordinal
Kesesuaian inovasi pestisida berdasarkan 1. Tidak sesuai
nabati sesuai jumlah skor 2. Netral
dengan yang diperoleh 3. Sesuai
pengalaman dan
kebutuhan
responden.
X3.3 Tingkat Tingkat dimana Diukur 0. Tidak tahu Ordinal
Kerumitan inovasi pestisida berdasarkan 1. Rumit
nabati dianggap jumlah skor 2. Biasa saja
relatif sulit untuk yang diperoleh 3. Mudah
dimengerti/
dipahami dan
diterapkan.
X3.4 Tingkat Tingkat dimana Diukur 0. Tidak tahu Ordinal
Kemungkinan inovasi pestisida berdasarkan 1. Rendah
Dicoba nabati mudah jumlah skor 2. Sedang
dicobakan. yang diperoleh 3. Tinggi
X3.5 Tingkat Tingkat dimana Diukur 1. Tidak Ordinal
Kemungkinan hasil penerapan berdasarkan teramati
Diamati inovasi pestisida jumlah skor 2. Kurang
nabati mudah yang diperoleh teramati
dilihat/ diamati 3. Sangat
oleh responden. teramati
X4.1 Tingkat Penilaian Diukur 1. Lebih rendah Ordinal
Produksi responden berdasarkan 2. Sama saja
Hortikultura terhadap perkiraan 3. Lebih tinggi
perbandingan jumlah panen
jumlah sayuran
yang dapat
dipanen dan layak
jual saat
menggunakan
pestisida nabati
dengan pestisida
kimia
20

Definisi Cara Satuan Tingkat


Variabel
Operasional Pengukuran Pengukuran Pengukuran
X4.2 Kualitas Penilaian Diukur 1. Lebih buruk Ordinal
Hortikultura responden berdasar 2. Sama saja
terhadap jumlah skor 3. Lebih baik
perbandingan yang diperoleh
kualitas sayuran
saat
menggunakan
pestisida nabati
dengan pestisida
kimia
Y1 Tingkat Tahap dimana Diukur 1. Tidak Ordinal
Pengetahuan responden berdasarkan mengenal
membuka diri jumlah skor 2. Cukup
terhadap keber- yang diperoleh mengenal
adaan inovasi dan 3. Sangat
memperoleh mengenal
pengetahuan
tentang inovasi
dan fungsinya.
Y2 Tingkat Tahap dimana Diukur 1. Tidak tertarik Ordinal
Persuasi responden berdasarkan 2. Biasa saja
membentuk sikap jumlah skor 3. Tertarik
menyukai/ yang diperoleh
berkenan atau
tidak menyukai/
tidak berkenan
terhadap inovasi
pestisida nabati.
Y3 Tingkat Tahap dimana Diukur 1. Tidak Ordinal
Keputusan responden dalam berdasarkan menggunakan
situasi jumlah skor 2. Ragu-ragu
menentukan yang diperoleh 3.
pilihan menerima Menggunakan
atau menolak
inovasi.
Y4 Tingkat Tahap dimana Diukur 1. Tidak Ordinal
Implementasi responden telah berdasarkan menggunakan
menerapkan jumlah skor 2.
inovasi pestisida yang diperoleh Menggunakan
nabati di lahannya tidak sesuai
sendiri. anjuran
3.
Menggunakan
sesuai anjuran
Y5 Tingkat Tahap dimana Diukur 1. Tetap Ordinal
Konfirmasi responden berdasarkan menolak
mencari jumlah skor 2. Berhenti
penguatan dari yang diperoleh menggunakan
proses 3. Lanjut
pengambilan menggunakan
keputusan yang
telah dilalui
sebelumnya.
21

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Karakteristik Geografis1

Desa Sidokerto merupakan salah satu desa yang masuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur.
Kecamatan Sidorejo sendiri adalah salah satu kecamatan baru di Kabupaten
Magetan. Sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah Tahun 2001, beberapa
wilayah di Kabupaten Magetan mengalami pemekaran wilayah. Pada tahun 2007,
terbentuklah Kecamatan Sidorejo dari beberapa desa di tiga kecamatan. Desa-desa
tersebut adalah: Desa Sidokerto, Desa Sumbersawit, dan Desa Widorokandang dari
Kecamatan Panekan; Desa Durenan, Desa Getasanyar, Desa Sidomulyo, dan Desa
Sidorejo dari Kecamatan Plaosan; dan Desa Campursari, Desa Kalang, dan Desa
Sambirobyong dari Kecamatan Magetan. Kecamatan Sidorejo sendiri berada pada
ketinggian 626 meter di atas permukaan laut. Letak astronomisnya berada di sekitar
7,65580⁰ Lintang Selatan dan 111,27985⁰ Bujur Timur. Suhu udara rata-rata di
wilayah ini 16 hingga 26⁰C dengan curah hujan sebanyak 181 hari pada tahun 2014.
Desa Sidokerto termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sidorejo dengan
topografi wilayah yang berada di lereng Pegunungan Lawu. Di sebelah utara, Desa
Sidokerto berbatasan dengan Desa Sumberdodol, sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Widorokandang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Sumbersawit
dan Desa Sumberdodol, serta sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjungsari
dan Desa Terung. Jika dilihat dari jarak tempuhnya, jarak tempuh dari Desa
Sidokerto menuju pusat pemerintahan Kecamatan Sidorejo yaitu 2 km. Sementara
itu, jarak tempuh menuju Ibukota Kabupaten Magetan yaitu 7 km. Adapun Ibukota
Provinsi Jawa Timur, Surabaya dapat ditempuh dari Desa Sidokerto dengan jarak
197 km.
Desa Sidokerto memiliki wilayah seluas 158,45 ha yang terdiri atas lahan
pertanian, bangunan, dan lainnya. Secara terperinci, data luas lahan dan
peruntukannya disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 4 Distribusi lahan Desa Sidokerto menurut penggunaannya tahun 2014


No. Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)
1. Permukiman 49,25 31,08
2. Pertanian
- Sawah 88,42 55,80
- Pekarangan 17,88 11,28
3. Bangunan
- Perkantoran 0,17 0,11
- Sekolah 1,38 0,87
- Kesehatan 0,05 0,03
- Perdagangan dan jasa 0,05 0,03
4. Makam 1,25 0,80
Jumlah 158,45 100,00
Sumber: Pemerintah Desa Sidokerto (2014)

1
Data diperoleh dari Statistik Daerah Kecamatan Sidorejo 2015 (BPS 2015)
22

Sebagaimana terlihat pada Tabel 4, wilayah Desa Sidokerto didominasi oleh


lahan pertanian sawah, yaitu sekitar 56%. Hal tersebut sejalan dengan mata
pencaharian penduduknya yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Adapun,
kawasan permukiman penduduk mencapai luas sekitar 31% dari keseluruhan luas
wilayah Desa Sidokerto. Permukiman penduduk cenderung mengelompok menurut
dusun masing-masing. Dusun Bendo berada di bagian paling barat berbatasan
dengan Desa Sumbersawit dan Desa Sumberdodol, sedangkan Dusun Teguhan
berada di bagian paling timur berbatasan dengan Desa Tanjungsari dan Desa
Terung. Jalan lingkar utara membelah bagian tengah desa yang kemudian
membatasi antar wilayah Dusun Batang di sebelah barat dan Dusun Serut di sebelah
timur. Terdapat pula bangunan perkantoran, sekolah, fasilitas kesehatan, fasilitas
perdagangan dan jasa, serta kompleks pemakaman.
Desa Sidokerto terbagi 17 wilayah RT, empat wilayah RW, dan empat
wilayah dusun (Dusun Bendo, Dusun Batang, Dusun Serut, dan Dusun Teguhan).
Kondisi sarana dan prasarana di wilayah tersebut cukup baik. Jalan utama desa
merupakan jalan provinsi yang menghubungkan pusat kota dengan jalan alternatif
Magetan, Jawa Timur - Karanganyar, Jawa Tengah sehingga kondisinya sangat
baik dan cukup ramai. Jalan yang menghubungkan antar dusun juga sudah beraspal,
kecuali jalan akses menuju area sawah belum semua beraspal. Desa Sidokerto dapat
dijangkau dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.
Kendaraan umum satu-satunya yang tersedia adalah angkutan desa dengan
jumlahnya yang masih sangat minim.

Karakteristik Sosial Ekonomi2

Berdasarkan data demografi yang dimiliki Pemerintah Desa Sidokerto,


jumlah penduduk Desa Sidokerto tahun 2014 yaitu 2.166 jiwa dengan rincian
penduduk laki-laki sejumlah 807 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 1.359
jiwa. Terdapat 657 kepala keluarga di Desa Sidokerto. Menurut data BPS
Kabupaten Magetan, tingkat pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 3 tahun
(2012-2014) mengalami peningkatan dari 0,55% menjadi 0,70% namun kemudian
melambat menjadi hanya 0,29% pada tahun 2014. Kepadatan penduduknya
mencapai 137 jiwa per km2. Pada Tabel 5 disajikan distribusi penduduk menurut
golongan umur.

Tabel 5 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut golongan umur tahun 2014
Golongan umur (tahun) Jumlah (n) Persentase (%)
0-6 130 6,0
7-15 342 15,8
16-25 373 17,2
26-50 786 36,3
> 50 535 24,7
Total 2.166 100,0

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa


Sidokerto tergolong ke dalam usia produktif (16 -25 tahun dan 26-50 tahun), yaitu

2
Data disarikan dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Sidokerto Tahun 2014
23

sekitar 53%. Penduduk usia sekolah (7-15 tahun) mencapai sekitar 16%. Persentase
penduduk usia sekolah tersebut jauh lebih rendah dibanding persentase penduduk
usia produktif. Penduduk lanjut usia (> 50 tahun) mencapai persentase sekitar 25%.
Adapun berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk Desa Sidokerto
disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut jenis pekerjaan yang


dilakukan tahun 2014
Jenis Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)
Pegawai Negeri Sipil 10 0,5
Perangkat Desa 16 0,8
Wirausaha 459 22,2
Petani 1.535 74,3
Buruh Tani 17 0,8
Lainnya 28 1,4
Total 2.065 100,0

Wilayah Desa Sidokerto yang berada di kaki Gunung Lawu cocok


diusahakan sebagai lahan pertanian. Hal tersebut terlihat dari besarnya persentase
penduduk Desa Sidokerto yang bermata pencaharian di bidang pertanian, yaitu
sekitar 74%. Banyaknya penduduk Desa Sidokerto yang bekerja sebagai petani
menjadi salah satu pertimbangan pemilihan lokasi penelitian di desa ini. Sekitar
22% bermata pencaharian sebagai wirausaha, sedangkan sisanya adalah perangkat
desa, buruh tani, pegawai negeri sipil, dan lain-lain. Bidang wirausaha yang
ditekuni warga Desa Sidokerto antara lain berdagang baik di Desa Sidokerto
ataupun di luar wilayah desa, membuka usaha bengkel motor, membuka usaha toko
dan warung.

Tabel 7 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut tingkat pendidikan yang


ditempuh tahun 2014
Tingkat Pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)
Penduduk tidak tamat SD/ Sederajat 33 1,9
Penduduk tamat SD/ Sederajat 1.153 66,9
Penduduk tamat SMP/ Sederajat 295 17,1
Penduduk tamat SMA/ Sederajat 214 12,4
Penduduk tamat S1/ Sarjana 29 1,7
Total 1.724 100,0

Distribusi penduduk menurut jenis pekerjaan sebagaimana tergambar pada


Tabel 6, nampaknya berhubungan dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuh.
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa Sidokerto telah
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar enam tahun, yaitu sekitar 67%. Sisanya
sekitar 17% telah menempuh pendidikan sekolah menengah pertama dan sekitar
12% menempuh sekolah menengah atas. Sedikitnya penduduk lulusan sekolah
menengah atas dapat dimungkinkan karena tidak adanya sekolah menengah atas di
Desa Sidokerto.
24

Ketersediaan sarana prasarana pendidikan, kesehatan, dan agama di Desa


Sidokerto cukup lengkap. Terdapat satu unit taman kanak-kanak, dua unit sekolah
dasar, dan satu unit sekolah menengah pertama. Untuk melanjutkan ke sekolah
menengah atas atau sederajat, anak-anak di Desa Sidokerto harus pergi ke
kecamatan terdekat, yaitu di Kecamatan Plaosan dan Kecamatan Magetan. Sarana
kesehatan yang ada meliputi tiga unit Posyandu dan satu unit Puskesmas. Tempat
peribadatan yang tersedia hanya masjid dan mushola karena hampir semua
penduduknya beragama Islam.

Kondisi Pertanian

Menurut data rekapitulasi pemetaan lahan pertanian Kecamatan Sidorejo


tahun 2014, penggunaan lahan pertanian di Desa Sidokerto terbagi menjadi dua,
yaitu lahan sawah dan pekarangan. Pada Gambar 4 disajikan data persentase lahan
pertanian berdasarkan penggunaannya di Desa Sidokerto tahun 2014. Lahan sawah
di Desa Sidokerto adalah sebesar 86%, sedangkan lahan pekarangan hanya 14%.

Gambar 4 Distribusi lahan pertanian Desa Sidokerto menurut penggunaan


tahun 2014

Pola tanam di daerah ini adalah padi – palawija - sayur. Padi yang biasa
ditanam petani adalah varietas unggul baru (VUB), seperti Ciherang, IR64, Way
Apoburu, dan Memberamo. Selain itu juga terdapat sebagian kecil petani yang
menanam padi gogo namun dengan perlakuan sawah irigasi dengan menggunakan
varietas Situ Bagendit. Hasil panen padi biasanya akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga untuk beberapa bulan ke depan. Jika ada kelebihan,
petani akan menjual sisanya.
Palawija yang ditanam petani antara lain: kedelai, jagung, ubi jalar, dan
kacang tanah. Ubi jalar adalah komoditas yang paling banyak ditanam oleh petani
karena tidak memerlukan perawatan khusus, seperti pemupukan, pengairan, dan
pengendalian hama. Hasil panen palawija ini semuanya dijual oleh petani. Beberapa
petani ada yang menyisakan sebagian kecilnya hasil panennya untuk digunakan
sebagai benih pada musim tanam berikutnya.
Pola tanam selanjutnya adalah menanam sayur. Komoditas sayur yang
ditanam petani sangat beragam tergantung masing-masing petani itu sendiri. Petani
biasanya akan mempertimbangkan faktor permintaan pasar dan juga musim dalam
menentukan komoditas sayur apa yang akan ditanam. Sayuran yang dapat tumbuh
optimal di wilayah Desa Sidokerto antara lain: kubis, buncis, cabai rawit, sawi,
terong, mentimun, bawang merah, dan tomat. Permasalahan yang paling umum
25

dialami petani sayur di Desa Sidokerto adalah harga sayur yang turun drastis ketika
panen raya tiba. Petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menjualnya dengan harga
yang sangat murah. Sayuran harus segera dijual setelah panen karena tidak dapat
disimpan lama dan kebutuhan keluarga terhadap sayur pun tidak terlalu banyak.
Pilihan komoditas lainnya yang dapat ditanam petani adalah cincau hitam.
Tanaman cincau ini dapat diambil daunnya untuk dibuat minuman cincau. Cincau
hitam dapat dipanen sekitar 4 bulan setelah tanam. Setelah dipanen, cincau dijemur
hingga kering. Cincau kering inilah yang akan dijual petani ke pasar atau
pengumpul cincau yang ada di Desa Sidokerto. Satu hektar tanaman cincau hitam
biasanya dapat menghasilkan 7,5 hingga 9 ton cincau basah. Setelah melalui proses
pengeringan, 1 hektar tanaman cincau hanya menghasilkan 1,5 ton cincau kering.
Lahan sawah mengandalkan pengairan dari sumber air yang ada di sebelah
barat Desa Sidokerto, yaitu di Desa Sumbersawit. Sistem pengairan dilakukan
dengan bergiliran per blok sawah. Masing-masing blok dapat memperoleh
pengairan setidaknya setiap 14 hari sekali. Tidak ada pungutan biaya dalam sistem
pengairan ini karena berasal dari sumber air alami di kaki Gunung Lawu. Petani
akan dimintai sumbangan hanya jika diperlukan perbaikan saluran pengairan.

Kelembagaan

Desa Sidokerto memiliki kelembagaan yang terdiri atas kelembagaan


formal dan informal. Kelembagaan formal terdiri dari lembaga pemerintahan, yaitu:
Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Lembaga Kemasyarakatan Desa. Lembaga
Kemasyarakatan Desa terdiri dari: Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT),
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Posyandu,
Kelompok Tani, dan Kelompok Wanita Tani (KWT).
Karang Taruna berfungsi ketika ada warga desa yang memiliki hajatan,
seperti pesta pernikahan atau syukuran. Karang Taruna akan membantu pemilik
hajat dengan mengerahkan anggota untuk menjadi penerima tamu, atau pekerjaan
lain yang dibutuhkan oleh pemilik hajat. Hal tersebut dilakukan Karang Taruna
dengan sukarela dan biasanya di akhir hajatan diadakan syukuran dengan
mengundang Karang Taruna sebagai ucapan terimakasih.
Desa Sidokerto memiliki 3 Posyandu yang tersebar di masing-masing
wilayah dusun, yaitu Dusun Teguhan, Dusun Serut, kecuali Dusun Batang dan
Bendo hanya memiliki 1 Posyandu bersama. Kegiatan Posyandu dilaksanakan rutin
setiap bulan sekali dengan waktu menyesuaikan jadwal praktik bidan di Puskesmas
Desa Sidokerto.
Kelompok Tani terbentuk mulai awal tahun 2000-an karena para petani
merasa perlunya suatu wadah untuk bertukar pikiran mengenai praktik dan
permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Sementara itu, Kelompok Wanita
Tani (KWT) baru terbentuk pertengahan tahun 2016 dengan inisiasi dari Petugas
Penyuluh Lapang BPP Sidorejo.
Kelembagaan informal di Desa Sidokerto adalah kelembagaan keagamaan
yaitu pengajian dan kelembagaan keuangan yaitu arisan. Kegiatan arisan dan
pengajian dilakukan bersamaan sebulan sekali dan tempatnya bergiliran. Kegiatan
arisan dan pengajian tersebut dilakukan per wilayah RW karena
mempertimbangkan kedekatan tempat tinggal agar mudah dihadiri warga desa.
26

Kelompok Tani

Desa Sidokerto memiliki petani sebanyak 112 orang yang terdaftar sebagai
anggota kelompok tani. Terdapat tiga kelompok tani di Desa Sidokerto yang
dibentuk menurut wilayah dusun, yaitu: Dusun Teguhan dengan Kelompok Tani
Sidorukun; Dusun Serut dengn Kelompok Tani Sidomakmur; serta Dusun Batang
dan Bendo dengan Kelompok Tani Sidomukti. Kelompok tani yang ada di Desa
Sidokerto didirikan pada awal tahun 2000-an. Para petani di masing-masing dusun
merasa perlu adanya sebuah wadah yang dapat dijadikan tempat diskusi dan tukar
pikiran tentang praktik dan permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Akhirnya
dibentuklah kelompok tani tiap dusun agar mempermudah petani untuk melakukan
kegiatan bersama, meskipun sawah mereka lokasinya berbeda-beda.
Kelompok Tani Sidorukun saat ini diketuai oleh SPD (46 tahun) dengan
anggota sebanyak 20 petani. SPD (46 tahun) dipilih sebagai ketua melalui
musyawarah kelompok untuk menggantikan ketua sebelumnya yang masih
memiliki ikatan keluarga. Hal yang sama juga terjadi di Kelompok Tani Sidomukti
yang saat ini diketuai oleh PNO (47 tahun) dengan jumlah anggota sebanyak 56
petani. PNO (47 tahun) telah menjadi ketua kelompok tani selama dua periode,
yaitu sejak tahun 2012. PNO (47 tahun) dipilih menjadi ketua berdasarkan
musyawarah kelompok untuk menggantikan ketua sebelumnya yang meninggal
dunia. Ketua sebelumnya adalah paman dari PNO (47 tahun). Berbeda dengan dua
kelompok tani lainnya, Kelompok Tani Sidomakmur diketuai oleh PRN (63 tahun)
dengan jumlah anggota sebanyak 36 petani. PRN (63) menyatakan bahwa dia telah
menjadi ketua sejak dibentuknya Kelompok Tani Sidomakmur karena dulunya dia
menjabat sebagai ketua RW. Saat ini, dia ingin ada orang lain yang
menggantikannya sebagai ketua karena usianya yang sudah tidak memungkinkan
untuk menjalankan tugasnya sebagai ketua. Namun hal tersebut tidak mudah karena
para anggota kelompok taninya tidak ada yang mau mencalonkan diri sebagai ketua.
Pembentukan kelompok tani di Desa Sidokerto yang didasarkan pada
kedekatan wilayah, yaitu wilayah dusun, menyebabkan beberapa kesulitan yang
dialami kelompok tani itu sendiri. Lahan petani anggota tidak berada pada satu
wilayah yang sama sehingga sulit untuk melakukan diskusi atau kegiatan bersama
lainnya di lahan. Oleh karena itu, kegiatan kumpul rutin kelompok tani yang
diadakan tiap bulan menjadi penting sebagai wadah untuk berdiskusi dan
menyampaikan informasi-informasi penting mengenai pertanian. Kegiatan kumpul
rutin tersebut juga diselingi dengan arisan.

Penyelenggaraan Penyuluhan Pengendalian Hama Tanaman


dengan Pestisida Nabati

Klinik Pengendalian Hama Terpadu (Klinik PHT) “Sidodadi”

Merujuk pada kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang


(UU) No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman,
penyelenggaraan perlindungan tanaman hendaknya dilakukan sesuai dengan sistem
pengendalian hama terpadu (PHT). Berdasar kebijakan tersebut, Dinas Pertanian
27

tingkat Provinsi Jawa Timur memfasilitasi petani untuk menerapkan prinsip-prinsip


PHT melalui pengadaan Klinik Pengendalian Hama Terpadu (Klinik PHT) di Desa
Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan. Selanjutnya, Klinik PHT
tersebut diberi nama Klinik PHT Sidodadi. Dalam pelaksanaannya, Klinik PHT
tersebut dibina oleh UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH)
Provinsi Jawa Timur dan Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Pangan dan Hortikultura (PHPTPH) Madiun. Sementara itu, Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) Kecamatan Sidokerto berperan sebagai pendamping
penyelenggaraan di lapangan. Pada Gambar 5 disajikan susunan organisasi Klinik
PHT Sidodadi.

Ketua

Sekretaris Bendahara

Seksi Sarana Seksi


Seksi Budidaya Seksi Seksi Hubungan
dan Pengamatan dan
Tanaman Sehat Pengendalian Masyarakat
Pengembangan Identifikasi

Gambar 5 Susunan organisasi Klinik PHT Sidodadi di Desa Sidokerto


(Sumber: Klinik PHT Sidodadi, 2016)

Ketua Klinik PHT Sidodadi dipilih berdasarkan kesepakatan petani dan


disetujui oleh BPP Sidokerto selaku pendamping penyelenggaraan Klinik PHT.
Dalam menjalankan kegiatan Klinik, ketua dibantu oleh seorang sekretaris dan
bendahara. Selain itu, terdapat 5 seksi yang menjalankan tugas-tugas khusus untuk
mendukung terselenggaranya visi dan misi Klinik. Kelima seksi tersebut yaitu:
seksi budidaya tanaman sehat, seksi sarana dan pengembangan, seksi pengamatan
dan identifikasi, seksi pengendalian, dan seksi hubungan masyarakat. Seksi
budidaya tanaman sehat bertugas mengumpulkan informasi mengenai praktik
budidaya tanaman mulai dari pengolahan tanah sampai panen memperhatikan
prinsip budidaya tanaman organik. Seksi sarana dan pengembangan bertugas untuk
menyediakan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan oleh seksi lainnya dan
juga melakukan riset sederhana dalam pembuatan produk agens hayati yang sesuai
dengan prinsip PHT, meliputi: mikro organisme lokal (MOL), pestisida nabati,
plant growth promoting rhizobacter (PGPR), Trichoderma, dan Choryne bacterium.
Seksi pengamatan dan identifikasi bertugas untuk melakukan pengamatan dan
menampung informasi dari petani mengenai hama dan penyakit yang menyerang
tanaman lalu mengidentifikasi hama dan penyakit tersebut. Seksi pengendalian
memiliki tugas utama yaitu memproduksi agens hayati yang terdiri dari: MOL,
pestisida nabati, PGPR, Trichoderma, dan Choryne bacterium. Terakhir, seksi
hubungan masyarakat bertugas untuk menginformasikan kepada petani di Desa
Sidokerto mengenai produk agens hayati dan budidaya tanaman sehat. Selain itu,
seksi hubungan masyarakat juga bertugas menampung aspirasi petani dan
masyarakat terkait penyelenggaraan Klinik PHT Sidodadi sebagai bahan
pengembangan dan perbaikan Klinik PHT Sidodadi ke depannya.
28

Untuk mencapai visi mewujudkan kawasan ramah lingkungan dan


memecahkan masalah OPT, Klinik PHT Sidodadi memiliki tiga misi yang akan
dijalankan. Pertama, Klinik PHT Sidodadi berupaya untuk menjadikan agens hayati
dan pestisida nabati sebagai kebutuhan utama petani untuk mengendalikan OPT.
Kedua, Klinik Sidodadi diharapkan dapat meningkatkan pemahaman petani tentang
pengendalian OPT yang ramah lingkungan. Terakhir, terbentuknya kesadaran
petani untuk menjadikan pestisida kimia sebagai alternatif terakhir dalam
pengendalian OPT.
Klinik PHT Sidodadi mengadakan kegiatan diskusi, praktik, dan
pengamatan hama terkait penerapan sistem pengendalian hama terpadu. Salah satu
materi yang dibahas adalah pengendalian hama dengan menggunakan pestisida
nabati. Petani belajar dan mempraktikkan cara membuat pestisida nabati secara
sederhana dengan memanfaatkan bahan-bahan yang dapat diperoleh di sekitar
tempat tinggal, seperti daun mimba, lengkuas, dan serai. Hingga saat ini, Klinik
PHT Sidodadi masih memproduksi pestisida nabati untuk digunakan oleh petani di
Sidokerto dan sekitarnya.

Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT)

SLPHT merupakan suatu metode penyuluhan perlindungan tanaman untuk


mengimplementasikan prinsip pengendalian hama terpadu. Ide penyelenggaraan
sekolah lapang sebagai metode penyuluhan tersebut tercetus karena adanya dua
tantangan pokok, yaitu keanekaragaman ekologi dan peran petani sebagai manajer
(ahli PHT) di lahannya sendiri. Pengendalian hama terpadu sangat berhubungan
dengan keanekaragaman ekologi di daerah tersebut sehingga pengendalian hama
terpadu mutlak bersifat lokal. Oleh karena itu, pengendalian hama terpadu sangat
bergantung pada petani itu sendiri sebagai aktor utama yang mampu mengenali dan
menerapkan praktik-praktik pertanian yang sesuai dengan daerahnya.
SLPHT memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) untuk meningkatkan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan petani dalam melakukan budidaya
tanaman hortikultura sesuai dengan kaidah PHT yang berkelanjutan; (2) untuk
menerapkan teknologi praktis, mudah, dan murah serta ramah lingkungan dalam
budidaya tanaman hortikultura yang sehat dan aman konsumsi; (3) serta mendorong
dan memanfaatkan sumberdaya lokal dalam budidaya kawasan kebun yang
berwawasan lingkungan.
Sekolah Lapang PHT di Magetan diadakan pada bulan Agustus hingga
November 2015, meliputi kegiatan budidaya komoditas cabai rawit selama empat
bulan. Setiap minggu diadakan pengamatan agroekosistem dan setelah itu petani
berkumpul untuk mendiskusikan hasil temuan di lapang bersama dengan penyuluh.
Pengamatan agroekosistem menghasilkan temuan jenis serangga yang menyerang
tanaman budidaya dan cara pengendaliannya. Cara pengendalian hama yang
dipelajari antara lain: pengenalan musuh alami, dan pembuatan agens hayati seperti
Trichoderma, Choryne bacterium, dan pestisida nabati. Data mengenai kandungan,
fungsi, dan sasaran dari tumbuhan yang dijadikan bahan pestisida nabati disajikan
pada Tabel 8.
29

Tabel 8 Kandungan, fungsi, dan sasaran dari tumbuhan yang dijadikan bahan
pestisida nabati
No. Tumbuhan Kandungan Fungsi Sasaran
1. Akar tuba Rotenon Menyebabkan serangga Serangga dan ulat
kehilangan nafsu makan
2. Tembakau Nikotin Meracuni saraf (racun Ulat perusak daun,
kontak dan sistemik) Aphis, Trips, kutu
daun
3. Mimba Azadirachtin Mencegah serangga Belalang, wereng,
dan Salanin memakan tanaman, ngengat, Trips,
mengganggu hormon kumbang, ulat,
reproduksi, dan embun tepung,
mengacaukan karat daun, bercak
metamorfosis serangga daun, kudis, dan
layu daun
4. Gadung Dioskorin Mencegah serangga makan Serangga, ulat, dan
tanaman, mengganggu nematoda
sistem saraf, menyebabkan
kejang, dan sebagai
antifertilitas
5. Sereh Sitronela Bersifat racun dehidrasi Serangga dan kutu
yang menyebabkan daun
kematian karena
kehilangan cairan terus-
menerus
(Sumber: Klinik PHT Sidodadi, 2016)

Berdasarkan Tabel 8, pestisida yang dibuat petani diuji kandungannya di


Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura
(PHPTPH) yang ada di Madiun. Hasilnya, pestisida nabati memiliki kandungan
bahan kimia untuk membasmi serangga, seperti: akar tuba mengandung Rotenon;
tembakau mengandung Nikotin; mimba mengandung Azadirachtin dan Salanin;
gadung mengandung Dioskorin; dan sereh mengandung Sitronela. Bahan-bahan
tersebut dapat dipadukan ke dalam satu campuran ataupun dapat dibuat secara
tersendiri. Petani dapat menyesuaikan bahan untuk membuat pestisida nabati
tersebut dengan hasil pengamatan hama di lapang.
30
31

DESKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG DIDUGA BERHUBUNGAN


DENGAN TAHAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN
INOVASI PESTISIDA NABATI

Karakteristik Petani Hortikultura

Karakteristik petani yang diteliti adalah umur, tingkat pendidikan, pekerjaan


utama, luas lahan, lama berusahatani, tingkat kekosmopolitan, tingkat keinovatifan,
dan tingkat dukungan kelompok. Adapun data karakteristik petani dapat dilihat
lebih rinci pada Tabel 9.
Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sebagian besar petani berumur antara
44 hingga 55 tahun, yaitu sekitar 52,3%. Petani yang berumur kurang dari 44 tahun
lebih sedikit dibanding petani yang berumur lebih dari 55 tahun, yaitu hanya sekitar
20,4%. Sedikitnya petani yang berumur kurang dari 44 tahun mengindikasikan
rendahnya minat golongan muda dalam bertani. Temuan di lapang menunjukkan
bahwa golongan muda lebih memilih untuk membuka usaha sendiri, seperti
membuka bengkel motor, warung kopi, toko, dan menjadi sopir. Di lain pihak, tidak
sedikit pula warga yang keluar dari Desa Sidokerto untuk merantau ke kota besar,
seperti Surabaya, untuk bekerja di sektor industri.
Dilihat dari aspek pendidikan, data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa
sebagian besar petani merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) dengan persentase
sekitar 55%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran petani terhadap
pentingnya program wajib belajar 9 tahun belum terlalu tinggi. Meskipun demikian,
persentase petani yang menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA) juga tergolong
tinggi dengan selisih sekitar 14%. Persentase tersebut mengindikasikan bahwa tidak
semua petani mengabaikan pentingnya pendidikan.
Di lain pihak, jika dilihat dari jenis pekerjaan utama, lebih dari separuh
responden bekerja sebagai petani (75%). Namun demikian, sekitar 25% responden
lainnya menjadikan usahatani hanya sebagai pekerjaan tambahan. Adapun
responden tersebut memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang, peternak sopir,
pengusaha konveksi, guru, dan perangkat desa.
Lahan yang digarap oleh sebagian besar petani (55%) memiliki luas 0,25
hingga 0,5 hektar dan hanya 5% petani yang memiliki lahan dengan luas lebih dari
0,5 ha. Berdasarkan data tersebut, cukup banyak petani yang menggarap lahan
sempit dengan luas kurang dari 0,25 ha. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena
petani memperoleh lahan usahatani dari warisan orang tua yang harus dibagi
dengan saudara lainnya. Temuan tersebut kontradiktif dengan data desa yang
menyatakan bahwa lebih dari separuh lahan di Desa Sidokerto digunakan untuk
usaha tani. Hal tersebut dapat dikarenakan sekitar 74% penduduk Desa Sidokerto,
yaitu sebanyak 1.535 jiwa, bermata pencaharian sebagai petani. Namun penelitian
ini hanya melibatkan petani yang tergabung dalam kelompok tani yang total
anggota hanya 112 orang. Fakta lain yang ditemukan yaitu tidak semua petani
menggarap sendiri semua lahannya. Ada petani yang lebih memilih menyewakan
sebagian besar lahannya dan hanya menggarap sebagian kecil lahan untuk ditanami
padi, palawija, atau sayuran.
32

Tabel 9 Jumlah dan persentase petani berdasarkan karakteristik petani


hortikultura di Desa Sidokerto Tahun 2016
Karakteristik Petani Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang dari 44 tahun 9 20,4
Umur 44 - 55 tahun 23 52,3
Lebih dari 55 tahun 12 27,3
Total 44 100,0
SD/ sederajat 24 54,5
SMP/ sederajat 1 2,3
Tingkat Pendidikan
SMA/ sederajat 18 41,0
S1 1 2,2
Total 44 100,0
Bukan Petani 11 25,0
Pekerjaan Utama
Petani 33 75,0
Total 44 100,0
Kurang dari 0,25 ha 18 41,0
Luas Lahan 0,25 - 0,5 ha 24 54,5
Lebih dari 0,5 ha 2 4,5
Total 44 100,0
Kurang dari 15 tahun 9 20,5
Lama Berusahatani 15 - 30 tahun 23 52,3
Lebih dari 30 tahun 12 27,3
Total 44 100,0
Rendah 22 50,0
Tingkat
Kekosmopolitan Sedang 22 50,0
Tinggi 0 0,0
Total 44 100,0
Rendah 6 13,6
Tingkat Keinovatifan Sedang 7 15,9
Tinggi 31 70,5
Total 44 100,0
Tidak tahu 1 2,3
Tingkat Dukungan Rendah 3 6,8
Kelompok Sedang 13 29,5
Tinggi 27 61,4
Total 44 100,0

Dilihat dari lama bertani, sebagian besar petani, yaitu sebesar 52%, telah
bertani selama 15 hingga 30 tahun dan hanya sekitar 21% yang bertani selama
kurang dari 15 tahun. Sebagian besar petani yang ditemui telah berusahatani
semenjak mereka menikah, bahkan ada beberapa petani yang berusahatani setelah
lulus sekolah. SPD (46 tahun) menyatakan bahwa dahulu setamat SMA ia
33

membantu orangtuanya di sawah dan setelah menikah ia dipercaya orangtuanya


untuk menggarap sebidang sawahnya di Dusun Teguhan.
Dilihat dari tingkat kekosmopolitan, petani berada pada kategori rendah dan
sedang, masing-masing sebesar 50%. Petani dapat dikategorikan memiliki tingkat
kekosmopolitan yang tinggi jika: pernah mengikuti penyuluhan, sering berkunjung
ke Klinik PHT Sidodadi, dan mengakses tiga sumber informasi tentang penyuluhan
pestisida nabati (kelompok taninya sendiri, kelompok tani lain, dan penyuluh).
Namun tidak ditemukan petani yang mengakses semua sumber informasi tersebut.
Hal tersebut disebabkan karena petani merasa cukup dengan informasi yang
diperoleh dari kelompok taninya sendiri dan atau penyuluh saja, sehingga petani
jarang bertukar informasi atau berdiskusi dengan kelompok tani lain. Hal tersebut
menyebabkan tidak adanya petani yang memiliki tingkat kekosmopolitan yang
tinggi. Artinya, petani tergolong lokalit karena petani mencari informasi hanya dari
dalam sistem sosialnya.
Rendahnya tingkat kekosmopolitan petani ternyata berbanding terbalik
dengan tingkat keinovatifan petani. Sebagian besar petani memiliki tingkat
keinovatifan yang tinggi, yaitu sekitar 71%. Sekitar 14% petani petani termasuk
dalam kategori rendah. Temuan di lapang menunjukkan bahwa tingginya tingkat
keinovatifan petani tersebut karena sebagian besar petani pernah mencoba inovasi
yang diperkenalkan sebelumnya, seperti benih padi hibrida, benih jagung hibrida,
dan Mikro Organisme Lokal (MOL)3. Tingginya kecepatan adopsi pestisida nabati
juga menunjukkan sikap inovatif petani. Dengan demikian, petani tetap memiliki
ketertarikan untuk menerima praktik atau hal baru meskipun petani hanya
memperoleh informasi dari dalam sistem sosialnya saja.
Sekitar 61% petani menyatakan bahwa tingkat dukungan kelompok tani
termasuk dalam kategori tinggi, sementara 7% termasuk kategori rendah, dan 2%
petani tidak mengetahui adanya dukungan kelompok tani terhadap penggunaan
pestisida nabati. Tingkat dukungan kelompok tani yang tinggi dapat dilihat dari
adanya anggota kelompok tani yang menggunakan pestisida nabati, sikap
mendukung yang ditunjukkan kelompok tani terhadap penggunaan pestisida nabati,
dan adanya bantuan kelompok tani terhadap penggunaan pestisida nabati. Petani
yang tidak mengetahui ada tidaknya dukungan kelompok tani ini adalah mereka
yang jarang atau tidak pernah mengikuti kumpul kelompok tani, sehingga petani
tersebut tidak memperoleh informasi mengenai dukungan kelompok tani terhadap
penggunaan pestisida nabati.
Berdasarkan Tabel 9, dapat disimpulkan bahwa umur petani sebagian besar
berada pada rentang 41 hingga 60 tahun dan sekitar 55% petani telah menempuh
pendidikan hingga sekolah dasar. Sebesar 75% responden memiliki pekerjaan
utama sebagai petani dengan rata-rata lama usahatani 15 hingga 30 tahun dan rata-
rata luas lahan 0,25 hingga 0,5 hektar. Petani memiliki tingkat kekosmopolitan
sedang namun memiliki tingkat keinovatifan yang tinggi serta tingkat dukungan
kelompok yang tinggi pula.

3
Mikro Organisme Lokal (MOL) diperkenalkan kepada petani melalui kegiatan SLPHT dan
Klinik PHT Sidodadi.
34

Karakteristik Pestisida Nabati yang Dipersepsikan Petani

Pestisida nabati yang diperkenalkan kepada petani melalui Klinik PHT


Sidodadi dan program SLPHT memiliki karakteristik yang terdiri atas: tingkat
keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemungkinan
dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati (Rogers 1983). Masing-masing variabel
tersebut terdiri atas beberapa indikator yang kemudian diukur berdasarkan jumlah
skor yang diperoleh responden.

Tingkat Keuntungan Relatif

Tingkat keuntungan relatif didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana


penggunaan inovasi dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan inovasi
sebelumnya. Inovasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pestisida nabati
dan inovasi sebelumnya adalah pestisida kimia yang biasa digunakan petani.
Tingkat keuntungan relatif dapat dilihat dari 6 indikator, yaitu: biaya yang
dikeluarkan lebih murah, tenaga yang diperlukan lebih sedikit, waktu yang
dibutuhkan lebih sedikit, daya simpan lebih lama, ramah lingkungan, dan aman
untuk dikonsumsi. Dari indikator-indikator tersebut, tingkat keuntungan relatif
kemudian digolongkan ke dalam empat kategori: tidak tahu, merugikan, sama saja,
dan menguntungkan. Pada Tabel 10 disajikan data petani berdasarkan jumlah dan
persentasenya.
Berdasarkan Tabel 10, petani menilai bahwa pestisida nabati
menguntungkan dilihat dari 3 indikator, yaitu: biaya yang dikeluarkan, dampak
terhadap lingkungan, dan keamanan untuk dikonsumsi. Biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh pestisida nabati dinilai petani lebih murah dibanding pestisida
kimia, karena bahan-bahan untuk membuat pestisida nabati (rempah-rempah, jahe,
dan buah maja) dapat diperoleh di sekitar rumah seperti yang disampaikan oleh SJD
(44 tahun):

“... bahan [pestisida nabati] mboten tumbas: empon-empon, jahe, maja saget
pados sekitar omah. Ndamel piyambak. ...” (SJD 44 tahun).
[“... bahan pestisida nabati tidak beli: rempah-rempah, jahe, maja bisa dicari
di sekitar rumah. Saya membuatnya sendiri. ...”].

Selain itu, jika petani memilih untuk membeli pestisida nabati, harganya
lebih murah dibanding pestisida kimia. Satu botol ukuran 1500 ml pestisida nabati
dijual seharga Rp 20.000,00 untuk 4 kali pemakaian, sedangkan pestisida kimia
ukuran kurang dari 500 ml dijual dengan harga Rp 30.000,00 dan hanya untuk 2
kali pemakaian. Hal tersebut didukung oleh pernyataan JNO (65 tahun) sebagai
berikut:

“... Nek tuku pestisida nabati sak [botol] aqua gede regane Rp 20.000,00 iso
kanggo 4 kali penggunaan. Nek [pestisida] kimia sing botol cilik ae regane Rp
30.000,00 mung iso kanggo 2 kali penggunaan. Luwih murah [pestisida]
nabati. ...” (JNO 65 tahun).
[“... Kalau beli pestisida nabati satu botol aqua besar harganya Rp 20.000,00
bisa untuk 4 kali penggunaan. Kalau pestisida kimia yang botol kecil saja
35

harganya Rp 30.000,00 hanya bisa untuk 2 kali penggunaan. Lebih murah


pestisida nabati. ...”]

Tabel 10 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat


keuntungan relatif pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Indikator Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 7 15,9
Lebih mahal 0 0,0
Biaya
Sama saja 1 2,3
Lebih murah 36 81,8
Total 44 100,0
Tidak tahu 7 15,9
Lebih banyak 29 65,9
Tenaga
Sama saja 8 18,2
Lebih sedikit 0 0,0
Total 44 100,0
Tidak tahu 8 18,2
Waktu yang Lebih lama 33 75,0
dibutuhkan Sama saja 3 6,8
Lebih cepat 0 0,0
Total 44 100,0
Tidak tahu 9 20,5
Lebih cepat 31 70,5
Daya Simpan
Sama saja 4 9,1
Lebih lama 0 0,0
Total 44 100,0
Tidak tahu 8 18,2
Dampak
Merusak lingkungan 0 0,0
terhadap
Lingkungan Sama saja 1 2,3
Ramah lingkungan 35 79,5
Total 44 100,0
Tidak tahu 8 18,2
Keamanan
Berbahaya untuk dikonsumsi 0 0,0
untuk
Dikonsumsi Sama saja 1 2,3
Aman untuk dikonsumsi 35 79,5
Total 44 100,0

Keuntungan lain yaitu penggunaan pestisida nabati sangat aman bagi


lingkungan. Pestisida nabati tidak berbahaya bagi petani ketika melakukan
penyemprotan dan juga tidak menimbulkan pencemaran tanah dan air. Selain itu,
hasil panen sayuran yang telah diaplikasikan dengan pestisida nabati aman untuk
dikonsumsi. Tidak seperti hasil panen sayuran dengan pestisida kimia yang
mengandung residu bahan-bahan kimia berbahaya. SRT (33 tahun) mengatakan
bahwa:
36

“... [Sayuran] sing pesnab iku aman dikonsumsi. Setelah disemprot ndak
meninggalkan bahan kimia di tanaman, ndak mencemari lingkungan, lan ndak
mbunuh hewan lain [musuh alami]. ...” (SRT 33 tahun).

Namun demikian, lebih dari 65% petani menilai bahwa pestisida nabati
cukup merugikan dilihat dari tiga indikator lainnya, yaitu: tenaga yang diperlukan,
waktu yang dibutuhkan, dan daya simpan. Pestisida nabati dapat diperoleh melalui
dua cara, yaitu dengan membeli di Klinik PHT Sidodadi dan dengan membuatnya
sendiri. Jika petani memilih cara dengan membuat sendiri tentu dibutuhkan lebih
banyak tenaga dibanding dengan membelinya langsung. Selain itu, pengaplikasian
pestisida nabati dianjurkan lebih sering akan lebih baik sehingga membutuhkan
tenaga lebih banyak seperti pernyataan SPD (46 tahun): “... butuh tenaga lebih. Itu
[pestisida nabati] kan nyemprotnya tiga hari sekali. Lha saya kurang telaten. ...”.
Waktu yang dibutuhkan di sini maksudnya adalah waktu yang dibutuhkan
untuk melihat reaksi hama terhadap pengaplikasian pestisida nabati. Pestisida
nabati bekerja tidak langsung dalam mematikan hama sasaran, melainkan dengan
menghilangkan nafsu makan hama, menyebabkan kemandulan pada hama, atau
menghambat metabolisme hama hingga beberapa waktu kemudian hama tersebut
mati. Hal tersebut didukung oleh pernyataan salah satu petani, DRN (54 tahun): “...
[Pestisida nabati] merusak saraf insek [hama sasaran], jadi hamanya ndak bisa
makan dan berkembangbiak. Setelah itu mati perlahan. ...”.
Dilihat dari bahan-bahannya, pestisida nabati dibuat dari bahan-bahan alami
tanpa campuran bahan kimia sehingga hanya dapat disimpan dalam waktu yang
relatif singkat, yaitu hanya 1 bulan, berbeda dengan pestisida kimia yang masih
dapat disimpan selama berbulan-bulan kemudian setelah pertama kali diaplikasikan.
Hal tersebut disampaikan oleh petani SRT (33 tahun): “... Paling [pestisida nabati]
bisa bertahan sampai satu bulan setelah dibuat. Setelah itu ya buat lagi. Wong
gampang kok. ...”.
Secara garis besar, dapat dirangkum bahwa biaya yang dibutuhkan untuk
memperoleh pestisida nabati lebih murah dibanding pestisida kimia meskipun
tenaga yang dibutuhkan untuk memperoleh pestisida nabati lebih banyak. Jika
menggunakan pestisida nabati, waktu yang dibutuhkan untuk melihat reaksi hama
lebih lambat dibanding menggunakan pestisida kimia. Daya simpan pestisida nabati
juga lebih cepat dibanding pestisida kimia. Meskipun demikian, pestisida nabati
lebih ramah lingkungan dan sayurannya aman untuk dikonsumsi.

Tabel 11 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat


keuntungan relatif pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Keuntungan Relatif Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 7 15,9
Merugikan 1 2,3
Sama saja 30 68,2
Menguntungkan 6 13,6
Total 44 100,0

Jika diamati secara keseluruhan, indikator-indikator tingkat keuntungan


relatif pestisida nabati nampaknya seimbang antara indikator yang menguntungkan
37

dan merugikan. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa petani
menganggap pestisida nabati tidak menguntungkan ataupun merugikan dibanding
pestisida kimia yang biasa mereka gunakan, dengan persentase sebesar 68%
sebagaimana terlihat pada Tabel 11. Meskipun demikian, sekitar 14% petani
menganggap bahwa pestisida nabati lebih menguntungkan dibanding pestisida
kimia. Terdapat sekitar 16% petani yang tidak mengetahui tentang tingkat
keuntungan relatif pestisida nabati. Hal tersebut dimungkinkan karena petani tidak
mengikuti kegiatan SLPHT dan Klinik PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak pernah
mengikuti kumpul kelompok.

Tingkat Kesesuaian

Tingkat kesesuaian didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana inovasi


dinilai sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan petani. Inovasi pestisida nabati
diamati dari lima indikator, terdiri atas: kemudahan memperoleh pestisida nabati,
kedekatan jarak untuk memperoleh pestisida nabati, keefektifan pestisida nabati,
resistensi hama, dan pengaruh terhadap hama. Pada Tabel 12 disajikan data petani
berdasarkan jumlah dan persentasenya.
Pestisida nabati dapat diperoleh dengan mudah melalui dua cara. Pertama,
petani dapat membuatnya sendiri dengan alat dan bahan yang dapat dicari dengan
mudah. Bahan-bahan untuk membuat pestisida nabati adalah akar tuba, tembakau,
mimba, gadung, serai, dan air. Kedua, petani dapat membeli racikan pestisida
nabati siap pakai yang dijual di Klinik PHT Sidodadi. Pestisida nabati yang dijual
di Klinik PHT Sidodadi biasanya dikemas dalam botol ukuran 1,5 liter dan dijual
seharga Rp 20.000,00.
Selanjutnya, indikator jarak untuk memperoleh pestisida nabati masih
berkaitan erat dengan cara memperoleh pestisida nabati. Jika petani memilih untuk
membuat sendiri, alat dan bahannya dapat dicari di sekitar tempat tinggal. Namun,
jika petani ingin cara yang lebih mudah dapat langsung membeli pestisida nabati di
Klinik PHT Sidodadi yang berada di Dusun Batang, Desa Sidokerto.
Keefektifan pestisida nabati dinilai cukup efektif dengan persentase petani
sekitar 57%. Pengaplikasian pestisida nabati dapat mematikan hama sasaran secara
perlahan-lahan. Selain itu, musuh alami pun tidak terbunuh sehingga keseimbangan
rantai makanan di sawah tetap terjaga.
Petani menilai bahwa penggunaan pestisida nabati tidak menimbulkan
resistensi hama. Hal tersebut memungkinkan petani dapat menggunakan pestisida
nabati secara terus-menerus tanpa khawatir hama akan kebal terhadap pestisida
nabati. Berbeda dengan penggunaan pestisida kimia yang harus mematuhi aturan
pakai karena jika berlebihan dapat menimbulkan resistensi hama.
Dilihat dari pengaruhnya terhadap hama, sebesar 75% petani menyatakan
bahwa pestisida nabati benar berpengaruh terhadap hama. Setelah pengaplikasian
pestisida nabati, belalang masih terlihat di lahan sayuran namun tidak bertambah
banyak karena belalang tersebut tidak dapat berkembangbiak (mandul), seperti
yang dikemukakan oleh SPD (46 tahun): “... belalangnya keracunan karena makan
tanaman sayur yang sudah disemprot. Abis itu mandul terus ndak berkembang
[biak] ...”.
38

Tabel 12 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat


kesesuaian pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Indikator Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 5 11,4
Cara memperoleh pestisida Sulit 0 0,0
nabati Sama saja 0 0,0
Mudah 39 88,6
Total 44 100,0
Tidak tahu 5 11,4
Jarak untuk memperoleh Jauh 0 0,0
pestisida nabati Sama saja 0 0,0
Dekat 39 88,6
Total 44 100,0
Tidak tahu 8 18,2
Kurang efektif 3 6,8
Kefektifan pestisida nabati
Sama saja 8 18,2
Lebih efektif 25 56,8
Total 44 100,0
Tidak tahu 9 20,5
Resisten 1 2,3
Resistensi Hama
Biasa saja 2 4,5
Tidak resisten 32 72,7
Total 44 100,0
Tidak tahu 9 20,5
Tidak berpengaruh 1 2,3
Pengaruh terhadap Hama
Sama saja 1 2,3
Berpengaruh 33 75,0
Total 44 100,0

Dapat ditarik garis besar bahwa pestisida nabati dapat diperoleh dengan
mudah dan dekat dengan tempat tinggal petani. Selain itu, pestisida nabati
berpengaruh terhadap fungsi fisiologis hama sasaran dan dapat secara efektif
membunuh hama sasaran. Meskipun demikian, pestisida nabati tidak menimbulkan
kekebalan hama sehingga aman untuk digunakan secara berkelanjutan. Pada Tabel
13 dapat dilihat data petani terhadap tingkat kesesuaian pestisida nabati.

Tabel 13 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat


kesesuaian pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Kesesuaian Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 5 11,4
Tidak sesuai 0 0,0
Sama saja 5 11,4
Sesuai 34 77,3
Total 44 100,0
39

Berdasarkan Tabel 13, dapat ditarik kesimpulan bahwa sekitar 77% petani
menganggap penggunaan pestisida nabati telah sesuai dengan pengalaman dan
kebutuhan bertani mereka selama ini. Petani menunjukkan persepsi yang positif
terhadap kelima indikator tingkat kesesuaian inovasi (cara memperoleh, jarak untuk
memperoleh, keefektifan, resistensi hama, dan pengaruh terhadap hama). Meskipun
demikian, terdapat 11% petani yang tidak mengetahui tentang tingkat kesesuaian
inovasi pestisida nabati. Hal tersebut dimungkinkan karena petani tidak mengikuti
kegiatan SLPHT dan Klinik PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak pernah mengikuti
kumpul kelompok tani.

Tingkat Kerumitan

Tingkat kerumitan didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana inovasi


dianggap relatif sulit untuk dimengerti atau dipahami dan diterapkan. Tingkat
kerumitan inovasi pestisida nabati dalam penelitian ini dinilai berdasar tiga
indikator berikut: banyaknya frekuensi penyemprotan pestisida nabati, rumitnya
bahan-bahan untuk membuat pestisida nabati, dan rumitnya perlengkapan yang
perlu dikenakan ketika melakukan penyemprotan pestisida nabati. Dari tiga
indikator tersebut, tingkat kerumitan dapat digolongkan ke dalam empat kategori:
tidak tahu, rumit, biasa saja, dan mudah. Pada Tabel 14 disajikan data jumlah dan
persentase petani berdasarkan indikator tingkat kerumitan pestisida nabati.

Tabel 14 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat


kerumitan pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Indikator Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 7 15,9
Lebih sering 25 56,8
Frekuensi penyemprotan
Sama saja 12 27,3
Lebih jarang 0 0,0
Total 44 100,0
Tidak tahu 19 43,2
Lebih rumit 17 38,6
Spesifikasi bahan
Sama saja 6 13,6
Lebih sederhana 2 4,5
Total 44 100,0
Tidak tahu 0 0,0
Lebih rumit 0 0,0
Perlengkapan penyemprotan
Sama saja 37 84,1
Lebih sederhana 7 15,9
Total 44 100,0

Sekitar 57% petani menyatakan bahwa penyemprotan pestisida nabati harus


lebih sering dilakukan, terutama jika tanaman telah terserang hama. Petani dapat
melakukan penyemprotan sekali seminggu, namun jika tanaman sudah terserang
hama dapat dilakukan penyemprotan dua hingga tiga kali seminggu. Petani SRC
(33 tahun) mengatakan bahwa: “... Pencegahan seminggu sekali cukup. Tapi kalau
40

sudah diserang harus 3 hari sekali. Lebih sering lebih bagus ...”. Tentunya hal ini
menjadi sedikit merepotkan bagi petani karena harus memberikan tenaga dan waktu
lebih banyak untuk melakukan penyemprotan. Terutama berkaitan dengan respon
hama terhadap pestisida nabati dan pestisida kimia yang berbeda. Pestisida kimia
masih dianggap lebih efektif dibanding pestisida nabati karena hama bisa langsung
mati setelah disemprot. Berbeda dengan pestisida nabati, perlu beberapa saat untuk
mematikan hama sehingga meskipun frekuensi penyemprotan pestisida nabati dan
kimia sama tetap saja pestisida kimia terlihat lebih efektif bagi petani.
Mayoritas petani (sekitar 43%) tidak mengetahui tentang bahan-bahan yang
dapat digunakan untuk membuat pestisida nabati. Beberapa petani yang pernah
mengikuti SLPHT mengaku lupa dan sekarang sudah tidak membuat pestisida
nabati sendiri, seperti yang diungkapkan oleh KMN (45 tahun):

“... Wis lali opo wae bahane. Sampun dangu (SLPHT). Nek disik [sewaktu
SLPHT] yo nggawe [pestisida nabati]. Saiki wis ora tau nggawe. ...” (KMN
45 tahun).
[“... Sudah lupa apa saja bahannya. Sudah lama SLPHT nya. Kalau dulu
sewaktu SLPHT ya sudah membuat pesnab. Sekarang sudah tidak pernah
buat. ...”].

Namun demikian, sekitar 39% petani menyatakan bahwa bahan-bahan yang


digunakan untuk membuat pestisida nabati cukup rumit. Tanaman yang dibuat
pestisida nabati harus disesuaikan dengan hama sasaran. Tidak semua petani
mengetahui bahan aktif yang terkandung dalam pestisida nabati. Pengujian
kandungan bahan aktif pestisida nabati buatan petani dipandang perlu dilakukan
secara berkala. Oleh karena itu, pengamatan perlu dilakukan sebelum membuat
pestisida nabati, seperti pernyataan petani SRT (33 tahun): “... Biar tau hamanya
apa biasanya pengamatan dulu. Baru setelah itu cari bahan [pestisida nabati] yang
cocok ...”. Pernyataan petani SRT (33 tahun) tersebut sejalan dengan pendapat
petani PNO (47 tahun) berikut ini:

“... Harus bisa membedakan mana hama dan musuh alami. Karena yang perlu
diberantas itu hamanya, kalau musuh alami malah jangan diberantas, penting
buat petani. Hama itu ada yang bersayap dan ndak bersayap. Kalau untuk yang
bersayap, pestisida nabati iku cara kerjane merontokkan sayap, dadi ora
langsung mbunuh. Lha nek sing kimia langsung mbunuh hama. Malah seringe
musuh alami yo ikut mati ...” (PNO 47 tahun).

Perlengkapan yang dipakai oleh petani ketika melakukan penyemprotan


pestisida nabati dinilai sama saja dengan perlengkapan ketika melakukan
penyemprotan dengan pestisida kimia. Namun, terdapat beberapa petani yang
berpendapat bahwa perlengkapan untuk menyemprot pestisida nabati lebih
sederhana dibanding pestisida kimia, yaitu sekitar 16% petani. Ketika akan
melakukan penyemprotan dengan pestisida nabati, petani tidak memerlukan masker
dan bisa sambil merokok. Pestisida nabati juga tidak berbahaya jika bersentuhan
dengan kulit. Petani SJD (44 tahun) mengatakan bahwa:

“... Malah lebih rumit yang [pestisida] kimia to. Lha soale ada bahan kimianya
kan lebih bahaya kalo kena badan. Nek sing [pestisida] nabati malah ndak, kan
41

bahannya dari yang alami. Dadi ndak perlu pakai masker. Nyemprot karo udud
[merokok] yo ndak apa. Aman wae ...” (SJD 44 tahun).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik garis besar bahwa frekuensi


penyemprotan pestisida nabati lebih sering dibanding pestisida kimia. Pestisida
nabati dapat dibuat sendiri oleh petani dengan bahan-bahan berbeda untuk hama
yang berbeda. Meskipun demikian, petani tidak memerlukan perlengkapan khusus
untuk melakukan penyemprotan pestisida nabati. Persepsi petani terhadap tingkat
kerumitan pestisida nabati secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat


kerumitan pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Kerumitan Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 7 15,9
Rumit 21 47,7
Biasa saja 16 36,4
Mudah 0 0,0
Total 44 100,0

Data pada Tabel 15 menunjukkan bahwa persentase terbesar petani, yaitu


48%, menganggap bahwa inovasi pestisida nabati rumit untuk dimengerti atau
dipahami dan dipraktikkan. Hal tersebut terutama berkenaan dengan pengetahuan
bahan-bahan untuk membuat pestisida nabati sendiri. Petani masih menganut
pemahaman bahwa satu jenis pestisida dapat membasmi segala jenis serangan hama.
Hal tersebut diungkapkan oleh DRN (54) bahwa keingintahuan petani mengenai
fungsi obat-obatan yang digunakan dalam bertani masih rendah:

“... Petani iku kurang cepet tanggep sama inovasi baru. Hanya fokus neng
Mikro Organisme Lokal (MOL), jadi gejala apapun disemprot MOL. Mereka
belum tau pestisida nabati untuk apa, MOL untuk apa. Gejala A harusnya
diberi obat X, gejala B diberi obat Y. Bukannya diberi obat X semua ...” (DRN
54 tahun).

Sekitar 36% petani menganggap bahwa pestisida nabati tidak rumit namun
juga tidak mudah. Dengan kata lain, tingkat kerumitan pestisida nabati biasa saja,
sama seperti pestisida kimia yang biasa digunakan petani. Hal tersebut diduga
berkaitan dengan cara memperoleh pestisida nabati, yaitu dengan membelinya di
Klinik PHT Sidodadi sehingga petani tidak perlu memikirkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk membuat pestisida nabati. Sisanya, terdapat sekitar 16% petani
yang tidak mengetahui tentang tingkat kerumitan inovasi pestisida nabati. Hal
tersebut dimungkinkan karena petani tidak mengikuti kegiatan SLPHT dan Klinik
PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak pernah mengikuti kumpul kelompok tani.

Tingkat Kemungkinan Dicoba

Tingkat kemungkinan dicoba merupakan suatu tingkat dimana inovasi


mudah dicobakan. Penilaian tingkat kemungkinan pestisida nabati untuk dicoba
dapat diamati dari: dapat dicoba dalam skala kecil dan tersedianya sampel untuk
42

dicoba petani. Tingkat kemungkinan dicoba dapat digolongkan ke dalam empat


kategori: tidak tahu, rendah, sedang, dan tinggi. Pada Tabel 16 disajikan data jumlah
dan persentase petani berdasar indikator tingkat kemungkinan dicoba.

Tabel 16 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat kemungkinan


pestisida nabati untuk dicoba di Desa Sidokerto tahun 2016
Indikator Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 6 13,6
Tidak dapat dicoba 0 0,0
Percobaan skala kecil
Kurang dapat dicoba 0 0,0
Dapat dicoba 38 86,4
Total 44 100,0
Tidak tahu 5 11,4
Ketersediaan sampel Tidak ada 1 2,3
Ada 38 86,4
Total 44 100,0

Petani sepakat bahwa pestisida nabati dapat dicoba dalam skala kecil dan
tersedia sampelnya untuk dicoba terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Tabel
16 yaitu sekitar 86%. Hal tersebut didukung dengan adanya laporan tertulis yang
dibuat oleh BPP Sidorejo bahwa petani di Desa Sidokerto telah memperoleh
penyuluhan dan pelatihan pembuatan pestisida nabati melalui kegiatan Klinik PHT
Sidodadi dan SLPHT tahun 2014. Petani SPD (46 tahun) juga membenarkan hal
tersebut: “... dulu ada demplot. Langsung dicoba di lahan luas. ...”. Lahan luas yang
dimaksud SPD (46 tahun) adalah ketika dilaksanakannya program SLPHT dimana
petani melakukan penanaman cabai bersama-sama. SRT (33 tahun) menyatakan hal
yang serupa berikut ini:

“... Iya dulu kan praktik juga, di lahan masing-masing nanem cabe [SLPHT].
Nah sekarang ya ada demplot kecil-kecilan swadaya masyarakat sini aja, ndak
ada bantuan dinas. Murni swadaya ...” (SRT 33 tahun).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirangkum bahwa pestisida nabati dapat


dicoba dalam skala kecil oleh petani. Selain itu, petani juga dapat memperoleh
sampel pestisida nabati untuk dicoba dalam skala kecil terlebih dahulu. Persepsi
petani terhadap tingkat kemungkinan pestisida nabati untuk dicoba secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat


kemungkinan pestisida nabati untuk dicoba di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Kemungkinan Dicoba Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 5 11,4
Rendah 1 2,3
Sedang 1 2,3
Tinggi 37 84,1
Total 44 100,0
43

Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa petani sepakat inovasi pestisida


nabati sangat dapat dicoba dalam skala kecil dan juga didukung dengan adanya
sampel pestisida nabati yang diperoleh secara gratis. PNO (47 tahun) adalah
seorang ketua kelompok tani. PNO (47 tahun) mendorong anggotanya agar mau
menggunakan pestisida nabati dan sedikit demi sedikit mengurangi penggunaan
pestisida kimia. Ia berinisiatif membuatkan anggotanya pestisida nabati dan
membagikannya secara gratis. Berikut pernyataan PNO (47 tahun):

“... Anggota saya kasih satu-satu. Gratis. Biaya pembuatannya saya ambil dari
kas kelompok. Kalau ndak gitu petani ndak nyoba dan akhirnya ndak mau
percaya (sama pestisida nabati). Petani itu kalau ndak nyoba sendiri sulit
percayanya. Nah apalagi kalau dikasih yang gratisan, biasanya mau dan
semangat. Itu yang saya coba kemaren ...” PNO (47 tahun).

Sekitar 11% petani tidak mengetahui tentang tingkat kemungkinan inovasi


pestisida nabati untuk dicoba. Hal tersebut dimungkinkan karena petani tersebut
tidak mengikuti kegiatan SLPHT dan Klinik PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak
pernah mengikuti kumpul kelompok tani sehingga mereka tidak memperoleh
informasi mengenai kemungkinan untuk mencoba pestisida nabati.

Tingkat Kemungkinan Diamati

Tingkat kemungkinan diamati didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana


hasil penerapan inovasi mudah dilihat atau diamati oleh petani. Dalam penelitian
ini, tingkat kemungkinan inovasi pestisida nabati dapat diamati diukur berdasar
lima indikator, yaitu: dapat diamati bahwa pestisida nabati efektif membasmi hama,
dapat diamati bahwa pestisida nabati ramah terhadap lingkungan, dapat diamati
bahwa sayuran dengan pestisida nabati aman untuk dikonsumsi, dapat diamati
bahwa sayuran dengan perlakuan pestisida nabati memiliki warna yang lebih cerah,
dan dapat diamati bahwa pestisida nabati lebih baik dibanding pestisida kimia. Dari
beberapa indikator tersebut, tingkat kemungkinan diamati dapat digolongkan ke
dalam tiga kategori: tidak teramati, kurang teramati, dan sangat teramati. Pada
Tabel 18 disajikan data jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat
kemungkinan pestisida nabati untuk diamati.
Data pada Tabel 18 menunjukkan kelima indikator termasuk dalam kategori
sangat teramati. Lima kategori tersebut adalah: keefektifan membasmi hama, ramah
lingkungan, keamanan untuk dikonsumsi, kecerahan warna sayuran, dan
perbandingan dengan pestisida kimia. Sekitar 52% petani mengakui bahwa mereka
dapat melihat keefektifan pestisida nabati dalam membasmi hama. Petani dapat
melihat lahan rekannya yang telah menggunakan pestisida nabati dan
mengamatinya secara langsung, seperti yang dikemukakan oleh SJD (44 tahun): “...
Anggota [poktan] yang belum tau [penggunaan pestisida nabati], melihat
keberhasilan anggota yang sudah menggunakan jadi pengen tau dan nyoba ...”.
Indikator ramah lingkungan dan keamanan untuk dikonsumsi dapat dengan
mudah diamati oleh petani dengan persentase yang cukup tinggi, yaitu sekitar 82%.
Hal tersebut dikarenakan pestisida nabati dibuat dari bahan-bahan alami sehingga
tidak membahayakan bagi lingkungan dan manusia, seperti yang dinyatakan oleh
KMN (45 tahun):
44

“... Yo mergo bahane alami iku, dadi ora bahaya neng awak ugo neng
lemah ...” (KMN 45 tahun).
[“... Ya karena bahannya alami itu, jadi tidak berbahaya bagi tubuh dan
tanah. ...”].

Tabel 18 Jumlah dan persentase petani berdasarkan indikator tingkat


kemungkinan pestisida nabati untuk diamati di Desa Sidokerto tahun
2016
Indikator Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak teramati 10 22,7
Keefektifan membasmi
Kurang teramati 11 25,0
hama
Sangat teramati 23 52,3
Total 44 100,0
Tidak teramati 7 15,9
Ramah lingkungan Kurang teramati 1 2,3
Sangat teramati 36 81,8
Total 44 100,0
Tidak teramati 7 15,9
Keamanan untuk
Kurang teramati 1 2,3
dikonsumsi
Sangat teramati 36 81,8
Total 44 100,0
Tidak teramati 7 15,9
Kecerahan warna sayuran Kurang teramati 14 31,8
Sangat teramati 23 52,3
Total 44 100,0
Tidak teramati 10 22,7
Perbandingan dengan
Kurang teramati 10 22,7
pestisida kimia
Sangat teramati 24 54,5
Total 44 100,0

Sekitar 52% petani dapat melihat adanya perbedaan kecerahan warna antara
sayuran dengan perlakuan pestisida nabati dan perlakuan pestisida kimia. Menurut
pengamatan petani, sayuran dengan perlakuan pestisida nabati memiliki warna
yang lebih cerah dibanding sayuran dengan pestisida kimia. Menurut pernyataan
SJD (44 tahun), sayuran dengan perlakuan pestisida kimia menunjukkan warna
yang lebih gelap karena efek panas dari penggunaan pestisida kimia. Jika aplikasi
pestisida kimia berlebihan dosisnya dapat menyebabkan warna kuning pada
tanaman dan selanjutnya tanaman tersebut kemungkinan akan mati, seperti yang
dinyatakan oleh SRT (33 tahun):

“... Ndak ada dampake nek kebanyakan nyemprot [pestisida nabati]. Tapi nek
[pestisida] kimia [daun sayuran] bisa kuning atau mati ...” (SRT 33 tahun).
[“... Tidak ada dampaknya kalau kebanyakan nyemprot pesnab. Tapi kalau
pestisida kimia, daun sayuran bisa berubah warna kuning atau mati. ...”].
45

Sekitar 55% petani mengungkapkan bahwa pestisida nabati lebih baik


dibanding dengan pestisida kimia. Perbandingan tersebut dilihat dari bahan yang
dapat diperoleh dengan mudah, biaya yang lebih murah, dan ramah lingkungan
seperti yang diungkapkan oleh SPD (46 tahun) sebagai berikut:

“... Kalau dilihat dari biaya yo lebih murah no. Wong bahannya bisa dicari
di sekitar sini. Buatnya pake tenaga sendiri. Pas nyemprot yo ndak bahaya,
sifate ora ngeracuni awak. Pokok cuma mbunuh hama sasaran aja. Nek kimia
kabeh kewan sing dudu hama yo iso mati ...” (SPD 46 tahun).
[“... Kalau dilihat dari biaya ya lebih murah. Karena bahannya bisa dicari di
sekitar sini. Membuatnya hanya memakai tenaga sendiri. Pas nyemprot tidak
berbahaya, sifatnya tidak meracuni tubuh. Hanya membunuh hama sasaran
saja. Kalau kimia semua hewan yang bukan hama juga bisa mati. ...”]

Secara garis besar, dapat dirangkum bahwa keefektifan pestisida nabati


dalam membasmi hama sangat teramati oleh petani. Penggunaan pestisida nabati
juga dapat diamati ramah lingkungan dan sayurannya aman untuk dikonsumsi.
Selain itu, petani juga dapat mengamati kecerahan warna pada sayuran. Kondisi
tersebut membuat petani dapat mengamati perbandingan penggunaan pestisida
nabati dengan pestisida kimia. Persepsi petani terhadap tingkat kemungkinan
pestisida nabati untuk diamati secara keseluruhan disajikan pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19 Jumlah dan persentase petani berdasarkan persepsi terhadap tingkat


kemungkinan pestisida nabati untuk diamati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Kemungkinan Diamati Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak teramati 7 15,9
Kurang teramati 3 6,8
Sangat teramati 34 77,3
Total 44 100,0

Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa pestisida nabati sangat teramati oleh
petani dengan persentase sekitar 77%. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa
hal, antara lain: adanya program SLPHT yang memberi kesempatan petani untuk
menerapkan prinsip PHT termasuk penggunaan pestisida nabati; dan dibuatnya
demonstration plot yang difasilitasi oleh salah satu kelompok tani. Terkait hal
tersebut, SRT (33 tahun) menyatakan bahwa:

“... Iya dulu kan praktik juga, di lahan masing-masing nanem cabe (SLPHT).
Nah sekarang ya ada demplot kecil-kecilan swadaya masyarakat sini aja, ndak
ada bantuan dinas. Murni swadaya ...” (SRT 33 tahun).

Tingkat Kepuasan Petani

Kepuasan dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan senang atau kecewa


setelah membandingkan antara hasil produk yang ada dengan hasil produk yang
diharapkan. Tingkat kepuasan petani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
derajat rasa senang atau kecewa petani atas praktik usahataninya setelah
46

menggunakan pestisida nabati. Tingkat kepuasan petani diukur melalui dua


indikator, yaitu: tingkat produksi hortikultura, dan kualitas hortikultura. Pada Tabel
20 disajikan data jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat kepuasan petani
di Desa Sidokerto tahun 2016.
Tingkat produksi hortikultura dapat didefinisikan sebagai penilaian petani
terhadap perbandingan jumlah sayuran dengan perlakuan pestisida nabati dan
pestisida kimia yang dapat dipanen dan layak jual. Berdasarkan Tabel 20, sekitar
86% petani menilai bahwa tingkat produksi hortikultura dengan perlakuan pestisida
nabati sama dengan perlakuan pestisida kimia. Sisanya, yaitu sekitar 14% petani
menyatakan ketidaktahuan atas perbandingan tingkat produksi tersebut.

Tabel 20 Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat kepuasan petani di


Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Kepuasan Petani Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak tahu 6 13,6
Tingkat Produksi Lebih rendah 0 0,0
Hortikultura Sama saja 38 86,4
Lebih tinggi 0 0,0
Total 44 100,0
Tidak tahu 6 13,6
Lebih buruk 0 0,0
Kualitas Hortikultura
Sama saja 11 25,0
Lebih baik 27 61,4
Total 44 100,0

JRW (62 tahun) menyatakan tidak adanya pengaruh penggunaan pestisida


nabati terhadap tingkat produksi hortikultura. Hal tersebut dikarenakan tingkat
produksi hortikultura dipengaruhi oleh faktor pemupukan, bukan penggunaan
pestisida. Berdasarkan pengalaman petani, sayuran dapat meningkat produksinya
jika dosis pupuk urea ditingkatkan, pemberian pupuk kandang sebelum benih
disemai di lahan, dan juga pengaplikasian mikro organisme lokal (MOL) di lahan.
Berikut pernyataan JRW (62 tahun):

“... Sami mawon. Panene mboten nambah nggih mboten kirang. Wong sing
marai lemu niku kan pupuke. Menawi dikathahi ureane nggih saget lemu
tandurane. Lha nek purun nggih nyobi Mikro Organisme Lokal (MOL)
disiramne ngoten. Tapi kulo nggih dereng nyobi. Nek rabuk kandang pun
disebar sadurunge nyebar winih ...” (JRW 62 tahun).
[“... Sama saja. Panenan tidak bertambah ya tidak berkurang. Yang
menyebabkan subur itu kan pupuknya. Kalau diperbanyak ureanya ya bisa
subur tanamannya. Kalau mau ya nyoba Mikro Organisme Lokal (MOL)
disiramkan gitu. Tapi saya belum nyoba. Kalau pupuk kandang sudah disebar
sebelum nyebar benih ...”]

Kualitas hortikultura merupakan penilaian petani terhadap perbandingan


kualitas sayuran dengan perlakuan pestisida nabati dan pestisida kimia.
Pengkategorian kualitas hortikultura dilakukan dengan menjumlahkan skor dari
47

empat indikator, yaitu: tampilan fisik sayuran, ada tidaknya residu bahan kimia
pada sayuran, sehat tidaknya sayuran yang dihasilkan, dan perbedaan lain yang
dapat ditemukan oleh petani.
Berdasarkan data pada Tabel 20, sebagian besar petani menilai bahwa
kualitas hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati lebih baik dibanding
hortikultura dengan perlakuan pestisida kimia (61%). Sebesar 25% petani
menganggap sama saja kualitas hortikultura dengan pestisida nabati dan dengan
pestisida kimia. Namun, terdapat sekitar 14% petani tidak mengetahui
perbandingan kualitas hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati dan dengan
perlakuan pestisida kimia.
Salah satu petani, SRJ (54 tahun), menyatakan adanya perbedaan tampilan
fisik antara sayuran dengan perlakuan pestisida kimia dan pestisida nabati. Namun,
SRJ (54 tahun) tersebut tidak dapat menjelaskan secara detail apa perbedaan yang
ditemukan: “... Beda pokoknya kalau dibandingkan dengan [sayuran] yang pakai
[pestisida] kimia ...”. Menurut SJD (44 tahun), sayuran dengan perlakuan pestisida
nabati daunnya berwarna lebih hijau, sedangkan sayuran dengan perlakuan
pestisida kimia daunnya sedikit menghitam karena paparan pestisida kimia. Hal
tersebut didukung pula oleh SRC (60 tahun) bahwa tanaman sayur dengan
perlakuan pestisida nabati tidak mudah rusak dan layu, sedangkan tanaman dengan
perlakuan pestisida kimia mudah layu akibat panas yang merupakan efek samping
dari penggunaan pestisida kimia. Ada pula salah seorang petani, BND (43 tahun),
yang menggunakan pestisida nabati namun tidak dapat mengamati adanya
perbedaan antara sayuran dengan perlakuan pestisida nabati dan sayuran dengan
pestisida kimia:

“... Ndak terlalu ngamati. Asal nganggo wae ...” (BND 43 tahun).
[“... Tidak terlalu mengamati. Asal pakai saja. ...”].

Berdasarkan data pada Tabel 20, dapat disimpulkan bahwa tingkat produksi
hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati sama saja dengan hortikultura
perlakuan pestisida kimia. Namun demikian, kualitas hortikultura dengan perlakuan
pestisida nabati lebih baik dibanding hortikultura dengan perlakuan pestisida kimia.

Saluran Komunikasi

Merujuk pada teori pengambilan keputusan inovasi Rogers (1983), saluran


komunikasi yang digunakan petani dalam pengambilan keputusan inovasi ada dua,
yaitu saluran antarpribadi dan media massa. Namun kemudian, temuan di lapang
menunjukkan bahwa adanya saluran komunikasi selain dua tersebut yang
digunakan petani di Desa Sidokerto, yaitu saluran komunikasi kelompok. Variabel
saluran komunikasi tersebut diukur berdasarkan frekuensi komunikasi yang
dilakukan petani, yang kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori: tidak pernah,
jarang, dan sering. Pada Tabel 21 disajikan jumlah dan persentase petani
berdasarkan saluran komunikasi yang digunakan untuk mengakses informasi
tentang pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016.
48

Tabel 21 Jumlah dan persentase petani berdasarkan saluran komunikasi yang


digunakan untuk mengakses pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Saluran Komunikasi Jumlah (n) Persentase (%)
Tidak pernah 12 27,3
Saluran Antarpribadi Jarang 28 63,6
Sering 4 9,1
Total 44 100,0
Tidak pernah 42 95,5
Media Massa Jarang 2 4,5
Sering 0 0,0
Total 44 100,0
Tidak pernah 5 11,4
Saluran Kelompok Jarang 5 11,4
Sering 34 77,3
Total 44 100,0

Berdasarkan Tabel 21, sekitar 64% petani jarang mengakses saluran


antarpribadi untuk memperoleh informasi tentang pestisida nabati. Petani biasanya
akan berkomunikasi dengan anggota ataupun ketua kelompok taninya sendiri,
pengurus Klinik PHT Sidodadi, dan petugas penyuluh lapang untuk berdiskusi atau
berkonsultasi mengenai perkembangan dan permasalahan usahataninya, khususnya
mengenai pengendalian hama dengan pestisida nabati.
Saluran komunikasi selanjutnya yaitu media massa. Media massa adalah
saluran komunikasi yang tidak pernah digunakan oleh petani. Media massa yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah televisi, radio, koran, majalah, dan internet.
Meskipun demikian, terdapat dua petani yang menggunakan media massa internet
untuk mengakses informasi tentang pestisida nabati. Salah satunya adalah SRT (33
tahun) yang memanfaatkan internet untuk mencari bahan-bahan baru untuk dibuat
pestisida nabati:

“... Kulo njajal ngembangne dewe. Pados saking internet. ...” (SRT 33 tahun).
[“... Saya mencoba mengembangkan sendiri. Mencari dari internet. ...”].

Rendahnya akses petani terhadap media massa dimungkinkan karena tidak adanya
waktu yang dialokasikan untuk menonton berita khususnya tentang pertanian,
rendahnya minat baca petani khususnya tentang berita pertanian, dan tidak
terjangkaunya fasilitas internet oleh petani.
Saluran komunikasi yang terakhir yaitu saluran kelompok. Saluran
kelompok menjadi saluran yang paling sering diakses petani untuk memperoleh
informasi tentang pestisida nabati. Agenda kumpul kelompok menjadi wadah untuk
berdiskusi mengenai kondisi dan rencana usahatani mereka. Setiap kumpul
kelompok diadakan diskusi sesuasi kebutuhan, seperti misalnya setiap awal musim
tanam akan diadakan diskusi untuk menentukan komoditas sayuran apa yang akan
ditanam. SKN (40 tahun) menyatakan bahwa: “... diskusi tergantung kebutuhan.
Biasanya [diskusi] pas awal musim tanam, bareng-bareng mau tanam apa gitu. ...”.
Selain diskusi, kegiatan kumpul kelompok tani juga diselingi arisan sehingga
49

anggota tertarik untuk hadir. JNO (65 tahun) menyatakan bahwa ia selalu hadir
dalam kumpul kelompok tani salah satunya karena ada arisan:

“... Melu terus [kumpul kelompok tani]. Tanggal 5 saben sasi gek karo
arisan. ...” (JNO 65 tahun).
[“... Ikut selalu dalam kumpul kelompok tani. Tanggal 5 tiap bulan sekalian
dengan arisan. ...”].

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saluran antarpribadi masih jarang


diakses oleh petani. Media massa adalah saluran komunikasi yang tidak pernah
diakses petani, sedangkan saluran kelompok adalah saluran yang paling sering
diakses petani.
50
51

PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN


INOVASI PESTISIDA NABATI

Proses pengambilan keputusan inovasi terdiri atas lima tahapan, yaitu tahap
pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan yang
terakhir tahap konfirmasi (Rogers 1983). Pada masing-masing tahap pengambilan
keputusan, petani digolongkan ke dalam beberapa kategori tertentu. Pada tahap
pengetahuan, terdapat tiga kategori (tidak mengenal, cukup mengenal, dan sangat
mengenal) yang digolongkan berdasarkan akumulasi jawaban benar yang diperoleh
petani. Pada tahap persuasi, terdapat tiga kategori (tidak tertarik, biasa saja, dan
tertarik) yang digolongkan berdasarkan sikap petani terhadap pestisida nabati. Pada
Tabel 22 disajikan data distribusi petani berdasarkan tahap pengambilan keputusan
inovasi pestisida nabati. Masing-masing tahap dijelaskan pada subbab berikut.

Tabel 22 Distribusi petani berdasarkan tahap pengambilan keputusan inovasi


pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tahap Pengambilan Keputusan Jumlah (n) Persentase (%)
Tingkat Pengetahuan
Tidak mengenal 8 18,20
Cukup mengenal 14 31,80
Sangat mengenal 22 50,00
Total 44 100,00
Tingkat Persuasi
Tidak tertarik 6 13,60
Biasa saja 9 20,50
Tertarik 29 65,90
Total 44 100,00
Tingkat Keputusan
Tidak menggunakan 10 22,70
Ragu-ragu 0 0,00
Menggunakan 34 77,30
Total 44 100,00
Tingkat Implementasi
Tidak menggunakan 10 22,70
Menggunakan tidak sesuai anjuran 34 77,30
Menggunakan sesuai anjuran 0 0,00
Total 44 100,00
Tingkat Konfirmasi
Tetap menolak 10 22,75
Berhenti menggunakan 10 22,75
Lanjut menggunakan 24 54,50
Total 44 100,00

Pada tahap keputusan, petani digolongkan ke dalam tiga kategori (tidak


menggunakan, ragu-ragu, dan menggunakan) dalam menentukan pilihannya
terhadap penggunaan pestisida nabati. Pada tahap implementasi, petani
digolongkan ke dalam tiga kategori (tidak menggunakan, menggunakan tidak
52

sesuai anjuran, dan menggunakan sesuai anjuran) berdasarkan akumulasi skor yang
diperoleh petani dalam menggunakan pestisida nabati. Pada tahap terakhir, yaitu
tahap konfirmasi, terdapat tiga kategori (tetap menolak, berhenti menggunakan, dan
lanjut menggunakan) yang digolongkan berdasarkan status penggunaan pestisida
nabati saat penelitian dilakukan.

Tahap Pengetahuan

Pestisida nabati telah diperkenalkan kepada petani di Desa Sidokerto sejak


tahun 2014 melalui kegiatan Klinik Pengendalian Hama Terpadu Sidodadi (Klinik
PHT Sidodadi) dan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) Sidorejo telah mengadakan berbagai kegiatan
penyuluhan dan pelatihan mengenai pestisida nabati di Desa Sidokerto. Namun
demikian, tidak semua petani mengenal pestisida nabati dalam periode waktu yang
sama. Pada Tabel 23 disajikan data jumlah dan persentase petani berdasarkan waktu
pengenalan pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016.

Tabel 23 Jumlah dan persentase petani berdasarkan waktu pengenalan


pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Waktu Pengenalan Jumlah (n) Persentase (%)
2014 30 68,18
2015 6 13,64
Belum mengenal 8 18,18
Total 44 100,00

Berdasarkan Tabel 23, sebagian besar petani (68%) telah mengenal inovasi
pestisida nabati sejak tahun 2014 melalui Klinik PHT dan kegiatan budidaya cabai
rawit SLPHT. Melalui kelompok tani, petani tersebut mendaftarkan dirinya untuk
mengikuti serangkaian kegiatan Klinik PHT dan SLPHT yang diadakan oleh BPP
Sidorejo. Petani tersebut memperoleh penyuluhan dan pelatihan pembuatan
pestisida nabati dari UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH)
Provinsi Jawa Timur, Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Pangan dan Hortikultura (PHPTPH) Madiun, dan Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP) Sidorejo, Magetan. Selain kegiatan penyuluhan dan pelatihan, petani juga
mengadakan diskusi rutin yang didampingi oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)
untuk lebih mengenal pestisida nabati serta hama dan penyakit tanaman.
Sekitar 14% petani baru mengenal inovasi pestisida nabati pada tahun 2015.
Petani tersebut adalah petani yang tidak mengikuti kegiatan Klinik PHT dan
SLPHT. Mereka mengenal inovasi pestisida nabati melalui kelompok tani. Ketua
kelompok tani menyampaikan hasil penyuluhan dan pelatihan pembuatan pestisida
nabati kepada petani. Selain itu, petani anggota yang telah mengikuti kegiatan
Klinik PHT dan SLPHT juga ikut menjelaskan pestisida nabati kepada anggota
petani yang belum mengenal pestisida nabati. Salah satu kelompok tani, yaitu
Kelompok Tani Sidomukti, membagikan pestisida nabati gratis kepada semua
anggotanya. Hal tersebut dilakukan agar petani dapat mempratikkan sendiri
sehingga memperoleh bukti atas penggunaan pestisida nabati tersebut.
Sekitar 18% petani belum mengenal pestisida nabati hingga waktu
pengambilan data penelitian ini dilakukan. Petani tersebut adalah petani yang tidak
53

mengikuti kegiatan Klinik PHT dan SLPHT, serta jarang atau tidak pernah hadir
dalam kumpul kelompok tani. Petani tersebut tidak mengetahui sama sekali
mengenai inovasi pestisida nabati dan beberapa diantaranya baru mendengar istilah
pestisida nabati.
Tahap pengetahuan merupakan tahap awal dari proses pengambilan
keputusan inovasi. Pada tahap ini, petani mulai membuka dirinya terhadap
keberadaan inovasi pestisida nabati dan memperoleh berbagai informasi tentang
pestisida nabati tersebut. Pengkategorian tingkat pengetahuan dilakukan dengan
menjumlahkan skor dari enam indikator yang diteliti, yaitu: definisi pestisida nabati,
perbedaan pestisida nabati dengan pestisida kimia, bahan untuk membuat pestisida
nabati, cara membuat pestisida nabati, dan manfaat menggunakan pestisida nabati.
Berdasarkan data pada Tabel 22, sebesar 50% petani sangat mengenal
pestisida nabati. Sekitar 32% petani cukup mengenal dan sekitar 18% petani tidak
mengenal pestisida nabati. Pengetahuan yang diperoleh petani tentang pestisida
nabati berupa: definisi pestisida nabati, perbedaannya dengan pestisida kimia,
bahan untuk membuat pestisida nabati, cara membuat pestisida nabati, dan manfaat
pestisida nabati. DRN (54 tahun) menjelaskan secara lengkap bahan dan cara
membuat pestisida nabati sebagai berikut:

“... Mimba lebih baik dari mindi. Akar tuba juga bagus [dibuat pestisida
nabati]. Laos juga bisa. Gadung. Serai yang diambil bonggolnya saja. Diberi
air 10 liter dan sabun colek 1 bungkus. Kalau sudah jadi, 1 gelas pesnab bisa
dicampur air 14 liter untuk satu tangki ...” (DRN 54 tahun).

Ada pula petani yang tidak mengenal tentang pestisida nabati, seperti MLY
(61 tahun). MLY (61 tahun) menyatakan bahwa: “... Taunya MOL aja. Banyak
banget macemnya, jadi ndak tau nama-namanya. ... ”. MLY (61 tahun) pernah
mengikuti kegiatan SLPHT dan diperkenalkan oleh penyuluh untuk menggunakan
MOL, pengendali hama dari agens hayati dan pestisida nabati. Namun, setelah
program SLPHT berakhir, MLY (61 tahun) tidak lagi menggunakan agens hayati
dan pestisida nabati karena menurutnya terlalu banyak bahan pengendali hama yang
harus ia pahami. Oleh karena itu MLY (61 tahun) kembali menggunakan pestisida
kimia yang ia beli di toko pertanian di Kecamatan Sidorejo.

Tahap Persuasi

Tahap persuasi adalah tahap di mana petani membentuk sikap suka atau
tidak suka terhadap inovasi. Tahap ini mengharuskan petani untuk mengetahui
tentang inovasi, dalam hal ini pestisida nabati, sehingga kemudian dia dapat
membentuk sikap terhadap inovasi tersebut. Pengkategorian tingkat persuasi
dilakukan dengan menghitung skor yang diperoleh petani dari tiga indikator, yaitu:
ketertarikan untuk mengetahui lebih jauh tentang pestisida nabati, keinginan untuk
mencoba pestisida nabati, dan ketertarikan untuk terus menggunakan pestisida
nabati.
Berdasarkan Tabel 22, sekitar 66% petani menyatakan ketertarikannya
terhadap pestisida nabati, sekitar 20% petani bersikap biasa saja terhadap pestisida
nabati, dan sekitar 14% petani menyatakan tidak tertarik terhadap pestisida nabati.
SKN (40 tahun) tertarik mencoba pestisida nabati setelah ia memperoleh
penyuluhan tentang prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu dalam kegiatan
54

SLPHT tahun 2014:“... Pengen nyoba aja karena tau dari proyek cabe [SLPHT] ...”.
Sementara itu, SRJ (54 tahun) tertarik mencoba pestisida nabati karena pernah
mengikuti pelatihan pembuatan pestisida nabati di Klinik PHT Sidodadi:“... Bareng
kelompok pakainya. Buatnya juga bareng-bareng di Klinik. Jadi ringan dan pengen
nyoba ... “.
Petani yang bersikap netral terhadap penggunaan pestisida nabati lebih
mempertimbangkan faktor musim dan juga kondisi pasar, seperti pernyataan JRW
(61 tahun) berikut:

“... Liat sikon dulu. Diliat musimnya apa, pasarnya gimana, dan tanamannya
apa saja. Kalau bisa ya jangan menantang alam. Sekiranya serangan [hama]
parah ya pake yang sudah dikenal ampuh. Kalau ada kesempatan nyoba itu
[pestisida nabati] ya ndak apa-apa nyoba aja ...” (JRW 61 tahun).

Di lain pihak, beberapa petani yang tidak tertarik terhadap pestisida nabati
sebenarnya telah mengetahui tentang pestisida nabati tersebut. Namun setelah
melihat rekannya tidak lagi menggunakan pestisida nabati, petani tersebut tidak
ingin mencobanya seperti yang dinyatakan oleh SGI (43 tahun):

“... Belum nyoba [pestisida nabati] karena sama aja. Liat punya teman yang
dulu sudah pakai [pestisida nabati], tapi sekarang ndak pakai lagi. Jadinya
ndak pengen nyoba ...” (SGI 43 tahun).

Tahap Keputusan

Tahap keputusan terjadi ketika petani ikutserta dalam kegiatan-kegiatan


yang mengarah pada pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Pada tahap
ini, hanya ada dua kategori jawaban yaitu menggunakan dan tidak menggunakan
pestisida nabati.
Berdasarkan data pada Tabel 22, sekitar 77% petani memutuskan untuk
menggunakan pestisida nabati dan sekitar 23% petani telah memutuskan untuk
tidak menggunakan pestisida nabati. Sebagian besar petani yang memutuskan untuk
menggunakan pestisida nabati adalah peserta SLPHT yang diadakan di Desa
Sidokerto pada tahun 2014. Kegiatan SLPHT meliputi budidaya cabai rawit dengan
prinsip PHT, termasuk penggunaan pestisida nabati untuk menggantikan pestisida
kimia. Petani memutuskan untuk menggunakan pestisida nabati karena dalam
kegiatan SLPHT tersebut mereka diajari cara membuat, cara aplikasi, dan manfaat
pestisida nabati. Selain itu, petani juga diberi sampel gratis pestisida nabati yang
dibuat bersama-sama untuk diaplikasikan di lahan masing. Berikut pernyataan
BND (43 tahun):

“... Pas SLPHT dikasih benih cabe Maruti. Ada konsultasi rutin sama
penyuluh dan kumpul bareng semua yang ikut. Buat pestisida nabati bareng-
bareng semua peserta. Hasilnya dipakai di cabe itu ...” (BND 43 tahun).

Ada pula petani yang tidak mengikuti SLPHT dan memutuskan untuk
menggunakan pestisida nabati. Petani tersebut mulai mengenal pestisida nabati dari
pertemuan kelompok dimana anggota lain yang mengikuti SLPHT menyampaikan
55

materi yang diperoleh kepada anggota lain yang tidak mengikuti SLPHT, seperti
pernyataan PRD (63 tahun):

“... Ngerti soko kelompok [tani]. Dadine yo melu njajal bareng ...” (PRD 63
tahun).
[“... Tahu dari kelompok tani. Jadinya ya ikut nyoba bareng. ...”].

Pernyataan tersebut didukung oleh SUG (57 tahun) sebagai berikut:

“... Ndak pernah ikut penyuluhan. Lha mung perwakilan [kelompok tani] tok
sing melu. Nah yang ikut penyuluhan hasile disampekno neng anggota liyo
pas kumpul kelompok. Dadine podo ngerti kabeh senajan ora melu
[penyuluhan] ...” (SUG 57 tahun).
[“... Tidak pernah ikut penyuluhan. Hanya perwakilan kelompok tani saja
yang ikut. Nah yang ikut penyuluhan, hasilnya disampaikan ke anggota lain
sewaktu kumpul kelompok. Jadinya semua tahu meskipun tidak ikut
penyuluhan. ...]

Salah satu kelompok tani, yaitu Kelompok Tani Sidomukti, berinisiatif


membuat pestisida nabati dan membagikannya secara gratis kepada anggota. Hal
tersebut dikemukakan oleh PNO (47 tahun) yang juga ketua salah satu kelompok
tani di Desa Sidokerto. Menurut PNO (47 tahun), petani akan mempercayai suatu
hal baru jika ia sudah mencobanya sendiri. Ditambah dengan pembagian sampel
pestisida nabati secara gratis akan mendorong petani untuk segera mencoba dan
membuktikannya sendiri. Berikut pernyataan PNO (47 tahun):

“... Semua anggota sudah dikasih pestisida nabati. Gratis. Biaya


pembuatannya diambilkan dari kas kelompok. Kalau ndak gitu mereka ndak
nyoba. Kalau ndak nyoba mereka ndak bisa membuktikan apa yang
disampaikan di penyuluhan. Kalau dikasih langsung apalagi gratis ndak bakal
nolak mereka. Pasti dicoba ...” (PNO 47 tahun).

Petani yang memutuskan tidak menggunakan pestisida nabati adalah


mereka yang tidak mengikuti SLPHT dan bukan anggota Kelompok Tani
Sidomukti. Ada petani yang setidaknya mengetahui sedikit tentang pestisida nabati,
namun ada pula petani yang bahkan baru mendengar istilah pestisida nabati seperti
PRN (63 tahun) berikut:

“... Opo, pestisida nabati? Nabati opo to? Kok durung pernah krungu
sadurunge ...” (PRN 63 tahun).
[... Apa, pestisida nabati? Nabati apa ya? Kok belum pernah dengar
sebelumnya ...].

Tahap Implementasi

Tahap implementasi merupakan tahap di mana petani mulai menggunakan


inovasi. Tahap ini melibatkan perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai akibat
dari penggunaan ide baru, dalam hal ini penggunaan pestisida nabati. Tingkat
implementasi diukur dengan menjumlahkan skor dari beberapa indikator, yaitu:
56

telah menggunakan pestisida nabati di lahan sendiri, menerapkan langkah


penggunaan pestisida nabati sesuai anjuran penggunaan, dan berhenti
menggunakan pestisida kimia.
Data pada Tabel 22 menunjukkan bahwa sekitar 77% petani telah
menggunakan pestisida nabati namun tidak sesuai anjuran penggunaan, sekitar 23%
petani tidak menggunakan pestisida nabati, dan tidak ada petani yang menggunakan
pestisida nabati sesuai anjuran penggunaan. Anjuran penggunaan pestisida nabati
adalah 200 ml pestisida nabati dicairkan dengan air dalam tangki semprot ukuran
14 liter, penyemprotan dilakukan sekali dalam seminggu untuk pencegahan, dan
dua kali atau lebih dalam seminggu jika tanaman terkena serangan hama.
Kebanyakan petani menggunakan pestisida nabati ketika tanaman sudah diserang
hama sehingga pestisida nabati tidak dapat bekerja optimal. Kemudian petani
kembali menggunakan pestisida kimia karena hama tidak dapat dibasmi hanya
dengan menggunakan pestisida nabati. SRT (33 tahun) menyatakan bahwa:

“... Rata-rata mulai nyemprot itu kalau sudah diserang hama. Padahal
seharusnya sebelum diserang hama juga disemprot untuk pencegahan. Lha
kalau serangan hama sudah parah, pestisida nabati saja ndak kuat. Harus
ditambah pestisida kimia. Saya juga belum berani sepenuhnya pakai pestisida
nabati. Masih sesekali pakai pestisida kimia ...” (SRT 33 tahun).

DRN (54 tahun) menyatakan bahwa ia menggunakan pestisida nabati


namun masih membutuhkan pestisida kimia. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal,
yaitu: beragamnya komoditas sayuran yang ditanam petani lain di sekitar lahan
DRN menyebabkan hama sulit dikontrol; dan petani di sekitar lahan DRN tidak
semuanya menggunakan pestisida nabati sehingga jika terjadi serangan pada blok
lahan tersebut, tanaman DRN akan menjadi sasaran hama karena petani di
sekitarnya menggunakan pestisida kimia yang membunuh hama seketika. Hal
serupa juga dinyatakan oleh SUG (56 tahun) sebagai berikut: “... Belum berani
nyoba organik [pestisida nabati] total.. Kalau ngurangi tidak apa-apa nyoba ...”.

Tahap Konfirmasi

Tahap konfirmasi merupakan tahap di mana petani mencari penguatan atas


keputusan inovasi yang telah dibuat. Tahap konfirmasi diukur dengan menjumlah
skor dari beberapa indikator, yaitu: mencari informasi lebih banyak lagi tentang
pestisida nabati, masih menggunakan pestisida nabati hingga saat ini, dan akan
menggunakan pestisida nabati untuk musim tanam selanjutnya.
Berdasarkan Tabel 22, sekitar 55% petani tetap melanjutkan penggunaan
pestisida nabati, sekitar 23% petani berhenti menggunakan, dan sekitar 23% petani
tetap menolak untuk menggunakan pestisida nabati. Petani yang tetap melanjutkan
penggunaan pestisida nabati menilai bahwa penggunaan bahan-bahan kimia sudah
harus dikurangi karena sekarang ini dampak negatif penggunaan bahan kimia yang
berlebihan sudah dirasakan petani, seperti penambahan pupuk kimia yang tidak
sesuai dosis menyebabkan pencemaran tanah dan air serta pemakaian pestisida
kimia yang berlebihan menyebabkan kekebalan hama dan juga membahayakan
kesehatan jika dikonsumsi terus-menerus. JNO (62 tahun) menyatakan sebagai
berikut:
57

“... Mbalik neng jamane mbah-mbah biyen, ngurangi [penggunaan bahan-


bahan] kimia. Supaya [jenis] penyakit ndak semakin parah lan macem-macem
koyok saiki. Jaman biyen penyakite mung mumet, pilek, watuk. Lha saiki wis
muacem-macem gek golek tombone angel ...” (JNO 62 tahun).
[... Kembali ke jaman nenek moyang dulu, mengurangu penggunaan bahan
kimia. Supaya jenis penyakit tidak semakin parah dan beraneka ragam,
seperti saat ini. Jaman dulu penyakit yang ada hanya pusing, pilek, batuk.
Sekarang sudah beraneka ragam dan cari obatnya susah ...]

Adanya petani yang berhenti menggunakan pestisida nabati disebabkan


karena hal berikut: pengalaman sewaktu menanam sayuran dengan pestisida nabati,
harga sayuran di pasaran tidak bagus sehingga ia memutuskan untuk kembali
menggunakan pestisida kimia, seperti SKN (40 tahun) berikut:

“... selang-seling [menggunakan pestisida] nabati dan [pestisida] kimia. Hasil


panennya waktu itu bagus tapi karena harga di pasar anjlok jadi akhirnya ndak
pakai [pestisida nabati] lagi ...” (SKN 40 tahun).

SPD (46 tahun) sebelumnya juga menggunakan pestisida nabati ketika


menanam cabai rawit merah. Namun terjadi serangan hama yang cukup parah
karena waktu tanamnya pada musim hujan. Hal tersebut menyebabkan petani
mengeluarkan banyak biaya untuk mengendalikan hama dan di saat panen raya
harga cabai rawit merah sangat murah sehingga SPD memutuskan untuk tidak lagi
menggunakan pestisida nabati. Berikut pernyataan SPD (46 tahun): “... Dulu semua
petani pernah coba pakai, tapi karena ada serangan hama dan kebetulan harga sayur
anjlok, jadinya balik pakai [pestisida] kimia lagi ...”.
Petani yang tetap menolak untuk menggunakan pestisida nabati menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap penyuluhan. Salah satu petani yang tetap menolak
adalah SPY (52 tahun). SPY (52 tahun) menyatakan bahwa penyuluhan hanya akan
membawa kerugian dalam berusahatani, karena petani diminta untuk mencoba hal
baru atau mengganti praktik lamanya yang belum tentu menguntungkan. Berikut
pernyataan SPY (52 tahun):

“... Tanahnya sudah rusak. Sebelum tahun 2012 [panen] kubis jarang gagal.
Sekarang banyak gagalnya mergo pemupukan berat. Tapi aku ra percoyo
penyuluhan. Marai bangkrut. Lha diwenehi opo wae tetep gagal kok, ra jamin
[berhasil] ...” (SPY 52 tahun).
[... Tanahnya sudah rusak. Sebelum tahun 2012 panen kubis jarang gagal.
Sekarang banyak gagalnya karena pemupukan berat. Tapi saya tidak percaya
penyuluhan. Menyebabkan bangkrut saja. Sudah diberikan apa saja tetap
gagal, tidak menjamin berhasil ...]

Selain itu, petani juga berpendapat bahwa sayuran dengan perlakuan


pestisida nabati dan sayuran dengan perlakuan pestisida kimia tidak berbeda tingkat
harganya, sehingga petani memutuskan untuk tetap menggunakan pestisida kimia.
Hal tersebut didukung oleh SRT (33 tahun) bahwa memang belum ada peluang
pasar untuk menjual sayuran hasil perlakuan pestisida nabati. SJD (44 tahun)
mendukung hal tersebut karena menurutnya, tidak semua pedagang juga
mengetahui adanya sayuran hasil perlakuan pestisida nabati. Semua sayuran
dianggap sama dan dihargai sama pula menurut SJD (44 tahun) sebagai berikut:
58

“... Pemasarannya belum ada. Jadi harganya masih sama dengan sayuran biasa.
Pedagang juga ndak semua tahu mana yang pakai [pestisida] kimia, mana
yang pakai [pestisida] nabati ...” (SJD 44 tahun).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua petani telah melalui


kelima tahap pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati. Sebesar 50% petani
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap pestisida nabati. Sekitar 66%
petani tertarik untuk mencoba pestisida nabati. Sebagian besar petani memutuskan
untuk menggunakan pestisida nabati, yaitu sekitar 77%. Namun demikian, sekitar
77% petani tersebut menggunakan pestisida nabati tidak sesuai anjuran. Pada
akhirnya, hanya tersisa 55% petani yang masih tetap menggunakan pestisida nabati.
59

ANALISIS KORELASI FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
INOVASI PESTISIDA NABATI

Analisis Korelasi antara Variabel pada Karakteristik Petani


Hortikultura dengan Tingkat Pengetahuan

Mengacu pada teori pengambilan keputusan Rogers (1983), karakteristik


petani (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan utama, luas lahan, lama usaha, tingkat
kekosmopolitan, tingkat keinovatifan, dan tingkat dukungan kelompok) diduga
berhubungan dengan tingkat pengetahuan dalam proses pengambilan keputusan
inovasi pestisida nabati. Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel
karakteristik petani dan tingkat pengetahuan inovasi pestisida nabati disajikan pada
Tabel 24.

Tabel 24 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel pada


karakteristik petani dengan tingkat pengetahuan petani hortikultura di
Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Pengetahuan
Variabel pada Karakteristik Petani Hortikultura
rs α
**
Umur -,410 ,006
**
Tingkat Pendidikan ,434 ,003
Pekerjaan Utama -,303* ,046
*
Luas Lahan ,314 ,038
*
Lama Usahatani -,304 ,045
**
Tingkat Kekosmopolitan ,595 ,000
Tingkat Keinovatifan ,589** ,000
**
Tingkat Dukungan Kelompok ,552 ,000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 24, terlihat bahwa semua variabel karakteristik petani


memiliki hubungan nyata dan sangat nyata dengan tingkat pengetahuan. Adapun
variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat pengetahuan meliputi pekerjaan
utama, luas lahan, dan lama usahatani. Selanjutnya, variabel yang berhubungan
sangat nyata dengan tingkat pengetahuan yaitu umur, tingkat pendidikan, tingkat
kekosmopolitan, tingkat keinovatifan, dan tingkat dukungan kelompok. Dari
delapan variabel, terdapat tiga variabel yang memiliki hubungan nyata negatif
dengan tingkat pengetahuan yaitu variabel umur, pekerjaan utama, dan lama
usahatani.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan petani, maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan petani terhadap
inovasi pestisida nabati. Hal ini dimungkinkan karena petani tersebut memiliki
pengalaman belajar secara formal yang cukup, yang memungkinkannya untuk
dapat menyerap pengetahuan baru, khususnya tentang pestisida nabati. Di lain
pihak, semakin luas lahan yang diusahakan petani, maka semakin tinggi pula
60

tingkat pengetahuan petani terhadap inovasi pestisida nabati. Petani akan semakin
berpikir rasional terhadap setiap keputusan yang diambil karena berhubungan
dengan untung dan rugi, terutama bagi petani dengan lahan yang tergolong luas.
Kedua temuan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti et al.
(2008) yang mana tingkat pendidikan formal dan luas kepemilikan lahan
berhubungan dengan tingkat pengetahuan petani.
Demikian halnya dengan tingkat kekosmopolitan petani, semakin
kosmopolit seorang petani maka semakin tinggi tingkat pengetahuan pestisida
nabati yang dimilikinya. Petani dapat memperoleh informasi lebih banyak seiring
dengan banyaknya jejaring yang dia miliki, baik yang berada dalam sistem
sosialnya maupun di luar sistem sosial. Sebelumnya, penelitian Amala et al. (2013)
dan Marwandana (2014) juga menemukan hal yang sama mengenai tingkat
kekosmopolitan petani.
Selanjutnya, petani yang inovatif akan memiliki tingkat pengetahuan yang
tinggi karena kecenderungannya untuk mencoba praktik baru dalam bertani
mendorongnya untuk mempelajari hal baru tersebut, dalam kasus ini adalah
pestisida nabati. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Marwandana (2014) yang tidak menemukan adanya hubungan antara tingkat
keinovatifan petani dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Lebih lanjut,
tingginya tingkat pengetahuan petani juga berhubungan dengan adanya dukungan
dari kelompok tani di Desa Sidokerto. Kelompok tani memberikan kesempatan
untuk berdiskusi dan membagikan sampel pestisida nabati gratis sehingga petani
dapat memperoleh informasi tentang pestisida nabati, secara teori maupun praktik.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Susanti et al. (2008).
Hal yang menarik adalah adanya variabel yang berhubungan nyata negatif
terhadap tingkat pengetahuan, yaitu umur, pekerjaan utama, dan lama usaha. Hal
tersebut tidak sejalan dengan penarikan simpulan Rogers dari sejumlah penelitian-
penelitian sebelumnya4. Semakin muda umur petani, maka semakin tinggi tingkat
pengetahuan tentang pestisida nabati yang dimilikinya. Hasil temuan di lapang
menunjukkan bahwa petani yang berumur muda dapat mengingat informasi tentang
pestisida nabati dengan baik dan sebaliknya, seperti MLY (61 tahun) menyatakan
bahwa ia kesulitan mengingat nama-nama bahan pengendali hama yang
disampaikan pada kegiatan SLPHT.
Jika pekerjaan utama responden selain sebagai petani, semakin tinggi pula
tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Responden yang memiliki pekerjaan utama
bukan sebagai petani memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap pestisida
nabati. Hal tersebut dimungkinkan karena responden dengan pekerjaan utama
sebagai petani telah memiliki pengetahuan tentang praktik berusahatani berdasar
pengalaman mereka sendiri selama ini sehingga responden ini cenderung kurang
terbuka terhadap sesuatu yang baru. PRN (63 tahun) mengungkapkan hal serupa
bahwa:

“... Biasanya pakai obat [pestisida] kimia itu. Sudah dari dulu begitu.
Sebetulnya disuruh coba pakai obat yang baru [pestisida nabati]. Lha tapi ndak
tau dan ndak pernah pakai sebelumnya ...” (PRN 63 tahun).

4
Dari 228 penelitian yang dirangkum Rogers, 48% penelitian tidak menemukan adanya hubungan
antara umur dengan tahap pengambilan keputusan inovasi, 19% menunjukkan hubungan negatif
dan 33% sisanya menunjukkan adanya hubungan positif (Rogers 1983 hal. 260-261).
61

Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Sadono (1999). Sadono (1999)
menemukan bahwa responden dengan pekerjaan utama sebagai petani memiliki
kesempatan yang lebih banyak dibanding petani yang mempunyai pekerjaan lain.
Kesempatan tersebut dimungkinkan sebagai kesempatan untuk memikirkan dan
mengelola usahatani sebagai prioritas utama.
Petani yang tergolong baru memulai usahatani memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi terhadap pestisida nabati. Hal tersebut dapat
dimungkinkan karena petani yang baru berusahatani belum memiliki banyak
pengalaman dan pengetahuan tentang berusahatani sehingga mereka cenderung
lebih terbuka mempelajari hal baru dan mudah mengingatnya. SNW (45 tahun)
menyatakan bahwa ia ingin belajar dan mencoba hal baru dalam bertani karena ia
baru 5 tahun ini bertani dan belum memiliki cukup pengalaman. Penelitian Roswita
(2003) tidak menemukan adanya hubungan antara lama berusahatani dengan
tingkat pengetahuan petani.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan, luas lahan,
tingkat kekosmopolitan, tingkat keinovatifan, dan tingkat dukungan kelompok
memiliki hubungan positif dengan tingkat pengetahuan petani. Namun demikian,
terdapat tiga variabel yang memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengetahuan
petani, yaitu umur, pekerjaan utama, lama berusahatani.

Analisis Korelasi antara Variabel pada Karakteristik Pestisida Nabati yang


Dipersepsikan Petani dengan Tingkat Persuasi

Merujuk pada Rogers (1983), variabel karakteristik inovasi diduga


berhubungan dengan tingkat persuasi pengambilan keputusan inovasi pestisida
nabati. Dalam penelitian ini, terdapat lima karakteristik inovasi pestisida nabati
yang diteliti, meliputi: tingkat keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat
kerumitan, tingkat kemungkinan dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati. Pada
Tabel 25 disajikan hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel karakteristik
inovasi pestisida nabati dengan tingkat persuasi.

Tabel 25 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel pada


karakteristik pestisida nabati dengan tingkat persuasi petani
hortikultura di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Persuasi
Variabel pada Karakteristik Pestisida Nabati
rs α
Tingkat Keuntungan Relatif -,204 ,184
Tingkat Kesesuaian ,777** ,000
Tingkat Kerumitan ,236 ,122
**
Tingkat Kemungkinan Dicoba ,647 ,000
Tingkat Kemungkinan Diamati ,652** ,000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 25, tiga variabel karakteristik pestisida nabati


berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat persuasi, yaitu variabel tingkat
62

kesesuaian, tingkat kemungkinan dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati.


Variabel tingkat keuntungan relatif dan tingkat kerumitan tidak memiliki hubungan
dengan tingkat persuasi.
Tingkat kesesuaian pestisida nabati berhubungan sangat nyata positif
dengan tingkat persuasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Amala et al. (2013)
dan Roswita (2003). Jika pestisida nabati dianggap sesuai dengan pengalaman dan
kebutuhan petani, petani akan tertarik untuk sekedar mengetahui lebih jauh, atau
bahkan untuk menggunakannya. Selanjutnya, tingkat kemungkinan pestisida nabati
memiliki hubungan sangat nyata positif dengan tingkat persuasi. Penelitian Amala
et al. (2013) dan Roswita (2003) juga menemukan hal serupa. Jika pestisida nabati
mudah dicoba, khususnya dalam skala kecil, petani akan lebih tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut dan mencobanya sendiri. Tingkat kemungkinan pestisida
nabati untuk diamati juga berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat persuasi.
Hal tersebut telah sesuai dengan penelitian Amala et al. (2013) dan Roswita (2003).
Semakin mudah hasil penerapan pestisida nabati, maka petani semakin tertarik
untuk mencoba menggunakannya.
Di lain pihak, tingkat keuntungan relatif tidak memiliki hubungan dengan
tingkat persuasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Susanti et al. (2008). Salah
satu hal yang unik dari pestisida nabati adalah petani dapat membuatnya sendiri
sehingga dapat menekan biaya yang dikeluarkan meskipun harus sedikit repot
untuk membuatnya. Namun, temuan di lapang menunjukkan bahwa petani lebih
memilih untuk membeli pestisida nabati di Klinik PHT Sidodadi dibanding
membuatnya sendiri. Memang harga pestisida nabati lebih murah dibanding
pestisida kimia, tetapi hal tersebut menjadikan pestisida nabati tidak berbeda jauh
dengan pestisida kimia. Oleh karena itu, tingkat keuntungan relatif pestisida nabati
tidak memiliki hubungan nyata dengan tahap persuasi.
Tingkat kerumitan pestisida nabati juga tidak memiliki hubungan dengan
tingkat persuasi, yang sejalan dengan penelitian Susanti et al. (2008). Pestisida
nabati memiliki kerumitan dalam hal mencari bahan dan meraciknya sendiri.
Namun karena petani lebih memilih untuk membeli pestisida nabati, kerumitan
tersebut menjadi tidak terlalu berarti dan menjadikan pestisida nabati tidak berbeda
jauh dengan pestisida kimia yang dapat diperoleh hanya dengan cara membeli.
Berdasarkan pernyataan responden dan informan, petani tertarik untuk
menggunakan pestisida nabati dikarenakan adanya kegiatan Klinik PHT Sidodadi
dan SLPHT. Klinik PHT Sidodadi mengadakan pertemuan dan pelatihan
pembuatan pestisida nabati kepada para anggotanya. Selain itu, melalui kegiatan
SLPHT, petani memperoleh bantuan benih cabai, alat, dan bahan untuk membuat
pestisida nabati sehingga petani tertarik untuk menggunakan pestisida nabati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kesesuaian, tingkat
kemungkinan dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati memiliki hubungan sangat
nyata positif dengan tingkat persuasi petani. Namun, tingkat keuntungan relatif dan
tingkat kerumitan tidak berhubungan dengan tingkat persuasi petani.
63

Analisis Korelasi antara Variabel pada Tingkat Kepuasan Petani


dengan Tingkat Konfirmasi

Merujuk pada penelitian Marwandana (2014), tingkat kepuasan petani


diduga memiliki hubungan dengan tingkat konfirmasi dalam pengambilan
keputusan inovasi. Dalam penelitian ini, tingkat kepuasan petani yang diteliti
meliputi variabel tingkat produksi hortikultura dan kualitas hortikultura.
Berdasarkan hasil uji korelasi Rank Spearman, variabel kualitas hortikultura
memiliki hubungan sangat nyata positif dengan tingkat konfirmasi yang disajikan
pada Tabel 26.

Tabel 26 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel pada tingkat
kepuasan petani dengan tingkat konfirmasi petani hortikultura di Desa
Sidokerto tahun 2016
Tingkat Konfirmasi
Variabel pada Tingkat Kepuasan Petani
rs α
Tingkat Produksi Hortikultura ,139 ,367
**
Kualitas Hortikultura ,682 ,000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 26, hanya satu variabel tingkat kepuasan petani yang
berhubungan dengan tingkat konfirmasi, yaitu kualitas hortikultura sedangkan
tingkat produksi hortikultura tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat
konfirmasi. Dengan kata lain semakin tinggi kualitas hortikultura, maka semakin
tinggi pula tingkat konfirmasi petani terhadap penggunaan pestisida nabati.
Penggunaan pestisida nabati sebagai pengganti pestisida kimia dapat mengurangi
bahkan menghilangkan residu bahan kimia dalam sayuran, sehingga sayuran lebih
sehat dan aman untuk dikonsumsi. Namun demikian, penggunaan pestisida nabati
tidak memberikan dampak terhadap tingkat produksi hortikultura. Peningkatan
produksi hortikultura dapat disebabkan oleh faktor pemupukan.
Penelitian sebelumnya (Marwandana 2014) tidak menemukan adanya
hubungan antara tingkat kepuasan petani, khususnya tingkat produksi, dengan
tingkat konfirmasi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa tingkat produksi
hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati sama saja dengan perlakuan
pestisida kimia. Namun, jika pestisida nabati tersebut digunakan bersamaan dengan
prinsip PHT dengan benar, maka akan diperoleh peningkatan produksi hortikultura.
Berikut ini adalah contoh perlakuan PHT terhadap budidaya cabai rawit merah:
perendaman benih dengan agens hayati (Choryne), perlakuan tanah dengan
pemupukan pupuk kandang, kompos dan disiram dengan Trichoderma, pola tanam
monokultur, pengurangan pupuk kimia, pemakaian mulsa, serta penggunaan agens
hayati dan pestisida nabati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya kualitas hortikultura
yang berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat konfirmasi petani terhadap
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati, sedangkan tingkat produksi
hortikultura tidak memiliki hubungan dengan tingkat konfirmasi petani.
64

Analisis Korelasi antara Variabel pada Saluran Komunikasi


dengan Semua Tingkat Pengambilan Keputusan
Inovasi Pestisida Nabati

Tahap pengambilan keputusan inovasi diduga berhubungan dengan saluran


komunikasi yang digunakan petani untuk mengakses informasi tentang inovasi
(Rogers 1983). Dalam penelitian ini, terdapat tiga variabel saluran komunikasi yang
diuji korelasinya, yaitu saluran antarpribadi, media massa, dan saluran kelompok.
Pada Tabel 27 disajikan hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel saluran
komunikasi dengan lima tingkat pengambilan keputusan inovasi (tingkat
pengetahuan, tingkat persuasi, tingkat keputusan, tingkat implementasi, dan tingkat
konfirmasi).

Tabel 27 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel pada saluran
komunikasi dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi pestisida
nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat
Saluran Pengetahuan Persuasi Keputusan Implementasi Konfirmasi
Komunikasi
rs α rs α rs α rs α rs α
Saluran
,711** ,000 ,717** ,000 ,723** ,000 ,723** ,000 ,608** ,000
Antarpribadi
Media
,207 ,179 ,153 ,321 ,118 ,444 ,118 ,444 ,199 ,195
Massa
Saluran
,630** ,000 ,672** ,000 ,592** ,000 ,592** ,000 ,493** ,001
Kelompok
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan Tabel 27, terlihat bahwa saluran antarpribadi dan saluran


kelompok memiliki hubungan sangat nyata positif dengan semua tingkat
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati. Hanya media massa yang tidak
memiliki hubungan dengan semua tingkat pengambilan keputusan inovasi pestisida
nabati.
Saluran antarpribadi memiliki hubungan sangat nyata positif dengan kelima
tingkat pengambilan keputusan inovasi (tingkat pengetahuan, tingkat persuasi,
tingkat keputusan, tingkat implementasi, dan tingkat keputusan). Hal tersebut
sejalan dengan penelitian Cheboi dan Mberia (2014), Susanti et al. 2008), Mulyadi
et al. (2007), Indraningsih (2006), dan Onasanya et al. (2006). Artinya, semakin
tinggi akses petani terhadap saluran antarpribadi, maka semakin tinggi pula tingkat
pengetahuan yang dimilikinya karena saluran antarpribadi memungkinkan petani
untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang pestisida nabati. Akses yang
baik terhadap saluran antarpribadi akan mendorong petani untuk menentukan
sikapnya terhadap inovasi pestisida nabati. Tidak hanya itu, saluran antarpribadi
memberikan kesempatan petani untuk berkomunikasi secara efektif sehingga dapat
menentukan keputusan untuk menolak atau menerima inovasi. Dengan
berkomunikasi secara dua arah yang memungkinan adanya umpan balik, petani
dapat lebih memahami inovasi pestisida nabati sehingga petani dapat menguasai
tata cara penggunaan pestisida nabati dengan baik. Akhirnya, melalui saluran
komunikasi antarpribadi petani dapat mencari penguatan atas inovasi pestisida
nabati yang digunakannya.
65

Di lain pihak, media massa tidak memiliki hubungan dengan semua tingkat
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati. Hal tersebut tidak sejalan dengan
penarikan simpulan Rogers (1983) yang menemukan bahwa 69% dari 116
penelitian-penelitian yang dihimpun sebelumnya menyatakan bahwa media massa
memiliki hubungan positif dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi. Kondisi
di lapangan menunjukkan bahwa berbagai macam sumber informasi dari media
massa yang diakses petani tidak ada kaitannya dengan pestisida nabati. Dapat pula
dikarenakan petani memang memiliki akses yang rendah terhadap media massa
sehingga tidak dapat memperoleh banyak informasi, khususnya pestisida nabati.
Saluran kelompok memiliki hubungan sangat nyata positif dengan kelima
tingkat pengambilan keputusan inovasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Cheboi dan Mberia (2014), Susanti et al. 2008), Mulyadi et al. (2007), Indraningsih
(2006), dan Onasanya et al. (2006). Saluran kelompok merupakan salah satu
sumber informasi penting bagi petani, karena hampir setiap kumpul kelompok tani
diadakan diskusi mengenai praktik usahatani, khususnya penggunaan pestisida
nabati. Dengan adanya diskusi tersebut, petani yang belum mengetahui pestisida
nabati dapat memahami pestisida nabati lebih baik dibanding sebelumnya. Bagi
petani yang sudah mengenal pestisida nabati dapat menentukan sikap dan
keputusan untuk menerima atau menolak inovasi pestisida nabati. Melalui diskusi
kelompok, petani juga dapat bertukar pengalaman tentang praktik penggunaan
pestisida nabati. Akhirnya, setelah mendengarkan pendapat dan pengalaman petani
lain, petani dapat memperoleh penguatan atas keputusannya dalam menggunakan
pestisida nabati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saluran antarpribadi dan
saluran kelompok memiliki hubungan sangat nyata positif dengan kelima tingkat
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati. Hanya media massa yang tidak
berhubungan dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati.

Analisis Korelasi antar Tingkat Pengambilan Keputusan


Inovasi Pestisida Nabati

Merujuk pada teori pengambilan keputusan Rogers (1983), setiap tahap


diduga berhubungan dengan tahap selanjutnya. Dengan kata lain, tingkat
pengetahuan diduga berhubungan dengan tingkat persuasi, tingkat persuasi diduga
berhubungan dengan tingkat keputusan, tingkat keputusan diduga berhubungan
dengan tingkat implementasi, dan terakhir tingkat implementasi diduga
berhubungan dengan tingkat konfirmasi. Pada Tabel 28 disajikan data nilai korelasi
Rank Spearman antar tingkat pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati di
Desa Sidokerto tahun 2016. Berdasarkan tabel tersebut, setiap tingkat memiliki
hubungan sangat nyata positif dengan tingkat pengambilan keputusan selanjutnya.
Tingkat pengetahuan berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat
persuasi. Hal tersebut telah sesuai dengan penelitian Marwandana (2014). Semakin
tinggi tingkat pengetahuan tentang pestisida nabati, maka petani akan semakin
tertarik terhadap pestisida nabati. Hal tersebut dikarenakan petani ingin memahami
lebih mendalam tentang pestisida nabati. Terlebih, informasi-informasi positif
tentang pestisida nabati yang diterima petani akan mendorong petani untuk tertarik
terhadap pestisida nabati.
66

Tabel 28 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antar tahap pengambilan


keputusan inovasi pestisida nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tahap Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat
Pengambilan Persuasi Keputusan Implementasi Konfirmasi
Keputusan rs α Rs α rs α rs α
Tingkat
,816** ,000
Pengetahuan
Tingkat
,850** ,000
Persuasi
Tingkat
1,000**
Keputusan
Tingkat
,594** ,000
Implementasi
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tingkat persuasi berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat


keputusan, yang sejalan dengan penelitian Marwandana (2014). Jika petani merasa
tertarik terhadap pestisida nabati, petani akan cenderung ingin mencobanya sendiri,
yang dicerminkan dalam keputusannya untuk menerima inovasi pestisida nabati.
Hal tersebut dimungkinkan karena petani ingin membuktikan informasi-informasi
yang dia dapatkan terhadap pestisida nabati, sehingga dia memutuskan untuk
menggunakan pestisida nabati di lahannya sendiri.
Selanjutnya, tingkat keputusan berhubungan sangat nyata positif dengan
tingkat implementasi. Artinya, petani yang memutuskan untuk menerima pestisida
nabati, otomatis dia akan menggunakan pestisida nabati di lahannya sendiri. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Marwandana (2014). Petani ingin memperoleh
pengalaman dan bukti empiris tentang pestisida nabati, sehingga dapat menilai
apakah informasi yang dia peroleh sebelumnya terbukti atau tidak.
Terakhir, tingkat implementasi berhubungan sangat nyata positif dengan
tingkat konfirmasi, yang sejalan dengan penelitian Marwandana (2014). Jika petani
telah menggunakan pestisida nabati di lahannya sendiri, petani tersebut akan
cenderung menguatkan keputusan yang telah dibuatnya. Hasil baik yang diperoleh
petani ketika mencoba menggunakan pestisida nabati sendiri, akan menguatkan
keputusan petani untuk tetap melanjutkan penggunaan pestisida nabati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap tingkat pengambilan
keputusan terbukti berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat selanjutnya.
Tingkat pengetahuan berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat persuasi.
Tingkat persuasi berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat keputusan.
Tingkat keputusan berhubungan mutlak dengan tingkat implementasi. Terakhir,
tingkat implementasi berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat konfirmasi.
67

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Umur rata-rata petani adalah 51 tahun dengan tingkat pendidikan mayoritas


tamatan SD, pekerjaan utama sebagai petani yang menggarap lahan dengan luas
rata-rata 0,30 ha, dan telah berusahatani selama 24 tahun. Lebih lanjut, petani
tergolong cukup kosmopolit, sangat inovatif, dan memiliki hubungan yang kuat
dengan kelompok tani. Tingkat keuntungan relatif inovasi pestisida nabati
cenderung dipersepsikan petani sama dengan pestisida kimia. Selain itu, pestisida
nabati dipandang sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan petani serta mudah
untuk diamati dan dicoba dalam skala kecil, namun cukup rumit untuk dipahami
dan diterapkan. Rata-rata tingkat produksi hortikultura dengan perlakuan pestisida
nabati dipersepsikan sama dengan tingkat produksi hortikultura dengan perlakuan
pestisida kimia. Namun demikian, petani cenderung mempersepsikan kualitas
hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati lebih baik dibanding kualitas
hortikultura dengan perlakuan pestisida kimia. Sumber informasi pestisida nabati
juga relatif tersedia, namun petani lebih mengandalkan saluran komunikasi
kelompok dibanding saluran antarpribadi dan media massa.
Semua petani telah melalui kelima tahap pengambilan keputusan inovasi
pestisida nabati. Separuh dari keseluruhan petani telah mengenal pestisida nabati
dengan baik dan hanya sebagian kecil petani yang tidak mengenal pestisida nabati.
Petani yang telah mengenal pestisida nabati tertarik terhadap inovasi tersebut dan
kemudian memutuskan untuk mencobanya. Setelah mencoba pestisida nabati,
sebagian besar petani tetap melanjutkan penggunaan pestisida nabati, namun
terdapat sebagian kecil petani yang memutuskan berhenti menggunakan pestisida
nabati.
Variabel dalam karakteristik petani hortikultura, yaitu tingkat pendidikan,
luas lahan, tingkat kekosmopolitan, tingkat keinovatifan, dan tingkat dukungan
kelompok berhubungan positif dengan tingkat pengetahuan, sedangkan umur,
pekerjaan utama, dan lama usaha berhubungan nyata negatif dengan tingkat
pengetahuan petani. Variabel dalam karakteristik pestisida nabati yang
dipersepsikan petani, yaitu tingkat kesesuaian, tingkat kemungkinan dicoba, dan
tingkat kemungkinan diamati berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat
persuasi petani. Selanjutnya, variabel dalam tingkat kepuasan petani hanya kualitas
hortikultura yang berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat konfirmasi
petani. Variabel dalam saluran komunikasi, yaitu saluran antarpribadi dan saluran
kelompok berhubungan sangat nyata positif dengan kelima tingkat pengambilan
keputusan inovasi pestisida nabati oleh petani. Setiap tingkat pengambilan
keputusan juga terbukti berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat
selanjutnya.
68

Saran

Berdasarkan hasil analisis data primer dan data lapang, tingkat pengambilan
keputusan petani terhadap pestisida nabati tinggi pada awalnya. Namun kemudian
terdapat beberapa petani memutuskan untuk berhenti menggunakan pestisida nabati
dikarenakan faktor eksternal, seperti tidak menentunya musim dan permintaan
pasar. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah
maupun petani sudah optimal dan permasalahannya adalah karena faktor eksternal.
Oleh karena itu, saran yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian
skripsi ini adalah:
1. Perlu dukungan kelompok tani secara penuh terhadap penggunaan pestisida
nabati, salah satunya dengan pembuatan pestisida nabati secara kolektif
yang diikuti seluruh anggota sehingga petani dapat memproduksi sendiri
pestisida nabati. Petani tergolong lokalit yang artinya petani mencari
informasi mengenai pestisida nabati di dalam sistem sosialnya saja sehingga
peran kelompok tani menjadi sangat penting.
2. Perlunya pendampingan yang berkelanjutan dari Dinas Pertanian dan Balai
Penyuluhan Pertanian terhadap penggunaan pestisida nabati sehingga petani
semakin yakin dan paham mengenai pentingnya mengurangi penggunaan
pestisida kimia dan beralih menggunakan pestisida nabati. Penyuluh dapat
menekankan penyampaian informasi mengenai karakteristik pestisida
nabati, khususnya mengenai kesesuaian pestisida nabati dengan
pengalaman dan kebutuhan petani, dapat dicoba dalam skala kecil, dan
mudah diamati hasilnya.
3. Perlu diadakan penelitian di laboratorium mengenai kandungan zat aktif
dalam pestisida nabati yang dibuat dan digunakan oleh petani sehingga
dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya masing-masing. Dengan adanya
pengujian tersebut, petani diharapkan dapat mengaplikasikan pestisida
nabati sesuai dosis dan kegunaannya masing-masing.
4. Perlunya pengenalan produk hortikultura organik kepada petani itu sendiri,
pedagang, dan masyarakat luas dalam rangka meningkatkan pasar produk
hortikultura organik. Hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati dinilai
petani memiliki kualitas yang lebih baik dibanding perlakuan pestisida
kimia. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi salah satu keunggulan
untuk meningkatkan nilai jual hortikultura organik.
69

DAFTAR PUSTAKA

Amala TA, Chalil D, Sihombing L. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian padi organik. [Internet].
[Diunduh pada 22 November 2015]. Medan (ID): USU. Tersedia pada:
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/ceress/article/download/ 8050/3446.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Daerah Kecamatan Sidorejo 2015.
[Internet]. [Diunduh 31 Okt 206]. Magetan (ID): BPS Kabupaten Magetan.
Dapat diunduh di: https://magetankab.bps.go.id/website/pdf_publikasi/
Statistik-Daerah-Kecamatan-Sidorejo-2015.pdf.
Cheboi S, Mberia H. 2014. Efficacy of interpersonal communication channels in
the diffusion and adoption of zero grazing technology. International Journal
of Academic Research in Business and Social Science 04(9):352-368.
[Internet]. [Diunduh pada 08 Oktober 2015]. Nairobi (KE): Jomo Kenyatta
Unversity of Agriculture. Tersedia pada: http://hrmars. com/hrmars_papers/
Efficacy_of_Interpersonal_Communication_Channels_in_the_Diffusion_a
nd_Adoption_of_Zero_Grazing_Technology2.pdf.
Djojosumarto P. 2008. Pestisida & Aplikasinya. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Faisal S. 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta (ID): RajaGrafindo
Persada.
Indraningsih KS. 2011. Pengaruh penyuluhan terhadap keputusan petani dalam
adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu. J. Agro Ekonomi 29(1): 1-24.
[Internet]. [Diunduh pada 22 November 2015]. Bogor (ID): PSEKP
Balitbang Pertanian. Tersedia pada: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/
pdffiles/JAE%2029-1a.pdf.
Irawati N. 2009. Analisis sikap dan kepuasan petani padi terhadap benih padi
(Oryza sativa) varietas unggul di kota Solok, Sumatera Barat. Skripsi.
[Internet]. [Diunduh pada 17 Februari 2016]. Bogor (ID): IPB. Tersedia
pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/14105/H09
nir.pdf?sequence=2&isAllowed=y.
Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan & Aplikasi. Penebar Swadaya.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis Peningkatan Produksi,
Produktivitas dan Mutu Produk Hortikultura Berkelanjutan Tahun 2014.
[Internet]. [Diunduh pada 01 Desember 2015]. Jakarta (ID: Kementan.
Tersedia pada: http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/
06/PedomanTeknisHortikulturaUmum2014.pdf.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Rencana Strategis Direktorat Jenderal
Hortikultura 2015-2019. [Internet]. [Diunduh pada 01 Desember 2015].
Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Tersedia pada: http://hortikultura.
pertanian. go.id/wp-content/uploads/2015/06/Daftar-Isi.pdf.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Sekilas tentang agens hayati. Artikel.
[Internet]. [Diakses pada 01 Desember 2015]. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian. Tersedia pada: http://cybex.pertanian.go.id/materilokalita/ detail/
6489.
70

Marwandana Z. 2014. Studi pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal


(Psidium guajava L.) pada rumahtangga petani di Desa Bantarsari. Skripsi.
[Intenet]. [Diunduh pada November 2015]. Bogor (ID): IPB. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/73515/I14zma.pdf?
sequence=1&isAllowed=y.
Mulyadi, Sugihen BG, Asngari PS, Susanto D. 2007. Proses adopsi inovasi
pertanian suku pedalaman arfak di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. J.
Penyuluhan 03(2): 110-118. [Internet]. [Diunduh pada 25 November 2015].
Bogor (ID): IPB. Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index. php/jupe/
article/download/2158/1188.
Onasanya OS, Adedoyin SF, Onasanya OA. 2006. Communication factors affecting
the adoption of innovation at the grassroots level in Ogun State, Nigeria. J.
of Central Eropean Agriculture 07(4): 601-608. [Internet]. [Diunduh pada
08 November 2015]. Plovdiv (BG): Agricultural University Plovdiv.
Tersedia pada: http://hrcak.srce.hr/file/26899.
Pemerintah Desa Sidokerto. 2014. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Sidokerto Tahun 2014. Magetan (ID): Pemerintah Desa Sidokerto.
Prestiwo J, Edwina S, Maharani E. 2015. Adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap sistem integrasi sapi – kelapa sawit (SISKA) di Kabupaten Kampar.
J. Faperta 2(1): 1-10. [Internet]. [Diunduh pada 20 September 2015]. Riau
(ID): Universitas Riau. Tersedia pada: http://jom.unri.ac.id/index.php/JOM
FAPERTA/article/viewFile/5381/5260.
Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovations. Ed. 3. [Internet]. [Diunduh pada
Januari 2016]. New York (US): Macmillan Publishing. Tersedia pada:
http://teddykw2.files.wordpress.com/2012/07/everett-m-rogers-diffusion-
of-innovatons.pdf.
Roswita R. 2003. Tahapan proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan
penyakit tanaman dengan agen hayati (kasus petani sayuran di Kecamatan
Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera). Tesis. [Internet].
[Diunduh pada 12 November 2015]. Bogor (ID): IPB. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7703/2003rro.pdf?s
equence=4&isAllowed=y.
Sadono D. 1999. Tingkat adopsi inovasi pengendalian hama terpadu oleh petani
(Kasus di Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Tesis. Bogor (ID): IPB.
Situmorang B, Edwina S, Maharani E. 2015. Adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap sistem integrasi sapi – kelapa sawit (SISKA) di Kabupaten
Pelalawan. J. Faperta 2(1): 11-22. [Internet]. [Diunduh pada 14 Desember
2015]. Riau (ID): Universitas Riau. Tersedia pada: http://jom.unri.ac.id/
index.php/JOMFAPERTA/article/download/5470/5349.
Sudarmo S. 2005. Pestisida Nabati. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Surabaya Pagi. 2013. Upaya dispertahut pertahankan lamongan sebagai lumbung
padi di Jatim. Artikel. [Internet]. [Diakses pada 01 Desember 2015].
Surabaya (ID): Surabaya Pagi. Tersedia pada: http://surabayapagi.com/
index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962f33cbe7917a251dba505b
b7dfb601149.
71

Susanti LW, Sugihardjo, Suwarto. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi


pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik di
Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. J. Agritexts 24:
1-14. [Internet]. [Diunduh pada 23 November 2015]. Solo (ID): UNS.
Tersedia pada: http://fp.uns.ac.id/jurnal/down load.php?file=Agritex-4.pdf.
Wiratno. 2011. Efektivitas pestisida nabati berbasis minyak jarak pagar, cengkeh,
dan seraiwangi terhadap mortalitas Nilaparvata lugens Stahl. Semnas
Pesnab IV. [Internet]. [Diunduh pada 4 Februari 2016]. Bogor (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Tersedia pada: http://balittro.
litbang.pertanian.go.id/ind/images/publikasi/prosiding/pesnabiv/1.Wiratno
%20Wereng-pesnab%2019-28p.pdf.
Wisdom JP, Chor KHB, Hoagwood KE, Horwitz SM. 2014. Innovation adoption:
a review of theories and constructs. J. Adm Policy Ment Health 41: 480-502.
[Internet]. [Diunduh pada 14 September 2015]. New York (US): Springer
Science and Business Media. Tersedia pada: http://e-resources. perpusnas.
go.id:2070/media/pq/classic/doc/3331454771/fmt/pi/rep/.
Wulandari L. 2011. Etnobotani pestisida nabati di suku Tengger Bromo Jawa Timur.
[Skripsi]. [Internet]. [Diunduh pada 4 Februari 2016]. Jember (ID): UNEJ.
Tersedia pada: http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/
23007/gdlhub-%20%28171%29_1.pdf?sequence=1.
Yenie E, Elystia S, Kalvin A, Irfhan M. 2013. Pembuatan pestisida organik
menggunakan metode ekstraksi dari sampah daun pepaya dan umbi bawang
putih. J. Teknik Lingkungan UNAND 10(1) : 45-59. [Internet]. [Diunduh
pada 4 Februari 2016]. Pekanbaru (ID): Universitas Riau. Tersedia pada:
http://lingkungan.ft.unand.ac.id/images/fileTL/Dampak10-1/6-Elvie%20
Yenni.pdf.
Zulkarnain. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
72
73

LAMPIRAN
74

LAMPIRAN

Lampiran 1 Sketsa lokasi penelitian

Desa Sumberdodol Desa


Tanjungsari

ke pusat
Desa
Kabupaten Magetan
Sumberdodol

Desa
Terung

Desa
Sumbersawit

Desa Widorokandang

ke Jalan alternatif
Magetan – Karanganyar (Jawa Tengah)

Keterangan:

SMPN 1 Sidorejo

Kantor Desa Sidokerto

Masjid

----- Batas Dusun

••••••••• Batas Desa

Jalan Desa

Jalan Lingkar Utara


75

Lampiran 2 Daftar responden

No. Nama Poktan Dusun


1. SPD Sidorukun Teguhan
2. PRN Sidomakmur Serut
3. SJD Sidomukti Batang
4. PNO Sidomukti Bendo
5. SKN Sidorukun Teguhan
6. EDP Sidomukti Batang
7. WRJ Sidomakmur Serut
8. AMD Sidomakmur Serut
9. SNW Sidorukun Teguhan
10. SRC Sidomukti Batang
11. DRN Sidomukti Batang
12. SRT Sidomukti Batang
13. SRJ Sidomukti Batang
14. JRW Sidomukti Batang
15. SUG Sidomukti Batang
16. SKO Sidomukti Batang
17. SPY Sidomakmur Serut
18. SYT Sidomukti Batang
19. SNG Sidomukti Batang
20. JNO Sidomakmur Serut
21. KMN Sidomakmur Serut
22. SMR Sidomakmur Serut
23. PRD Sidomukti Bendo
24. HRT Sidomukti Batang
25. SGN Sidomukti Batang
26. SNU Sidomukti Batang
27. SKM Sidomukti Batang
28. SNO Sidorukun Teguhan
29. SKR Sidomukti Bendo
30. SGI Sidomakmur Serut
31. MLY Sidomakmur Serut
32. SWR Sidomakmur Serut
33. BND Sidomakmur Serut
34. JMR Sidomakmur Serut
35. HRM Sidomukti Bendo
36. WRS Sidomukti Bendo
37. SPN Sidomukti Bendo
38. SWN Sidomukti Bendo
39. SHJ Sidomukti Bendo
40. GTL Sidomukti Bendo
41. SRN Sidomukti Bendo
42. SKD Sidomukti Bendo
43. SWD Sidomukti Bendo
44. SRD Sidomukti Bendo
76

Lampiran 3 Kerangka sampling

Kelompok Tani Sidomukti Kelompok Tani Sidomukti


No. Nama Dusun No. Nama Dusun
1. SRT Batang 43. SUD Batang
2. BNI Bendo 44. SGN Batang
3. PRD Bendo 45. SUR Batang
4. SWN Bendo 46. WRS Bendo
5. MDY Bendo 47. YHM Batang
6. JWO Bendo 48. JYD Batang
7. SKI Bendo 49. WRT Batang
8. SRC Batang 50. SPO Batang
9. SWD Batang 51. BAR Batang
10. JRW Batang 52. SUN Batang
11. SRD Bendo 53. MYO Bendo
12. SUW Bendo 54. EDP Batang
13. SRN Bendo 55. SKR Bendo
14. DRN Batang 56. SPN Bendo
15. HRT Batang
16. SKO Batang
17. SRJ Batang
18. SUG Batang
19. PDI Bendo
20. SAR Bendo
21. SPR Bendo
22. KRM Batang
23. SKM Batang
24. PNO Bendo
25. SNG Batang
26. SJD Batang
27. SNU Batang
28. SUY Batang
29. SUP Batang
30. SAN Batang
31. LJR Batang
32. SRO Batang
33. HRM Bendo
34. SKD Bendo
35. GTL Bendo
36. SAW Batang
37. SHJ Bendo
38. SYT Batang
39. TRM Batang
40. SAD Batang
41. SUK Batang
42. MRS Batang
77

Kelompok Tani Sidomakmur


Kelompok Tani Sidorukun
No Nama Dusun
No. Nama Dusun
1. SMD Serut
1. SDO Teguhan
2. SYN Serut
2. SKN Teguhan
3. SPD Serut
3. SNO Teguhan
4. SGE Serut
4. SWO Teguhan
5. KMS Serut
5. KMA Teguhan
6. SWR Serut
6. KUT Teguhan
7. SWL Serut
7. KSD Teguhan
8. JNO Serut
8. WNO Teguhan
9. MLY Serut
9. PAR Teguhan
10. SDI Serut
10. SKN Teguhan
11. SNE Serut
11. SMO Teguhan
12. AMD Serut
12. SDR Teguhan
13. SID Serut
13. SWD Teguhan
14. SPY Serut
14. SNI Teguhan
15. PNI Serut
15. RBO Teguhan
16. JMR Serut
16. YNO Teguhan
17. KMN Serut
17. SPD Teguhan
18. JKI Serut
18. AGS Teguhan
19. WRJ Serut
19. SGK Teguhan
20. JON Serut
20. SNW Teguhan
21. SRM Serut
22. PRN Serut
23. MRN Serut
24. KWT Serut
25. SMN Serut
26. SGI Serut
27. MNG Serut
28. SMI Serut
29. BND Serut
30. LNJ Serut
31. STR Serut
32. SMR Serut
33. SNO Serut
34. SDK Serut
35. JAR Serut
36. PAN Serut
78

Lampiran 4 Hasil uji statistik

Uji Reliabilitas Kuesioner


Reliability Statistics

Cronbach's N of Items
Alpha

,804 71

Hubungan karakteristik petani dan saluran komunikasi terhadap tahap


pengetahuan
Correlations

Tingkat Pengetahuan
Spearman's Umur1 Correlation Coefficient -,410**
rho
Sig. (2-tailed) ,006
N 44
Pendidikan Correlation Coefficient
,434**
Terakhir
Sig. (2-tailed) ,003
N 44
Pekerjaan Utama Correlation Coefficient -,303*
Sig. (2-tailed) ,046
N 44
Luas Lahan1 Correlation Coefficient ,314*
Sig. (2-tailed) ,038
N 44
Lama Usaha1 Correlation Coefficient -,304*
Sig. (2-tailed) ,045
N 44
Tingkat Correlation Coefficient
,595**
Kekosmopolitan
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Correlation Coefficient
,589**
Keinovatifan
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Dukungan Correlation Coefficient
,552**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Saluran Correlation Coefficient
,711**
Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,207
Sig. (2-tailed) ,179
N 44
79

Pertemuan Correlation Coefficient


,630**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Hubungan saluran komunikasi dan tingkat pengetahuan terhadap tahap persuasi


Correlations

Tingkat Persuasi
Spearman's Tingkat Correlation Coefficient -,204
rho Keuntungan
Sig. (2-tailed) ,184
Relatif
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,827**
Kesesuaian
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Kerumitan Correlation Coefficient ,236
Sig. (2-tailed) ,122
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,731**
Kemungkinan
Sig. (2-tailed) ,000
Dicoba
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,782**
Kemungkinan
Sig. (2-tailed) ,000
Diamati
N 44
Saluran Correlation Coefficient ,717**
Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,153
Sig. (2-tailed) ,321
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient ,672**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,816**
Pengetahuan
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
80

Hubungan saluran komunikasi dan tingkat persuasi terhadap tahap keputusan

Correlations

Tingkat Keputusan
Spearman's Saluran Correlation Coefficient ,723**
rho Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,118
Sig. (2-tailed) ,444
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient ,592**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Persuasi Correlation Coefficient ,850**
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hubungan saluran komunikasi dan tingkat keputusan terhadap tahap implementasi


Correlations

Tingkat Implementasi
Spearman's Saluran Correlation Coefficient ,723**
rho Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,118
Sig. (2-tailed) ,444
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient
,592**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Keputusan Correlation Coefficient 1,000**
Sig. (2-tailed)
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
81

Hubungan tingkat kepuasan petani, saluran komunikasi, dan tingkat implementasi


terhadap tahap konfirmasi
Correlations

Tingkat Konfirmasi
Spearman's Jumlah sayuran Correlation Coefficient ,139
rho layak jual
Sig. (2-tailed) ,367
N 44
Kualitas Correlation Coefficient ,682**
Hortikultura
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Saluran Correlation Coefficient ,608**
Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,199
Sig. (2-tailed) ,195
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient ,493**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,001
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,594**
Implementasi
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
82

Lampiran 5 Dokumentasi penelitian

Gambar 1 Tanaman cabai Gambar 2 Tanaman ubi jalar

Gambar 3 Tanaman padi Gambar 4 Tanaman cincau hitam

Gambar 5 Petani memanen sawi Gambar 6 Pekarangan petani

Gambar 7 Klinik PHT Sidodadi Gambar 8 Produk pestisida nabati


83

RIWAYAT HIDUP

Sinta Herian Pawestri adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Heriyanto dan Anik Tri Handayani. Penulis dilahirkan di Magetan, 6 Oktober 1994.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah TK Dharma Wanita Carikan pada
tahun 1999-2000, SD Negeri Carikan Magetan 2000-2006, SMP Negeri 1
Kawedanan Magetan 2006-2009, dan SMA Negeri 1 Magetan 2009-2012. Pada
tahun 2012 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) melalui jalur SNMPTN
Undangan.
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan baik
di dalam maupun luar kampus. Semasa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis
tercatat sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB dan relawan kegiatan
sosial SAMISAENA yang diadakan oleh BEM FEMA. Penulis adalah penerima
Beasiswa Unggulan CIMB Niaga. Kecintaannya terhadap kota kelahirannya,
Magetan, mendorong penulis untuk bergabung menjadi pengurus Organisasi
Mahasiswa Daerah IMPATA (Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Alumni Magetan)
sebagai sekretaris periode 2013-2014 dan koordinator bidang eksternal periode
2014-2015. Ketertarikan penulis terhadap tantangan dan hal-hal baru
mengantarkannya menjadi exchange participant AIESEC Ateneo de Manila
University, Filipina dalam REAP Project tahun 2014. Setelah itu penulis bergabung
dengan AIESEC IPB Phoenix periode 2014-2015. Penulis juga sempat bergabung
dengan Lembaga Dakwah Fakultas Ekologi Manusia FORSIA El Fatih 1436 H
sebagai anggota Divisi Syiar. Pada semester 8, penulis mengikuti pertukaran
mahasiswa dalam program Hokkaido University Short Term Exchange Program
(HUSTEP) periode musim semi tahun 2016. Selain kegiatan di dalam kampus,
penulis juga pernah bekerja paruh waktu sebagai pengajar di Bimbingan Belajar
Salemba Group cabang Karadenan dan Merdeka, Bogor tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai