DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
ABSTRACT
The objectives of this research were to explain factors related to the decision-
making, to explain decision-making process, and also to analyze the factors correlated
with the decision making process of biopesticide at Desa Sidokerto, Magetan. This
study involved 44 respondents selected by disproportionate random sampling
technique and informants selected purposively. Primary data had been collected using
questionnaire and in-depth interview, supported by secondary data. The data was
analyzed by Rank Spearman correlation test. The result shows that education level, the
width of the farming land, cosmopoliteness level, innovativeness level, and group’s
support level had positive correlation with knowledge level, while age, main
occupation, and duration level of farming have negative correlation with the knowledge
level. Level of compatibility, trialability, and observability had positive correlation
with the persuasion level. Quality of horticulture had positive correlation with the
confirmation level. Meanwhile, interpersonal and group channel had positive
correlation with all of decision-making level. Each level of decision-making also
correlated positively with the next level.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi berjudul “Pengambilan Keputusan Inovasi Pestisida Nabati oleh Petani
Hortikultura di Desa Sidokerto, Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan” ini
dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Dwi Sadono, MSi dan
Asri Sulistiawati, SKPm, MSi sebagai Pembimbing I dan II yang telah memberikan
saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini, serta
Ir Yatri Indah Kusumastuti, MS dan Zessy Ardinal Barlan, SKPm, MSi sebagai
Penguji Utama dan Penguji Akademik atas koreksi dan saran yang diberikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) Sidorejo dan jajarannya, Kepala Desa Sidokerto dan para
perangkat desa, atas bantuan yang diberikan selama di lapangan. Penulis juga
menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Anik Tri Handayani dan Bapak
Heriyanto, orang tua tercinta, serta Gilang Pamungkas, adik tersayang, yang
senantiasa memberikan motivasi, doa, dan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak
lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kontrakan Magetan, Kosan WH,
Keluarga Besar IMPATA khususnya angkatan 49, teman-teman di Departemen
SKPM 49, terutama Eka Puspitasari, Fitri Dwi Prastyanti, Hening Gahayuning, dan
Ulvia Muspita Angraini serta Annisa Fitriani, Rima Aulia Rohmah, dan Siti
Hoelilah yang telah memberi semangat dan doa dalam proses penulisan skripsi ini.
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Salah satu tujuan Klinik PHT yang ada di Kecamatan Sidokerto, Kabupaten
Magetan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam
menanggulangi OPT hortikultura dengan cara yang ramah lingkungan, salah
satunya yaitu dengan menggunakan pestisida nabati. Namun kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa belum semua petani mau memutuskan untuk menggunakan
pestisida nabati yang masih dianggap sebagai sesuatu yang baru dalam pertanian.
3
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
3. Tahap Keputusan
Tahap ini terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
ikutserta dalam kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk
mengadopsi atau menolak inovasi. Adopsi (adoption) adalah keputusan untuk
sepenuhnya menggunakan inovasi. Penolakan (rejection) adalah keputusan
untuk tidak mengadopsi suatu inovasi. Penelitian Mulyadi et al. (2007) di Suku
Pedalaman Arfak, Papua menunjukkan bahwa pada tahap keputusan bergantung
pada tahap sebelumnya, yaitu tahap persuasi. Marwandana (2014) menemukan
bahwa tingkat persuasi berhubungan sangat nyata dengan tingkat keputusan
petani terhadap budidaya jambu kristal di Bogor. Begitu pula dengan penelitian
Roswita (2003), petani yang mempunyai sikap yang tinggi dan sedang pada
tahap persuasi cenderung memutuskan untuk menerima inovasi agen hayati.
4. Tahap Implementasi
Implementasi terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan
lainnya) menggunakan suatu inovasi. Pada tahap-tahap sebelumnya, proses
pengambilan keputusan inovasi semata-mata menggunakan proses mental.
Khusus tahap implementasi melibatkan perubahan perilaku yang dapat diamati
sebagai akibat dari penggunaan ide baru. Petani di Agam, Sumatra Barat
membuktikan apakah inovasi agen hayati sesuai dengan dirinya maupun
lingkungannya pada tahap ini (Roswita 2003). Sementara itu, hasil penelitian
Marwandana (2014) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat keputusan
dengan tingkat implementasi petani terhadap budidaya jambu kristal di Bogor.
5. Tahap Konfirmasi
Pada tahap konfirmasi, individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
mencari penguatan atas keputusan inovasi yang telah dibuat. Kebalikannya,
mungkin juga individu akan menghentikan keputusan adopsi jika ia menemukan
informasi yang berlawanan tentang inovasi tersebut. Petani di Pelalawan yang
sampai saat ini melaksanakan SISKA masih berkomunikasi dengan penyuluh
untuk berkonsultasi tentang kesulitan memperoleh bahan campuran pakan ternak
(Situmorang et al. 2015). Marwandana (2014) menemukan adanya hubungan
antara tingkat implementasi dengan tingkat konfirmasi petani terhadap inovasi
budidaya jambu kristal. Hasil penelitian Roswita (2003) menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil petani yang memutuskan untuk melanjutkan menerapkan
agen hayati dan selebihnya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Dengan
demikian pada tahap ini terjadi active rejection yaitu terjadinya penolakan
terhadap inovasi setelah memutuskan untuk mengadopsi atau mencoba
menerapkannya.
Karakteristik Inovasi
Inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasa sebagai sesuatu
yang baru oleh individu atau unit adopsi lainnya (Rogers 1983). Menurut Rogers,
inovasi memiliki karakteristik berdasarkan penerimaan individu. Karakteristik
inovasi tersebut meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan
dicoba, dan kemungkinan diamati.
1. Keuntungan relatif adalah derajat dimana sebuah inovasi dirasakan lebih baik
dibanding dengan ide yang digantikannya.
2. Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi dirasa konsisten dengan nilai yang
telah ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan adopter potensial.
3. Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dirasa sulit untuk dimengerti dan
digunakan.
4. Kemungkinan dicoba adalah derajat dimana inovasi dimungkinkan dapat
diterapkan dengan ukuran yang terbatas.
5. Kemungkinan diamati adalah derajat dimana hasil dari suatu inovasi dapat
dilihat oleh orang lain.
Wisdom et al. (2014) menyebutkan bahwa Backer et al. (1986) telah
melakukan studi psikososial terhadap adopsi inovasi di Amerika dan memperoleh
beberapa temuan penting. Terdapat pula tujuh faktor yang berkaitan dengan
karakteristik inovasi, yaitu: kesamaan dengan praktik yang telah ada, biaya,
kemungkinan diamati, kemungkinan dicoba, kesesuaian, keuntungan relatif, serta
kemudahan untuk dipahami dan digunakan.
Susanti et al. (2008) menemukan bahwa karakteristik inovasi memiliki
hubungan yang tidak signifikan dengan pengambilan keputusan inovasi budidaya
padi organik di Sragen. Amala et al. (2013) menemukan bahwa kelima karakteristik
inovasi memiliki hubungan dengan tingkat adopsi inovasi dengan besar nilai
korelasi yang berbeda-beda. Begitu pula Roswita (2003) menemukan bahwa semua
sifat inovasi berhubungan nyata positif dengan semua tahapan proses keputusan
adopsi inovasi agen hayati dengan tingkat keeratan hubungan yang berbeda-beda,
kecuali tingkat kerumitan menunjukkan hubungan nyata negatif.
9
Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi merujuk pada alat atau cara untuk memperoleh pesan
dari individu satu kepada individu lainnya (Rogers 1983). Dalam buku Diffusion of
Innovations, Rogers (1983) menjelaskan dua saluran komunikasi dalam difusi
inovasi. Pertama, media massa adalah semua alat untuk membawa pesan yang
meliputi media massa, seperti radio, televisi, koran, dan sebagainya, yang
memungkinkan sumber pesan dapat menjangkau banyak penerima pesan. Kedua,
saluran antarpribadi adalah saluran komunikasi yang melibatkan pertemuan tatap
muka antara dua atau lebih individu. Dibanding dengan media massa, saluran
antarpribadi lebih efektif dalam mempengaruhi individu untuk mengadopsi ide baru,
khususnya jika saluran antarpribadi menghubungkan dua atau lebih individu
sesama rekan dekat.
Proses pengambilan keputusan inovasi zero grazing di Tot, Kenya
menunjukkan bahwa variabel saluran komunikasi ada dalam setiap tahapan proses
pengambilan keputusan. Pada tahap pengetahuan, para peternak menggunakan
saluran komunikasi antarpribadi teman, tetangga, rekan sesama peternak, agen
perubahan (petugas produksi ternak dan LSM; tahap persuasi: rekan sesama
peternak, anggota keluarga, dan pemuka pendapat; tahap pengambilan keputusan:
demontrasi lapang, rekan sesama peternak, dan petugas ahli (petugas peternakan
dan petugas lembaga bantuan); tahap penerapan: agen perubahan dan early
adopters; dan tahap konfirmasi: keluarga, teman, rekan sesama peternak yang telah
mengadopsi inovasi, demonstrasi lapang, dan kunjungan atau saran dari petugas
ahli (Cheboi dan Mberia 2014).
10
Pestisida Nabati
Pestisida dapat diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun,
menghambat pertumbuhan/ perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan,
kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai
pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi OPT (Kardinan 2003).
Djojosumarto (2008) dalam buku “Pestisida dan Aplikasinya” menjelaskan bahwa
secara harfiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh).
Pestisida pertanian adalah semua zat kimia, campuran zat kimia, atau bahan-bahan
lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan
untuk keperluan berikut (Djojosumarto 2008):
1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT).
sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida, dan
herbisida.
2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat
pertumbuhan dan mengeringkan tanaman, seperti zat pengatur tumbuh,
defoliant (senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant (senyawa
untuk mengeringkan daun).
Untuk lebih jelasnya, Zulkarnain (2010) menggambarkan berbagai jenis
pestisida pada Gambar 2. Menurut Zulkarnain (2010), pestisida dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu pestisida anorganik dan organik. Pestisida organik digolongkan
berdasar bahan yang digunakan yaitu, pestisida organik sintetik dan pestisida
organik alami. Pestisida organik alami atau biasa disebut pestisida alami saja
dikelompokkan lagi berdasar asalnya, yaitu pestisida alami yang berasal dari
mikroorganisme dan yang berasal dari tanaman.
Pestisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan jika dibandingkan
dengan pestisida kimia. Sudarmo (2005) menyebutkan keunggulan pestisida nabati
adalah: murah dan mudah dibuat oleh petani, relatif aman terhadap lingkungan,
tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, sulit menimbulkan kekebalan
terhadap hama, kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain, dan
menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.
11
Kerangka Pemikiran
Keterangan:
berhubungan
Hipotesis Penelitian
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Tabel 1 Jumlah sampel tiap kelompok tani di Desa Sidokerto tahun 2016
No. Kelompok Tani Jumlah Anggota (n) Jumlah Sampel (n)
1. Sidomukti 56 28
2. Sidomakmur 36 12
3. Sidorukun 20 4
Total 112 44
16
Salah satu instrumen pengambilan data primer dalam penelitian ini adalah
kuesioner. Hasil jawaban kuesioner tersebut telah diuji reliabilitasnya dengan uji
Cronbach’s Alpha menggunakan SPSS 21.0. Kuesioner dapat dinyatakan reliabel
jika nilai Cronbach’s Alpha lebih dari 0,6. Hasil uji reliabilitas kuesioner dalam
penelitian ini menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,804 (Lampiran 6),
yang berarti bahwa kuesioner ini memiliki tingkat reliabilitas yang cukup tinggi.
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan data
kualitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel
2013 dan SPSS 21.0. Microsoft Excel 2013 digunakan untuk membuat tabel
frekuensi setiap variabel. Tabel frekuensi ini berguna untuk melihat sebaran
responden berdasarkan variabel yang diteliti. SPSS 21.0 digunakan untuk
melakukan uji statistik korelasi Rank Spearman. Uji Rank Spearman ini berguna
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti.
17
Definisi Operasional
Karakteristik Geografis1
Desa Sidokerto merupakan salah satu desa yang masuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Sidorejo, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur.
Kecamatan Sidorejo sendiri adalah salah satu kecamatan baru di Kabupaten
Magetan. Sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah Tahun 2001, beberapa
wilayah di Kabupaten Magetan mengalami pemekaran wilayah. Pada tahun 2007,
terbentuklah Kecamatan Sidorejo dari beberapa desa di tiga kecamatan. Desa-desa
tersebut adalah: Desa Sidokerto, Desa Sumbersawit, dan Desa Widorokandang dari
Kecamatan Panekan; Desa Durenan, Desa Getasanyar, Desa Sidomulyo, dan Desa
Sidorejo dari Kecamatan Plaosan; dan Desa Campursari, Desa Kalang, dan Desa
Sambirobyong dari Kecamatan Magetan. Kecamatan Sidorejo sendiri berada pada
ketinggian 626 meter di atas permukaan laut. Letak astronomisnya berada di sekitar
7,65580⁰ Lintang Selatan dan 111,27985⁰ Bujur Timur. Suhu udara rata-rata di
wilayah ini 16 hingga 26⁰C dengan curah hujan sebanyak 181 hari pada tahun 2014.
Desa Sidokerto termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sidorejo dengan
topografi wilayah yang berada di lereng Pegunungan Lawu. Di sebelah utara, Desa
Sidokerto berbatasan dengan Desa Sumberdodol, sebelah selatan berbatasan
dengan Desa Widorokandang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Sumbersawit
dan Desa Sumberdodol, serta sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjungsari
dan Desa Terung. Jika dilihat dari jarak tempuhnya, jarak tempuh dari Desa
Sidokerto menuju pusat pemerintahan Kecamatan Sidorejo yaitu 2 km. Sementara
itu, jarak tempuh menuju Ibukota Kabupaten Magetan yaitu 7 km. Adapun Ibukota
Provinsi Jawa Timur, Surabaya dapat ditempuh dari Desa Sidokerto dengan jarak
197 km.
Desa Sidokerto memiliki wilayah seluas 158,45 ha yang terdiri atas lahan
pertanian, bangunan, dan lainnya. Secara terperinci, data luas lahan dan
peruntukannya disajikan pada tabel berikut ini.
1
Data diperoleh dari Statistik Daerah Kecamatan Sidorejo 2015 (BPS 2015)
22
Tabel 5 Distribusi penduduk Desa Sidokerto menurut golongan umur tahun 2014
Golongan umur (tahun) Jumlah (n) Persentase (%)
0-6 130 6,0
7-15 342 15,8
16-25 373 17,2
26-50 786 36,3
> 50 535 24,7
Total 2.166 100,0
2
Data disarikan dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Sidokerto Tahun 2014
23
sekitar 53%. Penduduk usia sekolah (7-15 tahun) mencapai sekitar 16%. Persentase
penduduk usia sekolah tersebut jauh lebih rendah dibanding persentase penduduk
usia produktif. Penduduk lanjut usia (> 50 tahun) mencapai persentase sekitar 25%.
Adapun berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk Desa Sidokerto
disajikan pada Tabel 6.
Kondisi Pertanian
Pola tanam di daerah ini adalah padi – palawija - sayur. Padi yang biasa
ditanam petani adalah varietas unggul baru (VUB), seperti Ciherang, IR64, Way
Apoburu, dan Memberamo. Selain itu juga terdapat sebagian kecil petani yang
menanam padi gogo namun dengan perlakuan sawah irigasi dengan menggunakan
varietas Situ Bagendit. Hasil panen padi biasanya akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga untuk beberapa bulan ke depan. Jika ada kelebihan,
petani akan menjual sisanya.
Palawija yang ditanam petani antara lain: kedelai, jagung, ubi jalar, dan
kacang tanah. Ubi jalar adalah komoditas yang paling banyak ditanam oleh petani
karena tidak memerlukan perawatan khusus, seperti pemupukan, pengairan, dan
pengendalian hama. Hasil panen palawija ini semuanya dijual oleh petani. Beberapa
petani ada yang menyisakan sebagian kecilnya hasil panennya untuk digunakan
sebagai benih pada musim tanam berikutnya.
Pola tanam selanjutnya adalah menanam sayur. Komoditas sayur yang
ditanam petani sangat beragam tergantung masing-masing petani itu sendiri. Petani
biasanya akan mempertimbangkan faktor permintaan pasar dan juga musim dalam
menentukan komoditas sayur apa yang akan ditanam. Sayuran yang dapat tumbuh
optimal di wilayah Desa Sidokerto antara lain: kubis, buncis, cabai rawit, sawi,
terong, mentimun, bawang merah, dan tomat. Permasalahan yang paling umum
25
dialami petani sayur di Desa Sidokerto adalah harga sayur yang turun drastis ketika
panen raya tiba. Petani tidak memiliki pilihan lain kecuali menjualnya dengan harga
yang sangat murah. Sayuran harus segera dijual setelah panen karena tidak dapat
disimpan lama dan kebutuhan keluarga terhadap sayur pun tidak terlalu banyak.
Pilihan komoditas lainnya yang dapat ditanam petani adalah cincau hitam.
Tanaman cincau ini dapat diambil daunnya untuk dibuat minuman cincau. Cincau
hitam dapat dipanen sekitar 4 bulan setelah tanam. Setelah dipanen, cincau dijemur
hingga kering. Cincau kering inilah yang akan dijual petani ke pasar atau
pengumpul cincau yang ada di Desa Sidokerto. Satu hektar tanaman cincau hitam
biasanya dapat menghasilkan 7,5 hingga 9 ton cincau basah. Setelah melalui proses
pengeringan, 1 hektar tanaman cincau hanya menghasilkan 1,5 ton cincau kering.
Lahan sawah mengandalkan pengairan dari sumber air yang ada di sebelah
barat Desa Sidokerto, yaitu di Desa Sumbersawit. Sistem pengairan dilakukan
dengan bergiliran per blok sawah. Masing-masing blok dapat memperoleh
pengairan setidaknya setiap 14 hari sekali. Tidak ada pungutan biaya dalam sistem
pengairan ini karena berasal dari sumber air alami di kaki Gunung Lawu. Petani
akan dimintai sumbangan hanya jika diperlukan perbaikan saluran pengairan.
Kelembagaan
Kelompok Tani
Desa Sidokerto memiliki petani sebanyak 112 orang yang terdaftar sebagai
anggota kelompok tani. Terdapat tiga kelompok tani di Desa Sidokerto yang
dibentuk menurut wilayah dusun, yaitu: Dusun Teguhan dengan Kelompok Tani
Sidorukun; Dusun Serut dengn Kelompok Tani Sidomakmur; serta Dusun Batang
dan Bendo dengan Kelompok Tani Sidomukti. Kelompok tani yang ada di Desa
Sidokerto didirikan pada awal tahun 2000-an. Para petani di masing-masing dusun
merasa perlu adanya sebuah wadah yang dapat dijadikan tempat diskusi dan tukar
pikiran tentang praktik dan permasalahan pertanian yang mereka hadapi. Akhirnya
dibentuklah kelompok tani tiap dusun agar mempermudah petani untuk melakukan
kegiatan bersama, meskipun sawah mereka lokasinya berbeda-beda.
Kelompok Tani Sidorukun saat ini diketuai oleh SPD (46 tahun) dengan
anggota sebanyak 20 petani. SPD (46 tahun) dipilih sebagai ketua melalui
musyawarah kelompok untuk menggantikan ketua sebelumnya yang masih
memiliki ikatan keluarga. Hal yang sama juga terjadi di Kelompok Tani Sidomukti
yang saat ini diketuai oleh PNO (47 tahun) dengan jumlah anggota sebanyak 56
petani. PNO (47 tahun) telah menjadi ketua kelompok tani selama dua periode,
yaitu sejak tahun 2012. PNO (47 tahun) dipilih menjadi ketua berdasarkan
musyawarah kelompok untuk menggantikan ketua sebelumnya yang meninggal
dunia. Ketua sebelumnya adalah paman dari PNO (47 tahun). Berbeda dengan dua
kelompok tani lainnya, Kelompok Tani Sidomakmur diketuai oleh PRN (63 tahun)
dengan jumlah anggota sebanyak 36 petani. PRN (63) menyatakan bahwa dia telah
menjadi ketua sejak dibentuknya Kelompok Tani Sidomakmur karena dulunya dia
menjabat sebagai ketua RW. Saat ini, dia ingin ada orang lain yang
menggantikannya sebagai ketua karena usianya yang sudah tidak memungkinkan
untuk menjalankan tugasnya sebagai ketua. Namun hal tersebut tidak mudah karena
para anggota kelompok taninya tidak ada yang mau mencalonkan diri sebagai ketua.
Pembentukan kelompok tani di Desa Sidokerto yang didasarkan pada
kedekatan wilayah, yaitu wilayah dusun, menyebabkan beberapa kesulitan yang
dialami kelompok tani itu sendiri. Lahan petani anggota tidak berada pada satu
wilayah yang sama sehingga sulit untuk melakukan diskusi atau kegiatan bersama
lainnya di lahan. Oleh karena itu, kegiatan kumpul rutin kelompok tani yang
diadakan tiap bulan menjadi penting sebagai wadah untuk berdiskusi dan
menyampaikan informasi-informasi penting mengenai pertanian. Kegiatan kumpul
rutin tersebut juga diselingi dengan arisan.
Ketua
Sekretaris Bendahara
Tabel 8 Kandungan, fungsi, dan sasaran dari tumbuhan yang dijadikan bahan
pestisida nabati
No. Tumbuhan Kandungan Fungsi Sasaran
1. Akar tuba Rotenon Menyebabkan serangga Serangga dan ulat
kehilangan nafsu makan
2. Tembakau Nikotin Meracuni saraf (racun Ulat perusak daun,
kontak dan sistemik) Aphis, Trips, kutu
daun
3. Mimba Azadirachtin Mencegah serangga Belalang, wereng,
dan Salanin memakan tanaman, ngengat, Trips,
mengganggu hormon kumbang, ulat,
reproduksi, dan embun tepung,
mengacaukan karat daun, bercak
metamorfosis serangga daun, kudis, dan
layu daun
4. Gadung Dioskorin Mencegah serangga makan Serangga, ulat, dan
tanaman, mengganggu nematoda
sistem saraf, menyebabkan
kejang, dan sebagai
antifertilitas
5. Sereh Sitronela Bersifat racun dehidrasi Serangga dan kutu
yang menyebabkan daun
kematian karena
kehilangan cairan terus-
menerus
(Sumber: Klinik PHT Sidodadi, 2016)
Dilihat dari lama bertani, sebagian besar petani, yaitu sebesar 52%, telah
bertani selama 15 hingga 30 tahun dan hanya sekitar 21% yang bertani selama
kurang dari 15 tahun. Sebagian besar petani yang ditemui telah berusahatani
semenjak mereka menikah, bahkan ada beberapa petani yang berusahatani setelah
lulus sekolah. SPD (46 tahun) menyatakan bahwa dahulu setamat SMA ia
33
3
Mikro Organisme Lokal (MOL) diperkenalkan kepada petani melalui kegiatan SLPHT dan
Klinik PHT Sidodadi.
34
“... bahan [pestisida nabati] mboten tumbas: empon-empon, jahe, maja saget
pados sekitar omah. Ndamel piyambak. ...” (SJD 44 tahun).
[“... bahan pestisida nabati tidak beli: rempah-rempah, jahe, maja bisa dicari
di sekitar rumah. Saya membuatnya sendiri. ...”].
Selain itu, jika petani memilih untuk membeli pestisida nabati, harganya
lebih murah dibanding pestisida kimia. Satu botol ukuran 1500 ml pestisida nabati
dijual seharga Rp 20.000,00 untuk 4 kali pemakaian, sedangkan pestisida kimia
ukuran kurang dari 500 ml dijual dengan harga Rp 30.000,00 dan hanya untuk 2
kali pemakaian. Hal tersebut didukung oleh pernyataan JNO (65 tahun) sebagai
berikut:
“... Nek tuku pestisida nabati sak [botol] aqua gede regane Rp 20.000,00 iso
kanggo 4 kali penggunaan. Nek [pestisida] kimia sing botol cilik ae regane Rp
30.000,00 mung iso kanggo 2 kali penggunaan. Luwih murah [pestisida]
nabati. ...” (JNO 65 tahun).
[“... Kalau beli pestisida nabati satu botol aqua besar harganya Rp 20.000,00
bisa untuk 4 kali penggunaan. Kalau pestisida kimia yang botol kecil saja
35
“... [Sayuran] sing pesnab iku aman dikonsumsi. Setelah disemprot ndak
meninggalkan bahan kimia di tanaman, ndak mencemari lingkungan, lan ndak
mbunuh hewan lain [musuh alami]. ...” (SRT 33 tahun).
Namun demikian, lebih dari 65% petani menilai bahwa pestisida nabati
cukup merugikan dilihat dari tiga indikator lainnya, yaitu: tenaga yang diperlukan,
waktu yang dibutuhkan, dan daya simpan. Pestisida nabati dapat diperoleh melalui
dua cara, yaitu dengan membeli di Klinik PHT Sidodadi dan dengan membuatnya
sendiri. Jika petani memilih cara dengan membuat sendiri tentu dibutuhkan lebih
banyak tenaga dibanding dengan membelinya langsung. Selain itu, pengaplikasian
pestisida nabati dianjurkan lebih sering akan lebih baik sehingga membutuhkan
tenaga lebih banyak seperti pernyataan SPD (46 tahun): “... butuh tenaga lebih. Itu
[pestisida nabati] kan nyemprotnya tiga hari sekali. Lha saya kurang telaten. ...”.
Waktu yang dibutuhkan di sini maksudnya adalah waktu yang dibutuhkan
untuk melihat reaksi hama terhadap pengaplikasian pestisida nabati. Pestisida
nabati bekerja tidak langsung dalam mematikan hama sasaran, melainkan dengan
menghilangkan nafsu makan hama, menyebabkan kemandulan pada hama, atau
menghambat metabolisme hama hingga beberapa waktu kemudian hama tersebut
mati. Hal tersebut didukung oleh pernyataan salah satu petani, DRN (54 tahun): “...
[Pestisida nabati] merusak saraf insek [hama sasaran], jadi hamanya ndak bisa
makan dan berkembangbiak. Setelah itu mati perlahan. ...”.
Dilihat dari bahan-bahannya, pestisida nabati dibuat dari bahan-bahan alami
tanpa campuran bahan kimia sehingga hanya dapat disimpan dalam waktu yang
relatif singkat, yaitu hanya 1 bulan, berbeda dengan pestisida kimia yang masih
dapat disimpan selama berbulan-bulan kemudian setelah pertama kali diaplikasikan.
Hal tersebut disampaikan oleh petani SRT (33 tahun): “... Paling [pestisida nabati]
bisa bertahan sampai satu bulan setelah dibuat. Setelah itu ya buat lagi. Wong
gampang kok. ...”.
Secara garis besar, dapat dirangkum bahwa biaya yang dibutuhkan untuk
memperoleh pestisida nabati lebih murah dibanding pestisida kimia meskipun
tenaga yang dibutuhkan untuk memperoleh pestisida nabati lebih banyak. Jika
menggunakan pestisida nabati, waktu yang dibutuhkan untuk melihat reaksi hama
lebih lambat dibanding menggunakan pestisida kimia. Daya simpan pestisida nabati
juga lebih cepat dibanding pestisida kimia. Meskipun demikian, pestisida nabati
lebih ramah lingkungan dan sayurannya aman untuk dikonsumsi.
dan merugikan. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa petani
menganggap pestisida nabati tidak menguntungkan ataupun merugikan dibanding
pestisida kimia yang biasa mereka gunakan, dengan persentase sebesar 68%
sebagaimana terlihat pada Tabel 11. Meskipun demikian, sekitar 14% petani
menganggap bahwa pestisida nabati lebih menguntungkan dibanding pestisida
kimia. Terdapat sekitar 16% petani yang tidak mengetahui tentang tingkat
keuntungan relatif pestisida nabati. Hal tersebut dimungkinkan karena petani tidak
mengikuti kegiatan SLPHT dan Klinik PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak pernah
mengikuti kumpul kelompok.
Tingkat Kesesuaian
Dapat ditarik garis besar bahwa pestisida nabati dapat diperoleh dengan
mudah dan dekat dengan tempat tinggal petani. Selain itu, pestisida nabati
berpengaruh terhadap fungsi fisiologis hama sasaran dan dapat secara efektif
membunuh hama sasaran. Meskipun demikian, pestisida nabati tidak menimbulkan
kekebalan hama sehingga aman untuk digunakan secara berkelanjutan. Pada Tabel
13 dapat dilihat data petani terhadap tingkat kesesuaian pestisida nabati.
Berdasarkan Tabel 13, dapat ditarik kesimpulan bahwa sekitar 77% petani
menganggap penggunaan pestisida nabati telah sesuai dengan pengalaman dan
kebutuhan bertani mereka selama ini. Petani menunjukkan persepsi yang positif
terhadap kelima indikator tingkat kesesuaian inovasi (cara memperoleh, jarak untuk
memperoleh, keefektifan, resistensi hama, dan pengaruh terhadap hama). Meskipun
demikian, terdapat 11% petani yang tidak mengetahui tentang tingkat kesesuaian
inovasi pestisida nabati. Hal tersebut dimungkinkan karena petani tidak mengikuti
kegiatan SLPHT dan Klinik PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak pernah mengikuti
kumpul kelompok tani.
Tingkat Kerumitan
sudah diserang harus 3 hari sekali. Lebih sering lebih bagus ...”. Tentunya hal ini
menjadi sedikit merepotkan bagi petani karena harus memberikan tenaga dan waktu
lebih banyak untuk melakukan penyemprotan. Terutama berkaitan dengan respon
hama terhadap pestisida nabati dan pestisida kimia yang berbeda. Pestisida kimia
masih dianggap lebih efektif dibanding pestisida nabati karena hama bisa langsung
mati setelah disemprot. Berbeda dengan pestisida nabati, perlu beberapa saat untuk
mematikan hama sehingga meskipun frekuensi penyemprotan pestisida nabati dan
kimia sama tetap saja pestisida kimia terlihat lebih efektif bagi petani.
Mayoritas petani (sekitar 43%) tidak mengetahui tentang bahan-bahan yang
dapat digunakan untuk membuat pestisida nabati. Beberapa petani yang pernah
mengikuti SLPHT mengaku lupa dan sekarang sudah tidak membuat pestisida
nabati sendiri, seperti yang diungkapkan oleh KMN (45 tahun):
“... Wis lali opo wae bahane. Sampun dangu (SLPHT). Nek disik [sewaktu
SLPHT] yo nggawe [pestisida nabati]. Saiki wis ora tau nggawe. ...” (KMN
45 tahun).
[“... Sudah lupa apa saja bahannya. Sudah lama SLPHT nya. Kalau dulu
sewaktu SLPHT ya sudah membuat pesnab. Sekarang sudah tidak pernah
buat. ...”].
“... Harus bisa membedakan mana hama dan musuh alami. Karena yang perlu
diberantas itu hamanya, kalau musuh alami malah jangan diberantas, penting
buat petani. Hama itu ada yang bersayap dan ndak bersayap. Kalau untuk yang
bersayap, pestisida nabati iku cara kerjane merontokkan sayap, dadi ora
langsung mbunuh. Lha nek sing kimia langsung mbunuh hama. Malah seringe
musuh alami yo ikut mati ...” (PNO 47 tahun).
“... Malah lebih rumit yang [pestisida] kimia to. Lha soale ada bahan kimianya
kan lebih bahaya kalo kena badan. Nek sing [pestisida] nabati malah ndak, kan
41
bahannya dari yang alami. Dadi ndak perlu pakai masker. Nyemprot karo udud
[merokok] yo ndak apa. Aman wae ...” (SJD 44 tahun).
“... Petani iku kurang cepet tanggep sama inovasi baru. Hanya fokus neng
Mikro Organisme Lokal (MOL), jadi gejala apapun disemprot MOL. Mereka
belum tau pestisida nabati untuk apa, MOL untuk apa. Gejala A harusnya
diberi obat X, gejala B diberi obat Y. Bukannya diberi obat X semua ...” (DRN
54 tahun).
Sekitar 36% petani menganggap bahwa pestisida nabati tidak rumit namun
juga tidak mudah. Dengan kata lain, tingkat kerumitan pestisida nabati biasa saja,
sama seperti pestisida kimia yang biasa digunakan petani. Hal tersebut diduga
berkaitan dengan cara memperoleh pestisida nabati, yaitu dengan membelinya di
Klinik PHT Sidodadi sehingga petani tidak perlu memikirkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk membuat pestisida nabati. Sisanya, terdapat sekitar 16% petani
yang tidak mengetahui tentang tingkat kerumitan inovasi pestisida nabati. Hal
tersebut dimungkinkan karena petani tidak mengikuti kegiatan SLPHT dan Klinik
PHT Sidodadi, serta jarang atau tidak pernah mengikuti kumpul kelompok tani.
Petani sepakat bahwa pestisida nabati dapat dicoba dalam skala kecil dan
tersedia sampelnya untuk dicoba terlebih dahulu, seperti yang terlihat pada Tabel
16 yaitu sekitar 86%. Hal tersebut didukung dengan adanya laporan tertulis yang
dibuat oleh BPP Sidorejo bahwa petani di Desa Sidokerto telah memperoleh
penyuluhan dan pelatihan pembuatan pestisida nabati melalui kegiatan Klinik PHT
Sidodadi dan SLPHT tahun 2014. Petani SPD (46 tahun) juga membenarkan hal
tersebut: “... dulu ada demplot. Langsung dicoba di lahan luas. ...”. Lahan luas yang
dimaksud SPD (46 tahun) adalah ketika dilaksanakannya program SLPHT dimana
petani melakukan penanaman cabai bersama-sama. SRT (33 tahun) menyatakan hal
yang serupa berikut ini:
“... Iya dulu kan praktik juga, di lahan masing-masing nanem cabe [SLPHT].
Nah sekarang ya ada demplot kecil-kecilan swadaya masyarakat sini aja, ndak
ada bantuan dinas. Murni swadaya ...” (SRT 33 tahun).
“... Anggota saya kasih satu-satu. Gratis. Biaya pembuatannya saya ambil dari
kas kelompok. Kalau ndak gitu petani ndak nyoba dan akhirnya ndak mau
percaya (sama pestisida nabati). Petani itu kalau ndak nyoba sendiri sulit
percayanya. Nah apalagi kalau dikasih yang gratisan, biasanya mau dan
semangat. Itu yang saya coba kemaren ...” PNO (47 tahun).
“... Yo mergo bahane alami iku, dadi ora bahaya neng awak ugo neng
lemah ...” (KMN 45 tahun).
[“... Ya karena bahannya alami itu, jadi tidak berbahaya bagi tubuh dan
tanah. ...”].
Sekitar 52% petani dapat melihat adanya perbedaan kecerahan warna antara
sayuran dengan perlakuan pestisida nabati dan perlakuan pestisida kimia. Menurut
pengamatan petani, sayuran dengan perlakuan pestisida nabati memiliki warna
yang lebih cerah dibanding sayuran dengan pestisida kimia. Menurut pernyataan
SJD (44 tahun), sayuran dengan perlakuan pestisida kimia menunjukkan warna
yang lebih gelap karena efek panas dari penggunaan pestisida kimia. Jika aplikasi
pestisida kimia berlebihan dosisnya dapat menyebabkan warna kuning pada
tanaman dan selanjutnya tanaman tersebut kemungkinan akan mati, seperti yang
dinyatakan oleh SRT (33 tahun):
“... Ndak ada dampake nek kebanyakan nyemprot [pestisida nabati]. Tapi nek
[pestisida] kimia [daun sayuran] bisa kuning atau mati ...” (SRT 33 tahun).
[“... Tidak ada dampaknya kalau kebanyakan nyemprot pesnab. Tapi kalau
pestisida kimia, daun sayuran bisa berubah warna kuning atau mati. ...”].
45
“... Kalau dilihat dari biaya yo lebih murah no. Wong bahannya bisa dicari
di sekitar sini. Buatnya pake tenaga sendiri. Pas nyemprot yo ndak bahaya,
sifate ora ngeracuni awak. Pokok cuma mbunuh hama sasaran aja. Nek kimia
kabeh kewan sing dudu hama yo iso mati ...” (SPD 46 tahun).
[“... Kalau dilihat dari biaya ya lebih murah. Karena bahannya bisa dicari di
sekitar sini. Membuatnya hanya memakai tenaga sendiri. Pas nyemprot tidak
berbahaya, sifatnya tidak meracuni tubuh. Hanya membunuh hama sasaran
saja. Kalau kimia semua hewan yang bukan hama juga bisa mati. ...”]
Data pada Tabel 19 menunjukkan bahwa pestisida nabati sangat teramati oleh
petani dengan persentase sekitar 77%. Hal tersebut dimungkinkan karena beberapa
hal, antara lain: adanya program SLPHT yang memberi kesempatan petani untuk
menerapkan prinsip PHT termasuk penggunaan pestisida nabati; dan dibuatnya
demonstration plot yang difasilitasi oleh salah satu kelompok tani. Terkait hal
tersebut, SRT (33 tahun) menyatakan bahwa:
“... Iya dulu kan praktik juga, di lahan masing-masing nanem cabe (SLPHT).
Nah sekarang ya ada demplot kecil-kecilan swadaya masyarakat sini aja, ndak
ada bantuan dinas. Murni swadaya ...” (SRT 33 tahun).
“... Sami mawon. Panene mboten nambah nggih mboten kirang. Wong sing
marai lemu niku kan pupuke. Menawi dikathahi ureane nggih saget lemu
tandurane. Lha nek purun nggih nyobi Mikro Organisme Lokal (MOL)
disiramne ngoten. Tapi kulo nggih dereng nyobi. Nek rabuk kandang pun
disebar sadurunge nyebar winih ...” (JRW 62 tahun).
[“... Sama saja. Panenan tidak bertambah ya tidak berkurang. Yang
menyebabkan subur itu kan pupuknya. Kalau diperbanyak ureanya ya bisa
subur tanamannya. Kalau mau ya nyoba Mikro Organisme Lokal (MOL)
disiramkan gitu. Tapi saya belum nyoba. Kalau pupuk kandang sudah disebar
sebelum nyebar benih ...”]
empat indikator, yaitu: tampilan fisik sayuran, ada tidaknya residu bahan kimia
pada sayuran, sehat tidaknya sayuran yang dihasilkan, dan perbedaan lain yang
dapat ditemukan oleh petani.
Berdasarkan data pada Tabel 20, sebagian besar petani menilai bahwa
kualitas hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati lebih baik dibanding
hortikultura dengan perlakuan pestisida kimia (61%). Sebesar 25% petani
menganggap sama saja kualitas hortikultura dengan pestisida nabati dan dengan
pestisida kimia. Namun, terdapat sekitar 14% petani tidak mengetahui
perbandingan kualitas hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati dan dengan
perlakuan pestisida kimia.
Salah satu petani, SRJ (54 tahun), menyatakan adanya perbedaan tampilan
fisik antara sayuran dengan perlakuan pestisida kimia dan pestisida nabati. Namun,
SRJ (54 tahun) tersebut tidak dapat menjelaskan secara detail apa perbedaan yang
ditemukan: “... Beda pokoknya kalau dibandingkan dengan [sayuran] yang pakai
[pestisida] kimia ...”. Menurut SJD (44 tahun), sayuran dengan perlakuan pestisida
nabati daunnya berwarna lebih hijau, sedangkan sayuran dengan perlakuan
pestisida kimia daunnya sedikit menghitam karena paparan pestisida kimia. Hal
tersebut didukung pula oleh SRC (60 tahun) bahwa tanaman sayur dengan
perlakuan pestisida nabati tidak mudah rusak dan layu, sedangkan tanaman dengan
perlakuan pestisida kimia mudah layu akibat panas yang merupakan efek samping
dari penggunaan pestisida kimia. Ada pula salah seorang petani, BND (43 tahun),
yang menggunakan pestisida nabati namun tidak dapat mengamati adanya
perbedaan antara sayuran dengan perlakuan pestisida nabati dan sayuran dengan
pestisida kimia:
“... Ndak terlalu ngamati. Asal nganggo wae ...” (BND 43 tahun).
[“... Tidak terlalu mengamati. Asal pakai saja. ...”].
Berdasarkan data pada Tabel 20, dapat disimpulkan bahwa tingkat produksi
hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati sama saja dengan hortikultura
perlakuan pestisida kimia. Namun demikian, kualitas hortikultura dengan perlakuan
pestisida nabati lebih baik dibanding hortikultura dengan perlakuan pestisida kimia.
Saluran Komunikasi
“... Kulo njajal ngembangne dewe. Pados saking internet. ...” (SRT 33 tahun).
[“... Saya mencoba mengembangkan sendiri. Mencari dari internet. ...”].
Rendahnya akses petani terhadap media massa dimungkinkan karena tidak adanya
waktu yang dialokasikan untuk menonton berita khususnya tentang pertanian,
rendahnya minat baca petani khususnya tentang berita pertanian, dan tidak
terjangkaunya fasilitas internet oleh petani.
Saluran komunikasi yang terakhir yaitu saluran kelompok. Saluran
kelompok menjadi saluran yang paling sering diakses petani untuk memperoleh
informasi tentang pestisida nabati. Agenda kumpul kelompok menjadi wadah untuk
berdiskusi mengenai kondisi dan rencana usahatani mereka. Setiap kumpul
kelompok diadakan diskusi sesuasi kebutuhan, seperti misalnya setiap awal musim
tanam akan diadakan diskusi untuk menentukan komoditas sayuran apa yang akan
ditanam. SKN (40 tahun) menyatakan bahwa: “... diskusi tergantung kebutuhan.
Biasanya [diskusi] pas awal musim tanam, bareng-bareng mau tanam apa gitu. ...”.
Selain diskusi, kegiatan kumpul kelompok tani juga diselingi arisan sehingga
49
anggota tertarik untuk hadir. JNO (65 tahun) menyatakan bahwa ia selalu hadir
dalam kumpul kelompok tani salah satunya karena ada arisan:
“... Melu terus [kumpul kelompok tani]. Tanggal 5 saben sasi gek karo
arisan. ...” (JNO 65 tahun).
[“... Ikut selalu dalam kumpul kelompok tani. Tanggal 5 tiap bulan sekalian
dengan arisan. ...”].
Proses pengambilan keputusan inovasi terdiri atas lima tahapan, yaitu tahap
pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan yang
terakhir tahap konfirmasi (Rogers 1983). Pada masing-masing tahap pengambilan
keputusan, petani digolongkan ke dalam beberapa kategori tertentu. Pada tahap
pengetahuan, terdapat tiga kategori (tidak mengenal, cukup mengenal, dan sangat
mengenal) yang digolongkan berdasarkan akumulasi jawaban benar yang diperoleh
petani. Pada tahap persuasi, terdapat tiga kategori (tidak tertarik, biasa saja, dan
tertarik) yang digolongkan berdasarkan sikap petani terhadap pestisida nabati. Pada
Tabel 22 disajikan data distribusi petani berdasarkan tahap pengambilan keputusan
inovasi pestisida nabati. Masing-masing tahap dijelaskan pada subbab berikut.
sesuai anjuran, dan menggunakan sesuai anjuran) berdasarkan akumulasi skor yang
diperoleh petani dalam menggunakan pestisida nabati. Pada tahap terakhir, yaitu
tahap konfirmasi, terdapat tiga kategori (tetap menolak, berhenti menggunakan, dan
lanjut menggunakan) yang digolongkan berdasarkan status penggunaan pestisida
nabati saat penelitian dilakukan.
Tahap Pengetahuan
Berdasarkan Tabel 23, sebagian besar petani (68%) telah mengenal inovasi
pestisida nabati sejak tahun 2014 melalui Klinik PHT dan kegiatan budidaya cabai
rawit SLPHT. Melalui kelompok tani, petani tersebut mendaftarkan dirinya untuk
mengikuti serangkaian kegiatan Klinik PHT dan SLPHT yang diadakan oleh BPP
Sidorejo. Petani tersebut memperoleh penyuluhan dan pelatihan pembuatan
pestisida nabati dari UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH)
Provinsi Jawa Timur, Laboratorium Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
Pangan dan Hortikultura (PHPTPH) Madiun, dan Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP) Sidorejo, Magetan. Selain kegiatan penyuluhan dan pelatihan, petani juga
mengadakan diskusi rutin yang didampingi oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)
untuk lebih mengenal pestisida nabati serta hama dan penyakit tanaman.
Sekitar 14% petani baru mengenal inovasi pestisida nabati pada tahun 2015.
Petani tersebut adalah petani yang tidak mengikuti kegiatan Klinik PHT dan
SLPHT. Mereka mengenal inovasi pestisida nabati melalui kelompok tani. Ketua
kelompok tani menyampaikan hasil penyuluhan dan pelatihan pembuatan pestisida
nabati kepada petani. Selain itu, petani anggota yang telah mengikuti kegiatan
Klinik PHT dan SLPHT juga ikut menjelaskan pestisida nabati kepada anggota
petani yang belum mengenal pestisida nabati. Salah satu kelompok tani, yaitu
Kelompok Tani Sidomukti, membagikan pestisida nabati gratis kepada semua
anggotanya. Hal tersebut dilakukan agar petani dapat mempratikkan sendiri
sehingga memperoleh bukti atas penggunaan pestisida nabati tersebut.
Sekitar 18% petani belum mengenal pestisida nabati hingga waktu
pengambilan data penelitian ini dilakukan. Petani tersebut adalah petani yang tidak
53
mengikuti kegiatan Klinik PHT dan SLPHT, serta jarang atau tidak pernah hadir
dalam kumpul kelompok tani. Petani tersebut tidak mengetahui sama sekali
mengenai inovasi pestisida nabati dan beberapa diantaranya baru mendengar istilah
pestisida nabati.
Tahap pengetahuan merupakan tahap awal dari proses pengambilan
keputusan inovasi. Pada tahap ini, petani mulai membuka dirinya terhadap
keberadaan inovasi pestisida nabati dan memperoleh berbagai informasi tentang
pestisida nabati tersebut. Pengkategorian tingkat pengetahuan dilakukan dengan
menjumlahkan skor dari enam indikator yang diteliti, yaitu: definisi pestisida nabati,
perbedaan pestisida nabati dengan pestisida kimia, bahan untuk membuat pestisida
nabati, cara membuat pestisida nabati, dan manfaat menggunakan pestisida nabati.
Berdasarkan data pada Tabel 22, sebesar 50% petani sangat mengenal
pestisida nabati. Sekitar 32% petani cukup mengenal dan sekitar 18% petani tidak
mengenal pestisida nabati. Pengetahuan yang diperoleh petani tentang pestisida
nabati berupa: definisi pestisida nabati, perbedaannya dengan pestisida kimia,
bahan untuk membuat pestisida nabati, cara membuat pestisida nabati, dan manfaat
pestisida nabati. DRN (54 tahun) menjelaskan secara lengkap bahan dan cara
membuat pestisida nabati sebagai berikut:
“... Mimba lebih baik dari mindi. Akar tuba juga bagus [dibuat pestisida
nabati]. Laos juga bisa. Gadung. Serai yang diambil bonggolnya saja. Diberi
air 10 liter dan sabun colek 1 bungkus. Kalau sudah jadi, 1 gelas pesnab bisa
dicampur air 14 liter untuk satu tangki ...” (DRN 54 tahun).
Ada pula petani yang tidak mengenal tentang pestisida nabati, seperti MLY
(61 tahun). MLY (61 tahun) menyatakan bahwa: “... Taunya MOL aja. Banyak
banget macemnya, jadi ndak tau nama-namanya. ... ”. MLY (61 tahun) pernah
mengikuti kegiatan SLPHT dan diperkenalkan oleh penyuluh untuk menggunakan
MOL, pengendali hama dari agens hayati dan pestisida nabati. Namun, setelah
program SLPHT berakhir, MLY (61 tahun) tidak lagi menggunakan agens hayati
dan pestisida nabati karena menurutnya terlalu banyak bahan pengendali hama yang
harus ia pahami. Oleh karena itu MLY (61 tahun) kembali menggunakan pestisida
kimia yang ia beli di toko pertanian di Kecamatan Sidorejo.
Tahap Persuasi
Tahap persuasi adalah tahap di mana petani membentuk sikap suka atau
tidak suka terhadap inovasi. Tahap ini mengharuskan petani untuk mengetahui
tentang inovasi, dalam hal ini pestisida nabati, sehingga kemudian dia dapat
membentuk sikap terhadap inovasi tersebut. Pengkategorian tingkat persuasi
dilakukan dengan menghitung skor yang diperoleh petani dari tiga indikator, yaitu:
ketertarikan untuk mengetahui lebih jauh tentang pestisida nabati, keinginan untuk
mencoba pestisida nabati, dan ketertarikan untuk terus menggunakan pestisida
nabati.
Berdasarkan Tabel 22, sekitar 66% petani menyatakan ketertarikannya
terhadap pestisida nabati, sekitar 20% petani bersikap biasa saja terhadap pestisida
nabati, dan sekitar 14% petani menyatakan tidak tertarik terhadap pestisida nabati.
SKN (40 tahun) tertarik mencoba pestisida nabati setelah ia memperoleh
penyuluhan tentang prinsip-prinsip pengendalian hama terpadu dalam kegiatan
54
SLPHT tahun 2014:“... Pengen nyoba aja karena tau dari proyek cabe [SLPHT] ...”.
Sementara itu, SRJ (54 tahun) tertarik mencoba pestisida nabati karena pernah
mengikuti pelatihan pembuatan pestisida nabati di Klinik PHT Sidodadi:“... Bareng
kelompok pakainya. Buatnya juga bareng-bareng di Klinik. Jadi ringan dan pengen
nyoba ... “.
Petani yang bersikap netral terhadap penggunaan pestisida nabati lebih
mempertimbangkan faktor musim dan juga kondisi pasar, seperti pernyataan JRW
(61 tahun) berikut:
“... Liat sikon dulu. Diliat musimnya apa, pasarnya gimana, dan tanamannya
apa saja. Kalau bisa ya jangan menantang alam. Sekiranya serangan [hama]
parah ya pake yang sudah dikenal ampuh. Kalau ada kesempatan nyoba itu
[pestisida nabati] ya ndak apa-apa nyoba aja ...” (JRW 61 tahun).
Di lain pihak, beberapa petani yang tidak tertarik terhadap pestisida nabati
sebenarnya telah mengetahui tentang pestisida nabati tersebut. Namun setelah
melihat rekannya tidak lagi menggunakan pestisida nabati, petani tersebut tidak
ingin mencobanya seperti yang dinyatakan oleh SGI (43 tahun):
“... Belum nyoba [pestisida nabati] karena sama aja. Liat punya teman yang
dulu sudah pakai [pestisida nabati], tapi sekarang ndak pakai lagi. Jadinya
ndak pengen nyoba ...” (SGI 43 tahun).
Tahap Keputusan
“... Pas SLPHT dikasih benih cabe Maruti. Ada konsultasi rutin sama
penyuluh dan kumpul bareng semua yang ikut. Buat pestisida nabati bareng-
bareng semua peserta. Hasilnya dipakai di cabe itu ...” (BND 43 tahun).
Ada pula petani yang tidak mengikuti SLPHT dan memutuskan untuk
menggunakan pestisida nabati. Petani tersebut mulai mengenal pestisida nabati dari
pertemuan kelompok dimana anggota lain yang mengikuti SLPHT menyampaikan
55
materi yang diperoleh kepada anggota lain yang tidak mengikuti SLPHT, seperti
pernyataan PRD (63 tahun):
“... Ngerti soko kelompok [tani]. Dadine yo melu njajal bareng ...” (PRD 63
tahun).
[“... Tahu dari kelompok tani. Jadinya ya ikut nyoba bareng. ...”].
“... Ndak pernah ikut penyuluhan. Lha mung perwakilan [kelompok tani] tok
sing melu. Nah yang ikut penyuluhan hasile disampekno neng anggota liyo
pas kumpul kelompok. Dadine podo ngerti kabeh senajan ora melu
[penyuluhan] ...” (SUG 57 tahun).
[“... Tidak pernah ikut penyuluhan. Hanya perwakilan kelompok tani saja
yang ikut. Nah yang ikut penyuluhan, hasilnya disampaikan ke anggota lain
sewaktu kumpul kelompok. Jadinya semua tahu meskipun tidak ikut
penyuluhan. ...]
“... Opo, pestisida nabati? Nabati opo to? Kok durung pernah krungu
sadurunge ...” (PRN 63 tahun).
[... Apa, pestisida nabati? Nabati apa ya? Kok belum pernah dengar
sebelumnya ...].
Tahap Implementasi
“... Rata-rata mulai nyemprot itu kalau sudah diserang hama. Padahal
seharusnya sebelum diserang hama juga disemprot untuk pencegahan. Lha
kalau serangan hama sudah parah, pestisida nabati saja ndak kuat. Harus
ditambah pestisida kimia. Saya juga belum berani sepenuhnya pakai pestisida
nabati. Masih sesekali pakai pestisida kimia ...” (SRT 33 tahun).
Tahap Konfirmasi
“... Tanahnya sudah rusak. Sebelum tahun 2012 [panen] kubis jarang gagal.
Sekarang banyak gagalnya mergo pemupukan berat. Tapi aku ra percoyo
penyuluhan. Marai bangkrut. Lha diwenehi opo wae tetep gagal kok, ra jamin
[berhasil] ...” (SPY 52 tahun).
[... Tanahnya sudah rusak. Sebelum tahun 2012 panen kubis jarang gagal.
Sekarang banyak gagalnya karena pemupukan berat. Tapi saya tidak percaya
penyuluhan. Menyebabkan bangkrut saja. Sudah diberikan apa saja tetap
gagal, tidak menjamin berhasil ...]
“... Pemasarannya belum ada. Jadi harganya masih sama dengan sayuran biasa.
Pedagang juga ndak semua tahu mana yang pakai [pestisida] kimia, mana
yang pakai [pestisida] nabati ...” (SJD 44 tahun).
tingkat pengetahuan petani terhadap inovasi pestisida nabati. Petani akan semakin
berpikir rasional terhadap setiap keputusan yang diambil karena berhubungan
dengan untung dan rugi, terutama bagi petani dengan lahan yang tergolong luas.
Kedua temuan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti et al.
(2008) yang mana tingkat pendidikan formal dan luas kepemilikan lahan
berhubungan dengan tingkat pengetahuan petani.
Demikian halnya dengan tingkat kekosmopolitan petani, semakin
kosmopolit seorang petani maka semakin tinggi tingkat pengetahuan pestisida
nabati yang dimilikinya. Petani dapat memperoleh informasi lebih banyak seiring
dengan banyaknya jejaring yang dia miliki, baik yang berada dalam sistem
sosialnya maupun di luar sistem sosial. Sebelumnya, penelitian Amala et al. (2013)
dan Marwandana (2014) juga menemukan hal yang sama mengenai tingkat
kekosmopolitan petani.
Selanjutnya, petani yang inovatif akan memiliki tingkat pengetahuan yang
tinggi karena kecenderungannya untuk mencoba praktik baru dalam bertani
mendorongnya untuk mempelajari hal baru tersebut, dalam kasus ini adalah
pestisida nabati. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Marwandana (2014) yang tidak menemukan adanya hubungan antara tingkat
keinovatifan petani dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Lebih lanjut,
tingginya tingkat pengetahuan petani juga berhubungan dengan adanya dukungan
dari kelompok tani di Desa Sidokerto. Kelompok tani memberikan kesempatan
untuk berdiskusi dan membagikan sampel pestisida nabati gratis sehingga petani
dapat memperoleh informasi tentang pestisida nabati, secara teori maupun praktik.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Susanti et al. (2008).
Hal yang menarik adalah adanya variabel yang berhubungan nyata negatif
terhadap tingkat pengetahuan, yaitu umur, pekerjaan utama, dan lama usaha. Hal
tersebut tidak sejalan dengan penarikan simpulan Rogers dari sejumlah penelitian-
penelitian sebelumnya4. Semakin muda umur petani, maka semakin tinggi tingkat
pengetahuan tentang pestisida nabati yang dimilikinya. Hasil temuan di lapang
menunjukkan bahwa petani yang berumur muda dapat mengingat informasi tentang
pestisida nabati dengan baik dan sebaliknya, seperti MLY (61 tahun) menyatakan
bahwa ia kesulitan mengingat nama-nama bahan pengendali hama yang
disampaikan pada kegiatan SLPHT.
Jika pekerjaan utama responden selain sebagai petani, semakin tinggi pula
tingkat pengetahuan yang dimilikinya. Responden yang memiliki pekerjaan utama
bukan sebagai petani memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap pestisida
nabati. Hal tersebut dimungkinkan karena responden dengan pekerjaan utama
sebagai petani telah memiliki pengetahuan tentang praktik berusahatani berdasar
pengalaman mereka sendiri selama ini sehingga responden ini cenderung kurang
terbuka terhadap sesuatu yang baru. PRN (63 tahun) mengungkapkan hal serupa
bahwa:
“... Biasanya pakai obat [pestisida] kimia itu. Sudah dari dulu begitu.
Sebetulnya disuruh coba pakai obat yang baru [pestisida nabati]. Lha tapi ndak
tau dan ndak pernah pakai sebelumnya ...” (PRN 63 tahun).
4
Dari 228 penelitian yang dirangkum Rogers, 48% penelitian tidak menemukan adanya hubungan
antara umur dengan tahap pengambilan keputusan inovasi, 19% menunjukkan hubungan negatif
dan 33% sisanya menunjukkan adanya hubungan positif (Rogers 1983 hal. 260-261).
61
Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Sadono (1999). Sadono (1999)
menemukan bahwa responden dengan pekerjaan utama sebagai petani memiliki
kesempatan yang lebih banyak dibanding petani yang mempunyai pekerjaan lain.
Kesempatan tersebut dimungkinkan sebagai kesempatan untuk memikirkan dan
mengelola usahatani sebagai prioritas utama.
Petani yang tergolong baru memulai usahatani memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi terhadap pestisida nabati. Hal tersebut dapat
dimungkinkan karena petani yang baru berusahatani belum memiliki banyak
pengalaman dan pengetahuan tentang berusahatani sehingga mereka cenderung
lebih terbuka mempelajari hal baru dan mudah mengingatnya. SNW (45 tahun)
menyatakan bahwa ia ingin belajar dan mencoba hal baru dalam bertani karena ia
baru 5 tahun ini bertani dan belum memiliki cukup pengalaman. Penelitian Roswita
(2003) tidak menemukan adanya hubungan antara lama berusahatani dengan
tingkat pengetahuan petani.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan, luas lahan,
tingkat kekosmopolitan, tingkat keinovatifan, dan tingkat dukungan kelompok
memiliki hubungan positif dengan tingkat pengetahuan petani. Namun demikian,
terdapat tiga variabel yang memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengetahuan
petani, yaitu umur, pekerjaan utama, lama berusahatani.
Tabel 26 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel pada tingkat
kepuasan petani dengan tingkat konfirmasi petani hortikultura di Desa
Sidokerto tahun 2016
Tingkat Konfirmasi
Variabel pada Tingkat Kepuasan Petani
rs α
Tingkat Produksi Hortikultura ,139 ,367
**
Kualitas Hortikultura ,682 ,000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan Tabel 26, hanya satu variabel tingkat kepuasan petani yang
berhubungan dengan tingkat konfirmasi, yaitu kualitas hortikultura sedangkan
tingkat produksi hortikultura tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat
konfirmasi. Dengan kata lain semakin tinggi kualitas hortikultura, maka semakin
tinggi pula tingkat konfirmasi petani terhadap penggunaan pestisida nabati.
Penggunaan pestisida nabati sebagai pengganti pestisida kimia dapat mengurangi
bahkan menghilangkan residu bahan kimia dalam sayuran, sehingga sayuran lebih
sehat dan aman untuk dikonsumsi. Namun demikian, penggunaan pestisida nabati
tidak memberikan dampak terhadap tingkat produksi hortikultura. Peningkatan
produksi hortikultura dapat disebabkan oleh faktor pemupukan.
Penelitian sebelumnya (Marwandana 2014) tidak menemukan adanya
hubungan antara tingkat kepuasan petani, khususnya tingkat produksi, dengan
tingkat konfirmasi. Sebagian besar petani menyatakan bahwa tingkat produksi
hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati sama saja dengan perlakuan
pestisida kimia. Namun, jika pestisida nabati tersebut digunakan bersamaan dengan
prinsip PHT dengan benar, maka akan diperoleh peningkatan produksi hortikultura.
Berikut ini adalah contoh perlakuan PHT terhadap budidaya cabai rawit merah:
perendaman benih dengan agens hayati (Choryne), perlakuan tanah dengan
pemupukan pupuk kandang, kompos dan disiram dengan Trichoderma, pola tanam
monokultur, pengurangan pupuk kimia, pemakaian mulsa, serta penggunaan agens
hayati dan pestisida nabati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya kualitas hortikultura
yang berhubungan sangat nyata positif dengan tingkat konfirmasi petani terhadap
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati, sedangkan tingkat produksi
hortikultura tidak memiliki hubungan dengan tingkat konfirmasi petani.
64
Tabel 27 Nilai koefisien korelasi Rank Spearman antara variabel pada saluran
komunikasi dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi pestisida
nabati di Desa Sidokerto tahun 2016
Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat
Saluran Pengetahuan Persuasi Keputusan Implementasi Konfirmasi
Komunikasi
rs α rs α rs α rs α rs α
Saluran
,711** ,000 ,717** ,000 ,723** ,000 ,723** ,000 ,608** ,000
Antarpribadi
Media
,207 ,179 ,153 ,321 ,118 ,444 ,118 ,444 ,199 ,195
Massa
Saluran
,630** ,000 ,672** ,000 ,592** ,000 ,592** ,000 ,493** ,001
Kelompok
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Di lain pihak, media massa tidak memiliki hubungan dengan semua tingkat
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati. Hal tersebut tidak sejalan dengan
penarikan simpulan Rogers (1983) yang menemukan bahwa 69% dari 116
penelitian-penelitian yang dihimpun sebelumnya menyatakan bahwa media massa
memiliki hubungan positif dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi. Kondisi
di lapangan menunjukkan bahwa berbagai macam sumber informasi dari media
massa yang diakses petani tidak ada kaitannya dengan pestisida nabati. Dapat pula
dikarenakan petani memang memiliki akses yang rendah terhadap media massa
sehingga tidak dapat memperoleh banyak informasi, khususnya pestisida nabati.
Saluran kelompok memiliki hubungan sangat nyata positif dengan kelima
tingkat pengambilan keputusan inovasi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Cheboi dan Mberia (2014), Susanti et al. 2008), Mulyadi et al. (2007), Indraningsih
(2006), dan Onasanya et al. (2006). Saluran kelompok merupakan salah satu
sumber informasi penting bagi petani, karena hampir setiap kumpul kelompok tani
diadakan diskusi mengenai praktik usahatani, khususnya penggunaan pestisida
nabati. Dengan adanya diskusi tersebut, petani yang belum mengetahui pestisida
nabati dapat memahami pestisida nabati lebih baik dibanding sebelumnya. Bagi
petani yang sudah mengenal pestisida nabati dapat menentukan sikap dan
keputusan untuk menerima atau menolak inovasi pestisida nabati. Melalui diskusi
kelompok, petani juga dapat bertukar pengalaman tentang praktik penggunaan
pestisida nabati. Akhirnya, setelah mendengarkan pendapat dan pengalaman petani
lain, petani dapat memperoleh penguatan atas keputusannya dalam menggunakan
pestisida nabati.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saluran antarpribadi dan
saluran kelompok memiliki hubungan sangat nyata positif dengan kelima tingkat
pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati. Hanya media massa yang tidak
berhubungan dengan tingkat pengambilan keputusan inovasi pestisida nabati.
Simpulan
Saran
Berdasarkan hasil analisis data primer dan data lapang, tingkat pengambilan
keputusan petani terhadap pestisida nabati tinggi pada awalnya. Namun kemudian
terdapat beberapa petani memutuskan untuk berhenti menggunakan pestisida nabati
dikarenakan faktor eksternal, seperti tidak menentunya musim dan permintaan
pasar. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah
maupun petani sudah optimal dan permasalahannya adalah karena faktor eksternal.
Oleh karena itu, saran yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian
skripsi ini adalah:
1. Perlu dukungan kelompok tani secara penuh terhadap penggunaan pestisida
nabati, salah satunya dengan pembuatan pestisida nabati secara kolektif
yang diikuti seluruh anggota sehingga petani dapat memproduksi sendiri
pestisida nabati. Petani tergolong lokalit yang artinya petani mencari
informasi mengenai pestisida nabati di dalam sistem sosialnya saja sehingga
peran kelompok tani menjadi sangat penting.
2. Perlunya pendampingan yang berkelanjutan dari Dinas Pertanian dan Balai
Penyuluhan Pertanian terhadap penggunaan pestisida nabati sehingga petani
semakin yakin dan paham mengenai pentingnya mengurangi penggunaan
pestisida kimia dan beralih menggunakan pestisida nabati. Penyuluh dapat
menekankan penyampaian informasi mengenai karakteristik pestisida
nabati, khususnya mengenai kesesuaian pestisida nabati dengan
pengalaman dan kebutuhan petani, dapat dicoba dalam skala kecil, dan
mudah diamati hasilnya.
3. Perlu diadakan penelitian di laboratorium mengenai kandungan zat aktif
dalam pestisida nabati yang dibuat dan digunakan oleh petani sehingga
dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya masing-masing. Dengan adanya
pengujian tersebut, petani diharapkan dapat mengaplikasikan pestisida
nabati sesuai dosis dan kegunaannya masing-masing.
4. Perlunya pengenalan produk hortikultura organik kepada petani itu sendiri,
pedagang, dan masyarakat luas dalam rangka meningkatkan pasar produk
hortikultura organik. Hortikultura dengan perlakuan pestisida nabati dinilai
petani memiliki kualitas yang lebih baik dibanding perlakuan pestisida
kimia. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi salah satu keunggulan
untuk meningkatkan nilai jual hortikultura organik.
69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
74
LAMPIRAN
ke pusat
Desa
Kabupaten Magetan
Sumberdodol
Desa
Terung
Desa
Sumbersawit
Desa Widorokandang
ke Jalan alternatif
Magetan – Karanganyar (Jawa Tengah)
Keterangan:
SMPN 1 Sidorejo
Masjid
Jalan Desa
Cronbach's N of Items
Alpha
,804 71
Tingkat Pengetahuan
Spearman's Umur1 Correlation Coefficient -,410**
rho
Sig. (2-tailed) ,006
N 44
Pendidikan Correlation Coefficient
,434**
Terakhir
Sig. (2-tailed) ,003
N 44
Pekerjaan Utama Correlation Coefficient -,303*
Sig. (2-tailed) ,046
N 44
Luas Lahan1 Correlation Coefficient ,314*
Sig. (2-tailed) ,038
N 44
Lama Usaha1 Correlation Coefficient -,304*
Sig. (2-tailed) ,045
N 44
Tingkat Correlation Coefficient
,595**
Kekosmopolitan
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Correlation Coefficient
,589**
Keinovatifan
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Dukungan Correlation Coefficient
,552**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Saluran Correlation Coefficient
,711**
Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,207
Sig. (2-tailed) ,179
N 44
79
Tingkat Persuasi
Spearman's Tingkat Correlation Coefficient -,204
rho Keuntungan
Sig. (2-tailed) ,184
Relatif
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,827**
Kesesuaian
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Kerumitan Correlation Coefficient ,236
Sig. (2-tailed) ,122
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,731**
Kemungkinan
Sig. (2-tailed) ,000
Dicoba
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,782**
Kemungkinan
Sig. (2-tailed) ,000
Diamati
N 44
Saluran Correlation Coefficient ,717**
Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,153
Sig. (2-tailed) ,321
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient ,672**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,816**
Pengetahuan
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
80
Correlations
Tingkat Keputusan
Spearman's Saluran Correlation Coefficient ,723**
rho Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,118
Sig. (2-tailed) ,444
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient ,592**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Persuasi Correlation Coefficient ,850**
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tingkat Implementasi
Spearman's Saluran Correlation Coefficient ,723**
rho Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,118
Sig. (2-tailed) ,444
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient
,592**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Tingkat Keputusan Correlation Coefficient 1,000**
Sig. (2-tailed)
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
81
Tingkat Konfirmasi
Spearman's Jumlah sayuran Correlation Coefficient ,139
rho layak jual
Sig. (2-tailed) ,367
N 44
Kualitas Correlation Coefficient ,682**
Hortikultura
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Saluran Correlation Coefficient ,608**
Interpersonal1
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
Media Massa1 Correlation Coefficient ,199
Sig. (2-tailed) ,195
N 44
Pertemuan Correlation Coefficient ,493**
Kelompok
Sig. (2-tailed) ,001
N 44
Tingkat Correlation Coefficient ,594**
Implementasi
Sig. (2-tailed) ,000
N 44
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
82
RIWAYAT HIDUP
Sinta Herian Pawestri adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Heriyanto dan Anik Tri Handayani. Penulis dilahirkan di Magetan, 6 Oktober 1994.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah TK Dharma Wanita Carikan pada
tahun 1999-2000, SD Negeri Carikan Magetan 2000-2006, SMP Negeri 1
Kawedanan Magetan 2006-2009, dan SMA Negeri 1 Magetan 2009-2012. Pada
tahun 2012 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) melalui jalur SNMPTN
Undangan.
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan baik
di dalam maupun luar kampus. Semasa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis
tercatat sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB dan relawan kegiatan
sosial SAMISAENA yang diadakan oleh BEM FEMA. Penulis adalah penerima
Beasiswa Unggulan CIMB Niaga. Kecintaannya terhadap kota kelahirannya,
Magetan, mendorong penulis untuk bergabung menjadi pengurus Organisasi
Mahasiswa Daerah IMPATA (Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Alumni Magetan)
sebagai sekretaris periode 2013-2014 dan koordinator bidang eksternal periode
2014-2015. Ketertarikan penulis terhadap tantangan dan hal-hal baru
mengantarkannya menjadi exchange participant AIESEC Ateneo de Manila
University, Filipina dalam REAP Project tahun 2014. Setelah itu penulis bergabung
dengan AIESEC IPB Phoenix periode 2014-2015. Penulis juga sempat bergabung
dengan Lembaga Dakwah Fakultas Ekologi Manusia FORSIA El Fatih 1436 H
sebagai anggota Divisi Syiar. Pada semester 8, penulis mengikuti pertukaran
mahasiswa dalam program Hokkaido University Short Term Exchange Program
(HUSTEP) periode musim semi tahun 2016. Selain kegiatan di dalam kampus,
penulis juga pernah bekerja paruh waktu sebagai pengajar di Bimbingan Belajar
Salemba Group cabang Karadenan dan Merdeka, Bogor tahun 2015.