2936 7006 1 SP
2936 7006 1 SP
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Studi
Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian Hama pada Petani Hortikultura”,
benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari pustaka yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertnggungjawabkan pernyataan ini.
ABSTRAK
ABSTRACT
Oleh:
I34120075
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Diketahui oleh
Ketua Departemen,
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka
berjudul “Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian Hama pada Petani
Hortikultura” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi
syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi dan Asri
Sulistiawati, S.KPm, MSi sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan
masukan selama proses penulisan hingga hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini.
Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Anik Tri Handayani dan
Heriyanto, orang tua tercinta, serta Gilang Pamungkas Heriyanto Putra, adik tersayang,
yang selalu berdoa dan melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Kontrakan Magetan yang
telah bersedia menerima keluhan serta memberikan saran dan dukungan kepada penulis,
Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa, Pelajar, dan Alumni Magetan (IMPATA) yang
memberikan tempat kepada penulis untuk bercerita dan segala bantuan, serta Keluarga
Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
angkatan 49, terutama Eka Puspita Sari, Ulvia Muspita Angraini, Hening Gahayuning,
Fitri Dwi Prastyanti yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam proses
penulisan laporan ini.
Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………………….... 1
Rumusan Masalah…………………………………………………………………... 2
Tujuan………………………………………………………………………………. 2
Metode Penulisan…………………………………………………………………… 2
RINGKASAN PUSTAKA
1. Efficacy of Interpersonal Communication Channels in the Diffusion and
Adoption of Zero Grazing Technolog………………………………………… 3
2. Communication Factors Affecting The Adoption of Innovation at The
Grassroots Level in Ogun State, Nigeria…………...………………………… 5
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam
Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo,
Kabupaten Sragen…………………………………………………………...... 7
4. Proses Adopsi Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten
Manokwari, Papua Barat……………………………………………………… 9
5. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi
Teknologi Usahatani Terpadu………………………………………………… 11
6. Adopsi Inovasi Petani Kelapa Sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi – Kelapa
Sawit (SISKA) di Kabupaten Kampar………………………………………... 13
7. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap
Sistem Pertanian Padi Organik………………………………………………... 15
8. Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium
guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari…………………… 17
9. Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman dengan Agen Hayati (Kasus petani sayuran di Kecamatan
Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera)…………………... 19
10. Adopsi Inovasi Petani Kelapa Sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi – Kelapa
Sawit (SISKA) di Kabupaten Pelalawan……………………………………… 21
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan………………………………………………… 31
Pertanyaan Penelitian Skripsi………………………………………………………. 31
Kerangka Berpikir…………………………………………………………………... 31
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 34
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………………… 35
viii
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan dari
penulisan Studi Pustaka ini adalah untuk (1) merumuskan tahapan proses pengambilan
keputusan inovasi, (2) merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi tahapan proses
pengambilan keputusan, dan (3) merumuskan konsep inovasi pengendalian hama
tanaman hortikultura.
Metode Penelitian
Studi Pustaka ini ditulis dengan menggunakan teknik studi literatur. Studi
literatur ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan konsep
adopsi inovasi, tahapan proses pengembilan keputusan inovasi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, serta konsep inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman
hortikultura. Data yang digunakan dalam penulisan Studi Pustaka ini diperoleh dari
berbagai sumber rujukan ilmiah, seperti jurnal, monograph, buku, tesis, disertasi, dan
skripsi yang sesuai dengan topik yang diangkat. Bahan pustaka yang terkumpul
kemudian dipelajarai, disusun, dan dianalisis sehingga menjadi suatu tulisan ilmiah
yang berisi tinjauan teoritis dan tinjauan factual beserta analisis dan sintesisnya. Studi
pustaka ini mencakup tahapan proses pengambilan keputusan inovasi pengendalian
hama dan penyakit tanaman pada petani hortikultura. Studi pustaka ini menghasilkan
kerangka pemikiran serta pertanyaan penelitian yang akan digunakan sebagai acuan
dalam penelitian selanjutnya.
3
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA
Intisari
Analisis
Intisari
Analisis
Intisari
Analisis
Intisari
Analisis
Dilihat dari segi substansi, penulis hanya membahas tiga tahap dalam proses
adopsi, yaitu tahap pengetahuan, tahap persuasi, dan tahap keputusan. Dalam buku
Diffusions of Innovation, Rogers dan Shoemaker menyebutkan bahwa ada lima tahap
dalam proses adopsi, yaitu tahap pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap
penerapan, dan tahap konfirmasi. Jika memang penulis hanya menghendaki tiga tahap
saja yang diteliti, sebaiknya penulis menyertakan alasan dan penjelasan logis. Namun
demikian, pengambilan keputusan dalam adopsi inovasi ini adalah sebuah proses yang
terdiri dari tahap-tahap yang saling berkaitan sehingga diperlukan penelitian yang
menyeluruh untuk dapat melihat proses pengambilan keputusan beserta faktor-
faktornya. Pembahasan tidak mencantumkan penjelasan untuk tiap-tiap variabel yang
diteliti melainkan langsung menjelaskan hubungan yang terjadi antar variabel.
Pembahasan juga cenderung bersifat deskriptif, bukan naratif berdasar hasil analisis
statistik yang telah dilakukan.
11
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut, mengkaji persepsi
petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan persepsi tersebut, dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi
teknologi. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah karakteristik umur
petani, perilaku komunikasi, dukungan iklim usaha, persepsi petani terhadap
penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap pengaruh
media atau informasi. Sementara itu, variabel terikat yang diteliti adalah keputusan
petani terhadap inovasi teknologi usahatani yang diperkenalkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kompetensi
penyuluh termasuk dalam kategori sedang baik oleh petani adopter Cianjur, petani
adopter dan nonadopter Garut. Kompetensi penyuluh dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti pemberan insentif, biaya operasional penyuluh, status sebagai
penyuluh PNS dan penyuluh tenaga harian lepas, serta apresiasi kinerja dan kesempatan
untuk ikut pelatihan. Persepsi sebagian besar petani adopter (63,5%) dan petani
nonadopter (44,2%) terhadap peran penyuluh tergolong sedang karena kurangnya
interaksi antara penyuluh dengan petani. Penyuluh tidak hanya sebagai penyampai
(desiminator) teknologi dan informasi, tetapi juga sebagai motivator, dinamisator,
pendidik, fasilitator, dan konsultan bagi petani. Persepsi petani terhadap materi
penyuluhan sebagian besar petani adopter (73,7%) dan petani nonadopter (70,9%)
termasuk dalam kategori sedang karena penyusunan program penyuluhan pertanian
belum memperhatikan kebutuhan petani sasaran kegiatan penyuluhan. Sementara itu,
persepsi petani tehadap metode penyuluhan, sebagian besar petani adopter (72,3%) dan
petani nonadopter (63,6%) termasuk dalam kategori sedang pula karena metode yang
digunakan penyuluh hanya sebatas diskusi kelompok dan belum menggunakan media
elektronik.
Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa peubah yang berpengaruh positif
nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan adalah karakteristik petani dan perilaku
komunikasi petani. Dukungan iklim usaha yang meliputi ketersediaan input (sarana
produksi), fasilitas keuangan (KUD, perbankan), dan sarana pemasaran tidak
berpengaruh nyata terhadap penyuluhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi positif
12
nyata persepsi petani adopter terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, tingkat
intelegensi, keberanian beresiko, dan kerja sama. Pada petani nonadopter, faktor-faktor
tersebut adalah sikap terhadap perubahan, kerja sama, keterdedahan terhadap media,
dan ketersediaan fasilitas keuangan, sedangkan faktor yang mempengaruhi negatif nyata
adalah daya beli.
Keputusan petani responden dalam mengadopsi inovasi usahatani terpadu
termasuk dalam keputusan kolektif yang dilakukan oleh pengurus kelompok tani,
meliputi ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus kelompok tani tersebut secara
informal mewakili anggota kelompok tani. Faktor yang mendorong petani responden
untuk mengadopsi usahatani terpadu adalah adanya perolehan bantuan untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Selain itu, penentuan komoditas yang
ditanam petani responden tergolong rendah. Pertimbangan yang digunakan sebagian
besar petani adopter, petani nonadopter Cianjur dan petani adopter Garut dalam
menentukan komoditas yang ditanam adalah kemudahan dalam mendapatkan benih atau
bibit serta besaran biaya awal (modal usahatani) yang dibutuhkan. Sementara itu, petani
nonadopter Garut dalam menanam komoditas, selain kemudahan dalam mendapatkan
benih atau bibit juga mempertimbangkan kesesuaian penggunaan sumber daya lahan.
Penggunaan sarana produksi sebagian besar petani adopter, petani nonadopter Cianjur,
dan petani adopter Garut sedang, sedangkan pada petani nonadopter Garut tergolong
rendah.
Keputusan petani adopter dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani
terpadu dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif, kesesuaian, dan persepsi petani
terhadap pengaruh media atau informasi interpersonal, sedangkan pada petani
nonadopter dipengaruhi oleh faktor kesesuaian, kerumitan, dan persepsi petani terhadap
pengaruh media atau informasi interpersonal. Persepsi petani (adopter dan nonadopter)
terhadap pengaruh informasi interpersonal berpengaruh positif nyata terhadap
keputusan petani dalam adopsi inovasi.
Analisis
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses adopsi inovasi petani kelapa
sawit terhadap sistem integrasi Sapi – Kelapa Sawit di Kabupaten Kampar dan
mengetahui tingkat adopsi inovasi petani Kelapa Sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi –
Kelapa Sawit di Kabupaten Kampar. Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan
suatu sistem usaha tani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia
karena didukung dengan luas tanam kelapa sawit mencapai 7 juta hektar dan kesesuaian
adaptasi ternak sapi yang baik. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kampar,
tepatnya di Desa Penyesawan, Desa Simpang Petai dan Desa Sari Galuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap SISKA di Kabupaten Kampar sama dengan proses yang dikemukakan oleh
Rogers (2003) dalam teori proses keputusan inovasi. Pengetahuan petani terhadap
SISKA termasuk kategori sedang dengan skor 3,31. Kondisi ini menunjukkan petani
memiliki pengetahuan yang baik terhadap inovasi SISKA. Komponen pengetahuan
terdiri dari praktik sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, serta norma
dan sistem sosial. Pengetahuan petani tentang praktik sebelumnya termasuk dalam
kategori sedang karena pengetahuan petani tentang praktik-praktik sebelumnya
mengenai SISKA tidak terlalu banyak. Kebutuhan yang dirasakan petani termasuk
dalam kategori tinggi yang menandakan bahwa program SISKA sangat membantu
petani. Keinovatifan petani berada dalam kategori sedang. Norma dan sistem sosial juga
termasuk dalam kategori sedang.
Pada tahap persuasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan
yaitu: keuntungan relatif, kompabilitas, kerumitan, dapat dicoba, dan dapat dilihat
hasilnya. Tahap keuntungan relatif termasuk kategori sedang karena petani menganggap
program SISKA ini memberikan berbagai keuntungan bagi petani ternak. Tingkat
kompabilitas termasuk kategori sedang karena petani menganggap kegiatan ini selaras
dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang ada. Kerumitan termasuk dalam kategori sedang
karena petani tidak begitu sulit dalam memahami teknologi pengolahan pelepah kelapa
sawit dengan menggunakan mesin pencaah (cooper) dan cukup mudah menjadi terampil
dalam memahami teknologi pengolahan tersebut. Tahap dapat dicoba termasuk dalam
kategori sedang karena petani menyatakan teknlogi pengolahan pelepah kelapa sawit
pada SISKA sangat perlu dicoba terlebih dahulu oleh penyuluh atau pihak yang
berkompeten. Tahap dapat diamati hasilnya termasuk dalam kategori sedang karena
14
sawit yang diberikan pupuk dari kotoran sapi memerlukan waktu lama untuk melihat
perubahan yang terjadi pada kebun kelapa sawit.
Tahap pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi SISKA termasuk
dalam kategori rendah karena di Kabupaten Kampar yang mendapat bantuan mesin
cooper sebanyak 8 unit dan yang masih menjalankan Program SISKA hanya satu
kelompok tani yaitu di Desa Simpang Petani dan mesin cooper tidak setiap hari
beroperasi karena tidak ada kesesuaian dan kecocokan mesin untuk pengolahan pakan
sapi dari pelepah sawit. Sementara itu, tahap pengambilan keputusan untuk tidak
mengadopsi termasuk dalam kategori sedang. Tahap implementasi termasuk dalam
kategori sangat rendah karena petani kelapa sawit kurang paham dan banyak petani
yang tidak lagi menerapkan program SISKA. Tahap konfirmasi termasuk dalam
kategori yang sangat rendah juga. Kondisi ini dikareakan keterbatasan petani untuk
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi petani tentang masalah pemenuhan
kebutuhan kelapa sawit yang petani miliki.
Tingkat adopsi inovasi petani dapat ditentukan oleh pengetahuan, persuasi dari
karakteristik inovasi yang dipersepsikan, keputusan mengadopsi atau tidak mengadopsi,
implementasi, dan konfirmasi. Tingkat adopsi inovasi petani terhadap Program Sistem
Integrasi Sapi – Kelapa Sawit (SISKA) di Kabupaten Kampar berada pada kategori
rendah. Artinya, petani yang mengikuti proses adopsi dari mulai pengetahuan sampai
dengan konfirmasi kurang merasakan manfaat dari Program Sistem Integrasi Sapi –
Kelapa Sawit yang telah mereka jalankan. Kecocokan program SISKA untuk dijalankan
di Kabupaten Kampar kurang sesuai karena ketersediaan pakan rumput hijauan masih
banyak. Ternak sapi juga mau memakan kulit ubi dan kulit nenas yang banyak tersedia
di Kabupaten Kampar. Pelaksanaan program SISKA kurang ekonomis bagi petani dan
dianggap biayanya lebih besar daripada menanam rumput gajah.
Analisis
Variabel yang diteliti tidak dijelaskan secara eksplisit dalam tulisan. Hal ini
mempersulit pembaca untuk mengetahui variabel apa saja yang dianalisis. Analisis data
dilakukan dengan metode satistika deskriptif menggunakan skala likert dan korelasi
rank spearman. Penulis menyebutkan bahwa untuk tujuan pertama dan ketiga dianalisis
dengan skala likert sedangkan tujuan keempat menggunakan korelasi rank spearman.
Namun penulis tidak menjelaskan tentang tujuan-tujuan yang diteliti tersebut. Skala
likert yang dipilih penulis menggunakan lima kategori, yaitu sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Penggunaan opsi dengan jumah ganjil ini biasanya
menimbulkan pemusatan data di opsi paling tengah. Dalam pembahasan pun
menunjukkan mayoritas hasil analisis termasuk dalam kategori sedang sehingga perlu
dikaji kembali untuk menentukan kategori yang akan digunakan. Penulis menyebutkan
bahwa proses adopsi inovasi petani kelapa sawit terhadap SISKA sama dengan proses
yang dikemukakan oleh Rogers dalam teori proses pengambilan keputusan inovasi.
Namun demikian dalam pembahasan, penulis tidak menjelaskan bagaimana proses yang
terjadi di tiap tahapnya dan hanya menyebutkan skor dan kategorinya. Selain itu,
penulis juga tidak menjelaskan hubungan antar variabel dalam teori proses pengambilan
keputusan inovasi. Oleh karena itu, penelitian ini belum bisa disebut “sama” dengan
teori proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers karena tidak sepenuhnya
menggunakan variabel yang disebutkan Rogers.
15
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap sistem
pertanian padi organik di daerah penelitian dan menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian organik di daerah
penelitian. Sistem pertanian organik ini termasuk dalam Program “Go Organic 2010”
yang ditargetkan pada tahun 2010 dapat terealisasikan dalam berbagai hal, seperti:
pengembangan produksi dan distribusi pupuk organik, pengalokasian dana pembinaan
dan subsidi pupuk organik, pengalokasian dana pengadaan sarana dan membangun
fasilitas pendukung yang dibutuhkan, sistem distribusi pupuk organik secara pabrikan,
serta adanya program-program pelatihan tentang manfaat penggunaan pupuk organik
melalui demplot dan kelompok tani. Namun kenyataannya, sampai dengan tahun 2010
masih sangat sedikit petani padi yang menerapkan pertanian organik. Sampai pada
tahun 2012, petani padi baru mengadopsi sistem pertanian padi organik sebesar 12,05%
dari jumlah total petani padi khususnya di Serdang Bedagai.
Penelitian dilakukan secara purposive di Kabupaten Serdang Bedagai,
Kecamatan Perbaungan, Desa Lubuk Bayas yang merupakan daerah terluas untuk padi
organik di Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan dari 40 petani yang ditentukan
secara Cluster Propotional Sampling.
Hasil perhitungan skoring menunjukkan bahwa petani sampel memiliki nilai
rata-rata 16,85 yang menunjukkan bahwa tingkat adopsi petani terhadap sistem
pertanian padi organik pada daerah penelitian digolongkan tinggi. Seluruh petani
sampel memiliki sudah melewati tahap pengetahuan karena telah mendapatkan
sosialisasi dari BITRA Indonesia pada tahun 2009 melalui sekolah lapang.
Pada penggunaan pupuk dasar, seluruh petani sampai pada tahap keputusan
untuk menerapkan pupuk kandang sebesar 2 ton/ ha/ musim tanam. Sebanyak 40% yang
tidak sampai tahap konfirmasi disebabkan ada kesibukan lain, pengelolaan pupuk
kandang yang rumit, kondisi tanah sudah stabil. Pada penggunaan benih, seluruh petani
sampai pada tahap persuasi yaitu mengetahui manfaat dari penggunaan benih organik
agar terhindar dari zat-zat kimia. Sebanyak 60% petani sampel tidak sampai pada tahap
konfirmasi disebabkan tidak ada perbedaan yang dirasakan untuk penggunaan benih
organik maupun tidak dan lebih praktis membeli di kios. Pada penggunaan pupuk
16
susulan, sebanyak 90% petani sampel yang sampai pada tahap implementasi, sedangkan
10% petani sampel tidak sampai disebabkan penggunaan pupuk organik cair bersifat
tidak wajib dan tergantung kondisi tanaman padi yang dikelola. Pada tahap konfirmasi,
sebanyak 65% petani sampel yang sampai saat ini masih menggunakan pupuk susulan
sesuai dengan sistem pertanian padi organik.
Pada penggunaan pestisida nabati, seluruh petani sudah melewati tahap persuasi
yaitu tahap dimana petani sudah mengetahui manfaat dari pestisida nabati dan
pengaturan air untuk memberantas gulma di lahan yang dikelola. Sebanyak 47,5%
petani tidak sampai pada tahap implementasi disebabkan tidak tersedia langsung
pestisida nabati. Sebanyak 70% petani sampel tidak sampai pada tahap konfirmasi
disebabkan penggunaan pestisida nabati kurang efektif karena hanya mengusir hama
dan tidak memberantas hama pada lahan yang dikelola serta penggunaan herbisida lebih
praktis daripada melakukan pengaturan air dan penyiangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 14 faktor terdapat 9 faktor yang
memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi terhadap sistem pertanian padi organik.
Faktor-faktor tersebut adalah keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan
dicoba, kemungkinan diamati, pengalaman bertani, tingkat kosmopolitan, tingkat
partisipasi, dan saluran antarpribadi. Sementara itu, faktor yang tidak berhubungan
adalah luas lahan, pendidikan, jumlah tanggungan, dan saluran media massa.
Besaran keeratan antara variabel dengan tingkat adopsi dapat dilihat dari besar
nilai korelasi sehingga dapat disimpulkan bahwa kesesuaian memiliki hubungan yang
sangat kuat. Kerumitan dan kemungkinan dicoba memiliki hubungan yang kuat dengan
tingkat adopsi. Sementara itu, faktor keuntungan relatif, tingkat kosmopolitan, dan
saluran antarpribadi memiliki hubungan yang sedang. Faktor kemungkinan diamati,
pengalaman bertani, dan tingkat partisipasi memiliki memiliki hubungan yang lemah
dengan tingkat adopsi.
Analisis
Intisari
Analisis
Tulisan ini menggunakan kerangka berpikir yang merujuk pada konsep dan teori
pengambilan keputusan inovasi dari Rogers dan Shoemaker. Terlihat bahwa penulis
telah menganalisis semua variabel seperti yang tercantum dalam teori pengambilan
keputusan inovasi dari Rogers dan Shoemaker. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif berupa survei dan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dan
observasi. Survei yang dilakukan meliputi survei rumahtangga dan survei individu
petani adopter BJK. Survei rumahtangga diperlukan untuk memperoleh data tentang
profil rumahtangga petani, dan tidak termasuk dalam variabel yang dianalisis
hubungannya. Profil rumahtangga petani penting untuk memberikan gambaran kondisi
petani yang mungkin saja berperan dalam pengambilan keputusan petani. Namun
demikian, lokasi yang dipilih penulis kurang dari sepuluh tahun dalam proses introduksi
inovasi BJK sehingga kurang optimal dalam meneliti proses pengambilan
keputusannya.
19
Intisari
Analisis
Intisari
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses adopsi inovasi petani kelapa
sawit terhadap sistem integrasi sapi – kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan dan
menganalisis tingkat adopsi inovasi petani kelapa sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi –
Kelapa Sawit di Kabupaten Pelalawan. Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan
suatu sistem usaha tani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia
karena didukung dengan luas tanam kelapa sawit mencapai 7 juta hektar dan kesesuaian
adaptasi ternak sapi yang baik. Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit mulai
diperkenalkan di Kabupaten Pelalawan pada tahun 2007. Memasuki awal tahun 2009,
integrasi ternak sapid an kelapa sawit menjadi salah satu program unggulan Kabupaten
Pelalawan karena banyak kelompok tani yang berhasil mengadopsi inovasi SISKA
tersebut. Sampai pertengahan tahun 2014, terdapat 22 lokasi yang mendapat bentuan
mesin pencacah (cooper) pelepah kelapa sawit untuk mendukung pelaksanaan SISKA.
Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni-November 2014 ini dilaksanakan di Desa
Mulya SUbur, Kelurahan Kerumutan, dan Desa Meranti, Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap SISKA di Kabupaten Pelalawan sama dengan proses yang dikemukakan oleh
Rogers (2003) dalam teori proses keputusan inovasi. Pengetahuan petani terhadap
SISKA termasuk kategori tinggi dengan skor 3,60. Kondisi ini menunjukkan petani
memiliki pengetahuan yang baik terhadap inovasi SISKA. Komponen pengetahuan
terdiri dari praktik sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, serta norma
dan sistem sosial. Pengetahuan petani tentag praktik sebelumnya termasuk dalam
kategori sedang. Kebutuhan yang dirasakan petani termasuk dalam kategori tinggi.
Keinovatifan petani berada dalam kategori tinggi. Norma dan sistem sosial juga
termasuk dalam kategori tinggi.
Pada tahap persuasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan
yaitu: keuntungan relatif, kompabilitas, kerumitan, dapat dicoba, dan dapat dilihat
hasilnya. Tingkat keuntungan relatif termasuk kategori tinggi karena petani
menganggap program SISKA ini memberikan berbagai keuntungan bagi petani ternak.
Tingkat kompabilitas termasuk kategori tinggi karena petani menganggap kegiatan ini
selaras dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang ada. Tingkat kerumitan termasuk dalam
kategori tinggi karena petani tidak begitu sulit dalam memahami teknologi pengolahan
pelepah kelapa sawit dengan menggunakan mesin pencacah (cooper) dan cukup mudah
menjadi terampil dalam memahami teknologi pengolahan tersebut. Tingkat ketercobaan
termasuk dalam kategori sedang karena program SISKA dapat dicoba dengan baik
22
apabila dilaksanakan berkelompok. Namun program ini tidak dapat diuji coba dalam
skala kecil karena membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengadaan mesin
pencacah (cooper). Pada tahap dapat dilihat hasil inovasi SISKA termasuk dalam
kategori sedang karena manfaat yang paling cepat terlihat atau dapat diamati adalah
kebun kelapa sawit petani mengalami peningkatan kesuburan dari kondisi sebelumnya.
Pada tahap pengambilan keputusan, ada dua kelompok tani yang memutuskan
untuk mengadopsi inovasi SISKA. Program ini terbukti banyak memberikan dampak
positif bagi petani yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan. Satu kelompok tani
yang tidak mengadopsi inovasi SISKA karena mereka menganggap inovasi ini sulit
dilaksanakan dan tidak ekonomis bagi petani. Ada pula kelompok tani yang sebelumnya
telah menerapkan SISKA, namun memutuskan berhenti untuk menerapkan SISKA
karena sulit memperoleh bahan campuran untuk membuat pakan ternak sapi.
Tahap implementasi termasuk dalam kategori sedang. Secara keseluruhan petani
responden memahami manfaat penting dari penerapan SISKA. Namun masih ada
beberapa kendala dalam pelaksanaan SISKA di lapangan. Kurang tersedianya bahan
campuran merupakan kendala utama dan menjadi perhatian untuk segera dibenahi oleh
pemerintah. Tahap konfirmasi yang dilakukan petani kelapa sawit rakyat tentang adopsi
inovasi SISKA menunjukkan rata-rata skor 2,68 yang termasuk dalam kategori sedang.
Petani responden yang melaksanakan SISKA masih cukup sering berkomunikasi dengan
penyuluh mengenai kendala bahan campuran dari pemerintah untuk bisa membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani.
Tingkat adopsi inovasi petani dilihat dari pengetahuan petani, persuasi,
keputusan mengadopsi, keputusan tidak mengadopsi, implementasi, dan konfirmasi.
Tingkat adopsi inovasi petani terhadap SISKA berada pada kategori sedang. Petani
sudah dapat menerima teknologi dan inovasi yang terdapat dalam pelaksanaan SISKA
namun masih menghadapi beberapa kendala di lapangan.
Analisis
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis adopsi inovasi program Sistem
Integrasi Sapi – Kelapa Sawit dengan kerangka acuan teori pengambilan keputusan
inovasi Rogers dan Shoemaker. Jika kita tinjau kembali teori pengambilan keputusan
Rogers dan Shoemaker, masih terdapat satu variabel yang tidak diteliti dalam penelitian
ini. Padahal variabel tersebut ada di setiap tahap dan diduga mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Variabel tersebut adalah saluran komunikasi. Selain itu dalam
pembahasan analisis proses adopsi, penulis selalu menyebutkan bahwa tahap tertentu
termasuk dalam kategori rendah, sedang, atau tinggi tanpa menjelaskan kategori
tersebut dilihat berdasar apa, misal berdasar waktu yang dibutuhkan untuk adopsi,
berdasar jumlah teknologi yang diadopsi dalma kurun waktu tertentu, dan lain
sebagainya.
Analisis data dilakukan dengan metode satistika deskriptif menggunakan skala
likert dan korelasi rank spearman. Skala likert yang dipilih penulis menggunakan lima
opsi jawaban, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Hasil
analisis sudah baik karena tidak terjadi pemusatan data di opsi paling tengah.
23
ANALISIS DAN SINTESIS
1. Tahap Pengetahuan
Proses pengambilan keputusan dimulai dengan adanya tahap pengetahuan ketika
individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) terpapar oleh keberadaan inovasi
dan memperoleh pemahaman tentang fungsinya. Sebuah inovasi mengandung
informasi mengenai segala sesuatu berkaitan dengan penggunaan inovasi yang
berguna untuk mengurangi ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam mencapai
hasil yang diinginkan (misalnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan atau
permasalahan individu). Pengetahuan-kesadaran mendorong individu untuk mencari
pengetahuan tentang cara dan pengetahuan mendasar tentang inovasi. Pengetahuan
tentang cara (how-to knowledge) meliputi perlunya informasi untuk menggunakan
inovasi dengan pantas. Adopter harus memahami jumlah suatu inovasi yang perlu
diperoleh, bagaimana cara menggunakannya dengan benar, dan beberapa hal lain.
Pengetahuan mendasar (principle knowledge) tentang inovasi meliputi informasi
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana suatu inovasi
dapat dijalankan. Dimungkinkan untuk mengadopsi suatu inovasi tanpa menguasai
pengetahuan mendasar (principle knowledge), tetapi bahaya salah penggunaan ide
baru akan lebih besar serta akan berakibat pada penghentian penggunaan inovasi
(discontinuance).
2. Tahap Persuasi
Pada tahap ini individu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi.
Jika sebelunya aktivitas mental pada tahap pengetahuan cenderung menggunakan
aspek kognitif (pengetahuan), tahap persuasi ini lebih menggunakan aspek afektif
(perasaan). Tahap ini mengharuskan individu untuk mengetahui tentang suatu ide
atau gagasan baru sehingga kemudian dia dapat membentuk sikap terhadap ide atau
gagasan tersebut. Individu menjadi terlibat secara psikologis dengan inovasi melalui
keaktifannya dalam mencari informasi tentang inovasi. Hal tersebut meiputi dimana
dia mencari informasi, pesan atau informasi apa yang diterima, dan bagaimana dia
mengartikan informasi yang diterimanya. Persepsi selektif penting dalam
menentukan perilaku individu pada tahap persuasi. Atribut inovasi atau yang dikenal
juga dengan karakteristik inovasi yang meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, dan
kerumitan, menjadi hal penting untuk diperhatikan pada tahap ini. Pada tahap ini,
individu biasanya menginginkan jawaban untuk pertanyaan seperti, apa konsekuensi
dari inovasi tersebut? serta apa keuntungan dan kerugian yang mungkin muncul
dalam situasi ini? Jawaban atas pertanyan tersebut dapat diperoleh dari evaluasi
ilmiah dari suatu inovasi atau juga dari rekan dekat (near-peers) yang menceritakan
pengalamannya tentang suatu inovasi.
3. Tahap Keputusan
24
Tahap ini terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
ikutserta dalam kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk mengadopsi
atau menolak inovasi. Adopsi (adoption) adalah keputusan untuk sepenuhnya
menggunakan inovasi. Penolakan (rejection) adalah keputusan untuk tidak
mengadopsi suatu inovasi. Sebagian besar individu tidak akan mengadopsi suatu
inovasi tanpa mencobanya terlebih dahulu dalam masa percobaan dengan skala kecil
untuk menentukan kegunaannya dalam situasi yang sedang mereka hadapi.
Percobaan dalam skala kecil ini seringkali menjadi bagian penting untuk
memutuskan adopsi dan untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan adopter
terhadap suatu inovasi. Metode untuk memudahkan percobaan inovasi, seperti
distribusi sampel gratis dari suatu inovasi, biasanya akan meningkatkan kecepatan
adopsi. Bagi beberapa individu dan beberapa inovasi, percobaan ide baru oleh
rekannya dapat memberikan pengalaman seolah individu tersebut mengalaminya
sendiri. Selain itu, agen perubahan (penyuluh) dapat pula meningkatkan kecepatan
adopsi melalui demonstrasi ide baru dalam suatu sistem sosial. Strategi demontrasi
ini terbukti dapat menjadi cara yang cukup efektif terutama jika dilakukan oleh
pemuka pendapat dalam suatu sistem sosial (Magill dan Rogers 1981 dalam Rogers
1983).
4. Tahap Implementasi
Implementasi terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
menggunakan suatu inovasi. Pada tahap-tahap sebelumnya, proses pengambilan
keputusan inovasi semata-mata menggunakan proses mental. Khusus tahap
implementasi melibtakan perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai akibat dari
penggunaan ide baru. Tahap implementasi ini biasanya mengikuti tahap keputusan.
Individu akan mempertanyakan, dimana saya dapat memproleh inovasi ini?
Bagaimana saya menggunakannya? Masalah operasional apa yang mungkin saya
temui dan bagaimana saya bisa menyelesaikannya? Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan tersebut dapat diperoleh dari agen perubahan (penyuluh) yang
memberikan bantuan teknis ketika individu mulai menggunakan inovasi.
Berakhirnya tahap ini dapat ditandai dengan ide baru yang mulai melembaga dan
menjadi bagian yang telah diatur oleh adopter dalam cara kerja yang sedang
berlangsung. Inovasi ini akhirnya akan kehilangan sifat berbedanya sebagai sesuatu
yang baru karena telah berubah menjadi sesuatu yang rutin dan melembaga.
Berakhirnya tahap ini dapat pula ditandai dengan pemutusan proses pengambilan
keputusan inovasi .
5. Tahap Konfirmasi
Bukti empiris yang diperoleh dari beberapa peneliti menunjukkan bahwa
keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi seringkali bukanlah tahap
terakhir dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Pada tahap konfirmasi,
individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) mencari penguatan atas
keputusan inovasi yang telah dibuat. Kebalikannya, mungkin juga individu akan
menghentikan keputusan adopsi jika ia menemukan informasi yang berlawanan atau
kontra tentang inovasi tersebut. Melalui tahap konfirmasi ini individu berusaha untuk
menghindari kondisi ketidaksesuaian atau memilih untuk mengurangi
ketidaksesuaian yang ada. Ketidaksesuaian (dissonance) adalah sebuah keadaan
pikiran yang tidak nyaman yang berusaha untuk dikurangi atau dihilangkan. Pesan
atau informasi negatif yang diterima individu pada tahap konfirmasi ini dapat
mengarah pada terjadinya penghentian (discontinuance) inovasi. Penghentian
(discontinuance) inovasi adalah keputusan untuk menolak suatu inovasi setelah
sebelumnya diadopsi. Terdapat setidaknya dua jenis penghentian (discontinuance),
25
yaitu penggantian (replacement) dan kekecewaan (disenchantment). Penghentian
dengan penggantian (replacement discontinuance) adalah keputusan untuk menolak
suatu ide untuk mengadopsi ide lain yang lebih baik dan dapat menggantikan ide
sebelumnya. Penghentian dengan kekecewaan (disenchantment discontinuance)
adalah keputusan untuk menolak suatu ide karena ketidakpuasan atas hasil kinerja
ide atau inovasi tersebut. Ketidakpuasan tersebut dapat terjadi jika inovasi yang
digunakan tidak sesuai dengan individu dan tidak menghasilkan keuntungan relatif
yang dapat dirasakan oleh individu.
Kondisi Sebelumnya
Berdasar model tahapan proses pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1983),
variabel kondisi sebelumnya meliputi beberapa faktor, yaitu praktik sebelumnya,
kebutuhan atau permasalahan yang dirasakan, keinovatifan, dan norma sistem sosial.
Penelitian Mulyadi et al. (2007) menemukan bahwa faktor kebutuhan belajar
berpengaruh nyata terhadap tahap pengetahuan dalam proses pengambilan keputusan
inovasi petani Arfak di Papua. Komponen pada tahap pengetahuan terdiri dari praktik
sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, serta norma dan sistem sosial
(Prestiwo et al. 2015 dan Situmorang et al. 2015). Amala et al. (2013) dan Marwandana
(2014) menemukan bahwa tingkat partisipasi memiliki hubungan dengan tingkat adopsi.
Marwandana (2014) menambahkan pola perilaku komunikasi juga berhubungan nyata
dengan tingkat pengenalan dalam proses pengambilan keputusan inovasi.
Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi merujuk pada alat atau cara untuk memperoleh pesan dari
individu satu kepada individu lainnya (Rogers 1983). Dalam buku Diffusion of
Innovations, Rogers (1983) menjelaskan dua saluran komunikasi dalam difusi inovasi.
Pertama, media massa adalah semua alat untuk membawa pesan yang meliputi media
massa, seperti radio, televisi, koran, dan sebagainya, yang memungkinkan sumber pesan
dapat menjangkau banyak penerima pesan. Kedua, saluran antarpribadi adalah saluran
komunikasi yang melibatkan pertemuan tatap muka antara dua atau lebih individu.
Dibanding dengan media massa, saluran antarpribadi lebih efektif dalam mempengaruhi
individu untuk mengadopsi ide baru, khususnya jika saluran antarpribadi
menghubungkan dua atau lebih individu sesama rekan dekat.
Proses pengambilan keputusan inovasi zero grazing di Tot, Kenya menunjukkan
bahwa variabel saluran komunikasi ada dalam setiap tahapan proses pengambilan
keputusan. Pada tahap pengetahuan, para peternak menggunakan saluran komunikasi
antarpribadi teman, tetangga, rekan sesama peternak, agen perubahan (petugas produksi
ternak dan LSM; tahap persuasi: rekan sesama peternak, anggota keluarga, dan pemuka
pendapat; tahap pengambilan keputusan: demontrasi lapang, rekan sesama peternak, dan
petugas ahli (petugas peternakan dan petugas lembaga bantuan); tahap penerapan: agen
perubahan dan early adopters; dan tahap konfirmasi: keluarga, teman, rekan sesama
peternak yang telah mengadopsi inovasi, demonstrasi lapang, dan kunjungan atau saran
dari petugas ahli (Cheboi dan Mberia 2014).
Persepsi petani terhadap pengaruh media atau informasi interpersonal
mempengaruhi keputusan petani adopter dan nonadopter dalam mengadopsi inovasi
teknologi usahatani terpadu (Indraningsih 2006). Onasanya et al. (2006) menyebutkan
beberapa saluran komunikasi yang digunakan petani di Ogun, Nigeria untuk
memperoleh informasi tentang inovasi, yaitu poster, diskusi kelompok, pertunjukan/
pameran, dan demonstrasi cara. Saluran komunikasi mempengaruhi tahap keputusan
petani Arfak di pedalaman Papua, yaitu melalui saluran komunikasi vertikal dengan
26
pemerintah, kepala suku, dan pendeta (Mulyadi et al. 2007). Media massa dan forum
diskusi belum efektif dilakukan karena kepemilikan fasilitas media massa masih sedikit.
Petani di Sragen menggunakan saluran komunikasi antarpribadi dengan penyuluh atau
tokoh masyarakat pada tahap konfirmasi untuk menguatkan keputusan yang telah dibuat
(Susanti et al. 2008). Amala et al. (2013) menemukan adanya hubungan antara saluran
komunikasi antarpribadi dengan tingkat adopsi, sedangkan saluran komunikasi melalui
media massa tidak memiliki hubungan dengan tingkat adopsi.
Karakteristik Inovasi
Inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasa sebagai sesuatu yang
baru oleh individu atau unit adopsi lainnya (Rogers 1983). Menurut Rogers, inovasi
memiliki karakteristik berdasarkan penerimaan individu. Karakteristik inovasi tersebut
meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan dicoba, dan
kemungkinan diamati.
1. Keuntungan relatif adalah derajat dimana sebuah inovasi dirasakan lebih baik
dibanding dengan ide yang digantikannya. Derajat keuntungan relatif dapat diukur
dalam istilah ekonomi. Namun demikian, faktor gengsi sosial, kenyamanan hidup,
dan kepuasan seringkali menjadi komponen penting dalam mengukur derajat
keuntungan relatif. Semakin besar keuntungan relatif yang diperoleh dari suatu
inovasi, semakin cepat pula angka adopsi yang akan terjadi.
2. Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi dirasa konsisten dengan nilai yang telah
ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan adopter potensial. Sebuah ide yang
tidak cocok dengan nilai dan norma dari suatu sistem sosial tidak akan diadopsi
seperti inovasi lain yang dirasa lebih cocok. Adopsi inovasi yang kurang cocok
seringkali memerlukan adopsi sistem nilai terlebih dahulu.
3. Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dirasa sulit untuk dimengerti dan
digunakan. Beberapa inovasi dapat dengan mudah dimengerti bagi sebagian besar
anggota suatu sistem sosial, beberapa lainnya cukup rumit dan cenderung akan lebih
lambat untuk diadopsi.
27
4. Kemungkinan dicoba adalah derajat dimana inovasi dimungkinkan dapat diterapkan
dengan ukuran yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba dalam skala kecil
biasanya dapat diadopsi lebih cepat dibanding dengan inovasi yang hanya bisa
dicoba dalam skala besar. Sebuah inovasi yang dapat dicoba menunjukkan
ketidakpastian yang rendah bagi individu yang sedang mempertimbangkannya untuk
diadopsi.
5. Kemungkinan diamati adalah derajat dimana hasil dari suatu inovasi dapat dilihat
oleh orang lain. Semakin mudah hasil dari suatu inovasi tersebut dapat dilihat oleh
individu, maka kemungkinan besar mereka akan mengadopsinya.
Wisdom et al. (2014) menyebutkan bahwa Backer et al. (1986) telah melakukan
studi psikososial terhadap adopsi inovasi di Amerika dan memperoleh beberapa temuan
penting. Terdapat pula tujuh faktor yang berkaitan dengan karakteristik inovasi, yaitu:
kesamaan dengan praktik yang telah ada, biaya, kemungkinan diamati, kemungkinan
dicoba, kesesuaian, keuntungan relatif, serta kemudahan untuk dipahami dan digunakan.
Susanti et al. (2008) menemukan bahwa karakteristik inovasi memiliki
hubungan yang tidak signifikan dengan pengambilan keputusan inovasi budidaya padi
organik di Sragen. Amala et al. (2013) menemukan bahwa kelima karakteristik inovasi
memiliki hubungan dengan tingkat adopsi inovasi dengan besar nilai korelasi yang
berbeda-beda. Begitu pula dengan Roswita (2003) menemukan bahwa semua sifat
inovasi berhubungan nyata positif dengan semua tahapan proses keputusan adopsi
inovasi agen hayati dengan tingkat keeratan hubungan yang berbeda-beda, kecuali
tingkat kerumitan menunjukkan hubungan nyata negatif.
Petani adopter di Cianjur dan Garut dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif
dan kesesuaian inovasi dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani, sedangkan
petani nonadopter dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor kesesuaian dan kerumitan
(Indraningsih 2006). Prestiwo et al. (2015) dan Situmorang et al. (2015) menganalisis
lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan pada tahap persuasi, namun belum
meneliti hubungan antara karakteristik inovasi tersebut dengan pengambilan keputusan.
28
Gambar 1. Model Tahapan Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
29
Pengendalian Hama Tanaman Hortikultura
Gangguan pada tanaman dapat disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik. Faktor
abiotik antara lain keadaan tanah (struktur, kesuburan, kekurangan unsur hara), tata air
(kekurangan , kelebihan, dan pencemaran), keadaan udara (pencemaran), dan faktor
iklim. Gangguan ini bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian. Sementara itu, faktor
biotik (makhluk hidup) yang menyebabkan gangguan pada tanaman disebut dengan
istilah organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu: hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung, dan moluska); penyakit
(jamur, bakteri, virus, dan nematoda); dan gulma atau tumbuhan pengganggu.
Ganggunan yang disebabkan oleh faktor biotik ini dapat dikendalikan dengan pestisida
(Djojosumarto 2008).
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan tiga metode, yaitu
metode kultur teknis (budidaya) dengan cara pemangkasan, pengurangan tanaman
naungan, dan pemetikan; metode mekanik dengan cara pengambilan OPT secara
langsung dan pemetikan bagian tanaman yang terserang; dan metode kimiawi dengan
cara penyemprotan pestisida secara berjadwal (Sinulingga 2001). Pemilihan pestisida
yang tepat harus didasari dengan pengetahuan dalam membedakan penyebab gangguan,
seperti hama, penyakit, gulma, atau pengganggu lainnya (Djojosumarto 2008).
Pestisida dapat diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun,
menghambat pertumbuhan/ perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan,
mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat,
penolak, dan aktivitas ainnya yang mempengaruhi OPT (Kardinan 2003). Djojosumarto
(2008) dalam buku “Pestisida dan Aplikasinya” menjelaskan bahwa secara harfiah,
pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh). Berdasarkan SK
Menteri Pertanian RI Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tata Cara
Pendaftaran Pestisida, definisi pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta
jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut (Djojosumarto
2008).
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian
tanaman, atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman
(tetapi tidak termasuk dalam golongan pupuk)
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak
6. Memberantas hama-hama air
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang bisa menyebabkan penyakit
pada manusia.
Pestisida pertanian adalah semua zat kimia, campuran zat kimia, atau bahan-
bahan lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan
untuk keperluan berikut (Djojosumarto 2008).
1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT). sebagai
contoh insektisida, akarisida, fungisisda, nematisida, moluskisida, dan herbisida.
2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat
pertumbuhan dan mengeringkan tanaman, seperti zat pengatur tumbuh, defoliant
(senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant (senyawa untuk
mengeringkan daun).
Untuk lebih jelasnya, Zulkarnain (2010) menggambarkan berbagai jenis
pestisida pada gambar berikut. Pestisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pestisida
30
anorganik dan organik. Pestisida organik didigolongkan berdasar bahan yang digunakan
yaitu, pestisida organik sintetik dan pestisida organik alami. Pestisida organik alami atau
biasa disebut pestisida alami saja dikelompokkan lagi berdasar asalnya, yaitu pestisida
alami yang berasal dari mikroorganisme dan yang berasal dari tanaman.
Proses pengambilan keputusan inovasi adalah sebuah proses yang dilalui oleh
individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) mulai dari pengetahuan tentang
sebuah inovasi, pembentukan sikap terhadap inovasi, pengambilan keputusan untuk
mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, hingga konfirmasi atas keputusan yang
telah diambil tersebut. Inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasa
sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau unit adopsi lainnya. Proses pengambilan
keputusan inovasi ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu tahap pengetahuan, tahap
persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi. Tahap
pengetahuan yaitu tahap awal suatu inovasi diperkenalkan kepada individu atau
kelompok individu. Selanjutnya tahap persuasi adalah tahap individu mulai membentuk
rasa suka atau tidak suka terhadap inovasi yang diperkenalkan. Setelah itu tahap
keputusan adalah tahap individu memutuskan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
Tahap implementasi adalah tahap diman aindividu menerapkan praktik inovasi.
Terakhir, tahap konfirmasi adalah tahap dimana individu mencari penguatan atas inovasi
yang diadopsi ataupun inovasi yang ditolak.
Berlangsungnya tahapan proses pengambilan keputusan inovasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi sebelumnya,
karakteristik unit pengambilan keputusan, karakteristik inovasi, dan saluran komunikasi.
Kondisi sebelumnya terdiri atas praktik sebelumnya, kebutuhan atau permasalahan yang
dirasakan, keinovatifan, dan norma sistem sosial. Karakteristik unit pengambilan
keputusan meliputi status sosioekonomi, variabel kepribadian, dan perilaku komunikasi.
Karakteristik inovasi terdiri atas keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan,
kemungkinan dicoba, dan kemungkinan diamati. Saluran komunikasi dapat berupa
saluran antarpribadi dan media massa.
Pengendalian hama telah menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan
dalam budidaya tanaman hortikultura. Terdapat banyak cara pengendalian hama dan
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengendalian
hayati muncul sebagai jawaban atas dampak negatif pengendalian hama secara kimia.
Pengendalian hayati memanfaatkan organisme untuk mengurangi populasi hama.
Pengendalian hayati dapat dilakukan melalui penggunaan agensia hayati.
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dari studi
pustaka ini sebagai berikut:
1. Sejauhmana tahapan proses pengambilan keputusan inovasi pengendalian hama
dan penyakit tanaman pada petani hortikultura?
2. Faktor apa saja yang berpengaruh dengan setiap tahapan proses keputusan
adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman pada petani
hortikultura?
Kerangka Berpikir
Proses pengambilan keputusan inovasi terdiri dari lima tahap, yaitu tahap
pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap
konfirmasi. Sehubungan dengan itu, variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat
pengetahuan petani terhadap inovasi pengendalian hama (Y1), tingkat persuasi inovasi
pengendalian hama (Y2), tingkat keputusan inovasi pengendalian hama (Y3), tingkat
32
implementasi inovasi pengendalian hama (Y4), dan tingkat konfirmasi inovasi
pengendalian hama (Y5). Setiap tahapan proses terdapat faktor-faktor yang diduga
berhubungan pengambilan keputusan petani. Masing-masing tahap juga diduga
berhubungan dengan tahap berikutnya.
Tahap pengetahuan terjadi ketika petani mengetahui adanya inovasi
pengendalian hama dan memperoleh pemahaman tentang penerapan dan manfaat
penerapan inovasi tersebut pada usahatani mereka. Pada tahap ini, tingkat pengenalan
inovasi pengendalian hama (Y1) diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi
sebelumnya, karakteristik unit pengambilan keputusan, dan saluran komunikasi.
Merujuk pada hasil studi terdahulu (Roswita 2006, Prestiwo et al. 2015 dan Situmorang
et al. 2015, diduga terdapat tiga variabel bebas pada faktor kondisi sebelumnya yang
berpengaruh terhadap tahap ini, yaitu praktik sebelumnya (X1), tingkat kebutuhan atau
masalah atas inovasi pengendalian hama (X2), dan tingkat keinovatifan petani (X3).
Variabel Y1 diduga dipengaruhi oleh sejumlah variabel pada faktor karakteristik unit
pengambilan keputusan inovasi, yaitu tingkat pendidikan formal (X4), kekosmopolitan
(X5), keanggotaan dalam kelompok tani (X6), dan pola perilaku komunikasi (X7).
Variabel bebas pada faktor saluran komunikasi yang diduga berpengaruh terhadap tahap
ini (Y1) dan juga empat tahap lainnya (Y2 sampai dengan Y5) adalah saluran
antarpribadi (X13), dan frekuensi penyuluhan (X14) (Roswita 2006 dan Marwandana
2014).
Tahap persuasi adalah tahap di mana petani membentuk sikap suka atau tidak
suka terhadap inovasi setelah mengenal inovasi pengendalian hama. Tingkat persuasi
inovasi pengendalian hama (Y2) ini diduga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
inovasi (Y1) dan variabel pada saluran komunikasi sebagaimana dikemukakan
sebelumnya. Selain itu, tingkat persuasi inovasi (Y2) juga diduga dipengaruhi oleh
variabel pada karakteristik inovasi pengendalian hama, yaitu tingkat keuntungan relatif
(X8), tingkat kesesuaian (X9), kerumitan (X10), tingkat kemungkinan dicoba (X11),
dan tingkat kemungkinan diamati (X12) (Roswita 2006 dan Marwandana 2014).
Tahap keputusan inovasi pengendalian hama adalah tahap di mana petani
memutuskan untuk menerima atau menolak inovasi pengendalian hama. Tingkat
keputusan inovasi (Y3) ini diduga dipengaruhi oleh tingkat persuasi (Y2) dan variabel
pada saluran komunikasi (X13 dan X14). Selanjutnya adalah tahap implementasi yaitu
tahap penerapan hasil keputusan petani terhadap inovasi pengendalian hama. Tingkat
implementasi (Y4) dipengaruhi oleh tingkat keputusan (Y3) dan variabel pada saluran
komunikasi (X13 dan X14). Tahap konfirmasi petani terhadap inovasi pengendalian
hama adalah tahap terakhir dari proses pengambilan keputusan inovasi yang ditandai
dengan usaha petani untuk mencari informasi lebih lanjut guna menguatkan keputusan
yang telah dibuat. Tingkat konfirmasi (Y5) diduga dipengaruhi oleh tingkat
implementasi (Y4) dan variabel pada saluran komunikasi (X13 dan X14). Selain itu,
tingkat implementasi diduga pula dipengaruhi oleh tingkat produksi petani (X15) dan
tingkat pendapatan yang diterima petani (X16) (Marwandana 2014).
33
Gambar 3. Kerangka pemikiran studi pengambilan keputusan inovasi
34
DAFTAR PUSTAKA
Sinta Herian Pawestri merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Heriyanto dan Anik Tri Handayani. Penulis dilahirkan di Magetan, 6 Oktober 1994.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah TK Dharma Wanita Carikan pada
tahun 1999-2000, SD Negeri Carikan Magetan 2000-2006, SMP Negeri 1 Kawedanan
Magetan 2006-2009, dan SMA Negeri 1 Magetan 2009-2012. Pada tahun 2012 penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM) melalui jalur SNMPTN Undangan.
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan baik di
dalam maupun luar kampus. Semasa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis tercatat
sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB dan relawan kegiatan sosial
SAMISAENA yang diadakan oleh BEM FEMA. Penulis adalah penerima Beasiswa
Unggulan CIMB Niaga. Kecintaannya terhadap kota kelahirannya, Magetan, membuat
penulis bergabung untuk menjadi pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah IMPATA
(Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Alumni Magetan) sebagai sekretaris periode 2013-2014
dan koordinator bidang eksternal periode 2014-2015. Ketertarikan penulis terhadap
tantangan dan hal-hal baru mengantarkannya menjadi exchange participant AIESEC
Ateneo de Manila University, Philippines dalam REAP Project tahun 2014. Setelah itu
penulis tertarik untuk bergabung dengan AIESEC IPB Phoenix periode 2014-2015.
Penulis juga sempat bergabung dengan Lembaga Dakwah Fakultas Ekologi Manusia
FORSIA El Fatih 1436 H sebagai anggota Divisi Syiar. Selain kegiatan di dalam
kampus, penulis juga tercatat sebagai pengajar di Bimbingan Belajar Salemba Group
cabang Karadenan dan Merdeka tahun 2015. Tekad penulis untuk memberikan
sumbangsih terhadap kota kelahirannya, Magetan, didukung dengan minor Agronomi
dan Hortikultura yang telah diambil, membawanya untuk melakukan penelitian skripsi
di Magetan dengan judul Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian Hama
pada Petani Hortikultura.