Anda di halaman 1dari 45

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

STUDI PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PENGENDALIAN


HAMA PADA PETANI HORTIKULTURA

SINTA HERIAN PAWESTRI


I34120075

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul “Studi
Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian Hama pada Petani Hortikultura”,
benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari pustaka yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertnggungjawabkan pernyataan ini.

Bogor, Januari 2016

Sinta Herian Pawestri


NIM. I34120075
iii

ABSTRAK

SINTA HERIAN PAWESTRI. Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian


Hama pada Petani Hortikultura. Di bawah bimbingan DWI SADONO dan ASRI
SULISTIAWATI.

Proses pengambilan keputusan inovasi meliputi serangkaian tindakan dan pilihan


selama waktu tertentu di mana individu atau organisasi mengevaluasi inovasi dan
memutuskan apakah akan menerapkan atau menolak inovasi tersebut. Inovasi
didefinisikan sebagai sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasakan sebagai sesuatu
yang baru oleh individu atau unit adopsi lainnya. Proses pengambilan keputusan
tersebut meliputi lima tahapan, yaitu tahap pengetahuan, tahap persuasi, tahap
keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi. Terdapat beberapa faktor yang
diduga berkaitan dengan tahapan proses pengambilan keputusan inovasi. Faktor tersebut
yaitu: kondisi sebelumnya, karakteristik unit pengambilan keputusan, karakteristik
inovasi, dan saluran komunikasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis
hubungan variabel bebas dengan variabel terikat pada setiap tahapan proses
pengambilan keputusan inovasi pengendalian hama pada petani hortikultura.

Kata kunci: adopsi, hortikultura, inovasi, pengambilan keputusan, pengendalian hama

ABSTRACT

SINTA HERIAN PAWESTRI. Study of Innovation Decision-Making Process of Pest


Controlling in Horticultural Farmer. Supervised by DWI SADONO and ASRI
SULISTIAWATI.

Innovation decision-making process consists of a series of actions and choices over


time through which an individual or an organization evaluates a new idea and decides
whether or not to incorporate the new idea into ongoing practice. Innovation is defined
as an idea, practice, or object perceived as new by individual or other unit of adoption.
Decision-making process consists of five stages: knowledge stage, persuasion stage,
decision stage, implementation stage, and confirmation stage. There are several factors
related to the stages of innovation decision-making process. Those factors are: prior
condition, characteristics of decision-making unit, characteristics of innovation, and
communication channel. This study aims to analyze the relation between independent
factors with the dependent factors at the stages of decision-making process of pest
controlling innovation among the horticultural farmers.

Keywords: adoption, decision-making, horticulture, innovation, pest controlling


iv

STUDI PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PENGENDALIAN HAMA


PADA PETANI HORTIKULTURA

Oleh:

SINTA HERIAN PAWESTRI

I34120075

Laporan Studi Pustaka


sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


v

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:

Nama Mahasiswa : Sinta Herian Pawestri


Nomor pokok : I34120075
Judul : Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian
Hama pada Petani Hortikultura
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Disetujui oleh
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi Asri Sulistiawati S.KPm, MSi


NIP. 19641102 199203 1 003 NIP. 19890622 201504 2 001

Diketahui oleh
Ketua Departemen,

Dr Ir Siti Amanah, MSc


NIP. 19670903 199212 2 001

Tanggal Pengesahan: ______________


vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka
berjudul “Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian Hama pada Petani
Hortikultura” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi
syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi dan Asri
Sulistiawati, S.KPm, MSi sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan
masukan selama proses penulisan hingga hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini.
Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Anik Tri Handayani dan
Heriyanto, orang tua tercinta, serta Gilang Pamungkas Heriyanto Putra, adik tersayang,
yang selalu berdoa dan melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Kontrakan Magetan yang
telah bersedia menerima keluhan serta memberikan saran dan dukungan kepada penulis,
Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa, Pelajar, dan Alumni Magetan (IMPATA) yang
memberikan tempat kepada penulis untuk bercerita dan segala bantuan, serta Keluarga
Besar Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
angkatan 49, terutama Eka Puspita Sari, Ulvia Muspita Angraini, Hening Gahayuning,
Fitri Dwi Prastyanti yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam proses
penulisan laporan ini.
Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2016

Sinta Herian Pawestri


NIM. I34120075
vii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………………………….... 1
Rumusan Masalah…………………………………………………………………... 2
Tujuan………………………………………………………………………………. 2
Metode Penulisan…………………………………………………………………… 2

RINGKASAN PUSTAKA
1. Efficacy of Interpersonal Communication Channels in the Diffusion and
Adoption of Zero Grazing Technolog………………………………………… 3
2. Communication Factors Affecting The Adoption of Innovation at The
Grassroots Level in Ogun State, Nigeria…………...………………………… 5
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam
Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo,
Kabupaten Sragen…………………………………………………………...... 7
4. Proses Adopsi Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak di Kabupaten
Manokwari, Papua Barat……………………………………………………… 9
5. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi
Teknologi Usahatani Terpadu………………………………………………… 11
6. Adopsi Inovasi Petani Kelapa Sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi – Kelapa
Sawit (SISKA) di Kabupaten Kampar………………………………………... 13
7. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap
Sistem Pertanian Padi Organik………………………………………………... 15
8. Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium
guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari…………………… 17
9. Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi Pengendalian Hama dan Penyakit
Tanaman dengan Agen Hayati (Kasus petani sayuran di Kecamatan
Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera)…………………... 19
10. Adopsi Inovasi Petani Kelapa Sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi – Kelapa
Sawit (SISKA) di Kabupaten Pelalawan……………………………………… 21

ANALISIS DAN SINTESIS


Proses Pengambilan Keputusan Inovasi……………………………………………. 23
Faktor yang Berkaitan dengan Pengambilan Keputusan Inovasi…………………... 25
Pengendalian Hama Tanaman Hortikultura………………………………………… 29

SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan………………………………………………… 31
Pertanyaan Penelitian Skripsi………………………………………………………. 31
Kerangka Berpikir…………………………………………………………………... 31

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 34
RIWAYAT HIDUP………………………………………………………………… 35
viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model tahapan proses pengambilan keputusan inovasi………………. 28


Gambar 2. Penggolongan berbagai pestisida berdasar penyusunnya……….…… 30
Gambar 3. Kerangka pemikiran studi pengambilan keputusan inovasi ………... 33
1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hortikultura adalah salah satu kelompok komoditas pertanian yang memiliki


keragaman cukup tinggi. Terdapat 323 jenis produk hortikultura yang terdiri dari 60
jenis buah, 80 jenis sayuran, 66 jenis tanaman obat, dan 117 jenis tanaman hias
(Kementan 2013). Dari sekian banyak jenis yang ada, hanya sekitar 90 jenis produk
hortikultura di Indonesia yang telah dikembangkan secara komersial, meliputi 25 jenis
sayuran, 26 jenis buah, 24 jenis tanaman hias, dan 15 jenis tanaman obat. Kementan
(2013) telah menetapkan 40 komoditas unggulan nasional dan 11 diantaranya adalah
komoditas hortikultura, yaitu cabai, bawang merah, kentang, jeruk, manga, manggis,
salak, pisang, durian, rimpang, dan tanaman hias.
Saat ini, upaya pengembangan hortikultura tidak hanya terfokus pada
peningkatan produksi komoditas,baik kuantitas maupun kualitas, tetapi juga terkait
dengan isu-isu strategis dalam pembangunan hortikultura yang lebih luas dan
menyeluruh (Kementan 2013). Salah satu isu strategis pembangunan hortikultura dalam
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Hortikultura 2015-2016 (Kementan 2014) adalah
pembangunan hortikultura yang ramah lingkungan. Perubahan gaya hidup masyarakat
saat ini turut berpengaruh terhadap kecenderungan mereka dalam konsumsi produk
hortikultura yang terjamin kualitas dan keamanannya. Isu ini menjadi perhatian dalam
pengembangan hortikultura karena tidak terkendalinya penggunaan bahan-bahan kimia,
seperti pestisida, pupuk, dan bahan pengawet lain dalam proses produksi dan
pascapanen hortikultura. Pengembangan hortikultura, menurut Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Hortikultura 2015-2019, harus berorientasi pada pengembangan
yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan biopestisida, agensi hayati, pupuk organik,
dan konservasi lahan.
Pengembangan sistem perlindungan tanaman hortikultura menjadi salah satu
strategi penting yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Hortikultura. Pengembangan
sistem perlindungan tanaman hortikultura memiliki peran penting dalam menjamin
produksi, mutu, dan keamanan pangan. Fungsi perlindungan hortikultura menjadi
sangat penting dalam melakukan pengamanan produksi dari serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT) dan memperkuat pengawalan mutu produk baik di tingkat
konsumen domestik dan luar negeri, utamanya dalam rangka peningkatan produksi yang
berorientasi kepada daya saing dan pengelolaan OPT secara ramah lingkungan
(Kementan 2013). Lebih lanjut, Kementan (2013) menjelaskan bahwa bentuk
pengendalian OPT tersebut merupakan gerakan yang dilakukan bersama-sama oleh
petani (beserta kelembagaan kelompoknya, yaitu klinik (PHT/ PPAT) dan pemerintah
(Dinas Pertanian tingkat Provinsi/ Kabupaten/ Kota, UPTD BPTPH, LPHP, LPAH)
serta instansi terkait lainnya sebagai pendamping. Penanganan OPT dilakukan secara
ramah lingkungan dengan menggunakan sarana produksi hortikultura yang ramah
lingkungan (pupuk, zat pengatur tumbuh/ ZPT, dan bahan pengendali OPT/ agens
hayati) untuk menghasilkan produk hortikultura yang memenuhi persyaratan keamanan
pangan sesuai dengan amanat Undang-Undang Hortikultura Nomor 13 Tahun 2010.
Penggunaan biopestisida atau pestisida organik telah memberikan manfaat yang
dapat dirasakan petani hortikultura. Menurut artikel dalam Cyber Extension
Kementerian Pertanian (2012), penggunaan biopestisida ini tidak lagi membuat petani
bergantung pada produk sejenis hasil pabrikan. Selain itu, kondisi pertumbuhan
tanaman juga lebih baik dengan penggunaan biopestisida dan pupuk organik serta lebih
efisien secara ekonomi dalam usaha tani. Kelompok tani di Jawa Tengah telah
menerapkan dan bahkan mengembangkan sendiri produk pupuk, kompos, bokhasi, serta
biopestisida. Menurut data POPT –PHP Jawa Tengah (Kementan 2012), terdapat 161
2
kelompok tani yang telah memproduksi pupuk organik maupun biopestisida. Tak hanya
di Jawa Tengah, kelompok petani di Jawa Timur, tepatnya di Lamongan, juga telah
menerapkan pengendalian hama dengan menggunakan agen hayati (Surabaya Pagi
2013). Inovasi penggunaan agen hayati tersebut telah diterapkan di lahan seluas 60
hektar dan disesuaikan dengan kondisi tanah dan hama yang ada di wilayah tersebut.
Upaya pemerintah dalam pengembangan sistem perlindungan tanaman
hortikultura dengan penggunaan biopestisida, agen hayati, pupuk organik, dan
konservasi lahan memerlukan tahap-tahap untuk sampai pada keputusan petani
menggunakannya. Setiap tahap pengambilan keputusan tersebut dapat melibatkan
faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi keputusan yang diambil petani. Oleh karena
itu menjadi penting untuk dilakukan penelitian tentang pengambilan keputusan inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman oleh petani hortikultura.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat


dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimana tahapan proses pengambilan
keputusan inovasi? (2) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tahapan proses
pengambilan keputusan? (3) Bagaimana konsep inovasi pengendalian hama dan
penyakit tanaman hortikultura?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan dari
penulisan Studi Pustaka ini adalah untuk (1) merumuskan tahapan proses pengambilan
keputusan inovasi, (2) merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi tahapan proses
pengambilan keputusan, dan (3) merumuskan konsep inovasi pengendalian hama
tanaman hortikultura.

Metode Penelitian

Studi Pustaka ini ditulis dengan menggunakan teknik studi literatur. Studi
literatur ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan konsep
adopsi inovasi, tahapan proses pengembilan keputusan inovasi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, serta konsep inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman
hortikultura. Data yang digunakan dalam penulisan Studi Pustaka ini diperoleh dari
berbagai sumber rujukan ilmiah, seperti jurnal, monograph, buku, tesis, disertasi, dan
skripsi yang sesuai dengan topik yang diangkat. Bahan pustaka yang terkumpul
kemudian dipelajarai, disusun, dan dianalisis sehingga menjadi suatu tulisan ilmiah
yang berisi tinjauan teoritis dan tinjauan factual beserta analisis dan sintesisnya. Studi
pustaka ini mencakup tahapan proses pengambilan keputusan inovasi pengendalian
hama dan penyakit tanaman pada petani hortikultura. Studi pustaka ini menghasilkan
kerangka pemikiran serta pertanyaan penelitian yang akan digunakan sebagai acuan
dalam penelitian selanjutnya.
3
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA

1. Judul : Efficacy of Interpersonal Communication Channels in


the Diffusion and Adoption of Zero Grazing
Technology
Tahun : 2014
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Sammy Cheboi dan Hellen Mberia
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Nairobi, Jomo Kenyatta Unversity of Agriculture
Penerbit
Nama Jurnal : International Journal of Academic Research in
Business and Social Sciences
Volume (edisi) hal : Vol. 04(9):352-368, September 2014
Alamat URL/doi : http://hrmars.com/hrmars_papers/Efficacy_of_Interpe
rsonal_Communication_Channels_in_the_Diffusion_
and_Adoption_of_Zero_Grazing_Technology2.pdf
Tanggal Diunduh : 08 Oktober 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan saluran komunikasi antarpribadi yang


digunakan dalam promosi inovasi zero grazing di Tot, menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pilihan saluran antarpribadi yang diterapkan dalam adopsi zero grazing
di Tot, dan mendeskripsikan kontribusi saluran antarpribadi dalam proses pengambilan
keputusan inovasi zero grazing. Kerangka kerja yang diterapkan dalam penelitian ini
meliputi penggunaan Model Difusi Inovasi, Teori Keinovativan Individu, Teori Atribut
yang Diterima, Teori Komunikasi Dua Tahap, Teori Pembelajaran Sosial, dan Teori
Kekayaan Media. Permasalah dalam penelitian ini adalah penelitian-penelitian
terdahulu tentang difusi inovasi memiliki perhatian terbatas pada pentingnya saluran
kounikasi antarpribadi dalam difusi dan adopsi zero grazing sebagai teknologi
pertanian. Oleh karena penelitian ini menjawab kesenjangan yang memerlukan
penelitian spesifik tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan diskusi kelompok terarah (focus group
discussions/ FGDs) dan wawancara dengan informan kunci. Penelitian ini melibatkan:
40 responden terdiri dari 27 laki-laki dan 13 perempuan serta 8 orang untuk masing-
masing 5 FGD; 17 informan terdiri dari 10 pemuka pendapat, 1 petugas peternakan, dan
6 perwakilan LSM. Secara keseluruhan, penelitian ini melibatkan 39 laki-laki dan 18
perempuan. Karakteristik responden sebanyak 37,5% berumur 36-45 tahun.
Hasil dari 5 FGD yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa saluran
antarpribadi kunci terdiri dari: pemuka pendapat, gereja, anggota keluarga, kelompok,
demonstrasi lapang, kunjungan lapang peternak ke sekolah-sekolah, peternak yang telah
mengadopsi lebih dahulu dan peternakan swasta, pertemuan kelompok pemuda dan
perempuan, public barasas, pegawai administrasi dan petugas ahli di tingkat provinsi
seperti pegawai produksi ternak dan lembaga pengembangan (World Vision, Child
Fund, dan Catholic Justice and Peace Commission atau CJPC). Tidak semua saluran
antarpribadi ini memiliki dampak yang sama terhadap proses adopsi dan difusi zero
grazing. Anggota keluarga, teman, gereja, dan petani yang telah mengadopsi lebih
4
dahulu (early adopters), serta pertemuan kelompok pemuda dan perempuan adalah
saluran yang sering digunakan dan memiliki pengaruh yang besar terhadap pengambilan
keputusan adopsi peternak. Saluran yang paling jarang digunakan oleh peternak adalah
pegawai pemerintah, seperti petugas produksi ternak dan pegawai administrasi,
sehingga pengaruh yang dihasilkan pun kecil. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintahan dan pendekatan formal yang
digunakan dalam mempromosikan inovasi zero grazing.
Sifat inovasi yang meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan,
kemungkinan dicoba, dan dapat diamati memiliki dampak terhadap pilihan saluran
antarpribadi peternak. Kategori inovator terdiri atas peternakan yang dijalankan oleh
lembaga bantuan dan sekolah-sekolah. Institusi ini menjadi titik utama terjadinya
kontak antara peternak dengan inovasi. Pemuka pendapat yang meliputi guru, pegawai
daerah, dan tokoh peternak tergolong dalam kategori early adopter. Pemuka pendapat
inilah yang menjadi dasar bagi peternak lainnya untuk mengambil keputusan adopsi dan
mengamati penerapan inovasi yang dipraktikkan. Selain itu, peternak juga
mengandalkan pendapat dari rekan yang dipercaya, tetangga, pemuka pendapat, dan
keluarga dalam menanggapi pesan-pesan persuasif terkait dengan pengambilan
keputusan adopsi.
Pengambilan keputusan adopsi inovasi dilihat dari lima tahapan, yaitu
pengetahuan, persuasi, pengambilan keputusan, penerapan, dan konfirmasi. Peternak
dalam tahap pengetahuan menggunakan saluran komunikasi antarpribadi: teman,
tetangga, rekan sesama peternak, agen perubahan (petugas produksi ternak dan LSM;
tahap persuasi: rekan sesama peternak, anggota keluarga, dan pemuka pendapat; tahap
pengambilan keputusan: demontrasi lapang, rekan sesama peternak, dan petugas ahli
(petugas peternakan dan petugas lembaga bantuan); tahap penerapan: agen perubahan
dan early adopters; dan tahap konfirmasi: keluarga, teman, rekan sesama peternak yang
telah mengadopsi inovasi, demonstrasi lapang, dan kunjungan atau saran dari petugas
ahli. Penelitian ini membuktikan bahwa saluran komunikasi antarpribadi merupaka
bagian integral dari keberhasilan proses keputusan inovasi zero grazing.

Analisis

Penelitian ini merupakan sebuah studi kualitatif menggunakan kerangka


penelitian deskriptif. Data dikumpulkan melalui FGD terhadap responden dan
wawancara mendalam dengan informan kunci. Ditemukan beberapa kekurangan dalam
tulisan ini, antara lain tidak adanya skema kerangka pemikiran yang dapat memberikan
gambaran mengenai alur penelitian. Hasil pembahasan belum sepenuhnya menjawab
judul, yaitu efficacy of interpersonal communication channels. Meskipun demikian,
judul telah menggambarkan adanya dua variabel yang ingin diteliti, yaitu saluran
komunikasi antarpribadi serta difusi dan adopsi inovasi zero grazing. Pengumpulan data
melalui FGD sebaiknya dilengkapi dengan data survei menggunakan kuesioner kepada
responden sehingga akan memperkaya data kualitatif yang telah diperoleh melalui FGD.
Selain itu, pembahasan belum mengulas saluran komunikasi antarpribadi terhadap
masing-masing proses difusi dan adopsi, karena seperti yang kita tahu bahwa difusi dan
adopsi merupakan dua konsep yang berbeda.
5

2. Judul : Communication Factors Affecting The Adoption of


Innovation at The Grassroots Level in Ogun
State, Nigeria
Tahun : 2006
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : AS Onasanya, SF Adedoyin, dan OA Onasanya.
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Plovdiv, Agricultural University Plovdiv
Penerbit
Nama Jurnal : Journal of Central European Agriculture
Volume (edisi) hal : Vol. 07(4):601-608, Desember 2006
Alamat URL/doi : http://hrcak.srce.hr/file/26899
Tanggal Diunduh : 08 November 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor komunikasi yang


mempengaruhi adopsi inovasi di level akar rumput di Negara Bagian Ogun dengan
melihat karakteristik pribadi petani dan agen penyuluh, mengidentifikasi faktor dan
permasalahan yang muncul dalam diseminasi dan adopsi inovasi, serta memberikan
rekomendasi berdasarkan temuan dalam penelitian.
Mayoritas petani responden adalah laki-laki (58,0%), berumur antara 31 hingga
50 tahun (50,0%), telah menikah (94,0%), dan tidak memiliki riwayat pendidikan
formal (36%) dengan jumlah tanggungan keluarga 3-4 orang (34,0%). Sementara itu,
mayoritas agen penyuluh adalah laki-laki (56,0%), berumur antara 41 hingga 50 tahun
(48,0%), telah menikah (88,0%), lulusan perguruan tinggi (B.Sc atau M.Sc) sebanyak
56,0%, dan dengan jumlah tanggungan keluarga 1-2 orang (64,0%).
Berdasar hasil penelitian, radio, televisi, audiotape, pertemuan/ diskusi
kelompok, pameran/ pertunjukan, SPAT (Small Plot Adaptive Technique), OFAR (On
Farm Adaptive Research), demonstrasi hasil, dan demonstrasi cara telah dipergunakan
untuk penyampaian inovasi kepada mayoritas petani (60,0%) dan hanya 42,0% petani
yang memperoleh informasi tentang inovasi dari poster. Selain itu, mayoritas agen
penyuluh memberikan pernyataan yang sama tentang penggunaan metode tersebut
kecuali audiotape yang hanya digunakan oleh 36,0% dari keseluruhan agen.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa diantara 15 inovasi yang agen
penyuluh diseminasikan kepada petani, hanya beberapa yang diketahui/ disadari petani
(100%), yaitu inovasi tepung singkong umbi singkong, perlakuan benih sebelum
penanaman, penggunaan pupuk, dan rotasi tanaman. Namun diantara 4 inovasi yang
diketahui/ disadari secara sepenuhnya (awareness) oleh petani, hanya 2 yang diadopsi
oleh 100% petani (adoption) yaitu inovasi tepung singkong dari umbi singkong dan
rotasi tanaman, sedangkan perlakuan benih sebelum tanam hanya diadopsi oleh 95,0%
petani dan penggunaan pupuk diadopsi oleh 60,0% petani. Inovasi lainnya hanya sedikit
sekali disadari oleh petani (15,0%), seperti teknik konstruksi kolam ikan, formulasi
pakan dan pakan ikan, serta pembiakan ikan. Inovasi penggunaan herbisida/ insektisida
diketahui (awareness) dan diadopsi (adoption) oleh 85,0% petani. Kesadaran petani
terhadap inovasi progam vaksinasi dan pembiakan ikan masih sangat rendah, yaitu
sebanyak 12,5% dan 15,0% dan belum ada yang mengadopsinya sama sekali.
Sebesar 57,6% petani tidak mengadopsi inovasi, sedangkan 37,1% sepenuhnya
mengadopsi inovasi yang diperkenalkan penyuluh. Sisanya, yaitu 3,7% dan 1,6% petani
6
hanya mengadopsi sebagian dan tidak melanjutkannya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kesadaran petani tidak diperlukan untuk mendorong tindakan adopsi, karena
petani yang telah memiliki kesadaran terhadap inovasi tetap tidak mengadopsi inovasi
tersebut.
Faktor-faktor komunikasi yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi menurut
agen penyuluh adalah: gangguan listrik selama waktu siaran suatu program dapat
mengganggu aliran pesan dan keuntungan dari program yang disiarkan,
ketidakmampuan petani untuk merespon program yang disiarkan, kegaduhan seperti
suara anjing menggonggong yang mengganggu petani untuk mendengarkan program,
kelebihan muatan informasi seperti pengulangan program, peringatan bahaya kelaparan
mempengaruhi adopsi inovasi, isi pesan yang tidak benar, tidak adanya akses yang
dimiliki oleh agen penyuluh setelah pengenalan inovasi, pengetahuan utama yang
dimiliki agen penyuluh tentang peserta mempengaruhi adopsi inovasi, dan kesulitan
dalam memahami informasi yang diterima petani. Dari sekian permasalahan yang
diungkapkan agen penyuluh, 64,0% responden sangat setuju dengan adanya
permasalahan gangguan listrik selama waktu siaran suatu program, 80,0%
ketidakmampuan petani untuk merespon program yang disiarkan, dan 40,0% sangat
setuju dengan adanya kegaduhan seperti suara anjing menggonggong yang mengganggu
petani untuk mendengarkan program.
Permasalahan yang dihadapi petani dalam adopsi inovasi adalah transportasi,
kendala bahasa, keuangan, ketidakmampuan untuk memperoleh input (bahan untuk
inovasi), keadaan inovasi yang tidak dapat dibagi, dan ketidakmampuan untuk
memahami inovasi. Terdapat solusi permasalahan yang dikemukakan yaitu memberikan
umpan balik, menyediakan input (bahan inovasi) yang dapat diakses, menghindari
kelebihan informasi, memberi informasi yang bermakna, serta menggunakan bahasa
yang jelas dan sederhana.
Hasil analisis statistik dengan menggunakan chi-square menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang nyata antara faktor-faktor komunikasi dan umur petani, status
perkawinan, permasalahan transportasi, dan permasalahan keuangan. Selain itu,
penggunaan poster, diskusi kelompok, pertunjukan/ pameran, dan demonstrasi cara
memiliki hubungan nyata dengan faktor-faktor komunikasi.

Analisis

Penggunaan istilah “faktor komunikasi” sebagai salah satu variabel dirasa


kurang sesuai untuk menggambarkan indikator berupa gangguan listrik selama waktu
siaran, ketidakmampuan petani untuk merespon, kegaduhan suara, kelebihan muatan
informasi, dan sebagainya. Istilah “hambatan komunikasi” lebih sesuai untuk mewakili
indikator yang telah disebutkan. Variabel yang diteliti hanya tersirat sehingga pembaca
perlu memahami keseluruhan tulisan baru dapat menangkap variabel apa saja yang
diteliti dalam penelitian ini. Variabel tersebut antara lain karakteristik pribadi petani,
karakteristik pribadi penyuluh, saluran komunikasi, dan faktor-faktor komunikasi dalam
adopsi inovasi. Penulis tidak menyebutkan dasar teori, pustaka, penelitian terdahulu,
atau justifikasi ilmiah lain untuk dipakainya beberapa faktor komunikasi tersebut.
Penulis meneliti 15 inovasi sekaligus yang mengakibatkan analisis adopsi tiap inovasi
kurang mendalam. Jika 15 inovasi ini adalah sebuah paket yang tidak bisa dibagi atau
dipisah, hal inilah yang dapat menjadi salah satu faktor penghambat adopsi inovasi
karena terlalu banyaknya inovasi yang harus dikenali dan diparktikkan oleh petani.
7

3. Judul : Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan


Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian
Padi Organik di Desa Sukorejo, Kecamatan
Sambirejo, Kabupaten Sragen
Tahun : 2008
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Lisana Widi Susanti, Sugihardjo, dan Suwarto
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Solo, Universitas Sebelas Maret
Penerbit
Nama Jurnal : Jurnal Agritexts
Volume (edisi) hal : No. 24: 1-14, Desember 2008
Alamat URL/doi : http://fp.uns.ac.id/jurnal/download.php?file=Agritex-
4.pdf
Tanggal Diunduh : 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji pengambilan keputusan petani


dalam penerapan pertanian padi organik, (2) mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik,
dan (3) mengkaji seberapa jauh terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi
organik. Variabel bebas yang diteliti adalah faktor intern dan ekstern petani sedangkan
variabel terikat yang diteliti adalah tahap proses pengambilan keputusan, meliputi
pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Lokasi penelitian dipilih secara
sengaja yaitu di Kecamatan Sambirejo. Kecamatan ini merupakan wilayah yang
mempunyai luas tanam budidaya padi organik tertinggi di Kabupaten Sragen pada
musim tanam ke-2 tahun 2007.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas petani yang menerapkan
budidaya padi organik berumur antara 46 hingga 55 tahun dan pendidikan formal yang
ditempuh hanya sampai Sekolah Dasar. Mayoritas responden tidak memiliki riwayat
pendidikan nonformal. Luas lahan usahatani yang dimiliki responden relatif sempit
karena merupakan hasil warisan. Tingkat pendapatan petani tergolong cukup untuk
memenuhi kebutuhan bahkan sebagian masih bisa menabung. Lingkungan sosial
masyarakat Desa Sukorejo tidak mendukung petani untuk menerapkan budidaya padi
organik, sedangkan lingkungan ekonomi dan sifat inovasi dirasa petani mendukung
untuk menerapkan budidaya padi organik.
Distribusi responden menurut tahap pengenalan sangat tinggi (38,33%) yang
menunjukkan bahwa bahwa responden telah mengetahui kelima tahap dalam budidaya
padi organik. Budidaya padi organik sedikit berbeda dengan budidaya padi non organik,
yaitu pada penyiapan lahan dan pemeliharaan. Pemupukan padi organik dengan
menggunakan pupuk organik biasanya dilakukan sebelum tanah digunakan untuk
bercocok tanam. Petani memanfaatkan pupuk kandang sebagai pupuk dasar.
Pemeliharaan padi organik idealnya menggunakan pestisida organik atau memanfaatkan
musuh alami dalam pemberantasan hama dan penyakit. Petani Desa Sukorejo belum
sepenuhnya menggunakan pestisida organik dalam memberantas hama.
Pada tahap persuasif, mayoritas responden (85%) membentuk sikap ketertarikan
terhadap inovasi budidaya padi organik. Setelah mengenal budidaya padi organik maka
8
petani akan membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap budidaya padi
organik. Pada tahap keputusan, responden yang menerapkan budidaya padi organik
dengan kesadaran sendiri sebesar 83,33% sedangkan responden lain menerapkan karena
pengaruh orang lain. Petani yang awalnya tidak tertarik pun akhirnya memutuskan
untuk menerapkan budidaya padi organik karena pengaruh orang lain tersebut. Setelah
petani mengambil keputusan untuk menerapkan budidaya padi organik, petani mencari
penguat bagi keputusan inovasi yang telah dibuatnya, baik melalui pengalaman atau pun
informasi dari sumber informasi yang ada. Sebagian besar petani terus menerapkan
budidaya padi organik. Pada tahap konfirmasi, sebagian besar responden yang telah
mengambil keputusan untuk mengadopsi masih menerapkannya. Usaha responden
dalam mencari informasi untuk menguatkan keputusan tersebut mayoritas masih
rendah. Sebagian responden hanya mencari informasi dari satu sumber informasi saja,
yaitu penyuluh atau tokoh masyarakat. Tindak lanjut petani responden di Desa Sukorejo
dalam menerapkan budidaya padi organik sebagian besar petani terus menerapkan
budidaya padi organik dengan luas tanam tetap.
Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang tidak signifikan antara umur
dengan pengambilan keputusan. Pendidikan responden menunjukkan adanya hubungan
yang sangat signifikan dengan pengambilan keputusan. Luas lahan usahatani memiliki
hubungan dengan pengambilan keputusan namun tidak signifikan. Tingkat pendapatan
responden memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan pengambilan keputusan.
Lingkungan sosial responden memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan
pengambilan keputusan. Sementara itu, lingkungan ekonomi responden memiliki
hubungan yang signifikan dengan pengambilan keputusan. Sifat inovasi budidaya padi
organik memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan pengambilan keputusan.

Analisis

Tahap proses pengambilan keputusan inovasi hanya disebutkan empat saja.


Padahal menurut Rogers (1983), tahapan pengambilan keputusan inovasi terdiri dari
lima tahap, yaitu knowledge (pengenalan), persuasion (pengaruh), decision (keputusan),
implementation (penerapan), dan confirmation (konfirmasi). Jika proses pengambilan
keputusan inovasi memang tidak sampai pada tahap terakhir, sebaiknya dijelaskan
alasan dan kondisi yang sebenarnya ada. Selain itu, faktor yang diteliti pun hanya faktor
intern dan ekstern petani. Seperti yang kita tahu, bahwa terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Seperti dalam teori Rogers (1983),
faktor yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan inovasi antara lain
saluran komunikasi, kondisi sebelumnya, dan persepsi petani terhadap inovasi.
Kemudian, analisis data pada tabel distribusi terdiri dari: kategori, frekuensi, dan
persentase. Kategori tersebut terdiri atas: sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan
sangat tinggi. Pada tabel hasil analisis, tidak semua kategori tersebut terisi oleh
responden, bahkan dalam tabel tahap keputusan terdapat tiga kategori yang dengan
frekuensi nol. Hal ini sebaiknya menjadi pertimbangan baik dalam menentukan jumlah
sampel ataupun jumlah kategori yang digunakan.
9

4. Judul : Proses Adopsi Inovasi Pertanian Suku Pedalaman


Arfak di Kabupaten Manokwari, Papua Barat
Tahun : 2007
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Mulyadi, Basita Ginting Sugihen, Pang S. Asngari,
dan Djoko Susanto
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Bogor, Institut Pertanian Bogor
Penerbit
Nama Jurnal : Jurnal Penyuluhan
Volume (edisi) hal : Vol. 03(2): 110-118, September 2007
Alamat URL/doi : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/downloa
d/2158/1188
Tanggal Diunduh : 25 November 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang


mempengaruhi proses adopsi oleh suku Arfak, mengidentifikasi persepsi orang Arfak
terhadap inovasi dan penyuluhan pertanian yang mereka terima dari pemerintah, dan
mengidentifikasi nilai budaya sosial (norma, sistem budaya, kebiasaan) dalam
mendukung pertanian orang Arfak. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kebutuhan belajar, nilai-nilai budaya, sikap terhadap penyuluh, karakteristik
petani, atribut inovasi, dan saluran komunikasi. Sementara itu, variabel terikat yang
diteliti meliputi tahap pengetahuan, tahap persuasi, dan tahap keputusan. Populasi
penelitian ini adalah Kepala Keluarga petani (laki-laki atau perempuan), yang berasal
dari Suku Besar Pedalaman Arfak yang terdiri dari empat subsuku bangsa, yaitu:
Hatam, Meyakh, Sough, dan Moule. Orang Arfak banyak yang mendiami zona ekologi
kaki-kaki gunung dan lembah-lembah kecil serta zona ekologi pegunungan tinggi.
Pertanian ladang berpindah dengan menanam umbi-umbian dan sayur-sayuran sebagai
mata pencaharian pokok, disamping memelihara babi, meramu dan berburu. Secara
alamiah, Orang Arfak menyesuaikan pengetahuan dan teknologi dengan lingkungan
ekologi tersebut berupa nilai budaya dan norma (kebiasaan, peraturan, dan adat istiadat).
Hasil uji analisis model persamaan struktural (Structural Equations Model/
SEM) menunjukkan bahwa pada tahap pengetahuan proses adopsi inovasi hanya peubah
kebutuhan belajar yang berpengaruh nyata, sedangkan empat peubah lainnya (orientasi
nilai budaya, sikap petani terhadap penyuluhan, karakteristik petani, dan saluran
komunikasi) tidak berpengaruh nyata. Kebutuhan belajar tinggi pada tahap pengetahuan
diduga karena ketidakpuasan terhadap kondisi pertanian yang ada atau kejenuhan
dengan inovasi yang mereka terima selama ini yang dianggap tidak mampu menambah
pendapatan mereka. Pada tahap pengetahuan proses adopsi dapat berjalan baik (cepat)
jika ada pengaruh faktor kebutuhan belajar yang didukung oleh faktor lain, seperti sikap
terhadap kegiatan penyuluhan, orientasi nilai-nilai budaya, saluran komunikasi, dan
karakteristik petani Arfak. Selain itu, terdapat pula faktor penghambat proses adopsi di
petani Arfak yaitu karakteristik sosial ekonomi. Tingkat pendidikan petani Arfak 59%
tidak sekolah, orientasi aktivitas nonekonomi, dan sarana komunikasi dan transportasi
yang terbatas.
Tahap persuasif menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata antara
atribut inovasi dan saluran komunikasi terhadap proses adopsi inovasi tahap persuasif.
10
Namun terdapat pengaruh nyata pada tahap pengetahuan proses adopsi. Hanya atribut
inovasi kompatibilitas yang diduga masih berpengaruh terhadap proses adopsi. Hal ini
berarti bahwa inovasi tersebut masih dapat disesuaikan dengan kebutuhan, sosial
budaya dan tata cara mereka bertani sebelumnya. Mereka sulit mengadopsi inovasi yang
tidak dibutuhkan dan tidak sesuai dengan teknologi lokal (kearifan lokal) yang sudah
mereka miliki sebelumnya.
Tahap keputusan dipengaruhi oleh dua peubah yaitu persuasi dan saluran
komunikasi. Saluran komunikasi yang masih aktif dilakukan kepada petani Arfak adalah
saluran komunikasi vertikal (top down), yaitu pemerintah, kepala suku, dan pendeta,
sedangkan media massa dan forum diskusi (kelompok tani) belum efektif dilakukan.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh karakteristik pendidikan mereka yang relatif rendah
dan kepemilikan fasilitas media massa, seperti radio, televisi, dan Koran yang masih
sedikit. Selain itu, pendekatan persuasif masih digunakan dengan lebih mengingatkan
kembali kelebihan dan manfaat inovasi tersebut.
Petani Arfak mau belajar karena ingin memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu
berupa makanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan dasar tersebut diperoleh melalui
usaha pertanian yang diolah di ladang atau kebun mereka. Artinya, kebutuhan dasar
yang dirasakan oleh masyarakat Arfak dapat dideteksi melalui kebutuhan belajar yang
dimilikinya. Berdasar hasil penelitian, petani Arfak telah mengalami perubahan atau
masa transisi dari masyarakat tradisional (peasant) ke arah masyarakat maju (modern).
Perubahan orientasi nilai budaya menunjukkan petani Arfak sudah mulai mengadopsi
nilai-nilai budaya dari luar dalam bentuk inovasi atau informasi yang dipadu-padankan
dengan nilai-nilai budaya yang selama ini dianut atau diperankan.
Tingginya sikap terhadap kegiatan penyuluhan adalah seperti isi (materi) dan
metode penyampaian yang sudah mereka menganggap baik. Hal tersebut juga didukung
dengan sikap personal penyuluh yang membawakan materi penyuluhan mereka terima
dari golongan manapun tanpa membedakan asal, agama, suku, dan jenis kelamin. Sikap
petani Arfak ini merupakan gambaran kepada agen pembangunan bahwa penyuluhan
harus dipersiapkan dengan baik tentang materi yang mereka butuhkan, metode yang
menarik sesuai dengan kemampuan mereka, dan dilakukan oleh petugas yang
profesional.

Analisis

Dilihat dari segi substansi, penulis hanya membahas tiga tahap dalam proses
adopsi, yaitu tahap pengetahuan, tahap persuasi, dan tahap keputusan. Dalam buku
Diffusions of Innovation, Rogers dan Shoemaker menyebutkan bahwa ada lima tahap
dalam proses adopsi, yaitu tahap pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap
penerapan, dan tahap konfirmasi. Jika memang penulis hanya menghendaki tiga tahap
saja yang diteliti, sebaiknya penulis menyertakan alasan dan penjelasan logis. Namun
demikian, pengambilan keputusan dalam adopsi inovasi ini adalah sebuah proses yang
terdiri dari tahap-tahap yang saling berkaitan sehingga diperlukan penelitian yang
menyeluruh untuk dapat melihat proses pengambilan keputusan beserta faktor-
faktornya. Pembahasan tidak mencantumkan penjelasan untuk tiap-tiap variabel yang
diteliti melainkan langsung menjelaskan hubungan yang terjadi antar variabel.
Pembahasan juga cenderung bersifat deskriptif, bukan naratif berdasar hasil analisis
statistik yang telah dilakukan.
11

5. Judul : Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani


dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani
Terpadu
Tahun : 2011
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Kunia Suci Indraningsih
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Bogor, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Penerbit Pertanian
Nama Jurnal : Jurnal Agro Ekonomi
Volume (edisi) hal : Vol. 29(1): 1-24, Mei 2011
Alamat URL/doi : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/JAE
%2029-1a.pdf
Tanggal Diunduh : 22 November 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut, mengkaji persepsi
petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan persepsi tersebut, dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi
teknologi. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah karakteristik umur
petani, perilaku komunikasi, dukungan iklim usaha, persepsi petani terhadap
penyuluhan, persepsi petani terhadap ciri inovasi, dan persepsi petani terhadap pengaruh
media atau informasi. Sementara itu, variabel terikat yang diteliti adalah keputusan
petani terhadap inovasi teknologi usahatani yang diperkenalkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi petani terhadap kompetensi
penyuluh termasuk dalam kategori sedang baik oleh petani adopter Cianjur, petani
adopter dan nonadopter Garut. Kompetensi penyuluh dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, seperti pemberan insentif, biaya operasional penyuluh, status sebagai
penyuluh PNS dan penyuluh tenaga harian lepas, serta apresiasi kinerja dan kesempatan
untuk ikut pelatihan. Persepsi sebagian besar petani adopter (63,5%) dan petani
nonadopter (44,2%) terhadap peran penyuluh tergolong sedang karena kurangnya
interaksi antara penyuluh dengan petani. Penyuluh tidak hanya sebagai penyampai
(desiminator) teknologi dan informasi, tetapi juga sebagai motivator, dinamisator,
pendidik, fasilitator, dan konsultan bagi petani. Persepsi petani terhadap materi
penyuluhan sebagian besar petani adopter (73,7%) dan petani nonadopter (70,9%)
termasuk dalam kategori sedang karena penyusunan program penyuluhan pertanian
belum memperhatikan kebutuhan petani sasaran kegiatan penyuluhan. Sementara itu,
persepsi petani tehadap metode penyuluhan, sebagian besar petani adopter (72,3%) dan
petani nonadopter (63,6%) termasuk dalam kategori sedang pula karena metode yang
digunakan penyuluh hanya sebatas diskusi kelompok dan belum menggunakan media
elektronik.
Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa peubah yang berpengaruh positif
nyata pada persepsi petani terhadap penyuluhan adalah karakteristik petani dan perilaku
komunikasi petani. Dukungan iklim usaha yang meliputi ketersediaan input (sarana
produksi), fasilitas keuangan (KUD, perbankan), dan sarana pemasaran tidak
berpengaruh nyata terhadap penyuluhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi positif
12
nyata persepsi petani adopter terhadap penyuluhan adalah tingkat mobilitas, tingkat
intelegensi, keberanian beresiko, dan kerja sama. Pada petani nonadopter, faktor-faktor
tersebut adalah sikap terhadap perubahan, kerja sama, keterdedahan terhadap media,
dan ketersediaan fasilitas keuangan, sedangkan faktor yang mempengaruhi negatif nyata
adalah daya beli.
Keputusan petani responden dalam mengadopsi inovasi usahatani terpadu
termasuk dalam keputusan kolektif yang dilakukan oleh pengurus kelompok tani,
meliputi ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus kelompok tani tersebut secara
informal mewakili anggota kelompok tani. Faktor yang mendorong petani responden
untuk mengadopsi usahatani terpadu adalah adanya perolehan bantuan untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Selain itu, penentuan komoditas yang
ditanam petani responden tergolong rendah. Pertimbangan yang digunakan sebagian
besar petani adopter, petani nonadopter Cianjur dan petani adopter Garut dalam
menentukan komoditas yang ditanam adalah kemudahan dalam mendapatkan benih atau
bibit serta besaran biaya awal (modal usahatani) yang dibutuhkan. Sementara itu, petani
nonadopter Garut dalam menanam komoditas, selain kemudahan dalam mendapatkan
benih atau bibit juga mempertimbangkan kesesuaian penggunaan sumber daya lahan.
Penggunaan sarana produksi sebagian besar petani adopter, petani nonadopter Cianjur,
dan petani adopter Garut sedang, sedangkan pada petani nonadopter Garut tergolong
rendah.
Keputusan petani adopter dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani
terpadu dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif, kesesuaian, dan persepsi petani
terhadap pengaruh media atau informasi interpersonal, sedangkan pada petani
nonadopter dipengaruhi oleh faktor kesesuaian, kerumitan, dan persepsi petani terhadap
pengaruh media atau informasi interpersonal. Persepsi petani (adopter dan nonadopter)
terhadap pengaruh informasi interpersonal berpengaruh positif nyata terhadap
keputusan petani dalam adopsi inovasi.

Analisis

Terdapat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki. Salah satunya adalah


tentang pengkategorian skor. Skor digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Penggolongan ke dalam tiga kategori ini menyebabkan adanya
pemusatan data di kategori sedang. Penulis menyebutkan bahwa terdapat faktor lain
yang dominan yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan. Namun faktor
tersebut tidak diteliti pada penelitian ini sehingga pengaruh faktor tersebut tidak
terdeteksi. Faktor lain tersebut diduga berupa: bantuan sarana produksi dari pemerintah
dan bantuan kredit dari pemerintah. Hal ini dapat berguna bagi peneliti yang ingin
meneliti hal serupa nantinya agar dapat menggali faktor dominan tersebut.
Kerangka pemikiran penelitian ini dibangun dengan mengintegrasikan beberapa
teori antara lain teori Rogers tentang proses pengambilan keputusan inovasi. Penulis
hanya mengambil beberapa variabel dari teori Rogers untuk diteliti hubungannya
dengan keputusan adopsi inovasi. Dengan demikian penelitian ini kurang komprehensif
dalam menggambarkan proses pengambilan keputusan inovasi karena tidak menguji
variabel secara utuh.
13

6. Judul : Adopsi Inovasi Petani Kelapa Sawit terhadap Sistem


Integrasi Sapi – Kelapa Sawit (SISKA) di
Kabupaten Kampar
Tahun : 2015
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Joko Prestiwo, Susy Edwina, dan Evy Maharani
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Pekanbaru, Universitas Riau
Penerbit
Nama Jurnal : Jurnal Faperta
Volume (edisi) hal : Vol. 2(1), Februari 2015
Alamat URL/doi : http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFAPERTA/article
/viewFile/5381/5260
Tanggal Diunduh : 14 Desember 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses adopsi inovasi petani kelapa
sawit terhadap sistem integrasi Sapi – Kelapa Sawit di Kabupaten Kampar dan
mengetahui tingkat adopsi inovasi petani Kelapa Sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi –
Kelapa Sawit di Kabupaten Kampar. Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan
suatu sistem usaha tani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia
karena didukung dengan luas tanam kelapa sawit mencapai 7 juta hektar dan kesesuaian
adaptasi ternak sapi yang baik. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kampar,
tepatnya di Desa Penyesawan, Desa Simpang Petai dan Desa Sari Galuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap SISKA di Kabupaten Kampar sama dengan proses yang dikemukakan oleh
Rogers (2003) dalam teori proses keputusan inovasi. Pengetahuan petani terhadap
SISKA termasuk kategori sedang dengan skor 3,31. Kondisi ini menunjukkan petani
memiliki pengetahuan yang baik terhadap inovasi SISKA. Komponen pengetahuan
terdiri dari praktik sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, serta norma
dan sistem sosial. Pengetahuan petani tentang praktik sebelumnya termasuk dalam
kategori sedang karena pengetahuan petani tentang praktik-praktik sebelumnya
mengenai SISKA tidak terlalu banyak. Kebutuhan yang dirasakan petani termasuk
dalam kategori tinggi yang menandakan bahwa program SISKA sangat membantu
petani. Keinovatifan petani berada dalam kategori sedang. Norma dan sistem sosial juga
termasuk dalam kategori sedang.
Pada tahap persuasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan
yaitu: keuntungan relatif, kompabilitas, kerumitan, dapat dicoba, dan dapat dilihat
hasilnya. Tahap keuntungan relatif termasuk kategori sedang karena petani menganggap
program SISKA ini memberikan berbagai keuntungan bagi petani ternak. Tingkat
kompabilitas termasuk kategori sedang karena petani menganggap kegiatan ini selaras
dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang ada. Kerumitan termasuk dalam kategori sedang
karena petani tidak begitu sulit dalam memahami teknologi pengolahan pelepah kelapa
sawit dengan menggunakan mesin pencaah (cooper) dan cukup mudah menjadi terampil
dalam memahami teknologi pengolahan tersebut. Tahap dapat dicoba termasuk dalam
kategori sedang karena petani menyatakan teknlogi pengolahan pelepah kelapa sawit
pada SISKA sangat perlu dicoba terlebih dahulu oleh penyuluh atau pihak yang
berkompeten. Tahap dapat diamati hasilnya termasuk dalam kategori sedang karena
14
sawit yang diberikan pupuk dari kotoran sapi memerlukan waktu lama untuk melihat
perubahan yang terjadi pada kebun kelapa sawit.
Tahap pengambilan keputusan untuk mengadopsi inovasi SISKA termasuk
dalam kategori rendah karena di Kabupaten Kampar yang mendapat bantuan mesin
cooper sebanyak 8 unit dan yang masih menjalankan Program SISKA hanya satu
kelompok tani yaitu di Desa Simpang Petani dan mesin cooper tidak setiap hari
beroperasi karena tidak ada kesesuaian dan kecocokan mesin untuk pengolahan pakan
sapi dari pelepah sawit. Sementara itu, tahap pengambilan keputusan untuk tidak
mengadopsi termasuk dalam kategori sedang. Tahap implementasi termasuk dalam
kategori sangat rendah karena petani kelapa sawit kurang paham dan banyak petani
yang tidak lagi menerapkan program SISKA. Tahap konfirmasi termasuk dalam
kategori yang sangat rendah juga. Kondisi ini dikareakan keterbatasan petani untuk
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi petani tentang masalah pemenuhan
kebutuhan kelapa sawit yang petani miliki.
Tingkat adopsi inovasi petani dapat ditentukan oleh pengetahuan, persuasi dari
karakteristik inovasi yang dipersepsikan, keputusan mengadopsi atau tidak mengadopsi,
implementasi, dan konfirmasi. Tingkat adopsi inovasi petani terhadap Program Sistem
Integrasi Sapi – Kelapa Sawit (SISKA) di Kabupaten Kampar berada pada kategori
rendah. Artinya, petani yang mengikuti proses adopsi dari mulai pengetahuan sampai
dengan konfirmasi kurang merasakan manfaat dari Program Sistem Integrasi Sapi –
Kelapa Sawit yang telah mereka jalankan. Kecocokan program SISKA untuk dijalankan
di Kabupaten Kampar kurang sesuai karena ketersediaan pakan rumput hijauan masih
banyak. Ternak sapi juga mau memakan kulit ubi dan kulit nenas yang banyak tersedia
di Kabupaten Kampar. Pelaksanaan program SISKA kurang ekonomis bagi petani dan
dianggap biayanya lebih besar daripada menanam rumput gajah.

Analisis

Variabel yang diteliti tidak dijelaskan secara eksplisit dalam tulisan. Hal ini
mempersulit pembaca untuk mengetahui variabel apa saja yang dianalisis. Analisis data
dilakukan dengan metode satistika deskriptif menggunakan skala likert dan korelasi
rank spearman. Penulis menyebutkan bahwa untuk tujuan pertama dan ketiga dianalisis
dengan skala likert sedangkan tujuan keempat menggunakan korelasi rank spearman.
Namun penulis tidak menjelaskan tentang tujuan-tujuan yang diteliti tersebut. Skala
likert yang dipilih penulis menggunakan lima kategori, yaitu sangat rendah, rendah,
sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Penggunaan opsi dengan jumah ganjil ini biasanya
menimbulkan pemusatan data di opsi paling tengah. Dalam pembahasan pun
menunjukkan mayoritas hasil analisis termasuk dalam kategori sedang sehingga perlu
dikaji kembali untuk menentukan kategori yang akan digunakan. Penulis menyebutkan
bahwa proses adopsi inovasi petani kelapa sawit terhadap SISKA sama dengan proses
yang dikemukakan oleh Rogers dalam teori proses pengambilan keputusan inovasi.
Namun demikian dalam pembahasan, penulis tidak menjelaskan bagaimana proses yang
terjadi di tiap tahapnya dan hanya menyebutkan skor dan kategorinya. Selain itu,
penulis juga tidak menjelaskan hubungan antar variabel dalam teori proses pengambilan
keputusan inovasi. Oleh karena itu, penelitian ini belum bisa disebut “sama” dengan
teori proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers karena tidak sepenuhnya
menggunakan variabel yang disebutkan Rogers.
15

7. Judul : Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat


Adopsi Petani Terhadap Sistem Pertanian Padi
Organik
Tahun : 2013
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Tasnim Ahsanu Amala, Diana Chalil, dan Luhut
Sihombing
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Medan, Universitas Sumatera Utara
Penerbit
Nama Jurnal : Journal on Social Economic of Agriculture and
Agribusiness
Volume (edisi) hal : Vol. 2(11), November 2013
Alamat URL/doi : http://jurnal.usu.ac.id/index.php/ceress/article/downlo
ad/8050/3446
Tanggal Diunduh : 22 November 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap sistem
pertanian padi organik di daerah penelitian dan menganalisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian organik di daerah
penelitian. Sistem pertanian organik ini termasuk dalam Program “Go Organic 2010”
yang ditargetkan pada tahun 2010 dapat terealisasikan dalam berbagai hal, seperti:
pengembangan produksi dan distribusi pupuk organik, pengalokasian dana pembinaan
dan subsidi pupuk organik, pengalokasian dana pengadaan sarana dan membangun
fasilitas pendukung yang dibutuhkan, sistem distribusi pupuk organik secara pabrikan,
serta adanya program-program pelatihan tentang manfaat penggunaan pupuk organik
melalui demplot dan kelompok tani. Namun kenyataannya, sampai dengan tahun 2010
masih sangat sedikit petani padi yang menerapkan pertanian organik. Sampai pada
tahun 2012, petani padi baru mengadopsi sistem pertanian padi organik sebesar 12,05%
dari jumlah total petani padi khususnya di Serdang Bedagai.
Penelitian dilakukan secara purposive di Kabupaten Serdang Bedagai,
Kecamatan Perbaungan, Desa Lubuk Bayas yang merupakan daerah terluas untuk padi
organik di Sumatera Utara. Data yang dikumpulkan dari 40 petani yang ditentukan
secara Cluster Propotional Sampling.
Hasil perhitungan skoring menunjukkan bahwa petani sampel memiliki nilai
rata-rata 16,85 yang menunjukkan bahwa tingkat adopsi petani terhadap sistem
pertanian padi organik pada daerah penelitian digolongkan tinggi. Seluruh petani
sampel memiliki sudah melewati tahap pengetahuan karena telah mendapatkan
sosialisasi dari BITRA Indonesia pada tahun 2009 melalui sekolah lapang.
Pada penggunaan pupuk dasar, seluruh petani sampai pada tahap keputusan
untuk menerapkan pupuk kandang sebesar 2 ton/ ha/ musim tanam. Sebanyak 40% yang
tidak sampai tahap konfirmasi disebabkan ada kesibukan lain, pengelolaan pupuk
kandang yang rumit, kondisi tanah sudah stabil. Pada penggunaan benih, seluruh petani
sampai pada tahap persuasi yaitu mengetahui manfaat dari penggunaan benih organik
agar terhindar dari zat-zat kimia. Sebanyak 60% petani sampel tidak sampai pada tahap
konfirmasi disebabkan tidak ada perbedaan yang dirasakan untuk penggunaan benih
organik maupun tidak dan lebih praktis membeli di kios. Pada penggunaan pupuk
16
susulan, sebanyak 90% petani sampel yang sampai pada tahap implementasi, sedangkan
10% petani sampel tidak sampai disebabkan penggunaan pupuk organik cair bersifat
tidak wajib dan tergantung kondisi tanaman padi yang dikelola. Pada tahap konfirmasi,
sebanyak 65% petani sampel yang sampai saat ini masih menggunakan pupuk susulan
sesuai dengan sistem pertanian padi organik.
Pada penggunaan pestisida nabati, seluruh petani sudah melewati tahap persuasi
yaitu tahap dimana petani sudah mengetahui manfaat dari pestisida nabati dan
pengaturan air untuk memberantas gulma di lahan yang dikelola. Sebanyak 47,5%
petani tidak sampai pada tahap implementasi disebabkan tidak tersedia langsung
pestisida nabati. Sebanyak 70% petani sampel tidak sampai pada tahap konfirmasi
disebabkan penggunaan pestisida nabati kurang efektif karena hanya mengusir hama
dan tidak memberantas hama pada lahan yang dikelola serta penggunaan herbisida lebih
praktis daripada melakukan pengaturan air dan penyiangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 14 faktor terdapat 9 faktor yang
memiliki hubungan nyata dengan tingkat adopsi terhadap sistem pertanian padi organik.
Faktor-faktor tersebut adalah keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan
dicoba, kemungkinan diamati, pengalaman bertani, tingkat kosmopolitan, tingkat
partisipasi, dan saluran antarpribadi. Sementara itu, faktor yang tidak berhubungan
adalah luas lahan, pendidikan, jumlah tanggungan, dan saluran media massa.
Besaran keeratan antara variabel dengan tingkat adopsi dapat dilihat dari besar
nilai korelasi sehingga dapat disimpulkan bahwa kesesuaian memiliki hubungan yang
sangat kuat. Kerumitan dan kemungkinan dicoba memiliki hubungan yang kuat dengan
tingkat adopsi. Sementara itu, faktor keuntungan relatif, tingkat kosmopolitan, dan
saluran antarpribadi memiliki hubungan yang sedang. Faktor kemungkinan diamati,
pengalaman bertani, dan tingkat partisipasi memiliki memiliki hubungan yang lemah
dengan tingkat adopsi.

Analisis

Penelitian ini dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan


tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian padi organik. Pada kalimat pertama hasil
dan pembahasan, disebutkan bahwa petani sampel memiliki nilai rata-rata 16,85
sementara penulis sama sekali tidak mencantumkan analisis perhitungan hasil tersebut.
Selain itu, penulis hanya meneliti 14 faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
adopsi petani terhadap sistem pertanian padi organik. Jika ditinjau menurut teori proses
pengambilan keputusan Rogers dan Shoemaker, tidak semua faktor dalam teori tersebut
diteliti dalam penelitian ini padahal dalam tinjauan pustaka penulis menggunakan teori
proses ini sebagai rujukan dan landasan penelitian. Dengan demikian, penelitian ini
kurang komprehensif karena tidak mengkaji seluruh faktor yang ada dalam teori proses
pengambilan keputusan menurut Rogers dan Shoemaker.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode survei yang
menggunakan instrumen kuesioner yang dibagikan dan diisi oleh responden. Dalam
pembahasan, hasil analisis statistik tidak dicantumkan untuk semua variabel. Selain itu,
ulasan untuk masing-masing variabel dan faktor-faktor di dalamnya masih sangat
sedikit. Porsi hasil dan pembahasan dinilai kurang dibanding dengan bagian yang lain,
seperti tinjauan pustaka dan beberapa bagian lainnya. Selain itu, deskripsi inovasi juga
dinilai sangat kurang sehingga menyulitkan pembaca untuk menganalisis adopsi inovasi
secara menyeluruh.
17

8. Judul : Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya


Jambu Kristal (Psidium guajava L.) pada
Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari
Tahun : 2014
Jenis Pustaka : Skripsi
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Zulmiziar Marwandana
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Bogor (ID), IPB
Penerbit
Nama Jurnal : -
Volume (edisi) hal : -
Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/12345678
9/73515/I14zma.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Tanggal Diunduh : November 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk (i) mendeskripsikan keadaan umum wilayah


penelitian dan proyek Taiwan ICDF/ UF-IPB, (ii) mendeskripsikan profil individu dan
rumahtangga petani adopter Inovasi Budidaya Jambu Kristal, (iii) menjelaskan Proses
Pengambilan Keputusan Inovasi Bidudaya Jambu Kristal, khususnya di kalangan
rumahtangga petani di Desa Bantarsari Kabupaten Bogor, yang mencakup tahap-tahap
pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi, (iv) menganalisis
hubungan sejumlah variabel independen dengan variabel dependen pada setiap tahapan
pada Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal di kalangan rumahtangga
petani di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor, dan (v) mengidentifikasi permasalahan
yang dihadapi para petani pengadopsi inovasi (adopter) budidaya jambu Kristal dan cara
menghadapinya.
Proyek Taiwan ICDF/ UF-IPB merupakan proyek hasil kesepakatan antara IPB
dan TTM (Taiwan Technical Mission) yang bergerak di bidang agribisnis sejak April
2006 yang saat ini diberi nama Agribusiness Development Center (ADC). Kegiatan
utama yang dilakukan adalah penyuluhan mellaui metode penyuluhan: demonstrasi,
pelatihan, lokakarya (workshop), kunjungan, produksi bibit, pemasaran, serta pameran
promosi. Terdapat beberapa sub proyek produk agribisnis yang dikelola oleh Taiwan
ICDF, yaitu produk agribisnis sayuran organik, sayuran non organik, dan jambu kristal.
Produk agribisnis yang dipasarkan oleh Taiwan ICDF/ UF-IPB berasal dari lahan
proyek Taiwan ICDF/ UF-IPB dan lahan yang dikuasai petani mitra dengan sistem kerja
sama berupa sistem yarnen (bayar saat panen).
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian terdiri atas: kondisi sebelumnya
yang meliputi praktik berusahatani, tingkat kebutuhan petani atas BJK, dan tingkat
keinovativan petani; saluran komunikasi berupa frekuensi partisipasi dalam penyuluhan;
karakteristik unit pengambilan keputusan meliputi karakteristik sosial ekonomi (tingkat
pendidikan formal dan nonformal serta tingkat pengalaman berusahatani) dan perilaku
komunikasi (pola perilaku komunikasi); persepsi petani terhadap inovasi BJK (tingkat
keuntungan relatif, tingkat kompatibilitas, tingkat kerumitan, tingkat kemungkinan
dicoba, dan tingkat kemungkinan diamati hasil BJK); serta tingkat kepuasan petani
(tingkat produksi dan tingkat pendapatan yang diperoleh). Sementara itu, variabel
terikat yang diteliti adalah tahap pengenalan BJK, tahap persuasi, tahap keputusan,
tahap implementasi, dan tahap konfirmasi.
18
Anggota rumah tangga (ART) petani adopter BJK terdiri atas 51,83% laki-laki
dan 48,17% perempuan. 77,49% tergolong usia produktif (15-64 tahun) sebesar, 38%
bekerja di sektor pertanian dan berstatus sebagai petani pemilik 53,40% berstatus
kawin, 30,72% lulusan SD, 97,40% memiliki televisi, 94,70% memiliki kompor gas,
92,10% memiliki motor, 47,37% memiliki rata-rata luas lahan kurang dari 0,25 hektar,
44,74% memiliki pengalaman berusahatani 15-29 tahun, dan 52,63% memiliki
pengalaman berbudidaya jambu kristal 28-42 bulan.
Menurut hasil penelitian, pada tahap pengenalan mayoritas petani 65,79%
mengenal BJK pada tahun ketiga (2010). Sebanyak 39,13% petani adopter BJK
memperoleh informasi tentang inovasi BJK dari pihak Taiwan ICDF/ UF-IPB. Pada
tahap persuasi diketahui bahwa tidak semua petani BJK setuju terhadap tahapan inovasi
BJK. Pada tahap keputusan diketahui bahwa persentase petani BJK yang memutuskan
untuk menerapkan unsur teknologi inovasi BJK tinggi meskipun tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dari Taiwan ICDF/ UF-IPB. Pada tahap implementasi diketahui
bahwa hampir semua unsur inovasi BJK yang diterapkan petani memiliki persentase
yang rendah, kecuali pada penggemburan lahan dengan cangkul dan pengendalian hama
pada serangga dengan penggunaan metindo. Pada tahap konfirmasi diketahui bahwa
persentase unsur-unsur inovasi BJK yang diterapkan untuk selanjutnya tergolong
rendah, kecuali pada unsur penggemburan lahan dan pengendalian hama serangga yang
tergolong tinggi.
Variabel yang berhubungan nyata dengan tingkat pengenalan petani terhadap
BJK adalah frekuensi partisipasi dalam penyuluhan dan pola perilaku komunikasi. Pada
tingkat persuasi, variabel yang berhubungan nyata adalah tingkat pengenalan petani
terhadap BJK, tingkat kompatibilitas BJK, tingkat kerumitan BJK, tingkat kemungkinan
dicoba BJK, dan tingkat kemungkinan diamati hasil BJK. Pada tahap keputusan, tingkat
frekuensi partisipasi dalam penyuluhan tidak berhubungan dengan tingkat keputusan
petani terhadap BJK sedangkan tingkat persuasi petani terhadap BJK berhubungan
sangat nyata dengan tingkat keputusan petani terhadap BJK. Variabel saluran
komunikasi dan tingkat keputusan petani terhadap BJK berhubungan nyata dengan
tingkat implementasi petani terhadap BJK. Tingkat frekuensi partisipasi dalam
penyuluhan dan tingkat implementasi petani terhadap BJK berhubungan sangat nyata
dengan tingkat konfirmasi petani terhadap BJK.

Analisis

Tulisan ini menggunakan kerangka berpikir yang merujuk pada konsep dan teori
pengambilan keputusan inovasi dari Rogers dan Shoemaker. Terlihat bahwa penulis
telah menganalisis semua variabel seperti yang tercantum dalam teori pengambilan
keputusan inovasi dari Rogers dan Shoemaker. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif berupa survei dan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dan
observasi. Survei yang dilakukan meliputi survei rumahtangga dan survei individu
petani adopter BJK. Survei rumahtangga diperlukan untuk memperoleh data tentang
profil rumahtangga petani, dan tidak termasuk dalam variabel yang dianalisis
hubungannya. Profil rumahtangga petani penting untuk memberikan gambaran kondisi
petani yang mungkin saja berperan dalam pengambilan keputusan petani. Namun
demikian, lokasi yang dipilih penulis kurang dari sepuluh tahun dalam proses introduksi
inovasi BJK sehingga kurang optimal dalam meneliti proses pengambilan
keputusannya.
19

9. Judul : Tahapan Proses Keputusan Adopsi Inovasi


Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman
dengan Agen Hayati (Kasus petani sayuran di
Kecamatan Banuhampu dan Sungai Puar
Kabupaten Agam Sumatera)
Tahun : 2003
Jenis Pustaka : Tesis
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Rifda Roswita
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Bogor (ID), IPB
Penerbit
Nama Jurnal : -
Volume (edisi) hal : -
Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/12345678
9/7703/2003rro.pdf?sequence=4&isAllowed=y
Tanggal Diunduh : 12 Desember 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk (i) menjelaskan sejauhmana tahapan proses


keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati
telah terjadi pada petani, (ii) menjelaskan perbedaan perubahan proses dalam
pengambilan keputusan antara petani SLPHT dan non SLPHT pada setiap tahapan
proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen
hayati, dan (iii) menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan setiap tahapan
proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen
hayati. Populasi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok I
adalah petani sayuran yang telah mendapat penyuluhan agen hayati dan pernah
mengikuti SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu) serta kelompok II
adalah petani sayuran yang telah mendapat penyuluhan agen hayati tetapi belum pernah
mengikuti SLPHT (non SLPHT).
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: karakteristik
internal, yaitu tingkat pendidikan formal, pengalaman berusahatani, luas lahan
usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani, sikap kepemimpinan, sikap
kewirausahaan, dan keanggotaan dalam kelompok tani; karakteristik eksternal yaitu
ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang
pasar, dan intensitas promosi pestisida; sifat inovasi yaitu keuntungan relatif,
kesesuaian, kerumitan, kemudahan dicoba, dan kemudahan diamati. Sementara itu,
variabel terikat yang diteliti adalah tahap pengenalan, tahap persuasi, tahap keputusan,
tahap implementasi, dan tahap konfirmasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hampir semua karakteristik internal petani
SLPHT, meliputi tingkat pendidikan formal, pengalaman berusahatani, luas lahan
usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani, dan sikap kepemimpinan, tidak
berbeda nyata dengan karakteristik internal petani non SLPHT, kecuali sikap
kewirausahaan dan keanggotaan dalam kelompoktani. Sementara itu, karakteristik
eksternal petani menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara karakteristik
eksternal petani SLPHT dan petani non SLPHT pada intensitas penyuluhan,
ketersediaan sarana dan peluang pasar pada petani SLPHT lebih tinggi daripada petani
non SLPHT.
20
Penilaian petani SLPHT dan petani non SLPHT terhadap sifat inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati tidak berbeda nyata,
kecuali pada sifat kemudahan dicoba. Hanya 24% petani, baik SLPHT maupun non
SLPHT, yang menyatakan bahwa inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman
dengan agen hayati menguntungkan. Untuk tingkat kesesuaian petani, hanya 24% petani
yang menyatakan inovasi agen hayati sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhannya.
Sebesar 42% petani menyatakan bahwa inovasi agen hayati tidak rumit. Sebesar 58%
petani menyatakan bahwa inovasi agen hayati mudah dicobakan. Hanya 11% petani
yang menyatakan inovasi agen hayati mudah diamati.
Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perubahan yang
nyata dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi agen hayati antara petani
SLPHT dan non SLPHT, kecuali pada tahap pengenalan dimana pengenalan petani
SLPHT terhadap inovasi agen hayati lebih tinggi daripada petani non SLPHT. Pada
tahap persuasi, 47% petani yang menunjukkan sikap berminat terhadap inovasi agen
hayati pada kategori sedang. Sebesar 71% petani menyatakan menerima inovasi agen
hayati pada tahap keputusan. Terlihat bahwa petani yang mempunyai sikap berminat
tinggi dan sedang cenderung memutuskan menerima inovasi. Pada tahap implementasi,
sebesar 76,1% petani menerapkan inovasi agen hayati pada sebagian lahan
usahataninya. Pada tahap konfirmasi, hanya 27,3% petani (18% dari responden awal)
yang memutuskan untuk melanjutkan menerapkan agen hayati.
Hampir semua karakteristik internal petani, karakteristik eksternal petani, dan
sifat inovasi berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati dengan tingkat keeratan
yang berbeda-beda. Karakteristik internal petani berhubungan sangat nyata dengan
hampir semua tahapan, kecuali pengalaman berusahatani dan luas lahan usahatani tidak
menunjukkan hubungan nyata. Hampir semua karakteristik eksternal petani
berhubungan nyata dan positif dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi agen
hayati. Semua sifat inovasi berhubungan nyata positif dengan semua tahapan proses
keputusan adopsi inovasi agen hayati dengan tingkat keeratan hubungan yang berbeda-
beda, kecuali tingkat kerumitan menunjukkan hubungan nyata negatif.

Analisis

Tulisan ini menggunakan kerangka pemikiran yang diadaptasi dari teori


pengambilan keputusan inovasi Rogers. Namun demikian, terdapat beberapa variabel
yang tidak dicantumkan sebagaimana yang ada dalam teori pengambilan keputusan
Rogers, yaitu keadaan sebelumnya dan saluran komunikasi. Untuk alat analisis, penulis
menggunakan beberapa alat analisis sehingga dapat memberikan hasil yang
meyakinkan. Alat analisis yang digunakan oleh penulis antara lain: uji beda Mann
Whitney dan uji Khi Kuadrat untuk melihat perbedaan perubahan proses dalam
pengambilan keputusan antara dua sampel, serta teknik analisis korelasi tau-b Kendall’s
dan analisis Khi Kuadrat untuk menganalisis hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi tahapan proses keputusan adopsi inovasi. Pembahasan belum menjawab
tujuan penelitian untuk menjelaskan sejauhmana tahapan proses keputusan adopsi
inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati telah terjadi pada
petani, karena penulis hanya menjelaskan tentang karakteristik internal dan eksternal
petani serta penilaian petani terhadap sifat inovasi. Penulis tidak menjelaskan sampai
pada tahap mana proses pengambilan keputusan inovasi yang terjadi pada petani.

10. Judul : Adopsi Inovasi Petani Kelapa Sawit terhadap Sistem


Integrasi Sapi – Kelapa Sawit (SISKA) di
Kabupaten Pelalawan
21
Tahun :
2015
Jenis Pustaka :
Jurnal
Bentuk Pustaka :
Elektronik
Nama Penulis :
Bungaran Situmorang, Susy Edwina, dan Evi
Maharani
Nama Editor : -
Judul Buku : -
Kota dan Nama : Pekanbaru, Universitas Negeri Riau
Penerbit
Nama Jurnal : Jurnal Faperta
Volume (edisi) hal : Vol. 2(1), Februari 2015
Alamat URL/doi : http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFAPERTA/article
/download/5470/5349
Tanggal Diunduh : 20 September 2015

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses adopsi inovasi petani kelapa
sawit terhadap sistem integrasi sapi – kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan dan
menganalisis tingkat adopsi inovasi petani kelapa sawit terhadap Sistem Integrasi Sapi –
Kelapa Sawit di Kabupaten Pelalawan. Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan
suatu sistem usaha tani tanaman – ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia
karena didukung dengan luas tanam kelapa sawit mencapai 7 juta hektar dan kesesuaian
adaptasi ternak sapi yang baik. Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit mulai
diperkenalkan di Kabupaten Pelalawan pada tahun 2007. Memasuki awal tahun 2009,
integrasi ternak sapid an kelapa sawit menjadi salah satu program unggulan Kabupaten
Pelalawan karena banyak kelompok tani yang berhasil mengadopsi inovasi SISKA
tersebut. Sampai pertengahan tahun 2014, terdapat 22 lokasi yang mendapat bentuan
mesin pencacah (cooper) pelepah kelapa sawit untuk mendukung pelaksanaan SISKA.
Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni-November 2014 ini dilaksanakan di Desa
Mulya SUbur, Kelurahan Kerumutan, dan Desa Meranti, Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap SISKA di Kabupaten Pelalawan sama dengan proses yang dikemukakan oleh
Rogers (2003) dalam teori proses keputusan inovasi. Pengetahuan petani terhadap
SISKA termasuk kategori tinggi dengan skor 3,60. Kondisi ini menunjukkan petani
memiliki pengetahuan yang baik terhadap inovasi SISKA. Komponen pengetahuan
terdiri dari praktik sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, serta norma
dan sistem sosial. Pengetahuan petani tentag praktik sebelumnya termasuk dalam
kategori sedang. Kebutuhan yang dirasakan petani termasuk dalam kategori tinggi.
Keinovatifan petani berada dalam kategori tinggi. Norma dan sistem sosial juga
termasuk dalam kategori tinggi.
Pada tahap persuasi, terdapat lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan
yaitu: keuntungan relatif, kompabilitas, kerumitan, dapat dicoba, dan dapat dilihat
hasilnya. Tingkat keuntungan relatif termasuk kategori tinggi karena petani
menganggap program SISKA ini memberikan berbagai keuntungan bagi petani ternak.
Tingkat kompabilitas termasuk kategori tinggi karena petani menganggap kegiatan ini
selaras dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang ada. Tingkat kerumitan termasuk dalam
kategori tinggi karena petani tidak begitu sulit dalam memahami teknologi pengolahan
pelepah kelapa sawit dengan menggunakan mesin pencacah (cooper) dan cukup mudah
menjadi terampil dalam memahami teknologi pengolahan tersebut. Tingkat ketercobaan
termasuk dalam kategori sedang karena program SISKA dapat dicoba dengan baik
22
apabila dilaksanakan berkelompok. Namun program ini tidak dapat diuji coba dalam
skala kecil karena membutuhkan biaya yang cukup besar untuk pengadaan mesin
pencacah (cooper). Pada tahap dapat dilihat hasil inovasi SISKA termasuk dalam
kategori sedang karena manfaat yang paling cepat terlihat atau dapat diamati adalah
kebun kelapa sawit petani mengalami peningkatan kesuburan dari kondisi sebelumnya.
Pada tahap pengambilan keputusan, ada dua kelompok tani yang memutuskan
untuk mengadopsi inovasi SISKA. Program ini terbukti banyak memberikan dampak
positif bagi petani yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan. Satu kelompok tani
yang tidak mengadopsi inovasi SISKA karena mereka menganggap inovasi ini sulit
dilaksanakan dan tidak ekonomis bagi petani. Ada pula kelompok tani yang sebelumnya
telah menerapkan SISKA, namun memutuskan berhenti untuk menerapkan SISKA
karena sulit memperoleh bahan campuran untuk membuat pakan ternak sapi.
Tahap implementasi termasuk dalam kategori sedang. Secara keseluruhan petani
responden memahami manfaat penting dari penerapan SISKA. Namun masih ada
beberapa kendala dalam pelaksanaan SISKA di lapangan. Kurang tersedianya bahan
campuran merupakan kendala utama dan menjadi perhatian untuk segera dibenahi oleh
pemerintah. Tahap konfirmasi yang dilakukan petani kelapa sawit rakyat tentang adopsi
inovasi SISKA menunjukkan rata-rata skor 2,68 yang termasuk dalam kategori sedang.
Petani responden yang melaksanakan SISKA masih cukup sering berkomunikasi dengan
penyuluh mengenai kendala bahan campuran dari pemerintah untuk bisa membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani.
Tingkat adopsi inovasi petani dilihat dari pengetahuan petani, persuasi,
keputusan mengadopsi, keputusan tidak mengadopsi, implementasi, dan konfirmasi.
Tingkat adopsi inovasi petani terhadap SISKA berada pada kategori sedang. Petani
sudah dapat menerima teknologi dan inovasi yang terdapat dalam pelaksanaan SISKA
namun masih menghadapi beberapa kendala di lapangan.

Analisis

Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis adopsi inovasi program Sistem
Integrasi Sapi – Kelapa Sawit dengan kerangka acuan teori pengambilan keputusan
inovasi Rogers dan Shoemaker. Jika kita tinjau kembali teori pengambilan keputusan
Rogers dan Shoemaker, masih terdapat satu variabel yang tidak diteliti dalam penelitian
ini. Padahal variabel tersebut ada di setiap tahap dan diduga mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Variabel tersebut adalah saluran komunikasi. Selain itu dalam
pembahasan analisis proses adopsi, penulis selalu menyebutkan bahwa tahap tertentu
termasuk dalam kategori rendah, sedang, atau tinggi tanpa menjelaskan kategori
tersebut dilihat berdasar apa, misal berdasar waktu yang dibutuhkan untuk adopsi,
berdasar jumlah teknologi yang diadopsi dalma kurun waktu tertentu, dan lain
sebagainya.
Analisis data dilakukan dengan metode satistika deskriptif menggunakan skala
likert dan korelasi rank spearman. Skala likert yang dipilih penulis menggunakan lima
opsi jawaban, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Hasil
analisis sudah baik karena tidak terjadi pemusatan data di opsi paling tengah.
23
ANALISIS DAN SINTESIS

Proses Pengambilan Keputusan Inovasi

Rogers (1983) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan inovasi adalah


sebuah proses yang dilalui oleh individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
mulai dari pengetahuan tentang sebuah inovasi, pembentukan sikap terhadap inovasi,
pengambilan keputusan untuk mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, hingga
konfirmasi atas keputusan yang telah diambil tersebut. Proses ini terdiri atas
serangkaian tindakan dan pilihan selama waktu tertentu dimana individu atau organisasi
mengevaluasi ide baru dan memutuskan apakah akan menerapkan atau menolak suatu
ide baru. Rogers menggambarkan proses pengambilan keputusan ini dalam lima tahap
(Gambar 1).

1. Tahap Pengetahuan
Proses pengambilan keputusan dimulai dengan adanya tahap pengetahuan ketika
individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) terpapar oleh keberadaan inovasi
dan memperoleh pemahaman tentang fungsinya. Sebuah inovasi mengandung
informasi mengenai segala sesuatu berkaitan dengan penggunaan inovasi yang
berguna untuk mengurangi ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam mencapai
hasil yang diinginkan (misalnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan atau
permasalahan individu). Pengetahuan-kesadaran mendorong individu untuk mencari
pengetahuan tentang cara dan pengetahuan mendasar tentang inovasi. Pengetahuan
tentang cara (how-to knowledge) meliputi perlunya informasi untuk menggunakan
inovasi dengan pantas. Adopter harus memahami jumlah suatu inovasi yang perlu
diperoleh, bagaimana cara menggunakannya dengan benar, dan beberapa hal lain.
Pengetahuan mendasar (principle knowledge) tentang inovasi meliputi informasi
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana suatu inovasi
dapat dijalankan. Dimungkinkan untuk mengadopsi suatu inovasi tanpa menguasai
pengetahuan mendasar (principle knowledge), tetapi bahaya salah penggunaan ide
baru akan lebih besar serta akan berakibat pada penghentian penggunaan inovasi
(discontinuance).

2. Tahap Persuasi
Pada tahap ini individu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi.
Jika sebelunya aktivitas mental pada tahap pengetahuan cenderung menggunakan
aspek kognitif (pengetahuan), tahap persuasi ini lebih menggunakan aspek afektif
(perasaan). Tahap ini mengharuskan individu untuk mengetahui tentang suatu ide
atau gagasan baru sehingga kemudian dia dapat membentuk sikap terhadap ide atau
gagasan tersebut. Individu menjadi terlibat secara psikologis dengan inovasi melalui
keaktifannya dalam mencari informasi tentang inovasi. Hal tersebut meiputi dimana
dia mencari informasi, pesan atau informasi apa yang diterima, dan bagaimana dia
mengartikan informasi yang diterimanya. Persepsi selektif penting dalam
menentukan perilaku individu pada tahap persuasi. Atribut inovasi atau yang dikenal
juga dengan karakteristik inovasi yang meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, dan
kerumitan, menjadi hal penting untuk diperhatikan pada tahap ini. Pada tahap ini,
individu biasanya menginginkan jawaban untuk pertanyaan seperti, apa konsekuensi
dari inovasi tersebut? serta apa keuntungan dan kerugian yang mungkin muncul
dalam situasi ini? Jawaban atas pertanyan tersebut dapat diperoleh dari evaluasi
ilmiah dari suatu inovasi atau juga dari rekan dekat (near-peers) yang menceritakan
pengalamannya tentang suatu inovasi.
3. Tahap Keputusan
24
Tahap ini terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
ikutserta dalam kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk mengadopsi
atau menolak inovasi. Adopsi (adoption) adalah keputusan untuk sepenuhnya
menggunakan inovasi. Penolakan (rejection) adalah keputusan untuk tidak
mengadopsi suatu inovasi. Sebagian besar individu tidak akan mengadopsi suatu
inovasi tanpa mencobanya terlebih dahulu dalam masa percobaan dengan skala kecil
untuk menentukan kegunaannya dalam situasi yang sedang mereka hadapi.
Percobaan dalam skala kecil ini seringkali menjadi bagian penting untuk
memutuskan adopsi dan untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan adopter
terhadap suatu inovasi. Metode untuk memudahkan percobaan inovasi, seperti
distribusi sampel gratis dari suatu inovasi, biasanya akan meningkatkan kecepatan
adopsi. Bagi beberapa individu dan beberapa inovasi, percobaan ide baru oleh
rekannya dapat memberikan pengalaman seolah individu tersebut mengalaminya
sendiri. Selain itu, agen perubahan (penyuluh) dapat pula meningkatkan kecepatan
adopsi melalui demonstrasi ide baru dalam suatu sistem sosial. Strategi demontrasi
ini terbukti dapat menjadi cara yang cukup efektif terutama jika dilakukan oleh
pemuka pendapat dalam suatu sistem sosial (Magill dan Rogers 1981 dalam Rogers
1983).

4. Tahap Implementasi
Implementasi terjadi ketika individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya)
menggunakan suatu inovasi. Pada tahap-tahap sebelumnya, proses pengambilan
keputusan inovasi semata-mata menggunakan proses mental. Khusus tahap
implementasi melibtakan perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai akibat dari
penggunaan ide baru. Tahap implementasi ini biasanya mengikuti tahap keputusan.
Individu akan mempertanyakan, dimana saya dapat memproleh inovasi ini?
Bagaimana saya menggunakannya? Masalah operasional apa yang mungkin saya
temui dan bagaimana saya bisa menyelesaikannya? Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan tersebut dapat diperoleh dari agen perubahan (penyuluh) yang
memberikan bantuan teknis ketika individu mulai menggunakan inovasi.
Berakhirnya tahap ini dapat ditandai dengan ide baru yang mulai melembaga dan
menjadi bagian yang telah diatur oleh adopter dalam cara kerja yang sedang
berlangsung. Inovasi ini akhirnya akan kehilangan sifat berbedanya sebagai sesuatu
yang baru karena telah berubah menjadi sesuatu yang rutin dan melembaga.
Berakhirnya tahap ini dapat pula ditandai dengan pemutusan proses pengambilan
keputusan inovasi .

5. Tahap Konfirmasi
Bukti empiris yang diperoleh dari beberapa peneliti menunjukkan bahwa
keputusan untuk mengadopsi atau menolak inovasi seringkali bukanlah tahap
terakhir dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Pada tahap konfirmasi,
individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) mencari penguatan atas
keputusan inovasi yang telah dibuat. Kebalikannya, mungkin juga individu akan
menghentikan keputusan adopsi jika ia menemukan informasi yang berlawanan atau
kontra tentang inovasi tersebut. Melalui tahap konfirmasi ini individu berusaha untuk
menghindari kondisi ketidaksesuaian atau memilih untuk mengurangi
ketidaksesuaian yang ada. Ketidaksesuaian (dissonance) adalah sebuah keadaan
pikiran yang tidak nyaman yang berusaha untuk dikurangi atau dihilangkan. Pesan
atau informasi negatif yang diterima individu pada tahap konfirmasi ini dapat
mengarah pada terjadinya penghentian (discontinuance) inovasi. Penghentian
(discontinuance) inovasi adalah keputusan untuk menolak suatu inovasi setelah
sebelumnya diadopsi. Terdapat setidaknya dua jenis penghentian (discontinuance),
25
yaitu penggantian (replacement) dan kekecewaan (disenchantment). Penghentian
dengan penggantian (replacement discontinuance) adalah keputusan untuk menolak
suatu ide untuk mengadopsi ide lain yang lebih baik dan dapat menggantikan ide
sebelumnya. Penghentian dengan kekecewaan (disenchantment discontinuance)
adalah keputusan untuk menolak suatu ide karena ketidakpuasan atas hasil kinerja
ide atau inovasi tersebut. Ketidakpuasan tersebut dapat terjadi jika inovasi yang
digunakan tidak sesuai dengan individu dan tidak menghasilkan keuntungan relatif
yang dapat dirasakan oleh individu.

Faktor yang Berkaitan dengan Pengambilan Keputusan Inovasi

Kondisi Sebelumnya
Berdasar model tahapan proses pengambilan keputusan inovasi (Rogers 1983),
variabel kondisi sebelumnya meliputi beberapa faktor, yaitu praktik sebelumnya,
kebutuhan atau permasalahan yang dirasakan, keinovatifan, dan norma sistem sosial.
Penelitian Mulyadi et al. (2007) menemukan bahwa faktor kebutuhan belajar
berpengaruh nyata terhadap tahap pengetahuan dalam proses pengambilan keputusan
inovasi petani Arfak di Papua. Komponen pada tahap pengetahuan terdiri dari praktik
sebelumnya, kebutuhan yang dirasakan, keinovatifan, serta norma dan sistem sosial
(Prestiwo et al. 2015 dan Situmorang et al. 2015). Amala et al. (2013) dan Marwandana
(2014) menemukan bahwa tingkat partisipasi memiliki hubungan dengan tingkat adopsi.
Marwandana (2014) menambahkan pola perilaku komunikasi juga berhubungan nyata
dengan tingkat pengenalan dalam proses pengambilan keputusan inovasi.

Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi merujuk pada alat atau cara untuk memperoleh pesan dari
individu satu kepada individu lainnya (Rogers 1983). Dalam buku Diffusion of
Innovations, Rogers (1983) menjelaskan dua saluran komunikasi dalam difusi inovasi.
Pertama, media massa adalah semua alat untuk membawa pesan yang meliputi media
massa, seperti radio, televisi, koran, dan sebagainya, yang memungkinkan sumber pesan
dapat menjangkau banyak penerima pesan. Kedua, saluran antarpribadi adalah saluran
komunikasi yang melibatkan pertemuan tatap muka antara dua atau lebih individu.
Dibanding dengan media massa, saluran antarpribadi lebih efektif dalam mempengaruhi
individu untuk mengadopsi ide baru, khususnya jika saluran antarpribadi
menghubungkan dua atau lebih individu sesama rekan dekat.
Proses pengambilan keputusan inovasi zero grazing di Tot, Kenya menunjukkan
bahwa variabel saluran komunikasi ada dalam setiap tahapan proses pengambilan
keputusan. Pada tahap pengetahuan, para peternak menggunakan saluran komunikasi
antarpribadi teman, tetangga, rekan sesama peternak, agen perubahan (petugas produksi
ternak dan LSM; tahap persuasi: rekan sesama peternak, anggota keluarga, dan pemuka
pendapat; tahap pengambilan keputusan: demontrasi lapang, rekan sesama peternak, dan
petugas ahli (petugas peternakan dan petugas lembaga bantuan); tahap penerapan: agen
perubahan dan early adopters; dan tahap konfirmasi: keluarga, teman, rekan sesama
peternak yang telah mengadopsi inovasi, demonstrasi lapang, dan kunjungan atau saran
dari petugas ahli (Cheboi dan Mberia 2014).
Persepsi petani terhadap pengaruh media atau informasi interpersonal
mempengaruhi keputusan petani adopter dan nonadopter dalam mengadopsi inovasi
teknologi usahatani terpadu (Indraningsih 2006). Onasanya et al. (2006) menyebutkan
beberapa saluran komunikasi yang digunakan petani di Ogun, Nigeria untuk
memperoleh informasi tentang inovasi, yaitu poster, diskusi kelompok, pertunjukan/
pameran, dan demonstrasi cara. Saluran komunikasi mempengaruhi tahap keputusan
petani Arfak di pedalaman Papua, yaitu melalui saluran komunikasi vertikal dengan
26
pemerintah, kepala suku, dan pendeta (Mulyadi et al. 2007). Media massa dan forum
diskusi belum efektif dilakukan karena kepemilikan fasilitas media massa masih sedikit.
Petani di Sragen menggunakan saluran komunikasi antarpribadi dengan penyuluh atau
tokoh masyarakat pada tahap konfirmasi untuk menguatkan keputusan yang telah dibuat
(Susanti et al. 2008). Amala et al. (2013) menemukan adanya hubungan antara saluran
komunikasi antarpribadi dengan tingkat adopsi, sedangkan saluran komunikasi melalui
media massa tidak memiliki hubungan dengan tingkat adopsi.

Karakteristik Unit Pengambilan Keputusan


Terkumpul beberapa variabel dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
karakteristik kategori adopter (Rogers 1983). Variabel tersebut terdiri atas status
sosioekonomi, variabel kepribadian, dan perilaku komunikasi. Karakteristik individu
yang memiliki hubungan signifikan dengan pengambilan keputusan antara lain tingkat
pendidikan, luas lahan usahatani, lingkungan sosial, dan lingkungan ekonomi (Susanti
et al. 2008) sedangkan umur dan tingkat pendapatan tidak berhubungan secara
signifikan. Faktor luas lahan, pendidikan, dan jumlah tanggungan individu tidak
memiliki hubungan dengan tingkat adopsi petani di Sragen (Amala et al. 2013), hanya
pengalaman bertani dan tingkat kosmopolitan yang berhubungan dengan tingkat adopsi
petani. Mulyadi et al. (2007) menemukan bahwa pada tahap pengetahuan proses adopsi
inovasi hanya variabel kebutuhan belajar yang berpengaruh nyata, sedangkan variabel
orientasi nilai budaya, sikap petani terhadap penyuluhan, karakteristik petani, dan
saluran komunikasi tidak berpengaruh nyata.
Roswita (2003) menyatakan bahwa hampir semua karakteristik petani, baik
internal maupun eksternal berhubungan nyata dengan tahapan proses keputusan adopsi
inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman denagn agen hayati dengan tingkat
keeratan yang berbeda-beda. Karakteristik internal petani berhubungan sangat nyata
dengan hampir semua tahapan, kecuali pengalaman berusahatani dan luas lahan
usahatani tidak menunjukkan hubungan nyata. Hampir semua karakteristik eksternal
petani berhubungan nyata dan positif dengan tahapan proses keputusan adopsi inovasi
agen hayati.

Karakteristik Inovasi
Inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasa sebagai sesuatu yang
baru oleh individu atau unit adopsi lainnya (Rogers 1983). Menurut Rogers, inovasi
memiliki karakteristik berdasarkan penerimaan individu. Karakteristik inovasi tersebut
meliputi keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan dicoba, dan
kemungkinan diamati.
1. Keuntungan relatif adalah derajat dimana sebuah inovasi dirasakan lebih baik
dibanding dengan ide yang digantikannya. Derajat keuntungan relatif dapat diukur
dalam istilah ekonomi. Namun demikian, faktor gengsi sosial, kenyamanan hidup,
dan kepuasan seringkali menjadi komponen penting dalam mengukur derajat
keuntungan relatif. Semakin besar keuntungan relatif yang diperoleh dari suatu
inovasi, semakin cepat pula angka adopsi yang akan terjadi.
2. Kesesuaian adalah derajat dimana inovasi dirasa konsisten dengan nilai yang telah
ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan adopter potensial. Sebuah ide yang
tidak cocok dengan nilai dan norma dari suatu sistem sosial tidak akan diadopsi
seperti inovasi lain yang dirasa lebih cocok. Adopsi inovasi yang kurang cocok
seringkali memerlukan adopsi sistem nilai terlebih dahulu.
3. Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dirasa sulit untuk dimengerti dan
digunakan. Beberapa inovasi dapat dengan mudah dimengerti bagi sebagian besar
anggota suatu sistem sosial, beberapa lainnya cukup rumit dan cenderung akan lebih
lambat untuk diadopsi.
27
4. Kemungkinan dicoba adalah derajat dimana inovasi dimungkinkan dapat diterapkan
dengan ukuran yang terbatas. Ide-ide baru yang dapat dicoba dalam skala kecil
biasanya dapat diadopsi lebih cepat dibanding dengan inovasi yang hanya bisa
dicoba dalam skala besar. Sebuah inovasi yang dapat dicoba menunjukkan
ketidakpastian yang rendah bagi individu yang sedang mempertimbangkannya untuk
diadopsi.
5. Kemungkinan diamati adalah derajat dimana hasil dari suatu inovasi dapat dilihat
oleh orang lain. Semakin mudah hasil dari suatu inovasi tersebut dapat dilihat oleh
individu, maka kemungkinan besar mereka akan mengadopsinya.
Wisdom et al. (2014) menyebutkan bahwa Backer et al. (1986) telah melakukan
studi psikososial terhadap adopsi inovasi di Amerika dan memperoleh beberapa temuan
penting. Terdapat pula tujuh faktor yang berkaitan dengan karakteristik inovasi, yaitu:
kesamaan dengan praktik yang telah ada, biaya, kemungkinan diamati, kemungkinan
dicoba, kesesuaian, keuntungan relatif, serta kemudahan untuk dipahami dan digunakan.
Susanti et al. (2008) menemukan bahwa karakteristik inovasi memiliki
hubungan yang tidak signifikan dengan pengambilan keputusan inovasi budidaya padi
organik di Sragen. Amala et al. (2013) menemukan bahwa kelima karakteristik inovasi
memiliki hubungan dengan tingkat adopsi inovasi dengan besar nilai korelasi yang
berbeda-beda. Begitu pula dengan Roswita (2003) menemukan bahwa semua sifat
inovasi berhubungan nyata positif dengan semua tahapan proses keputusan adopsi
inovasi agen hayati dengan tingkat keeratan hubungan yang berbeda-beda, kecuali
tingkat kerumitan menunjukkan hubungan nyata negatif.
Petani adopter di Cianjur dan Garut dipengaruhi oleh faktor keuntungan relatif
dan kesesuaian inovasi dalam mengadopsi inovasi teknologi usahatani, sedangkan
petani nonadopter dipengaruhi dipengaruhi oleh faktor kesesuaian dan kerumitan
(Indraningsih 2006). Prestiwo et al. (2015) dan Situmorang et al. (2015) menganalisis
lima karakteristik inovasi yang dipersepsikan pada tahap persuasi, namun belum
meneliti hubungan antara karakteristik inovasi tersebut dengan pengambilan keputusan.
28
Gambar 1. Model Tahapan Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
29
Pengendalian Hama Tanaman Hortikultura

Gangguan pada tanaman dapat disebabkan oleh faktor abiotik dan biotik. Faktor
abiotik antara lain keadaan tanah (struktur, kesuburan, kekurangan unsur hara), tata air
(kekurangan , kelebihan, dan pencemaran), keadaan udara (pencemaran), dan faktor
iklim. Gangguan ini bisa diatasi dengan tindakan pengoreksian. Sementara itu, faktor
biotik (makhluk hidup) yang menyebabkan gangguan pada tanaman disebut dengan
istilah organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu: hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung, dan moluska); penyakit
(jamur, bakteri, virus, dan nematoda); dan gulma atau tumbuhan pengganggu.
Ganggunan yang disebabkan oleh faktor biotik ini dapat dikendalikan dengan pestisida
(Djojosumarto 2008).
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan tiga metode, yaitu
metode kultur teknis (budidaya) dengan cara pemangkasan, pengurangan tanaman
naungan, dan pemetikan; metode mekanik dengan cara pengambilan OPT secara
langsung dan pemetikan bagian tanaman yang terserang; dan metode kimiawi dengan
cara penyemprotan pestisida secara berjadwal (Sinulingga 2001). Pemilihan pestisida
yang tepat harus didasari dengan pengetahuan dalam membedakan penyebab gangguan,
seperti hama, penyakit, gulma, atau pengganggu lainnya (Djojosumarto 2008).
Pestisida dapat diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun,
menghambat pertumbuhan/ perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan,
mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat,
penolak, dan aktivitas ainnya yang mempengaruhi OPT (Kardinan 2003). Djojosumarto
(2008) dalam buku “Pestisida dan Aplikasinya” menjelaskan bahwa secara harfiah,
pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh). Berdasarkan SK
Menteri Pertanian RI Nomor 434.1/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat dan Tata Cara
Pendaftaran Pestisida, definisi pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta
jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut (Djojosumarto
2008).
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian
tanaman, atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman
(tetapi tidak termasuk dalam golongan pupuk)
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak
6. Memberantas hama-hama air
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang bisa menyebabkan penyakit
pada manusia.
Pestisida pertanian adalah semua zat kimia, campuran zat kimia, atau bahan-
bahan lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan
untuk keperluan berikut (Djojosumarto 2008).
1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT). sebagai
contoh insektisida, akarisida, fungisisda, nematisida, moluskisida, dan herbisida.
2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat
pertumbuhan dan mengeringkan tanaman, seperti zat pengatur tumbuh, defoliant
(senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant (senyawa untuk
mengeringkan daun).
Untuk lebih jelasnya, Zulkarnain (2010) menggambarkan berbagai jenis
pestisida pada gambar berikut. Pestisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pestisida
30
anorganik dan organik. Pestisida organik didigolongkan berdasar bahan yang digunakan
yaitu, pestisida organik sintetik dan pestisida organik alami. Pestisida organik alami atau
biasa disebut pestisida alami saja dikelompokkan lagi berdasar asalnya, yaitu pestisida
alami yang berasal dari mikroorganisme dan yang berasal dari tanaman.

Gambar 2. Penggolongan Berbagai Pestisida Berdasar Penyusunnya

Umumnya metode pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan masih


mengandalkan pengendalian secara kimia. Pengendalian kimiawi ini dilakukan dengan
pertimbangan bahan, waktu, biaya, dan jumlah tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit
dibanding dengan menggunakan metode lain (Sinulingga).
Berbagai dampak negatif penggunaan metode pengendalian kimiawi mendorong
para ahli di bidang pertanian untuk menemukan alternatif bentuk pengendalian lain
yang dirasa aman baik bagi pengguna dan lingkungan, efektif, ekonomis, dan tahan
lama (Yudiarti 2002). Alternatif tersebut adalah dengan pengendalian secara hayati.
Pengendalian hayati adalah pengendalian atau pengontrolan penyakit tanaman dengan
menggunakan organisme hidup (agensia hayati). Menurut Yudiarti (2002), terdapat tiga
komponen pendukung dalam proses pengendalian hayati, meliputi patogen, inang, dan
organisme yang antagonis. Organisme antagonis inilah yang kemudian dimanfaatkan
sebagai agensia hayati yang berpotensi untuk masuk ke dalam proses kehidupan
patogen.
Agensia hayati memiliki beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain:
mempunyai pertumbuhan yang cepat, tidak bersifat patogen terhadap inang/ tidak
menimbulkan penyakit, mudah untuk diisolasi dan dikembangbiakkan baik di
laboratorium maupun di lapangan, bersifat antagonis terhadap patogen, dan berasal dari
tanah atau tanaman (Yudiarti 2002). Agensia hayati dapat berasal dari golongan bakteri,
jamur, nematode, virus, dan protozoa. Yudiarti (2002) juga menjelaskan bahwa di
lapangan terdapat beberapa cara pengaplikasian agensia hayati, yaitu sebagai berikut.
a. Diberikan sebagai perlakuan pada tanah (soil treatment)
b. Diberikan pada bahan tanam
c. Diberikan pada tanaman setelah tumbuh
d. Diberikan pada masa panen
31
SIMPULAN

Hasil Rangkuman dan Pembahasan

Proses pengambilan keputusan inovasi adalah sebuah proses yang dilalui oleh
individu (atau unit pengambilan keputusan lainnya) mulai dari pengetahuan tentang
sebuah inovasi, pembentukan sikap terhadap inovasi, pengambilan keputusan untuk
mengadopsi atau menolak, penerapan ide baru, hingga konfirmasi atas keputusan yang
telah diambil tersebut. Inovasi adalah sebuah ide, praktik, atau objek yang dirasa
sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau unit adopsi lainnya. Proses pengambilan
keputusan inovasi ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu tahap pengetahuan, tahap
persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap konfirmasi. Tahap
pengetahuan yaitu tahap awal suatu inovasi diperkenalkan kepada individu atau
kelompok individu. Selanjutnya tahap persuasi adalah tahap individu mulai membentuk
rasa suka atau tidak suka terhadap inovasi yang diperkenalkan. Setelah itu tahap
keputusan adalah tahap individu memutuskan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
Tahap implementasi adalah tahap diman aindividu menerapkan praktik inovasi.
Terakhir, tahap konfirmasi adalah tahap dimana individu mencari penguatan atas inovasi
yang diadopsi ataupun inovasi yang ditolak.
Berlangsungnya tahapan proses pengambilan keputusan inovasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi sebelumnya,
karakteristik unit pengambilan keputusan, karakteristik inovasi, dan saluran komunikasi.
Kondisi sebelumnya terdiri atas praktik sebelumnya, kebutuhan atau permasalahan yang
dirasakan, keinovatifan, dan norma sistem sosial. Karakteristik unit pengambilan
keputusan meliputi status sosioekonomi, variabel kepribadian, dan perilaku komunikasi.
Karakteristik inovasi terdiri atas keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan,
kemungkinan dicoba, dan kemungkinan diamati. Saluran komunikasi dapat berupa
saluran antarpribadi dan media massa.
Pengendalian hama telah menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan
dalam budidaya tanaman hortikultura. Terdapat banyak cara pengendalian hama dan
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengendalian
hayati muncul sebagai jawaban atas dampak negatif pengendalian hama secara kimia.
Pengendalian hayati memanfaatkan organisme untuk mengurangi populasi hama.
Pengendalian hayati dapat dilakukan melalui penggunaan agensia hayati.

Pertanyaan Penelitian Skripsi

Berdasarkan hasil analisis, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dari studi
pustaka ini sebagai berikut:
1. Sejauhmana tahapan proses pengambilan keputusan inovasi pengendalian hama
dan penyakit tanaman pada petani hortikultura?
2. Faktor apa saja yang berpengaruh dengan setiap tahapan proses keputusan
adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman pada petani
hortikultura?

Kerangka Berpikir

Proses pengambilan keputusan inovasi terdiri dari lima tahap, yaitu tahap
pengetahuan, tahap persuasi, tahap keputusan, tahap implementasi, dan tahap
konfirmasi. Sehubungan dengan itu, variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat
pengetahuan petani terhadap inovasi pengendalian hama (Y1), tingkat persuasi inovasi
pengendalian hama (Y2), tingkat keputusan inovasi pengendalian hama (Y3), tingkat
32
implementasi inovasi pengendalian hama (Y4), dan tingkat konfirmasi inovasi
pengendalian hama (Y5). Setiap tahapan proses terdapat faktor-faktor yang diduga
berhubungan pengambilan keputusan petani. Masing-masing tahap juga diduga
berhubungan dengan tahap berikutnya.
Tahap pengetahuan terjadi ketika petani mengetahui adanya inovasi
pengendalian hama dan memperoleh pemahaman tentang penerapan dan manfaat
penerapan inovasi tersebut pada usahatani mereka. Pada tahap ini, tingkat pengenalan
inovasi pengendalian hama (Y1) diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi
sebelumnya, karakteristik unit pengambilan keputusan, dan saluran komunikasi.
Merujuk pada hasil studi terdahulu (Roswita 2006, Prestiwo et al. 2015 dan Situmorang
et al. 2015, diduga terdapat tiga variabel bebas pada faktor kondisi sebelumnya yang
berpengaruh terhadap tahap ini, yaitu praktik sebelumnya (X1), tingkat kebutuhan atau
masalah atas inovasi pengendalian hama (X2), dan tingkat keinovatifan petani (X3).
Variabel Y1 diduga dipengaruhi oleh sejumlah variabel pada faktor karakteristik unit
pengambilan keputusan inovasi, yaitu tingkat pendidikan formal (X4), kekosmopolitan
(X5), keanggotaan dalam kelompok tani (X6), dan pola perilaku komunikasi (X7).
Variabel bebas pada faktor saluran komunikasi yang diduga berpengaruh terhadap tahap
ini (Y1) dan juga empat tahap lainnya (Y2 sampai dengan Y5) adalah saluran
antarpribadi (X13), dan frekuensi penyuluhan (X14) (Roswita 2006 dan Marwandana
2014).
Tahap persuasi adalah tahap di mana petani membentuk sikap suka atau tidak
suka terhadap inovasi setelah mengenal inovasi pengendalian hama. Tingkat persuasi
inovasi pengendalian hama (Y2) ini diduga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
inovasi (Y1) dan variabel pada saluran komunikasi sebagaimana dikemukakan
sebelumnya. Selain itu, tingkat persuasi inovasi (Y2) juga diduga dipengaruhi oleh
variabel pada karakteristik inovasi pengendalian hama, yaitu tingkat keuntungan relatif
(X8), tingkat kesesuaian (X9), kerumitan (X10), tingkat kemungkinan dicoba (X11),
dan tingkat kemungkinan diamati (X12) (Roswita 2006 dan Marwandana 2014).
Tahap keputusan inovasi pengendalian hama adalah tahap di mana petani
memutuskan untuk menerima atau menolak inovasi pengendalian hama. Tingkat
keputusan inovasi (Y3) ini diduga dipengaruhi oleh tingkat persuasi (Y2) dan variabel
pada saluran komunikasi (X13 dan X14). Selanjutnya adalah tahap implementasi yaitu
tahap penerapan hasil keputusan petani terhadap inovasi pengendalian hama. Tingkat
implementasi (Y4) dipengaruhi oleh tingkat keputusan (Y3) dan variabel pada saluran
komunikasi (X13 dan X14). Tahap konfirmasi petani terhadap inovasi pengendalian
hama adalah tahap terakhir dari proses pengambilan keputusan inovasi yang ditandai
dengan usaha petani untuk mencari informasi lebih lanjut guna menguatkan keputusan
yang telah dibuat. Tingkat konfirmasi (Y5) diduga dipengaruhi oleh tingkat
implementasi (Y4) dan variabel pada saluran komunikasi (X13 dan X14). Selain itu,
tingkat implementasi diduga pula dipengaruhi oleh tingkat produksi petani (X15) dan
tingkat pendapatan yang diterima petani (X16) (Marwandana 2014).
33
Gambar 3. Kerangka pemikiran studi pengambilan keputusan inovasi
34
DAFTAR PUSTAKA

Amala TA, Chalil D, Sihombing L. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


tingkat adopsi petani terhadap sistem pertanian padi organik. [Internet].
[Diunduh pada 22 November 2015]. Medan (ID): USU. Dapat diakses di:
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/ceress/article/download/8050/3446
Backer TE, Liberman RP, Kuehnel TG. 1986. Dissemination and adoption of innovative
psychosocial interventions. J. of Consulting and Clinical Psychology 54(1): 111-
118.
Cheboi S, Mberia H. 2014. Efficacy of interpersonal communication channels in the
diffusion and adoption of zero grazing technology. [Internet]. International
Journal of Academic Research in Business and Social Science Vol. 04 No. 9
September 2014:352-368. [Diunduh pada 08 Oktober 2015]. Nairobi (KE):
Jomo Kenyatta Unversity of Agriculture. Dapat diakses di: http://hrmars.com/
hrmars_papers/Efficacy_of_Interpersonal_Communication_Channels_in_the_Di
ffusion_and_Adoption_of_Zero_Grazing_Technology2.pdf
[Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2013. Teknologi pengendalian opt
ramah lingkungan. Artikel. [Internet]. [Diakses pada 04 Januari 2016]. Jakarta
(ID): Kementerian Pertanian. Dapat diakses di: http://ditlin.hortikultura.perta
nian.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=14:teknologi-pe
ngendalian-opt&catid=1:latest&Itemid=58
Djojosumarto P. 2008. Pestisida & Aplikasinya. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Indraningsih KS. 2011. Pengaruh penyuluhan terhadap keputusan petani dalam adopsi
inovasi teknologi usahatani terpadu. [Internet]. J. Agro Ekonomi Vol. 29(1) Mei
2011: 1-24. [Diunduh pada 22 November 2015]. Bogor (ID): PSEKP Balitbang
Pertanian. Dapat diakses di: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ JAE
%2029-1a.pdf
Kardinan A. 2003. Pestisida Nabati: Ramuan & Aplikasi. Penebar Swadaya.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Pedoman Teknis Peningkatan Produksi,
Produktivitas dan Mutu Produk Hortikultura Berkelanjutan Tahun 2014.
[Internet]. [Diunduh pada 01 Desember 2015]. Jakarta (ID: Kementan. Dapat
diakses di: http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/06/ Pe
domanTeknisHortikulturaUmum2014.pdf
Kementerian Pertanian. 2014. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Hortikultura 2015-
2019. [Internet]. [Diunduh pada 01 Desember 2015]. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian. Dapat diakses di: http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-content/up
loads/2015/06/Daftar-Isi.pdf
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2012. Sekilas tentang agens hayati. [Internet].
Artikel. [Diakses pada 01 Desember 2015]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian.
Dapat diakses di: http://cybex.pertanian.go.id/materilokalita/detail/6489
Magill KP, Rogers EM. 1981. Federally sponsored demonstration of technological
innovations. Knowledge.
Marwandana Z. 2014. Studi pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal
(Psidium guajava L.) pada rumahtangga petani di Desa Bantarsari. Skripsi.
[Intenet]. [Diunduh pada November 2015]. Bogor (ID): IPB. Dapat diakses di:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/73515/I14zma.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Mulyadi, Sugihen BG, Asngari PS, Susanto D. 2007. Proses adopsi inovasi pertanian
suku pedalaman arfak di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. J. Penyuluhan
Vol. 03(2) September 2007: 110-118. [Internet]. [Diunduh pada 25 November
2015]. Bogor (ID): IPB. Dapat diakses di: http://journal.ipb.ac.id/index.php/
jupe/article/download/2158/1188
35
Onasanya OS, Adedoyin SF, Onasanya OA. 2006. Communication factors affecting the
adoption of innovation at the grassroots level in Ogun State, Nigeria. J. of
Central Eropean Agriculture Vol. 07 No. 4 Desember 2006: 601-608. [Internet].
[Diunduh pada 08 November 2015]. Plovdiv (BG): Agricultural University
Plovdiv. Dapat diakses di: http://hrcak.srce.hr/file/26899
Prabaningrum L, Moekasan TN, Adiyoga W, Gunadi N. 2015. Empat prinsip dasar
dalam penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). [Internet]. Artikel. [Diakses
pada 04 Januari 2016]. Jakarta (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Dapat
diakses di: http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita-terbaru/378-
empat-prinsip-dasar-dalam-penerapan-pengendalian-hama-terpadu-pht.html
Prestiwo J, Edwina S, Maharani E. 2015. Adopsi inovasi petani kelapa sawit terhadap
sistem integrasi sapi – kelapa sawit (SISKA) di Kabupaten Kampar. [Internet].
J. Faperta Vol. 2(1) Februari 2015. [Diunduh pada 20 September 2015]. Riau
(ID): Universitas Riau. Dapat diakses di: http://jom.unri.ac.id/index.php/JOM
FAPERTA/article/viewFile/5381/5260
Rogers EM. 1983. Diffusion of Innovations. [Internet]. Ed. 1. [Diunduh pada]. New
York (US): Macmillan Publishing.
Roswita R. 2003. Tahapan proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan
penyakit tanaman dengan agen hayati (kasus petani sayuran di Kecamatan
Banuhampu dan Sungai Puar Kabupaten Agam Sumatera). Tesis. [Internet].
[Diunduh pada 12 November 2015]. Bogor (ID): IPB. Dapat diakses di:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7703/2003rro.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
Sinulingga AP. 2001. Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman the (Camellia
sinensis (L) Kuntze) di ptpn VIII perkebunan gedeh Cianjur, Jawa Barat. Skripsi.
[Internet]. [Diunduh pada 05 Januari 2016]. Bogor (ID): IPB. Dapat diakses di:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/24412/A01aps.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Situmorang B, Edwina S, Maharani E. 2015. Adopsi inovasi petani kelapa sawit
terhadap sistem integrasi sapi – kelapa sawit (SISKA) di Kabupaten Pelalawan.
[Internet]. J. Faperta Vol. 2(1) Februari 2015. [Diunduh pada 14 Desember
2015]. Riau (ID): Universitas Riau. Dapat diakses di: http://jom.unri.ac.id/index.
php/JOMFAPERTA/article/download/5470/5349
Surabaya Pagi. 2013. Upaya dispertahut pertahankan lamongan sebagai lumbung padi
di jatim. [Internet]. Artikel. [Diakses pada 01 Desember 2015]. Surabaya (ID):
Surabaya Pagi. Dapat diakses di: http://surabayapagi.com/index.php ?
3b1ca0a43b79bdfd9f9305b812982962f33cbe7917a251dba505bb7dfb601149
Susanti LW, Sugihardjo, Suwarto. 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengambilan keputusan petani dalam penerapan pertanian padi organik di Desa
Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. [Internet]. J. Agritexts No.
24 Desember 2008: 1-14. [Diunduh pada 23 November 2015]. Solo (ID): UNS.
Dapat diakses di: http://fp.uns.ac.id/jurnal/download.php?file=Agritex-4.pdf
Wisdom JP, Chor KHB, Hoagwood KE, Horwitz SM. 2014. Innovation adoption: a
review of theories and constructs. [Internet]. J. Adm Policy Ment Health 41
2014: 480-502. [Diunduh pada 14 September 2015]. New York (US): Springer
Science and Business Media. Dapat diakses di: http://hsrc.himmelfarb.gwu.edu/
sphhs_policy_facpubs/65/
Yudiarti T. 2002. Materi pelatihan teknis opt hortikultura tanggal 29 april – 3 mei
20002: pengenalan & pengembangan agensia hayati opt. hortikultura. [Internet].
[Diakses pada 04 Januari 2016]. Semarang (ID): Balai Proteksi Tanaman Pangan
dan Hortikultura. Dapat diunduh pada: http://eprints.undip.ac.id/21358/1/1333-
ki-fp-06.pdf
36
Zulkarnain. 2010. Dasar-dasar Hortikultura. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
37
RIWAYAT HIDUP

Sinta Herian Pawestri merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Heriyanto dan Anik Tri Handayani. Penulis dilahirkan di Magetan, 6 Oktober 1994.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah TK Dharma Wanita Carikan pada
tahun 1999-2000, SD Negeri Carikan Magetan 2000-2006, SMP Negeri 1 Kawedanan
Magetan 2006-2009, dan SMA Negeri 1 Magetan 2009-2012. Pada tahun 2012 penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat (SKPM) melalui jalur SNMPTN Undangan.
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan baik di
dalam maupun luar kampus. Semasa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis tercatat
sebagai anggota Koperasi Mahasiswa (Kopma) IPB dan relawan kegiatan sosial
SAMISAENA yang diadakan oleh BEM FEMA. Penulis adalah penerima Beasiswa
Unggulan CIMB Niaga. Kecintaannya terhadap kota kelahirannya, Magetan, membuat
penulis bergabung untuk menjadi pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah IMPATA
(Ikatan Mahasiswa Pelajar dan Alumni Magetan) sebagai sekretaris periode 2013-2014
dan koordinator bidang eksternal periode 2014-2015. Ketertarikan penulis terhadap
tantangan dan hal-hal baru mengantarkannya menjadi exchange participant AIESEC
Ateneo de Manila University, Philippines dalam REAP Project tahun 2014. Setelah itu
penulis tertarik untuk bergabung dengan AIESEC IPB Phoenix periode 2014-2015.
Penulis juga sempat bergabung dengan Lembaga Dakwah Fakultas Ekologi Manusia
FORSIA El Fatih 1436 H sebagai anggota Divisi Syiar. Selain kegiatan di dalam
kampus, penulis juga tercatat sebagai pengajar di Bimbingan Belajar Salemba Group
cabang Karadenan dan Merdeka tahun 2015. Tekad penulis untuk memberikan
sumbangsih terhadap kota kelahirannya, Magetan, didukung dengan minor Agronomi
dan Hortikultura yang telah diambil, membawanya untuk melakukan penelitian skripsi
di Magetan dengan judul Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Pengendalian Hama
pada Petani Hortikultura.

Anda mungkin juga menyukai