Oleh
Francis Amadeo Junianto
185100507111001
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang
memberi kesemempatan saya melaksanakan praktek kerja lapang dalam masa pandemi ini dan
dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Produksi Bibit Unggul Tumbuhan Pisang
Cavendish (Musa acuminata) menggunakan Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan di South Asian
Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP), Bogor” dalam tepat waktu.
Walaupun tujuan utama dari penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai salah satu
syarat kelulusan agar penulis mendapat gelar sarjana Bioteknologi, namun dalam proses
pembuatan proposal ini serta pelaksanaan magang nantinya yang akan diakhiri dengan
pembuatan laporan, penulis dapat memperluas kemampuannya dalam aspek penulisan literatur
sekaligus persiapan untuk menghadapi tugas akhir, mempelajari lebih dalam terkait hal yang
dipelajari selama perkuliahan, dan mendapat pengalaman kerja di lapangan secara langsung
yang nantinya akan bermanfaat untuk prospek kedepannya. Penulis
hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan,
arahan, dan persetujuan sehingga pembuatan proposal penelitian ini dapat terwujudkan. Ucapan
terima kasih ditujukan kepada:
1. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberi doa, dukungan, dan motivasi
2. Ibu Freini Dessy Effendy, S.TP,MP, selaku dosen pembimbing praktek kerja lapang
yang telah memberi bimbingan dalam penulisan proposal praktek kerja lapang
3. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology sebagai mitra yang menyediakan
sarana dalam melaksanakan kegiatan praktek kerja lapang
4. Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP, selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
5. Dr. Ir. Erina Sulistiani, M.Si. selaku pembimbing lapang di SEAMEO BIOTROP beserta
pegawai-pegawai laboratorium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP yang telah
mebimbing saya selama kegiatan magang
6. Rekan-rekan yang telah memberi bantuan dan arahan dalam proses penyusunan
proposal praktek kerja lapang
Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan yang
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dalam penulisan dan pengetahuan dari penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan pemberian kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
untuk memperbaiki sebagian besar kesalahan pada proposal ini dan menyempurnakan
penyusunan laporan hasil nantinya.
i
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN
ii
ABSTRAK
Buah pisang merupakan komoditas yang bagi perdagangan di Indonesia dan secara
internasional, karena buah tersebut banyak disukai oleh seluruh penduduk di dunia. Buah pisang
memiliki berbagai variasi, namun variasi pisang yang paling disukai secara internasional adalah
pisang cavendish dikarenakan citra rasa yang pas bagi mayoritas konsumen dengan rasa yang
tidak terlalu manis dan tekstur daging yang pas. Hal tersebut membuka pintu untuk negara
indonesia untuk melakukan ekspor pisang cavendish di perdagangan internasional. Namun
sebagian besar tumbuhan pisang di Indonesia masih dikembangkan secara alami menyebabkan
produksi buah pisang yang sedikit, kurang bagus, dan terhambat karena terkena segala jenis
penyakit salah satunya adalah layu fusarium. Teknik kultur jaringan merupakan solusi dari
permasalahan tersebut karena dapat menghasilkan banyak bibit dalam waktu yang relatif singkat
dan bebas penyakit.
Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology menerapakan teknik kultur jaringan
untuk menghasilkan bibit pisang cavendish dengan langkah berikut : Sterilisasi eksplan, inisiasi
eksplan, subkultur plantet pisang yang terdiri dari tahap multiplikasi, elongasi, dan perakaran; dan
tahap aklimatisasi. Eksplan awal yang digunakan untuk tahap inisiasi eksplan adalah tunas
anakan yang dihasilkan dari bonggol atau rimpang pisang, tunas anakan tersebut juga memiliki
rimpang tersendirinya yang memiliki jaringan merismatik atau embrional yang bersifat totipoten,
sehingga dapat menghasilkan tunas lateral tersendiri dari rimpang tersebut. Maka dari itu
perbanyakan tunas pisang dilakukan dengan meningkatkan proliferasi tunas lateral dari jaringan
merismatik yang terdapat pada plantet itu sendiri. Dari hasil sterilisasi dan inisiasi eksplan pisang
cavendish, kedua eksplan awal yang ditanamkan pada media pertumbuhan sintetis dengan
tambahan 5mg/l BAP cair menunjukan adanya pertumbuhan seminggu setelah inisiasi dan terus
menunjukan pertumbuhan pada minggu ke-2 nya dengan adanya penumbuhan pelepah dan
perubahan warna hijau pada eksplan.
Kata kunci: Pisang Cavendish, Teknik kultur jaringan, eksplan, multiplikasi, dan tunas lateral.
iii
DAFTAR ISI
iv
4.5 Aklimatisasi ..................................................................................................................... 19
4.5.1. Langkah aklimatisasi ................................................................................................ 19
4.5.2. Pembahasan ............................................................................................................ 20
BAB 5 TUGAS KHUSUS ........................................................................................................... 21
5.1. Sterilisasi dan inisiasi eksplan tanaman pisang cavendish.............................................. 21
5.2. Hasil Pertumbuhan Eksplan ............................................................................................ 22
5.3. Kontaminasi .................................................................................................................... 24
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................... 25
6.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 25
6.2. Saran ............................................................................................................................. 25
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Ruang sterilisasi alat dan media ............................................................................. 9
Gambar 4.2. Alat dan bahan untuk pembuatan media .............................................................. 11
Gambar 4.3. Eksplan Pisang yang direndam dalam larutan tween ........................................... 13
Gambar 4.4. Tunas pisang yang ditanam dalam media multiplikasi ......................................... 16
Gambar 4.5. Tunas pisang yang ditanam dalam media tanpa perlakuan ZPT (media 0) ........... 17
Gambar 4.6. Tunas pisang yang ditanam dalam media perakaran ........................................... 18
Gambar 4.7. Plantet pisang yang ditanam di media aklimatisasi .............................................. 19
Gambar 5.1. Eksplan yang sudah disterilisasi dipindahkan ke media 0 dengan 5mg/l BAP
cair di minggu ke-0 ................................................................................................................... 21
Gambar 5.2. Hasil pertumbuhan pada eksplan ......................................................................... 22
Gambar 5.3. Kontaminasi pada eksplan pisang ....................................................................... 24
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu komoditas yang penting bagi perdagangan di Indonesia,
dan telah lama mencapai reputasi dagangan secara internasional, karena pisang merupakan
buah yang digemari oleh penduduk di dunia (satiyantari, 1998). Beberapa penyebab pisang
dikonsumsi banyak orang adalah rasa yang enak serta kandungan gizi yang terdapat didalamnya,
buah pisang sendiri bila dikonsumsi dapat memberi suplai energi bagi tubuh dan merupakan
sumber vitamin C dan B6 (Jamaludin et al., 2019). Di indonesia, konsumsi buah pisang per kapita
pada tahun 2018 mencapai 59 kg per tahunnya, dan produksi buah pisang pada 2018 mencapai
7 juta ton (Setjen Pertanian RI, 2018). Namun sebagai eksportir, Indonesia hanya memenuhi 0,06
% volume ekspor pisang yang merupakan nilai yang paling kecil se asia tenggara (jamaludin et
al., 2019) dengan nilai jumlah ekspor pisang sebanyak $ 11,4 Juta pada tahun 2019 (OEC, 2019).
Negara asia tenggara dengan jumlah eksportir pisang terbesar adalah filipina, yang memenuhi
95% volume ekspor se asia tenggara, dan memperoleh nilai jumlah ekspor pisang sebesar $ 1,93
milliar pada tahun 2019 (OEC, 2022). Hal yang menghalang Indonesia dalam mengekspor pisang
adalah keanekaragaman buah pisang yang diproduksi, sedangkan pasar internasional
cenderung lebih tertarik pada pisang jenis cavendish (jamaluddin et al., 2019).
Di Indonesia, sebagian besar tumbuhan pisang masih dikembangkan secara alami
dengan metode pekarangan. Metode tersebut menyebabkan proses produksi buah pisang yang
kurang maksimal karena mudah terkena penyakit dan tunas yang dihasilkan dari satu induk
hanya mencapai 2-3 tunas, menyebabkan kualitas buah dihasilkan kurang bagus dan jumlah
buah pisang yang diekspor sedikit (Mawariani, 2020). Selain itu Pengembangan tumbuhan pisang
kelompok Cavendish di Indonesia menghadapi kendala serangan penyakit layu Fusarium yang
dapat menyebabkan defektifitas dalam proses pembuahan. Salah satu upaya dalam
meningkatkan produksi pisang cavendish adalah mengimplementasikan teknik kultur jaringan
tumbuhan dalam memproduksi pisang untuk menghasilkan jumlah bibit yang banyak dan bebas
dari penyakit dalam waktu yang singkat.
Kultur jaringan merupakan teknik pembibitan atau pembiakan tanaman dengan
mengisolasi bagian dari tanaman seperti organ, jaringan, sel, dan menumbuhkannya dalam
media sintesis dalam kondisi yang aseptik dan lingkungan yang terkontrol hingga bagian dari
tumbuhan tersebut berkembang dan membentuk tanaman baru (Nofrianindan et al., 2017).
Teknik kultur jaringan sendiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan teknik konvensional
yaitu, tidak memerlukan lahan yang luas, dapat memperbanyak bibit tanaman dengan jumlah
yang banyak dalam waktu yang lebih singkat, kondisi lebih steril sehingga bebas dari serangan
hama dan penyakit (Azizi et al., 2017), dan tidak terpengaruhi oleh musim atau perubahan iklim
(Karjadi dan Buchory, 2008). Keberhasilan pada kultur jaringan dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti nutrisi pada media, jenis media (Nofrianindan et al., 2017), jenis eksplan yang diisolasi
dan komposisi zat pengatur pertumbuhan (Bustami, 2011). Dengan kultur jaringan, kita dapat
memanipulasi segala jenis faktor pertumbuhan seperti intensitas cahaya, suhu, kandungan nutrisi
dalam media, pH yang sesuai dengan jenis tanaman yang diinginkan agar pertumbuhan tanaman
tersebut lebih optimal, karena setiap jenis tumbuhan memiliki syarat pertumbuhan yang berbeda.
1
1.2. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2. Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan tumbuhan mengarah pada kultivasi in-vitro pada setiap bagian atau
organ dari tumbuhan seperti biji tanaman, organ, eksplan, sel, dan jaringan secara aseptis. Salah
satu aspek penting dalam kultur jaringan adalah untuk menjaga dan mengkontrol suhu, sirkulasi
udara, kualitas cahaya, durasi selama berlangsungnya proses inkubasi eksplan, dan penentuan
senyawa organik dan inorganik pada media pertumbuhan agar eksplan dapat tumbuh dengan
optimal (Bhatia et al., 2015). Awal konsep kultur jaringan tumbuhan ditemukan oleh Haberlandt
pada tahun 1902 melalui teori totepotensi yang menyatakan bahwa sel-sel dapat dikultivasikan
dalam media sintetis atau media buatan, dengan memanipulasi media pertumbuhannya tersebut
maka sel tunggal yang dikultivasi dapat mengalami perkembangan selayaknya tumbuhan asli
hingga membentuk tumbuhan sepenuhnya. Tahap-tahap pelaksanaan kultur jaringan tanaman
secara garis besar meliputi proses pembuatan media, inisiasi eksplan, penanaman,
penumbuhan, dan aklimatisasi (Kharjadi, 2008).
4
2.4. Zat Pengatur Tumbuh
Zat Pengatur Tumbuh atau ZPT merupakan senyawa organik aktif (Wiraatmaja, 2017)
yang dapat memanipulasi perkembangan tunas dan akar tumbuhan dalam proses formasi
tumbuhan serta menginduksi kalus (Lestari, 2011) melalui organogenesis dan embriogenesis
pada tumbuhan (Saputra et al., 2016). Dua zat pengatur tumbuh yang paling umum digunakan
dalam penggunaan kultur jaringan tumbuhan adalah zat golongan auksin dan sitokinin, namun
juga terdapat zat golongan lain yang dapat digunakan seperti giberelin, etilen, dan asam absisat
(Lestari, 2011). Pengaturan rasio konsentrasi dari 2 zat pengatur pertumbuhan yang berinteraksi
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur tumbuhan. Auksin dan sitokinin
bekerja dengan berinteraksi satu sama lain, namun interaksi tersebut dapat berjalan secara
sinergis atau antagonistik dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman (Su
et al., 2011). Rasio auksin dan sitokinin yang menengah akan meningkatkan induksi kalus,
sedangkan rasio auksin terhadap sitokinin yang tinggi akan menginduksi embriogenesis dan
pembentukan akar, dan rasio sitokinin terhadap auksin yang tinggi akan menginduksi
pembentukan tunas (Ikeuchi et al., 2013). Struktur kimia, jenis senyawa kimia, genotipe
tumbuhan, dan fase fisiologis tumbuhan mempengaruhi aktivitas dari zat pengatur pertumbuhan,
maka dari itu konsentrasi zpt perlu dimanipulasi pada setiap jenis spesies tanaman yang berbeda.
Selain adanya interaksi antara auksin dan sitokinin, juga terdapat interaksi zpt eksogen dengan
zat pengatur tumbuh yang secara alami terdapat dalam tumbuhan (endogen) selama terjadinya
perkembangan organ tumbuhan. Dengan menambahkan ZPT eksogen pada media, maka
konsentrasi ZPT endogen pada eksplan akan meningkat, sehingga akan memicu pertumbuhan
dan perkembangan jaringan tumbuhan (Lestari, 2011).
Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur
jaringan tumbuhan, dan biasanya dikombinasikan dengan sitokinin untuk meningkatkan
pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ, dan mengatur arah morfogenesis (George et al.,
2008). Secara kimiawi auksin merupakan senyawa dengan cincin aromatik dan gugus asam
karboksilat (Taiz dan Zeiger, 2003). Peran auksin secara fisiologis dalam tumbuhan adalah
mengatur pembelahan sel, pemanjangan dan diferensiasi, perkembangan embrio, tropisme akar
dan batang melalui fototropisme dan geotropisme, dominasi apikal, dan transisi ke pembungaan
(Balzan et al., 2014). Beberapa jenis auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan
diantaranya adalah IAA (indole-3-acetic acid), IBA (Indole-3-butyric acid), NAA (Naphthaline
acetic acid), dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Sathyanarayana & Varghese, 2007).
Fungsi utama auksin adalah pemanjangan batang tumbuhan (Dilworth, 2017) dengan
mempromosikan pertumbuhan sel dengan mengatur ekstensibilitas dinding sel tumbuhan.
Mekanisme auksin dalam pelebaran dinding sel yaitu dengan menstimulasi aktivitas pompa
membran H+ -ATPase yang dapat menyebarkan proton H+ di sekitar matriks dinding sel sehingga
kondisi menjadi asam (sekitar pH 4,5-6). Pengasaman dinding sel akan mengaktivasi beberapa
protein dan enzim pelonggaran dinding sel seperti selulase yang berperan dalam pemutusan atau
pelonggaran ikatan polisakarida antara matriks dinding yang berbeda dan enzim XTH yang
berperan dalam memodifikasi dinding sel yang membentuk kerangka xiloglukan-selolusa untuk
meregulasi tingkat ekspansi dan daya tahan pada sel (Majda & Robert, 2018).
5
Sitokinin merupakan salah satu dari beberapa hormon tumbuhan yang berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Secara kimia, sitokinin adalah senyawa kelompok
adenin dengan isoprene, isoprene termodofikasi, atau rantai samping aromatik yang terlekat pada
gugus amino N6 (Wong et al., 2015). Hormon tersebut memiliki peran yang hampir meliputi
seluruh aspek pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan diantaranya meliputi pembelahan sel,
inisiasi dan perkembangan tunas, penuaan daun, dan perkembangan fotomorfogenik (Kieber,
2014). Sitokinin sering diaplikasikan sebagai zat pengatur pertumbuhan pada aplikasi kultur
jaringan tumbuhan (Karjadi dan Buchory, 2008), beberapa jenis sitokinin yang sering digunakan
diantaranya adalah BAP (benzyl amino purine), 2-ip (6-β-β-dimethylaminopurine), kinetin, dan
zeatin (Sathyanarayana dan Varghese, 2007).
Secara level seluler, terdapat beberapa mekanisme sitokinin dalam meregulasi
pertumbuhan dan mengaktivasi pembelahan sel pada tanaman. Pertama, sitokinin meregulasi
transisi fase G1/S (Pertumbuhan/Replikasi DNA) dan transisi fase G2/M (Pertumbuhan dan
Preparasi/Mitosis) selama siklus pembelahan sel. Pada saat fase G1, sitokinin melakukan
upregulasi d-type cyclin sehingga terjadi akumulasi d-type cyclin yang akan meningkatkan
aktivitas enzim cyclin-dependent protein kinase (CDK) dalam pelepasan faktor transkripsi untuk
replikasi DNA, yang kemudian akan meningkatkan transisi fase G1/S (Zhang et al., 2005). Saat
transisi dari fase G2 ke mitosis, sitokinin melakukan fosforegulasi enzim CDK (Wong et al., 2015),
dimana terjadi pelepasan inhibitor gugus fosfat pada CDK di bagian tirosin yang distimulasikan
oleh sitokinin, sehingga enzim CDK dapat teraktivasi dan masuk ke dalam fase mitosis dengan
cepat (Zhang et al ., 1995). Kedua, sitokinin juga mempengaruhi ekspresi gen Knotted Like
Homeobox (KNOX) yang mengkode protein berupa faktor trankripsi yang diperlukan dalam
pemeliharaan meristem agar sel-selnya selalu bersifat meristematik (Indiani, 2014).
6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3. Dokumentasi
Metode ini dilaksanakan dengan mengumpulkan berbagai bukti dari kegiatan kerja
lapang yang dapat berupa gambar dari kegiatan tersebut, dan data-data dari hasil
penelitian.
4. Studi Pustaka
Metode ini dilakukan melalui pencarian dan pengumpulan dokumen-dokumen
terkait dengan objek penelitian berupa jurnal, buku, literasi, laporan penelitian lainnya,
dan sumber-sumber resmi lainnya yang informasinya akan dinterpretasikan dalam
laporan hasil. Literatur yang diambil bertujuan untuk mendukung data-data hasil penelitian
dan teori yang diterapkan saat kegiatan kerja lapang dilaksanakan.
7
5. Pelaksanaan Kegiatan Magang
8
BAB IV
ANALISA HASIL
9
4.2 Pembuatan Media Pertumbuhan
Terdapat 4 jenis media yang nantinya akan digunakan yang pada dasarnya
merupakan media MS namun komposisinya telah dimodifikasi sesuai dengan
kegunaannya. Jenis media yang digunakan akan terdiri dari media elongasi sekaligus
inisiasi eksplan baru dan multiplikasi (Kode : 0) , 2 jenis media mulltiplikasi tunas dengan
tambahan ZPT (Kode : AD0 dan 2), dan media perakaran (Kode : R2).
10
Gambar 4.2 Alat dan Bahan untuk Pembuatan Media
11
11. Pindahkan media yang masih panas ke dalam botol kaca, setiap botol diisikan 20 ml
media (250 botol kaca)
12. Setiap botol yang sudah diisi media akan ditutup menggunakan tutup plastik, dibalut
dengan plastik wrap, dan ditulis kode media beserta nomor autoklaf diatas tutup botol
13. Media akan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121o C, tekanan 1 atm, dan
waktu pemanasan selama 20 menit ketika suhu autoklaf mencapai 121,1 oC
14. Media diletakan di dalam ruangan dingin agar memadat dan siap digunakan
12
Gambar 4.3. Eksplan Pisang yang direndam dalam larutan tween
4.3.2 Pembahasan
Sterilisasi eksplan merupakan tahap dimana eksplan yang diperoleh dari tumbuhan
induknya akan disterilisasi untuk mematikan segala jenis hama, mikroba, dan fungi yang bersifat
patogen terhadap tanaman serta mencegah terjadinya kontaminasi ketika dilakukannya
subkultur. Pada tahap sterilisasi, eksplan yang akan diambil dari tanaman pisang adalah tunas
muda yang tumbuh dari bonggol pisang. Tunas yang diambil harus berusia sekitar 2 minggu
karena masih bebas terhadap jenis penyakit. Eksplan yang dipilih adalah tunas bonggol atau
tunas lateral/aksilar, karena terdapat jaringan meristematik (Agriani, 2021) yang akan
menghasilkan tunas-tunas baru. Selama tahap sterilisasi, eksplan akan direndam oleh berbagai
jenis bahan kimia seperti fungisida, bakterisida, alkohol, bayklin; bahan tersebut bekerja sebagai
disinfektan untuk mengurangi jumlah infeksi patogen tanaman yang terdapat pada eksplan
(Setiani et al., 2018). Pada setiap pembuatan larutan disinfektan, terdapat penambahan tween
yang berfungsi sebagai pelarut dan dispersan. Karena dinding sel bersifat permeabel terhadap
molekul dengan ukuran yang kecil, maka molekul pada disinfektan perlu diseparasikan untuk
memudahkan molekul tersebut masuk ke dalam sel agar proses sterilisasi pada jaringan
tumbuhan lebih efektif.
13
4.4 Subkultur ( Inisiasi, Multiplikasi, Elongasi, Perakaran)
Subkultur dalam kultur jaringan tumbuhan merupakan tahap pemindahan plantet dari
media lama ke media yang sudah baru, kegiatan subkultur dilakukan di dalam laminar air flow
untuk mengurangi adanya kontaminasi selama pemindahan dan menjaga lingkungan kerja dalam
kondisi steril. Langkah-langkah subkultur secara garis besar meliputi tahap pemotongan,
pembelahan, pemisahan, dan pemindahan plantet ke dalam media baru.
Alat Bahan
- Pinset - Alkohol 95%
- Pisau Bedah (Scalpel) - Alkohol 70%
- Wadah Besi - Botol kaca berisi media MS yang sudah
- Bunsen steril
- Alas Kaca - Botol kaca berisi plantet dari kultur
- Gelas Kaca sebelumnya
- Keranjang - Tissue Steril
- Korek Api - Plastik Wrap
- Laminar Air Flow
14
4.4.1.2 Langkah Pelaksanaan subkultur
1. Ambil plantet pisang dari botol kaca dan letakan di alas kaca yang sudah dialasi tissue
2. Pisahkan media yang masih tertempel pada plantet, potong bagian organ yang tidak
diperlukan, dan pecahkan plantet bila ukurannya besar dan mengandung banyak tunas,
dan pisahkan tunas kecil dan besar
3. Keringkan plantet yang yang sudah dipotong menggunakan tissue, dan letakan di alas
tissue yang masih kering,
4. Bila alas tissue sudah basah, ambil lagi tissue baru yang ada di cawan petri
5. Setelah semua bagian plantet dalam 1 botol sudah dipotong, dipisahkan, dan
dikeringkan, siapkan botol berisi media untuk memulai tahap pemindahan
6. Sebelum pemindahan, harus dipastikan pinset steril makanya pinset harus dibersihkan
dengan mencelupkan ke dalam alkohol 95% dan bakar dengan bunsen agar api tersebar
di bagian pinset yang terkena alkohol serta membunuh potensi kontaminan yang masih
ada di permukaannya.
7. Ambil plantet dengan pinset dan pindahkan ke media baru, tutup botol kaca setelah
pemindahan dan balutkan dengan plastik wrap
8. Setelah semua plantet sudah diipindahkan, lanjutkan tahap subkultur untuk kultur lama
lainnya hingga semua botol kultur yang diambil sudah habis
9. Simpan kultur baru ke dalam rak tempat penyimpanan kultur
10. Setelah selesai tahap subkultur, bersihkan permukaan laf dengan alkohol 70% dan (lap),
masukan pinset ke dalam lemari oven, masukan glassware kotor serta sampah plantet
dan tissue ke dalam keranjang
11. Tutup area kerja LAF dan nyalakan lampu UV sebelum meninggalkan area
15
4.4.2.2 Multiplikasi
Tahap multiplikasi dilakukan untuk memperbanyak jumlah tunas dari 1 plantet. Jenis
plantet yang akan dimultiplikasi biasanya masih memiliki ukuran tunas yang kecil, bila terdapat
tunas yang panjang namun belum jadwal untuk kegiatan elongasi, batang, daun, serta akar pada
tunas tersebut akan dipotong untuk mencegah penghambatan proses pertunasan, pemotongan
akar juga berlaku untuk tunas dengan ukuran yang kecil. Untuk multiplikasi, plantet dipindahkan
ke media dengan perlakuan hormon BAP (media 2) dan perlakuan kombinasi 2 hormon yaitu
BAP dan kinetin untuk pertunasan yang lebih kuat dibanding media dengan hanya satu jenis
hormon saja.
Multiplikasi tunas untuk tanaman Pisang cavendish menggunakan teknik proliferasi tunas
aksiler dari eksplan tunas bonggol menggunakan zat pengatur tumbuh. ZPT yang digunakan
adalah BAP pada media multiplikasi pertama dan kombinasi BAP dan kinetin pada media
multiplikasi berikutnya. Jenis ZPT yang digunakan adalah sitokinin karena dapat menginduksi
proliferasi tunas. Berdasarkan hasil penelitian Habib et al. (2016), BAP menghasilkan tunas lebih
banyak dibandingkan jenis sitokinin lainnya. Namun hasil penelitian Balaraju et al. (2008)
menyatakan bahwa dengan mengkombinasikan BAP dengan kinetin akan menghasilkan lebih
banyak tunas dibanding menggunakan BAP sendiri.
Pada pertengahan proses multiplikasi, plantet yang ditumbuhkan di media multiplikasi
dengan tambahan ZPT perlu dipindahkan ke media tanpa perlakuan ZPT (media 0). Perlakuan
tersebut dilakukan untuk menstabilkan atau mengurangi kadar sitokinin pada jaringan tumbuhan
untuk sementara waktu. Berdasarkan penelitian Pieriera et al. (2018), bila konstrasi sitokinin pada
media semakin ditingkatkan dari konsentrasi optimalnya, maka jumlah tunas yang dihasilkan
akan semakin rendah. Kadar sitokinin yang tinggi juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman
dan menimbulkan gejala-gejala yang menandakan kematian sel (Carimi et al., 2003).
Sebelum pemindahan plantet, akar, batang, dan daun dipotong untuk multiplikasi tunas,
hal ini dilakukan untuk mencegah penghambatan multiplikasi tunas oleh akar, daun, dan tangkai
serta mencegah terjadinya dominasi apikal dimana pertumbuhan tunas lateral terhambat oleh
pertumbuhan tunas apikal (Kebrom, 2017). Akar dan daun adalah tempat dimana hormon auksin
16
sendiri disintesis (Joaquim et al., 2017), dan auksin sendiri diketahui dapat menghambat
percabangan tunas dan pertumbuhan tunas lateral dengan menghambat proses pensinyalan
sitokinin (Kurera et al., 2019).
4.4.2.3 Elongasi
Proses elongasi dilakukan untuk memanjangkan tangkai pada tunas, biasanya plantet
yang siap dipindahkan untuk dilakukannya elongasi sudah memiliki tangkai yang panjang. Pada
tahap ini akar dan batang pada tunas yang sudah panjang tidak perlu dipotong, hanya cukup
dibersihkan saja media sebelumnya dan dikeringkan, lalu dipindahkan ke media pertumbuhan
tanpa perlakuan hormon. Media yang digunakan adalah media tanpa hormon tanpa ada
tambahan auksin ataupun sitokinin, karena auksin endogen yang dihasilkan oleh plantetnya
sendiri sudah cukup untuk elongasi dan sitokinin sendiri menghambat kinerja auksin pada
tumbuhan dengan menghambat siklus endositik dari protein pembawa auksin PIN1 (Schaller et
al., 2015). Auksin pada konsentrasi rendah akan memunculkan kalus pada plantet, menyebabkan
efektifitas pada tahap elongasi berkurang, dan tunas yang di elongasikan harus berbagi nutrisi
dengan kalus. Bila menggunakan konsentrasi auksin yang tinggi maka pertumbumhan dan
elongasi akan terhambat, karena melalui reaksi auksin dapat menghasilkan senyawa
penghambat yaitu etilen (Asra et al., 2020).
Gambar 4.5. Tunas pisang yang ditanam dalam media tanpa perlakuan ZPT (media 0)
17
4.4.2.4 Perakaran
Perakaran merupakan tahap akhir dari subkultur, tahap ini berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan akar dari kultur sebelumnya. Plantet yang dipindahkan ke media baru untuk
perakaran merupakan tunas yang sudah melalui tahap elongasi, atau tunas yang sudah memiliki
ukuran yang panjang, memenuhi syarat untuk dilakukan proses perakaran. Hampir sama seperti
elongasi, tangkai dan akar pada tunas tidak perlu dipotong, namun untuk mempermudah
pemindahan, akar yang sudah panjang dapat dipotong sedikit namun tidak seluruhnya. Media
pertumbuhan yang digunakan untuk perakaran merupakan media tanpa perlakuan hormon
dengan tambahan arang aktif (R2) dan setengah konsentrasi nutrisi makro dari biasanya.
18
4.5 Aklimatisasi
Alat Bahan
Sekop Kaca besar Plantet Pisang
Sekop Besi Kecil Bak berisi Media Tanah
Semprotan Air
Bak Kecil Vitamin B1
Penutup plastik bening Bubuk IBA
Tali Karet Bubuk Fungisida
19
4.5.2 Pembahasan
Aklimatisasi merupakan tahap akhir dalam proses produksi bibit menggunakan teknik
kultur jaringan tumbuhan yang merupakan masa adapatasi dari lingkungan in vitro dengan kondisi
yang steril dan terkendali ke lingkungan yang bersifat alami dan tidak terkontrol (Karti et al., 2020).
Tahap aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan plantet dari media sintesis ke dalam media
aklimatisasi (media alami), dibawah pancaran cahaya matahari namun masih dibatasi
intensitasnya dengan naungan paranet. Aklimatisasi merupakan tahap yang penting dalam kultur
jaringan, karena plantet yang dihasilkan secara in vitro masih belum kompatibel terhadap
lingkungan alami dan cenderung bersifat heterotrof. Biasanya, plantet yang ditanami secara in
vitro masih memiliki lapisan kultikula yang tipis, sel-sel palisade yang belum berkembang,
jaringan pembuluh dari akar ke pucuk yang belum berkembang dan stomata yang belum bekerja
secara maksimal, menyebabkan plantet bersifat sensitif terhadap evapotranpirasi, rentan
terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi, mudah terserang oleh hama tumbuhan dan tidak
bisa menyerap unsur hara dengan baik. Tanaman yang ingin dipindahkan ke lingkungan yang
berbeda perlu dilakukan proses adaptasi, bila ditumbuhkan pada kondisi lingkungan yang
berubah drastis dari lingkungan awalnya maka tanaman tersebut akan mengalami stres sehingga
daya hidup pada tanaman akan menurun (Maliayu et al., 2014).
20
BAB V
TUGAS KHUSUS
A B
Gambar 5.1. Eksplan yang sudah disterilisasi dipindahkan ke media 0 dengan 5mg/l BAP cair di minggu
ke-0: (A) Eksplan vertikal; (B) Eksplan Horizontal
21
5.2. Hasil Pertumbuhan Eksplan
Pada awal inisiasi eksplan, warna pada jaringannya masih berwarna putih pada eksplan
pisang vertikal dan horizontal, menandakan bahwa sel pada jaringan belum terdeferensiasi.
Jaringan eksplan yang digunakan adalah bonggol pisang atau rhizoma pisang yang merupakan
jaringan embrionik dimana sel belum terdiferensiasi namun memiliki tingkat pembelahan yang
tinggi yang memerlukan nutrisi dan energi yang cukup. Pada hari ke-2 hingga hari ke 4 masih
belum terdapat tanda pertumbuhan, karena belum terdapat perubahan dalam segi ukuran,
bentuk, maupun warna serta perubahan lainnya.
A1 B1
A2 B2
Gambar 5.2. Hasil pertumbuhan pada eksplan: (A1) Pertumbuhan eksplan vertikal minggu ke-1;
(B1) Pertumbuhan eksplan horizontal minggu ke-1; (A2) Pertumbuhan eksplan vertikal minggu
ke-2; (B2) Pertumbuhan eksplan horizontal minggu ke-2.
Pada minggu ke-1 setelah inisiasi sudah terdapat tanda-tanda pertumbuhan untuk
eksplan vertikal dan horizontal. Pertumbuhan untuk eksplan vertikal terdapat pada pelepahnya
yang mengalami sedikit pertumbuhan tinggi dan terdapat bagian pelepah yang sudah berwarna
hijau namun belum pekat, menandakan terbentuknya klorofil. Pertumbuhan pada eksplan
horizontal hampir sama, dimana pelepah pada eksplan tumbuh terbuka ke atas, namun warna
hijau pada eksplan horizontal lebih pekat, menandakan kandungan klorofil yang lebih tinggi,
selain itu perubahan ukuran pada eksplan horizontal jauh lebih signifikan dibanding eksplan
vertikal. Pada minggu ke-2 setelah inisiasi, masih terdapat aktivitas pertumbuhan pada kedua
eksplan. Untuk eksplan horizontal tidak terdapat perubahan yang terlalu signifikan, pelepah yang
tumbuh hanya lebih terbuka sedikit dan terdapat sedikit pigmentasi di beberapa bagian eksplan.
Eksplan vertikal mengalami perubahan yang signifikan dimana pelepah yang tumbuh pada
eksplan lebih panjang dan melebar, serta warna hijau pada jaringan eksplan lebih pekat.
Pertumbuhan yang cukup optimal dari kedua eksplan menandakan bahwa eksplan
tersebut sudah cukup ternutrisi dari segi komposisi media pertumbuhan yang dari unsur makro,
unsur mikro, vitamin, hormon, asam amino dan, sumber karbon. Selain itu, pertumbuhan pada
eksplan, pertumbuhan pelepah dan perubahan warna menandakan adanya aktivitas pembelahan
dan diferensiasi sel. Diferensiasi merupakan tahap pendewasaan sel tanaman yang bersumber
dari sel-sel merismatik (Umami, 2011) yang akan membentuk organ tumbuhan yang berbentuk
seperti daun, bunga, dan organ-organ lainnya. Warna hijau pada eksplan muncul karena
22
terbentuknya klorofil, terbentuknya klorofil terjadi karena adanya biogenesis kloroplas yang juga
dipengaruhi oleh keberadaan sitokinin, Zubo et al. (2008) menyatakan bahwa sitokinin
berpangaruh dalam proses biogenesis kloroplas, aktivitas enzim kloroplas, akumulasi pigmen,
dan laju fotosintesis. Pada awalnya kloroplas berasal dalam wujud protoplastid yang merupakan
plastida yang belum terdaferensiasi, yang nantinya akan berkembang menjadi amiloplast,
plastida pra-granula hingga terbentuk kloroplas dewasa, pembentukan kloroplas memerlukan
pancaran cahaya yang cukup, bila tidak terdapat cahaya maka akan terbentuk etioplas, namun
etioplas akan berkembang menjadi kloroplas bila mendapatkan pancaran cahaya yang cukup
(Cliney, 2003). Kloroplas merupakan tempat sintesis klorofil, selain itu pembentukan klorofil juga
membutuhkan pancaran sinar, klorofil akan memantulkan spektrum hijau dari cahaya dan
menyerap spektrum biru dan merah (Lopez & Barclay, 2017), proses tersebut menyebabkan
munculnya warna hijau pada jaringan tumbuhan. Makanya setiap eksplan yang setelah tertanam
di media pertumbuhannya harus disimpan dalam rak yang sudah terpasang lampu untuk
menyediakan pancaran cahaya yang cukup. Selain pengaruh sitokinin dan pancaran cahaya,
unsur hara makro dan msg yang terkandung dalam media juga mempengaruhi dalam tingkat
penghijauan pada eksplan. Unsur hara makro dan msg menyediakan senyawa prekursor yang
akan terlibat dalam sintesis klorofil berupa magnesium dan asam glutamat (Fufsler et al., 1984).
Untuk nutrisi lainnya, vitamin bekerja sebagai ko-enzim dan katalisator dalam proses
metabolisme dalam tumbuhan (Yustitia, 2017), gula merupakan sumber karbon dan
menyediakan energi untuk berlangsungnya pembelahan sel dan aktivitas metabolik lainnya,
unsur hara mikro berperan dalam biosintesis protein, asam nukleat, ekspresi gen, zat
pertumbuhan, metabolisme lipid dan karbohidrat, klorofil, dan metabolit sekunder (Aftab, 2020).
Selama proses pertumbuhan eksplan dari tahap inisiasi hingga akhir, tidak ada tanda
terjadinya pertumbuhan akar ataupun tunas lateral. Tidak ada pertumbuhan akar mungkin
diakibatkan karena konsentrasi sitokinin yang tinggi di dalam media, sitokinin sendiri memiliki efek
penghalang yang kuat terhadap pertumbuhan akar. Untuk pembentukan tunas diperlukannya
waktu sekitar 2 bulan, dan eksplan yang ditumbuhkan masih berusia 2 minggu sehingga waktu
pertumbuhannya kurang dan diperlukan waktu yang lebih lama lagi. Bila diberikan waktu yang
lebih lama, akan memungkinkan untuk terbentuknya tunas lateral pada kedua eksplan, homon
sitokinin yang terdapat pada media pertumbuhan dapat memunculkan tunas lateral dengan
memodulasi transport auksin atau melakukan upregulasi biosintesis auksin pada tunas lateral
(Tan et al., 2019).
23
5.3. Kontaminasi
Dari 5 eksplan yang ditumbuhkan dalam media, terdapat satu eksplan yang mengalami
kontaminasi yang terjadi pada minggu ke-2 setelah inisiasi. Kontaminasi merupakan salah satu
jenis gangguan yang disebabkan oleh keberadaan patogen seperti bakteri, kapang, khamir, dan
virus pada eksplan atau plantet yang sedang ditumbuhkan secara in-vitro, patogen tersebut
memiliki peran yang antagonistik terhadap plantet yang dapat menghambat pertumbuhan,
memberi beberapa jenis penyakit, hingga menyebabkan kematian pada plantet. Menurut
Cassells (1990) kontaminasi pada kultur jaringan tumbuhan disebabkan oleh keberadaan
mikroorganisme pada permukaan eksplan, atau terdapat keberadaan mikroorganisme dalam
jaringan internal eksplan, atau mungkin terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan di dalam
laboratorium. Pernyataan tersebut mendukung kemungkinan bahwa proses sterilisasi eksplan
atau proses inisiasi eksplan yang dieksekusi dengan buruk menjadi faktor utama terjadinya
kontaminasi pada eksplan. Berdasarkan gambar, dari segi warna dan tekstur dari koloni tersebut,
diperkirakan bahwa kontaminan pada eksplan tersebut berupa mikroorganisme berjenis fungi
atau kapang. Misalkan eksplan tersebut terkontaminasi oleh fungi maka kontaminasi seharusnya
berasal dari permukaan eksplan, Cassells (1990) menyatakan bahwa organisme utama yang
terasosiasi pada permukaan tanaman diantaranya adalah fungi. Meskipun belum pasti karena
tidak dilakukannya analisa mengenai kontaminasi, jenis fungi yang menkontaminasi diperkirakan
berasal dari genus Aspergilus sp., karena tanaman merupakan lingkungan alami yang menjadi
tempat untuk pertumbuhan fungi tersebut (Mousavi et al., 2016).
24
BAB VI
Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil inisiasi eksplan tanaman pisang cavendish yang dilaksanakan di
SEAMEO BIOTROP dapat disimpulkan bahwa penanaman eksplan pisang menggunakan terknik
kultur jaringan di dalam media pertumbuhan sintetis dengan tambahan BAP 5mg/l berhasil
dilaksanakan. Kedua jenis eksplan pisang dengan penanaman vertikal dan horizontal
menunjukan adanya pertumbuhan pada minggu ke-1 setelah dilakukannya inisiasi eksplan
dengan adanya pertumbuhan pelepah dan perubahan warna hijau pada jaringan eksplan. Minggu
ke-2, pertumbuhan dari kedua eksplan tersebut masih berlangsung dengan adanya perubahan
warna hijau yang lebih pekat dari minggu ke-1 dan ukuran pelepah yang semakin melebar dan
memanjang. Hasil tersebut menunjukan bahwa teknkik kultur jaringan memberikan sarana untuk
pertumbuhan yang efektif bagi eksplan. Salah satu kelemahan dari teknik kultur jaringan adalah
terdapat kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi yang mungkin disebabkan karena terjadi
kesalahan saat tahap sterilisasi eksplan dan/atau saat tahap pemindahan eksplan ke media
pertumbuhan barunya.
6.2. Saran
Hasil inisiasi dan sterilisasi eksplan masih belum akurat, karena waktu analisa
pertumbuhan eksplan pisang kurang lama dan hanya berlangsung selama 2 minggu, sedangkan
diperlukannya 2 bulan untuk pembentukan tunas. Selain itu, hasil akan lebih akurat bila dilakukan
subkultur tunas dan aklimatisasi pada setiap eksplan untuk mengetahui jumlah tunas anakan
yang dihasilkan pada setiap eksplan dan kualitas dari bibit yang dihasilkan.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Jamaluddin, M. A., Widodo, W. D., & Suketi, K. (2019). Pisang Cavendish Komersial di
Lampung Tengah, Lampung. Buletin Agrohorti. 7(1) : 16-24.
Karjadi, A., & Buchory, A. (2008). Pengaruh Auksin Dan Sitokinin Terhadap Pertumbuhan Dan
Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola. Jurnal Hortikultura, 18(4),
85724. https://doi.org/10.21082/jhort.v18n4.2008.p
Karti, P. D. M H., Wijayanti, I., & Pramadi, S. D. (2020). Teknik Aklimatisasi pada Tanaman
Lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan Perbedaan Media Tanam dan Sifat Tumbuh.
Pastura. 10(1): 46 – 52.
Kebrom, T. H. (2017). A Growing Stems Inhibits Bud Outgrowth – The Overlook Theory of
Apical Dominance. Plant Science. 8: 1-7.
Kieber, J. J., & Schaller, G. E. (2014). Cytokinins. The Arabidopsis Book, 12(February 2015),
e0168. https://doi.org/10.1199/tab.0168
Ko, W. H., Su, C. D., Chen, C. L., & Chao, C. P. (2009). Control of lethal browning of tissue
culture plantlets of Cavendish banana cv. Formosana with ascorbic acid. Plant Cell Tissue
Organ Culture, 96 :137–141.
Lopez, F. B., & Barclay, G. F. (2017). Plant Anatomy and Physiology. Dalam: Simone Badal &
Rupika Delgoda (ed). Pharmacognosy: Fundamentals, Applications and Strategies.
Elsevier.
Mahfudza, E., Mukarlina, & Linda, R. (2018). Perbanyakan Tunas Pisang Cavendish (Musa
acuminata L.) Secara In Vitro dengan Penambahan Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan
Air Kelapa. Protobiont. 7(1): 75-79.
Majda, M., dan Robert, S. The Role of Auxin in Cell Wall Expansion. International Journal of
Molecular Science, 19(4), 951.
Maliayu, W. M., Mawardi, S., & Mashud, N. (2014). Optimasi Daya Adaptasi Plantet Kelapa
Kopyor Hasil Kultur Embryo. Prosiding Konverensi Nasional Kelapa VIII Jambi 22 Mei
2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkenunan Bogor. Jambi, 21 Mei 2014.
Mawariani, 2020 Organogenesis Tanaman Pisang Cavendish (Musa acuminata L.) pada
Berbagai Konsentrasi ZPT IAA (Indole Acetic Acid) dan BAP (Benzil Amin Purine) Secara
In Vitro. Skripsi. Universitas Cokroaminoto Palopo.
Joaquim, M. C., Heuvelink, E., & Van, D. P. P. (2017). Propagation by Cutting. Dalam
Reference Module in Life Science. Elsevier.
Mousavi, B., Hedayati, M. T., Hedayati, N., Ilkit, M., & Syedmousavi, S.
(2016). Aspergillus species in indoor environments and their possible occupational and
public health hazards. Current medical mycology, 2(1), 36–42.
Nofrianinda, V., Yulianti, F., & Agustina, E. (2018). Pertumbuhan Planlet Stroberi (Fragaria
ananassa D) Var. Dorit pada Beberapa Variasi Media Modifikasi In Vitro di Balai Penelitian
Jeruk dan Buah Subtropika (BALITJESTRO). Biotropic : The Journal of Tropical Biology,
1(1), 32–41. https://doi.org/10.29080/biotropic.2017.1.1.32-41
Poerba, Y. S., Martanti, D., Ahmad, F., Herlina, Handayani, T., & Witjaksono, (2018). Deskripsi
Pisang : Koleksi Pusat Penelitian Biologi LIPI. LIPI Press. Jakarta.
Prasetyo, C. H. (2009). Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium sp. di Pembudidayaan
Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Tugas Akhir, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pudijono, S.( 2014). Produksi Bibit Jati Unggul (Tectona grandis L.F) dari Klon dan
Budidayanya. IPB Press. Bogor.
Rustam, Syamsudin, R., Soekandarsih, E., dan Trijuno, D. D. (2020). Studi Penggunaan Zat
27
Pengatur Tumbuh BAP terhadap Pembentukan Tunas dan Pertumbuhan Mutlak Rumput
Laut (Kappaphycus alvarezii, Doty.). Prosiding Simposium Nasional VII Kelautan dan
Perikanan 22 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar, 5
Juni 2020.
Saputra, I., Dwiyani, R., & Yuswanti, H. (2016). Mikropropagasi Tanaman Stroberi (Fragaria
Sp.) Melalui Induksi Organogenesis. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika (Journal of
Tropical Agroecotechnology), 5(4), 332–343.
Sathyanarayana, B. N., & Varghese, B. V., (2007). Plant Tissue Culture Practices and New
Experimental Protocols. JK International Publishing House. New Delhi.
Schaller, G. E., Bishopp, A., & Kieber, J. J. (2015). The Yin Yang of Hormones: Cytokinin and
Auxin Interactions in Plant Development. The Plant Cell. 27(1): 44-63.
Setiani, N. A., Nurwinda, F., & Asriany, D. (2018). Pengaruh Desinfektan dan Lama
Perendaman pada Sterilisasi Eksplan Daun Sukun. Journal of Tropical Biology. 6(3): 78-
82.
Setjen RI Pertanian (2020). Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2018.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id. Diakses pada 9 Januari 2022.
Su, Y. H., Liu, Y. B., & Zhang, X. S. (2011). Auxin-cytokinin interaction regulates meristem
development. Molecular Plant, 4(4), 616–625. https://doi.org/10.1093/mp/ssr007
Taiz, L. & Zeiger, E. (2003). Plant Physiology. Dalam Thomas Lazar (ed). Annals of Botany.
Sinauer Associates. Sunderland.
Tan, M., Li, G., Chen, X., Xing, L., Ma, J., Zhang, D., Ge, H., Han, M., Sha, G., & An, N. (2019).
Role of Cytokinin, Strigolactone, and Auxin Export on Outgrowth of Axillary Buds in Apple.
Frontiers in Plant Science, 10(616), 1–14.
The Observatory of Economic Complexity (OEC). (2022). Bananas in Indonesia.
https://oec.world Diakses pada 11 Januari 2021.
The Observatory of Economic Complexity (OEC). (2022). Bananas in Philipines.
https://oec.world Diakses pada 10 Januari 2021.
Thomas, T. D. (2008). The role of activated charcoal in plant tissue culture. Biotechnology
Advances. 26: 618–631.
Umami, A., Darmanti, S., & Haryanti, S. (2011). Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman
Bawang Merah (Allium ascalonicum L. var.Tiron) Dengan Perlakuan Gracilaria verrucosa
Sebagai Penjerap Air Pada Tanah Pasir. BIOMA, 13(2), 60-66.
Wahyuni, S. R., Lestari, W., & Novriyanti, E. (2014). Induksi In Vitro Tanaman Gaharu
(Aquilaria microcarpa Baill.) dari Eksplan Tunas Aksilar dengan Penambahan 6-
Bnzylaminopurine (BAP). Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Riau, 1(2), 1-7.
Wahyuni, W. A (2018) Kelayakan Usaha Pisang Cavendish di Perusahaan Great Giant Food
PG 3 Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. UMY.
Wiraatmaja, I. W. (2017). Bahan Ajar Zat Pengatur Tumbuh Auksin dan Cara Penggunaannya
dalam Bidang Pertanian. 182–191.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/ddeec13c19c352d21ccca286966a
08ec.pdf
Widi , Satiyantari (1998) Analisa Peluang Pasar Pisang serta Implikasinya pada Pengembangan
dan Pemasaran Pisang. Masters thesis, IPB.
Wong, W. S., Tan, S., Ge, L., Chen, X., & Yong, J. (2015). The Importance of Phytohormones
28
and Microbes in Biofertilizers. Dalam Dinesh K. Maheswari (ed). Bacterial Metabolites in
Sustainable Agroecosystem. Springer. Switzerland. 10.1007/978-3-319-24654-3_6.
Xiao W, Huang XL, Huang X, Chen YP, Dai XM, Zhao JT. (2007) Plant regeneration from
protoplasts of Musa acuminate cv. Mas (AA) via somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue
Organ Cult. 90:191–200.
Yustitia, R. I. (2017). Penambahan Vitamin B1 (Thiamin) pada Media Tanam ( Arang Kayu dan
Sabut Kelapa) untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Angrrek (Dendrobium sp ) pada
Tahap Aklimatisasi. Skripsi. Program studi Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Zhang, Diederich, L., & John, P. C. (2005). The Cytokinin Requirement for Cell Division in
Cultured Nicotiana plumbaginifolia Cells can be Satisfied by Yeast Cdc25 Protein Tyrosine
Phosphatase: Implications for Mechanisms of Cytokinin Response and Plant
Development. Plant physiology, 137(1), 308–316.
Zhang, K Letham, D. S., & John, P. C. L. (1996). Cytokinin controls the cell cycle at mitosis by
stimulating the tyrosine dephosphorylation and activation of p34cdc2-like H1 histone kinase.
Planta, 200(1), 2-12.
Zubo, Y. O., Yamburenko, M. V., Selivankina, S. Y., Shakirova, F. M., Avalbaev, A. M.,
Kudryakova, N. V., Zubkova, N. K., Liere, K., Kulaeva, O. N., Kusnetsov, V. V., & Börner,
T. (2008). Cytokinin stimulates chloroplast transcription in detached barley leaves. Plant
Physiology, 148(2), 1082–1093.
29
LAMPIRAN
30
Lampiran 2. Kegiatan Subkultur di dalam Laminar Air Flow (LAF)
31
Lampiran 3. Ruangan penyimpanan kultur tumbuhan
32
Lampiran 4. Ruangan pembuatan Media
33
Lampiran 5. Ruang sterilisasi alat dan media
34