Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PRODUKSI BIBIT UNGGUL TUMBUHAN PISANG CAVENDISH (Musa


acuminata) MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR JARINGAN TUMBUHAN DI
SOUTH ASIAN REGIONAL CENTRE FOR TROPICAL BIOLOGY (SEAMEO
BIOTROP), BOGOR

Oleh
Francis Amadeo Junianto
185100507111001

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang
memberi kesemempatan saya melaksanakan praktek kerja lapang dalam masa pandemi ini dan
dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Produksi Bibit Unggul Tumbuhan Pisang
Cavendish (Musa acuminata) menggunakan Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan di South Asian
Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP), Bogor” dalam tepat waktu.
Walaupun tujuan utama dari penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai salah satu
syarat kelulusan agar penulis mendapat gelar sarjana Bioteknologi, namun dalam proses
pembuatan proposal ini serta pelaksanaan magang nantinya yang akan diakhiri dengan
pembuatan laporan, penulis dapat memperluas kemampuannya dalam aspek penulisan literatur
sekaligus persiapan untuk menghadapi tugas akhir, mempelajari lebih dalam terkait hal yang
dipelajari selama perkuliahan, dan mendapat pengalaman kerja di lapangan secara langsung
yang nantinya akan bermanfaat untuk prospek kedepannya. Penulis
hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan,
arahan, dan persetujuan sehingga pembuatan proposal penelitian ini dapat terwujudkan. Ucapan
terima kasih ditujukan kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberi doa, dukungan, dan motivasi
2. Ibu Freini Dessy Effendy, S.TP,MP, selaku dosen pembimbing praktek kerja lapang
yang telah memberi bimbingan dalam penulisan proposal praktek kerja lapang
3. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology sebagai mitra yang menyediakan
sarana dalam melaksanakan kegiatan praktek kerja lapang
4. Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP, selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
5. Dr. Ir. Erina Sulistiani, M.Si. selaku pembimbing lapang di SEAMEO BIOTROP beserta
pegawai-pegawai laboratorium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP yang telah
mebimbing saya selama kegiatan magang
6. Rekan-rekan yang telah memberi bantuan dan arahan dalam proses penyusunan
proposal praktek kerja lapang

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan yang
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dalam penulisan dan pengetahuan dari penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan pemberian kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
untuk memperbaiki sebagian besar kesalahan pada proposal ini dan menyempurnakan
penyusunan laporan hasil nantinya.

Jakarta, 5 Februari 2022

Francis Amadeo Junianto

i
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PRODUKSI BIBIT UNGGUL TUMBUHAN PISANG CAVENDISH (Musa acuminata)


MENGGUNAKAN TEKNIK KULTUR JARINGAN TUMBUHAN DI SOUTH ASIAN REGIONAL
CENTRE FOR TROPICAL BIOLOGY (SEAMEO BIOTROP), BOGOR
Nama : Francis Amadeo Junianto
NIM : 185100507111001
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian

Telah disetujui oleh:


Pembimbing Lapangan Dosen Pembimbing

ii
ABSTRAK
Buah pisang merupakan komoditas yang bagi perdagangan di Indonesia dan secara
internasional, karena buah tersebut banyak disukai oleh seluruh penduduk di dunia. Buah pisang
memiliki berbagai variasi, namun variasi pisang yang paling disukai secara internasional adalah
pisang cavendish dikarenakan citra rasa yang pas bagi mayoritas konsumen dengan rasa yang
tidak terlalu manis dan tekstur daging yang pas. Hal tersebut membuka pintu untuk negara
indonesia untuk melakukan ekspor pisang cavendish di perdagangan internasional. Namun
sebagian besar tumbuhan pisang di Indonesia masih dikembangkan secara alami menyebabkan
produksi buah pisang yang sedikit, kurang bagus, dan terhambat karena terkena segala jenis
penyakit salah satunya adalah layu fusarium. Teknik kultur jaringan merupakan solusi dari
permasalahan tersebut karena dapat menghasilkan banyak bibit dalam waktu yang relatif singkat
dan bebas penyakit.
Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology menerapakan teknik kultur jaringan
untuk menghasilkan bibit pisang cavendish dengan langkah berikut : Sterilisasi eksplan, inisiasi
eksplan, subkultur plantet pisang yang terdiri dari tahap multiplikasi, elongasi, dan perakaran; dan
tahap aklimatisasi. Eksplan awal yang digunakan untuk tahap inisiasi eksplan adalah tunas
anakan yang dihasilkan dari bonggol atau rimpang pisang, tunas anakan tersebut juga memiliki
rimpang tersendirinya yang memiliki jaringan merismatik atau embrional yang bersifat totipoten,
sehingga dapat menghasilkan tunas lateral tersendiri dari rimpang tersebut. Maka dari itu
perbanyakan tunas pisang dilakukan dengan meningkatkan proliferasi tunas lateral dari jaringan
merismatik yang terdapat pada plantet itu sendiri. Dari hasil sterilisasi dan inisiasi eksplan pisang
cavendish, kedua eksplan awal yang ditanamkan pada media pertumbuhan sintetis dengan
tambahan 5mg/l BAP cair menunjukan adanya pertumbuhan seminggu setelah inisiasi dan terus
menunjukan pertumbuhan pada minggu ke-2 nya dengan adanya penumbuhan pelepah dan
perubahan warna hijau pada eksplan.

Kata kunci: Pisang Cavendish, Teknik kultur jaringan, eksplan, multiplikasi, dan tunas lateral.

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................................... I


KATA PENGANTAR ................................................................................................................... II
ABSTRAK .................................................................................................................................. III
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. IV
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... VI
DAFTAR TABEL GAMBAR ...................................................................................................... VII
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. VIII
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1. Latar belakang ................................................................................................................ 1
1.2. Tujuan praktek kerja lapang.............................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 3
2.1. Pohon pisang cavendish ................................................................................................... 3
2.2. Teknik kultur jaringan tumbuhan ....................................................................................... 4
2.3. Media pertumbuhan .......................................................................................................... 4
2.4. Zat pengatur tumbuh ........................................................................................................ 5
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................................................... 7
3.1. Waktu dan tempat pelaksanaan........................................................................................ 7
3.2. Metode Pelaksanaan ........................................................................................................ 7
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ 9
4.1. Pencucian, preparasi, dan sterilisasi Alat .......................................................................... 9
4.2. Pembuatan media Pertumbuhan .................................................................................... 10
4.3. Sterilisasi Eksplan........................................................................................................... 12
4.3.1. Langkah Sterilisasi Eksplan ..................................................................................... 12
4.3.2. Pembahasan ............................................................................................................ 13
4.4. Subkultur ........................................................................................................................ 14
4.4.1. Langkah-langkah subkultur ...................................................................................... 14
4.4.1.1. Langkah preparasi ............................................................................................. 14
4.4.1.2. Langkah pelaksanaan subkultur ......................................................................... 15
4.4.2. Jenis-jenis kegiatan subkultur .................................................................................. 15
4.4.2.1. Inisiasi Eksplan .................................................................................................. 15
4.4.2.2. Multiplikasi ......................................................................................................... 16
4.4.2.3. Elongasi ............................................................................................................. 17
4.4.2.4. Perakaran .......................................................................................................... 18

iv
4.5 Aklimatisasi ..................................................................................................................... 19
4.5.1. Langkah aklimatisasi ................................................................................................ 19
4.5.2. Pembahasan ............................................................................................................ 20
BAB 5 TUGAS KHUSUS ........................................................................................................... 21
5.1. Sterilisasi dan inisiasi eksplan tanaman pisang cavendish.............................................. 21
5.2. Hasil Pertumbuhan Eksplan ............................................................................................ 22
5.3. Kontaminasi .................................................................................................................... 24
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................... 25
6.1. Kesimpulan ..................................................................................................................... 25
6.2. Saran ............................................................................................................................. 25

v
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Bahan untuk pembuatan 4 jenis media ..................................................................... 10

vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Ruang sterilisasi alat dan media ............................................................................. 9
Gambar 4.2. Alat dan bahan untuk pembuatan media .............................................................. 11
Gambar 4.3. Eksplan Pisang yang direndam dalam larutan tween ........................................... 13
Gambar 4.4. Tunas pisang yang ditanam dalam media multiplikasi ......................................... 16
Gambar 4.5. Tunas pisang yang ditanam dalam media tanpa perlakuan ZPT (media 0) ........... 17
Gambar 4.6. Tunas pisang yang ditanam dalam media perakaran ........................................... 18
Gambar 4.7. Plantet pisang yang ditanam di media aklimatisasi .............................................. 19
Gambar 5.1. Eksplan yang sudah disterilisasi dipindahkan ke media 0 dengan 5mg/l BAP
cair di minggu ke-0 ................................................................................................................... 21
Gambar 5.2. Hasil pertumbuhan pada eksplan ......................................................................... 22
Gambar 5.3. Kontaminasi pada eksplan pisang ....................................................................... 24

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pemilihan eksplan dan sterilisasi eksplan .............................................................. 30


Lampiran 2. Kegiatan Subkultur di dalam Laminar Air Flow (LAF)............................................. 31
Lampiran 3. Ruangan penyimpanan kultur tumbuhan ............................................................... 32
Lampiran 4. Ruangan pembuatan Media .................................................................................. 33
Lampiran 5. Ruang sterilisasi alat dan media ............................................................................ 34

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pisang merupakan salah satu komoditas yang penting bagi perdagangan di Indonesia,
dan telah lama mencapai reputasi dagangan secara internasional, karena pisang merupakan
buah yang digemari oleh penduduk di dunia (satiyantari, 1998). Beberapa penyebab pisang
dikonsumsi banyak orang adalah rasa yang enak serta kandungan gizi yang terdapat didalamnya,
buah pisang sendiri bila dikonsumsi dapat memberi suplai energi bagi tubuh dan merupakan
sumber vitamin C dan B6 (Jamaludin et al., 2019). Di indonesia, konsumsi buah pisang per kapita
pada tahun 2018 mencapai 59 kg per tahunnya, dan produksi buah pisang pada 2018 mencapai
7 juta ton (Setjen Pertanian RI, 2018). Namun sebagai eksportir, Indonesia hanya memenuhi 0,06
% volume ekspor pisang yang merupakan nilai yang paling kecil se asia tenggara (jamaludin et
al., 2019) dengan nilai jumlah ekspor pisang sebanyak $ 11,4 Juta pada tahun 2019 (OEC, 2019).
Negara asia tenggara dengan jumlah eksportir pisang terbesar adalah filipina, yang memenuhi
95% volume ekspor se asia tenggara, dan memperoleh nilai jumlah ekspor pisang sebesar $ 1,93
milliar pada tahun 2019 (OEC, 2022). Hal yang menghalang Indonesia dalam mengekspor pisang
adalah keanekaragaman buah pisang yang diproduksi, sedangkan pasar internasional
cenderung lebih tertarik pada pisang jenis cavendish (jamaluddin et al., 2019).
Di Indonesia, sebagian besar tumbuhan pisang masih dikembangkan secara alami
dengan metode pekarangan. Metode tersebut menyebabkan proses produksi buah pisang yang
kurang maksimal karena mudah terkena penyakit dan tunas yang dihasilkan dari satu induk
hanya mencapai 2-3 tunas, menyebabkan kualitas buah dihasilkan kurang bagus dan jumlah
buah pisang yang diekspor sedikit (Mawariani, 2020). Selain itu Pengembangan tumbuhan pisang
kelompok Cavendish di Indonesia menghadapi kendala serangan penyakit layu Fusarium yang
dapat menyebabkan defektifitas dalam proses pembuahan. Salah satu upaya dalam
meningkatkan produksi pisang cavendish adalah mengimplementasikan teknik kultur jaringan
tumbuhan dalam memproduksi pisang untuk menghasilkan jumlah bibit yang banyak dan bebas
dari penyakit dalam waktu yang singkat.
Kultur jaringan merupakan teknik pembibitan atau pembiakan tanaman dengan
mengisolasi bagian dari tanaman seperti organ, jaringan, sel, dan menumbuhkannya dalam
media sintesis dalam kondisi yang aseptik dan lingkungan yang terkontrol hingga bagian dari
tumbuhan tersebut berkembang dan membentuk tanaman baru (Nofrianindan et al., 2017).
Teknik kultur jaringan sendiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan teknik konvensional
yaitu, tidak memerlukan lahan yang luas, dapat memperbanyak bibit tanaman dengan jumlah
yang banyak dalam waktu yang lebih singkat, kondisi lebih steril sehingga bebas dari serangan
hama dan penyakit (Azizi et al., 2017), dan tidak terpengaruhi oleh musim atau perubahan iklim
(Karjadi dan Buchory, 2008). Keberhasilan pada kultur jaringan dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti nutrisi pada media, jenis media (Nofrianindan et al., 2017), jenis eksplan yang diisolasi
dan komposisi zat pengatur pertumbuhan (Bustami, 2011). Dengan kultur jaringan, kita dapat
memanipulasi segala jenis faktor pertumbuhan seperti intensitas cahaya, suhu, kandungan nutrisi
dalam media, pH yang sesuai dengan jenis tanaman yang diinginkan agar pertumbuhan tanaman
tersebut lebih optimal, karena setiap jenis tumbuhan memiliki syarat pertumbuhan yang berbeda.

1
1.2. Tujuan

1. Mengetahui prosedur kerja SEAMEO BIOTROP dalam menghasilkan bibit pisang


cavendish menggunakan kultur jaringan
2. Mempelajari lebih dalam terkait tumbuhan tropikal di SEAMEO BIOTROP
3. Membangun pengalaman kerja dengan menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama
perkuliahan di SEAMEO BIOTROP
4. Mengembangkan kemampuan softskill dan hardskill yang dikedepannya akan diperlukan
saat melaksanakan tugas akhir dan di dunia kerja
5. Mempelajari struktur organisasi SEAMEO BIOTROP serta sejarah dan perkembangannya

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pohon Pisang Cavendish


Tanaman pisang cavendish (Musa acuminata) atau biasa dipanggil sebagai
pisang ambon putih merupakan tumbuhan holtikultura yang populer karena menghasilkan buah
yang sangat disukai banyak orang, termasuk masyarakat dari negara-negara luar. Hal yang
menyebabkan pisang cavendish sangat populer dikarenakan citra rasa yang lezat, rasa yang
tidak terlalu manis dengan sedikit rasa asam, serta tekstur daging buah yang pas bagi sebagian
besar orang, tidak terlalu lembut, yang ditambah dengan kandungan gizi yang tinggi (Wahyuni,
2018). Buah pisang cavendish biasanya dikonsumsi langsung karena buahnya dapat dimakan
mentah, tapi juga dapat dijadikan sebagai produk olahan seperti tepung pisang, bubur bayi, bolu,
dan produk-produk lainnya (Mahfudzda, 2018) untuk meningkatkan nilai jual. Taksonomi pohon
pisang mencakup Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas :
Monocotyledoneae Famili : Musaceae Genus : Musa Species : Musa acuminata Ploidi : Triploid
A (AAA) Varietas : Cavendish.
Pohon pisang cavendish dapat tumbuh hingga 2,5 – 3 m, dengan panjang batang semu
1,4 m dan lebar batang 16 cm. Batang semu pada pohon pisang memiliki warna jabon tua, ketika
mengalami pigmentasi, warna berubah menjadi coklat keuunguan. Daun yang dimilikinya
memiliki ukuran yang besar dengan panjang 184 cm, lebar 62 cm, panjang tangkai daun sebesar
30 cm, dengan bentuk kedua sisi melancip dan warna daun hijau kekuningan. Daunnya sendiri
beserta tangkainya akan tumbuh agak merunduk dengan bercak hitam yang besar pada
tangkainya. Pohon pisang ini memiliki jantung pisang yang berbentuk seperti gasing dengan
panjang 18 cm dan lebar 6,8 cm yang nantinya akan tumbuh secara tergantung vertikal dengan
panjang tandan 34 cm. Buah pisang cavendish memiliki bentuk melengkung, sisi tumpul, panjang
16 cm, diameter 3 cm, warna kulit hijau kekuningan, warna daging buah kuning muda dan tidak
berbiji. Pohon tersebut akan menghasilkan sekitar 9 – 15 sisir pada tandannya, sisir tengah pada
bagian tengah tandan akan terdiri dari 20 buah pisang (Poerba et al., 2018).
Secara fisiologis pohon pisang cavendish dapat tumbuh di iklim tropis dan subtropis,
dapat tumbuh dengan maksimal dalam kondisi tropis lembab, panas, dan basah dengan curah
hujan 2000 – 3000 mm/ tahun pada suhu 27oC – 30oC, walaupun dapat tumbuh pada suhu 16oC
dan kondisi rendah air, namun pertumbuhannya akan kurang maksimal (Mawariani, 2020).
Kondisi tanah yang optimal untuk pertumbuhan tanaman pisang harus pada ketinggian tanah 500
– 1000 mdpl (dapat tumbuh hingga 2000 mdpl), dengan pH 5.0, kandungan fosforus diatas 80
ppm, 0,5 meq/kg potassium, 4-10 meq/kg kalsium, dan 1-3 meq/kg magnesium (Campbell, 2008).

3
2.2. Kultur Jaringan Tumbuhan
Kultur jaringan tumbuhan mengarah pada kultivasi in-vitro pada setiap bagian atau
organ dari tumbuhan seperti biji tanaman, organ, eksplan, sel, dan jaringan secara aseptis. Salah
satu aspek penting dalam kultur jaringan adalah untuk menjaga dan mengkontrol suhu, sirkulasi
udara, kualitas cahaya, durasi selama berlangsungnya proses inkubasi eksplan, dan penentuan
senyawa organik dan inorganik pada media pertumbuhan agar eksplan dapat tumbuh dengan
optimal (Bhatia et al., 2015). Awal konsep kultur jaringan tumbuhan ditemukan oleh Haberlandt
pada tahun 1902 melalui teori totepotensi yang menyatakan bahwa sel-sel dapat dikultivasikan
dalam media sintetis atau media buatan, dengan memanipulasi media pertumbuhannya tersebut
maka sel tunggal yang dikultivasi dapat mengalami perkembangan selayaknya tumbuhan asli
hingga membentuk tumbuhan sepenuhnya. Tahap-tahap pelaksanaan kultur jaringan tanaman
secara garis besar meliputi proses pembuatan media, inisiasi eksplan, penanaman,
penumbuhan, dan aklimatisasi (Kharjadi, 2008).

2.3. Media Pertumbuhan


Media kultur jaringan tanam merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan proses kultur jaringan tumbuhan. Media tanam merupakan medium yang
menyediakan nutrisi yang terdiri dari zat organik dan inorganik agar berlangsungnya
pertumbuhan dan perkembangan sel dan jaringan tumbuhan yang dikultivasi. Dalam kultur
jaringan, terdapat berbagai variasi komposisi nutrisi yang berbeda dalam suatu media untuk
menyesuaikan dengan jenis spesies tumbuhan yang dikultivasi agar pertumbuhan lebih optimal.
Setiap bagian organ dari tanaman juga memiliki persyaratan pertumbuhan yang berbeda, maka
sangat diperlukan untuk melakukan modifikasi media pada setiap bagian tumbuhan atau eksplan
yang berbeda. Media tanam dapat berupa media cair dan media padat tergantung pada tujuan
penelitian, sebagai contoh media padat digunakan untuk pembentukan kalus dan organ
tumbuhan dari eksplan dan media cair digunakan untuk diferensiasi kalus. Komposisi media
tanaman secara keseluruhan terdiri dari nutrisi inorganik yang terdiri dari unsur hara makro
(Nitrogen, Phosporus, Potassium, Kalsium, Magnesium, Sulfur) dan unsur hara mikro (Fe, B, Cl -
, Co, Cu, I, Mn, Mo, Zn), vitamin, asam amino, zat pengatur pertumbuhan (auksin, sitokinin,
giberelin, asam absisat), agen pengental untuk media padat (Agar, Agarose, Phytagel), sumber
karbon, dan konstituen lainnya (antibiotik, antioksidan, karbon teraktivasi) (Sathyanarayana dan
Varghese, 2007).
Media tanam yang paling umum digunakan adalah media MS (1962), yang sudah
digunakan secara luas. Awalnya media tersebut dikembangkan untuk mengkultivasikan satu jenis
tumbuhan saja, namun komposisi dari media MS juga kompatibel untuk digunakan pada seluruh
jenis spesies tumbuhan, bahkan setengah dari konsentrasi media MS sudah mencukupi untuk
melangsungkan pertumbuhan pada hampir seluruh spesies tumbuhan (Sathyanarayana dan
Varghese, 2007).

4
2.4. Zat Pengatur Tumbuh

Zat Pengatur Tumbuh atau ZPT merupakan senyawa organik aktif (Wiraatmaja, 2017)
yang dapat memanipulasi perkembangan tunas dan akar tumbuhan dalam proses formasi
tumbuhan serta menginduksi kalus (Lestari, 2011) melalui organogenesis dan embriogenesis
pada tumbuhan (Saputra et al., 2016). Dua zat pengatur tumbuh yang paling umum digunakan
dalam penggunaan kultur jaringan tumbuhan adalah zat golongan auksin dan sitokinin, namun
juga terdapat zat golongan lain yang dapat digunakan seperti giberelin, etilen, dan asam absisat
(Lestari, 2011). Pengaturan rasio konsentrasi dari 2 zat pengatur pertumbuhan yang berinteraksi
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur tumbuhan. Auksin dan sitokinin
bekerja dengan berinteraksi satu sama lain, namun interaksi tersebut dapat berjalan secara
sinergis atau antagonistik dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman (Su
et al., 2011). Rasio auksin dan sitokinin yang menengah akan meningkatkan induksi kalus,
sedangkan rasio auksin terhadap sitokinin yang tinggi akan menginduksi embriogenesis dan
pembentukan akar, dan rasio sitokinin terhadap auksin yang tinggi akan menginduksi
pembentukan tunas (Ikeuchi et al., 2013). Struktur kimia, jenis senyawa kimia, genotipe
tumbuhan, dan fase fisiologis tumbuhan mempengaruhi aktivitas dari zat pengatur pertumbuhan,
maka dari itu konsentrasi zpt perlu dimanipulasi pada setiap jenis spesies tanaman yang berbeda.
Selain adanya interaksi antara auksin dan sitokinin, juga terdapat interaksi zpt eksogen dengan
zat pengatur tumbuh yang secara alami terdapat dalam tumbuhan (endogen) selama terjadinya
perkembangan organ tumbuhan. Dengan menambahkan ZPT eksogen pada media, maka
konsentrasi ZPT endogen pada eksplan akan meningkat, sehingga akan memicu pertumbuhan
dan perkembangan jaringan tumbuhan (Lestari, 2011).

Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur
jaringan tumbuhan, dan biasanya dikombinasikan dengan sitokinin untuk meningkatkan
pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ, dan mengatur arah morfogenesis (George et al.,
2008). Secara kimiawi auksin merupakan senyawa dengan cincin aromatik dan gugus asam
karboksilat (Taiz dan Zeiger, 2003). Peran auksin secara fisiologis dalam tumbuhan adalah
mengatur pembelahan sel, pemanjangan dan diferensiasi, perkembangan embrio, tropisme akar
dan batang melalui fototropisme dan geotropisme, dominasi apikal, dan transisi ke pembungaan
(Balzan et al., 2014). Beberapa jenis auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan
diantaranya adalah IAA (indole-3-acetic acid), IBA (Indole-3-butyric acid), NAA (Naphthaline
acetic acid), dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Sathyanarayana & Varghese, 2007).
Fungsi utama auksin adalah pemanjangan batang tumbuhan (Dilworth, 2017) dengan
mempromosikan pertumbuhan sel dengan mengatur ekstensibilitas dinding sel tumbuhan.
Mekanisme auksin dalam pelebaran dinding sel yaitu dengan menstimulasi aktivitas pompa
membran H+ -ATPase yang dapat menyebarkan proton H+ di sekitar matriks dinding sel sehingga
kondisi menjadi asam (sekitar pH 4,5-6). Pengasaman dinding sel akan mengaktivasi beberapa
protein dan enzim pelonggaran dinding sel seperti selulase yang berperan dalam pemutusan atau
pelonggaran ikatan polisakarida antara matriks dinding yang berbeda dan enzim XTH yang
berperan dalam memodifikasi dinding sel yang membentuk kerangka xiloglukan-selolusa untuk
meregulasi tingkat ekspansi dan daya tahan pada sel (Majda & Robert, 2018).

5
Sitokinin merupakan salah satu dari beberapa hormon tumbuhan yang berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Secara kimia, sitokinin adalah senyawa kelompok
adenin dengan isoprene, isoprene termodofikasi, atau rantai samping aromatik yang terlekat pada
gugus amino N6 (Wong et al., 2015). Hormon tersebut memiliki peran yang hampir meliputi
seluruh aspek pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan diantaranya meliputi pembelahan sel,
inisiasi dan perkembangan tunas, penuaan daun, dan perkembangan fotomorfogenik (Kieber,
2014). Sitokinin sering diaplikasikan sebagai zat pengatur pertumbuhan pada aplikasi kultur
jaringan tumbuhan (Karjadi dan Buchory, 2008), beberapa jenis sitokinin yang sering digunakan
diantaranya adalah BAP (benzyl amino purine), 2-ip (6-β-β-dimethylaminopurine), kinetin, dan
zeatin (Sathyanarayana dan Varghese, 2007).
Secara level seluler, terdapat beberapa mekanisme sitokinin dalam meregulasi
pertumbuhan dan mengaktivasi pembelahan sel pada tanaman. Pertama, sitokinin meregulasi
transisi fase G1/S (Pertumbuhan/Replikasi DNA) dan transisi fase G2/M (Pertumbuhan dan
Preparasi/Mitosis) selama siklus pembelahan sel. Pada saat fase G1, sitokinin melakukan
upregulasi d-type cyclin sehingga terjadi akumulasi d-type cyclin yang akan meningkatkan
aktivitas enzim cyclin-dependent protein kinase (CDK) dalam pelepasan faktor transkripsi untuk
replikasi DNA, yang kemudian akan meningkatkan transisi fase G1/S (Zhang et al., 2005). Saat
transisi dari fase G2 ke mitosis, sitokinin melakukan fosforegulasi enzim CDK (Wong et al., 2015),
dimana terjadi pelepasan inhibitor gugus fosfat pada CDK di bagian tirosin yang distimulasikan
oleh sitokinin, sehingga enzim CDK dapat teraktivasi dan masuk ke dalam fase mitosis dengan
cepat (Zhang et al ., 1995). Kedua, sitokinin juga mempengaruhi ekspresi gen Knotted Like
Homeobox (KNOX) yang mengkode protein berupa faktor trankripsi yang diperlukan dalam
pemeliharaan meristem agar sel-selnya selalu bersifat meristematik (Indiani, 2014).

6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Kegiatan praktek kerja lapang akan dilaksanakan selama 30 hari yang dimulai dari
tanggal 1 Desember 2021 hingga 31 Desember 2021. Tempat pelaksanaan praktek kerja
lapang berlokasi di Laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP (Southeast Asian
Regional Centre for Tropical Biology), Bogor, Jawa Barat.

3.2 Metode Pelaksanaan


1. Observasi
Kegiatan observasi dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara
langsung terkait objek penelitian yang meliputi lingkungan sekitar tempat lapang dan
teknik budidaya yang diterapkan. Metode ini bertujuan untuk mengetahui fasilitas dan
prosedur pada tempat lapangan kerja serta mengetahui lebih dalam terkait teknik kultur
jaringan yang digunakan.
2. Wawancara

Metode wawancara dilaksanakan dengan mengajukan beberapa pertanyaan


kepada narasumber. Tujuan dari metode ini adalah menggapai informasi sebanyak
mungkin terkait objek penelitian untuk mendukung kegiatan lainnya. Narasumber yang
diwawancarakan dapat berupa pembimbing lapang atau karyawan instansi magang.

3. Dokumentasi

Metode ini dilaksanakan dengan mengumpulkan berbagai bukti dari kegiatan kerja
lapang yang dapat berupa gambar dari kegiatan tersebut, dan data-data dari hasil
penelitian.

4. Studi Pustaka
Metode ini dilakukan melalui pencarian dan pengumpulan dokumen-dokumen
terkait dengan objek penelitian berupa jurnal, buku, literasi, laporan penelitian lainnya,
dan sumber-sumber resmi lainnya yang informasinya akan dinterpretasikan dalam
laporan hasil. Literatur yang diambil bertujuan untuk mendukung data-data hasil penelitian
dan teori yang diterapkan saat kegiatan kerja lapang dilaksanakan.

7
5. Pelaksanaan Kegiatan Magang

Metode ini dilaksanakan dengan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah


ditentukan oleh pembimbing instansi magang. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
praktek secara langsung di lapangan. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapat
pengalaman kerja secara langsung dan mengetahui prosedur pekerjaan secara lebih
mendalam.

8
BAB IV
ANALISA HASIL

4. Proses Produksi Bibit Pisang Cavendish

4.1. Pencucian, Preparasi, dan Sterilisasi Alat


Setelah digunakan dalam kegiatan subkultur dan pembuatan media sebelumnya, alat-alat
yang akan digunakan lagi harus dalam kondisi bersih, sehingga perlu dilakukan pencucian
untuk semua alat dan proses sterilisasi untuk alat-alat yang akan digunakan dalam kegiatan
di laboratorium produksi. Langkah – langkah yang dilakukan adalah :
1. Glassware seperti alas kaca, cawan petri, gelas kaca, labu ukur, gelas ukur, dan botol
kaca dicuci dengan air mengalir dan digosok menggunakan sikat dengan sabun hingga
seluruh permukaan terlihat bersih
2. Alat yang sudah dicuci ditaruh dalam keranjang plastik untuk dikeringkan (kecuali alat
untuk pembuatan media karena terletak dalam ruangan yang berbeda)
3. Sebelum dilakukan sterilisasi, alas kaca dan cawan petri dibungkus dengan kertas, bagian
gelas kaca yang terbuka ditutupi dengan plastik serta dibaluti dengan karet diikat
sebanyak 3 kali, dan gelas plastik berisi tissue beserta tutupnya dibaluti dengan plastic
wrap.
4. Semua alat yang sudah bersih dan dibungkus akan disterilisasi dalam autoklaf dengan
suhu 121,1 oC, tekanan 1 atm, dan proses pemanasan atau holding time selama 15 menit
ketika autoklaf mencapai suhu tersebut
5. Setelah disterilisasi termasuk proses pendinginan, alat dipindahkan ke dalam oven agar
tetap steril dan siap digunakan

Gambar 4.1. Ruang sterilisasi alat dan media

9
4.2 Pembuatan Media Pertumbuhan
Terdapat 4 jenis media yang nantinya akan digunakan yang pada dasarnya
merupakan media MS namun komposisinya telah dimodifikasi sesuai dengan
kegunaannya. Jenis media yang digunakan akan terdiri dari media elongasi sekaligus
inisiasi eksplan baru dan multiplikasi (Kode : 0) , 2 jenis media mulltiplikasi tunas dengan
tambahan ZPT (Kode : AD0 dan 2), dan media perakaran (Kode : R2).

Bahan Pembuatan Media


Media 0 ( 5 liter) Media 2 (5 liter) Media AD0 ( 5 Media R2 ( 5
liter) liter)
Unsur Makro 500 ml 500 ml 500 ml 250 ml
Unsur Mikro 50 ml 50 ml - 50 ml
MSG 50 gr 50 gr - -
FeEDTA 50 ml 50 ml 50 ml 50 ml
Myoinositol 500 mg 500 mg 500 mg 500 mg
Melamin 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml
Thyamin 5 ml 5 ml 5 ml 5 ml
BAP 10 ml 25 ml
Adenin 200 ml
Gula 150 gr 150 gr 150 gr 100 gr
Kinetin 5 ml
PVP 500 mg
pH 5,8 5,8 5,8 5,8
Agar 30 gr 30 gr 30 gr 30 gr
Arang Aktif 5 gr

Tabel 4.1. Bahan pada 4 jenis media tumbuh


Alat Pembuatan Media
- Labu ukur ( 2 liter, 1 liter, 500 ml, 250 ml)
- Gelas ukur 100 ml
- Pipet ukur 10 ml
- Pipet tetes
- Magnetik stirrer
- Timbangan analitik
- Spatula
- Panci
- Kompor
- pH Meter
- Botol kaca

10
Gambar 4.2 Alat dan Bahan untuk Pembuatan Media

4.2.1 Langkah Pembuatan


1. Siapkan alat labu ukur (2 liter, 1 liter, 500 ml, 250 ml), gelas ukur 100 ml, pipet ukur
10 ml, pipet tetes, magnetic stirer, timbangan analitik, spatula, panci, kompor, dan bahan-
bahan yang diperlukan untuk media termasuk akuades secukupnya
2. Siapkan labu ukur 2 liter diatas magnetik stirer beserta stirer nya, setiap bahan yang sudah
diukur langsung dimasukan dalam labu ukur tersebut, dimulai dari bahan cair dengan
volume tertinggi dan diakhiri dengan bahan berjenis bubuk atau padat
3. Untuk bahan cair yang memerlukan volume yang banyak (seperti 500 ml, 250 ml),
gunakan labu ukur dengan volume sesuai volume bahan yang diperlukan
4. Bahan cair dengan volume menengah (Seperti 50 ml) diukur menggunakan gelas ukur
5. Bahan cair dengan colume rendah ( seperti 10 ml, 5 ml) diukur menggunakan pipet ukur
6. Bahan berjenis bubuk atau padat diukur menggunakan timbangan analitik, bubuk yang
dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit diukur menggunakan timbangan analitik kecil yang
lebih akurat
7. Setelah semua bahan telah tercampur di dalam labu ukur 2 liter, tambahkan akuades ke
dalam labu ukur hingga mencapai tanda batas dan dipindahkan ke dalam panci untuk
dihomogenkan
8. Tambahkan 3 liter aquades (diukur dengan labu ukur 2 liter dan labu ukur 1 liter) ke dalam
panci
9. Masukan probe pH meter ke dalam larutan media dan optimalkan pH larutan media
dengan meneteskan HCl untuk mengurangi pH dan KOH untuk meningkatkan pH
10. Larutkan dan homogenkan larutan media dengan kompor

11
11. Pindahkan media yang masih panas ke dalam botol kaca, setiap botol diisikan 20 ml
media (250 botol kaca)
12. Setiap botol yang sudah diisi media akan ditutup menggunakan tutup plastik, dibalut
dengan plastik wrap, dan ditulis kode media beserta nomor autoklaf diatas tutup botol
13. Media akan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121o C, tekanan 1 atm, dan
waktu pemanasan selama 20 menit ketika suhu autoklaf mencapai 121,1 oC
14. Media diletakan di dalam ruangan dingin agar memadat dan siap digunakan

4.3 Sterilisasi eksplan


Alat Bahan
Magnetic Stirrer Sumber Eksplan
Botol Kaca Alkohol 95%
Pipet tetes Bayklin
Gelas ukur Tween 5
Pisau Aquades Steril
Air kran

4.3.1 Langkah Sterilisasi


1. Siapkan larutan tween dengan mencampurkan 100 ml aquades steril dengan 3 tetes
Tween 5
2. Ambil Tunas muda pohon pisang dari bonggol pisang, potong pelepah dan bonggol
pada tunas hingga tersisa 3-4 lapisan, dan masukan kedalam larutan tersebut dan
rendam selama 30 menit.
3. Bilas 3 kali menggunakan aquades steril
4. Siapkan larutan fungisida dengan mencampurkan 100 ml aquades steril, 0,2 gram
fungisida, dan 3 tetes tween dan larutkan, kemudian rendam eksplan selama satu jam
5. Bilas 3 kali menggunakan aquades steril
6. Siapkan larutan bakterisidan dengan mencampurkan 100 ml aquades steril, 0,08 gram
bakterisida, dan 3 tetes tween dan aduk hingga larut, kemudian masukan eksplan ke
dalam larutan bakterisida selama 1 jam
7. Bilas 3 kali menggunakan aquades steril
8. Preparasi LAF, karena langkah sterilisasi berikutnya akan dilaksanakan di dalam LAF
9. Siaplan larutan alkohol 70% dengan mencampurkan 73 ml alkohol 97% dan 27 ml
aquades steril, dan rendam eksplan selama 1 menit
10. Bilas 3 kali menggunakan akuades steril
11. Siapkan larutan bayklin 30% dengan mencampurkan 30 ml bayklin, 70 ml akuades dan
3 tetes tween, kemudian rendam eksplan selama 30 menit.
12. Bilas 3 kali menggunakan akuades steril
13. Siapkan larutan bayklin 20% dengan mencampurkan 20 ml bayklin, 80 ml akuades steril,
dan 3 tetes tween, kemudian rendam eksplan selama 20 menit
14. Bilas 3 kali menggunakan akuades steril
15. Siapkan media starter (tanpa adanya hormon) dan BAP cair untuk proses inisiasi
eksplan di dalam LAF

12
Gambar 4.3. Eksplan Pisang yang direndam dalam larutan tween

4.3.2 Pembahasan
Sterilisasi eksplan merupakan tahap dimana eksplan yang diperoleh dari tumbuhan
induknya akan disterilisasi untuk mematikan segala jenis hama, mikroba, dan fungi yang bersifat
patogen terhadap tanaman serta mencegah terjadinya kontaminasi ketika dilakukannya
subkultur. Pada tahap sterilisasi, eksplan yang akan diambil dari tanaman pisang adalah tunas
muda yang tumbuh dari bonggol pisang. Tunas yang diambil harus berusia sekitar 2 minggu
karena masih bebas terhadap jenis penyakit. Eksplan yang dipilih adalah tunas bonggol atau
tunas lateral/aksilar, karena terdapat jaringan meristematik (Agriani, 2021) yang akan
menghasilkan tunas-tunas baru. Selama tahap sterilisasi, eksplan akan direndam oleh berbagai
jenis bahan kimia seperti fungisida, bakterisida, alkohol, bayklin; bahan tersebut bekerja sebagai
disinfektan untuk mengurangi jumlah infeksi patogen tanaman yang terdapat pada eksplan
(Setiani et al., 2018). Pada setiap pembuatan larutan disinfektan, terdapat penambahan tween
yang berfungsi sebagai pelarut dan dispersan. Karena dinding sel bersifat permeabel terhadap
molekul dengan ukuran yang kecil, maka molekul pada disinfektan perlu diseparasikan untuk
memudahkan molekul tersebut masuk ke dalam sel agar proses sterilisasi pada jaringan
tumbuhan lebih efektif.

13
4.4 Subkultur ( Inisiasi, Multiplikasi, Elongasi, Perakaran)
Subkultur dalam kultur jaringan tumbuhan merupakan tahap pemindahan plantet dari
media lama ke media yang sudah baru, kegiatan subkultur dilakukan di dalam laminar air flow
untuk mengurangi adanya kontaminasi selama pemindahan dan menjaga lingkungan kerja dalam
kondisi steril. Langkah-langkah subkultur secara garis besar meliputi tahap pemotongan,
pembelahan, pemisahan, dan pemindahan plantet ke dalam media baru.
Alat Bahan
- Pinset - Alkohol 95%
- Pisau Bedah (Scalpel) - Alkohol 70%
- Wadah Besi - Botol kaca berisi media MS yang sudah
- Bunsen steril
- Alas Kaca - Botol kaca berisi plantet dari kultur
- Gelas Kaca sebelumnya
- Keranjang - Tissue Steril
- Korek Api - Plastik Wrap
- Laminar Air Flow

4.4.1 Langkah Langkah Subkultur


4.4.1.1 Langkah Persiapan Subkultur
1. Laminar air flow dinyalakan, lampu LED serta blower dalam pengaturan high
2. Seluruh glassware seperti gelas kaca, alas kaca, cawan petri serta tissue steril dan pinset
diambil dari lemari oven dan disiapkan di dalam laminar air flow
3. Sebelum melakukan segala bentuk kegiatan dalam LAF, pastikan tangan sudah bersih
dengan menyemprotkan alkohol 70% di seluruh permukaan tangan
4. Tuangkan alkohol 95% ke dalam gelas kaca dan nyalakan bunsen burner menggunakan
korek
5. Letakan pinset dan scalpel di wadah besi, tuangkan sedikit alkohol 95% dan bakar dengan
korek untuk memastikan pinset yang digunakan tetap steril
6. Siapkan keranjang di dekat area kerja sebagai tempat glassware kotor beserta bahan
kotor yang akan dibuang seperti tissue yang sudah dipakai, plastik wrap bekas.
7. Ambil plantet yang akan di subkultur dari tempat penyimpanan kultur serta botol berisi
media secukupnya menggunakan trolley
8. Setelah semua alat dan bahan siap, buka bungkusan kertas pada cawan petri dan alas
kaca, kemudian tata seluruh alat dan bahan secara teratur termasuk yang ada di dalam
LAF untuk memulai subkultur
9. Ambil tissue steril dari botol kaca dan pindahkan ke cawan petri
10. Ambil 4 lembar potongan tissue yang ada di cawan petri dan letakan di atas alas kaca
secara terpisah, tissue digunakan sebagai alas untuk pemotongan tunas dan pemisahan
sekaligus pengeringan, dipastikan terdapat 2 lembar potongan tissue terpisah dalam alas
kaca khusus untuk meletakkan plantet yang sudah dipotong dan memisahkan tunas yang
besar dengan tunas yang kecil, 2 lembar lainnya akan digunakan sebagai alas untuk
pemotongan plantet dan pengeringan.

14
4.4.1.2 Langkah Pelaksanaan subkultur
1. Ambil plantet pisang dari botol kaca dan letakan di alas kaca yang sudah dialasi tissue
2. Pisahkan media yang masih tertempel pada plantet, potong bagian organ yang tidak
diperlukan, dan pecahkan plantet bila ukurannya besar dan mengandung banyak tunas,
dan pisahkan tunas kecil dan besar
3. Keringkan plantet yang yang sudah dipotong menggunakan tissue, dan letakan di alas
tissue yang masih kering,
4. Bila alas tissue sudah basah, ambil lagi tissue baru yang ada di cawan petri
5. Setelah semua bagian plantet dalam 1 botol sudah dipotong, dipisahkan, dan
dikeringkan, siapkan botol berisi media untuk memulai tahap pemindahan
6. Sebelum pemindahan, harus dipastikan pinset steril makanya pinset harus dibersihkan
dengan mencelupkan ke dalam alkohol 95% dan bakar dengan bunsen agar api tersebar
di bagian pinset yang terkena alkohol serta membunuh potensi kontaminan yang masih
ada di permukaannya.
7. Ambil plantet dengan pinset dan pindahkan ke media baru, tutup botol kaca setelah
pemindahan dan balutkan dengan plastik wrap
8. Setelah semua plantet sudah diipindahkan, lanjutkan tahap subkultur untuk kultur lama
lainnya hingga semua botol kultur yang diambil sudah habis
9. Simpan kultur baru ke dalam rak tempat penyimpanan kultur
10. Setelah selesai tahap subkultur, bersihkan permukaan laf dengan alkohol 70% dan (lap),
masukan pinset ke dalam lemari oven, masukan glassware kotor serta sampah plantet
dan tissue ke dalam keranjang
11. Tutup area kerja LAF dan nyalakan lampu UV sebelum meninggalkan area

4.4.2 Jenis-jenis kegiatan Subkultur

4.4.2.1 Inisiasi Eksplan


Tahap inisiasi eksplan dilakukan dengan memindahkan eksplan awal yang baru
disterilisasi ke dalam media pertumbuhan. Sebelum pemindahan, eksplan pisang atau tunas
bonggol yang sudah disterilisasi harus dikupas pelepahnya hingga tersisa 2-3 lapisan pelepah,
dan dibelah menjadi 2 bagian. Belahan eksplan dimasukan ke dalam media pertumbuhan yang
tidak diberi tambahan hormon dan ditambahkan 2-5 mg/L BAP cair sebanyak 5 ml. Untuk 1 botol
berisi media pertumbuhan cukup dimasukan 1 jumlah eksplan awal.
Pada tahap inisiasi, eksplan atau tunas bonggol yang sudah disterilisasi dikupas untuk
mempermudah pertumbuhan tunas lateral nantinya karena tidak terhalang oleh jaringan atau
bagian tumbuhan yang tidak diperlukan, eksplan dibelah 2 dan ditumbuhkan secara horizontal
bertujuan untuk mematikan tunas apikal yang nantinya akan menghalang pertumbuhan tunas
lateral. Media yang digunakan untuk inisiasi adalah media tanpa perlakuan hormon, karena
hormon yang akan ditambahkan merupakan BAP cair. Alasan digunakannya BAP cair adalah
untuk mencegah terjadinya browning pada kultur pisang. Browning terjadi karena plantet pisang
menghasilkan getah pisang yang merupakan senyawa fenolik yang kemudian akan teroksidasi
menghasilkan senyawa quinone yang bersifat toksik dan menghambat pembentukan tunas (Ko
et al, 2009). Karena larutan fenol dapat terdifusi dalam zat cair (Hutami, 2008), maka digunakan
BAP cair.

15
4.4.2.2 Multiplikasi
Tahap multiplikasi dilakukan untuk memperbanyak jumlah tunas dari 1 plantet. Jenis
plantet yang akan dimultiplikasi biasanya masih memiliki ukuran tunas yang kecil, bila terdapat
tunas yang panjang namun belum jadwal untuk kegiatan elongasi, batang, daun, serta akar pada
tunas tersebut akan dipotong untuk mencegah penghambatan proses pertunasan, pemotongan
akar juga berlaku untuk tunas dengan ukuran yang kecil. Untuk multiplikasi, plantet dipindahkan
ke media dengan perlakuan hormon BAP (media 2) dan perlakuan kombinasi 2 hormon yaitu
BAP dan kinetin untuk pertunasan yang lebih kuat dibanding media dengan hanya satu jenis
hormon saja.

Gambar 4.4. Tunas pisang yang ditanam dalam media multiplikasi

Multiplikasi tunas untuk tanaman Pisang cavendish menggunakan teknik proliferasi tunas
aksiler dari eksplan tunas bonggol menggunakan zat pengatur tumbuh. ZPT yang digunakan
adalah BAP pada media multiplikasi pertama dan kombinasi BAP dan kinetin pada media
multiplikasi berikutnya. Jenis ZPT yang digunakan adalah sitokinin karena dapat menginduksi
proliferasi tunas. Berdasarkan hasil penelitian Habib et al. (2016), BAP menghasilkan tunas lebih
banyak dibandingkan jenis sitokinin lainnya. Namun hasil penelitian Balaraju et al. (2008)
menyatakan bahwa dengan mengkombinasikan BAP dengan kinetin akan menghasilkan lebih
banyak tunas dibanding menggunakan BAP sendiri.
Pada pertengahan proses multiplikasi, plantet yang ditumbuhkan di media multiplikasi
dengan tambahan ZPT perlu dipindahkan ke media tanpa perlakuan ZPT (media 0). Perlakuan
tersebut dilakukan untuk menstabilkan atau mengurangi kadar sitokinin pada jaringan tumbuhan
untuk sementara waktu. Berdasarkan penelitian Pieriera et al. (2018), bila konstrasi sitokinin pada
media semakin ditingkatkan dari konsentrasi optimalnya, maka jumlah tunas yang dihasilkan
akan semakin rendah. Kadar sitokinin yang tinggi juga dapat menghambat pertumbuhan tanaman
dan menimbulkan gejala-gejala yang menandakan kematian sel (Carimi et al., 2003).
Sebelum pemindahan plantet, akar, batang, dan daun dipotong untuk multiplikasi tunas,
hal ini dilakukan untuk mencegah penghambatan multiplikasi tunas oleh akar, daun, dan tangkai
serta mencegah terjadinya dominasi apikal dimana pertumbuhan tunas lateral terhambat oleh
pertumbuhan tunas apikal (Kebrom, 2017). Akar dan daun adalah tempat dimana hormon auksin

16
sendiri disintesis (Joaquim et al., 2017), dan auksin sendiri diketahui dapat menghambat
percabangan tunas dan pertumbuhan tunas lateral dengan menghambat proses pensinyalan
sitokinin (Kurera et al., 2019).

4.4.2.3 Elongasi
Proses elongasi dilakukan untuk memanjangkan tangkai pada tunas, biasanya plantet
yang siap dipindahkan untuk dilakukannya elongasi sudah memiliki tangkai yang panjang. Pada
tahap ini akar dan batang pada tunas yang sudah panjang tidak perlu dipotong, hanya cukup
dibersihkan saja media sebelumnya dan dikeringkan, lalu dipindahkan ke media pertumbuhan
tanpa perlakuan hormon. Media yang digunakan adalah media tanpa hormon tanpa ada
tambahan auksin ataupun sitokinin, karena auksin endogen yang dihasilkan oleh plantetnya
sendiri sudah cukup untuk elongasi dan sitokinin sendiri menghambat kinerja auksin pada
tumbuhan dengan menghambat siklus endositik dari protein pembawa auksin PIN1 (Schaller et
al., 2015). Auksin pada konsentrasi rendah akan memunculkan kalus pada plantet, menyebabkan
efektifitas pada tahap elongasi berkurang, dan tunas yang di elongasikan harus berbagi nutrisi
dengan kalus. Bila menggunakan konsentrasi auksin yang tinggi maka pertumbumhan dan
elongasi akan terhambat, karena melalui reaksi auksin dapat menghasilkan senyawa
penghambat yaitu etilen (Asra et al., 2020).

Gambar 4.5. Tunas pisang yang ditanam dalam media tanpa perlakuan ZPT (media 0)

17
4.4.2.4 Perakaran
Perakaran merupakan tahap akhir dari subkultur, tahap ini berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan akar dari kultur sebelumnya. Plantet yang dipindahkan ke media baru untuk
perakaran merupakan tunas yang sudah melalui tahap elongasi, atau tunas yang sudah memiliki
ukuran yang panjang, memenuhi syarat untuk dilakukan proses perakaran. Hampir sama seperti
elongasi, tangkai dan akar pada tunas tidak perlu dipotong, namun untuk mempermudah
pemindahan, akar yang sudah panjang dapat dipotong sedikit namun tidak seluruhnya. Media
pertumbuhan yang digunakan untuk perakaran merupakan media tanpa perlakuan hormon
dengan tambahan arang aktif (R2) dan setengah konsentrasi nutrisi makro dari biasanya.

Gambar 4.6. Tunas pisang yang ditanam dalam media perakaran

Perakaran pada plantet juga mengandalkan hormon auksin endogen yang


mempengaruhi percabangan pada akar (Asra et al., 2020), maka media perakaran tidak perlu
ditambahkan ZPT. Arang aktif yang ditambahkan pada media bertujuan untuk menyerap segala
senyawa penghambat terutama sisa BAP yang masih terdapat pada plantet. Kurera et al. (2019)
menyatakan bahwa konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat mencegah terjadinya efek inhibisi
auksin terhadap sitokinin, maka sebagian besar BAP perlu diserap untuk menghilangkan aktifitas
nya. Arang aktif memiliki daya serap yang tinggi terhadap senyawa-senyawa aromatik termasuk
ZPT auksin dan sitokinin karena memiliki jaringan pori-pori yang halus dengan luas permukaan
bagian dalam yang besar (Thomas, 2008). Penggunaan arang aktif juga merupakan salah satu
upaya dalam pencegahan browning pada pisang dengan menyerap senyawa fenolik yang
dihasilkannya. Pada kultur jaringan, arang aktif sering digunakan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan sel. Xiao et al. (2007) juga menyatakan bahwa arang aktif
membantu proses perakaran pada tumbuhan pisang.

18
4.5 Aklimatisasi
Alat Bahan
Sekop Kaca besar Plantet Pisang
Sekop Besi Kecil Bak berisi Media Tanah
Semprotan Air
Bak Kecil Vitamin B1
Penutup plastik bening Bubuk IBA
Tali Karet Bubuk Fungisida

4.5.1 Langkah Kerja


1. Siapkan segala alat dan bahan dalam area kerja
2. Ambil bak yang berisi media tanam dan aduk tanah dengan sekop lalu ratakan lagi
permukaan tanahmya
3. Semprot bak media dengan air untuk melembapkan media tanah
4. Keluarkan plantet dari botol media, kelompokan plantet-plantet berdasarkan ukurannya
untuk memudahkan penanaman, dan dicuci dengan air mengalir
5. Siapkan larutan fungisida dan larutan IBA dengan mencampurkan air dengan bubuk
fungisida dan bubuk hormon pengakaran (IBA)
6. Rendam plantet ke dalam larutan fungisida selama 1 menit, kemudian rendam bagian
akar plantet ke dalam larutan hormon dengan waktu secukupnya
7. Tanam plantet pisang ke dalam bak media sebanyak 10 baris per bak, setiap baris tanam
10 plantet hingga terdapat 100 plantet dalam 1 bak media, penanaman plantet diurutkan
berdasarkan ukuran bibit dari besar ke kecil atau sebaliknya
8. Setelah penanaman, semprot plantet yang sudah tertanam dengan air dan vitamin B1
9. Bak yang sudah ditanami plantet ditutup dengan lembar plastik tebal dan dikencangkan
dengan karet
10. Tuliskan kode klon plantet, tanggal penanaman, dan jumlah plantet di tutup plastik bak
11. Masukan bak ke dalam greenhouse dengan paranet 65% dan simpan selama 4 minggu

Gambar 4.7. Plantet pisang yang ditanam di media aklimatisasi

19
4.5.2 Pembahasan
Aklimatisasi merupakan tahap akhir dalam proses produksi bibit menggunakan teknik
kultur jaringan tumbuhan yang merupakan masa adapatasi dari lingkungan in vitro dengan kondisi
yang steril dan terkendali ke lingkungan yang bersifat alami dan tidak terkontrol (Karti et al., 2020).
Tahap aklimatisasi dilakukan dengan memindahkan plantet dari media sintesis ke dalam media
aklimatisasi (media alami), dibawah pancaran cahaya matahari namun masih dibatasi
intensitasnya dengan naungan paranet. Aklimatisasi merupakan tahap yang penting dalam kultur
jaringan, karena plantet yang dihasilkan secara in vitro masih belum kompatibel terhadap
lingkungan alami dan cenderung bersifat heterotrof. Biasanya, plantet yang ditanami secara in
vitro masih memiliki lapisan kultikula yang tipis, sel-sel palisade yang belum berkembang,
jaringan pembuluh dari akar ke pucuk yang belum berkembang dan stomata yang belum bekerja
secara maksimal, menyebabkan plantet bersifat sensitif terhadap evapotranpirasi, rentan
terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi, mudah terserang oleh hama tumbuhan dan tidak
bisa menyerap unsur hara dengan baik. Tanaman yang ingin dipindahkan ke lingkungan yang
berbeda perlu dilakukan proses adaptasi, bila ditumbuhkan pada kondisi lingkungan yang
berubah drastis dari lingkungan awalnya maka tanaman tersebut akan mengalami stres sehingga
daya hidup pada tanaman akan menurun (Maliayu et al., 2014).

20
BAB V
TUGAS KHUSUS

6.1. Sterilisasi and Inisiasi Eksplan Tanaman Pisang Cavendish


Proses pengambilan eksplan, serta sterilisasi dan inisiasi dilakukan dengan langkah yang
sama dengan apa yang sudah dicantumkan pada bab sebelumnya, eksplan yang digunakan
merupakan tunas lateral yang dihasilkan oleh bonggol pisang yang kemudian akan dikupas
hingga tersisa 3-4 pelepah dan dipotong tunas bagian apikalnya, Eksplan akan direndamkan ke
dalam larutan tween, bakterisida, tween, alkohol 70%, bayclin 30%, dan bayclin 20% secara
berurutan, dikupas lebih dalam lagi pelepahnya, dibelah dua, dan ditanam kedalam media ms
tanpa perlakuan hormon ( media 0) dengan 5 ml BAP cair 5mg/l. Namun proses penanaman
eksplan dari salah satu sampel ke dalam media dilakukan secara vertikal, hal tersebut dilakukan
karena pengupasan pelepah eksplan yang terlalu dalam sehingga menghasilkan tunas yang
terlalu kecil dan tidak dapat dibelah dua untuk mematikan bagian apikalnya. Maka untuk
mematikan jaringan apikal pada eksplan ini, tunas dipotong lebih pendek lagi, kemudian diberi
tanda “+” dengan pisau secara horizontal pada permukaan apikal eksplan, lalu ditumbuhkan
secara vertikal pada media tumbuh. Salah satu kekurangan dari metode tersebut adalah jumlah
kultur inisiasi yang dihasilkan hanya satu, dibanding 2 kultur, karena tidak dilakukannya
pembelahan eksplan yang akan menghasilkan 2 kultur sekaligus.
Sterilisasi dan inisiasi eksplan pisang cavendish dilaksanakan pada tanggal 14 desember
2021. Pengecakan pertumbuhan dilakukan per minggu, seminggu dan 2 minggu setelah inisiasi
eksplan.

A B

Gambar 5.1. Eksplan yang sudah disterilisasi dipindahkan ke media 0 dengan 5mg/l BAP cair di minggu
ke-0: (A) Eksplan vertikal; (B) Eksplan Horizontal

21
5.2. Hasil Pertumbuhan Eksplan
Pada awal inisiasi eksplan, warna pada jaringannya masih berwarna putih pada eksplan
pisang vertikal dan horizontal, menandakan bahwa sel pada jaringan belum terdeferensiasi.
Jaringan eksplan yang digunakan adalah bonggol pisang atau rhizoma pisang yang merupakan
jaringan embrionik dimana sel belum terdiferensiasi namun memiliki tingkat pembelahan yang
tinggi yang memerlukan nutrisi dan energi yang cukup. Pada hari ke-2 hingga hari ke 4 masih
belum terdapat tanda pertumbuhan, karena belum terdapat perubahan dalam segi ukuran,
bentuk, maupun warna serta perubahan lainnya.
A1 B1

A2 B2

Gambar 5.2. Hasil pertumbuhan pada eksplan: (A1) Pertumbuhan eksplan vertikal minggu ke-1;
(B1) Pertumbuhan eksplan horizontal minggu ke-1; (A2) Pertumbuhan eksplan vertikal minggu
ke-2; (B2) Pertumbuhan eksplan horizontal minggu ke-2.

Pada minggu ke-1 setelah inisiasi sudah terdapat tanda-tanda pertumbuhan untuk
eksplan vertikal dan horizontal. Pertumbuhan untuk eksplan vertikal terdapat pada pelepahnya
yang mengalami sedikit pertumbuhan tinggi dan terdapat bagian pelepah yang sudah berwarna
hijau namun belum pekat, menandakan terbentuknya klorofil. Pertumbuhan pada eksplan
horizontal hampir sama, dimana pelepah pada eksplan tumbuh terbuka ke atas, namun warna
hijau pada eksplan horizontal lebih pekat, menandakan kandungan klorofil yang lebih tinggi,
selain itu perubahan ukuran pada eksplan horizontal jauh lebih signifikan dibanding eksplan
vertikal. Pada minggu ke-2 setelah inisiasi, masih terdapat aktivitas pertumbuhan pada kedua
eksplan. Untuk eksplan horizontal tidak terdapat perubahan yang terlalu signifikan, pelepah yang
tumbuh hanya lebih terbuka sedikit dan terdapat sedikit pigmentasi di beberapa bagian eksplan.
Eksplan vertikal mengalami perubahan yang signifikan dimana pelepah yang tumbuh pada
eksplan lebih panjang dan melebar, serta warna hijau pada jaringan eksplan lebih pekat.
Pertumbuhan yang cukup optimal dari kedua eksplan menandakan bahwa eksplan
tersebut sudah cukup ternutrisi dari segi komposisi media pertumbuhan yang dari unsur makro,
unsur mikro, vitamin, hormon, asam amino dan, sumber karbon. Selain itu, pertumbuhan pada
eksplan, pertumbuhan pelepah dan perubahan warna menandakan adanya aktivitas pembelahan
dan diferensiasi sel. Diferensiasi merupakan tahap pendewasaan sel tanaman yang bersumber
dari sel-sel merismatik (Umami, 2011) yang akan membentuk organ tumbuhan yang berbentuk
seperti daun, bunga, dan organ-organ lainnya. Warna hijau pada eksplan muncul karena

22
terbentuknya klorofil, terbentuknya klorofil terjadi karena adanya biogenesis kloroplas yang juga
dipengaruhi oleh keberadaan sitokinin, Zubo et al. (2008) menyatakan bahwa sitokinin
berpangaruh dalam proses biogenesis kloroplas, aktivitas enzim kloroplas, akumulasi pigmen,
dan laju fotosintesis. Pada awalnya kloroplas berasal dalam wujud protoplastid yang merupakan
plastida yang belum terdaferensiasi, yang nantinya akan berkembang menjadi amiloplast,
plastida pra-granula hingga terbentuk kloroplas dewasa, pembentukan kloroplas memerlukan
pancaran cahaya yang cukup, bila tidak terdapat cahaya maka akan terbentuk etioplas, namun
etioplas akan berkembang menjadi kloroplas bila mendapatkan pancaran cahaya yang cukup
(Cliney, 2003). Kloroplas merupakan tempat sintesis klorofil, selain itu pembentukan klorofil juga
membutuhkan pancaran sinar, klorofil akan memantulkan spektrum hijau dari cahaya dan
menyerap spektrum biru dan merah (Lopez & Barclay, 2017), proses tersebut menyebabkan
munculnya warna hijau pada jaringan tumbuhan. Makanya setiap eksplan yang setelah tertanam
di media pertumbuhannya harus disimpan dalam rak yang sudah terpasang lampu untuk
menyediakan pancaran cahaya yang cukup. Selain pengaruh sitokinin dan pancaran cahaya,
unsur hara makro dan msg yang terkandung dalam media juga mempengaruhi dalam tingkat
penghijauan pada eksplan. Unsur hara makro dan msg menyediakan senyawa prekursor yang
akan terlibat dalam sintesis klorofil berupa magnesium dan asam glutamat (Fufsler et al., 1984).
Untuk nutrisi lainnya, vitamin bekerja sebagai ko-enzim dan katalisator dalam proses
metabolisme dalam tumbuhan (Yustitia, 2017), gula merupakan sumber karbon dan
menyediakan energi untuk berlangsungnya pembelahan sel dan aktivitas metabolik lainnya,
unsur hara mikro berperan dalam biosintesis protein, asam nukleat, ekspresi gen, zat
pertumbuhan, metabolisme lipid dan karbohidrat, klorofil, dan metabolit sekunder (Aftab, 2020).
Selama proses pertumbuhan eksplan dari tahap inisiasi hingga akhir, tidak ada tanda
terjadinya pertumbuhan akar ataupun tunas lateral. Tidak ada pertumbuhan akar mungkin
diakibatkan karena konsentrasi sitokinin yang tinggi di dalam media, sitokinin sendiri memiliki efek
penghalang yang kuat terhadap pertumbuhan akar. Untuk pembentukan tunas diperlukannya
waktu sekitar 2 bulan, dan eksplan yang ditumbuhkan masih berusia 2 minggu sehingga waktu
pertumbuhannya kurang dan diperlukan waktu yang lebih lama lagi. Bila diberikan waktu yang
lebih lama, akan memungkinkan untuk terbentuknya tunas lateral pada kedua eksplan, homon
sitokinin yang terdapat pada media pertumbuhan dapat memunculkan tunas lateral dengan
memodulasi transport auksin atau melakukan upregulasi biosintesis auksin pada tunas lateral
(Tan et al., 2019).

23
5.3. Kontaminasi

Gambar 5.3. Kontaminasi pada eksplan pisang

Dari 5 eksplan yang ditumbuhkan dalam media, terdapat satu eksplan yang mengalami
kontaminasi yang terjadi pada minggu ke-2 setelah inisiasi. Kontaminasi merupakan salah satu
jenis gangguan yang disebabkan oleh keberadaan patogen seperti bakteri, kapang, khamir, dan
virus pada eksplan atau plantet yang sedang ditumbuhkan secara in-vitro, patogen tersebut
memiliki peran yang antagonistik terhadap plantet yang dapat menghambat pertumbuhan,
memberi beberapa jenis penyakit, hingga menyebabkan kematian pada plantet. Menurut
Cassells (1990) kontaminasi pada kultur jaringan tumbuhan disebabkan oleh keberadaan
mikroorganisme pada permukaan eksplan, atau terdapat keberadaan mikroorganisme dalam
jaringan internal eksplan, atau mungkin terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan di dalam
laboratorium. Pernyataan tersebut mendukung kemungkinan bahwa proses sterilisasi eksplan
atau proses inisiasi eksplan yang dieksekusi dengan buruk menjadi faktor utama terjadinya
kontaminasi pada eksplan. Berdasarkan gambar, dari segi warna dan tekstur dari koloni tersebut,
diperkirakan bahwa kontaminan pada eksplan tersebut berupa mikroorganisme berjenis fungi
atau kapang. Misalkan eksplan tersebut terkontaminasi oleh fungi maka kontaminasi seharusnya
berasal dari permukaan eksplan, Cassells (1990) menyatakan bahwa organisme utama yang
terasosiasi pada permukaan tanaman diantaranya adalah fungi. Meskipun belum pasti karena
tidak dilakukannya analisa mengenai kontaminasi, jenis fungi yang menkontaminasi diperkirakan
berasal dari genus Aspergilus sp., karena tanaman merupakan lingkungan alami yang menjadi
tempat untuk pertumbuhan fungi tersebut (Mousavi et al., 2016).

24
BAB VI
Kesimpulan dan Saran

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil inisiasi eksplan tanaman pisang cavendish yang dilaksanakan di
SEAMEO BIOTROP dapat disimpulkan bahwa penanaman eksplan pisang menggunakan terknik
kultur jaringan di dalam media pertumbuhan sintetis dengan tambahan BAP 5mg/l berhasil
dilaksanakan. Kedua jenis eksplan pisang dengan penanaman vertikal dan horizontal
menunjukan adanya pertumbuhan pada minggu ke-1 setelah dilakukannya inisiasi eksplan
dengan adanya pertumbuhan pelepah dan perubahan warna hijau pada jaringan eksplan. Minggu
ke-2, pertumbuhan dari kedua eksplan tersebut masih berlangsung dengan adanya perubahan
warna hijau yang lebih pekat dari minggu ke-1 dan ukuran pelepah yang semakin melebar dan
memanjang. Hasil tersebut menunjukan bahwa teknkik kultur jaringan memberikan sarana untuk
pertumbuhan yang efektif bagi eksplan. Salah satu kelemahan dari teknik kultur jaringan adalah
terdapat kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi yang mungkin disebabkan karena terjadi
kesalahan saat tahap sterilisasi eksplan dan/atau saat tahap pemindahan eksplan ke media
pertumbuhan barunya.

6.2. Saran
Hasil inisiasi dan sterilisasi eksplan masih belum akurat, karena waktu analisa
pertumbuhan eksplan pisang kurang lama dan hanya berlangsung selama 2 minggu, sedangkan
diperlukannya 2 bulan untuk pembentukan tunas. Selain itu, hasil akan lebih akurat bila dilakukan
subkultur tunas dan aklimatisasi pada setiap eksplan untuk mengetahui jumlah tunas anakan
yang dihasilkan pada setiap eksplan dan kualitas dari bibit yang dihasilkan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Aftab, T. (2020). Plant Micronutrient: Dificiency and Toxicity Management. Switzerland.


Springer.
Agriani, Y. (2021). PERTUMBUHAN KULTUR BONGGOL PISANG BARANGAN (Musa acum
acuminata L.) DALAM MEDIA MS DENGAN KOMBINASI IBA DAN THIDIAZURON. Skripsi
. FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Asra, R., Samarlina, R. A., & Silalahi, M. (2020). Hormon Tumbuhan. UKI Press. Jakarta.
Azizi, A. A., Ika, R., Darda, E. (2017). Multiplikasi Tunas In Vitro Berdasarkan Jenis Eksplan
pada Enam Genotipe Tebu (Saccharum officinarum L.) Jurnal Penelitian Tanaman Industri,
23(2), 90-97.
Balaraju, K., Agastia, P., Preetamraj, J. P., Arokiyaraj, S., Ignachimutu, S. (2008).
Micropropagation of Vitex agnus-castus, (Verbenaceae)—a valuable medicinal plant. In
Vitro Cellular Development Biology-Plant. 44: 436-441.
Balzan, S., Johal, G. S., & Carraro, N. (2014). The role of auxin transporters in monocots
development. Frontiers in Plant Science, 5(393), 1–12.
https://doi.org/10.3389/fpls.2014.00393
Bhatia, S., Dahiya, R., Sharma, K., & Bera, T. (2015). Modern Applications of Plants
Biotechnology in Pharmeautical Sciences. Elsevier. London.
Bustami, M. U. (2011). Penggunaan 2,4-D untuk induksi kalus kacang tanah. Media Litbang
Sulteng, 4(2), 137–141.
Carimi F, Zottini M, Formentin E, Terzi M, Lo Schiavo F. 2003. Cytokinins: new apoptotic
inducers in plants. Planta. 216: 413–421. Dordrecht.
Cassells A.C. (1991) Problems in tissue culture: culture contamination. Dalam: Debergh P.C.,
Zimmerman R.H. (eds) Micropropagation. Springer.
Cliney, K. (2003). Biogenesis of Green Plant Thylakoid Membranes. 10.1007/978-94-017-2087-
8_12.
Dilworth, L. L., Riley, C. K., & Stennet, D. K. (2017). Plant Constituents: Carbohydrates, Oils,
Resins, Balsams, and Plant Hormones. Dalam Ruplika Delgoda (ed). Pharmacognosy:
Fundamentals, Applications, and Strategies. Elsevier. London.
Fu, S. F., Wei, J. Y., Chen, H. W., Liu, Y. Y., Lu, H. Y., & Chou, J. Y. (2015). Indole-3-acetic
acid: A widespread physiological code in interactions of fungi with other organisms. Plant
Signaling & Behavior, 10(8), e1048052
Fufsler, T. P., Castelfranco, P. A., & Wong, Y. S. Formation of Mg-Containing Chlorophyll
Precursors from Protoporphyrin IX, delta-Aminolevulinic Acid, and Glutamate in Isolated,
Photosynthetically Competent, Developing Chloroplasts. Plant Physiology, 74(4), 928-933.
George, E. F., Hall, M. A., & Klerk, G. J. De. (2008). Plant propagation by tissue culture 3rd
edition. In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition (Vol. 1, Issue July).
https://doi.org/10.1007/978-1-4020-5005-3
Habib, S. E., Mohamed, S. M., Qaoud, E. M., & Allam, A. I. (2016). Effect of Medium and
Cytokinin Types on Banana Micropropagation during Multiplication Stage. Hortscience
Journal of Suez Canal University. 5(1): 1-7.
Hutami, S. (2008). Masalah Pencoklatan Pada Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. 4(2): 83-88.
Ikeuchi, M., Sugimoto, K., & Iwase, A. (2013). Plant callus: Mechanisms of induction and
repression. Plant Cell, 25(9), 3159–3173. https://doi.org/10.1105/tpc.113.116053

26
Jamaluddin, M. A., Widodo, W. D., & Suketi, K. (2019). Pisang Cavendish Komersial di
Lampung Tengah, Lampung. Buletin Agrohorti. 7(1) : 16-24.
Karjadi, A., & Buchory, A. (2008). Pengaruh Auksin Dan Sitokinin Terhadap Pertumbuhan Dan
Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola. Jurnal Hortikultura, 18(4),
85724. https://doi.org/10.21082/jhort.v18n4.2008.p
Karti, P. D. M H., Wijayanti, I., & Pramadi, S. D. (2020). Teknik Aklimatisasi pada Tanaman
Lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan Perbedaan Media Tanam dan Sifat Tumbuh.
Pastura. 10(1): 46 – 52.
Kebrom, T. H. (2017). A Growing Stems Inhibits Bud Outgrowth – The Overlook Theory of
Apical Dominance. Plant Science. 8: 1-7.
Kieber, J. J., & Schaller, G. E. (2014). Cytokinins. The Arabidopsis Book, 12(February 2015),
e0168. https://doi.org/10.1199/tab.0168
Ko, W. H., Su, C. D., Chen, C. L., & Chao, C. P. (2009). Control of lethal browning of tissue
culture plantlets of Cavendish banana cv. Formosana with ascorbic acid. Plant Cell Tissue
Organ Culture, 96 :137–141.
Lopez, F. B., & Barclay, G. F. (2017). Plant Anatomy and Physiology. Dalam: Simone Badal &
Rupika Delgoda (ed). Pharmacognosy: Fundamentals, Applications and Strategies.
Elsevier.
Mahfudza, E., Mukarlina, & Linda, R. (2018). Perbanyakan Tunas Pisang Cavendish (Musa
acuminata L.) Secara In Vitro dengan Penambahan Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan
Air Kelapa. Protobiont. 7(1): 75-79.
Majda, M., dan Robert, S. The Role of Auxin in Cell Wall Expansion. International Journal of
Molecular Science, 19(4), 951.
Maliayu, W. M., Mawardi, S., & Mashud, N. (2014). Optimasi Daya Adaptasi Plantet Kelapa
Kopyor Hasil Kultur Embryo. Prosiding Konverensi Nasional Kelapa VIII Jambi 22 Mei
2014 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkenunan Bogor. Jambi, 21 Mei 2014.
Mawariani, 2020 Organogenesis Tanaman Pisang Cavendish (Musa acuminata L.) pada
Berbagai Konsentrasi ZPT IAA (Indole Acetic Acid) dan BAP (Benzil Amin Purine) Secara
In Vitro. Skripsi. Universitas Cokroaminoto Palopo.
Joaquim, M. C., Heuvelink, E., & Van, D. P. P. (2017). Propagation by Cutting. Dalam
Reference Module in Life Science. Elsevier.
Mousavi, B., Hedayati, M. T., Hedayati, N., Ilkit, M., & Syedmousavi, S.
(2016). Aspergillus species in indoor environments and their possible occupational and
public health hazards. Current medical mycology, 2(1), 36–42.
Nofrianinda, V., Yulianti, F., & Agustina, E. (2018). Pertumbuhan Planlet Stroberi (Fragaria
ananassa D) Var. Dorit pada Beberapa Variasi Media Modifikasi In Vitro di Balai Penelitian
Jeruk dan Buah Subtropika (BALITJESTRO). Biotropic : The Journal of Tropical Biology,
1(1), 32–41. https://doi.org/10.29080/biotropic.2017.1.1.32-41
Poerba, Y. S., Martanti, D., Ahmad, F., Herlina, Handayani, T., & Witjaksono, (2018). Deskripsi
Pisang : Koleksi Pusat Penelitian Biologi LIPI. LIPI Press. Jakarta.
Prasetyo, C. H. (2009). Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium sp. di Pembudidayaan
Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Tugas Akhir, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pudijono, S.( 2014). Produksi Bibit Jati Unggul (Tectona grandis L.F) dari Klon dan
Budidayanya. IPB Press. Bogor.
Rustam, Syamsudin, R., Soekandarsih, E., dan Trijuno, D. D. (2020). Studi Penggunaan Zat

27
Pengatur Tumbuh BAP terhadap Pembentukan Tunas dan Pertumbuhan Mutlak Rumput
Laut (Kappaphycus alvarezii, Doty.). Prosiding Simposium Nasional VII Kelautan dan
Perikanan 22 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar, 5
Juni 2020.
Saputra, I., Dwiyani, R., & Yuswanti, H. (2016). Mikropropagasi Tanaman Stroberi (Fragaria
Sp.) Melalui Induksi Organogenesis. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika (Journal of
Tropical Agroecotechnology), 5(4), 332–343.
Sathyanarayana, B. N., & Varghese, B. V., (2007). Plant Tissue Culture Practices and New
Experimental Protocols. JK International Publishing House. New Delhi.
Schaller, G. E., Bishopp, A., & Kieber, J. J. (2015). The Yin Yang of Hormones: Cytokinin and
Auxin Interactions in Plant Development. The Plant Cell. 27(1): 44-63.
Setiani, N. A., Nurwinda, F., & Asriany, D. (2018). Pengaruh Desinfektan dan Lama
Perendaman pada Sterilisasi Eksplan Daun Sukun. Journal of Tropical Biology. 6(3): 78-
82.
Setjen RI Pertanian (2020). Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2018.
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id. Diakses pada 9 Januari 2022.
Su, Y. H., Liu, Y. B., & Zhang, X. S. (2011). Auxin-cytokinin interaction regulates meristem
development. Molecular Plant, 4(4), 616–625. https://doi.org/10.1093/mp/ssr007
Taiz, L. & Zeiger, E. (2003). Plant Physiology. Dalam Thomas Lazar (ed). Annals of Botany.
Sinauer Associates. Sunderland.
Tan, M., Li, G., Chen, X., Xing, L., Ma, J., Zhang, D., Ge, H., Han, M., Sha, G., & An, N. (2019).
Role of Cytokinin, Strigolactone, and Auxin Export on Outgrowth of Axillary Buds in Apple.
Frontiers in Plant Science, 10(616), 1–14.
The Observatory of Economic Complexity (OEC). (2022). Bananas in Indonesia.
https://oec.world Diakses pada 11 Januari 2021.
The Observatory of Economic Complexity (OEC). (2022). Bananas in Philipines.
https://oec.world Diakses pada 10 Januari 2021.
Thomas, T. D. (2008). The role of activated charcoal in plant tissue culture. Biotechnology
Advances. 26: 618–631.
Umami, A., Darmanti, S., & Haryanti, S. (2011). Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman
Bawang Merah (Allium ascalonicum L. var.Tiron) Dengan Perlakuan Gracilaria verrucosa
Sebagai Penjerap Air Pada Tanah Pasir. BIOMA, 13(2), 60-66.
Wahyuni, S. R., Lestari, W., & Novriyanti, E. (2014). Induksi In Vitro Tanaman Gaharu
(Aquilaria microcarpa Baill.) dari Eksplan Tunas Aksilar dengan Penambahan 6-
Bnzylaminopurine (BAP). Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Riau, 1(2), 1-7.
Wahyuni, W. A (2018) Kelayakan Usaha Pisang Cavendish di Perusahaan Great Giant Food
PG 3 Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. UMY.
Wiraatmaja, I. W. (2017). Bahan Ajar Zat Pengatur Tumbuh Auksin dan Cara Penggunaannya
dalam Bidang Pertanian. 182–191.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/ddeec13c19c352d21ccca286966a
08ec.pdf
Widi , Satiyantari (1998) Analisa Peluang Pasar Pisang serta Implikasinya pada Pengembangan
dan Pemasaran Pisang. Masters thesis, IPB.
Wong, W. S., Tan, S., Ge, L., Chen, X., & Yong, J. (2015). The Importance of Phytohormones

28
and Microbes in Biofertilizers. Dalam Dinesh K. Maheswari (ed). Bacterial Metabolites in
Sustainable Agroecosystem. Springer. Switzerland. 10.1007/978-3-319-24654-3_6.

Xiao W, Huang XL, Huang X, Chen YP, Dai XM, Zhao JT. (2007) Plant regeneration from
protoplasts of Musa acuminate cv. Mas (AA) via somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue
Organ Cult. 90:191–200.
Yustitia, R. I. (2017). Penambahan Vitamin B1 (Thiamin) pada Media Tanam ( Arang Kayu dan
Sabut Kelapa) untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Angrrek (Dendrobium sp ) pada
Tahap Aklimatisasi. Skripsi. Program studi Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Zhang, Diederich, L., & John, P. C. (2005). The Cytokinin Requirement for Cell Division in
Cultured Nicotiana plumbaginifolia Cells can be Satisfied by Yeast Cdc25 Protein Tyrosine
Phosphatase: Implications for Mechanisms of Cytokinin Response and Plant
Development. Plant physiology, 137(1), 308–316.
Zhang, K Letham, D. S., & John, P. C. L. (1996). Cytokinin controls the cell cycle at mitosis by
stimulating the tyrosine dephosphorylation and activation of p34cdc2-like H1 histone kinase.
Planta, 200(1), 2-12.
Zubo, Y. O., Yamburenko, M. V., Selivankina, S. Y., Shakirova, F. M., Avalbaev, A. M.,
Kudryakova, N. V., Zubkova, N. K., Liere, K., Kulaeva, O. N., Kusnetsov, V. V., & Börner,
T. (2008). Cytokinin stimulates chloroplast transcription in detached barley leaves. Plant
Physiology, 148(2), 1082–1093.

29
LAMPIRAN

Lampiran 1. Pemilihan Eksplan dan sterilisasi eksplan

30
Lampiran 2. Kegiatan Subkultur di dalam Laminar Air Flow (LAF)

31
Lampiran 3. Ruangan penyimpanan kultur tumbuhan

32
Lampiran 4. Ruangan pembuatan Media

33
Lampiran 5. Ruang sterilisasi alat dan media

34

Anda mungkin juga menyukai