Anda di halaman 1dari 57

PERBANYAKAN ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana DI

LABORATORIUM PENGAMATAN HAMA DAN PENYAKIT


PEMALANG BALAI PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN,
HORTIKULTURA, DAN PERKEBUNAN
JAWA TENGAH

PRAKTIK KERJA LAPANG

Oleh :

DIAN ASRI FITRIANI


23020219130111

PROGRAM STUDI S1 AGROEKOTEKNOLOGI


DEPARTEMEN PERTANIAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PERBANYAKAN ENTOMOPATOGEN Beaueria


bassiana DI LABORATORIUM PENGAMATAN
HAMA DAN PENYAKIT PEMALANG, BALAI
PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN,
HORTIKULTURA, DAN PERKEBUNAN JAWA
TENGAH

Nama Maasiswa : DIAN ASRI FITRIANI


NIM : 23020219130111
Program Studi/Fakultas : S1 AGROEKOTEKNOLOGI / FAKULTAS
PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Telah disidangkan di hadapan Tim Penguji


dan dinyatakan lulus pada tanggal ...............

Mengesahkan

Koordinator Laboratorium
Ekologi dan Produksi Tanaman

Dr. Ir. Susilo Budiyanto, M.Si.


NIP. 19610812 198703 1 001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Eny Fuskhah, M. Si A'isyah Surya Bintang, S.P., M.Sc


NIP. 19690408 199303 2 00 NIP. 19920613 201903 2 019

ii
RINGKASAN

DIAN ASRI FITRIANI. 23020219130111. 2022. Perbanyakan Entomopatogen


Beauveria bassiana di Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Pemalang,
Balai Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Jawa Tengah
(Pembimbing : ENY FUSKHAH dan A'ISYAH SURYA BINTANG).

Laporan Praktik Kerja Lapang (PKL) disusun berdasarkan serangkaian


kegiatan PKL yang telah dilaksanakan pada tanggal 22 September sampai 21
November 2021 di Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP)
Pemalang. Tempat pelaksanaan PKL terletak di Jl. alan Raya Petarukan Petarukan
Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang Jawa Tengah 52362 Indonesia.
Kegiatan PKL bertujuan untuk mengamati dan melakukan praktik secara langsung
mengenai proses perbanyakan entomopatogen Beauveria bassiana sebagai agen
pengendali hayati.
Metode yang digunakan adalah dengan partisipasi aktif, observasi dan
wawancara. Pengelolaan data dilakukan secara deskriptif dan hasilnya
dibandingkan dengan pustaka yang ada. Materi yang digunakan selama kegiatan
PKL meliputi alat dan bahan. Bahan yang digunakan dalam perbanyakan isolat
murni adalah adalah kentang, air, agar instant, gula pasir, isolat Beauveria
bassiana , alkohol 70%. Bahan yang digunakan dalam perbanyakan massal adalah
jagung, isolat Beauveria bassiana , alkohol 70%, air. Alat yang digunakan dalam
perbanyakan isolat murni adalah mangkok, kompor, timbangan, pisau, sendok,
tabungg reaksi, autoklaf, LAF, bunsen, korek api, jarum ose, gelas beaker, spidol.
alat tulis serta kamera. Alat yang digunakan dalam perbanyakan massal adalah
panci, timbangan, naman, ember, spatula, stapler, plastik, karet, autoklaf, LAF,
bunsen, korek api, jarum ose, gelas beaker, spidol. alat tulis serta kamera.
Kesimpulan yang diperoleh dari PKL ini adalah mahasiswa dapat
mengetahui dan melakukan teknik perbanyakan entomopatogen dari tahap
pembuatan media pertumbuhan jamur Beauveria bassiana berupa media PDA dan
media jagung, inokulasi jamur Beauveria bassiana pada media pertumbuhan, uji
kerapatan spora Beauveria bassiana dan uji viabilitas Beauveria bassiana hingga
aplikasinya pada tanaman. Serta kegiatan PKL ini dapat menambah keterampilan
dan pengalaman kerja bagi mahasiswa terkait teknik perbanyakan emtomopatogen
Beauveria bassiana dan aplikasinya pada tanaman.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Laporan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Laboratorium Pengamatan Hama dan

Penyakit (LPHP) Pemalang dengan judul Perbanyakan Entomopatogen Beauveria

bassiana di Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Pemalang, Balai

Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Jawa Tengah.

Penulis menyadari bahwa tersusunnya Laporan Praktik Kerja Lapang ini tidak

terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Burhanudin, S.P. selaku Kepala Laboratorium Pengamatan Hama dan

Penyakit Pemalang.

2. Dr. Ir. Eny Fuskhah, M. Si. selaku Ketua Program Studi Agroekoteknologi,

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro.

3. Dr. Ir. Susilo Budiyanto, M.Si. selaku Koordinator Laboratorium Fisiologi

dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas

Diponegoro.

4. Dr. Ir. Sutarno, M.S. selaku Dosen Wali.

5. Dr. Ir. Eny Fuskhah, M. Si. dan A'isyah Surya Bintang, S.P., M.Sc. selaku

dosen pembimbing Praktik Kerja Lapang.

iv
6. Ayu Puspita P., S.P. Prih Anggraeni K., S.P. dan Oelia Mariska selaku

pembimbing Praktik Kerja Lapang di Laboratorium Pengamatan Hama dan

Penyakit Pemalang.

7. Seluruh teknisi Lapang dan staff karyawan di Laboratorium Pengamatan

Hama dan Penyakit Pemalang.

8. Kedua orang tua, saudara dan teman-teman yang telah memberikan bantuan,

dukungan dan doa terbaik untuk kelancaran kegiatan PKL ini. Penulis

menyadari masih belum sempurnanya laporan Praktik Kerja Lapang ini dan

perlu adanya saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan

selanjutnya. Penulis berharap agar laporan ini dapat memberikan manfaat

dan ilmu yang berguna bagi semua pembaca.

Semarang, Maret 2023

Penulis

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................iv
DAFTAR TABEL..................................................................................................vii
DAFTAR ILUSTRASI.........................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
1.2. Tujuan........................................................................................................2
1.3. Manfaat......................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)............................4
2.2. Klasifikasi, Morfologi, dan Bioekologi Beauveria bassiana.....................5
2.3. Perbanyakan Beauveria bassiana...............................................................7
2.4. Aplikasi Beauveria bassiana Pada Tanaman.............................................8
BAB III MATERI DAN METODE.......................................................................10
3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan...............................................................10
3.2. Materi.......................................................................................................10
3.3. Metode Pelaksanaan.................................................................................11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................13
4.1. Profil Laboratorium Pengamatan Hama Dan Penyakit (LPHP) Pemalang 13
4.2. Perbanyakan Beauveria bassiana............................................................17
4.3. Standarisasi..............................................................................................23
4.4. Aplikasi Beauveria bassiana pada Tanaman...........................................29
4.5. Prospek dan Kendala Penggunaan Entomopatogen Beauveria bassiana
Sebagai Agen Pengendali Hayati......................................................................30
BAB V SIMPULAN DAN SARAN......................................................................33
5.1. Simpulan..................................................................................................33
5.2. Saran........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34
LAMPIRAN...........................................................................................................38

vi
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Daftar sarana dan prasarana laboratorium pengamatan hama dan penyakit


(LPHP) pemalang................................................................................. 16

2. Rekapitulasi Kegiatan pembuatan media PDA pertumbuhan jamur

Beauveria bassiana............................................................................... 18

3. Rekapitulasi Kegiatan pembuatan media jagung pertumbuhan jamur

Beauveria bassiana............................................................................... 20

4. Rekapitulasi Kegiatan peremajaan dan inokulasi jamur Beauveria

bassiana pada media pertumbuhan....................................................... 22

5. Hasil Uji Kerapatan Spora Jamur Beauveria bassiana Media Jagung

Ulangan 1.............................................................................................. 25

6. Hasil Uji Kerapatan Spora Jamur Beauveria bassiana Media Jagung

Ulangan 2.............................................................................................. 25

7. Hasil Uji Viabillitas Jamur Beauveria bassiana .................................. 28

vii
DAFTAR ILUSTRASI

Nomor Halaman
1. Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Pemalang..... 13

2. Struktur Organisasi Laboratium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP)

Pemalang............................................................................................... 16

3. Hasil perbanyakan Jamur Beauveria bassiana Media PDA setelah 7 Hari

Inkubasi. ............................................................................................... 19

4. Hasil perbanyakan Jamur Beauveria bassiana Media Jagung setelah 7

Hari Inkubasi......................................................................................... 22

5. Bidang Hitung Haemocytometer........................................................... 24

6. Hasil Viabilitas Spora Beauveria bassisana......................................... 26

7. Aplikasi jamur Beauveria bassisana pada Tanaman Bawang Merah. . 29

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Perhitungan Kerapatan Spora Jamur Beauveria bassisana.................. 37

2. Perhitungan Viabilitas Jamur Beauveria bassisana.............................. 38

3. Form Penelian PKL............................................................................... 39

4. Daftar Kehadiran PKL.......................................................................... 40

5. Logbook Kegiatan PKL....................................................................... 41

6. Dokumentasi Kegiatan.......................................................................... 46

ix
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah salah satu

kendala yang dihadapi petani yang dapat menurunankan produksi komoditas

pertaniaan. Serangan OPT dapat menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang

dapat mengganggu fisiologis tanaman, memakan bagian - bagian tanaman,

mengganggu dalam memperoleh sumberdaya kebutuhan hidup tanaman budidaya

(Agnariosa dan Suryadarma, 2020). Pengendalian konvensional yang telah

dilakukan petani dalam menghadapai serangan OPT adalah dengan menggunakan

insektisida, namun keadaan yang berlangsung terus menerus dapat berdampak

negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Berdasarkan hal tersebut,

teknik Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan mempertahankan agar

populasi hama tetap berada dalam ambang toleransi dapat diterapkan salah

satunya adalah melalui pengendalian hayati (Sugiyono et al, 2014).

Salah satu agen pengendali hayati adalah jamur Bauveria bassiana, dimana

penggunaan agen hayati jamur Bauveria bassiana ini efektif untuk menekan hama

tanaman serta tidak memiliki bahaya ataupun efek samping terhadap lingkungan

dan kesehatan manusia (Sridevi et al, 2018). Jamur Bauveria bassiana dilaporkan

sebagai agen hayati yang sangat efektif menginfeksi beberapa jenis serangga

hama, terutama dari ordo Lepidoptera, Hemiptera, Homoptera, dan Coleoptera


2

(Herdatiarni et al., 2014). Hama yang diserang oleh Bauveria bassiana antara

lain wereng batang, wereng daun, penggerek batang padi, penggulung daun,

kepinding padi, kepinding hitam (Kusuma et al., 2019). Penggunaan agen hayati

memiliki berbagai kelebihan diantaranya selektivitas yang tinggi, mampu

memperbanyak diri pada media yang sesuai, kurang memicu perubahan virulensi

patogen, tidak menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, dan dapat

mengendalikan penyakit dengan berbagai mekanisme (Wibowo et al., 2022).

Balai Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu tempat perbanyakan entomopatogen

(Beauveria bassiana). Salah satu Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Proteksi /

Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura adalah Laboratorium

Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) di Kabupaten Pemalang. Melalui

kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) di LPHP Pemalang, Balai Perlindungan

Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah diharapkan

mahasiswa dapat mempelajari secara langsung teknik perbanyakan agen

pengendali hayati (Beauveria bassiana) yang benar dan pemanfaatanya di tingkat

petani.

1.2. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya Praktik Kerja Lapang di Laboratorium Pengamatan

Hama dan Penyakit Pemalang adalah


3

1. Memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program pendidikan

Strata-1 (S1) di Program Studi Agroekoteknologi, Departemen Pertanian,

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang,

2. Mendapatkan pengalaman kerja Lapang dibidang pertanian khususnya pada

teknik perbanyakan entomopatogen Beauveria bassiana

3. Mendapatkan keterampilan dan pengalaman tentang teknik perbanyakan

entomopatogen Beauveria bassiana di Laboratorium Pengamatan Hama dan

Penyakit Pemalang.

1.3. Manfaat

Manfaat dilaksanakannya Praktik Kerja Lapang di Laboratorium

Pengamatan Hama dan Penyakit Pemalang adalah

1. Memperoleh ilustrasian nyata dunia kerja dalam bidang pertanian

2. Menambah pengalaman kerja dibidang pertanian khususnya pada teknik

perbanyakan entomopatogen Beauveria bassiana,

3. Meningkatkan keterampilan dan pengalaman terkait perbanyakan agen

pengendali hayati Beauveria bassiana di Laboratorium Pengamatan Hama

dan Penyakit Pemalang.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Teknik yang digunakan dalam pengendalian (OPT) umumnya adalah

dengan cara kultural, fisik/mekanik, kimia, dan hayati. Pengendalian secara

kimiawi dilakukan dengan memanfaatkan pestisida baik sintetik maupun alami.

Pengendalian secara kultur teknis bersifat preventif yakni dilakukan untuk

mencegah terjadinya kerusakan akibat serangan hama dan penyakit tanaman,

dengan sanitasi lahan, pemupukan, dan rotasi tanaman (Arsi et al., 2020). Teknik

pengendalian mekanik adalah salah satu cara yang dianggap mudah apabila

serangan hama belum terlalu parah. Pengendalian mekanik dilakukan dengan

menggunakan perangkap (Diratmaja, 2015). Teknik lain yang dinilai efektif dan

ramah lingkungan adalah teknik pengendalian hayati. Pengendalian hayati yaitu

pengendalian yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan

musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama

(Rahmawasiah dan Sudartik, 2016).

Teknik pengendalian OPT dengan pengendalian hayati dinilai lebih ramah

lingkungan dibanding teknik lain. Pemanfaatan agen pengendalian hayati dalam

mengatasi serangan hama dapat dilakukan diantaranya dengan memanfaatkan

musuh alami seperti predator (laba-laba), parasitoid (Trichogramma sp.), jamur

entomopatogen (Beauveria bassiana, Metarhiziumanisopliae), bakteri


5

entomopatogen (Bacillus thuringiensis) dan nematoda entomopatogen (famili

Steinernematidae dan Heterorhabditidae) (Latifah et al., 2018). Penggunaan APH

dapat dilakukan dalam jangka waktu panjang karena tidak merusak lingkungan,

serta dapat membantu meningkatkan produktivitas tanaman karena perannya

dalam membasmi hama. Pengembangan pengendali hayati (agen hayati) yang

efektif dan efisien sebagai pengendali hama sangat penting untuk dapat

meningkatkan produktivitas tanaman dengan tetap memperhatikan kualitas

lingkungan hidup yang aman (Wardati et al., 2013).

2.2. Klasifikasi, Morfologi, dan Bioekologi Beauveria bassiana

Salah satu penerapan dari pengendalian hayati dalam upaya mengendalikan

hama adalah menggunakan jamur entomopatogen. Jamur entomopatogen

merupakan jamur yang menjadi patogen pada serangga. Jamur tersebut hidup,

tumbuh, dan berkembang dengan mengambil nutrisi dari inang yang diinfeksinya

sehingga metabolismenya terganggu dan akan mati (Halimah et al., 2018). Salah

satu jamur entomopatogen adalah Beauveria bassiana. Klasifikasi jamur

Beauveria bassiana menurut Balsamo (1912) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Fungi

Kelas : Ascomycota

Divisi : Sordariomycetes

Ordo : Hypocreales

Family : Cordycipitaceae

Genus : Beauveria
6

Spesies : Beauveria bassiana

Hasil penelitian Halwiyah et al (2019) menunjukan jamur B. bassiana

memiliki tubuh berbentuk seperti benang-benang halus (hifa) dengan bentuk

koloni seperti tepung dan berwarna putih serta memiliki bentuk konidia oval agak

bulat sampai dengan bulat telur dengan warna hialin. Jamur ini umumnya

ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu

menyerang serangga pada tanaman atau pohon. Oktaviani dan Fitri (2021)

melalukan penelitian terkait eksplorasi dan identifikasi entomopatogen yang

dimana setelah diamati secara makroskopis biakan Beauveria bassiana pada

media PDA, koloni Beauveria bassiana berbentuk seperti lapisan tepung yang

berkelompok bulat lonjong yang terdiri atas satu sel kering dan kecil menonjol,

pada bagian tepi koloni berwarna putih kemudian menjadi kuning pucat atau

kemerahan seiring bertambahnya umur koloni.

Beauveria bassiana merupakan salah satu jenis jamur entomopatogen yang

dilaporkan efektif sebagai agen pengendali hayati untuk sejumlah spesies

serangga pengganggu tanaman. Kelebihan pemanfaatan jamur entomopatogen ini

dalam pengendalian hama yaitu mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi,

dapat membentuk spora yang tahan lama, relatif aman dan kecil kemungkinan

menyebabkan resistensi (Widariyanto et al., 2017). Penggunaan Beauveria

bassiana dinilai efektif karena jamur tersebut mengandung toksin yang sangat

toksik terhadap serangga sasaran hanya dalam rentang waktu yang cukup pendek

berkisar 3-5 hari setelah aplikasi serta mampu menginfeksi berbagai stadia

serangga termasuk larva maupun imago (Prayoga, 2013). Penggunaan B. bassiana


7

sendiri memiliki kelebihan yaitu keragaman inang terbanyak dibandingkan

dengan jamur entomopatogen lain terutama hama tanaman dari Ordo Lepidoptera,

Coleoptera, Hymenoptera, Hemiptera dan Diptera (Sari dan Rosmeita, 2020).

2.3. Perbanyakan Beauveria bassiana

Tahapan perbanyakan B. bassiana secara umum yaitu pembuatan media,

sterilisasi media, inokulasi, dan Inkubasi. Perbanyakan B. bassiana diperbanyak

dengan ditumbuhkan di media PDA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 21

hari (Budi et al., 2013). Media lain yang dapat digunakan untuk perbanyakan

Beauveria bassiana misalnya yaitu jagung, beras, bekatul. Jamur ini dapat

dikembangbiakkan pada media alternatif seperti dedak, kacang hijau,

beras, jagung, dan sebagainya (Afifah et al., 2021).

Perbanyakan B. bassiana dalam skala produksi dapat menggunakan media

yang mudah ditemukan seperti jagung, bekatul, atau beras. jagung, bekatul, atau

beras dibersihkan kemudian dicuci dengan air dan dikukus setengah matang

disiram air hangat dan diaduk, kemudian dapat digunakan sebagai media

perbanyakan B. bassiana (Sholichah et al., 2020). Media perbanyakan alternatif

beras, jagung mengandung nutrisi seperti karbohidrat, serat, nitrogen, posfat,

kalium (Novianti, 2018). Kandungan nutrisi tersebut diperluka jamur untu

mendukung pertumbuhannya. Penggunaan karbohidrat tinggi mendorong

pertumbuhan vegetatif jamur entomopatogen (Kasrini, 2015).

Perbanyakan B. bassiana dalam skala produksi umumnya dapat dilakukan

dengan media PDA. PDA (Potato Dextrose Agar) adalah media yang umum
8

untuk pertumbuhan jamur di laboratorium karena memiliki pH yang rendah (pH

4,5 sampai 5,6) sehingga menghambat pertumbuhan bakteri yang membutuhkan

lingkungan yang netral dengan pH 7,0, dan suhu optimum untuk pertumbuhan

antara 25-30 °C (Indrayati dan Sari, 2018). Perbanyakan B. bassiana pada media

PDA lebih cepat tumbuh daripada media jagung dan beras yang disebabkan

adanya perbedaan nutrisi pada masing - masing media (Afifah et al., 2022).

Berdasarkan komposisinya PDA termasuk dalam media semi sintetik karena

tersusun atas bahan alami (kentang) dan bahan sintesis (dextrose dan agar).

Kentang merupakan sumber karbon (karbohidrat), vitamin dan energi, dextrose

sebagai sumber gula dan energi, selain itu komponen agar berfungsi untuk

memadatkan medium PDA. Masing-masing dari ketiga komponen tersebut sangat

diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakkan mikroorganisme terutama

jamur (Wantini dan Octavia., 2018).

2.4. Aplikasi Beauveria bassiana Pada Tanaman

Aplikasi jamur B. bassiana dilakukan dengan cara disiram atau

disemprotkan ke tanaman. Biakan formulasi kering jamur B. bassiana diambil

sebanyak 1 g, kemudian diencerkan dengan 10 ml air steril dalam tabung reaksi

kemudian dikocok dengan menggunakan rotamixer hingga tercampur merata,

setelah itu suspensi jamur disemprotkan pada tanaman yang terserang hama

(Pertiwi et al., 2016). Metode aplikasi lain adalah dengan membenamkannya

pada tanah. Aplikasi suspensi jamur B. bassiana dilakukan dengan berbagai cara,

misalnya dengan menuangkan suspensi ke tiap lubang tanam (Prayogo, 2017).


9

Paparan sinar ultraviolet dapat dapat mematikan B. bassiana. Oleh karena

itu, aplikasi B. bassiana dilakukan pada saat pagi atau sore hari, di saat matahari

belum muncul sepuhnya untuk menghindari penyinaran matahari penuh secara

langsung saat aplikasi Ni’mah et al. (2021). Aplikasi jamur B. bassiana yang

diterapkan akan menyebabkan infeksi pada serangga yang terjadi akibat adanya

kontak.

Serangga inang yang memakan tanaman yang telah diaplikasikan B.

bassiana akan mengalami gangguan pada tubuhnya. Jamur entomopatogen

mampu menginfeksi serangga dengan masuk ketubuh serangga inang melalui

kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya (Oktaviani dan Fitri, 2021).

Spora B. bassiana yang melekat pada permukaan kutikula serangga akan

membentuk hifa, masuk pada jaringan internal serangga melalui interaksi

biokimia yang kompleks antara inang dan jamur. Selanjutnya, enzim yang

dihasilkan dapat mendegradasi kutikula serangga. Hifa jamur akan tumbuh ke

dalam sel-sel tubuh serangga, dan menyerap cairan tubuh serangga yang

mengakibatkan serangga mati dalam keadaan tubuh yang mengeras seperti mumi

(Rosmiati et al., 2018). Penggunaan B. bassiana telah banyak diterapkan karena

presentase keberhasilannya tergolong tinggi. Salah satu penelitian menyebutkan

persentase kematian pupa B. carambolae tertinggi adalah pada metode aplikasi

suspensi konidia B. bassiana pada kompos dan pupa dengan persentase kematian

87,33 % (Wicaksono et al., 2015).


10

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan Praktik Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan pada tanggal 22

September – 21 November 2022 2022 setiap hari Senin pukul pukul 07.00 – 15.30

dan Jumat pukul 07.00 – 14.00 di Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit

Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

3.2. Materi

3.2.1. Pembuatan Isolat Murni

Materi yang digunakan dalam kegiatan perbanyakan isolat murni meliputi

alat dan bahan. Bahan yang digunakan adalah kentang, air, agar instant, gula pasir,

isolat B. bassiana , alkohol 70%. Alat yang digunakan dalam perbanyakan masal

B. bassiana dengan media PDA yaitu wadah aluminium sebagai wadah merebus

kentang, kompor untuk merebus kentang, timbangan untuk mengukur berat

kentang, pisau untuk mengupas dan memotong kentang, mangkok sebagai wadah

kentang, sendok untuk mengaduk larutan, tabung reaksi untuk wadah media PDA,

autoklaf untuk mensterilkan media PDA, LAF untuk mensterilkan alat dan bahan

yang akan digunakan, bunsen untuk strerilisasi alat, korek api untuk menyalakan

Bunsen, jarum ose untuk menggores atau mengambil isolat, gelas beaker untuk
11

wadah alkohol yang digunakan untuk sterilisasi, spidol untuk memberi label pada

isolat yang siap digunakan.

3.2.2. Perbanyakan Massal

Materi yang digunakan dalam kegiatan perbanyakan massal meliputi alat

dan bahan. Bahan yang digunakan adalah jagung, isolat B. bassiana , alkohol

70%, air. Alat yang digunakan dalam perbanyakan masal B. bassiana dengan

media jagung yaitu panci untuk mengukus jagung, timbangan untuk mengukur

berat jagung, nampan untuk wadah media yang akan diinkubasi, ember untuk

mencuci jagung, spatula untuk mengambil isolat , stapler untuk menutup plastik

yang berisi media, karet untuk menggabungkan plastik berisi media agar tidak

berceceran, autoklaf untuk sterilisasi media jagung, LAF untuk sterilisasi alat dan

bahan, gelas beaker untuk wadah alkohol yang digunakan untuk sterilisasi alat,

spidol untuk memberi label pada media yang siap digunakan.

3.3. Metode Pelaksanaan

Metode yang digunakan dalam kegiatan Praktik Kerja Lapang yaitu dengan

mengobservasi data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari partisipasi

aktif, pengamatan langsung serta hasil wawancara dengan staff Laboratorium

Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Pemalang, sedangkan data sekunder

berasal dari studi pustaka yang terkait. Adapaun metode yang digunakan yaitu

observasi, partisipasi aktif, diskusi wawancara, dan studi pustaka.


12

Observasi. Metode ini dilakukan dengan pengamatan langsung di Lapang,

kemudian mencatat informasi penting yang dibutuhkan dan mendokumentasikan

kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan selama PKL yang dilakukan dengan

metode ini yaitu kegiatan pengamatan pertumbuan dan perkembangan Beauveria

bassiana pada media PDA dan jagung.

Partisipasi aktif. Metode ini dilakukan dengan mengikuti serangkaian

kegiatan yang diadakan oleh Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit

(LPHP) Pemalang. Adapun kegiatan yang dilakukan dengan metode ini yaitu

perbanyakan Beauveria bassiana serta beberapa APH lain seperti Tricoderma dan

paenibachillus, serta kegiatan Gerakan Pengendalian (Gerdal) yang dilaksanakan

pada kelompok tani di beberapa desa.

Diskusi dan wawancara. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan data

primer secara detail dengan diskusi dan wawancara dengan pihak terkait.

Wawancara dilakukan kepada 3 responden yang merupakan staff Laboratorium

Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Pemalang. Wawancara terkait teknik

perbanyakan APH, pengaplikasian APH dan hal lain yang terkait dengan

perbanyakan APH jamur Beauveria bassiana dilakukan kepada staff laboratorium

yaitu Ayu Puspita P., S.P., Prih Anggraeni K., S.P. dan Oelia Mariska.

Studi Pustaka. Metode ini dilakukan dengan mencari data dari jurnal,

prosiding, buletin, dan buku mengenai informasi yang dibutuhkan untuk

melengkapi data yang didapatkan selama kegiatan PKL. Data pendukung

digunakan sebagai daftar pustaka dan penguat opini yang diberikan.


13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Laboratorium Pengamatan Hama Dan Penyakit (LPHP)


Pemalang

1. Latar Belakang dan Keadaan Laboratorium Pengamatan Hama Dan


Penyakit (LPHP) Pemalang

Ilustrasi 1. Laboratorium Pengamatan Hama Dan Penyakit (LPHP) Pemalang

Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Pemalang berdiri

pada tahun 1977, tetapi baru difungsikan pada tahun 1979, berlokasi di Jalan Raya

Petarukan, Petarukan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Pemalang merupakan salah satu

laboratorium tertua dari 6 laboratorium dibawah Unit Pelaksana Teknis (UPT)

Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Jawa

Tengah yang berkedudukan di Ungaran, Semarang. Laboratorium lain yang

berada dibawah naungan Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura


14

(BPTPH) Provinsi Jawa Tengah diantaranya, LPHP Sukoharjo, LPHP Banyumas,

LPHP Kedu, LPHP Pati, dan LPHP Semarang. Wilayah kerja LPHP Pemalang

adalah se-eks Karesidenan Pekalongan yang meliputi: Kabupaten Brebes,

Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota

Pekalongan, dan Kabupaten Batang. Luas wilayah LPHP Pemalang adalah 25.000

m2 yang terdiiri atas tanah sawah seluas 19.116 m2 dan tanah daratan seluas 5.884

m2. Tanah daratan untuk bangunan kantor 437 m2, rumah kaca 5 m2, lantai jemur

196 m2, rumah dinas 6 unit seluas 249 m2 dan lain-lain (jalan, pekarangan, tempat

parker) 4.906 m2.

Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) Pemalang memiliki

tugas dan fungsi dalam menjalankan kegiatan perlindungan dan pengendalian

tanaman pangan dan hortikultura, kegiatan tersebut antara lain yaitu:

a. Kegiatan laboratorium, meliputi; monitoring resistensi, koleksi dsn

identifikasi OPT dan musuh alami; koleksi bahan nabati dan erbanyakan

agen hayati; serta eksplorasi bahan nabati dan agen hayati.

b. Kegiatan Lapang, meliputi; pengamatan populasi hama utama, musuh alami,

dan taksasi kehilangan hasil; studi efikasi pestisida; evaluasi penggunaan

pestisida di Lapang; pengawasan pestisida (peredaran, penyimpanan, dan

penggunaan); serta pencatatan data curah hujan.

c. Kegiatan rutin, meliputi; pembinaan wilayah pengamatan rekomendasi-

rekapiulasi analisa serangan, pemetaan OPT; pengamatan lampu perangkap

(light up); pengamatan stadium meteorology pertanian khusus (SMPK);

pengamatan taksasi kehilangan hssil; pembuatan laporan kegiatan


15

laboratorium; iddentifikasi hama dan penyakit dan musuh alami; serta

rekapitulasi hasil pengamatan PHP.

d. Kegiatan lain, meliputi; memberi pelayanan dan konsultasi masalah OPT

kepada masyarakat; serta memberikan bimbingan secara singkat dan jelas

kepada mahasiswa atau siswa untuk mengaddakan survey/studi pustaka.

2. Visi dan Misi

Laboratorium Pengamatan Hama Dan Penyakit (LPHP) Pemalang memiliki

visi yaitu “Terwujudnya kemandirian petani dan masyarakat pertanian dalam

penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada sistem pertanian

berkelanjutan berkelajutan yang berbasis pedesaan dan berwawasan agribisnis”,

yang didukung dengan visi sebagai berikut :

a. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan petani

tentang pengendalian hama terpadu (PHT)

b. Menciptakan iklim yang kondusif untuk terbinanya kemandirian petani

dalam pengelolaan OPT dan antisipasi dampak fenomena iklim 

c. Mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dari

usahataninya

d. Melindungi petani dan konsumen hasil pertanian dari akibat samping

penggunaan sarana perlindungan

e. Meminimalkan pencemaran lingkungan dan mempertahankan

keanekaragaman hayati di ekosistem pertanian.


16

3. Susunan Organisasi

Ilustrasi 2. Susunan Organisasi LPHP Pemalang

4. Sarana dan Prasarana LPHP Pemalang

Tabel 1. Daftar Sarana dan Prasarana Laboratorium Pengamatan Hama dan


Penyakit (LPHP) Pemalang

1. Sarana Kantor 2. Peralatan Laboratorium


a. Meja, kursi biro a. Mikroskop binokuler
b. Meja, kursi biro b. Mikroskop stereo
c. Meja computer c. Magnifying glass
d. Lemari buku d. Hot plate stirrer
e. Lemari arsip e. Bunsen
f. Card desk f. Kompor gas
g. Computer dan printer g. Autoklaf
h. Jaringan internet h. Laminar air flow
i. Pompa air i. Pinset
j. Pemadan api j. Jarum ose
k. Proyektor k. Lemari penyimpan koleksi
Alat preparasi
3. Sarana Laboratorium 4. Alat – Alat Gelas Laboratorium
a. Meja, kursi laboratorium a. Erlenmeyer
b. Rak preparat b. Labu ukur
17

c. Lemari c. Corong gelas


d. Card desk d. Gelas ukur
e. Gelas piala
f. Cover gelas preparat
g. Mikro pipet
h. Spatula
i. Petridish
j. Tabung reaksi
Dll.
5. Sarana Aula
a. Meja
b. Kursi
c. White board

4.2. Perbanyakan Beauveria bassiana

Perbanyakan B. bassiana di LPHP Pemalang terdapat 2 macam, yaitu

perbanyakan isolat murni dan perbanyakan massal.

1. Pembuatan isolat murni

Alat yang digunakan dalam perbanyakan isolat murni B. bassiana dengan

media PDA yaitu wadah aluminium, kompor, timbangan, pisau, mangkok,

sendok, autoklaf, LAF, spatula, gelas beaker, spidol, jarum ose, tabung reaksi,

korek api. Bahan yang digunakan adalah kentang, air, agar instant, gula pasir,

isolat B. bassiana, alkohol 70%.

Langkah awal pada pembuatan isolat murni B. bassiana adalah persiapan

media. Kentang ditimbang sebanyak 250 gram, kemudian dikupas, dicuci, dan

dipotong kecil kecil. Kentang yang sudah dipotong kemudian direbus dengan 500

ml air selama 10 menit atau hingga empuk. Kentang yang sudah matang

kemudian disaring ke gelas beaker untuk diambil ekstraknya. Ekstrak kentang

kemudian ditambahkan 1 kemasan agar instant (7 gram), lalu ditambahkan 10


18

gram gula pasir dan diaduk hingga larut. Ekstrak kentang kemudian direbus

kembali hingga mendidih dengan api kecil, kemudian dituangkan ke dalam tabung

reaksi, setelah itu mulut tabung reaksi ditutup menggunakan kapas.

Tabel 2. Rekapitulasi Kegiatan Pembuatan Media PDA Pertumbuhan Jamur


Beauveria bassiana
Mahasiswa Pegawai
Volume Jumlah Volume Jumlah Persentase
Kegiatan (%)
PDA tabung PDA botol
(ml) reaksi (ml)
Pembuatan PDA 500 40 500 40 100

Mahasiswa mampu membuat media PDA + air 500 ml dan menghasilkan 40

tabung reaksi setara dengan kerja pegawai (tabel 2). Media PDA yang telah dibuat

mahasiswa tidak mengalami kontaminasi. Tempat penyimpanan PDA harus

aseptik sehingga selalu dibersihkan dan disterilisasi menggunakan alkohol untuk

mengurangi kontaminasi.

Tabung reaksi yang berisi PDA kemudian disterilisasikan menggunakan

autoklaf pada suhu 121˚ C selama 120 menit, lalu dikeluarkan dan media

diletakkan dengan posisi miring dengan bantuan sterofoam dan biarkan hingga

beku/mengeras. Tahap selanjutnya adalah inokulasi. Alat-alat dan media yang

akan diinokulasi dimasukkan ke dalam LAF, sebelumnya disemprotkan alkohol

70% terlebih dahulu. Ultraviolet dinyalakan selama 20 menit untuk menghambat

pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada alat dan bahan. Lampu

Bunsen kemudian dinyalakan, lalu jarum ose disterilisasi dengan cara dicelupkan

ke dalam gelas beaker yang berisi alkohol 70% , kemudian jarum ose dipanaskan

dengan lampu bunsen. Bibir tabung reaksi yang berisi isolat B. bassiana juga
19

dipanaskan untuk menjaga kesterilan. Isolat diambil menggunakan jarum ose dan

digoreskan pada media PDA dengan cara zig-zag. Media yang sudah berisi isolat

kemudian ditutup kembali dengan kapas. Media kemudian disimpan di tempat

yang bersih dan kering. Media diinkubasi selama kurang lebih 7 hari hari hingga

terlihat jamur B. bassiana yang ditandai dengan warna putih kapas yang tumbuh

pada media PDA (Ilustrasi 3).

Ilustrasi 3. Hasil perbanyakan jamur B. bassiana media PDA setelah 7 hari


inkubasi

Inokulasi pada media PDA pada umur H+7 terlihat seluruh permukaan PDA

sudah dipenuhi koloni jamur Beauveria bassiana (ilustrasi 3). Hasil inokulasi

dapat disimpan pada tempat yang untuk nantinya digunakan untuk perbanyakan

massal pada media jagung.

2. Perbanyakan massal

Perbanyakan massal B. bassiana di LPHP Pemalang dilakukan dengan

mengunakan hasil perbanyakan isolat murni yang diinokulasikan pada media

padat jagung. Hal ini didukung Novianti (2018) bahwa media perbanyakan

alternatif beras, jagung mengandung nutrisi seperti karbohidrat, serat, nitrogen,


20

posfat, kalium. Kandungan nutrisi tersebut diperlukan jamur untu mendukung

pertumbuhannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kasrini (2015) bahwa

penggunaan karbohidrat tinggi mendorong pertumbuhan vegetatif jamur

entomopatogen .

Alat yang digunakan dalam perbanyakan masal B. bassiana dengan media

jagung yaitu panci, kompor, timbangan, nampan, ember, spatula, stapler, karet,

autoklaf, LAF, spatula, gelas beaker, spidol. Bahan yang digunakan adalah

jagung, isolat B. bassiana, alkohol 70%, air.

Langkah awal dalam teknik perbanyakan B. bassiana secara massal jagung

pecah ditimbang seberat 1 kg kemudian dicuci bersih hingga kotoran yang ada

hilang. Jagung yang sudah bersih kemudian dikukus selama kurang lebih 30 menit

atau hingga jagung dapat dipecah dengan tangan. Media jagung tidak boleh

terlalu matang atau belum matang karena dapat mempengaruhi pertumbuhan B.

bassiana, dimana jika terlalu matang maka jagung akan lembab dan mudah

ditumbuhi aspergilus, jika belum matang maka jagung akan cenderung kering dan

pertumbuhan B. bassiana akan semakin sulit. Jagung dengan kematangan sesuai

kemudian dikering anginkan lalu di kemas ke dalam katong plastik ukuran kecil

(50 g, 500 g) yang bertujuan memudahkan proses penyebaran isolat B. bassiana.

Tabel 3. Rekapitulasi Kegiatan Pembuatan Media Jagung


Mahasiswa Pegawai
Berat Jumlah media Berat Jumlah media Persentase
Kegiatan
jagung jagung jagung jagung (%)
(kg) (plastik) (kg) (plastik)
Pembuatan
1 20 1 2 100
media jagung
21

Mahasiswa melakukan kegiatan pembuatan media pertumbuhan dari jagung

sebanyak 1 kg dan dapat menghasilkan 20 plastik media jagung. Media yang telah

dikemas kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf. Media diletakkan pada

keranjang autoklaf lalu keranjang dimasukkann kembali ke dalam autoklaf,

kemudian media disterilisasi selama 120 menit dengan pengaturan suhu total 121˚

C. Keranjang yang berisi media yang sudah disterilisasi kemudian diangkat dan

didiamkan hingga dingin.

Alat-alat dan media yang akan digunakan untuk inokulsi kemudia

disterilisasi dengan disemprotkan alkohol 70%, lalu dimasukkan ke dalam LAF.

Ultraviolet dinyalakan selama 20 menit untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme yang tidak diinginkan pada alat dan bahan. Lampu Bunsen

kemudian dinyalakan, lalu spatula disterilisasi dengan cara dicelupkan ke dalam

gelas beaker yang berisi alkohol 70% , kemudian spatula dipanaskan dengan

lampu bunsen. Bibir tabung reaksi yang berisi isolat B. bassiana juga dipanaskan

untuk menjaga kesterilan. Isolat diambil menggunakan spatula dan dimasukkan ke

dalam media jagung, lalu media ditutup dengan cara menggunakan stapler. Media

yang sudah diisi isolat kemudian diremas dan diratakan agar tercampur dan isolat

dapat tumbuh dengan merata. Media yang sudah siap kemudian diberi label

berupa nama agen hayati dan keterangan waktu inokulasinya. Media kemudian

disusun pada nampan dan diletakkan di tempat yang bersih dan kering. Media

diinkubasi selama kurang lebih 7 hari hingga terlihat jamur B. bassiana yang

ditandai dengan warna putih kapas yang tumbuh pada media jagung .
22

Ilustrasi 4. Hasil perbanyakan jamur B. bassiana media jagung setelah 7


hari inkubasi

Inokulasi pada media media jagung umur H+7 terlihat sudah ditumbuhi

penuh dengan jamur dan sudah terdapat miselia berwarna putih (ilustrasi 4). Hasil

inokulasi dapat disimpan pada tempat yang steril agar jamur Beauveria bassiana

tidak terkontaminasi.

Tabel 4. Rekapitulasi Kegiatan Peremajaan dan Inokulasi Jamur Beauveria


bassiana pada Media Pertumbuhan

Tanggal Kegiatan Mahasiswa Pegawai Persentase


(%)
6 Oktober Inokulasi 20 20 100
2022
Beauveria plastik/inokulasi plastik/inokulasi
bassiana di
Media jagung
11 Oktober Inokulasi 20 20 100
2022
Beauveria plastik/inokulasi plastik/inokulasi
bassiana di
Media jagung
11 Oktober Peremajaan 10 tabung reaksi 10 tabung reaksi 100
2022
Beauveria PDA/inokulasi PDA/inokulasi
bassiana di
Media PDA.
23

Mahasiswa melakukan inokulasi pada media jagung selama 2 kali dan

inokulasi pada media PDA sekali. Persentase kerja mahasiswa pada inokulasi di

media PDA dan inokulasi pada media jagung 100% dari kerja pegawai karena

inikulasi dikerjakan oleh jumlah anggota yang sama yaitu 1 mahasiswa dan 1

pegawai laboratorium sehingga menghasilkan jumlah hasil yang sama (tabel 4).

Tingkat keberhasilan inokulasi yang dilakukan mahasiswa yaitu 100% inokulasi

pada media PDA, 0% pada media jagung kegiatan pertama dan 100% pada media

jagung kegiatan kedua. Keberhasilan inokulasi rendah pada media jagung pada

kegiatan pertama disebabkan karena semua plastik inokulasi tidak tumbuh jamur

Beauveria bassiana, hal tersebut dikarenakan media jagung yang terlalu basah

dan lembek sehingga dalam waktu H+2 inokulasi jagung mengalami pembusukan.

4.3. Standarisasi

Agen pengendali hayati B. bassiana yang akan digunakan diuji kerapatan

spora dan viabilitasnya. Hal ini dilakukan agar APH yang akan digunakan

memenuhi standar dan lebih efektif ketika diaplikasikan.

a. Kerapatan Spora

Kerapatan spora adalah kepadatan suatu organisme atau mikroorganisme

akibat penambahan secara teratur semua komponen sel dan terjjadinya perubahan

jumlah atau massa sel per unit waktu. Spora jamur yang muncul dicirikan dengan

bulatan kecil berwarna putih bening yang terlihat di atas bidang hitung.

Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengujian kerapatan spora adalah

aquades 100 ml, alkohol 70%, mikroskop, haemacytometer tipe Neubaurer


24

improve, tabung reaksi, mikropipet, hand counter, gelas penutup haemacytimeter,

APH B. bassiana yang akan diuji. Contoh APH B. Bassiana dalam bentuk padat

ditimbang 1 gram dengan menggunakan alumunium foil dan dimasukkan ke

dalam Erlenmeyer 100 ml, selanjutnya ditambahkan aquades hingga mencapai

100 ml, kemudian dikocok menggunakan vortex selama 3 menit dan dikocok

ulang dengan tangan selama 6 menit. Sampel APH B. Bassiana siap digunakan

sebagai bahan uji dengan cara diambil dengan mikropipet sebanyak 0,2 ml atau

200 µl, kemudian suspensi diteteskan secara perlahan pada bidang hitung

haemacytometer dengan mikropipet melalui kedua kanal pada sisi atas dan bawah,

hingga bidang hitung terpenuhi suspensi secara kapiler, lalu didiamkan selama

satu menit agar posisi stabil. haemacytometer yang telah terisi suspensi kemudian

ditutup dengan kaca penutup lalu diletakkan pada mikroskop dan diamati hingga

memperoleh fokus pada konidium jamur dan pada bidang hitung. Perhitungan

spora pada kotak hitung dilakukan dengan perbesaran 400x.

A B

a
b
c
d
e

Ilustrasi 5. Bidang hitung Haemocytometer: A) Haemocytometer tipe Nebauer


improved dan B) bidang hitung kerapatan spora Beauveria bassiana perbesaran
400x
25

Cara menghitung kerapatan spora yaitu menghitung tiap bidang pada

haemocytometer dengan 3 kali ulangan. Perhitungan kerapatan spora dilakukan

dengan menghitung jumlah spora yang ada di kotak hitung (a, b, c, d, e) bidang

satu dan dua Haemocytometer. Ketentuan spora yang dapat dihitung yaitu spora

yang berada di dalam kota hitung dan tidak melewati garis tepi di sebelah kanan

dan bawah kotak. Jika sudah diperoleh data sporanya maka dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut

X
S=
L(mm¿ ¿2) x t ( mm ) x d x 103 ¿

Keterangan :

S = kerapatan spora/ml

X = Jumlah spora pada kotak a,b,c,d

L = luas kotak hitung 0,02 mm2

t = kedalaman bidang hitung 0,1 mm

d = faktor pengenceran

Tabel 5. Hasil Uji Kerapatan Spora B. bassiana Media Jagung Ulangan 1


Kotak Hitung Jumlah Kerapatan
Bidang Hitung
a b c d e Spora Spora
Atas 23 13 9 12 2 59
4,45 x 107
Bawah 3 10 6 8 3 30
26

Tabel 6. Hasil Uji Kerapatan Spora B. bassiana Media Jagung Ulangan 2


Kotak Hitung Jumlah Kerapatan
Bidang Hitung
a b c d e Spora Spora
Atas 3 6 11 10 27 57
4,05 x 107
Bawah 1 1 4 13 5 24

Kerapatan spora pada ulangan 1 adalah 4,45 x 107 (tabel 5) dan pada

ulangan 2 adalah 4,05 x 107 (tabel 6) yang tergolong dalam standar baik. Hal ini

sesuai Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (2014) bahwa

formulasi dengan kerapatan spora ≥ 106 spora/ml dikategorikan pada mutu

formulasi baik. Kerapatan spora sangat besar kaitannya dengan tingkat

keberhasilan suatu formulasi sebagai agensi pengendali hayati. Hal tersebut

didukung pendapat Nurani et al. (2018) bahwa semakin tinggi kerapatan spora,

semakin besar pula tingkat keberhasilan suatu formulasi, sehingga proses

kematian serangga yang terinfeksi semakin cepat. Selain itu, kerapatan spora juga

berhubungan dengan banyaknya toksin yang dihasilkan untuk menyerang hama

tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosmiati et al. (2018) bahwa semakin

tinggi kerapatan spora yang diaplikasikan maka semakin banyak pula spora yang

menempel pada tubuh larva, semakin banyak pula enzim dan toksin yang

dihasilkan sehingga mempercepat kematian hama yang menyerang tanaman.


27

b. Viabilitas

viabel

nonviabel

Ilustrasi 6. Uji viabilitas spora B. Bassiana

Uji viabilitas digunakan untuk mengetahui kemampuan berkecambah dari

jamur yang akan diuji. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengujian viabilitas

adalah APH B. bassiana, aquades 100 ml, alkohol 70%, mikroskop, tabung reaksi,

mikropipet, hand counter, kapas gulung, gelas benda, gelas penutup, cawan petri,

vortex, bor gabus, segitiga penyebar/spreader, LAF, APH B. bassiana yang akan

diuji, media PDA. Langkah awal adalah contoh APH B. Bassiana dalam bentuk

padat ditimbang 1 gram dengan menggunakan alumunium foil dan dimasukkan ke

dalam Erlenmeyer 100 ml, selanjutnya ditambahkan aquades hingga mencapai

100 ml, kemudian dikocok menggunakan alat pengaduk atau mixer selama 3

menit dan dikocok ulang dengan tangan selama 6 menit. Proses penyiapan

pembiakan dilakukan menggunakan LAF agar tetap steril. Media PDA yang

tersedia dicairkan menudian diletakkan pada cawan petri. Media PDA dibiarkan

memadat selama ±15 menit. Setelah media memadat, media PDA dilubangi

dengan bor sebanyak 3 lubang. Selanjutnya pada cawan petri yang lain

dimasukkan kapas, gelas benda. Media PDA yang sudah di bor kemudian di ambil

menggunakan jarum ose, lalu diletakkan pada gelas benda yang terdapat pada

cawan petri lain, kemudian diteteskan suspensi APH yang sudah dibuat dan
28

ditutup dengan gelas penutup. sebagai pembanding pada cawan petri lain dituang

media PDA, setelah memadat beri contoh APH dan ratakan dengan spreader.

Selanjutnya B. bassiana dibiarkan tumbuh selama 24 jam dan siap untuk diuji

viabilitsnya. Biakan yang telah diinkubasi selama 24 jam selanjutnya diamati

menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x untuk melihat pertumbuhan

spora. Viabilitas dihitung dengan cara jumlah spora yang berkecambah dibagi

dengan jumlah total spora yang diamati kemudian dikali 100%.

Tabel 7. Hasil Uji Viabilitas


Spora
Ulangan Tidak Viabilitas
Berkecambah
berkecambah
1 101 57 63%
2 86 35 71%
3 70 21 76%
Rata - rata 70%

Data rata – rata viabilitas dari 3 ulangan spora yang di uji adalah 70% yang

tergolong dalam standar baik (tabel 7). Hal ini sesuai Direktorat Perlindungan

Perkebunan Kementerian Pertanian (2014) bahwa formulasi dengan viabilitas ≥

60% dikategorikan pada mutu formulasi baik. Viabilitas spora yang berkecambah

dapat dicirikan dengan perubahan bentuk spora yang semula berbentuk bulat

menjadi bulat berekor. Pada uji viabilitas yang dilakukan didapat hasil yang tidak

terlalu tinggi dikarenakan spora yang dipakai sudah berumur lebih dari satu bulan.

Salah satu hal yang dapat mempengaruhi viabilitas adalah lama penyimpanan,

dimana spora yang telah lama disimpan akan menghasilkan viabilitas yang
29

rendah. Hal ini didukung Prayogo dan Santoso (2013) bahwa semakin lama

formulasi jamur disimpan semakin menurun viabilitasnya. Secara umum,

viabilitas berkorelasi positif dengan tingkat infektivitas jamur. Hal ini didukung

Thalib et al. (2013) bahwa jamur yang lebih patogenik cenderung memiliki

kerapatan dan viabilitas konidia lebih tinggi.

4.4. Aplikasi Beauveria bassiana pada Tanaman

Aplikasi jamur B. bassiana pada umumnya dilakukan dengan cara

disemprotkan ke tanaman. Dosis aplikasi jamur B. bassiana yang biasa digunakan

di LPHP Pemalang adalah 5 - 10 ml/liter. Dimana 5 ml suspensi jamur B.

bassiana yang telah jadi kemudian dicampur ke dalam 1 liter air kemudian

disemprotkan pada tanaman (ilustrasi 6). Dosis yang digunakan dapat disesuaikan

kebutuhan tanaman. Hal ini didukung Pertiwi et al. (2016) bahwa biakan

formulasi kering jamur B. bassiana diambil sebanyak 1 g, kemudian diencerkan

dengan 10 ml air steril dalam tabung reaksi kemudian dikocok dengan

menggunakan rotamixer hingga tercampur merata, setelah itu suspensi jamur

disemprotkan pada tanaman yang terserang hama. Aplikasi jamur B. bassiana

pada tanaman skala rumah dapat dilakukan menggunakan handsprayer dan

aplikasi jamur B. bassiana baiknya dilakukan pada pagi hari untuk menghindari

penyinaran matahari penuh secara langsung saat aplikasi. Tempat atau tanki yang

akan digunakan untuk aplikasi B. bassiana harus dalam keadaan bersih dan tidak

tercampur atau bekas dari penggunaan pestisida kimia karena kandungan kimia

pada pestisida dapat membunuh jamur B. bassiana,


30

Ilustrasi 7. Aplikasi jamur Beauveria bassiana pada tanaman bawang merah


dengan penyemprotan

Aplikasi jamur B. bassiana pada tanaman lebih efektif dilakukan dengan

penyemprotan karena APH yang diterapkan akan menyebabkan infeksi pada

serangga yang terjadi akibat adanya kontak (ilustrasi 7). Jamur Beauveria

bassiana dapat diaplikasikan pada tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan.

Pada tanaman perkebunan, Beauveria bassiana dapat mengendalikan serangga

Helopeltis sp. pada tanaman kakao, serangga Hypothenemus hampei pada

tanaman kopi, dan hama ulat kipat (Cricula trifenestrata) pada tanaman jambu

mete. Pada tanaman pangan dan hortikultura yaitu wereng cokelat pada tanaman

padi, kutu putih pada tanaman terung, ulat krop pada tanaman kubis dan sawi,

serta ulat grayak pada tanaman pangan ataupun hortikultura lainnya. Gerakan

pengendalian yang dilakukan LPHP Pemalang khusus untuk tanaman hortikultura.

4.5. Prospek dan Kendala Penggunaan Entomopatogen Beauveria bassiana


Sebagai Agen Pengendali Hayati

Penggunaan B. bassiana sebagai Agen Pengendali Hayati (APH) sedang

dikembangkan karena penggunaan APH khususnya B. bassiana dinilai efektif,

murah, tidak mencemari lingkungan dan tidak menimbulkan resistensi hama. Hal
31

ini didukung Anggrawati et al. (2017) bahwa penggunaan jamur entomopatogen

sebagai APH mempunyai prospek penting karena selain efektif juga lebih murah

dan sederhana cara perbanyakannya. Entomopatogen mempunyai peran penting

yang dapat menyebabkan tingginya kematian populasi serangga dan aman bagi

serangga non target. Jamur B. bassiana juga memiliki kapasitas reproduksi tinggi

dan mudah diperbanyak. Hal ini didukung bahwa Hayata (2018) B. bassiana

mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, mudah diproduksi dan pada kondisi

yang kurang menguntungkan, dapat membentuk spora yang mampu bertahan lama

di alam. Beauveria bassiana memiliki potensi yang besar dalam mengendalikan

berbagai jenis hama. Selain mudah didapat, jamur ini mudah diperbanyak

sehingga dapat menurunkan biaya pengendalian.

Peluang atau prospek yang ada dalam pemanfaatan B. bassiana tidak

terlepas dari beberapa kendala. Salah satu kendala yang dihadapi dalam

pemanfaatan jamur B. bassiana adalah media. Kematangan media yang akan

digunakan berpengaruh terhadap pertumbuhan B. bassiana, sebaiknya tingkat

kematangan media berada dalam kategori yang sesuai, karena jika terlalu masak

maka media akan menyerap banyak air dan menyebabkan media menjadi teralu

lembab dan mudah ditumbuhi jamur lain yang tidak diinginkan, sedangkan media

yang kurang masak menyebabkan media menjadi kering dan sulit untuk

pertumbuhan jamur B, bassiana. Hal ini didukung Budi et al. (2013) bahwa untuk

perkembangan maksimum jamur B. bassiana tercapai pada suhu 23-25 °C dan

kelembaban 92 %.
32

Kendala lain dalam pemanfaatan B. bassiana juga terdapat pada aspek

pengaplikasian B. bassiana. Pemanfaatan B. bassiana di Lapang masih memilik

banyak kendala salah satunya adalah kesiapan dari sumber daya manusia atau

petani. Penggunaan B. bassiana sebagai pengendali hama masih sulit dilakukan

karena rendahnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman sehat yang

berwawasan lingkungan, juga karena petani yang belum mengenal teknologi

pengendalian hama yang ramah terhadap lingkungan. Faktor lain yang menjadi

kendala adalah kurangnya kekonsistenan dalam aplikasi B. bassiana sebagai agen

pengendali hayati. Sebagian petani masih sulit menerapkan aplikasi B. bassiana

sebagai agen pengendali hayati secara konsisten karena dinilai kurang efektif,

petani masih banyak yang lebih memilih pestisida karena memberikan hasil yang

cepat, efektif, dan dijual di banyak tempat. Oleh karena itu, dalam menanggulangi

kendala tersebut LPHP Pemalang secara rutin melakukan kegiatan Gerakan

Pengendalian (GERDAL), dimana dalam kegiatan tersebut tidak hanya penerapan

aplikasi B. bassiana, namun juga pengenalan APH B. bassiana kepada petani.

Sehingga penggunaan jamur B. bassiana sebagai APH dikenal luas, dapat

diperhitungkan manfaatnya dan tidak kalah saing dengan pestisida kimia.


33

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan PKL yang telah dilaksanakan di Laboratorium Pengamatan

Hama dan Penyakit bahwa mahasiswa mengetahui dan dapat melakukan teknik

perbanyakan entomopatogen Beauveria bassiana mulai dari tahap pembuatan

media pertumbuhan jamur Beauveria bassiana berupa media PDA dan media

jagung, inokulasi jamur Beauveria bassiana pada media pertumbuhan, uji

kerapatan spora Beauveria bassiana dan uji viabilitas Beauveria bassiana hingga

aplikasinya pada tanaman. Serta kegiatan PKL ini dapat menambah keterampilan

dan pengalaman kerja bagi mahasiswa terkait teknik perbanyakan emtomopatogen

Beauveria bassiana dan aplikasinya pada tanaman.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu lebih diperjelas terkait cara aplikasi

Beauveria bassiana sesuai target pada komoditas yang terserang, karena

mekanisme serangan jamur Beauveria bassiana harus kontak dengan hama

sasaran.
34

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, L., R. Desriana., A. Kurniati., R. Maryana. 2021. Viability of


entomopathogenic fungi Metarhizium anisopliae (metsch) sorokin in some
alternative media and different shelf-life.  J. of Agriculture System, 8(2) :
108-118.
Anggarawati, S. H., T. Santoso., dan R. Anwar. 2017. Penggunaan jamur
entomopatogen Beauveria bassiana (balsamo) vuillemin dan lecanicillium
lecanii (zimm) zare & gams untuk mengendalikan helopeltis antonii sign
(hemiptera: miridae) The Use of Entomopathogenic Fungi Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin. J. Silvikultur Tropika, 8(3) : 197-202.
Agnariosa, C., dan P. Suryadarma. 2020. Kultur teknis padi sawah di Desa
Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. J. Pusat Inovasi
Masyarakat (PIM), 2(3) : 407-411
Budi, A. S., A. Afandhi, A., dan R.. D. Puspitarini. 2013. Patogenisitas jamur
entomopatogen Beauveria bassiana balsamo (Deuteromycetes: Moniliales)
pada larva Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). J. Hama
dan Penyakit Tumbuhan, 1(1), 57-65.
Diratmaja, I. A. 2015. Konsep dasar dan penerapan pht padi sawah di tingkat
petani. J. Pertanian Agros, 17(1) : 33-45.
Halwiyah, N., B. Raharjo, dan S. Purwantisari. 2019. Uji antagonisme jamur
patogen fusarium solani penyebab penyakit layu pada tanaman cabai dengan
menggunakan Beauveria bassiana secara in vitro. J. Akademika Biologi,
8(2) : 8-17
Hayata, H. 2018. Penggunaan jamur entomopathogen (Beauveria bassiana) untuk
menekan tingkat serangan hama penggerek buah kakao (Conopomorpha
cramerella Snell.) di kebun rakyat Desa Betung Kabupaten Muaro Jambi. J.
Media Pertanian, 3(2) : 47-53.
Herdatiarni, F., T. Himawan., dan R. Rachmawati. 2014. Eksplorasi jamur
entomopatogen Beauveria sp. menggunakan serangga umpan pada
komoditas jagung, tomat dan wortel organik di Batu, Malang. J. Hama dan
Penyakit Tumbuhan, 2(1) : 130-140.
Kansrini, Y. (2015). Uji berbagai jenis media perbanyakan terhadap
perkembangan jamur Beauveria bassiana di Laboratorium. J. Agrica
Ekstensia, 9(1) : 34-39.
Kusuma, A. D. T., , A. K. Parawansa., dan S. Subaedah. 2019. Efektivitas
beberapa jenis bioinsektisida terhadap keanekaragaman dan populasi
35

arthropoda pada ekosistem padi sawah. AGROTEK: J. Ilmiah Ilmu


Pertanian, 3(2) : 194-210.
Latifah, E., H. A. Dewi., P. B. Daroini., A. Z. Zakariya., A. L. Hakim., dan J.
Mariyono. 2018. Uji Teknis dan ekonomis komponen pengendalian hama
penyakit terpadu pada usaha tani tomat. Agrovigor: J.
Agroekoteknologi, 11(1) : 1-8.
Nurani, A. R., I. P. Sudiarta., dan N. N. Darmiati. 2018. Uji efektifitas jamur
beauveria bassiana bals. terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada
tanaman tembakau. J. Agroekoteknologi Tropika, 7(1) : 11-23.
Oktaviani, F. I. N dan I. Fitri. 2021. Exploration and identification of the
entomopathogenic flow of Beauveria bassiana using the baiting method. J.
Matematika dan Sains, 1(2) : 49-58
Pertiwi, S. P., R. Hasibuan, dan L. Wibowo. 2016. Pengaruh jenis formulasi jamur
entomopatogen Beauveria bassiana terhadap pertumbuhan spora dan
kematian kutudaun kedelai (Aphis glycines Matsumura). J. Agrotek
Tropika, 4(1) : 58-61.
Prayogo, Y. 2013. Patogenisitas jamur entomopatogen Beauveria bassiana
(Deuteromycotina: Hyphomycetes) pada berbagai stadia kepik hijau (Nezara
viridula L.). J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 13(1) : 75-86
Prayogo, Y., dan T Santoso. 2013. Viabilitas dan infektivitas formulasi jamur
entomopatogen Lecanicillium lecanii sebagai biopestisida pengendalian
telur kepik coklat Riptortus linearis. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan,
32(1) : 57-67.
Purwaningsih, T., B. A. Kristanto., dan K. Karno. 2018. Efektifitas aplikasi
Beauveria bassiana sebagai upaya pengendalian wereng batang coklat dan
walang sangit pada tanaman padi di Desa Campursari Kecamatan Bulu
Kabupaten Temanggung. J. of Agro Complex, 2(1) : 12-18.
Rahayu, S., C.T. Maryani, dan P. Yusnani. 2013. Pengaruh perangkap warna
berperekat aroma rempah untuk mengendalikan hama gudang Lasioderma
serricorne Fabricius (Coleoptera: Anobiidae) di Gudang Tembakau. J.
Agroteknologi. 1(4): 1382-1390.
Rahmawasiah, R., dan E. Sudartik. 2016. Pengendalian opt padi ramah
lingkungan. Perbal: J. Pertanian Berkelanjutan, 4(3) : 1 – 5
Razak, N. A., B. Nasir., dan N. Khasanah. 2016). Efektifitas Beauveria bassiana
Vuill terhadap pengendalian Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera:
Noctuidae) pada tanaman bawang merah lokal palu (Allium
wakegi). Agrotekbis: E-Jurnal Ilmu Pertanian, 4(5) : 565-570.
36

Rosmiati, A., Hidayat, C., Firmansyah, E., & Setiati, Y. (2018). Potensi Beauveria
bassiana sebagai agens hayati Spodoptera litura Fabr. pada tanaman
kedelai. J. Agrikultura, 29(1) : 43-47.
Sari, W., dan C. N. Rosmeita. 2020. Identifikasi molekuler jamur entomopatogen
Beauveria Bassiana dan Metarhizium anisopliae asal isolat Cianjur. J. Pro-
STek, 1(1) : 1-9.
Siahaan, P. 2022. Pelatihan pembuatan biopestisida dari jamur Beauveria
bassiana berbasis isolat lokal dan aplikasinya bagi petani Tomohon Utara. J.
Lentera-Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 3(1) : 01-04.
Solichah, C., R.R. Brotodjojo., D. Wicaksono., dan W. Waluya, 2021.
Pertumbuhan jamur beauveria bassiana yang diperbanyak pada berbagai
komposisi dan macam media terhadap Hyphotenemus hampei. J.
Agrivet, 26(2) : 43 – 51

Sopialena, S. 2022. Uji efektivitas jamur Metarhizium anisoplae dan Beauveria


bassiana bals lokal dan komerisial terhadap hama kutu daun (Aphis
cramlivora) pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis L.). Agrifor: J.
Ilmu Pertanian dan Kehutanan, 21(1) : 147-160.
Sridevi, K., S. Jeyarani., K. Ramaraju. 2018. Evaluation of oil based formulation
of Beauveria bassiana (Bb 112) (Bals.) Vuill. and delivery methods for the
management of chilli thrips, Scirtothrips dorsalis Hood. J. of Biological
Control, 32(1) : 62–67.
Sugiyono, B., G. Mudjiono., dan R. Rachmawati. 2014. Studi kelimpahan
populasi Thrips sp.. pada perlakuan pengelolaan hama terpadu dan
konvensional pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.) di Desa Bayem
Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang. J. HPT, 2(2) : 67–78.
Wardati, I., D. N. Erawati., C. Triwidiarto., dan U. Fisdiana. 2013. Potensi
pengendalian dengan berbagai agens hayati pada hama penggerek pucuk
kapas (Gossypium Hirsutum L.). Agritrop: J. Ilmu-Ilmu Pertanian (Journal
of Agricultural Science), 11(1) : 81-88.Wibowo, A. R., S. Wiyono., dan A.
Fariyanti, 2022. Kajian penerapan teknologi pengendalian penyakit pada
pembibitan sengon di Bogor. J. Ilmu Pertanian Indonesia, 27(2) : 269-278.
Wibowo, A. R., S. Wiyono., dan A. Fariyanti, 2022. Kajian penerapan teknologi
pengendalian penyakit pada pembibitan sengon di Bogor. J. Ilmu Pertanian
Indonesia, 27(2) : 269-278.
Wicaksono, A. P., A. L. Abadi., dan A. Afandhi. 2015. Uji efektivitas metode
aplikasi jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin
terhadap pupa Bactrocera carambolae Drew & Hancock (Diptera:
Tephritidae). J. Hama dan Penyakit Tumbuhan, 3(2) : 39-49.
37

Widariyanto, R., M. I. Pinem., dan F. Zahara. 2017. Patogenitas beberapa jamur


entomopatogen (Lecanicillium lecanii, Metarhizium anisopliae, dan
Beauveria bassiana) terhadap Aphis glycinespada tanaman kedelai:
pathogenicity of some entomophatogen’s fungus (Lecanicillium lecanii,
Metarhizium anisopliae, and Beauveria bassiana) to Aphis glycines on
soybean. J. Online Agroekoteknologi, 5(1) : 8-16.
38

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Kerapatan Spora Jamur Beauveria bassiana


S =
Lx t xd
x 103

23+13+9+12+2+3+10+ 6+8+3 89
x̄ S1 = 10
= 10 = 8,9
3+6+11+10+27+ 1+ 1+ 4+ 13+ 5 81
x̄ S2 = 10
= 10 = 8,1

8,9
S1 = −2 x 103
0,2 x 0,1 x 10
8,9
= x 103
2 x 10 x 1 x 10−1 x 10−2
−1

= 4, 45 x 10−7

8,1
S2 = −2 x 103
0,2 x 0,1 x 10
8,1
= −1 −1 −2 x 103
2 x 10 x 1 x 10 x 10
= 4, 05 x 10−7
39

Lampiran 2. Perhitungan Viabilitas Jamur Beauveria bassiana

Σ Spora berkecambah
Viabilitas = x 100 %
Total spora diamati

101
V1 = x 100 %
158

= 63%

86
V2 = x 100 %
121

= 71%

70
V3 = x 100 %
91

= 76%
40

Lampiran 3. Form Penilaian Praktik Kerja Lapang


41

Lampiran 4. Daftar Kehadiran Praktik Kerja Lapang


42
43
44

Lampiran 5. Logbook Kegiatan Praktik Kerja Lapang


45
46
47
48

Lampiran 5. Dokumentasi kegiatan

Sterilisasi alat dan bahan menggunakan


Media PDA yang siap diinkubasi
LAF

Inokulasi B. bassiana pada media PDA Inokulasi B. bassiana pada media


jagung

Inokulasi bakteri paenicillus


Uji viabilitas B. bassiana

Gerakan pengendalian (Gerdal) OPT


Foto bersama dengan staff LPHP
manga di Desa Tegalsari Timur,
Pemalang
Pemalang

Anda mungkin juga menyukai