Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN

MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JATI (Tectona grandis)


SECARA IN VITRO DENGAN MENAMBAHKAN KOMBINASI HORMON
PERTUMBUHAN IAA (indole-3-acetic acid) DAN BAP (benzylaminopurine)
DI SOUTH ASIAN REGIONAL CENTRE FOR TROPICAL BIOLOGY (SEAMEO
BIOTROP), BOGOR

Oleh
Francis Amadeo Junianto
185100507111001

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang
memberi kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan praktek kerja lapang dalam masa
pandemi ini dan dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Meningkatkan
Pertumbuhan Tanaman Jati (Tectona grandis) Secara In Vitro dengan Menambahkan Kombinasi
Hormon Pertumbuhan IAA (indole-3-acetic acid) dan BAP (benzylaminopurine) di Southeast
Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP)” dalam tepat waktu.
Walaupun tujuan utama dari penulisan proposal penelitian ini adalah sebagai salah satu
syarat kelulusan agar penulis mendapat gelar sarjana Bioteknologi, namun dalam proses
pembuatan proposal ini serta pelaksanaan magang nantinya yang akan diakhiri dengan
pembuatan laporan, penulis dapat memperluas kemampuannya dalam aspek penulisan literatur
sekaligus persiapan untuk menghadapi tugas akhir, mempelajari lebih dalam terkait hal yang
dipelajari selama perkuliahan, dan mendapat pengalaman kerja di lapangan secara langsung
yang nantinya akan bermanfaat untuk prospek kedepannya. Penulis
hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan,
arahan, dan persetujuan sehingga pembuatan proposal penelitian ini dapat terwujudkan. Ucapan
terima kasih ditujukan kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberi doa, dukungan, dan motivasi
2. Ibu Freini Dessy Effendy, S.TP,MP, selaku dosen pembimbing praktek kerja lapang
yang telah memberi bimbingan dalam penulisan proposal praktek kerja lapang
3. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology sebagai mitra yang menyediakan
sarana dalam melaksanakan kegiatan praktek kerja lapang
4. Dr. Widya Dwi Rukmi Putri, STP, MP, selaku ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
5. Rekan-rekan yang telah memberi bantuan dan arahan dalam proses penyusunan
proposal praktek kerja lapang

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan yang
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dalam penulisan dan pengetahuan dari penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan pemberian kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
untuk memperbaiki sebagian besar kesalahan pada proposal ini dan menyempurnakan
penyusunan laporan hasil nantinya.

Jakarta, 27 September 2021

Francis Amadeo Junianto


PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN

MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JATI (Tectona grandis)


SECARA IN VITRO DENGAN MENAMBAHKAN KOMBINASI HORMON
PERTUMBUHAN IAA (indole-3-acetic acid) DAN BAP (benzylaminopurine)
DI SOUTH ASIAN REGIONAL CENTRE FOR TROPICAL BIOLOGY (SEAMEO
BIOTROP), BOGOR

Nama : Francis Amadeo Junianto


NIM : 185100507111001
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian

Telah disetujui oleh:


Pembimbing Lapangan Dosen Pembimbing
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................ 1
1.2 Tujuan Praktek Kerja Lapang...................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 3
2.1 Pohon Jati.................................................................................................................................... 3
2.2 In-Vitro.......................................................................................................................................... 4
2.3 Media Perumbuhan...................................................................................................................... 5
2.4 Hormon IAA.................................................................................................................................. 5
2.5 Hormon BAP................................................................................................................................ 5
BAB 3 METODE PENELITIAN.......................................................................................................... 7
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan................................................................................................. 7
3.2 Metode Pelaksanaan.................................................................................................................... 7
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pohon Jati( Tectona grandis L) merupakan salah satu jenis pohon tropikal yang
merupakan komoditas yang sangat penting dalam perdagangan kayu international dan memiliki
nilai jual yang tinggi dikarenakan kelebihan yang dimilikinya dibandingkan kayu lain (Murtina et
al., 2015). Beberapa kelebihan kayu jati diantaranya adalah struktur kayu lebih kuat, memiliki pola
serat yang estetik (Murtinah et al., 2015), tahan terhadap serangan jamur dan rayap, tahan
terhadap perubahan iklim, serta memiliki kandungan minyak khusus, membuat kayu jati menjadi
salah satu produk kayu yang paling berharga di dunia (Tambarussi et al., 2017). Karena kualitas
kayu yang bagus, pohon jati digunakan sebagai bahan untuk pembangunan dan beragam aplikasi
lainnya dalam industri perkayuan (Nursyamsi et al., 2007).
Pohon Jati di Indonesia telah diproduksi dan dikembangkan di daerah Jawa yang meliputi
wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dan juga di beberapa tempat di luar Jawa
seperti Bali, NTT, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Beberapa upaya pengembangan
jati secara konvensional telah dilakukan namun tidak berhasil dikarenakan faktor pertumbuhan
seperti nutrisi, kandungan garam, kelembaban, tingkat keasaman tanah, dan faktor lainnya yang
dipengaruhi oleh perubahan iklim tidak kompatibel untuk pertumbuhan jati yang optimal (Suroso,
2018). Selain itu perkembangan Jati secara konvensional tidaklah efektif karena pada dasarnya
pohon jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan tingkat germinasi yang rendah. Hal tersebut
membuat jumlah produksi pohon jati berkurang setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik
perhutani (2014), jumlah produksi kayu jati pada tahun 2014 produksi kayu jati mencapai 455.995
m3 , namun jumlah produksi kayu jati berkurang dengan jumlah 100.000 m3 pada tahun 2017
(Perhutani, 2017). Maka dari itu lebih baik teknik konvensional tersebut disubstitusikan dengan
teknik kultur jaringan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman jati pada waktu yang lebih
singkat. Budidaya tanaman jati secara in vitro juga dapat mempercepat tingkat pertumbuhannya
dibandingkan tanaman induknya (Lestari, 2013).
Kultur jaringan merupakan teknik pembibitan atau pembiakan tanaman dengan
mengisolasi bagian dari tanaman seperti organ, jaringan, sel, dan menumbuhkannya dalam
media sintesis dalam kondisi yang aseptik dan lingkungan yang terkontrol hingga bagian dari
tumbuhan tersebut berkembang dan membentuk tanaman baru (Nofrianindan et al., 2017).
Teknik kultur jaringan sendiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan teknik konvensional
yaitu, tidak memerlukan lahan yang luas, dapat memperbanyak bibit tanaman dengan jumlah
yang banyak dalam waktu yang lebih singkat, kondisi lebih steril sehingga bebas dari serangan
hama dan penyakit (Azizi et al., 2017), dan tidak terpengaruhi oleh musim atau perubahan iklim
(Karjadi dan Buchory, 2008). Keberhasilan pada kultur jaringan dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti nutrisi pada media, jenis media (Nofrianindan et al., 2017), jenis eksplan yang diisolasi
dan komposisi zat pengatur pertumbuhan (Bustami, 2011).
Pertumbuhan tanaman melalui kultur jaringan atau secara in vitro dapat dimanipulasi dan
dioptimalkan dengan menambahkan zat pengatur tumbuh. Dua jenis ZPT yang biasa digunakan
dalam kultur jaringan yaitu sitokinin dan auksin (Nursyamsi et al., 2007). Hormon golongan auksin
seperti IAA berperan dalam deferensiasi jaringan, elongasi, respon terhadap cahaya dan
gravitasi, dan pembentukan akar pada tumbuhan (Fu et al., 2015). Hormon golongan sitokinin
seperti BAP berperan dalam pembelahan sel, morfogenesis, pembentukan tunas (Nursyamsi et
al., 2007), proliferasi dan diferensiasi sel (Verma et al., 2020. Dengan menentukan rasio auksin
dan sitokinin yang tepat, maka sangat memungkinkan untuk mendapat pertumbuhan tanaman
yang optimal.
1.2 Tujuan
1
1. Mengetahui pengaruh penambahan IAA dan BAP terhadap pertumbuhan tanaman jati
2. Menentukan konsentrasi auksin dan sitokinin yang optimal untuk pertumbuhan tanaman
jati
3. Mempelajari lebih dalam terkait tumbuhan tropikal di SEAMEO BIOTROP
4. Membangun pengalaman kerja dengan menerapkan ilmu yang telah dipelajari selama
perkuliahan di SEAMEO BIOTROP
5. Mengembangkan kemampuan softskill dan hardskill yang dikedepannya akan diperlukan
saat melaksanakan tugas akhir dan di dunia kerja
6. Mempelajari struktur organisasi SEAMEO BIOTROP serta sejarah dan perkembangannya

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pohon Jati


Jati (Tectona grandis L) merupakan pohon tropis yang tersebar luas di berbagai wilayah
asia tenggara dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, hingga Indonesia. Berdasarkan
pernyataan para ahli, pohon jati berasal dari negara Myanmar (Burma) yang menyebar ke
berbagai begara asia tenggara lainnya hingga mencapai Indonesia. Di indonesia penyebaran
pohon jati terluas berada di pulau jawa, namun kemudian juga mulai dikembangkan di daerah
lainya seperi Bali dan Nusa Tenggara. Kayu jati di Indonesia memiliki banyak kegunaan terutama
sebagai bahan baku struktur perumahan, perabotan rumah tangga, dan bahan pelapis seperti
venir, dan parket (Suroso, 2018). Taksonomi pohon jati mencakup, Kingdom: Plantae,
Subkingdom: Viridiplantae, Infrakingdom: Streptophyta, Divisi: Tracheophyta, Subdivisi:
Spermatophytina, Kelas: Magnoliopsida, Superordo: Asterane, Ordo: Lamiales, Famili:
Lamiaceae, Genus: Tectona L.F., Spesies: Tectona Grandis L.F (ITIS, 2021).
Tanaman jati dapat tumbuh hingga 30-45 m dengan diameter sebesar 180-240 cm bila
ditumbuhkan dalam jangka waktu yang lama. Namun umumnya batang pada pohon jati hanya
mencapai rata-rata sekitar 9-11 m dengan diameter 90-150 cm. Batang jati memiliki bentuk yang
bulat dan lurus dengan panjang hingga 40 m dengan warna kulit batang kuning abu-abu
kecoklatan, batang yang tidak bercabang dapat tumbuh hingga 18-20 m (Suroso, 2018). Akar
pada pohon jati terdapat 2 jenis yaitu akar tunggang dan akar serabut. Akar tunggang merupakan
akar yang berukuran besar dan tumbuh ke bawah dengan tujuan untuk menegakkan pohon
sehingga pohon tidak mudah roboh, sedangkan akar serabut akan tumbuh kesamping untuk
mencari sumber air dan nutrisi di lingkungan sekitar untuk melangsungkan pertumbuhan. Panjang
akar tunggang dapat mencapai 2-3 m pada kondisi tanah yang optimal (Lamanda, 2018). Daun
pada pohon jati memilik ukuran yang besar, dengan bentuk bulat terbalik dengan ukuran sekitar
60-70 cm x 80-100 cm, namun ukuran daun akan mengecil hingga 15 x 20 cm ketika sudah
beranjak usia tua. Bunga majemuk jati memiliki ukuran sekitar 40 cm x 40 cm yang terletak dalam
malai besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak
di ujung ranting. Buah berbentuk bulat dengan diameter 0,5 – 2,5 cm, memiliki rambut kasar
dengan inti yang tebal, dengan biji sebanyak 2 – 4 butir. Secara umum hanya 1 buah yang tumbuh
pada 1 kelopak bunga (Suroso, 2018).
Pohon jati dapat tumbuh pada iklim dengan musim kering nyata namun dengan jangka
waktu yang tidak terlalu panjang dengan curah hujan sekitar 1200-3000 mm/ tahun dengan
intensitas cahaya yang tinggi sekitar 75 %-100 % dan suhu sekitar 27-36 C. Pada dataran tinggi
o

atau dataran rendah, pohon jati dapat tetap tumbuh, namun ketinggian yang optimal terletak di
ketinggian antara 0 - 700 m dpl. Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan jati harus dalam
kondisi agak basa dengan pH 6-8 dan tidak dibanjiri oleh air, walaupun jati dapat tumbuh pada
pH 4,5-7. Selain itu tanah tempat ditumbuhkannya pohon jati harus memiliki kandungan fosfor
dan kalsium yang tinggi, karena jati merupakan salah satu jenis tanaman yang membutuhkan
jumlah kalsium (Ca) dan fosfor (P) yang besar sebagai nutrisi pertumbuhannya (Suroso, 2018).
Jati yang tidak ternutrisi dengan baik tidak akan tumbuh lama dan hanya dapat bertahan sekitar
3 tahun. Dari hasil penelitian Pudjiono (2014), abu dari pohon jati memiliki kandungan kalsium
31% dan fosfor 29% yang tergolong cukup tinggi.

3
2.2. Pertumbuhan in vitro
In-vitro merupakan istilah yang diartikan sebagai prosedur biologis yang dilakukan
diluar organisme dengan menciptakan suasana dan kondisi yang hampir mirip dengan prosedur
secara in-vivo (prosedur biologis yang terjadi dalam organisme asalnya), seolah-olah peristiwa
yang terjadi di luar organisme menyerupai peristiwa yang terjadi di dalam organisme. In vitro
sendiri berasal dari bahasa latin yang artinya kaca, istilah tersebut digunakan dikarenakan segala
teknik yang meliputi kultivasi jaringan diluar organisme asalnya dilakukan dalam sebuah wadah
yang berbahan kaca seperti gelas beker, tabung reaksi dan cawan petri (Badger-Emeka, 2013).
Kultur jaringan tumbuhan mengarah pada kultivasi in-vitro pada setiap bagian atau
organ dari tumbuhan seperti biji tanaman, organ, eksplan, sel, dan jaringan secara aseptis. Salah
satu aspek penting dalam kultur jaringan adalah untuk menjaga dan mengkontrol suhu, sirkulasi
udara, kualitas cahaya, durasi selama berlangsungnya proses inkubasi eksplan, dan penentuan
senyawa organik dan inorganik pada media pertumbuhan agar eksplan dapat tumbuh dengan
optimal (Bhatia et al., 2015). Awal konsep kultur jaringan tumbuhan ditemukan oleh Haberlandt
pada tahun 1902 melalui teori totepotensi yang menyatakan bahwa sel-sel dapat dikultivasikan
dalam media sintetis atau media buatan, dengan memanipulasi media pertumbuhannya tersebut
maka sel tunggal yang dikultivasi dapat mengalami perkembangan selayaknya tumbuhan asli
hingga membentuk tumbuhan sepenuhnya. Tahap-tahap pelaksanaan kultur jaringan tanaman
secara garis besar meliputi proses pembuatan media, inisiasi atau pengambilan eksplan,
penanaman, penumbuhan, dan aklimatisasi (Kharjadi, 2008).

2.3. Media Pertumbuhan


Media kultur jaringan tanam merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan proses kultur jaringan tumbuhan. Media tanam merupakan medium yang
menyediakan nutrisi yang terdiri dari zat organik dan inorganik agar berlangsungnya
pertumbuhan dan perkembangan sel dan jaringan tumbuhan yang dikultivasi. Dalam kultur
jaringan, terdapat berbagai variasi komposisi nutrisi yang berbeda dalam suatu media untuk
menyesuaikan dengan jenis spesies tumbuhan yang dikultivasi agar pertumbuhan lebih optimal.
Setiap bagian organ dari tanaman juga memiliki persyaratan pertumbuhan yang berbeda, maka
sangat diperlukan untuk melakukan modifikasi media pada setiap bagian tumbuhan atau eksplan
yang berbeda. Media tanam dapat berupa media cair dan media padat tergantung pada tujuan
penelitian, sebagai contoh media padat digunakan untuk pembentukan kalus dan organ
tumbuhan dari eksplan dan media cair digunakan untuk diferensiasi kalus. Komposisi media
tanaman secara keseluruhan terdiri dari nutrisi inorganik yang terdiri dari unsur hara makro
(Nitrogen, Phosporus, Potassium, Kalsium, Magnesium, Sulfur) dan unsur hara mikro (Fe, B, Cl-
, Co, Cu, I, Mn, Mo, Zn), vitamin, asam amino, zat pengatur pertumbuhan (auksin, sitokinin,
giberelin, asam absisat), agen pengental untuk media padat (Agar, Agarose, Phytagel), sumber
karbon, dan konstituen lainnya (antibiotik, antioksidan, karbon teraktivasi) (Sathyanarayana dan
Varghese, 2007).
Media tanam yang paling umum digunakan adalah media MS (1962), yang sudah
digunakan secara luas. Awalnya media tersebut dikembangkan untuk mengkultivasikan satu jenis
tumbuhan saja, namun komposisi dari media MS juga kompatibel untuk digunakan pada seluruh
jenis spesies tumbuhan, bahkan setengah dari konsentrasi media MS sudah mencukupi untuk
melangsungkan pertumbuhan pada hampir seluruh spesies tumbuhan (Sathyanarayana dan
Varghese, 2007).

4
2.4. Hormon IAA
Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur
jaringan tumbuhan, dan biasanya dikombinasikan dengan sitokinin untuk meningkatkan
pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ, dan mengatur arah morfogenesis (George et al.,
2008). Secara kimiawi auksin merupakan senyawa dengan cincin aromatik dan gugus asam
karboksilat (Taiz dan Zeiger, 2003). Peran auksin secara fisiologis dalam tumbuhan adalah
mengatur pembelahan sel, pemanjangan dan diferensiasi, perkembangan embrio, tropisme akar
dan batang melalui fototropisme dan geotropisme, dominasi apikal, dan transisi ke pembungaan
(Balzan et al., 2014). Beberapa jenis auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan
diantaranya adalah IAA (indole-3-acetic acid), IBA (Indole-3-butyric acid), NAA (Naphthaline
acetic acid), dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Sathyanarayana & Varghese, 2007).
Fungsi utama auksin adalah pemanjangan batang tumbuhan (Dilworth, 2017) dengan
mempromosikan pertumbuhan sel dengan mengatur ekstensibilitas dinding sel tumbuhan.
Mekanisme auksin dalam pelebaran dinding sel yaitu dengan menstimulasi aktivitas pompa
membran H+ -ATPase yang dapat menyebarkan proton H+ di sekitar matriks dinding sel sehingga
kondisi menjadi asam (sekitar pH 4,5-6). Pengasaman dinding sel akan mengaktivasi beberapa
protein dan enzim pelonggaran dinding sel seperti selulase yang berperan dalam pemutusan atau
pelonggaran ikatan polisakarida antara matriks dinding yang berbeda dan enzim XTH yang
berperan dalam memodifikasi dinding sel yang membentuk kerangka xiloglukan-selolusa untuk
meregulasi tingkat ekspansi dan daya tahan pada sel (Majda & Robert, 2018).
IAA atau indole inolic acid merupakan zat pengatur tumbuh jenis auksin yang pertama
kali ditemukan dan merupakan fitohormon kelas auksin yang paling umum digunakan dan
dipelajari (Paque & Weijers, 2016). IAA merupakan hormon alami yang dapat disintesis oleh
tumbuhan dan beberapa jenis mikroba lainnya (Fu et al., 2015). Hormon IAA tergolong sangat
ampuh dalam aspek pertumbuhan dan perkembangan yang meliputi ekspansi sel, pembelahan
sel, dan differensiasi sel (Paque dan Weijers, 2016). Meskipun digunakan dalam kultur jaringan,
IAA cenderung mudah terdegradasi karena mudah teroksidasi dan termetabolisme dalam
jaringan tumbuhan. Untuk mencegah terjadinya degradasi hormon auksin pada jaringan
tumbuhan biasanya auksin alami digantikan dengan auksin sintetis seperti NAA (George et al.,
2008) yang lebih stabil, tidak mudah teroksidasi dan memiliki fungsi yang hampir sama seperti
IAA (Xing et al, 2016). Namun sifat terdegradasi pada IAA sangat berguna dalam aspek tertentu,
ketika menurunnya konsentrasi IAA pada jaringan tumbuhan, maka IAA akan mencapai
konsentrasi tertentu yang cukup optimal untuk menghasilkan tunas atau organ lainnya (George
et al., 2008). Salah satu kelebihan IAA dibanding NAA adalah dapat mempenetrasi gugus kepala
polar fosfolipid membran sel lebih baik dikarenakan ukuran cincin naftalena yang lebih kecil
(Flasinski dan Hac-Wydro, 2014).

5
2.5. Hormon BAP

Sitokinin merupakan salah satu dari beberapa hormon tumbuhan yang berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Secara kimia, sitokinin adalah senyawa kelompok
adenin dengan isoprene, isoprene termodofikasi, atau rantai samping aromatik yang terlekat pada
gugus amino N6 (Wong et al., 2015). Hormon tersebut memiliki peran yang hampir meliputi
seluruh aspek pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan diantaranya meliputi pembelahan sel,
inisiasi dan perkembangan tunas, penuaan daun, dan perkembangan fotomorfogenik (Kieber,
2002). Sitokinin sering diaplikasikan sebagai zat pengatur pertumbuhan pada aplikasi kultur
jaringan tumbuhan (Karjadi dan Buchory, 2008), beberapa jenis sitokinin yang sering digunakan
diantaranya adalah BAP (benzyl amino purine), 2-ip (6-β-β-dimethylaminopurine), kinetin, dan
zeatin (Sathyanarayana dan Varghese, 2007).
Secara level seluler, terdapat beberapa mekanisme sitokinin dalam meregulasi
pertumbuhan dan mengaktivasi pembelahan sel pada tanaman. Pertama, sitokinin meregulasi
transisi fase G1/S (Pertumbuhan/Replikasi DNA) dan transisi fase G2/M (Pertumbuhan dan
Preparasi/Mitosis) selama siklus pembelahan sel. Pada saat fase G1, sitokinin melakukan
upregulasi d-type cyclin sehingga terjadi akumulasi d-type cyclin yang akan meningkatkan
aktivitas enzim cyclin-dependent protein kinase (CDK) dalam pelepasan faktor transkripsi untuk
replikasi DNA, yang kemudian akan meningkatkan transisi fase G1/S (Zhang et al., 2005). Saat
transisi dari fase G2 ke mitosis, sitokinin melakukan fosforegulasi enzim CDK (Wong et al., 2015),
dimana terjadi pelepasan inhibitor gugus fosfat pada CDK di bagian tirosin yang distimulasikan
oleh sitokinin, sehingga enzim CDK dapat teraktivasi dan masuk ke dalam fase mitosis dengan
cepat (Zhang et al ., 1995). Kedua, sitokinin juga mempengaruhi ekspresi gen Knotted Like
Homeobox (KNOX) yang mengkode protein berupa faktor trankripsi yang diperlukan dalam
pemeliharaan meristem agar sel-selnya selalu bersifat meristematic (Indiani, 2014).
Hormon BAP atau 6-benzylaminopurine merupkan salah satu zat pengatur tumbuh
sintetis golongan sitokinin. Hormon tesebut sangat sering digunakan karena bersifat stabil dan
tahan terhadap oksidasi karena memiliki ikatan rangkap jenuh, paling efektif untuk merangsang
pembentukan tunas (Maninggolang et al., 2018), dan efektif untuk pembentukan kalus, tunas
serta daun pada kultur eksplan (Rustam et al., 2020). Bila dibandingkan dengan sitokinin lainnya
BAP juga memiliki harga yang paling murah (Maninggolang et al., 2018).
Beberapa penelitian telah menunjukan efektivitas BAP dalam pembentukan tunas.
Penelitian dari Wahyuni (2014) menunjukan bahwa dengan konsentrasi BAP optimal sebanyak
0,4 mg/l dapat menginduksi pertumbuhan tunas di minggu ke tiga sebanyak 3 tunas dengan
presentase pertumbuhan tunas 33,33%. Penelitian lain dari Isda (2016) juga menunjukan bahwa
keberadaan hormon BAP akan sangat mempengaruh pertumbuhan tunas, pemberian 3 mg/l
BAP pada eksplan menghasilkan pertumbuhan tunas dengan presentase 83,33% dengan waktu
pertumbuhan tunas yang lebih cepat dibandingkan eksplan tanpa adanya pemberian BAP,
namun BAP yang dikombinasikan dengan senyawa lainnya akan meningkatkan efektifitas dalam
pertumbuhan tunas.

6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Kegiatan praktek kerja lapang akan dilaksanakan selama 30 hari yang dimulai dari
tanggal 1 Desember 2021 hingga 31 Desember 2021. Tempat pelaksanaan praktek kerja
lapang berlokasi di Laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP (Southeast Asian
Regional Centre for Tropical Biology), Bogor, Jawa Barat.

3.2 Metode Pelaksanaan


1. Observasi
Kegiatan observasi dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara
langsung terkait objek penelitian yang meliputi lingkungan sekitar tempat lapang dan
teknik budidaya yang diterapkan (Prasetyo, 2009). Metode ini bertujuan untuk mengetahui
fasilitas dan prosedur pada tempat lapangan kerja serta mengetahui lebih dalam terkait
teknik kultur jaringan yang digunakan.
2. Wawancara

Metode wawancara dilaksanakan dengan mengajukan beberapa pertanyaan


kepada narasumber. Tujuan dari metode ini adalah menggapai informasi sebanyak
mungkin terkait objek penelitian untuk mendukung kegiatan lainnya. Narasumber yang
diwawancarakan dapat berupa pembimbing lapang atau karyawan instansi magang
(Prasetyo, 2009).

3. Dokumentasi

Metode ini dilaksanakan dengan mengumpulkan berbagai bukti dari kegiatan kerja
lapang yang dapat berupa gambar dari kegiatan tersebut, dan data-data dari hasil
penelitian.

4. Studi Pustaka
Metode ini dilakukan melalui pencarian dan pengumpulan dokumen-dokumen
terkait dengan objek penelitian berupa jurnal, buku, literasi, laporan penelitian lainnya,
dan sumber-sumber resmi lainnya yang informasinya akan dinterpretasikan dalam
laporan hasil. Literatur yang diambil bertujuan untuk mendukung data-data hasil penelitian
dan teori yang diterapkan saat kegiatan kerja lapang dilaksanakan (Prasetyo, 2009).

7
5. Pelaksanaan Kegiatan Magang

Metode ini dilaksanakan dengan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah


ditentukan oleh pembimbing instansi magang. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
praktek secara langsung di lapangan (Prasetyo, 2009). Tujuan dari metode ini adalah
untuk mendapat pengalaman kerja secara langsung dan mengetahui prosedur pekerjaan
secara lebih mendalam.

8
Daftar Pustaka

Azizi, A. A., Ika, R., Darda, E. (2017). Multiplikasi Tunas In Vitro Berdasarkan Jenis Eksplan
pada Enam Genotipe Tebu (Saccharum officinarum L.) Jurnal Penelitian Tanaman Industri,
23(2), 90-97.
Badger-Emeka, L. (2013). In-vitro Fertilisation. Ogbonna, J. C., Ubi, B. E., & Enweani, I. B. (ed).
Fundamentals, Industrial and Medical Biotechnology. Universal Academic Services.
Beijing.
Balzan, S., Johal, G. S., & Carraro, N. (2014). The role of auxin transporters in monocots
development. Frontiers in Plant Science, 5(393), 1–12.
https://doi.org/10.3389/fpls.2014.00393
Bhatia, S., Dahiya, R., Sharma, K., & Bera, T. (2015). Modern Applications of Plants
Biotechnology in Pharmeautical Sciences. Elsevier. London.
Bustami, M. U. (2011). Penggunaan 2,4-D untuk induksi kalus kacang tanah. Media Litbang
Sulteng, 4(2), 137–141.
Dilworth, L. L., Riley, C. K., & Stennet, D. K. (2017). Plant Constituents: Carbohydrates, Oils,
Resins, Balsams, and Plant Hormones. Dalam Ruplika Delgoda (ed). Pharmacognosy:
Fundamentals, Applications, and Strategies. Elsevier. London.
Flanski, M & Hac-Wydro, K. (2014). Natural vs Synthetic Auxin: Studies on The Interaction
Between Biological Plant Hormones and Membrane Lipids. Environmental Research, 133:
123-134.
Fu, S. F., Wei, J. Y., Chen, H. W., Liu, Y. Y., Lu, H. Y., & Chou, J. Y. (2015). Indole-3-acetic
acid: A widespread physiological code in interactions of fungi with other organisms. Plant
Signaling & Behavior, 10(8), e1048052
George, E. F., Hall, M. A., & Klerk, G. J. De. (2008). Plant propagation by tissue culture 3rd
edition. In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition (Vol. 1, Issue July).
https://doi.org/10.1007/978-1-4020-5005-3
Ikeuchi, M., Sugimoto, K., & Iwase, A. (2013). Plant callus: Mechanisms of induction and
repression. Plant Cell, 25(9), 3159–3173. https://doi.org/10.1105/tpc.113.116053
Indriani, B. S. (2014). Efektifitas Substitusi Sitokinin dengan Air Kelapa pada Medium
Multiplikasi Tunas Krisan (Chrysanthemum indicum L.) Secara In-Vitro. Skripsi. Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Integrated Taxonomic Information System (ITIS). (2021). Tectona grandis L. f.
Taxonomic Serial No. 32247. https://www.itis.gov. Diakses pada tanggal 15 September
2021.
Isda, M. N., Fatonah, S., & Sari, L. N., (2016). Asal Bengkalis dengan Penambahan BAP dan
Madu Secara In Vitro. Journal of Biology, 9(2), 119-124.
Karjadi, A., & Buchory, A. (2008). Pengaruh Auksin Dan Sitokinin Terhadap Pertumbuhan Dan
Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola. Jurnal Hortikultura, 18(4),
85724. https://doi.org/10.21082/jhort.v18n4.2008.p
Kehutanan, P., Kehutanan, D., Perkebunan, D. A. N., & Yogyakarta, D. I. (n.d.). Uroso.sp.
Kieber, J. J., & Schaller, G. E. (2014). Cytokinins. The Arabidopsis Book, 12(February 2015),
e0168. https://doi.org/10.1199/tab.0168
Lamanda, S. A. (2018). Analisis Morfofisiologis Jati ( Tectona grandis Linn. f.). Jurnal Pertanian,
2(1), 78–86.
Lestari, P., Arifriana, R., & Nurjanto, H. H. (2019). Respons Semai Jati (Tectona grandis)
Unggul pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Sulfur. Jurnal Sylva Lestari, 7(2), 128–138.
Majda, M., dan Robert, S. The Role of Auxin in Cell Wall Expansion. International Journal of
Molecular Science, 19(4), 951.
Maninggolan, A., Mandang, J. S. P., & Tilaar, W. (2018) Pengaruh BAP (Benzyl Amino Purine)
dan Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan Tunas Pucuk dan Kandungan Sulforafan Brokoli
(Brassica oleracea L. var. italica Plenck) Secara In-Vitro. Jurnal Transdisiplin Pertanian,
14(1): 439 – 450.
Murtinah, V., Marjenah, M., Ruchaemi, A., & Ruhiyat, D. (2015). Pertumbuhan Hutan Tanaman
Jati (Tectona grandis Linn.f.) di Kalimantan Timur. Agrifor, 14(2), 287–292.
Nofrianinda, V., Yulianti, F., & Agustina, E. (2018). Pertumbuhan Planlet Stroberi (Fragaria
ananassa D) Var. Dorit pada Beberapa Variasi Media Modifikasi In Vitro di Balai Penelitian
Jeruk dan Buah Subtropika (BALITJESTRO). Biotropic : The Journal of Tropical Biology,
1(1), 32–41. https://doi.org/10.29080/biotropic.2017.1.1.32-41
Nursyamsi, N., Suhartati, S., & T, A. Q. (2007). Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Pada
Perbanyakan Jati Muna Secara Kultur Jaringan. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi
Alam, 4(4), 385–390. https://doi.org/10.20886/jphka.2007.4.4.385-390
Paque, S., & Weijers, D. (2016). Q&A: Auxin: The Plant Molecule that Influences Almost
Anything. BMC Biology, 14(1), 67-71.
Perhutani. (2014). Kinerja Perhutani 2014: Volume Produksi Rendah, Harga Kayu Melejit.
https://www.perhutani.co.id. Diakses pada tanggal 13 September 2021.
Perhutani. (2017). Perhutani, Produsen Kayu Jati Terbesar Dunia Ajak Konsumen Peduli
Kelestarian Hutan. https://www.perhutani.co.id. Diakses pada 13 September 2021.
Prasetyo, C. H. (2009). Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium sp. di Pembudidayaan
Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Tugas Akhir, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pudijono, S.( 2014). Produksi Bibit Jati Unggul (Tectona grandis L.F) dari Klon dan
Budidayanya. IPB Press. Bogor.
Rustam, Syamsudin, R., Soekandarsih, E., dan Trijuno, D. D. (2020). Studi Penggunaan Zat
Pengatur Tumbuh BAP terhadap Pembentukan Tunas dan Pertumbuhan Mutlak Rumput
Laut (Kappaphycus alvarezii, Doty.). Prosiding Simposium Nasional VII Kelautan dan
Perikanan 22 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar, 5
Juni 2020.
Saputra, I., Dwiyani, R., & Yuswanti, H. (2016). Mikropropagasi Tanaman Stroberi (Fragaria
Sp.) Melalui Induksi Organogenesis. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika (Journal of
Tropical Agroecotechnology), 5(4), 332–343.
Sathyanarayana, B. N., & Varghese, B. V., (2007). Plant Tissue Culture Practices and New
Experimental Protocols. JK International Publishing House. New Delhi.
Sholikhah, Lugiati, L. (2014). Pengaruh Fe2+ pada Media MS dengan Penambahan 2,4-D yang
Dikombinasikan dengan Air Kelapa terhadap Perkembangan dan Kandungan Metabolit
Sekunder Asiatikosida dan Madekasosida Kalus Pegangan (Centella asiatica L.Urban).
Tesis, Universitas Islam Negeri Mulana Malik Ibrahim.
Su, Y. H., Liu, Y. B., & Zhang, X. S. (2011). Auxin-cytokinin interaction regulates meristem
development. Molecular Plant, 4(4), 616–625. https://doi.org/10.1093/mp/ssr007
Suroso, S. P. (2018). Jati (Tectona grandis). Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah
Istimewa Yogyakarta: Yogyakarta.
Taiz, L. & Zeiger, E. (2003). Plant Physiology. Dalam Thomas Lazar (ed). Annals of Botany.
Sinauer Associates. Sunderland.
Tambarussi, E. V., Rogalski, M., Galeano, E., Brondani, G. E., de Martin, V. de F., da Silva, L.
A., & Carrer, H. (2017). Efficient and new method for tectona grandis in vitro regeneration.
Crop Breeding and Applied Biotechnology, 17(2), 124–132. https://doi.org/10.1590/1984-
70332017v17n2a19
Wahyuni, S. R., Lestari, W., & Novriyanti, E. (2014). Induksi In Vitro Tanaman Gaharu
(Aquilaria microcarpa Baill.) dari Eksplan Tunas Aksilar dengan Penambahan 6-
Bnzylaminopurine (BAP). Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Riau, 1(2), 1-7.
Wiraatmaja, I. W. (2017). Bahan Ajar Zat Pengatur Tumbuh Auksin dan Cara Penggunaannya
dalam Bidang Pertanian. 182–191.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/ddeec13c19c352d21ccca286966a
08ec.pdf
Wong, W. S., Tan, S., Ge, L., Chen, X., & Yong, J. (2015). The Importance of Phytohormones
and Microbes in Biofertilizers. Dalam Dinesh K. Maheswari (ed). Bacterial Metabolites in
Sustainable Agroecosystem. Springer. Switzerland. 10.1007/978-3-319-24654-3_6.
Xing, X., Jiang, H., Zhou, Q. et al (2016). Improved Drought Tolerance by Early IAA- and ABA-
dependent H2O2 Accumulation Induced by α-naphthaleneacetic acid in Soybean
Plants. Plant Growth Regul (80), 303–314.
Zhang, Diederich, L., & John, P. C. (2005). The Cytokinin Requirement for Cell Division in
Cultured Nicotiana plumbaginifolia Cells can be Satisfied by Yeast Cdc25 Protein Tyrosine
Phosphatase: Implications for Mechanisms of Cytokinin Response and Plant
Development. Plant physiology, 137(1), 308–316.
Zhang, K Letham, D. S., & John, P. C. L. (1996). Cytokinin controls the cell cycle at mitosis by
stimulating the tyrosine dephosphorylation and activation of p34cdc2-like H1 histone kinase.
Planta, 200(1), 2-12.

Anda mungkin juga menyukai