Anda di halaman 1dari 22

TANAMAN BELUM MENGHASILKAN (TBM)

JURNAL
OLEH :

CINDY AMALIA FITRI


210301040
AGROTEKNOLOGI 1

LABORATORIUM TANAMAN PERKEBUNAN


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTASPERTAN IAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022

2
TANAMAN BELUM MENGHASILKAN (TBM)
JURNAL
OLEH :

CINDY AMALIA FITRI


210301040
AGROTEKNOLOGI 1

Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Mengikuti Praktikum Di Laboratorium
Tanaman Perkebunan Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara

Diperiksa Oleh : Diperiksa Oleh :


Asisten Korektor I Asisten Korektor II

(Dandy Yudha Putra) (Aulia Istiqomah)


Nim : 180301168 Nim : 180301063

LABORATORIUM TANAMAN PERKEBUNAN


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022

3
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Adapun judul dari jurnal ini adalah “Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)”
yang merupakan salah satu syarat untuk memenuhi komponen penilaian di
Laboratorium Tanaman Perkebunan Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Penulis berterima kasih kepada Dr.Ir. Charloq MP selaku dosen mata kuliah
Mikrobiologi serta abang dan kakak asisten Laboratorium yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Besar
harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan

saran. Semoga laporan ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2022

Penulis

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 4


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 6
Latar Belakang ................................................................................................................. 6
Tujuan Praktikum ........................................................................................................... 7
Kegunaan Penulisan ........................................................................................................ 7
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 8
BAHAN DAN METODE .................................................................................................. 13
Tempat dan Waktu Praktikum .................................................................................... 13
Alat dan Bahan Praktikum ........................................................................................... 13
Prosedur Praktikum ...................................................................................................... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 14
Hasil................................................................................................................................. 14
Pembahasan ................................................................................................................... 15
KESIMPULAN .................................................................................................................. 21

5
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati
unggul dan berpengaruh besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Minyak kelapa sawit
dapat dimanfaatkan sebagai minyak masak, minyak industri, dan bahan bakar. Minyak
kelapa sawit juga digunakan sebagai bahan baku berbagai industri mulai dari makanan,
logam, hingga kosmetik. Pada tahun 2020 luas areal perkebunan tanaman kelapa sawit
Indonesia mecapai 14.858,30 hektar, produksi tanaman perkebunan 48.296,90 ribu ton
dengan ekspor minyak kelapa sawit 27.326,1 ton dengan harga 18.444,0 US Dollar (Badan
Pusat Statistik, 2021).
Tingginya pertumbuhan industri kelapa sawit merupakan hal positif yang perlu
dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan
produktivitas tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan yang tepat. Salah
satu unsur pemeliharaan kebun kelapa sawit pada periode tanaman menghasilkan (TM)
adalah pengendalian gulma. Kehadiran gulma di perkebunan kelapa sawit mengakibatkan
penurunan kuantitas dan kualitas produksi tandan buah segar (TBS), gangguan terhadap
pertumbuhan tanaman, peningkatan serangan hama dan penyakit, gangguan tata guna air,
dan secara umum akan meningkatkan peningkatan biaya usaha tani (Pusat Penelitian
Kelapa Sawit, 2019).
Pengendalian gulma merupakan suatu proses membatasi pertumbuhan dan
perkembangbiakan gulma sedemikian rupa agar tanaman budidaya mampu menghasilkan
produktivitas yang lebih tinggi, sehingga petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih
optimal. Pengendalian gulma bukan berarti membasmi populasi gulma sampai habis
melainkan hanya sebatas menekan populasi gulma sampai ketingkat populasi yang tidak
merugikan secara ekonomi atau tidak melalui ambang ekonomi. Ada berbagai cara
pengendalian gulma, yaitu mekanis, kultur teknis, fisik, biologis, kimia, dan terpadu
(Prasetyo dan Sofyan, 2016).

6
Pada lahan kelapa sawit, pengendalian gulma dilakukan pada gawangan dan
piringan kelapa sawit sesuai dengan kebutuhan area. Di setiap bagian atau area dilakukan
dengan cara yang berbeda, khususnya pengendalian gulma di area piringan harus selalu
dilakukan secara kimiawi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya persaingan
penyerapan unsur hara dan cahaya. Namun, pada area piringan tanaman menghasilkan,
disarankan pengendalian gulma sangat bersih karena gulma di piringan dapat mengganggu
saat pemanenan, pengamatan, pemupukan, dan pemungutan berondolan buah kelapa sawit
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2021).
Pengendalian gulma di piringan kelapa sawit secara kimiawi adalah pengendalian
gulma dengan menggunakan herbisida. Yang dimaksud dengan herbisida adalah senyawa
kimia yang dapat digunakan untuk mematikan atau menekan pertumbuhan gulma, baik
secara selektif maupun non selektif. Keuntungan pengendalian gulma secara kimiawi
adalah cepat dan efektif, terutama untuk areal yang luas (Ratnawati, 2020)

Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah Adapun tujuan dari praktikum ini adalah
untuk mengetahui teknis pemeliharaan terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq) di Tanaman Belum Menghasilkan (TBM).

Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan laporan ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi komponen penilaian di Laboratorium Tanaman Perkebunan
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan
sebagai sebaran informasi bagi pihak yang membutuhkan.

7
TINJAUAN PUSTAKA

Perawatan piringan (penyiangan) adalah pemeliharaan dengan cara pengendalian


gulma pada piringan tanaman kelapa sawit dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya
saingan terhadap tanaman pokok, memudahkan pelaksanaan pemeliharaan, dan
mencegah berkembangnya hama dan penyakit tertentu. Penyiangan ada dua cara yaitu
dengan cara mekanis (parang babat) dan cara kemis (herbisida). Pemangkasan atau
disebut juga penunasan adalah pembuangan daun– daun tua atau yang tidak produktif
pada tanaman kelapa sawit, pada tanaman muda sebaiknya tidak dilakukan
pemangkasan, kecuali dengan maksud mengurangi penguapan oleh daun pada saat
tanaman akan dipindahkan dari pembibitan ke areal perkebunan. Penunasan dilakukan
dengan interval waktu tertentu sehingga tercipta tanaman kelapa sawit yang sehat,
rapi dan teratur. Pemeliharaan yakni dengan melakukan pengendalian gulma di kebun
kelapa sawit dilakukan pada areal piringan (lingkaran batang) dan gawangan.
Pemeliharaan piringan dan gawangan bertujuan antara lain untuk mengurangi
kompetisi gulma terhadap tanaman dalam penyerapan unsur hara, air, dan sinar
matahari dan mempermudah pekerja untuk melakukan pemupukan dan kontrol di
lapangan. Disamping itu harus dijaga supaya intensitas pengendalian gulma jangan
berlebihan hingga berdampak menggundulkan permukaan tanah yang menjadikannya
rawan terkena erosi (Suwarto, 2010).
Pengendalian gulma secara manual banyak dilakukan pada tanaman kelapa sawit
yang masih muda (TBM). Sasaran pengendalian gulma secara manual adalah piringan
dan gawangan kelapa sawit. Metode pengendalian gulma secara manual pada piringan
disebut piringan manual atau raking. Pengendalian gulma secara manual di gawangan
disebut dengan berantas tanaman pengganggu (BTP), cara kerjanya dengan cara
dongkel anak kayu (DAK) dan tebas rendahan. Tujuan pengendalian gulma secara
manual adalah untuk mengurangi kehilangan unsur hara dan memperlancar kegiatan
kebun lainnya seperti kegiatan panen dan pemupukan. Keunggulan dari pengendalian
gulma secara manual antara lain hasil yang didapat cepat terlihat, mudah untuk
dilaksanakan dan secara ekologi dapat menghindarkan dampak polusi lingkungan.
Dampak negatif dari pengendalian gulma secara manual antara lain memerlukan
banyak tenaga kerja dan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga terjadi
peningkatan terhadap biaya perawatan kebun. Pengendalian gulma secara manual juga

11
menyebabkan terjadinya pelukaan akar tanaman kelapa sawit akibat peralatan mekanis
dan dapat menyebabkan terjadinya erosi permukaan. Peralatan yang digunakan untuk
pengendalian gulma secara manual antara lain cangkul dodos (cados), garukan, dan
parang. Pengendalian gulma secara manual di gawangan lebih banyak dilakukan untuk
mengendalikan gulma jenis anak kayu. Gulma anak kayu dikendalikan dengan cara
mendongkel/membongkar gulma tersebut hingga keakarnya kemudian gulma yang
sudah dibongkar diletakkan di gawangan mati. Metode pengendalian gulma anak kayu,
pelaksanaan di lahan sering tidak efektif, yaitu dengan cara ditebas. Kesalahan metode
pengendalian gulma anak kayu memungkinkan gulma tersebut tumbuh dengan cepat,
sehingga sebelum rotasi pengendalian gulma berikutnya gulma ini telah tumbuh
dengan lebat. Jenis gulma yang dikendalikan secara manual antara lain anakan sawit
(kentosan), Clibadium suriname, Melastoma malabatricum, Chromolaena odorata,
Lantana camara dan gulma epifit (Budi, 2020).
Pengendalian gulma secara kimia dengan menggunakan herbisida. Herbisida
merupakan bahan senyawa beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh atau
mengendalikan gulma. Penggunaan herbisda sesuai dengan SOP yang mengacu pada
kriteria dan prinsip kebun yang berkelanjutan. Pengendalian gulma secara kimia
dilakukan pada piringan, pasar rintis, TPH dan gawangan. Pengendalian gulma secara
kimia dengan melihat peta pemeliharaan yang terdapat di setiap kantor divisi. Peta
pemeliharaan terdiri atas peta identifikasi gawangan dan piringan dalam satu tahun,
peta program pemupukan dan tabel aplikasi, peta program gawangan dan piringan
manual beserta tabel aplikasi, peta program gawangan dan piringan kimia beserta tabel
aplikasi, peta luasan kebun, peta sumur pantau, peta seksi panen, dan peta seksi tunas
progresif. Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida memiliki beberapa
keunggulan antara lain mengurangi tenaga kerja, dapat mengendalikan gulma yang
tumbuh bersamaan dengan tanaman budi daya yang sulit disiangi, mampu
mengendalikan gulma sejak awal, mengurangi kerusakan dan pelukaan akar dampak
penyiangan secara mekanis, erosi permukaan dapat dikurangi, dan banyak gulma yang
bersifat pohon lebih mudah ditangani dengan menggunakan herbisda. Pengendalian
gulma dengan menggunakan herbisida selain menguntungkan juga memiliki
kelemahan antara lain memerlukan tenaga ahli untuk pemakaiannya baik yang
9
berhubungan dengan keselamatan dan dosis. Pemakaian herbisida yang berlebihan
dapat berdampak secara ekologi yaitu menimbulkan polusi lingkungan serta toksisitas
bagi tanaman budidaya itu sendiri. Jenis herbisida yang digunakan bersifat sistemik.
Herbisida sistemik berarti herbisida yang diberikan pada gulma setelah diserap oleh
jaringan daun kemudian ditranlokasikan keseluruh bagian gulma tersebut sehingga
akan mengalami kematian total. Aplikasinya dengan cara melakukan penyemprotan
ke daun atau menyiramkan ke akar tanaman (Hayata et al., 2016).
Hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan khususnya
diareal TBM yaitu hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros). Serangan kumbang
tanduk (O. rhinoceros) cukup membahayakan pada tanaman belum menghasilkan
karena jika sampai mengenai titik tumbuhnya maka akan muncul penyakit busuk dan
menyebabkan kematian pada tanaman kelapa sawit tersebut. Kumbang Tanduk banyak
menimbulkan kerusakan pada areal TBM yang baru ditanam hingga berumur 2-3
tahun. Kumbang dewasa (imago) masuk kedaerah titik tumbuh (pupus) dengan
membuat lubang pada pangkal pelepah daun muda yang masih lunas. Peningkatan luas
perkebunan kelapa sawit selain keterbatasan lahan yang tersedia juga adanya serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya hama. Meningkatnya pemakaian
lahan secara besar-besaran untuk penanaman kelapa sawit menambah jumlah lahan
monokultur yang menguntungkan bagi Oryces rhinoceros. Hal tersebut terjadi karena
pakan terus menerus tersedia sehingga menunjang keberlangsungan hidup hama.
Kelapa sawit dapat diserang oleh berbagai hama dan penyakit tanaman sejak di
pembibitan hingga di kebun pertanaman. Salah satu hama utama pada kelapa sawit
adalah hama kumbang tanduk (O. rhinoceros). Siklus hidup kumbang tanduk relatif
cukup lama membuat keberadaan hama ini di lokasi perkebunan yang terserang
populasinya akan semakin tinggi dan dapat menimbulkan kerusakan tanaman kelapa
sawit yang sangat parah. Untuk pengendalian yang efektif perlu diketahui secara baik
siklus hidupnya. Serangan kumbang tanduk (O. rhinoceros) pada perkebunan apabila
tidak dikendalikan secara terpadu tidak akan memberikan hasil yang optimal.
Perangkap yang sering digunakan para pelaku perkebunan untuk mengendalikan hama
kumbang tanduk (O. rhinoceros) adalah ferotrap, dan light trap. Ferotrap adalah
perangkap yang menggunakan feromon (ethyl-4 methyloctanoat) yang mana formulasi
feromon akan menguap dan menarik hama O. rhinoceros betina maupun jantan, namun
1
pada umunya target tangkapan adalah kumbang betina agar menurunkan sex ratio O.
0
rhinoceros. Light trap adalah perangkap hama O. rhinoceros dengan menggunakan
cahaya dan perlakuan ini dilakukan pada malam hari karena O. rhinoceros termasuk
hewan nocturnal yang aktif di malam hari.. Pengendalian hama dilakukan dengan
berbagai macam yaitu secara manual dengan melakukan kutip manual kumbang yang
menyerang/ditemukan di pokok (TBM/pokok rendah) menggunakan alat kait dari besi.
Petugas sensus atau petani membawa kawat yang dibengkokkan ujungnya seperti mata
pancing, apabila dijumpai tanda-tanda gerakan kumbang tanduk dan segera
dikeluarkan dengan alat yang dibawa, dikumpulkan dan dibunuh (Parinduri, 2020).
Pemupukan adalah memberi hara pada tanah sehingga tanaman dapat menyerap
hara sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada masa
TBM kelapa sawit dilakukan pada umur 8, 16 dan 24 bulan setelah transplanting dan
dosisnya berdasarkan SOP perusahaan atau anjuran dari pihak penyedia bibit tersebut.
Berbeda dengan TM dilakukan akhir musim kemarau dan awal musim hujan (bulan
April dan Agustus) dengan dosis yang telah ditentukan oleh bagian riset tanaman
setelah pengambilan KCD (Kesatuan Contoh Daun). TBM kelapa sawit menggunakan
pupuk tunggal seperti urea, Rock phospate, Borate, MOP dan Kiserit. Jenis pupuk yang
direkomendasikan yaitu pupuk Rock phospate dengan kandungan minimal 28% P2O5
(total), minimal 10% P2O5 (asam sitrat), minimal 40% Ca + Mg, maksimal 3% Al2O3
+ Fe2O3 dan maksimal 3% H2O, tetapi saat aplikasi di lapang pupuk yang
digunakan adalah TSP dengan kandungan 46% P2O5. Hal ini disebabkan
pembelian pupuk TSP oleh perusahaan, sehingga pupuk tersebut yang diaplikasikan
di lapang. Perusahaan diperbolehkan membeli pupuk dengan jenis berbeda
dari pupuk rekomendasi dengan syarat memiliki fungsi dan kandungan yang dapat
menggantikan jenis pupuk rekomendasi. Penggunaan dosis pupuk TSP di lapangan
sama dengan dosis rekomendasi pupuk RP yaitu 700 g. Kandungan P2O5 total pupuk
RP 28%, sehingga penggunaan dosis TSP seharusnya lebih rendah karena kandungan
P2O5 TSP lebih tinggi yaitu 46% (Herdiansah dan Adolf, 2018).
Ada 3 jenis gulma yang perlu dikendalikan, yaitu ilalang rumput teki – tekian dan
tumbuhan pengganggu atau anak kayu di gawangan. Gulma utama yang tidak boleh
ada di perkebunan kelapa sawit adalah ilalang dan gulma berkayu. Sedangkan untuk
gulma lunak seperti digitaria sp rumput lunak lainnya masih dapat ditoleran tidak perlu
1
dikendalikan asalkan tingginya tidak melebihi 15. Ilalang pada perkebunan kelapa
1
sawit sangat perlu dihindari. Ilalang perlu dikendalikan karena pertumbuhannya yang
cepat sehingga penyerapan unsur hara yang cepat pula oleh ilalang akan mengganggu
pertumbuhan kelapa sawit, selain itu juga dengan kondisi populasi ilalang yang tinggi
merupakan potensi terjadinya kebakaran. Basmi alang – alang ini dilakukan tergantung
dari vegetasi tumbuhnya alang- alang yaitu secara kimia dengan cara Penyemprotan
menggunakan bahan aktif Glyphosate dengan konsentrasi herbisida sistemik 150 cc
per 20 liter air. Dilakukan apabila alang-alang cukup banyak dan sulit dikendalikan
maka dilakukan penyemprotan dengan cara sporadis (spot spray) dan sebaiknya
dilakukan pada musim kemarau. Jika penyemprotan yang dilakukan dalam kurun
waktu 4 Jam hujan turun sebaiknya penyemprotan diulang. Sedangkan dengan cara
manual dimulai setelah satu minggu selesai pekerjaan buru lalang (wiping) pertama,
pekerjaan dilakukan dengan mencabut dan tidak diperkenankan menggunakan
Cangkul dan parang, mencabut seluruh akar lalang sampai dengan ujung akar dan
harus diletakkan pada tempat paling atas agar mudah dilihat bahwa areal ini telah
dilakukan rotasi buru lalang (Wiping) (Prasetyo, 2016).
Kastrasi merupakan pekerjaan membuang bunga pada tanaman belum
menghasilkan sampai dengan umur 25 bulan setelah ditanam di lapangan. Tanaman
kelapa sawit mulai mengeluarkan bunga setelah berumur 9 bulan, tergantung
pertumbuhannya. Pada saat tersebut, bunga yang dihasilkan masih belum membentuk
buah sempurna sampai tanaman berumur sekitar 24 bulan sehingga tidak ekonomis
untuk diolah. Semua bunga maupun buah yang keluar sampai dengan umur 24 bulan
perlu dibuang. Biasanya dilakukan pada umur 18 bulan sejak tanam di lapangan
sampai dengan 25 bulan yang ke bulan 26 stop kastrasi. Dalam pemeliharaan tanaman
kelapa sawit, perlu diperhatikan pertumbuhan vegetative (akar,batang dan daun) dan
pertumbuhan bunga dan buah. Pada masa pertumbuhan vegetative, munculnya Bunga,
baik jantan maupun betina dapat mengganggu perkebnagan pertumbuhan vegetative.
Oleh karena itu baik Bunga jantan maupun betina yang muncul sebelum waktunya
harus dibuang dengan kata lain Membuang buah, bunga jantan dan bunga betina untuk
mempercepat pertumbuhan vegetatif serta Mengurangi resiko serangan jamur
marasmius sp. Kastrasi merupakan pekerjaan penting sebelum tanaman beralih dari
TBM ke TM (Ma’ruf, 2018).
1
2
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Praktikum

Adapun praktikum ini dilaksanakan di Jl. Banteng Ujung, DeliTua, Kecamatan


Deli Serdangg, Provinsi Sumatera Utara dan dilaksanakan secara virtual
menggunakan media google meet pada hari Selasa, 11 Oktober 2022 pada pukul
09.50-11.30 WIB pada ketinggian 55 mdpl.
Alat dan Bahan Praktikum

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah handphone


sebagai alat komunikasi dan mencari sumber di internet, aplikasi google meet untu
media pertemuan virtual, serta kertas hvs untuk media pembuatan jurnal
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini literatur dan
bukupenuntunsebagai acuan membuat jurnal.
Prosedur Praktikum

Adapun prosedur praktikum ini adalah dilakukan metode penelitian secara virtual
yang dengan mengumpulkan data dan gambar dari internet, serta dibuat penjelasan
dalam bentuk jurnal.

1
3
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Gambar Keterangan
Pemeliharaan piringan, jalan rintis,
gawangan

Pengendalian gulma secara manual

Pengendalian gulma secara kimia

1
4
Pengendalian hama pada TBM kelapa
sawit

Pemupukan pada TBM Kelapa sawit

Proses kastrasi pada TBM kelapa


sawit

Pembahasan

Pemeliharaan piringan adalah pemeliharaan dengan cara pengendalian gulma pada


piringan tanaman kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan literature (Suwarto,2010) yang
menyatakan bahwa perawatan piringan (penyiangan) adalah pemeliharaan dengan cara
pengendalian gulma pada piringan tanaman kelapa sawit dimaksudkan untuk mengurangi
terjadinya saingan terhadap tanaman pokok, memudahkan pelaksanaan pemeliharaan,
dan mencegah berkembangnya hama dan penyakit tertentu. Penyiangan ada dua cara
yaitu dengan cara mekanis (parang babat) dan cara kemis (herbisida). Pemangkasan atau

1
5
disebut juga penunasan adalah pembuangan daun– daun tua atau yang tidak produktif
pada tanaman kelapa sawit, pada tanaman muda sebaiknya tidak dilakukan pemangkasan,
kecuali dengan maksud mengurangi penguapan oleh daun pada saat tanaman akan
dipindahkan dari pembibitan ke areal perkebunan. Penunasan dilakukan dengan interval
waktu tertentu sehingga tercipta tanaman kelapa sawit yang sehat, rapi dan teratur.
Pemeliharaan yakni dengan melakukan pengendalian gulma di kebun kelapa sawit
dilakukan pada areal piringan (lingkaran batang) dan gawangan. Pemeliharaan piringan
dan gawangan bertujuan antara lain untuk mengurangi kompetisi gulma terhadap tanaman
dalam penyerapan unsur hara, air, dan sinar matahari dan mempermudah pekerja untuk
melakukan pemupukan dan kontrol di lapangan. Disamping itu harus dijaga supaya
intensitas pengendalian gulma jangan berlebihan hingga berdampak menggundulkan
permukaan tanah yang menjadikannya rawan terkena erosi. Pengendalian gulma secara
manual banyak dilakukan pada tanaman kelapa sawit yang masih muda (TBM). Hal ini
sesuai dengan literatur Budi (2020) yang menyatakan bahwa sasaran pengendalian gulma
secara manual adalah piringan dan gawangan kelapa sawit. Metode pengendalian gulma
secara manual pada piringan disebut piringan manual atau raking. Pengendalian gulma
secara manual di gawangan disebut dengan berantas tanaman pengganggu (BTP), cara
kerjanya dengan cara dongkel anak kayu (DAK) dan tebas rendahan. Tujuan
pengendalian gulma secara manual adalah untuk mengurangi kehilangan unsur hara dan
memperlancar kegiatan kebun lainnya seperti kegiatan panen dan pemupukan.
Keunggulan dari pengendalian gulma secara manual antara lain hasil yang didapat cepat
terlihat, mudah untuk dilaksanakan dan secara ekologi dapat menghindarkan dampak
polusi lingkungan. Dampak negatif dari pengendalian gulma secara manual antara lain
memerlukan banyak tenaga kerja dan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga
terjadi peningkatan terhadap biaya perawatan kebun. Pengendalian gulma secara manual
juga menyebabkan terjadinya pelukaan akar tanaman kelapa sawit akibat peralatan
mekanis dan dapat menyebabkan terjadinya erosi permukaan. Peralatan yang digunakan
untuk pengendalian gulma secara manual antara lain cangkul dodos (cados), garukan, dan
parang. Pengendalian gulma secara manual di gawangan lebih banyak dilakukan untuk
mengendalikan gulma jenis anak kayu. Gulma anak kayu dikendalikan dengan cara

1
6
mendongkel/membongkar gulma tersebut hingga keakarnya kemudian gulma yang sudah
dibongkar diletakkan di
gawangan mati. Metode pengendalian gulma anak kayu, pelaksanaan di lahan sering
tidak efektif, yaitu dengan cara ditebas.
Pengendalian gulma secara kimia dengan menggunakan herbisida. Hal ini sesuai
dengan literatur Hayata et al., (2016) yang menyatakan bahwa herbisida merupakan bahan
senyawa beracun yang dimanfaatkan untuk membunuh atau mengendalikan gulma.
Penggunaan herbisida sesuai dengan SOP yang mengacu pada kriteria dan prinsip kebun
yang berkelanjutan. Pengendalian gulma secara kimia dilakukan pada piringan, pasar
rintis, TPH dan gawangan. Pengendalian gulma secara kimia dengan melihat peta
pemeliharaan yang terdapat di setiap kantor divisi. Peta pemeliharaan terdiri atas peta
identifikasi gawangan dan piringan dalam satu tahun, peta program pemupukan dan tabel
aplikasi, peta program gawangan dan piringan manual beserta tabel aplikasi, peta program
gawangan dan piringan kimia beserta tabel aplikasi, peta luasan kebun, peta sumur
pantau, peta seksi panen, dan peta seksi tunas progresif. Pengendalian gulma dengan
menggunakan herbisida memiliki beberapa keunggulan antara lain mengurangi tenaga
kerja, dapat mengendalikan gulma yang tumbuh bersamaan dengan tanaman budi daya
yang sulit disaingi, mampu mengendalikan gulma sejak awal, mengurangi kerusakan dan
pelukaan akar dampak penyiangan secara mekanis, erosi permukaan dapat dikurangi, dan
banyak gulma yang bersifat pohon lebih mudah ditangani dengan menggunakan herbisda.
Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida selain menguntungkan juga
memiliki kelemahan antara lain memerlukan tenaga ahli untuk pemakaiannya baik yang
berhubungan dengan keselamatan dan dosis. Pemakaian herbisida yang berlebihan dapat
berdampak secara ekologi yaitu menimbulkan polusi lingkungan serta toksisitas bagi
tanaman budidaya itu sendiri.
Hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan khususnya
diareal TBM yaitu hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros). Hal ini sesuai dengan
literatur Parinduri (2020) yang menyatakan bahwa serangan kumbang tanduk (O.
rhinoceros) cukup membahayakan pada tanaman belum menghasilkan karena jika sampai
mengenai titik tumbuhnya maka akan muncul penyakit busuk dan menyebabkan kematian

1
7
pada tanaman kelapa sawit tersebut. Kumbang Tanduk banyak menimbulkan kerusakan
pada areal TBM yang baru
ditanam hingga berumur 2-3 tahun. Kumbang dewasa (imago) masuk kedaerah titik
tumbuh (pupus) dengan membuat lubang pada pangkal pelepah daun muda yang masih
lunas. Peningkatan luas perkebunan kelapa sawit selain keterbatasan lahan yang tersedia
juga adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya hama.
Meningkatnya pemakaian lahan secara besar-besaran untuk penanaman kelapa sawit
menambah jumlah lahan monokultur yang menguntungkan bagi Oryces
rhinocerosPerangkap yang sering digunakan para pelaku perkebunan untuk
mengendalikan hama kumbang tanduk (O. rhinoceros) adalah ferotrap, dan light trap.
Ferotrap adalah perangkap yang menggunakan feromon (ethyl-4 methyloctanoat) yang
mana formulasi feromon akan menguap dan menarik hama O. rhinoceros betina maupun
jantan, namun pada umunya target tangkapan adalah kumbang betina agar menurunkan
sex ratio O. rhinoceros. Light trap adalah perangkap hama O. rhinoceros dengan
menggunakan cahaya dan perlakuan ini dilakukan pada malam hari karena O. rhinoceros
termasuk hewan nocturnal yang aktif di malam hari. Pengendalian hama dilakukan
dengan berbagai macam yaitu secara manual dengan melakukan kutip manual kumbang
yang menyerang/ditemukan di pokok (TBM/pokok rendah) menggunakan alat kait dari
besi. Petugas sensus atau petani membawa kawat yang dibengkokkan ujungnya seperti
mata pancing, apabila dijumpai tanda-tanda gerakan kumbang tanduk dan segera
dikeluarkan dengan alat yang dibawa, dikumpulkan dan dibunuh.
Pemupukan adalah memberi hara pada tanah sehingga tanaman dapat menyerap
hara pada tanaman dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini sesuai dengan
literatur Herdiansah dan Adolf (2018) yang menyatakan bahwa pada masa TBM kelapa
sawit dilakukan pada umur 8, 16 dan 24 bulan setelah transplanting dan dosisnya
berdasarkan SOP perusahaan atau anjuran dari pihak penyedia bibit tersebut. Berbeda
dengan TM dilakukan akhir musim kemarau dan awal musim hujan (bulan April dan
Agustus) dengan dosis yang telah ditentukan oleh bagian riset tanaman setelah
pengambilan KCD (Kesatuan Contoh Daun). TBM kelapa sawit menggunakan pupuk
tunggal seperti urea, Rock phospate, Borate, MOP dan Kiserit. Jenis pupuk yang
direkomendasikan yaitu pupuk Rock phospate dengan kandungan minimal 28% P2O5

1
8
(total), minimal 10% P2O5 (asam sitrat), minimal 40% Ca + Mg, maksimal 3% Al2O3 +
Fe2O3 dan maksimal 3%
H2O, tetapi saat aplikasi di lapang pupuk yang digunakan adalah TSP dengan
kandungan 46% P2O5. Hal ini disebabkan pembelian pupuk TSP oleh perusahaan,
sehingga pupuk tersebut yang diaplikasikan di lapang. Perusahaan diperbolehkan
membeli pupuk dengan jenis berbeda dari pupuk rekomendasi dengan syarat memiliki
fungsi dan kandungan yang dapat menggantikan jenis pupuk rekomendasi. Penggunaan
dosis pupuk TSP di lapangan sama dengan dosis rekomendasi pupuk RP yaitu 700 g.
Kandungan P2O5 total pupuk RP 28%, sehingga penggunaan dosis TSP seharusnya lebih
rendah karena kandungan P2O5 TSP lebih tinggi yaitu 46%.
Ilalang merupakan salah satu jenis gulma pengganggu kelapa sawit. Hal ini sesuai
dengan literatur Prasetyo (2016) yang menyatakan bahwa ada 3 jenis gulma yang perlu
dikendalikan, yaitu ilalang rumput teki – tekian dan tumbuhan pengganggu atau anak
kayu di gawangan. Gulma utama yang tidak boleh ada di perkebunan kelapa sawit adalah
ilalang dan gulma berkayu. Sedangkan untuk gulma lunak seperti digitaria sp rumput
lunak lainnya masih dapat ditoleran tidak perlu dikendalikan asalkan tingginya tidak
melebihi 15. Ilalang pada perkebunan kelapa sawit sangat perlu dihindari. Ilalang perlu
dikendalikan karena pertumbuhannya yang cepat sehingga penyerapan unsur hara yang
cepat pula oleh ilalang akan mengganggu pertumbuhan kelapa sawit, selain itu juga
dengan kondisi populasi ilalang yang tinggi merupakan potensi terjadinya kebakaran.
Basmi alang – alang ini dilakukan tergantung dari vegetasi tumbuhnya alang- alang yaitu
secara kimia dengan cara Penyemprotan menggunakan bahan aktif Glyphosate dengan
konsentrasi herbisida sistemik 150 cc per 20 liter air. Dilakukan apabila alang-alang
cukup banyak dan sulit dikendalikan maka dilakukan penyemprotan dengan cara sporadis
(spot spray) dan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Jika penyemprotan yang
dilakukan dalam kurun waktu 4 Jam hujan turun sebaiknya penyemprotan diulang.
Sedangkan dengan cara manual dimulai setelah satu minggu selesai pekerjaan buru lalang
(wiping) pertama, pekerjaan dilakukan dengan mencabut dan tidak diperkenankan
menggunakan Cangkul dan parang, mencabut seluruh akar lalang sampai dengan ujung
akar dan harus diletakkan pada tempat paling atas agar mudah dilihat bahwa areal ini telah
dilakukan rotasi buru lalang (Wiping).

1
9
Kastrasi merupakan pekerjaan membuang bunga pada tanaman belum
menghasilkan sampai dengan umur 25 bulan setelah ditanam di lapangan. Hal ini sesuai
dengan literatur Ma’ruf (2018) yang menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit mulai
mengeluarkan bunga setelah berumur 9 bulan, tergantung pertumbuhannya. Pada saat
tersebut, bunga yang dihasilkan masih belum membentuk buah sempurna sampai tanaman
berumur sekitar 24 bulan sehingga tidak ekonomis untuk diolah. Oleh sebab itu, semua
bunga maupun buah yang keluar sampai dengan umur 24 bulan perlu dibuang. Biasanya
dilakukan pada umur 18 bulan sejak tanam di lapangan sampai dengan 25 bulan yang ke
bulan 26 stop kastrasi. Dalam pemeliharaan tanaman kelapa sawit, perlu diperhatikan
pertumbuhan vegetative (akar,batang dan daun) dan pertumbuhan bunga dan buah. Pada
masa pertumbuhan vegetative, munculnya Bunga, baik jantan maupun betina dapat
mengganggu perkebnagan pertumbuhan vegetative. Oleh karena itu baik Bunga jantan
maupun betina yang muncul sebelum waktunya harus dibuang dengan kata lain
Membuang buah, bunga jantan dan bunga betina untuk mempercepat pertumbuhan
vegetatif serta Mengurangi resiko serangan jamur marasmius sp.

2
0
KESIMPULAN

1. Perawatan piringan(penyiangan) adalah pemeliharaan dengan cara pengendalian


gulma pada piringan kelapa sawit.
2. Pengendalian gulma secara manual banyak dilakukan pada tanaman kelapa sawit
yang masih muda (TBM).
3. Pengendalian gulma secara kimia dengan menggunakan herbisida
4. Hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan khususnya
diareal TBM yaitu hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros).
5. TBM kelapa sawit dilakukan pada umur 8, 16 dan 24 bulan setelah transplanting
dan dosisnya berdasarkan SOP perusahaan.
6. Gulma utama yang tidak boleh ada di perkebunan kelapa sawit adalah ilalang dan
gulma berkayu.
7. Kastrasi merupakan pekerjaan membuang bunga pada tanaman belum
menghasilkan sampai dengan umur 25 bulan setelah ditanam di lapangan.

2
1
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2021. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2014 – 2018
Tanaman Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Budi, S., R. Anwar., Rusmini. 2020. Analisis biaya pengendalian gulma manual pada
tanaman belum menghasilkan (TBM) di PT. Sentosa Kalimantan Jaya. Jurnal
Agriment, 5(2):82-90.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Statistik perkebunan Indonesia 2010-2012: Kelapa
Sawit (Oil Palm). Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan.
Hayata., A. Meilin., T. Rahayu. 2016. Uji Efektifiras Pengendalian Gulma Secara Kimiawi
dan Manual pada lahan Replanting Karet (Hevea brasiliensis) di Dusun Suka
Damai Desa Pondok Meja Kabupaten Muaro Jambi. Jurnal media pertanian,
1(1):36-44.
Herdiansah, R dan A. P. K. Lontoh. 2018. Manajemen Pemupukan Tanaman kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di kebun rambutan Sumatera utara. Jurnal Agrohorti,
6(2):296-304.
Ma’aruf, A. 2018. Materi Kuliah Pengelolaan kelapa sawit 3 Pemeliharaan tanaman.
Universitas Asahan, Sumatera Utara.
Parinduri, S., I. O. Yosephine., M. D. R. Nasution. 2020. Perbandingan Efektifitas
Ferotrap, Light trap, dan ferolight Trap terhadap Oryctes rhinoveros pada tanaman
belum menghasilkan kelapa sawit di kebun Padang Brahrang Afdeling I PT. langkat
Nusantara kepong. Jurnal Agroteknologi, 5(1):12-24. ISSN: 2541-5956.
Perianto, L. H., A. T. Soejono., M. Astuti. 2016. Komposisi Gulma Pada Lahan Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Tanaman Belum Menghasilkan Dan Tanaman
Menghadilkan di KP2 Ungaran. Jurnal Agromast, 1(2).
Prasetyo, H dan S. Zaman. 2016. Pengendalian Gulma Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Perkebunan Padang Halaban, Sumatera Utara. Jurnal
Agrohorti, 4(1):87-93.
Prasetyo,dan Sofyan 2016. Karakteristik, Potensi dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol
untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Balai Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian Tanah.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2019. Pembakuan Statistik Perkebunan. Jakarta.
Rahmawati, I. 2020. Keanekaragaman Jenis Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit Desa
Manggaraya Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banjarmasin. Jurnal
Indobiosains,1(1).
2
2
Suwarto, Y dan Octaviany. 2010. Budidaya Tanaman Perkebunan Unggul. Penebar
Swadaya. Jakarta.

2
3

Anda mungkin juga menyukai