Anda di halaman 1dari 205

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL VIRTUAL


Tema :
Serangga Vektor-Penyakit Tanaman
Tropis : Keragaman dan Teknik
Pengendaliannya

Bengkulu, 1 Desember 2021

Alamat: Gedung Dekanat Fakultas Pertanian


Jalan WR. Supraman Kandang Limun Bengkulu 38371
Telp./Faks. 0736-21290, 21170 Pesawat 206, 226;
Laman: press.fp.unib.ac.id; e-mail: bpfp@unib.ac.id
PROSIDING

Seminar Nasinonal Virtual

Tema :
Serangga Vektor-Penyakit Tanaman Tropis :
Keragaman dan Teknik Pengendaliannya

Bengkulu, 1 Desember 2021

Penerbit:

Alamat: Gedung Dekanat Fakultas Pertanian


Jalan WR. Supraman Kandang Limun Bengkulu 38371
Telp./Faks. 0736-21290, 21170 Pesawat 206, 226;
Laman: press.fp.unib.ac.id; e-mail: bpfp@unib.ac.id
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

PROSIDING
Seminar Nasional Virtual

Tema :
Serangga Vektor – Penyakit Tanaman Tropis :
Keragaman dan Teknik Pengendalianya

PENGARAH:
1. Dekan Fakutas Pertanian Unib (Prof. Dr. Ir. Dwi Wahyuni Ganefianti. M.S.)
2. Ketua Pei Komda Bengkulu (Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto., M.Sc.)
3. Ketua Pfi Komda Bengkulu (Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S.)

Penanggung Jawab : Dr. Ir. Tunjung Pamekas, M.Sc.


Ketua Pelaksana : Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto., M.Sc.
Wakil Ketua : Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S.
Sekertaris : Dr. Mimi Sutrawati, S.P., M.Si.
Bendahara : Ir. Djamilah, M.P.

KEYNOTE SPEAKER
1. Prof. M B Kaydan
2. Prof. Dr. Ir.Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
3. Prof. Dr. Ir. TriWidodo Arwiyanto, M.Sc
4. Agustin Zarkani, S.P., M.Si., Ph.D

STEERING COMMITTEE
1. Prof. Dr. Ir. Dwinardi Apriyanto., M.Sc.
2. Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S.
3. Dr. Ir. Nanik Setyowati, M.Sc
4. Prof. Dr. Ir. Riwandi, M.S.
5. Prof. Dr. Ir. Catur Herison., M.Sc.
6. Prof. Dr. Ir. Yuwana., M.Sc.

SEKSI ACARA :
1. Parwito, S.P., M.Si
2. Kusmea Dinata, SP.,M.P.
3. Mutiara, S.P.
4. Dra. Kasrina, M.S.
5. Restu Aminningsih, S.P.

SEKSI PUBLIKASI :
1. Dr. Ir. Tunjung Pamekas, M.Sc
2. Ir. Nadrawati, M.P .
3. Nela Zahara, S.P., M.Si

SEKSI SEKRETARIATAN:
1. Nela Zahara, S.P., M.Si
2. Yelita Sulastri, S.Pd
3. Ewa Aulia, S.P .
4. Airin Aulia Rahmi
5. Lisbet Sinaga

ii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

SEKSI PERLENGKAPAN :
1. Agustin Zarkani, Ph.D.
2. Ir. Hartal, M.P.
3. Ir. Priyatiningsih, M.Sc
4. Zul effendi, S.Pt
5. Aris Putra
6. Ardi Arahman
7. Ferdinand GM

SEKSI KONSUMSI :
1. Suryani, A. Md, Ak.
2. Okta Fian Ahmad
3. Dwi Handoko, S.P

FOCUS DAN SCOPE :


1. Perlindungan Tanaman
2. Agroekoteknologi
3. Biologi Pertanian
4. Ilmu Tanah
5. Teknologi Pertanian
6. Fisika/Kimia Pertanian

EDITOR
Parwito, S.P., M.Si

REVIEWER
Dr. Ir. Tunjung Pamekas,M. Sc
Dr. Mimi Sutrawati, S.P, M.Si
Agustin Zarkani, S.P., M.Si, Ph.D
Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S

Penyelenggara
Perhimpunan Entomologi Komda Bengkulu,
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Bengkulu dan Jurusan
Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
INDONESIA

Penerbit
BPFP Universitas Bengkulu

iii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Sambutan Ketua Panitia Pelaksanaan


Seminar Nasional Virtual
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Perhimpunan Entomologi Indonesia
Komda Bengkulu dan Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
1 Desember 2021

Bismillahirrahmanirrahim
Assalaamu’aliakum Wr. Wb.

Pertama-tama kita sampaikan rasa syukur kepada Allah SWT, karena kita
telah diberi kesempatan bertemu dalam acara Seminar Nasional Virtual
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Perhimpunan Entomologi Indonesia Komda
Bengkulu dan Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu.
Permasalahan Serangga Vektor dan penyakit Penyakit Tanaman Tropis,
yang berfokus pada Keragaman dan Teknik Pengenndalianya
Panitia bersyukur bahwa perhatian dan minat peserta untuk seminar
nasional ini cukup luas. Terlihat dari peserta yang mendaftar dari seluruh
Nusantara lebih dari 170an peserta umum (para akademisi, praktisi, peneliti dari
instansi pemerintah dan swasta) dan pemakalah lebih dari 40 peserta. Melalui
seminar ini dapat dilahirkan gagasan yang dapat melahirkan program dan
teknologi dalam pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan.
Semoga dengan seminar ini diharapkan dapat terbangunnya jaringan yang baik
antar berbagai pihak terutama yang memiliki konsen terhadap bidang
perlindungan tanaman. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu, Ketua Jurusan Perlindungan Tanaman,
Ketua PFI dan PEI Komda Bengkulu, Himpunan Mahasiswa Perlindungan
Tanaman, Ikatan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pertanian Universitas
Bengkulu, penghargaan dan terima kasih kepada para keynote speakers dalam
seminar sehingga menambah kualitas seminar ini dengan pengalamannya yang
panjang di bidang perlindungan tanaman. Ucapan terimakasih kami sampaikan
kepada para pemakalah dalam seminar ini. Semua abstrak dari pemakalah akan
kami buat kumpulan abstrak dan untuk artikel lengkap akan dietrbitkan sesuai
dengan ketentuan.

Harapan kami semoga seminar ini akan memberikan semangat bagi para
peserta untuk dapat berperan aktif dalam melakukan perlindungan tanaman yang
ramah lingukungan untuk menuju pertanian berkelanjutan. Saya menyampaikan
terima kasih kepada para tim panitia yang sudah bekerja keras untuk
mensukseskan seminar ini dan mohon maaf bila dalam pelaksanaan seminar ini
ada sesuatu yang kekurangan. Semoga seminar ini memberikan manfaat bagi
kita semua.

Wassalamu alaikum wr.wb


Bengkulu, Desember 2021
Ketua Pelaksana

Prof. Dr. Ir Dwinardi Apriyanto. M.Sc

iv | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

KATA PENGANTAR

KETUA PERHIMPUNAN FITOPATOLOGI KOMDA BENGKULU

Pandemi COVID 19 telah merusak sebagian tatanan akademis dan


membatasi kegiatan akademis di Perguruan Tinggi dan Lembaga
Pengembangan Teknologi, Akademisi dan peneliti masih dituntut memenuhi
keninerjanya, sehingga diperlukan kreatifitas untuk memenuhinya. Produktifitas
pertanian dan mempertahankan sumberdaya pertanian yang berkelanjutan
dapat dicapai melalui pemanfaatan teknologi pengendalian hama dan penyakit
ramah lingkungan, Kerjasaama antara Jurusan Perlindungan Tanaman
Universitas Bengkulu, Perhimpunan Entomologi Indonesia Komda Bengkulu dan
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Bengkulu telah menyelenggarakan
Seminar Nasional Trend Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Ramah
Lingkungan dalam Mendukung Pertanian Berkelanjutan
Seminar yang dilakukan secara virtual yang telah diselenggarakan pada
tanggal 1 Desember 2021 merupakan wahana untuk memenuhi kinerja para
akademisi, sarana untuk komunikasi di antara peneliti, dan bertujuan untuk
menyebarluaskan hasil penelitian dan kajian dari akademisi dan peneliti untuk
masyarakat. Alhamdulillah seminar berlangsung dengan baik dan partisipasi
penuh dari Keynote speakers, pemakalah, dan peserta.
Makalah telah dipresentasikan dan memenuhi syarat diterbitkan dalam
prosiding, jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, dan Jurnal Akta Agrosia sesuai dengan
pilihan pamakalah. Prosiding ini sebagai bagian dari publikasi materi seminar
yang dapat diakses secara lebih luas. Apresiasi dan ucapan terimakasih kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah menyumbangkan pikiran, tenaga dan
waktunya selama penyelenggaraan seminar maupun dalam proses penyelesaian
prosiding ini. Semoga buku prosiding ini bermanfaat bagi pembaca dan
pengambil kebijakan untuk mengembangkan pengendalian hama dan penyakit
tanaman ramah lingkungan dalam mendukung pertanian berkelanjutan. Jayalah
pertanian Indonesia.

Bengkulu, Desember 2021


Ketua PFI Komda Bengkulu

Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S.

vii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Sambutan Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Komda Bengkulu

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Ijinkan saya mengucapkan selamat kepada panitia atas suksesnya acara
webinar “Tren Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Ramah Lingkungan di
Masa Mendatang menuju Pertanian Berkelanjutan” yang diselenggarakan
Jurusan Perlindungan Tanaman, Universitas Bengkulu, bekerjasama dengan PEI
dan PFI Komda Bengkulu di Bulan Desember 2021. Webinar yang “menjamur” di
masa tanggap darurat COVID 19 ini ternyata mampu memberikan nuansa baru
dan memberikan nilai tersendiri untuk tetap konsisten menyebarluaskan hasil
penelitian dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk saling bertemu off line.
Acara seperti ini bisa menjadi kegiatan rutin yang “murah”, meskipun kadang
harus kompromistis dengan kualitas karena jaringan internet yang kadang
melambat, tetapi bila disertai dengan life streaming di YouTube bisa meniadakan
kelemahan yang ada, dan bahkan bisa memperluas audience. Terima kasih dan
salute kepada panitia yang sudah bekerja keras menyiapkan kegiatan ini dari
awal sampai terbitnya prosiding ini. Terima kasih kepada semua keynote speaker
dan pemakalah yang sudah berpartisipasi dalam mensukseskan webinar ini.
Semoga kegiatan webinar bisa menjadi alternatif jitu di masa yang akan datang
untuk mengatasi berbagai keterbatasan kita. Semoga webinar khusunya di
bidang perlindungan tanaman bisa menjadi sarana yang semakin berkembang
untuk saling bertukar informasi dan meningkatkan dan memperluas pergaulan
sesama peneliti dan dosen.

Wa alaikum salam Wr.Wb. Bengkulu, Desember 2021


Ketua PEI Komda Bengkulu

Prof. Dr. Ir Dwinardi Apriyanto. M.Sc

viii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

TATA TERTIB SEMINAR NASIONAL VIRTUAL


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
salam silaturrahim, salam hangat kami sampaikan kepada seluruh peserta
Seminar Nasional Virtual Perhimpunan Fitopatologi Indonesia,
Perhimpunan Entomologi Indonesia Komda Bengkulu dan Jurusan
Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang akan
dilaksanakan Rabu, 1 Desember 2021, karena Seminar Nasional ini
dilangsungkan via zoom, maka dimohon seluruh peserta sudah memiliki /
download aplikasi zoom meeting di android atau komputer bapak ibu
sekalian, untuk kelancaran kegiatan seminar tersebut diharapkan bapak
dan ibu sudah berpengalaman dalam pemakaian zoom meeting ini.

Berikut kami jelaskan beberapa ketentuannya:


1) Link zoom akan dibagikan 20 menit sebelum acara dimulai
2) Peserta hadir 15 menit sebelum acara dimulai untuk breafing dan
memastikan jaringan internet dan zoom meeting tidak bermasalah
3) Peserta dimohon login zoom/mengubah username (nama tampilan)
sesuai nama lengkap
4) Peserta dimohon mengisi daftar hadir dan evaluasi melalui link yang
akan dishare pada waktu acara
5) Peserta wajib mengikuti seminar nasional virtual ini dari awal hingga
akhir
6) Peserta dimohon untuk menyenyapkan/membisukan mic (mute
mode) untuk mengurangi gangguan suara
7) Peserta dimohon untuk mengaktifkan video meeting selama
berlangsungnya webinar
8) Peserta yang ingin bertanya dapat menuliskan pertanyaan di Zoom
Group Chat dengan format: Nama_Institusi_pertanyaan ditujukan
kepada_pertanyaan
9) Sertifikat diberikan kepada peserta maksimal 7 hari setelah
pelaksanaan, melalui e-mail yang tercantum dalam daftar data
peserta setelah dievaluasi oleh panitia berdasar daftar hadir dan
daftar evaluasi
10) Peserta diharapkan mengisi presensi disaat break

ix | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ vii


TATA TERTIB SEMINAR NASIONAL VIRTUAL............................................................. ix
DAFTAR ISI...................................................................................................................... x
SUSUNAN ACARA ....................................................................................................... xiii
MATERI KEYNOTE SPEECH....................................................................................... xxii
1. Prof. Triwidodo Arwiyanto ..................................................................................... xxii
2. Prof. Sri Hendrastuti Hidayat ................................................................................ xxiv
3. Agustin Zarkani, Ph.D ........................................................................................... xxvi
4. Prof. M. Bora Kaydan ............................................................................................ xxix
PEMAKALAH .......................................................................................................................................
1. Populasi Dan Tingkat Serangan Citripestis sagittiferella (Lepidoptera: Pyralidae) Pada
Buah Jeruk Gerga Di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi Kabupaten Lahat (Arsi) ........................... 1
2. Penilaian Status Logam Berat Pb Dan Cd Pada Tanah Dan Sayuran Di Kecamatan
Kertasari, Kabupaten Bandung (Cicik Oktasari Handayani) ....................................................... 13
3. Pemanfaatan Cendawan Fusarium Non Patogen Sebagai Agen Biodegradasi,
Biokontrol, Dan Pemacu Pertumbuhan (Ria Fauriah) ................................................................. 18
4. Uji Virulensi Rhizoctonia solani Kühn Penyebab Penyakit Hawar Pelepah Pada Padi
(Oryza sativa L.) Dan Pengendaliannya Menggunakan Bakteri Endofit (Leni Armelia)............. 25
5. Keberadaan Populasi Lalat Tentara Hitam (Hermentia illucens) Pada Lahan Budidaya
Padi (Oryza sativa L.)-Marigold (Tagetes erecta) (Ardli Swardana) ........................................... 35
6. Peningkatan Hasil Panen Tanaman Pakcoy, Sawi Putih Dan Kembang Kol
Menggunakan Asam Humat Berbasis Psuc Dan Psnc (Sri Wahyuni) ........................................ 41
7. Kekayaan Serangga di Kampus Universitas Jambi Mendalo (Herni Dwinta Pebrianti) .............. 48
8. Evaluasi Pemanfaatan Konsorsium Mikroba Dalam Upaya Mengendalikan Penyakit
Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Woron.) dan Meningkatkan Produktivitas
Tanaman Pakcoy (Brassica rapa L.) (Eti Heti Krestini) ............................................................... 53
9. Screening Bakteri Asam Laktat (Bal) Dari Ekoenzim Jeruk Kalamansi (Citrus
microcarpa) Dan Jeruk Manis (Citrus sinensis) (Dhea Amelia Sari) ........................................... 65
10.Keragaman Serangga Vektor Penyakit Virus Pada Tebu Di Indonesia Dan Teknik
Pengendaliannya (Lilik Koesmihartono Putra) ............................................................................ 70
11.Potensi Antimikrob Bakteri Dari Ekoenzim Nanas (Ananascomosus) Dan Pisang (Musa
paradisiaca) (Reza Wahyuni) ...................................................................................................... 89
12.Survei Keberadaan Spodoptera Frugiperda J. E Smith (Lepidoptera: Noctuidae) Pada
Pertanaman Jagung Di Desa Kualu, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau (Haristia Dumeri) ................................................................................................... 96
13.Kematian Setek Akibat Serangan Hama Dan Penyakit Pada Setek Kopi Robusta
Dengan Sayatan Yang Berbeda (Mahardika Puspitasari) ........................................................ 103
14.Pengaruh Pupukanorganik Dan Pupuk Kandang Terhadap Kandungan C-Organik,
Pertumbuhan, Dan Hasil Jagung Varietas Nk 212 Pada Lahan Sawah Tadah Hujan
(Siska Apriyani).......................................................................................................................... 109
15.Identifikasi Nematoda Parasit Tanaman Pepaya Di Kecamatan Arga Makmur Dan
Kecamatan Hulu Palik, Kabupaten Bengkulu Utara (Anisya Nur Aqtika).................................. 115
16.Beberapa Genus Nematoda Yang Berasosiasi Pada Tanaman Sawi Putih Di
Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang (Ahmad Fauzan)............................................. 125
17.Pengendalian Kutu Daun (Aphis sp.) Untuk Menekan Penyebaran Virus Keriting Cabai
(Pepper Leaf Curl Virus) (Sudi Pramono).................................................................................. 139
18.Teknik Isolasi Bakteri Probiotik Dari Feces Luwak Sebagai Koleksi Sediaan Bahan
Penelitian Di Laboratorium Proteksi Tanaman (Zul Efendi) ...................................................... 145
19.Efektifitas Beberapa Konsentrasi Asap Cair Tandan Kosong Kelapa Sawit Terhadap
x | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Mortalitas Paracoccus marginatus Wiliams Dan Granara de Willink Secara In Vintro


(Nadiatul Husnah)...................................................................................................................... 153
20.Insidensi Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas WALKER) Dan
Keanekaragaman Parasitoid Telur Di Desa Maras Kecamatan Air Nipis Kabupaten
Bengkulu Selatan....................................................................................................................... 160

xi | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL JURUSAN PERLINDUNGAN TANAMAN FAPERTA UNIVERSITAS BENGKULU BEKERJA SAMA PEI-PFI 2021
Link Zoom : https://us02web.zoom.us/j/83709342162?pwd=bVNrRjllaVdwaXNZS0xMTkF0SGlKdz09
Meeting ID : 837 0934 2162
Passcode : PROTEKSI

Hari/ Tanggal Jam Kegiatan Host Moderator


Rabu/ 1 Desember 2021 07.30-08.00Wib -Registrasi peserta (peserta masuk Restu Aminningsih,
room zoom S.P & Airin Aulia
Rahmi
08.00-08.20 WIB - Pembukaan oleh host
-Menyanyikan lagu Indonesia Raya
-Menyanyikan Mars PFI
-Pembukaan oleh Dekan Fakultas
Pertanian UNIB
- Doa
- Memperkenalkan moderator
SESI I 08.20-08.30 WIB -Membacakan Tata tertib Seminar Dr. Ir. Hendri Bustamam,
-Membacakan CV Keynote Speaker M.S.
Sesi Foto Bersama (Screen shoot zoom)
08.30-09.00 WIB Penyampaian Materi Ke-1 Oleh Prof.
Sri Hendrastuti Hidayat (Institut
Pertanian Bogor)
09.00-09.30 WIB Penyampaian Materi Ke-2 Oleh Prof.
Triwidodo Arwiyanto (Universitas Gajah
Mada)
09.30-10.00 WIB Diskusi Sesi 1
10.00-10.05 WIB - Simpulan Oleh Moderator
-Pemberian sertifikat secara simbolis
- Kembali ke host
xii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

10.05-10.10 - Perkenalan moderator kedua Host


10.10-10.15 - Membacakan CV Keynote Speaker Prof. Dr. Ir. Dwinardi
- Sesi Foto Bersama (Screen shoot Apriyanto, M.Sc
zoom)

10.15-10.45 Penyampaian Materi Ke- 3 Oleh Agustin


Zarkani, S.P., M.Si., Ph.D (Universitas
Bengkulu)
10.45-11.15 Penyampaian Materi Ke-4 Oleh Prof. M.B
Kaydan (Cukurova University)

11.15-11.45 Diskusi Sesi 2

11.45-11.50 - Simpulan Oleh Moderator


- Pemberian sertifikat secara simbolis
- Kembali ke host
11.50-12.00 - Penyampaian tatib Presentasi Host
parallel
12.00-13.00 Istirahat
SESI II 13.00-14.20 WIB - Presentasi Paralel Di 8 Room. Masing-masing moderator
Persentasi pada setiap room terdiri room zoom.
dari 2 sesi. Sesi pertama dengan 3 Room 1: Dr. Mimi
pemakalah - diskusi, dilanjutkan sesi Sutrawati, S.P.,
kedua 3 pemakalah -diskusi. M.Si
13.00-13.30 WIB -Persentasi sesi-1 3 pemakalah masing- Room 2: Ir. Djamilah, M.P
masing 10 menit. Room 3: Dr. Sempurna Br
13.30-13.40 WIB Diskusi (10 menit) Ginting, SP., M.Si

xiii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

13.40-14.10 WIB Persentasi sesi-2 3 pemakalah masing- Room 4: Dr. Ir. Tunjung
masing 10 menit Pamekas, M.Sc
Room 5: Dr. Ir. Hendri
Bustamam, M.S
14.10-14.20 WIB Diskusi (10 menit) Room 6: Nela Zahara, S.P.,
M.Si
Room 7: Ir. Nadrawati,
M.P.
14.20-14.30 WIB -Peserta memasuki room utama Host

14.30-14.45 WIB - Penutupan

xiv | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

DAFTAR SESI PARALEL Seminar Nasional Virtual Jurusan Perlindungan Tanaman bekerja sama dengan PEI-PFI 2021
Room 1 (Perlintan – Virus)
Moderator : Dr. Mimi Sutrawati, SP., M.Si
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)

NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan


1 Analisis Risiko Profil Lost Usahatani Pepaya Perlindungan 10 Menit
Ridha Rizki Novanda Universitas Bengkulu
yang Terkena Penyakit Yellow Mosaic Tanaman
2 Program Studi KARAKTERISTIK SERANGGA VEKTOR 10 Menit
Proteksi Tanaman (Bemisia tabaci) DALAM MENULARKAN Perlindungan
Frili Arista Zanasa
Faperta Universitas PENYAKIT VIRUS KUNING PADA TANAMAN Tanaman
Lambung Mangkurat TERUNG
3 KERAGAMAN SERANGGA VEKTOR PENYAKIT 10 Menit
VIRUS PADA TEBU DI INDONESIA DAN
Dr. Ir. Lilik Pusat Penelitian
TEKNIK PENGENDALIANNYA DIVERSITY OF Perlindungan
Koesmihartono Perkebunan Gula
INSECT VECTORS OF SUGARCANE VIRAL Tanaman
Putra, M.Agr.St. Indonesia
DISEASES IN INDONESIA AND THEIR
CONTROL TECHNIQUES
4 DETEKSI MOLEKULER DAN ANALISIS 10 Menit
GENETIK BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN Perlindungan
Ewa Aulia Universitas Bengkulu
CABAI DI DESA PEMATANG DONOK, Tanaman
KEPAHIANG
5 Balai Penelitian IDENTIFIKASI MOLEKULER KUTU PUTIH 10 Menit
Miftakhurohmah, Perlindungan
Tanaman Rempah SEBAGAI VEKTOR Piper yellow mottle virus
S.P., M.Si Tanaman
dan Obat PADA TANAMAN LADA
6 PENGENDALIAN KUTU DAUN (Aphis sp.) 10 Menit
Fak. Pertanian, Perlindungan
Sudi Pramono UNTUK MENEKAN PENYEBARAN VIRUS
Universitas Lampung Tanaman
KERITING CABAI (PEPPER LEAF CURL VIRUS)

xv | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Room 2 (Perlintan – Hama)


Moderator : Ir. Djamilah, MP
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)

NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan


1 Evaluasi Pemanfaatan Konsorsium 10 Menit
mikroba dalam upaya Mengendalikan
Balai Penelitian Penyakit Akar Gada (Plasmodiophora Perlindungan
Eti Heni Krestini
Tanaman Sayuran brassicae Woron.) dan Meningkatkan Tanaman
Produktivitas Tanaman Pakcoy (Brassica
rapa L.)
2 BEBERAPA GENUS NEMATODA YANG 10 Menit
Universitas BERASOSIASI PADA TANAMAN SAWI Perlindungan
Ahmad Fauzan
Bengkulu 3PUTIH DI KECAMATAN KABAWETAN Tanaman
KABUPATEN KEPAHIANG
3 IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT 10 Menit
Universitas TANAMAN PEPAYA DI KECAMATAN Perlindungan
Anisya Nur Aqtika
Bengkulu ARGA MAKMUR DAN KECAMATAN HULU Tanaman
PALIK, KABUPATEN BENGKULU UTARA
4 KERAGAMAN ARTHROPODA DAN 10 Menit
PERSENTASE KERUSAKAN TANAMAN
Universitas Perlindungan
Djamilah JAGUNG TUMPANGSARIDENGAN
Bengkulu Tanaman
KACANG HIJAU DAN
HUBUNGANNYADENGAN HASIL JAGUNG
5 Muhamad Pangky Universitas Riau - PERKEMBANGAN PERMASALAHAN Perlindungan 10 Menit
Sucahyono Sinarmas Forestry HAMA PADA EUCALYPTUS DI INDONESIA Tanaman
6 REVIEW: PEMANFAATAN MINYAK ATSIRI 10 Menit
Perlindungan
Liza octriana Balitbu Tropika UNTUK PENGENDALIAN HAMA MELALUI
Tanaman
MEKANISME REPELENSI

xvi | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Room 3 (Perlintan - Hama )


Moderator : Dr. Sempurna Br Ginting, SP., M.Si
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)
NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan
1 SERANGAN Spodoptera litura Fabricius dan 10 Menit
SEMPURNA Universitas Etiela zinchenella Treitschke PADA Perlindungan
GINTING Bengkulu BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DENGAN Tanaman
APLIKASI PUPUK ORGANIK
2 POPULASI DAN TINGKAT SERANGAN 10 Menit
Citripestis sagittiferella (LEPIDOPTERA:
Universitas Perlindungan
Arsi PYRALIDAE) PADA BUAH JERUK GERGA DI
Sriwijaya Tanaman
KECAMATAN TANJUNG SAKTI PUMI
KABUPATEN LAHAT
3 Herni Dwinta Kekayaan Serangga di Kampus Universitas Perlindungan 10 Menit
Universitas Jambi
Pebrianti Jambi Mendalo Tanaman
4 INSIDENSI PENGGEREK BATANG PADI 10 Menit
KUNING (Scirpophaga incertulas WALKER)
Universitas Perlindungan
Elti Sriwahyuni DAN KEANEKARAGAMAN PARASITOID
Bengkulu Tanaman
TELUR DI DESA MARAS KECAMATAN AIR
NIPIS KABUPATEN BENGKULU SELATAN
5 EFEKTIVITAS BEBERAPA KONSENTRASI 10 Menit
Universitas Islam ASAP CAIR TANDAN KOSONG KELAPA
Perlindungan
Nadiatul Husnah Negeri Sultan SAWIT TERHADAP MORTALITAS Paracoccus
Tanaman
Syarif Kasim Riau Marginatus WILLIAMS & GRANARA DE
WILLINK SECARA IN VITRO
6 KEMATIAN SETEK AKIBAT SERANGAN 10 Menit
Mahardika HAMA DAN PENYAKIT PADA SETEK KOPI Perlindungan
Balittri
Puspitasari ROBUSTA DENGAN SAYATAN YANG Tanaman
BERBEDA

xvii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Room 4 (Perlintan - Cendawan )


Moderator : Dr. Ir. Tunjung Pamekas, M.Sc
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)
NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan
1 INTEGRATED CONTROL OF CORN DOWNY 10 Menit
Ir. Joko Prasetyo, Universitas MILDEW USING WHITE TUMERIC EXTRACT Perlindungan
M.P. Lampung AND TRICHODERMA Tanaman
ASPERELLUMCONIDIA DENSITY
2 UJI VIRULENSI Rhizoctonia solani KÜHN 10 Menit
PENYEBAB PENYAKIT HAWAR PELEPAH
Perlindungan
Leni Armelia universitas andalas PADA PADI (Oryza sativa L.) DAN
Tanaman
PENGENDALIANNYA MENGGUNAKAN
BAKTERI ENDOFIT
3 Balai Penelitian 10 Menit
PEMANFAATAN CENDAWAN FUSARIUM
Lingkungan
NON PATOGEN SEBAGAI AGEN Perlindungan
Ria Fauriah M.,SP. Pertanian,
BIODEGRADASI, BIOKONTROL, DAN Tanaman
Kementerian
PEMACU PERTUMBUHAN
Pertanian
4 UJI KESEHATAN BENIH PADA EMPAT 10 Menit
Ferdinand Universitas VARIETAS BENIH SORGUM (Sorghum Perlindungan
Gherrisyah Bengkulu bicolor L.) DENGAN MENGGUNAKAN TIGA Tanaman
METODE PENGUJIAN
5 UJI KESEHATAN BENIH BEBERAPA GALUR 10 Menit
Universitas Perlindungan
Airin Aulia Rahmi PADI RAWA DI BENGKULU DENGAN TIGA
Bengkulu Tanaman
METODE PENGUJIAN
6 PENGUJIAN KESEHATAN DELAPAN 10 Menit
Universitas Perlindungan
Rahelea Andera VARIETAS BENIH PADI SAWAH (ORYZA
Bengkulu Tanaman
SATIVA L.)DENGAN TIGA METODE

xviii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Room 5 (Perlintan - Bakteri)


Moderator : Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S.
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)
NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan
1 PENGUJIAN Bacillus thuringiensis DIPERBANYAK 10 Menit
Dr.Ir. Yulia Universitas PADA BAHAN LIMBAH PERTANIAN TERHADAP Perlindungan
Pujiastuti, MS Sriwijaya MORTALITAS LARVA Oryctes rhinoceros Tanaman
(Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM
2 KONSORSIUM BAKTERI ENDOFIT DALAM 10 Menit
FORMULASI AIR KELAPA MODIFIKASI UNTUK
Perlindungan
Nadya Ulfah Universitas Andalas PENGENDALIAN PENYAKIT HAWAR DAUN
Tanaman
BAKTERI DAN MENINGKATKAN PERTUMBUHAN
TANAMAN PADI
3 KEMAMPUAN Streptomyces SP. DALAM 10 Menit
MENGHAMBAT PERTUMBUHAN BAKTERI
Universitas Xanthomonas axonopodis PV. ALLII (Xaa.) Perlindungan
Ferdi Juanda
Bengkulu PENYEBAB PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI Tanaman
BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)
SECARA IN-VITRO
4 SCREENING BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) DARI 10 Menit
Universitas Bioteknologi
Dhea Amelia Sari EKOENZIM JERUK KALAMANSI (Citrus microcarpa)
Bengkulu Tanaman
DAN JERUK MANIS (Citrus sinensis)
5 TEKNIK ISOLASI BAKTERI PROBIOTIK DARI FECES 10 Menit
Universitas LUWAK SEBAGAI KOLEKSI SEDIAAN BAHAN Perlindungan
Zul Efendi
Bengkulu PENELITIAN DI LABORATORIUM PROTEKSI Tanaman
TANAMAN
6 POTENSI ANTIMIKROB BAKTERI DARI EKOENZIM 10 Menit
Universitas Bioteknologi
Reza Wahyuni NANAS (Ananascomosus) DAN PISANG (Musa
Bengkulu Tanaman
paradisiaca)

xix | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Room 6 (Agroekoteknologi – Ilmu Tanah – Biologi Pertanian)


Moderator : Nela Zahara, SP., M.Si
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)

NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan


1 PENINGKATAN HASIL PANEN TANAMAN PAKCOY, 10 Menit
Pusat Penelitian
SAWI PUTIH DAN KEMBANG KOL
Sri Wahyuni Bioteknologi dan Agroekoteknologi
MENGGUNAKAN ASAM HUMAT BERBASIS PSUC
Bioindustri Indonesia
DAN PSNC
2 Cicik Oktasari Balai Penelitian PENILAIAN STATUS LOGAM BERAT Pb DAN Cd 10 Menit
Handayani, S.Si., Lingkungan PADA TANAH DAN SAYURAN DI KECAMATAN Ilmu tanah
M.Sc. Pertanian KERTASARI, KABUPATEN BANDUNG
3 PENGARUH PUPUK ANORGANIK DAN PUPUK 10 Menit
Balai Penelitian
KANDANG TERHADAP KANDUNGAN C-ORGANIK ,
siska apriyani Lingkungan Agroekoteknologi
PERTUMBUHAN, DAN HASIL JAGUNG VARIETAS
Pertanian
NK 212 PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
4 Waktu Pemberian Mikoriza dan Dosis Kompos 10 Menit
Mira Senita Universitas Bengkulu Agroekoteknologi
Kulit Kopi pada Pertumbuhan dan Hasil Paprika
5 KEBERADAAN POPULASI LALAT TENTARA HITAM 10 Menit
(Hermentia illucens) PADA LAHAN BUDIDAYA
Ardli Swardana Universitas Garut Agroekoteknologi
PADI (Oryza sativa L.)-MARIGOLD (Tagetes
erecta)
6 SURVEI KEBERADAAN Spodoptera frugiperda J. E 10 Menit
SMITH (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) PADA
Haristia Dumeri Universitas Riau PERTANAMAN JAGUNG DI DESA KUALU, Biologi Pertanian
KECAMATAN TAMBANG, KABUPATEN KAMPAR,
PROVINSI RIAU
7 10 Menit
Isolasi Bakteri Endofit Asal Jaringan
Nela Zahara Universitas Bengkulu Biologi Pertanian
Tanaman Kacang Tanah

xx | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

Room 7 (Perlintan – Hama; Virus )


Moderator : Ir. Nadrawati, M.P.
Jadwal : Rabu, 1 Desember 2021 (13.00-14.20 WIB)

NO Nama Isntansi Judul Abstrak Bidang Ilmu Keterangan


1 KARAKTERISASI PARASITOID YANG 10 Menit
Universitas Perlindungan
Nadrawati BERASOSIASI DENGAN Diaphania indica
Bengkulu Tanaman
SAUNDERS PADA TANAMAN MELON
2 INSIDENSI Liriomyza spp. DAN Diaphania 10 Menit
Universitas Perlindungan
Aprilian Pitoyo spp. PADA TANAMAN MELON (Cucumis
Bengkulu Tanaman
melo L) DI DESA SRIKUNCORO
3 INVENTARISASI LALAT BUAH PADA 10 Menit
Novtiana Universitas TANAMAN CABAI DI KECAMATAN Perlindungan
Khamidah Bengkulu PONDOK KELAPA KABUPATEN BENGKULU Tanaman
TENGAH
4 INSIDENSI PENYAKIT DAN POPULASI 10 Menit
Universitas Perlindungan
Rahma Mutia Sari VEKTOR BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN
Bengkulu Tanaman
MELON (Cucumis melo. L) DI BENGKULU
5 INSIDENSI DAN KEPARAHAN PENYAKIT 10 Menit
Universitas Perlindungan
Andri Saputra HAWAR DAUN JAGUNG
Bengkulu Tanaman
(Helminthosporium spp.) DI BENGKULU
6 SEBARAN BANANA BUNCHY TOP VIRUS 10 Menit
M. Zendi Universitas DAN SERANGGA VEKTORNYA PADA Perlindungan
Gustrinata Bengkulu TANAMAN PISANG DI KOTA KOTA Tanaman
BENGKULU
7 Universitas Ratu KAJIAN HAMA DAN PENYAKIT 10 AKSESI Perlindungan 10 Menit
Tatik Raisawati
Samban TEMPUYUNG PADA BUDIDAYA ORGANIK Tanaman

xxi | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

MATERI KEYNOTE SPEECH

1. Triwidodo Arwiyanto

xxii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxiii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

2. Sri Hendrastuti Hidayat

xxiv | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxv | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

3. Agustin Zarkani, Ph.D

xxvi | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxvii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxviii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

4. Prof. Dr. M. Bora Kaydan

xxix | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxx | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxxi | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Universitas Bengkulu, Bengkulu 1 Desember 2021

xxxii | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

POPULASI DAN TINGKAT SERANGAN Citripestis sagittiferella (LEPIDOPTERA:


PYRALIDAE) PADA BUAH JERUK GERGA DI KECAMATAN TANJUNG SAKTI PUMI
KABUPATEN LAHAT

POPULATION AND ATTACK RATE OF Citripestis sagittiferella (LEPIDOPTERA:


PYRALIDAE) ON GERGA CITRUS FRUITS IN TANJUNG SAKTI PUMI DISTRICT,
LAHAT REGENCY

Arsi 1), Elvin Siswondo1, Suparman SHK1, Harman Hamidson1, Chandra Irsan1, Suwandi1, Yulia
Pujiastuti1, Nurhayati1, Abu Umayah1, Bambang Gunawan1, dan Reka Mayasari2
1)
Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
arsi@fp.unsri.ac.id
2)
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Palembang

ABSTRAK
Jeruk gerga (Cipetris L) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mendapat prioritas untuk
dikembangkan. Hal ini dikarenakan jeruk gerga memiliki nilai jual yang tinggi. Jeruk gerga banyak diminati
oleh masyarakat sehingga perlu dilakukan di budidaya tanaman tersebut lebih luas lagi. Jeruk memiliki
kandungan vitamin yang cukup untuk membantu mencukupi kebutuhan nutrisi di dalam tubuh. Jeruk
merupakan buah-buahan yang digemari masyarakat baik sebagai buah segar maupun olahan. Komoditas
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian petani.
Akan tetapi, di dalam budidaya jeruk terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas
jeruk adalah kehilangan hasil akibat serangan hama dan keterbatasan teknologi pengendaliannya. Hama
yang menyerang jeruk dapat menurunkan kualitas dan kuantitas jeruk tersebut. Peneltian ini bertujuan untuk
mengetahui populasi dan tingkat serangan serangan hama penggerek buah jeruk. Penelitian ini dilaksanakan
di perkebunan jeruk gerga yang berlokasi di empat desa. Metode dalam penelitian ini dengan cara
pengamatan langsung (Scan sampling) populasi hama dan tingkat serangan hama serta Purposive Sampling
dengan menghitung seluruh tanaman jeruk yang ada di setiap lahan. Penentuan skor gejala serangan hama
maupun populasi hama di lapangan ditentukan dengan mengamati gejala masing-masing serangan hama
pada buah jeruk. Berdasarkan hasil pengamatan jenis serangga yang menyerang jeruk gerga yaitu, C.
sagittiferella. Populasi dan intensitas serangan serangga ini masing-masing lahan bervariasi. Populasi
tertinggi terdapat di Desa Pulau panas yaitu, 80,25 ekor. Intensitas tertinggi serangan hama Citripestis
sagittiferella yaitu, 1,26 % di Desa Pulau panas dan persentasi serangan 14,50 % di Desa Tanjung Sakti.
Sehingga tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangga pengerek buah jeruk masih tergolong rendah.

Kata Kunci: Jeruk, Citripestis sagitiferella, persentasi serangan, intensitas serangan

ABSTRACT

Gerga orange (Cipetris L) is one of the horticultural commodities that has priority to be developed. This is
because grapefruit has a high selling value. Gerga oranges are in great demand by the community so it is
necessary to cultivate these plants more widely. Oranges contain sufficient vitamins to help meet the
nutritional needs of the body. Oranges are fruits that are favored by the community both as fresh and
processed fruits. Commodities that have high economic value, and make a major contribution to the farmers
economy. However, in citrus cultivation, there are several factors that cause low citrus productivity, namely
yield loss due to pest attacks and limited control technology. Pests that attack oranges can reduce the quality
and quantity of the oranges. This study aims to determine the population and the level of attack of the citrus
fruit borer. This research was carried out in a citrus plantation located in four villages. The method in this study
by direct observation (scan sampling) pest population and pest attack rate and purposive sampling by
counting all citrus plants in each field. Determination of the score of pest attack symptoms and pest
populations in the field is determined by observing the symptoms of each pest attack on citrus fruits. Based on
the results of observations of the types of insects that attack gerga oranges, namely, C. sagittiferella. The
population and intensity of attack of these insects varies from land to area. The highest population is in Pulau
Panas Village, which is 80.25 individuals. The highest intensity of attack by Citripestis sagittiferella was 1.26%

1
ISBN: 978-602-9071-32-0

in Pulau Panas Village and the percentage of attack was 14.50% in Tanjung Sakti Village. So the level of
damage caused by citrus fruit borer insects is still relatively low.

Keywords: Citrus, Citripestis sagitiferella, attack percentage, attack intensity

1. Pendahuluan

Jeruk rejang gerga lebong (RGL) (Citrus SP) merupakan salah satu komoditas yang
memiliki prospek agribisnis yang menguntungkan untuk dikembangkan (Rosmaiti et al.,
2019) dan merupakan salah satu buah-buahan yang banyak disukai konsumen, baik
dalam bentuk segar maupun olahan (Aprini, 2018). Di Indonesia, konsumsi buah jeruk
segar sebesar 3,25kg/kapita/tahun, di mana sekitar 592.34 kg pertahun diperkirakan dari
produksi domestik (Saputra et al., 2016) Jeruk ini adalah salah satu varietas lokal yang
berasal dari Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu
(Datika, et al 2018). Menurut (Adiartayasa et al., 2017) Tanaman yang memiliki beragam
spesies ini termasuk kelas tanaman biji berkeping dua dan banyak tumbuh di daerah
tropis. Jeruk ini mempunyai keunggulan yang kompetitif antara lain ukuran buah cukup
besar (200-350 gram), rasa manis asam segar, kadar sari buah yang cukup tinggi, serta
mempunyai potensi pasar yang cukup baik (Gabrienda et al, 2021). Buah jeruk
mengandung vitamin, mineral, protein, kalori dan serat yang baik untuk tubuh (Masyitah et
al., 2016; Rahmanda et al., 2021). Selain itu, buah jeruk juga mengandung beta karoten
dan thiamin (Dwiastuti, 2011). Daun jeruk dapat digunakan sebagai penyedap masakan
seperti daun jeruk purut (Fauzana et al., 2019). Menurut (Fauzana et al., 2019) batang
tanaman jeruk berkayu dan berbentuk silindris. Tanaman jeruk sendiri sangat bergantung
pada keadaan batang yang tumbuh tanpa dilakukan pemangkasan.. Tanaman jeruk
sendiri bisa berbunga 3 – 4 kali tiap tahunnya (Sukri dan Rakhmad, 2016). Menurut
(Sumiati et al., 2017), Buah jeruk berbentuk bulat atau lonjong dan dipangkalnya terdapat
tangkai buah yang pendek.

Usaha memenuhi kebutuhan buah jeruk gerga di Kabupaten Lahat menurut pedagang
masih mendatangkan buah jeruk dari pulau Jawa dan daerah lainnya. Rendahnya
produksi jeruk gerga di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor pembatasnya adalah adanya serangan hama dan penyakit tanaman
akibatnya dapat menghambat perkembangan dan pertumbuhan jeruk gerga (Zarliani et
al., 2021). Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman jeruk
adalah kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit serta pengendaliannya
(Rahayu et al., 2018). Salah satu serangan penggerek buah jeruk C. sagittiferella Moore
yang menurunkan produktivitas buah jeruk (Marthana et al., 2018). Larva serangga ini
dapat merusak buah jeruk sebesar 30-50% dari produksi buah jeruk (Sumiati et al., 2017).
Karena larva ini menyerang buah jeruk sampai ke daging buah jeruk, buah jeruk yang
terserang akan berlubang, mengeluarkan lendir dan terkadang tertutup oleh kotoran
(Desnada et al., 2021). Apabila serangan berat buah akan busuk dan jatuh ke tanah
(Muryati, 2007).

Serangga hama penggerek buah menyerang mulai dari umur buah 2-5 bulan terutama
jeruk yang di tanam di dataran tinggi. Stadium hidup yang berperan sebagai hama pada
serangga ini adalah fase larva (Adiartayasa et al., 2017). Serangga ini memiliki siklus
hidup telur sampai menjadi ngengat dewasa berlangsung 29-39 hari (Adiartayasa et al.,
2017). Serangga hama ini menyukai jeruk yang memiliki buah besar seperti, jeruk manis

2 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

(Navel Orange), grape fruit, dan satsuma. Jeruk keprok dan Siam relatif tidak disukai oleh
penggerek buah (Marthana et al., 2018). Serangan hama ini dipengaruhi oleh perangsang
senyawaan (Yuliana et al., 2017). Senyawaan kimia yang dihasilkan oleh tanaman dapat
berperan sebagai penolak atau penarik terhadap kehadiran serangga pada suatu areal
pertanaman (Candra, 2017). Sehingga pengendalian serangga hama ini harus dilakukan
dengan baik dan benar. Pengendalian tersebut harus tidak berdampak pada lingkungan
dan musuh alami (Sodiq, 2015). Oleh karena itu, perlu dicari alternatif lain dalam
pengendalian yang lebih aman terhadap lingkungan(Sumiati et al., 2017). Menurut
(Yessy, 2017) hama dan penyakit tanaman jeruk sangat penting diperhatikan, karena
berpengaruh terhadap produktivitas dan bahkan gagal panen, apabila hama dan penyakit
jeruk tidak dikelola dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui populasi
dan intensitas serangan hama penggerek buah jeruk.

2. Metode

Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan jeruk Kecamatan Tanjung Sakti Pumi,


Dilakukan di empat desa yaitu, Desa Pulau Panas, Desa Gunung Karto, Desa Pagar
Agung dan Desa Tanjung Sakti. Penelitian menggunakan alat yaitu, Alat Tulis, Cutter,
Kamera dan adapun Bahan yang digunakan yaitu, Buah Jeruk, kantong plastik, spidol dan
alkohol. Penelitian ini dimulai dengan melakukan observasi merupakan salah satu teknik
yang digunakan untuk melihat dan mengamati lahan yang akan digunakan untuk serta
untuk melihat tanaman apa saja yang banyak di tanam di daerah tersebut. Wawancara ini
dilakukan dengan cara melakukan percakapan langsung dan tanya jawab. Wawancara ini
dilakukan dengan petani atau pemilik lahan tersebut dan juga bagaimana cara petani
melakukan budidaya pada lahannya tersebut serta alasan dalam memilih tanaman.
Dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data yang nantinya akan
digunakan sebagai bukti nyata terhadap apa yang telah diteliti di lapangan, dengan
menggunakan Kamera Hand Phone. Hasil dokumentasi berupa foto-foto di lapangan yang
akan dilampirkan sebagai data personal peneliti.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kecamatan Tanjung Sakti PUMI Kabupaten Lahat

Menentukan tanaman sampel diawali dengan menghitung jumlah keseluruhan tanaman


jeruk di setiap lahan, didapatkan bahwasanyaa pada masing-masing lahan. Lahan yang
diamati memiliki populasi jeruk yang bervariasi yaitu, lahan 1 berjumlah 250 tanaman,
lahan 2 berjumlah 300 tanaman, lahan 3 berjumlah 500 tanaman dan lahan 4 berjumlah

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 3
ISBN: 978-602-9071-32-0

250 tanaman. Jumlah tanaman tersebut berbeda-beda tergantung dari luas lahan petani.
Masing-masing lahan miliki petani diambil sebanyak 25 tanaman per lahan. Jadi setiap
lahan disamakan jumlah tanaman jeruk, kemudian pada masing-masing lahan dilakukan
metode sampling yang digunakan adalah diagonal sampling sehingga didapatkan 5 titik
pengamatan yang mana satu titik pengamatan diambil 5 tanaman jeruk. Kemudian
diamati buah jeruk yang sehat dan buat jeruk yang terserang. Lalu dihitung intensitas
serangan dan persentase serangan penggerek buah jeruk. Buah-buah yang sakit
kemudian dibelah dihitung jumlah larva-larva yang terdapat pada buah tersebut.

= Lahan

= sub plot tanaman

Gambar 2. Sub plot pengambilan sampel penelitian di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi

Pengambilan sampel dan pengamatan pada penelitian ini dilakukan 1 kali dalam
seminggu dengan menghitung jumlah populasi dan intensitas serangan. Kemudian
diamati dan dikumpulkan secara langsung setiap buah jeruk gerga yang terserang dan
buah jatuh, lalu buah yang terserang dibuka untuk menghitung jumlah larva yang terdapat
dalam buah. Larva C. sagittiferella yang terlihat kemudian di hitung populasinya.
Intensitas serangan ditentukan melalui tingkat kerusakan setiap sample tanaman dengan
menggunakan tingkatan skor.

Keterangan:
I = Intensitas Serangan (%)
ni = Banyaknya tanaman yang terserang dengan skor ke-
i vi = Skor tanaman yang ke-i
N = Banyak ampel yang diamati
Z = Skor tertinggi pada pengamatan

Tabel 1. Skor intensitas serangan penggerek buah jeruk

Skor Gejala/deskripsi kerusakan

0 Tidak terdapat gejala

1 Terjadi kerusakan sebesar 25 %

2 Terjadi kerusakan sebesar 50 %

3 Terjadi kerusakan sebesar 75 %

4 Terjadi kerusakan sebesar 100 %

4 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei atau observasi secara langsung di
lapangan dengan pengambilan sampel yang dilakukan berbentuk diagonal (Diagonal
Sampling). Data yang diperoleh di dapat dari hasil pengamatan langsung ke lapangan dan
hasil wawancara dengan petani. Analisis data, Data-datang didapat disajikan dalam
bentuk deskritip, tabel, gambar dan histogram.

3. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada penelitian ini yang dilakukan pada 4
lahan petani jeruk. Didapatkan hasil bahwasanya hampir seluruh petani jeruk telah
menerapkan konsep pengelolaan hama terpadu untuk mengurangi hama pada tanaman
jeruk. Namun petani belum menyadari bahwa tindakan tersebut merupakan salah satu
konsep PHT petani menggunakan berbagai tindakan pengendalian untuk menangani
keparahan serangan hama dan juga untuk menekan suatu populasi hama serta untuk
mendapatkan hasil produksi yang baik. Pengelolaan lahan dengan konsep PHT yang
telah dilakukan petani meliputi kultur teknis, pengendalian mekanis dan kimiawi. Kultur
teknis yang digunakan oleh petani di ke empat desa tersebut adalah dengan
menggunakan cara bercocok tanam seperti jarak tanam dengan jarak tanam setiap petani
berkisar antara 6 meter x 6 meter Tujuan petani membuat jarak tanam adalah agar
tanaman mampu tumbuh lebih baik. Petani juga melakukan pemilihan varietas yang di
mana juga merupakan salah satu konsep dari PHT secara kultur teknis,varietas yang
digunakan petani yaitu jeruk RGL (rimao gerga lebong) yang merupakan hasil persilangan
jeruk manis (Citrus sinensis Osbeck) dan jeruk keprok (Citrus reticulta Blanco).
Pengendalian mekanis yang dilakukan petani di keempat desa yang diamati meliputi
pengendalian dengan cara memunguti langsung buah jeruk yang terserang kemudian
dikubur di dalam tanah tujuannya sendiria adalah untuk mengurangi atau membunuh
hama yang menyerang buah jeruk. Dan pengendalian kimiawi yang digunakan petani
yaitu menggunakan pestisida

Lahan jeruk yang digunakan oleh petani pada dasarnya adalah jenis tanah kering, dengan
topografi datar, bergelombang dan miring. Jarak tanam yang diterapkan oleh petani
beragam disesuaikan dengan luas lahan petani tersebut, 6 m x 6 m, 5 m x 5 m, 5 m x 4 m
dan 6 m x 6 m. Vegetasi di sekitar lahan beragam, namun mayoritas vegetasi di sekitar
adalah tanaman kopi. Teknik budidaya yang dilakukan oleh petani pada tahapan awal
adalah pengolahan lahan. Alat yang digunakan petani untuk mengolah lahan tersebut ada
cangkul, linggis dan parang. yang digunakan untuk mengolah lahan yang cukup luas.
Petani melakukan penyiram dengan menggunakan selang.

Bibit jeruk yang digunakan oleh petani didapat dari pemesanan ke Jaya Bibit Purworejo
dan pesan ke tempat pembibitan sekitarnya. Bibit tidak disemai terlebih dahulu, melainkan
langsung ditanam di tanah. Varietas yang umum digunakan petani untuk jenis jeruk
adalah Keprok RGL(Rimau Gerga Lebong). Dari keempat petani, semuanya melakukan
penyiangan gulma. Beberapa pengendalian tanaman yang diterapkan oleh para petani
adalah pengendalian secara kimiawi menggunakan pestisida. Macam pestisida yang
digunakan yaitu insektisida, fungisida dan herbisida. Frekuensi dan dosis penyemprotan
masing-masing pestisida berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi
tanaman. Pemanenan jeruk dilakukan oleh petani dengan menghitung umur buah atau
melihat cirinya yang sudah matang berwarna kuning dari buah tersebut. Masa panen

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 5
ISBN: 978-602-9071-32-0

untuk jeruk sendiri adalah setelah buah berumur 5-6 bulan. Kemasan yang digunakan
untuk distribusi jeruk adalah kotak kayu, dan sebelum dimasukan ke kotak jeruk disortir
terlebih dahulu untuk melihat jeruk yang berkualitas baik dan yang kurang baik. Biaya
produksi disesuaikan dengan luas lahan dari setiap petani. Semakin luas lahan petani,
maka semakin tinggi biaya produksi yang dikeluarkan.

Serangga hama yang menyerang buah jeruk yaitu, Citripestis sagittiferella, family
Pyralidae, ordo Lepidoptera. Gejala serangan yang disebabkan oleh penggerek buah
jeruk (C. sagittiferella) dengan gejala serangannya berupa gerekan sampai ke daging
buah sehingga terlihat bekas lubang gerekan yang mengeluarkan lendir, yang kadang-
kadang tertutup dengan kotoran. Buah-buah jeruk akan mengalami busuk akibat gerekkan
dari larva tersebut. Jika buah yang terserang dalam kondisi parah, buah-buah tersebut
akan jatuh dan busuk. Buah yang tersebut sebaiknya diambil dan dikumpulkan, lalu buat
tersebut dimusnahkan dengan cara dibuat lubang sedalam 30 cm kemudian buah yang
busuk tadi dimasukkan ke dalam lubang tersebut. Lalu ditutup dengan tanah, hal ini
bertujuan untuk mengurangi populasi serangga dan salah satu pengendalian yang
dilakukan petani setempat (Gambar 2).

Gambar 2. Tanaman jeruk gerga (A), buah-buah jeruk gerga terserang pengerek buah (B), gejala
jeruk terserang penggerek buah (C) (D).

Buah jeruk yang baik memiliki kulit yang mulus dan berwarna orange yang cerah. Jika
buah jeruk di potong tidak terdapat bekas gerekkan larva C. sagittiferella. Jika buah jeruk
yang terserang terdapat bekas kotoran yang menempel pada bagian kulit jeruk. Larva
akan masuk ke dalam buah jeruk sampai menjadi pupa. Apabila buah jeruk dibelah akan
tampak bekas gerekkan oleh larva tersebut dan akan terdapat larva C. sagittiferella
(Gambar 3).

6 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Gambar 3. Buah jeruk sehat (A), buah jeruk yang terserang penggerek buah (B), penampakan
buah jeruk sehat (C) dan penampakan jeruk terserang penggerek buah (D)

Larva C. sagittiferella menyerang buah jeruk belum matang. Buah yang terserang akan
berwarna coklat pada sekitar lubang bekas gerekkan dan akan membuat buah menjadi
busuk. Ciri-ciri larva C. sagittiferella pada bagian caput akan berwarna coklat tua, pada
bagia tubuh akan berwarna coklat muda yanng transfaran dan bagian tubuh terdapat
bintik-bintik warna hitam dan agak berbulu (Gambar 4).

Gambar 4. Gejala serangan penggerek buah jeruk (A) dan larva C. sagittiferella pada jeruk.

Hasil penelitian menunjukkan populasi larva C. sagittiferella pada pengamatan pertama di


Desa Pagar Agung memiliki buah yang terserang sebesar 78 buah, akan tetapi pada
pengamatan keempat desa Pulau panas jumlah buah yang terserang meningkat
sebanyak 79 buah. Buah-buah yang terserang pada masing-masing desa mengalami
penurunan pada pengamatan kedua dan ketiga. Hal ini diduga jumlah buah yang
dihasilkan oleh tanaman juga menurun. Jika buah jeruk meningkat maka jumlah buah
jeruk juga meningkat. Akan tetapi, pengaruh pengendalian dan perawatan juga dapat
menimbulkan penurunan jumlah buah jeruk yang terserang (Gambar 5)

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 7
ISBN: 978-602-9071-32-0

90
78 79

Jumlah buah yang terserang


80 65
62 63 64 68
70
60 51 56 53 57
50 48 47
46 43 Pulau panas
40 34 Pagar agung
30
Gunung karto
20
10 Tanjung sakti
0
1 2 3 4
Pengamatan ke...

Gambar 5. Jumlah buah jeruk yang terserang larva C. Sagittiferella


di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi

Populasi larva C. sagittiferella yang menyerang buah jeruk memiliki variasi pada masing-
masing desa. Populasi larva yang tertingga terdapat pada pengamatan pertama di desa
Pagar Agung sebanyak 81 ekor. Akan tetapi, pengamatan kedua sampai pengamatan
ketiga populasi larva paling banyak pada desa Pulau Panas. Di desa Pulau panas
populasi larva C. sagittiferella paling banyak pada pengamatan keempat sebanyak 93
ekor. Selain jumlah buah yang terserang banyak, setiap buah jeruk bisa ditemukan
1sampai 2 ekor larva C. sagittiferella (Gambar 6).

100
93
89
90
81 79 82
7677
Populasi larva pada buah jeruk

80 73 71 72
67 69
70 65 66 64
60
47 Pulau panas
50
Pagar agung
40
Gunung karto
30
Tanjung sakti
20
10
0
1 2 3 4
Pengamatan ke...

Gambar 6. Populasi larva C. sagittiferella pada buah jeruk gerga setiap pengamatan
di KecamatanTanjung Sakti Pumi

Persentase serangga larva C. sagittiferella pada buah jeruk gerga tergolong rendah, hal
ini dapat di lihat dari hasil pengamatan yang dilakukan sebanyak empat kali. Persentase
serangan paling tinggi pada pengamatan pertama yaitu, 4,1 % pada di Desa Tanjung
Sakti. Persentase serangan larva C. sagittiferella pada pengamatan kedua dan ketiga
mengalami penurunan. Akan tetapi, pada pengamatan keempat mengalami peningkatan
pada desa Pulau Panas. Hal ini dapat dipengaruhi oleh populasi buah yang terserang dan
jumlah buah yang dihasilkan oleh tanaman jeruk. Selain itu, tingkat pengendalian dan
sanitasi lingkungan pada masing-masing petani. Diduga penurunan dan peningkatan

8 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

persentase serangan dipengaruhi oleh cara budidaya dan monitoring petani terhadap
jeruk yang di tanaman (Gambar 7).

5.0
4.5
4.5 4.1
Persentasi buah terserang (%) 4.0 3.7 3.7 3.7
3.5
3.5 3.2 3.53.3
3.4 3.3
2.9
3.0 2.72.72.5 Pulau panas
2.5
2.0 Pagar agung
2.0
Gunung karto
1.5
Tanjung sakti
1.0
0.5
0.0
1 2 3 4
Pengamatan ke...

Gambar 7. Persentasi buah jeruk yang terserang larva C. Sagittiferella pada buah jeruk gerga
setiap pengamatan di KecamatanTanjung Sakti Pumi

Peningkatan serangan C. sagittiferella ini disebabkan oleh umur buah, semakin masak
buah maka persentase serangan akan semakin tinggi. Menurut Muryati (2007) tingkat
serangan penggerek secara nyata dipengaruhi oleh umur buah, di mana semakin
meningkat umur buah tingkat serangan semakin meningkat. Ngengat C. sagitiferella
mempunyai preferensi yang lebih tinggi terhadap minyak atisiri dari kulit buah jeruk yang
berumur 6 bulan dari pada minyak atsiri kulit buah jeruk umur 2 bulan, ini disebabkan
oleh adanya perbedaan konsentrasi dan jumlah komponen senyawa atsiri yang
dihasilkan oleh kulit buah jeruk yang berumur 2 dan 6 bulan (Muryati, 2005).
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap intensitas serangan larva terhadap buah jeruk
pada masing-masing desa tidak berpengaruh terhadap hasil panen, akan tetapi apabila
hal ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan intensitas serangan yang parah
terhadap hasil produksi buah jeruk. Intensitas tertinggi yaitu, 1,8 % di desa Pulau Panas
pada pengamatan keempat, hal ini disebabkan buah yang matang banyak ditemukan di
desa tersebut (Gambar 8).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 9
ISBN: 978-602-9071-32-0

2.0
1.8 1.8
1.6

Intensitas serangan (%)


1.4 1.4 1.3 1.3
1.3
1.2 1.2 1.2
1.1 1.1 1.1 1.1 1.1
1.0 1.0 Pulau panas
0.9 0.9
0.8 0.8 Pagar agung
0.6 Gunung karto
0.4 Tanjung sakti
0.2
0.0

1 2 3 4
Pengamatan ke...

Gambar 8. Intensitas serangan larva C. Sagittiferella pada buah jeruk gerga setiap pengamatan
di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi

Berdasarkan hasil pengamatan buah sehat yang terdapat pada masing-masing lahan
penelitian, buah yang sehat banyak ditemukan di desa Pagar Agung yaitu, 29 %. Buah
sehat tersebut merupakan buah yang tidak terserang oleh penggerek buah. Akan tetapi,
pada desa Pagar Agung buah yang terserang sebanyak 29 % lebih banyak dari desa
yang lain. Akan tetapi perbandingan buah sehat dan buah sakit selama pengamatan 3,32
% untuk desa Pagar Agung. Kerusakan buah pada masing-masing desa berdasarkan
hasil pengamatan memiliki tingkat masih rendah paling tinggi 3,61 % desa Tanjung Sakti,
sedangkan desa Gunung Karto yaitu, 2,87 % dan desa Pulau Panas yaitu, 3,32 %
(Gambar 9).

Gambar 9. Persentase buah jeruk sehat dan buah jeruk terserang larva C. Sagittiferella pada
masing-masing desa di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan keempat petani jeruk gerga yang
berbeda di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi, Kabupaten Lahat dapat disimpulkan bahwa
sudah hampir semua petani menerapkan Konsep PHT mulai dari budidaya secara kultur
teknis, pengendalian secara mekanik dan kimiawi. Namun petani belum menyadari
bahwa

10 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

tindakan tersebut merupakan salah satu konsep PHT, karena berbagai faktor yang
menyebabkan mereka kurang memahami PHT sebagai tindakan preventif melalui
pengintegrasian pengendalian kultur teknis ke dalam sistem budidaya jeruk.Populasi dan
intensitas serangan hama C. sagittiferella yang berbeda-beda lahan penelitian. Larva C.
sagittiferella tertinggi ditemukan di Desa Pulau Panas selama pengamatan sebanyak 321
ekor, dengan populasi larva tertinggi pada pengamatan keempat 93 larva/pohon, Jumlah
buah yang terserang larva C. sagittiferella tertinggi di desa Pagar Agung yaitu, 263 buah
dengan rata-rata 65,75 buah/perpengamatan. Persentase serangan tertinggi yaitu, 4,5
dengan intensitas serangan yaitu 1,8 % di Desa Pulau panas.

Daftar Pustaka

Adiartayasa, W., Sritamin, M. & Puspawati, M. (2017). Hama dan penyakit pada tanaman
jeruk serta pengendaliannya, 16(1), pp. 51–57.
Aprini, N. (2018). Perancangan sistem informasi agribisnis di desa gunung agung pauh
kecamatan dempo utara kota pagar alam berbasis web, Jurnal Informatika, 7 No.1,
pp. 25–37.
Candra, R. M. (2017). Diagnosa Hama dan Penyakit pada Tanaman Jeruk dengan
Menerapkan Jaringan Syaraf Tiruan Learning Vector Quantization ( Studi Kasus :
Badan Penyuluhan Pertanian Kuok ), 3(2), pp. 59–62.
Datika, W., Anang, R. H. & Abubakar, R. (2018). Motivasi Membangun Kebun Jeruk
Keprok Rgl ( Rimau Gerga Lebong ) Di Kelurahan Agung Lawangan Kecamatan
Dempo Utara Kota Pagar Alam ( Studi Kasus Sidarhan Pemilik Kebun Jeruk Keprok
Rgl ), Jurnal Societa, 7(1), pp. 40–50.
Desnada, S, Dwinardi, A., & Supanjani (2021). Efektifitas Cahaya Lampu LED untuk
Pengendalian Penggerek Buah Citripestis sagittiferella pada Jeruk Rimau Gerga
Lebong (RGL), Prosiding Seminar Nasional Pembangunan dan Pendidikan Vokasi
Pertanian, 2(1), pp. 280–293. doi: 10.47687/snppvp.v2i1.176.
Dwiastuti, M. E. (2011). Panduan Teknis Pengenalan daan Pengendalian Hama dan
Penyakit Tanaman Jeruk.
Fauzana, H, Rustam, R, Nelvia, N, Elfina, Y., & Ali, M. (2019). Pengenalan dan
pengendalian hama jeruk siam di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu
Kabupaten Kampar, Unri Conference Series: Community Engagement, 1, pp. 180–
185. doi: 10.31258/unricsce.1.180-185.
Gabrienda, G., Murtiningrum, F., & Oktoyoki, H. (2021). Analisis pemasaran jeruk gerga di
kecamatan rimbo pengadang kabupaten lebong, Jurnal Media Ekonomi, 26(1), pp.
45–55.
Marthana, K. A., Bagus, I. G. N., & Susila, I. W. (2018). Persebaran , Populasi dan
Persentase Serangan Citripestis sagittiferella Moore ( Lepidoptera : Pyralidae ) pada
Buah Jeruk Besar di Kabupaten Bangli dan Gianyar, Jurnal Agroekoteknologi
Tropika, 7(4), pp. 457–466.
Masyitah, M., Arief, I. I., & Suryati, T. (2016). Kandungan gizi dan Organoleptik Sie
Reuboh dengan Penambahan Cuka Aren (Arenga pinnata) dan Daun Jeruk Purut
(Citrus hystrix) pada Konsentrasi yang Berbeda, Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi
Hasil Peternakan, 4(1), pp. 239–245. doi: 10.29244/jipthp.4.1.239-245.
Muryati. (2007). Pengaruh Umur Buah dan Faktor Iklim terhadap Serangan Penggerek
Buah Jeruk Citripestis sagitiferella Mr . ( Lepidoptera : Pyralidae ), 17(2), pp. 188–
195.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 11
ISBN: 978-602-9071-32-0

Rahayu, P, Yuliadhi, A, Ketut., & Susila, W. (2018) Persebaran , Populasi dan Persentase
Serangan Citripestis sagittiferella Moore ( Lepidoptera : Pyralidae ) di Sentra
Pertanaman Jeruk Provinsi Bali, 7(3), pp. 374–382.
Rahmanda K.W, A. F., Sukardi, S., & Warkoyo, W. (2021). Karakterisasi Sifat Fisikokimia
Pektin Kulit Jeruk Keprok Batu 55 (Citrus reticulata B), Jeruk Siam (Citrus nobilis var.
microcarpa), Jeruk Manis Pacitan (Citrus sinensis L, Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia
swigle), dan Jeruk Lemon (Citrus limon L) yang T, Food Technology and Halal
Science Journal, 4(2), pp. 124–141. doi: 10.22219/fths.v4i2.15643.
Rosmaiti, R., Saputra, I., & Yusnawati, Y. (2019). Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk
Pengembangan Tanaman Jeruk (Citrus, sp) Di Desa Jambo Labu Kecamatan Birem
Bayeun Kabupaten Aceh Timur, Jurnal Ilmiah Pertanian, 16(1), pp. 64–73. doi:
10.31849/jip.v16i1.2430.
Saputra, R., Hindarto, K. S., & Fahrurrozi. (2016). Evaluasi kesesuaian lahan untuk
pengembangan jeruk Gerga (Citrus sp.) di Kecamatan Rimbo Pengadang dan Topos
Kabupaten Lebong.
Sodiq, M. (2015). Ketahanan Tanaman Terhadap Hama, Jurnal Saintek, 4, p. 53.
Sukri, I. M. Z., & Rakhmad, H. (2016). Penanganan Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk
Dalam Desain Sistem Pakar Diagnosis Penyakit Menggunakan Metode Euclidean
Distance, Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, pp. 146–
154.
Sumiati, A, Julianto, D., & Prakoso, R. (2017). Analisis residu pestisida pada jeruk manis
di kecamatan dau, malang, 17(1), pp. 19–24.
Yessy R, L, S. (2017). Kajian Ekstraksi Pektin Dari Limbah Jeruk Rimau, 11(2), pp. 68–
74.
Yuliana, C, Dinarti, D., & W. Winarso (2017). Pengelolaan Pemangkasan Jeruk Keprok
(Citrus sp.) Di Kebun Blawan, Bondowoso, Jawa Timur, 5(3), pp. 393–399.
Zarliani, W, O, A, Wardana, Mustari, L, O, M, Muzuna., & Ajo, A. (2021). Penyuluhan
pengendalian dan pencegahan organisme pengganggu tanaman jeruk siompu di
Kecamatan Siompu Kabupaten Buton Selatan, Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat Membangun Negeri, 5(1), p. 227.

Ucapan Terima Kasih

Program Studi Proteksi Tanaman, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sriwijaya dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Sriwijaya

12 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

PENILAIAN STATUS LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA TANAH DAN SAYURAN DI


KECAMATAN KERTASARI, KABUPATEN BANDUNG

ASSESSMENT OF THE STATUS OF HEAVY METALS Pb AND Cd IN SOIL AND


VEGETABLES IN KERTASARI DISTRICT, BANDUNG REGENCY

Cicik Oktasari Handayani, Dolty Mellyga Wangga Paputri, dan Anik Hidayah

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian


cicik.oktasari@gmail.com

ABSTRAK

Lahan budidaya tanaman hortikultura merupakan lahan yang produktif dan tinggi penggunaan bahan
agrokimianya. Logam berat yang ada pada bahan agrokimia akan terakumulasi pada tanah dan produk
pertanian jika diaplikasikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Penelitian ini bertujuan
untuk menilai status konsentrasi logam berat Pb dan Cd yang ada pada tanah dan sayuran yang ditanam
pada salah satu sentra hortikultura di Kabupaten Bandung yaitu di Kecamatan Kertasari. Metode yang
digunakan adalah metode survey pengambilan sampel tanah dan sayuran pada lahan petani sebanyak 9 titik
lokasi yang ditentukan secara grid pada satuan (unit) lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
logam berat Pb dan Cd terdeteksi pada lahan pertanian hortikultura di Kecamatan Kertasari dengan
konsentrasi di bawah baku mutu. Konsentrasi logam berat Pb dan Cd pada sayuran telah melebihi baku mutu
di 3 lokasi. Nilai Faktor biokensentrasi logam pada sayuran berkisar antara 0-2 sehingga tidak berpotensi
sebagai akumulator logam berat.

Kata kunci: logam berat, tanah, sayuran

ABSTRACT

Horticultural cultivation land is a productive land and high use of agrochemicals. Heavy metals present in
agrochemicals will accumulate in soil and agricultural products if applied continuously and over a long period
of time. This study aims to assess the status of heavy metal concentrations of Pb and Cd in soil and
vegetables grown in one of the horticulture centers in Bandung Regency, in Kertasari District. The method
used is a survey method for sampling soil and vegetables on farmer's land as many as 9 location points
determined by grid on land units. The results showed that concentrations of heavy metals Pb and Cd were
detected in horticultural farms in Kertasari District with concentrations below the quality standard. The
concentration of heavy metals Pb and Cd in vegetables has exceeded the quality standard in 3 locations. The
value of the metal bioconcentration factor in vegetables ranges from 0-2 so it has no potential as an
accumulator of heavy metals.

Keywords: heavy metals, soil, vegetables

13
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Kecamatan kertasari merupakan salah satu sentra hortikultura pada lahan kering dataran
tinggi di Kabupaten Bandung. Beberapa sayuran yang ditanam di lahan pertanian
Kecamatan Kertasari antara lain kubis, kentang, wortel, seledri, daun bawang, dan
tanaman lainnya (BPS Kecamatan Kertasari, 2020). Penggunaan bahan-bahan agrokimia
seperti pupuk kimia dan pestisida pada pertanaman sayuran di Kecamatan Kertasari
sudah sangat tidak efisien hingga berakibat pada penurunan produksi sayuran terutama
pada pertanaman kubis (Masithoh et al., 2013).
Dampak dari penggunaan bahan agrokimia pada budidaya sayuran yang dilakukan
secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama juga akan berdampak buruk
terhadap lingkungan. Kandungan logam berat yang ada pada bahan agrokimia akan
terakumulasi pada tanah dan produk pertanian. Sayuran mudah menyerap logam berat
melalui akar sayuran, dan dapat terakumulasi pada bagian sayuran yang dapat
dikonsumsi dengan tingkat konsentrasi logam yang tinggi, terlepas dari konsentrasi logam
berat di dalam tanah (Jolly et al., 2013). Sayuran yang terkontaminasi logam berat jika
dikonsumsi oleh masyarakat akan memberikan berdampak terhadap kesehatannya
(Ametepey et al., 2018). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
status konsentrasi logam berat yang ada pada tanah dan sayuran di Kecamatan
Kertasari, Kabupaten Bandung.

2. Metode
Penelitian ini dilakukan di lahan pertanian Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung
tahun 2018. Metode yang digunakan adalah metode survey pengambilan sampel tanah
dan sayuran pada lahan petani sebanyak 9 titik lokasi yang ditentukan secara grid pada
satuan (unit) lahan. Sampel tanah diambil secara komposit dengan setiap sampel terdiri
dari 5-10 sampel individual (subsampel) yang ditetapkan secara diagonal pada setiap
petak lahan. Sampel sayuran diambil pada lokasi yang sama dengan lokasi pengambilan
sampel tanah. Sampel tanah dan sayuran yang diperoleh dari lapangan dianalisa
kandungan logam berat Pb dan Cd. Metode analisa logam berat pada sampel tanah dan
bawang merah dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorbption Spectrophotometer
(AAS) yang mengacu pada Eviati & Sulaeman (2009). Pengamatan parameter logam
berat pada sampel tersebut dilakukan di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian
Lingkungan Pertanian (Balingtan), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. Hasil analisis logam berat pada tanah dan bawang merah
dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditetapkan Alloway (1995) dan BPOM RI
(2018). Nilai faktor biokonsentrasi didapat dari rasio logam pada tanaman dengan logam
yang ada pada tanah (Ghosh and Singh, 2013).

Menurut Baker (1981), tanaman dibagi dalam tiga kategori berdasarkan nilai
biokonsentrasi (BCF) yang diperoleh yaitu tanaman sebagai metal accumulator jika
memiliki nilai biokonsentrasi (BCF) > 1, tanaman sebagai metal excluder memiliki nilai
biokonsentrasi (BCF) < 1 dan tanaman sebagai metal indicator dengan nilai
biokonsentrasi (BCF) mendekati satu. Pada tanaman yang dikonsumsi oleh manusia
seperti sayuran tentunya sangat tidak diharapkan memiliki nilai BCF >1.

14 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: Seminar Nasional Perlintan UNIB PEI-PFI Komda Bengkulu 2021

3. Hasil dan Pembahasan


Lahan pertanian secara alami telah memiliki kandungan logam berat dengan
konsentrasi yang sangat rendah dan akan bertambah jika ada aktifitas antropogenik
seperti penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan. Aplikasi penggunaan pupuk dan
pestisida kimia pada lahan pertanian dan limbah pada air irigasi merupakan sumber
utama logam berat dari proses antropogenik ke lahan pertanian (Hou et al, 2014).
Konsentrasi logam berat pada tanah
Konsentrasi logam berat Pb yang terdeteksi pada semua lokasi pengambilan sampel
tanah di lahan pertanian Kecamatan Kertasari dengan nilai berkisar antara 16,09 ppm –
30 ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat Pb pada tanah masih
jauh di bawah baku mutu logam berat yaitu 100 ppm (Alloway, 1995).

35.00

30.00

25.00
Konsentrasi Pb (ppm)

20.00

15.00

10.00

5.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kode Sampel

Gambar 1. Nilai konsentrasi logam berat Pb pada tanah

Konsentrasi logam berat Cd terdeteksi pada semua lokasi pengambilan sampel tanah di
lahan pertanian Kecamatan Kertasari. Konsentrasi logam Cd berkisar antara 1,41 ppm-
2,92 ppm, hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi logam Cd pada lahan pertanian
di Kecamatan Kertasari masih di bawah baku mutu logam Cd yaitu 3 ppm (Alloway,
1995).

3.50
3.00
Konsentrasi logam Cd (ppm)

2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kode sampel

Gambar 2. Nilai konsentrasi logam berat Cd pada tanah

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 15
ISBN: 978-602-9071-32-0

Konsentrasi logam berat pada sayuran


Konsentrasi logam Pb terdeteksi pada beberapa sampel sayuran dan ada 3 sampel yang
telah melebihi baku mutu, sedangkan logam Cd terdeteksi hanya ada 1 sampel yang tidak
terdeteksi dan ada 7 sampel yang konsentrasi logam Cdnya telah melebihi baku mutu.
Sampel sayuran yang telah melebihi baku mutu logam Pb dan Cd ditemukan pada 3
lokasi pengambilan sampel dengan jenis sayuran yaitu daun bawang dan kubis.

Tabel 1. Konsentrasi logam berat Pb dan Cd pada sayuran di Kecamatan Kertasari

Kode Pb Cd
Jenis sayuran
sampel (ppm) (ppm)
1 daun bawang <LoD 0,60
2 daun bawang 0,06 <LoD
3 Kentang <LoD 0,40
4 daun bawang 0,35 0,22
5 Kubis 0,27 0,61
6 daun bawang 0,17 0,25
7 daun bawang 0,27 0,07
8 daun bawang <LoD 0,12
9 daun bawang <LoD 0,04
Baku mutu (BPOM, 2018) 0,20 0,05

Nilai Faktor Biokonsentrasi logam /Bioconcentration Factor (BCF)


Nilai BCF merupakan nilai untuk mengetahui potensi sayuran dalam
mengakumulasi logam berat. Nilai BCF>1 pada tanaman menunjukkan bahwa tanaman
tersebut berpotensi sebagai akumulator logam berat dan biasanya terdapat pada tanaman
yang digunakan untuk meremediasi logam berat pada tanah tercemar. Nilai BCF pada
bawang merah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

0.2500
Factor

0.2000
(BCF)
Bioconcentra
tion

0.1500

0.1000 TFPb
TFCd
0.0500
NIlai

0.0000
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kode sampel

Gambar 3. Nilai Biokonsentrasi Faktor logam Pb dan Cd pada beberapa sayuran

Nilai BCF untuk konsentrasi logam berat Pd dan Cd semuanya dibawah 1, hal tersebut
tentunya baik untuk tanaman yang dikonsumsi oleh masyarakat seperti sayuran. Sayuran
diharapkan memiliki BCF dengan nilai 0 atau mendekati 0. Faktor biokonsentrasi (BCF) ini

16 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

pada dasarnya adalah suatu perhitungan yang dapat digunakan untuk menduga tanaman
dapat dijadikan sebagai agen fitoremediasi atau tidak, dan biasanya dihitung untuk
konsentrasi logam berat pada tajuk dan akar tanaman bukan pada umbi tanaman.
Tanaman yang diharapkan menjadi agen fitoremediator adalah tanaman yang mampu
mengakumulasi logam berat pada tajuk dan akar dan tentunya bukan tanaman yang
dikonsumsi oleh manusia.

4. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat Pb dan Cd
terdeteksi pada lahan pertanian hortikultura di Kecamatan Kertasari dengan konsentrasi
berkisar antara 16,09 ppm – 30 ppm. Konsentrasi logam berat Pb dan Cd pada sayuran
telah melebihi baku mutu di 3 lokasi, dan konsentrasi logam Cd telah melebihi baku mutu
di 7 lokasi dari 9 lokasi yang diambil sampel sayurannya. Nilai Faktor biokensentrasi
logam pada sayuran berkisar antara 0-0,2 sehingga tidak berpotensi sebagai akumulator
logam berat. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan pada akhir musim
kemarau sehingga dapat mengetahui konsentrasi logam berat pada tanah dan sayuran
yang tidak terpengaruh pada air hujan yang dapat menyebabkan mobilisasi logam berat.

Daftar Pustaka
Alloway, B.J. (1995). Heavy Metal in Soils. John Willey and Sons Inc. New York.
Ametepey, S. T., Cobbina, S. J., Akpabey, F. J., Duwiejuah, A. B., & Abuntori, Z. N.
(2018). Health risk assessment and heavy metal contamination levels in vegetables
from tamale metropolis, Ghana. International Journal of Food Contamination, 5(1).
https://doi.org/10.1186/s40550-018-0067-0
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2018). Peraturan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat
Dalam Pangan Olahan.
Badan Pusat Statistik. (2020). Kecamatan Kertasari dalam angka 2019.
Baker, A. J. M. (1981). Accumulators and Excluders-Strategies in The Response of Plants to Heavy Metals. J. Plant Nutr. 3, 643-654

Eviati., & Sulaeman. (2009). Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Petunjuk
Teknis Edisi 2. Balai Penelitian Tanah Bogor. http://balittanah.litbang.deptan.go.id.
ISBN 978-602-8039-21-5.
Ghosh, M., & S. P. Singh. (2013). Comparative Uptake and Phytoextraction Study of Soil
Induced Chromium by Accumulator and High Biomass Weed Spesies. J. Applied
Eco. and Enviro Research, (3), 67–69.
Hou, Q., Yang, Z., Ji, J., Yu, T., Chen, G., Li, J., Xia, X., Zhang, M., & Yuan, X., (2014).
Annual Net Input Fluxes of Heavy Metals of The Agroecosystem in The Yangtze
River Delta, China. J. Geochem. Explor. 139(1), 68–84
Jolly, Y. N., Islam, A., & Akbar, S. (2013). Transfer of metals from soil to vegetables and
possible health risk assessment. SpringerPlus, 2(1), 1–8.
Masithoh, S., Nahraeni, W., & Prahari, B. (2013). Analisis efisiensi penggunaan faktor-
faktor produksi usaha tani kubis (Brassica oleracea) di Kertasari, Bandung, Jawa
Barat. Jurnal Pertanian, 4(2), 100–108.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 17
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

POTENSI CENDAWAN FUSARIUM NON PATOGENIK DALAM PERTANIAN RAMAH


LINGKUNGAN
Biodegradasi, Biokontrol, dan Pemacu Pertumbuhan Tanaman Jagung

THE POTENTIAL OF NON PATHOGENIC FUSARIUM IN ECO-FRIENDLY


AGRICULTURE
Biodegradation, Biocontrol and Maize Plant Growth Stimulator

Ria Fauriah1), Aji Ispatrika1), Nurasiah Djaenuddin2), Itji Diana Daud3), dan Nur Amin3)
1)
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
riafauriah@gmail.com
2)
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
asiahdjaenuddin@gmail.com
3)
Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UniversitasHasanuddin
itfir@yahoo.com, nuramin_62@yahoo.com

ABSTRAK
Fusarium non patogenik merupakan salah satu dari sekian banyak cendawan berguna yang dapat berperan
sebagai antagonis pada patogen tanaman. Selain itu, beberapa spesiesnya dapat mendegradasi senyawa
pestisida sintetik tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi cendawan Fusarium non
patogenik dalam mendegradasi senyawa karbosulfan, mengendalikan patogen Curvularia sp., dan sekaligus
memacu pertumbuhan tanaman jagung. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit, Balai Penelitian
Tanaman Serealia, Maros pada bulan Januari hingga April 2021. Penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu (1)
Pengujian toleransi isolat terhadap karbosulfan pada media PDA, (2) pengujian aktivitas antagonis terhadap
Curvularia sp., dan (3) pengujian vigor benih. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan membandingkan perlakuan dengan kontrol. Hasil menunjukkan bahwa isolat Fusarium
toleran pada senyawa karbosulfan pada konsentrasi 600 mL/L pada media PDA, isolat Fusarium juga mampu
menghambat pertumbuhan patogen Curvularia sp. hingga 72,50 %, serta mampu memacu perkecambahan
benih jagung lebih baik dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Fusarium non patogenik ini dapat
berperan dalam mendegradasi, mengendalikan patogen tanaman, dan memacu pertumbuhan benih jagung.

Kata Kunci: Bercak daun, insektisida, karbosulfan, vigor benih

ABSTRACT
Non-pathogenic fusarium is one of the many useful fungi that can act as antagonists to plant pathogens. In
addition, some species can degrade certain synthetic pesticide compounds. The purpose of this study was to
determine the potential of non-pathogenic Fusarium fungus in degrading carbosulfan compounds, controlling
Curvularia sp., and at the same time stimulating the growth of corn plants. The study was carried out at the
Disease Laboratory, Cereal Crop Research Institute, Maros from January to April 2021. The study consisted of
three stages, namely (1) testing the tolerance of isolates to carbosulfan on PDA media, (2) testing antagonistic
activity against Curvularia sp., and (3) seed vigor testing. The study was conducted using a completely
randomized design (CRD). The results showed that Fusarium isolates were tolerant to carbosulfan
compounds at a concentration of 600 mL/L on PDA media, Fusarium isolates were also able to inhibit the
growth of the pathogen Curvularia sp. up to 72.50%, and was able to stimulate the germination of corn seeds
better than the control. This indicates that this non-pathogenic Fusarium isolate can play a role in degrading,
controlling plant pathogens, and promoting the growth of corn seeds.
Keywords: Leaf spot, insecticide, karbosulfan, seed vigor

18
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

1. Pendahuluan

Fusarium sp. merupakan salah satu genus cendawan yang tersebar luas. Genus ini dapat
berperan sebagai patogen penyebab penyakit pada tanaman karena dapat menghasilkan
mikotoksin. Sementara genus yang dalam kondisi avirulen dikenal sebagai Fusarium non
patogenik merupakan cendawan yang dapat berperan pentin dalam
pengendalian beberapa penyakit tanaman. Fusarium non patogenik biasa ditemukan
sebagai endofit pada jaringan tanaman dan saprofit di tanah (Al-Ani, 2019). Pemanfaatan
cendawan Fusarium non patogenik dalam pengendalian beberapa penyakit
tanaman, seperti penyakit BPV (busuk pucuk vanili) (Taufiq dkk, 2017), busuk umbi dan
busuk pangkal pada bawang putih (Septhiani dkk, 2018), penyakit rebah kecambah pada
terung (Muslim, 2015), penyakit layu yang disebabkan oleh Verticillium dahlia (Mulero-
aparicio et al, 2019), dan lain sebagainya.

Beberapa spesies Fusarium juga dapat berperan dalam degradasi beberapa senyawa
pestisida. Beberapa spesies Fusarium seperti Fusarium proliferatum yang berasal dari
lahan pertanian tercemar dapat mendegradasi allethrin dari golongan insektisida piretroid
hingga 1000 ppm (Bhatt et al, 2020). Fusarium oxysporum yang diisolasi pada air limbah
tercemar diketahui mampu mendegradasi senyawa sianida dan arsen, dimana hal ini
dapat berpotensi mendegradasi senyawa pestisida berbahan dasar sianida (Akinpelu et
al, 2018). Fusarium memanfaatkan senyawa pestisida sintetik ini sebagai salah satu
sumber karbonnya, dan mengurai menjadi senyawa turunannya.
Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui Fusarium non patogenik yang diperoleh
dari lahan pertanian tercemar pestisida dapat berperan sebagai agen biodegradasi, agen
biokontrol, dan pemacu pertumbuhan tanaman jagung.

2. Metode

Waktu dan tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2021. Penelitian ini
dilaksanakan di laboratorium penyakit, Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros,
Sulawesi Selatan.

Sumber isolat

Isolat Fusarium sp. merupakan isolat non patogenik yang telah diujikan sebelumnya pada
beberapa golongan pestisida yang berbeda (Fauriah et al, 2021).

Pengujian toleransi isolat terhadap insektisida karbosulfan

Insektisida karbosulfan yang digunakan merupakan insektisida komersil dengan merk


dagang Marshal 200 EC. Pengujian toleransi isolat terhadap insektisida karbosulfan
menggunakan media PDA yang ditambahkan insektisida karbosulfan komersil dengan
dosis yang tertera pada label yaitu 600 mL/L. Pengujian kualitatif dilakukan pada cawan
petri berisi media PDA tanpa pestisida (sebagai kontrol) dan media PDA yang
ditambahkan dengan 600 ppm karbosulfan. Miselia cendawan yang berasal dari
pemurnian sebelumnya kemudian dipindahkan pada media perlakuan. Selanjutnya

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 19
ISBN: 978-602-9071-32-0

diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Toleransi cendawan terhadap karbosulfan
diketahui dengan membandingkan ukuran koloni yang tumbuh pada perlakuan dengan
kontrol (Alvarenga et al, 2015 dengan modifikasi perlakuan dan media kultur).

Pengujian aktivitas antagonis Fusarium sp. terhadap patogen Curvularia sp.

Curvularia sp. merupakan patogen penyebab penyakit bercak daun tanaman jagung.
Isolat patogen Curvularia sp. berasal dari koleksi patogen Laboratorium Penyakit,
Balitsereal, Maros. Pengujian aktivitas antagonis Fusarium non patogenik terhadap
patogen Curvularia sp. dilakukan dengan metode kultur ganda. Isolat Fusarium berukuran
0,5 cm dan patogen Curvularia berukuran sama ditempatkan 2 cm dari pinggir cawan
petridish yang mengandung media PDA. Sebagai kontrol, Curvularia sp. diletakkan tanpa
isolat Fusarium. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruangan hingga koloni cendawan
patogen memenuhi seluruh permukaan cawan petri (Hamzah et al, 2018; Vinayarani and
Prakash, 2018). Akitivitas antagonis isolat Fusarium sp. diketahui dengan mengukur
pertumbuhan patogen terhadap cendawan antagonis (T) dibandingkan dengan
pertumbuhan patogen pada kontrol (C) dikalikan dengan 100.

Pengujian vigor benih jagung


Varietas jagung yang digunakan dalam perkecambahan benih merupakan varietas
Anoman yang merupakan varietas rentan. Pengujian vigor benih terhadap isolat Fusarium
sp. dilakukan dengan metode Blotter test. Persiapan pada benih jagung dengan
melakukan sterilisasi permukaan (NaOCl 3% 3 min dan dibilas 3 kali dengan akuades
steril). Benih jagung selanjutnya dikeringkan pada kertas saring steril. Sebanyak 10 benih
jagung ditempatkan pada setiap cawan petri yang telah terlebih dahulu ditumbuhkan isolat
Fusarium sp. hingga memenuhi permukaan cawan. Sebagai kontrol, benih jagung
ditumbuhkan pada media PDA tanpa isolat. Selanjutnya diinkubasi selama 14 hari pada
suhu ruang (Hanif dan Susanti, 2019). Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah
benih yang berkecambah, tinggi tanaman, dan panjang akar pada perlakuan
dibandingkan dengan kontrol.
3. Hasil dan Pembahasan

Data, diskusi, dan hasil/temuan

Biodegradasi

Dari hasil pengujian terhadap insektisida karbosulfan pada konsentrasi 600 mL/L
menunjukkan bahwa isolat Fusarium non patogenik toleran terhadap insektisida tersebut.
Hal ini dilihat dari diameter koloni isolat Fusarium hamper sama dengan kontrol yaitu pada
kontrol sebesar 2,80 cm dan pada media PDA yang ditambahkan karbosulfan sebesar
2,60 cm (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa isolat ini berpotensi sebagai pendegradasi
residu insektisida karbosulfan karena mampu bertahan pada paparan karbosulfan pada
konsentrasi tinggi. Lebih jelas perbandingan ukuran antara kontrol dan perlakuan dapat
dilihat pada Gambar 1. Mekanisme utama dalam proses biodegradasi yaitu mineralisasi
dan co-metabolisme. Mikroorganisme mengurai senyawa pestisida dengan mengubahnya
menjadi karbon dan air atau senyawa turunannya (Huang et al, 2018).

20 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tabel 1. Diameter (cm) koloni isolat cendawan Fusarium sp. pada media PDA yang ditambahkan
insektisida karbosulfan dibandingkan dengan kontrol

Dosis
Bahan aktif
Kontrol (0 mL/L) 600 mL/L
Karbosulfan 2.80 2.60
Sumber: Data primer setelah diolah

a b

Gambar 1. Penampakan koloni cendawan Fusarium pada kontrol (a) dan perlakuan
insektisida karbosulfan (b) pada media PDA
Sumber: Dokumentasi pribadi

Biokontrol

Pada pengujian aktivitas antagonisme isolat Fusarium non patogenik terhadap patogen
Curvularia sp. dengan metode kultur ganda menunjukkan bahwa isolat ini dapat
menghambat pertumbuhan patogen Curvularia sp. dari hari ke-4 sebesar 45,08% hingga
sebesar 72,50% pada hari ke-11 setelah inkubasi dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2).
Perbandingan pertumbuhan antara kontrol dengan perlakuan kultur ganda dapat dilihat
lebih jelas pada Gambar 2. Penghambatan pertumbuhan pathogen oleh isolate dapat
terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu mikoparasit, antibiosis, inaktivasi enzim dari
patogen, dan kompetisi ruang dan nutrisi (Kalay dkk, 2018).

Tabel 2. Persentase penghambatan pertumbuhan patogen Curvularia sp. terhadap Fusarium sp.
dengan metode dual culture pada setiap hari pengamatan.

Persentase (%) penghambatan pada hari ke-


Patogen
1 4 6 8 11
Curvularia sp. 0.00 45.08 61.68 70.42 72.50
Sumber: Data primer setelah diolah

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 21
ISBN: 978-602-9071-32-0

a b

Gambar 2. Perbandingan antara pertumbuhan kontrol (a) dan perlakuan Curvularia sp.
dan Fusarium non patogenik dengan metode kultur ganda (b).
Sumber: Dokumentasi pribadi

Vigor Benih

Dari hasil pengujian pada benih jagung, diperoleh hasil bahwa isolat Fusarium tidak
menghambat perkecambahan benih jagung. Dilihat dari perkecambahan, baik kontrol
maupun pada perlakuan Fusarium mampu berkecambah hingga 100%. Dilihat dari
panjang akar, perlakuan isolat Fusarium mampu tumbuh melebihi kontrol yaitu sebesar
2,79 cm dibandingkan dengan kontrol sebesar 2,19 cm. dari segi tinggi tanaman,
perlakuan Fusarium juga mampu tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar 2,66 cm dibandingkan
dengan kontrol sebesar 2,01 cm (Tabel 3). hal ini menunjukkan bahwa isolat Fusarium
non patogenik ini mampu memacu perkecambahan benih jagung dan tidak menghambat
pertumbuhannya. Penampakan perkecambahan jagung pada permukaan Fusarium dapat
dilihat pada Gambar 3. Cendawan endofit mampu memicu pertumbuhan tanaman melalui
mekanisme dengan memproduksi senyawa pengatur tumbuh, dengan meningkatkan
ketersediaan nutrisi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman, ataupun dengan
menekan mikroorganisme lain yang dapat mengganggu proses pertumbuhan (Saragih
dkk, 2019).

Tabel 3. Respon benih jagung terhadap isolat Fusarium sp. dibandingkan dengan kontrol

Variabel Pengamatan Kontrol Aspergillus sp


Kemampuan berkecambah (%) 100.00 100.00
Panjang akar (cm) 2.19 2.79
Tinggi tanaman (cm) 2.01 2.66
Sumber: Data primer setelah diolah

22 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

a b

Gambar 3. Penampakan perkecambahan jagung pada isolat Fusarium di media PDA (a)
dan penampakan akar dan batang pada kecambah jagung (b).
Sumber: Dokumentasi pribadi

4. Kesimpulan
Isolat Fusarium non patogenik dapat toleran dan tumbuh pada konsentrasi 600 mL/L
insektisida karbosulfan. Isolat Fusarium juga mampu menghambat pertumbuhan patogen
Curvularia sp. hingga 72,50%. Selain itu, isolat Fusarium ini tidak menghambat
perkecambahan benih jagung dan memacu pertumbuhan batang dan akar melebihi
pertumbuhan kontrol. Hal ini menujukkan bahwa Fusarium non patogenik dapat
berpotensi sebagai biodegradasi insektisida karbosulfan, biokontrol patogen Curvularia
sp., dan memacu pertumbuhan tanaman jagung sehingga dapat berperan dalam proses
budidaya pertanian yang ramah lingkungan.

Daftar Pustaka
Akinpelu, E. A., Adetunji, A. T., Ntwampe, S. K. O., Nchu, F., & Mekuto, L. (2018).
Performance of Fusarium oxysporum EKT01/02 isolate in cyanide biodegradation
system. Environmental Engineering Research.Al-Ani, L.K.T., 2019. Secondary
metabolites of non-pathogenic Fusarium: scope in agriculture. In Secondary
Metabolites of Plant Growth Promoting Rhizomicroorganisms (pp. 59-76).
Springer, Singapore.
Alvarenga, N., Birolli, W. G., Nitschke, M., de O Rezende, M. O., Seleghim, M. H., &
Porto, A. L. (2015). Biodegradation of chlorpyrifos by whole cells of marine-derived
fungi Aspergillus sydowii and Trichoderma sp. J Microb Biochem Technol, 7, 133-
139.
Bhatt, P., Zhang, W., Lin, Z., Pang, S., Huang, Y., & Chen, S. (2020). Biodegradation of
allethrin by a novel fungus Fusarium proliferatum strain CF2, isolated from
contaminated soils. Microorganisms, 8(4), 593.
Fauriah, R., Amin, N., Daud, I. D., & Harsanti, E. S. (2021). The potential of endophytic
fungi as biodegradation of chlorpyrifos in shallots. In IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science (Vol. 807, No. 3, p. 032058). IOP Publishing.
Hamzah, T. N. T., Lee, S. Y., Hidayat, A., Terhem, R., Faridah-Hanum, I., & Mohamed, R.
(2018). Diversity and characterization of endophytic fungi isolated from the tropical
mangrove species, Rhizophora mucronata, and identification of potential
antagonists against the soil-borne fungus, Fusarium solani. Frontiers in
microbiology, 9, 1707.
Hanif, A., & Susanti, R. (2019). Inventarisasi Dan Identifikasi Cendawan Patogen
Terbawa Benih Jagung (Zea Mays L.) Lokal Asal Sumatera Utara Dengan Metode
Blotter Test. Jurnal Pertanian Tropik, 6(2), 311-318.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 23
ISBN: 978-602-9071-32-0

Huang, Y., Xiao, L., Li, F., Xiao, M., Lin, D., Long, X., & Wu, Z. (2018). Microbial
degradation of pesticide residues and an emphasis on the degradation of
cypermethrin and 3-phenoxy benzoic acid: a review. Molecules, 23(9), 2313.
Kalay, A. M., Talahaturuson, A., & Rumahlewang, W. (2018). Uji Antagonisme
Trichoderma harzianum Dan Azotobacter chroococcum Terhadap Rhyzoctonia
solani, Sclerotium rolfsii dan Fusarium oxysporum secara in-vitro. Agrologia, 7(2).
Muslim, A. (2015). Fusarium Nonpatogen sebagai Agens Hayati Penyakit Rebah
Kecambah pada Tanaman Terung. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 11(1), 23-23.
Mulero-Aparicio, A., Agusti-Brisach, C., Varo, A., López-Escudero, F. J., & Trapero, A.
(2019). A non-pathogenic strain of Fusarium oxysporum as a potential biocontrol
agent against Verticillium wilt of olive. Biological Control, 139, 104045.
Saragih, M., Trizelia, T., Nurbailis, N., & Yusniwati, Y. (2019, January). Uji Potensi
Cendawan Endofit Beauveria bassiana terhadap Perkecambahan dan
Pertumbuhan Bibit Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.). In Unri
Conference Series: Agriculture and Food Security (Vol. 1, pp. 151-159)..
Septhiani, S., Nusantari, D. O., & Nasir, D. (2018). Pemberian Fusarium Non-Patogen dan
Trichoderma Untuk Menghambat Penyakit Busuk Pangkal Pada Bawang Putih.
Jurnal Ilmiah Biologi Biogenesis, 6(2).
Taufiq, E., Hasim, H., Departemen Biokimia, F. M., Soekarno, B. P., & Surahman, M.
(2017). Keefektifan Trichoderma Sp. Dan Fusarium Non Patogenik Dalam
Mengendalikan Penyakit Busuk Pucuk Vanili Berwawasan
Lingkungan/Effectiveness Of Trichoderma sp. And Non-Pathogenic Fusarium To
Environmentally Control Vanilla Shoot Rot Disease.
Vinayarani, G., & Prakash, H. S. (2018). Fungal endophytes of turmeric (Curcuma longa
L.) and their biocontrol potential against pathogens Pythium aphanidermatum and
Rhizoctonia solani. World Journal of Microbiology and Biotechnology, 34(3), 1-17.

Ucapan Terima Kasih


Penuli Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian yang telah mendukung pendanaan hingga penelitian ini selesai.

24 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

UJI VIRULENSI RHIZOCTONIA SOLANI KÜHN PENYEBAB PENYAKIT


HAWAR PELEPAH PADA PADI (Oryza sativa L.)

VIRULENCE OF RHIZOCTONIA SOLANI KÜHN CAUSES OF SHEATH BLIGHT DISEASE IN


RICE (Oryza sativa L.)

Leni Armelia1), Yenny Liswarni2), dan Haliatur Rahma3)


1)
Universitas Andalas
armelialenny00@gmail.com

ABSTRAK
Rhizoctonia solani Kühn merupakan jamur patoegn penyebab penyakit hawar pelepah pada tanaman padi.
Kehilangan hasil akibat infeksi patogen ini berkisar 4 sampai 50%. Jamur ini memiliki tahapan aseksual atau
Anamorph yaitu Rhizoctonia solani Kühn dan tahapan seksual atau Telemorph yaitu Thanatephorus cucumeris.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat Rhizoctonia solani Kühn dari 3 Kecamatan di Kota Padang serta
isolat Rhizoctonia solani Kühn yang paling virulen. Penelitian terdiri dari dua tahap: Tahap pertama yaitu survei dan
isolasi R. solani dari tanaman bergejala hawar pelepah dari tanaman padi di tiga Kecamatan di Kota Padang, yaitu
Kecamatan Kuranji, Kecamatan Pauh, dan Kecamatan Lubuk Begalung. Pengambilan sampel tanaman dilakukan
menggunakan metode Purposive sampling. Tahap kedua merupakan eksperimen di laboratorium yaitu uji virulensi
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terhadap enam isolat R. solani. Berdasarkan hasil penelitian tahap
pertama, diperoleh 6 isolat R. solani, hasil uji virulensi menunjukkan isolat RSLB2 dari Kecamatan Lubug Begalung
bersifat paling virulen dengan masa inkubasi 1,0 hari dan keparahan penyakit 43,17%. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa isolat Rhizoctonia solani pada tanaman padi di Kota Padang memiliki tingkat virulensi yang
berbeda-beda.
Kata kunci: virulen, hawar pelepah padi, R. solani.

ABSTRACT
Rhizoctonia solani Kühn is a pathogenic that causes the sheath blight of rice plants. Yield losses due to this disease
are estimated to range from 1.2 to 69%. This fungus has an asexual or anamorphic stage, Rhizoctonia solani Kühn,
and a sexual or teleomorph stage, namely Thanatephorus cucumeris. This study obtained Rhizoctonia solani Kühn
isolates from 3 sub-districts in Padang City and the most virulent isolates. The research consisted of two stages:
Survey and isolation of R. solani from sheath blight symptomatic from rice plants in three sub-districts in Padang City,
namely Kuranji District, Pauh District, and Lubuk Begalung District. A sampling of plants was carried out using the
purposive sampling method. The second stage is an experiment in the laboratory, a virulence test using a completely
randomized design (CRD) on six isolates of R. solani. In the first phase of the study, six isolates of R. solani were
obtained. The results of the virulence test showed that RSLB2 isolate from Lubug Begalung District was the most
virulent with an incubation period of 1.0 days and disease severity of 43.17%. The results of this study indicate that
Rhizoctonia solani isolates in Padang City have different virulence levels.

Keywords: virulence, rice sheath blight, R. solani.

25
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan

Penurunan prouktivitas padi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh jamur R. solani Kühn
(teleomorf: Thanatephorus cucumeris (A.B. Frank) Donk.) penyebab penyakit hawar pelepah
daun padi, dapat menimbulkan kehilangan hasil 4 - 50% (Groth & Bond, 2007). Menurut
Nuryanto, et al (2014) keparahan penyakit ini dapat meningkat saat kondisi suhu 28-32oC serta
kelembaban udara 96-98% di lingkungan budidaya tanaman padi. Pada daerah dataran rendah
yaitu 0-200 m dpl tingkat keparahan akan lebih tinggi, dan pada daerah dataran tinggi yaitu 500-
700 m dpl tingkat keparahan penyakit ini akan menurun. Varietas padi yang berbeda memiliki
pengaruh terhadap keparahan penyakit hawar pelepah daun. Sklerotia R. solani akan
berkecambah pada pH optimal yaitu pada pH 5,5-6,7 yang dapat meningkatkan keparahan
penyakit hawar pelepah. Tanaman padi pada fase generatif akan lebih rentan oleh serangan R.
solani, karena iklim mikro yang kondusif yaitu lembab dan hangat pada fase generatif.

Gejala yang disebabkan oleh R. solani pada pelepah daun padi yaitu terbentuknya bercak-
bercak pada pelepah daun, dengan gejala awal terbentuknya bercak elips atau oval, tidak
beraturan, pinggirannya berwarna abu-abu kehiajauan, ukuran 1-3 cm. Untuk gejala lanjut
bagian tengah berwarna putih keabu-abuan dengan warna kecoklatan pada bagian pinggirnya
(Fitri, 2013). R. solani mampu menimbulkan gangguan struktur pada jaringan penyusun organ
tanaman padi, seperti jaringan pelindung (epidermis) yaitu rusaknya sel epidermis serta
perubahan struktur kutikula, meristem (apikal dan lateral), serta menghambat transportasi zat
makanan pada floem dan xylem (Itsnaini, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat Rhizoctonia solani Kühn dari 3 Kecamatan di
Kota Padang dan isolat Rhizoctonia solani Kühn yang virulen.

2. Metode

Survei dan Pengambilan Sampel

Survei dalam bentuk wawancara dan dilanjutkan dengan perhitungan kejadian penyakit
tanaman padi yang terserang hawar pelepah di 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Kuranji,
Kecamatan Pauh, dan Kecamatan Lubuk Begalung, di Kota Padang, Sumatra Barat.
Penghitungan kejadian tanaman padi dilakukan dengan metode sistematis pada garis diagonal
silang tanaman padi (Lampiran 2), yaitu dihitung jumlah anakan per rumpun yang terserang
hawar pelepah pada setiap plot yang terdapat pada suatu lahan, sehingga diperoleh kejadian
penyakit pada suatu lahan.

Isolasi Jamur Patogen

Pelepah padi bergejala hawar diambil dan dibersihkan kemudian disimpan dalam amplop
kertas. Isolasi dilakukan menggunakan metode moist chamber. Kemudian dilakukan sterilisasi
permukaan dengan cara memasukkan sampel ke dalam akuades selama 1 menit, NaOCl 2%
selama 10 detik dan akuades selama 1 menit. Selanjutnya sampel diletakkan pada petridish
yang telah dialasi dengan kertas saring lembab dan batang penyangga. Kemudian sampel
diletakkan di atas batang penyangga (Shivas & Beasley., 2005). Petridish diwrapping,
diinkubasi selama 2 x 24 jam dalam suhu ruang. Identifikasi jamur R. solani dilakukan dengan
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

mengamati morfologi jamur secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan mikroskopis


dengan cara membuat slide culture (Waller et al., 2002). slide diamati dibawah mikroskop
binokuler dengan perbesaran 400x, terhadap bentuk, warna, dan hifa jamur (Watanabe et al.,
2002).

Uji Patogensitas dan Virulensi R. solani

Uji patogenesitas R. solani dilakukan menggunakan metode Jia et al., (2002) yaitu metode
inokulasi daun lepas. Pada pengujian ini digunakan 6 perlakuan dan 1 kontrol dengan 5
ulangan. Inokulasi jamur dilakukan pada daun yang telah dipotong dari tanaman padi sehat.
Daun padi yang telah dipotong sepanjang 16 cm, diletakkan pada petridish yang telah diberi
kertas saring lembab. Biakan murni jamur R. solani dipotong mengunakan cork borrer diameter
0,7 cm dan diinokulasi di permukaan abaksial bagian tengah daun tanaman padi. Kemudian
diinkubasi selama 5 x 24 jam. Virulensi dari jamur R. solani dari 3 kecamatan di Kota Padang
diperoleh berdasakan keparahan penyakit dan masa inkubasi. Isolat R. solani yang paling
virulen selanjutnya akan digunakan untuk uji antagonis. Berdasarkan nilai rata-rata panjang lesi
total pada potongan daun padi diperoleh virulensi patogen, rata-rata panjang lesi dihitung
setelah 5 hari inokulasi. Isolat dinilai paling virulen akan dihitung dengan rumus (Desviani et al.,
2014):

KP: Keparahan penyakit; PL: Panjang lesi terserang R. Solani; dan PD : Panjang daun.

3. Hasil dan Pembahasan

Survei dan Kejadian Penyakit Hawar Pelepah di Kota Padang

Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Tiga Kecamatan, Kota Padang, Sumatra Barat
yaitu Kecamatan Kuranji, Pauh, dan Lubuk Begalung ditemukan lahan padi yang terindikasi
bergejala hawar pelepah. Dari hasil pengamatan insidensi atau kejadian penyakit hawar
pelepah padi di Limau Manis, Kecamatan Pauh mempunyai presentase kejadian penyakit
7,14%, Lambung Bukit, Kecamatan Kuranji dengan presentase kejadian penyakit yaitu 5,70%,
dan presentase di Pagambiran Ampalu, Kecamatan Lubuk Begalung lebih rendah yaitu 3,47%
(Tabel 1).

27
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tabel 1. Jarak tanam, rata-rata jumlah anakan tanaman padi dan presentase kejadian
penyakit hawar pelepah padi di 3 Kecamatan Kota Padang

Lokasi Jarak Tanam Jumlah Kejadian


anakan Penyakit

Lambung Bukit, Kuranji 25 cm x 25 cm 19,53 5,70

Limau Manis, Pauh 25 cm x 25 cm 17,83 7,14

Pagambiran Ampalu, Lubuk 25 cm x 25 cm 17,78 3,47


Begalung

Identifikasi dan Karakteristik Penyakit Hawar Pelepah Padi

Semua biakan murni R. solani yang dikoleksi mempunyai warna hifa yang berbeda terlihat
pada biakan murni. hifa yang dimiliki isolat RSLB1 (Gambar 3a), RSLB2 (Gambar 3b),
RSK1 (Gambar 3e), RSK2 (Gambar 3f) berwarna putih tulang, isolat RSP1 (Gambar 3c)
dan RSP2 (Gambar 3d) memiliki hifa berwarna putih-krim. Karakteristik sklerotia yang
dimiliki R. solani dapat dilihat pada tabel 3. Isolat R. solani dengan karakteristik
makrosklerotia yaitu isolat RSLB1 (Gambar 3a) dan RSLB2 (Gambar 3b), untuk isolat
RSP1 (Gambar 3c), RSP2 (Gambar 3d), RSK1 (Gambar 3e), dan RSK2 (Gambar 3f)
memiliki mikrosklerotia.

Gambar 2. Mikroskopis R. solani. a. hifa yang memiliki inti sel; b. hifa yang memiliki satu inti
sel; c. dolipore septum; d. percabangan hifa pada bagian kanan; e. fusi R. solani; f.
Sel Moniloid; g. kumpulan hifa yang membentuk sclerotium (perbesaran 400x).

28
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Gambar 3. Biakan murni R. solani 12 HSI. (a) RSLB1; (b) RSLB2; (c) RSP1; (d) RSP2; (e) RSK1;
(f) RSK2.

Gambar 4. Hifa R. solani dan sel moniloid R. solani (a) RSLB1; (b) RSLB2; (c) RSP1; (d) RSP2;
(e) RSK1; (f) RSK2.

Tabel 2. Karakteristik sklerotia isolat R. solani dari 3 Kecamatan

Isolat Asal Warna Ukuran Pola penyebaran sklerotia Posisi


isolat sklerotia sklerotia sklerotia

RSLB1 Lubuk Coklat tua Makro Didekat titik inokulasi Diatas media
Begalung

RSLB2 Lubuk Coklat tua Makro Menyebar keseluruh Diatas media


Begalung petridish

RSP1 Pauh Coklat Mikro Didekat titik inokulasi dan Diatas media
muda membentuk cincin

RSP2 Pauh Coklat Mikro Didekat titik inokulasi dan Diatas media
muda membentuk cincin

RSK1 Kuranji Coklat tua Mikro Menyebar keseluruh Aerial


petridish

RSK2 Kuranji Coklat Mikro Menyebar keseluruh Aerial


tua petridish

29
ISBN: 978-602-9071-32-0

Masa Inkubasi

Gejala awal hawar pelepah padi tampak adanya lesi berwarna coklat muda berukuran 0,1
cm – 0,8 cm (Gambar 5). Isolat RSLB2 menunjukkan masa inkubasi paling cepat yaitu 1
HSI, dan isolat RSK1 menunjukkan masa inkubasi paling lama yaitu 2,6 HSI (Tabel 3).
Masa inkubasi berkisar antara 1,0 – 2,6 hari.

Gambar 5. Gejala awal hawar pelepah setelah inokulasi patogen R. solani


(RSLB2), (a) fungal mate; (b) gejala awal 1 HSI.

Tabel 3. Masa inkubasi R. solani dari 3 Kecamatan di Kota Padang, Sumatra Barat

Isolat Asal Isolat Masa Inkubasi (HSI)

RSK1 Kuranji 2,6 a

RSK2 Kuranji 2,0 B

RSP1 Pauh 1,8 B

RSP2 Pauh 1,6 B

RSLB1 Lubuk Begalung 1,6 B

RSLB2 Lubuk Begalung 1,0 C

Kontrol - -

Keterangan: Nilai dalam kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama merupakan tidak berbeda secara
signifikan pada level 5% (LSD).

Virulensi

Isolat RSLB2 memiliki virulensi yang tinggi diantara isolat R. solani lainnya, dengan
panjang hawar 6,89 cm serta keparahan penyakit mencapai 43,17% dan berbeda nyata
dengan kontrol. Isolat dengan tingkat virulensi yang rendah yaitu isolat RSK1, dengan
panjang lesi 2,7 cm dan keparahan penyakit yaitu 16,88% (Tabel 4). Gejala yang tampak
pada daun abaksial padi 5 HSI (Gambar 6).

30
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Gambar 6. Gejala hawar pelepah pada daun abaksian padi (5 HSI). (a) kontrol; (b) isolat RSLB1;
(c) isolat RSLB2; (d) isolat RSP1; (e) isolat RSP2; (f) isolat RSK1; (g) isolat RSK2.

Tabel 4. Virulensi isolat R. solani dari 3 Kecamatan di Kota Padang, Sumatra Barat pada
tanaman padi varietas IR-42.

Isolat Panjang Hawar (cm) Keparahan Penyakit (%)

RSLB2 6,89 a 43,17 a


RSK2 5,57 b 34,81 b

RSP1 5,08 bc 31,75 bc


RSP2 4,97 bc 31,02 bc
RSLB1 4,35 c 27,19 c
RSK1 2,70 d 16,88 d
Kontrol 0,00 e 0,000 e
Keterangan: Nilai dalam kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama merupakan tidak berbeda
secara signifikan pada level 5% (LSD).

Kejadian penyakit hawar pelepah yang disebabkan R. solani di Kecamatan Lubuk


Begalung, Pauh, dan Kuranji, berkisar antara 3,47%-7,14%. Rendahnya presentase
kejadian penyakit dapat disebabkan jarak tanam sesuai dengan budidaya tanaman padi
yang baik, dari wawancara yang telah dilakukan pada saat survey. Petani menanam padi
dengan jarak 25 cm x 25 cm, dengan jarak tanam ini jumlah anakan padi tidak dalam
populasi maksimal, sehingga kelembaban pada daerah pelepah padi atau diatas
permukaan tanah rendah menyebabkan patogen tidak berkembang dengan baik. Ini
sesuai dengan pendapat Pratiwi (2020) bahwa jumlah anakan padi berbanding lurus
dengan jumlah daun, yang akan mempengaruhi kelembaban bagian pelepah padi, apabila
kondisi lingkungan optimal bagi perkembangan patogen R. solani, maka R. solani akan
menimbulkan penyakit hawar pelepah padi. Yetti (2012), melaporkan jumlah anakan
maksimum akan banyak terbentuk pada jarak tanam 40 cm x 40 cm, dan yang paling
rendah jumlah anakan maksimum terbentuk yaitu pada jarak tanam 25 cm x 25 cm. Hal ini
menunjukkan apabila jarak tanam yang semakin lebar maka akan menghasilkan jumlah
anakan maksimum yang lebih banyak, jarak tanam akan menentukan radiasi matahari
dan mempengaruhi kelembaban pada tanaman padi.

31
ISBN: 978-602-9071-32-0

Karakter biologi yang dimiliki oleh isolat RSLB2 yang memiliki virulensi tinggi yaitu
makrosklerotia, sklerotia berwarna coklat tua, dengan pertumbuhan sklerotia menyebar
keseluruh petridish (Gambar 6b). Isolat RSK1 yang merupakan isolat hipovirulen, karakter
biologi yaitu memiliki sklerotia berwarna coklat tua, dengan ukuran mikro atau
mikrosklerotia (Gambar 6e). Itsnaini (2010), melaporkan bahwa isolat R. solani yang
memiliki tingkat virulensi yang tinggi memiliki karakteristik biologi yaitu memiliki
makrosklerotia dan sklerotia yang kasar, serta koloni berwarna putih kotor. Untuk isolat R.
solani dengan tingkat virulensi yang rendah memiliki karakter biologi yaitu sklerotia
membentuk cincin atau lingkaran kosentris, dan memiliki warna miselium putih kotor.
Ditambahkan Kumar et al., (2008), R. solani yang sangat virulen memiliki karakter biologi
sklerotia berwarna coklat tua, makrosklerotia, sklerotia menyebar diseluruh petridish dan
diatas media. Isolat yang hipovirulen memiliki karakter biologi sklerotia berwarna putih,
mikrosklerotia, sklerotia menyebar diseluruh petridish.

Isolat R. solani RSLB2 dapat menimbulkan gejala setelah 1 hari inokulasi, gejala awal
tampak terbentuknya lingkaran tidak beraturan berwarna kecoklatan yang dapat disebut
sebagai lesi (Gambar 9). Masa inkubasi isolat RSLB2 lebih cepat bila dibandingkan isolat
lainnya dikarenakan tingkat virulensi dan aktivitas enzim yang dimiliki R. solani. Isolat
RSLB2 mempunyai tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi mencapai 43,17% dan
masa inkubasi paling cepat yaitu 1 HSI, dan isolat RSK1 yang memiliki tingkat keparahan
rendah dengan presentase 16,88% dan masa inkubasi 2,6 HSI. Zhou et al., (2016),
menambahkan Rhizoctonia dengan tingkat virulensi yang tinggi memiliki jumlah inti sel
lebih dari 2 atau multinukleat, sedangkan Rhizoctonia dengan tingkat virulensi rendah
atau hipovirulen memiliki jumlah inti sel satu atau uninukleat. Isolat R. solani yang memiliki
virulensi tinggi memiliki aktivitas enzim pendegradasi dinding sel (polygalacturonase (PG),
polymethylgalacturonase (PMG), dan endo-β-1,4-glucanase) dan fitotoksin yang tinggi
pada tanaman, sehingga dapat menimbulkan gejala dengan tingkat keparahan yang tinggi
dan dapat menimbulkan gejala yang cepat.

4. Kesimpulan

Enam isolat R. solani yaitu RSLB1, RSLB2, RSP1, RSP2, RSK1, dan RSK2 diperoleh dari
Tiga Kecamatan di Kota Padang. Isolat RSLB2 merupakan isolat dengan virulensi
tertinggi diantara isolat lainnya dengan masa inkubasi 1,0 hari dan keparahan penyakit
mencapai 43,17%.

Daftar Pustaka

Ainun, K. (2018). Aktivitas Bakteri Endofit Asal Tanaman Padi dalam Mendegradasi Kitin,
Melarutkan Fosfat, dan Menghasilkan Asam Sianida (HCN). [Doctoral dissertation].
Jawa Barat: Universitas Padjajaran.
Alijani, Z., Amini, J., Ashengroph, M. & Bahramnejad, B., (2020). Volatile compounds
mediated effects of Stenotrophomonas maltophilia strain UN1512 in plant growth
promotion and its potential for the biocontrol of Colletotrichum nymphaeae.
Physiological and Molecular Plant Pathology, 112, p.101555.
Asmoro, P. P., & Munif, A. (2019). Bakteri Endofit dari Tumbuhan Paku-Pakuan sebagai
Agens Hayati Rhizoctonia solani dan Pemacu Pertumbuhan Tanaman Padi. J.
Fitopatologi, 15(6), 239-247.

32
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Desviani, S. D., Lestari, I. B., Wibowo, H. R., Supyani., Poromarto, S. H., & Hadiwiyono.
(2014). Morphological Characteristics And Virulence of Rhizoctonia solani
Isolatescollected From Some Rice Production Areas In Some Districts Of Central
Java. Surakarta: AIP Conference Proceedings. Tersedia di:
https://doi.org/10.1063/1.5054472 [Diakses pada 30/11/2020].
Duan, J. L., Li. X. J., Gao. J. M., Wang. D. S., Yan. Y., & Xue. Q. H. (2013). Isolation and
Identification Of Endophytic Bacteria From Root Tissues of Salvia militiorrhiza Bge.
and determination of their bioactivities. Annals Microbiol, 63(4),1501–1512.
Fitri, Elysa. (2013). Pengaruh Suhu, pH, dan Konsentrasi terhadap Senyawa Bioaktif
Antifungi Ralstonia pickettii dalam Menekan Pertumbuhan Rhizoctonia solani.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.
Geswati., H. A. (2021). Karakterisasi Bakteri Endofit sebagai Agen Biokontrol Terhadap
Xanthomonas oryzae pv. oryzae Secara In Vitro. [Skripsi]. Universitas Andalas:
Fakultas Pertanian.
Groth, D. E., & Bond, J. A. (2007). Effects of Cultivars And Fungicides On Rice Sheath
Blight, Yield, and Quality. Plant Dis, 91,1647-1650.
Haliza, W. & Suhartono, M. T. (2012). Karakteristik kitinase dari mikrobia. Buletin
Teknologi Pasca Panen, 8(1),1-14.
Hastuti, D. R., Saaswati, R., & Sari, A. P. (2014). Keefektifan Mikroba Endofit dalam
Memacu Pertumbuhan dan Mengendalikan Penyakit Hawar Pelepah Daun pada Padi
Sawah. J. Tanah dan Iklim, 38(2),109-118.
Itsnaini, N. R., (2010). Karakterisasi Biologi Isolat-Isolat Jamur Rhizoctonia Solani Kuhn.
Pada Padi (Oryza Sativa L.) Asal Daerah Karanganyar. [Skripsi]. Surakarta: F.
Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Jia, Y., Singh, P., Eizenga, G. C., Lee, F. N., & Cartwright, R. D, (2002). In Vitro
Identification Of Cultivar Responses To Rice Sheath Blight Pathogen Rhizoctonia
solani. Rice research studies, 229-236.
Klement. Z., Rudolp. K., & Sands. D. C. (1990). Methods in Phytobacteriology.
Academical Kiado Budapest. 547.
Kumar, M.A.N.O.J., Singh, V., Singh, N. & Vikram, P., (2008). Morphological and
Virulence Characterization of Rhizoctonia solani Causing Sheath Blight Of Rice.
Environ Ecol, 26(3), pp.1158-1166.
Larasati, Y. (2020). Eksplorasi Dan Seleksi Bakteri Endofit Sebagai Penginduksi
Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas
oryzae pv. oryzae). [Skripsi]. Padang: Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
Marsaoli, F., Matinahoru, J. M., & Leiwakabessy. C. (2019). Isolasi, Seleksi, dan Uji
Antagonis Bakteri Endofit diisolasi dari Salawaku (Falcataria mollucana) dalam
Menekan Pertumbuhan Cendawan Patogen Cercospora spp. Jurnal Agrologia, 8(2),
44-54.
Melliawati, R., Widyaningrum. D. N., Djohan, A. C., & Sukiman, H. (2006). Pengkajian
Bakteri Endofit Penghasil Senyawa Bioaktif untuk Proteksi Tanaman. J. Biodiversitas,
7(3), 221-224.
Munif, A., & Mutaqin. K. H. (2016). Lama Penyimpanan, Karakterisasi Fisiologi, Dan
Viabilitas Bakteri Endofit Bacillus sp. dalam Formula Tepung. Jurnal Fitopatologi
Indonesia, 12(1),19-19.
Nuryanto, B. (2017). Penyakit Hawar Pelepah (Rhizoctonia solani) pada Padi dan Taktik
Pengelolaannya. J. Perlindungan Tanaman Indonesia, 21(2), 63-71.

33
ISBN: 978-602-9071-32-0

Nuryanto, B., Friyatmojo. A., & Hadisutrisno. B. (2014). Pengaruh Tinggi Tempat dan Tipe
Tanaman Padi terhadap Keparahan Penyakit Hawar Pelepah. J. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan, 33(1), 1-8.
Pratita, M. Y. E., & Putra, S. R. (2012). Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Termofilik Dari
Sumber Mata Air Panas Di Songgoriti Setelah Dua Hari Inkubasi. J. Teknik Pomitis,
1(1), 1-5.
Pratiwi, W., (2020). Survei Penyakit Hawar Upih (Rhizoctonia solani Kuhn.) pada
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Beberapa Lokasi di Sumatra Utara. [Skripsi].
Medan: Universitas Sumatra Utara.
Putri, A. (2021). Uji Antagonis Isolat Bakteri Endofit Terhadap Pertumbuhan Jamur
Patogen Curvularia lunata Penyebab Penyakit Bulir Hitam pada Tanaman Padi.
[Skripsi]. Padang: Universitas Andalas.
Rahma, H., Zainal, A., Sinaga, M. S., Memen, S., & Giyanto. (2014). Potensi Bakteri
Endofit dalam Menekan Penyakit Layu Stewart (Pantoea stewartii Subsp. Stewartii)
pada Tanaman. J. HPT Tropika, 14(2), 121-137.
Rahma, H., Kristina, N., &Nurbailis. (2019). Characterization and Potential of Plant
Growth-Promoting Rhizobacteria on Rice Seedling Growth and The Effect on
Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 20(12).
Rais, A., Jabeen, Z., Shair, F., Hafeez, F. Y., & Hassan, M. N., (2017). Bacillus spp., A
Bio-Control Agent Enhances The Activity Of Antioxidant Defense Enzymes In Rice
Against Pyricularia oryzae. PLoS One, 12(11), p.e0187412.
Rustam., Giyanto., Wiyono, S., Santosa, D. A., & Susanto, S. (2011). Seleksi dan
Identifikasi Bakteri Antagonis sebagai Agens Pengendali Hayati Penyakit Hawar
Pelepah Padi. J. Penelitian Tanaman Pangan, 30(3),164-171.
Safdarpour, F., & Khodakaramian. G., (2019). Assessment Of Antagonistic And Plant
Growth Promoting Activities Of Tomato Endophytic Bacteria In Challenging With
Verticillium Dahliae Under In-Vitro And In-Vivo Conditions. Biological Journal of
Microorganism, 7(28), 77-90.
Schaad, N.W., J.B. Jones., & W. Chun. (2001). Laboratory Guide for Identification of Plant
Pathogenic Bacteria. St Paul: The American Phytopatology Society.
Shivas, R., & Beasley, D. (2005). Management of plant pathogen collections. Office of the
Chief Plant Protection Officer, Department of Agriculture, Fisheries and Forestry,
Australia.
Waller, J. M., Lenné, J. M., & Waller, S. J. (2002). Plant pathologist's pocketbook. Cabi.
Watanabe T. (2002). Pictorial atlas of soil and seed fungi morphologies of cultured fungi
and key to species. Second Edition. CRC Press LLC. U.S.A.
Whipps, J. M. (2001). Microbial Interactions And Biocontrol In The Rhizosphere. Journal of
experimental Botany, 52(1), 487-511.
Yetti, H. (2012). Pengaruh Penggunaan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan
Produksi Padi Sawah (Orytxi sativa L.) Varietas Ir 42 Dengan Metode Sri (System
Ofrice Intensification). Jurnal Sagu, 9(01), 21-27.
Zapata, T., Galindo, D. M., Corrales-Ducuara, A. R., & Ocampo-Ibáñez, I. D. (2021). The
diversity of culture-dependent gram-negative Rhizobacteria associated with manihot
esculenta crantz plants subjected to water-deficit stress. Diversity, 13(8), 366.
Zhou, S., Liu, Y., Zhang, M., Li, B., Chen, X. & Liang, W., (2016). Comparison of The
Virulence and Cognate Virulence Factors of Multinucleate, Binucleate and
Uninucleate Rhizoctonia Isolates, Causing Sheath Blight on Maize Plants. European
Journal of Plant Pathology, 145(2), 501-506.

34
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

KEBERADAAN POPULASI LALAT TENTARA HITAM (Hermentia illucens) PADA


LAHAN BUDIDAYA PADI (Oryza sativa L.)-MARIGOLD (Tagetes erecta)

THE EXISTENCE OF A POPULATION OF BLACK SOLDIER FLY (Hermentia illucens)


ON RICE (Oryza sativa L.)-MARIGOLD (Tagetes erecta) CULTIVATION LAND

Ardli Swardana, Annisa Putri Rahayu, dan Siti Syarah Maesyaroh


Fakultas Pertanian, Universitas Garut
ardli@uniga.ac.id

ABSTRAK
Keberadan suatu organisme di suatu lahan sangat penting, salah satunya keberadaan lalat tentara hitam
(Hermentia illucesn). Penggunaan pestisida dalam kegiatan budidaya dapat mempengaruhi jumlah populasi di
suatu tempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika keberadaan populasi lalat tentara hitam
(Hermentia illucesn) pada lahan budidaya padi (Oryza sativa L.)-marigold (Tagetes erecta). Penelitian
dilakukan di Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut pada Desember 2020 – Februari 2021.
Pengamatan dilakukan selama 12 kali (1 kali per minggu). Metode yang digunakan adalah kuantitatif
deskriptif. Pengumpulan lalat tentara hitam menggunakan perangkap yellow trap. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi dinamika keberadaan lalat tentara hitam di lokasi penelitian. Populasi tertinggi ditemukan
pada minggu 1 dengan jumlah populasi sebanyak 21. Populasi terendah berada pada minggu ke-7 dengan
jumlah populasi 3. Populasi menunjukkan stabil pada minggu 9 – 12, namun terjadi penurunan jumlah.

Kata Kunci: budidaya, keberadaan, lalat tentara hitam, marigold, padi

ABSTRACT
The existence of an organism in a field is very important, one of which is the existence of the black soldier fly
(Hermentia illucesn). The use of pesticides in cultivation activities can affect the population in a place. This
study aims to determine the population dynamics of the black sodier fly (Hermentia illucesn) on rice cultivation
(Oryza sativa L.)-marigold (Tagetes erecta). The study was conducted in Ngamplang Village, Cilawu District,
Garut Regency in December 2020 – February 2021. Observations were made 12 times (1 time per week). The
method used is descriptive quantitative. Collection of black soldier fly using yellow trap. The results showed
that there was a dynamic of the existence of black soldier fly at the research site. The highest population was
found in week 1 with a total population of 21. The lowest population was at week 7 with a total population of 3.
The population showed stable at weeks 9 – 12, . but there has been a decrease in numbers.
Keywords: cultivation, existence, black soldier fly, marigold, rice

35
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Sawah merupakan lahan pertanian yang biasa digunakan untuk budidaya padi. Selain itu,
sawah juga merupakan habitat dari serangga (Siregar et al., 2017). Kondisi ekosistem
sawah yang pada beberapa waktu dilakukan penggenangan dan pengeringan (Khaliq et
al., 2014; Tsutsui et al., 2018) menyebabkan tingginya biodiversitas pada ekosistem
tersebut (Acosta et al. 2017).
Serangga merupakan hewan yang mempunyai tempat tumbuh (habitat) yang luas. Habitat
serangga ditemukan pada berbagai tempat, seperti pegunungan, hutan, permukiman,
maupun lahan pertanian (Dewi et al. 2016). Keberadaan serangga di suatu lahan
pertanian dipengaruhi oleh teknik budidayanya, seperti monokultur ataupun tumpang sari
(Agustinawati et al. 2016). Pola pertanian tumpang sari selain merupakan salah satu cara
untuk mengoptimalkan fungsi lahan, juga sebagai sarana Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) (Pujiastuti et al., 2018).
Selain teknik budidaya, keberadaan serangga juga dipengaruhi dari banyak sedikitnya
makanan yang ada di tempat tersebut. Salah satu serangga yang mempunyai peranan.
Keberadaan makanan yang tersedia secara terus menerus menyebabkan serangga akan
betah hidup di lokasi tersebut (Tauruslina et al., 2015).
Keberadaan serangga di lahan pertanian mempunyai banyak peranan yang menjadikan
ekosistem tersebut seimbang. Peran serangga tersebut dibagi menjadi 2, yaitu serangga
yang menguntungkan dan serangga yang merugikan. Peran serangga dalam suatu
ekosistem antara lain, seperti hama, predator, parasitoid, vektor, maupun pengurai
(Ma’arif et al., 2014; Jauharlina et al., 2019). Salah satu serangga yang mempunyai
peranan sebagai pengurai adalah lalat tentara hitam. Lalat tentara hitam ini diketahui dan
digunakan sebagai agen pengurai dari sampah organik (Shelomi, 2020). Sastro (2016)
meneliti tentang penggunaan lalat tentara hitam dalam pengomposan limbah organik di
wilayah perkotaan. Penelitian penggunaan lalat tentara hitam pada lahan pertanian belum
banyak dilakukan oleh peneliti.
Penelitian tentang keanekaragaman serangga di lahan sawah telah banyak dilakukan.
Sumaryati et al. (2021) menyatakan bahwa keanekaragaman serangga pada tanaman
padi di Kabupaten Kutai Kartangera, Kalimantan Timur tergolong sedang. Elisabeth et al.
(2021) menyatakan bahwa jumlah individu serangga pada lahan sawah organik lebih
banyak jika dibandingkan dengan sawah konvensional. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Erdiansyah et al. (2018) menyebutkan bahwa populasi arthropoda pada
tanaman tumpangsari padi-marigold lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman padi
tanpa marigold.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian tentang keberadaan populasi lalat tentara hitam
perlu dilakukan pada lahan pertanian padi-marigold. Hal ini dikarenakan pentingnya peran
lalat tentara hitam sebagai pengurai serta masih sedikitnya referensi terkait populasi
keberadaan lalat tentara hitam ini di lahan pertanian sawah. Selain itu, dalam kegiatan
budidaya pertanian selau menghasilkan limbah organik yang selama ini belum banyak
dioptimalkan penggunaannya. Sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu solusi awal penggunaan serangga ini dalam mengatasi permasalah limbah
pertanian (Bullock et al. 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika
populasi lalat tentara hitam pada lahan budidaya padi-marigold. Tanaman padi dan

36 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

marigold ditanam dalam suatu lahan, dimana tanaman marigold ditanam sebagai
tanaman pembatas. Tanaman marigold digunakan sebagai penarik serangga yang ada di
lokasi tersebut (Kurniawati dan Martiono, 2015).

2. Metode

Penelitian berlokasi di Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa


Barat. Lokasi penelitian merupakan area lahan budidaya yang ditanami tanaman padi dan
marigold. Waktu penelitian ini pada Bulan Desember 2020 – Februari 2021. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif. Pengumpulan atau Collecting
lalat tentara hitam menggunakan perangkap yellow trap. Pengumpulan data dilakukan
sebanyak 12 kali dalam waktu 12 minggu. Lalat tentara hitam yang terperangkap
kemudian diamati per minggu nya, kemudian ditampilkan dengan grafik untuk melihat
dinamika keberadaan populasi lalat ini. Desain penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Desain pengambilan sampel


Keterangan:
X : tanaman padi; Y : marigold; : : yellow trap

3. Hasil dan Pembahasan


Data pada penelitian ini diperoleh dari jumlah lalat tentara hitam yang tertangkap pada
perangkap yellow trap. Dinamika lalat tentara hitam yang terperangkap pada perangkap
yellow trap ini ditunjukkan pada Gambar 2.
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa keberadaan lalat tentara hitam di lokasi penelitian
terbanyak pada Minggu ke-1. Jumlah lalat tentara hitam yang terperangkap sejumlah 21
ekor. Pada pengamatan Minggu ke-1, umur tanaman padi adalah 1 bulan setelah tanam.
Keberadaan lalat tentara hitam yang tinggi ini diduga karena tingginya bahan organik
yang berasal dari hasil panen sebelumnya, yaitu jerami. Keberadaan lalat tentara hitam ini
sesuai dengan perannya di dalam ekosistem, yaitu sebagai pengurai (Dortmans et al.,
2017). Selain itu, lalat tentara hitam dalam bentuk larva mempunyai tipe mulut kuat yang
memungkinkan individu tersebut mampu menghancurkan limbah organik. Dalam proses
penguraian limbah, lalat tentara hitam mempu mencerna limbah/senyawa organik
sebelum limbah/senyawa tersebut mengalami pembusukan (Buchori, 2021).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 37
ISBN: 978-602-9071-32-0

25

Jumlah populasi (ekor)


20

15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Minggu ke-

Gambar 2. Dinamika jumlah lalat tentara hitam


Pada pengamatan Minggu ke-2 terlihat terjadi penurunan jumlah lalat tentara hitam.
Jumlah lalat tentara hitam pada pengamatan Minggu ke-2 sebesar 8 ekor. Penurunan
serangga ini dikarenakan karena terjadinya awal peningkatan curah hujan di lokasi
penelitian. Selain itu, di lokasi penelitian juga dilakukan kegiatan sanitasi, sehingga gulma
dan sumber bahan organik yang ada di lokasi penelitian berkurang.
Pengamatan Minggu ke-3 kembali terjadi peningkatan jumlah lalat tentara hitam dari 8
ekor menjadi 14 ekor. Peningkatan juga terjadi pada Minggu ke-4, yaitu dengan jumlah
lalat tentara hitam yang terperangkap sejumlah 16 ekor. Peningkatan jumlah lalat tentara
hitam pada Minggu ke-3 dan ke-4 ini dikarenakan terdapat lahan di sekitar lahan
penelitian ini yang juga ditanami padi telah dilakukan panen. Kegiatan panen akan
menghasilkan melimpahnya sampah organik, seperti jerami yang menjadi salah satu
makanan dari lalat tentara hitam.
Memasuki Minggu ke-5, tejadi penurunan kembali dari jumlah lalat tentara hitam. Jumlah
lalat tentara hitam yang terperangkap dalam perangkap yellow trap sejumlah 11 ekor.
Pengurangan jumlah lalat tentara hitam ini diduga karena kegiatan pembersihan dan
pengangkutan sebagian sampah organik di lokasi sekitar lokasi penelitian yang telah
dipanen pada minggu sebelumnya. Pengangkutan sampah organik, dalam hal ini adalah
jerami akan berpengaruh pada sumber makanan lalat tentara hitam.
Minggu ke-6 terjadi peningkatan lalat tentara hitam dengan jumlah pada minggu ini yaitu
16 ekor. Peningkatan jumlah lalat tentara hitam ini diduga karena di lokasi penelitian,
tanaman padi dan marigold telah memasuki fase generatif. Tanaman marigold ini telah
tumbuh beberapa kuncup bunga yang menjadi penarik bagi serangga, khususnya lalat
tentara hitam untuk mendiami habitat padi-marigold.
Minggu ke-7 terjadi penurunan besar pada jumlah lalat tentara hitam. Pada minggu ke-7
ini jumlah lalat tentara hitam adalah 3 ekor. Angka ini merupakan angka terendah dari
semua pengamatan. Minggu ke-8 juga masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan
pengamatan minggu yang lainnya, dimana pada Minggu ke-8 ini jumlah lalat tentara hitam
yang terperangkap sejumlah 6 ekor. Penurunan besar-besaran ini disebabkan karena
terjadinya lonjakan curah hujan. Lonjakan curah hujan ini menyebabkan suhu menjadi
tidak stabil dan menyebabkan lalat tentara hitam tidak dapat bertahan hidup di lokasi
penelitian sehingga populasi lalat tentara hitam berkurang sedangkan suhu optimum
untuk lalat tentara hitam adalah 30oC.
Memasuki Minggu ke-9, jumlah lalat tentara hitam di lokasi penelitian kembali mengalami
peningkatan. Antara Minggu ke-9 sampai dengan akhir pengamatan, yaitu Minggu ke-12
jumlah lalat tentara hitam mulai stabil. Walaupun terjadi penurunan dari Minggu ke-9

38 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

sampai dengan Minggu ke-12, jumlah penurunan tidak besar, yaitu 11 ekor menjadi 9
ekor. Kestabilan populasi lalat tentara hitam ini diduga karena cuaca juga sudah mulai
stabil.

4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pupulasi tertinggi ditemukan pada
pengamatan Minggu ke-1, sedangkan terendah ditemukan pada pengamatan Minggu ke-
7. Keberadaan lalat tentara hitam mulai stabil, walaupun jumlahnya cenderung menurun
dari Minggu ke-9 sampai dengan akhir penelitian. Rekomendasi untuk penelitian
berikutnya adalah penelitian dengan menambahkan parameter kandungan bahan organik,
sehingga penurunan ataupun peningkatan populasi lalat tentara hitam dapat diketahui
hubungannya.

Daftar Pustaka
Acosta, L. G., Jahnke. S. M., Redaelli. L. R., & Pires. P. R. S. (2017). Insect diversity in
organic rice fields under two management systems of levees vegetation.
Brazilian Journal of Biology.
Agustinawati., Toana. M. H., & Wahid. A. (2016).Keanekaragaman arthropoda permukaan
tanah pada tanaman cabai (Capsicum annum L.) dengan sistem pertanaman
yang berbeda di Kabupaten Sigi. Agrotekbis 4:8–15.
Buchori, D. (2021). Tinjauan Ilmiah Black Soldier Fly dan Peluang Pemanfaatnya.
Webinar: Asosiasi Profesor Indonesia-Dewan Guru Besar-Institut Pertanian
Bogor 16 Februari 2021.
Dewi, B., Hamidah. A., & Siburian. J. (2016). Keanekaragaman dan kelimpahan jenis
kupu-kupu (lepidoptera; rhopalocera) di sekitar Kampus Pinang Masak
Universitas Jambi. Biospecies, 9(2):32-38.
Dortmans, B. M. A., Diener. S., Verstappen. B. M., & Zurbrügg. C. (2017). Black Soldier
Fly Biowaste Processing - A Step-by-Step Guide. Eawag: Swiss Federal
Institute of Aquatic Science and Technology, Dübendorf, Switzerland
Elisabeth, D., Hidayat. J. W., & Tarwotjo. U. (2021). Kelimpahan dan Keanekaragaman
Serangga pada Sawah organik dan konvensional di sekitar Rawa Pening.
Jurnal Biologi. 10(1).
Erdiansyah, I., Ningrum. D. R. K., & Damanhuri. (2018). Pemanfaatan Tanaman Bunga
Marigold dan Kacang Hias Terhadap Populasi Arthropoda Pada Tanaman Padi
Sawah. Journal of Applied Agricultural Sciences.2(2), 117-125.
Jauharlina, J., Hasnah. H., & Taufik. M. I. (2019). Diversity and Community Structure of
Arthropods on Rice Ecosystem in Aceh. AGRIVITA.41(2), 316-324.
Khaliq, A., Javed. M., Sohail. M., & Sagheer. M. (2014). Environmental effects on insects
and their population dynamics. Journal of Entomology and Zoology Studies.
2(2),1–7.
Kurniawati, N., & Martono. E. (2015). Peran Tumbuhan Berbunga Sebagai Media
Konservasi Artropoda Musuh Alami. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia.19(2), 53–59.
Ma’arif, S., Suartini. N. M., & Ginantra. I. K. (2014). Diversitas Serangga Permukaan
Tanah pada Pertanian Hortikultura Organik di Banjar Titigalar, Desa Bangli,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan-Bali. Jurnal Biologi. XVIII(1), 28-32.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 39
ISBN: 978-602-9071-32-0

Pujiastuti, Y., Siregar. R. S. A., & Anggarini. D. (2018). Keberadaan Spesies Serangga
pada Berbagai Pertanaman Sayuran Tumpang Sari: Studi Kasus di Desa
Talang Pasai Kecamatan Pagar Alam Utara Kota Pagar Alam Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2018, Palembang 18-
19 Oktober 2018.
Sastro, Y. (2016). Teknologi Pengomposan Limbah Organik Kota Menggunakan Black
Soldier Fly. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Siregar, A. Z., Tulus., & Lubis. K. S. (2017). Diversity of Pest Insects in Paddy Field
Cultivation: A Case Study In Lae Parira, Dairi. International Journal of Trend in
Research and Development. 4(5).
Shelomi, M. (2020). Potential of Black Soldier Fly Production for Pacific Small Island
Developing States. Animal. 10, 1038.
Sumaryati, Handayani. F., & Sundari. (2019). Keragaman Serangga pada Pertanaman
Padi Sawah di Kabupaten Kutai Kartanergara, Kalimantan Timur. Prosiding
Seminar Nasional Masnyarakat Biodiversitas Indonesia. 5(2): 217-221.
Tauruslina, E., Trizelia., Yaherwandi., & Hasmiandy. H. (2015). Analisis Keanekaragaman
Hayati Musuh Alami Pada Eksosistem Padi Sawah Di Daerah Endemik Dan
Non-Endemik Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat.
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1(3).
Tsutsui, M. H., Kobayashi. K., & Miyashita. T. (2018). Temporal trends in arthropod
abundances after the transition to organic farming in paddy fields. PLoS ONE.
13(1).

40 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

PENINGKATAN HASIL PANEN TANAMAN SAWI PUTIH DAN KEMBANG KOL


MENGGUNAKAN ASAM HUMAT BERBASIS PSUC DAN PSNC

INCREASING THE TILTH OF CHICORY AND CAULIFLOWER USING PSUC- AND


PSNC-BASED HUMIC ACID

Sri Wahyuni1, Muhammad Abdul Aziz1, Fauziatul Fitriyah1, Hana Fadila1, Sulastri2, Insyiah
Meida Luktyansyah2, Siswanto1, dan Priyono1
1)
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jl. Taman Kencana, No.1 16128
sri09wahyuni@gmail.com
2)
Divisi RnD, PT. Pupuk Kalimantan Timur, Jl. James Simanjuntak No.01, Bontang 75313

ABSTRAK
Penelitian mengenai aplikasi asam humat terhadap tanaman sayuran di Indonesia masih terbatas, khususnya
pada tanaman sawi putih dan kembang kol. Efektivitas penggunaan asam humat untuk meningkatkan hasil
panen sayuran bagi petani sangat penting untuk dikaji terutama dalam hal peningkatan kualitas dan
kuantitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi 4 formula asam humat terhadap
produktivitas tanaman sawi putih dan kembang kol. 4 formula asam humat terdiri dari AHC.PSNC,
AHP.PSNC, AHC.PSUC, dan AHP.PSUC. Keempat formula tersebut diaplikasikan dengan sistem kocor pada
lubang tanaman dan foliar spray pada 1,3,6 MST (minggu setelah tanam). Pengujian dilakukan pada lahan
seluas 0,2 Ha dengan jarak tanam 30 x 30 cm untuk sawi putih dan 25 x 25 untuk kembang kol. Ukuran
bedengan 6 x 1,2 m dengan jarak antar bedeng 30 cm. Dosis Asam Humat cair 4 Lt/Ha dan Asam Humat
pdata 16 kg/Ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi asam humat dapat meningkatkan tinggi
tanaman sawi putih 1-12%, dan jumlah daun 4-7%, meskipun tidak signifikan dibanding kontrol. Hasil panen
sawi putih juga menunjukkan peningkatan hingga 16%, dengan perlakuan AHC.PSNC merupakan perlakuan
terbaik. Sedangkan untuk tanaman kembang kol, aplikasi asam humat dapat meningkatkan tinggi tanaman
13-28% dan jumlah daun meningkat 8-17%. Berdasarkan hasil panen kembang kol, perlakuan asam humat
dalam berbagai formula dapat meningkatkan diameter kembang kol hingga 6,25% yaitu sebesar 10,31 cm
serta mampu meningkatkan hasil panen 31-57% dengan perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan
AHC.PSNC. Dengan demikian, peningkatan hasil panen sawi putih dan kembang kol diduga dapat dilakukan
dengan aplikasi asam humat.

Kata Kunci: Asam Humat, PSUC, PSNC, hasil panen

ABSTRACT
Research on the application of humic acid towards vegetable crops in Indonesia is still limited, particularly in
chicory and cauliflower. For farmers, It is very important to study the effectiveness of humic acid to increase
vegetable yields, especially in terms of increasing the quality and quantity. This study aimed to determine the
effect of the application of 4 humic acid formulas on the productivity of chicory and cauliflower. 4 humic acid
formulas consist of AHC.PSNC, AHP.PSNC, AHC.PSUC, and AHP.PSUC. The four formulas were applied
with a drip system in the planting hole and foliar sprayed at 1, 3, and 6 WST (weeks after planting). The study
was carried out on an area of 0.2 ha with a spacing of 30 x 30 cm for chicory and 25 x 25 for cauliflower. The
size of the mound is 6 x 1.2 m with a distance of 30 cm. The dosage of liquid Humic Acid is 4 Lt/Ha and solid
Humic Acid is 16 kg/Ha. The results showed that the application of humic acid could increase the plant height
of chicory 1-12%, and the number of leaves 4-7%, although not significant compared to the control. The yield
of chicory also showed an increase of up to 16%, with AHC.PSNC treatment is the best treatment. Meanwhile,
in cauliflower, the application of humic acid could increase plant height by 13-28%, and the number of leaves
increases by 8-17%. Based on the yield of cauliflower, humic acid treatment in various formulas could
increase the diameter up to 6.25%, which is 10.31 cm and could increase the yield of 31-57% with the best
treatment obtained in the AHC.PSNC treatment. Thus, the increase in the yield of chicory and cauliflower is
suggested to be possible with the application of humic acid.

Keywords: Humic Acid, PSUC, PSNC, Tilth

41
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan

Produksi PS-UC dan PS-NC di PT. Pupuk Kalimantan Timur


PT. Pupuk Kalimantan Timur (PKT) merupakan salah satu pabrik pupuk terbesar yang
memproduksi Urea dan NPK di Indonesia. Unit produksi Pabrik urea dan NPK PKT sudah
dilengkapi dengan unit pengolahan air limbah (Waste Water Treatment (WWT)) antara
lain Hidrolizer-Stripper System, Oil Separator, Biological Waste Water Treatment System,
dan Sludge Removal Facilities. Dalam proses operasional WWT ini memerlukan biaya
yang cukup mahal untuk dapat memenuhi standar baku mutu limbah hingga layak
dibuang ke badan sungai atau laut. Volume limbah urea cair (PS-UC) dari pabrik urea
PKT diperkirakan sebanyak ± 77 m3/hari atau ± 23.100 ton/tahun, sedangkan limbah debu
NPK cair (PS-NC) dari pabrik pupuk NPK sebanyak ± 120 m3/hari atau ± 36.000
ton/tahun. PS-UC dan PS-NC tersebut hingga kini belum banyak dimanfaatkan bahkan
cenderung menjadi masalah serta menambah biaya produksi karena perlu dilakukan
pengolahan limbah dalam IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Limbah cair pabrik
pupuk urea terdiri dari urea dan amonium yang masing-masing mempunyai konsentrasi
berkisar antara 1500-10000 ppm dan 400-3000 ppm. Konsentrasi urea yang tinggi di
dalam badan air dapat menyebabkan blooming algae dalam ekosistem yang dapat
mengakibatkan kehidupan biota air lain terserang penyakit (Darmadi 2014), sehingga
perlu alternatif pemanfaatan PS-UC dan PS-NC sebagai salah satu upaya menuju zero
waste, menekan biaya IPAL serta meningkatkan added value limbah menjadi produk
samping.

Produksi Asam Humat berbasis PS-UC dan PS-NC


Asam humat merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki berbagai peranan dalam
menigkatkan kesuburan tanah yaitu dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Asam humat tidak berperan sebagai pengganti pupuk melainkan dapat meningkatkan
efisiensi pemupukan, sehingga mengurangi kebutuhan pupuk kimia (urea dan NPK), hal
ini karena humat dapat mengikat hara mikro dan makro sehingga mudah terserap oleh
akar (Smith 2016). Smith (2016)menyatakan bahwa kombinasi asam humat dengan
ekstrak seaweed dengan rasio 5:2 memberikan efek sinergi dibandingkan aplikasi secara
tunggal dan terpisah. Hal yang sama pernah dibuktikan dalam penelitian Sarhan (2011)
pada tanaman kentang. Kombinasi asam humat dan ekstrak seaweed pada rumput
Bentgrass meningkatkan biomassa akar (21–68%), kandungan tokoferol daun (110%) dan
zeatin riboside dan juga terbukti dapat meningkatkan kandungan sitokinin endogen serta
ketahanan terhadap kekeringan (Zhang and Ervin 2004). Industri pupuk Nasional dengan
pertimbangan ekonomis dapat memproduksi asam humat sebagai bahan sinergis
pemupukan berimbang yang dapat menggunakan bahan baku sesuai sumber daya yang
tersedia. PS-UC dan PS-NC terbukti masih mengandung hara mikro yang diperlukan
untuk tanaman sehingga dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai bahan baku selain
batuan lignit.

Aplikasi asam humat PS-UC dan PS-NC pada tanaman sayuran


Aplikasi pupuk asam humat banyak dimanfaatkan sebagai pembenah tanah maupun
biostimulan pertumbuha (Zanin et al. 2019). Aplikasi pupuk humat pada beberapa jenis
tanaman telah banyak dilaporkan antara lain pada Seledri Abou-Sreea, Yassen,

42 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

and Elkazzaz 2017), cabai (Avinash, Srinivasamurthy, and Suryanarayana 2017), padi
(Kumar and Singh 2017), bawang merah (Moustafa 2019) dan jagung (Zhang et al. 2019).
Oleh karena itu pupuk humat merupakan produk potensial untuk meningkatkan hasil
panen berbagai komoditas pertanian. Namun penelitian mengenai aplikasi asam humat
pada tanaman sayuran di Indonesia masih minim khususnya pada tanaman sawi putih
dan kembang kol. Efektivitas penggunaan asam humat untuk meningkatkan hasil panen
sayuran bagi petani sangat penting dikaji terutama dalam hal peningkatan kualitas dan
kuantitas panen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi 4 formula
asam humat terhadap produktivitas pada tanaman sawi putih dan kembang kol. Penelitian
ini diharapkan dapat menambah informasi tentang efektivitas penggunaan biostimulan
asam humat dengan formula baru untuk meningkatkan produktivitas tanaman sayuran.

2. Metode
Pengujian lapang dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober 2021 di
Ngablak,Magelang dengan rancangan acak langkap (RAL) menggunakan 4 jenis formula
uji dan budidaya konvensional sebagai kontrol negatif. Formula asam humat yang
dikembangkan berbasis limbah pupuk Urea dan NPK. Limbah pupuk NPK diproses
menjadi Asam Humat PSNC (padat dan cair), sedangkan limbah pupuk Urea diproses
menjadi Asam Humat PSUC (padat dan cair). Sehingga 4 formula asam humat terdiri dari
Asam Humat Cair PSNC, Asam Humat Padat PSNC, Asam Humat Cair PSUC dan Asam
Humat Padat PSUC. Keempat formula tersebut diaplikasikan dengan sistem kocor pada
lubang tanaman saat sebelum tanam dan foliar spray pada 1,3,6 MST (minggu setelah
tanam).

Pengujian dilakukan pada lahan seluas 2000 m2 dengan jarak tanam 30 x 30 cm untuk
sawi putih dan 25 x 25 untuk kembang kol. Ukuran bedengan 6 x 1,2 m dengan jarak
bedengan 30 cm. Dosis Asam Humat cair 4 Lt/Ha dan Asam Humat padat 16 kg/Ha.
Asam Humat padat sebelumnya dicairkan terselebih dahulu dengan air. Aplikasi formula
Asam Humat sebagai pembenah tanah dilakukan pada 1-3 hari sebelum tanam,
sedangkan aplikasi formula Asam Humat sebagai biostimulan dilakukan 3x pada 1, 3, 6
MST. Parameter pengamatan meliputi paramater vegetatif terdiri dari tinggi tanaman dan
jumlah daun (diamati pada 10, 20, 30 dan 40 HST) dan parameter hasil panen.
3. Hasil dan Pembahasan

Pengaruh aplikasi Asam Humat (PSUC dan PSUC) terhadap pertumbuhan dan hasil
panen sawi putih
Panen sawi putih dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2021, 60 HST (Gambar 1). Secara
visual ditampilkan kondisi fisik utuh dan belahan sawi putih hasil penelitian antara kontrol
dan perlakuan. Secara umum, perlakuan dengan asam humat menunjukkan perawakan
yang lebih besar dibanding kontrol.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 43
ISBN: 978-602-9071-32-0

Gambar 1. Sampel sawi putih tampak dalam dan sawi putih utuh pada kelompok kontrol dan
perlakuan

Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan sawi putih (Tabel 1), parameter vegetatif
pada kelompok perlakuan baik tinggi tanaman maupun jumlah daun teramati mengalami
peningkatan, namun kenaikan tersebut tidak signifikan dibanding kontrol. Tinggi tanaman
meningkat sebesar 1-12%, sedangkan jumlah daun naik sebesar 4-7%. Tinggi tanaman
terbaik diperoleh pada tanaman dengan perlakuan AHC.PSUC (30,65 cm?), sedangkan
jumlah daun terbaik didapatkan pada tanaman dengan perlakuan AHC.PSNC (14 helai).
Rahmandhias (2020) melaporkan bahwa aplikasi asam humat pada tanaman sayuran
kangkung dapat meningkatkan parameter vegetatif hingga 38%. Sementara itu, hasil
panen tanaman sawi menunjukkan bahwa perlakuan asam humat dalam berbagai formula
mampu meningkatkan hasil panen sawi putih hingga 16%, dengan perlakuan AHC.PSNC
memberikan hasil panen terbaik. Dengan demikian dapat diketahui bahwa parameter
jumlah daun berkorelasi positif terhadap hasil panen yang mana perlakuan AHC.PSNC
menunjukkan hasil paling optimal.

Tabel 1. Pengaruh aplikasi formula asam humat terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan hasil
panen sawi putih

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun (helai) Hasil panen


Bobot %
Perlakuan
10 HST 30 HST 40 HST 10 HST 30 HST 40 HST panen kenaika
(Ton/Ha) n
Kontrol 8,75±1,2 25,15±3,9 27,68±3,9 4,13±0,8 10,70±1,6 12,20±1,8 8,658 -
AHC.PSNC 9,68±1,4 26,77±3,4 28,02±3,7 4,43±0,9 11,33±1,3 14,20±1,5 10,080 16,43%
AHC.PSUC 9,20±1,8 28,45±1,9 30,65±2,4 4,30±0,6 11,97±1,6 13,43±2,3 9,529 10,06%
AHP.PSNC 9,92±1,3 27,15±5,0 28,25±4,4 4,40±0,8 12,10±1,8 13,73±2,2 8,764 1,23%
AHP.PSUC 8,82±1,9 27,20±3,9 29,97±3,5 4,43±0,5 10,93±2,5 12,6±2,6 9,618 11,09%

Pengaruh aplikasi Asam Humat (PSUC dan PSUC) terhadap pertumbuhan dan hasil
panen sawi putih

Panen bertahap kembang kol dilakukan mulai tanggal 15 Oktober 2021, 55 HST (Gambar
2). Secara visual ditampilkan kondisi fisik kembang kol hasil penelitian pada sisi bawah

44 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

dan atas. Secara visual tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara kembang kol pada
kelompok kontrol dan perlakuan.

Gambar 2. Sampel kembang kol tampak bawah dan atas pada kelompok perlakuan dan kontrol

Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan dan hasil panen kembang kol (Tabel 2),
dapat diketahui bahwa parameter vegetatif baik tinggi tanaman maupun jumlah daun
kembang kol meningkat, namun kenaikan tersebut tidak signifikan bila dibandingkan
tanaman kontrol. Tinggi tanaman teramati meningkat sebesar 13-28%, sedangkan jumlah
daun naik sebesar 8-17%. Peningkatan tinggi tanaman terbaik diperoleh pada tanaman
dengan perlakuan AHP-PSNC yaitu 7,53 cm, sedangkan jumlah daun terbaik didapatkan
pada tanaman dengan perlakuan AHC-PSUC (11,27 helai). Hasil panen kembang kol
menunjukkan bahwa perlakuan asam humat dalam berbagai formula dapat meningkatkan
diameter bunga kol hingga 6,25% yaitu sebesar 10,31 cm (Gambar 3) serta mampu
menaikkan hasil panen 31-57% dengan perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan
AHC.PSNC. Hakimah (2015)membuktikan bahwa aplikasi pupuk organik cair berbasis
asam humat dengan dosis 15ml/Lt mampu meningkatkan diameter bunga dan bobot
bunga kol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, produk asam humat cair (AHC) secara
kondisten menunjukkan hasil panen yang lebih optimal dibandingkan asam humat padat
(AHP), hal ini menunjukkan bahwa aplikasi asam humat cair lebih efektif dan memberikan
respon positif terhadap tanaman sayuran dibandingkan asam humat padat.

Tabel 2. Pengaruh aplikasi formula asam humat terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan
hasil panen kembang kol

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun (helai) Hasil panen


Bobot
Perlakuan %
10 HST 20 HST 40 HST 10 HST 20 HST 40 HST panen
kenaikan
(Ton/Ha)
Kontrol 3,80±0,4 4,53±0,9 6,78±1,0 4,53±0,9 5,93±0,8 9,57±1,2 5,454
AHC.PSNC 4,20±1,1 5,27±1,3 7,18±1,4 5,40±1,0 6,33±1,1 10.80±2,2 8,580 57,31%
AHC.PSUC 4,07±1,1 4,83±1,1 7,27±1,3 5,27±0,7 6,13±1,0 11,27±2,0 8,199 50,33%
AHP.PSNC 4,00±0,7 5,03±1,0 7,53±1,1 5,33±0,8 6,33±1,0 10,77±2,0 7,167 31,40%
AHP.PSUC 4,10±0,9 4,73±1,0 7,50±0,7 5,87±0,8 6,53±0,8 10,60±2,1 7,758 42,23%

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 45
ISBN: 978-602-9071-32-0

Pengaruh aplikasi Asam Humat PSUC dan PSNC terhadap Diameter Bunga
dan Hasil Panen Tanaman Bunga Kol
140.00 10.40
120.00 10.20
100.00
60.00
10.00
H
A
S
80.00

L
I
9.80
40.00
9.60
20.00
0.00 9.40
Kontrol AHC. PSNC AHC. PSUC AHP. PSNC AHP. PSUC
Bobot Bunga per plot (Kg) 76.36 108.61 114.79 100.34 120.12
Diameter Bunga (Cm) 9.71 9.75 10.31 10.19 10.13
PERLAKUAN

Gambar 3. Pengaruh aplikasi asam humat terhadap diameter bunga dan hasil panen bunga kol

4. Kesimpulan
Aplikasi asam humat berbasis PS.UC dan PS.NC dalam fase padat maupun cair mampu
meningkatkan karakter vegetatif tanaman sawi putih maupun kembang kol, aplikasi asam
humat dalam fase cair baik PS.UC maupun PS.NC lebih efektif dan memberikan respon
positif terhadap tanaman sayuran dibandingkan asam humat padat.

Daftar Pustaka
Avinash, S. N., C. A. Srinivasamurthy., & Bhaskar Suryanarayana. (2017). "Effect of foliar
application of humic acid fortified with zinc and boron on growth and yield of
capsicum." AN ASIAN JOURNAL OF SOIL SCIENCE 12:283-289. doi:
10.15740/HAS/AJSS/12.2/283-289.
Abou-Sreea, Alaa, abdel azim Yassen., & Ahmed Elkazzaz. (2017). "Effects of
Iron (II) Sulfate and Potassium Humate on Growth and Chemical Composition of
Coriandrum sativum L." International Journal of Agricultural Research 12:136-145.
doi: 10.3923/ijar.2017.136.145.
Darmadi. (2014). "Pengolahan Limbah Cair Pabrik Pupuk Urea Menggunakan Advanced
Oxidation Processes." Jurnal Rekayasa Kimia & Lingkungan 10 (1):1-6. doi:
10.23955/rkl.v10i1.2166.
Hakimah, Siti. (2015). "Pengaruh pupuk organik cair terhadap pertumbuhan, hasil dan
kualitas tiga varietas bunga kol (Brassuca oleraceae var. Botrytis L.). ." Program
Studi Agroteknologi, Universitas Jember.
Kumar, Dileep, & A. Singh. (2017). "Efficacy of Potassium Humate and Chemical
Fertilizers on Yield and Nutrient Availability Pattern in Soil at Different Growth
Stages of Rice." Communications in Soil Science and Plant Analysis 48. doi:
10.1080/00103624.2016.1261884.
Moustafa, Yasser. (2019). "Onion Quality and Storage Ability Affected by Potassium
Humate and NPK Doses." EC Agriculture Research Article 5:227-235.
Rahmandhias, D.T., & Rachmawati, D. (2020). "Pengaruh Asam Humat terhadap
Produktivitas dan Serapan Nitrogen pada Tanaman Kangkung Darat (Ipomoea
reptans Poir.)." Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 25 (2):316-322. doi:
10.18343/jipi.25.2.316.

46 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Sarhan, Taha. (2011). "Effect of Humic Acid and Seaweed extracts on growth and yield of
potato plant (Solanum tubersum L) Desiree CV." Mesopotamia Journal of
Agriculture 39:19-25. doi: 10.33899/magrj.2011.30377.
Smith, Harley. (2016). Humic Acid and Seaweed Extracts: A Powerful Combination -
Garden & Greenhouse. Accessed 5 November 2021.
Zanin, Laura, Nicola Tomasi, Stefano Cesco, Zeno Varanini, & Roberto Pinton. (2019).
"Humic Substances Contribute to Plant Iron Nutrition Acting as Chelators and
Biostimulants." 10 (675). doi: 10.3389/fpls.2019.00675.
Zhang, Shui-qin, Liang Yuan, Wei Li, Zhi-an Lin, Yan-ting Li, Shu-wen Hu, & Bing-qiang
Zhao. (2019). "Effects of urea enhanced with different weathered coal-derived
humic acid components on maize yield and fate of fertilizer nitrogen." Journal of
Integrative Agriculture, 18(3), 656-666.
Zhang, Xunzhong, and E. H. Ervin. (2004). "Cytokinin-Containing Seaweed and Humic
Acid Extracts Associated with Creeping Bentgrass Leaf Cytokinins and Drought
Resistance." 44(5), 1737-1745.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 47
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

KEKAYAAN SERANGGA DI UNIVERSITAS JAMBI MENDALO

WEALTH OF INSECTS ON THE JAMBI UNIVERSITY, MENDALO

Herni Dwinta Pebrianti, Hamdan Maruli Siregar, dan Najla Anwar Fuadi
Fakultas Pertanian Universitas Jambi
hernipebrianti@unja.ac.id

ABSTRAK
Kampus hijau Universitas Jambi (UNJA) menjadi daya tarik bagi mahasiswa dan masyarakat umum untuk
berkunjung dan menikmatinya. Daya tarik tersebut dapat didukung dengan ketersediaan berbagai informasi
terutama berkaitan dengan kekayaan hayati yang terdapat di dalamnya. Salah satu kekayaan hayati yang
terdapat di Kampus UNJA adalah keanekaragaman serangga. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi mengenai kekayaan serangga di Kampus UNJA. Penelitian dilaksanakan di Kampus UNJA Mendalo
dengan mengambil lima lokasi yang tersebar di Kampus UNJA Mendalo. Pengamatan dan pengambilan
sampel dilakukan dengan 3 metode, yaitu sweep net, pitfall trap, dan yellow pantrap. Kegiatan pengambilan
sampel serangga ini dilakukan sebanyak 1 kali perlakuan. Identifikasi Serangga dilakukan di Laboratorium
Hama Tanaman Fakultas Pertanian UNJA. Berdasarkan hasil penelitian jumlah serangga yang diperoleh
berjumlah 11 Ordo, dan 3.160 individu. Setiap lokasi memiliki jumlah ordo dan jumlah individu yang berbeda.
Ordo Diptera ditemukan paling dominan diantara ordo lainnya.
Kata Kunci: Keanekaragaman, Ekosistem, Serangga, Bioindikator, Kekayaan hayati

ABSTRACT
Jambi University's green campus (UNJA) is an attraction for students and the general public to visit and enjoy
it. This attraction can be supported by the availability of various information, especially related to the biological
wealth contained in it. One of the biological riches found on the UNJA Campus is the diversity of insects. This
study aims to obtain information about the abundance of insects on the UNJA. The research was carried out
on the UNJA Mendalo by taking five locations spread across the UNJA Mendalo. Observation and sampling
were carried out by 3 methods, namely sweep net, pitfall trap, and yellow pan trap. This insect sampling
activity was carried out for 1 treatment. Insect identification was carried out at the Plant Pest Laboratory,
Faculty of Agriculture, UNJA. Based on the results of the study, the number of insects obtained was 11
Orders, and 3,160 individuals. Each location has a different number of orders and the number of individuals.
The order Diptera was found to be the most dominant among other orders.
Keywords: Diversity, Ecosystem, Insects, Bioindicators, Biowealth

48
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

1. Pendahuluan
Universitas Jambi (UNJA) merupakan salah satu Universitas Negeri yang berada di
Provinsi Jambi. Kampus utama terdapat di Mendalo Jambi. Kampus UNJA memiliki
lingkungan yang masih hijau, sehingga memiliki kekayaan hayati yang terdapat di
dalamnya. Salah satu kekayaan hayati yang terdapat di Kampus UNJA adalah kekayaan
serangganya. Serangga merupakan artropoda dengan jumlah yang banyak dibandingkan
dengan hewan lainnya.
Adanya pepohonan dan taman yang hijau, danau, serta kebun percobaan akan
menyumbangkan serangga yang beragam jenis. Menurut Rizali et al., (2002)
keanekaragaman serangga pada suatu habitat berbeda, karena faktor tanaman, keadaan
iklim, dan keadaan habitat disekitarnya. Apabila suatu habitat memiliki vegetasi yang
beragam maka semakin beragam pula serangga didalamnya (Pebrianti et al. 2016).
Kekayaan serangga dapat menjadi daya tarik dalam mengenal lingkungan dan sekitarnya.
Serangga yang beragam jenis merupakan salah satu komponen keanekaragaman hayati
yang kompleks, karena berperan sebagai herbivora, karnivora dan pengurai dalam suatu
jarring makanan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kekayaan
serangga di Kampus UNJA Mendalo.

2. Metode
Lokasi peneltian tersebar di 5 titik di Kampus UNJA Mendalo, yakni Hutan Pendidikan
UNJA, taman danau UNJA, LPTIK, Kebun Percobaan, dan taman masjid UNJA.
Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan dengan 3 metode, yaitu sweep net,
pitfall trap, dan yellow pantrap.
1. Sweep net (Jaring Serangga)
Jaring serangga yang digunakan terbuat dari kain organdi. Pengambilan sampel
dilakukan pada pukul 07.00 - 09.00 WIB. Pengambilan sampel dilakukan dengan
mengayunkan jaring serangga sebanyak 10 kali ayunan ganda. Ayunan ganda adalah
ayunan yang dilakukan satu kali ke kiri dan satu kali kekanan. Serangga yang masuk ke
jaring serangga selanjutnya dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70%, dan
selanjutnya dilakukan identifikasi di Laboratorium.
2. Pitfall trap (Perangkap Jebakan)
Perangkap jebakan digunakan untuk menangkap serangga yang aktif di permukaan
tanah. Perangkap ini terbuat dari gelas plastik yang bervolume ± 240 ml. Perangkap diisi
dengan larutan air sabun dengan ketinggian setengah dari tingginya gelas plastik
tersebut. Setiap lokasi diletakkan 5 perangkap jebakan. Perangkap dipasang selama
1x24 jam.
3. Yellow pan trap (perangkap Kuning)
Perangkap kuning terbuat dari wadah plastik yang berwarna kuning untuk menarik
searangga yang menyukai warna cerah. Perangkap kuning tersebut diletakkan 5
perangkap pada setaip lokasinya. Setiap perangkap diisi dengan air sabun seperempat
dari tingginya wadah plastik. Perangkap dipasang selama 1 x 24 jam.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 49
ISBN: 978-602-9071-32-0

Identifikasi Serangga
Serangga yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan identifikasi berdasarkan
karakter morfologi serangga. Identifikasi dilaksanakan di Laboratorium Hama Tanaman,
Fakultas Pertanian, UNJA dengan menggunakan beberapa kunci identifikasi yang
terdapat pada buku Insect of Australia (CSIRO 2000), Borror et al. 1996 dan pustaka
lainnya yang relevan, serta menggunakan spesimen referensi yang ada.
Analisis Data
Data hasil penelitian ditabulasikan dalam tabel dengan menggunakan Microsoft
excel 2010. Kemudian dihitung jumlah ordo dan individu serangga yang terperangkap.

3. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil penelitian jumlah serangga yang diperoleh berjumlah 11 Ordo, dan
3.160 individu. Setiap lokasi memiliki jumlah ordo dan jumlah individu yang berbeda
(Tabel 6). Jumlah ordo serangga yang diperoleh di Hutan Pendidikan lebih banyak
dibandingkan dengan 4 lokasi lainnya. Ekosistem Hutan Pendidikan yang menyerupai
ekosistem alami sehingga memiliki jumlah ordo yang lebih banyak. Ekosistem yang alami
memiliki keanekaragaman serangga yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekosistem
pertanian (Agus, 2007). Jumlah Individu yang paling tinggi terdapat pada kebun
Percobaan. Berbeda dengan ekosistem alami, ekosistem pertanian cenderung tidak stabil
dan selalu berubah. Hal ini karena tindakan manusia dalam mengolah dan mengelola
ekosistem pertanian demi kepentingannya, sehingga peningkatan populasi serangga
menjadi lebih cepat (Saragih, 2008).

Tabel 1. Jumlah ordo dan jumlah individu pada setiap lokasi

Lokasi Jumlah Ordo Jumlah Individu

Danau 8 696

Hutan Pendidikan 10 541

Kebun Percobaan 9 1314

LPTIK 9 440

Masjid 6 169

Ordo Diptera adalah ordo yang paling banyak ditemukan hampir disetiap lokasi
pengambilan sampel (Tabel 7). Hal ini karena ordo Diptera merupakan salah satu ordo
terbesar dari kelas Insecta. Jumlah individu dari ordo diptera yang ditemukan adalah
1.117 individu. Faktor cuaca juga memengaruhi tingginya jumlah individu ordo diptera
yang diperoleh. Pengambilan sampel dilakukan pada saat musim hujan, hal ini
kemungkinan berkaitan dengan beberapa larva yang bersifat akuatik.

50 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tabel 2. Ordo serangga yang dominan ditemukan dalam penelitian

Ordo Serangga Jumlah Individu

Diptera 1117

Hymenoptera 637

Hemiptera 417

Collembola 336

Orthoptera 120

Ordo kedua yang banyak ditemukan adalah ordo Hymenoptera (Tabel 7), yaitu
semut dari Famili Formicidae. Semut ditemukan disetiap lokasi penelitian. Semut
merupakan serangga yang memiliki sensitifitas terhadap adanya perubahan lingkungan.
Selain itu adanya aktivitas manusia juga berhubungan erat dengan peningkatan
banyaknya semut ditemukan. Semut memiliki kemungkinan dapat bertahan bertahun-
tahun pada tempat yang sama ataupun dapat berpindah karena adanya berbagai faktor
seperti perubahan suhu, gangguan fisik dan insektisida (Rubiana, 2014).

Ordo ketiga yang banyak ditemukan adalah ordo Hemiptera (Tabel 7), salah
satunya adalah kutu daun (Famili Aphididae). Kutu daun adalah serangga yang berukuran
kecil dan bersifat polifag. Serangga ini biasanya ditemukan pada bagian bawah daun.
kutu daun dikenal sebagai hama pada banyak tanaman. Hal ini karena kutu daun dapat
menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung pada tanaman (Surachman et
al. 2007). Kerusakan langsung disebabkan karena kutu daun menghisap cairan tanaman
sehingga pertumbuhan tanaman menjadi tidak baik, seperti kerdil. Selain itu embun madu
yang dihasilkan oleh kutu daun juga dapat menyebabkan adanya serangan cendawan
jelaga pada permukaan daun, sehingga menghambat proses fotosintesis. Kerusakan
secara tidak langsung adalah bahwa kutu daun dapat menjadi vektor penyakit virus pada
tanaman.

4. Kesimpulan
Ordo serangga yang diperoleh dalam peneltian ini berjumlah 10 Ordo. Pada lokasi Hutan
Pendidikan ditemukan jumlah ordo tertinggi dan individu yang ditemukan paling banyak
adalah pada lokasi Kebun Percobaan. Ordo Diptera memiliki jumlah yang paling banyak
ditemukan dibandingkan ordo yang lainnya.

Daftar Pustaka
Agus. Y.H. (2007). Keanekaragaman Collembola, Semut dan Laba-Laba Permukaan
Tanah. [Disertasi], Bogor: Program Pascasarjana, IPB
Borror. D. J., Triplehorn. C.A., & Johnson. N. F. (1996). Pengenalan pelajaran serangga
edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari an introduction to the study on insect.
[CSIRO] Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization. (2000). The
Insect of Australia: A Textbook for Students and Research Workers. 1st Edition
dan 2nd Edition. Victoria (AU): Melbourne Univ Press.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 51
ISBN: 978-602-9071-32-0

Pebrianti. H. D, Maryana N., & Winasa. I.W. (2016). Keanekaragaman parasitoid dan
artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit dan padi sawah di Cinadli,
Kabupaten Bogor. J JHPT Tropika. 16 (2), 138-146.
Rizali, A., Buchori. D., & Triwidodo. H. (2002). Keanekaragaman serangga pada lahan
persawahan-tepian hutan: indicator untyk Kesehatan lingkungan. Hayati. 9(2):
41-48.
Rubiana, R. (2014). Pengaruh Tranformasi Habitat Terhadap Keanekaragaman dan
Struktur Komunitas Semut di Jambi [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Saragih, A. (2008). Indeks Keanekaragaman Jenis Seranga pada Tanaman Stroberi
(Flagaria sp) di Lapangan. Unversitas Sumatera Utara, Medan.
Surachman, E. (2007). Hama Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan, Masalah
dan Solusinya. Yogyakarta: Kanisius.

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Universitas Jambi karena penelitian ini
dapat terlaksana atas bantuan dari dana riset dan PPM dana PNBP Tahun 2021 yang
telah membiayai seluruh pelaksanaan penelitian. Besar harapan penulis bahwa penelitian
ini dapat memberi manfaat.

52 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

EVALUASI PEMANFAATAN KONSORSIUM MIKROBA DALAM UPAYA


MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADA (PLASMODIOPHORA BRASSICAE
WORON.) DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PAKCOY (BRASSICA
RAPA L.)

EVALUATION OF THE UTILIZATION OF MICROBIAN CONSORTIUMS IN EFFORT TO


CONTROL COMPLE ROOT DISEASE (PLASMODIOPHORA BRASSICAE WORON.) AND
INCREASE PRODUCTIVITY OF PAKCOY (BRASSICA RAPA L.) PLANTS

Eti Heni Krestini1, Efry Alfyyansyah2, Lilis Irmawatie2


1.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl Tangkuban Perahu No 517 Lembang Bandung Jabar
2 Universitas Islam Nusantara, Bandung

ABSTRAK
Akar gada merupakan penyakit oleh Plasmodiosphora brassicae Wor. Penyakit ini termasuk penyakit utama
pada tanaman brassica, bahkan kerugian pada tanaman pakcoy (Brassica rapa L.) ini bisa mencapai 100%.
Pengendalian yang selama ini dilakukan oleh petani adalah dengan penggunaan pestisida kimia berbahan
aktif flusulpamide. Tuntutan pasar untuk menghasilkan pakcoy organic menjadi pendorong untuk mencari
alternatif lain dalam mengendalikan penyakit ini. Konsorsium mikroba sebelumnya telah banyak dilaporkan
dapat mengendalikan beberapa penyakit penting pada tanaman hortikultura sekaligus dapat meningkatkan
produktivitas tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsorsium mikroba (Bacillus
subtillis, Trichoderma harzianum, Azotobacter chroocum, dan Pseudomonas cepacia) dalam menekan
intensitas penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) dan mampu meningkatkan produktivitas
tanaman pakcoy (Brassica rapa L.). Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi
dosis konsorsium mikroba yang terbaik dalam menekan intensitaspenyakit akar gada sekaligus mampu
meningkatkan produktivitas tanaman pakcoy. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Acak Kelompok
terdiri dari 7 perlakuan perlakuan yaitu : tanpa perlakuan, 5 dosis konsorsium mikroba (0,15,20,25, 30 dan 35
gram per tanaman) kemudian ditambah satu pestisida sintesis sebagai pembanding yaitu berbahan aktif. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan konsorsium mikroba uji belum mampu menekan intensitas penyakit akar gada
serta belum mampu meningkatkan produktivitas tanaman pakcoy.

Kata Kunci : akar gada, Plasmodiophora brassicae Wor.,konsorsium mikroba, pakcoy (Brassica rapa L.)

ABSTRACT
Clubroot is a disease caused by Plasmodiospora brassicae Wor. This disease is the main disease in pakcoy
(Brassica rapa L.) and can even cause losses of up to 50%. Clubroot disease control were generally carried
out by farmers using chemical pesticides with the active ingredient flusulfamide. Another alternative in
controlling clubroot disease is to use a microbial consortium. Microbial consortiums have been reported to be
able to control several important diseases in horticultural crops as well as to increase crop productivity. This
study aims to determine the effect of a consortium of microbes (Bacillus subtillis, Trichoderma harzianum,
Azotobacter chroococcum, and Pseudomonas cepacia) in suppressing the intensity of clubroot disease
(Plasmodiophora brassicae Wor.) and increasing the productivity of pakcoy (Brassica rapa L.). and is also
expected to provide recommendations for the best dose of microbial consortium in suppressing the intensity of
clubroot disease (Plasmodiophora brassicae Wor.) while at the same time increasing the productivity of
pakcoy (Brassica rapa L). The research method used was a randomized block design consisting of 7
treatments and 4 replications, as for the details of the treatment, namely: no treatment (control), 5 doses of
microbial consortium (15,20,25, 30 and 35 grams per plant) and a comparison treatment with the Flusulfamide
function. 0.3%,. The results of this study showed that the microbial consortium had no effect in suppressing
the intensity of clubroot disease and increasing the productivity of pakcoy (Brassica rapa L.)

Keywords: Plasmodiospora brassicae Wor., Brassica rapa L., Microbial Consortium

53
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Usaha peningkatan produktivitas tanaman pakcoy perlu terus dilakukan dengan
mempebaiki cara budidaya dan mengurangi kehilangan hasil akibat adanya serangan
organisme pengaganggu tanaman (OPT). Salah satu OPT yang menyebabkan
penurunan produktivitas pada tanaman pakcoydisebabkan adanya penyakit akar gada
yang disebabkan oleh patogen Plasmodiosphora brassicae Wor. (Pratiwi et al., 2019).
Penyakit akar gada merupakan penyakit yang menyerang bagian akar tanaman (Nurdin et
al., 2021). Penyakit tersebut dapat menimbulkan gejala layu, serta ditandai dengan
adanya berupa bintil-bintil pada akar yang dapat menyatu menjadi akar bengkak yang
menyerupai bentuk seperti batang (gada), sehingga penyakit ini dinamakan sebagai
penyakit akar gada. Penyakit akar gada dapat menimbulkan kerugian sebesar 10-15%
bahkan pada kondisi tertentu kerugiannya dapat mencapai 50% (CABI, 2018).
Pengendalian yang sering dilakukan oleh petani untuk mengendalikan akar gada adalah
dengan pestisida sintetis. Pestisida yang umum digunakan oleh para petani untuk
mengendalikan penyakit ini berbahan aktif Flusulfamide 0.3%. Alternatif lain dibutuhkan
untuk mengurangi residu yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida sintetis.
Konsorsium mikroba merupakan campuran populasi mikroba dalam bentuk komunitas
yang mempunyai hubungan kooperatif,komensal dan mutualistik (Asri & Zulaika, 2016).
Hasil penelitian Berendsen et al., (2018) menunjukkan konsorsium mikroba dapat
menginduksi resistensi secara sistemik sehingga penyakit dapat dikendalikan dan dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Resti & Sulyanti (2018) konsorsium
mikroba dapat mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai merah besar. Menurut
Puspita et al., (2020) konsorsium juga dapat mengendalikan penyakit busuk buah kakao
yang diakibatkan oleh Pytophthora pamivora.
Konsorsium mikroba selain berpengaruh terhadap penekanan penyakit, juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil panen pada tanaman. Penggunaan konsorsium
mikroba dengan dosis 7.5 g/tanaman dapat meningkatkan panen rata-rata per tanaman
hingga 233.8 gram pada tanaman cabe (Istifadah et al., 2018). Penggunaan kombinasi
mikroba Azotobacter sp. dan Trichoderma sp. dengan dosis 7,5 g/tanaman terbukti dapat
meningkatkan rata-rata hasil panen cabe hingga 290 g (Hindersah & Asmiran, 2017).
Penggunaan Trichoderma spp. dapat menekan intensitas penyakit vascular streak
dieback (VSD) pada bibit kakao hingga 81,8% (Harni et al., 2017). Pemberian Azotobacter
chroococcum dengan dosis 15 ml/tanaman pada tanaman cabai, dapat meningkatkan
tinggi tanaman, berat bersih tanaman, berat kering tanaman, panjang akar dan volume
akar (P et al., 2017). Penelitian lainnya menyatakan bahwa konsorsium mikroba Bacillus
subtillis, Trichoderma harzianum, Azotobacter chroococcum, dan Pseudomonas cepacia
dengan dosis 12.5 g/tanaman dapat menekan intensitas layu fusarium pada tanaman
bawang putih (Allium sativum) hingga 13% (Krestini et al., 2020).
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan pengujian mengenai pengaruh dari
aplikasi dosis konsorsium mikroba dalam menekan intensitas penyakit akar gada dan
mengkaji dosis konsorsium mikroba terbaik serta mengetahui pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan produktivitas tanaman, karena penelitian mengenai hal ini belum
pernah dilakukan.

54 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

2. Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Lembang Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat.
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mare-April 2021. Rancangan penelitian
yang akan digunakan adalah rancangan acak kelompok ( RAK ) yang terdiri 7 perlakuan
konsorsium mikroba yaitu 0, 15, 20, 25, 30 dan 35 gram dan sebagai pembanding
digunakan fungisida sintesis bebahan aktif flusulfamide dan diulang sebanyak 4ulangan.
Pengamatan dilakukan terhadap gejala layu dan intensitas penyakit akar gada.
Pengamatan gejala layu dilakukan setelah perlakuan kedua yaitu seminggu setelah
tanam. Pengamatan terhadap gejala penyakit dilakukan pada saat tanaman menampakan
gejala layu pada siang hari, data diambil 2 kali dalam seminggu.
Pengamatan intensitas penyakit akar gada dilakukan pada saat panen (40 HST),
sebanyak 50 tanaman per plot. Pengamatan menggunakan metode skoring berdasarkan
metode yang digunakan Kuginuki et.al.. (1999) dan dimodifikasi oleh Xue et.al.. (2008)
dalam Rating Clubroot Resistance (2009) dengan skala peringkat sebagai berikut : Skor 0
= tanpa galling, Skor 1 = beberapa gall kecil (gall kecil < 1/3 dari akar) 0-35%, Skor 2 =
galling sedang (gall kecil sampai sedang pada 1/3 – 2/3 akar) 35-70%, Skor 3 = galling
berat ( gall sedang sampai besar > 2/3 akar) 70-100%

Gambar 1. Indeks Skala Penyakit Untuk Skor Individu Pada Intensitas Akar Gada
Plasmodiophore brassicae Wor. Sumber : canolacouncil.org diakses tahun 2020.

Indeks penyakit menggunakan kalkulasi ID (index of disease) merujuk pada rumus tidak
mutlak dari Horiuchi dan Hori (1980) yang dimodifaksi oleh Strelkov el et.al.. (2006) dalam
Strelkov (2009). rumus yang dimaksud sebagai berikut :

IP(%)=∑ ((n x 0 )+ (n x 1 )+ (n x 2) + (n x 3)) x 100%


Nx3

IP : Indeks Penyakit;
n : Jumlah tanaman dalam satu kelas (Skor Keparahan);
N : Jumlah total tanaman keseluruhan;

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 55
ISBN: 978-602-9071-32-0

3. Hasil dan Pembahasan

a.Gejala Penyakit Akar Gada (Plasmodiosphora brassicae Wor.)

Gejala penyakit akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiosphora brassicae Wor. pada
tanaman pakcoy ditandai dengan gejala layu seperti pada Gambar 2. Pada penelitian ini
gejala layu pada tanaman pakcoy pertama kali ditemukan pada 10 hari setelah tanam
(HST). Gejala layu ini muncul karena adanya gangguan pada bagian akar tanaman, hal ini
disebabkan karena bagian akar tanaman terganggu sehingga tugas akar untuk menyerap
nutrisi tidak berjalan optimal. Gejala layu terus berkembang dan persentasenya semakin
meningkat sesuai dengan meningkatnya usia tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa gejala akar gada itu bisa dilihat dengan
gejala pada permukaan yaitu adanya gejala tanaman layu dengan ditandai gejala lanjut
berupa warna hijau pucat dan kekuningan serta daun layu pada saat cuaca sedang panas
dan kembali segar pada saat cuaca sejuk (Sari, 2019). Berdasarkan penelitian
sebelumnya melaporkan gejala layu baru muncul pada hari ke 15-17 (Agarwal et al.,
2009). Pada penelitian ini gejala muncul lebih awal, hal ini disebabkan oleh faktor
lingkungan yaitu penelitian dilakukan ditempat endemik disertai dengan kondisi cuaca
yang mendukung percepatan perkembangan penyakit ini.

Gambar 2. Gejala Layu akibat serangan Plasmodiosphora brassicae Wor. Menyerang Tanaman
Pakcoy di Lapangan. Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2021

Berdasarakan data pada Tabel 1 menunjukkan hasil rata-rata persentase gejala layu pada
4 kali pengamatan secara hasil uji statustik tidak berbeda nyata, walaupun demikian disini
terlihat adanya peningkatan persentase kelayuan pada masa 10-13 HST yang beragam.
Pada masa awal pengamatan (10 HST) pada perlakuan konsorsium mikroba 15
g/tanaman intensitas penyakitnya paling tinggi dan konsorsium mikroba 25 g/tanaman
paling rendah dengan penekanan mencapai 12.5%, pada 13 MST perkembangan
persentase tanaman layu pada perlakuan konsorsium mikroba dengan dosis 30
g/tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pestisida sintesis dan dengan
perlakuan yang lainnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa perlakuan konsorsium
mikroba dan pestisida sintesis sebagai pembanding positif dipenelitian ini belum mampu
menekan gejala layu dan secara hasil uji statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya.

56 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tabel 1. Persentasi Gejala Layu Pada Tanaman Pakcoy (Brassica rapa L.)

Intensitas Penyakit Dalam Satuan %


Perlakuan 10 HST 13 HST 16 HST 19 HST
A (Kontrol) 35a 51a 96.5a 100.0a
B (Konsorsium Mikroba 15 g/ tan) 43a 68.5a 99.5a 100.0a
C (Konsorsium Mikroba 20 g/ tan) 35a 45.5a 99.5a 100.0a
D (Konsorsium Mikroba 25 g/ tan) 12.5a 35.5a 99.5a 100.0a
E (Konsorsium Mikroba 30 g/ tan) 15a 91.5a 98.5a 100.0a
F (Konsorsium Mikroba 35 g/ tan) 34a 65a 95.5a 100.0a
G (Fungisida Flusulfamide 0.3%) 40.5a 86.5a 99a 100.0a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Penyebab terus meningkatnya rata-rata gejala layu seiring bertambahnya usia tanaman
diduga karena tingkat curah hujan yang tinggi membuat lapisan tanah terkikis akibat titik-
titik hujan yang menerpa tanah sehingga mengakibatkan erosi. Erosi dapat menyebabkan
tercucinya zat-zat yang dibutuhkan oleh tanaman yang ditubutuhkan untuk melanjutkan
metabolismenya terutama pada perlakuan yang diberikan baik dari perlakuan konsorsium
mikroba maupun perlakuan pembanding (Fungisida sintetis).
Tingkat rata-rata gejala yang tinggi juga dapat disebabkan karena tidak mampunya
konsorsium mikroba dalam mengendalikan patogen Plasmodiosphora brassicae Wor.
sehingga tingkat rata-rata gejala layu terus meningkat seiring bertambahnya usia
tanaman. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor tingginya curah hujan yang menyebabkan
perkembangan konsorsium mikroba terganggu sehingga tidak dapat mengendalikan
tingkat rata-rata gejala layu. Pernyataan ini selaras dengan Qiu et al., (2021) bahwa
apabila suatu lahan yang terkena erosi dapat memberikan dampak yang buruk terhadap
diversitas mikroorganisme dan fungsi tanah sehingga menyebabkan mikroorganisme
yang berada pada tanah tersebut berkurang. Erosi sendiri merupakan fenomena dimana
partikel tanah terbawa oleh aliran air (Nasidi et al., 2020). Secara tidak langsung hal ini
mempengaruhi tingkat populasi mikroorganisme dalam tanah dan mengakibatkan
perlakuan yang diaplikasikan tidak dapat mengendalikan penyakit secara optimal. Maka
semakin tingginya tingkat rata-rata gejala layu, diakibatkan kurangnya populasi yang
berfungsi untuk mengendalikan patogen tidak cukup untuk menghambat serangan
patogen P. brassicae sehingga mengakibatkan rata-rata gejala layu yang tinggi.

Faktor penyakit juga mepengaruhi intensitas penyakit yang berkembang, seperti jumlah
inokulum penyakit dilahan. Lahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan lahan
yang sudah endemik akar gada karena hampir sepanjang waktu lahan ini digunakan
untuk menanam tanaman brassicae, sehingga jumlah inokulum penyakit tersedia
berlimpah sedangkan perkembangan konsorsium mikroba pada usia 1-2 minggu masih
belum berkembang maksimal dan kondisi ini bertolak belakang dengan perkembangan
pakcoy yang hanya memiliki usia tanam 28 hari, sehingga perkembangan tanaman pada
2 MST sudah berada diawal fase generative sedangkan mikroba baru berkembang.
Faktor kelembaban juga mempengaruhi tingkat intensitas serangan dari patogen
Plasmodiosphora brassicae, hal ini sesuai dengan pernyataan Bush (2018) bahwa spora
rehat memerlukan kelembaban untuk berkecambah dan zoospore menggunakan
flagellanya untuk berenang pada tanah yang lembab. Faktor kepadatan populasi inokulum

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 57
ISBN: 978-602-9071-32-0

pada suatu lahan juga dapat menjadi penyebab tingginya gejala layu dilapangan. Hal ini
disebutkan oleh Czubatka-Bieńkowska et al., (2020) bahwa kepadatan populasi dalam
suatu lahan pertanaman dapat mempengaruhi keparahan penyakit sehingga dapat
membuat seluruh plot yang ditanami tanaman pakcoy terserang seluruhnya.
Faktor lain seperti kerentanan tanaman terhadap penyakit dapat menjadi penyebab
tingginya gejala yang muncul dilapangan yang menyebabkan seluruh tanaman pada
penelitian ini memunculkan gejala layu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamnah et al.,
(2021) bahwa setiap varietas memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap penyakit
dan kerentanan penyakit juga bergantung pada varietas tanaman yang digunakan.
Virulensi dari sebuah patogen juga menjadi sebab tingginya gejala layu dilapangan,
menurut Pang et al., (2020) menyatakan bahwa plasmodiosphora brassicae memiliki
spektrum inang yang luas sehingga diversitas genetik dari plasmodiosphora brassicae
memiliki banyak variasi yang menjadikkannya sulit untuk dikendalikan.

b. Intensitas Penyakit Akar Gada (Plasmodiosphora brassicae Wor).

Gejala penyakit akar gada yang diakibatkan oleh Plasmodiosphora brassicae Wor. dapat
terlihat apabila akar tanaman dicabut dari tanah pada saat pemanenan. Hal ini sesuai
dengan tanda khas yang disampaikan oleh peneliti sebelumnya yang menyatakan akar
gada ditandai dengan adanya gejala yaitu adanya tanaman layu yang ditandai gejala
lanjutan berupa warna hijau pucat dan kekuningan serta daun layu pada saat cuaca
sedang panas dan kembali segar pada saat cuaca sejuk (Sari, 2019). Pada penelitian ini
pun terlihat selain ditandai dengan gejala tanaman yang layu,pada saat panen waktu
bagian akar diamati terdapat bentuk akar yang tidak normal, akar tanaman memiliki
benjolan dan tidak terlihat adanya serabut akar, pada serangan yang lebih parah benjolan
akar sampai muncul dipermukaan tanah. Secara lebih jelas benjolan pada bagian akar
seperti pada Gambar 3. Gejala khas ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Driscoll
(2020) yang menyatakan gejala akar gada berupa pembengkakkan atau benjolan-
benjolan kecil tidak beraturan berwana putih dan menyatu pada perakaran, benjolan
tersebut terus membesar bahkan sampai mebusuk sehingga tanaman menjadi mati.

Pengamatan intensitas penyakit pada bagian akar dilakukan pada saat panen. Data hasil
analisis rata-rata intensitas penyakit akar gada akibat Plasmodiosphora brassicae
disajikan pada Tabel 2. sebagai berikut :

Tabel 2. Rata-Rata Intensitas Penyakit Akar Gada.

Perlakuan Rata-Rata (%)


A (Kontrol) 96.68a
B (Konsorsium Mikroba 15g/tanaman) 96.50a
C (Konsorsium Mikroba 20g/tanaman) 96.08a
D (Konsorsium Mikroba 25g/tanaman) 94.83a
E (Konsorsium Mikroba 30g/tanaman) 91.09a
F (Konsorsium Mikroba 35g/tanaman) 97.02a
G (Fungisida Flusulfamide 0.3%) 90.82a

58 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Gambar 3. Gejala Bengkak Akar Pada Tanaman Pakcoy


Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2021

Berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%, hasil analisis rata-rata intensitas
penyakit akar gada menunjukkan bahwa semua perlakuan dosis konsorsium mikroba
menunjukkan tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan A (Kontrol)
dan perlakuan pembanding (G). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dosis konsorsium
mikroba yang diuji tidak berpengaruh dalam menekan intensitas penyakit akar gada
(Plasmodiosphora brassicae Wor.) demikian pula perlakuan pembanding fungisida sintetis
Flusulfamide 0.3%. Hal ini dipengaruhi karena adanya waktu yang lebih lama dibutuhkan
oleh konsorsium mikroba untuk berkembang biak dan mengalahkan perkembangan
penyakit target sedangkan tanaman pakcoy hanya 28 hari. Menurut Amaria et al., (2019)
agensia hayati membutuhkan waktu yang panjang untuk menekan perkembangan infeksi
patogen serta menurunkan intensitas penyakit dan menstabilkan lingkungan. Penyebab
lainnya yaitu pengaruh lingkungan dimana pada saat dilakukan penelitian intensitas curah
hujan sangat tinggi sehingga kemungkinan konsorsium mikroba mengalami pencucian.
Intensitas hujan yang tinggi mempengaruhi tingkat keefektifan konsorsium mikroba di
lapangan,. Erosi yang diakibatkan curah hujan tinggi secara tidak langsung
mengakibatkan keragaman mikroba dan unsur hara pada tanah tereduksi (Nurlaeny,
2015; Qiu et al., 2021).
Faktor penyakit, dalam hal ini Plasmodiosphora brassicae Wor. Juga mempengaruhi
tingginya intensitas ini. Pada keadaan tanah lembab penyakit ini berkembang dengan
lebih cepat selain itu didorong oleh pH tanah disekitar lokasi penelitan yang kurang dari 7
membuat cocok untuk perkembangan penyakit ini. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitiannya sebelumnya yang mengungkapkan adanya pH dengan tingkat 5.2 sampai
6.6 menunjukkan serangan yang lebih tinggi (Gahatraj et al., 2019). Hal ini menunjukkan
keadaan pH dan kelembaban dapat mempengaruhi faktor berkembangnya penyakit ini.
Curah hujan yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya juga memacu lebih cepatnya
penyakit akar gada. Menurut Pranata (2021) bahwa BMKG melaporkan 96% daerah ini
mengalami hujan pada bulan Maret – April 2021 dengan curah hujan 200-500 mm per
bulan. Curah hujan berlebih yang berlangsung lama atau terjadi berulangkali, baik dalam
bentuk hujan, embun dan kelembapan relatif merupakan faktor yang mendukung
perkembangan penyakit (Sopialena, 2017). Penelitian lain juga mengungkapkan tingginya
curah hujan dapat meningkatkan pertumbuhan patogen Plasmodiosphora brassicae

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 59
ISBN: 978-602-9071-32-0

(Wallenhammar et al., 2021) sehingga zoospore dapat bergerak bebas pada lapisan air
pada paertikel tanah (Bassani et al., 2020; Gossen et al., 2013).
Tanah yang memiliki kandungan air dengan jangka waktu panjang dapat menjadi faktor
abiotik yang sangat mendukung perkembangan penyakit akar gada (Wallenhammar et al.,
2021). Sedangkan laju perkembangan penyakit pada keadaan lembab berkembang
dengan lebih cepat. Hal ini seuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan
adanya pengaruh faktor lingkungan yang mendukung patogen untuk berkembang lebih
cepat (Wardani, 2017; Sopialena, 2017).
Fungisida sintetis yang digunakan pada penelitian ini juga belum terlihat berpengaruh. Hal
ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu tingginya curah hujan sehingga residu
fungisida pada lapisan tanah tercuci yang pada akhirnya menurunkan tingkat efikasi dari
fungisida tersebut. Hal ini telah disampaikan oleh Sodiq, (2000) bahwa curah air hujan
yang tinggi dapat menyebabkan pencucian pada fungisida sehingga menyebabkan umur
residu fungisida lebih pendek. Menurut Da Lopes & Djaelani, (1992) menyatakan bahwa
hujan dapat mencuci fungisida dalam tanah sehingga dapat menurunkan tingkat efikasi
fungisida tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Tumangkeng et al., (2021) bahwa
semakin besar curah hujan semakin tinggi erosi tanah yang dihasilkan.
Erosi merupakan kejadian pengelupasan tanah yang diakibatkan titik-titik air hujan yang
menerpa tanah yanag memilki energy kinetik sehingga mampu memecah bongkahan
tanah menjadi butiran-butiran kecil (Janna & Amelia, 2021). Pencucian tanah pada
penelitian ini terjadi akibat adanya aliran air hujan yang secara tidak langung dapat
menyebabkan terangkutnya residu fungisida yang diaplikasikan, Sehingga kemampuan
fungisida untuk menghambat patogen Plasmodiosphora brassicae berkurang.
Menurut Botero-Ramirez et al., (2021), bahwa Plasmodiosphora brassicae memiliki
persistensi pada spora rehatnya di dalam tanah sehingga patogen ini sangat sulit untuk
dikendalikan. Hal ini dikarenakan spora rehat sangat tahan terhadap berbagai keadaan
lingkungan sehingga bertahan lama dalam tanah. Persistensi ini menyebabkan populasi
patogen semakin padat dikarenakan sisa populasi dari spora plasmodiosphora brassicae
setelah menyelesaikan siklus hidupnya masih berada dalam tanah yang menyebabkan
tingkat infeksi semakin tinggi seiring musim tanam pakcoy selesai
Pengamatan hasil panen adalah dengan menimbang bobot panen tanaman sampel. Rata-
rata bobot panen tanaman pakcoy (kg) menunjukkan bahwa pemberian konsorsium
mikroba pada berbagai dosis perlakuan tidak berpengaruh nyata. Berdasarkankan uji
jarak berganda Duncan pada taraf 5%, hasil analisis rata-rata-rata bobot panen tanaman
pakcoy per plot disajikan pada Tabel 3. berikut :

Tabel 3. Bobot Rata-rata Panen Tanaman Pakcoy (Brassica rapa L.)

Perlakuan Bobot Panen (Kg)


a
A (Tanpa perlakuan) 1.20
a
B (Konsorsium Mikroba (15 g/ tan) 1.23
a
C (Konsorsium Mikroba (20 g/ tan) 0.92
a
D (Konsorsium Mikroba (25 g/ tan) 1.26
a
E (Konsorsium Mikroba (30 g/ tan) 0.98
a
F (Konsorsium Mikroba (35 g/ tan) 0.71
a
G (Pembanding (Fungisida Sintetis) 2.06

60 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.

Berdasarkankan rata-rata bobot panen disajikan pada Tabel 3. di atas menunjukkan


bahwa pemberian perlakuan konsorsium mikroba tidak berpengaruh nyata. Hal ini diduga
karena tingginya infeksi Plasmodiosphora brassicae Wor. yang menyebabkan
pertumbuhan akar tanaman pakcoy menjadi abnormal. Infeksi tersebut mengganggu
penyerapan unsur hara untuk menunjang pertumbuhan tanaman pakcoy menjadi
terhambat. Selain itu, curah hujan yang tinggi mengakibatkan terjadinya penurunan sifat
fisik dan kimia tanah, akibatnya lapisan tanah atas yang mengandung unsur hara yang
cukup bagi perkembangan mikroba dalam konsorsium perlakuan menjadi tidak optimal.
Menurut Botero-Ramirez et al., (2021), bahwa penyakit akar gada yang disebabkan oleh
Plasmodiosphora brassicae Wor. mengakibatkan turunnya efisiensi penyerapan unsur
hara dan air pada akar tanaman pakcoy. Fungsi akar yang terganggu mengakibatkan
tingkat penyerapan unsur hara berkurang sehingga berakibat turunnya bobot panen
tanaman pakcoy. Hal tersebut disampaikan oleh Sopialena (2017), bahwa patogen
penyakit tular tanah atau hama yang menyerang bagian perakaran tanaman dapat
mempengaruhi tanaman dalam penyerapan unsur hara. Kekurangan unsur hara dapat
mengakibatkan pertumbuhan daun terhambat, sehingga dapat membatasi pertumbuhan
lebar daun. Lebar daun yang rendah akan membatasi hasil fotosintesis bersih yang
dihasilkan. Maka apabila hal tersebut terus berlangsung maka akan berakibat pada
penurunan hasil panen (Wiraatmaja, 2017).

4. Kesimpulan

Konsorsium mikroba dengan kandungan Bacillus subtillis, Trichoderma harzianum,


Azotobacter chroococcum, dan Pseudomonas cepacia tidak berpengaruh terhadap
intensitas penyakit akar (Plasmodiosphora brassicae Wor.) gada dan produktivitas
tanaman pakcoy (Brassica rapa L.).

Seluruh dosis konsorsium mikroba yang diujikan belum mampu menekan intensitas
penyakit akar gada (Plasmodiosphora brassicae Wor.) dan belum mampu meningkatkan
produktivitas tanaman pakcoy (Brassica rapa L.).

Daftar Pustaka
Agarwal, A., Kaul, V., Faggian, R., & Cahill, D. M. (2009). Development and use of a
model system to monitor clubroot disease progression with an Australian field
population of Plasmodiophora brassicae. Australasian Plant Pathology, 38(2), 120–
127.
Asri, A., & Zulaika, E. (2016). Sinergisme Antar Isolat Azotobacter Yang
Dikonsorsiumkan. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 5(2), 57–59.
Bassani, I., Larousse, M., Tran, Q. D., Attard, A., & Galiana, E. (2020). Phytophthora
zoospores: From perception of environmental signals to inoculum formation on the
host-root surface. Computational and Structural Biotechnology Journal, 18, 3766–
3773.
Berendsen, R. L., Vismans, G., Yu, K., Song, Y., De Jonge, R., Burgman, W. P.,
Burmølle, M., Herschend, J., Bakker, P. A. H. M., & Pieterse, C. M. J. (2018).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 61
ISBN: 978-602-9071-32-0

Disease-induced assemblage of a plant-beneficial bacterial consortium. ISME


Journal, 12(6), 1496–1507.
Botero-Ramirez, A., Hwang, S. F., & Strelkov, S. E. (2021). Plasmodiophora brassicae
inoculum density and spatial patterns at the field level and relation to soil
characteristics. Pathogens, 10(5).
Bush, J. (2018). Live Cell Imaging of Plasmodiophora brassicae Infection and Host
Interactions.
CABI. (2018). Plasmodiophora brassicae (cabbage club root). Invasive Species
Compendium, December 2019. https://www.cabi.org/isc/datasheet/41865
Czubatka-Bieńkowska, A., Kaczmarek, J., Marzec-Schmidt, K., Nieróbca, A., Czajka, A.,
& Jędryczka, M. (2020). Country-wide qpcr based assessment of plasmodiophora
brassicae spread in agricultural soils and recommendations for the cultivation of
brassicaceae crops in Poland. Pathogens, 9(12), 1–17.
Da Lopes, Y. F., & Djaelani, I. A. K. (1992). Pestisida Pertanian dan Teknik Aplikasinya.
Bahan Ajar Kuliah Perlindungan Tanaman, 1–10.
Driscoll, A. O. (2020). Brassica diseases Contents. May.
Gahatraj, S., Shrestha, S. M., Devkota, T. R., & Rai, H. H. (2019). A review on clubroot of
crucifers: symptoms, life-cycle of pathogen, factors affecting severity, and
management strategies. Archives of Agriculture and Environmental Science, 4(3),
342–349.
Gossen, B. D., Kasinathan, H., Cao, T., Manolii, V. P., Strelkov, S. E., Hwang, S. F., &
Mcdonald, M. R. (2013). Interaction of pH and temperature affect infection and
symptom development of Plasmodiophora brassicae in canola. Canadian Journal of
Plant Pathology, 35(3), 294–303.
Hamnah, Aidawati, N., & Fitriyanti, D. (2021). Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman
Cabai Rawit Terhadap Penyakit Antraknosa. Jurnal Proteksi Tanaman Tropika,
4(01), 252–258.
Harni, R., Amaria, W., Mahsunah, H., Penelitian, B., Industri, T., Raya, J., Km, P.,
Indonesia, S., Bioteknologi, B., Pengkajian, B., Puspitek, K., Gedung, S., &
Indonesia, T. S. (2017). Potensi metabolit sekunder Trichoderma spp. untuk
mengendalikan penyakit vascular streak dieback ( vsd ) pada bibit kakao potential of
Trichoderma spp . Tanaman Industri Dan Penyegar, 4(August 2016), 57–66.
Hindersah, R., & Asmiran, P. (2017). Peran Agen Hayati Azotobacter-Trichoderma
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Cabai Merah (Capsicum annum L.) Pada
Percobaan Pot. Agric, 29(2), 137–146.
Huber, D., Römheld, V., & Weinmann, M. (2010). Relationship between Nutrition , Plant
Diseases and Pests. 283–298.
Istifadah, N., Sapta, D., Krestini, H., Natalie, B., Suryatmana, P., Nurbaity, A., & Hidersah,
R. (2018). The effect of dosages of microbial consortia formulation and synthetic
fertilizer on the growth and yield of field-grown chili The effect of dosages of
microbial consortia formulation and synthetic fertilizer on the growth and yield of
field-grown chili.
Janna, N., & Amelia, R. (2021). Laju Erosi di Bagian Hilir Sungai Pappa Kecamatan
Polombangkeng Selatan.
Krestini, E. H., Susilawati, A., & Hermanto, C. (2020). Effect of NPK fertilizer and microbial
consortium to growth and production of garlic ( Allium sativum L.). BIO Web of
Conferences, 20, 03010.

62 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Nasidi, N. M., Wayayok, A., Abdullah, F. A., & Kassim, M. S. M. (2020). Vulnerability of
Potential Soil Erosion and Risk Assessment at Hilly Farms using InSAR Technology.
Algerian Journal of Engineering, 02(2), 44–58.
Nurdin, M., Baharsyah, R., Ginting, Y. C., & Dirmawati, S. R. (2021). PENGARUH
APLIKASI ISI RUMEN SAPI DAN KELELAWAR TERHADAP INTENSITAS
PENYAKIT AKAR GADA (Plasmodiophora brassicae Wor.) PADA TANAMAN
PAKCOY (Brassica rapa L.). Jurnal Agrotek Tropika, 9(1), 45.
Nurlaeny, N. (2015). Bahan Organik Tanah dan Dinamika Ketersedian Unsur Hara
Tanaman.
P, T. S., Lapanjang, M., I., & Barus, H. N. (2017). APLIKASI KOMPOS DAN Azotobacter
sp . TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI MERAH
(Capsicum annuum L.). Agrotekbis, 5(3), 291–299.
Pang, W., Liang, Y., Zhan, Z., Li, X., & Piao, Z. (2020). Development of a Sinitic Clubroot
Differential Set for the Pathotype Classification of Plasmodiophora brassicae.
Frontiers in Plant Science, 11(August), 1–9.
Pratiwi, H. H., Sudjianto, A., & Despita, R. (2019). Pengendalian Akar Gada Pada Sawi
Pakcoy dengan Trichoderma , Garam dan Bawang Putih Control of Club Root in
Brassica Rapa L . with Trichoderma , Salt and Garlic. 2, 111–116.
Puspita, F., Ali, M., & Supriyadi, S. (2020). Kompatibilitas dan Daya Hambat Konsorsium
Trichoderma spp. Endofit terhadap Penyakit Busuk Buah Kakao Phytophthora
palmivora. Agrikultura, 31(2), 126.
Qiu, L., Zhang, Q., Zhu, H., Reich, P. B., Banerjee, S., van der Heijden, M. G. A.,
Sadowsky, M. J., Ishii, S., Jia, X., Shao, M., Liu, B., Jiao, H., Li, H., & Wei, X. (2021).
Erosion reduces soil microbial diversity, network complexity and multifunctionality.
ISME Journal, 15(8), 2474–2489.
Resti, Z., & Sulyanti, E. R. I. (2018). Konsorsium bakteri endofit sebagai pengendali hayati
Ralstonia solanacearum dan pemacu pertumbuhan tanaman cabai Endophytic
bacterial consortium as biological control to Ralstonia solanacearum and growth
promoter for chili plant. 4, 208–214.
Sari, R. J. (2019). EFEKTIVITAS JAMUR ANTAGONIS DAN BAHAN ORGANIK
TERHADAP Plasmodiophora brassicae Wor. PENYEBAB PENYAKIT AKAR GADA
PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleracea var. Capitata). Endocrinology and
Metabolism Clinics of North America, Physiology of the hypothalamic-pituitary-
adrenal axis in health and dysregulation in psychiatric and autoimmune disorders.,
5–17.
Sodiq, M. (2000). Pengaruh Pestisida Terhadap Kehidupan Organisme Tanah.
Sopialena. (2017). Segitiga Penyakit Tanaman (Susilo (ed.); 1st ed., Vol. 148).
Mulawarman University PRESS. https://faperta.unmul.ac.id/web/wp-
content/uploads/2019/01/SEGITIGA-PENYAKIT-TANAMAN-SIAP-CETAK.pdf
Strelkov, S. E. (2009). Rating Clubroot Resistance.
https://www.canolacouncil.org/download/157/canola-
encyclopedia/4839/2009cs_strelkov_rating_scale
Tumangkeng, T. G., Ch, V. R., & Mawara, J. M. (2021). Analisis Pengaruh Curah Hujan
Terhadap Erosi Pada Tanah Tanpa Mulsa dan Diberi Mulsa. Universitas Sam
Ratulangi.
Wallenhammar, A. C., Omer, Z. S., Edin, E., & Jonsson, A. (2021). Influence of soil-borne
inoculum of plasmodiophora brassicae measured by qpcr on disease severity of

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 63
ISBN: 978-602-9071-32-0

clubroot-resistant cultivars of winter oilseed rape (Brassica napus l.). Pathogens,


10(4).
Wiraatmaja, I. W. (2017). Defisiensi dan Toksisitas Hara Mineral serta Responnya
terhadap Hasil. Bahan Ajar, 6. chrome-
extension://oemmndcbldboiebfnladdacbdfmadadm/https://simdos.unud.ac.id/upload
s/file_pendidikan_1_dir/8845246192c4d15f3aa034af1b88a4d4.pdf

64 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

SCREENING BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) DARI EKOENZIM JERUK KALAMANSI


(Citrus microcarpa) DAN JERUK MANIS (Citrus sinensis)

SCREENING OF LACTIC ACID BACTERIA (BAL) FROM KALAMANSI ORANGE (Citrus


microcarpa) AND SWEET ORANGE (Citrus sinensis) ECOENZYMES

Dhea Amelia Sari1), Elsi Silvia 1)


, Titi Dwi Sari1), Agustiono1),
1) 2)
Denny Kurniawan , dan Risky Hadi Wibowo
1)
Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu
dheaameliasari15@gmail.com
2)Dosen Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu
riskyhadiwibowo80@gmail.com

ABSTRAK
Limbah dari jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan jeruk manis (Citrus sinensis) dapat dimanfaatkan
sebagai penghambat aktivitas mirob patogen dengan cara menjadikan limbah dari jeruk kalamansi (Citrus
miicrocarpa) dan jeruk manis (Citrus sinensis) sebagai bahan dasar dalam pembuatan ekoenzim.Ekoenzim
adalah zat organik kompleks yang terdiri dari rantai protein, garam mineral, dan asam organik yang dihasilkan
dari fermentasi limbah sayuran dan buah-buahan, gula, dan air. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk
mengetahui keragaman jenis Bakteri Asam Laktat (BAL) dari ekoenzim jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa)
dan Jeruk Manis (Citrus sinensis). Ecoenzyme dibuat dengan komposis air, gula dan limbah organik dengan
perbandingan 10:1:3, kimposisi difermentasi dalam wadah kedap udara dan dibiarkan pada suhu ruangan
selama 3 bulan. Setelah itu, akan dilakukan isolasi bakteri dengan metode pengenceran bertingkat. Bakteri
yang tumbuh selanjutkan akan diseleksi berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan enzim pada media
spesifik. Dari hasil isolasi yang didapat diketahui bahwa terdapat 4 isolat bakteri dari ekoenzim limbah jeruk
kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan 3 isolat bakteri dari jeruk manis (Citrus sinensis), setelah dilakukan
pewarnaan garam dari isolat bakteri tersebut dapat diketahui bahwa semua isolat bakteri merupakan bhakteri
gram positif, pada uji katalase 2 isolat bakteri dari jeruk kalamansi menunjukkan uji negatif, dan selebihnya
menujukkan uji positif, pada uji glukosa dan sukrosa semua isolat bakteri menunjukan uji positif.

Kata Kunci: bakteri asam laktat, ekoenzim, jeruk kalamansi, jeruk manis

ABSTRACT
Waste from calamansi orange (Citrus miicrocarpa) and sweet orange (Citrus sinensis) can be used as an
inhibitor of pathogenic microbial activity by making waste from calamansi orange (Citrus miicrocarpa) and
sweet orange (Citrus sinensis) as basic ingredients in making ecoenzymes. complex organic compounds
consisting of protein chains, mineral salts, and organic acids produced from the fermentation of vegetable and
fruit waste, sugar, and water. The specific purpose of this study was to determine the diversity of lactic acid
bacteria (LAB) from the ecoenzymes of kalamansi orange (Citrus miicrocarpa) and sweet orange (Citrus
sinensis). Ecoenzyme is made with the composition of water, sugar and organic waste in a ratio of 10:1:3, the
chyme is fermented in an airtight container and left at room temperature for 3 months. After that, bacterial
isolation will be carried out using the multilevel dilution method. Bacteria that grow further will be selected
based on their ability to produce enzymes in specific media. From the isolation results obtained, it was known
that there were 4 bacterial isolates from the ecoenzyme waste of kalamansi orange (Citrus miicrocarpa) and 3
bacterial isolates from sweet orange (Citrus sinensis). In the catalase 2 test, bacterial isolates from Kalamansi
orange showed a negative test, and the rest showed a positive test, in the glucose and sucrose test all
bacterial isolates showed a positive test.

Keywords: lactic acid bacteria, ecoenzymes, kalamansi orange, sweet orange

65
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan jeruk manis (Citrus sinensis) merupakan
tanaman yang sangat banyak ditemukan di Indonesia. Selain buahnya dapat dikonsumsi
limbah dari jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan jeruk manis (Citrus sinensis) dapat
dimanfaatkan sebagai penghambat aktivitas mirob patogen dengan cara menjadikan
limbah dari jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan jeruk manis (Citrus sinensis) sebagai
bahan dasar dalam pembuatan ekoenzim.

Ekoenzim adalah zat organik kompleks yang terdiri dari rantai protein, garam mineral, dan
asam organik yang dihasilkan dari fermentasi limbah sayuran dan buah-buahan, gula, dan
air (Dewi dkk, 2016). Menurut Arifin dkk (2009) Hasil fermentasi ekoenzim memiliki
aktivitas antimikrob yang tinggi yang berasal dari mikrob yang terkandung di dalam cairan
ekoenzim sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikrob patogen.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman jenis Bakteri Asam
Laktat (BAL) dari ekoenzim jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus
sinensis).

2. Metode
Metode penelitian dilakuakan dengan mengisolasi Bakteri Asam Laktat (BAL) yang
terdapat dalam eco-enzyme dengan cara pengenceran bertingkat dengan konsentrasi
pengenceran 10-1 sampai 10-5. Pertama 1 ml cairan eco-enzyme dimasukkan kedalam
tabung reaksi yang berisi 9 ml akuades steril setelah itu divortex hingga homogen menjadi
Larutan suspensi, 1 ml larutan suspensi dimasukkan kedalam 9 ml akudes steril lalu
divortex hingga steril menjadi larutan dengan konsentrasi 10-1 kemudian pengenceran
dilakukan secara bertingakat hingga mencapai konsentrasi 10-5. Setelah itu larutan
dengan konsentrasi 10-3 dan 10-5 diinokulasi media deMan Rogose Sharpe Agar (MRSA)
dan kemudian diinkubasi selama 2 x 24 jam. Setelah isolasi bakteri yang didapatkan akan
diidentifikasi dengan cara udentifikasi secara morfologhi, pewarnaan gram dan uji
biokimia.
3. Hasil dan Pembahasan
Isolasi Bakteri Asam laktat (BAL) dari cairan ekoenzim dibuat dari jeruk kalamansi (Citrus
miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis) dapat dilihat pada tabel 1. Isolasi Bakteri
Asam laktat (BAL) dilakukan dengan metode cawan sebar. Isolasi bakteri yang tubuh
setalah masa inkubasi 48 jam pada suhu 30º C Kemudian dilakukan perhitungan koloni
dengan menggunakan colony counter. Hasil perhitungan koloni disajikan pada gambar 1.

Tabel 1. Perhitungan koloni Bakteri Asam laktat (BAL) dari cairan ekoenzim

Jenis kulit buah Jumlah koloni Total koloni

Jeruk kalamansi 15 19 6 0 40

Jeruk manis 114 45 2 0 161

Keterangan: 1-5= ulangan

66 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

a b
Gambar 1. Hasil isolasi Bakteri Asam laktat (BAL) ekoenzim yang dibuat dari jeruk kalamansi
(Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis), (a) kulit buah jeruk kalamansi,
(b) kulit buah jeruk manis.

Pemurnian Bakteri Asam Laktat (BAL) dari Cairan Ekoenzim


Isolat Bakteri Asam laktat (BAL) ekoenzim yang dibuat dari jeruk kalamansi (Citrus
miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis) yang diperoleh dari hasil isolasi yaitu
sebanyak 17 isolat Bakteri Asam laktat (BAL). Kemudian koloni Bakteri Asam laktat (BAL)
diremajakan dan dimurnikan menggunakan metode gores kuadran dan diinkubasi selama
2 x 24 jam. Pemurnian isolat bakteri Bakteri Asam laktat (BAL) ekoenzim dapat dilihat
pada gambar 2.
JK1 JK2 JK3 JK4 JM1 JM2 JM3

Gambar 2. Hasil purifikasi Bakteri Asam Laktat (BAL) dari Cairan ekoenzim yang dibuat dari
jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis).

Hasil Pewarnaan Gram Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) dari Cairan Ekoenzim yang
dibuat dari jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis)
Setelah dilakukan purifikasi dan identifikasi decara morfologi selanjutnya identifikasi
dilakukan secara mikroskopik dengan cara pewarnaan gram. Metode pewarnaan gram ini
bertujuan untuk melihat kelompok bakteri berdasatkan dinding selnya, selian itu dari
pewarnaan ini terlihat juga bentuk susunan sel bakteri. Hasil perwarnaan gram 17 isolat
Bakteri Asam Laktat (BAL) dapat terlihat dari gambar 6, dan hasil identifikasi bentuk dan
susunan sel bakteri dapat terlihat pada tabel 3.

JK2 JK3 JK4


JK1

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 67
ISBN: 978-602-9071-32-0

JM2
JM1 JM3

Gambar 6. Hasil pewarnaan gram Bakteri Asam Laktat (BAL) dari cairan ekoenzim yang dibuat dari
jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis)

Tebel 3. Hasil pewarnaan gram Bakteri Asam Laktat (BAL) dari cairan ekoenzim yang dibuat
dari jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis)

Kode Isolat Bentuk Sel Susunan Ukuran Gram


JK 1 Coccus monococcus 3 μm +
JK 2 Basil Monobasil 4 μm +
JK 3 Basil Streptobasil 2 μm +
JK 4 Basil Streptobasil 1 μm +
JM 1 Coccus monococcus 5 μm +
JM 2 Coccus monococcus 1 μm +
JM 3 Coccus monococcus 2 μm +

Dari data pewarnaan gram diatas menunjukan bahwa 7 isolat bakteri yang diperoleh dari
cairan ekoenzim yang dibuat dari jeruk kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis
(Citrus sinensis) masuk kedalam kelompok bakteri gram positif hal ini terlihat dari warna
ungu yang dihasilkan setelah dilakuakan pewarnaan. Pengelompokan ini didasarkan pada
perbedaan komponen penyusun dinding sel. hal ini didasarkan oleh Salton dan Kim
(1996) yang menyatakan bahwa bakteri gram positif memiliki lapisan dinding yang tebal
sekitar (20 nm-80nm)

Identifikasi Morfologi dan Biokimia

Isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) dari cairan ekoenzim kemudian dilakukan pengamatan
terhadap karakter morfologi seperti yang disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Tabel hasil identifikasi morfologi dan biokima bakteri asam laktat yang dibuat dari jeruk
kalamansi (Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis).

Kode Identifikasi Morfologi Uji Biokimia


isolat Penampakan Permukaan Elevasi Tepi Warna K G S
JK 1 Smooth Circular Convex Entire Putih + + +
JK 2 Smooth Circular Convex Entire Putih + + +
JK 3 Smooth Pinpoin Convex Entire Kuning - + +
JK 4 Smooth Pinpoin Convex Entire Kuning - + +
JM 1 Smooth circular Convex Entire Putih + + +
JM 2 Smooth circular Convex Entire Krem + + +
JM 3 Smooth Pinpoin Convex Entire Putih + + +
Keterangan:
JK: Jeruk Kalamansi
JM: Jeruk Manis
K: Uji katalase

68 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: Seminar Nasional Perlintan UNIB PEI-PFI Komda Bengkulu 2021

G: Uji glokosa
S: Uji Sukrosa

Dari hasil uji katalase yang telah dilakuakan dapat dilihat bahwa hanya 2 spesies bakteri
yang menunjukkan uji katalase negatif yaitu pada kode isolat JK3 dan JK 4, sehingga
dapat dilihat bahwa yang memenuhi syarat BAL adalah isolate bakgteri JK3 dan JK4, hal
ini sesuai dengan Leory (2007) yang menyatakan bahwa bakteri asam laktat adalah
bakteri yang memiliki ciri umum berupa gram positif, bereaksi negatif terhadap katalase
dan tidak memiliki spora.

4. Kesimpulan

Dari 7 isolat bakteri yang diisolasi dari ekoenzim yang dibuat limbah jeruk kalamansi
(Citrus miicrocarpa) dan Jeruk Manis (Citrus sinensis) , pada pewarnaan gram
menunjukan semua isolat bakteri merupakan baktrei gram positif, 2 isolat bakteri yang
menunjukan katalase negative yaitu isolate JK3 dan JK 4.

Daftar Pustaka
Arifin, L. W., Syambarkyah, A., P, H. S., Ria, R., & Vita, A. P. (2009). Introduction of Eco-
enzyme to Support Organic Farming in Indonesia. Asian Journal of Food and
Agro-Industry, 357 – 358.
Dewi, M.A., dkk. (2016). Uji Aktivitas Antibakteri Ekoenzim Terhadap Escherichia coli Dan
Shigella dysentriae. Seminar Nasional Farmasi (SNIFA) 2 UNJANI. Universitas
Jenderal Achmad Yani: Hal. 60 - 61.
Neupane, K., & Rama, K. (2019). Produksi Enzim Sampah dari Sampah Buah dan Sayur
yang Berbeda dan Evaluasi Efikasi Enzimatis dan Antimikroba. TUJM, 6(1),
112–113.
Vama, L., & Makarand, N. C. (2020). Produksi, Ekstraksi Dan Penggunaan Eco-Enzim
Menggunakan Limbah Buah Citrus: Kekayaan Dari Limbah. Asian Jr. dari
Microbiol. Bioteknologi. Env. S, 22(2), 346.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 69
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

KERAGAMAN SERANGGA VEKTOR PENYAKIT VIRUS PADA TEBU DI INDONESIA


DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

DIVERSITY OF INSECT VECTORS OF SUGARCANE VIRAL DISEASES IN


INDONESIA AND THEIR CONTROL TECHNIQUES

Lilik Koesmihartono Putra1), dan Dendi Juliadi 2)


1)
Institusi atau Universitas Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
lilik.k.putra@gmail.com
2)
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
juliadidendi@gmail.com

ABSTRAK
Tebu merupakan tanaman industri penting di Indonesia sebagai bahan baku pembuatan gula. Produktivitas
tebu nasional sangat berfluktuasi dan salah satu faktor yang mempengaruhi adalah serangan patogen yang
disebabkan oleh virus yaitu Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) dan
Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV). Beberapa virus yang menyebabkan penyakit pada tebu dapat ditularkan
oleh serangga vektor yang juga dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman tebu. Serangga vektor
penyakit virus yang penting antara lain Ceratovacuna lanigera, Rhopalosiphum maidis dan Melanaphis
sacchari yang merupakan serangga vektor SCMV dan SCYLV. Selain itu terdapat juga serangga vektor yang
sudah ditemukan di Indonesia tetapi virusnya belum dilaporkan di pertanaman tebu komersial seperti
Perkinsiella saccharicida, P. vastatrix, dan Sacchariccocus sacchari, dimana keberadaan serangga tersebut
dapat mempercepat penyebaran penyakit jika virus tersebut telah menginfeksi tanaman tebu. Virus eksotik
Ramu stunt virus (RSV), yang hanya ditemukan di Papua New Guinea, berpotensi menyebar ke Indonesia
mengingat serangga vektor Eumetopina flavipes banyak ditemukan di pertanaman tebu di Indonesia, dan
PNG sangat berdekatan dengan daerah yang dicadangkan untuk pengembangan perkebunan tebu baru di
Papua. Keberadaan serangga vektor tersebut di perkebunan tebu harus dikelola secara baik agar
keberadaanya sebagai vektor virus maupun sebagai hama tidak menimbulkan kerugian. Makalah ini
memaparkan keragaman serangga vektor yang berpotensi menyebarkan virus penyebab penyakit pada tebu
di Indonesia dan teknik pengendaliannya. Diharapkan ulasan dalam makalah ini dapat dijadikan sumber
informasi ilmiah dan panduan untuk pengendalian serangga vektor virus sekaligus untuk meningkatkan
efektivitas pengelolaan penyakit tebu yang disebabkan oleh virus.

Kata Kunci: serangga, vektor, virus, tebu, pengendalian

ABSTRACT
Sugarcane is an important industrial crop in Indonesia as raw materials for sugar production. The national
sugarcane productivity fluctuates and one of the affected factors is viral pathogen infection namely Sugarcane
mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) and Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV).
Some sugarcane viral diseases are transmitted by insect vectors which can also cause damage to sugarcane
crops. Important viral disease vectors include Ceratovacuna lanigera, Rhopalosiphum maidis and Melanaphis
sacchari which are insect vectors of SCMV and SCYLV. Additionally, there are insect vectors that have been
found in Indonesia but the virus has not been reported in commercial sugarcane such as Perkinsiella
saccharicida, P. vastatrix, and Sacchariccocus sacchari, where their presence can accelerate disease
dispersal if the virus has infected sugarcane crops. An exotic virus Ramu stunt virus (RSV), only found in
Papua New Guinea, has the potential to spread to Indonesia considering that the insect vector Eumetopina
flavipes is commonly found in Indonesian sugarcane plantations, and PNG is very close to prospective areas
for new sugarcane plantations in Papua. The insect vector existence in sugarcane plantations should be
managed properly so their existence as disease vectors or pests will not cause serious losses. This paper
describes the diversity of the insect vectors that spread viral disease of sugarcane in Indonesia and their
control techniques. This review paper can be used as scientific information sources and guidelines for
controlling insect vectors of viral diseases as well as to increase the effectiveness of sugarcane viral disease
management.
Keywords: insect, vector, virus, sugarcane, control

70
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

1. Pendahuluan
Tebu (Saccharum hybrid) merupakan salah satu tanaman industri yang banyak
dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman tebu berperan besar bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, khususnya sebagai sumber bahan
pemanis dan energi. Di Indonesia, tanaman tebu utamanya digunakan sebagai bahan
baku untuk produksi gula. Pengusahaan tebu dalam bentuk perkebunan dikelola oleh
pabrik gula. Selain itu, tebu juga dibudidayakan oleh petani yang umumnya bermitra
dengan pabrik gula untuk proses pengolahannya.
Dalam 10 tahun terakhir produktivitas tebu dan gula di Indonesia berfluktuasi dengan
kecenderungan mengalami penurunan. Pada tahun 2019 tercatat luas area tebu yang
dipanen mencapai sekitar 411.000 ha dengan dengan rata-rata produktivitas hasil tebu
71,3 ton/ha dan produktivitas hasil gula hanya 5,4 ton/ha. Dibandingkan dengan negara
lain produktivitas tersebut relatif lebih rendah, khususnya hasil gula (Widyasari, Putra,
Ranomahera & Puspitasari, 2021). Banyak faktor yang menyebabkan menurunnya
produktivitas tebu di Indonesia, salah satunya adalah serangan hama dan penyakit tebu.
Hama tebu sebagian besar berasal dari kelompok serangga, dan beberapa diantaranya
juga berperan sebagai vektor penyakit virus dan fitoplasma. Serangga yang berperan
sebagai vektor virus dan fitoplasma tersebut mayoritas dari ordo Hemiptera dengan alat
mulut menusuk menghisap. Di seluruh dunia terdapat 13 dari 18 virus dan fitoplasma
yang sudah diketahui dapat ditularkan melalui serangga (Rao & Ford, 2001).
Di Indonesia, penyakit yang dapat ditularkan oleh serangga umumnya dari kelompok virus
yaitu penyakit mosaik (mosaic disease), daun kuning (yellow leaf disease), puru daun Fiji
(Fiji leaf gall disease), dan bintik-bintik pada daun (leaf fleck disease) (Putra, Kristini &
Jati, 2021). Hingga saat ini, di Indonesia belum ada laporan mengenai penyakit tebu yang
disebabkan oleh fitoplasma seperti penyakit daun putih (white leaf), kerdil rumput (grassy
shoot) dan kerdil rumput hijau (green grassy shoot).
Mosaik merupakan salah satu penyakit penting pada tebu di Indonesia dengan sebaran
yang cukup luas (Putra & Damayanti, 2012). Penyakit daun kuning merupakan penyakit
tebu yang relatif baru dilaporkan keberadaannya pada tebu komersial yaitu pada tahun
2020 (Subekti, Hidayat, Damayanti & Purwono, 2020). Sementara itu, penyakit puru daun
Fiji hanya ditemukan pada tebu liar (Koike & Berding, 1977; Handojo, 1982) dan penyakit
bintik-bintik pada daun hanya ditemukan di kebun koleksi plasma nutfah tebu (Putra et al.,
2021).
Keberadaan serangga vektor sangat berperan dalam penyebaran penyakit virus di
lapang, meskipun penyebaran utama penyakit virus pada tebu melalui penanaman bahan
tanam sakit. Dalam penyebaran virus, serangga tidak hanya melindungi dan membawa
virus tetapi juga memberikan pintu masuk bagi virus ke dalam inang melalui luka yang
dibuat oleh serangga karena perilaku makannya. Beberapa jenis serangga vektor yang
diketahui berasosiasi dengan virus patogen tebu adalah dari kelompok kutu daun, kutu
batang dan wereng (Rao & Ford, 2001).
Makalah ini memaparkan keragaman serangga vektor yang berpotensi menyebarkan
virus penyebab penyakit pada tebu di Indonesia dan teknik pengendaliannya. Diharapkan
makalah ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah dan panduan untuk pengendalian

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 71
ISBN: 978-602-9071-32-0

serangga vektor virus sekaligus untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan penyakit


yang disebabkan oleh virus.

2. Metode
a. Virus Patogen Tebu
Di seluruh dunia, terdapat minimal 11 jenis virus yang secara alami menginfeksi tanaman
tebu (Putra et al., 2021) dan lima diantaranya telah dilaporkan terdapat di Indonesia yaitu
Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV), Sugarcane
yellow leaf virus (SCYLV), Fiji disease virus (FDV) dan Sugarcane bacilliform virus
(SCBV) (Handojo, 1982; Putra & Damayanti, 2012; Putra et al., 2021). SCMV dan SCSMV
menyebabkan penyakit mosaik yang merupakan penyakit penting pada tebu di banyak
negara penghasil gula tebu (Lu et al., 2021). SCYLV dikenal sebagai penyebab penyakit
kuning yang merupakan penyakit virus penting kedua di dunia (Holkar et al., 2020). FDV
menyebabkan penyakit puru daun Fiji yang merupakan penyakit penting di beberapa
negara di Kawasan Kepulauan Pasifik, Asia Tenggara dan Australia (Smith, 2000). SCBV
merupakan virus yang banyak ditemukan di koleksi plasma nutfah tebu di berbagai
negara termasuk Indonesia dan menyebabkan penyakit bintik-bintik daun tebu (Lockhart
& Autrey, 2000). Selain itu, terdapat satu virus eksotik (belum ditemukan di Indonesia)
penting yang harus diwaspadai karena berpeluang besar masuk ke Indonesia yaitu Ramu
stunt virus (RSV) yang menyebabkan penyakit kerdil Ramu yang hanya ditemukan di
Papua New Guinea (Putra et al, 2021).
Sugarcane mosaic virus (SCMV)
Di Indonesia, penyakit mosaik yang disebabkan oleh SCMV dilaporkan pertama kali di
Jawa pada tahun 1892. Gejala khas berupa garis-garis pendek kuning kehijauan dengan
latar belakang warna hijau membentuk pola mosaik pada daun. Gejala sangat jelas pada
daun muda dan cenderung menghilang pada daun tua (Handojo, 1982; Koike & Gillaspie,
1989; Irawan, 1993).
SCMV menyebabkan epidemi penyakit pertama kali pada tahun 1930-an dan kemudian
pada tahun 1970-an kembali terjadi outbreak yang mengakibatkan varietas komersial
pada saat itu yaitu POJ 3016 dan Ps 41 harus ditarik dan diganti dengan varietas yang
lebih tahan seperti M 442-51 (Putra & Damayanti, 2012). Sebaran SCMV sangat luas,
namun insidensi di lapang sangat rendah (Putra & Damayanti, 2012; Putra et al., 2021).
Hal ini dikarenakan mayoritas varietas komersial yang ditanam memiliki ketahanan yang
baik terhadap SCMV (Putra, Widyasari & Slamet, 2007; Putra et al., 2021).
Di Indonesia, terdapat tiga strain virus SCMV yaitu A, B dan E (Gillaspie, Handojo &
Irawan, 1986). Hingga saat ini, ketiga strain tersebut digunakan dalam uji ketahanan rutin
untuk mendukung program pemuliaan tebu mengingat pengendalian penyakit yang
disebabkan oleh virus pendekatan utamanya adalah dengan penanaman varietas tahan
(Putra et al., 2021). Diperkirakan kehilangan hasil akibat infeksi SCMV mencapai 30-40%
(Koike & Gillaspie, 1989).
Di lapang, penyebaran utama SCMV melalui penggunaan bibit yang terinfeksi virus
karena tebu umumnya diperbanyak secara vegetatif dengan stek batang. Namun
demikian, secara alami SCMV dapat ditransmisikan oleh vektor kutu daun secara non-
persisten. Di seluruh dunia, sekurang-kurangnya 28 spesies serangga yang telah
diketahui dapat menularkan SCMV dari tanaman sakit ke tanaman sehat. Beberapa

72 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

serangga vector tersebut antara lain: Melanaphis sacchari Zehnt., Melanaphis


indosacchari David, Rhopalosiphum maidis Fitch, Rhopalosiphum rufiabdominalis Sasaki,
Aphis gossypii Glover, Aphis craccivora Koch., Myzus persicae Sluz., Toxoptera citricidus
Kirkaldy, Ceratovacuna lanigera Zhut, Schizaphis graminum Rond., Sipha flaba Forbis,
Saccharosydne saccharivora dan lain-lain (Handojo, 1982; Rao & Ford, 2001). Dari
serangga vektor SCMV tersebut yang inang utamanya tebu adalah C. lanigera (sugarcane
wholly aphid), M. sacchari (sugarcane aphid), M. indosacchari (brown sugarcane aphid),
S. flaba (yellow sugarcane aphid) dan S. saccharivora (sugarcane plant hopper).
Serangga vektor SCMV yang terdapat di Indonesia antara lain: C. lanigera, M. sacchari,
R. maidis, A. gossypii, A. craccivora, M. persicae, T. citricidus, R. rufiabdominalis dan S.
graminum (Kalshoven, 1981; Handojo, 1982; Rao & Ford, 2001; Maharani, Hidayat, Rauf
& Maryana, 2018).
Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV)
SCSMV adalah virus patogen tebu yang relatif baru yang menyebabkan penyakit mosaik
dengan gejala mirip yang diakibatkan oleh infeksi SCMV, bahkan dalam beberapa kasus
terjadi infeksi campuran antara SCSMV dan SCMV (Putra, Kristini, Achadian &
Damayanti, 2014). Keberadaan SCSMV di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun
2005 setelah beberapa sampel daun bergejala mosaik dikirim ke Australia dan beberapa
diantaranya terbukti positif terinfeksi SCSMV setelah diuji dengan RT-PCR (Kristini,
Irawan & Sasongko, 2006).
Pada tahun 2009 diketahui SCSMV telah tersebar di 28 pabrik gula di Jawa dan
umumnya menginfeksi varietas PS 864 yang tahan terhadap SCMV. Pada tahun 2011,
beberapa varietas tebu yang diuji adaptasi di Merauke, Papua dilaporkan terinfeksi
SCSMV dengan tingkat serangan yang sangat berat (Putra & Damayanti, 2012).
Selanjutnya survei ACIAR pada tahun 2016-2017 mencatat bahwa di Sumatera, SCSMV
lebih banyak terjadi pada varietas BZ 134 dan Cenning, sedangkan di Sulawesi yang
paling banyak terinfeksi adalah varietas PS 881 (Thompson et al., 2018).
Di Indonesia, penyebaran SCSMV yang cepat dan meluas terutama melalui penggunaan
bahan tanam yang terinfeksi SCSMV dan penanaman varietas rentan seperti PS 864 dan
PS 881. Serangan SCSMV di luar Jawa umumnya berawal dari penggunaan bahan
tanam yang berasal dari Jawa (Putra et al., 2014; Magarey et al., 2018). Kehilangan hasil
akibat SCSMV pada varietas rentan diperkirakan mencapai sekitar 20% (Magarey et al.,
2018). Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian SCSMV di lapang cenderung menurun
karena berkurangnya penanaman varietas rentan.
Selain dapat ditularkan secara sistemik melalui stek batang, SCSMV juga dapat ditularkan
secara mekanis melalui alat potong. Hingga saat ini, serangga vektor SCSMV belum
dapat ditentukan. Beberapa spesies kutu daun telah diuji antara lain Aphis craccivora,
Rhopalosiphum maidis dan Ceratovacuna lanigera, tetapi semuanya tidak dapat
menularkan virus (Hema, Savithri & Sreenivasulu, 2001; Putra & Damayanti, 2009; Putra
et al, 2014).
Sugarcane Yellow Leaf Virus (SCYLV)
SCYLV adalah virus patogen penyakit daun kuning tebu yang sebelumnya disebut
sindrom daun kuning (yellow leaf syndrome). Gejala khas penyakit berupa menguningnya
helaian daun dengan ibu tulang daun berwarna kuning cerah pada permukaan bagian
bawah daun. Perubahan warna pada ibu tulang daun sering juga terjadi saat helaian daun

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 73
ISBN: 978-602-9071-32-0

masih hijau. Terkadang gejala serupa dapat muncul terkait dengan faktor biotik atau
abiotik lain seperti kondisi stres, kerusakan serangga, genangan air, dan musim dingin
yang sejuk (Lockhart & Cronjé, 2000; Braithwaite, 2001; Holkar et al., 2020).
SCYLV terbatas pada jaringan floem dan ditularkan melalui stek batang tebu yang
terinfeksi (Scagliusi & Lockhart, 2000; Rassaby et al., 2004). Virus tidak ditularkan secara
mekanis tetapi ditularkan dari tanaman ke tanaman oleh serangga vektor M. sacchari, C.
lanigera, R. maidis, dan R. rufiabdominalis secara persisten, sirkulatif, dan non-propagatif
(Scagliusi & Lockhart, 2000; Schenck & Lehrer, 2000; Holkar et al., 2020).
Penyakit daun kuning dapat menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan pada varietas
rentan meskipun tanaman yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas.
Kehilangan hasil diperkirakan hingga 50% pada tanaman ratun dan sekitar 30% pada
tanaman tebu tanpa gejala (Rassaby et al., 2003; Lehler, Kulsawong & Komor, 2008).
Di Indonesia, kecurigaan munculnya penyakit daun kuning terjadi pada tahun 1996 ketika
ditemukan gejala khas penyakit tersebut pada tebu koleksi di kebun karantina. Pada
tahun 1997 gejala yang sama ditemukan pada tebu komersial varietas M 442-51 dan F
154 di wilayah Jawa Timur bagian Timur. Hasil deteksi menggunakan metode tissue blot
immunoassay yang dilakukan di Amerika menunjukkan hasil negatif. Diduga gejala
tersebut muncul lebih diakibatkan karena faktor lingkungan (Irawan & Putra, 1997). Pada
tahun 2020, Subekti et al. (2020) melaporkan telah mendeteksi SCYLV dengan
menggunakan teknik RT-PCR pada sampel daun tebu dari Kabupaten Lampung Tengah,
Lampung dan Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Namun laporan tersebut tidak
menggambarkan gejala khas penyakit daun kuning pada tebu. Dalam beberapa kasus,
dilaporkan bahwa SCYLV dapat dideteksi pada daun yang tidak bergejala (Holkar et al,
2020). Hal tersebut mungkin terjadi karena pengaruh infeksi campuran dengan virus lain
atau pengaruh faktor abiotik yang tidak menguntungkan untuk munculnya gejala.
Berdasarkan pengalaman gejala mirip penyakit kuning dapat kita jumpai di lapang ketika
tanaman mengalami kekeringan dan akan menghilang jika musim hujan tiba.
Temuan keberadaan SCYLV ini mengingatkan kita untuk lebih waspada terhadap
kemungkinan penyebaran virus secara luas, baik melalui bahan tanam yang sakit atau
serangga vektor. Semua serangga vektor SCYLV dapat ditemukan di Indonesia
(Kalshoven, 1981; Handojo, 1982). Selain itu, survei dan kajian lebih lanjut keberadaan
SCYLV di perkebunan tebu Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui distribusi dan
dampaknya terhadap produksi tebu/gula.
Fiji Disease Virus (FDV)
FDV menyebabkan penyakit puru daun Fiji atau dikenal sebagai penyakit Fiji. Gejala khas
yang ditimbulkan adalah terbentuknya puru yang sempit berwarna keputihan sampai
coklat pada bagian bawah helaian daun. Seiring perkembangan penyakit, pertumbuhan
tebu menjadi terhambat, meristem pucuk akan mati sehingga memicu tumbuhnya tunas
samping dan mengakibatkan penurunan hasil yang signifikan. Pada varietas rentan
kehilangan hasil dapat mencapai 50% pada tanaman pertama dan 100% pada ratun
kedua (Smith, 2000).
Di Indonesia, penyakit puru daun Fiji pernah ditemukan di Pulau Halmahera pada tebu liar
(Saccharum officinarum L.) ketika dilakukan ekspedisi plasma nutfah di bagian timur
kepulauan Indonesia pada tahun 1976 yang didanai oleh International Society of Sugar
Cane Technologists (ISSCT) (Koike & Berding, 1977; Handojo, 1982). Sampai saat ini

74 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

FDV belum dilaporkan lagi keberadaannya baik di tebu liar maupun tebu komersial (Putra
et al., 2021).
FDV tidak ditularkan secara mekanis tetapi hanya ditularkan melalui stek batang tebu
yang terinfeksi dan oleh serangga vektor yaitu Perkinsiella saccharicida, Perkinsiella
vastatrix dan Perkinsiella vitensis (Smith, 2000). P. saccharicida dan P. vastatrix dapat
ditemukan di Indonesia (Kalshoven, 1981; Handojo, 1982), tetapi belum dilaporkan
menularkan FDV di tebu komersial. Oleh karena itu, keberadaan virus pada tebu
komersial perlu dipantau karena begitu virus masuk ke perkebunan komersial maka akan
mudah disebarkan oleh serangga vektor yang ada.
Sugarcane Bacilliform Virus (SCBV)
SCBV menyebabkan penyakit bintik-bintik pada daun (leaf fleck disease) dengan gejala
bervariasi yaitu berupa bintik-bintik sampai garis-garis klorosis dan terhambatnya
pertumbuhan tebu. Virus telah menyebar ke seluruh dunia sejak awal melalui pertukaran
plasma nutfah (Braithwaite, 2001). Di Indonesia, SCBV ditemukan pada awal tahun 1995
pada salah satu klon plasma nutfah tebu (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI), 1995). Sayangnya, penemuan SCBV tidak didokumentasikan secara ilmiah (Putra
et al., 2021).
SCBV ditularkan melalui stek batang tebu serta serangga vektor yaitu Saccharicoccus
sacchari dan Dysmycoccus boninsis (Lockhart & Autrey, 2000). Spesies pertama sudah
ditemukan pada pertanaman tebu di Indonesia dan merupakan hama yang tidak penting
(Achadian et al., 2011). SCBV sulit ditularkan secara mekanis melalui alat potong atau
alat pertanian. Penyakit ini belum pernah dilaporkan di pertanaman tebu komersial (Putra
et al., 2021).
Ramu stunt virus (RSV)
Ramu stunt atau kerdil Ramu adalah penyakit tebu yang baru diidentifikasi disebabkan
oleh virus, yang disebut Ramu stunt virus (RSV). Saat ini penyakit tersebut hanya
dilaporkan di Papua New Guinea (PNG), dan dapat ditemukan di tebu komersial, tebu
pekarangan dan tebu liar. Gejala yang paling khas penyakit kerdil Ramu adalah
pertumbuhan yang terhambat, daun menunjukkan bintik-bintik atau garis-garis berwarna
kekuningan hingga hijau pucat atau mosaik dengan daun agak lebar, kaku, pendek, dan
tegak. Penyakit kerdil Ramu ditularkan oleh serangga vektor wereng tebu Eumetopina
flavipes Muir. Penyakit ini sangat merugikan karena menghambat pertumbuhan tanaman
dan menyebabkan kematian tanaman serta tanaman ratun menjadi tidak tumbuh
(Braithwaite, Tom & Kuniata, 2019).
Penyakit kerdil Ramu belum pernah dilaporkan di Indonesia, namun vektornya E. flavipes
banyak ditemukan pada tanaman tebu komersial dan non komersial baik di Jawa maupun
di luar Jawa (Achadian et al., 2011). Bahkan serangga tersebut pernah dilaporkan
menyebabkan kerusakan parah pada tanaman tebu yang sedang diuji adaptasi di
Merauke, Papua beberapa tahun lalu, meskipun gejala penyakit kerdil Ramu belum
ditemukan di lapang (P3GI, 2015).
Penyakit kerdil Ramu merupakan salah satu penyakit eksotik yang menjadi perhatian
karena potensinya yang besar menyebar ke Indonesia baik pada tanaman tebu komersial
maupun tebu liar, mengingat PNG sangat dekat dengan Papua, dan E. flavipes dapat
ditemukan hampir di seluruh pertanaman tebu Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 75
ISBN: 978-602-9071-32-0

menominasikan Merauke sebagai salah satu wilayah untuk perkebunan tebu baru. Oleh
karena itu, perlu dilakukan survei dan penelitian lebih lanjut untuk memastikan
keberadaan virus tersebut di Indonesia, khususnya di Papua. Selain itu, upaya impor tebu
dari PNG atau pengiriman plasma nutfah tebu dari Papua ke pulau-pulau lain di Indonesia
perlu diperhatikan dengan seksama dengan penerapan biosekuriti yang ketat (Putra et al,
2021).
b. Serangga Vektor Virus Patogen Tebu dan Deskripsinya
Serangga merupakan salah satu hama utama pada tanaman tebu di Indonesia yang
terdiri dari kelompok penggerek, perusak akar dan pemakan daun. Selain memakan atau
merusak tanaman tebu, beberapa serangga juga berperan sebagai vektor penyakit yang
disebabkan oleh virus atau fitoplasma. Keberadaan serangga vektor tersebut sangat
penting dalam penyebaran penyakit yang disebabkan oleh virus dan fitoplasma.
Penyebaran dan penularan virus patogen tebu utamanya melalui penggunaan stek batang
tebu yang terinfeksi virus mengingat dalam budidaya tebu umumnya perbanyakan bibit
dilakukan secara vegetatif dengan stek batang. Namun demikian, beberapa virus
penyebaran dan penularannya dari satu tanaman ke tanaman lainnya terjadi melalui
serangga vektor.
Kecepatan penyebaran virus di lapang sangat tergantung pada kondisi lingkungan.
Kecepatan penyebaran akan berjalan lambat jika lingkungan tidak sesuai bagi
perkembangan serangga vektor dan pergerakan virus di dalam tanaman inang.
Sebaliknya apabila kondisi lingkungan mendukung maka proses infeksi di lapang dapat
terjadi dalam beberapa hari (D’Arcy & Nault, 1982).
Serangga yang dilaporkan sebagai vektor virus patogen tebu di seluruh dunia adalah
serangga yang termasuk ordo Hemiptera, sering dikelompokan terpisah sebagai ordo
Homoptera. Serangga vektor tersebut umumnya berasal dari famili Aphididae,
Delphacidae, Pseudococcidae, Cicadellidae/Jassidae dan Cercopidae. Sebagian besar
serangga vektor tersebut adalah serangga polifag dan umumnya juga dapat hidup pada
tanaman lain di sekitar pertanaman tebu. Pada kenyataannya, terkadang tebu bukan
merupakan inang yang disukai oleh beberapa serangga vektor. Dalam banyak kasus
serangga vektor berkembang biak pada inang liar dan kemudian menginvasi pertanaman
tebu pada saat stadia tanaman menguntungkan bagi perkembangan serangga vektor.
Tercatat ± 42 spesies serangga telah dilaporkan dapat berperan sebagai vektor virus
penyebab penyakit tebu baik pada kondisi alami maupun dalam penelitian (Rao & Ford,
2001). Namun tidak semua serangga vektor tersebut dapat ditemukan di Indonesia.
Keanekaragaman serangga vektor virus patogen tebu di Indonesia dan virus eksotik yang
berpotensi masuk ke wilayah Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa sebagian besar serangga vektor virus berasal dari famili
Aphididae yaitu kelompok kutu daun dan mayoritas adalah vektor virus SCMV dan
SCYLV. Serangga vektor lainnya adalah dari famili Delphacidae yaitu vektor FDV dan
RSV, serta dari famili Pseudococcidae yaitu vektor SCBV. Sementara itu untuk SCSMV
belum diketahui secara pasti serangga vektor yang beperan dalam penyebaran di lapang.

76 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

3. Hasil dan Pembahasan


Tabel 1. Serangga Vektor Virus Patogen Tebu yang Sudah Terdapat di Indonesia dan Virus
Eksotik Potensial.

Tipe
Hubungan
No. Virus Vektor Ordo/Famili
Virus dan
Vektor
Virus yang sudah terdapat di Indonesia
1. SCMV Melanaphis sacchari Zehnt. Non-persisten Homoptera : Aphididae
Rhopalosiphum maidis Fitch. Homoptera : Aphididae
Rhopalosiphum rufiabdominalis Sasaki Homoptera : Aphididae
Aphis gossypii Glover Homoptera : Aphididae
Aphis craccivora Koch. Homoptera : Aphididae
Myzus persicae Sluz. Homoptera : Aphididae
Toxoptera citricidus Kirkaldy Homoptera : Aphididae
Schizaphis graminum Rond. Homoptera : Aphididae
Ceratovacuna lanigera Zhut Homoptera : Aphididae

2. SCSMV Belum diketahui - -

3. SCYLV Melanaphis sacchari Zehnt. Persisten, Homoptera : Aphididae


Rhopalosiphum maidis Fitch sirkulatif, Homoptera : Aphididae
Rhopalosiphum rufiabdominalis Sasaki non-propagatif Homoptera : Aphididae
Ceratovacuna lanigera Zhut Homoptera : Aphididae
4. FDV Perkinsiella saccharicida Kirkaldy Persisten, Homoptera : Delphacidae
Perkinsiella vastatrix Breddin propagative Homoptera : Delphacidae

5. SCBV Sacchariccocus sacchari Corkerella Semipersisten Homoptera : Pseudococcidae

Virus Eksotik
6. RSV Eumetopina flavipes Muir. - Homoptera : Delphacidae

Sumber: Kalshoven (1981); Handojo (1982); David & Alexander (1984); Rao & Ford (2001); Lockhart & Autrey
(2000); Putra et al. (2014); Braithwaite et al. (2019); Putra et al. (2021).

Dari spesies serangga vektor tersebut yang diketahui sebagai serangga hama pada
tanaman tebu adalah C. lanigera, M. sacchari, dan S. sacchari. P. saccharicida dan P.
vastatrix statusnya masih sebagai hama yang tidak penting, namun akan menjadi hama
penting jika menularkan FDV (Achadian et al. 2011). Sementara itu, R. maidis atau kutu
daun jagung, termasuk serangga penting pada tanaman tebu karena termasuk serangga
vektor virus patogen tebu yang utama yaitu SCMV dan SCYLV. Secara umum
karekteristik beberapa serangga vektor virus patogen tebu yang penting disajikan seperti
pada Tabel 2.
M. sacchari merupakan hama minor pada pertanaman tebu dengan daerah sebaran
hampir di semua pertanaman tebu di Indonesia. Kepadatan populasi dipengaruhi oleh
variabel suhu dan pola curah hujan. Koloni M. sacchari umumnya ditemukan pada daun
tua dan pada saat musim basah reproduksi masih tetap tinggi meskipun hidup pada daun
yang sudah mengering khususnya pada bagian yang ternaungi. Pada musim kering koloni
kutu dapat dijumpai pada bagian bawah daun melengkung. Serangan yang parah memicu
berkembangnya cendewan jelaga pada daun yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
tebu (Kalshoven, 1981; Singh, Padmaja & Seetharama, 2004). M. sacchari merupakan
serangga vektor utama SCYLV dan kemampuan menularkan virus bertahan selama siklus
hidupnya, bahkan tidak hilang ketika molting (Holkar et al., 2020). M. sacchari juga salah
satu serangga vektor penting SCMV selain R. maidis dan S. graminum (David &
Alexander, 1984). Tanaman yang dapat menjadi inang M. sacchari antara lain tebu,

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 77
ISBN: 978-602-9071-32-0

jagung, sorgum, padi dan gulma rumput-rumputan seperti Panicum dan Pennisetum (Rao
& Ford, 2001).

Tabel 2. Karakteristik beberapa serangga vektor virus patogen tebu yang terdapat di Indonesia.

No. Serangga Vektor Karakter penting

1. Melanaphis sacchari Terdapat 4 stadia nimfa umumnya berwarna kuning dan imago
berwarna kuning atau ungu saat populasi tinggi. Badan berbentuk
bulat telur, kepala memiliki piringan spiracular pucat. Pangkal
segmen antena ke-6 ke bagian terminal rasio 1: 3, sifunkuli sedikit
pendek dari cauda. Segmen pertama antena 3 kali lebih panjang
dari dasar segmen antena terakhir.

2. Ceratovacuna lanigera Ada empat instar nimfa: instar pertama sangat aktif berwarna kuning
kehijauan; instar kedua kurang aktif warna kekuningan sampai
kecoklatan dengan tanda hitam di tubuh; instar ketiga tidak banyak
bergerak, sebagian ditutupi wol putih, sangat lembut, kering, non-
polar dan hidrofobik; instar keempat tubuh sepenuhnya tertutup wol
termasuk kepala. Durasi nimfa sekitar 20 hari. Betina dewasa:
kepala dan pronotum berwarna coklat pucat, antena lima segmen
coklat dengan segmen apikal lebih gelap dan berlilin. Sifunkuli sedikit
kerucut dengan tepi yang dikelilingi oleh beberapa helai rambut.

3. Rhopalosiphum maidis Tubuh agak memanjang, segmen pertama antena dan cornicle sangat
pendek, warna kekuningan hingga hijau gelap. Sifunkuli sedikit
panjang dari pada cauda, segmen pertama antena kurang dari 2-5
kali lebih panjang dari dasar segmen antena terakhir.

4. Schizaphis graminum Bagian kepala dan protoraks berwarna kuning atau merah kehijauan
dan abdomen berwarna hijau kekuningan atau merah. Femur dan
tibia berwarna pucat, kecuali di bagian ujung. Sifunkuli lebih panjang
daripada cauda. Tuberkula antena tidak terlihat jelas dan tonjolan
terminal tiga kali lebih panjang daripada pangkal antena ruas terakhir.
5. Saccharicoccus Tubuh bulat memanjang (oval), lunak, berwarna merah muda dan
sacchari ditutupi lapisan lilin warna putih. Bagian dorsal dan ventral memiliki
garis-garis yang terlihat jelas dari toraks hingga abdomen. Abdomen
memiliki 7 segmen. Antena tipe filiform terdiri dari 7 segmen dan
terdapat seta. Tungkai berkembang dengan baik, ramping, pretarsus
tanpa dentikel.

6. Perkinsiella saccharicida Perkawinan dan oviposisi terjadi pada malam hari. Betina hidup
selama 1-2 bulan meletakkan hingga 30 telur pada ibu tulang daun.
Masa inkubasi telur 14 hari pada cuaca hangat tetapi pada cuaca
dingin bisa 35-40 hari. Nimfa terdiri dari 5 instar masing-masing
selama 4-9 hari. Total siklus hidup 48-56 hari.

7. Perkinsiella vastatrix Periode pre-oviposisi 2-25 hari, perkawinan berlangsung sekitar 1 jam
dan telur diletakkan pada ibu tulang daun dari helaian yang sudah
membuka pada pagi dan sore hari, satu sampai empat telur per baris.
Jumlah telur yang diletakkan pada satu daun mencapai maksimal
1800 dengan masa inkubasi 14-17 hari. Terdapat 5 stadia nimfa,
masing-masing 3-5 hari dan total masa nimfa sekitar 19 hari.

8. Eumetopina flavipes Tubuh agak memanjang dan pipih, nimfa berwarna coklat pucat,
serangga dewasa memiliki sayap depan hitam dan dada bervariasi
dengan tingkat pigmentasi gelap dengan kaki putih di bagian
apikal. Telur berukuran mikroskopis, bentuk melengkung dan
memanjang diletakkan pada ibu tulang diskelilingi pewarnaan
merah.

78 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Sumber: Kalshoven (1981); Rao & Ford (2001); Grimshaw & Donaldson (2007); Singh et al. (2004);
Rachmawati (2016); Maharani et al (2018); Cheraku, Singh & Kukanur, (2018).

C. lanigera, yang dikenal sebagai kutu bulu putih, merupakan salah satu hama penting
pada tanaman tebu di Indonesia dari famili Aphididae. Daerah sebarannya sangat luas
meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Kawasan Indonesia Timur (Achadian
et al., 2011). Hasil survei hama pada tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa hama kutu
bulu dijumpai di di hampir seluruh kebun tebu di Pulau Jawa (Achadian, Kristini, Putra &
Dianpratiwi, 2012). Serangannya ditandai dengan munculnya koloni kutu berwarna putih
dibawah helaian daun dan ketika terjadi outbreak permukaan helaian daun sebelah atas
tertutup cendawan jelaga (Samoedi, 1993). Serangan berat terjadi di akhir musim hujan
sampai awal musim kemarau. Perkembangan populasi C. lanigera di lapang dipengaruhi
oleh varietas tebu terutama kandungan sukrosa, kelembaban dan populasi musuh alami
(Pramono, Suhartawan & Wirioatmodjo, 1989; Suhartawan, 1996). Kehilangan hasil tebu
akibat serangan kutu bulu putih dapat mencapai 35% (Li et al., 2018). Kisaran inang C.
lanigera antara lain tebu, glagah dan Mischantus sp. (Rao & Ford, 2001).
S. sacchari, yang dikenal sebagai kutu babi, bukan merupakan hama penting pada
pertanaman tebu di Indonesia. Namun penyebaran sangat luas meliputi Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan kepulauan Indonesia bagian timur (Achadian, et al., 2011).
Kutu berkelompok di sekitar cincin tumbuh ruas batang tebu dan menghisap cairan nira.
Nimfanya pada awalnya berada bagian bawah batang tebu dan kemudian perlahan
bergerak ke atas (Kalshoven, 1981; Achadian et al. 2011). Pada tanaman tebu muda
umumnya populasi kutu rendah, sedangkan populasi paling tinggi terjadi pada tebu umur
pertengahan dan kemudian populasi menurun ketika tebu sudah tua. Kutu babi mampu
bertahan hidup pada sisa tanaman yang dibakar setelah tebu dipanen (Rachmawati,
2016). S. sacchari menghasilkan eksudat berupa embun madu pada batang yang dapat
mempersulit proses pengolahan tebu (Inkerman, Ashbolt, Carver & Williams, 1986).
Meskipun diketahui sebagai vektor SCBV, namum peranannya belum banyak diteliti
karena SCBV belum menjadi masalah serius di Indonesia.
R. maidis merupakan salah satu hama pada tanaman jagung. Koloni kutu daun R. maidis
dapat ditemukan pada daun, batang dan malai jagung. Pada jagung serangannya
menyebabkan warna dan bentuk daun tidak normal, pertumbuhan tanaman terhambat
atau kerdil bahkan kematian tanaman sebelum waktunya (Hasanah, 2010; Sari,
Suliansyah, Nelly & Hamid, 2020). R. maidis hanya dapat ditemukan pada pertanaman
tebu yang ditanam berdekatan dengan pertanaman jagung atau tanaman lain yang
menjadi inang R. maidis (Kalshoven, 1981). R. maidis adalah serangga pertama yang
diidentifikasi sebagai vektor SCMV dan merupakan serangga vektor utama dalam
penularan SCMV di pertanaman tebu, jagung dan sorghum (Muis, 2002; Rao & Ford,
2001). Tingkat kemampuan kutu daun jagung dalam penularan SCMV mencapai 80%,
tertinggi dibanding serangga vektor lainnya (Yang, 1988, as cited in Rao & Ford, 2001).
Pada tahap awal kolonisasi serangga bersembunyi pada daun tebu yang masih
menggulung. Di Jawa, serangan SCMV yang tinggi diikuti oleh tingginya populasi R.
maidis dan biasanya terjadi pada akhir Desember hingga awal Februari (Van Breemen,
1926, as cited in Rao & Ford, 2001). Selain tebu, jagung dan sorgum, tanaman inang R.
maidis yang lain adalah padi, gandum dan rumput-rumputan lainnya antara lain: Eleusine
sp., Cynodon sp. dan Setaria sp. (Rao & Ford, 2001).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 79
ISBN: 978-602-9071-32-0

S. graminum merupakan kutu daun pada beberapa gulma antara lain Eleusine indica
(rumput belulang) dan Cynodon dactilon (Maharani et al., 2018). Gulma tersebut juga
banyak ditemukan di perkebunan tebu. Inang lainnya dari kelompok tanaman budidaya
adalah jagung, sorgum dan gandum (Rao & Ford, 2001). S. graminum merupakan
serangga vektor SCMV dengan efisiensi penularan tertinggi setelah R. maidis (Yang,
1988, as cited in Rao & Ford, 2001). Sementara itu, kutu daun lainnya seperti A. gossypii,
A. craccivora, M. persicae, R. rufiabdominalis dan T. citricidus merupakan hama pada
komoditas selain tebu dengan kisaran inang yang cukup luas. Keberadaannya menjadi
penting jika komoditas tersebut ditanam berdekatan dengan pertanaman tebu.
Perkinsiella adalah genus serangga yang berasosiasi dengan genus Saccharum termasuk
tebu dan bukan merupakan hama penting pada tebu di Indonesia. Terdapat dua spesies
yang sudah ditemukan di Indonesia yaitu P. saccharicida dan P. vastatrix (Klashoven,
1981; David & Alexander, 1984). Nimfa dan serangga dewasa menghisap cairan daun,
menyebabkan bercak-bercak kuning di daun (Achadian et al., 2011). Nimfa lebih
menyukai daun yang sukulen dan pelepah daun yang lunak (David & Alexander, 1984). Di
Jawa, P. saccharicida lebih jarang ditemukan di pertanaman tebu dibandingkan P.
vastatrix karena telurnya banyak yang terparasit. P. vastatrix juga dilaporkan menyerang
tanaman, jagung, sorghum dan rumput Paspalum conjugatum. Curah hujan yang tinggi
dan temperatur yang rendah sangat mendukung perkembangan populasi serangga vektor
ini (Klashoven, 1981; David & Alexander, 1984; Rao & Ford, 2001). Di Indonesia, sampai
saat ini belum ada laporan kedua spesies tersebut menularkan FDV meskipun penyakit
puru daun Fiji pernah ditemukan di Pulau Halmahera (Putra et al, 2021). Peranan P.
saccharicida dan P. vastatrix akan menjadi penting jika FDV ditemukan pada tebu
komersial, mengingat baik imago maupun nimfa dapat menularkan penyakit puru daun
Fiji.
E. flavipes adalah serangga endemik yang telah tersebar di seluruh Indonesia. Serangga
dewasa dan nimfa tinggal di daun tebu yang masih menggulung dan menghisap cairan
daun. Tanpa membawa virus, serangga dapat menyebabkan tanaman stress. Pada
serangan berat, daun yang masih menggulung akan menguning seperti yang pernah
terjadi di Merauke, Papua (Achadian et al, 2011; P3GI, 2015). Serangga dewasa dan
nimfa dapat menularkan RSV dan penyebaran penyakit kerdil Ramu lebih cepat pada
musim hujan ketika populasi serangga vektor juga tinggi (Kuniata, Young, Pais, Jones &
Nagaraja, 1994). Hingga saat ini belum dilaporkan keberadaan virus penyebab kerdil
Ramu di Indonesia (Putra et al., 2021). Jika virus telah masuk Indonesia, E. flavipes
menjadi sangat penting peranannya dalam penyebaran penyakit kerdil Ramu yang
sampai saat ini hanya ditemukan di Papua New Guinea. Selain tebu, inang alternatif E.
flavipes adalah kerabat liar tebu seperti Saccharum robustum and Saccharum
spontaneum (Braithwaite, 2001).

Pengendalian Serangga Vektor Virus Patogen Tebu


Seperti diuraikan di atas, virus penyebab penyakit tebu di Indonesia diketahui dapat
ditularkan oleh serangga vektor kecuali SCSMV. Beberapa serangga vektor dapat
ditemukan pada pertanaman tebu komersial dan merupakan hama penting pada tanaman
tebu seperti C. lanigera dan E. flavipes (Achadian et al., 2011; P3GI, 2015). Sementara
itu, terdapat virus yang belum pernah dilaporkan menginfeksi tanaman tebu komersial,
tetapi serangga vektor virus tersebut telah banyak ditemukan di Indonesia yaitu P.
saccharicida, P. vastatrix dan E. flavipes (Handojo, 1982; Achadian et al., 2011; Putra et

80 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

al., 2021). Oleh karena itu, pengelolaan serangga vektor akan mempengaruhi
keberhasilan pengendalian penyakit virus, mengingat virus yang menginfeksi tebu tidak
mungkin dikendalikan dengan bahan kimia.
Pengelolaan serangga vektor dimaksudkan untuk mengendalikan populasi serangga
sehingga dampak kerusakan langsung pada tanaman tebu dan penyebaran virus
penyebab penyakit dapat dinimalisir. Pengendalian serangga vektor dilakukan secara
terpadu dengan menitikberatkan pada budidaya pertanaman tebu sehat yang diikuti
dengan monitoring secara berkala dan pemanfaatan musuh alami. Aplikasi insektisida
nabati atau kimiawi merupakan langkah terakhir apabila populasi serangga vektor
meningkat tajam.
a. Pengendalian Secara Kultur Teknis.
Dalam budidaya tanaman sehat, langkah awal yang harus dilakukan adalah penanaman
varietas tahan sepanjang varietas dimaksud tersedia. Di Indonesia, belum banyak
informasi varietas yang tahan/toleran serangga vektor karena pengujian ketahanan
varietas tebu terhadap serangga vektor virus belum pernah dilakukan. Sebaliknya, uji
ketahanan varietas tebu terhadap penyakit virus khususnya mosaik merupakan kegiatan
rutin untuk mendukung program pemuliaan tebu (Putra et al., 2007).
Hasil penelitian di Brasil menunjukkan bahwa pada varietas yang tahan SCYLV, tingkat
reproduksi vektor M. sacchari lebih rendah dibanding dengan varietas yang rentan
sehingga akan mengurangi tingkat penularan virus di lapang. Sebaliknya, varietas yang
rentan lebih menarik bagi vektor untuk makan dan memicu peningkatkan reproduksi
sehingga efisiensi penularan virus juga meningkat. Penanaman varietas tahan dapat
direkomendasikan ketika transmisi sekunder SCYLV oleh kutu daun M. sacchari di
lapangan menjadi masalah, atau dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan dalam
program pemuliaan tebu (Bertasello et al., 2021).
Jika varietas tahan tidak tersedia, penggunaan bibit bebas hama dan virus harus menjadi
pilihan. Untuk mendapatkan bibit tebu bebas serangga vektor lebih mudah dari pada bibit
bebas virus karena serangga secara visual lebih mudah diamati. Oleh karena itu
monitoring dan seleksi bibit di kebun harus dilakukan sebelum tebu bibit di tebang.
b. Pengendalian Mekanis
Pada tingkat serangan penyakit virus rendah, pengambilan dan membuang tanaman sakit
sangat berguna untuk menghilangkan sumber penularan sekunder oleh serangga vektor.
Demikian juga pemusnahan gulma di sekitar kebun yang dapat menjadi inang alternatif
virus atau serangga vektor akan membantu meminimalisir penyebaran virus di lapang.
Rao & Ford (2001) menyatakan bahwa keberadaan dan kelimpahan inang alternatif
sangat menentukan status serangga vektor dalam suatu area.
Pengendalian serangga vektor dapat dilakukan dengan memusnahkan secara langsung
pada pertanaman tebu, khususnya pada saat populasinya masih rendah dan tanaman
tebu belum terlalu tinggi. Sebagai contoh pemusnahan kutu bulu putih (C. lanigera) cukup
efektif bila dilakukan pada saat populasi kutu rendah dan tingkat parasitasi E.
flavoscutellum <20%. Pada kebun dengan tingkat serangan berat, setelah dilakukan
pemanenan sisa-sisa daun harus dikeluarkan dan dimusnahkan (Samoedi, 1993). Untuk
mengendalikan kutu babi (S. sacchari), disarankan pada saat panen tebu dipotong
mendekati permukaan tanah dan tebu sogolan dibuang mengingat koloni kutu lebih

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 81
ISBN: 978-602-9071-32-0

banyak ditemukan pada batang tebu bagian bawah. Dengan cara ini akan mengurangi
populasi kutu pada tanaman ratunnya. Di Australia, pemangkasan daun tebu yang masih
menggulung direkomendasikan sebagai langkah pencegahan dalam pengelolaan E.
flavipes di Selat Torres, meskipun RSV belum ditemukan karena berpotensi untuk
menyebarkan penyakit kerdil Ramu (Anderson, Sallam & Congdon, 2009).
c. Pengendalian Biologis
Keberadaan musuh alami serangga vektor, baik itu predator, parasitoid dan cendawan,
dapat dimanfaatkan peranannya dalam membantu mengendalikan penyebaran virus yang
menyebabkan penyakit pada tebu. Namun demikian, populasi musuh alami tersebut di
alam pada kondisi tertentu tidak mampu mengimbangi peningkatan populasi serangga
vektor sehingga menyebabkan perannya dalam mengendalikan tidak terlalu besar. Musuh
alami tersebut dapat dioptimalkan peranannya dalam menekan populasi serangga
hama/vektor virus. Di Indonesia, penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama
tanaman tebu, khususnya penggerek, telah dilakukan sejak lama dan terbukti efektif.
Pada Tabel 3 disajikan beberapa musuh alami serangga vektor virus pada tebu yang
ditemukan di Indonesia.
Tabel 3. Musuh Alami Serangga Vektor Penting Virus Patogen Tebu di Indonesia

Vektor Jenis/spesies musuh alami Hubungan


Rhopalosiphum maidis Menochilus sexmaculatus, Predator
Coccinella septempunctata, Predator
Verania discolor; V. lineata Predator
Chrysopa flaveola Predator
Ischidion scutellaris Predator
Harmonia octomaculata Predator
Vertilicilium lecanii Cendawan Patogen

Melanaphis sacchari Aphelinus maidis Parasitoid


Bracon sp. Parasitoid
Chilocorus nigritus Predator
Scymnus spp. Predator
Brumus suturalis Predator
Chilochorus nigritus Predator
Coelophora inaequalis Predator
Menochilus sexmaculatus Predator
Vertilicilium lecanii Cendawan Patogen
Metarhizium anisopliae Cendawan Patogen

Ceratovacuna lanigera Encarsia flavoscutellum Parasitoid


Synonycha grandis Predator
Anisolemnia dilatata Predator
Cryptogonus orbiculus Predator
Curinus coeruleus Predator
Harmonia octomaculata Predator
Metarhizium anisopliae Cendawan Patogen
Beauveria bassiana Cendawan Patogen

Sacchariccocus sacchari Metarhizium anisopliae Cendawan Patogen


Proreus simulans Predator
Cryptogenus orbiculus Predator
Scoloposcelis parallelus Predator
Chrysopa spp. Predator

Perkinsiella saccharicida Metarhizium anisopliae Cendawan Patogen


Perkinsiella vastatrix Beauveria bassiana Cendawan Patogen

82 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0

Anagrus optabilis Parasitoid


Harmonia octomaculata Predator

Sumber : Kalshoven (1981); Rao & Ford (2001); Joshi & Viraktamath (2004); Singh et al. (2004); Hasanah
(2010); Radiyanto et al. (2011).

Kumbang dari famili Coccinelidae merupakan predator aphid yang umum pada ekosistem
pertanian di Indonesia karena mempunyai kisaran mangsa yang lebar. Larva dan imago
M. sexmaculatus merupakan agensia pengendalian hayati yang efektif terhadap R. maidis
(Radiyanto, Rahayuningtyas & Widhianingsih, 2011). Selain itu, laporan dari manca
negara juga menyebutkan bahwa beberapa predator merupakan agens biokontrol yang
sangat efisien untuk M. sacchari yang menginfestasi tebu, antara lain Allograpta exotica,
Hippodamia convergens, Diomus terminates, Micromus subanticus, Chrysoperla externa,
dan Cycloneda sanguinea (Hall, 1987; White, Reagan & Hall, 2001). Synonycha grandis,
Anisolemnia dilatata dan Dhipa (=Conobathra) aphidivora adalah predator yang dapat
ditemukan di Indonesia yang berpotensi untuk mengendalikan hama kutu bulu putih C.
lanigera (Kalshoven, 1981; Joshi & Viraktamath, 2004). Penelitian di China melaporkan
bahwa pelepasan S. grandis dan Coelophora biplagiata di lapang mampu menekan
tingkat infestasi C. lanigera hingga 96% (Deng, Yang & Jin, 1987). Untuk serangga
predator yang lain perlu di explorasi dan dikaji kemungkinannya untuk dikembangkan
sebagai agen pengendalian hayati serangga vektor virus patogen tebu.
E. flavoscutellum adalah parasitoid endemik penting yang sering ditemukan di kebun tebu
dan telah digunakan secara luas untuk pengendalian hama kutu bulu putih (C. lanigera).
Jika persentase parasitasi di lapang >40%, tidak dianjurkan mengaplikasikan
pengendalian lainnya dan daun yang terserang kutu dari kebun tersebut dipotong untuk
diintroduksikan ke kebun yang tingkat parasitasi rendah (Samoedi, 1993). E.
flavoscutellum, selain mengurangi populasi C. lanigera, juga mengurangi penyebarannya
(Srikanth, Singaravelu & Kurup, 2012).
Penerapan pengendalian hayati dengan cendawan entomopatogenik untuk pengendalian
serangga vektor menunjukkan prospek yang menjanjikan. Telah dibuktikan bahwa
populasi kutu daun M. sacchari (vektor SCMV dan SCYLV) berkurang 45% karena
aplikasi cendawan Verticillium lecanii (Hall, 1987). Hasil uji laboratorium juga
menunjukkan bahwa Metarhizium anisoplie dan V. lecanii adalah cendawan patogenik
yang potensial untuk pengendalian R. maidis (Nirmala, Ramanujai, Rabindra & Rao,
2006). Beauveria bassiana dan M. anisopliae terbukti efektif untuk pengendalian C.
lanigera di lapang, masing masing-masing menyebabkan mikosis sebesar 19,84% dan
42,26% (Joshi & Viraktamath, 2004). B. bassiana dan M. anisopliae juga dilaporkan
sangat potensial untuk pengendalian P. saccharicida, di bawah kondisi kelembaban tinggi
(Badilla, Jara & Gordillo, 2004).
d. Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian serangga vektor dengan insektisida adalah metode yang umum digunakan
tetapi seringkali tidak tepat sasaran. Aplikasi insektisida secara sembarangan akan
membunuh organisme menguntungkan serta memiliki dampak negatif lainnya terhadap
lingkungan. Pengendalian serangga vektor melalui aplikasi insektisida harus diperhatikan
dengan seksama. Penggunaan insektisida merupakan langkah terakhir apabila populasi
serangga vektor meningkat tajam karena agens pengendali hayati sudah tidak mampu

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 83
ISBN: 978-602-9071-32-0

menekan populasi serangga. Di Indonesia, pada saat ini belum ada insektisida yang
terdaftar untuk pengendalian serangga vektor pada tebu baik kutu daun maupun wereng.
Dari manca negara telah banyak dilaporkan hasil penelitian laboratorium dan lapang
aplikasi insektisidia untuk pengendalian serangga hama yang juga sebagai serangga
vektor. Aplikasi insektisida dimethoate 30 EC, endosulfan 35 EC, monocrotophos 36 WSC
atau chlorpyriphos 20 EC efektif mengendalikan M. sacchari dengan penekanan populasi
kutu daun masing-masing hingga 83,3%, 80,2%, 79,7%, dan 77,5% (Balikai, 2004;
Viswanathan, Jayanthi & Sanakaranarayanan, 2017). Namun demikian, penyemprotan
insektisida untuk mengendalikan kutu daun tidak disarankan ketika tebu berumur lebih
dari enam bulan (Holkar et al., 2020).
Untuk pengendalian kutu bulu putih C. lanigera, insektisida sintetik yang
direkomendasikan di beberapa negara antara lain methyl demeton, endosulfan,
phosalone, monocrotophos, dimethoate, methyl parathion dan isocarbophos (Joshi &
Viraktamath, 2004). Di Indonesia pernah diuji coba aplikasi diazinon menggunakan
fogging untuk pengendalian kutu bulu putih dan terbukti efektif (Saputro, Triyanto &
Harahap, 1995). Beberapa insektisida botani juga direkomendasikan antara lain minyak
kamper, minyak biji teh, rebusan teh yang diemulsikan dengan natrium oleat dan ekstrak
daun tembakau. Minyak biji teh adalah yang paling efektif dan memberikan mortalitas 93-
99% (Joshi and Viraktamath, 2004).
Untuk pengelolaan E. flavipes, Kuniata, Chandler & Korowi (2001) menginformasikan
bahwa aplikasi insektisida piretroid seperti lambda-cyhalothrin dan permetrin serta
insektisida berbasis neonicotinoid seperti Mosiplan, dapat disarankan untuk menekan
populasi E. flavipes. Di PNG, insektisida tersebut utamanya digunakan untuk
pengendalian hama penggerek batang dan dampaknya dapat mengendalikan E. flavipes
yang juga merupakan serangga vektor RSV.

4. Kesimpulan
Serangga vektor virus patogen tebu di Indonesia mayoritas dari famili Aphididae.
Sebagian besar merupakan hama minor pada tebu dan hanya C. lanigera yang
merupakan hama penting. Serangga vektor penyakit virus yang sudah ditemukan di
Indonesia, namun virusnya belum pernah dilaporkan menyerang pertanaman tebu
komersial adalah P. saccharicida, P. vastatrix, dan S. sacchari. E. flavipes, serangga
vektor virus eksotik RSV dengan daerah sebaran yang sangat luas, perlu mendapatkan
perhatian karena potensinya dapat menyebarkan penyakit kerdil Ramu dan juga
menyebabkan kerusakan pada tanaman tebu. Pengendalian serangga vektor dilakukan
secara terpadu dengan menitikberatkan pada pengendalian secara kultur teknis dan
biologis disertai dengan pemantauan secara periodik. Aplikasi insektida dapat disarankan
jika populasi serangga meningkat tajam.

Daftar Pustaka
Achadian. E. M, Kristini. A, Magarey. R. C, Sallam. N, Samson. P, Goebel. F. C & Lonie
K. (2011). Hama dan Penyakit tebu. Westminster Printing, Australia.
Achadian. E. M., Kristini. A., Putra. L. K., & Dianpratiwi. T. (2012). Hama-hama
pertanaman tebu di Jawa: Sebaran, intensitas serangan dan keberadaan
musuh alami hama. MPG 48(2): 73-83.

84 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Anderson. K. L., Sallam. N., & Congdon. B. C. (2009). The effect of host structure on the
distribution and abundance of the island sugarcane planthopper, Eumetopina
flavipes Muir, vector of Ramu stunt disease of sugarcane. Virus Res. 141: 247-
257.
Badilla. F., Jara. W., & Gordillo. W. (2004). Control del saltahojas de la caña de azúcar
Perkinsiella saccharicida con los hongos Metarhizium anisopliae y Beauveria
bassiana en el Ingenio San Carlos, en Ecuador. Manejo Integrado de Plagas y
Agroecol, 73,29-34.
Balikai. R. A. (2004). Chemical control of sugarcane leaf aphid, Melanaphis sacchari
(Zehntner) on rabi sorghum. Agric. Sci. Digest 24: 142-144.
Bertasello. L. E. T., Carmo-Sousa. M, Maluta. N. K. P, Pinto. L. R., Lopes. J. R. S., &.
Gonçalves. M. C. (2021). Effect of sugarcane cultivars infected with Sugarcane
yellow leaf virus (ScYLV) on feeding behavior and biological performance of
Melanaphis sacchari (Hemiptera: Aphididae). Plants 10: 2122.
Braithwaite, K. S. (2001). New virus and virus-like disease of sugarcane, an overview. In
Sugarcane Pathology, Vol II:Viruses and Phytoplasma Diseases. Rao GP, Ford
RE, Tosic M & Teakle DS. Science Publlishers, Inc. Enfield, USA. pp. 3-24.
Braithwaite, K. S, Tom. L., & Kuniata. L. S. (2019). Planthopper transmission of Ramu
stunt virus, a Tenuivirus causing the sugarcane disease of Ramu stunt, and its
distribution in Papua New Guinea. Plant Dis. 103, 2527-2535.
Cheraku. N., Singh. T. V. K., & Kukanur. V. S. (2018). Field Biology and SEM study of
sugarcane wooly aphid Ceratovacuna lanegera Zehntner. Indian J. Entomol. 80
(2), 467-475.
D’Arcy, C. J., & Nault. L. R. (1982). Insect transmission of plant viruses and MLOs and
Rickettsia like organism. Plant Dis. 66(2), 99-104.
David. H., & Alexander. K. C. (1984). Insect vectors of virus diseases of sugarcane.
Proc. Indian Acad. Sci. (Anim. Sci.) 93(4), 339-347.
Deng, G. R., Yang. H. H., & Jin. M. X. (1987). Augmentation of coccinellid beetles for
controlling sugarcane woolly aphid. Chin. J. Biol. Control 3, 166–168.
Gillaspie AGJr, Handojo. H., & Irawan. (1986). Sugarcane mosaic virus strains in
Indonesia. Proc. International Soc. of Sugar Cane Technol. Cong. 19: 352-357.
Grimshaw, J. F., & Donaldson. J. F. (2007). Records of two sugarcane pests Eumetopina
flavipes Muir (Hemiptera: Delphacidae) and Chilo terrenellus Pagenstecher
(Lepidoptera: Pyralidae) from Torres Strait and far north Queensland. Aus. J.
Entomol. 46, 35–39.
Handojo, H. (1982). Penyakit Tebu di Indonesia. Balai Penelitian Perusahaan
Perkebunan Gula Indonesia. 189 h.
Hall, D. G. (1987). The sugarcane aphid, Melanaphis sacchari (Zehntner), in Florida. J.
Am. Soc. Sugar Cane Technol. 7: 26-29.
Hasanah, H. A. (2010). Perkembangan Populasi Kutu Daun Rhopalosiphum maidis Fitch
(Hemiptera: Aphididae) dan Musuh Alaminya pada Tanaman Jagung Manis
(Zea mays saccharate Sturt). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.
Hema, M., Savithri. H. S., & Sreenivasulu. P. (2001). Sugarcane streak mosaic virus :
Occurence, purification, characterization and detection. In Sugarcane
Pathology, Vol II:Viruses and Phytoplasma Diseases. Rao, GP., Ford RE, Tosic
M & Teakle DS. Science Publlishers, Inc. Enfield, USA. p. 37-70.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 85
ISBN: 978-602-9071-32-0

Holkar, S. K., Balasubramaniam. P., Kumar. A., Kadirve. N., Shingote. P. R., Chabra. M.
L., Kumar. S., Kumar. P., Viswanathan. R., Jain. R. K., & Pathak AD. (2020).
Present status and future management strategies for Sugarcane yellow leaf
virus: A major constraint to the global sugarcane production. Plant Pathol. J.
36(6): 536-557. https://doi.org/10.5423/PPJ.RW.09.2020.0183
Inkerman, P. A., Ashbolt. N. J., Carver. M., & Williams. D. J. (1986). Observation on the
pink sugarcane mealybug, Saccharicoccus sacchari (Cockerell), in Australia
(Hemiptera: Pseudococcidae). Proc. Internat. Soc. Sugar Cane Technol. 19:
612-1921.
Irawan. (1993). Pedoman Identifikasi Penyakit Tebu di Indonesia. Pusat Penelitian
Perkebuan Gula Indonesia.
Irawan., & Putra. L. K. (1997). Yellow leaf syndrome, penyakit tebu baru yang patut
diwaspadai keberadaannya di Indonesia. Pros. Kong. Nas. XIV dan Seminar
Ilmiah PFI, 160-164.
Kalshoven, L. G. E. (1981). Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Jakarta. 701 p.
Koike, H., & Berding. N. (1977). Sugarcane diseases observed during the 1976 ISSCT
Sugarcane Germplasm Collection Expedition. Sugarcane Pathol. Newsletter.
18, 6-7.
Koike, H., & Gillaspie JrAG. (1989). Mosaic. pp. 301-322. In Disease of Sugarcane: Major
Diseases. Eds. Ricaud C, Egan BT, Gillaspie JrAG & Hughes CG. Elsevier,
Amsterdam.
Kristini, A., Irawan., & Sasongko. D. (2006). Mosaic Booming. Gula Indonesia, 30(1), 36-
38.
Kuniata, L. S., Young. G. R., Pais. E., Jones. P., & Nagaraja. H. (1994). Preliminary
observations on Eumetopina sp. (Hemiptera: Delphacidae) as a vector of Ramu
stunt disease of sugarcane in Papua New Guinea. J. Aust. Entomol. Soc. 33,
185-186.
Kuniata, L. S., Chandler. K. J., & Korowi. K. T. (2001). Management of sugarcane pests at
Ramu, Papua New Guinea. Proc. Internat. Soc. Sugar Cane Technol. 24(2),
382-388.
Lehrer, A. T, Kusalwong. A., & Komor. E. (2008). High incidence of Sugarcane yellow leaf
virus (SCYLV) in sugar plantations and germplasm collections in Thailand. Aust.
Plant Dis. Notes 3, 89-92.
Li, W. F., Zhang. R. Y., Huang. Y. K., Pu. C. H., Yin. J., Cang. X. Y., Shan. H. L., Wang.
X. Y., & Luo. Z. M. (2018). Loss of cane and sugar yield resulting from
Ceratovacuna lanigera Zehntner damage in cane-growing regions in China.
Bull. Entomol. Res. 108 (1), 125-129.
Lockhart, BEL., & Autrey. J. C. (2000). Sugarcane bacilliform virus. In A Guide to
Sugarcane Diseases. Rott P, Bailey RA, Comstock JC, Croft BJ & Saumtally AS
(Eds). CIRAD and ISSCT.
Lockhart, B. E. L., & Cronjé, C. P. R. (2000). Yellow leaf syndrome. In A Guide to
Sugarcane Diseases. Rott P, Bailey RA, Comstock JC, Croft BJ & Saumtally AS
(Eds). CIRAD and ISSCT.
Lu, G., Wang. Z., Xu. F., Pan. Y. B, Grisham. M. P., & Xu. L. (2021). Sugarcane mosaic
disease: Characteristics, identification and control. Microorganism. 9:1984.
https://doi.org/10.3390/microorganisms9091984

86 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Magarey, R. C., Kristini. A., Achadian. E. M., Thopmson. N., Wilson. E., Reynolds. M.,
Goebel. R., & Putra. L. K. (2018). Sugarcane streak mosaic-researching a
relatively new disease in Indonesia. Proc Aust Soc Sugar Cane Technol. 40:
257-266.
Maharani, Y., Hidayat. P., Rauf. A., & Maryana. N. (2018). Kutudaun (Hemiptera:
Aphididae) pada gulma di sekitar lahan pertanian di Jawa Barat beserta kunci
identifikasinya. J. Entomol. Indonesia. 15(2): 74-84.
Muis, A. (2002). Sugarcane mosaic virus (SCMV) penyebab penyakit mosaik pada
tanaman jagung di Sulawesi. J. Litbang Pertanian. 21(2): 64-68.
Nirmala, R, RamanujaiB, Rabindra. R. J., & Rao. N. S. (2006). Effect of entomofungal
pathogens on mortality of three aphid species. J. Biol. Control. 20(1): 89-94.
P3GI. (1995). Laporan Kegiatan Triwulan III (Laporan internal). P3GI, Pasuruan.
P3GI. (2015). Laporan Kemajuan Kegiatan Pengembangan dan Pengawalan Tebu serta
Pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) di Kabupaten Merauke.
Kerjasama P3GI dengan PT AAL (Laporan internal). P3GI, Pasuruan.
Pramono, D., Suhartawan., & Wirioatmodjo. B. (1989). Biological study of the woolly aphid
(Ceratovacuna lanigera Zehntner) and its parasitoid (Encarsia flavoscutellum
Zehntner). Biotrop Special Pub. 36: 175-184.
Putra, L. K., Widyasari. W. B., & Slamet M. (2007). Evaluasi ketahanan penyakit beberapa
klon koleksi plasma nutfah tebu. MPG. 43: 211-224.
Putra, L. K., & Damayanti. T. A. (2009). Penyakit streak mosaic pada tebu di Indonesia :
Survei lapang, deteksi, uji penularan, kisaran inang dan ketahanan varietas.
MPG. 45(1): 21-38.
Putra, L. K., & Damayanti. T. A. (2012). Major diseases affecting sugarcane production in
Indonesia. Func. Plant Sci. Biotechnol. 6(2): 124-129.
Putra, L. K., Kristini. A., Achadian. E. M., & Damayanti. T. A. (2014). Sugarcane streak
mosaic virus in Indonesia: Distribution, characterisation, yield losses and
management approaches. Sugar Tech. 16: 392–399.
Putra, L. K., Kristini. A., & Jati. W. W. (2021). Viral diseases of sugarcane in Indonesia:
Occurrence notes, pathogenic characteristics, and management strategies.
Proc. 5th Internat. Conf. Agric. & Life Sci. (in press).
Radiyanto, I., Rahayuningtyas. S., & Widhianingsih. E. (2011). Kemampuan Pemangsaan
Menochilus sexmaculatus F. (Coleoptera:Coccinellidae) terhadap
Rhopalosiphum maidis Fitch (Homoptera:Aphididae). J. Entomol. Indon. 8(1): 1-
7.
Rachmawati, A. (2016). Hama Tanaman Tebu di PT Sumber Sari Petung, Kediri dan
Statistik Demografi Saccharicoccus sacchari Cockerell (Hemiptera:
Pseudococcidae). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thesis
(Tidak dipublikasikan). 57 h.
Rao, G. P., & Ford. R. E. (2001). Vectors of virus and phytoplasma diseases of
sugarcane. In Sugarcane Pathology, Vol II:Viruses and Phytoplasma Diseases.
Rao GP, Ford RE, Tosic M & Teakle DS. Sci. Pub. Inc. Enfield, USA. pp. 267-
318.
Rassaby, L., Girard. J., Letourmy. C., Chaume. P., Irey. J., Lockhart BEL., Kodja. H., &
Rott P. (2003). Impact of Sugarcane yellow leaf virus on sugarcane yield and
juice quality in Réunion Island. Eur. J. Plant Pathol. 109: 459-466.
Samoedi, D. (1993). Hama-hama Penting Pertanaman Tebu di Indonesia. Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. 36 h.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 87
ISBN: 978-602-9071-32-0

Saputro, S. E., Trijanto. B., & Harahap. R. M. (1995). Fogging with a mixture of Basudin
60 EC and sunshine to control Ceratovacuna lanigera Zehntner in the Camming
sugar manufacturing region. Berita P3GI. 12: 23.
Sari, S. P, Suliansyah. I, Nelly. N., & Hamid. H. (2020). Identifikasi hama kutu daun
(Hemiptera: Aphididae) pada tanaman jagung hibrida (Zea mays L.) di
Kabupaten Solok Sumatera Barat. Jurnal Sains Agro. 5(2): 1-8.
Singh, B. U., Padmaja. P. G., & Seetharama. N. (2004). Biology and management of the
sugarcane aphid, Melanaphis sacchari (Zehntner) (Homoptera: Aphididae), in
sorghum: a review. Crop Protection, 23: 739-755.
Smith, G. R. (2000). Fiji disease. In A Guide to Sugarcane Diseases. Rott P,. Bailey RA,
Comstock JC, Croft BJ & Saumtally AS (Eds). CIRAD and ISSCT.
Srikanth. J., Singaravelu. B., & Kurup. N. K. (2012). Natural control of woolly aphid by
Encarsia flavoscutellum prevents yield and quality loss in sugarcane. J.
Sugarcane Res. 2(1): 64-68.
Subekti, D., Hidayat. S. H., Damayanti. T. A., & Purwono. (2020). Penyebaran virus utama
tebu di Lampung dan Sulawesi Selatan. J. Ilmu Pertanian Indonesia. 25(1): 60-
66.
Suhartawan. (1996). Fluktuasi populasi kutu bulu putih (Ceratovacuna lanigera Zehnt.)
(Homoptera: Aphididae) di PG Takalar. MPG 32(1-2): 19-27.
Thompson. N., Goebel. F. R., Kristini. A., Achadian. E.M., Yulianti. T., & Prabowo. H.
(2018). Distribusi hama dan penyakit penting tebu di Indonesia. Pros. Seminar
Nasional Status dan Inovasi Teknologi Tanaman Tebu. Balittas, Badan Litbang
Pertanian.
Viswanathan, R., Jayanthi. R., & Sanakaranarayanan. C. (2017). Integrated disease and
pest management in sugarcane. Indian Farm. 67:28-32.
White, W.H., Reagan. T. E., & Hall. D. G. (2001). Melanaphis sacchari (Homoptera:
Aphididae), a sugarcane pest new to Louisiana. Fla. Entomol. 84: 435.
Widyasari, B. W., Putra. L. K., Ranomahera. M. R. R., & Puspitasari AR. Historical notes,
germplasm development, and molecular approaches to support sugarcane
breeding program in Indonesia. Sugar Tech. https://doi.org/10.1007/s12355-
021-01069-0.

88 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

POTENSI ANTIMIKROB BAKTERI DARI EKOENZIM NANAS (Ananas comosus)


DAN PISANG (Musa paradisiaca)

POTENTIAL ANTIMICROBE BACTERIA FROM ECOENZYMES OF PINEAPPLE


(Ananas comosus) AND BANANA (Musa paradisiaca)

Reza Wahyuni1), Aulia Adriansyah1), Titi Dwi Sari1), Agustiono1), Pahran Effendi2), dan
Risky Hadi Wibowo3)
1)Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UniversitasBengkulu
rezawahyuni66@gmail.com
2) Mahasiswa Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UniversitasBengkulu
pahraneffendi@gmail.com
3) Dosen Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu
riskyhadiwibowo80@gmail.com

ABSTRAK

Ekoenzim adalah produk fermentasi dari dapur sehari-hari limbah seperti buah-buahan seperti nanas
(Ananas comosus) dan pisang (Musa paradisiaca) yang merupakan salah satu permasalahan besar di
setiap provinsi. Pembuatan ekoenzim sangat bermanfaat sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui
potensi bakteri ekoenzim sebagai antimikrob terhadap patogen manusia, seperti Salmonella typhii, Bacillus
subtilis dan Candida albicans. Penelitian ini dimulai dari peremajaan isolat bakteri hasil koleksi dari
Laboratorium Mikrobiologi Baic Sciences unutk dilakukan uji aktivitas antimikrob dengan menggunakan
kultur biakan terhadap mikrob patogen uji untuk diamati zona hambatnya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan didapatkan 16 isolat bakteri ekoenzim nanas dan pisang, diantaranya terdapat 8 isolat bakteri
potensial, yaitu ENS 1, ENS 2, ENS 4, ENS 6, EPS 8, EPS 9, EPS 10, dan EPS 12 mampu menghambat
mikrob uji patogen yakni Bacillus subtilis. Hal ini dikarenakan nanas dan pisang memiliki senyawa metabolit
asam organik seperti asam laktat dan enzim seperti enzim protease yang masing-masing dapat menurunkan
pH dan merusak dinding sel mikrob uji patogen.
Kata Kunci : ekoenzim, antimikrob, potensi, nanas, pisang

ABSTRACT

Ecoenzymes are fermented products from kitchen wastes such as fruits like pineapple (A. comosus) and
banana (M. paradisiaca) which is one of the big problem organic wastes in every province. Production of
ecoenzymes is very useful so this research is carried out to determine the potential of ecoenzyme bacteria
as antimicrobials against human pathogens, such as B. subtilis, C. albicans and S. typhii. This research was
started from purification of bacterial isolates collected from the Microbiology Laboratory of Basic Sciences for
antimicrobial activity test using cultures against pathogenic microbes to observe the zone of inhibition as
positive result of this test. Based on the research conducted that 16 isolates of pineapple and banana
ecoenzyme bacteria were found, which there were 8 potential bacterial isolates, namely ENS 1, ENS 2, ENS
4, ENS 6, EPS 8, EPS 9, EPS 10, and EPS 12 which were able to inhibit pathogenic microbes, namely B.
subtilis.. This is because pineapple and banana have organic acid metabolites such as lactic acid and
enzymes such as protease enzymes, that can causing lower pH and damage pathogenic microbial cell wall.

Keywords : ecoenzyme, antimicrobial, potensial, pineapple, banana

89
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Ekoenzim adalah produk fermentasi dari dapur sehari-hari limbah seperti buah-buahan
dan sayuran. Hasil dari pembuatan ekoenzim ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan. Menurut literatur produk fermentasi ekoenzim memiliki aktivitas antimikroba.
Berdasarkan penelitian Dewi et al. (2016) menyatakan bahwa larutan ekoenzim dari
limbah sayuran bersifat bakterisida terhadap Escherichia colidan Shigella dysenteriae.
Ekoenzim juga dapat berasal dari buah yang difermentasi menggunakan populasi
bakteri asli yang ada didalam buah. Bakteri yang memiliki produksi nitrat reduktase
seperti E. coli juga ada. Nanas (A. comosus) dan pisang (M. paradisiaca) merupakan
tanaman yang lazim ditemukan di negara tropis seperti Indonesia. Kegunaanya selain
bahan pangan juga dimanfaatkan diberbagai bidang ilmu kesehatan, seperti ilmu
farmasi, kedokteran dan biologi medis.
Ekoenzim mengandung mikrob yang beragam dan berperan sebagai antimikrob
sehingga berguna bagi manusia. Namun, masih belum banyak referensi ataupun
literatur yang menjelaskan mengenai keragaman dan potensi ecoenzyme sebagai
penghasil antimikrob tersebut.
Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain adalah untuk mengetahui potensi
bakteri dari ekoenzim Nanas (A. comosus) dan pisang (M. paradisiaca) sebagai
antimikrob terhadap bakteri patogen manusia, seperti B. subtilis.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah mengenai potensi bakteri
dari ekoenzim Nanas (A. comosus) dan pisang (M. paradisiaca) sebagai antimikrob
bakteri B. subtilis yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya
dalam pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.

2. Metode
Penelitian dilaksanakan pada 20 September - 10 November 2021, di Basic Science,
Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Bengkulu.
Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi Erlenmeyer, cawan Petri, ose, inkubator,
shaker. Bahan yang digunakan meliputi isolat bakteri ekoenzim nanas (A. comosus) dan
pisang (M. paradisiaca), Nutrient Agar (NA), bakteri S. typhii, bakteri B. subtilis, bakteri
C. albicans.

Metode penelitian dilakukan dengan tahapan peremajaan isolat bakteri ekoenzim nanas
(A. comosus) dan pisang (M. paradisiaca) pada media Nutrient Agar (NA) dengan
metode gores quadran dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30 C. Kemudian, uji
aktivitas antimikrob yang dihasilkan oleh bakteri ekoenzim terhadap patogen uji, yaitu B.
subtilis. Bakteri patogen dikultur ke dalam media Tryptic Soy Broth (TSB) dan di shaker
selama 24 jam. Selanjutnya, kultur bakteri patogen dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
yang berisi NA yang bersuhu ± 40 C,dihomogenkan, dituang ke dalam cawan Petri,
ditunggu hingga media padat. Isolat bakteri ekoenzim diinokulasikan dengan
menggunakan ose ke media yang terdapat patogen, diinkubasi pada suhu 30 selama 2 x
24 jam. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Hasil positif ditandai
dengan terbentuknya zona bening diisolat bakteri ekoenzim yang kemudian diukur
menggunakan jangkasorong dan dihitung indeks zona hambatnya.

90 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

3. Hasil dan Pembahasan


1. Peremajaan Isolat Bakteri Ekoenzim
Isolat bakteri ekoenzim dari limbah buah – buahan yang diremajakan merupakan hasil
isolasi dari limbah buah – buahan di laboratorium Mikrobiologi, Basic Sciences,
sebanyak 16 isolat bakteri ekoenzim yang diremajakan. Semua isolat bakteri ekoenzim
kemudian diremajakan untuk dilakukan pengujian awal aktivitas senyawa antimikrob dari
isolat bakteri ekoenzim terhadap patogen. Isolat bakteri ekoenzim diremajakan
menggunakan metode gores quadran dan diinkubasi pada inkubator selama 1 x 24 jam
pada suhu 30°C (lay, 1994). Kode isolat peremajaan bakteri ekoenzim, diantaranya
adalah ENS (ekoenzim nanas) dan EPS (ekoenzim pisang). Peremajaan isolat bakteri
ekoenzim yang berasal dari limbah buah-buahan dapat dilihat pada gambar 1

1 2 3 4 5

6 7 8 9 10

11 12 13 14 15

Gambar 1. Peremajaan isolat bakteri ekoenzim hasil isolasi dari limbah buah-buahan,
1-7 kode isolat ENS dan 8-16.
Sumber: foto pribadi, 2021

2. Skrining bakteri endofit menggunakan biakan terhadap mikrob patogen


Skrining bakteri ekoenzim penghasil senyawa antimikrob dilakukan terhadap 16 isolat
bakteri asal limbah buah – buahan dengan mikrob patogen uji yang digunakan yaitu B.
subtilis yang dapat menyebabkan penyakit, meningitis, dan gastroenteritis (Jawetz et al.,
2008). Aktivitas senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh isolat bakteri ekoenzim ditandai
dengan terbentuknya zona bening di sekitar isolat yang berarti senyawa yang dihasilkan
mampu menghambat pertumbuhan mikrob patogen uji. Hasil uji menggunakan isolat

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 91
ISBN: 978-602-9071-32-0

bakteri ekoenzim memperlihatkan bahwa adanya aktivitas penghambatan pertumbuhan


mikrob patogen uji yang dapatdilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Skrining aktivitas antimikrob bakteri ekoenzim dari limbah buah – buahanmenggunakan
biakan terhadap patogen uji B. subtilis

No Kode Isolat Aktivitas penghambatan terhadap


patogen uji
1 ENS 1 +
2 ENS 2 +
3 ENS 3 -
4 ENS 4 +
5 ENS 5 -
6 ENS 6 +
7 ENS 7 -
8 EPS 8 +
9 EPS 9 +
10 EPS 10 +
11 EPS 11 -
12 EPS 12 +
13 EPS 13 -
14 EPS 14 -
15 EPS 15 -
16 EPS 16 -

Hasil penampakan zona hambat yang dihasilkan biakan isolat bakteri


endofit ditampilkan pada Gambar 2.

1 2 3 4 5

6 7 8
Gambar 2. Zona hambat pada media berisi bakteri Bacillus subtilis yang terbentuk dari
isolat bakteri yan diisolasi dari ekoenzim yang berasal dari limbah buah – buahan, (1)
ENS 1, (2) ENS 2, (3) ENS 4, (4) ENS 6, (5) EPS 8, (6) EPS 9, (7) EPS 10, dan (8) EPS
12.

92 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tabel 2. Aktivitas antimikrob isolat potensial bakteri ekoenzim yang berasal dariekoenzim
menggunakan biakan terhadap pmikrob patogen uji B. subtilis

No Kode Diameter Diameter Diameter Aktivitas


Isolat Isolat (mm) Isolat (mm) Aktivitas Zona
± SD + Zona Zona Hambat
Hambat Hambat
(mm) ± SD (mm) ± SD
1 ENS 1 3,82 ± 0,57 4,30 ± 0,48 4,78 + 0,86 L

2 ENS 2 3,53 ± 0,36 3,35 ± 0,18 3,16 ± 0,85 L


3 ENS 4 5,16 ± 0,84 3,74 ± 1,41 2,32 ± 1,78 L

4 ENS 6 3,11 ± 0,31 3,28 ± 0,17 3,46 ± 0,22 L

5 EPS 8 5,82 ± 0,07 7,63 ± 1,80 9,43 ± 0,99 S

6 EPS 9 4,26 ± 0,16 6,5 ± 2,24 8,74 ± 0,25 S

7 EPS 10 5,85 ± 0,45 6,98 ± 1,13 8,11 ± 0,14 S


8 EPS 12 5,27 ± 0,32 5,04 ± 0,23 4,81 ± 0,73 L

Keterangan: ENS = Ekoenzim Nanas, EPS = Ekoenzim Pisang, SD = Standar Deviasi, SK


= Sangat Kuat, K = Kuat, S = Sedang, L = Lemah, dan TP= Tidak berpotensi.

Pembahasan
Ekoenzim merupakan cairan yang dibuat dari proses fermentasi limbah organik
khususnya kulit buah dan sayuran dengan penambahan air dan gula tanpa proses
kimiawi, salah satunya adalah gula merah yang dilakukan dengan fermentasi dan dapat
membentuk zona hambat atau aktivitas hambat pada mikrob (Bernadin et al., 2017).
Pada pengujian aktivitas antimikrob menggunakan kultur biakan bakteri ekoenzim yang
terdiri dari 16 isolat didapatkan 8 isolat yang memiliki potensial kepada beberapa mikrob
uji patogen, yaitu ENS 1, ENS 2, ENS 4, ENS 6, EPS 8, EPS 9, EPS 10, dan EPS 12
mampu menghambat mikrob uji patogen yaitu B. subtilis.
Berdasarkan tabel 2, pada mikrob uji patogen B. subtilis didapatkan 8 isolat potensial
diantaranya 4 isolat dari ekoenzim nanas dan 4 isolat dari ekoenzim pisang. Pada isolat
potensial yang menghambat mikrob uji pada ekoenzim nanas dikarenakan menurut
Erukainure et al. (2011), nanas memiliki kandungan air 90% dan kaya vitamin, gula dan
enzim bromelin, yaitu enzim protease yang dapat menghidrolisis protein, protease, atau
peptida. Pemanfaatan kulit nanas pada proses fermentasi menghasilkan bakteri-bakteri
asam laktat yang bermanfaat bagi kesehatan dan bersifat sebagai probiotik. Bakteri-
bakteri asam laktat hasil fermentasi kulit nanas yang bersifat probiotik dapat bermanfaat
bagi kesehatan. Sedangkan pada pisang, menurut Ratnakomala et al. (2006) kulit
pisang dapat dimanfaatkan karena mengandung asam laktat. Asam laktat tersebut
berperan dalam penurunan pH selama proses fermentasi berlangsung dan dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya zona hambat tergantung pada
difusi senyawa atau bahan antimikrob ke dalam media dan interaksinya dengan mikrob
uji, jumlah mikrob yang digunakan, kecepatan tumbuh mikrob yang di uji serta, serta

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 93
ISBN: 978-602-9071-32-0

sensitifitas mikrob uji terhadapap senyawa antimikroba. Menurut Greenwood, (1995)


adapula faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri suatu sampel, diantaranya
ketebalan media pada cawan Petri juga mempengaruhi luas zona hambat. Semakin
tebal media pada cawan Petri maka zona penghambatan akan semakin kecil karena
kecepatan difusinya semakin rendah. Selain itu nilai pH juga mempengaruhi kinerja
antibakteri.

4. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan 16 isolat bakteri ekoenzim nanas dan
pisang, diantaranya terdapat 8 isolat bakteri potensial, yaitu ENS 1, ENS 2, ENS 4, ENS
6, EPS 8, EPS 9, EPS 10, dan EPS 12 mampu menghambat mikrob uji patogen yaitu B.
subtilis.

Daftar Pustaka
Arifin , L.W., Syambarkah. A, Purbasari. H.S., Ria. R, & VA. Puspita. (2009). Introduction
of Eco-enzyme to Support Organic. As. J. Food Ag-Ind Special Issue, 356-359.
Dewi, M.A., Anugrah. R., & Nurfitri. Y.A. (2016). Uji Aktivitas Antibakteri Ekoenzim
Terhadap Escherichia coli dan Shigella dysenteriae. Prosiding Seminar Nasional
Farmasi (SNIFA) 2 Unjani: 60–68.
Erukainure, O.L, Oke. O. V, Ajiboye. A. J., & Okafor. O. Y. (2011). Nutritional qualities
and phytochemical constituents of Clerodendrum volubile, a tropical
nonconventional vegetable. International Food Research Journal, 18(4), 1393-
1399.
Greenwod. (1995). Antibiotics susceptibility (sentivity) Test, Anmicrobial and
chemotherapy. San Fransisco : Addison Westley Longman Inc, 115.
In, Y. W., Kim. H. J., & Kim. S.W. (2013). Antimicrobial Activities of Acetic Acid, Citric
Acid, and Lactic Acid Againts Shigella Species. Journal of Food Safety, 33(1), 79-
83.
Low, H. W., Ling. R. L. Z., & Teo. S. S. (2021). Effective Microorganisms in Producing
Eco- Enzyme from Food Waste for Wastewater Treatment. Applied Microbiology:
Theory & Technology, 2(1), 28-36.
Ratnakomala, S., Ridwan. G. K., & Widyastuti. Y. (2006). Pengaruh Inokulum
Lactobacillus plantarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap Kualitas Silase Rumput Gajah
(Pennisetum purpurium). Pusat Penelitian Bioteknologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Saragih, E. F. (2016). Pengaruh Pupuk Cair Kulit Pisang (Musa Paradisiaca Forma Typica)
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Sawi Caisim (Brasicca Juncea L.). Skripsi. Program
Studi Pendidikan Biologi Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Sutanto, A. (2011). Degradasi Bahan Organik: Degradasi Bahan Organik Limbah Cair
Nanas Oleh Bakteri Indigen. El-Hayah, 1(4),151-156.

94 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Ucapan Terima Kasih


Kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada para pihak atas kontribusi dan
dukungan yang telah diberikan selama kegiatan penelitian ini berlangsung. Berikut ini
adalah nama-nama yang telah berkontribusi selamakegiatan penelitian berlangsung :
1. Dr. Jarulis, S.Si., M.Si.
Dekan Fakultas MIPA, Universitas Bengkulu.
2. Dra. R. R. Sri Astuti, M.S.
Ketua Jurusan Biologi, Universitas Bengkulu.
3. Dr. Risky Hadi Wibowo, M.Si.
Pembimbing Penelitian, Universitas Bengkulu.
4. Anggota Tim Penelitian, Universitas Bengkulu.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 95
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember2021

SURVEI KEBERADAAN Spodoptera frugiperda J. E SMITH (LEPIDOPTERA:


NOCTUIDAE) PADA PERTANAMAN JAGUNG DI DESA KUALU, KECAMATAN
TAMBANG, KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU

A SURVEY OF THE PRESENCE OF Spodoptera frugiperda J. E Smith (Lepidoptera:


Noctuidae) IN CORN PLANTATIONS IN KUALU VILLAGE, TAMBANG DISTRICT,
KAMPAR REGENCY, RIAU PROVINCE

Haristia Dumeri dan Arini


Universitas Riau
Haristiadumeri98@gmail.com

ABSTRAK
Tanaman jagung (Zea mays. L) merupakan komoditas pangan penting setelah padi dan gandum. Terdapat
spesies ulat grayak baru yang diketahui berasosiasi dengan tanaman jagung diberbagai belahan dunia yang
disebut dengan Fall Amryworm (FAW) atau Spodoptera frugiperda. Saat ini informasi tentang keberadaan
spesies ini di Riau belum banyak diketahui. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengamati keberadan dan
perkembangan S. frugiperda pada pertanaman jagung di Desa Kualu, Bangkinang, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari-April 2021. Pengambilan sampel dilakukan di tiga
perkebunan warga dengan usia yang berbeda. Usia jagung yang akan digunakan yaitu pertanaman jagung
pada fase pertumbuhan awal dan fase vegetatif. setiap lokasi pengamatan diukur luas lahan dan dibuat plot,
masing-masing lahan dibuat lima plot. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dalam bentuk gambar
dan tabel. Hasil penelitian diperoleh 33 individu yang terdiri dari 12 individu pada lahan usia vegetatif dan 21
individu pada lahan usia pertumbuhan awal. Beberapa gejala keberadaan S. frugiperda ditemukan pada lahan
yaitu lubang pada daun yang masih menggulung, daun yang berwarna semi transparan (window), adanya
kotoran larva pada bagian daun yang menggulung.

Kata Kunci: Biologi, Jagung, Spodoptera frugiperda

ABSTRACT
Corn (Zea mays. L) is an important food commodity after rice and wheat. There is a new species of armyworm
known to be associated with maize plants in various parts of the world with Fall Amryworm (FAW) or
Spodoptera frugiperda. Currently, there is not much information about the existence of this species in Riau.
The purpose of this study was to observe the presence and development of S. frugiperda in maize cultivation
in Kualu Village, Bangkinang, Kampar Regency, Riau. This research was conducted in January-April 2021.
Sampling was carried out in three plantations of residents with different ages. The age of corn that will be used
is corn planting in the early growth phase and the vegetative phase. each location observes the land area and
plots are made, each plot of land is made of five plots. The data obtained are presented descriptively in the
form of pictures and tables. The results obtained 33 individuals consisting of 12 individuals in the field of
vegetative age and 21 individuals in the field of early growth age. Several symptoms of the presence of S.
frugiperda were found on the land, namely holes in the leaves that were still curled up, semi-transparent
leaves (windows), the presence of dirt on the curled leaves.

Keywords: Biology, Corn, Spodoptera frugiperda

96
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

1. Pendahuluan
Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan komoditas pangan penting setelah padi dan
gandum. Beberapa daerah di Indonesia seperti Madura dan Nusa Tenggara bahkan
menjadikan tanaman jagung sebagai sumber pangan utama. Selain sebagai sumber
pangan, ketersediaan jagung dibutuhkan dalam berbagai industri sehingga produksi
jagung sangan mempengaruhi kinerja industri (Nadrawati 2019). Berdasarkan data dalam
lima tahun terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan baku industri, pakan, makanan dan
minumam meningkat 10-15 % per tahun dan mencapai 50% untuk kebutuhan pakan
(Zubachtirodin 2007).
Beberapa tantangan yang dijumpai dalam pengembangan budidaya jagung diantaranya
adalah fluktuasi produksi dan harga, penangan pasca panen dan pengolahannya,
terbatasnya modal usaha tani dan kemitraan usaha yang belum berkembang (Purwanto
2007) serta adanya organisme pengganggu tanaman (OPT) yang terdiri atas hama dan
penyakit tanaman (Thamrin 2019, sembel 2012). Berkaitan dengan hama, diketahui
terdapat beberapa serangga yang bersifat fitofag pada tanaman jagung yang dapat
menyerang pada seluruh fase, pertumbuhan, baik vegetatif maupun generatif (Kalshoven
1981, Subandi et al 1988).
Saat ini terdapat spesies ulat grayak baru yang diketahui berasosiasi dengan tanaman
jagung diberbagai belahan dunia yang disebut dengan Fall Armywarm (FAW). FAW
merupakan lava dari spesies Spodoptera frugiperda J. E. Smith (Lepidoptera: Noctuidae)
yang bersifat fitofag. Larva S. frugiperda ini dapat berasosiai dengan lebih dari 80 spesies
tanaman, termasuk jagung padi, sorgum, jewawut, tebu, sayuran, dan kapas (Baco 2007).
Keberadaan dan aktivitas makan larva ini dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang
signifikan apabila tidak di tangani dengan baik. Larva ngengat ini dapat merusak hampr
semua bagian tanaman jagung (akar, daun, bunga jantan, bunga betina serta tongkol).
Pada negara-negara Afrika, kehilangan hasil tanaman jagung akibat serangan hama ini
antara 4 sampai 18 juta ton per tahun dengan nominal kerugian antara US$ 1-4,6 juta per
tahun (Nonci et al 2019).
Spesies ngengat ini merupakan serangga asli daerah tropis dari Amerika Serikat hingga
Argentina (Subiono 2020). Pada awal 2016, untuk pertama kalinya serangan ini
dilaporkan ditemukan di Afrika Tengah dan Barat (Benin, Nigeria, Sao Tome dan Principe,
dan Togo). Kemudian ditemukan di seluruh daratan Afrika bagian Selatan (kecuali
Lesotho), juga di Madagaskar dan Seychelles (Negara Kepulauan). Selanjutnya di
laporkan pada tahun 2018 spsies ini teridentifikasi dan di laporkan menyerang di hampir
seluruh negara Sub-Sahara Afrika, kecuali Djibouti, Eritrea, dan Lesotho. Serangan
tersebut juga telah teridentifikasi di Sudan. Spesies ini di prediksi akan menyebar lebih
luas ke seluruh belahan dunia (Nonci et al 2019)keberadaan S. frugiperda pada
pertanaman jagung di Indonesia pertama kali dilaporkan pada Maret 2019 terjadi pada
pertanaman jagung di Pasaman, Provinsi Sumatera Barat (Kementan 2019, Lubis 2020).
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengamati keberadaan dan perkembangan S. frugiperda
pada pertanaman jagung di Desa Kualu, Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 97
ISBN: 978-602-9071-32-0

2. Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2021. Lokasi pengambilan sampel di
perkebunan warga di Desa Kualu, Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Identifikasi dilakukan di lapangan dan pemeliharaan sampel dilakukan di Laboratorium
Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau.
Survei dan Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel
Survei pendahuluan terhadap keberadaan S. frugiperda pada pertanaman jagung
dilakukan pada Bulan Agustus hingga Desember 2020. Wilayah yang disurvei adalah
pertanaman jagung milik masyarakat di Desa Kualu, Bangkinang, Provinsi Riau. Survei
dilakukan untuk melihat ketersediaan pertanaman jagung milik petani dan usia jagung
yang sesuai dengan waktu pengamatan. Usia jagung yang akan digunakan yaitu
pertanaman jagung pada fase pertumbuhan awal dan fase vegetatif.
Pengambilan dan Pengamatan Sampel
Tanaman jagung di setiap lokasi pengamatan diukur luas lahan dan dibuat plot sesuai
pola pengamatan yang sudah ditentukan. Spodoptera frugiperda yang ditemukan
dikoleksi secara langsung dengan menggunakan pinset atau kuas halus. Seluruh gejala
kerusakan akibat aktivitas makan dan perkembangan S. frugiperda akan
didokumentasikan. Sampel yang diperoleh (baik berupa kumpulan telur, larva, maupun
pupa) kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel atau wadah plastik untuk dibawa ke
laboratorium, dipelihara dan diamati. Wadah plastik diberi label yang berisi data tanggal
dan lokasi pengambilan. Proses pengambilan sampel dilakukan satu persatu: pada lahan
A kemudian dilakukan pemeliharaan, metode yang sama dilakukan pada lahan lainnya
selama Januari-April 2021.
Pemeliharaan Serangga dan Pengamatan Perkembangan
Sampel yang diperoleh diamati dan dipelihara hingga menjadi imago. Larva dipelihara
dalam wadah plastik dan di beri pakan daun tanaman jagung. Setelah larva memasuki
fase pupa, pupa dipindahkan ke wadah pelastik lainnya. Imago yang telah keluar dari
pupa akan diawetkan dengan di Pinning kemudian diidentifikasi menurut publikasi ilmiah.
seluruh perkembangan didokumentasikan dan diamati secara morfologi di Laboratorium
Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau.
Pengamatan morfologi meliputi ukuran, warna, dan karakteristik tertentu dari setiap
stadium mengacu kepada beberapa publikasi ilmiah yang terkait yaitu Noncy et al (2019),
Nadrawati et al (2019), Maharani et al (2019). Data yang diperoleh disajikan secara
deskriptif dalam bentuk gambar dan tabel.

3. Hasil dan Pembahasan


Jumlah individu dan gejala keberadaan ulat grayak
Hasil pengambilan dan pengamatan sampel di Desa Kualu, Bangkinang, Provinsi Riau
diperoleh 33 individu yang terdiri dari 12 individu pada lahan usia vegetatif dan 21 individu
pada lahan usia pertumbuhan awal. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan jumlah
individu S. frugiperda lebih banyak pada fase pertumbuhan awal. Hal ini disebabkan
karena larva S. frugiperda menyukaibagian daun muda yang masih menggulung pada
fase pertumbuhan awal tanaman jagung dan larva akan masuk ke bagian yang

98 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

menggulung yang membuat larva terlindungi dan memdukung perkembangannya. Tabel


1 menunjukkan hasil pengambilan sampel yang telah dilakukan di Desa Kualu.

Tabel 1. Fase Keberadaan S. frugiperda di lahan

Stadia
Lahan Telur Instar Instar Instar Instar Instar Instar Pupa Imago Jumlah
1 2 3 4 5 6
Lahan 1 (fase
0 0 0 5 2 2 3 0 0 12
vegetatif)
Lahan 2
(pertumbuhan 0 0 3 3 0 7 8 0 0 19
awal)

Pada lahan fase vegetatif lebih sedikit didapatkan sampel larva S. frugiperda. Ini
disebabkan oleh pada fase vegetatif petani lebih sering melakukan monitoring dan
penyemprotan pada tanaman setiap seminggu sekali. Larva yang bersembunyi dipucuk
daun pada siang hari akan mati karena penyemprotan, tetapi karena imago S. frugiperda
aktif bereproduksi pada malam hari, setelah tiga hari larva akan muncul kembali karena
larva aktif makan saat malam hari.

Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan gejala berupa lubang akibat gerekan larva
yang ditemukan pada daun yang masih menggulung (Gambar 1A). Gejala lain yang
ditemukan di lapangan berupa daun yang berwarna semitransparan (window) (Gambar
1B). Hal ini disebabkan karena larva instar 1 memakan jaringan daun dan meninggalkan
jaringan epidermis bawah daun sehingga meninggalkan bagian yang transparan. Gejala
lain yang ditemukan di lapangan adanya kotoran larva pada bagian daun yang
menggulung (Gambar 1C). Gejala selanjutnya yang ditemukan di lapangan berupa daun
yang berlubang (Gambar 1D). Hal ini dikarenakan larva ulat grayak masuk ke dalam
bagian tanaman yang masih tertutup seperti daun muda yang masih menggulung dan
membuat kerusakan didalamnya.

Gambar 1. Gejala Keberadaan S. frugiperda

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 99
ISBN: 978-602-9071-32-0

Karakteristik morfologi ulat grayak

Karakter morfologi larva S.frugiperda meliputi 3 garis pada tubuh bagian dorsal (Gambar
2A), garis membentuk huruf “Y” pada kapsul kepala (Gambar 2B), 4 titik pinakula
membentuk persegi pada abdomen ke-8 (Gambar 2C), garis tebal atau pita pada tubuh
bagian lateral (Gambar 2D) (Sumaryati 2021), dan membentuk trapesium pada abdomen
1-7 dan 9 (Sumaryati 2021).

Gambar 2. Karakter morfologi S. frugiperda

Pupa

Fase prapupa dari S. frugiperda dapat ditandai dengan berhentinya proses makan larva
instar akhir. Di lapangan biasanya pupa akan menjatuhkan diri pada ke dan masuk pada
kedalaman 2-8 cm di bawah permukaan tanah (Palupi 2021). Identitas kelamin S.
frugiperda dapat dilihat pada fase pupa dengan melihat jarak antara pembukaan
genitalnya yakni betina memiliki jarak anal dengan genitalia yang lebih panjang
dibandingkan dengan jantan (Debora et al 2017). Berdasarkan sampel yang diperoleh
dapat diamati dengan jelas perubahan larva yang akan memasuki fase pupa. Sampel
pupa diperoleh dari pemeliharaan larva instar akhir yang diperoleh dari lapangan,
perubahan yang teramati dan larva yang memasuki fase prapupa yaitu sudah tidak
melakukan aktivitas makan dan segera berubah menjadi pupa. Selain itu, perubahan lain
yang teramati yaitu menyusutnya tubuh larva dari ukuran sebelumnya.
4. Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan ciri morfologi larva, pupa, imago dan gejala kerusakan,
selanjutkan dibandingkan dengan literatur yang ada dapat dipastikan bahwa serangga
hama yang menyerang tanaman jagung di Desa Kualu, Kecamatan Tambang, Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau adalah Spodoptera frugiperda. Larva S. frugiperda mengalami
metamorfosis sempurna atau holometabola. Tahap perkembangan meliputi telur, larva,
pupa, dan imago. Stadia terdiri dari 6 instar. Fase larva sebelum menjadi pupa disebut
pra-pupa, kemudia berkembang menjadi pupa dan selanjutnya menjadi imago (Sumaryati
2021

100 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Daftar Pustaka
Baco, D., & Tandiabang, J. (2007). Hama Utama Jagung dan Pengendaliannya. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Maros.
Débora, M.D.S., Adeney, D.F.B., Karine, A., Cristiane, D.S.S., Pedro, M.O.J.N., & Maria,
C.N.D.O. (2017). Biology and nutrition of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera:
Noctuidae) fed on different food sources. Sci Agric, 74(1), 18-31.
Early, R., Moreno, P.G., Murphy, S.T., & Roger, D. (2018). Forecasting the Gibal Extent of
Invasion of The Cereal Pest Spodoptera frugiperda, The Fall Armywarm. Neo
Biota, 40, 25-40.
Ginting, S., Zarkani, A., Wibowo, H.R., & Sipriyadi. (2020). New Invasive Pest,
Spodoptera frugiperda (J. E. Smith) (Lepidoptera: Noctuidae) Attacking Corn in
Bengkulu, Indonesia. Serangga, 25(1),105-117.
Kalshoven, L. G. E. (1981). Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Jakarta. 701p.
Kementrian Pertanian. (2019). Pengenalan Fall Armyworm (Spodoptera frugiperda J. E.
Smith) Hama Baru pada Tanaman Jagung di Indonesia. Jakarta (ID): Balai
Penelitian Tanaman Serelia. 64 p.
Lubis, N.A.A., Anwar, R., Soekarn,o W.P.B., Istiaji, B., Sartiami, D., Irmansyah., &
Herawati, D. (2020). Coray Wood Corn (Spodoptera frugiperda) Caterpillars in
CornCrops in Petir Village, Daramaga Sub-District, Bogor District, and Its Control
Potensial Using Metarizhium Rileyi). Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat, 2(6), 931-
939.
Maharani, Y., Dewi, K.V., Puspasari, T.L., Rizkie, L., Hidayat, Y., & Dono, D. (2019).
Cases of Fall Army Worm Spodoptera frugiperda J.E. Smith (Lepidoptera:
Noctuidae) Attack on Maize in Bandung, Garut and Sumedang District, West
Java. Jurnal Cropsaver, 2(1), 38-46.
Nadrawati., Ginting, S., & Zarkani, A. (2019). Identifikasi Hama Baru dan Musuh Alaminya
pada Tanaman Jagung. Bengkulu. Universitas Bengkulu.
Nonci, N., Kalqutny, H.S., Mirsam, H., Muis, A., Azrai. M., & Aqil, M. (2019). Pengenalan
Fall Armyworm (Spodoptera frugiperda J. E. Smith) Hama Baru pada Tanaman
Jagung di Indonesia. Maros. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Palupi, M.R., Sartiami, D., & Nurmansyah, A. (2021). Ukuran Kepala Larva, Pupa, dan
Imago serta Karakter Tubuh Larva Spodoptera frugiperda (J. E. Smith)
(Lepidoptera: Noctuidae) di Kabupaten Bogor. Skripsi. Universitas Institut
Pertanian Bogor.
Purwanto, S. (2007). Perkembangan Produksi dan Kebijakan Dalam Peningkatan
Produksi Jagung. Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jendral Tanaman
Pangan.
Sembel, D.T. (2012). Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Fakultas Pertanian UNSRAT
Manado.
Subandi, I., Manwan., & Blumenschein, A. (1988). National Coordinated Research
Program on Corn. Central Research Institute for Food Crops. Agency for
Agricultural Research and Development.
Subiono, T. (2020). Preferences of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae) in
several Feed Sources. Jurnal Agroekoteknologi Tropika Lembab, 2(2), 130 134.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 101
ISBN: 978-602-9071-32-0

Sumaryati, B., Santoso, S., & Sartiami, D. (2021). Biologi dan Neraca Hayati Ulat Grayak
Jagung, Spodptera frugiperda J.E. Smith (Lepidoptera: Noctuidae) pada
Babycorn. Skripsi. Universitas Institut Pertanian Bogor.
Thamrin, T.N., & Sudartik, E. (2019). Kepadatan Populasi Hama Utama Pada 2 Varietas
Tanaman Jagung Di Kecamatan Malang ke Kabupaten Luwu Utara. Agrovital:
Jurnal Ilmu Pertanian, 5(2), 52-54.
Zubachtirodin, M.S., Pabbage., & Subandi. (2007). Wilayah Produksi dan Potensi
Pengembangan Jagung. Maros. Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros,
Sulawesi Selatan.

102 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

JUDUL UTAMA MAKALAH KEJADIAN PENYAKIT DAN SERANGAN HAMA PADA


SETEK KOPI ROBUSTA DENGAN SAYATAN YANG BERBEDA

MAIN TITLE DISEASES INCIDENCY AND PEST INFESTATION ON ROBUSTA


COFFEE CUTTINGS WITH DIFFERENT CUT TYPE

Mahardika Puspitasari, Susilawati, Nurkholis Firdaus, dan Asep Wowon


Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
dhunt.dee@gmail.com

ABSTRAK
Kopi Robusta merupakan komoditas yang dibudidayakan secara vegetatif dengan setek batang. Batang
ortotrop dipotong sebanyak 1-2 ruas dan ditumbuhkan dalam media pasir hingga keluar akar baru kemudian
dipindahkan ke dalam polybag. Salah satu perlakuan dalam setek yaitu pemotongan batang (penyayatan).
Dalam praktiknya, terdapat 3 bentuk yang digunakan oleh penangkar untuk perbanyakan kopi robusta.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh bentuk sayatan terhadap kematian setek akibat hama dan
penyakit pada setek batang kopi robusta. Penelitian dilakukan di IP2TP Pakuwon dan Laboratorium Terpadu
Balai Penelitian tanaman Industri dan Penyegar pada bulan September 2020 sampai dengan Maret 2021.
Desain penelitian menggunakan Rancangan Faktorial dengan 2 faktor yaitu klon kopi robusta BP42 dan
BP534 sebagai faktor pertama dan bentuk sayatan v,/ dan √ sebagai faktor kedua. Hasil menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan nyata pada perlakuan klon kopi dan bentuk sayatan yang berbeda. Kematian setek
batang kopi robusta akibat serangan hama dan penyakit tidak dipengaruhi oleh bentuk sayatan dan jenis klon
kopi robusta. Cendawan yang menyebabkan kematian setek kopi robusta adalah Rhizoctonia sp. sedangkan
serangga yang menyerang setek adalah rayap dari genus Macrotermes.

Kata Kunci: rayap, cendawan, pathogen, gejala, kerusakan

ABSTRACT
Robusta coffee is a commodity that is cultivated vegetatively by stem cuttings. The orthotropic stems were cut
as much as 1-2 segments and grown in sand media until new roots came out and then transferred into
polybags. One of the treatments in cuttings is cutting the stem (slicing). In practice, there are 3 forms used by
breeders for robusta coffee propagation. This study was conducted to determine the effect of the incision form
on cutting mortality due to pests and diseases on robusta coffee stem cuttings. The research was conducted
at IP2TP Pakuwon and the Integrated Laboratory of the Industrial and Refreshing Plant Research Institute
from September 2020 to March 2021. The research design used a factorial design with 2 factors, were
robusta coffee clones BP42 and BP534 as the first factor and the v,/ and √ as the second factor. The results
showed that there was no significant difference in the treatment of coffee clones and different incision shapes.
Damaged robusta coffee stem cuttings due to pests and diseases was not affected by the shape of the
incision and the type of robusta coffee clone. Fungi that cause damage in stem cutting of robusta coffee was
Rhizoctonia sp. while the insect that infested coffee cuttings was termites from genus Macrotermes.
Keywords: termites, fungi, pathogen, symptom, damage

103
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Kopi robusta merupakan komoditas perkebunan yang banyak dibudidayakan oleh petani
di dataran menengah sampai rendah. Cita rasa kopi robusta yang tidak terlalu asam
membuat kopi robusta banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal inilah yang mendorong
petani kopi memperbanyak kopi robusta. Secara alami, kopi robusta melakukan
penyerbukan silang. Hal ini menyebabkan hasil anakan dari biji sangat bervariasi. Oleh
sebab itu, untuk mendapatkan anakan dengan mutu benih yang sama dengan induknya
maka perbanyakan secara vegetatif sangat direkomendasikan. Perbanyakan kopi robusta
yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan cara vegetatif yaitu setek batang.
Batang ortotrop kopi robusta diambil kemudian dipotong sepanjang satu ruas dan
direndam pada larutan zat pengatur tumbuh untuk mempercepat pertumbuhan akar.
Setelah itu ditancapkan pada media tanah atau pasir dan dirawat selama 4 bulan dengan
diberi sungkup plastik untuk mencegah serangan hama dan penyakit.
Walaupun begitu, infestasi hama dan penyakit masih tetap dapat terjadi melalui media
tanam, air penyiraman maupun alat alat pertanian yang digunakan dalam pemeliharaan
setek. Selain itu, adanya luka pada setek juga dapat menjadi celah bagi patogen untuk
dapat menginfestasi setek. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bentuk sayatan atau
potongan batang pada pangkal setek mempengaruhi pertumbuhan. (Filho et al., 2020)
menyebutkan bahwa setek yang dipotong dengan bentuk sayatan miring dapat
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik daripada sayatan yang lurus. Namun
informasi mengenai pengaruh sayatan terhadap insidensi penyakit dan serangan hama
pada setek sangat terbatas.
Diketahui bahwa patogen penyebab penyakit dan hama penyebab kerusakan pada setek
dapat menginfestasi melalui luka sayatan. Oleh sebab itu penelitian ini dilaksanakan untuk
mempelajari pengaruh sayatan yang berbeda pada setek batang kopi robusta terhadap
kejadian penyakit dan serangan hama.

2. Metode
Penelitian dilakukan pada bulan September 2020 sampai dengan Maret 2021 di Instalasi
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (IP2TP) Pakuwon dan Laboratorium
Terpadu Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Sukabumi. Batang ortotrop dari
kebun induk kopi robusta diambil kemudian dipotong sepanjang 1 ruas dengan 3 bentuk
sayatan yang berbeda yaitu dipotong membentuk huruf v, dipotong miring (/) dan dipotong
dengan membentuk √. Setek ditanam pada media pasir dengan jarak tanam 5x5 cm dan
ditumbuhkan pada perbenihan selama 4 bulan dengan melakukan pemeliharaan seperti
penyiraman dan penyiangan rumput liar.

104 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Gambar 1. Bentuk sayatan berbeda pada setek batang kopi robusta v,. / dan √
Sumber: Mahardika

Pengamatan dilakukan setiap minggu sejak hari penanaman setek sampai dengan 90
HST terhadap jumlah setek yang mati dan menimbulkan gejala serangan hama dan
penyakit. Setek yang menunjukkan gejala serangan patogen dibawa ke laboratorium
untuk diamati diisolasi dan dilakukan identifikasi. Sedangkan serangga yang ditemukan
menyebabkan gejala kerusakan pada setek dimasukkan ke dalam botol koleksi yang
berisi alcohol 70% untuk diidentifikasi secara morfologis di Laboratorium.

Desain percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor, yaitu


bentuk sayatan dan klon kopi robusta. Data hasil pengamatan dikompilasi dalam Ms.
Excel kemudian di analisis ragam ANOVA menggunakan program R studio.

3. Hasil dan Pembahasan


Hama dan penyakit yang menyebabkan kematian setek pada perbenihan kopi robusta
yang ditemukan adalah gejala busuk menghitam yang disebabkan oleh cendawan
Rhizoctonia sp (Gambar 2 kanan). Sedangkan gejala serangan hama yang ditemukan
yaitu setek menjadi patah dan batang menjadi kopong dengan kulit batang terdapat bekas
gerekan (Gambar 2 kiri). Pada beberapa setek dengan gejala tersebut juga ditemukan
serangga penyebabnya yaitu rayap dari genus Macrotermes. Rhizoctonia sp. merupakan
kelompok cendawan tular tanah yang banyak ditemukan miseliumnya pada tanah.
Cendawan tersebut menginfestasi tanaman melalui luka pada akar maupun batang.
Sedangkan rayap merupakan serangga yang berperan utama sebagai pengurai atau
dekomposer yang banyak melakukan aktivitasnya di dalam tanah atau area yang banyak
mengandung bahan organik. Rayap menginfestasi tanaman dengan mencerna bagian
tanaman yang ada di sekitarnya (Salomone et al., 2017).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 105
ISBN: 978-602-9071-32-0

Gambar 2. Gejala bekas gerekan pada kulit setek akibat serangan rayap Macrotermes sp. (kiri),
dan gejala busuk menghitam pada setek akibat serangan Rhizoctonia sp.

(Shanbhag & Sundararaj, 2013) menyatakan bahwa rayap tidak hanya menginfestasi
tanaman yang telah lapuk, melainkan juga tanaman muda dan pohon. Rayap yang
diketahui menginfestasi tanaman kopi adalah dari genus Macrotermes selain
Odontotermes dan Nasutitermes.
Tabel 1. Rerata jumlah tanaman yang mati akibat serangan patogen Rhizoctonia sp. dan hama rayap
Macrotermes sp. pada setek kopi robusta dengan bentuk sayatan yuang berbeda

Sayatan
Klon
V / √
Rhizoctonia sp.
BP42 4,375 3,750 4,625
BP534 5,750 6,5 7,25
P-value Klon 0,024*
P-value Klon:Sayatan 0,599
Macrotermes sp.
BP42 0,75 0,5 0,375
BP534 0,75 1,75 1,25
P-value Klon 0,147
P-value Klon:Sayatan 0,483
Catatan: Nilai P-value lebih besar dari 0,05 menunjukkan tidak berbeda nyata

Kejadian penyakit dan serangan hama pada setek kopi robusta dengan sayatan yang
berbeda menunjukkan hasil analisis ragam yang tersaji pada Tabel 1. Dalam tabel dapat
diketahui bahwa nilai P-value lebih besar dari 0.05 yang menunjukkan bahwa sayatan
setek yang berbeda tidak mempengaruhi secara signifikan kejadian penyakit dan
serangan hama pada perbenihan kopi robusta. Dalam penelitian ini digunakan 3 bentuk
sayatan yang berbeda pada kopi robusta. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
bentuk sayatan tidak mempengaruhi kejadian penyakit dan serangan hama yang timbul
pada perbenihan setek kopi robusta.

Gambar 3. Boxplot kejadian penyakit (kiri) dan serangan hama (kanan) pada setek kopi robusta
dengan bentuk sayatan yang berbeda

Tanaman yang mati akibat serangan hama dan penyakit ditunjukan pada gambar 3
dimana terlihat bahwa pada klon BP42 dan BP534 menunjukkan jumlah setek yang
terserang cendawan terdapat perbedaan. Jumlah setek yang mati pada Klon BP534 lebih
banyak daripada Klon BP42. Namun hasil yang berbeda tampak pada hasil jumlah setek
yang mati akibat serangan rayap. Klon BP534 dan BP42 menunjukkan jumlah yang relatif

106 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

sama. Hasil ini sesuai dengan pendapat (Akil, 2016) yang menyatakan bahwa salah satu
teknik pengendalian untuk mencegah patogen tular tanah adalah penggunaan klon tahan
penyakit. Sedangkan aktifitas rayap dalam mencerna bahan organik tidak dipengaruhi
oleh klon namun lebih dipengaruhi oleh jumlah bahan organik yang ada di sekitarnya
(Fantahun, 2021; Roy et al., 2020).

4. Kesimpulan
Bentuk sayatan yang berbeda pada setek kopi robusta klon BP42 dan BP534 tidak
berpengaruh nyata terhadap kematian setek akibat serangan rayap dan patogen.
Kematian setek batang kopi robusta akibat serangan hama dan penyakit tidak dipengaruhi
oleh bentuk sayatan dan jenis klon kopi robusta. Namun, klon kopi robusta mempengaruhi
kejadian penyakit pada setek kopi robusta.

Daftar Pustaka
Akil, M. (2016). Cendawan Tular Tanah (Rhizoctonia solani) Penyebab Penyakit Busuk
Pelepah pada Tanaman Jagung dan Sorgum dengan Komponen
Pengendaliannya. Iptek Tanaman Pangan, 10(2), 85–92.
Awidiyantini, R., & Nurmalasari, Y. (2019). Pengaruh Cara Perbanyakan Vegetatif
Terhadap Pertumbuhan Kopi Robusta (Coffea canephora) Klon BP 308 dan BP
534. 534(September), 64–71. https://doi.org/10.25047/agropross.2019.88
Djuideu, T. C. L., Bisseleua, D. H. B., Kekeunou, S., Meupia, M. J., Difouo, F. G., &
Ambele, C. F. (2020). Plant community composition and functional
characteristics define invasion and infestation of termites in cocoa agroforestry
systems. Agroforestry Systems, 94(1), 185–201.
Eduku, A., Maalekuu, B. K., Kaledzi, P. D., & Tandoh, P. K. (2018). Development of Bait
for the Management of Coffee Bean Weevil , Araecerus fasciculatus in Stored
Cocoa. 8(3), 1–11.
Etienne, H., Breton, D., Breitler, J. C., Bertrand, B., Déchamp, E., Awada, R., Marraccini,
P., Léran, S., Alpizar, E., Campa, C., Courtel, P., Georget, F., & Ducos, J. P.
(2018). Coffee somatic embryogenesis: How did research, experience gained
and innovations promote the commercial propagation of elite clones from the
two cultivated species? Frontiers in Plant Science, 871(November), 1–21.
https://doi.org/10.3389/fpls.2018.01630
Fantahun, H. C. (2021). Coffee ( Coffea arabica L .) Cultivation Guide at the Centre for
Native Trees Propagation and Biodiversity Development in Ethiopia Coffee
Cultivation Guide for Growers on the Forest and Plantation Farm areas in
Ethiopia Habtamu Chekol Fantahun ; June, 0–90.
Filho, A. C. V., Freitas, S. D. J., Comério, M., Volpi, P. S., Colodetti, T. V., Rodrigues, W. N.,
Fonseca, A. F. A. Da, Posse, S. C. P., Fontes, A. G., Christo, B. F., & Vieira, L. J.
D. (2020). Implications of the cut type and apex length of stem cuttings used for the
production of plantlets of conilon coffee. Coffee Science, 15(1), 1-8.
Goff, M. L. (2015). Entomology. In Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine: Second
Edition. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-800034-2.00167-1
Hamid, H. (2012). Struktur komunitas serangga herbivora dan parasitoid pada polong
tanaman kacang-kacangan (Fabaceae) di Padang. Jurnal Entomologi
Indonesia, 9(2), 88–94.
Pujaningrum, R. D., & Simanjuntak, B. H. (2020). Pertumbuhan akar dan tunas stek
batang kopi robusta (Coffea canephora) sebagai respon dari penggunaan
Indole-3-Butyric Acid (IBA). Agriland, 8(2), 241–249.
Roy, S., Prasad, A. K., Neave, S., Bhattacharyya, P. N., Nagpal, A., Borah, K., Rahman,
A., Sarmah, M., Sarmah, S. R., & Pandit, V. (2020). Nonchemical based
integrated management package for live-wood eating termites in tea plantations

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 107
ISBN: 978-602-9071-32-0

of north-east India. International Journal of Tropical Insect Science, 40(2), 435–


440.
Salomone, R., Saija, G., Mondello, G., Giannetto, A., Fasulo, S., & Savastano, D. (2017).
Environmental impact of food waste bioconversion by insects: Application of
Life Cycle Assessment to process using Hermetia illucens. Journal of Cleaner
Production, 140, 890–905. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.06.154
Shanbhag, R. R., & Sundararaj, R. (2013). Host Range, Pest Status and Distribution of
Wood Destroying Termites of India. Journal of Tropical Asian Entomology,
02(1), 12–26.

108 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

PENGARUH PUPUK ANORGANIK DAN PUPUK KANDANG TERHADAP


KANDUNGAN C-ORGANIK , PERTUMBUHAN, DAN HASIL JAGUNG VARIETAS NK
212 PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

EFFECT OF INORGANIC FERTILIZER AND FARMYARD MANURE TO C-ORGANIC,


GROWTH, AND CORN YIELDS NK 212 IN RAINFED LOWLAND

Siska Apriyani, Edi Supraptomo, Aji Ispatrika, dan Duri

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian


apriyanisiska86@gmail.com

ABSTRAK

Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan suboptimal dengan tingkat kesuburan yang rendah, pH tanah
asam, dan curah hujan yang tidak menentu sehingga produktivitas tanaman jagung umumnya masih rendah.
Penggunaan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan produktivitas tanah dan hasil panen. Penelitian ini
dilakukan di lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pati, Jawa tengah dari bulan Juni sampai Oktober 2019..
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunan pupuk anorganik (NPK) dan pupuk kandang
sapi terhadap kandungan C-Organik, pertumbuhan, dan hasil Jagung NK 212 di lahan sawah tadah hujan.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan enam perlakuan yaitu kontrol (tanpa
pemupukan), P1 (NPK), P2 (Pupuk kandang sapi 10 ton / ha), P3 (Kombinasi NPK dan pupuk kandang sapi
10 ton / ha), P4 (Pupuk kandang sapi 20 ton / ha), P5 (Kombinasi NPK dan pupuk kandang sapi 20 ton / ha).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi penggunan pupuk NPK dan pupuk kandang sapi dalam
jangka panjang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan C-Organik, pertumbuhan, dan
hasil jagung NK 212 di lahan sawah tadah hujan. Kombinasi penggunaan pupuk NPK dan pupuk kandang
sapi mampu meningkatkan kandungan C-organik dari sangat rendah menjadi rendah, pertumbuhan lebih
optimal (tinggi tanaman dan jumlah buku), dan mampu meningkatkan hasil pipilan kering jagung mencapai
7.97 t ha-1.

Kata Kunci: Pupuk anorganik, Pupuk organik, NK 212, tadah hujan

ABSTRACT

Rainfed rice fields are suboptimal lands with low fertility, acidic soil pH, and erratic rainfall so that maize
productivity is generally still low. The use of cow manure can increase soil productivity and crop yields. This
research was conducted in rainfed rice fields in Pati Regency, Central Java from June to October 2019. This
study aimed to determine the effect of the use of inorganic fertilizers (NPK) and cow manure on C-Organic
content, growth, and yield of NK Corn. 212 in rainfed rice fields. This study used a randomized block design
with six treatments, namely control (without fertilization), P1 (NPK), P2 (cow manure 10 tons/ha), P3
(Combination of NPK and cow manure 10 tons/ha), P4 (manure fertilizer). cattle 20 tons/ha), P5 (Combination
of NPK and cow manure 20 tons/ha). The results showed that the combination of long-term use of NPK
fertilizer and cow manure had a significant effect on C-Organic content, growth, and yield of NK 212 maize in
rainfed rice fields. The combination of the use of NPK fertilizer and cow manure was able to increase the C-
organic content from very low to low, grow more optimally (plant height and number of nodes), and was able to
increase the yield of dry shelled corn to 7.97 t ha-1.

Keywords: Inorganic fertilizer, organic fertilizer, NK 212, rainfed lowland

109
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Jagung merupakan salah satu komoditas pangan strategis pertanian di Indonesia yang
terus diupayakan peningkatan produksinya setiap tahunnya. Jagung selain dipergunakan
sebagai bahan pangan juga sebagian besar diperuntukan untuk pakan ternak dan dapat
digunakan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioenergy yang terbarukan. Produksi
jagung pada lahan sawah tadah hujan di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 56,45 ku
ha-1 (BPS, 2021). Permintaan terhadap jagung terus mengalami peningkatan seiring
dengan pertamabahan jumlah penduduk dan perrkembangan industry ternak. Komposisi
untuk bahan baku pakan ternak unggas membutuhkan jumlah jagung 50% dari total
bahan yang diperlukan (Rahmah dan Bunyamin, 2017). Oleh karena itu perlu dilakukan
terus upaya peningkatan produksi jagung salah satunya melalui pengoptimalan
pemanfaatan lahan suboptimal seperti lahan sawah tadah hujan.
Kendala dalam budidaya tanaman di lahan tadah hujan adalah keterbatasan air,
rendahnya tingkat kesuburan tanah (kekurangan N, P, dan K), dan pH asam (Haefele et
al., 2006). Produktivitas jagung pada lahan sawah tadah hujan masih tergolong rendah
yaitu 4,6 t ha-1). Penggunaan pupuk berimbang dan sesuai status hara tanah serta
penggunaan pupuk kandang merupakan salah satu alternative untuk meningkatkan hasil
jagung di lahan sawah tadah hujan. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa
penggunaan pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah serta dapat
meningkatkan kesuburan tanah tertutama jika diaplikasikan dalam jangka panjang.
Penggunaan pupuk kandang sapi 600 gram/tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan
dan hasil tanaman jagung manis (Setiono dan Azwarta, 2020). Sementara menurut Amir
dan Ariza (, 2016), penggunaan pupuk organik dosis 3 ton dan penggunaan pupuk
anorganik dosis rekomendasi serta interaksinya memberikan komponen pertumbuhan,
komponen hasil, dan produksi pipilan yang lebih baik (12,33, 12,77, dan 13,07 t ha-1).
Pupuk kandang sapi mengandung nutrisi yang tinggi yaitu C-Organik (28,42%), N
(1,06%), P (0,74%), K (1,25%), Ca (1,44%), dan Mg (0,44%) yang dapat membanatu
meningkatkan kandungan nutrisi dalam tanah ( Sudarsono et al., 2014). Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pupuk anorganik dan pupuk kandang
sapi terhadap kandungan C-Organik, pertumbuhan dan hasil jagung NK 212 di lahan
sawah tadah hujan.

2. Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan kebun percobaan Balai
Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati, Jawa Tengah pada bulan Juni sampai Oktober
2019. Analisa tanah dilakukan laboratorium terpadu Balingtan. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu pupuk kotoran sapi, pupuk anorganik (urea, Sp-36, KCl), benih
jagung NK 212, pestisida nabati, herbisida, asam sulfat pekat, kalium dikromat 1 N,
larutan standar 5.000 ppm C. Pupuk kandang diperoleh dari kotoran sapi yang telah
matang yang ada di kebun percobaan Balingtan.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan satu factor yaitu
Pemupukan. Penelitian ini terdiri dari 6 perlakuan yaitu Kontrol (Po), NPK rekomendasi
(P1), pupuk kotoran sapi 10 t ha-1 (P2), NPK rekomendasi+pupuk kotoran sapi 10 t ha -1
(P3), pupuk kotoran sapi 20 t ha-1 (P4), pupuk kotoran sapi 20 t ha -1+NPK rekomendasi
(P5). Setiap perlakuan di ulang sebanyak 3 kali. Perlakuan pemupukan ini telah dilakukan
sejak tahun 2015. setiap peak percobaan berukuran 5 m x 10 m.

110 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Pengolahan tanah dilakukan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Penanaman
dilakukan dengan cara ditugal sedalam ± 3 cm kemudian diberi benih jagung 1-2
butir/lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan 70x25 cm. Benih ditutup dengan pupuk
kandang, sisa pupuk kandang ditebarkan merata ke petak percobaan. Pemupukan NPK
dilakukan sesuai dosis rekomendasi pemupukan berdasarkan uji PUTK. Pemeliharaan
tanaman meliputi penyulaman, penyiangan gulma, pembumbunan, pengairan, dan
penyemprotan pestisida nabati. Penyemprotan pestisida dilakukan setiap 2 minggu sekali.
Jika populasi OPT di pertanaman melebihi ambang batas, maka dilakukan pemberian
pestisida sintetik non perlakuan diberikan sesuai dengan jenis OPT yang menyerang.
Parameter pengamatan meliputi kandungan C-Organik tanah, tinggi tanaman, dan hasil
jagung. Data tinggi tanaman dan hasil jagung yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam (ANOVA) dengan program SPSS dan dilanjutkan dengan uji
DMRT jika terdapat perbedaan yang signifikan pada taraf 5%. Sedangkan sata C-Organik
akan dianalisa secara deskriptif.

3. Hasil dan Pembahasan


a. Kandungan C-Organik pada tanah
Karbon organik tanah (C-organik) adalah kandungan karbon dalam tanah yang
menggambarkan keberadaan bahan organik dalam tanah. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa kandungan C-Organik pada tanah sawah tadah hujan setelah diberi berbagai
perlakuan pemupukan NPK dan pupuk kandang sapi berada pada kategori bervariasi dari
sangat rendah hingga rendah. Nilai C-Organik terendah pada perlakuan tanpa
pemupukan (kontrol) yaitu 0.47%, sementara nilai C-Organik tertinggi pada perlakuan
punggunaan pukan 20 t ha-1 dan NPK yaitu 1.54%. Penggunaan pupuk kandang
sebanyak 20 t ha -1 mampu meningkatkan kandungan C-Organik pada tanah dari sangat
rendah menjadi rendah (Gambar 1).

1.54
1.6
1.4
1.2 1.05
0.98 0.97
C-Organik (%)

1
0.8 0.62
0.6 0.47
0.4
0.2
0
Kontrol NPK Pukan 10 Pukan 10 Pukan 20 Pukan 20
ton ton+NPK ton ton+NPK
Gambar 1. Pengaruh penggunaan pupuk anorganik dan pupuk
kandang terhadap kandungan C-Organik pada tanah

Tanah sawah tadah hujan Jakenan memiliki karakteristik kandungan C-Organik dan N-
Total yang rendah. kadar C-Organik dilahan sawah tadah hujan rata-rata < 2%, bahkan
banyak lahan sawah dengan kadar C-Organik < 1% (Kasno et al., 2016). Penggunaan
pupuk kandang mampu meningkatkan kandungan C-Organik pada lahan sawah tadah
hujan dikarenakan pupuk kandang sapi mengandung C-Organik yang cukup tinggi yaitu
mencapai 28.42% (Sudarsono et al., 2014) sehinga semakin tinggi pupuk kandang sapi

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 111
ISBN: 978-602-9071-32-0

yang digunakan, maka C-Organik yang disumbangkan ke tanah juga semakin besar.
Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah setelah mengalami dekomposisi akan
meningkatkan kadar karbon dalam tanah juga asam-asam organik yang berasal dari
pelapukan organik (Chairunnisya et al., 2017).
Penggunaan pupuk anorganik (NPK) secara tunggal secara terus menerus dapat
menyebabkan kadar bahan organik tanah menjadi sangat rendah (0.62%). Penggunaan
pupuk anorganik yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan fisik, kimia, dan
biologi tanah sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah (Hati et al., 2008).

b. Pertumbuhan Tanaman Jagung


Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang sapi secara
tunggal ataupun dikombinasikan dengan NPK memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tinggi tanaman jagung (Tabel 1). tanaman jagung paling tinggi diperoleh pada
perlakuan kombinasi pukan 20 ha-1+ NPK (204.42 cm) tetapi tidak berbeda nyata
terhadap kombinasi pukan 10 ha-1+ NPK (189.52 cm) sedangkan tinggi tanaman jagung
pada saat sebelu paling rendah pada perlakuan kontrol (112.69 cm). Untuk parameter
jumlah buku, rata-rata jumlah buku tanaman jagung menunjukkan pengaruh yang
signifikan pada perlakuan penggunaan pupuk kandang secara tunggal maupun yang
dikombinasikan dengan NPK jika dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 1. Pengaruh penggunaan pupuk anorganik dan pupuk kandang sapi terhadap
pertumbuhan jagung varietas NK 212

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah buku (buah)


Perlakuan
14 hst 28hst 42hst 56hst 97hst 14hst 28hst42hst 56hst 97hst
Kontrol
31.81a 59.51a 86.21a 106.73a 112.69a 5.6a 7.6a 10.3a 14.6a 14.7a
NPK
32.04a 56.25a 117.25b 125a 132.40b 5.3a 7.6a 11.7ab 15.3a 15ab
Pukan 10 ton ha-1
43.9b 85.17b 127.23b 148.5b 150.61c 6.3a 8a 13.3b 16a 16.7c
Pukan 10 t ha-1+ NPK
45.25b 92.82b 160.94c 185.49b 189.52d 7a 9bc 13.7b 16.3a 16.7c
Pukan 20 t ha-1
44.98b 87.67b 130.96b 158.42c 165.46c 6.3a 8.3ab 13.3b 15.6a 16bc
Pukan 20 t ha-1+NPK
53.17c 113.86c 185.62d 195.88c 204.42d 7a 9.3c 14b 16.7a 16.7c

Sumber : Pengolahan data primer (2019)


Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%

Penggunaan pupuk kandang sapi ke lahan sawah tadah hujan mampu meningkatkan
kandungan nutrisi yang langsung dapat digunakan oleh tanaman, meningkatkan bahan
organik, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kapasitas buffer tanah,
meningkatkan kapasitas menahan air (Yadaf et al., 2013). Tanah yang diberi bahan
organik akan lebih gembur sehingga akar tanaman leluasa menjelajah serta menyerap air
dan hara esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
Masukan bahan/pupuk kandang sapi secara tidak langsung menggiatkan mikroba
menguntungkan bagi pertuumbuhan tanaman dan mengurangi kehilangan hara baik dari
proses volatilisasi ataupun pencucian, serta menjerap logam berat pada tanah
(Wihardjaka dan Harsanti, 2020). Kandungan unsur hara yang terdapat didalam pupuk
kandang sapi cukup banyak yakni C-Organik (28,42%), N (1,06%), P (0,74%), K (1,25%),
Ca (1,44%), dan Mg (0,44%) (Sudarsono et al., 2014).

112 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tanaman jagung merupakan tanaman yang memerlukan unsur hara khususnya N dalam
jumlah cukup banyak selama pertumbuhannya. Takashi et al. (2004) melaporkan bahwa
pupuk kandang sapi tidak hanya menyediakan unsur hara N dan hara lainnya tetapi juga
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan N. Unsur hara N berfungsi untuk
pertumbuhan tanaman dari sifat kerdil selanjutnya P berfungsi untuk diperlukan pada
stadia awal pertumbuhan untuk meningkatkan perkembangan akar, pembentukan
anakan, dan mempercepat tanaman berbunga sedangkan K sendiri berfungsi untuk
diperlukan untuk memperkuat dinding sel tanaman dan berperan memperluas kanopi
daun untuk proses fotosintesis pada tanaman.

c. Hasil Jagung
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi penggunaan pupuk NPK dan
pupuk kandang baik 10 t ha-1 atau 20 t ha-1 memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap hasil jagung varietas NK 212 di lahan sawah tadah hujan yaitu masing-masing
7.21 t ha-1 dan 7.97 t ha-1. Sedangkan penggunaan pupuk kandang 20 t ha-1 secara
tunggal mampu meningkatkan hasil pipilan kering jagung 2,17 t ha -1 lebih tinggi
dibandingkan hanya menggunakan pupuk anorganik (NPK).

Tabel 2. Hasil Pipilan Kering Setiap Perlakuan

Hasil Pipilan Kering


Perlakuan
(t ha-1)
Kontrol 0.80a
NPK 1.89ab
Pukan 10 ton ha-1 2.89bc
Pukan 10 t ha-1+ NPK 7.21d
Pukan 20 t ha-1 3.97c
Pukan 20 t ha-1+NPK 7.97d
Sumber : Pengolahan data primer (2019)
Angka-angka pada baris dan kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang
sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Penggunaan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah


dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kapasitas air tersedia, meningkatkan
suplai unsur hara, meningkatkan struktur tanah dan sifat fisik tanah lainnya. Tanaman
yang tumbuh di tanah yang sehat dan mengandung nutrisi yang cukup akan tumbuh
optimal dan dapat memberikan hasil panen yang baik. Hal ini sesuai dengan hasil
pengukuran parameter C-Organik dan pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah buku)
tanaman jagung yaitu perlakuan kombinasi pukan (10 t ha-1 dan 20 t ha-1) dan NPK
menunjukkan pertumbuhan yang paling baik (Tabel 1) dan kandungan C-Organik yang
lebih tinggi dibandingkan kontrol dan pemupukan dengan NPK saja (gambar 1).

4. Kesimpulan
Kombinasi penggunaan pupuk NPK dan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan
kandungan C-organik dari sangat rendah menjadi rendah, pertumbuhan lebih optimal
(tinggi tanaman dan jumlah buku), dan mampu meningkatkan hasil pipilan kering jagung
mencapai 7.97 t ha-1. Penggunaan pupuk kandang sapi pada lahan sawah tadah hujan
dapat dijadikan sebagai altenatif untuk meningkatkan kandungan C-Organik dalam tanah,
pertumbuhan, dan hasil jagung varietas NK 212.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 113
ISBN: 978-602-9071-32-0

Daftar Pustaka
Amir., & Ariza. M. (2016). Pengaruh Teknologi Pemupukan Kombinasi Organik dan
Anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi jagung dilahan sawah tadah hujan
di Takalar. Seminar Nasional: Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui
Penerapan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi pada Kawassan
Pertanian: 72-82.
Badan Pusat Statistik. (2021). Analisis Produktivitas Jagung dan Kedelai di Indonesia
2020 (Hasil Survei Ubinan). https://www.bps.go.id/ (diakses 15 November 2021).
Chairunnisya, R., Hanum. H., & Hidayat. B. (2017). Aplikasi Bahan Organik dan Biochar
untuk Meningkatkan C-Organik, P dan Zn Tersedia pada Tanah Sawah. Jurnal
Agroekoteknologi. 5(3), 494-499.
Haefele, S. M., Naklang. K., Harnpichitvitaya. D., Jearakongman. S., Skulkhu. E.,
Romyen. P., Phasopa. S., Tabtim. S., Suriya-arunroj. D., Khunthasuvon. S.,
Kraisorakul. D., Youngsuk. P., Amarante. S.T., & Wade. L.J. (2006). Factor
affecting rice yield and fertilizer response in rainfed lowlands of Northeast Thailand
Field Crops research, 98(1), 39-51.
Hati. K. M., Swarup. A., Mishra. B., Wanjari. R. H., Mandal. K. G., & Misra. A. K. (2008).
Impact of long term application of fertilizer, manure and lime under intensive
croppingon physical properties and organic carbon cocntent of an alfisol
Geoderma, 148(2), 173-179.
Kasno. A., Setyorini. D., & Suastika. I. W. (2020). Pengelolaan Hara Terpadu pada Lahan
Sawah tadah Hujan sebagai Upaya Peningkatan Produksi Beras Nasional.
Rahmah. D.M., Rizal., & Bunyamin. A. (2017). Model Dinamis Produksi Jagung Di
Indonesia. Jurnal Teknotan, 11(1), 30–40.
Setiono. S., & Azwarta. A. (2020). Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Sapi Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis (Zea mays L). Jurnal Sains Agro.
5(2).
Sudarsono. W.A., Melati. M., & Aziz. S. A. (2014). Growth and yield of organic rice with
cow manure application in the first cropping season. Agrivita, 36(1), 19-26.
Takahashi. S., Uenosono. S., & Nagatomo. M. (2004). Rice uptake of nitrogen form
aerobically and anaerobically composted poultry manure. Journal of Plant
Nutrition, 27(4), 731–741
Wihardjaka. A., & Harsanti. E. S. (2021). Dukungan Pupuk Organik untuk Memperbaiki
Kualitas Tanah pada Pengelolaan Padi Swah Ramah Lingkungan. Pangan, 30(1),
53-64.
Yadaf, S. K, Babu. S., Yadaf. M. K., Sing. K., & Yadaf. G.S. (2013). A riview of organic
farming for sustainable agriculture. Northern International Journal of Agronomy, 1,
1-18.

114 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT TANAMAN PEPAYA DI KECAMATAN ARGA


MAKMUR DAN KECAMATAN HULU PALIK, KABUPATEN BENGKULU UTARA

IDENTIFICATION OF PARASITIC NEMATODES OF PAPAYA PLANTS IN ARGA


MAKMUR DISTRICT AND HULU PALIK DISTRICK,NORTH BENGKULU

Anisya Nur Aqtika, Djamilah, dan Priyatiningsih


Jurusan Perlindungan Tanaman, Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu
nuraqtikaanisya@gmail.com

ABSTRAK
Tanaman pepaya (Carica papaya L.) adalah salah satu jenis buah potensial untuk menjadi buah konsumsi
favorit masyarakat. Pertumbuhan dan produksi pepaya dapat menurun bahkan gagal panen, penyebabnya
serangan OPT serta kekurangan unsur hara. Nematoda merupakan salah satu jenis hama penting yang
menyerang tanaman pepaya. Saat ini nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) dan nematoda reniformis
(Rotylenchulus spp.) Tujuan penelitian ini adalah identifikasi jenis-jenis nematoda yang menyerang tanaman
pepaya, kerapatan populasi dan penampakan gejalanya. Rancangan penelitian dilakukan secara non
eksperimen dengan melakukan survei menggunakan metode purposive sampling. Pada masing-masing lokasi
sampel diambil sebanyak 10% dari populasi tanaman. Ekstraksi isolasi nematoda dilakukan dengan metode
Sentrifus. Menghitung populasi nematoda dilakukan dengan menggunakan plastik hitung di bawah mikroskop
stereo per 10 ml suspensi dan diulangi sebanyak tiga kali kemudian dihitung rata-ratanya. Hasil identifikasi
nematoda parasit yang ditemukan adalah genus : Meloidogyne, Rotylenchulus, Tylenchulus,
Helicotilenchulus, dan Criconemella. Jenis nematoda non parasit yang ditemukan adalah Mononchus.
Kerapatan tertinggi sampel akar pada keempat lokasi lahan yaitu genus Meloidogyne dengan 58 ekor/10g
akar. Kerapatan populasi nematoda tertingginya sampel tanah yaitu Rotylenchulus dengan 50.6 ekor/100 g
tanah. Gejala serangan nematoda di atas permukaan tanah dari keempat lahan yang diamati tidak terlalu
nampak, tanaman masih terlihat segar. Sedangkan gejala serangan di dalam tanah dari keempat lahan
umumnya berupa puru akar.

Kata Kunci : Nematoda, Identifikasi, Kerapatan Populasi, Pepay a

ABSTRACT
Papaya (Carica papaya L.) is one type of fruit that has the potential to become the people's favorite
consumption fruit. Papaya growth and production can decrease and even harvest failure, the cause is pest
attack and nutrient deficiency. Nematodes are one of the important types of pest that attack papaya plants.
Currently, the identified nematodes that attack papaya plants are root-knot nematodes (Meloidogyne spp.) and
reniform nematodes (Rotylenchulus spp.). The research design was conducted non-experimentally by
conducting a survey using purposive sampling method. At each location the sample was taken as much as
10% of the plant population. Extraction of nematode isolation was carried out using the centrifuge method.The
nematode population was calculated using a plastic count under a stereo microscope per 10 ml of suspension
and repeated three times and then the average was calculated. The results of the identification of parasitic
nematodes found were the genera: Meloidogyne, Rotylenchulus, Tylenchulus, Helicotilenchulus, and
Criconemella. The type of non-parasitic nematode found was Mononchus. The highest density of root samples
at the four land locations was the genus Meloidogyne with 58 tails/10g root . The highest nematode population
density in the soil sample was Rotylenchulus with 50.6 tails/100 g soil. Symptoms of nematode attack on the
soil surface from the four areas observed were not very visible, the plants still looked fresh. While the
symptoms of attacks in the soil from the four fields are generally in the form of root cavities.

Keywords: Nematodes, Identification, Population Density, Papaya

115
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Pepaya (Carica papaya L.) adalah salah satu jenis buah potensial untuk menjadi buah
konsumsi favorit masyarakat. Kadar airnya yang tinggi membuat pepaya sangat nikmat
dimakan ketika cuaca panas seperti halnya pada iklim tropis di Indonesia (Sutomo et al.,
2015). Hampir seluruh bagian tanaman pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat seperti
daun, bunga, biji, akar, getah, dan kulitnya. Senyawa yang diketahui terkandung dalam
daun pepaya diantaranya ialah sakarosa, enzim papain, pseudo-karpaina, alkaloid
karpaina, glikosid, dekstrosa, dan karposid. Sementara buahnya mengandung ß-karoten,
pectin, D-galaktosa, L-arabinosa, papain, papayotimin papain, fitokinase, vitamin A dan
vitamin C (Bakar dan Ratnawati, 2017).

Saat ini permintaan pasar terhadap buah pepaya mengalami peningkatan baik di pasar
dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini didukung dengan data meningkatnya produksi
pepaya di Indonesia tiga tahun terakhir yaitu 9.869.913,33 kwintal pada tahun 2019 (BPS,
2019), sehingga komoditas buah pepaya ini mempunyai prospek untuk dikembangkan.
Beberapa varietas yang banyak dibudidayakan antara lain yaitu varietas lokal, dan
varietas hasil introduksi seperti pepaya Eksotika, Sunrise Solo, Bangkok, Red King, dan
Calina (Indriyani et al., 2008). Menurut Raihana, et al.,(2017) nematoda merupakan salah
satu jenis parasit penting yang menyerang berbagai jenis tanaman utama di Indonesia.
Nematoda parasit tanaman merupakan jenis parasit obligat yaitu parasit yang mengambil
nutrisi hanya dari sitoplasma sel tanaman hidup.

Di lapangan khususnya di Kecamatan Arga Makmur dan Kecamatan Hulu Palik gejala
yang ditemukan di permukaan tanah tidak terlalu nampak, tanaman pepaya banyak
terserang virus, kutu, namun tetap terlihat segar. Gejala di bawah permukaan tanah yaitu
adanya puru akar pada akar muda maupun akar tunggangnya. Puru akar akan
mengganggu proses penyerapan nutrisi tanaman sehingga mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan hingga kematian tanaman. Adanya serangan nematoda pada tanaman
pepaya saat ini belum disadari bahayanya oleh petani. Infomasi ini sangat berguna untuk
mengendalikan serangan nematoda, maka penelitian ini sangat penting dilakukan.
Menurut Luc, et.al., (1995) Nematoda yang teridentifiksasi menyerang tanaman pepaya
adalah nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) dan nematoda reniformis (Rotylenchulus
spp.)

2. Metode
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2021 hingga April 2021 pada lahan
pepaya yang berada di Kecamatan Arga Makmur dan Kecamatan Hulu Palik, Kabupaten
Bengkulu Utara. Ekstraksi-isolasi nematoda, fiksasi-menghitung kerapatan populasi,
pembuatan preparat dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.

Rancangan penelitian

Rancangan penelitian dilakukan secara non eksperimen dengan melakukan survei


selama kurang lebih 4 minggu dengan menggunakan metode purposive sampling. .
Penelitian dimulai dengan survei lapangan yang dilaksanakan dengan cara menelusuri
jalan raya dan desa yang mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua pada daerah

116 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

sampling. Areal sampling terpusat pada lahan budidaya tanaman pepaya (minimal
memiliki 10 pohon). Pada masing-masing lokasi sampel diambil sebanyak 10% dari
populasi tanaman.

Pengambilan sampel

Pengambilan sampel tanah dan jaringan akar diambil dari daerah sekitar perakaran
tanaman (rhizosfer) di bawah kanopi daun tanaman pepaya. Sampel tanah dan jaringan
akar diambil pada kedalaman 30 cm menggunakan cangkul atau cetok. Pengambilan
sampel dilakukan dengan mengambil 8 titik mengeliling tiap sampel. Sampel tanah
diambil sebanyak 50 gram per titik sehingga didapat 400 gram sampel tanah kemudian
dicampur lalu diambil 100 gram untuk diekstraksi. Sedangkan untuk sampel akar diambil
10 gram per titik, kemudian dicampur lalu diambil 10 gram untuk diekstraksi.

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan gejala di atas permukaan tanah yaitu


klorosis, cepat layu saat cuaca panas, serta pertumbuhannya yang terhambat.
Sedangkan gejala di bawah permukaan tanah berupa luka pada akar, kematian
permukaan jaringan akar, pembusukan, terbentuknya akar-akar cabang yang tidak
normal, terjadinya akar-akar cabang yang pendek-pendek atau mengeriting dan puru
akar.

Ekstraksi dan Isolasi Nematoda

Ekstraksi dan Isolasi Nematoda dilakukan pada dua jenis sampel yaitu, sampel tanah dan
sampel jaringan akar dengan menggunakan metode Sentrifuse.

Sampel tanah ditimbang sebanyak 100 g kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala lalu
dilarutkan hingga rata dengan air sebanyak 100 ml. Suspensi kemudian disaring
menggunakan saringan 20 mesh (Ø 1 mm), untuk memisahkan dan membungang partikel
tanah yang kasar. Suspensi lalu didekantasi 3 kali, kemudian suspensi yang diperoleh
dikurangi airnya dengan saringan (Ø 50 µm, 40 µm, dan 35 µm). Suspensi yang telah
disaring kemudian disentrifus selama 5 menit (3000 rpm), setelah itu air diatas endapan
tanah dibuang, dan diganti dengan larutan gula Bj 1,18 diaduk kemudian disentrifus lagi
selama 3 menit (3000 rpm). Hasil air gula yang mengandung nematoda diatas endapan
tanah dituang ke dalam saringan 20 µm lalu dibilas dengan air dari botol semprot, hasil
suspensi dimasukkan ke dalam botol kaca kecil dan disimpan dalam lemari pendingin.
Sedangkan sampel Jaringan akar dibersihkan, lalu dikering anginkan dan ditimbang
seberat 10 g. Kemudian jaringan akar dipotong-potong sepanjang ± 0,5 cm, dimasukkan
ke dalam blender, dan ditambahkan air sebanyak 100 ml. Hasil blender jaringan akar
dituang dalam gelas piala, lalu ditambahkan kaolin dan diaduk. Setelah tercampur larutan
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus hingga volume larutan mencapai leher tabung.
Suspensi yang diperoleh disentrifus selama 5 menit (3000 rpm), setelah itu air di atas
endapan kaolin endapan air dibuang, lalu diganti dengan larutan gula Bj 1,18 lalu diaduk
dan disentrifus lagi selama 3 menit (3000 rpm). Hasil air gula yang mengandungan
nematoda diatas endapan jaringan dituang kedalam saringan 20 µm lalu dibilas dengan
air dari botol semprot, kemudian suspensi dimasukkan ke dalam botol kaca kecil, diberi
label lalu disimpan dalam lemari pendingin.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 117
ISBN: 978-602-9071-32-0

Fiksasi Nematoda dan Menghitung Populasi Nematoda

Suspensi nematoda yang telah didapat kemudian difiksasi menggunakan larutan FAA
(Formalin 40% 100 ml, Asam Asetat Glasial 30 ml, Alkohol 95% 20 ml, Gliserin 10 ml, dan
Aquades 840 ml) dengan cara mengendapkan suspensi selama 15 menit lalu dikurangi
volumenya hingga 20 ml, lalu dituangkan larutan FAA panas dengan suhu 80°C kemudian
dibiarkan selama tiga hari.
Nematoda yang sudah di fiksasi kemudian diamati dan dihitung populasinya
menggunakan plastik hitung di bawah mikroskop stereo kemudian di kait dan
dikelompokkan berdasarkan posisi istirahatnya ke dalam sirakus. Populasi nematoda
dihitung per 10 ml suspensi dan diulangi sebanyak tiga kali kemudian dihitung rata-
ratanya menggunakan rumus :

Keterangan :
X = Rata-rata kerapatan populasi nematoda per 100 g tanah
xi = Jumlah nematoda pada setiap ulangan
n = Jumlah ulangan (3 kali ulangan)

Sirakus yang berisi nematoda kemudian dimasukkan ke dalam eksikator yang berisi
alkohol 95% lalu dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 40°C selama 12 jam.
Setelah 12 jam sirakus dikeluarkan dari eksikator kemudian dituangi larutan Seinhorst I
(Alkohol 95% 950 ml dan Gliserin 50 ml) dan ditutup sebagian dengan gelas penutup
kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 40°C selama 3 jam. Gelas
sirakus diambil dan dituangi dengan larutan Seinhorst II (Alkohol 95% 500 ml dan Gliserin
500 ml), kemudian ditutup sebagian dengan gelas penutup lalu dimasukkan ke dalam
oven dengan temperatur 40°C selama 3 jam. Sirakus berisi nematoda disimpan dalam
eksikator yang berisi CaCo3. Setelah disimpan dalam eksikator kemudian nematoda yang
ada di dalam sirakus dikait untuk dibuat preparat awetan.

Pembuatan Preparat Awetan Nematoda

Preparat awetan nematoda dibuat dengan cara membuat lingkaran parafin di atas gelas
objek, kemudian diberi setetes gliserin di tengah lingkaran. Lalu memasukkan satu jenis
nematoda dari sirakus dengan cara di kait menggunakan alat kait nematoda. Nematoda
diletakkan sejajar, kemudian ditahan posisinya menggunakan potongan glass wool yang
diletakkan pada tiga arah. Setelah itu preparat ditutup menggunakan gelas penutup, dan
dipanaskan di atas lempeng pemanas. Lalu direkatkan menggunakan glycell atau lak
kuku.

Identifikasi Nematoda
Preparat nematoda yang telah jadi diamati menggunakan mikroskop binokuler kemudian
diidentifikasi menggunakan buku kunci identifikasi nematoda bergambar Mai and Lyon
(1975), serta buku identifikasi Luc, et.al (1995).

118 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

3. Hasil dan Pembahasan


Gejala Tanaman
Gejala serangan nematoda umumnya dapat dilihat dari gejala serangan di atas
permukaan tanah dan gejala serangan pada bagian tanaman di dalam tanah. Pada
penelitian ini gejala serangan nematoda di atas permukaan tanah dari keempat lahan
yang diamati tidak terlalu nampak, tanaman masih terlihat segar, beberapa terserang
virus dan beberapa lainnya terserang hama seperti kutu.

Gambar 1. Gejala serangan nematoda diatas permukaan tanah

Sedangkan gejala serangan di dalam tanah dari keempat lahan umumnya berupa puru
akar. Masing-masing lahan memiliki tingkat serangan yang berbeda, maka dilakukan
perhitungan jumlah dan ukuran puru akar per 10 g untuk melihat jumlah perbedaannya.
Puru diukur menggunakan mistar di bawah mikroskop binokuler.

Gambar 2. Gejala serangan nematoda di bawah permukaan tanah berupa puru akar

Tabel 1. Hasil ukur dan jumlah puru akar per 10 g

Lokasi Ukuran Puru Terkecil Ukuran Puru Terbesar Jumlah Puru/100 g

Lahan 1 1 mm 2 mm 49

Lahan 2 0,5 mm 11 mm 105

Lahan 3 1 mm 12 mm 54

Lahan 4 1 mm 4 mm 5

Populasi Nematoda

Kerapatan nematoda disetiap lahan dihitung dengan cara mengamati dan


mengelompokkan setiap jenis nematoda berdasarkan posisi istirahatnya per 10 ml
suspensi dan diulang sebanyak 3 kali ulangan per sampel, kemudian dihitung rat-ratanya,

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 119
ISBN: 978-602-9071-32-0

hasil perhitungan rata-rata populasi nematoda di masing-masing desa dapat dilihat dalam
tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata Populasi Nematoda Setiap Lahan

Lahan1 Lahan 2 Lahan 3 Lahan 4


Genus Ekor/10 Ekor/ Ekor/10 Ekor/ Ekor/10 Ekor/ Ekor/10 Ekor/
g akar 100 g g akar 100 g g akar 100 g g akar 100 g
tanah tanah tanah tanah
Rotylenchulus 1 50,6 2,6 4 0 7,3 0 4
Criconemella 0 8,3 0 1 0 4 0 2
Helicotylenchulus 0 27,3 1,6 5,3 0 6,3 1,3 4,3
Mononchus 0 1 0 3,3 0 1 0 0
Tylenchulus 1 8,3 15,3 5,6 2,3 9,3 0 4
Meloidogyne 4,6 32,6 58 4 8,6 4,3 0 2,3

Kerapatan tertinggi sampel akar pada lahan 1, lahan 2 dan lahan 3 didominasi genus
Meloidogyne sedangkan sampel akar pada lahan 4 kerapatan tertingginya yaitu
Helicotylenchulus. Kerapatan tertingginya sampel tanah pada lahan 1 adalah genus
Rotylenchulus. Kerapatan tertinggi sampel tanah pada lahan 2 dan 3 yaitu Tylenchulus.
Pada lahan 4 kerapatan tertinggi sampel tanah adalah Helicotylenchulus.

Jenis Nematoda Parasit

Seperti halnya tanaman lain tanaman pepaya tidak luput dari gangguan organisme
pengganggu tanaman (OPT) salah satunya adalah nematoda. Dari hasil identifikasi yang
telah dilakukan pada sample tanah dan jaringan akar terdapat empat jenis genus
nematoda parasit yang berasosiasi tanaman pepaya yaitu Rotylenchulus, Criconemella,
Helicotylenchus, Mononchus, Meloidogyne, Tylenchulus.

Rotylenchulus spp. Berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop nematoda yang


ditemukan adalah Rotylenchulus jantan. Posisi istirahat nematoda Rotylenchulus yaitu
tubuhnya yang melengkung ke daerah ventral. Bagian kerangka kepalanya bersklerotin;
stilet dan esofagusnya mereduksi( esofagusnya memiliki median bulbus lemah dan tanpa
kelep), tetapi tampak jelas. Spikulanya melengkung. ekoranya runcing serta bursanya
tidak mencapai ujung ekor. Hal ini sesuai dengan buku panduan identifikasi Luc, et.al
(1995).

a b

120 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

c
Gambar 3. Rotylenchulus spp. (nematoda jantan dewasa : a. Bagian anterior; b. Bagian posterior;
c. Seluruh tubuh).

Criconemella spp. Nematoda kedua yang ditemukan adalah jenis Criconemella spp
betina. Secara mikroskopis Criconemella betina memiliki bentuk istirahat seperti huruf C
yang sedikit melengkung, bagian kutikulanya bergerigi dilengkapi dengan 42-200 anulus
yang sangat jelas dan mengarah ke belakang dengan pinggir posteriornya lurus atau
sedikit berbelok-belok.

Nematoda betina memiliki panjang tubuhnya 0,20-1 mm, gemuk, bagian ujung anterionya
membulat dan bagian tubuh posterior membulat sampai seperti kerucut. Daerah bibir
(labial) tidak tampak terpisah dengan bagian tubuh yang lain, ditandai oleh satu atau dua
anulus yang kurang jelas. Stiletnya kuat, basal knobnya jelas dan mengarah ke depan
(berbentuk jangkar) Esofagusnya mempunyai median bulbus besar dan kuat yang
menjadi satu dengan prokorpus, kelenjar esofagusnya membentuk bulbus kecil di daerah
posterior letak vulva cenderung ke arah posterior. Mempunyai saluran genital tunggal dan
berkembang ke arah anterior. (Luc et.al,1995).

a b

c
Gambar 4. Criconemella spp. (nematoda betina dewasa : a. Bagian anterior; b. Bagian posterior; c.
Seluruh tubuh).

Helicotylenchus spp. Nematoda genus Helicotylenchus secara umum memiliki posisi


istirahat berbentuk spiral atau cenderung melengkung. Nematoda berukuran kecil sampai
sedang (0.4-1.2 mm), Bagian kepalanya berbentuk kerucut tumpul, jarang seperti kerucut
terpancung, dan mengalarni sklerotinisasi sedang. Stiletnya tumbuh baik, panjangnya 3-4
kali lebar bibir, dan knobnya berbentuk bulal atau seperti mangkuk Muara saluran kelenjar
esofagus dorsal berada di belakang knob pada jarak 25-50% panjangnya stilet . Lobus
kelenjar esofagus menjorok ke usus pada bagian ventral.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 121
ISBN: 978-602-9071-32-0

Nematoda betina vulva letaknya posterior (60-70%), pada umumnya kedua saluran
genital tumbuh penuh, cabang saluran genital posterior jarang mengalami kemunduran
dan tidak berfungsi. Ekornya pendek dan pada umumnya bagian dorsal seperti kerucut
sampai cembung atau setengah bola. Kadang-kadang terdapat tonjolan pada bagian
ujung ekor yang disebut mucro. Fasmidnya kecil berbentuk seperti titik. Nematoda jantan
ekornya pendek, spikulanya tumbuh sempurna dan melengkung. Bursanya mencapai
ujung ekor oleh Luc et.al (1995).

a b

c
Gambar 5. Helicotylenchus spp. (nematoda betina : a. Bagian anterior; b. Bagian posterior; c. Seluruh tubuh).

Mononchus spp. Berdasarkan pengamatan mikroskopis Mononchus berbbentuk huruf J,


karakteristik dari nematoda Mononchus diantaranya ialah panjang tubuhnya 1204 µm dan
lebar 35 µm, bagian perutnya melengkung dan mempunyai kutikula yang halus. Bagian
bibir lebih lebar dari tubuh dengan panjang 8 µm dan lebar 25 µm. Rongga mulut
melengkung pada bagian atas dan menyempit padda bagian pangkal, dengan panjang 21
µm dan lebar 12 µm.

Gigi dorsal berukuran lebih besar dari gigi subvental, dan tidak memiliki dentikel. Cincin
syaraf terletak pada 70,8 µm dari anterior tubuh. Panjang leher 257,4 µm. Vulva
berbentuk melintang dan ovarium terlipat, memiliki ekor yang pendek dan melengkung
dibagian pangkal dengan panjang 67 µm dan diameter 30 µm, serta rektum 18 µm.

a b

c
Gambar 6. Mononchus spp. (nematoda jantan dewasa : a. Bagian anterior; b. Bagian posterior; c. Seluruh
tubuh).

122 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Meloidogyne spp. Berdasarkan pengamatan mikroskopis nematoda yang ditemukan


adalah jenis juvenil 2, bentuknya silindris memanjang, memiliki knob(pangkal stilet) yang
jelas, ekornya meruncing dengan ujung yang nampak seperti kerucut.

Nematoda betina menetap pada jaringan akar inangnya, dan tubuhnya membulat (mirip
buah alpukat) dengan diameter 0.5-0.7 mm, dan lehernya silindris.. Kutikulanya berwarna
putih kekuningan. Nematoda jantan berbentuk cacing , hidup bebas di dalam tanah, dan
panjang 1-2 mm, apabila diperlakukan dengan panas nematoda memiliki bentuk istirahat
membentuk lingkaran 180° (seperti huruf J).

a b

c
Gambar 7. Meloidogyne spp. (nematoda Juvenil : a. Bagian anterior; b. Bagian posterior; c. Seluruh tubuh).

Tylenchulus spp. Berdasarkan pengamatan mikroskopis nematoda yang ditemukan


memiliki bentuk tubuh lurus dengan ekor yang sedikit melengkung.

Nematoda betina memiliki bentuk yang tidak teratur, bagian posterior berada diluar
jaringan akar memiloiki bentuk yang membengkak dan berkutikula. Nematoda jantan
berbentuk vermiform dengan panjang tubuh kurang 0.33 – 09.41 mm. Tubuhnya lurus
serta ekornya sedikit melengkung benbwntuk meruncing, tidak memiliki bursa serta
ujungnya ada yang berbentuk membulat. Kepalanya mengerucut, sklerotisasi dari
kerangka kepala tampak kurang “kuat”. Stilet dan esofagus degredasi dengan knob stilet
kecil.

a b c

Gambar 8. Tylenchulus spp. (nematoda jantan : a. Bagian anterior; b. Bagian posterior; c. Seluruh tubuh).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 123
ISBN: 978-602-9071-32-0

4. Kesimpulan
Genus nematoda yang teridentifikasi pada lima lahan sawi putih di Kecamatan Kabawetan
yaitu lima genus, empat diantaranya parasit dan satu non parasit. Nematoda parasit yaitu
Meloidogyne, Tylenchulus, Helicotylenchus, Tylenchus dan nematoda nonparasit yaitu
Rhabditis. Rata-rata populasi nematoda tertinggi di semua desa yaitu Meloidogyne
dengan kerapatan 153,3 ekor/10 gr akar dan 56,7 ekor/100 gr tanah sedangkan populasi
terendah untuk sampel akar yaitu Thylenchus dan Rhabditis dengan kerapatan 0 ekor/10
gr akar dan populasi terendah untuk sampel tanah yaitu Rhabditis dengan kerapatan 3,3
ekor/100 gr tanah.

Daftar Pustaka
Bakar, B. A., & Ratnawati, R. (2017). Petunjuk Teknis Budidaya Pepaya. Balai Pengkaj.
Teknol. Pertan. Aceh, 35.BPS. 2020. Indonesia dalam angka 2019. Badan
Pusat Statistik. Jakarta
Indriyani, N. L. P., & Affandi, S. D. (2008). Pengelolaan Kebun Pepaya Sehat. Solok (ID):
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika..
Raihana, R., Fitriyanti, D., & Zairin, Z. (2019). Aplikasi Perkembangan Stadia Hidup
Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) Mulai Dari Fase Telur Sampai
Dewasa pada Pertanaman Tomat (Solanum lycopersicum L.) di Kota
Banjarbaru. Agroekotek View, 1(2), 25-35.
Rochil, A. S. A. (2019). Kontribusi Pt. Rumpun Sari Medini Terhadap Pendapatan Dan
Penyerapan Tenaga Kerja Bagi Masyarakat Desa Ngesrepbalong Kecamatan
Limbangan Kabupaten Kendal (Doctoral dissertation, UNNES).
Sutomo, H., Sukanata, I. K., & Martani, K. R. (2016). Perilaku Konsumen Terhadap
Pembelian Pepaya California. Agrijati Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Pertanian, 28(1).

124 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember2021

BEBERAPA GENUS NEMATODA YANG BERASOSIASI PADA TANAMAN SAWI


PUTIH DI KECAMATAN KABAWETAN KABUPATEN KEPAHIANG

SOME GENUS OF NEMATODES ASSOCIATED IN CHINESE CABBAGE PLANTS IN


KABAWETAN DISTRICT, KEPAHIANG REGENCY

Ahmad Fauzan, Djamilah, dan Mimi Sutrawati

Jurusan Perlindugan Tanaman, Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,


Universitas Bengkulu
a.f4uzan99@gmail.com

ABSTRAK
Tanaman sawi putih (Brassica pekinensia L.) merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki kandungan
gizi yang lengkap seperti mineral, vitamin, protein dan kalori. Nematoda parasit tanaman merupakan salah
satu organisme yang dapat menyerang tanaman sawi sehingga menyebabkan kerusakan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi, tingkat keparahan serangan, dan menghitung populasi nematoda parasit
yang menyerang tanaman sawi putih di Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Metode pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling pada lima desa di kecamatan kabawetan yang memiliki luas
lahan minimal 5 m x 5 m berdasarkan gejala diatas permukaan tanah. Proses ekstraksi dilakukan dengan
metode sentrifugasi kemudian identifikasi dilakukan dengan melihat morfologi nematoda dibawah mikroskop.
Gejala yang ditemukan berupa puru dan luka pada akar sampai pertumbuhan tidak normal. Genus nematoda
yang berhasil diidentifikasi yaitu Meloidogyne, Tylenchulus, Helicotylenchus, Tylenchus Dan Rhabditis.
Dengan populasi tertinggi Meloidogyne dengan 153,3ekor/10gr akar dan 56,7ekor/100gr tanah sedangkan
populasi terendah Rhabditis dengan 0,00 ekor/10gr akar dan 3,3 ekor/100gr tanah. persentase serangan
100% terjadi pada semua desa dengan tingkat keparahan tertinggi terjadi pada desa bukit sari dan keparahan
terendeh pada desa bandung baru.

Kata kunci: nematoda, identifikasi, populasi, sawi putih

ABSTRACT
Chinese cabbage (Brassica pekinensia L.) is a leaf vegetable that has complete nutritional content such as
minerals, vitamins, protein and calories. Plant parasitic nematodes are organisms that can attack mustard
plants causing damage. This study aims to identify the severity of attack, and calculate the population of
parasitic nematodes that attack chicory plants in Kabawetan District, Kepahiang Regency. The sampling
method was carried out by purposive sampling in five villages in Kabawetan sub-district which had a minimum
land area of 5 m x 5 m based on symptoms above ground level. The extraction process was carried out by the
centrifugation method and then identification was carried out by looking at the morphology of the nematodes
under a microscope. Symptoms found in the form of root-knot and root wound to abnormal growth. The
nematode genus that have been identified are Meloidogyne, Tylenchulus, Helicotylenchus, Tylenchus and
Rhabditis. The highest population was Meloidogyne with 153,3 tail/10gr root and 56,7 tail/100gr soil, while the
lowest population was Rhabditis with 0,00 tail/10gr root and 3,3 tail/100gr soil. The percentage of attacks of
100% occurred in all villages with the highest severity occurring in the village of Bukit Sari and the lowest
severity in the village of Bandung Baru.

Keywords: nematodes, identification, population, Chinese cabbage

125
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Sawi putih (Brassica pekinensia L.) merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki
nilai dan peluang bisnis yang besar. Sawi putih di Indonesia dikenal dengan sebutan
petsai, sawi cina atau sawi jantung. Sawi ini merupakan salah satu sayuran daun yang
lumayan diminati oleh pembeli di Indonesia dan memiliki kandungan gizi yang cukup
lengkap seperti vitamin, mineral, protein, kalori dan serat yang tinggi, juga mengandung
asam askorbat (Kusuma, 2012).
Zat gizi pada tanaman sawi menyebabkan tanaman ini memiliki nilai jual yang tinggi.
Tingginya tingkat permintaan terhadap tanaman sawi tidak diimbangi dengan tingginya
produktivitas dari tanaman tersebut. Masa panen yang singkat dan pasar yang benar-
benar terbuka adalah daya tarik utama untuk mengembangkan tanaman sawi putih. Daya
tarik lainnya adalah harga pasar yang umumnya stabil dan mudah bagi petani untuk
dibudidayakan (Lama dan Simon, 2016).
Dalam perkembangan tanaman sawi terdapat gangguan yang dapat terjadi, khususnya
serangan hama dan penyakit. Beberapa hama pada tanaman sawi adalah bekicot
(Pracaya, 2005). Beberapa jenis hama lainnya menurut Wahyudi (2004) seperti ordo
Coleoptera, Hemiptera (kepik-kepikan), Lepidoptera (pengorok daun), Orthoptera
(belalang) dan yang tidak kalah pentingnya adalah nematoda parasit tanaman. Tanaman
yang diserang nematoda dapat menyebabkan penurunan fungsi akar tanaman secara
normal, karena nematoda parasit tanaman umumnya mengganggu proses pengangkutan
unsur hara dari dalam tanah ke bagian jaringan tanaman di atas permukaan tanah,
sehingga terbentuk puru akar (Dropkin, 1992). Selain terbentuk puru akar, akar menjadi
berkurang, daun mengalami klorosis kemudian layu dan banyak yang rontok, sehingga
pertumbuhan tanaman terhambat, dan serangan berat dapat menyebabkan tanaman mati
(Prasasti, 2012).
Nematoda telah dilaporkan menyerang berbagai jenis tanaman sayuran dan tanaman
buah. Berliana (2010) mengungkapkan bahwa nematoda mampu menginfeksi tanaman
kedelai. Jayanti (2011) juga mengatakan bahwa nematoda telah menyerang perkebunan
kentang di Bandung, Jawa Barat. Serangan nematoda juga telah terjadi pada tanaman ubi
jalar di Papua Barat, sehingga ukuran ubi menjadi kecil dan bentuknya aneh. Selain
tanaman pangan, nematoda juga diketahui dapat menyerang tanaman perkebunan
seperti lada, kapas, dan kopi, juga tanaman hortikultura seperti tomat, mentimun, dan
wortel (Tuminem, Supramana, Sinaga MS, Giyanto, 2015).
Survei dan pengamatan gejala pada tanaman sawi di Kecamatan Kabawetan Kabupaten
Kepahiang, menunjukkan gejala tanaman kerdil, daun menguning dan tanaman layu.
Gejala tersebut diduga akibat serangan nematoda. Pada sampel tanaman bergejala
tersebut ditemukan puru pada akar tanaman sawi, dimana gejala tersebut merupakan
gejala utama serangan nematoda Meloidogyne. Mulyadi (2009) menambahkan bahwa
nematoda lain yang menyerang tanaman sawi putih antara lain Helicotylenchus,
Tylenchorhynchus, Criconema, Dorylaimida, dan Pratylenchus. Informasi nematoda
parasit yang menyerang tanaman sawi putih belum banyak dilaporkan dan banyak petani
yang belum mengetahui bahwa nematoda bisa menyebabkan kehilangan hasil dan
menyebabkan kerugian.

126 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, tingkat keparahan serangan, dan


menghitung populasi nematoda parasit yang menyerang tanaman sawi putih. Informasi
mengenai jenis dan populasi nematoda parasit pada tanaman sawi putih belum banyak
dilaporkan terutama di Bengkulu. Informasi tersebut sangat penting sebagai landasan
menyusun langkah awal dalam upaya pencegahan serangan nematoda parasit pada
tanaman sawi putih.
2. Metode
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga bulan Maret 2021 pada lima Desa
yaitu Sumber Sari, Bandung Baru, Bukit Sari, Tangsi Duren, dan Sidorejo yang berada di
Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang. Ekstraksi-Isolasi nematoda parasit serta
identifikasi dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu.
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian dilakukan secara non eksperimen, yaitu melakukan survei
lapangan dengan metode purposive sampling. Pengamatan dimulai dengan menelusuri
jalan yang bisa diakses kendaraan roda dua di Kecamatan Kabawetan, kemudian memilih
Desa yang terdapat tanaman sawi putih dan dari Desa tersebut dipilih satu lahan yang
akan dijadikan lokasi penelitian, lahan yang dipilih minimal memiliki luas lahan 5 m x 5 m.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara diagonal, diambil sebanyak 5 titik tiap lahan, setiap
titik dibuat petakan berukuran 2 m x 2 m dan dari petakan ini diambil 10% dari populasi
tanaman. Untuk sampel tanah diambil sebanyak 100 gram per titik, kemudian dicampur
sehingga didapat 500 gram sampel tanah tiap lahan kemudian diambil 100 gram untuk
diekstraksi. Sedangkan untuk sampel jaringan akar diambil 10 gram untuk diekstraksi.
Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan gejala di atas permukaan tanah yaitu
pertumbuhan tanaman tidak normal, tanaman kerdil, daun menguning, dan biasanya
tanaman menjadi layu pada siang hari dan kembali segar pada sore hari. Sedangkan
gejala dibawah permukaan tanah yaitu akar luka sampai membusuk dan yang paling jelas
terdapat puru akar.
Persentase Dan Keparahan Serangan
Dari sampel jaringan akar diambil dua tanaman setiap titik, sehingga ada 10 tanaman
setiap lahan dan akan dihitung persentase serangan menggunakan rumus:

Keterangan:
I = Persentase serangan (%)
n = Jumlahs sampel yang terserang
N= Jumlah sampel yang diamati

Penilaian terhadap persentase serangan nematoda pada tanaman sawi putih :


< 10% = sangat rendah
10–50% = rendah
51–75% = sedang
>75% = tinggi

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 127
ISBN: …

Kemudian dihitung Keparahan Serangan Nematoda berdasarkan bagan harkat untuk


menilai kerusakan akar akibat serangan nematoda (Zack, 1971).

1 = ada sedikit sekali puru kecil-kecil,


0 = akar sehat tidak ada infeksi dan dapat dilihat Dengan
pengamatan
4 = banyak puru kecil
2 = ada puru kecil 3 = banyak puru kecil, dan dan puru besar Mulai
seperti pada 1, tetapi akar masih berkembang terbentuk, dan Fungsi
lebih banyak dan mudah serta berfungsi akar mulai terganggu
diamati

5 = terdapat banyak
puru kecil dan cukup 7 = 75% sistem
6=50% akar berpuru
banyak puru besar. dan tidak berfungsi perakaran berpuru dan
Sekitar 25 % akar tidak berfungsi
berpuru dan tidak
berfungsi

8 = perakaran berpuru
dan rusak berat, 9 = perakaran rusak berat, 10 = Perakaran
pengangkutan hara mulai busuk dan tanaman membusuk Dan
berhenti, tanaman mulai layu berat tanaman mati.
layu

128 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Ekstraksi dan Isolasi Nematoda


Ekstraksi dan Isolasi Nematoda dilakukan pada dua jenis sampel yaitu, sampel tanah dan
jaringan akar. Untuk sampel tanah dengan target nematoda ektoparasit yaitu tubuh imago
tidak masuk sel akar sewaktu makan. Sedangkan untuk sampel akar dengan target
nematoda endoparasit yaitu seluruh tubuh nematoda masuk ke dalam akar dan tinggal di
dalam jaringan akar.
Ekstraksi isolasi nematoda dari sampel tanah dan akar dilakukan dengan metode
Sentrifuse. Sampel tanah ditimbang seberat 100 gram kemudian dimasukkan ke dalam
gelas piala, dan ditambahkan air sebanyak 100 cc lalu diaduk sampai merata. Kemudian
disaring menggunakan saringan 20 mesh (Ø 1 mm), partikel tanah yang kasar dibuang.
Suspensi lalu di dekantasi 3 kali, kemudian suspensi yang diperoleh dikurangi airnya
dengan saringan (Ø 50 µm, 40 µm, dan 35 µm). Suspensi kemudian di sentrifuse selama
5 menit (3000 rpm), setelah itu endapan air tanah dibuang dan diganti dengan larutan
gula (Bj 1,18) lalu diaduk dan di sentrifuse lagi selama 3 menit (3000 rpm). Hasil endapan
tanah dituang ke dalam saringan 20 µm lalu dibilas dengan botol semprot, kemudian
suspensi dimasukkan dalam botol kecil dan disimpan dalam lemari pendingin.
Sedangkan Jaringan akar dibersihkan dan dipotong-potong sepanjang ± 0,5 cm. Hasil
potongan ditimbang seberat 10 gram kemudian di blender dan ditambah air sebanyak 100
cc. Hasil blender jaringan akar dituang dalam gelas beaker, kemudian dimasukkan ke
dalam tabung- tabung sentrifuse dan ditambahkan bubuk kaolin hingga volume larutan
sampai leher tabung. Suspensi yang diperoleh di sentrifuse selama 5 menit (3000 rpm),
setelah itu endapan air dibuang, dan diganti dengan larutan gula (Bj 1,18) lalu diaduk dan
di sentrifuse lagi selama 3 menit. Cairan diatas endapan dituang ke dalam saringan 20 µm
lalu di bilas dengan botol semprot, kemudian suspensi dimasukkan dalam botol kecil,
diberi label dan disimpan dalam lemari pendingin.
Fiksasi Nematoda dan Menghitung Populasi Nematoda
Suspensi nematoda yang telah didapat kemudian di fiksasi menggunakan FAA (formalin
40% = 100 ml, asam asetat glasial = 30 ml, alkohol 95% = 20 ml, gliserin = 10 ml, dan
akuades = 840 ml) dengan cara mengendapkan suspensi selama 15 menit lalu dikurangi
volumenya hingga tersisa 20 cc, lalu menuangkan larutan FAA panas dengan suhu 70°C -
80°C kemudian dibiarkan selama tiga hari. Nematoda yang telah di fiksasi kemudian
dapat dihitung populasi nya menggunakan plastik hitung dibawah mikroskop, kemudian
dikait menggunakan pancing nematoda kemudian dimasukkan ke dalam sirakus
(dikelompokkan berdasarkan posisi istirahatnya). Populasi nematoda dihitung per 10 ml
pada masing-masing suspensi tanah dan jaringan akar yang diulang sebanyak 3 kali,
kemudian dihitung rata-rata nya menggunakan rumus :

Keterangan:
X̅ = Rata-rata kepadatan/populasi nematoda
∑Xi = Jumlah nematoda tiap ulangan
n = jumlah ulangan

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 129
ISBN: 978-602-9071-32-0

Sirakus yang berisi nematoda dimasukkan ke dalam desikator yang berisi alkohol
95% lalu dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 40°C selama 12 Jam. Setelah 12
jam sirakus dikeluarkan dari eksikator kemudian dituangi larutan Seinhorst I (Alkohol 95%
= 950 ml, dan Gliserin = 50 ml) dan ditutup sebagian dengan gelas penutup kemudian
dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 40°C selama 3 jam. Gelas sirakus diambil
dan dituangi dengan larutan Seinhorst II (Alkohol 95% = 500 ml, dan Gliserin = 500 ml),
kemudian ditutup sebagian dengan gelas penutup kemudian dimasukkan ke dalam oven
dengan temperatur 40°C selama 3 jam, kemudian disimpan dalam desikator yang berisi
CaCo3. Setelah disimpan dalam desikator kemudian nematoda yang ada di dalam sirakus
dikait untuk dibuat preparat awetan.
Identifikasi Nematoda
Nematoda yang sudah di fiksasi kemudian dibuat preparat, dengan cara membuat
lingkaran parafin di atas gelas objek kemudian menetesi gliserin di tengah lingkaran yang
sudah dibuat. Lalu pancing nematoda kemudian letakkan pada gelas objek yang sudah
diberi gliserin kemudian tahan nematoda menggunakan glass wool supaya posisinya di
tengah dan glass wool sebagai petunjuk letak nematoda, kemudian tutup dengan gelas
penutup lalu panaskan diatas lempeng pemanas, kemudian preparat direkatkan dengan
lak kuku. Setelah preparat awetan jadi, kemudian dilakukan proses identifikasi. Identifikasi
pada tingkat genus dilakukan dengan cara pengamatan dibawah mikroskop dengan
membandingkan morfologi menggunakan buku identifikasi Mai dan Lyon (1975) dan buku
Taylor (1971).
3. Hasil dan Pembahasan
Gejala Serangan Nematoda Pada Tanaman Sawi Putih
Gejala tanaman sawi putih akibat serangan nematoda dibagi menjadi dua, yaitu gejala
diatas permukaan tanah dan dibawah permukaan tanah. Gejala diatas tanah seperti
tanaman layu, daun menguning dan kerdil. Sedangkan gejala dibawah permukaan tanah
akar menjadi tidak normal, terdapat puru dan bekas luka. Gejala diatas permukaan tanah
terjadi akibat serangan nematoda pada akar yang menyebabkan terganggu nya proses
pengangkutan unsur hara oleh tanaman sehingga tanaman menjadi layu seperti
kekurangan air, daun menguning dan tenaman menjadi kerdil. Dan ciri khas serangan
nematoda terjadi pada spot-spot tertentu dalam satu lahan (Luc, 1995).

Gambar 1. Gejala serangan diatas permukaan tanah akibat serangan nematoda

Gejala dibawah permukaan tanah, pada akar terlihat pertumbuhan akar tidak
normal, terjadi puru akibat serangan nematoda yang menetap di dalam jaringan akar

130 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

(Istiqomah & Pradana, 2017). Luka-luka kecil terjadi akibat tusukan stilet nematoda yang
kemudian bisa menyebabkan nekrotik bahkan sampai busuk (Luc, 1995).

a b d

Gambar 2. (a) akar sehat,(b) akar terserang nematoda, (c) luka pada akar, (d) puru pada akar.
Persentase Dan Keparahan Serangan Nematoda
Persentase serangan sawi putih, pada kelima desa persentase serangan mencapai
100%. Pada 10 sampel yang diamati dari masing-masing desa semuanya terserang
nematoda, ini menunjukkan bahwa serangan nematoda sudah merata pada kecamatan
kabawetan kabupaten kepahiang, ini dikarenakan kondisi iklim dan cuaca dari kelima
desa tidak jauh berbeda. Keparahan serangan nematoda pada akar sawi putih dinilai
berdasarkan nilai kerusakan akar menurut Zack (1971). Keparahan serangan dapat dilihat
dalam gambar 3 berikut.

5
3.8
4 3.4
Sekor

2.8
3 2.4
2
1.2
1
sidorejo bandung baru tangsi duren sumber sari bukit sari

Desa

Gambar 3. Rata-rata kerusakan akar tiap desa.

Tingkat keparahan serangan yang berbeda dari masing-masing desa bukan diakibatkan
dari kondisi iklim dan cuaca karena kelima desa memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda.
Kemungkinan yang bisa terjadi yaitu dari cara budidaya yang berbeda. Pada desa
bandung baru memiliki rata-rata keparahan serangan terendah karena menggunakan
varietas yang berbeda dari keempat desa yang lain selain itu pola tanam yang digunakan
yaitu poli kultur dengan menanam 4 jenis tanaman dalam satu lahan. Desa dengan tingkat
kerusakan tertinggi yaitu bukit sari, ini dikarenakan hanya menanam satu jenis tanaman.
Selain itu usia tanaman bisa mempengaruhi keparahan serangan nematoda. Semakin tua
usia tanaman tingkat keparahan serangan semakin tinggi, ini berkaitan

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 131
ISBN: 978-602-9071-32-0

dengan waktu yang dibutuhkan nematoda dalam menemukan inang atau makanannya
dan juga waktu yang dibutuhkan untuk berkembang biak.
Populasi Nematoda
Populasi nematoda pada masing-masing desa dihitung dengan cara menghitung per-10
ml suspensi sampel nematoda yang diulang sebanyak tiga kali kemudian dihitung rata-
rata nya, hasil perhitungan rata-rata populasi nematoda di masing-masing desa dapat
dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Rata-Rata Populasi Nematoda Setiap Desa

Tangsi Bandung
Sido rejo Sumber sari Bukit sari
Duren baru

Genus
Ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor
/10g /100g /10g /100g /10g /100g /10 g /100g /10g /100g
Akar tanah akar tanah akar tanah akar tanah akar tanah

Meloidogyne 33,3 6,7 26,7 56,7 110 23,3 153,3 13,3 50 10

Tylenchulus 13,3 3,3 43,3 33,3 90 20 70 36,7 26,7 6,7

Helicotylenchus 13,3 13,3 6,7 3,3 40 13,3 43,3 13,3 10 3,3

Tylenchus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6,7

Rhabditis 0 3,3 0 0 0 0 0 0 0 0

Pada desa tangsi duren nematoda dengan populasi tertinggi pada jaringan akar yaitu
Meloidogyne sedangkan pada sampel tanah populasi tertingginya yaitu Helicotylenchus.
Pada desa sido rejo populasi tertinggi pada jaringan akar yaitu Tylenchulus dan sampel
tanah Meloidogyne. Pada desa sumbe srari baik sampel akar maupun tanah populasi
tertingginya yaitu Meloidogyne. pada desa bukit sari populasi tertinggi pada jaringan akar
yaitu Meloidogyne dan sampel tanah yaitu Tylenchulus sedangkan pada desa bandung
baru populasi tertinggi pada sampel akar dan tanah yaitu Meloidogyne. Secara
keseluruhan dalam satu kecamatan, nematoda dengan populasi tertinggi baik pada akar
maupun tanah yaitu Meloidogine dengan kerapatan rata-rata 74,66 ekor/10g pada
jaringan akar dan 22,00 ekor/100g pada sampel tanah. Populasi nematoda berpengaruh
terhadap kerusakan nematoda, semakin tinggi populasinya semakin tinggi juga tingkat
kerusakannya. Namun ada beberapa sampel dengan populasi tinggi namun tingkat
kerusakannya lebih kecil, ini bisa dikarenakan keragaman mikroorganisme tanah seperti
cendawan atau bakteri antagonis yang berbeda-beda setiap lahannya (Pradana et al.,
2017).

Genus Nematoda Pada Jaringan Akar Dan Tanah Perakaran Sawi Putih
Dari kelima Desa yang dijadikan tempat penelitian, terdapat lima genus nematoda yang
berhasil diidentifikasi, empat diantaranya merupakan parasit dan satunya non parasit.

132PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Nematoda parasit yaitu Meloidogyne, Tylenchulus, Helicotylenchus, Tylenchus dan


nematoda non parasit yaitu Rhabditis.
Meloidogyne. Genus pertama yang ditemukan adalah Meloidogyne, genus ini ditemukan
pada sampel akar dan tanah. Pada pengamatan di bawah mikroskop, Meloidogyne yang
ditemukan menunjukkan posisi istirahat tubuh agak lurus, tipe bibir tidak memiliki lekukan
bibir dan dilengkapi dengan stilet yang umumnya panjang, dengan tipe stilet stomato,
anulasi halus, dan ujung ekornya terlihat berduri. Meloidogyne ditemukan pada tahap
juvenil, hal ini juga diungkapkan oleh Chase et al. (2005) bahwa Meloidogyne juvenil 2
memiliki panjang seluruh tubuh antara 0,3 mm dan 0,7 mm atau sekitar 300 m dan 700 m,
stilet yang umumnya panjang, dan bentuk ekor yang sangat jelas.
Menurut Siddiqi (2000), nematoda Meloidogyne memiliki kulit kuku yang tebal, stilet
berbentuk bulat atau silindris, biasanya 12-15 µm dengan knob kecil, Dropkin (1991) juga
menjelaskan panjang tubuhnya lebih dari 0,5 mm dan lebarnya antara 0,3-0,4mm.
Nematoda betina berbentuk seperti botol dengan leher pendek dan tidak memiliki ekor.
Nematoda tersebut memiliki tumbuhan inang sangat luas. Nematoda ini ditemukan lebih
dari 3000 spesies tanaman di seluruh dunia, seperti tanaman sayuran, tanaman biji-bijian,
rumput, semak-semak, tanaman buah, tanaman hias dan tanaman berkayu. Beberapa
spesies pada umumnya memiliki kisaran inang yang khusus. Setidaknya dua spesies atau
lebih bisa ditemukan di tempat yang sama (Shurtleff et al., 2000).

a
c

Gambar 4. Meloidogyne. (a) utuh perbesaran 10 x 40, (b) anterior, (c) posterior.

Tylenchulus. Genus selanjutnya yang ditemukan adalah Tylenchulus. Genus ini


ditemukan dalam sampel akar dan tanah, berbentuk lurus dan agak bengkok dalam posisi
istirahatnya. Butarbutar (2017) menyebutkan bahwa Tylenchulus dapat berasosiasi
dengan akar gulma, dengan tubuh berbentuk tabung kecil seperti cacing, memiliki stilet
berukuran sedang dan basal knob yang membulat, bagian belakang menunjukkan ekor
seperti kerucut.
Tylenchulus disebut juga parasit pada tanaman jeruk, namun Robinson et al. (1987)
mengumumkan bahwa ada 93% tanaman yang tercemar oleh Tylenchulus di Lembah Rio
Grande. Pada (2019), Sahrur Hadi juga melaporkan bahwa Thylenchulus telah
menyerang tanaman kopi di desa Tangsi Duren, Kabupaten Kabawetan, Kabupaten
Kepahiang, Bengkulu.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 133
ISBN: 978-602-9071-32-0

a
c
Gambar 5. Tylenchulus. (a) utuh perbesaran 10 x 40, (b) anterior, (c) posterior.

Helicotylenchus. Jenis ketiga yang ditemukan adalah Helicotylenchus, stylet berukuran


panjang 26-30 μm dengan knob. Pasmida terlihat jelas dengan ukuran melintang 3-4 μm,
ditemukan agak di depan bagian anus yang merupakan salah satu indikasi dari nematoda
ini. Vulva nya terletak di belakang bagian tengah tubuhnya. Ekornya lebar dan bulat
dengan annulasi yang melingkari seluruh ekor. Nematoda jantan memiliki bursa yang
terbentuk di ujung ekor. Dalam keadaan istirahat atau mati nematoda ini berbentuk seperti
huruf G atau spiral terbuka (May dan Lyon, 1975).
Pada tahun 2019, Sahrur Hadi melakukan penelitian pada perakaran kopi di kecamatan
yang sama, dan hasilnya dilaporkan bahwa nematoda ini juga menyerang tanaman kopi.
Pada umumnya nematoda ini lebih dikenal sebagai parasit pada tanaman pisang karena
banyak ditemukan melakukan kerusakan pada tanaman pisang. nematoda ini ditemukan
bersama dengan nematoda radophulus similis pada semua varietas pisang didaerah
tropis maupun subtropis (Queneherve, 2009).

a
c
Gambar 6. Helicotylenchus. (a) utuh perbesaran 10 x 40, (b) anterior, (c) posterior.

Tylenchus. Genus keempat yang ditemukan adalah Thylenchus. Nematoda ini hanya
ditemukan pada sampel tanah, namun nematoda ini memiliki stilet yang merupakan ciri
utama dari nematoda parasit tanaman. Genus ini memiliki tubuh yang lebih ramping dan
stilet yang lebih pendek, memiliki bibir yang hampir tidak terlihat dan pada bagian kepala
dekat ujung stylet ada bagian kosong, namun memiliki otot yang kuat. Styletnya bulat,

134 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

lemah, dengan ukuran basal knob yang kecil. Ekornya runcing, nematoda memiliki bursa
atau spikula kecil, bahkan hampir tidak terlihat. Ukuran tubuh Thylenchus dengan panjang
normal 365,4 m (0,4 mm) dan panjang stilet normal 7,2 m (Dede Durahman, Hagus
Tarno, 2013).
Menurut Siddiqi (2000), nematoda Tylenchus memiliki tubuh berukuran kecil hingga
sedang (0,4-1,3 mm), bagian tengah tubuh bengkok saat istirahat. Kutikula sangat tebal.
Median bulbus pada esofagus berbentuk oval, kuat, anterior ke tengah esofagus, vulva
melintang biasanya terletak pada 60-70% dari panjang tubuh, Ekor di bagian tengah
tubuh secara teratur meruncing ke ujung atau bulat (Siddiqi, 2000).
Walaupun jenis Tylenchus sering ditemukan di tanah di sekitar akar tanaman, kisaran
inangnya cukup luas dan sebagian besar belum diketahui. Tylenchus davaine pada
beberapa kasus ditemukan berasosiasi dengan tanaman lumut dan Tylenchus costatus
ditemukan pada akar tanaman yang membesar. Tylenchus polyhypnus adalah contoh
yang ditemukan dari tanaman kering di herbarium yang berusia 39 tahun (Zuckerman et
al., 1971).

a
c

Gambar 6. Tylenchus. (a) utuh perbesran 10 x 40, (b) anterior, (c) posterior.

Rhabditis. Genus kelima yang ditemukan yaitu Rhabditis. Rhabditis ditemukan oleh
Dujardin pada tahun 1845 ketika ia menggambarkan Rhabditis terricola, Rhabditis pada
umumnya memiliki silinder esofagus yang kuat. Ovarium secara keseluruhan tunggal dan
terentang. Median bulb terlihat sangat jelas sampai samar. Rhabditis adalah nematoda
non-parasit tidak memiliki stilet maupun gigi dan hidup sebagai pengurai di dalam tanah.
Sampai sekarang terdapat 65 spesies diketahui dalam kelas Rhabditis. Rhabditis
sebagian besar hidup dengan memakan mikroba dan mikroorganisme (sebagai nematoda
saprofit) (Fiyan, 2019).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 135
ISBN: 978-602-9071-32-0

a
c

Gambar 7. Rhabditis. (a) utuh perbesaran 10 x 40, (b) anterior, (c) posterior.

4. Kesimpulan
Genus nematoda yang teridentifikasi pada lima lahan sawi putih di Kecamatan Kabawetan
yaitu lima genus, empat diantaranya parasit dan satu non parasit. Nematoda parasit yaitu
Meloidogyne, Tylenchulus, Helicotylenchus, Tylenchus dan nematoda nonparasit yaitu
Rhabditis. Rata-rata populasi nematoda tertinggi di semua desa yaitu Meloidogyne
dengan kerapatan 153,3 ekor/10 gr akar dan 56,7 ekor/100 gr tanah sedangkan populasi
terendah untuk sampel akar yaitu Thylenchus dan Rhabditis dengan kerapatan 0 ekor/10
gr akar dan populasi terendah untuk sampel tanah yaitu Rhabditis dengan kerapatan 3,3
ekor/100 gr tanah.

Daftar Pustaka
Berliana, E. C. (2010). Potensi nematoda entomopatogen untuk pengendalian nematoda
puru akar (Meloidogyne spp.) pada tanaman kedelai [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Butarbutar, E. (2017). Identifikasi nematod parasit pada beberapa spesies gulma yang
berpotensi sebagai inang alternatif. Skripsi. Fakultas pertanian. IPB
Dede, D., & Tarno. B. T. R. (2013). Eksplorasi Nematoda Parasit Tumbuhan Pada
Tanaman Nilam (Pogostemon Cablin Benth) Di Kecamatan Kesamben Kabupaten
Blitar. Journal Of Chemical Information And Modeling, 53(9), 1689– 1699.
Dropkin, V. H. (1991). Pengantar Nematologi Tumbuhan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta
Fiyan, D. (2019). Identifikasi Genera Nematoda pada Lahan Perkebunan Karet (Hevea
braziliensis) di Desa Santan Ulu Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai
Kartanegara. Jurnal Agroekoteknologi Tropika Lembab, 1(2), 144-150
Hadi, S. 2019. Nematoda parasit yang berasosiasi pada tanaman kopi di desa tangsi
duren kecamatan kabawetan kabupaten kepahiang. Skripsi. Fakultas pertanian,
UNIB
Istiqomah, D., & Pradana, A. P. (2017). Review: teknik pengendalian nematoda puru akar
(Meloidogyne spp.) ramah lingkungan. August.
https://doi.org/10.31219/osf.io/wu42m

136 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Jayanti, W. (2011). Identifikasi spesies nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pada umbi
kentang asal Pangalengan dan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kalshoven, L. G. E. (1981). The Pests of Crops in Indonesia. Van der Laan PA (Rev. &
trans.) Rothschild GHL (Assist.) PT Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta.
Kusuma,. & Erviana. M. (2012). Pengaruh Takaran Pupuk Kandang Kotoran Burung
Puyuh Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Putih (Brassica juncea
L.). Jurnal Ilmu Hewani Tropika, 1(1), 7-11
Lama., Marselina., & Kune. S. J. (2016). Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi
Usaha tani Sayur Sawi di Kelurahan Bensone Kecamatan Kota Kefamenanu
Kabupaten Timor Tengah Utara. Jurnal Agrimor, 1(2), 27-29.
Luc M, Sikora R. A., & Bridge. J. (1995). Plant Parasitic Nematodes in Subtropical and
Tropical Agriculture 2nd Edition. Wallingford (US): 301 CABI. 11-52.
Luc, M. (1995). Nematoda parasit tumbuhan. Gadjah mada university press. yogyakarta
M. Luc, D. J. Hunt., & J.E. Machon, Morphology, anatomy and biology of plant parasitic
nematodes-a synopsis. M. Luc, R.A. Sikora, J. Bridge, Ed. (1991). Plant Parasitic
Nematodes in Subtropical and Tropical Agriculture. United Kingdom: CAB
International, 1991.
Mai, W. F., & lyon. H. (1975). Pictoral key to genera off plant parasitic nematodes. Fourt
edition comstock publishing association. Corrnell univrsity press (ilaca dan london)
Monfort, W. S., Csinos. A. S., Desaeger. J., Seebold. K., Webster. T. M., & Perez. J. C.
(2007). Evaluating Brassica species as an alternative control measure for root-knot
nematodes (M. incognita) in Georgia vegetable plastic culture. Crop Prot. 26,
1359–1368.
Mulyadi, (2009). Nematologi Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Pracaya. (2005). Hama & Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prasasti, W. D. (2012). Strategi Pengendalian Penyakit Nematoda Puru Akar
(Meloidogyne spp.) pada Tanaman Tomat (Solanun lycopersicumL.).yogyakarta
(ID): UGM Press.
Quenerherve, P. (2009). Integrated management of banana nematodes. Integreted
management of fruit crops and forest nematodes. 3-61. springerscience
Robinson, A. F., heald. C. M., Flanagan, S. L., Thames, J. H., & amador, J. (1981).
Geographical distribusions of rotylenchulus reniformis, meloidogyne incognita, and
tylenchulus semipenetrans in the lower rio grande valley as related to soil teksture
and land use. Annals of aolied nematology. 1:20-25
Shurtleff, M. C., & Averre. C.W. (2000). Diagnosing Plant Diseases Caused by
Nematodes. The American Phytopathological Society. APS Press.
Siddiqi, M. R. (2000). Tylenchida Parasities of Plants and Insect. CABI Publishing. New
York. USA
Sunaryono, H., & Rismunandar. (1984). Kunci Bercocok Tanam Sayur-Sayuran Penting di
Indonesia. CV. Sinar Baru. Bandung.
Tuminem., Supramana., Sinaga. M. S., & Giyanto. (2015). First Report on the Root Knot
Nematodes Meloidogyne spp. of Sweet Potatoes in Sorong Regency, West Papua
Indonesia. 21, 325-34

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 137
ISBN: 978-602-9071-32-0

Wahyudi, T. (2004). Pengaruh Aplikasi Insektisida Piretroid Terhadap Tingkat Kerusakan


Tanaman Populasi dan Keragaman Arthropoda Target dan Non Target Pada
Tanaman Sawi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung, Bandar
Lampung.
Widowati, R., Indarti, S., & Rahayu, B. (2014). Distribution of Non Plant Parasitic
Nematodes Genera in Arabica Coffee. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia,
18(1), 24–32. https://jurnal.ugm.ac.id/jpti/article/view/15572
Zuckerman, B. M., Mai, W. F., & Rohde, R. A. (1971). Morphology, Anatomy, Taxonomy
and Ecology. Plant Parasitic Nematodes. Academic Press. New York, San
Francisco, London.

138 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

PENGENDALIAN KUTU DAUN (Aphis sp.) UNTUK MENEKAN PENYEBARAN VIRUS


KERITING CABAI (PEPPER LEAF CURL VIRUS)

CONTROL OF APHIDS (Aphis sp.) TO SUPPRESS THE SPREAD OF CHILLI CURLY


VIRUS (PEPPER LEAF CURL VIRUS)

Sudi Pramono

Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Lampung


sudipramono12@gmail.com

ABSTRAK
Penyakit keriting pada tanaman cabai sangat mempengaruhi produksi cabai di Indonesia. Vektor virus
penyakit keriting adalah kutu daun (Aphis sp), oleh karena itu untuk menekan penyebaran penyakit ini harus
menekan populasi kutu daun serendah mungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
populasi kutu daun (Aphis sp) dan intensitas penyakit virus keriting cabai (Pepper Leaf Curl Virus) dan
menekan populasi kutu daun (Aphis sp.). Metode yang digunakan adalah survei dan aplikasi insektisida pada
lahan petani di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah pada bulan Mei sampai September
2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan populasi kutu daun (Aphis sp) berpengaruh nyata
terhadap intensitas serangan virus keriting. Intensitas serangan virus keriting cukup tinggi terutama tanaman
yang sudah panen beberapa kali. Aplikasi insektisida dapat menekan populasi kutu daun dan mengurangi
intensitas serangan virus keriting.
Kata Kunci: kutu daun, virus keriting

ABSTRACT
Curly disease in chili plants greatly decrease chili production in Indonesia. The vector of the curly disease
virus is aphids (Aphis sp.), therefore to suppress the spread of this disease it is necessary to reduce the
aphids population as low as possible. The purpose of this study was to determine the relationship between the
aphids population (Aphis sp.) and the intensity of the chili pepper curl virus (Pepper Leaf Curl Virus) and
suppress the aphids population (Aphis sp.). The method used was survey and insecticide application on
farmers' land in Kemiri District, Purworejo Regency, Central Java from May to September 2018. The results
showed that the population density of aphids (Aphis sp.) had a significant effect on the intensity of curly virus
attacks. The intensity of the curly virus attack is quite high, especially plants that have been harvested several
times. The application of insecticides can suppress the aphids population and reduce the intensity of the curly
virus attack.
Keywords: aphids, curly virus

139
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan

Tanaman cabai merupakan salah satu jenis komoditas yang sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan penduduk karena mengandung gizi dan sebagai penyedap
masakan. Tanaman cabai hampir tersebar dan dibudidayakan secara perseorangan oleh
masyarakat pedesaan Indonesia. Jenis cabai yang mendominasiadalah cabai besar dan
cabai rawit (Prajnanta, 2003). Salah satu penyakit yang sangat penting adalah penyakit
virus yang menyerang cabai yaitu virus kuning dan keriting (Semangun, 2008). Berbagai
cara telah dilakukan untuk mengatasi infeksi virus mulai dari teknik bercocok tanam,
pemilihan varietas tahan dan penggunan pestisida (Taufik et al., 2005).
Virus keriting (Chrysanthemum Virus B (CVB) dan Chrysanthemum Mottle Virus)
merupakan penyebab berkurangnya produktivitas tanamanbahkan pada tingkat serangan
lebih dari 50% tanaman tidak menghasilkan buah (Agrokompleks Mandiri, 2018).
Chrysanthemum Virus B (CVB) dan Chrysanthemum Mottle Virus disebarkan oleh
serangga vektor yaitu kutu daun (Aphis sp.). Kutu ini menyerang daun, tangkai bunga
ataupun bagian tanaman lain, sehingga daun menjadi belang-belang kekuningan
(klorosis) dan akhirnya rontok. Serangan kutu daun terjadinya pada awal musim kemarau,
yaitu pada saat udara kering dan suhu tinggi (Setiawati el al., 2013).
Keriting daun yang disebabkan oleh virus dapat dibedakan denga penyebab lain karena
virus ini akan menyebabkan sebagian besar daun cabe menggulung. Hal ini berbeda
dengan gejala yang diakibatkan oleh trip atau kutu daun (Aphis sp.) yang akan
menggulung tanaman cabe hanya daun bagian ujung saja. Gejala keriting daun oleh virus
kadang-kadang juga diikuti oleh kerdilnya tanaman dan berubahnya warna daun.
Tanaman cabai yang terserang virus keriting, daun kecil-kecil, keriting (curl), tanaman
kerdil, bunga rontok, tanaman tinggal ranting dan batang saja. Infeksi virus pada awal
pertumbuhan tanaman cabai akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan tidak
menghasilkan bunga dan buah (Hartono, 2005). Keberadaan serangga vektor Aphis sp.
dengan kisaran inang yang luas dan cepat berkembangbiak memungkinkan penyebaran
penyakit keriting cabai yang disebabkan oleh Chrysanthemum Virus B (CVB) dan
Chrysanthemum Mottle Virus sangat cepat.
Serangan hama dan patogen bisa sangat fatal sehingga menyebabkan kegagalan total
dalam produksi cabai. Penurunan produksi cabai akibat kutu mencapai 20 – 100 % . Oleh
karena itu, pengendalian hama merupakan tahap yang harus dilakukan untuk menunjang
keberhasilan usaha budidaya cabai, baik di lahan luas maupun di pekarangan (Wahyuni,
2018). Pada makalah ini dibahas bagaimana hubungan serangga Aphis sp. sebagai
vektor virus keriting tanaman cabai dan pengendaliannya.

2. Metode

Penelitian dilakukan di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada


bulan Mei sampai September 2018. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(1). survei yaitu pengamatan langsung pada lahan petani sampel, dengan teknik Random
Sampling, dengan mengambil sampel sebanyak 5 (lima) petak tanaman cabai besar
(Capsicum annum L). Setiap petak sampel tanaman seluas 2500 m 2 (meter persegi). (2).
Perlakuan insektisida yang disesuaikan dengan cara petani, menggunakan Curacorn
500 EC dengan konsentrasi 3 ml/liter air. Aplikasi insektisida setiap petak sampel yaitu:

140 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

(P1): Petak I tidak dilakukan aplikasi (kontrol), (P2): Petak II aplikasi saat tanaman
berumur 2 dan 6 minggu, (P3): Petak III saat tanaman berumur 2, 5 dan 8 minggu, (P4):
Petak IV saat tanaman berumur 4 dan 8 minggu, (P5): Petak V saat tanaman berumur 5
minggu.

Pengamatan intensitas penyakit tanaman dilakukan dengan mengamati langsung


tanaman cabai sampel. Sampel diambil 5% dari jumlah populasi tanaman pada tiap petak
sampel. Pengamatan pertama dilakukan tujuh hari setelah tanam (7 hst), pengamatan
kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan masing-masing dengan
interval 7 hari.
IP = __a__ X 100%
a+b

Keterangan: IP = Intensitas penyakit, a = tanaman sakit, b = tanaman sehat.

Data yang diperoleh yaitu intensitas penyakit tanaman cabai akibat serangan virus,
intensitas serangan kutu daun (Aphis sp.) selanjutnya dianalisis dengan ANOVA, apabila
beda nyata dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 5%.
3. Hasil dan Pembahasan

Serangan kutu daun ditemukan saat tanaman berumur 14 hst, tanaman yang terserang
daunnya keriting (curl), pertumbuhannya lebih lambat dan cenderung menjadi kerdil.
Tanaman masih tumbuh sampai fase generatif (berbuah) meskipun dengan produksi
yang rendah. Serangan terus meningkat, semakin tanaman berumur populasi kutu daun
semakin tinggi, apabila tanpa pengendalian maka sebagian rumpun tanaman
mengalami gagal panen.

Aplikasi insektisida saat tanaman berumur dua minggu, menunjukkan efek yang baik
dalam menekan pertumbuhan populasi kutu daun (Aphis sp.). Tanaman yang dilakukan
aplikasi insektisida pada umur 21 hst. tidak ditemukan kutu daun. Tanaman yang belum
dilakukan aplikasi ditemukan kutu daun 2 – 4 ekor. Dilihat dari jumlah dan tingkat
serangan masih rendah,tetapi potensi sebagai vektor virus perlu dipertimbangkan. Hal ini
sangat penting karena apabila tanaman cabai telah terserang virus keriting sangat sulit
disembuhkan.

Aplikasi insektisida kedua yang dilakukan saat tanaman berumur 5 minggu paling efektif
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Populasi kutu daun pada tanaman cabai
berumur 42 hst. rata-rata 2,5 ekor berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lain
yang populasi kutu daun berkisar antara 5,0 – 15,5 ekor.

Aplikasi insektisida pertama yang dilakukan pada minggu kelima dan keenam kurang
menunjukkan hasil yang memuaskan. Pengamatan satu minggu setelah aplikasi ( 42 hst)
populasi kutu daun masih relatif tinggi yaitu 10 ekor. Aplikasi insektisida saat populasi
kutu sudah cukup tinggi, ternyata tidak mampu menurunkan populasi kutu daun. Hal ini
diduga telur yang sudah diletakkan pada daun, meskipun disemprot insektisida tetap
menetas menjadi nimfa. Peningkatan populasi kutu daun berlanjut sampai tanaman fase
generatif. Tanda dan gejala serangan terlihat dengan jelas berupa daun keriting da nada
bercak daun yang berwarna kekuningan.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 141
ISBN: 978-602-9071-32-0

Aplikasi insektisida yang efektif untuk mengendalikan kutu daun (Aphis sp.) dari lima
perlakuan adalah P2 (aplikasi insektisida pada minggu kedua dan keenam). Populasi kutu
setelah satu minggu (21 hst.) masih 0 ekor, baru minggu kedua (28 hst.) ditemukan kutu
daun sebanyak 2,5 ekor per rumpun. Selanjutnya pada minggu keenam dilakukan aplikasi
insektisida lagi, dengan tujuan menekan peningkatan populasi kutu. Laju peningkatan
populasi kutu tetap terjadi dengan rata-rata meningkat menjadi 5 ekor pada 42 hst. dan 8
ekor pada 56 hst.
Tabel 1. Populasi kutu daun (Aphis sp.)

Peng. 7 hst 14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst 49 hst 56 hst


Perlk. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
P1 (kontrol) 0,0 4,0 a 6,0 a 6,0 a 10,0 a 15,5 a 22,5 a 30,0 a
P2 (2; 6 mg) 0,0 0,0 b 0,0 c 2,5 b 3,0 d 5,0 d 5,0 d 8,0 d
P3(2; 5; 8 mg) 0,0 0,0 b 0,0 c 2,0 b 2,0 D 2,5 e 2,5 d 5,0 e
P4 (4; 8 mg) 0,0 0,0 b 2,0 b 5,0 a 7,5 B 7,5 c 8,0 c 10,0 c
P5 ( 5 mg) 0,0 0,0 b 2,0 b 5,0 a 5,0 C 10,0 b 12,0 b 15,0 b

Keterangan: P1= kontrol (tanpa aplikasi insektisida)


P2= aplikasi insektisida pada minggu kedua dan keenam
P3= aplikasi insektisida pada minggu kedua, kelima dan kedelapan
P4= aplikasi insektisida pada minggu keempat dan kedelapan
P5= aplikasi insektisida pada minggu kelima

Serangan virus keriting ditemukan mulai tanaman berumur 21 hst dengan intensitas
serangan ringan 2 - 4 persen. Virus ini tergolong persisten oleh karena itu sangat penting
memperhatikan vektor penularnya (Aphis sp.). Kutu daun (Aphis sp.) dapat menularkan
virus minimal selama satu minggu atau dapat menularkan virus tersebut selama hidupnya
.

Intensitas serangan virus keriting meningkat mengikuti umur tanaman cabai, semakin tua
umur tanaman cabai maka intensitas serangan semakin meningkat. Tanaman cabai yang
tidak diperlakukan aplikasi insektisida, peningkatannya lebih tinggi bahkan pada saat
tanaman berumur 56 hari intensitas serangan mencapai 20 persen. Tingkat serangan ini
sangat merugikan karena produksi tanaman turun drastis. Banyak buah cabai yang
rontok, ranting tanaman mulai ada yang mengering dan akhirnya tidak berproduksi.

Aplikasi insektisida pada saat tanaman berumur 2 minggu, tampak menunjukkan hasil
yang cukup baik. Intensitas serangan virus keriting relatif rendah 0 – 2 persen pada
tanaman berumur 21 hst dan 28 hst. Aplikasi insektisida pada tanaman yang berumur 4
minggu dan 5 minggu kurang memuaskan, karena intensitas serangan relatif agak tinggi
yaitu 5 – 8 persen pada tanaman berumur 42 hst. Pada saat tanaman berumur 56 hst.
tingkat intensitas serangan virus keriting terendah pada aplikasi inektisida yang dilakukan
dua kali yaitu pada minggu kedua dan minggu keenam. Untuk menekan intensitas
serangan virus keriting pada tanaman cabai cukup dengan aplikasi insektisida pada
minggu kedua dan minggu kelima/keenam. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

142 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Tabel 2. Intensitas penyakit virus keriting tanaman cabai

Peng. 7 hst 14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst 49 hst 56 hst


Perlk. (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
P1 (kontrol) 0,0 0,0 4,0 a 5,0 a 8,0 a 12,5 a 15,0 a 20,0 a
P2 (2; 6 mg) 0,0 0,0 0,0 c 0,0 d 2,0 c 2d 2,0 d 2,0 e
P3(2; 5; 8 mg) 0,0 0,0 0,0 c 2,0 c 2,5 c 2,5 d 2,5 d 4,0 d
P4 (4; 8 mg) 0,0 0,0 2,0 b 4,0 ab 4,0 b 5,0 c 5,0 c 6,5 c
P5 ( 5 mg) 0,0 0,0 2,0 b 4,0 ab 4,0 b 8,0 b 10,0 b 12,5 b

Keterangan: P1= kontrol (tanpa aplikasi insektisida)


P2= aplikasi insektisida pada minggu kedua dan keenam
P3= aplikasi insektisida pada minggu kedua, kelima dan kedelapan
P4= aplikasi insektisida pada minggu keempat dan kedelapan
P5= aplikasi insektisida pada minggu kelima
4. Kesimpulan
1. Populasi kutu daun (Aphis sp) berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan virus
keriting.

2. Intensitas serangan virus keriting cukup tinggi terutama tanaman yang sudah semakin
tua (panen beberapa kali).

3. Aplikasi insektisida dapat menekan populasi kutu daun dan mengurangi intensitas
serangan virus keriting.

Daftar Pustaka
Louis, J., & Jyoti, S. (2013). Arabidopsis thaliana – Myzus persicae interaction: shaping
the understanding of plant defense against phloem- feeding aphids. Frontiers in
Plant Science, 213(4), 1-18.
Massauna. E. D., Helly. L. J. T., & Helen. H. (2013). Studi kerusakan akibat serangan
hama utama pada tanaman kacang tunggak (Vigna unguiculata). Jurnal
Budidaya Pertanian, 9(2), 95-98.
Nurhayati. (2012). Virus Penyebab Penyakit Tanaman. Unsri Press. Palembang.
Prabaningrum, L., & Moekasan, T. K. (2014). Pengelolaan Organisme Pengganggu
Tumbuhan Utama Pada Budidaya Cabai Merah di Dataran Tinggi (Pest and
Disease Management On Hot Pepper Cultivation in High Land). Jurnal
Hortikultura, 24 (2),179-188.
Semangun, H. (2008). Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Setiawati, W, Udiarto, B. K., & Soetiarso. T. A. (2007). Selektivitas beberapa insektisida
terhadap hama kutu kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan predator Menochilus
sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura, 17(2), 168-74.
Setiawati, W., Sumarni, N., Koesandriani, Y., Hasyim, A., & Uhan, T. S., & Sutarya, R.
(2013). Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu padaTanaman Cabai
Merah untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim (Implementation of Integrated
Pest Management for Mitigation of ClimateChange on Chili Peppers). Jurnal
Hortikultura, 23 (2), 174-183.
Surahmat, F. (2011). Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida Tm 999 (Capsicum
annum) Secara Konvensional Dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 143
ISBN: 978-602-9071-32-0

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


Bogor
Taufik, M., A. P. Astuti., & S.H. Hidayat. (2005). Survei infeksi Cucumber mosaic virus
dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan
beberapa kultivar cabai. Agrikultura, 16, 146-152
Wahyuni, I. (2018). Dinamika Populasi Hama Penghisap Daun dan Kejadian Gejala
Serangan Geminivirus pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) di Sembalun.
Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

144 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember2021

ENUMERASI BAKTERI PROBIOTIK DARI FECES LUWAK SEBAGAI KOLEKSI


SEDIAAN BAHAN PENELITIAN DI LABORATORIUM PROTEKSI TANAMAN

ENUMERATION OF PROBIOTIC BACTERIAS FROM CIVETS FECES AS RESEARCH


MATERIALS COLLECTION IN LABORATORY OF PLANT PROTECTION

Zul Efendi1), Suryani Suryani2), dan Hartal Hartal3)


1) PLP Ahli muda Laboratorium Proteksi Tanaman, Faperta Unib,
e-mail : zulefendi65@gmail.com
2) PLP Mahir Laboratorium Proteksi Tanaman, Faperta Unib
e-mail : yaniihpt@yahoo.com
3) Dosen Jurusan Proteksi Tanaman Faperta Unib
e-mail : hartal@unib.ac.id

ABSTRAK
Teknik enumerasi digunakan untuk menghitung jumlah mikroba secara kuantitatif dalam suatu media tanpa
mengidentifikasi jenis mikroba. Bakteri probiotik adalah mikroflora an-aerob yang dapat memengidrolisis
senyawa tertentu sehingga memproduksi enzym bersifat probiotik. Mendapatkan bakteri probiotik dilakukan
dengan cara isolasi dari usus/lambung hewan inang. Penelitian ini bertujuan untuk isolasi bakteri probiotik dari
feces luwak sebagai koleksi dan sediaan bahan penelitian di laboratoriuim proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu. Sampel berasal dari petani kopi Luwak desa Bandung Jaya kec.
Keb.kabupaten Kepahyang Propinsi Bengkulu. Feces luwak utuh diambil menggunakan sendok plastik steril
dimasukkan dalam wadah steril kemudian dibawa kelaboratorium proteksi Tanaman. 2 jenis sampel masin-
masing feces luwak dari buah kopi (A) dan feces luwak yang makan buah papaya (B). Preparasi sampel
dengan melarutkan 5 gr feces luwak dalam 45 ml garam fisiologis steril (0,85 % Nacl) digojok diamkan 30
menit dilanjutkan pengenceran berseri sampel sampai seri 10-7dengan isolasi metode pourplate lapis ganda.
Koloni yang tumbuh diamati dengan bantuan mikroskop stereo. Koloni yang tumbuh dihitung menggunakan
koloni counter. Angka lepeng total sampel pada feces luwak biji kopi A (4,39 x 108) lebih tinggi jika
dibandingkan dengan feces luwak buah papaya B (3,9 x 108). Setiap koloni yang berbeda re-isolasi tindak
lanjut pemurnian. Hasil sampel A diperoleh 19 jenis koloni dan sampel B diperoleh 23 jenis koloni. Isolat murni
ditanam dalam botol vial bertutup berisi medium MRS agar sebagai koleksi isolate laboratorium.

Kata kunci : Isolasi, feces Luwak, bakteri probiotik, double layer technique, isolate murni.

ABSTRACT
Enumeration technique used to count the quantity of microbes in a media without identifying the species.
Probiotic bacteria is a anaerobic microflora that able to hydrolising certain compounds so that the compound
can produce probiotic enzyme. To obtain the probiotic bacteria, we should do it by isolating from the intestines
of animal as the host. The aim of this research was to isolate the probiotic bacterias from civets feces as the
research materials collection in Laboratory of Plant Protection, Faculty of Agriculture, University of Bengkulu.
Sample obtained from the farmers of Civets Coffee in Bandung Jaya Village, Kepahiang, Bengkulu Province.
Whole civets feces obtained by sterile plastic spoon, then put in to sterile container and brought to the
laboratory. 2 kind of samples used were civets feces from coffee beans (A) and civets feces from papaya fruits
(B). Sample preparation was done by dissolving 5 gr of civets feces in 45 ml sterile physiological salt (0,85%
NaCl) and then shaken for 30 minutes. After that, the substance isolated with double pourplate method. The
colonies counted with colony counter. The result showed that the amount of colonies found higher on civets
feces from coffee beans A (4,39 x 108) than civets feces from papaya fruits B (3,9 x 108). Each different
colonies were re-isolated until pure isolate obtained. There were 19 kind of colonies from sample A and 23
kind of colonies from sample B. Pure isolate planted inside vials with MRS agar medium as the laboratory
collection.

Keywords: Isolation, Civets Feces, Probiotic Bacterias, Double Layer Technique, Pure Isolate

145
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan

Teknik menghitung jumlah sel bakteri adalah dikenal juga dengan nama Enumerasi.
Menurut (Brooks, Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2013, Alfiyanti & Putri, 2020) teknik
enumerasi digunakan untuk menghitung jumlah mikroba secara kuantitatif dalam suatu
media tanpa mengidentifikasi jenis mikroba. Teknik enumerasi mikroba ada dua yakni
metode enumerasi mikroba secara langsung dan cara tidak langsung Gandjar dkk.
(1992). Enumerasi secara langsung dapat dilakukan yaitu metode perhitungan dengan
kamar hitung memakai haemocytometer jumlah sel dalam kotak dikalikan dengan volume
kotak-kotak hitung sehingga didapatkan jumlah mikroorganisme per ml sampel (Gandjar
dkk. 1992). Teknik enumerasi tidak langsung adalah total plate count (TPC) atau angka
lempeng total (ALT), prinsip TPC hanya menghitung jumlah bakteri yang hidup, yaitu yang
dapat membelah dan membentuk keturunan dan membentuk koloni. Metode TPC tidak
dapat menghitung setiap sel tunggal bakteri, akan tetapi menghitung jumlah koloni yang
jelas terlihat atau representatif. Metode TPC diekspresikan dalam colony forming unit
(CFU), satu koloni merepresentasikan satu sel tunggal, Madigan dkk. (2011).

Berdasarkan alasan tersebut bahwa setiap koloni yang terlihat merupakan hasil dari
pembelahan sel tunggal bakteri, maka memisahkan bakteri antara jenis satu sama lainnya
dapat dilakukan dengan mengisolasi koloni yang berbeda dalam suatu biakan. Proses
memisahkan dilakukan dengan cara menumbuhkan (cultivasi) sampel dalam medium
buatan Jutono dkk, (1980). Cultivasi perlu memperhatikan aspek yang terkait dengan
kebutuhan hidup mikroba itu sendiri. Bakateri probiotik adalah mikroflora mampu
memproduksi zat/enzim bersifat probiotik, mikroba ini hidup dalam saluran pencernaan
makhluk hidup baik di darat maupun di air. Bakteri tersebut hidup secara an-aerob yang
berperan dalam ekosistem usus menjadi satu kesatuan pada inangnya. Bakteri probiotik
dapat memproduksi enzim pencernaan berperan membantu proses pencernaan,
memproduksi asam laktat dapat menekan pertumbuhan mikroba yang tidak
menguntungkan pada inanngnya. Beberapa golongan bakteri probiotik antara lain genus
Lactobacillus, Streptococcus, dan Bifidobacterium. Isolasi bakteri probiotik dapat
dilakukan dengan cara mengambil substrak dari sumber inang tempat hidupnya seperti
usus/lambung hewan inang. Penelitian Ardiansyah (2011), Yuni (2012), Mustaqim, (2014)
berhasil mengisolasi bakteri Probiotik dari usus/lambung ikan kerapu macan, Kerapu
Bebek, ikan Lais segar, Mutmainnah (2015) dari usus ayam. Rubia dan Juniati (2013)
mengisolasi dari usus halus Musang luwak.

Musang Luwak (Paradoxurus hermaproditus) merupakan hewan mamalia hewan arboreal


yang pada habitatnya menghabiskan sebagian hidupnya berada di atas pepohonan
(Vaughan et al., 2000). Musang luwak merupakan hewan nokturnal (aktif di malam hari)
untuk mencari makan dan beristirahat di siang hari (Joshi et al., 1995; Su dan Sale, 2007).
Upaya pelestarian musang luwak dapat dilakukan melalui konservasi eks-situ yaitu
penangkaran. Kegiatan penangkaran musang luwak umumnya dilakukan bersamaan
dengan memproduksi kopi luwak, selain untuk musang luwak juga untuk kebutuhan
kesenangan (hoby), sedangkan dagingnya jarang di konsumsi. Luwak adalah golongan
hewan omnifora, selain pemakan daging, luwak juga pemakan buah terutama bauh kopi.
Luwak memiliki insting yang kuat sehingga memilih sendiri buah kopi yang bena-benar
masak untuk dimakan, buah kopi yang dimakan tidak menjadi hancur, proses

146 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

metabolisme dalam usus hanya kulit bagian luar warna merahnya saja, sedangkan biji
kopi terbungkus kulit tanduk keluar bersama feces dalam keadan utuh. Bakteri probiotik
usus luwak diduga dapat terdeportasi keluar bersama fecesnya.

Penelitian ini mengisolasi bakteri probiotik dari feces luwak segar yang berasal dari biji
kopi sebagai sumber inokulum. Tekhnik isolasi metode pourplate lapisan ganda (double
layer technique) Indrapradhika, (2019). Medium tumbuh adalah medium de Man Rogos
Sharpe Agar (MRSA), yaitu medium selektif digunakan untuk mengisolasi dan
menumbuhkan kelompok bakteri asam laktat. Teknik pourplate adalah teknik penanaman
mikroorganisme dengan mencampurkan sampel inokulum kedalam cawan petri kosong
steril dengan medium padat yang masih berbentuk cair suhu 44 °C sampai 47 °C yang
dijaga pada waterbath Indrapradhika, (2019) kumpulan sel akan tersebar merata ke
seluruh media membiarkan sampai membeku. Teknik tuang lapisan ganda adalah
menuangkan medium agar tanpa nutirisi bagian atas sebanyak 5 ml untuk menciptakan
suasana an-aerob selanjutnya inkubasi posisi terbalik 1 s/d 2 x 24 jam, Indrapradhika
(2019).

Penelitian bertujuan menghitung total plate count (TPC) dan mendapatkan isolat murni
bakteri probiotik dari feces Luwak sebagai koleksi dan sediaan bahan penelitian di
laboratorium proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

2. Metode

Penelitian ini non-ekperimen. Data hasil akan sampaikan secara deskriptif berupa
laporan. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Lab. Proteksi, mulai dari bulan Oktober 2021
s/d. Desember 2021. Sampel penelitian ini feces luwak dari tempat penangkar Luwak
desa Bandung Jaya kec. Kebawetan kabupaten Kepahyang Propinsi Bengkulu. Sampel
feces 2 jenis yaitu feces luwak memakan buah kopi (A) dan feces luwak memakan buah
papaya (B). Bahan lain medium de Man Rogosa Sharpe (MRS) agar, Larutan garam
fisiologis (NaCl) 0,8,5 %, aquadest steril, aluminium foil, kapas. Peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah: Autoklaf, laminar air flow, timbangan, pipet mikro, petridish
steril, tabung reaksi, mikroskop, gelas objek, gelas penutup lampu spiritus, gelas ukur,
jarum ose, pipet tetes, erlenmeyer, inkubator, timbangan, lampu bunsen, gelas beaker.
camera digital.

a. Preparasi sampel

Preparasi sampel dilakukan metode pengenceran seri bertingkat (further decimal dilution).
Mengacu pada petunjuk ISO 6887-1, dengan cara sampel A dan B masing masing
ditimbang sebanyak 5 g gram sampel kedalam erlemeyer berisi 45 ml garam fisiologis
steril (NaCl) 0,85 % disebut pengenceran pertama (10-1). digojok menggunakan vortex
selama 30 detik kemudian jeda 1 menit, gojok lagi berulang-ulang sampai agregath padat
dari sampel hancur. Selanjutnya 1 ml diambil dari pengenceran pertama masukkan ke
tabung berisis 9 ml larutan garam fisiologi disebut pengenceran kedua (10 -2) dan
seterusnya sampai pada tabung ke-tujuh (10-7). Bentuk sampel pengenceran seri
bertingkat dapat dilihat gambar 1 Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan
dengan vortex selama 30 detik.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 147
ISBN: 978-602-9071-32-0

1 ml

Foto: Zul Efendi PLP Proteksi FP-Unib 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
Gambar 1. Photo sampel Feces luwak & alur seri penegenceran bertingkat

b. Penanam (Cultivar)

Tekhnik isolasi menggunakan metode pourplate lapisan ganda (double layer technique)
Indrapradhika, (2019). Medium tumbuh yang digunakan adalah selektif medium MRS
agar. Teknik pourplate adalah teknik penanaman mikroorganisme dengan mencampurkan
inokulum sampel kedalam cawan petri steril kosong dengan medium padat yang masih
berbentuk cair sehingga kumpulan sel akan tersebar merata ke seluruh media biarkan
sampai membeku. Teknik tuang lapisan ganda menuangkan medium agar tanpa nutirisi
bagian atas sebanyak 5 ml, selanjutnya inkubasi posisi terbalik, Indrapradhika, (2019).

Pengenceran ke-4, 5, 6 dan 7 masing-masing 1 ml ke dalam cawan petri kosong steril.


Sebelumnya ujung tip pipet dapat di tempelkan ke dinding tabung pengenceran saat
pengambilan inokulum untuk mengurangi kelebihan air. Kemudian inokulum dimasukkan
dengan membuka sedikit atau seperlunya supaya tip dapat masuk ke dalam cawan.
Kemudian, menuang medium MRSA padat telah dicairkan suhu 44 °C sampai 47 °C yang
dijaga pada waterbath Indrapradhika, (2019), homogenisasi dengan cara memiringkan
kekiri dan kekanan membentuk angka delapan cawan petri sehingga sel mikroba akan
distribusi yang homogen tersebar merata ke seluruh media. Selanjutnya cawan didiamkan
untuk memberi waktu media agar memadat. Setelah memadat tuangkan medium agar
tanpa nutirisi bagian atas sebanyak 5 ml dengan maksud lingkungan tumbuh minim udara
tidak terpengaruh udara, inkubasi suhu kamar posisi terbalik selama 24 jam,
Indrapradhika, (2019).

c. Pemurnian

Satu koloni merepresentasikan satu sel tunggal, walaupun Madigan dkk. (2011)
berpendapat hal itu tidak selalu benar. Artinya satu koloni bisa terkontaminasi beberapa
jenis mikroba. Berdasar hal tersebut maka, re-isolasi pemurian dilakukan dengan
mengambil setiap koloni yang berbeda diambil pakai ujung jarum preparat setril dilakukan
pengenceran berseri sampai tabung ke-3. Kultivasi metode metode pourplate lapisan
ganda (double layer technique) Indrapradhika, (2019). Medium tumbuh MRS agar.
Setelah masa inkubasi suhu ruang selama 2x24 jam, koloni terpisah dia ambil
menggunakan ujung jarum bantuan mikroskop ditanam dalam botol vial berisi MRS agar
dicairkan suhu 440 C, setelah beku dimasukkan agar tanpa nutrisi, ditutup rapat dilabel
disimpan sebagai koleksi isolat.

148 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

2. Hasil dan Pembahasan


Penentuan Total Plate Count (Angka Lempeng Total) dalam penelitian ini mengacu pada
petunjuk SNI 01-2332.3-2006. Dasar perhitungan satu koloni merupakan berasal dari sel
tunggal bakteri yang hidup berkembang. Biakan dalam petri dapat dilihat pada gambar 2.

1 x 24
2 x 24
Foto: Zul Efendi PLP Proteksi FP-Unib

Gambar 2. Biakan dalam petri sampel feces luwak setelah inkubasi 24 dan 48 jam

Jumlah sel bakteri dinyatakan dengan satuan colony forming units per ml (CFU/mL), yang
dihitung menggunakan rumus: Koloni terhitung (N) = ΣC / (1 x n1)+(0,1 x n2)} x d. N =
Jumlah koloni produk (koloni /ml atau koloni /g), ∑c = Jumlah koloni pada semua cawan
yang dihitung, n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung, n2 = Jumlah
cawan pada pengenceran kedua yang dihitung, d =factor pengenceran pertama.. Data
koloni terhitung CPU/gram dalam Penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data hasil TPC feces luwak

Kode sampel Angka colony forming Jumlah


lempeng unit (CFU)/ koloni
total (ALT) Gram murni

Feces kopi (A) 43.909.091 4,39 x 108 19

Feces Pepaya (B) 39.090.909 3,9 x 108 23

Data pada tabel 1 diatas, angka lempeng total (ALT) dihitung berdasarkan jumlah koloni
pada sampel pada feces luwak biji kopi (A) 4,39x10 8 lebih tinggi jika dibandingkan dengan
feces luwak buah pepaya (B) 3,9x10 8. Perbedaan tersebut dipengaruhi faktor makanan.
Dilansir dari http://kopimalabarindonesia.com bahwa, buah kopi bukanlah merupakan
makanan pokok dari luwak. Buah kopi hanyalah makanan camilan bagi luwak, buah kopi

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 149
ISBN: 978-602-9071-32-0

disukai adalah jenis Arabika karena daging buah kopinya sangat manis. Sedangkan buah
pepaya salah satu pakan utama selain berbagai buah-buahan lain seperti pisang mangga,
jambu, buah aren. www.jogloabang.com. Menurut Madigan dkk. (2011), metode total plate
count disebut juga dengan metode viable count, dengan demikian, dapat diartikan bahwa
viabilitas sel hidup sampel A lebih tinggi dibanding sampel B. Luwak memiliki organ
saluran pencernaan yang sederhana dengan lambung tunggal dan usus relatif pendek.
www.jogloabang.com. diduga mikroba dalam lambung usus hewan luwak dibutuhkan
viabiltas yang tinggi dalam pencernaan makanan. Oleh karena itu, luwak memakan kopi
(sampel A) lebih tinggi dibanding luwak memakan papaya (sampel B)

Satu sel hidup dan tumbuh akan berkembang membentuk koloni. satu koloni
merepresentasikan berasal dari satu sel tunggal, meskipun hal tersebut menurut Madigan
dkk. (2011) tidak selalu benar. Setiap Jenis bakteri membentuk koloni dengan
karakteristik marfologi koloni yang yang berbeda. Keragaman jenis mikroba berdasarkan
bentuk koloni pada penilitian dapat dilihat pada gambar 3. Teknik enumerasi menghitung
jumlah mikroba secara kuantitatif dalam suatu media tanpa mengidentifikasi jenis mikroba
Gandjar dkk. (1992). Maka, pengamatan lebih rinci karakteristik koloni dalam penelitian ini
tidak dilakukan. Namun, setiap koloni yang berbeda berdasarkan marfologi dan warna
koloni. Ukuran koloni dalam biakan setelah masa inkubasi 48 jam relative kecil, diameter
koloni berkisar antara 3 mm sampai dengan 15 mm. Pengamatan marfologi dengan
bantuan mikroskop stereo selanjutnya dilakukan reisolasi untuk pemurnian dalam cawan
petri.

Koloni diatas
permukaan
medium

Koloni dibawah
permukaan
medium

Foto: Zul Efendi PLP Proteksi FP-Unib

Gambar 3. Bentuk koloni setelah inkubasi

Tekhnik reisolasi menggunakan metode yang sama yaitu pourplate lapisan ganda (double
layer technique) Indrapradhika, (2019). Medium tumbuh yang digunakan adalah selektif
medium MRSA. Karakteristik berbeda Koloni merepresentasikan jenis mikroba yang
berbeda. Berdasar perbedaan karakteristik koloni telah berhasil dipisahkan, data jumlah
keragaman koloni sebagaimana pada tabel 1 kolom 8 baris ke 2 dan 3. Hasil sampel A
diperoleh 19 jenis koloni isolate murni dan sampel B 23 jenis koloni isolate murni. Jumlah
koloni murni sampel B mikroba beragam dengan jumlah lebih banyak jika dibandingkan
pada sampel A. organisme uniseluler seperti bakteri, pertumbuhan adalah pertambahan
jumlah sel yang berarti juga terjadi pertambahan jumlah organisme/individu,

150 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Boleng, (2015). Hal tersebut dapat dipengaruhi faktor makanan yang diberikan pada
ternak luwak. Kopi yang dimakan oleh Luwak akan mengalami proses pencernaan yang
relatif singkat lambung Luwak menghasilkan asam klorida (HCl) dalam jumlah besar,
karena jumlah sel penghasilnya banyak. www.jogloabang.com. Pernyataan tersebut
diperkuat penelitian yang dilakukan oleh Andi Hiroyuki, dkk. (2020), melakukan
pengamatan kondisi lambung luwak yang diberi makan buah kopi (MK) yang relatif
berbeda dibandingkan dengan diberi makan selain kopi (TMK). lambung kelompok Mk
memiliki ukuran yang relatif lebih besar dibandingkan lambung kelompok TMk namun
memiliki lipatan mukosa yang lebih sedikit, terutama pada bagian proksimal lambung.
Kelenjar fundus lambung kelompok Mk menunjukan jumlah sel parietal yang relatif lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok TMk. Hiroyuki, dkk. (2020). Menurut
Widiyaningsih, (2011) probiotik harus mampu menempel pada sel epitel usus, mampu
membentuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mampu menghasilkan zat anti mikroba
(bakteriosin), dan memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan inang.
Widiyaningsih, (2011). Oleh karena itu populasi mikroba sampel feces luwak memakan
kopi (A) lebih banyak jika luwan memakan papaya sampel (B). Namun, keragaman
mikroba berbanding terbalik, sampel A luwak makan buah kopi lebih sedikit, hasil isolai
diperoleh 19 jenis koloni isolate murni dan luwak memakan papaya sampel B keragaman
mikroba lebih tinggi yaitu 23 jenis koloni isolate murni. Koloni murni ditanam MRS agar
dalam botol vial dicairkan suhu 44 °C sampai 47 °C yang dijaga pada waterbath
Indrapradhika, (2019) dilabel (gambar 4) ikubasi suhu kamar selama 24 supaya tumbuh
berkembang. Kemudian, disimpan dalam lemari pendingin sebagai koleksi isolate
laboratorium.

Foto: Zul Efendi PLP Proteksi FP-Unib

Gambar 4. Isolat Bakteri feces Luwak

3. Kesimpulan

Berdasarkan hasil isolasi dari 2 sampel feces luwak dari tempat penangkar Luwak desa
Bandung Jaya kec. Kebawetan kabupaten Kepahyang Propinsi Bengkulu. Angka lempeng
total sampel feces luwak memakan buah kopi (A) 4,39x108 lebih tinggi jika dibandingkan
feces luwak memakan buah papaya (B) 3,9x108. Isolat murni dari koloni berbeda sampel
A diperoleh 19 jenis koloni isolate murni dan sampel (B) diperoleh 23 jenis koloni isolate
murni. Koloni murni ditanam dalam botol vial berisi MRS agar dilabel disimpan sebagai
koleksi isolate laboratorium.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 151
ISBN: 978-602-9071-32-0

Daftar Pustaka
Widyaningsih, E.N. Peran Probiotik Untuk Kesehatan. Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-
7621, Vol. 4, No. 1, Juni 2011: 14-20.
Alfiyanti E., & Putri. D. H., (2020). Precision of enumeration technique for count of the
number of bacterial cells with the spread plate method. Department of Biology,
Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Negeri Padang, West
Sumatera, Indonesia. Serambi Biologi. Vol.5 No.1 pp. 7-10 Maret 2020
Gandjar, I., R. K. Isworo, M. Wibowo & S. Lanita. (1992). Pedoman Praktikum
Mikrobiologi Dasar. Depok : Jurusan BiologiFMIPA- UI
Madigan, Michael T., David, P., Clarck, David S., John, M. Martinko. (2011). Brock
Microbiology of microorganisms. San Francisco: Benjamin Cummings
publishing.
Jutono. (1980). Pedoman Praktikumn Mikrobiologi Umum. Yogjakarta:Fakultas
pertanian UGM.
Adriansyah. M. (2011). Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Probiotik Dari Ikan Karapu Macan
Epinephellus Fuscoguttatus Di Perairan Sulawesi Selatan. Aquahayati
(2011).7.3. :163-173. ISSN: 1693-7686
Mustaqim, dkk. (2014) (Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri Probiotik Pada Saluran
Pencernaan Ikan Lais (Kryptopterus Spp.) JOM FMIPA Volume 1 No.2 Oktober
2014
Indrapradhika. (2019). https://laboratoriumstandard.com/2019/04/16/spread-plate-
dan-pour-plate/ diakses 01 -10 -2021. 20.50 wib.
Mutmainnah, H., R. B. Gobel., N. Djide., dan Z. Dwyana. (2013). Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Probiotik dari Saluran Pencernaan Ayam Kampung Gallus domesticus.
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan halm. 1-8. Afandhi A, Widjayanti T, Emi
AAL, Tarno H, Afiyanti M, &Handoko RNS. 2019. Endophytic
fungiBeauveriabassiana Balsamo accelerates growth of common bean
(Phaeseolus vulgaris L.). Chem. Biol. Technol. Agric. 6: 11.
Jumiyati, E. (2016). Karakteristik Ragi Kopi Luwak Bermedia Tepung Beras dan Tepung
Kulit Buah Kopi Robusta. Skripsi. Jember : Universitas Jember.
Vaughan TA, Ryan JM, Czaplewski NJ. (2000). Mammalogy. 4th ed. USA:
Thomson Learning.
Joshi A, Smith J, Cuthbert FJ. (1995). Influences of food distribution and predation
pressures on spacing behavior in palm civets. J Mammal 76 (4): 1205-1212.
Anonim. (2006). Cara uji mikrobiologi-Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng Total (ALT)
pada produk perikanan. SNI 01-2332.3-2006. IC S 67.050.
Anonim. Makanan Luwak. http://kopimalabarindonesia.com. diakses 1 Desember 2021.
10.31 Wib.
https://www.jogloabang.com/lingkungan/biologi-luwak-perilaku-luwak.diakses 5 Desember
2021. 01.47 Wib

152 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

EFEKTIVITAS BEBERAPA KONSENTRASI ASAP CAIR TANDAN KOSONG KELAPA


SAWIT TERHADAP MORTALITAS PARACOCCUS MARGINATUS WILLIAMS &
GRANARA DE WILLINK SECARA IN VITRO

IN VITRO EFFECTIVENESS OF PALM EMPTY BUNCHES LIQUID SMOKE


CONCENTRATION TOWARD PARACOCCUS MARGINATUS WILLIAMS & GRANARA
DE WILLINK MORTALITY

Yusmar Mahmud, Nadiatul Husnah, dan Mokhamad Irfan


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
yusmar@uin-suska.ac.id

ABSTRAK
Paracoccus marginatus merupakan salah satu hama utama pada pepaya yang menyebabkan penurunan
produksi sampai 58% dan kerugian ekonomi mencapai 88% pada awal invasinya. Penggunaan insektisida
nabati seperti asap cair TKKS yang memiliki kandungan fenol dan asam-asam organik mampu
mengendalikan hama tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi yang paling efektif
dalam mengendalikan P. marginatus secara in vitro. Penelitian telah dilaksanakan bulan November 2020
sampai bulan Februari 2021 di Laboratorium Patologi, Entomologi, Mikrobiologi dan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan konsentrasi , yaitu 0, 10, 20, 30, dan 40%, diulang lima
kali dan setiap ulangan menggunakan 10 ekor P. marginatus. Parameter yang diamati meliputi perubahan
morfologi, awal kematian, mortalitas nimfa P. marginatus, WK50, dan KK50. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian asap cair tandan kosong kelapa sawit berpengaruh terhadap semua parameter.
Kesimpulan penelitian ini adalah konsentrasi 40% merupakan konsentrasi terbaik dan paling efektif terhadap
mortalitas P. marginatus.
Kata Kunci: Insektisida Nabati, Kutu Putih, Pepaya

ABSTRACT
Paracoccus marginatus is one of the main pests on papaya which causes a decrease in production of up to
58% and economic losses reach 88% at the beginning of its invasion. The use of vegetable insecticides such
as liquid smoke empty fruit bunches of oil palm contains phenols and organic acids that are able to control
plant pest. The aim of this research was to get the most effective concentration in controlling P. marginatus in
vitro. The research was conducted in November 2020 to February 2021 at the Pathology, Entomology,
Microbiology and Soil Science Laboratory of the Faculty of Agriculture and Animal Science, Sultan Syarif
Kasim State Islamic University Riau. This research used a completely randomized design (CRD) with 5
concentration treatments, namely 0, 10, 20, 30, and 40%, repeated five times and each replication used 10 P.
marginatus. The observed variables included morphological changes, early mortality, mortality of P.
marginatus nymphs, lethal time50, and lethal concetration50. The results showed that the application of liquid
smoke of empty oil palm fruit bunches had an effect on all parameters. The conclusion of this study is that
40% concentration is the best and most effective concentration on P. marginatus mortality.

Keywords: Mealybug, Papaya, Vegetable Insecticide

153
ISBN: 978-602-9071-32-0

1. Pendahuluan
Paracoccus marginatus merupakan salah satu hama utama pada pepaya di daerah tropis,
yang dikenal sebagai hama kutu putih pepaya. Awal invasi P. marginatus, menyebabkan
produksi pepaya mengalami penurunan sampai 58% dan kerugian ekonomi mencapai
88%, karena tanaman mati pada saat baru dilakukan 2-3 kali panen dari 8 kali panen
yang normal (Ivakdalam, 2010).
Asap cair mengandung senyawa fenol dan asam-asam organik yang dapat berperan
sebagai racun bagi serangga. Adapun kegunaan lain asap cair adalah sebagai herbisida
(mengendalikan gulma), pestisida (anti bakteri), fungisida (anti jamur) dan pengusir
serangga perusak tanaman yang aman digunakan karena tidak mengandung bahan kimia
(Qomariah, 2013). Menurut Kresnawaty dkk. (2017) salah satu bahan yang dapat
digunakan dalam pembuatan asap cair adalah limbah tandan kosong kelapa sawit.
Tandan kosong kelapa sawit adalah tandan yang telah diambil buahnya sebagai produk
utama untuk menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) yang melalui proses pemipilan
(Maryudi, 2014). Menurut Dewanti (2018) Sebesar 23% dari total produksi kelapa sawit
merupakan tandan kosong kelapa sawit (TKKS), hanya 10% dari TKKS tersebut yang
sudah dimanfaatkan untuk bahan bakar boiler maupun kompos, dan sisanya masih
menjadi limbah walaupun pada tahun 2018 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mencapai 14.3 juta ha dan luas perkebunan kalapa sawit di Provinsi Riau sampai tahun
2018 adalah 2.7 juta hektar (BPS, 2019).
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan asap cair dari TKKS mengandung asam
dan fenol yang dapat berperan sebagai insektisida (Indrayani et al., 2011). Oleh karena
itu, pemanfaatan asap cair TKKS diharapkan dapat menjadi pilihan untuk mengurangi
pemakaian insektisida kimia sehingga upaya pengendalian hama yang dilakukan lebih
ramah lingkungan. Sari dkk. (2018) melaporkan bahwa pemberian asap cair tandan
kosong kelapa sawit menurunkan intensitas serangan hama sebesar 24,83%,
meningkatkan jumlah daun 8,36%, berat segar tanaman 127,39% dan shoot root ratio
(SRR) 44,62% pada tanaman sawi. Selanjutnya Prabowo et al. (2016) juga melaporkan
bahwa aplikasi asap cair limbah batang tembakau dengan metode semprot dan metode
pemberian makan mampu menyebabkan kematian S. litura hingga 95%. Asap cair dari
tempurung kelapa memiliki potensi yang besar untuk mengendalikan walang sangit
karena memiliki efek yang menjanjikan pada kematian serangga dan aktivitas anti-makan.
Pada konsentrasi 1,50% menunjukkan persentase mortalitas dan aktivitas antifeedant
tertinggi masing-masing sebesar 80% dan 68,88% (Gama et al., 2021).
Tujuan penelitian untuk mendapatkan konsentrasi asap cair tandan kosong kelapa sawit
yang paling efektif dalam mengendalikan P. marginatus secara in vitro.

2. Metode

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi, Entomologi, Mikrobiologi dan Ilmu


Tanah, Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau pada bulan November 2020 sampai Februari 2021.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang disusun dalam rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan sehingga terdapat 25 unit percobaan
dengan masing-masing perlakuan terdapat 10 P. marginatus pada stadia instar 3

154 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

sehingga jumlah total hama yang dibutuhkan yaitu 250 ekor P. marginatus sebagai
berikut:
A0 = 0% (100 mL air)
A1 = 10% (10 mL asap cair + 90 mL air)
A2 = 20% (20 mL asap cair + 80 mL air)
A3 = 30% (30 mL asap cair + 70 mL air)
A4 = 40% (40 mL asap cair + 60 mL air)
Prosedur dalam penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan seperti, pembiakan P.
marginatus, persiapan tanaman inang, investasi hama, pembuatan asap cair, persiapan
hama, dan uji efektivitas asap cair terhadap P. marginatus dilakukan dengan meletakkan
10 individu pada permukaan bawah daun pepaya di dalam cawan petri kemudian
disemprot sebanyak 10 kali (2,2 mL) dengan campuran asap cair dan air menggunakan
sprayer 100 mL dan tutup. Metode ini mengacu pada Sifa dkk. (2013) yaitu metode
semprot serangga pada daun. Kemudian dilakukan pengamatan.
Parameter pengamatan pada penelitian ini adalah, perubahan morfologi P. marginatus,
waktu awal kematian, mortalitas nimfa P. marginatus yang terdiri dari mortalitas total dan
mortalitas harian, WK50, dan KK50.
Rumus mortalitas total merujuk pada Ambarwati (2012)

3. Hasil dan Pembahasan

Perubahan Morfologi P. marginatus


Hasil penelitian menunjukkan perubahan morfologi dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai
berikut.

a b
Gambar 1 (a. P. marginatus yang masih hidup (b. P. marginatus yang sudah mati

Berdasarkan gambar diatas terlihat perubahan morfologi yang ditandai dengan perubahan
perilaku yaitu pergerakan mulai kurang aktif dan nafsu memakan daun pepaya juga mulai
berkurang, mulai terjadinya perubahan warna tubuh dari warna putih menjadi cokelat
kehitaman. Hal ini dikarenakan kandungan fenol dan asam asetat yang terdapat pada
asap cair berfungsi sebagai racun kontak, antifeedant dan merusak permeabilitas kutikula.
Sari dkk. (2018) menyatakan bahwa fenol berperan sebagai racun kontak,

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 155
ISBN: 978-602-9071-32-0

merusak sitoplasma, menembus dinding serta mengendapkan sel, denaturasi protein,


menginaktifkan enzim, dan menyebabkan kebocoran sel.

Waktu Awal Kematian (Jam)


Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Awal Kematian

Awal Kematian
Perlakuan (%)
6 jam
a
0 168,00
b
10 6,00
b
20 6,00
b
30 6,00
b
40 6,00
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji
DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan bahwa pemberian perlakuan dengan konsentrasi


asap cair TKKS konsentrasi 10, 20, 30, dan 40% terjadi kesamaan yaitu pada 6 jam
setelah perlakuan. Hal ini dikarenakan pemberian perlakuan asap cair TKKS yang
disemprotkan, langsung terserap ke dalam tubuh serangga melalui dua cara, yaitu melalui
bagian tarsus tungkai kutu yang kontak dengan lapisan residu pada permukaan daun dan
melalui kutikula tubuh akibat semprotan langsung. Sifa dkk. (2013) menyatakan bahwa
kontak antara serangga uji dengan lapisan residu insektisida pada permukaan daun
secara terus menerus mengakibatkan akumulasi senyawa aktif terserap kedalam tubuh
melalui kemoreseptor pada tarsus.

Mortalitas Nimfa P. marginatus


1. Mortalitas Harian (%)
Hasil pengamatan mortalitas harian P. marginatus dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mortalitas Harian P. marginatus

156 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Gambar 2. menunjukkan bahwa pemberian asap cair TKKS menyebabkan mortalitas


harian nimfa P. marginatus mengalami fluktuasi setiap hari (24 jam) setelah aplikasi pada
tiap konsentrasi dari hari pertama sampai hari ke tujuh setelah aplikasi. Puncak mortalitas
cenderung terjadi pada hari pertama, hal ini dikarenakan kandungan senyawa pada
konsentrasi yang lebih tinggi maka aktivitas insektisidanya juga lebih tinggi.
Menurut Malvini dan Nurjasmi (2019) peningkatan persentase mortalitas nimfa seiring
dengan semakin tingginya konsentrasi asap cair disebabkan oleh semakin besarnya
kadar senyawa aktif yang terkandung dalam asap cair yang mampu menyebabkan
kematian pada nimfa. Semakin tinggi konsentrasi asap cair, maka jumlah racun yang
mengenai tubuh serangga semakin banyak, sehingga kematian serangga akan lebih
tinggi.

2. Mortalitas Total (%)


Hasil penelitian menunjukkanrata-rata persentase mortalitas P. marginatus dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Mortalitas Total

Perlakuan (%) Mortalitas (%)


d
0 0,00
c
10 64,00
bc
20 76,00
ab
30 82,00
a
40 92,00
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji
DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa asap cair dengan konsentrasi 10 dan 20%
termasuk pada kategori efektif, sedangkan konsentrasi 30 dan 40% termasuk pada
kategori sangat efektif dalam mengendalikan P. marginatus. Konsentrasi yang tinggi
memiliki kadar senyawa aktif yang tinggi sehingga kandungan racun juga semakin besar
dan P. marginatus yang mati juga lebih banyak.
Sari dkk. (2018) menyatakan bahwa senyawa fenol merupakan komponen yang paling
besar yang terdapat dalam asap cair dan berfungsi sebagai racun kontak, merusak
protoplasma, menembus dinding serta mengendapkan sel. Fenol juga menyebabkan
kerusakan pada sel, denaturasi protein, menginaktifkan enzim, dan menyebabkan
kebocoran sel. Senyawa asam asetat berperan sebagai racun kontak yang dapat
merusak permeabilitas kutikula sehingga menyebabkan kematian.

Waktu Kematian 50 (WK50)


WK50 merupakan waktu dalam jam yang diperlukan untuk mematikan 50% P. marginatus
dapat dilihat pada Tabel 3.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 157
ISBN: 978-602-9071-32-0

Tabel 3. WK50 Asap Cair Tandan Kosong Kelapa Sawit

Perlakuan (%) WK50 (Jam)


0 Tidak Tercapai
10 115,00
20 80,39
30 82,03
40 58,01

Tabel 3. menunjukan bahwa pemberian perlakuan beberapa konsentrasi asap cair TKKS
menyebabkan nilai WK50 pada P. marginatus dengan kisaran waktu 58-115 jam.
Konsentrasi 40% memberikan waktu yang lebih efektif dibandingkan perlakuan lainnya,
karena memiliki nilai WK50 dengan rerata 58,01 jam (2,9 hari) hari. Cepatnya waktu yang
dibutuhkan untuk mematikan P. marginatus sebanyak 50% pada perlakuan 40%
disebabkan oleh banyaknya senyawa fenol dan asam asetat yang terakumulasi dalam
tubuh P. marginatus. Senyawa fenol dan asam asetat bekerja pada sistem saraf yang
masuk melalui mulut dan saluran pencernaan pada P. marginatus. Sejalan dengan
pendapat Agazali dkk. (2015) yang menyatakan bahwa seluruh perlakuan dengan
konsentrasi yang rendah memiliki nilai kematian 50% lebih lama dibandingkan dengan
perlakuan dengan konsentasi tinggi.

Konsentrasi Kematian 50 (KK50)


Nilai KK50 digunakan sebagai salah satu aktivitas insektisida kriteria asap cair. Hasil
analisis probit KK50 P. marginatus disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. KK50 Asap Cair Tandan Kosong Kelapa Sawit

Rata-rata (%) Interval


6,2 1,16 - 10,17

Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai KK50 untuk menekan kematian 50% P. marginatus
yaitu 6,2% dengan selang kepercayaan bawah (95%) 1,16% dan selang kepercayaan
atas (95%) 10,17%. Konsentrasi ini merupakan konsentrasi yang tepat dan efektif yang
direkomendasikan untuk mengendalikan 50% dari total P. marginatus. KK50 suatu bahan
pestisida lebih efektif jika hasilnya di bawah 10 (Prijono, 2007).

4. Kesimpulan

Konsentrasi 40% merupakan konsentrasi yang sangat efektif dan efisien terhadap
mortalitas P. marginatus dengan awal kematian yaitu 6 jam, mortalitas harian yaitu 26%,
mortalitas total yaitu 92%, nilai WK50 yaitu 58,01 jam dan KK50 yaitu 6,2%.

158 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: Seminar Nasional Perlintan UNIB PEI-PFI Komda Bengkulu 2021

Daftar Pustaka
Agazali, F., Hoesain. M., & Prastowo. S. (2015). Efektivitas Insektisida Nabati Daun
Tanjung dan Daun Pepaya terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura
F.). Berkala Ilmiah Pertanian, 1(1), 1-5.
Ambarwati, N., Subagiya., & Pardjo. Y. V. (2012). Efektifitas Cuka Kayu sebagai Pestisida
Nabati dalam Pengendalian Hama Crocidolomia pavonana dan Zat Pengatur
Tumbuh pada Sawi. Agrosains, 15(1), 17-20.
Badan Pusat Statistik. (2019). Statistik Kelapa Sawit Indonesia. Jakarta.
Dewanti, D. (2018). Potensi Selulosa dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit untuk
Bahan Baku Bioplastik Ramah Lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan, 19: 81-
88.
Gama, Z. P., Purnama. R. M. A., & Melani. D. (2021). High Potential of Liquid Smoke from
Coconut Shell (Cocos nucifera) for Biological Control of Rice Bug (Leptocorisa
oratorius Fabricius). Journal of Tropical Life Science, 11(1), 85-91.
Indrayani, Y., Oramahi. H. A., & Nurhaida. (2011). Evaluasi Asap Cair sebagai Bio-
Termitisida untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes sp. Jurnal
Tengkawang, 1(2), 87-96.
Ivakdalam, L. M. (2010). Dampak Ekonomi Serangan Hama Invasif Paracoccus
marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Usahatani Pepaya di Kabupaten
Bogor. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kresnawaty, I., Putra. S. M., Budiani. A., & Darmono. T. W. (2017). Konvensi Tandan
Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Menjadi Arang Hayati dan Asap Cair. Jurnal
Penelitian Pascapanen Pertanian, 14, 171-179.
Malvini, I. K. D., & Nurjasmi. R. (2019). Pengaruh Perlakuan Asap Cair terhadap Plutella
xylostella pada Tanaman Sawi Pakcoy (Brassica rapa L.). Jurnal Ilmiah Respati.
10(2), 104-114.
Maryudi. (2014). Karakteristik Torrefaksi dan Densifikasi Limbah Tandan Kosong Kelapa
Sawit. Jurnal Chemica, 1, 77-84.
Prabowo, H., Martono. E., & Witjaksono. (2016). Activity of Liquid Smoke of Tobacco
Stem Waste as an Insecticide on Spodoptera Litura Fabricius Larvae. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, 20(1), 22-27.
Qomariah, S. 2013. Pengaruh Pemberian Asap Cair dari Limbah Tempurung Kelapa
sebagai Pencegah Hama pada Tanaman Cabai Besar (Capsicum annum L.).
Jurusan Manajemen Pertanian Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
Sari, Y.P., Samharianto., & Langai. B. F. (2018). Penggunaan Asap Cair Tandan Kosong
Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Pestisida Nabati untuk Mengendalikan Hama
Perusak Daun Tanaman Sawi (Brassica juncea L.). Enviro Scienteae, 14(3), 272-
284.

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 159
Seminar Nasional
Universitas Bengkulu, Bengkulu, 1 Desember 2021

INSIDENSI PENGGEREK BATANG PADI KUNING (Scirpophaga incertulas WALKER) DAN


PARASITOID TELUR DI DESA MARAS KECAMATAN AIR NIPIS KABUPATEN
BENGKULU SELATAN

THE INCIDENCE OF RICE YELLOW STEM BORER (Scirpophaga incertulas


WALKER) AND THE DIVERSITYOF EGGS PARASITOID IN THE VILLAGE OF MARAS
DISTRICT AIR NIPIS REGENCY SOUTH BENGKULU

Elti Sriwahyuni, Dwinardi Apriyanto, dan Nadrawati


Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
dwinardi2018@gmail.com

ABSTRAK
Penggerek batang padi kuning (PBPK), Schirpophaga insertulas, merupakan spesies penggerek batang padi
paling dominan, tersebar di Indonesia dan di negara Asean lainnya. Di Bengkulu belum banyak informasi
tentang serangan PBPK, akan tetapi menjadi salah satu sasaran pengendalian dengan insektisida. Penelitian
ini bertujuan mengetahui insidensi serangan musiman, kelompok telur, dan parasitasi (jenis) parasitoid telur
PBPK pada ekosistem padi beririgasi di Desa Maras, kecamatan Air Nipis, Kabupaten Bengkulu Selatan.
Penelitian dilakukan dengan metode survey dari bulan Februari - Mei 2021. Pengamatan tanaman terserang
dan koleksi kelompok telur PBPK dilakukan dengan interval tujuh hari, pada lima transek (50 m), sebanyak 20
sampel di dalam lajur pengamatan selebar 2 m. Jumlah anakan terserang dan anakan sehat per rumpun
dihitung untuk menentukan memprediksi anakan terserang. Kelompok telur yang diperoleh dari lapangan
dipelihara sampai menetas menjadi larva atau keluar parasitoid. Parasitoid yang muncul diawetkan ke dalam
gelas vial berisi alkohol 75% diidentifikasi di Laboratorium Proteksi Tanaman Universitas Bengkulu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan PBPK masih rendah, tertinggi pada penmgamatan ke tiga,
yaitu sebesar 4,5%. Dari pemeliharaan kelompok telur diperoleh dua jenis parasitoid, yaitu Tetrastichus sp.
(Eulopidae) dan Telenomus sp. (Scelionidae). Tetrastichus sp. lebih dominan pada pertanaman padi fase
vegetatif sedangkan Telenomus sp. pada fase generatif. Secara keseluruhan persentase parasitasi
Tetrastichus sp. lebih tinggi dibandingkan Telenomus sp., masing-masing yaitu 63.27% dan 18.14%. Prasiotid
telur dari kedua jenis tersebut dan faktor lain, misalnya penggunaan insektisida, diduga menyebabkan
rendahnya insidensi PBPK.
Kata Kunci: Penggerek batang, Telenomus sp., Tetrastichus sp.

ABSTRACT
The yellow rice stem borer (YRSB), Schirpophaga insertulas, is the most dominant rice stem borer species, in
Indonesia and in other ASEAN countries. However, information of this insect pest in Bengkulu is still lacking,
but it is one of the targets of control measure with insecticides. This study aims to determine the incidence of
seasonal attacks, egg mass, and eggs parasitization in irrigated rice ecosystems in Maras, Air Nipis, South
Bengkulu Municipality. This study was conducted by survey method from February - May 2021. Observation of
damaged tillers as well as collection of YRSB egg masses were done in seven-day interval, on five transects
(50 m), each of 20 samples within 2 m stripe wide. The numbers of damaged and undamaged tillers were
counted to predict the percentage of attacked tillers. Collected egg masses were maintained in laboratory until
they hatch into larvae or otherwise emerge as parasitoids. Parasitoids that emerged were preserved in vial
glasses containing 75% ethanol and identified. The results revealed that percentage of attacked tillers was
low, the highest was 4.5% in the 3rd observation. Parasitoids emerged from collected egg mass were
Tetrastichus sp. (Eulopidae) and Telenomus sp. (Scelionidae). Tetrastichus sp. was more dominant in
vegetative phase rice growth while Telenomus sp. in the generative phase. Over all parasitization of
Tetrastichus sp. higher than those of Telenomus sp., 63.27% and 18.14% for the first and second species,
respectively. Egg parasitoid of both species and other factors (e.g. insecticides applications) might contribute
to the low YRSB incidence.
Keywords: Stem borer, Telenomus sp., Tetrastichus sp.

160
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

1. Pendahuluan
Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman penghasil pangan utama bagi sebagian
besar penduduk Indonesia. Produktivitas padi di Kabupaten Bengkulu Selatan
berdasarkan Badan Pusat Statistik (2021) berfluktuasi dari tahun ke tahun. Banyak faktor
lingkungan dan pengelolaan ekosistem menjadi penyebab naik turunnya produktivitas
padi di Kabupaten Bengkulu, termasuk diantaranya adalah serangan hama. Penggerek
batang padi kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas Walker, PBPK adalah yang paling
dominan di antara spesies penggerek batang padi yang lain pada padi yang ditanam di
areal beririgasi (Ramadhan et al., 2020).
Semua spesies penggerek batang padi menyerang tanaman pada fase pertumbuhan
vegetatif, dengan gejala “sundep” maupun pada fase generatif dengan gejala “beluk”
(Kusdiaman dan Kurniawati, 2007). Menurut Ramadhan et al. (2020), PBPK dapat
merusak tanaman padi sebesar 37,9% pada fase vegetatif dan meningkat menjadi 65%
pada fase generative, dan dapat terus mingkat jika tidak dikendalikan. Ambang ekonomi
penggerek batang padi pada fase vegetatif adalah sebesar 20% sedangkan pada fase
generatif adalah sebesar 10%.
Berbagai teknologi pengendalian hama telah dilakukan untuk mengendalikan populasi
penggerek batang padi dan yang sering dilakukan oleh petani adalah dengan
menggunakan pestisida kimia, namun banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat
dari penggunaan pestisida kimia (Khaira, 2009; Swacita, 2017). Berbagai cara yang lebih
ramah lingkungan telah diupayakan melalui penelitian oleh banyak pihak. Hendarsih dan
Usyati (1999) menyebutkan perangkap feromon seks dengan air berwarna kuning
merupakan perangkap yang paling efektif dalam merangkap imago PBPK. Baehaki (2013)
melaporkan penggunaan lampu perangkap mampu menangkap 10.690 ekor/malam pada
18 Maret 2012 yang mampu merangkap dalam jumlah yang besar. Pengendalian
selanjutnya adalah dengan merekayasa lingkungan menggunakan tanaman yang
berpotensi menjadi tanaman refugia (Kurniawati dan Susanti, 2020). Penggunaan
tanaman refugia belum mempengaruhi parasitasi dan populasi PBPK (Sitepu, 2018),
tetapi tanaman refugia cukup berpotensi menarik musuh alami (Kurniawati dan Susanti,
2020). Selain itu pengaturan waktu tanam rotasi tanaman padi dengan tanaman lainnya
juga dapat mengurangi serangan PBPK (Suharto dan Usyati, 2009).
PBPK mempunyai beberapa parasitoid telur yang sudah banyak dilaporkan. Misalnya
(Kalshoven, 1981; Buchori et al., 2008) melaporkan parasitasi telur PBPK oleh Telenomus
rowani Gahan, Trichogramma japanicum Ashamead dan Tetrastichus schoenobii
Farrriere. Namun informasi tentang parasitoid telur penggerek batang padi di Provinsi
Bengkulu masih langka. Satu-satunya yang ada adalah yang dilaporkan oleh Buchori et
al. (2008), akan tetapi tidak diketahui lokasi samplingnya. Oleh karena itu penelitian ini
perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui insidensi serangan musiman,
populasi kelompok telur, dan parasitasi (jenis) parasitoid telur PBPK pada ekosistem padi
beririgasi di Desa Maras, kecamatan Air Nipis, Kabupaten Bengkulu Selatan

2. Metode
Penelitian dilakukan di areal persawahan Desa Maras Kecamatan Air Nipis,
Kabupaten Bengkulu Selatan, pada ketinggian tempat 50 M dpl, yang berada di -
4˚23’36,735” Lintang Selatan dan 103˚2’2,539 Bujur Timur, dengan areal persawahan
seluas 180 Ha, pada lokasi penelitian petani melakukan 2 kali musim tanam dalam satu

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 161
ISBN: 978-602-9071-32-0

tahun. Selama tidak ditanami tanaman lahan diistirahatkan (bero). Petani setempat
melakukan penanaman serentak, rentang waktu penanaman berkisar 3-4 minggu, secara
manual dengan bergotong royong. Pada umumnya petani setempat sudah melakukan
sistem tanam jajar legowo dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm.
Pengaplikasian pestisida yang dilakukan oleh petani rata-rata sebanyak 6 kali dalam
satu musim tanam dengan cara mencampurkan beberapa pestisida tanpa dosis standar
(misalnya mengikuti petunjuk yang ada dalam label kemasan). Pestisida yang sering
digunakan adalah yang berbahan aktif Karbanil, Metil tiofanat, Metomil, Nitenpiran,
Klorpirifos dan Imidokloprid. Sedangkan untuk pemupukan dilakukan sebanyak dua kali
selama musim tanam, pupuk yang digunakan adalah Urea dan NPK (Poanska), masing
sebanyak 250 kg per ha.
Penelitian dilakukan dengan metode survey yang dilakukan dari bulan Februari - Mei
2021. Pengamatan tanaman terserang dan koleksi telur PBPK dilakukan pada lima lajur
transek sepanjang 50 m (lebar 2 m). Jumlah sampel sepanjang transek adalah 20 dengan
interval kurang lebih sama. Jumlah anakan terserang dan anakan sehat dihitung untuk
menentukan persentase anakan terserang. Kelompok telur yang diperoleh dari lapangan
dipelihara sampai menetas menjadi larva atau keluar parasitoid. Parasitoid yang muncul
diawetkan ke dalam gelas vial berisi etanol 75%, untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
di Laboratorium Proteksi Tanaman Universitas Bengkulu.

3. Hasil dan Pembahasan

Intensitas Serangan PBPK


Gejala serangan PBPK sangat jelas sebagaimana disebutkan di beberapa publikasi
sebelumnya yang diantaranya (Baehaki, 2013; Ramadhan et al., 2020) yaitu pada fase
vegetataif daun muda layu dan akhirnya mati sedangkan pada fase generatif malai yang
berkembang terlihat layu dan akhirnya mati, tetap tegak dan berwarna putih. Dari
pengamatan lapangan dan pengamatan sampel anakan terserang ditemukan kelompok
telur, larva dan imago PBPK (Gambar 1), sesuai dengan yang sudah banyak dilaporkan
pada beberapa publikasi (misalnya; Armando et al., 2020; Add’ha, 2021). Telur PBPK
yang ditemukan berada pada permukaan atas daun dengan ukuran yang beragam,
berwarna kuning kecokelatan, larva berwarna hijau kekuningan dengan kepala berwarna
cokelat, dan imago betina memiliki sayap depan yang berwarna kekuningan serta memiliki
ciri khas yaitu terdapat bercak warna hitam pada bagian tengahnya (Gambar 1).

Gambar 1. Kelompok telur (kiri), larva (tengah) dan imago (kanan) PBPK yang ditemukan di Desa
Maras Bengkulu Selatan

162 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Secara umum tingkat serangan PBPK di lapangan masih termasuk ringan, dengan
intensitas tertinggi pada pengamatan minggu ke-tiga, yaitu 4,5% (Gambar 2). Intensitas
serangan cenderung menurun dari mulainya ditemukan serangan yaitu pada minggu
ketiga pengamatan 28 HST pada fase vegetatif dan selanjutnya hingga tidak ditemukan
lagi gejala serangan pada pengamatan minggu ke-sembilan dan ke-sepuluh, ketika
tanaman padi sudah memasuki fase generatif.

7
Persentase Serangan

6
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Umur tanaman (MST)
Gambar 2. Fluktuasi Intensitas Serangan Penggerek Batang Padi Kuning di Desa
Maras, Bengkulu Selatan pada musim tanam pertama 2021

Menurut Iswanto et al. (2020), beberapa faktor seperti musuh alami, tanam serentak
dan pengendalian dapat menyebabkan rendahnya serangan PBPK. Penanaman serentak
dapat menurunkan intensitas serangan PBPK (Wijaya, 2016), karena ngengat betina akan
menyebar dan tidak memberikan dampak kerusakan yang besar pada satu petakan.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, petani di lokasi penelitian kurang lebih
melakukan penenaman secara serantak. Selain itu karena tanaman padi hanya ditanam
dua kali dalam satu tahun dan ketika tidak ada tanaman padi, sawah dibiarkan dalam
kondisi bero atau ditanami tanaman lain, misalnya jagung, kacang tanah, kangkung, maka
siklus hidup PBPK terputus (Hendarsih dan Usyati, 2009).
Faktor lain yang menyebabkan insidensi PBPK di lokasi penelitian rendah adalah
pengendalian dengan pestisida kimia yang dilakukan secara intensif, rata-rata enam kali
selama masa tanam, juga menekan populasi PBPK (Meilin et al., 2018). Selain itu,
insidensi parasitasi PBPK oleh parasitoid telur juga cukup tinggi. Parasitoid telur seperti
Tetrastichus schoenobii sangat berperan dalam menekan perkembangan penggerek
batang padi (Adiartayasa dan Wijaya, 2016).

Parasitoid Telur PBPK


Dengan merujuk deskripsi dari beberapa penelitian di antaranya Add’ha (2021) dan
Armando et al. (2020) yang melakukan penelitian di Karawang dan Sukajaya, Jawa Barat,
parasitoid yang ditemukan di Desa Maras, Bengkulu Selatan adalah Tetrastichus sp.
(Eulophidae) Telenomus sp. (Scelionidae) (Gambar 3). Ciri morfologi kedua parasitoid
sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Armando et al. (2020) dan Buchori et al. (2008),
yaitu imago jantan Tetrastichus sp. berwarna hitam mengkilat. Imago jantan juga memiliki
antena berwarna cokelat dengan bentuk filiform serta terdiri dari 8 ruas dan terdapat bulu-
bulu halus, memiliki abdomen yang tumpul dan ukuran sayap depan yang lebih besar
dibandingkan dengan sayap belakang serta terdapat bulu-bulu halus yang

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 163
ISBN: 978-602-9071-32-0

beraturan. Ciri imago betina Tetrastichus sp. yaitu memiliki abdomen yang lebih besar
dibandingkan dengan serangga jantan dan memiliki ujung yang meruncing sebagai alat
untuk memasukkan telur kedalam inang. Telenomus sp. imago betina berwarna hitam
sedangkan yang jantan berwarna coklat kemerahan dengan mata dan ujung abdomen
berwarna gelap. Ukuran tubuh betina umumnya lebih besar daripada jantan, memiliki
metasoma yang panjang dan ramping, pada ujung abdomen betina terdapat ovipositor.
Antena imago betina menggada ke bagian ujung dan berwarna lebih gelap dibandingkan
ruas lainnya. Imago jantan tidak terlalu ramping dan hampir bulat, memiliki antena seperti
manik-manik berwarna kuning kecuali bagian apical. Antena terdiri dari 11 ruas, ukuran
sayap belakang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran sayap depan serta memiliki satu
kait kecil, sedangkan pada tungkai bagian tarsus terdiri dari 5 bagian serta terdapat duri-
duri halus.

a b

c d

Gambar 3. Parasitoid telur yang muncul dari pemeliharaan kelompok telur PBPK yang dikoleksi
dari lapangan. Atas: Tetrastichus sp. a. betina, b jantan. Bawah: Telenomus sp.; c jantan, d.
betina

Hasil dari pengamatan yang dilakukan sebanyak 10 kali pengamatan di Desa Maras
menunjukkan bahwa Tetrastichus sp. lebih banyak (143 ekor) dibandingkan dengan
Telenomus sp. Pada ketinggian yang berbeda yaitu 300 m dpl. Resiani dan Sunanjaya
(2016) dan Siagian (2020) juga melaporkan bawha Tetrastichus sp. mendominasi dari tiga
parasitoid yang detemukan yaitu Tetrastichus scheonobii, Trichogramma japonicum dan
Telenomus rowani.
Total parasitasi pada kelompok telur PBPK cukup tinggi (81,41%), menunjukkan
bahwa pkehadiran parasitoid di lapangan menjadi salah satu faktor penting di dalam
menekan populasi PBPK. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut, karena petani setempat
melakukan aplikasi pesatisida cukup intensif. Dampak negatif penggunaan pestisida yang
berlebihan sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti.
Tingkat parasitasi kedua parasitoid telur tersebut berbeda, lebih tinggi Tetrastichus
sp, (63,27 %) dibandingkan dengan Telenomus sp. (18,14 %) (Gambar 4). Hasil
pengamatan ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Adiartayasa dan Wijaya (2016), yang

164 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

menyatakan bahwa T. schoenobii adalah parasitoid telur yang paling berperan dalam
menekan perkembangan penggerek batang padi. Nonci dan Ladja (2006) juga
menyatakan bahwa varietas padi Ciboga parasitoid telur yang ditemukan lebih banyak
adalah T. schoenobii yang diikuti oleh Trichogramma japonicum dan T. rowani. Wilyus et
al. (2012), Junaedi et al. (2016) dan Cruz et al. (2016) melaporkan bahwa T. japonicum
merupakan salah satu yang sedikit ditemukan dilapangan dibandingkan dengan parasitoid
telur lainnya.
70 63.27
Persen parasitasi

60
50
40
30
18.14
20
10
0
Telenomus sp Tetrastichus sp
Gambar 4. Insidensinya parasitasi (%) PBPK oleh dua jenis parasitoid di Desa Air Nipis,
Bengkulu Selatan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2021.

Rendahnya parasitasi oleh Telenomus sp. dibandingkan dengan Tetrastichus sp.


disebabkan daya kompetisi (Kartoharjono, 1995). Setiap larva Tetrastichus sp. mampu
memparasitasi 2-3 butir telur PBPK. Daya kompetisi Tetrastichus sp. lebih kuat
dibandingkan dengan paraitoid lainnya. Parasitasi oleh Tetrastichus sp. tidak dipengaruhi
bentuk dan ukuran inang. Hal ini berbeda dengan parasitoid Telenomus sp. dan T.
japonicum yang tingkat parasitasinya dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran inang, semakin
besar ukuran kelompok telur inang akan semakin menurun daya parasitasi serta
parasitoid Telenomus sp. dan T. japonicum juga diketahui tidak menyukai kelompok telur
inang yang bersisik (Rauf, 2000). Akibat dari kompetisi, biologi parasitoid yang lemah
dapat terganggu seperti menurunnya reproduksi, mortalitas meningkat, nisbah kelamin
berubah, serta ukuran tubuh lebih kecil (Kartoharjono, 1995). Hal tersebut sesuai dengan
ukuran tubuh Tetrastichus sp. yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh
Telenomus sp. sehingga mempunyai kemampuan terbang yang lebih luas serta lebih
mampu melakukan pemencaran dalam mencari inang baru (Resiani dan Sunanjaya,
2016). Wahyuni dan Suparta (2009) menyatakan bahwa apabila parasitoid tidak
mempunyai kemampuan untuk berkompetisi maka dapat menurunkan tingkat keperidian
(kelahiran) dan daya parasitasinya. Contoh kompetisi dapat diamati pada perilaku
Hemyptarsenus varicornis, parasitoid larva penggorok daun kentang (Liriomyza
huidobrensis) yang bersifat ektoparasit. Imago betina melumpuhkan serangga inang
sebelum meletakkan telur dengan melakukan host-feeding. Apabila serangga inang
sebelumnya sudah terparasit oleh parasiotid lain, host feeding dapat mematikan serangga
inang dan parasitoid yang sudah terdapat pada serangga inang.
Parasitoid Tetrastichus sp. ditemukan pada pengamatan minggu ke-1 (2 MST)
sebanyak 59 ekor, pada pengamatan ke-2 (3 MST) 16 ekor sedangkan pada minggu ke-3
(4 MST) sekaligus yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 68 ekor. Parasitoid

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 165
ISBN: 978-602-9071-32-0

Telenomus sp. hanya ditemukan pada pengamatan minggu ke-1 (2 MST) hanya 1 ekor
dan ditemukan lagi pada pengamatan ke-5 (6 MST) dengan jumlah parasitoid sebanyak
40 ekor. Hal tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Supartha et al. (2015) yang
menyatakan bahwa populasi parasitoid telur PBPK didominasi oleh T. schoenobii sejak
tanaman berumur 2 MST sampai tanaman berumur 6 mst. Setelah tanaman memasuki
fase generatif yaitu tanaman berumur 7 mst dominasi populasi parasitoid digantikan oleh
T. rowani dan T. japonicum.

80
Jumlah Parasitoid (Ekor)

60

40
Telenomus sp
20 Tetrastichus sp

0
2 3 4 5 6 7 8 9 1011

MST

Gambar 5. Fluktuasi jumlah parasitoid telur PBPK pada musim tanam bulan Februari sampai
dengan Mei 2021 di Desa Maras, Kecamatan Air Nipis, Kabupaten Bengkulu Selatan

4. Kesimpulan
Tingkat serangan PBPK di Desa Maras Kabupaten Bengkulu Selatan yaitu 0-4.46%
yang artinya masih rendah. Parasitoid telur tampaknya cukup berperan dalam menekan
populasi PBPK, selain pengendalian yang dilakukan petani. Jenis parasitoid telur PBPK
yang ditemukan selama pengamatan ada dua yaitu Tetrastichus sp. (Eulopidae) dan
Telenomus sp. (Scelionidae) dengan tingkat parasitasi secara berturut yaitu 63.27% dan
18.14%.

Daftar Pustaka
Add’ha, F. 2021. Tingkat Parasitasi dan Spesies Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi
Kuning (Scirpophaga incertulas) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Karawang.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Adiartayasa, W dan I.N. Wijaya. 2016. Serangan Penggerek Batang Padi dan Peran
Musuh Alami dalam Mengendalikan Populasinya pada Persawahan Tanam
Serentak dan Tidak Serentak. AGROTROP. 6(1):19-25.
Armando, R, Yusnaini dan W. Yunita. 2020. Eksplorasi Penggerek Batang Padi dan
Parasitoid di Balai Benih Induk (BBI) Sukajaya. Gema Agro. 25(1):53-63.
Badan Pusat Statistik. 2020. Tabel Dinamis.
https://bengkulu.bps.go.id/searchengine/result.html. Diakses 17 Oktober 2021.
Baehaki. 2013. Hama Penggerek Batang Padi dan Teknologi Pengendalian. IPTEK
Tanaman Pangan 8(1):1-14.

166 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

Buchori, D., B. Sahari, dan Nurindah. 2008. Conservation of Agroecosystem trough


Utilization of Parasitoid Diversity: Lesson for Promoting Sustainable Agryculture
and Ecosystem Helth. HAYATI Journal of Biosciences. 15(4):165-172.
Cruz, L.B.D.C., I.W. Supartha dan N.N. Darmianti. 2016. Keragaman dan Kelimpahan
Populasi Parsitoid Telur yang Berasosiasi dengan Hama Penggerek Batang Padi
Kuning pada Pertanaman Padi di Kabupaten Tabanan. E-Jurnal Agroekoteknologi
Tropika. 5(2):191-201.
Hendarsih, S dan N. Usyati. 1999. Perangkap Feromon Seks untuk Penggerek Batang
Padi Kuning Scirpophaga incertulas. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia.
5(2):77-82.
Hendarsih, S dan N. Usyati. 2009. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Jawa Barat.
Iswanto, E. H., D. Munawar dan Rahmini. 2020. Tangkapan Serangga Hama Padi pada
Lampu Perangkap di Lahan Sawah Irigasi Dataran Rendah. Jurnal Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 23(1):105-118.
Junaedi, E., M. Yunus dan Hasriyanty. 2016. Jenis dan Tingkat Parasitasi Parastoid telur
Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophga innonata Walker) pada Pertanaman
Padi (Oryza sativa L.) di Dua Ketinggian Tempat Berbeda di Kabupaten Sigi.
Jurnal Agrotekbis. 4(3):280-287.
Kalshoven, L.G.E. 1981.The Pest Of Crops In Indonesia. P.T Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Jakarta.
Kartoharjono, A. 1995. Beberapa Aspek Biologi Tertastichus schoenobii Ferr.
(Hymenoptera: Eulopidae) Parasitoid Penggerek Batang Padi Scirpophaga spp.
(Lepidoptera: Pyralidae). Disertasi.Institut Pertanian Bogor.
Khaira, W. 2009. Dampak Penggunan Pestisida terhadap Keanekaragaman Arthropoda
Tanah dan Kadar Residu Pestisida pada Buah Jeruk (Kasus Petani Hortikultura di
Kabupaten Karo). Tesis. Universitas Sumatra Utara Medan. Sumatra Utara.
Kurniawati, S. dan E.Y. Susanti. 2020. Refugia si Bunga Pengusir Hama. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Kementrian Pertanian. Banten.
Kusdiaman, D. dan N. Kurniawati. 2007. Kajian Pengendalian Penggerek Batang Padi
Dengan Monitoring Lampu Perangkap dan Pelepasan Parasitoid Telur. Apresiasi
Hasil Penelitian Padi. 383-392.
Meilin, A., Y.A Trisyono, E. Martono dan D. Buchori. 2018. Pengaruh Residu Insektisida
pada Tanaman Padi terhadap Tingkat Parasitasi Parasitoid Anagrus nilaparvatae
(Hymenoptera: Mymaridae). Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 2(1):9-15.
Nonci, N dan F.T. Ladja. 2006. Pengaruh Insektisida terhadap Musuh Alami Telur
Penggerek Batang Padi Scirpophaga incerulas Walker. Jurnal Agroland.
13(3):245-248.
Ramadhan, M.B., I.P. Sudiarta., I.N. Wijaya dan I.K. Sumiartha. 2020. Pengaruh
Serangan Penggerek Batang Padi terhadap Hasil Panen Tanaman Padi (Oryza
sativa L.) di Subak Cemagi Let, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Bandung. Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 9(2):106-114.
Rauf. A. 2000. Parasitasi Telur Penggerek Batang Padi Putih, scirpophaga innonata
(Walker) (Lepidoptera: Pyralidae), Saat Terjadi Ledakan di Karawang pada Awal
1990-an. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. 12(1):1-10.
Resiani, N.M.D dan I.W. Sunanjaya. 2016. Tingkat Parasitasi Parasitoid Telur PBPK pada
Pertanaman Padi dengan beberapa Ketinggian Tempat Berbeda. Informatika
Pertanian. 25(1):99-106.
Siagian, S. 2020. Inventarisasi dan Patogen Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi
Kuning (Scirpophaga incertulas Walker) (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi di Tiga Desa di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara.
Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara. Sumatra Utara.
Sitepu, M.B.R. 2018. Peran Tanaman Refugia terhadap Tingkat Parasitasi Parasitoid
Telur dan Larva penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas Walker;

PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021 167
ISBN: 978-602-9071-32-0

Lepidoptera: Piralidae). Tesis. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara


Medan. Sumatra Utara.
Suharto, H dan N. Usyati. 2009. Pengendalian Hama Penggerek Batang Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Supartha, I.W.S., I.W. Susila dan I.K. Sumiartha. 2015. Karakteristik Komunitas Parasitoid
Telur dan Potensinya sebagai Agens Pengendalian Hayati Hama Penggerek
Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae) pada
Pertanaman Padi Sawah di Bali. Laporan Akhir Hibah Penelitian Unggulan
Udayana. Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Bali.
Swacita, I.B.N. 2017. Pestisida dan Dampaknya terhadap Lingkungan. Bahan Ajar
Kesehatan Lingkungan. Universitas Udayana Denpasar Bali. Bali.
Wahyuni, S dan I.W. Supartha. 2009. Respon Biologis Beberapa Jenis Parasitoid pada
Lalat Penggorok Daun Liriomyza huidobrensis Blanchard. AGRICA. 2(1):22-29.
Wilyus, F. Nurdiansyah, S. Herlinda, C. Irsan dan Y. Pujiastuti. 2012. Potensi Parasitoid
Telur Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas Walker pada.

168 PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

169 | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

170 | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

171 | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021
ISBN: 978-602-9071-32-0 Seminar Nasional Perlintan UNIB 2021

172 | PEI-PFI-FP-UNIB-BENGKULU-2021

Anda mungkin juga menyukai