Anda di halaman 1dari 55

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN

TERHADAP VEGETASI DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI


UNIT I JAWA TENGAH

SOPARI YANTINA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN
TERHADAP VEGETASI DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI
UNIT I JAWA TENGAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan


pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

Oleh
SOPARI YANTINA
E 14203039

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

SOPARI YANTINA. Penilaian Dampak Kebakaran Hutan terhadap


Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Di bawah
bimbingan LAILAN SYAUFINA.

Hutan Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang mempunyai


manfaat besar bagi kehidupan manusia baik secara ekologi, ekonomi, maupun
sosial budaya. Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan kelestarian dan
penyebab utama kerusakan hutan paling merugikan. Berkaitan dengan hal itu
kebakaran hutan menyebabkan kerusakan terhadap vegetasi terutama pada
tegakan hutan tanaman yang mengutamakan produksi dan keuntungan ekonomis.
Untuk menilai besarnya gangguan terhadap vegetasi akibat kebakaran
hutan pada hutan tanaman dapat menggunakan metode Forest Health Monitiring
dan Sistem Penilaian Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menilai kondisi
hutan serta memberikan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selanjutnya.
KPH Cepu merupakan salah satu hutan tanaman yang didominasi oleh
jenis Jati (Tectona grandis), mengalami kejadian kebakaran hutan setiap tahun.
Kejadian kebakaran paling besar terjadi sekitar tahun 1997 yaitu seluas 1.158,52
Ha. BKPH yang mengalami kebakaran paling luas yaitu BKPH Cabak dengan
luas 62,70 Ha. Penyebab dari kebakaran hutan sebagian besar terjadi karena
aktivitas manusia, selain itu juga didukung oleh faktor lingkungan seperi kondisi
iklim yang tergolong kering.
Berdasarkan pengamatan di lapangan tipe kebakaran yang sering terjadi
tergolong Surface Fire. Dari data hasil pengamatan juga terlihat bahwa
berdasarkan lokasi kerusakan secara umum terjadi pada bagian batang bawah dan
atas, berdasarkan tipe kerusakannya yang paling umum terjadi yaitu batang
hangus dan luka serta akar luka dan terbakar.
Nilai rata-rata kerusakan individu pohon setiap KU (I dan V) pada areal
bekas terbakar tahun 2005 sebesar 1,311 dan 9,389 pada areal tahun 2006 sebesar
4,321 dan 6,641. Hasil pembobotan dan pengklasifikasian berdasarkan keparahan
kerusakan setiap KU (I dan V) pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan tahun
2006, yaitu kurang dari 50% jumlah pohon tidak terlihat rusak dan lebih dari 80%
pohon terbakar masih dapat bertahan hidup, sehingga didapat nilai bobot sebesar
5. Tumbuhan bawah pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan 2006 setiap KU (I
dan V) mengalami perubahan komposisi jenis, hasil pembobotan nilai keragaman
masing-masing sebesar 4,5.
Dari hasil penjumlahan nilai parameter kerusakan, setiap KU (I dan V)
tahun 2005 didapatkan nilai sebesar 10,811 dan 18,889 untuk areal terbakar tahun
2006 sebesar 13,821 dan 16,141. Nilai tersebut masuk dalam rentang skor 0-20,
kondisi demikian menggambarkan kerusakan vegetasi akibat kebakaran hutan di
KPH Cepu Perhutani Unit I Jawa Tengah tergolong kelas sangat ringan.

Kata Kunci : Kebakaran, Kerusakan Vegetasi, FHM


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penilaian Dampak


Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa
Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr.Ir.
Lailan Syaufina, M.Sc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Sopari Yantina
NRP E 14203039
Judul Kegiatan : Penilaian Dampak Kebakaran Hutan
terhadap Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit
I Jawa Tengah
Nama Mahasiswa : SOPARI YANTINA
NRP : E 14203039

Menyetujui:
Dosen pembimbing,

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.


NIP 131 849 392

Mengetahui
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr.


NIP 131 878 499

Tanggal : …………..
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang
diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun
skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan umatnya.
Penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk menilai kerusakan
terhadap vegetasi akibat kebakaran hutan. Skripsi ini merupakan laporan akhir
dari hasil penelitian penulis yang berjudul ”Penilaian Dampak Kebakaran Hutan
Terhadap Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah”.
Penelitian dilakukan di areal bekas kebakaran hutan tahun 2005 dan 2006 pada
Kelas Umur I dan V di RPH Pasar Sore dan RPH Cabak, selama bulan Juni-Juli
2007. Skripsi ini sekaligus merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.
selaku pembimbing, KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang telah
menyediakan tempat untuk melaksanakan penelitian, Dr. Ir. Noor Farikhah, M.Si.
yang telah membantu penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Ungkapan
terimakasih juga disampaikan kepada bapa, ibu, kakak tercinta serta seluruh
keluarga dan teman-teman atas segala bantuan dan doanya.
Permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dan
kekhilafan, penulis sampaikan kepada semua pihak yang terkait dalam kegiatan
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun guna
perbaikan dan pengembangan penelitian lebih lanjut sangat diharapkan. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2008

Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 15 Oktober


1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Abdul Rojak
Sugandi dan Ibu Mimi Siti Rukoyah.
Penulis mulai masuk pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1990 di
TK Dewi Sartika. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri II
Cineam pada tahun 1991-1997, kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri I Cineam hingga tahun 2000. Pada
tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di
SLTA Negeri I Manonjaya.
Tahun 2003 penulis diterima menjadi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Program Studi Budidaya
Hutan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh
pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan
dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada tahun 2006 di KPH Banyumas Timur dan
KPH Banyumas Barat serta Praktek Pengelolaan di daerah Getas, Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur.
Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT.
ITCI Kartika Utama, Balikpapan, Kalimantan Timur. Selama studi di IPB penulis
aktif di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang kesenian Gentra
Kaheman tahun 2004-2005, sebagai anggota.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi
yang berjudul ”Penilaian Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi di KPH
Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan
Syaufina, M.Sc.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................ 2
1.3 Manfaat .......................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1 Proses Kebakaran Hutan ............................................................... 3
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan................................... 5
2.3 Tipe dan Klasifikasi Kebakaran Hutan ......................................... 8
2.4 Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Vegetasi ............................. 9
2.5 Forest Health Monitoring (FHM).................................................. 11
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 14
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 14
3.2 Bahan dan Alat Penelitian............................................................. 14
3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 14
3.3.1 Penetapan Plot........................................................................ 14
3.3.2 Pengambilan Data Vegetasi ................................................... 15
3.3.3 Penilaian Kerusakan Pohon ................................................... 16
3.4 Analisis Data ................................................................................. 19
3.4.1 Kerusakan Pohon ................................................................... 19
3.4.2 Penilaian Kerusakan Tumbuhan Bawah ................................ 20
3.5 Pengumpulan Data Sekunder ........................................................ 23
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 24
4.1 Letak dan Luas .............................................................................. 24
4.2 Tofografi ....................................................................................... 24
4.3 Jenis Tanah.................................................................................... 25
4.4 Iklim .............................................................................................. 25
4.5 Sosial Ekonomi Masyarakat.......................................................... 25
4.6 Pembagian Wilayah ...................................................................... 26
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 27
5.1 Kejadian Kebakaran Hutan ........................................................... 27
5.1.1 Luas dan Frekuensi Kebakaran Hutan di KPH Cepu............. 27
5.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di KPH Cepu ..... 29
5.2 Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi .............................. 32
5.2 Penilaian Kerusakan Vegetasi Akibat Kebakaran Hutan.............. 39
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 41
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 41
6.2 Saran............................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43
LAMPIRAN....................................................................................................... 45
DAFTAR TABEL

No Halaman
1. Deskripsi kode lokasi kerusakan .................................................................. 17
2. Deskripsi kode tipe/jenis kerusakan ............................................................. 18
3. Kode dan kelas keparahan kerusakan .......................................................... 18
4. Penilaian kerusakan individu pohon ............................................................. 19
5. Penilaian tingkat keparahan vegetasi ............................................................ 20
6. Penilaian keanekaragaman vegetasi.............................................................. 22
7. Sistem skoring penilaian areal bekas terbakar .............................................. 23
8. Kerusakan pohon jati pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan 2006 ....... 35
9. Tumbuhan bawah di tegakan Jati KPH Cepu bekas kebakaran tahun 2005 dan
2006.............................................................................................................. 38
10. Kerusakan individu pohon ............................................................................ 40
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Segitiga Api .................................................................................................. 3
2. Bentuk klaster FHM ..................................................................................... 15
3. Layout kuadran untuk tumbuhan bawah ....................................................... 16
4. Lokasi kerusakan pohon ............................................................................... 17
5. Kejadian kebakaran di KPH Cepu periode 2005-2006 ................................. 27
6. Rata-rata luas kebakaran hutan tiap BKPH periode 1996-2006 ................... 28
7. Frekuensi kebakaran hutan tiap BKPH periode 1996-2006.......................... 29
8. Curah hujan rata-rata kecamatan Cabak Kabupaten Blora
periode 2003-2007 ........................................................................................ 30
9. Serasah dan tumbuhan bawah ....................................................................... 31
10. Pohon Jati terbakar KU I dan KU V ............................................................. 32
11. Kerusakan pohon berdasarkan lokasi kerusakan........................................... 36
12. Kerusakan pohon berdasarkan tipe/jenis kerusakan ..................................... 37
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Penilaian kerusakan individu pohon KU I dan KU V bekas terbakar
tahun 2005 dan tahun 2006 .......................................................................... 46
2. Penilaian keragaman tumbuhan bawah KU I dan KU V bekas terbakar
tahun 2005 dan tahun 2006 ......................................................................... 85
3. Data luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode 1996-2006.... 86
4. Data curah hujan Kecamatan Cabak Kabupaten Blora tahun 2003-2007 .... 87
5. Peta kebakaran di KPH Cepu ....................................................................... 88
6. Perhitungan indeks keragaman tumbuhan bawah ......................................... 89
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hutan Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang mempunyai
manfaat besar bagi kehidupan manusia baik secara ekologi, ekonomi, maupun
sosial budaya. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang tepat serta berkelanjutan
sangat penting sehingga keberadaan dan fungsinya akan tetap lestari. Hutan
tanaman diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar untuk mencukupi
kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi terhadap hasil hutan kayu.
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan kelestarian dan
penyebab utama kerusakan hutan paling merugikan. Kebakaran hutan di Indonesia
telah menyebabkan berbagai dampak negatif, baik secara ekonomi, ekologi dan
sosial-politik. Kebakaran hutan ini tidak hanya terjadi pada hutan alam saja tetapi
terjadi juga pada hutan tanaman. Salah satunya terjadi pada tegakan Jati (Tectona
grandis) KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sebagian besar
kebakaran hutan disebabkan karena interaksi manusia dengan hutan, seperti tradisi
penggunaan api untuk pembukaan dan penyiapan lahan, penggembalaan liar,
ketidaksengajaan orang yang masuk kawasan hutan dan menyalakan api kemudian
ditinggalkan, taktik para pencuri kayu untuk mengalihkan perhatian para petugas
saat mencuri.
Kebakaran hutan mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas
dari fungsi hutan sebagai pelindung penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman hayati serta ekosistemnya. Berkaitan dengan hal itu kebakaran
hutan menyebabkan kerusakan terhadap vegetasi terutama pada tegakan hutan
tanaman yang mengutamakan produksi dan keuntungan ekonomis. Dengan
terjadinya kebakaran hutan siklus hara menjadi terganggu sehingga tanaman tidak
dapat tumbuh secara optimal dan menyebabkan penurunan produktivitas tegakan,
serta terganggunya kesehatan hutan.
Untuk menilai besarnya gangguan terhadap vegetasi akibat kebakaran
hutan maka diperlukan monitoring serta penilaian terhadap areal bekas terbakar,
metode pengambilan data yang dapat digunakan adalah Forest Health Monitoring
2

(FHM), kemudian dinilai menggunakan Sistem Penilaian Areal Bekas Terbakar


untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Dengan adanya monitoring dan penilaian
dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi diharapkan dapat memberikan
informasi-informasi tentang perubahan yang terjadi di areal bekas terbakar serta
informasi tentang kesehatan hutan untuk perencanaan pengelolaan hutan
selanjutnya.
Metode FHM telah dikembangkan di Indonesia untuk menilai kesehatan
hutan yang diadopsi dari USDA Forest Service 1997. Sedangkan Formulasi
Sistem Penilaian Areal Bekas Terbakar dikembangkan tahun 2005 menggunakan
pedoman penilaian pengelolaan hutan berkelanjutan yang diacu dari ITTO dan
metode yang digunakan yaitu FHM serta Fire Severity (Syaufina et.al., 2005).
Untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan sangat penting dilakukan
monitoring dengan menggunakan metode FHM karena hutan Indonesia yang
mempunyai kondisi ekosistem berbeda-beda sehingga pemantauan tidak cukup
dilakukan di satu daerah yang mewakili suatu ekosistem saja. Perbedaan
ekosistem akan menyebabkan perbedaan kondisi alam, biodiversitas serta
responnya terhadap kebakaran. Metode FHM ini diharapkan mampu memantau
kondisi hutan dari waktu ke waktu secara periodik.

1.2. Tujuan
1. Menjelaskan kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu Perum Perhutani
Unit I Jawa Tengah.
2. Menjelaskan kerusakan yang terjadi terhadap vegetasi.
3. Penilaian dampak kebakaran hutan terhadap kerusakan vegetasi.

1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menilai kondisi hutan
berdasarkan kerusakan vegetasi serta memberikan informasi-informasi yang dapat
digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan
selanjutnya supaya tercapai kelestarian hutan.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang penjalarannya
bebas serta membakar bahan bakar alami dari hutan seperti serasah, rumput,
ranting-cabang, pohon mati, semak belukar, gulma, log, pohon mati yang tetap
berdiri, tunggak pohon, dedaunan dan pohon-pohon (Brown dan Davis, 1973).
Pembakaran ini terjadi melalui dua proses yaitu proses kimia dan fisika
berlangsung dengan cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur
kimia, diiringi dengan proses pelepasan energi panas (DeBano et al., 1998).
Menurut Brown dan Davis (1973), sebagai suatu reaksi kimia proses
pembakaran berlawanan dengan proses pembentukkan bagian-bagian tanaman
melalui proses fotosintesis.
Reaksi fotosintesis :
CO2 + H2O + energi matahari (C6H10O5)n + O2
Proses pembakaran :
(C6H10O5)n + O2 + suhu penyalaan CO2 + H2O + panas
Kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya tiga komponen yaitu sumber
api, ketersediaan bahan bakar dan ketersediaan oksigen. Ketiga komponen
tersebut membentuk segitiga api atau Fire Triangle (DeBano et al., 1998).

Oksigen

Api

Bahan bakar Sumber Panas

Gambar 1 Segitiga Api


4

Kebakaran hutan sebagai suatu proses yang terjadi di alam. Fase


kebakaran terdapat lima tahapan, yaitu :
1. Pre Iginition (pra penyalaan)
Bahan bakar mulai terpanaskan, mengalami kekeringan, pirolisis dan
pelepasan uap air, CO2 dan pelepasan gas yang mudah terbakar seperti
metana dan hidrogen yang berasal dari dekomposisi termal, hemiselulosa,
selulosa dan lignin. Reaksinya berubah dari memerlukan panas menjadi
pemanasan sendiri. Pada tahap awal pembakaran diperlukan suhu 325°C-
350°C untuk menaikkan suhu bahan bakar.
2. Flaming (penyalaan)
Proses pirolisis pelepasan uap air dan pelepasan gas mudah terbakar
meningkat, gas-gas di atas naik dan bercampur dengan oksigen.
Pembakaran terjadi pada tahap ini, menyebabkan temperatur meningkat
sangat tinggi dari 300°C -500°C menjadi 1400°C.
3. Smoldering (pembaraan)
Biasanya mengikuti penyalaan, berjalan lambat pada kebakaran bawah.
Laju penjalaran api menurun demikian juga panas yang dilepaskan serta
suhu yang dihasilkan sehingga banyak gas yang berkondensasi ke dalam
asap. Partikel hasil emisi fase smoldering lebih besar dari pada fase
flaming.
4. Glowing (pemijaran)
Merupakan bagian akhir dari smoldering. Sebagian besar dari gas yang
mudah menguap menghilang dan menghasilkan CO2, CO dan abu sisa
pembakaran.
5. Extinction
Kebakaran terhenti bila panas yang diproduksi oleh oksidasi tidak lagi
cukup menguapkan air bahan bakar dan bila semua bahan bakar yang
tersedia telah habis terbakar.
5

2.2. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan


Menurut Brown dan Davis (1973), proses terjadinya kebakaran hutan
ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling berhubungan yaitu bahan bakar,
cuaca, topografi, perubahan musim dan cuaca serta waktu harian. Penyebab
kebakaran hutan hampir 99% dikarenakan ulah manusia, baik sengaja maupun
tidak sengaja.
Karakteristik bahan bakar yang berpengaruh pada perilaku api diantaranya,
1. Ukuran bahan bakar
Berdasarkan ukurannya bahan bakar terdiri dari : (a) Bahan bakar ringan
(ranting, daun, rumput, dahan-dahan kecil, daun jarum yang hanya
memerlukan sedikit panas untuk terbakar). Bahan bakar ini merupakan
bahan bakar yang cepat terbakar. (b) Bahan bakar berat (tunggak pohon,
pohon berdiri). Bahan bakar ini merupakan bahan bakar yang memerlukan
panas lebih banyak untuk mulai terbakar (Suratmo et al., 2003).
2. Penyusunan bahan bakar
Penyusunan bahan bakar adalah faktor utama dalam perilaku api. Susunan
bahan bakar ini mempengaruhi tingkat kesulitan api untuk dikontrol
(Brown dan Davis, 1973). Menurut Suratmo et al. (2003), penyusunan
bahan bakar akan berpengaruh pada laju pemasokan oksigen, laju
penguapan air dari bahan bakar, tingkat pemindahan panas melalui
konduksi dan radiasi, arah dan laju penjalaran api, serta laju pembakaran.
Reaksi pembakaran akan berlangsung sangat baik apabila bahan bakar
cukup tersebar dan rapat.
3. Jumlah atau potensi bahan bakar
Menurut Suratmo et al. (2003), potensi bahan bakar merupakan banyaknya
bahan bakar yang tersedia untuk reaksi pembakaran, akan mempengaruhi
waktu tinggal api dan akhirnya perilaku api serta efek yang
ditimbulkannya. Banyaknya bahan bakar hutan yang dapat terbakar akan
mempengaruhi intensitas api. Semakin banyak bahan bakar tersedia maka
akan semakin tinggi intensitas api dan semakin besar pula panas yang
dihasilkan.
6

4. Tipe dan jenis bahan bakar


Menurut Brown dan Davis (1973), bahwa bahan bakar diklasifikasikan ke
dalam tiga tipe yaitu bahan bakar permukaan (surface fuel), bahan bakar
tajuk (Crown fuel) dan bahan bakar bawah (Ground fuel). Menurut
Suratmo et al. (2003), tipe bahan bakar menggambarkan klasifikasi
penutupan lahan atau tipe vegetasi yaitu padang rumput, padang alang-
alang, semak, hutan tanaman, dan sebagainya. Pola tipe bahan bakar
menggambarkan penyusunan sekat-sekat dan tipe vegetasi yang berbeda
pada suatu hamparan lahan yang cukup luas.
5. Kekompakan bahan bakar
Menggambarkan kerapatan tiap-tiap potongan bahan bakar. Kekompakan
akan mempengaruhi pasokan udara pada partikel bahan bakar yang sedang
terbakar. Kekompakan mempengaruhi laju reaksi pembakaran dan tinggi
nyala api. Jarak potongan antara bahan bakar akan mempengaruhi
pemindahan panas dan pasokan udara pada tiap-tiap potong bahan bakar
(Suratmo et al., 2003).
6. Kadar air bahan bakar
Adalah jumlah kandungan air dalam bahan bakar yang dinyatakan dalam
presentase berat air tehadap berat kotor bahan bakar yang dikeringkan
pada suhu 100° C. Kelembaban udara kurang dari 30 % mendukung
terjadinya kebakaran karena udara kering akan banyak menyerap uap air
dari bahan bakar (Clar dan Chatten, 1954). Kadar air bahan bakar akan
menentukan mudah tidaknya bahan bakar untuk terbakar. Kemudahan
untuk terbakar, laju penjalaran api, potensi terjadinya api lompatan dan
intensitas api dipengaruhi oleh kadar air bahan bakar.
Faktor topografi yang berpengaruh pada penyebaran api adalah
kemiringan lereng (Brown dan Davis, 1973). Kemiringan lereng berpengaruh
pada arah dan kecepatan menjalarnya api, bahan bakar yang tersedia di
permukaan lebih tinggi akan terpanaskan lebih dulu sehingga api lebih cepat
menjalar ke atas dari pada ke bawah (Fuller, 1991).
7

Cuaca merupakan faktor penting pendukung terjadinya kebakaran hutan


baik langsung maupun tidak langsung ditinjau dari aspek temperatur udara, arah
hembusan angin serta kelembaban udara. Menurut Chandler et al. (1983), faktor
cuaca dan iklim yang mempengaruhi kebakaran hutan yaitu masa dan gelombang
udara, temperatur udara, kelembaban atmosfer, awan dan hujan, angin, petir dan
stabilitas atmosfer.
Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas bahan
bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat. Iklim mikro
dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro akan
berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran di suatu daerah, sebab iklim mikro
yang meliputi angin, suhu, kelembaban udara akan menentukan mudah tidaknya
kejadian kebakaran hutan (Yunus, 2005).
Anonymous (1977) dalam Rachmatsjah (1985), mengemukakan sejumlah
faktor yang dapat memperbesar kemungkinan timbulnya kebakaran dan terhadap
besarnya nyala api kebakaran hutan yaitu:
1) Masyarakat kurang menyadari akan bahaya-bahaya dan akibat dari suatu
kebakaran hutan.
2) Usaha pencegahan kebakaran hutan oleh pihak kehutanan belum memadai
3) Masih kurangnya petugas khusus yang terdidik dan terlatih yang
menangani masalah kebakaran hutan.
4) Belum tersedianya peralatan-peralatan khusus untuk mencegah dan
memadamkan kebakaran hutan.
5) Makin luasnya tanaman hutan dari jenis pohon yang mudah terbakar dan
pada umumnya ditanam secara murni.
6) Tanaman hutan pada areal alang-alang yang mudah terbakar.
7) Adanya aktivitas masyarakat di dekat hutan yang menggunakan api.
Kekurangan sarana dan prasarana pengamanan hutan serta lemahnya
bidang hukum juga merupakan faktor yang mendorong timbulnya gangguan
keamanan hutan.
8

2.3. Tipe dan Klasifikasi Kebakaran Hutan


Klasifikasi tipe kebakaran menurut Brown dan Davis (1973) terbagi ke
dalam tiga jenis, yaitu :
1. Kebakaran bawah (ground fire)
Api membakar bahan organik yang berada di bawah permukaan tanah atau
lantai hutan pada umumnya berupa humus dan gambut. Kebakaran bawah
berjalan lambat karena tidak dipengaruhi oleh angin, maka dari itu sangat
sulit diketahui. Ciri dari kebakaran bawah api tampak tidak menyala dan
adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Karena terjadi
di bawah permukaan tanah, maka panas yang ditimbulkan oleh kebakaran
bawah dapat menimbulkan kerusakan dan kematian akar-akar tanaman
yang selanjutnya akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut.
Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan dan
merupakan salah satu tipe kebakaran paling merusak.
2. Kebakaran permukaan (surface fire)
Kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan,
baik berupa serasah, jatuhan ranting, bekas limbah pembalakan, anakan
pohon yang tingginya kurang dari 1,2 meter dan sebagainya yang berada
di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. merupakan kebakaran
yang sering terjadi di dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam.
Biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara
terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk
pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.
3. Kebakaran tajuk (crown fire)
Kebakaran ini biasanya bergerak dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon
lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk
pohon tersebut baik yang berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas
pohon, dan sebagainya. Bermula karena pemanasan/kebakaran permukaan
dan biasanya terjadi pada tegakan konifer, mempuyai kecepatan menjalar
sangat cepat sehingga sulit ditanggulangi.
9

Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang sering terjadi di


Indonesia, karena terjadi penumpukan bahan bakar pada permukaan tanah hutan.
Brown dan Davis (1973), menyatakan bahwa kebakaran permukaan yaitu sumber
api yang membakar serasah permukaan, daun dan ranting jatuh, dan bahan bakar
lain di permukaan hutan serta vegetasi rendah lainnya. Proses kebakaran
permukaan ini umumnya merupakan awal terjadinya kebakaran yang lebih luas,
baik kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk.

2.4. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi


Pengaruh api terhadap pohon menurut Davis (1959) bahwa kebakaran
hutan yang berlangsung lama dan intensif dapat mengakibatkan kematian bagi
pohon-pohon hutan. Pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan sifat antara
berbagai jenis pohon terutama tingkat kepekaannya terhadap api adalah penting
sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pembakaran yang kini banyak dilakukan.
Menurut Brown dan Davis (1973) dan Chandler et al. (1983a), kebakaran
hutan menimbulkan dampak kerusakan pada pohon yang terbakar. Hal ini
dikarenakan suhu kebakaran tinggi dan merusak jaringan kambium pohon secara
melingkar sehingga pohon tersebut luka atau mati. Secara spesifik api akan
menyebabkan :
1. Kerusakan fisik pada pohon yang meliputi luka, pengguguran daun,
kerusakan cabang serta kerugian lain,
2. Adanya kerusakan fisik seringkali meningkatkan kepekaan terhadap
serangan serangga dan penyakit (Brown dan Davis, 1973).
Menurut Nobel (1981) dan Pyne (1996) dalam DeBano et al. (1998), sifat
adaptasi dari tanaman terhadap kebakaran dapat membantu dalam memprediksi
perubahan komposisi jenis tanaman dan dominasi setelah kebakaran dalam
ekosistem yang rawan kebakaran.
Dampak kebakaran hutan lainnya yaitu kerusakan atau kematian anakan
pohon dan semai yang ada di hutan karena suhu yang tinggi serta penurunan
produktivitas hutan yang disebabkan banyaknya kayu yang terbakar sehingga
secara ekonomis nilainya menurun.
10

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap kerusakan vegetasi


menurut Brown dan Davis (1973), yaitu temperatur awal dari pohon itu sendiri,
morfologi pohon, percabangan dan tempat tumbuh, perakaran, ketebalan dan
karakter kulit, material organik dalam tanah, flammabililitas daun-daun,
pertumbuhan dan regenerasi, kebiasaan tempat hidup.
Pengaruh kebakaran hutan jati di Indonesia menurut Cordes dalam
Rachmatsjah (1985), bahwa kebakaran permukaan tidak akan merusak pohon-
pohon jati, hanya pada pohon-pohon yang sudah tua dan berlubang serta pada
tanaman jati muda kerusakan dapat terjadi. Api biasanya menjalar cepat tetapi
tetap rendah di atas permukaan tanah, dengan demikian pembakaran hanya
terbatas pada rumput-rumput kering dan serasah jati yang menumpuk di lantai
hutan.
Sedangkan menurut Kerbert dalam Rachmatsjah (1985), bahwa kebakaran
yang berlangsung berabad-abad dan kontinu di hutan jati ada manfaatnya yaitu
karena bersifat selektif, hanya pohon-pohon yang tahan api saja antara lain
tanaman jati yang dapat hidup terus. Pembakaran di hutan jati dianjurkan, karena
dapat memupuk tanah, membantu pertumbuhan biji jati, mempermudah
pengumpulan biji jati pada areal kebun benih serta memudahkan penyaradan kayu
jati.
Pengukuran dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi meliputi kondisi
kerusakan kanopi, kerusakan batang, kerusakan akar dan kematian pohon. Kriteria
penilaian kerusakan untuk kondisi vegetasi memiliki tiga indikator, yaitu
kerusakan pohon, tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi
(Syaufina et al., 2006).
Fire severity merupakan istilah untuk melukiskan respon ekosistem
terhadap api, dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh api terhadap
tanah, sistem air, ekosistem, flora, fauna, atmosfer dan masyarakat. Fire severity
berhubungan dengan luas tidaknya suatu kebakaran, dilihat dari respon yang
ditimbulkan ekosistem tersebut. Fire severity dipengaruhi oleh sifat bahan bakar
yang tersedia dan perilaku api (DeBano et al.,1998).
11

Berdasarkan kondisi vegetasi, Fire severity dikelompokkan oleh DeBano


et al.(1998) sebagai berikut :
1. Low Fire Severity
Sekurang-kurangnya 50% tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa
pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar, kematian pucuk tetapi
bertunas atau mati akar (tidak bertunas). Lebih dari 80% pohon yang rusak
dapat bertahan hidup.
2. Moderate Fire Severity
Antara 20-50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon
lainnya rusak, 40-80% pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.
3. High Fire Severity
Kurang dari 20% pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya
rusak terutama akibat mati akar. Kurang dari 40% pohon yang rusak dapat
bertahan hidup.

2.5. Forest Health Monitoring (FHM)


Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI N0.
41 tahun 1999 tentang kehutanan). Menurut Nuhamara et al., (2001) dalam
Nuhamara (2004), hutan sehat adalah hutan yang dapat mengemban fungsinya
secara optimal, sekurang-kurangnya sesuai dengan fungsi hutan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya hutan sakit adalah hutan yang tidak dapat
memenuhi fungsinya secara optimal sesuai dengan tataguna hutan yang telah
ditetapkan.
Parameter yang dapat digunakan dalam pengukuran kesehatan hutan
adalah luasan total hutan, luas tiap bagian hutan, laju pertumbuhan pohon dan
tanaman lainnya, jumlah pohon yang mati alami setiap tahunnya, kondisi dan
diversitas tanaman di bawah lapisan kanopi hutan, dan jumlah spesies hewan yang
didukung oleh ekosistem. Parameter pengukuran lainnya melibatkan transparansi
tajuk, persentase mati pucuk pada tajuk pohon dan kerapatan tajuk (MDNR-FS,
12

2002 dalam Putra, 2004). Untuk mengelola hutan secara lestari maka hutan harus
memenuhi salah satu kriteria yakni bahwa hutan tersebut harus sehat.
Indikator kriteria hutan sehat menurut Nuhamara (2004), yaitu:
1. Kondisi hutan dan pertumbuhan pohon, parameternya antara lain : tinggi
pohon, diameter pohon, luas bidang dasar, volume.
2. Kondisi pohon, parameternya antara lain: diameter pohon, rasio tajuk
hidup, transparansi daun, kerapatan tajuk, dieback tajuk.
3. Kerusakan pohon, parameternya antara lain: lokasi, tipe kerusakan, nilai
ambang keparahan.
4. Struktur vegetasi, parameternya antara lain : identifikasi jenis jamur, status
tumbuhan, jumlah penutupan kanopi, kondisi tanah dan sebagainya.
5. Kondisi tanah dan sebagainya.
Informasi tentang sehat atau tidaknya kondisi hutan sangat diperlukan
sebagai dasar yang kuat dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Forest Health
Monitoring (FHM) merupakan salah satu metode yang diterapkan di Indonesia
untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi hutan secara kontinyu.
FHM atau pemantauan kesehatan hutan dikembangkan dengan kegiatannya
meliputi pengembangan program, pengelolaan program, pelatihan, pembangunan
plot, pengumpulan data dan analisis pelaporan penaksiran serta pengembangan
indikator (Nuhamara, 2004).
Menurut Supriyanto et al., (2001) dalam kajian penerapan metode FHM di
Indonesia berhasil memperoleh 4 indikator ekologis kunci bagi kesehatan hutan
hujan tropika Indonesia, yakni pertumbuhan pohon, mortalitas dan regenerasi
(produktivitas) keragaman tipe pohon dan ketersebaran (biodiversitas), kondisi
tajuk dan kondisi kerusakan (vitalitas) dan sifat-sifat kimia tanah (kualitas tapak).
Kondisi kesehatan hutan didasarkan pada penilaian pada indikator-
indikator terukur yang dapat menggambarkan kondisi tegakan secara
komprehensip. Indikator tersebut adalah pertumbuhan, kondisi tajuk, kerusakan
dan mortalitas, indikator biologis tingkat polusi udara, kimia tanaman, kondisi
perakaran, tingkat radiasi yang digunakan dalam fotosintesis, struktur vegetasi,
habitat hidup liar, dan lichen (Cliene, 1995 dalam Putra, 2004). Indikator struktur
13

vegetasi memberi informasi tentang komposisi jenis, jumlah penutupan selektif,


penyebaran dalam ruang tumbuh (Nuhamara, 2004).
Sistem FHM ditujukan untuk mengevaluasi kesehatan hutan sehingga
dapat memberikan informasi kepada pemilik lahan tentang status hutan secara
ekologis, perubahan yang sedang terjadi, agen yang menyebabkan perubahan,
apakah perubahannya menandai adanya suatu kecenderungan, hasil yang
diharapkan jika kecenderungan itu selalu berlanjut dan efek keputusan menejemen
yang berakibat pada kondisi-kondisi yang ada. Informasi ini didapat lewat
implementasi dari hutan secara berkala dengan monitoring kondisi ekosistem
(Supriyanto et al., 2003).
Identifikasi gejala dan penyebab kerusakan akan memberikan informasi
yang sangat penting terkait dengan kondisi hutan. Indikator kerusakan akan
berperan sebagai peringatan awal dan menyediakan informasi akan kelestarian,
resiliensi, produktivitas dan estitika. Metode FHM hanya merekam kategori
kerusakan yang dapat menyebabkan kematian pohon atau mengurangi ketahanan
hidup pohon dalam jangka panjang. Metode FHM menyediakan ambang
minimum dan kelas keparahan bagi kategori kerusakan tersebut. Pendekatan
kuantitatif akan dapat memberikan perkiraan indikator kerusakan terhadap
kesehatan pohon, kemungkinan penyebab kematian dan pengaruhnya terhadap
indikator lainnya seperti kondisi tajuk dan pertumbuhan pohon. (Cline, 1995
dalam Putra, 2004).
14

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa
Tengah pada areal bekas kebakaran tahun 2005 pada petak 87a (KU V), petak 38a
(KU I) dan tahun 2006 pada petak 43a (KU V), serta petak 43b (KU I). Waktu
Penelitian mulai bulan Juni sampai dengan Juli 2007.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian


Objek yang diteliti adalah vegetasi tegakan hutan tanaman Jati (Tectona
grandis) bekas kebakaran tahun 2005 dan 2006, kelas umur I dan kelas umur V.
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tali rapia, kompas,
kertas label, meteran, pita ukur, golok, parang, pisau, tally sheet, penggaris, alat
tulis, dan kamera.

3.3. Metode Penelitian


3.3.1. Penetapan Plot
Penentuan petak pengamatan dalam Forest Healt Monitoring (FHM)
dilakukan dengan membuat desain plot sampling. desain plot yang digunakan
dalam INDO-FHM disebut desain Cluster Plot. Pada setiap klaster plot terdiri dari
4 annular plot dengan jari-jari 17,95 m di dalamnya terdapat subplot dengan jari-
jari 7,32 m dan di dalam subplot dibuat mikroplot dengan jari-jari 2,07 m. Titik
pusat pada subplot 1 merupakan titik pusat bagi keseluruhan plot. Titik pusat
subplot 2 terletak pada arah 360° dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m.
Titik pusat subplot 3 terletak pada arah 120° dari titik pusat subplot 1 dengan
jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 4 terdapat pada arah 240° dari pusat subplot 1
dengan jarak 36,6 m. luasan dalam 1 buah klaster plot adalah 4048,93 m2, masing-
masing annular plot mempunyai luas 0,1 Ha. Sedangkan luasan hutan yang
diwakili oleh satu klaster plot adalah 1 Ha. Untuk areal hutan tanaman subplot
dengan mikroplot tidak dipergunakan karena tidak terdapat permudaan. Gambar
bentuk klaster FHM dapat dilihat pada Gambar 2.
15

Azimuth 1-2 3600


Azimuth 1-3 1200
Azimuth 1-4 2400

Annular Plot
Subplot (Jari-jari 58.9’
(Jari-jari 24.0’ 2
(17.95 m))
(7.32 m))

Jarak antara tiap titik pusat


plot : 120’ (36.6 m)

4 3
Microplot
(Jari-jari 6.8’ (2.07 m)
azimuth 900 dari titik pusat
subplot (3.66 m))

Gambar 2 Bentuk klaster FHM (USDA-FS, 1995)

3.3.2. Pengambilan Data Vegetasi


Penilaian kerusakan pohon dilakukan dengan cara pengamatan pada pohon
yang terdapat di dalam annular-plot. Data yang diambil meliputi data lokasi pohon
terdiri dari identitas pohon (nama jenis dan nomor identitas, posisi pohon
(azimuth dan jarak horizontal, diameter pohon (DBH) dengan tinggi 1,3 m dari
permukaan tanah), vegetasi yang diukur adalah semua tanaman Jati pada areal
yang terbakar tahun 2005 dan tahun 2006 Kelas Umur V dan permudaan Kelas
Umur I. Adapun alasan pengambilan data dilakukan pada KU I yaitu sebagai
permudaan yang rentan terhadap kebakaran, sedangkan KU V sebagai tegakan
yang tua.
Untuk pengambilan data tumbuhan bawah dilakukan pada microplot
dengan metode kuadran. Pada setiap annular plot terdapat tiga kuadran, berada
pada posisi azimuth 30°, 150° dan 270° dari titik pusat subplot. Tiap kuadran
16

berukuran 1 m x 1 m, dengan jarak dari titik pusat sebesar 4,57 m dari titik pusat
subplot. Data yang diambil meliputi, nama jenis, nama latin, jumlah individu.
Bentuk layout kuadran dapat dilihat pada Gambar 3.
30º
1m x 1m
270°

150º
Gambar 3 Layout kuadran untuk tumbuhan bawah (USDA-FS, 1995)

3.3.3. Penilaian Kerusakan Pohon


Kerusakan pohon ini dapat dilihat dari beberapa bagian seperti akar,
batang mahkota utama, cabang, daun-daunan, pucuk dan tunas. Kriteria penilaian
kerusakan didasarkan pada metode FHM (Forest Health Monitoring) yaitu
kerusakan pohon terdiri dari tiga sistem kode berurutan yang menggambarkan
lokasi terjadinya kerusakan, jenis kerusakan, dan tingkat keparahan yang
ditimbulkan pada pohon.
Dampak kerusakan dari suatu kejadian terhadap kesehatan pohon akan
semakin rendah, hal ini diindikasikan dengan makin besarnya nomor kode.
Kerusakan pada pohon dapat dinilai berdasarkan kode lokasi. Pencatatan
kerusakan pada pohon dilakukan maksimum 3 kerusakan, dimulai dari lokasi
kode terendah. Jika suatu pohon memiliki lebih dari 3 kerusakan yang memenuhi
nilai ambang keparahan, kerusakan yang dicatat dimulai dari bagian akar dan
pertama ditemui. Lokasi kerusakan pada pohon dapat dilihat pada Gambar 4.
17

Dedaunan

Pucuk & tunas

Cabang

Batang Tajuk

Bagian atas batang

Bagian Bawah &


Bagian Atas
Batang
Batang bagian
bawah
Bagian
Akar & Batang Akar & Bawah
Bagian Bawah Akar terbuka & Batang &
tunggak Bagian Bagian
Bawah Atas
Batang

Gambar 4 Lokasi Kerusakan Pohon (USDA-FS, 1995)

Untuk deskripsi kode kerusakan dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1 Deskripsi kode lokasi kerusakan

Kode Uraian
0 Tidak ada kerusakan
1 Akar terbuka dan tunggang ”stump” (12 inci atau 30 cm dari landasan
pengukur
2 Akar dan batang bagian bawah
3 Batang bagian bawah (setengah bagian bawah dari batang antara
tunggak dan dasar tajuk
4 Bagian bawah dan atas batang
5 Bagian atas batang (setengah bagian atas dari batang antara tunggak
dan dasar tajuk hidup
6 Batang tajuk (batang uatama dalam daerah tajuk hidup diatas dasar
tajuk hidup)
7 Cabang (lebih besar 2,54 cm pada titik percabangan terhadap batang
utama atau batang tajuk di dalam daerah tajuk hidup)
8 Pucuk dan tunas (pertum buhan tahun-tahun terakhir
9 Daun
Sumber: USDA-FS, 1995
18

Adapun untuk kode kerusakan, ambang batas untuk tipe kerusakan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Deskripsi kode tipe/jenis kerusakan
Ambang Batas (di dalam 10%
Kode Tipe kerusakan
kelas ke 99%)
01 Kanker ≥ 20%
02 Konk, tubuh buah (badan buah), dan Sama sekali tidak ada (nihil),
indikator lain tentang lapuk lanjut kecuali ≥ 20% pada akar > 3 kaki
(0,91 m) dari batang
03 Luka terbuka ≥ 20%
04 Resinosis/gumosis ≥ 20%
11 Batang atau akar patah < 3 kaki (0,91 Sama sekali tidak ada (nihil)
m) dari batang
12 Broom pada akar atau batang Sama sekali tidak ada (nihil)
13 Akar patah atau mati > 3 kaki (0,91 m) ≥ 20% tentang akar
dari batang
21 Hilangnya ujung dominan, mati ujung ≥ 1% tentang mahkota bersumber
22 Cabang patah atau mati ≥ 20% tentang cabang atau tunas
23 Percabangan atau broom yang ≥ 20% tentang sapu atau cabang
berlebihan
24 Daun, pucuk atau tunas rusak ≥ 30% tentang daun-daunan
25 Daun berubah warna (tidak hijau) ≥ 30% tentang daun-daunan
31 Lain-lain
Sumber: USDA-FS, 1995

Untuk kode kerusakan dan kelas keparahan kerusakan dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Kode dan kelas keparahan kerusakan
Kelas Kode
01-19 1
20-29 2
30-39 3
40-49 4
50-59 5
60-69 6
70-79 7
80-89 8
90-99 9
Sumber: USDA-FS, 1995
19

3.3.4. Analisis Data


3.3.4.1. Kerusakan Pohon
Hasil dari pengukuran dikumpulkan kemudian dinilai dengan
menggunakan berbagai parameter pada Pedoman Penilaian Areal Bekas Terbakar
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penilaian kerusakan individu pohon

No Parameter Kondisi Nilai Bobot


.
1. Kematian Pohon mati 1 6
pohon
Pohon hidup 0
2. Kerusakan
batang
a. Bagian terbakar Batang bagian bawah dan bagian atas 2 1
terbakar
Batang bagian bawah terbakar 1
Batang tidak terbakar 0
b. Jenis kerusakan Hangus dan luka 3 1
Hangus terbakar 2
Luka 1
Tidak hangus dan tidak luka 0
3. Kerusakan 75 %-100 % tajuk terbakar 3 2
tajuk
50 %- < 75 % tajuk terbakar 2
25 % - < 50 % tajuk terbakar 1
< 25 % tajuk terbakar 0
4. Kerusakan Patah dan terbakar 3 2
cabang
Terbakar 2
Patah 1
Tidak patah dan tidak terbakar 0
5. Kerusakan 75 %-100 % dedaunan terbakar 3 2
dedaunan
50 %- < 75 % dedaunan terbakar 2
25 % - < 50 % dedaunan terbakar 1
< 25 % dedaunan terbakar 0
6. Kerusakan akar Mengalami luka dan terbakar 3 2
Terbakar 2
Luka 1
Tidak luka dan tidak terbakar 0
Sumber : Syaufina et al., 2006
20

Penilaian keragaman jenis pohon hanya berlaku untuk penilaian di areal


hutan alam yang terbakar, sedangkan penilaian di hutan tanaman yang terbakar
tidak mempertimbangkan keragaman jenis pohon, karena tegakan bersifat
homogen. Adapun tingkat keparahan kerusakan dapat digolongkan dalam
berbagai kelas keparahan, disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Penilaian tingkat keparahan vegetasi

No. Tingkat Kondisi Nilai Bobot


keparahan
1. Rendah Sekurang-kurangnya 50 % pohon tidak
terlihat rusak, sisa tajuk hangus, pucuk
terbakar tapi bertunas, dan akar mati.
Lebih dari 80 % pohon yang terbakar 1
dapat bertahan hidup.

2. Sedang 20-50 % pohon tidak terlihat rusak, 40-


5
80 % pohon yang terbakar dapat
2
bertahan hidup.

3. Tinggi Kurang dari 20 % pohon tidak terlihat


rusak dan akar mati. Kurang dari 40 %
pohon yang terbakar dapat bertahan. 3

Sumber : DeBano et al., 1998

3.3.4.2. Penilaian Kerusakan Tumbuhan Bawah


Untuk menilai kerusakan tumbuhan bawah dilakukan analisis untuk
mengetahui Indeks Kekayaan Jenis (DMg), Indeks Keragaman Jenis (H’) dan
Indeks Kemerataan (E) pada areal yang terbakar tahun 2005 dan tahun 2006,
Kelas Umur I dan Kelas Umur V. Analisis tersebut menggunakan rumus-rumus
sebagai berikut:
1. Nilai Kekayaan Jenis
Indeks Kekayaan Jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman
jenis berdasarkan jumlah jenis pada satu macam penutupan lahan. Indeks yang
digunakan adalah Indeks Kekayaan Jenis Margallef (DMg) (Magurran, 1988)
yaitu:
DMg = (S – 1) / ln N
21

Keterangan :
DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margallef
S = Jumlah jenis yang ditemukan
N = Jumlah individu seluruh jenis (komunitas)
2. Nilai Kelimpahan Jenis
Indeks Shannon-Weiner digunakan untuk mengetahui keanekaragaman
jenis berdasarkan kelimpahan individu jenis, yaitu :
H’ = -Σ[(ni/N) ln(ni/N)]
Keterangan :
H’ = Indeks Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
Jumlah individu ke-i diperoleh dengan memperhiyungkan nilai frekuensi
kemunculan jenis tersbut dari seluruh petak pengamatan di setiap macam tegakan
atau penutupan lahan
ni = Frekuensi x Jumlah individu yang ditetapkan
F = Jumlah petak ditemukan jenis ke-i
Jumlah seluruh petak pengamatan
Nilai H’ < 1,5 menunjukan kelimpahan rendah, nilai H’ 1,5-3,5
menunjukan kelimpahan sedang dan nilai H’ > 3,5 menunjukan kelimpahan tinggi
(Magurran, 1988).
3. Indeks Kemerataan Jenis
Indeks ini menunjukan derajat kemerataan kelimpahan individu antar
jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness.
E = H’/ ln S
Keterangan :
E = Indeks Kemerataan Jenis
H’ = Indeks Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis
Nilai berkisar 0-1, jika nilai E = 1 maka berarti seluruh jenis ada dengan
kelimpahan yang sama.
22

Hasil analisis keragaman, kekayaan dan kemerataan jenis tumbuhan bawah


dalam suatu penutupan lahan dapat dinilai berdasarkan parameter pada Tabel 6.
Tabel 6 Penilaian keanekaragaman vegetasi

No. Parameter Kondisi Nilai Bobot


1. Keanekaragaman
jenis pohon
a. Perubahan Terjadi penurunan jumlah jenis 2 2
komposisi jenis pohon komersial
Tidak terjadi perubahan jumlah jenis 1
pohon komersial
Terjadi peningkatan jumlah jenis 0
pohon komersial
b. Indeks < 1.5 2 1
Keanekaragaman
jenis
1.5 – 3.5 1
> 3.5 0
c. Indeks 0 2 1
kemerataan Jenis
>0-<1 1
1 0
d. Indeks kesamaan 0 2 2
< 75 % 1
> 75 % 0
2. Keanekaragaman
jenis tumbuhan
bawah
a. Perubahan Terjadi penurunan jumlah jenis 2 2
komposisi jenis
Tidak terjadi perubahan jumlah jenis 1
Terjadi peningkatan jumlah jenis 0
b. Indeks < 1.5 2 0.5
Keanekaragaman
jenis
1.5 – 3.5 1
> 3.5 0
c. Indeks 0 2 0.5
kemerataan Jenis
>0-<1 1
1 0
d. Indeks kesamaan 0 2 1
< 75 % 1
> 75 % 0
Sumber : Syaufina et al. 2006
23

Tingkat keparahan kerusakan vegetasi akibat kebakaran dinilai dengan


melihat keseluruhan kondisi vegetasi di areal yang terbakar, didasarkan pada
kriteria DeBano et al. (1998)
Berdasarkan indikator-indikator dan parameter-parameter di atas, penilaian
terhadap areal kebakaran dapat dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian
nilai parameter dengan bobot parameter. Tingkat keparahan dampak kebakaran
kemudian ditetapkan berdasarkan nilai total dari seluruh parameter seperti
tercantum dalam Tabel 7.
Tabel 7 Sistem skoring penilaian areal bekas terbakar
Tingkat keparahan dampak Nilai Total
kebakaran
Sangat ringan 0 – 20
Ringan > 20 – 40
Sedang > 40 – 60
Berat > 60 – 80
Sangat berat > 80 - 100
Sumber : Syaufina et al., 2006

3.3.5. Pengumpulan Data Sekunder


Data sekunder yang dikumpulkan adalah informasi mengenai areal dan
ruang lingkup hutan itu, meliputi keadaan umum lokasi, dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan lokasi penelitian seperti informasi cuaca dan iklim, kejadian
kebakaran hutan dan penyebab kerusakan hutan lainnya.
24

BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Luas


Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Tanggal 16
Juni 1952 No. 73/Um/52, ditetapkan bahwa secara administratif wilayah KPH
Cepu meliputi Kabupaten Blora dan Kebupaten Bojonegoro. Surat keputusan
Menteri Pertanian tersebut dikeluarkan sebagai pengganti ketetapan yang dimuat
dalam keputusan “Wd Directeur Van Landbow, Nijvereid en Handel” tanggal 31
Desember 1928 No. 13250/Dep (Byllaad No. 11850) mengenai pembagian daerah
hutan untuk Jawa dan Madura. Perum perhutani KPH Cepu mempunyai luas
kawasan 33.047,3 Ha, yang terdiri atas Kabupaten Blora 27.098,2 Ha dan
Kabupaten Bjonegoro 5.949,1 Ha.
Batas-batas wilayah Perum Perhutani KPH Cepu sebelah Utara berbatasan
dengan KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sebelah Timur
berbatasan dengan KPH Parengan Perum Perhutani Unti II Jawa Timur. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Bengawan Solo, sedangkan sebelah Barat berbatasan
dengan KPH Randublatung Perum Perhutani Unti I Jawa Tengah. Bagian Utara
kawasan hutan Cepu terletak pada pegunungan Kendeng, dibagian Barat termasuk
ke dalam DAS Lusi, sedangakn di bagian Selatan merupakan kawasan penyangga
aliran sungai Bengawan Solo.

4.2. Topografi
Keadaan topografi bervariasi sebagian besar berkonfigurasi datar sampai
bergelombang, dan sebagian kecil berbukit serta disela-selanya terdapat mata air,
yang sangat bermanfaat bagi penduduk sekitarnya, antara lain :
1) Sumber air Kedungpupur petak 74 dan petak 75 BKPH Ledok.
2) Sumber air di petak 93, 94 RPH Blungun dan 95 RPH Ngodo BKPH
Blungun.
3) Sumber air Sendang Jambe petak 78 RPH Nglobo BKPH Nglobo.
4) Sumber air Banyu Urip petak 42 RPH Pasarsore.
25

4.3. Jenis Tanah


Kawasan hutan KPH Cepu sebagian besar berbatu (kapur) dengan jenis
tanah di wilayah hutan pada umumnya terdiri atas 4 jenis, yaitu Litosol,
Grumosol, Mediteran dan Aluvial.
Sebagian besar berupa tanah Grumosol kelabu tua dan asosiasi Grumnosol
coklat keabuan serta kelabu kekuningan.

4.4. Iklim
Iklim wilayah hutan KPH Cepu dan sekitarnya beriklim tropis yang
ditandai oleh adanya musim hujan yang bergantian sepanjang tahun. KPH Cepu
terletak pada ketinggian 30-250 mdpl, beriklim tipe C dan D menurut Schmidt
dan Ferguson. Lingkungan dengan tipe iklim ini sangat cocok untuk ditanami
tegakan jenis Jati (Tectona grandis). Temperatur rata-rata yaitu 26ºC dan curah
hujan rata-rata sebesar 1.636 mm/tahun.

4.5. Sosial Ekonomi Masyarakat


Keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah kerja KPH Cepu,
baik yang masuk daerah Kabupaten Blora maupun Bojonegoro secara umum
masih bersifat marjinal, dinamikanya relatif lamban dan masih sulit menerima hal-
hal yang baru. Ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya masih tinggi
serta interaksi dengan kawasan hutan cukup tinggi.
Lahan pertanian berupa sawah dan tegalan yang ada disekitar wilayah
kerja KHP Cepu luasnya sangat terbatas di bandingkan dengan jumlah penduduk,
dan dengan jumlah penduduk ada kelompok umur produktif yang cukup tinggi,
serta lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas, sangat berdampak kepada
konfigurasi interaksi masyarakat dengan hutannya. Interaksi negatif sering
muncul, yang pada akhir-akhir ini sangat dirasakan dampaknya dan merupakan
ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan. Salah satu terapi yang
dikembangkan adalah pengelolaan hutan melalui pola kemitraan dan bagi hasil
yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
26

4.6. Pembagian Wilayah Hutan


Guna kepentingan kegiatan perencanaan, wilayah hutan KPH Cepu di
kelompokkan ke dalam 7 bagian hutan (BH) yaitu :
1) BH Panyaman : 3.376,3 Ha
2) BH Cabak : 4.506,8 Ha
3) BH Nanas : 4.979,7 Ha
4) BH Ledok : 4.435,3 Ha
5) BH Kedewa : 5.949,1 Ha
6) BH Kedinding : 5.007,2 Ha
7) BH Blungun : 4.792,9 Ha
27

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kejadian Kebakaran Hutan


5.1.1. Luas dan Frekuensi Kebakaran di KPH Cepu
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang menyebabkan
kerusakan terhadap ekosistem hutan. Pada hutan tanaman kejadian kebakaran
hutan yang merusak vegetasi dianggap sangat merugikan karena tegakan yang
bernilai produksi tinggi akan mengalami kerusakan.
KPH Cepu merupakan salah satu hutan tanaman yang didominasi oleh
jenis Jati (Tectona grandis), mengalami kejadian kebakaran hutan setiap tahun.
Berdasarkan data kebakaran hutan tahun 1996-2006 dapat dilihat pada Gambar 5.

1.400,00
1.158,52
1.200,00
Luas areal terbakar

1.000,00 867,20
765,82
800,00
527,65
600,00 516,60
409,66 347,00 399,55
400,00 276,40
114,10
200,00

0,00
1996 1997 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun kejadian kebakaran hutan

Gambar 5 Kejadian kebakaran di KPH Cepu periode 1996-2006

Kejadian kebakaran paling besar terjadi sekitar tahun 1997 yaitu seluas
1.158,52 Ha. Hal ini terjadi karena secara umum pada tahun tersebut Negara
Indonesia mengalami musim kemarau yang berkepanjangan, tingkat kekeringan
tinggi dan menyebabkan kadar air bahan bakar menurun sehingga berpotensi
untuk mudah terbakar apabila ada aktivitas penyulutan api, pengaruh angin pada
musim kemarau akan mempercepat penjalaran nyala api maka luasan kebakaran
menjadi sangat besar dan sulit dikendalikan.
28

Sedangkan luasan kebakaran paling kecil terjadi pada tahun 2005 yaitu
seluas 114,10 Ha. Pada tahun ini tidak terjadi musim kemarau yang tidak terlalu
panjang dan curah hujan cukup tinggi seperti di BKPH Cabak (KPH Cepu) yang
mencapai 163,75 mm/bulan, serta telah dilakukan pelatihan pengendalian
kebakaran pada tahun sebelumnya.
Data kebakaran tahun 1999 hanya terdapat pada 1 BKPH sehingga tidak
dapat mewakili kondisi kebakaran di lapangan, hal ini berkaitan dengan kondisi
sosial politik yang terjadi di wilayah Cepu.
Kebakaran hutan di KPH Cepu terjadi setiap tahun dengan sebaran
wilayah BKPH yang berbeda, tidak setiap tahun seluruh BKPH mengalami
kebakaran. Rata-rata luas areal hutan yang terbakar tiap BKPH dapat dilihat pada
Gambar 6.
70,00
Rata-rata Luas Areal Terbakar

62,70
58,16
60,00 55,13
49,40 49,63
50,00 43,92
39,64 40,33
40,00
(Ha)

32,57
30,00
18,73 20,82
18,28
20,00

10,00

0,00
o

k
ak

n
r

un

g
an
g

as

e
an
bu

ob

do

la

un
un

r
ab

so
ng
an

ar

di
ew
le

gl

Le

c
ad

ar
k
C

n
u

Pu
Ng

N
Se
d

Ke
Bl
og

s
Ke

Pa
on

BKPH
W

Gambar 6 Rata-rata luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode
1996-2006

Berdasarkan data, BKPH yang mengalami kebakaran paling luas yaitu


BKPH Cabak dengan luas 62,70 Ha. Sedangkan BKPH yang mengalami
kabakaran paling kecil yaitu BKPH Blungun dengan luasan 18,28 Ha.
Adapun frekuensi kejadian kebakaran hutan tiap BKPH dalam periode
1996-2006 dapat dilihat pada Gambar 7.
29

12

Jumlah tahun kebakaran


10 10 10
10 9 9 9
8 8
8 7 7
6 6
6

0
ng

n
un

re
an

g
ur

k
ak

an
as

la
ob

un
do
du

eb

so
ng
ab

ar
ew
an

di
Le

uc
gl
ga

ar
ek
gl

en
lu
C

N
ed

P
N

as
B
no

K
K

P
o
W

BKPH

Gambar 7 Frekuensi kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode


1996-2006

Berdasarkan frekuensi kejadian kebakaran pada periode 1996-2006,


BKPH yang sering mengalami kejadian kebakaran hutan yaitu BKPH Kedewan,
BKPH Pasarsore dan BKPH Kendilan yaitu sebanyak 10 kali kejadian pada
periode 1996-2006. Sedangkan BKPH Cabak mengalami kejadian kebakaran
hutan pada periode tersebut sebanyak 6 kali kejadian.

5.1.2. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di KPH Cepu


Pada musim kemarau yang cukup panjang gangguan kebakaran hutan yang
disebabkan karena aktivitas manusia merupakan masalah yang tidak mudah
dipecahkan. Di KPH Cepu diketahui bahwa penyebab dari kebakaran hutan yaitu
aktivitas manusia baik yang disengaja untuk mengalihkan perhatian petugas pada
waktu mencuri kayu, penyiapan lahan pertanian pada kawasan hutan,
pengembalaan liar atau ketidak sengajaan orang yang masuk hutan dan
menyalakan api kemudian ditinggalkan. Selain adanya sumber api yang berasal
dari aktivitas manusia kebakaran hutan ini juga didukung oleh beberapa faktor
seperti kondisi iklim dan ketersediaan bahan bakar.
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson KPH Cepu
termasuk ke dalam tipe iklim C dan D yaitu daerah kering dengan temperatur rata-
rata yaitu 26ºC. Curah hujan rata-rata berkisar sekitar 1.551 mm/tahun. Kejadian
kebakaran hutan di KPH Cepu ini biasa terjadi pada bulan Juni hingga September,
bulan-bulan ini merupakan bulan kering dengan rata-rata curah hujan sebesar
30

27 mm/bulan. Rata-rata curah hujan tertinggi jatuh antara bulan Desember sampai
awal April rata-rata sebesar 219 mm/bulan, bulan ini tergolong bulan basah.
Adapun data distribusi curah hujan dan hari hujan kecamatan Cabak (KPH
Cepu) tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Gambar 8.

300 16
259
14 234 14
250 13
Rata-rata Curah Hujan

Rata-rata Hari Hujan


11 12
200 223 206
173 10
149
150 8 10 8
111 89 6 6
100 CH 6
74 1 4
50 HH 4 1 4
16 7 2
0 11
0 0
Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Bulan

Gambar 8 Curah hujan rata-rata Kecamatan Cabak Kabupaten Blora periode


2003-2007

Faktor cuaca merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran


hutan baik langsung maupun tidak langsung ditinjau dari aspek temperatur dan
kelembaban udara, serta arah dan kecepatan tiupan angin. Menurut Chandler et al.
(1983), faktor cuaca dan iklim yang mempengaruhi kebakaran hutan yaitu masa
dan gelombang udara, temperatur udara, kelembaban atmosfer, awan dan hujan,
angin, petir dan stabilitas atmosfer.
Besar kecilnya curah hujan di suatu lingkungan akan mempengaruhi
kadar air bahan bakar. Curah hujan yang tinggi mengkondisikan lingkungan
menjadi lembab. Sebaliknya curah hujan yang rendah akan menyebabkan udara
kering dan menyerap uap air dari bahan bakar, yang pada akhirnya menentukan
mudah tidaknya bahan bakar tersebut untuk terbakar. Apabila kadar air bahan
bakar rendah maka akan berpotensi besar untuk terjadi kebakaran, karena pada
bahan bakar yang kering api mudah menyala.
Bahan bakar di tegakan Jati KPH Cepu pada musim kemarau seperti
serasah dedaunan, tumbuhan bawah dan ranting-ranting yang kering sangat
melimpah jumlahnya, dapat dilihat pada Gambar 9.
31

Gambar 9 Serasah dan tumbuhan bawah

Didukung dengan temperatur udara yang panas dan hembusan angin di


musim kemarau maka bahan bakar tersebut akan berpotensi tinggi untuk terbakar
apabila ada aktivitas penyulutan api. Meskipun areal topografi KPH Cepu relatif
datar tetapi kebakaran sulit dikendalikan seperti pada peristiwa kebakaran tahun
1997 yang mencapai luas 1.158,52 Ha, hal ini karena bahan bakar pada lantai
hutan tersedia cukup melimpah dan sangat mudah terbakar.
Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas bahan
bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat. Iklim mikro
dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro akan
berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran di suatu daerah, sebab iklim mikro
yang meliputi angin, suhu, kelembaban udara akan menentukan mudah tidaknya
kejadian kebakaran hutan (Yunus, 2005).
KPH Cepu merupakan areal hutan tanaman yang bersifat homogen,
kerapatan tanaman diatur sedemikian rupa supaya menghasilkan kualitas kayu
yang lebih baik dan sejumlah jenis tumbuhan bawah tertentu yang dapat tumbuh
sesuai dengan keadaan lingkungan, berbeda dengan kondisi hutan alam yang
memiliki karagaman jenis tanaman lebih banyak dan tumbuh secara bebas,
sehingga kerapatan dan jumlah jenis lebih tinggi. Kondisi seperti ini akan
mempengaruhi iklim mikro suatu areal hutan, diantaranya suhu lingkungan lebih
tinggi dan kelembaban udara lebih rendah pada hutan tanaman dibanding dengan
areal hutan alam. Dengan demikian kejadian kebakaran hutan lebih sering terjadi
pada hutan tanaman dibandingkan pada hutan alam serta didukung juga oleh
aksesibilitas yang lebih tinggi pada hutan tanaman dibanding hutan alam.
32

Berdasarkan pengamatan di lapangan tipe kebakaran yang sering terjadi di


hutan Jati KPH Cepu tergolong Surface Fire (kebakaran permukaan) yang
ditandai dengan terbakarnya serasah dan tumbuhan bawah pada lantai hutan, abu
yang dihasilkan berwarna hitam, tinggi hangus pada batang pohon Jati berkisar
antara 0,5-3 meter, dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pohon Jati (Tectona grandis) terbakar KU I dan KU V

Brown dan Davis (1973), menyatakan bahwa kebakaran permukaan yaitu


sumber api yang membakar serasah permukaan, daun dan ranting jatuh, dan bahan
bakar lain di permukaan hutan serta vegetasi rendah lainnya. Proses pembakaran
permukaan ini umumnya merupakan awal terjadinya kebakaran yang lebih luas,
baik kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk.
Demikian juga kebakaran yang terjadi di KPH Cepu pada musim kemarau
bisa terjadi lebih hebat apabila tidak segera dilakukan penanganan. Adanya sekat
bakar yang berupa tanaman pagar seperti Secang (Caesalpinia sappan), Kesambi
dan jalur antar petak kurang begitu berpengaruh. Karena ketersediaan bahan bakar
sangat melimpah yang hampir menutupi lantai hutan, adanya aktivitas penyulutan
api secara bebas serta kondisi iklim musim kemarau yang sangat mendukung.

5.2. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi


Pengaruh api terhadap pohon menurut Davis (1959) bahwa kebakaran
hutan yang berlangsung lama dan intensif dapat mengakibatkan kematian bagi
pohon-pohon hutan. Pengetahuan tentang perbedaan sifat antara berbagai jenis
33

pohon terutama tingkat kepekaannya terhadap api adalah penting sehubungan


dengan kegiatan-kegiatan pembakaran yang kini banyak dilakukan.
Dampak kebakaran hutan lainnya yaitu kerusakan atau kematian anakan
pohon dan semai yang ada di hutan karena suhu yang tinggi serta penurunan
produktivitas hutan yang disebabkan banyaknya kayu yang terbakar sehingga
secara ekonomis nilainya menurun.
Selain dampak kebakaran yang merusak ada juga jenis-jenis tertentu yang
dapat bertahan keberadaannya bergantung terhadap kejadian kebakaran. Hal ini
ditunjukkan oleh adanya sifat adaptasi vegetasi terhadap api seperti, ketebalan
kulit kayu, tunas yang terlindung, pertunasan yang distimulan api, penyebaran biji
oleh api dan perkecambahan biji yang dibantu oleh api.
Menurut Kerbert dalam Rachmatsjah, (1984) bahwa kebakaran yang
berlangsung berabad-abad dan kontinu di hutan jati ada manfaatnya yaitu karena
bersifat selektif, hanya pohon-pohon yang tahan api saja antara lain tanaman jati
yang dapat hidup terus. Pembakaran di hutan jati dianjurkan, karena dapat
memupuk tanah, membantu pertumbuhan biji jati, mempermudah pengumpulan
biji jati pada areal kebun benih serta memudahkan penyaradan kayu Jati saat
pemenenan.
Sedangkan pengaruh kebakaran hutan jati di Indonesia menurut Cordes
dalam Rachmatsjah, (1984) bahwa kebakaran permukaan tidak akan merusak
pohon-pohon jati, hanya pada pohon yang sudah tua dan berlubang serta pada
tanaman jati muda kerusakan dapat terjadi.
Tanaman Jati memiliki lapisan kulit cukup tebal (1-2 cm), serta struktur
kayu yang padat maka pada tanaman kelas umur tua (KU V ke atas) kebakaran
hutan yang terjadi tidak begitu berpengaruh. Tetapi berbeda dengan kelas umur
muda (KU I) akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya bahkan sampai
terjadi kematian anakkan, hal ini akan sangat merugikan bagi pihak pengelola
hutan. Kondisi demikian menyebabkan kurangnya penanganan apabila terjadi
kebakaran hutan pada KU tua tetapi lebih mengutamakan penanganan pada KU
muda, karena kerusakan yang terjadi dianggap tidak berpengaruh besar. Dari hasil
pengamatan kerusakan yang terjadi pada areal bekas kebakaran tahun 2005 dan
2006 pun relatif ringan karena hanya terdapat kerusakan hangus dan luka pada
34

bagian kuli luar, serta akar sehinga tidak menyebabkan kematian pada pohon.
Tetapi untuk hutan tanaman yang tujuannya produksi hal ini akan menyebabkan
penurunan kualitas kayu dan mengalami kerugian secara ekonomi.
Begitu pula dengan biji jati, memiliki lapisan kulit luar yang keras
sehingga apabila semaikan secara buatan sebelumnya harus diberi perlakuan
seperti di panaskan sampai kulitnya pecah atau direndam menggunakan larutan
tertentu yang akan menstimulan perkecambahan. Oleh karena itu sebagian orang
menganggap dengan cara pembakaran merupakan solusi yang murah dan singkat
untuk menumbuhkan permudaan baru, tanpa mempertimbangkan kerugian lain.
Untuk mengetahui nilai besar atau kecilnya kerusakan akibat kebakaran
hutan terhadap vegetasi diperlukan indikator dan parameter yang menggambarkan
kondisi kerusakan. Nilai kerusakan ini merupakan informasi penting untuk
menggambarkan kondisi kesehatan hutan yang akan menentukan kebijakan
pengelolaan hutan selanjutnya supaya kelestarian tercapai.
Kriteria kondisi vegetasi memiliki tiga indikator, yaitu kerusakan pohon,
tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi (Syaufina et al., 2006).
Indikator kerusakan pohon terdiri dari beberapa parameter, yaitu kematian pohon,
kerusakan batang, kerusakan tajuk, kerusakan cabang, kerusakan daun dan
kerusakan akar.
Dari parameter tersebut untuk menilai kondisi vegetasi tegakan Jati akibat
kebakaran hutan di KPH Cepu hanya menggunakan sebagian parameter
diantaranya, kematian pohon, kerusakan batang dan kerusakan akar. Hal ini
disebabkan karena sifat morfologi tanaman Jati yang menggugurkan daunnya di
saat musim kemarau sehingga parameter lain seperti kondisi tajuk dan kerusakan
cabang serta ranting tidak dapat menggambarkan kerusakan akibat kejadian
kebakaran hutan.
Adapun hasil pengamatan kerusakan pohon di areal bekas kebakaran hutan
tahun 2005 dan 2006 RPH Pasarsore dan RPH Cabak, KPH Cepu tegakan Jati
kelas umur muda (KU I) dan kelas umur tua (KU V) dapat dilihat pada Tabel 8.
35

Tabel 8 Kerusakan pohon jati pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan 2006
Jumlah Pohon Rusak
KU Tipe Kerusakan Tahun Tahun
2005 2006
1. Kerusakan batang
a. Bagian terbakar
*Batang bagian bawah dan bagian atas terbakar 6 107
*Batang bagian bawah terbakar 78 45
*Batang tidak terbakar 424 122
b. Jenis kerusakan
*Hangus dan luka 82 147
I *Hangus terbakar 4 5
*Luka
*Tidak hangus dan tidak luka 422 122
2. Kerusakan akar :
*Mengalami luka dan terbakar 51 77
*Terbakar 4 3
*Luka
*Tidak luka dan tidak terbakar 453 194
Jumlah 141 208
2. Kerusakan batang
a. Bagian terbakar
*Batang bagian bawah dan bagian atas terbakar 49 26
*Batang bagian bawah terbakar 1 5
*Batang tidak terbakar 4 8
b. Jenis kerusakan
*Hangus dan luka 50 30
V *Hangus terbakar 1
*Luka
*Tidak hangus dan tidak luka 4 8
1. Kerusakan akar :
*Mengalami luka dan terbakar 43 17
*Terbakar 2
*Luka
*Tidak luka dan tidak terbakar 11 20
Jumlah 54 39

Dari data di atas terlihat bahwa jumlah pohon yang rusak pada KU I akibat
kebakaran hutan tahun 2005 sebanyak 141 pohon, pada areal bekas kebakaran
tahun 2006 sebanyak 208 pohon. Jumlah pohon yang rusak pada KU V akibat
kebakaran tahun 2005 sebanyak 54 pohon serta pada areal bekas kebakaran tahun
2006 sebanyak 39 pohon.
36

Berdasarkan lokasi kerusakan, jumlah pohon yang rusak dapat dilihat pada
Gambar 11.
120 107
100

Jumlah pohon
78
80
60 45 43
40
19
20 6
0
tas h ar
&a wa ak
h n ba k an
wa gi a sa
ba ba k eru
i an t an
g Tahun 2005
ag Ba
ngb
ta Lokasi kerusakan Tahun 2006
Ba

Gambar 11 Kerusakan pohon berdasarkan lokasi kerusakan

Gambar menunjukan kerusakan banyak terjadi pada bagian batang bawah


dan atas, batang bagian atas ini hanya sebagian tidak sampai pada cabang utama..
Pada areal terbakar tahun 2005 pohon yang mengalami kerusakan paling banyak
yaitu pada batang bagian bawah sebanyak 78 pohon dan pada tahun 2006 yaitu
pada batang bagian bawah dan atas sebanyak 107 pohon. Kondisi ini menunjukan
kebakaran yang terjadi merupakan kebakaran permukaan dan pada rentang 2
tahun dari kejadian kebakaran (2005) terlihat telah ada pemulihan kerusakan pada
batang yang hangus dan luka karena terbakar.
Selain pada lokasi kerusakan penilaian juga dilakukan pada tipe/jenis
kerusakan, berdasarkan tipe/jenisnya jumlah pohon yang mengalami kerusakan
dapat dilihat pada Gambar 12.
37

160 147
140

Jumlah pohon
120
100 82 77
80
60 51
40
20 4 5 4 3
0
r ar a
l uka ka Lu
ka kar ak Lu
k
an ba ba e rb
sd s ter t ang
n te r r T
gu gu Ba ad
a
Ak
a
an an
n gH ngH r luk
ta ta Ak
a Tahun 2005
Ba Ba
Tipe/Jenis Kerusakan Tahun 2006

Gambar 12 Kerusakan pohon berdasarkan tipe kerusakan

Dilihat dari gambar tipe kerusakan yang paling umum terjadi yaitu batang
hangus dan luka serta akar luka dan terbakar. Kerusakan yang paling sedikit yaitu
akar terbakar, khususnya akar yang nampak pada permukaan tanah.
Kebakaran hutan dapat menyebabkan kerusakan pada vegetasi secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung kebakaran hutan dapat
menyebabkan kematian, dan luka pada vegetasi, secara tidak langsung yaitu
vegetasi yang rusak akan mudah terserang hama penyakit dalam jangka waktu
tertentu.
Pengukuran dampak kebakaran hutan pada vegetasi di hutan tanaman tidak
hanya dilakukan pada tanaman inti, dilakukan juga penilaian pada tumbuhan
bawah. Analisis pada tumbuhan bawah dilakukan untuk mengetahui keragaman
jenis, kekayaan jenis dan kemerataan jenis tumbuh setelah terjadi kebakaran
hutan tahun 2005 dan 2006. Dari hasil analisis tumbuhan bawah yang ditemukan
di tegakan Jati KPH Cepu setelah kebakaran tahun 2005 dan 2006 dapat dilihat
pada Tabel 9.
38

Dari hasil analisis tumbuhan bawah di tegakan Jati klaster bekas terbakar
tahun 2005 (KU I dan KU V) ditemukan 11 jenis, dan pada klaster bekas
kebakaran tahun 2006 (KU I dan KU V) ditemukan 10 jenis. Jenis paling
dominan pada masing-masing klaster yaitu Rumput lorotan (Centotheca
lappacea) sebanyak 122 individu (klaster 2005) dan Kirinyuh (Chromolaena
odorata) 65 individu (klaster 2006).
Dari perhitungan Indeks Kekayaan Jenis, klaster bekas terbakar tahun
2005 (KU I dan KU V) memiliki nilai sebesar 1,098 dan 1,52 klaster bekas
kebakaran tahun 2006 (KU I dan KU V) memiliki nilai sebesar 1,344 dan 1,410.
Untuk Indeks Keranekaragaman Jenis, klaster bekas terbakar tahun 2005 (KU I
dan KU V) masing-masing sebesar 1,104 dan 1,132 klaster terbakar tahun 2006
(KU I dan KU V) masing-masing sebesar 1,344 dan 1,410. Indeks Kemerataan
Jenis, klaster bekas terbakar tahun 2005 (KU I dan KU V) masing-masing sebesar
0,567 dan 0,544. klaster terbakar tahun 2006 (KU I dan KU V) masing-masing
sebesar 0,47 dan 0,48.

5.3. Penilaian Kerusakan Vegetasi Akibat Kebakaran Hutan


Menurut Supriyanto et al., (2001) dalam kajian penerapan metode FHM di
Indonesia berhasil memperoleh 4 indikator ekologois kunci bagi kesehatan hutan
hujan tropika Indonesia, yakni pertumbuhan pohon, mortalitas dan regenerasi
(produktivitas) keragaman tipe pohon dan ketersebaran (biodiversitas), konsi tajuk
dan kondisi kerusakan (vitalitas) dan sifat-sifat kimia tanah (kualitas tapak).
Untuk mengukur nilai kerusakan yang akan mempengaruhi kesehatan dan
produktivitas hutan maka diperlukan parameter terukur bersifat sederhana, mudah
di peroleh, efisien, efektif dan akurat. Dalam pengukuran kerusakan akibat
kebakaran hutan terhadap vegetasi pada tegakan jati ini menggunakan parameter
dari metode FHM. Berdasarkan indikator-indikator dan parameter-parameter yang
telah terukur, penilaian terhadap areal kebakaran dapat dilakukan dengan
menjumlahkan hasil perkalian nilai parameter dengan bobot parameter.
Kerusakan yang terjadi pada pohon di tegakan Jati KPH Cepu akibat
kebakaran hutan tahun 2005 dan tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 10.
39

Tabel 10 Kerusakan individu pohon


Nilai Rata-rata
Jumlah Pohon Jumlah Nilai
Kerusakan
Rusak Kerusakan Pohon
KU Individu Pohon
Tahun tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2005 2006 2005 2006 2005 2006
I 141 208 666 1184 1,311 4,321
V 54 39 507 259 9,389 6,641

Adapun hasil pembobotan nilai keragaman tumbuhan bawah pada areal


bekas terbakar tahun 2005 dan 2006 masing-masing sebesar 4,5.
Tingkat keparahan vegetasi akibat kebakaran dinilai dengan melihat
keseluruhan kondisi vegetasi di areal yang terbakar, didasarkan pada kriteria
DeBano et al. (1998).
Hasil pembobotan dan pengklasifikasian berdasarkan keparahan kerusakan
tiap KU (I dan V) pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan tahun 2006,
kebakaran yang terjadi menyebabkan kurang dari 50% jumlah pohon tidak terlihat
rusak dan lebih dari 80% pohon terbakar masih dapat bertahan hidup, sehingga
didapat nilai bobot sebesar 5 hal ini menunjukan keparahan kerusakan tergolong
rendah.
Tingkat keparahan dampak kebakaran kemudian ditetapkan berdasarkan
nilai total dari seluruh parameter yaitu penjumlahan antara nilai kerusakan pohon,
nilai bobot klasifikasi keparahan vegetasi dan nilai bobot keragaman tumbuhan
bawah. Dari hasil penjumlahan nilai parameter kerusakan didapatkan nilai sebesar
10,811 dan 18,889 untuk areal terbakar tahun 2005 (KU I dan KU V), untuk areal
terbakar tahun 2006 (KU I dan KU V) masing-masing adalah 13,821 dan 16,141.
Dari hasil penjumlahan nilai di atas, kemudian dilakukan skoring
berdasarkan penilaian areal bekas terbakar, nilai tersebut termasuk pada rentang
nilai 0-20 hal ini menggambarkan bahwa kondisi tingkat keparahan kerusakan
vegetasi yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan tahun 2005 dan 2006 di KPH
Cepu tergolong sangat ringan. Hal ini dapat dilihat juga dari kondisi lapangan
yang menggambarkan kejadian kebakaran permukaan, kerusakan pohon secara
umum pada bagian bawah dan bagian atas, tipe kerusakan secara umum batang
hangus dan luka.
40

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Kebakaran hutan di KPH Cepu terjadi hampir setiap tahun, kebakaran
paling luas terjadi pada tahun 1997 yaitu seluas 1.158,52 Ha. Dalam
periode 1996-2006 BKPH yang mengalami kebakaran paling luas yaitu
BKPH Cabak dengan luas 62,70 Ha. Tipe kebakaran yang terjadi adalah
kebakara permukaan (Surface fire). Penyebab kebakaran hutan sebagian
besar diketahui karena aktivitas manusia baik yang disengaja atau tidak
disengaja, dan didukung oleh lingkungan seperti kondisi iklim.
2. Kerusakan individu pohon akibat kebakaran tahun 2005 dan 2006
berdasarkan lokasi kerusakan secara umum terjadi pada bagian batang
bawah dan atas, sementara dilihat dari tipe kerusakannya yang paling
umum terjadi yaitu batang hangus dan luka serta akar luka dan terbakar.
Tumbuhan bawah di tegakan Jati klaster bekas terbakar tahun 2005 dan
tahun 2006 (KU I dan KU V), terjadi perubahan komposisi jenis.
3. Dari hasil perhitungan jumlah bobot nilai kerusakan areal bekas kebakaran
tahun 2005 (KU I dan KU V) masing-masing sebesar 10,811 dan 18,889
untuk areal terbakar tahun 2006 (KU I dan KU V) masing-masing adalah
13,821 dan 16,141. Nilai tersebut masuk dalam rentang nilai skor 0-20,
kondisi demikian menggambarkan bahwa keparahan kerusakan vegetasi
akibat kebakaran hutan di KPH Cepu Perhutani Unit I Jawa Tengah
tergolong kelas sangat ringan. Hal ini dapat dilihat juga dari kondisi
lapangan yang menggambarkan kejadian kebakaran permukaan, kerusakan
pohon secara umum pada bagian bawah dan bagian atas, tipe kerusakan
secara umum batang hangus dan luka.
41

6.2. Saran

1. Usaha pengendalian kebakaran hutan terpadu secara teknis perlu terus


dilakukan dan ditingkatkan terutama pada musim kebakaran hutan
lebih diintensifkan pada bulan Juni sampai September.
2. Penggunaan api sebagai alat bernilai murah dan cepat sangat
membudaya pada masyarakat, begitu juga pada tegakan jati KU tua
kebakaran ini memiliki beberapa nilai fositif. Maka pembakaran
dianjurkan untuk beberapa hal fositif dengan cara terkendali.
3. Mengingat penyebab kebakaran hutan di Wilayah KPH Cepu sebagian
besar akibat perbuatan manusia, maka pemecahan yang sesuai dan
efektif yaitu dengan peningkatan program pemberdayaan masyarakat
sekitar hutan seperti PHBM.
24

DAFTAR PUSTAKA

Brown, A.A. dan K.P. Davis. 1959, 1973. Forest Fire Control and Use. Mc
Grow-Hill Books Company. USA.

Chandler, C., P. Cheney, P. Thomas, L. Traband, dan D. William. 1983. Fire in


Forestry Volume I : Forest Fire Behaviour and Effects. John Wiley and sons
Inc. Canada-USA.

Clar, C. R. dan L. R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management


Departemen of Natural Resources Division of Forestry. California.

DeBano, C. F, D. G. Neary dan P. F. Folliot. 1998. Fire’s Effect On Ecosystem.


John Wiley and Sons. Inc. New York. P : 319

Fuller, M. 1991. Forest Fire. John Wiley and Sons, Inc. Canada.

Magurran, A. E. 1988. Ecological diversity and Its Measurement. Great Britain at


the University Press, Cambridge.

Nuhamara, S. T. 2004. Inventarisasi Kerusakan Hutan. Laboratorium Penyakit


Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas kehutanan IPB. Bogor.

Putra, I. E. 2004. Metode Pengembangan Metode Penilaian Kesehatan Hutan


Alam Produksi. [Tesis] Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB.

[PT. Perhutani] Buletin Pusbanghut. 2001. Forest Healt Monitoring pada Tegakan
Jati. Forest Resaurces Development Center: Cepu.

Pyne, S. J., P. L. Andrews dan R. D. Laven. 1996. Introduction to Wildland Fire.


Second Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York-Chichester-Brisbane-
Toronto-Singapore.

Rachmatsjah, O. 1985. Proyek Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber-


Sumber Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Syaufina, L., Supriyanto, Purwowidodo dan Kasno. 2006. Pedoman Penilaian


Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Bogor:
Fakultas Kehutanan IPB.

Supriyanto, I. C. Strukle, C. A. Siregar dan J. Kartana. 2001. Forest Health


Monitoring To Monitor The Sustainability of Indonesian Tropical Rain Forest,
Volume I. ITTO-SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Suratmo, F. G., E. A. Husaeni, dan N. Surati Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar


Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
25

[USDA-FS] USDA Forest Service. 1995. Forest Health Monitoring Field


Metthods Guid ( International 1995). Samuel A. Alexander : USDA Forest
Service Research Triangle Park.

Yunus L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat


Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sintang Kalimantan
Barat). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB Bogor.

Anda mungkin juga menyukai