FERDINAND SUSILO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK
Kata Kunci: Percut Sei Tuan , ekosistem mangrove, A’WOT, strategi kebijakan.
ABSTRACT
FERDINAND SUSILO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul : Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei
Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan
Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Ferdinand Susilo
NRP C251050031
PRAKATA
Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya,
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Pengelolaan
Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanannya
baik waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan
semangat dari awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Desa
Percut, Kepala Desa Tanjung Rejo, Kepala Desa Pematang Lalang, Ketua
Koperasi Mina Bina Sejahtera Percut, Ketua Kelompok Masyarakat GP-4,
Masyarakat Petambak, Kepala Laboratorium Tumbuhan Biologi USU, Analis
Laboratorium PTKI Medan yang telah banyak membantu dalam penyediaan
dan informasi data serta analisis sampel selama penelitian.
3. Ayahanda H. Sirun Susilo dan Ibunda Hj. Amini serta abang dan kakak
beserta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat
maupun materi pada penulis selama studi.
4. Teman-temanku Hasri, Hanifah, Gigi, Aran, Leman, Hendrik, Mugi, Pipit,
dan adik-adik BIOPALAS yang telah banyak membantu selama pengamatan
dilapangan dan penelusuran data-data. Keluarga besar “BENZIN” yang
menjadi teman setia dalam penulisan tesis ini, teman-teman SPL angkatan 12
atas dorongan dan bantuannya.
Ferdinand Susilo.
RIWAYAT HIDUP
halaman
x
Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di
Sekitar Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....... 70
Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................... 70
Sosial Budaya Masyarakat ................................................. 73
Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan ....................................................................... 77
Arah Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove .......... 82
Komponen dan Faktor-faktor SWOT ...................................... 82
Analisis Prioritas A’WOT ...................................................... 89
Analisis Faktor Komponen SWOT ......................................... 99
Rencana Strategi dan Program Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan .................................... 102
xi
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
1 Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian ..... 24
2 Alat dan metode pengukuran parameter lingkungan ............ 26
3 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors
Analysis Summary) ............................................................. 33
4 Analisis strategi faktor eksternal (External StrategicFactors
Analysis Summary) ............................................................. 34
5 Model matriks SWOT hasil analisis SWOT ......................... 34
6 Skala perbandingan secara berpasangan (pairwise comparison)
menurut say (1993) .............................................................. 37
7 Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang .................... 43
8 Pola penggunaan lahan Kecamatan Percut Sei Tuan ........... 46
9 Komposisi penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan
berdasarkan desa/kelurahan, luas wilayah, jenis kelamin,
tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga ........................ 47
10 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ................ 48
11 Fungsi dan luas kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang . 51
12 Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang .......... 52
13 Jumlah individu pada masing-masing jenis vegetasi
mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ............................ 54
14 Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 56
15 Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 57
16 Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 58
17 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 59
18 Jenis-jenis fauna di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan ... 60
19 Kisaran suhu ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan .................................................................................... 63
20 Kisaran pH ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan .................................................................................... 65
21 Kisaran salinitas ekosistem mangrove Kecamatan Percut
Sei Tuan .............................................................................. 68
xii
22 Persentase fraksi substrat ekosistem mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan .................................................................. 70
23 Jenis mata pencaharian masyarakat di desa-desa penelitian .. 71
24 Jumlah dan jenis pasar yang terdapat di desa-desa studi ....... 73
25 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di desa-desa
penelitian ............................................................................. 73
26 Fasilitas pendidikan yang terdapat di desa-desa penelitian ... 74
27 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai eksositem
mangrove ............................................................................ 76
28 Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................ 83
29 Prioritas komponen SWOT dalam pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................ 91
30 Prioritas faktor komponen kekuatan (Strength) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 92
31 Prioritas faktor komponen peluang (Opportunity) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 93
32 Prioritas faktor komponen kelemahan (Weakness) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 94
33 Prioritas faktor komponen ancaman (Threat) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 95
34 Prioritas alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.................................. 95
35 Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic
Factors Analysis Summary - IFAS).................................................99
36 Hasil analisis faktor-faktor eksternal (External Strategic
Factors Analysis Summary - EFAS)..............................................100
37 Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT dalam
pengelolaan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan......................101
38 Prioritas strategi pengelolaan ekosistem mangrove Percut
Sei Tuan..........................................................................................102
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
xiv
DAFTAR
Lampiran halaman
xv
PENDAHULUA
Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Luas mangrove di
pulau Sumatera ±657.000 Ha, dari total ini sekitar 30% (±200.000 Ha) dijumpai di
Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penafsiran Citra Landscape, diketahui
luasan mangrove di Propinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang sangat
cepat dari waktu ke waktu. Dari luas ± 200.000 Ha pada tahun 1987, tinggal 15%
atau ±31.885 Ha yang berfungsi baik pada tahun 2001. Hal ini memberikan
gambaran bahwa kondisi mangrove di Propinsi Sumatera Utara sedang mengalami
tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga mengakibatkan
hilangnya kawasan mangrove sekitar 85% (±168.145 Ha) dalam kurun waktu 14
tahun.
Sebagian besar ekosistem mangrove di Sumatera Utara telah berubah
statusnya menjadi lahan-lahan yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan
aspek lingkungan sama sekali. Salah satu contoh yang paling ironis terjadi di Desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat, dan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Proyek-proyek transmigrasi mengakibatkan banyaknya lahan mangrove yang
dikonversi menjadi pertambakan, lahan pertanian dan juga perkebunan. Hal ini
menyebabkan perubahan yang mendasar dari fungsi ekosistem mangrove.
Berdasarkan hasil identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir tingkat
Kabupaten/Kota maupun tingkat Propinsi Sumatera Utara, kerusakan ekosistem
mangrove merupakan salah satu isu yang menjadi prioritas untuk kawasan pesisir
Timur dan Barat Sumatera Utara, termasuk didalamnya Kabupaten Deli Serdang
selain isu-isu penting lainnya seperti: (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia,
(2) rendahnya penataan dan penegakan hukum, (3) belum adanya penataan ruang
wilayah pesisir, (4) pencemaran wilayah pesisir, (5) potensi dan objek wisata
bahari belum dikembangkan secara optimal, (6) belum optimalnya pengelolaan
perikanan tangkap dan budidaya, (7) ancaman intrusi air laut, dan (8) rendahnya
tingkat kehidupan masyarakat pesisir/ nelayan..
2
Perumusan Masalah
Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara yang memiliki potensi hutan mangrove yang besar
dengan luas sekitar 3.817 ha dengan peruntukan/status Hutan Suaka Alam (HSA)
seluas 2580.60 ha dan Hutan Penggunaan Lain (HPL) seluas 1236.40 ha (BPS
Kabupaten Deli Serdang, 2005). Namun sejalan dengan pertumbuhan penduduk
yang makin meningkat menyebabkan makin terbatasnya lahan. Perombakan hutan
mangrove untuk tujuan lain seperti usaha perikanan (tambak), perkebunan, dan
pemukiman serta penebangan liar untuk tujuan memperoleh kayu dan kayu bakar
memungkinkan berubahnya fungsi ekosistem mangrove yang pada akhirnya
mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar pada umumnya dan biota
khususnya. Masih terdapat anggapan (persepsi) masyarakat bahwa hutan
3
mangrove adalah milik bersama yang dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh
siapa saja. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove
sangat penting mengingat masyarakat yang tinggal disekitar ekosistem mangrove
secara langsung memanfaatkan hutan mangrove dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Kurang jelasnya perwilayahan terhadap daerah lindung dan
pemanfaatan ekosistem sehingga terjadi pemanfaatan yang tidak terbatas dan
pemahaman yang kurang oleh masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan suatu
penelitian untuk mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem mangrove saat ini di
Kecamatan Percut Sei Tuan, serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan
yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan
berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan.
dapat tumbuh di daerah tropis yang memiliki pantai terlindung, di muara sungai
dan lingkungan dimana air laut dapat masuk, di sepanjang pantai berpasir atau
berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir berlumpur.
Selanjutnya Van Balen (1989) menambahkan bahwa hutan mangrove memiliki
jenis pohon yang relatif sedikit, dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut,
memiliki physiognomi yang sederhana dan tanpa stratifikasi yang jelas.
Di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi:
89 jenis pohon, 5 jenis palmae, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis
epifit, dan 1 jenis paku (Noor et al. 1999). Menurut Soemodihardjo &
Soerianegara (1989), jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove di
Indonesia sekitar 89 jenis, yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana dan, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit. Sementara itu Bengen
(2001), mengatakan bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan
berbunga, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitas, Snaeda, dan
Conocarpus, yang termasuk ke dalam 8 famili. Melana et al. (2000)
menambahkan bahwa tumbuhan mangrove terdiri dari 47 jenis tumbuhan
mangrove sejati dan jenis asosiasi yang termasuk ke dalam 26 famili. Mangrove
sejati tumbuh di ekosistem mangrove, sedangkan mangrove asosiasi kemungkinan
dapat tumbuh di habitat yang lain seperti di hutan pantai dan daerah dataran
rendah.
Lebih lanjut Sugiarto & Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara fisik
hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang
khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga
menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu
juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin.
Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai
jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke
ekosistem ini (Abdullah, 1988).
Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh
ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan
kehidupan ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir dan
meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan
menyerap logam berat tersebut.
Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial
ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan
produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri et al. (2004)
mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi
8
(1) Tambak
a. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang didalamnya
mengkombinasikan sebagian lahan untuk pemeliharaan
kepiting/ikan dan sebagian lahan untuk penanaman mangrove.
b. Model Tambak Terbuka
Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan
ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam
tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan
tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran
primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.
(2) Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove
yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya
berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).
(3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu
Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan
ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak,
dan lain-lain.
(4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk
mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk
memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang.
aspek yang berhubungan dengan kondisi sasaran, terutama yang berkaitan dengan
kemampuan intelektual (pemahaman dan pengetahuan), kepribadian, sikap dan
sebagainya dapat ketahui dengan baik.
Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir, terlebih dahulu harus
diketahui konsep masyarakat baik secara umum maupun masyarakat pesisir secara
khusus. Masyarakat umumnya merupakan sekumpulan manusia yang secara
relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu,
memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di
dalam kelompok tersebut.
Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman
terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe
yaitu: Pertama, masyarakat perairan yaitu kesatuan sosial yang hidup dari
sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain,
lebih banyak hidup di lingkungan perairan daripada di darat, berpindah-pindah
dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan
mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil. Kedua, masyarakat nelayan,
golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah
mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi
subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi
sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain.
Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih
banyak dihabiskan di darat. Ketiga, masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam
dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut.
Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai
petani, pemburu atau peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih
mendominasi daripada pengetahuan lautan.
Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997),
dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu:
nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah
seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan
ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan
1
Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat
2
Ekosistem Mangrove
Fisik
Sosial Ekonomi Biologi
Potensi
Permasalahan
Pemanfaatan
Pengelolaan
2
2
Penarikan Contoh
Pengumpulan sampel untuk data vegetasi terbagi atas jalur-jalur di
sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai
dengan tujuan penelitian dan kondisi dilapangan (purposive sampling), dan
dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan. Penentuan sampel untuk data biologi (vegetasi) digunakan metode transek
kuadrat (garis berpetak), yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak
dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak
tertentu yang sama (Ahmad, 1989).
Adapun tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan
tegakan mangrove, jenis dan kenakeragaman jenis mangrove yang terdapat di
Kecamatan Percut Sei Tuan. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola
yaitu: pengambilan data untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai
setinggi <1.5m), pancang/anakan (pemudaan dengan tinggi > 1.5m sampai pohon
muda yang berdiameter kecil dari 10 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20cm).
Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masing-
masing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon.
Adapun arah pengamatan tegak lurus dari pinggir laut ke arah darat (Gambar 3).
Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pacang dan semai serta
jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek pada
saat pengambilan data vegetasi, dilakukan pengukuran parameter-parameter
lingkungan, yaitu suhu, salinitas, dan pH sebanyak 3 (tiga) ulangan setiap jalur
2
C
B
A 10 m
A Arah rintis
B
C
Variabel Pengamatan
Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:
1. Karakteristik individu yang disebut faktor internal meliputi: tingkat
pendidikan dan jenis pekerjaan.
2. Faktor eksternal meliputi: pemahaman terhadap ekosistem mangrove,
kelompok/lembaga dalam pemanfaatan mangrove, dan keterlibatan
pemerintah dalam pelestarian mangrove.
3. Tingkat partisipasi masyarakat meliputi: keterlibatan dalam pengelolaan
mangrove, mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan/pengawasan
dan penanaman atas kehendak sendiri.
Analisis Data
Data Sosial Ekonomi
Prosedur yang pertama dalam analisis data adalah pengolahan data yang
diperoleh dari lapangan, dalam hal ini yang dilakukan antara lain memeriksa
kelengkapan dalam pengisian kuisioner oleh responden, dilanjutkan memeriksa
kesesuaian jawaban satu dengan jawaban lainnya, kemudian memeriksa relevansi
jawaban dan terakhir menyeragamkan satuan data.
Data sosial ekonomi yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi dan
dimasukkan dalam tabel, kemudian dideskripsi.
Data Biologi
Data hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang diperoleh dilapangan,
dianalisis untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan
penjumlahan dari frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif. untuk
ketiga komponen INP tersebut daat dihiitung dengan rumus sebagai berikut :
Kerapatan = Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan
contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh.
Dominasi = Total basal areal suatu spesies yang dihitung dari diameter pohon.
3
Indeks
Nilai penting Nilai
suatu Penting
jenis (INP)
berkisar antara=0 dan
KR 300.
+ FRNilai+penting
DR ini memberikan
gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam
komunitas mangrove (Kusmana, 1995).
Sedangkan untuk data fauna yang didapat dari hasil pengamatan dan
pancatatan yang kemudian dianalisis deskriptif dengan tabulasi.
Analisis SWOT
Analisis strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strengths, weaknesses,
opportunities, dan threats). Analisis ini dilakukan dengan menerapkan kriteria
3
kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan (faktor internal dan
eksternal) yang diperoleh dengan wawancara secara terbuka/langsung (open-
ended) dan wawancara mendalam (in-depth interview).
Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT ini dilakukan berdasarkan
hasil wawancara tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh peneliti dalam bentuk
bobot dan skor.
Berdasarkan Rangkuti (2004) langkah-langkah yang dilakukan dalam
analisis SWOT ini adalah sebagai berikut:
Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor
strategi eksternal, dan (ii) matriks faktor strategi internal. Adapun matriks faktor
strategi internal disusun dengan langkah-langkah:
- Pada kolom 1 disusun kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan.
- Pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,0
(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk
semua faktor kekuatan dan kelemahan sama dengan 1,0.
- Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai
dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi
pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating
untuk kekuatan bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 =
sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk kelemahan
bersifat negatif (nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1 = sangat
besar).
3
- Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang
sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor
tersebut.
- Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu
dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
- Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4.
Ancaman:
W1 1
W2 2
W3 3
.... 4
TOTAL 1,00 -
- Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang
sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor
tersebut.
- Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu
dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
- Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut
menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis
eksternalnya.
Tahap Analisis
Pada tahap analisis digunakan Model Matriks SWOT, dimana terdapat 4
strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (Tabel 5).
Setelah diperoleh matriks SWOT, selanjutnya disusun rangking semua strategi
yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut.
SO2 WO2
OPPORTUNITIES SO3 WO3
(O) .. ..
.. ..
SOn WOn
3
ST1 WT1
ST2 WT2
THREATS ST3 WT3
(T) .. ..
.. ..
STn WTn
dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik
(Saaty, 1993).
Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu
situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya;
(ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii)
memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya
setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan
variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi
hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993).
Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih
disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki.
Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan
dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan
model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang
saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta
kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang
dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan
berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan
yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi
sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan
baik oleh model PHA.
3 Faktor yang satu sedikit lebih penting dari pada faktor yang
lainnnya.
5 Faktor satu esensial atau lebih penting dari faktor yang lainnya.
7 Faktor yang satu jelas lebih penting dari faktor yang lainnya.
9 Faktor yang satu mutlak lebih penting dari faktor yang lainnya.
Menentukan prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dikakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan prioritas (peringkat relatif) dari seluruh kriteria dan alternatif.
Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai
dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.
Konsistensi logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
3
Keterangan :
a. Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan.
b. Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik.
c. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik..
d. Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove.
e. Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove..
f. Tingkat pendapatan yang relatif rendah.
g. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat.
h. Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum.
i. Sumberdaya manusia yang masih rendah.
j. Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
k. Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah, dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
l. Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove.
m. Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove.
n. Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
o. Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal.
p. Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove.
q. Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Topografi
Melihat topografi wilayah, daerah ini secara geografis terletak pada wilayah
pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kontur dan
iklim yang bervariasi. Kawasan hulu yang konturnya mulai bergelombang sampai
terjal, berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara
kawasan pantai berhawa tropis pegunungan.
Sementara itu, dilihat dari kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang dapat
dibedakan atas :
1. Dataran pantai dengan luas lahan ± 63.002 Ha (26,30 %) terdiri dari 4
kecamatan (Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan, dan Pantai
Labu). Jumlah desa sebanyak 64 desa/kelurahan dengan panjang pantai 65 km.
Potensi Utama adalah pertanian pangan, perkebunan rakyat, perkebunan besar,
perikanan laut, pertambakan, peternakan unggas, dan pariwisata.
O O
SELAT MALAKA
4
4
Keadaan Iklim
Sesuai dengan perbedaan geografis, topografis dan ketinggian dari
permukaan laut maka iklim daerah ini juga bervariasi yaitu iklim sub tropis dan
iklim peralihan antara sub tropis dan tropis. Ketinggian 0 – 500 meter dari
permukaan laut, Kabupaten Deli Serdang beriklim peralihan antara sub tropis dan
tropis, sedangkan ketinggian lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut beriklim
sub tropis sehingga memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim
4
Aksesibilitas
Pusat pemerintahan kecamatan terletak di Tembung dengan jarak tempuh
dari desa terjauh 22 km atau waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan. Untuk
jarak tempuh ke ibu kota kabupaten yang terletak di Lubuk Pakam 40 km
memiliki waktu tempuh 1,5 jam perjalanan, sedangkan jarak tempuh ke ibukota
propinsi berjarak 22 km atau 0,5 jam perjalanan.
Gambar 6 Peta Administratif Kecamatan Percut Sei Tuan
4
4
penduduk di kecamatan ini sebesar 1415,75 jiwa/Ha yang berarti tiap hektar lahan
di Kecamatan Percut Sei Tuan didiami oleh sekitar 1415,75 jiwa. Sebaran
komposisi penduduk berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk (jenis kelamin),
tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 9.
dan dagang menepati jumlah terbanyak setelah karyawan yang secara berurutan
yaitu 16.089 jiwa (18,58 %) dan 15.485 jiwa (17,88 %). Profesi sebagai ABRI dan
nelayan menepati posisi minoritas, karena hanya 0,48 % dan 1,00 % yang bekerja
di sektor tersebut. Hal ini mengingat luasan wilayah pesisir yang terbatas dan
singkatnya jarak dan waktu tempuh ke ibukota kecamatan dan ibukota propinsi
sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja di kota sebagai karyawan dan
berdagang. Selain itu, tingkat pembangunan infrastruktur penunjang yang tinggi
di Kota Medan merupakan faktor penyebab tingginya jumlah penduduk untuk
profesi tukang karena menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Sarana Pendidikan
Kelengkapan sarana pendidikan di Kecamatan Percut Sei Tuan sudah sangat
baik dengan jumlah sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 29 buah,
Sekolah Dasar (SD) sebanyak 116 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) sebanyak 41 buah, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)
sebanyak 16 buah. Di kecamatan Percut Sei Tuan terdapat 3 perguruan
tinggi/akademi yaitu perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta dan
akademi negeri.
Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan sangat penting dalam mendukung kehidupan masyarakat
kecamatan Percut Sei Tuan untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Sampai
akhir tahun 2006, sarana kesehatan yang tercatat di kecamatan ini yaitu Rumah
Sakit Umum (RSU) sebanyak 2 buah, rumah bersalin 8 buah, puskesmas 2 buah,
puskesmas pembantu (PUSTU) 8 buah, praktek dokter 7 buah, dan apotik
sebanyak 8 buah.
Potensi Daerah
Pertanian
Potensi pertanian di Kecamatan Percut Sei Tuan 5.203 Ha yang merupakan
persawahan dan terbagi atas 2.442 Ha irigasi ½ teknis, 140 Ha irigasi sederhana,
2.401 Ha tadah hujan dan 220 Ha irigasi desa. Dari luasan lahan pertanian ini,
produksi yang dihasilkan ±53.740 ton pertahunnya. Selain hasil pertanian berupa
beras, kecamatan percut sei tuan juga menghasilkan beberapa komoditas lainnya
seperti sayur-sayuran dan palawija.
Perkebunan
Terdapat beberapa komoditas perkebunan di Kecamatan Percut Sei Tuan
antara lain kelapa dan kelapa sawit dengan total produksi 483,00 ton untuk
komoditas kelapa, dan komoditas kelapa sawit sebesar 768 ton.
5
Perikanan
Produksi perikanan Kecamatan Percut Sei Tuan sangat potensial dengan
jumlah total produksi 6.082,8 ton yang tebagi atas produksi perikanan laut sebesar
4.685,5 ton, perikanan tambak 1.366,5 ton, perikanan kolam 23,7 ton, dan
perikanan perairan umum 7,1 ton. Dari hasil perikanan tersebut, diperkirakan
dapat memperoleh total produksi sebesar Rp 83,729 milyar.
Kehutanan
Kawasan hutan di Kecamatan Percut Sei Tuan meliputi area seluas 3.187
Ha dan menurut peruntuknnya/ status terbagi atas Hutan Suaka Alam (HSA)
2.580,60 Ha (67,61 %), dan Hutan Penggunaan Lain (HPL) 1.236,40 Ha
(32,39 %).
Industri
Terdapat 834 perusahaan industri di Percut Sei Tuan yang terbagi atas 19
industri berskala besar, 24 industri skala sedang, 78 industri skala kecil, dan 713
industri skala rumah tangga.
mutlak diperlukan dan diperhatikan. Hal ini bertujuan agar kelestarian ekosistem
mangrove percut dapat terjaga dan pemanfaatan sumberdaya ekosistem ini dapat
berlangsung secara berkelanjutan. Selain itu, kerusakan dan degradasi ekosistem
akibat pemanfaatan yang berlebihan dan tidak lestari dapat diminimalkan.
Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan saat ini
menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang yang
sebelumnya merupakan tanggung jawab Dinas Perikanan dan Kelautan dan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda) Kabupaten Deli Serdang.
Pengelolaan ekosistem magrove saat ini meliputi rehabilitasi di beberapa lokasi
seperti Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut dengan melibatkan kelompok
masyarakat binaan Dinas Kehutanan yaitu Kelompok Bakau Tambak Mandiri,
Kelompok Tani Empang Parit Nila Jaya dan Paluh Kuba dengan menerapkan
sistem silvofisheries dalam budidaya tambak. Selain program rehabilitasi, dinas
melakukan pelatihan dan pendidikan tentang pengetahuan mengelola mangrove
secara lestari bekerjasama dengan kelompok swadaya masyarakat Yayasan Akasia
Indonesia dengan melibatkan elemen masyarakat.
Luas Hutan mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Deli Serdang dari 439.794 Ha luas wilayahnya yang merupakan
hutan adalah 76.401 Ha, dan seluas 14.389 Ha merupakan kawasan hutan
mangrove/bakau (Deli Serdang Dalam Angka, 2005). Adapun kawasan hutan
yang telah dikukuhkan (register) seluas 35.848 Ha dan seluas 40.553 Ha
merupakan kawasan hutan yang belum dikukuhkan (non register), rincian fungsi
hutan sebagaimana pada Tabel 11 berikut ini.
Kecamatan Percut Sei Tuan yang merupakan salah satu kecamatan pesisir
di Kabupaten Deli Serdang memiliki ekosistem mangrove yang cukup luas yaitu
3600 Ha setelah Kecamatan Hamparan Perak dengan luas 6245 Ha.
Desa Percut, Tanjung Rejo dan Desa Pematang Lalang memiliki berbagai
macam ekosistem yang saling berhubungan secara timbal balik. Masing-masing
ekosistem yang ada memiliki peran dan fungsi saling mendukung. Kerusakan
5
salah satu ekosistem yang ada baik di daratan maupun di lautan secara langsung
berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan
informasi responden di lokasi penelitian, pada prinsipnya jenis-jenis vegetasi
mangrove yang ada di ketiga desa ini adalah sama yaitu jenis bakau (Rhizophora
spp., Soneratia spp., dan Bruguiera spp.), api-api (Avicennia spp.), dan buta-buta
(Exoecaria spp). Jenis-jenis vegetasi ini tidak merata penyebarannya dan di ketiga
desa ini di dominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp.)
Seiring dengan perkembangan/pertumbuhan dalam bidang ekonomi dan
tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup serta pertambahan jumlah penduduk
menyebabkan tingginya tingkat pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove. Hal
ini disebabkan karena mangrove yang merupakan eksosistem pantai dan hidup di
air payau merupakan salah satu jenis kayu yang baik, di sisi lain kehidupan
masyarakat yang dekat dan berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove,
mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai pemenuhan berbagai
kebutuhan didalam hidupnya.
5
5
Tabel 14 Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan
pohon
Kerapatan (K) Kerapatan Relatif (KR)
No Jenis
Pohon Pacang Semai Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina 300,00 453,33 1131,11 82,82 70,10 92,71
2 Avicennia officinalis 42,22 104,44 75,56 11,66 16,15 6,19
3 Bruguiera gymnorrhiza 2,22 15,56 - 0,61 2,41 -
4 Rhizophora apiculata - 4,44 2,22 - 0,69 0,18
5 Rhizophora mucronata 2,22 42,22 11,11 0,61 6,53 0,91
6 Soneratia alba 2,22 - - 0,61 - -
7 Excoecaria agallocha 13,33 26,67 - 3,68 4,12 -
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Tabel 15 Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan
pohon
No Jenis Frekuensi (F) Frekuensi Relatif (FR)
Pohon Pacang Semai Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina 0,84 0,69 0,44 71,70 49,21 64,52
2 Avicennia officinalis 0,20 0,31 0,13 16,98 22,22 19,35
3 Bruguiera gymnorrhiza 0,02 0,09 - 1,89 6,35 -
4 Rhizophora apiculata - 0,04 0,02 - 3,17 3,23
5 Rhizophora mucronata 0,02 0,18 0,09 1,89 12,70 12,90
6 Soneratia alba 0,02 - - 1,89 - -
Sumber: Hasil olahan data primer 0,07
7 Excoecaria agallocha 2007 0,09 - 5,66 6,35 -
Nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina dan
Avicennia officinalis untuk semua tingkatan baik pohon, pacang maupun semai.
Nilai frekuensi relatif untuk kedua jenis ini secara berurutan 71,70 %, 49,21 %,
64,52 % dan 16,98 %, 22,22 % dan 19,35 %. Sedangkan frekuensi relatif terendah
terdapat pada jenis Soneratia alba untuk tingkat pohon dan Rhizophora apiculata
untuk tingkat pacang dan semai. Nilai frekuensi relatif jenis Soneratia alba
sebesar 1,89 %, sedangkan jenis Rhizophora apiculata tingkat pacang 3,17 % dan
tingkat semai 3,23 %. Nilai frekuensi relatif yang tinggi pada jenis Avicennia
marina dan Avicennia officinalis menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup
melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Soneratia alba dan
Rhizophora apiculata merupakan jenis yang jarang ditemukan.
pacang dengan nilai dominansi dan dominansi relatif secara berurutan yaitu 0,002
dan 0,28 %.
Tabel 16 Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan
pohon
No Jenis Dominansi (D) Dominansi Relatif (DR)
Pohon Pacang Pohon Pacang
1 Avicennia marina 7,99 0,65 87,18 73,24
2 Avicennia officinalis 0,90 0,14 9,86 16,17
3 Bruguiera gymnorrhiza 0,03 0,01 0,34 0,83
4 Rhizophora apiculata - 0,002 - 0,28
5 Rhizophora mucronata 0,02 0,06 0,22 7,23
6 Soneratia alba 0,03 - 0,34 -
7
Sumber: Excoecaria
Hasil olahanagallocha
data primer 20070,19 0,02 2,06 2,26
Nilai dominansi dan dominansi relatif yang besar dari jenis Avicennia
marina menunjukan bahwa jenis ini memiliki diameter batang yang besar dan
produktivitas yang besar pula. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan
memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi
dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang. Hortshon (1976) dalam
Yefri (1987) menambahkan bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan
besarnya diameter batang adalah jenis dan umur pohon. Dengan lamanya
pertumbuhan (umur) suatu pohon, maka pohon tersebut akan bertambah besar.
bahwa jenis-jenis ini mampu bersaing dengan lingkungannya dan disebut jenis
dominan.
Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon
No Jenis Nilai INP (%)
Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina 241,70 192,55 157,23
2 Avicennia officinalis 38,50 54,54 25,55
3 Bruguiera gymnorrhiza 2,84 9,58 -
4 Rhizophora apiculata - 4,14 3,41
5 Rhizophora mucronata 2,72 26,46 13,81
6 Soneratia alba 2,84 - -
7 Excoecaria agallocha 11,40 12,73 -
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
Keanekaragaman Fauna
Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna akuatik (laut) dan
teresterial. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), biawak
(Varanus salvator), berbagai jenis burung dan lain-lain. Sedangkan fauna laut
umumnya didominasi oleh Molusca, Crustaceae, dan ikan.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di lokasi penelitian, fauna yang
umum dijumpai di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan dari kelompok fauna
akuatik adalah Mugil sp., Uca spp., Scylla serrata, Palaemonetes spp.,
Corbiculata sp., dan Anadara sp. Sedangkan dari kelompok fauna teresterial
antara lain jenis Macaca fascicularis, Presbytis cristata, Naja sputatrix, Varanus
salvator, Bufo sp., Limnocetes spp., Mycterea cinerea, Leptoptilos javanicus,
Ardea purpurea, Bubulcus ibis (Tabel 18).
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah jenis yang terbanyak adalah dari
kelompok burung, baik itu burung teresterial maupun burung air. Berdasarkan
data pengamatan burung yang dilakukan oleh Yayasan Akasia Indonesia dari
Januari 2003 sampai dengan Mei 2007, terdapat 33 jenis burung teresterial dan
60
37 jenis burung air (Lampiran 1). Dari keseluruhan jenis burung air tersebut,
terdapat 21 jenis burung migran.
Burung air dalam hal ini disebut burung pantai (shore bird). Burung pantai
adalah kelompok burung air yang memanfaatkan bagian tepi berlumpur dari
wilayah pasang surut dan lahan basah. Mereka pada umumnya memiliki kaki yang
panjang, paruh membulat di bagian ujung serta sayap yang membulat panjang.
Burung pantai umumnya terdiri dari Cerek, Trinil, Kedidi, Gajahan, Berkik, Biru-
laut, Gagang-bayam, Kedidir, Terik dan beberapa jenis lainnya. Meskipun burung
pantai hidup dari laut, namun tidak semuanya bisa berenang. Burung pantai yang
tidak bisa berenang biasanya mempunyai kaki dan paruh yang panjang. Bila
mencari makan di perairan dangkal, kakinya yang panjang dicelupkan dan
paruhnya dimanfaatkan untuk menangkap mangsanya di dalam air. Kelompok
burung seperti ini biasa disebut dengan ”wader” sebagai contoh hasil penelitian
61
javanicus), cangak merah (Ardea purpurea) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis).
Jenis-jenis burung ini merupakan jenis endemik yang umum terdapat di Indonesia.
Selain jenis burung endemik ini, pada lokasi penelitian terdapat jenis-jenis
burung pantai migran (migratory wader) seperti jenis gajahan besar (Numenius
arquata), gajahan pengala (Numeris phaeopus), gajahan timur (Numenius
madageriensis), dan trinil lumpur asia (Limnodromus semipalmatus). Kebanyakan
jenis burung migran ini berasal dari daerah yang amat jauh dan melakukan
migrasi untuk menghindari musim dingin di utara ataupun selatan dalam suatu
perjalanan dengan jalur migrasi tertentu (flyways). Indonesia merupakan salah
satu negara yang termasuk kedalam jalur terbang burung migran tersebut, dan
termasuk negara yang memiliki habitat pantai potensial bagi burung-burung pantai
baik penetap maupun migran. Sebagian dari burung migran menjadikan Indonesia
sebagai salah satu tempat persinggahan sementara saja untuk kemudian
melanjutkan lagi perjalanannya, dan ada pula menjadikannya sebagai tempat
tujuan akhir. Mereka akan kembali ke tempat asalnya untuk kawin dan bertelur
apabila disana telah memasuki musim panas.
Sejauh ini berdasarkan data SBI (2007), telah banyak lokasi-lokasi yang
teridentifikasi sebagai tempat singgah burung-burung pantai saat melakukan
migrasi ke selatan maupun ke utara, seperti Wonorejo, Surabaya; Pantai Trisik,
Yogyakarta; Muara Gembong, Bekasi; Muara Angke, Jakarta; Sayung, Semarang;
Demak; Bagan Percut, Medan; Pantai Cemara, Jambi; Tulang Bawang, Lampung;
Serangan, Bali, dan lain lain.
Bagan Percut (Paluh 80) sebagai salah satu daerah di Kecamatan Percut
Sei Tuan dan merupakan daerah kajian penelitian memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan dalam hal ini adalah pengembangan daerah wisata (wisata
ilmiah) untuk pengamat burung sebagai alternatif peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar kawasan. Selain Bagan Percut terdapat beberapa daerah yang
berpotensi untuk dikembangkan antara lain Tanjung Rejo (Paluh Getah) dan
Pematang Lalang (Gambar 8).
62
isu dan potensi dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian mangrove di daerah
ini. Walaupun status kedua fauna ini tidak terancam, rentan ataupun dilindungi,
tetapi sudah masuk dalam status mendekati terancam (IUCN Red List, 2007). Hal
ini disebabkan karena adanya pemanfaatan dan perdagangan terhadap satwa ini.
Untuk itu pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 26/Kpts-
II/94 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan
beberapa satwa lainnya untuk keperluan eksport, memberikan batasan terhadap
pemanfaatan satwa ini yaitu melalukan penangkaran sendiri terhadap satwa ini
untuk keperluan ekspor, dan jumlah satwa yang dapat dieksport oleh para
eksportir yang telah mendapatkan izin, berdasarkan quota eksport yang ditetapkan
oleh Departemen Kehutanan setelah diperiksa/dinilai oleh Tim Akreditasi
berdasarkan hasil penangkaran.
Keanekaragaman jenis fauna, baik fauna akuatik dan teresterial
menunjukkan bahwa ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki
potensi yang sangat besar untuk dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu
diperlukan pengelolaan berkelanjutan demi menjaga kelestarian habitat satwa
tersebut di atas selain sebagai potensi dalam pengembangan wisata dalam
peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan mangrove.
Air 28±0.5 32±1.3 30±0.6 28±0.9 28±0.8 32±0.7 31±0. 9 31±1.2 32±0.9
Tanah 29±1.3 29±1.4 30±0.8 30±0.2 31±1.2 30±0.3 30± 1.4 29±0.8 31±0.9
64
Hasil pengukuran suhu air dan tanah pada tiap jalur pengamatan
menunjukkan bahwa suhu air di ekosistem mangrove kecamatan Percut Sei
Tuan berkisar antara 280.5 - 321.3 oC dan suhu tanah 290.8 - 311.2 oC
(Gambar 9 dan 10). Suhu air tertinggi yang tercatat yaitu pada jalur II, VI dan
IX sebesar 321.3, 320.7 dan 320.9 oC dan suhu terendah pada jalur I, IV,
dan V sebesar 280.5, 280.9 dan 280.8 oC.
40.00
1.25 0.66
35.00 0.871.150.86
0.55
0.51 0.87
30.00 0.76
Rata-rata Suhu
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9
35.00
0.86
0.76 1.18 1.36 0.76
1.37 0.20 0.25
1.35
30.00
25.00
Rata-rata Suhu
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalur Pengamatan
Air 6.8±0.4 7.5±0.3 7.0±0.1 7.1±0.2 6.9±0.3 7.0±0.2 6.9±0.4 6.8±0.3 6.9±0.2
Tanah 5.8±0.3 5.2±0.1 6.0±0.1 6.2±0.2 6.0±0.2 6.1±0.2 5.8±0.1 5.8±0.1 5.8±0.2
Nilai pH air tertinggi terdapat pada jalur II dengan nilai 7.50.3, jalur IV
dengan nilai 7.10.2 dan jalur VI sebesar 7.00.2. Sedangkan pH terendah
terdapat pada jalur VIII sebesar 6.80.3 dan jalur I sebesar 6.80.4. Penyebaran
rata-rata pH air pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.
9.0
8.0
7.0 0.30 0.15 0.21
0.40 0.06 0.25 0.20 0.35 0.29
6.0
5.0
4.0
Rata-rata pH
3.0
2.0
1.0
0.0
123456789
Jalur Pengamatan
8.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Salinitas
Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri,
et al. 2004). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulai air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2005).
Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi
jenis-jenis mangrove.
Vegetasi mangrove umumnya dapat bertahan dan mampu hidup dengan
subur pada lingkungan estuari pada kisaran salinitas antara 10-30 ‰. Namun
demikian beberapa jenis mangrove mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang
tinggi. Sebagai contoh jenis Avicennia marina dan Excoecaria agallocha di
Australia dapat tumbuh di daerah dengan salinitas lebih kurang 85 ‰, Avicennia
officinalis dapat bertahan hidup pada kisaran salintas maksimum 63 ‰, begitu
juga dengan jenis Ceriops spp. Dapat mentolerir sampai batas maksimum 72 ‰,
Soneratia spp. 44 ‰, Rhizophora apiculata 65 ‰, dan Rhizophora stylosa 74 ‰.
dan Bruguiera spp. pada daerah dengan salinitas tidak lebih dari 37 ‰.
Tidak ada ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di
daerah intertidal (interstitial water salinity) dimana mangrove dapat bertahan
hidup. Tetapi salinitas optimal untuk daerah ini berkisar antara 28-34 ‰. Jika
salinitas kurang dari 28 ‰, pertumbuhan mangrove akan mengalami penurunan.
Hasil pengukuran salinitas pada tiap jalur pengamatan di ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Tabel 21.
68
40
0.5
35
1.3 0.6 0.6
1.1 1.0 0.8
30 0.8
25
Rata-rata
20
0.7
15
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0
Jalur Pengamatan
Substrat
Tanah mangrove dibentuk dari akumulasi derivat sedimen yang berasal dari
pantai atau erosi sungai, ataupun erosi dari lahan atas yang terangkut di sepanjang
sungai dan kanal. Beberapa kemungkinan berasal dari sedimentasi material-
material partikel dan koloid. Sedimen yang telah terakumulasi di sepanjang pantai
dan mangrove memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan sumber sedimen
tersebut. Sedimen yang berasal dari sungai dan kanal didominasi oleh jenis tanah
berlumpur dan sedimen pantai didominasi oleh pasir. Degradasi dari bahan-bahan
69
yang terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama juga memberikan kontribusi
bagi pembentukan tanah (substrat) di mangrove.
Berbagai penelitian mengenai komposisi tanah (substrat) di mangrove telah
banyak dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik
tanah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan, distribusi dari jenis-jenis
mangrove dan juga ketahanan organisme mangrove.
Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan bahwa jenis substrat di
ekosistem mangrove kecamatan Percut Sei Tuan pada keseluruhan jalur
pengamatan adalah pasir berlumpur dengan komponen fraksi substrat terdiri dari
lumpur, pasir halus, pasir sedang, dan pasir kasar. Secara garis besar, fraksi
penyusun substrat dapat di lihat pada Gambar 12.
Sebagian besar masyarakat yang berdiam di desa-desa tersebut adalah suku jawa,
batak dan melayu.
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem mangrove
adalah sebagai nelayan, petani, pedagang, pensiunan, dan buruh, baik itu buruh
tani maupun buruh bangunan (Tabel 23). Secara umum kesempatan kerja di
wilayah ini sangat minim namun peluang untuk berusaha cukup tinggi mengingat
potensi sumberdaya alam khususnya hasil laut yang sangat berlimpah, namun
demikian peluang berusaha yang ada kurang bisa dimanfaatkan karena
membutuhkan modal yang relatif tinggi. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai
modal, sebagian besar masyarakat memanfaatkan waktu luang mereka untuk
memasang tangkul (alat tradisional menangkap kepiting) di hutan mangrove selain
itu juga menangkap udang dan ikan. Namun karena tingkat degradasi ekosistem
yang tinggi, hasil tangkapan perikanan di sekitar mangrove menjadi sangat kecil
dan hampir tidak mencukupi untuk menunjang perekonomian keluarga sebagian
besar masyarakat di sekitar wilayah sehingga memaksa masyarakat mencari
alternatif usaha yang dapat menghasilkan pendapatan seperti menjadi buruh tani,
buruh bangunan dan lain-lain.
sebagian besar wilayah di desa ini dimanfaatkan sebagai sawah tadah hujan.
Usaha tani yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah usaha tani tanaman
tahunan dan tanaman semusim. Produksi padi tadah hujan sebagian besar terdapat
di Desa Pematang Lalang dan Tanjung Rejo. Masyarakat juga banyak
memanfaatkan lahan sebagai tambak. Namun demikian, tambak-tambak yang ada
di Desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang umumnya bukan milik
masyarakat lokal tetapi pemilik modal. Masyarakat hanya sebagai penjaga
tambak.
Dari keseluruhan jenis pekerjaan masyarakat, pada umumnya masyarakat
yang hidup di sekitar mangrove memiliki tingkat pendapatan yang relatif rendah.
Berdasarkan hasil wawancara kepada masyarakat, pendapatan masyarakat pada
umumnya berkisar Rp 15.000,- sampai dengan Rp 20.000,- perhari-nya. Jika kita
telaah dengan kebutuhan hidup sehari-hari, pendapatan ini sangat jauh dari cukup
untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yang memiliki jumlah
anggota keluarga rata-rata 2 - 5 orang. Untuk itu masyarakat sangat berharap dan
membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah untuk dapat meningkatkan
perekonomian mereka.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tingkat mobilitas ekonomi
masyarakat tergolong kategori sedang, dimana anggota masyarakat rata-rata
mempunyai 2 (dua) jenis pekerjaan sebagai sumber pedapatan. Tingkat mobilitas
ekonomi diukur dari jumlah jenis mata pencaharian sebagai sumber alternatif
pendapatan keluarga. Makin banyak sumber mata pencaharian maka semakin
tinggi tingkat mobilitas ekonomi masyarakat dan sebaliknya. Klasifikasi mobilitas
ekonomi ini adalah nilai 1 tergolong rendah, nilai 2 tergolong sedang dan nilai 3-4
tergolong tinggi, serta >4 tergolong sangat tinggi.
Fasilitas perekonomian yang ada di lokasi studi adalah pasar yang terdapat
di Desa Percut dan Tanjung Rejo. Namun demikian pasar yang terdapat di kedua
desa ini termasuk dalam pasar mingguan dan belum ada pasar tetap. Sedangkan di
Desa Pematang Lalang tidak memiliki pasar sama sekali (Tabel 24). Hal ini juga
menjadi faktor rendahnya tingkat perekonomian (kegiatan ekonomi) yang terdapat
di desa-desa studi. Umumnya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari berasal dari warung-warung yang menyediakan kebutuhan pokok dan
73
1. Lembaga Pemerintahan
Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Percut Sei
Tuan mutlak diperlukan. Pemerintah sebagai pihak (stakeholder) pengambil
kebijakan memiliki peranan penting untuk menentukan arahan kebijakan
dalam pengelolaan suatu kawasan. Keterlibatan pemerintah dalam hal ini
berarti frekuensi dan aktivitas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah,
baik penyuluhan, penanaman maupun pemeliharaan/pengawasan mangrove.
Namun demikian, tugas pemerintah sebaiknya hanya memberikan pengarahan
secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sebab
tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam
pengelolaan dalam jangka panjang. Tetapi dalam hal pelaksanaan dan
penyusunan kegiatan program harus diserahkan ke masyarakat sehingga
muncul persepsi masyarakat bahwa mereka bukan sebagai objek
pembangunan tetapi sebagai subjek (pelaku) pembangunan.
78
mangrove di Indonesia masih terbatas. Hukum yang saat ini relevan membentuk
kebijakan antara lain yaitu yurisdiksi maritim, perlindungan lingkungan secara
umum, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati secara keseluruhan.
Peraturan perundang-undangan utama sebagai dasar pengelolaan hutan
secara umum dan ekosistem magrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara khusus
oleh pemerintah daerah kabupaten adalah Undang-undang N0. 44 Tahun 1999
tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, PP No. 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, PP. No. 45 tentang
Perlindungan Hutan dan PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Selain itu
dalam rangka penyelenggaraan program dan kegiatan pengelolaan ekosistem
mangrove, pemerintah daerah kabupaten mengacu pada Surat Seketaris Jenderal
Departemen Kehutanan No. 277.1/II-KUM/2002/Tanggal 15 Februari 2002
tentang kewenangan kabupaten di bidang kehutanan yang berisi antara lain:
- Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.
- Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan pada hutan produksi dan
hutan lindung.
- Rehabilitasi hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan pada hutan
produksi dan hutan lindung.
- Pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan.
- Penyelenggaraan perlindungan hutan dan hasil hutan.
- Penyebarluasan informasi kehutanan.
ekosistem mangrove selama penelitian, input data sosial dan ekonomi merupakan
hasil wawancara dengan para responden yang telah ditentukan sebelumnya dan
input data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait.
Untuk mengarahkan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan
tersebut berdasarkan input data ekologi, sosial budaya, ekonomi dan
kelembagaan, maka dilakukan analisis dengan menggunakan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, Threat), yaitu suatu analisis alternatif yang
digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam
merumuskan strategi pengelolaan. Analisis SWOT merupakan pemilihan
hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal yaitu kekuatan dan kelemahan
terhadap unsur-unsur eksternal, yaitu peluang dan ancaman.
Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal didapatkan unsur-
unsur SWOT seperti pada Tabel 28.
1) Kekuatan (Strength)
S1 : Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan.
2) Kelemahan (Weakness)
W1 : Tingkat pendapatan yang relatif rendah.
3) Peluang (Opportunity)
O1 : Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan
berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
4) Ancaman (Threat)
T1 : Belum adanya peraturan daerah dan peraturan desa (kearifan lokal)
berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Peraturan daerah dan peraturan desa serta kearifan lokal mutlak diperlukan
dalam rangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan
Percut Sei Tuan. Peraturan-peraturan ini diperlukan untuk mengatur tingkat
pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove baik ekosistem maupun mangrove
itu sendiri. Belum adanya kebijakan dan peraturan di tengkat pemerintah dan desa
menyebabkan masyarakat secara tidak terkendali memanfaatkan sumberdaya ini.
Untuk itu diperlukan suatu bentuk peraturan dan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan pengelolaan dan pelestarian mangrove sehingga
eksistensi mangrove bisa terjaga dan pemanfaatan dapat berkelanjutan.
(i) Tujuan
Merujuk pada pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Deli Serdang,
pemerintah kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang
telah menetapkan beberapa kebijakan strategis berkaitan dengan pengelolaan
kehutanan yang tersurat dalam Rencana Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2007 – 2010 antara lain yaitu meningkatkan pemanfaatan
sumberdaya hutan secara optimal sesuai fungsinya, memulihkan hutan dan lahan
yang rusak sehingga dapat berfungsi optimal sesuai fungsinya, mewujudkan
sumberdaya manusia bidang kehutanan yang berkualitas, dan meningkatkan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Khusus untuk
masalah pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal sesuai fungsinya sebagai
contoh hutan mangrove, hal ini dijabarkan lebih jauh dalam rencana pengelolaan
oleh sub bina program dinas kehutanan dimana arahan yang diambil dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove secara optimal, terpadu dan
berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengendalian
kerusakan lingkungan akibat berbagai pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan
menurut proporsinya dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan.
Dalam pelaksanaan seluruh kebijakan sebagaimana dijabarkan di atas,
dipastikan akan mucul berbagai permasalahan dan konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya mangrove antar stakeholder tergantung oleh besarnya nilai manfaat
yang diberikan oleh sumberdaya tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam
menghindari konflik dan pemecahan masalah berdasarkan atas persepsi
masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya adalah dengan menggunakan
model Proses Hirarki Analitik (PHA). Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis
PHA dalam penelitian ini adalah memberikan suatu rekomendasi arahan kebijakan
91
(ii) Kriteria
Untuk mencapai tujuan di atas, yakni pengelolaan ekosistem mangrove
secara lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan, maka terdapat 4
kriteria yang harus diperhatikan, yaitu (1) faktor kekuatan, (2) kelemahan, (3)
peluang dan (4) faktor ancaman.
Hasil analisis pendapat gabungan responden yang telah diolah dengan
menggunakan program Expert Choice 2000 dan Microsoft Excel 2003,
menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria
terhadap tujuan yang ingin dicapai, seperti terlihat pada Tabel 29.
Berdasarkan pada Tabel 28, terlihat bahwa secara hirarki, kriteria yang
paling utama menurut para responden dalam mencapai tujuan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan adalah kekuatan (strenght)
dengan nilai 110 (60,2 %). Selanjutnya diikuti oleh peluang (opportunity)
dengan nilai 87 (23,4%), ancaman (threat) dengan nilai 51 atau sebesar 9,5 %, dan
kelemahan (weakness) dengan nilai 51 (6,8 %). Hasil ini menunjukkan bahwa
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan bertumpu pada
unsur kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman.
Potensi sumberdaya alam mangrove dan sosial ekonomi masyarakat menjadi basis
pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan.
92
mangrove Percut dengan persentase sebesar 62,7 %. Selain itu faktor sumberdaya
manusia yang masih rendah (19,7 %) dan rendahnya pembinaan, pendidikan serta
pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan
sebagian masyarakat memiliki persentase sebesar 10,8 % merupakan faktor
kelemahan yang harus dipertimbangkan dan segera diatasi sehingga dapat
mempermudah diterima dan masuknya informasi serta kegiatan pengelolaan
mangrove oleh masyarakat. Untuk faktor lemahnya informasi dan sosialisasi
peraturan serta penegakkan hukum merupakan faktor terendah dengan persentase
sebesar 6,8 % (Tabel 32).
(iii) Alternatif
terhadap pelestarian dan rehabilitasi lahan-lahan yang gundul dan rusak disamping
keinginan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga melalui
sumberdaya mangrove tersebut menjadi faktor penting terlaksananya program
rehabilitasi. Terdapatnya wadah, dalam hal ini kelompok masyarakat dan LSM
lokal, sebagai aspek kelembagaan memberikan peranan penting dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan rehabilitasi. Dengan adanya
wadah tersebut memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan keinginan dan
aspirasinya untuk melestarikan sumberdaya mangrove yang terdapat disekitarnya
yang pada akhirnya dapat mempermudah pihak-pihak terkait yang ingin
mengelola kawasan berbasis masyarakat.
Dari semua komponen faktor SWOT yang didapatkan, baik itu faktor
internal maupun eksternal dilakukan pembobotan dan skoring untuk mengetahui
tingkat kepentingan dari faktor-faktor tersebut dalam arahan alternatif kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, baik itu kegiatan
rehabilitasi, wisata dan konservasi dimana kegiatan rehabilitasi menjadi kegiatan
prioritas tertinggi dari hasil analisis A’WOT yang dilakukan.
Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap
pengelolaan ekosistem mangrove untuk alternatif kegiatan rehabilitasi, wisata
maupun konservasi dengan nilai +1,8. Sedangkan kelemahan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove menunjukkan nilai –0,7, sehingga akumulasi nilai dari
pengaruh faktor-faktor internal adalah 1,05 (Tabel 35).
Berdasarkan hasil analisis SWOT, untuk semua faktor yaitu IFAS (internal
strategic factors analysis summary) dan EFAS (external strategic factors analysis
summary) pada Tabel 35 dan 36, menunjukkan bahwa kondisi mangrove berada
pada kuadran I dengan nilai 1,05 dan 0,9 yang artinya ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dikelola baik ditinjau dari faktor kekuatan dan
potensi wilayah untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Hasil pembobotan matriks SWOT mengindikasikan bahwa dalam
pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan mengacu pada
suatu strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang
ada seoptimal mungkin, sehingga para stakeholders dapat mengelola dan
memanfaatkan mangrove sesuai dengan peruntukan secara lestari dan
berkelanjutan. Kondisi pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan berada pada kuadran pertama (Gambar 13), yaitu posisi strategi pengelolaan
ekosistem mangrove mendukung strategi agresif. Posisi tersebut mengindikasikan
bahwa pengelolaan harus menghindari unsur-unsur ancaman. Peluang harus
10
Kelemahan Kekuatan
Gambar 13 Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan
Ancaman
faktor eksternal
Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan sosial ekonomi dan
aktivitas masyarakat pesisir yang hidup di sekitar ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan dan digabungkan dengan faktor dari analisis SWOT
maka disusun rencana strategi dan rencana program (kegiatan) dalam pengelolaan
ekosistem mangrove. Selengkapnya rencana strategi yang kemudian diaplikasikan
dalam rencana program adalah sebagai berikut :
menyatukan dua kegiatan yaitu pelestarian dan pemanfaatan tanpa harus merusak
dan menurunkan kualitas lingkungan mangrove.
Dalam rangka peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi dapat
dilakukan dengan berbagai kegiatan, antara lain yaitu:
1. Penanaman kembali mangrove untuk jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera dan
Sonneratia.
Reboisasi mangrove dilaksanakan pada daerah yang mengalami kerusakan
(Desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang) sesuai dengan Rencana
Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten. Reboisasi dilakukan dengan menanam jenis-
jenis Rhizophora, Bruguiera dan Sonneratia mengingat jumlah dari jenis- jenis ini
sangat rendah akibat pemanfaatan yang tinggi. Selain itu reboisasi juga dilakukan
pada pinggir-pinggir sungai seperti Sungai Percut dan Sungai Sei Tuan. Tujuan
penanaman mangrove diantaranya ialah rehabilitasi lahan untuk mengembalikan
fungsi ekologi dari lahan yang telah rusak. Namun demikian, agar program
penanaman ini berjalan dengan baik dan berhasil, maka masyarakat setempat
haruslah terlibat secara penuh mulai dari perencanaan kegiatan sampai pemeliharaan
tanaman. Keterlibatan ini sangatlah penting karena masyarakatlah yang sehari-hari
berada dan berinterkasi dengan tanaman dan lokasi penanaman. Dalam upaya
melakukan rehabilitasi sebaiknya dilakukan dengan mengandalkan bibit-bibit lokal
dan penanaman yang baik (Kusmana et al. 2005). Bibit-bibit lokal dimaksudkan
untuk memudahkan dalam kegiatan rehabilitasi dan sesuai dengan kondisi
lingkungan setempat.
Teknik penanaman yang baik tidak cukup hanya secara fisik saja dalam
artian ketika bibit diperoleh dapat langsung dilakukan penanaman, karena akan
berakibat pada kematian dan kegagalan dalam proses pertumbuhan mangrove
yang ditanam. Kusmana et al. (2005) memberikan tahapan dalam melakukan
penanaman yaitu jenis bahan tanaman, pemilihan jenis bahan tanaman, penentuan
kematangan propagul, cara pengumpulan propagul, waktu penanaman, dan teknik
penanaman.
Untuk jenis bahan tanaman, secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman
(bibit) di dalam kegiatan penanaman mangrove yaitu berupa propagul (buah) dan
berupa anakan (bibit dalam pot) baik yang berasal dari penyemaian maupun yang
10
berasal dari alam. Dalam hal pemilihan jenis bahan tanaman, menurut Peraturan
Menteri Kehutanan (2004), jenis tanaman dipilih yang cocok dan disesuaikan
dengan kondisi fisik lapangan dan kesiapan masyarakat setempat. Sebagai rujukan
dapat dipilih kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungannya seperti pada Lampiran 2. Meskipun penanaman langsung dengan
propagul (buah) lebih murah, tapi metode ini kadangkala sulit dilakukan untuk
penanaman dalam skala besar karena jadwal pelaksanaan hanya terbatas pada
musim berbuah masak (propagul tidak dapat disimpan lama) dan perlu rekruitmen
buruh dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (ketika musim
berbuah masak), karena itu kegiatan penanaman skala besar lebih banyak
mengkombinasikan penanaman langsung propagul dan bibit dalam pot untuk
meratakan beban kerja sepanjang tahun.
Waktu penanaman sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan jadual
pasang surut di lokasi penanaman sehingga diusahakan paling sedikit seminggu
setelah ditanam, tanaman tidak tergenang. Penanaman dengan menggunakan
propagul masih memungkinkan dilakukan pada saat air pasang, namun
penanaman dengan bibit dalam pot harus dilakukan pada saat air surut untuk
menghindari kerusakan media dalam pot yang menyelimuti akar bibit.
Untuk penanaman di pinggir laut, terutama di daerah pantai yang
menghadap laut terbuka, musim ombak besar perlu diketahui agar setelah
penanaman bibit/benih tidak hilang diterjang ombak. Pada daerah pantai,
penanaman sebaiknya tidak dilakukan pada saat musim barat karena pada saat
tersebut ombak sangat besar. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim timur
untuk mengurangi resiko hilangnya bibit/benih akibat terjangan ombak.
Penanaman pada tanah yang agak keras dibuat lubang dengan kedalaman yang
cukup pada saat air surut. Kemudian di dekat lubang diberi ajir sebagai tempat
mengikat propagul/anakan (bibit). Penanaman propagul dan anakan secara tegak
lurus dengan bakal kecambah menghadap ke atas. Khusus untuk anakan yang
berasal dari persemaian, sebelum ditanam kantong palstik (polybag) harus
dilepaskan sehingga tidak menghalangi pertumbuhan akar setelah pananaman.
Pemakaian ajir harus tepat yaitu ajir yang digunakan harus kokoh kedudukannya
di substrat mangrove dan tidak mudah terbawa arus air.
10
Bedeng persemaian:
tanah yang didalami,
tanah yang diberi batas bambu
Mangrove
Tanggul pemisah
(A) (B)
Mangrove
Empang Pintu air
Kesimpulan
Saran
1. Diperlukan kontinuitas dalam implementsi program-program pengelolaan dan
pelestarian ekosistem mangrove, serta pengembangannya di masa datang.
2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dalam menganalisis kesesuaian lahan
untuk menentukan zonasi pengelolaan ekosistem dan sumberdaya mangrove
di Percut Sei Tuan seperti zona pemanfaatan, zona perlindungan dan zona
rehabilitasi (pelestarian).
3. Diharapkan adanya penelitian dan penyusunan dalam pemetaan habitat burung
migran dan primata serta penetapan status sebagai kawasan pelestarian
ekosistem habitat burung migran dan primata yang dikuatkan dengan SK
Bupati atau Peraturan Daerah (Perda).
4. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dalam mengkaji keterlibatan dan
keterkaitan antar lembaga dalam pengelolaan ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaen Deli Serdang. 2005. Kecamatan Percut Sei Tuan
Dalam Angka 2004.
Bengen, D.G. 2004. Sinopsis: Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut
Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan. Institut Petanian Bogor (IPB). Bogor.
Chambers, M.J.G., dan A.S, Sobur. 1977. Problem in Assessing The Rates and
Processes of Coastal Change in the Province of South Sumatra. Center for
Natural Resource Management and Environment Studies. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cet. III. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Hong, P.N., and H.S. San. 1993. Mangrove of Vietnam. The IUCN Wetlands
Programme. Bangkok. Thailand.
Inoue, Y. Oki, H. Afwan, R.S. Ketut, dan I Nyoman B. 1999. Model Pengeloaan
Hutan Mangrove Lestari, Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia.
Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA
(Jepang).
IUCN Red List of Threatened Species. 2007. Categories and Criteria 1994
(version 2.3) http://www.iucnredlist.org/info/categories_criteria1994#
categories [19 Sep 2007]
Melana, D.M., J. Atchue III, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana, and
H.I. Gonzales. 2000. Mangrove Management Handbook. Coastal Resource
Management Project of the Departement of Environment and Natural
Resources supported by the United States Agency for International
Development. Manila. Philippines.
Odum, P.E. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan. Cet.
2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Permadi, B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengenai Teori dan Aplikasi Model
The Analytical Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas. Studi
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Prasetyo, D., and T. Handayani. 1999. The Study of Silvofishery in The Bay of
Jakarta and Seribu Island for Supporting Mariculture. Proceeding
International Seminar on Application of Seawatch Indonesia Information
System for Indonesian Marine Resources Development”, March 10-11,
1999, BPPT Jakarta.
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki
Analitik untuk Pengembilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri
Manajemen No. 134 (Terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Jakarta.
Sutrisno, D., J. Pariwono, J. Rais, dan T. Kusumastanto. 2005. The Impact Of Sea
Level rise on Delta Management: A Case Study Of Shrimp Pond
Management In Muaraulu Island - Mahakam Delta. Jurnal Ilmiah
Geomatika Vol.11 No.1, September 2005
Yefri, N. 1987. Struktur Pohon Hutan Bekas Tebangan di Air Gadang Pasaman.
[tesis]. Porgram Pascasarjana, Universitas Andalas Padang.
Lampiran 1a Daftar temuan jenis fauna (burung air) di Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut berdasarkan pengamatan pada Januari
2003 – Mei 2007 oleh Yayasan AKASIA Indonesia.
A. Burung Air
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris Status
IUCN RDB UU
1 Pecuk? Phalacrocorax spp Cormorant?
2 Cangak Abu Ardea cinerea Grey Heron
3 Cangak Merah Ardea purpurea Purple Heron
4 Kokokan Laut Butorides striatus Striated Heron
5 Kuntul Kerbau Bubulcus ibis Cattle Egret
6 Kuntul Cina Egretta eulophotes Chinese Egret Vu
7 Kuntul Besar Egretta alba Great Egret
8 Kuntul Perak Egretta intermedia Intermediate Egret
9 Kuntul Kecil Egretta garzetta Little Egret
10 Kowak-malam Abu Nycticorax nycticorax Black-crowned Night-heron
11 Bambangan? Ixobrychus sp Bittern?
12 Bambangan merah Ixobrychus cinnamomeus Cinnamon Bittern
13 Bagau Bluwok Mycterea cinerea Milky Stork Vu Vu UU
14 Bangau Tongtong Leptoptilos javanicus Lesser Adjutant Vu Vu UU
15 Mandar/Tikusan Porzana sp Rail/Crake?
16 Koreo Padi Amaurornis phoenicurus White-breasted Waterhen
17 Cerek Besar Pluvialis squatarola* Grey plover
18 Cerek Kernyut Pluvialis fulva* Pacific Golden-plover
19 Cerek Tilil Charadrius alexandrinus* Kentish Plover
20 Cerek-pasir Mongolia Charadrius mongolous* Mongolian Plover
21 Cerek-cerekan Charadrius sp* Plover?
22 Gajahan Besar Numenius arquata* Eurasian Curlew UU
23 Gajahan Pengala Numenius phaeopus* Whimbrel UU
1
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris Status
IUCN RDB UU
24 Gajahan Timur Numenius madagariensis* Far Eastern Curlew Nt Nt UU
25 Biru Laut ekor-hitam Limosa limosa* Black-tailed Godwit
26 Biru Laut ekor-blorok Limosa lapponica* Bar-tailed Godwit
27 Trinil Kaki Merah Tringa totanus* Common Redshank
28 Trinil Rawa Tringa stagnatilis* Marsh Sandpiper
29 Trinil kaki-hijau Tringa nebularia* Common Greeshank
30 Trinil Pantai Tringa hypoleucos* Common Sandpiper
31 Trinil Lumpur Asia Limnodromus semipalmatus* Asian Dowitcher Nt Nt UU
32 Kedidi Besar Calidris tenuirostris* Great Knot
33 Kedidi Belang Calidris Alpina* Dunlin
34 Kedidi Golgol Calidris ferruginea* Curlew sandpiper
35 Dara Laut Biasa Sterna hirundo* Common Tern
36 Dara Laut Kecil Sterna albifrous* Little Tern
37 Dara Laut? Sterna sp* Tern?
1
Lampiran 1b Daftar temuan jenis fauna (burung teresterial) di Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut berdasarkan pengamatan pada Januari
2003 – Mei 2007 oleh Yayasan AKASIA Indonesia.
B. Burung Teresterial
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris
1 Elang Tikus Elanus caeruleus Black-winged Kite
2 Elang Bondol Heliastur indus Brahminy Kite
3 Punai gading Treron vernans Pink-necked Green-Pigeon
4 Perkutut Jawa Geopelia striata Zebra-Dove
5 Wiwik lurik Cocomantis sonneratii Banded Bay Cuckoo
6 Bubut Besar Centropus sinensis Greater Caucal
7 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Lesser Coucal
8 Serak Jawa Tyto alba Barn Owl
9 Cabak Kota Caprimulgus affinis Savannah Nightjar
10 Walet Collocalia maxima Black-nest Swiftlet
11 Cekakak Cina Helcyon pileata Black-capped Kingfisher
12 Cekakak Sungai Todirhomphus chloris Collared Kingfisher
13 Pelatuk hijau Picus vittatus Laced Woodpecker
14 Caladi tilik Picoides moluccensis/Dendrocopos moluccensis Sunda Woodpecker
15 Layang-layang api Hirundo rustica* Barn Swallow
16 Layang-layang Batu Hirundo tahitica Pacific Swallow
17 Kapasan kemiri Lalage nigra Pied Triller
18 Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier Yellow-vented Bulbul
19 Gagak hutan Corvus enca Slender-billed Crow
20 Gelatik-batu Kelabu Parus major Great Tit
21 Kucica kampung Copsychus saularis Magpie Robin
22 Cinenen Kelabu Orthotomus ruficeps Ashy Tailorbird
23 Perenjak Jawa Prinia familiaris Bar-winged Prinia
24 Cici Padi Cisticola juncidis Zitting Cisticola
1
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris
25 Kipasan belang Rhipidura javanica Pied Fantail
26 Kekep babi Artamus leucorhynchus White-breasted Wood-swallow
27 Burung Madu-bakau Nectarina calcoseta Copper-throated Sunbird
28 Burung Madu-sriganti Nectarina jugularis Olive-backed Sunbird
29 Kacamata biasa Zoosterops pulpebrosus Oriental White-eye
30 Burung Gereja erasia Passer montanus Eurasian Tree Sparrow
31 Manyar tempua Ploceus philippinus Baya Weaver
32 Bondol rawa Lonchura malacca Black-headed Munia
33 Bondol haji Lonchura maja White-headed Munia
1
12
Toleransi thd
Toleransi thd
Salinitas kekuatan Toleransi thd Frekuensi
Jenis (‰) kandungan
ombak & lumpur penggenangan
pasir
angin
Rhizophora
10-30 S MD S 20 hr/bln
mucronata
R. (bakau)
stylosa (tongke
10-30 MD S S 20 hr/bln
besar)
R. apiculata
10-30 MD MD S 20 hr/bln
(tinjang)
Bruguiera parviofa
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(bius)
B. sexangula
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(tancang)
B. gymnorhiza
10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln
(tanjang merah)
Sonneratia alba
10-30 MD S S 20 har/bln
(pedada bogem)
S. caseolaris
10-30 MD MD MD 20 hr/bln
(pedada)
Xylocarpus
10-30 TS MD MD 9 hr/bln
granatum (nyirih)
Heritiera littoralis
(bayur laut) 10-30 STS S MD 9 hr/bln
Lumnitreza
10-30 STS S MD Bbrp kali/thn
racemora (taruntum)
Cerbera manghas Tergenang
(bintaro) 0-10 STS MD MD
musiman
Nypa fruticans
0-10 STS TS S 20 hr/bln
(nipah)
Avicennia spp. 10-30 MD TS S
(api-api)
Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan (2004)
Keterangan : S= sesuai; MD= moderat; TS= tidak sesuai; STS= sangat tidak sesuai
12
ALTERNATIF : 1. Rehabilitasi
2. Konservasi
3. Wisata Ilmiah
PENILAIAN RESPONDEN UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS KRITERIA DAN ALTERNATIF KEGIATAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN PERCUT SEI TUAN
1
Lampiran 4 (Lanjutan)
1
Lampiran 4 (Lanjutan)
KRITERIA
KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN JUMLAH RATA-RATA
ALTERNATIF
REHABILTIASI 0.689 0.646 0.694 0.394 2.423 0.606
KONSERVASI 0.106 0.107 0.124 0.487 0.824 0.206
WISATA 0.204 0.247 0.182 0.119 0.752 0.188
1 1 1 1 4 1
Keterangan:
Skoring: 1 = Sama Penting
Jumlah Responden (Tokoh Kunci/Key Person) = 13 Orang,
3 = Sedikit Lebih Penting
terdiri dari 5 = Lebih Penting
7 = Jelas Lebih Penting
1. Kepala Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang 8. Kelompok Masyarakat GP4 9 = Mutlak Lebih Penting
2. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang 9. Kelompok Masyarakat Petambak
3. Kepala Bappeda Kabupaten Deli Serdang 10. Kelompok Masyarakat Koperasi Mina Mitra Sejahtera
4. Camat Percut Sei Tuan 11. Unsur Perguruan Tinggi (Universitas Sumatera Utara)
5. Kepala Desa Tanjung Rejo 12. Unsur LSM (Yayasan AKASIA Indonesia)
6. Kepala Desa Percut Sei Tuan 13. Unsur Masyarakat Umum
7. Kepala Desa Pematang Lalang
1
13
Profil lembaga
Nama Lembaga
:…………………………………………………………………………………….
Nama Pimpinan : 1.
…………………………………………………………………………………
2..…..……………………………………………………………………………
Alamat : …..…….………………………………………………………………………
...............….…….……….…………………………………………………….
Telephone : .…………………………….. Facsimile : ..........………………………
E-mail :.……………………………………………………………………………………
Tanggal berdiri
:.....……………………………………………………………………………….
No. Akta (bila ada):
……………………………..………………………………………………….
Struktur Organisasi:
□ Ada (terlampir) □ Tidak ada
Jenis organisasi :
□ Yayasan □ Ormas □ Orpol
□ Asosiasi □ CBO □ Koperasi
□ …………………………………………………………………………….
Tipe kegiatan :
□ Penelitian □ Advokasi □ Info-com
□ Pendanaan □ Pendidikan & lat. □ B. Kemanusiaan
□ …………………………………………………………………………...
□ ……………………………………………………………………………
Bidang kegiatan :
□ Pertanian □ Sosial □ Kebudayaan
□ Perburuhan □ Lingkungan hidup □ Ibu & anak
□ Ek. Masyarakat □ Gizi & makanan □ Industri
□ Tek. Tepat guna □ Masy. Adat □ Gender
□ Industri kecil □ Hak asasi manusi □ Ketrampilan
□ ………………………………………………………………………………..
□ ………………………………………………………………………………..
□ …………………………………………………………………………………
Wilayah Kegiatan:
□ Desa/Kel. □ Kab. Kota. □ Propinsi
□ Nasional □ Internasional
Sumber Dana:
□ Modal sendiri □ Iuran anggota □ Pemerintah
□ Donor Dlm. Neg. □ Donor LN □ Usaha sendiri
□ ………………………………………………………………………..
□ ………………………………………………………………………..
13
Mitra Kerja :
Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan
LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan
Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan
Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan
1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan
oleh stakeholders (pelaku pembangunan) dalam kehidupannya
□ ekosistem mangrove □ ekosistem pantai □ ekosistem estuaria
□ ekosistem terumbu karang □ ekosistem lamun □ ……………..
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
Terima kasih
13
Lampiran 6 (Lanjutan).
Kota/Kabupaten : …………………………………………..
Tanggal : …………………………
Profil lembaga
Nama Dinas/Inst.:
…………………………………………………………………………………
Nama Pimpinan:
1. .………………………………………………………………………………
2. .………………………………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
Telephone : .…………………………….. Facsimile :
……………………………… E-mail : .
………………………………………………………………………………
Struktur Organisasi :
□ Ada (terlampir) □ Tidak ada
Mitra Kerja :
Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan
LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan
Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan
Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan
13
2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini mendukung masyarakat di sekitarnya
□ baik □ kurang mendukung □ tidak mendukung
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
13
Terima kasih
14
Lampiran 6 (Lanjutan)
A. Identitas Responden
1. Nama : ................................................................
2. Umur : ................................................................
3. Alamat : ................................................................
4. Jenis Kelamin: a. Laki-laki b. Perempuan
5. Status Perkawinan : a. Kawin b. Belum Kawin c. Janda/Duda
6. Pendidikan : a. Tidak lulus SD b. Lulus SD c. Lulus SLTP/Sederajat
d. Lulus SLTA/Sederajat e. Lulus D3/Sarjana
7. Pekerjaan : ......................................................
8. Lama tinggal di daerah ini :.......................tahun
9. Dari kegiatan perikanan berapa pendapatan yang dihasilkan perbulan?
...........................................................................................
10. Disamping kegiatan perikanan apakah ada kegiatan lain yang dapat
menghasilkan pendapatan :
a. ........................................................................
b. ........................................................................
c. .......................................................................
11. Berapa rata-raa pendapatan bersih perbulan dari pekerjaan sampingan
tersebut? ................................................................
12. Organisasi kemasyarakatan apa yang anda ikuti? ..............................................
13. Peran anda sebagai apa? ............................................
6. Bagaimana menurut anda bila ada suatu ketetapan peraturan daerah yang
mengatur tentang pelestarian hutan mangrove?
(a) sangat baik (b) baik (c) tidak baik (d) buruk
7. Menurut anda bagaimana kebijakan serta koordinasi dengan instansi terkait
dalam bidang pelestarian hutan mangrove?
(a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) buruk
8. Menurut anda apakah telah ada bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan
pemerintah untuk pelestarian mangrove di desa ini?
(a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) tidak tahu
Pertanyaan Tambahan
1. Apakah saat anda menanam/pemeliharaan mangrove, apakah bibit tanaman
mudah diperoleh?
a. Sangat sulit b. Cukup mudah c. Sangat mudah
8. Perbedaannya dimana?
a. Jarak melaut semakin jauh/dekat
b. Jumlah tangkapan berkurang/bertambah
c. Jenis ikan berkurang/bertambah
d. Sering terjadi gelombang besar/badai
e. ...................................................................
f. ...................................................................
10. Menurut bapak/ibu, permasalahan apa yang menjadi prioritas untuk diatas di
desa ini? .............................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
11. Menurut bapak/ibu, solusi apa dan bagaimana yang bapak/ibu harapkan? .......
..............................................................................................................................
14
Lampiran 7 (Lanjutan)
Lampiran 7 (Lanjutan)
Limosa sp Helcyon sp