Anda di halaman 1dari 162

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN


KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

FERDINAND SUSILO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
ABSTRAK

FERDINAND SUSILO, Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut


Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Dibimbing oleh ISDRADJAD
SETYOBUDIANDI dan ARIO DAMAR.
Kecamatan Percut Sei Tuan sebagai salah satu wilayah pesisir Sumatera
Utara dengan sumberdaya mangrove yang mendukung kehidupan masyarakat
sekitar, dewasa ini dihadapkan pada masalah tingkat eksploitasi berlebihan dan
konversi lahan untuk berbagai kegiatan yang menyebabkan kerusakan sampai
79,8 %.
Penelitian tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut
Sei Tuan bertujuan untuk mengetahui potensi dan kondisi ekosistem mangrove
saat ini serta memberikan arahan strategi kebijakan yang diperlukan dalam
pengelolaan ekosistem mengrove di wilayah ini.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode panarikan contoh
(sampling), observasi langsung kondisi lapangan, penyebaran kuisioner,
wawancara terbuka/langsung (open-ended) dan wawancara mendalam (in-depth
interview) di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan dengan penelusuran
berbagai pustaka, dan instansi terkait. Dalam penentuan alternatif arahan
kebijakan digunakan metode A’WOT yang merupakan gabungan AHP (analytical
hierarchy process) dan SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats). Hasil
analisis A’WOT menunjukkan bahwa guna mencapai kelestarian ekosistem
mangrove dan pemanfaatan berkelanjutan, arahan kebijakan yang pelu dilakukan
antara lain (1) peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi; (2)
peningkatan peran stakeholder; (3) penguatan hukum dan kelembagaan; (4)
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem
mangrove; (5) peningkatan ekowisata (wisata ilmiah); dan (6) peningkatan
kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar ekosistem mangrove.

Kata Kunci: Percut Sei Tuan , ekosistem mangrove, A’WOT, strategi kebijakan.
ABSTRACT

FERDINAND SUSILO, Mangrove Ecosystem Management on District of Percut


Sei Tuan Deli Serdang Regency North Sumatera. Supervise by ISDRADJAD
SETYOBUDIANDI and ARIO DAMAR.
District of Percut Sei Tuan as one of coastal region in North Sumatera with
mangrove resource which supporting the life of the society near the ecosystem,
now faced to problems such as over exploitation and area conversion for various
activity that causing damage until 79,8 %.
Research about Mangrove Ecosystem Management on District of Percut Sei
Tuan aim to know the potential and existing condition of mangrove ecosystem
and also give directive policy strategic needed in managing mangrove ecosystem
in this area.
Primary data obtain by sampling, field observation, question, open-ended
interview and in-depth interview in the research area. Secondary data obtain by
unravel various literature, and related institution. In determination of alternative
policy directive use an A’WOT method which constitute of AHP (Analytical
Hierarchy Process) and SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats).
A’WOT analyzed result shown that for achieving mangrove ecosystem
preservation and sustainable use, policy directive require to be done among other
like (1) increase of rehabilitation programs and ecological manipulation; (2)
increase of stakeholders participation; (3) law and institution reinforcement; (4)
increasing of society participation in management and preservation of mangrove
ecosystem; (5) increase of ecotourism (scientific tourism); and (6) increase of
human resources quality nears the mangrove ecosystem.

Keywords: Percut Sei Tuan , Mangrove ecosystem, A’WOT, Policy strategic.


@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN
KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

FERDINAND SUSILO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul : Pengelolaan Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei
Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

Nama : Ferdinand Susilo


NRP : C251050031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana


Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 22 November 2007 Tanggal Lulus :


PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan
Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor, Desember 2007

Ferdinand Susilo
NRP C251050031
PRAKATA

Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya,
penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Pengelolaan
Ekosistem Magrove Di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, M.Si
selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanannya
baik waktu, tenaga, pikiran, petunjuk serta pengarahan dan dorongan
semangat dari awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Kepala Desa
Percut, Kepala Desa Tanjung Rejo, Kepala Desa Pematang Lalang, Ketua
Koperasi Mina Bina Sejahtera Percut, Ketua Kelompok Masyarakat GP-4,
Masyarakat Petambak, Kepala Laboratorium Tumbuhan Biologi USU, Analis
Laboratorium PTKI Medan yang telah banyak membantu dalam penyediaan
dan informasi data serta analisis sampel selama penelitian.
3. Ayahanda H. Sirun Susilo dan Ibunda Hj. Amini serta abang dan kakak
beserta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat
maupun materi pada penulis selama studi.
4. Teman-temanku Hasri, Hanifah, Gigi, Aran, Leman, Hendrik, Mugi, Pipit,
dan adik-adik BIOPALAS yang telah banyak membantu selama pengamatan
dilapangan dan penelusuran data-data. Keluarga besar “BENZIN” yang
menjadi teman setia dalam penulisan tesis ini, teman-teman SPL angkatan 12
atas dorongan dan bantuannya.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2007

Ferdinand Susilo.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Helvetia, Medan Sumatera Utara, pada 07 Maret


1981 dari ayah bernama Sirun Susilo dan ibu Amini. Penulis merupakan putra
ketujuh dari tujuh bersaudara.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada 1993 di SDN 106802
Medan, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN Labuhan Deli pada tahun
1996, dan menyelesaikan Sekolah Menengah Umum (SMU) SUTOMO 2 Medan
pada tahun 1999. Tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana
Strata Satu pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi
Biologi Universitas Sumatera Utara. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL .............................................................................. xii


DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xv
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................. 1
Perumusan Masalah ..................................................................... 2
Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
Pengertian Ekosistem Mangrove .................................................. 4
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove .................................... 5
Pengelolaan Ekosistem Mangrove ................................................ 8
Karakteristik Masyarakat Pesisir .................................................. 12
Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir ...................... 15
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 16
Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Process/AHP) . 17
Analisis SWOT ............................................................................ 20
KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................. 22
METODE PENELITIAN ................................................................... 24
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 24
Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh ....................... 26
Analisis Data ................................................................................ 30
Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut
Sei Tuan ........................................................................................ 31

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 40


Gambaran Umum Kabupaten Deli Serdang .................................. 40
Gambaran Umum Kecamatan Percut Sei Tuan ............................. 44
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Saat Ini di Kecamatan Percut
Sei Tuan ........................................................................................ 50
Ekologi Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ..... 51
Luas Hutan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang .................................................... 51
Struktur Vegetasi Mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................. 53
Keanekaragaman Fauna .................................................... 59
Kondisi Fisik Kimia Ekosistem Mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan ................................................................ 63

x
Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di
Sekitar Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ....... 70
Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................... 70
Sosial Budaya Masyarakat ................................................. 73
Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan ....................................................................... 77
Arah Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove .......... 82
Komponen dan Faktor-faktor SWOT ...................................... 82
Analisis Prioritas A’WOT ...................................................... 89
Analisis Faktor Komponen SWOT ......................................... 99
Rencana Strategi dan Program Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan .................................... 102

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 113


Kesimpulan ................................................................................ 113
Saran .......................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 115
LAMPIRAN ...................................................................................... 121

xi
DAFTAR TABEL

Tabel halaman
1 Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian ..... 24
2 Alat dan metode pengukuran parameter lingkungan ............ 26
3 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors
Analysis Summary) ............................................................. 33
4 Analisis strategi faktor eksternal (External StrategicFactors
Analysis Summary) ............................................................. 34
5 Model matriks SWOT hasil analisis SWOT ......................... 34
6 Skala perbandingan secara berpasangan (pairwise comparison)
menurut say (1993) .............................................................. 37
7 Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang .................... 43
8 Pola penggunaan lahan Kecamatan Percut Sei Tuan ........... 46
9 Komposisi penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan
berdasarkan desa/kelurahan, luas wilayah, jenis kelamin,
tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga ........................ 47
10 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ................ 48
11 Fungsi dan luas kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang . 51
12 Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang .......... 52
13 Jumlah individu pada masing-masing jenis vegetasi
mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan ............................ 54
14 Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 56
15 Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 57
16 Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 58
17 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap
tingkatan pohon .................................................................. 59
18 Jenis-jenis fauna di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan ... 60
19 Kisaran suhu ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan .................................................................................... 63
20 Kisaran pH ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan .................................................................................... 65
21 Kisaran salinitas ekosistem mangrove Kecamatan Percut
Sei Tuan .............................................................................. 68

xii
22 Persentase fraksi substrat ekosistem mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan .................................................................. 70
23 Jenis mata pencaharian masyarakat di desa-desa penelitian .. 71
24 Jumlah dan jenis pasar yang terdapat di desa-desa studi ....... 73
25 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di desa-desa
penelitian ............................................................................. 73
26 Fasilitas pendidikan yang terdapat di desa-desa penelitian ... 74
27 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai eksositem
mangrove ............................................................................ 76
28 Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................ 83
29 Prioritas komponen SWOT dalam pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ................................ 91
30 Prioritas faktor komponen kekuatan (Strength) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 92
31 Prioritas faktor komponen peluang (Opportunity) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 93
32 Prioritas faktor komponen kelemahan (Weakness) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 94
33 Prioritas faktor komponen ancaman (Threat) dalam
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan ................................................................................... 95
34 Prioritas alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.................................. 95
35 Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic
Factors Analysis Summary - IFAS).................................................99
36 Hasil analisis faktor-faktor eksternal (External Strategic
Factors Analysis Summary - EFAS)..............................................100
37 Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT dalam
pengelolaan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan......................101
38 Prioritas strategi pengelolaan ekosistem mangrove Percut
Sei Tuan..........................................................................................102

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem mangrove ....... 23


2 Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan sampel ........... 25
3 Skema penempatan petak contoh ......................................... 28
4 Diagram hierarki analisis arahan pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang................................................................................. 38
5 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Deli Serdang .......... 41
6 Peta Administratif Kecamatan Percut Sei Tuan ................... 45
7 Peta Penutupan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan ........ 55
8 Daerah sebaran burung pantai, burung migran dan primata .. 62
9 Sebaran rata-rata suhu air pada setiap jalur pengamatan ...... 64
10 Sebaran rata-rata suhu tanah pada setiap jalur pengamatan .. 64
11 Sebaran rata-rata pH air pada tiap jalur pengamatan ............ 66
12 Sebaran rata-rata pH tanah pada tiap jalur pengamatan ........ 66
11 Sebaran rata-rata salinitas pada tiap jalur pengamatan ......... 68
12 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian,
Lpr = lumpur ( = 0.0625-0.0039 mm), Phl = pasir halus
( = 0.25-0.125 mm), Psd = pasir sedang ( = 0.50-0.25
mm) dan Pks = pasir kasar ( = 1-0.5 mm) ......................... 69
13 Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor
internal dan faktor eksternal ................................................ 102
14 Konstruksi pembibitan dan penyemaian mangrove ............... 105
15 Tiga pola silvofisheries (wanamina) yang umum di Indonesia 108

xiv
DAFTAR

Lampiran halaman

1 Jenis satwa di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei


Tuan tahun 2003 – 2007 ....................................................... 121
2 Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungannya ....................................................................... 125
3 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian ......... 126
4 Penilaian Responden untuk Analisis Alternatif Kegiatan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Lestari dan
Berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang Sumatera Utara ........................................................ 128
5 Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengelolaan
ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara
lestari dan berkelanjutan ........................................................ 131
6 Pedoman Wawancara Penelitian ........................................... 132
7 Foto-foto penelitian .............................................................. 145

xv
PENDAHULUA

Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Luas mangrove di
pulau Sumatera ±657.000 Ha, dari total ini sekitar 30% (±200.000 Ha) dijumpai di
Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan penafsiran Citra Landscape, diketahui
luasan mangrove di Propinsi Sumatera Utara mengalami penurunan yang sangat
cepat dari waktu ke waktu. Dari luas ± 200.000 Ha pada tahun 1987, tinggal 15%
atau ±31.885 Ha yang berfungsi baik pada tahun 2001. Hal ini memberikan
gambaran bahwa kondisi mangrove di Propinsi Sumatera Utara sedang mengalami
tekanan yang sangat hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga mengakibatkan
hilangnya kawasan mangrove sekitar 85% (±168.145 Ha) dalam kurun waktu 14
tahun.
Sebagian besar ekosistem mangrove di Sumatera Utara telah berubah
statusnya menjadi lahan-lahan yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan
aspek lingkungan sama sekali. Salah satu contoh yang paling ironis terjadi di Desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat, dan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Proyek-proyek transmigrasi mengakibatkan banyaknya lahan mangrove yang
dikonversi menjadi pertambakan, lahan pertanian dan juga perkebunan. Hal ini
menyebabkan perubahan yang mendasar dari fungsi ekosistem mangrove.
Berdasarkan hasil identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir tingkat
Kabupaten/Kota maupun tingkat Propinsi Sumatera Utara, kerusakan ekosistem
mangrove merupakan salah satu isu yang menjadi prioritas untuk kawasan pesisir
Timur dan Barat Sumatera Utara, termasuk didalamnya Kabupaten Deli Serdang
selain isu-isu penting lainnya seperti: (1) rendahnya kualitas sumberdaya manusia,
(2) rendahnya penataan dan penegakan hukum, (3) belum adanya penataan ruang
wilayah pesisir, (4) pencemaran wilayah pesisir, (5) potensi dan objek wisata
bahari belum dikembangkan secara optimal, (6) belum optimalnya pengelolaan
perikanan tangkap dan budidaya, (7) ancaman intrusi air laut, dan (8) rendahnya
tingkat kehidupan masyarakat pesisir/ nelayan..
2

Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di Kecamatan Percut


Sei Tuan akibat berbagai aktivitas pemanfaatan seperti konversi lahan untuk
pemukiman, pertambakan, pertanian, perkebunan, dan pengambilan kayu/
penebangan liar, memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Tanggung
jawab dalam pengelolaan kawasan ini tidak hanya terletak pada pemerintah saja,
melainkan juga harus didukung peran serta (partisipasi) semua lapisan masyarakat
khususnya masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang secara
aktif terlibat dalam pengelolaan dan pemanfataan mangrove, sehingga pada
akhirnya kelestarian ekosistem mangrove dapat terjaga dan pemanfaatan dapat
berkesinambungan.
Terbatasnya informasi tentang potensi dan kondisi ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah satu faktor kelemahan dalam
pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah ini. Oleh karena itu dalam rangka
pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan di Kecamatan
Percut Sei Tuan perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan terpadu dari
berbagai aspek pembangunan untuk mengetahui potensi dan kondisi saat ini
ekosistem mangrove sebagai dasar merekomendasikan suatu arahan kebijakan
dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari, sehingga pada
akhirnya pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan dan
meminimalkan kerusakan ekosistem.

Perumusan Masalah
Kecamatan Percut Sei Tuan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara yang memiliki potensi hutan mangrove yang besar
dengan luas sekitar 3.817 ha dengan peruntukan/status Hutan Suaka Alam (HSA)
seluas 2580.60 ha dan Hutan Penggunaan Lain (HPL) seluas 1236.40 ha (BPS
Kabupaten Deli Serdang, 2005). Namun sejalan dengan pertumbuhan penduduk
yang makin meningkat menyebabkan makin terbatasnya lahan. Perombakan hutan
mangrove untuk tujuan lain seperti usaha perikanan (tambak), perkebunan, dan
pemukiman serta penebangan liar untuk tujuan memperoleh kayu dan kayu bakar
memungkinkan berubahnya fungsi ekosistem mangrove yang pada akhirnya
mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar pada umumnya dan biota
khususnya. Masih terdapat anggapan (persepsi) masyarakat bahwa hutan
3

mangrove adalah milik bersama yang dapat dimanfaatkan kapan saja dan oleh
siapa saja. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove
sangat penting mengingat masyarakat yang tinggal disekitar ekosistem mangrove
secara langsung memanfaatkan hutan mangrove dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Kurang jelasnya perwilayahan terhadap daerah lindung dan
pemanfaatan ekosistem sehingga terjadi pemanfaatan yang tidak terbatas dan
pemahaman yang kurang oleh masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan suatu
penelitian untuk mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem mangrove saat ini di
Kecamatan Percut Sei Tuan, serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan
yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan
berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi, dan kondisi ekosistem
mangrove saat ini serta memberikan rekomendasi arahan kebijakan yang
diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.

Sedangkan kegunaannya adalah sebagai sumber informasi dasar bagi upaya


pengelolaan wilayah pesisir khususnya di wilayah Sumatera Utara, bagi
pemerintah daerah selaku pembuat kebijakan dalam perencanaan pemanfaatan
dan pengelolaan eksositem mangrove yang berkelanjutan (sustainable) di
Kecamatan Percut Sei Tuan Propinsi Sumatera Utara.
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ekosistem Mangrove


Mangrove merupakan salah satu ekosistem terpenting dan produktif serta
ditemukan di sepanjang pesisir dan garis pantai (Hong & San, 1993). Ekosistem
mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari deburan ombak
dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang
memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung
lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai,
pertumbuhan mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir
yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini
tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhannya (Nontji, 2005). Hal ini terbukti dari daerah penyebaran
mangrove di Indonesia, yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera,
Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Papua. Penyebaran ekosistem mangrove juga
dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin.
Bengen (2004) menambahkan, hutan mangrove merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang
mampu berkembang pada daerah pasang surut terutama pantai berlumpur seperti
jenis Rhizopora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini
berasosiasi dengan jenis lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan
mangrove lainnya.
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu
komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas tinggi (pasang surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies
(Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Masyarakat kita, sering
menerjemahkan mangrove sebagai komunitas hutan bakau, sedangkan tumbuhan
bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan
pasang surut tersebut. Hutan mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang
terdapat di muara sungai atau pantai tropika. Mangrove adalah vegetasi yang
terdiri atas pohon atau perdu yang tumbuh di daerah pantai di antara batas-batas
permukaan air pasang tertinggi dan di atas rata-rata permukaan air laut. Mangrove
5

dapat tumbuh di daerah tropis yang memiliki pantai terlindung, di muara sungai
dan lingkungan dimana air laut dapat masuk, di sepanjang pantai berpasir atau
berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir berlumpur.
Selanjutnya Van Balen (1989) menambahkan bahwa hutan mangrove memiliki
jenis pohon yang relatif sedikit, dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut,
memiliki physiognomi yang sederhana dan tanpa stratifikasi yang jelas.
Di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi:
89 jenis pohon, 5 jenis palmae, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis
epifit, dan 1 jenis paku (Noor et al. 1999). Menurut Soemodihardjo &
Soerianegara (1989), jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove di
Indonesia sekitar 89 jenis, yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana dan, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit. Sementara itu Bengen
(2001), mengatakan bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan
berbunga, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitas, Snaeda, dan
Conocarpus, yang termasuk ke dalam 8 famili. Melana et al. (2000)
menambahkan bahwa tumbuhan mangrove terdiri dari 47 jenis tumbuhan
mangrove sejati dan jenis asosiasi yang termasuk ke dalam 26 famili. Mangrove
sejati tumbuh di ekosistem mangrove, sedangkan mangrove asosiasi kemungkinan
dapat tumbuh di habitat yang lain seperti di hutan pantai dan daerah dataran
rendah.

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang
memiliki banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi.
Peranan penting ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari
banyaknya makhluk hidup, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun tajuk-
tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut.
Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari
ekosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat langsungnya.
Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat erosi di pantai
dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut, menurunkan tingkat
polusi (pencemaran) produksi bahan organik sebagai sumber
6

makanan, sebagai wilayah/daerah asuhan, pemijahan, dan mencari makan untuk


berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting dalam
ekowisata di banyak negara. Hong & San (1993), menambahkan pada
kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan
penghalang alami dari badai, taufan, pasang surut yang tidak menentu dan
bencana alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove juga telah
berkontribusi secara signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat
disekitarnya.
Melana et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem
mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:
(1) Mangrove menyediakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting,
dan mendukung produksi perikanan di wilayah pesisir.
(2) Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai, yang
berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan
pesisir.
(3) Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah
pesisir dan masyarakat di dalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan
topan.
(4) Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon
dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak
dan menyerap berbagai polutan yang masuk ke dalam perairan.
(5) Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk
pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.
(6) Mangrove merupakan sumber bahan baku kayu dan atap dari nipah
untuk bahan bangunan, kayu api dan bahan bakar, serta tambak untuk
budidaya perikanan. Benih mangrove dapat dipanen dan dijual. Ikan,
udang-udangan dan kerang juga dapat dipanen dari ekosistem
mangrove. Akuakultur dan perikanan komersial juga tergantung dari
mangrove untuk perkembangan benih dan ikan-ikan dewasa. Selain itu
mangrove juga sumber bahan tanin, alkohol dan obat-obatan.
7

Nilai keseluruhan ekosistem mangrove berkisar US$500 sampai


US$1.550 per hektar pertahun, nilai minimum terjadi ketika ekosistem
mangrove dikonversi menjadi peruntukan yang lain.
Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi dalam penyediaan habitat
alami bagi fauna yang menurut Chapman (1977) dalam Kusmana (1995) terdiri 5
(lima) habitat, yakni:
(1) Tajuk pohon yang dihuni oleh berbagai jenis burung, mamalia, dan
serangga.
(2) Lubang yang terdapat di cabang dan genangan air di cagak antara
batang dan cabang pohon yang merupakan habitat yang cukup baik
untuk serangga (terutama nyamuk).
(3) Permukaan tanah sebagai habitat mudskipper dan keong/kerang.
(4) Lobang permanen dan semi permanen di dalam tanah sebagai habitat
kepiting dan katak.
(5) Saluran-saluran air sebagai habitat buaya dan ikan/udang.

Lebih lanjut Sugiarto & Ekayanto (1996), menambahkan bahwa secara fisik
hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang
khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus dan ombak, sehingga
menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu
juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin.
Ekosistem mangrove sebagai jalur hijau berfungsi sebagai penyaring berbagai
jenis polutan yang dibawa oleh sungai atau aliran air lainnya yang masuk ke
ekosistem ini (Abdullah, 1988).
Peranan hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh
ekosistem lain adalah kedudukannya sebagai mata rantai yang menghubungkan
kehidupan ekosistem laut dan daratan, kemampuannya untuk menstimulir dan
meminimasi terjadinya pencemaran logam berat dengan menangkap dan
menyerap logam berat tersebut.
Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial
ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan
produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri et al. (2004)
mengidentifikasikan kurang lebih 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi
8

kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung yang


sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti:
bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas,
makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung
berupa tempat rekreasi dan sebagainya.
Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan,
tempat perkembangbiakan dan pegasuhan berbagai biota laut, tempat
bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar
dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali, 2001). Menurut Macnae (1968)
dalam Kusmana (1995), secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna
teresterial dan fauna laut. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang, biawak,
berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh
Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh
Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura. Para
peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna
hutan mangrove.
Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya
dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove
mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 ton/ha/tahun.
Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang
dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh
makroorganisme (terutama kepiting) dan organisme pengurai diubah sebagai
detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi
(Chambers & Sobur, 1977).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk
memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap
ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993), pengelolaan
mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini
antara lain harus:
9

1. mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu-


kayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun
ekspor.
2. mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti
daerah pemijahan dan mencari makan beberapa organisme darat dan
laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah.
3. mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari
berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi.

Namun demikian, pada hakekatnya, dalam kerangka pengelolaan dan


pelestarian mangrove, terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep
tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan
pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan
agar dapat tetap lestari dan pemanfataannya dapat berkelanjutan.

1) Perlindungan Hutan Mangrove


Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan
dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai
suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk
perlindungan seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya
perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri
Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor:
082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa
lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini
dibuat, selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap perlindungan
hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal
perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi terkait.
Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen
Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 507/IV-BPHH/1990 yang
diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu
sebesar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai.
1

Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan


kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi
terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk
kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993), zonasi
mangrove merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan
pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan
internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu:
a. Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya
akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang
menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini
juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah.
b. Zona Perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan
mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari
pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi.
Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh
masyarakat lokal.
c. Zona Pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan
penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan
dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan
lain.

2) Pemanfaatan Hutan Mangrove


Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. (1999), menyatakan mangrove sebagai
suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan tidak
langsung, antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip, tanin, nipah,
obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan, tambak) pertanian,
perkebunan, dan pariwisata. Menurut Kusmana et al. (2005), secara garis besar
ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat
dilakukan oleh masyarakat:
1

(1) Tambak
a. Tambak Tumpangsari
Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang didalamnya
mengkombinasikan sebagian lahan untuk pemeliharaan
kepiting/ikan dan sebagian lahan untuk penanaman mangrove.
b. Model Tambak Terbuka
Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan
ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam
tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan
tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran
primer dan sekunder pinggir sungai maupun sepanjang pantai.
(2) Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove
yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya
berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).
(3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu
Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan
ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak,
dan lain-lain.
(4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk
mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk
memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang.

3) Rehabilitasi Hutan Mangrove


Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan
dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih
stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem.
Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove
sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis). Hal ini
1

menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem


mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang
alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam
kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002).

Menurut Khazali (2002), pelestarian hutan mangrove merupakan usaha


yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat
membutuhkan sifat akomodatif dari segenap pihak yang berada disekitar kawasan.
Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana
keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya
mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Untuk mencapai kepada keinginan
pemberian porsi yang besar kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan
mangrove yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, menurut Sembiring &
Husbaini (1999) harus diringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan persepsi
pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan masyarakat yang
selama hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut ekonomi, secara berangsur-
angsur harus digiring ke arah kepentingan bio-ekologis.
Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat
mempertahankan produktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar
kelestarian hasil dapat diperoleh. Menurut Watson dan Arief (1992), ada tiga
alasan utama mengapa kegiatan konservasi (perlindungan) dan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan tersebut mendapat perhatian baru-baru ini.
Pertama, manusia pada hakekatnya merupakan penyebab kerusakan-kerusakan
yang terjadi di lingkungan laut. Kedua, belum membudayanya usaha melindungi
wilayah perairan di lingkungan daratan. Ketiga, sebagian wilayah laut dan lautan
terletak di luar batas yuridis negara, atau wilayah teritorial perairan mereka.
Lautan sering dianggap sebagai sumberdaya umum yang berpotensi menimbulkan
konflik eksploitasi.

Karakteristik Masyarakat Pesisir


Pemahaman karakteristik masyarakat pesisir khususnya di sekitar kawasan
hutan mangrove mempunyai sasaran dalam penyusunan strategi perlindungan dan
pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan memahami karakteristik tersebut segala
1

aspek yang berhubungan dengan kondisi sasaran, terutama yang berkaitan dengan
kemampuan intelektual (pemahaman dan pengetahuan), kepribadian, sikap dan
sebagainya dapat ketahui dengan baik.
Untuk mengetahui karakteristik masyarakat pesisir, terlebih dahulu harus
diketahui konsep masyarakat baik secara umum maupun masyarakat pesisir secara
khusus. Masyarakat umumnya merupakan sekumpulan manusia yang secara
relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu,
memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di
dalam kelompok tersebut.
Masyarakat pesisir berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman
terhadap daerahnya menurut Purba (2002) dapat dibedakan menjadi tiga tipe
yaitu: Pertama, masyarakat perairan yaitu kesatuan sosial yang hidup dari
sumberdaya perairan, cenderung terasing dari kontak dengan masyarakat lain,
lebih banyak hidup di lingkungan perairan daripada di darat, berpindah-pindah
dari satu teritorial perairan tertentu. Golongan ini cenderung egaliter dan
mengelompok dalam kekerabatan setingkat dan kecil. Kedua, masyarakat nelayan,
golongan ini umumnya sudah bermukim secara tetap di daerah yang mudah
mengalami kontak dengan masyarakat lain, sistem ekonominya bukan lagi
subsistem tetapi sudah ke sistem perdagangan yaitu hasil sudah tidak dikonsumsi
sendiri namun sudah didistribusikan dengan imbalan ekonomis kepada pihak lain.
Meski memanfaatkan sumberdaya perairan, namun kehidupan sosialnya lebih
banyak dihabiskan di darat. Ketiga, masyarakat pesisir tradisional. Meski berdiam
dekat perairan laut, tetapi sedikit sekali menggantungkan hidupnya di laut.
Mereka kebanyakan hidup dari pemanfaatan sumberdaya di daratan sebagai
petani, pemburu atau peramu. Pengetahuan tentang lingkungan darat lebih
mendominasi daripada pengetahuan lautan.
Sedangkan pengertian masyarakat pesisir menurut Sunoto (1997),
dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jenis kegiatan utamanya, yaitu:
nelayan penangkap ikan dan nelayan petambak. Nelayan penangkap ikan adalah
seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan
ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Nelayan petambak didefeniskan
1

sebagai nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya


laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.
Masyarakat nelayan penangkap ikan sangat rawan karena bergantung
sepenuhnya terhadap keberadaan sumberdaya alam yang tidak dapat dikontrol
sepenuhnya oleh nelayan. Nelayan tidak pernah mempunyai gambaran pasti
tentang berapa pendapatan yang akan diperolehnya, suatu saat pendapatannya
cukup besar akan tetapi di saat lain sama sekali tidak memperoleh hasil
tangkapan. Hal ini disebabkan sifat tangkapan nelayan senantiasa bergerak
berpindah-pindah tempat menjadikan tingkat pendapatan mereka cenderung tidak
teratur (Nadjib, 1998 dalam Khazali, 2001). Selain itu pendapatan nelayan juga
sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah
penangkapan ikan (fishing ground). Dalam menangkap ikan tidak jarang nelayan
harus berpisah dari keluarga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Hal ini
menyebabkan pulangnya mereka ke rumah sering dipergunakan sebagai
kesempatan untuk beristirahat daripada berproduksi.
Masyarakat petambak memiliki kesejahteraan relatif lebih baik daripada
kelompok masyarakat pesisir yang lain karena memiliki kesempatan memperoleh
hasil dari budidaya perikanan yang bernilai ekonomis tinggi seperti udang,
sehingga ketergantungan pada kegiatan yang berbasis pada laut relatif rendah.
Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih baik bagi pengembangan
ekonomi mereka. Masyarakat petambak memiliki aksesibilitas terhadap
sumberdaya alam relatif lebih baik dibandingkan nelayan. Ketergantungan mereka
tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada
daratan. Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih banyak bagi
pengembangan ekonomi mereka. Petambak memiliki akses terhadap lahan yang
dapat mereka manfaatkan untuk sumber penghasilan. Kondisi ini akan lebih
diperkaya apabila daerah sepanjang pantai berupa kawasan hutan mangrove.
Selain dapat menjadi habitat ikan, mangrove juga merupakan wilayah yang
mengandung kekayaan yang bermanfaat bagi petambak. Petambak juga
mempunyai peluang untuk meningkatkan perekonomian mereka secara lebih
sistematis karena dapat mengembangkan basis produksi yang lebih relatif stabil,
dimana masa panen dapat lebih diatur tergantung dari permintaan pasar.
1

Kusumastanto (2002), memberikan gambaran karakteristik umum


masyarakat pesisir adalah sebagai berikut: pertama, ketergantungan pada kondisi
ekosistem dan lingkungan. Keadaan ini berimplikasi pada kondisi sosial ekonomi
masyarakat pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan khususnya
pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Kedua, ketergantungan pada musim, ini karakteristik yang menonjol
di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada musim paceklik kegiatan
melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur
dan ketiga, ketergantungan pada pasar. Karena komoditas yang mereka hasilkan
harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka
nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera
agar tidak rusak.

Aspek Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir


Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir adalah suatu kajian
terhadap hubungan sosial antara manusia yang berdiam di wilayah pesisir dengan
sumberdaya alam yang ada. Kawasan hutan mangrove adalah kawasan hutan yang
khas dan unik yang hidup di daerah peralihan antara dua ekosistem yang
berdampingan. Dalam kaitannya terhadap sosial ekonomi masyarakat pesisir,
kawasan mangrove memegang peranan penting. Keterkaitan antara sumberdaya
yang ada di wilayah pesisir dengan manusia sebagai konsumen adalah sangat erat
dengan sosial budayanya.
Masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda
dengan beberapa kelompok masyarakat lainnya. Menurut Fahrudin (1996),
perbedaan ini dikarenakan eratnya keterkaitan terhadap karakteristik ekonomi
pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi maupun latar belakang
budaya. Masyarakat pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang
kehidupan segenap anggota-anggotanya tergantung sebagian atau sepenuhnya
pada kelimpahan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada umumnya masyarakat
pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi hidup selaras dengan alam,
sehingga teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam adalah
adaptif dengan kondisi ekologi wilayah pesisir.
1

Kondisi sosial ekonomi secara umum dapat dikatakan memprihatinkan yang


ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktifitas dan pendapatan.
Sebagian penduduk bermata pencaharian di bidang perikanan, pertanian, jasa, dan
perdagangan. Menurut Fahrudin (1996), ketertinggalan kelompok masyarakat
pesisir dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain salah satunya adalah
disebabkan oleh kurangnya proyek pembangunan yang menjangkau masyarakat
pesisir, seperti terlihat terbatasnya prasarana maupun sarana pendidikan,
kesehatan, jalan dan lain sebagainya.
Pada wilayah pesisir keadaan tersebut berakibat pada kurang
berkembangnya kegiatan perekonomian dan rendahnya tingkat kesejahteraan.
Rumah tangga masyarakat pesisir pada umumnya memiliki prilaku ekonomi yang
sama dengan masyarakat pedesaan lainnya, yaitu bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan-kebutuhan anggotanya (subsisten), sehingga pengambilan keputusan
dalam usaha atau produksi sangat dipengaruhi oleh tujuan tersebut. Adanya
introduksi atau inovasi teknologi pada masyarakat pesisir dapat mempengaruhi
persepsi terhadap perubahan, resiko, maupun investasi dalam berusaha, sehingga
perlu dicapai alternatif teknologi yang sesuai.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Partisipasi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalam
pembangunan masyarakat. Secara umum, partisipasi diartikan sebagai
keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Patisipasi masyarakat (people participation)
adalah suatu bentuk interaksi sosial yang menjadi perhatian dan bahan kajian ilmu
sosial dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai sebuah istilah, patisipasi mempunyai
beberapa pengertian dan batasan.
Dalam sudut terminologi, partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai
suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok yaitu kelompok yang selama
ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan
kelompok masyarakat yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite).
Menurut Wardojo (1992), partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam
bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai
akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang
lain dalam pembangunan.
1

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang


erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan,
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi
rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan masyarakat
untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak
rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di
wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai adalah ada tidaknya kemauan
masyarakat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek.
Partisipasi lebih dari sekedar ikut melaksanakan program yang telah
direncanakan, tetapi juga dalam merencanakan program, dan memutuskan alokasi
sumberdaya dan keuntungan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat secara
pribadi maupun kelompok didorong oleh keinginan untuk menyumbangkan
tenaga atau sarana lainnya kepada lembaga yang mengatur kehidupan mereka.
Lebih lanjut Wang (1981), membedakan partisipasi menjadi 3 jenis, yaitu:
(a) partisipasi sukarela (voluntary parcipation) yaitu partisipasi yang berasal dari
inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri, (b) partisipasi dengan dorongan
(induced participation), yaitu partisipasi masyarakat setelah mereka memperoleh
arahan dari pihak lain, dan (c) partisipasi dengan tekanan (force participation),
yaitu partisipasi masyarakat yang dilakukan karena ada paksaan pihak lain.
Keseluruhan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal
dan eksternal masyarakat. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter
individu, meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, luas lahan
garapan, pendapatan, pengalaman berusaha, dan kekosmopolitanan. Sedangkan
faktor eksternal masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
adalah faktor diluar karakteristik individu, meliputi hubungan antara pengelola
dengan petani penggarap, pelayanan pengelola dan penyuluhan (Pangesti, 1995).

Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Process/AHP)


Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analysis
Hierarchy Process/AHP) merupakan salah satu metode MCDM (Multy Criteria
Multy Decision) yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty (1993), dan sangat
populer digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian
penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah
1

kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir


tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan
antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor
tersebut secara sederhana (Saaty, 1993).
Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analysis
Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,
seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun
1970-an.
Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah
(Saaty, 1993):
1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur.
2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persoalan kompleks.
3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah
elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud
untuk mendapatkan prioritas.
6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif.
8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan
memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan
mereka.
9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang
representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
1

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu


persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan.

Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap


secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan
tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala
preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat
suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya
diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-
masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang
kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat
minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh
persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan
keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan
prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty, 1993).
Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu
situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya;
(ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii)
memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya
setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan
variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi
hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993).
Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih
disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki.
Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan
dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan
model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang
saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta
kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang
dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan
berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan
2

yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi


sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan
baik oleh model PHA.
PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan
dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami
suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan
keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti
membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif.
Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara
rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible
(tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1993).
Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian
persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu:
(i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah
persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau
penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif
kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen
dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan
suatu kriteria logis.
Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1993) adalah:
1. identifikasi sistem
2. penyusunan struktur hierarki
3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison)
4. menghitung matriks pendapat individu
5. menghitung pendapat gabungan
6. pengolahan horisontal
7. pengolahan vertikal
8. revisi pendapat.

Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat
2

memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara


bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)
(Salusu, 1996). Analisis SWOT merupakan suatu alat yang umum digunakan
untuk menganalisis lingkungan internal dan eksternal dalam rangka mencapai
suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi pengambilan
keputusan.
Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2
model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks
mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat
kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah
TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996).
Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu:
(1) Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
(2) Strategi WO (Strategi kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada.

(3) Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman), menciptakan strategi dengan


memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak
dari ancaman eksternal.
(4) Strategi WT (strategi kelemahan-ancaman), didasarkan pada kegiatan yang
bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan, serta
menghindari ancaman.
KERANGKA PEMIKIRAN

Ekosistem mangrove merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki


potensi besar untuk dikembangkan baik itu potensi fisik, sosial ekonomi maupun
biologi. Untuk itu perlu dikelola secara berkelanjutan dalam rangka
mempertahankan fungsi ekologis dan ekonomi bagi masyarakat di sekitar
kawasan. Berbagai tekanan yang terjadi terhadap ekosistem hutan mangrove baik
tekanan eksternal dan internal masyarakat menyebabkan degradasi kawasan
sehingga diperlukan suatu usaha pengelolaan yang baik dan berkelanjutan. Salah
satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah penempatan komponen
lingkungan sebagai faktor penyeimbang dari berbagai kegiatan pemanfaatan
terhadap ekosistem mangrove yang telah dan akan dilakukan.
Ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan mengalami degradasi yang cukup
tinggi akibat berbagai pemanfaatan seperti konversi lahan mangrove menjadi
kawasan pemukiman, pertambakan, perkebunan, dan pertanian serta pengambilan
kayu (penebangan liar), menyebabkan perlunya pengelolaan kawasan mangrove
tersebut. Salah satu faktor penentu dalam keberhasilan upaya pengelolaan hutan
mangrove adalah mengetahui kondisi dan potensi ekosistem mangrove percut saat
ini baik itu aspek ekologi, sosial ekonomi masyarakat maupun kelembagaan.
Selain itu faktor keterlibatan/partisipasi masyarakat setempat dalam
pengelolaan juga sangat diperlukan demi keberhasilan pengelolaan, disamping
perhatian pemerintah khususnya pemerintah daerah dan lembaga swadaya
masyarakat sebagai faktor pelaksana pembangunan daerah dan pemegang
kebijakan dalam mengakomodir kegiatan pengelolaan kawasan mangrove secara
lestari dan partisipasi masyarakat sehingga mangrove tetap terjaga dan lestari.
Selanjutnya setelah mengetahui kondisi dan potensi ekosistem mangrove,
maka dilakukan analisis untuk memberikan suatu rekomendasi arahan kebijakan
dalam pengelolaan ekosistem mangrove percut dengan melakukan pendekatan
terhadap faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap
ekosistem ini.
Dengan memperhatikan perumusan masalah diatas, secara sederhana dapat
disusun diagram kerangka pemikiran sebagai berikut:
23

Ekosistem Mangrove

Fisik
Sosial Ekonomi Biologi

Potensi

Permasalahan

Pemanfaatan

Pengelolaan

Analisis Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Arahan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pengelolaan Ekosistem Mangrove


METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Pada umumnya pemilihan obyek
penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) sesuai dengan pertimbangan
tujuan penelitian yaitu lokasi yang terdapat hutan mangrove dan diperlukan
pengelolaan dan pelestarian lebih dini karena penurunan kualitasnya.
Lokasi pengamatan untuk data primer dilakukan di ekosistem mangrove
dengan menggunakan transek kuadrat sebanyak 9 transek sepanjang garis pantai
Kecamatan Percut Sei Tuan dengan jumlah plot disesuaikan dengan kondisi
mangrove di masing-masing jalur ( Tabel 1). Penentuan transek secara sengaja
pada tiga desa pantai dengan pertimbangan luasan, struktur, dan komposisi
mangrove yang berbeda di tiap desa. Peletakan transek sebanyak 3 transek tiap
desa dengan tujuan dapat mewakili tegakan mangrove.
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Survey awal (penelitian pendahuluan), dilakukan untuk mengumpulkan data
sekunder pada lokasi penelitian dan mengetahui kondisi masyarakat sekitar
lokasi penelitian. Kegiatan survey dilakukan pada bulan Juni s/d Juli 2006.
2. Pengumpulan data primer dan sekunder, berlangsung pada bulan Februari s/d
Mei 2007 yang terdiri dari pengumpulan data ekosistem mangrove (biofisik)
dan wawancara masyarakat (karakteristik masyarakat), dan data sekunder
lainnya.
3. Pengolahan dan analisis data serta penulisan laporan akhir (tesis) yang
dilakukan pada bulan Mei s/d Juni 2007.

Tabel 1 Titik koordinat masing-masing jalur di lokasi penelitian


Jalur Posisi Geografis
I N 3 42’ 32.30”; E 98º 49’ 28.20”
II N 3 42’ 48.50”; E 98º 49’ 0.15”
III N 3 43’ 7.02”; E 98º 48’ 20.17”
IV N 3 43’ 28.20”; E 98º 47’ 26.53”
V N 3 43’ 31.45”; E 98º 47’ 6.36”
VI N 3 43’ 41.51”; E 98º 46’ 40.41”
VII N 3 44’ 11.70”; E 98º 46’ 13.99”
VIII N 3 44’ 58.20”; E 98º 45’ 50.70”
IX N 3 45’ 42.90”; E 98º 45’ 20.60”
Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan jalur pengambilan sampel

2
2

Metode Pengumpulan Data dan Penarikan Contoh


Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode observasi (pengamatan) langsung untuk
mengumpulkan data potensi sumberdaya ekosistem mangrove dan metode survey
untuk sosial ekonomi masyarakat dimana informasi dikumpulkan dari responden
dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data pokok
(Singarimbun, 1995). Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui sampling, observasi,
kuisioner dan wawancara terbuka/langsung (open-ended) secara mendalam di
lokasi penelitian. Wawancara merupakan suatu alat pembantu utama dari metode
observasi yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan
manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka
(Koentjaraningrat, 1997).
Data primer yang diperlukan meliputi: potensi biofisik ekosistem mangrove
dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, yang
berpedoman pada daftar pertanyaan (questioner) yang telah disusun sesuai dengan
tujuan penelitian. Adapun data primer yang dibutuhkan adalah:
- Biofisik wilayah meliputi: luas lahan mangrove, struktur dan komposis
mangrove, aspek fisik kimia mangrove meliputi suhu, salinitas, pH dan jenis
substrat (Tabel 2).
- Identitas reponden (umur, pendapatan, lama tinggal, tingkat pendidikan,
pekerjaan), kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan
mangrove bagi masyarakat serta aktivitas masyarakat dalam upaya rehabilitasi
hutan mangrove.

Tabel 2 Alat dan Metode Pengukuran Parameter Lingkungan


No Parameter Lingkungan Unit Alat
o
1 Suhu C Thermometer
2 Salinitas ‰ Refraktometer
3 pH - pH meter
5 Substrat % Saringan bertingkat

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelusuran berbagai


pustaka, dan dari instansi terkait seperti; Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan
Kelautan, Bappeda, Kantor Bangdes, Kantor Statistik, Badan Pertanahan
2

Nasional, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Kantor Kecamatan, Kantor


Desa dan Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara meliputi :
- Data fisik wilayah meliputi, iklim, geologi tanah, topografi, penggunaan
lahan/ status lahan,.
- Sosial dan ekonomi: tingkat pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan
penduduk, tingkat pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat, sarana
dan prasarana (perhubungan, listrik, telekomunikasi, pendidikan dan
kesehatan).
- Kebijakan dan program-program pemerintah daerah yang berhubungan
dengan pengelolaan hutan mangrove wilayah tersebut.

Penarikan Contoh
Pengumpulan sampel untuk data vegetasi terbagi atas jalur-jalur di
sepanjang garis pantai dan sungai besar yang ditentukan secara sengaja sesuai
dengan tujuan penelitian dan kondisi dilapangan (purposive sampling), dan
dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan. Penentuan sampel untuk data biologi (vegetasi) digunakan metode transek
kuadrat (garis berpetak), yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak
dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak
tertentu yang sama (Ahmad, 1989).
Adapun tujuan dari analisis vegetasi ini adalah untuk mengetahui kerapatan
tegakan mangrove, jenis dan kenakeragaman jenis mangrove yang terdapat di
Kecamatan Percut Sei Tuan. Pengukuran vegetasi dilakukan dengan tiga pola
yaitu: pengambilan data untuk semai (pemudaan tingkat kecambah sampai
setinggi <1.5m), pancang/anakan (pemudaan dengan tinggi > 1.5m sampai pohon
muda yang berdiameter kecil dari 10 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20cm).
Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masing-
masing spesies yang ada dalam setiap petak dan mengukur diameter pohon.
Adapun arah pengamatan tegak lurus dari pinggir laut ke arah darat (Gambar 3).
Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pacang dan semai serta
jenis pohon, data diameter pohon dan tinggi pohon. Sepanjang jalur transek pada
saat pengambilan data vegetasi, dilakukan pengukuran parameter-parameter
lingkungan, yaitu suhu, salinitas, dan pH sebanyak 3 (tiga) ulangan setiap jalur
2

pengamatan. Selain itu dilakukan pengamatan dan pencatatan tipe substrat


(lumpur, lumpur bepasir, pasir berlumpur, lempung, dan pasir). Jenis-jenis fauna
yang ditemukan di lokasi penelitian, baik terestial maupun akuatik dilakukan
pencatatan.

C
B
A 10 m
A Arah rintis

B
C

Gambar 3 Skema Penempatan Petak Contoh


A: Petak pengamatan semai (2 x 2 m)
B: Petak pengamatan pacang (5 x 5 m)
C: Petak pengamatan pohon (10 x 10
m)

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka penentuan responden untuk


data sosial ekonomi menggunakan teknik Penarikan Contoh Sengaja (purpossive
sampling method). Responden yang diwawancarai terdiri dari, Kepala Dinas
Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Deli Serdang, Kepala Bappeda,
Camat Kecamatan Percut Sei Tuan, aparatur pemerintah desa (Kepala Desa
Percut, Tanjung Rejo dan Pematang Lalang), Organisaisi Masyarakat (Koperasi
Mitra Bina Sejahtera, Gerakan Pemuda Pencinta Pesisir Percut, Kelompok
Masyarakat Petambak), Yayasan Akasia Indonesia, Departemen Biologi
Universitas Sumatera Utara, dan masyarakat sekitar lokasi penelitian sebanyak 60
orang. Adapun responden masyarakat yang diamati adalah penduduk dewasa yang
berdomisili di sekitar lokasi penelitian yang terkait dengan hutan mangrove.
Penduduk dewasa dalam hal ini dimaksudkan bahwa yang bersangkutan telah
matang mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil
tindakan, dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diajukan.
2

Variabel Pengamatan
Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:
1. Karakteristik individu yang disebut faktor internal meliputi: tingkat
pendidikan dan jenis pekerjaan.
2. Faktor eksternal meliputi: pemahaman terhadap ekosistem mangrove,
kelompok/lembaga dalam pemanfaatan mangrove, dan keterlibatan
pemerintah dalam pelestarian mangrove.
3. Tingkat partisipasi masyarakat meliputi: keterlibatan dalam pengelolaan
mangrove, mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan/pengawasan
dan penanaman atas kehendak sendiri.

Deskripsi dari masing-masing variabel yang diamati adalah sebagai


berikut :
1. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden
yang dinyatakan dengan tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan
Tinggi.
2. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang
diperoleh dari berbagai sumber dan dinyatakan dalam Rp/bulan.
3. Keterlibatan pemerintah adalah frekuensi dan aktivitas kegiatan yang
dilaksanakan oleh pemerintah, baik penyuluhan, penanaman maupun
pemeliharaan/pengawasan mangrove.
4. Kelompok adalah wadah yang ada yang berupaya untuk memberikan
berbagai bentuk pelayanan yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan mangrove.
5. Pemahaman adalah pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi
hutan mangrove, undang-undang, fungsi dari hutan mangrove bagi
kehidupan manusia dan lingkungan.
6. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam pelestarian
hutan mangrove, dalam bentuk keterlibatannya mengikuti kegiatan
diskusi, usulan, penanaman, pemeliharaan dan penanaman atas kehendak
sendiri.
3

Analisis Data
Data Sosial Ekonomi
Prosedur yang pertama dalam analisis data adalah pengolahan data yang
diperoleh dari lapangan, dalam hal ini yang dilakukan antara lain memeriksa
kelengkapan dalam pengisian kuisioner oleh responden, dilanjutkan memeriksa
kesesuaian jawaban satu dengan jawaban lainnya, kemudian memeriksa relevansi
jawaban dan terakhir menyeragamkan satuan data.
Data sosial ekonomi yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi dan
dimasukkan dalam tabel, kemudian dideskripsi.

Data Fisik Wilayah


Data sekunder hasil pengumpulan dari pustaka-pustaka dan instansi terkait
akan dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi.

Data Biologi
Data hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang diperoleh dilapangan,
dianalisis untuk mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan
penjumlahan dari frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan dominansi relatif. untuk
ketiga komponen INP tersebut daat dihiitung dengan rumus sebagai berikut :

Frekuensi = Jumlah titik pengambilan contoh dimana spesies terdapat dibagi


jumlah plot pada tiap transek.

Nilai frekuensi tiap jenisx 100% Nilai frekuensi semua jenis


FR=

Kerapatan = Jumlah individu dari spesies yang terdapat dalam titik pengambilan
contoh dibagi dengan luas areal pengambilan contoh.

Kerapatan satu jenisx 100% Kerapatan semua jenis


KR=

Dominasi = Total basal areal suatu spesies yang dihitung dari diameter pohon.
3

= Total basal area setiapjenis Total basal area seluruh jenis


DR x 100%

Indeks
Nilai penting Nilai
suatu Penting
jenis (INP)
berkisar antara=0 dan
KR 300.
+ FRNilai+penting
DR ini memberikan

gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam
komunitas mangrove (Kusmana, 1995).

Sedangkan untuk data fauna yang didapat dari hasil pengamatan dan
pancatatan yang kemudian dianalisis deskriptif dengan tabulasi.

Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan


Dalam penentuan arahan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan dilakukan dengan teknik gabungan AHP (analytical
hierarchy process) dan SWOT, atau disebut A’WOT.
A’WOT merupakan suatu analisis yang mengintegrasikan strenght,
weakness, opportunities dan threats (SWOT) ke dalam kerangka analytical
hierarchy process (AHP). Analisis ini terbukti mampu dilakukan dalam
merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan di beberapa
wilayah di Indonesia, antara lain di Papua (Soselisa, 2006), Sulawesi Selatan
(Saru, 2007), Kepulauan Seribu (Priyono, 2004), dan Kutai Timur (Wijaya, 2007)
Analisis dilakukan dengan dua tahapan. Pertama, identifikasi faktor-faktor
komponen SWOT dan merumuskan alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan. Kedua, melakukan AHP terhadap faktor-
faktor komponen SWOT dan alternatif kegiatan pengelolaan untuk menentukan
prioritas kegiatan.

Analisis SWOT
Analisis strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strengths, weaknesses,
opportunities, dan threats). Analisis ini dilakukan dengan menerapkan kriteria
3

kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan (faktor internal dan
eksternal) yang diperoleh dengan wawancara secara terbuka/langsung (open-
ended) dan wawancara mendalam (in-depth interview).
Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT ini dilakukan berdasarkan
hasil wawancara tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh peneliti dalam bentuk
bobot dan skor.
Berdasarkan Rangkuti (2004) langkah-langkah yang dilakukan dalam
analisis SWOT ini adalah sebagai berikut:

Tahap pengumpulan data


Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan
pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan
internal. Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman),
sedangkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, mencakup ketersediaan sumberdaya alam,
kondisi sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan
(kekuatan dan kelemahan).

Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor
strategi eksternal, dan (ii) matriks faktor strategi internal. Adapun matriks faktor
strategi internal disusun dengan langkah-langkah:
- Pada kolom 1 disusun kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan.
- Pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,0
(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk
semua faktor kekuatan dan kelemahan sama dengan 1,0.
- Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai
dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi
pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating
untuk kekuatan bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 =
sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk kelemahan
bersifat negatif (nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1 = sangat
besar).
3

- Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang
sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor
tersebut.
- Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu
dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
- Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4.

Tabel 3 Analisis strategi faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis


Summary)
Faktor-faktor
Bobot Rating Skor Komentar
Strategi Eksternal
1 2 3 4 5
Peluang:
S1 4
S2 3
S3 2
.... 1

Ancaman:
W1 1
W2 2
W3 3
.... 4
TOTAL 1,00 -

Matriks faktor strategi eksternal disusun dengan langkah-langkah:


- Pada kolom 1 disusun peluang-peluang dan ancaman-ancaman.
- Selanjutnya pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor
peluang dan ancaman, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0
(tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor peluang dan ancaman
sama dengan 1,0.
- Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai
dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi
pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating
untuk peluang bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar,
2 = sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk
ancaman bersifat negatif (nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan
1 = sangat besar).
3

- Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang
sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor
tersebut.
- Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu
dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
- Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut
menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis
eksternalnya.

Tabel 4 Analisis strategi faktor eksternal (External Strategic Factors Analysis


Summary)
Faktor-faktor
Bobot Rating Skor Komentar
Strategi Eksternal
1 2 3 4 5
Peluang:
O1 4
O2 3
O3 2
.... 1
Ancaman:
T1 1
T2 2
T3 3
.... 4
TOTAL 1,00 -

Tahap Analisis
Pada tahap analisis digunakan Model Matriks SWOT, dimana terdapat 4
strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (Tabel 5).
Setelah diperoleh matriks SWOT, selanjutnya disusun rangking semua strategi
yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut.

Tabel 5 Model Matriks SWOT Hasil Analisis SWOT


IFAS
EFAS STRENGTH (S) WEAKNESSES (W)

SO2 WO2
OPPORTUNITIES SO3 WO3
(O) .. ..
.. ..
SOn WOn
3

ST1 WT1
ST2 WT2
THREATS ST3 WT3
(T) .. ..
.. ..
STn WTn

Analytical Hierarchy Process (AHP)


Pada prinsipnya, analisis PHA pada penelitian ini digunakan untuk
menentukan prioritas alternatif kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan untuk
kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya mangrove percut. Dalam
hal ini, alternatif ditentukan secara sengaja yang merupakan justifikasi peneliti
yang didasarkan pada hasil wawancara dan pengamatan serta pengukuran
langsung terhadap kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat.
Adapun alternatif kegiatan pengelolaan adalah rehabilitasi, konservasi dan
wisata.
Tujuan dari prioritas pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut
Sei Tuan yang lestari dan berkelanjutan (sustainable development) dibangun oleh
beberapa kriteria, yang merupakan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan,
yaitu pilar ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan
(ekologi) yang tercermin dalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman terhadap ekosistem mangrove yang akan dikembangkan.
Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap
secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan
tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala
preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat
suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya
diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-
masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang
kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat
minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh
persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada pengambilan
keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya,
3

dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik
(Saaty, 1993).
Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu
situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya;
(ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii)
memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya
setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan
variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi
hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993).
Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih
disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki.
Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan
dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan
model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang
saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta
kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang
dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan
berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan
yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi
sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan
baik oleh model PHA.

Adapun proses/ prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut:


Penyusunan hierarki
Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu
kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi suatu struktur hierarki. Dalam
penelitian ini persoalan yang akan diselesaikan adalah pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dan berkelanjutan dengan
kriteria adalah faktor internal dan eksternal ekosistem mangrove di daerah
tersebut, dan alternatif kegiatan pengelolaan adalah rehabilitasi, konservasi dan
wisata.
3

Penilaian kriteria dan alternatif


Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise
comparison). Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004), untuk berbagai
persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan
pendapat. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty
dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Skala perbandingan secara berpasangan (Pairwise Comparison) menurut


Saaty (1993).
Nilai Keterangan
1 Kedua faktor sama pentingnya.

3 Faktor yang satu sedikit lebih penting dari pada faktor yang
lainnnya.
5 Faktor satu esensial atau lebih penting dari faktor yang lainnya.

7 Faktor yang satu jelas lebih penting dari faktor yang lainnya.
9 Faktor yang satu mutlak lebih penting dari faktor yang lainnya.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang


berdekatan.

Menentukan prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dikakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan prioritas (peringkat relatif) dari seluruh kriteria dan alternatif.
Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai
dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.

Konsistensi logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai A’WOT disajikan pada Gambar 4.


Gambar 4 Diagram Hierarki Analisis Arahan Pengelolaan Ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

3
Keterangan :
a. Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan.
b. Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat semakin baik.
c. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin baik..
d. Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove.
e. Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove..
f. Tingkat pendapatan yang relatif rendah.
g. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat.
h. Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum.
i. Sumberdaya manusia yang masih rendah.
j. Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
k. Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah, dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
l. Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove.
m. Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi mangrove.
n. Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
o. Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal.
p. Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove.
q. Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.

3
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kabupaten Deli Serdang


Letak dan Luas Wilayah
Secara geografis Kabupaten Deli Serdang (setelah dimekarkan, tahun
2003) terletak pada posisi 2o 57’ - 3o 16’ Lintang Utara, dan 98o 33’ - 99o 27’
Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang di kawasan
Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,62 km 2 dari luas Propinsi
Sumatera Utara. Wilayah Kabupaten Deli Serdang terletak di wilayah Pantai Timur
Propinsi Sumatera Utara dengan batas-batas sebagai berikut :
Bagian Utara : Kabupaten Langkat dan Selat Malaka
Bagian Selatan : Kabupaten Karo dan Simalungun
Bagian Timur : Kabupaten Serdang Bedagai
Bagian Barat : Kabupaten Langkat dan Karo
Disamping batas-batas tersebut diatas, di wilayah ini terdapat 1 daerah kota yaitu
Daerah Kota Medan. Peta orientasi Kabupaten Deli Serdang untuk jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 5.

Topografi
Melihat topografi wilayah, daerah ini secara geografis terletak pada wilayah
pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kontur dan
iklim yang bervariasi. Kawasan hulu yang konturnya mulai bergelombang sampai
terjal, berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara
kawasan pantai berhawa tropis pegunungan.
Sementara itu, dilihat dari kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang dapat
dibedakan atas :
1. Dataran pantai dengan luas lahan ± 63.002 Ha (26,30 %) terdiri dari 4
kecamatan (Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan, dan Pantai
Labu). Jumlah desa sebanyak 64 desa/kelurahan dengan panjang pantai 65 km.
Potensi Utama adalah pertanian pangan, perkebunan rakyat, perkebunan besar,
perikanan laut, pertambakan, peternakan unggas, dan pariwisata.
O O

SELAT MALAKA

Gambar 5 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Deli Serdang

4
4

2. Dataran rendah memiliki luas lahan ± 68,965 Ha (28.80 %) terdiri dari 11


kecamatan (Sunggal, Pancur Batu, Namorambe, Deli Tua, Batang Kuis,
Tanjung Morawa, Patumbak, Lubuk Pakam, Beringin, Pagar Merbau, dan
Galang) dengan jumlah desa sebanyak 197 desa/kelurahan. Adapun potensi
utama yang terdapat di dataran rendah Kabupaten Deli Serdang adalah
pertanian pangan, perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, industri,
perdagangan, dan perikanan darat.
3. Dataran Pegunungan dengan luas lahan ± 111.970 Ha (44.90 %) terdiri dari 7
kecamatan (Kutalimbaru, Sibolangit, Biru-biru, STM Hilir, STM Hulu,
Gunung Meriah, Bangun Purba) dengan jumlah desa sebanyak 133 desa.
Potensi utama dari wilayah ini adalah pertanian rakyat, perkebunan, dan
peternakan.

Kabupaten Deli Serdang memiliki 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS)


yaitu DAS Belawan, DAS Deli, DAS Belumai, DAS Percut, dan DAS Ular,
dengan luas areal 378.841 Ha, yang kesemuanya bermuara ke Selat Malaka
dengan hulunya berada di Kabupaten Simalungun, dan Karo. Pada umumnya sub
DAS ini dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan sebagai upaya
peningkatan produksi pertanian.
Kemiringan lahan Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat berdasarkan
keadaan topografi atau kontur lahan. Kemiringan lahan di kabupaten ini bervariasi
dari 0 – 40 % dimana kemiringan yang umum terdapat di Kabupaten Deli Serdang
adalah 0 – 15 %. Untuk ketinggian, daerah Kabupaten Deli Serdang sebagian
besar terletak di daerah Pantai Timur Sumatera Utara dengan ketinggian 0 – 1000
meter diatas permukaan laut (mdpl).

Keadaan Iklim
Sesuai dengan perbedaan geografis, topografis dan ketinggian dari
permukaan laut maka iklim daerah ini juga bervariasi yaitu iklim sub tropis dan
iklim peralihan antara sub tropis dan tropis. Ketinggian 0 – 500 meter dari
permukaan laut, Kabupaten Deli Serdang beriklim peralihan antara sub tropis dan
tropis, sedangkan ketinggian lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut beriklim
sub tropis sehingga memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim
4

penghuian. Suhu udara rata-rata perbulan minimum berkisar 23,9oC dan


maksimum 32,4oC. Pada daerah sepanjang pantai timur umumnya memiliki udara
yang agak panas yang dipengaruhi oleh angin laut, sedangkan pada daerah
pengunungan (Kecamatan Sibolangit dan Gunung Meriah) beriklim tropis basah
dengan udara sejuk yang dipengaruh oleh iklim pegunungan. Angin yang bertiup
melalui daerah ini juga berbeda yakni angin laut dan angin pegunungan dengan
kecepatan 0,68 meter/detik. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan September
sampai dengan bulan Oktober dengan curah hujan berkisar antara 200 sampai
dengan 500 mm perbulan, sedangkan kelembaban menunjukkan rata-rata 83%.

Keadaan Lahan dan Penggunaan


Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang pada saat awal terbentuknya yaitu
pada awal kernerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 adalah sekitar 6.589,65
km2. Tahun 2003 Kabupaten Deli Serdang mengalami pemekaran menjadi 2 (dua)
wilayah Kabupaten sehingga luasnya saat ini tinggal 2.497,72 km2 atau
249.772 Ha yang terdiri dari 22 Kecamatan 14 Kelurahan dan 389 Desa.
Penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang didominasi sebagai perkebunan
besar dan tegalan (kebun campuran) dengan luas masing-masing secara berurutan
adalah 54.286 Ha (22,67 %) dan 52.897 Ha (22,09 %). Secara rinci, penggunaan
lahan di Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penggunaan Lahan di Kabupaten Deli Serdang


No Penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Perkampungan/Pemukiman 12,907 5,39
2 Persawahan 44,444 18,56
3 Tegalan/Kebun Campuran 52,897 22,09
4 Perkebunan Besar 54,286 22,67
5 Perkebunan Rakyat 29,908 12,49
6 Hutan 40,157 16,77
7 Semak/Alang-Alang 670 3,28
8 Kolam/Tambak 1,317 0,55
9 Rawa-rawa 792 0,33
10 Peternakan 49 0,02
11 Lain-lain 2,035 0,85
Sumber: BPS Deli Serdang 2005

Tingginya tingkat penggunaan lahan untuk perkebunan besar dan tegalan di


sebabkan karena sebagian besar dari wilayah Kabupaten Deli Serdang termasuk
4

ke dalam daerah pegunungan yang sangat mendukung untuk pertanian,


perkebunan, dan perternakan. Sedangkan untuk perikanan (tambak/kolam)
memiliki luas lahan penggunaan yang tidak begitu luas hanya sekitar 1,317 Ha
atau 0,55 % dari luas total wilayah kabupaten. Hal ini disebabkan karena tingkat
pemanfaatan lahan yang belum maksimal untuk pengembangan sektor perikanan.

Gambaran Umum Kecamatan Percut Sei Tuan


Letak dan Luas
Secara geografis wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan terletak pada 03°29’
- 03 41’ LU dan 98o40’ - 98o47’ BT dengan batas-batas sebagai berikut:
o

Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka


Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Batang Kuis dan Pantai Labu.
Sebelah Selatan berbatas dengan Kota Medan
Sebelah Barat Berbatas dengan Kecamatan Labuhan Deli
Kecamatan Percut Sei Tuan secara administrasi merupakan salah satu
kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara yang memiliki
luas wilayah 190,79 km2 yang terdiri dari 18 Desa dan 2 Kelurahan, 3 desa dari
wilayah kecamatan merupakan desa pantai (Desa Pematang Lalang, Desa Percut,
dan Desa Tanjung Rejo) dengan ketinggian 0 - 20 meter diatas permukaan laut
dan curah hujan rata-rata 243 persen. Di Kecamatan Percut Sei Tuan terdapat 9
desa yang dilintasi sungai yaitu: Desa Tembung, Desa Bandar Khalipah, Desa
Bandar Setia, Desa Laut Dendang, Desa Sampali, Desa Cinta Rakyat, Desa Cinta
Damai, Desa Saentis, dan Desa Percut. Untuk lebih jelasnya dapat lilihat pada
Gambar 6 di bawah ini.

Aksesibilitas
Pusat pemerintahan kecamatan terletak di Tembung dengan jarak tempuh
dari desa terjauh  22 km atau waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan. Untuk
jarak tempuh ke ibu kota kabupaten yang terletak di Lubuk Pakam  40 km
memiliki waktu tempuh 1,5 jam perjalanan, sedangkan jarak tempuh ke ibukota
propinsi berjarak 22 km atau 0,5 jam perjalanan.
Gambar 6 Peta Administratif Kecamatan Percut Sei Tuan

4
4

Keadaan Lahan dan Penggunaan


Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki luas 190,79 km2 dengan
persentase penggunaan lahan terbesar adalah untuk persawahan, perkebunan,
irigasi, pemukiman dan sebagian lahan basah. Penggunaan lahan untuk kegiatan
persawahan seluas 9.761 Ha atau 32,0 %, perkebunan seluas 6.074 Ha (19,92 %),
irigasi 2.582 Ha (8,47 %), pemukiman seluas 4.785 Ha (15,69 %), dan lahan
basah seluas 2.709 Ha (8,8 %). Pola penggunaan lahan Kecamatan Percut Sei
Tuan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pola Penggunaan Lahan Kecamatan Percut Sei Tuan


No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
1 Irigasi Setengah Teknis 2.442 8,01
2 Irigasi Sederhana 140 0,46
3 Sawah Tadah Hujan 2.401 7,87
4 Sawah Kering 7.360 24,14
5 Pemukiman 4.785 15,69
6 Tegal/Kebun 880 2,89
7 Ladang 190 0,62
8 Lahan Basah 2.709 8,88
9 Tambak 358 1,17
10 Rawa-rawa 988 3,24
11 Empang/Kolam 482 1,58
12 Daerah Gambut 881 2,89
13 Hutan 12 0,04
14 Hutan Belukar 0,5 0,002
15 Perkebunan 6.074 19,92
16 Fasilitas umum 788 2,58
Sumber: Monografi Kecamatan Percut Sei Tuan (2005)

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat


Dari segi sosial budaya, Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki tingkat
heterogenitas etnis yang sangat tinggi. Suku bangsa yang cukup mendominasi di
kecamatan ini antara lain Jawa, Batak, Melayu Deli, Melayu Pesisir dan sebagian
etnis Tionghoa.
Jumlah penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan mencapai 270.125 jiwa dan
jumlah Rumah Tangga sebanyak 62.591 dengan komposisi penduduk laki-laki
sebanyak 136.202 jiwa dan perempuan 133.923 jiwa. Tingkat kepadatan
4

penduduk di kecamatan ini sebesar 1415,75 jiwa/Ha yang berarti tiap hektar lahan
di Kecamatan Percut Sei Tuan didiami oleh sekitar 1415,75 jiwa. Sebaran
komposisi penduduk berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk (jenis kelamin),
tingkat kepadatan dan jumlah rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan berdasarkan


desa/kelurahan, luas wilayah, jenis kelamin, tingkat kepadatan dan
jumlah rumah tangga
Luas Penduduk Jumlah
No. Desa/Kelurahan Jumlah Tingkat Rumah
(Ha) Laki-laki Perempuan Kepadatan
Tangga
1 Amplas 3,10 1.707 1538 3245 1046,77 1.051
2 Kenangan 1,27 12.789 13155 25944 20428,35 4.548
3 Tembung 5,35 18.004 18809 36813 6880,93 7.661
4 Sambirejo Timur 4,16 7.577 7297 14874 3575,48 3.935
5 Sei Rotan 5,16 7.630 6366 13996 2712,40 3.239
6 Bandar Klippa 18,48 10.075 10167 20242 1095,35 5.018
7 Bandar Khalipah 7,25 12.775 12211 24986 3446,34 5.237
8 Medan Estate 6,90 4.704 3542 8246 1195,07 2.376
9 Laut Dendang 1,70 5.586 5626 11212 6595,29 2.273
10 Sampali 23,93 8.598 8792 17390 726,70 4.125
11 Bandar Setia 3,50 5.264 4967 10231 2923,14 2.883
12 Kolam 5,98 4.684 4734 9418 1574,92 2..526
13 Saentis 24,00 4.735 4608 9343 389,29 3.365
14 Cinta Rakyat 1,48 4.114 4035 8149 5506,08 2.232
15 Cinta Damai 11,76 2.605 2226 4831 410,80 1.021
16 Pematang Lalang 20,10 2.275 1019 3294 163,88 494
17 Percut 10,63 5.372 5463 10835 1019,29 2.4.41
18 Tanjung Rejo 19,00 3.695 3546 7241 381,11 1.991
19 Tanjung Selamat 16,33 2.507 2470 4977 304,78 1.115
20 Kenangan Baru 0,72 11.506 13352 24858 34525,00 5.060
Jumlah 190,79 13.6202 133.923 270.125 1415,75 62.591
Sumber: BPS Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka (2005)

Kondisi Ekonomi Masyarakat


Mata pencaharian merupakan kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. Adapun
seseorang yang bekerja sudah harus memenuhi standar usia angkatan kerja seperti
yang di terapkan UNICEF, yaitu minimal berusia 15 tahun.
Dari Tabel 10 mengenai jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian,
dapat dilihat bahwa mata pencaharian penduduk Kecamatan Percut Sei Tuan pada
umumnya bermata pencaharian sebagai karyawan berjumlah sebesar 19.140 jiwa
dengan persentase 22,10 % dari total jumlah penduduk. Selain itu profesi tukang
4

dan dagang menepati jumlah terbanyak setelah karyawan yang secara berurutan
yaitu 16.089 jiwa (18,58 %) dan 15.485 jiwa (17,88 %). Profesi sebagai ABRI dan
nelayan menepati posisi minoritas, karena hanya 0,48 % dan 1,00 % yang bekerja
di sektor tersebut. Hal ini mengingat luasan wilayah pesisir yang terbatas dan
singkatnya jarak dan waktu tempuh ke ibukota kecamatan dan ibukota propinsi
sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja di kota sebagai karyawan dan
berdagang. Selain itu, tingkat pembangunan infrastruktur penunjang yang tinggi
di Kota Medan merupakan faktor penyebab tingginya jumlah penduduk untuk
profesi tukang karena menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka.

Tabel 10 Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian


No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
1 PNS 6.569 7,58
2 ABRI 417 0,48
3 Karyawan 19.140 22,10
4 Dagang 15.485 17,88
5 Tani 13.048 15,07
6 Pensiunan 11.393 13,15
7 Tukang 16.089 18,58
8 Buruh Tani 1.579 1,82
9 Nelayan 862 1,00
10 Jasa 2.025 2,34
Total 86.607 100,00
Sumber: Pusat Statistik Kecamatan Percut Sei Tuan Dalam Angka (2005)

Fasilitas dan Infrastruktur


Transportasi
Transportasi secara umum dapat diperlancar dengan menggunakan jalan
yang sudah ada sepanjang 2.825 km yang terdiri dari 2.172 km jalan aspal, 582
km jalan diperkeras dan 71 km jalan tanah. Kesemua fasilitas jalan dalam kondisi
baik dengan persentase 69 % jalan aspal, 20 % jalan diperkeras, dan 2 % jalan
tanah dari panjang total jalan di kecamatan percut Sei Tuan. Selain itu, untuk
penduduk yang tinggal di sepanjang pesisir pantai, menggunakan transportasi
sungai sebagai alternatif bepergian dari satu desa ke desa lain.
4

Sarana Pendidikan
Kelengkapan sarana pendidikan di Kecamatan Percut Sei Tuan sudah sangat
baik dengan jumlah sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 29 buah,
Sekolah Dasar (SD) sebanyak 116 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) sebanyak 41 buah, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA)
sebanyak 16 buah. Di kecamatan Percut Sei Tuan terdapat 3 perguruan
tinggi/akademi yaitu perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta dan
akademi negeri.

Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan sangat penting dalam mendukung kehidupan masyarakat
kecamatan Percut Sei Tuan untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Sampai
akhir tahun 2006, sarana kesehatan yang tercatat di kecamatan ini yaitu Rumah
Sakit Umum (RSU) sebanyak 2 buah, rumah bersalin 8 buah, puskesmas 2 buah,
puskesmas pembantu (PUSTU) 8 buah, praktek dokter 7 buah, dan apotik
sebanyak 8 buah.

Potensi Daerah
Pertanian
Potensi pertanian di Kecamatan Percut Sei Tuan 5.203 Ha yang merupakan
persawahan dan terbagi atas 2.442 Ha irigasi ½ teknis, 140 Ha irigasi sederhana,
2.401 Ha tadah hujan dan 220 Ha irigasi desa. Dari luasan lahan pertanian ini,
produksi yang dihasilkan ±53.740 ton pertahunnya. Selain hasil pertanian berupa
beras, kecamatan percut sei tuan juga menghasilkan beberapa komoditas lainnya
seperti sayur-sayuran dan palawija.

Perkebunan
Terdapat beberapa komoditas perkebunan di Kecamatan Percut Sei Tuan
antara lain kelapa dan kelapa sawit dengan total produksi 483,00 ton untuk
komoditas kelapa, dan komoditas kelapa sawit sebesar 768 ton.
5

Perikanan
Produksi perikanan Kecamatan Percut Sei Tuan sangat potensial dengan
jumlah total produksi 6.082,8 ton yang tebagi atas produksi perikanan laut sebesar
4.685,5 ton, perikanan tambak 1.366,5 ton, perikanan kolam 23,7 ton, dan
perikanan perairan umum 7,1 ton. Dari hasil perikanan tersebut, diperkirakan
dapat memperoleh total produksi sebesar Rp 83,729 milyar.

Kehutanan
Kawasan hutan di Kecamatan Percut Sei Tuan meliputi area seluas 3.187
Ha dan menurut peruntuknnya/ status terbagi atas Hutan Suaka Alam (HSA)
2.580,60 Ha (67,61 %), dan Hutan Penggunaan Lain (HPL) 1.236,40 Ha
(32,39 %).

Industri
Terdapat 834 perusahaan industri di Percut Sei Tuan yang terbagi atas 19
industri berskala besar, 24 industri skala sedang, 78 industri skala kecil, dan 713
industri skala rumah tangga.

Pengelolaan Ekosistem Mangrove saat ini di Kecamatan Percut Sei Tuan


Pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan berkelanjutan merupakan suatu
strategi pengelolaan yang memberikan batasan terhadap laju pemanfaatan
ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya dengan tujuan
terwujudnya keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya yang ada.
Namun demikian, batasan ini tidaklah bersifat mutlak tetapi dinamis bergantung
pada kondisi ekologi dan sosial masyarakat yang hidup di sekitar sumberdaya
yang dimanfaatkan. Dengan demikian, pengelolaan lestari dan berkelanjutan
adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah dan sumberdayanya
sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsional ekosistem ini untuk memberikan
manfaat bagi kehidupan masyarakat tidak rusak (lestari). Untuk itu secara garis
besar konsep pengelolaan berkelanjutan dan lestari memiliki 4 (empat) dimensi
yaitu: (1) ekologi, (2) sosial ekonomi, (3) sosial budaya, dan (4) kelembagaan.
Dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan
berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan, keempat dimensi pengeloaan diatas
5

mutlak diperlukan dan diperhatikan. Hal ini bertujuan agar kelestarian ekosistem
mangrove percut dapat terjaga dan pemanfaatan sumberdaya ekosistem ini dapat
berlangsung secara berkelanjutan. Selain itu, kerusakan dan degradasi ekosistem
akibat pemanfaatan yang berlebihan dan tidak lestari dapat diminimalkan.
Pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan saat ini
menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang yang
sebelumnya merupakan tanggung jawab Dinas Perikanan dan Kelautan dan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedalda) Kabupaten Deli Serdang.
Pengelolaan ekosistem magrove saat ini meliputi rehabilitasi di beberapa lokasi
seperti Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut dengan melibatkan kelompok
masyarakat binaan Dinas Kehutanan yaitu Kelompok Bakau Tambak Mandiri,
Kelompok Tani Empang Parit Nila Jaya dan Paluh Kuba dengan menerapkan
sistem silvofisheries dalam budidaya tambak. Selain program rehabilitasi, dinas
melakukan pelatihan dan pendidikan tentang pengetahuan mengelola mangrove
secara lestari bekerjasama dengan kelompok swadaya masyarakat Yayasan Akasia
Indonesia dengan melibatkan elemen masyarakat.

Ekologi Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan

Luas Hutan mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Kabupaten Deli Serdang dari 439.794 Ha luas wilayahnya yang merupakan
hutan adalah 76.401 Ha, dan seluas 14.389 Ha merupakan kawasan hutan
mangrove/bakau (Deli Serdang Dalam Angka, 2005). Adapun kawasan hutan
yang telah dikukuhkan (register) seluas 35.848 Ha dan seluas 40.553 Ha
merupakan kawasan hutan yang belum dikukuhkan (non register), rincian fungsi
hutan sebagaimana pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11 Fungsi dan luas kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang


No Fungsi Hutan Luas Kawasan Hutan (Ha)
Register Non Register Total
1 Hutan Lindung 19.808 11.600 30.408
2 Hutan Suaka Alam 6.365 - 6.365
3 Hutan Produksi Terbatas 9.175 28.953 38.128
4 Hutan Produksi 500 - 500
Jumlah 35.848 40.553 76.401
5

Kawasan hutan mangrove Kabupaten Deli Serdang dikelompokkan ke


dalam 4 (empat) kelompok yaitu, kawasan hutan Karang Gading dengan luas
6.245 Ha, Belawan 1.955 Ha, dan Percut 3.600 Ha, yang merupakan kawasan
register dengan luas total 11.800 Ha. Sedangkan seluas 2.589 Ha adalah kawasan
hutan non register yang merupakan perluasan TGHK (Tata Guna Hutan
Kesepakatan), sehingga hutan mangrove keseluruhan seluas 14.389 Ha.
Dari luasan hutan mangrove tersebut, terjadi perambahan seluas 8.552 ha
atau 59,4 % sehingga yang tersisa seluas 5.835 Ha atau 40,6 %. Kawasan hutan
mangrove Percut yang merupakan kawasan hutan register mengalami kerusakan
cukup parah dibandingkan dengan kawasan hutan mangrove register lainnya
(Karang Gading dan Belawan) yaitu seluas 2.872 Ha dari total luas 3.600 Ha atau
79,8 %, sehingga kondisi hutan mangrove yang tersisa dengan kondisi yang cukup
baik hanya 728 Ha atau 20,2 %. Kawasan hutan non register mengalami
kerusakan hingga 88,3 % atau seluas 2.287 Ha dari total luas hutan mangrove
2.589 Ha.

Tabel 12 Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang


Kawasan Hutan Luas Dirambah/ Utuh/Baik Persentase Persentase
No Mangrove (ha) Rusak (ha) (ha) Rusak Baik
1 Karang Gading* 6.245 2.550 3.695 40,8 59,2
2 Belawan* 1.955 843 1.112 43,1 56,9
3 Percut* 3.600 2.872 728 79,8 20,2
4 Perluasan TGHK** 2.589 2.287 300 88,3 11,6
Jumlah 14.389 8.552 5.835 - -
Persentase - 59,4 40,6 - -
Keterangan:
* Kawasan hutan register
** Kawasan hutan non register

Kecamatan Percut Sei Tuan yang merupakan salah satu kecamatan pesisir
di Kabupaten Deli Serdang memiliki ekosistem mangrove yang cukup luas yaitu
3600 Ha setelah Kecamatan Hamparan Perak dengan luas 6245 Ha.
Desa Percut, Tanjung Rejo dan Desa Pematang Lalang memiliki berbagai
macam ekosistem yang saling berhubungan secara timbal balik. Masing-masing
ekosistem yang ada memiliki peran dan fungsi saling mendukung. Kerusakan
5

salah satu ekosistem yang ada baik di daratan maupun di lautan secara langsung
berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan
informasi responden di lokasi penelitian, pada prinsipnya jenis-jenis vegetasi
mangrove yang ada di ketiga desa ini adalah sama yaitu jenis bakau (Rhizophora
spp., Soneratia spp., dan Bruguiera spp.), api-api (Avicennia spp.), dan buta-buta
(Exoecaria spp). Jenis-jenis vegetasi ini tidak merata penyebarannya dan di ketiga
desa ini di dominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp.)
Seiring dengan perkembangan/pertumbuhan dalam bidang ekonomi dan
tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup serta pertambahan jumlah penduduk
menyebabkan tingginya tingkat pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove. Hal
ini disebabkan karena mangrove yang merupakan eksosistem pantai dan hidup di
air payau merupakan salah satu jenis kayu yang baik, di sisi lain kehidupan
masyarakat yang dekat dan berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove,
mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai pemenuhan berbagai
kebutuhan didalam hidupnya.

Struktur Vegetasi Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan


Formasi jenis mangrove umumnya di dominasi oleh jenis-jenis dari famili
Rhizophoraceae, Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae. Menurut Kusmana (1995),
jenis-jenis mangrove yang terdapat di Sumatera antara lain adalah Avicennia
marina, A. officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, Excoecaria
agallocha, Rhizophora apiculata, R. Mucronata, dan Sonneratia alba.
Berdasarkan hasil pengamatan vegetasi mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan, terdapat 7 (tujuh) jenis mangrove yang termasuk dalam 4 (empat) famili
dengan jumlah individu sebanyak 163 untuk tingkat pohon, 291 untuk pacang dan
semai sebanyak 549 individu dengan total individu keseluruhan sebanyak 1003
individu. Penyebaran jenis-jenis mangrove dan jumlah individu dapat dilihat pada
Tabel 13.
5

Tabel 13 Jumlah individu pada masing-masing jenis vegetasi mangrove di


Kecamatan Percut Sei Tuan
No Jenis Famili Jumlah Individu
Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina Avicenniaceae 135 204 509
2 Avicennia officinalis Avicenniaceae 19 47 34
3 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae 1 7 -
4 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae - 2 1
5 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae 1 19 5
6 Soneratia alba Soneratiaceae 1 - -
7 Excoecacria agallocha Euphorbiaceae 6 12 -
Jumlah
Sumber: Hasil olahan data primer 2007 163 291 549

Hasil pengukuran dan pengamatan terhadap tutupan mangrove


menunjukkan bahwa tingkat pacang dan semai mendominasi tutupan mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan. Sedangkan tingkat pohon memiliki tutupan yang
relatif kecil (Gambar 7).
Jenis Avicennia marina merupakan jenis yang memiliki jumlah individu
terbanyak untuk semua tingkatan baik itu pohon, pacang dan semai dengan jumlah
individu untuk masing-masing tingkatan secara berurutan adalah 135, 204 dan
509 individu.
Sedangkan jenis Soneratia alba merupakan jenis yang memiliki jumlah
individu terendah yaitu 1 individu untuk tingkat pohon dan tidak memiliki jumlah
individu untuk tingkat pacang dan semai.
Masing-masing jenis mangrove pada setiap tingkatan memiliki nilai
kerapatan, frekuensi, dominasi, dan indeks nilai penting yang berbeda-beda. Nilai
kerapatan suatu jenis menunjukkan kelimpahan jenis di suatu ekosistem
sedangkan nilai frekuensi menunjukkan penyebaran suatu jenis. Untuk nilai
dominansi dan indeks nilai penting menunjukkan kepentingan suatu jenis terhadap
jenis lainnya di suatu ekosistem. Sedangkan nilai keanekaragaman menunjukkan
banyaknya jenis dan keanekaragaman jenis di suatu wilayah. Indeks
keanekaragaman jenis juga berfungsi untuk menandai jumlah jenis dalam suatu
daerah tertentu atau sebagai jumlah spesies di antara jumlah total individu seluruh
spesies yang ada.
Gambar 7 Peta Penutupan Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan

5
5

Dari pengamatan dan analisis yang telah dilakukan didapatkan kerapatan


relatif vegetasi mangrove untuk tingkat pohon berkisar antara 0,61-82,2 %, tingkat
pacang 0,69- 70,10 % dan tingkat semai 0,18-92,71 % (Tabel 14).
Nilai kerapatan relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina dan
Avicennia officinalis untuk semua tingkatan baik pohon, pacang maupun semai.
Nilai kerapatan relatif untuk kedua jenis ini secara berurutan 82,82 %, 70,10 %,
92,71 % dan 11,66 %, 16,15 % dan 6,19 %. Sedangkan kerapatan relatif terendah
terdapat pada jenis Soneratia alba untuk tingkat pohon dan Rhizophora apiculata
untuk tingkat pacang dan semai. Nilai kerapatan relatif jenis Soneratia alba
sebesar 0,61 %, sedangkan jenis Rhizophora apiculata tingkat pacang 0,69 % dan
tingkat semai 0,18 %. Nilai kerapatan relatif yang tinggi pada jenis Avicennia
marina dan Avicennia officinalis menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup
melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Soneratia alba dan
Rhizophora apiculata merupakan jenis yang jarang ditemukan. Dari data tersebut
dapat diketahui bahwa saat ini ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
tergolong rusak jarang dengan nilai kerapatan <1000. Menurut Kementerian
Lingkungan Hidup kondisi ekosistem mangrove dapat digolongkan kedalam
3 kriteria yaitu sangat padat dengan nilai kerapatan >1500 (baik), kepadatan
sedang >1000 - <1500 (rusak) dan kepadatan jarang dengan nilai <1000 (rusak).

Tabel 14 Kerapatan dan kerapatan relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan
pohon
Kerapatan (K) Kerapatan Relatif (KR)
No Jenis
Pohon Pacang Semai Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina 300,00 453,33 1131,11 82,82 70,10 92,71
2 Avicennia officinalis 42,22 104,44 75,56 11,66 16,15 6,19
3 Bruguiera gymnorrhiza 2,22 15,56 - 0,61 2,41 -
4 Rhizophora apiculata - 4,44 2,22 - 0,69 0,18
5 Rhizophora mucronata 2,22 42,22 11,11 0,61 6,53 0,91
6 Soneratia alba 2,22 - - 0,61 - -
7 Excoecaria agallocha 13,33 26,67 - 3,68 4,12 -
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Frekuensi relatif jenis dapat menggambarkan sebaran jenis pohon dalam


suatu areal. Dari 7 jenis vegetasi mangrove, didapatkan nilai frekuensi relatif (FR)
5

vegetasi berkisar antara 1,89-71,70 % untuk tingkat pohon, 3,17-49,21 % untuk


tingkat pacang dan untuk tingkat semai 3,23-64,52 % (Tabel 15).

Tabel 15 Frekuensi dan frekuensi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan
pohon
No Jenis Frekuensi (F) Frekuensi Relatif (FR)
Pohon Pacang Semai Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina 0,84 0,69 0,44 71,70 49,21 64,52
2 Avicennia officinalis 0,20 0,31 0,13 16,98 22,22 19,35
3 Bruguiera gymnorrhiza 0,02 0,09 - 1,89 6,35 -
4 Rhizophora apiculata - 0,04 0,02 - 3,17 3,23
5 Rhizophora mucronata 0,02 0,18 0,09 1,89 12,70 12,90
6 Soneratia alba 0,02 - - 1,89 - -
Sumber: Hasil olahan data primer 0,07
7 Excoecaria agallocha 2007 0,09 - 5,66 6,35 -

Nilai frekuensi relatif tertinggi terdapat pada jenis Avicennia marina dan
Avicennia officinalis untuk semua tingkatan baik pohon, pacang maupun semai.
Nilai frekuensi relatif untuk kedua jenis ini secara berurutan 71,70 %, 49,21 %,
64,52 % dan 16,98 %, 22,22 % dan 19,35 %. Sedangkan frekuensi relatif terendah
terdapat pada jenis Soneratia alba untuk tingkat pohon dan Rhizophora apiculata
untuk tingkat pacang dan semai. Nilai frekuensi relatif jenis Soneratia alba
sebesar 1,89 %, sedangkan jenis Rhizophora apiculata tingkat pacang 3,17 % dan
tingkat semai 3,23 %. Nilai frekuensi relatif yang tinggi pada jenis Avicennia
marina dan Avicennia officinalis menunjukkan bahwa jenis ini terdapat cukup
melimpah pada lokasi penelitian, dan sebaliknya untuk jenis Soneratia alba dan
Rhizophora apiculata merupakan jenis yang jarang ditemukan.

Dominansi yang didapatkan untuk seluruh jenis vegetasi mangrove berkisar


antara 0,02-7,99 untuk tingkat pohon dan 0,01–0,65 untuk tingkat pacang.
Sedangkan dominansi relatif berkisar antara 0,22-87,18 % untuk tingkat pohon
dan 0,28-73,24 % untuk pacang (Tabel 16).
Nilai dominansi dan dominansi relatif tertinggi terdapat pada jenis
Avicennia marina untuk semua tingkatan (pohon dan pacang) dengan nilai
dominansi secara berurutan yaitu 7,99 dan 0,65 dan dominansi relatif dengan nilai
87,18 % untuk pohon dan 73,24 % untuk pacang. Untuk nilai dominansi dan
dominansi relatif terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata untuk tingkat
5

pacang dengan nilai dominansi dan dominansi relatif secara berurutan yaitu 0,002
dan 0,28 %.

Tabel 16 Dominansi dan dominansi relatif jenis mangrove pada tiap tingkatan
pohon
No Jenis Dominansi (D) Dominansi Relatif (DR)
Pohon Pacang Pohon Pacang
1 Avicennia marina 7,99 0,65 87,18 73,24
2 Avicennia officinalis 0,90 0,14 9,86 16,17
3 Bruguiera gymnorrhiza 0,03 0,01 0,34 0,83
4 Rhizophora apiculata - 0,002 - 0,28
5 Rhizophora mucronata 0,02 0,06 0,22 7,23
6 Soneratia alba 0,03 - 0,34 -
7
Sumber: Excoecaria
Hasil olahanagallocha
data primer 20070,19 0,02 2,06 2,26

Nilai dominansi dan dominansi relatif yang besar dari jenis Avicennia
marina menunjukan bahwa jenis ini memiliki diameter batang yang besar dan
produktivitas yang besar pula. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan
memiliki produktivitas yang besar dimana dalam menentukan suatu jenis vegetasi
dominan yang perlu diketahui adalah diameter batang. Hortshon (1976) dalam
Yefri (1987) menambahkan bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan
besarnya diameter batang adalah jenis dan umur pohon. Dengan lamanya
pertumbuhan (umur) suatu pohon, maka pohon tersebut akan bertambah besar.

Indeks Nilai Penting (INP)


Nilai INP menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan dan juga
menggambarkan tingkat penguasaan jenis dalam suatu komunitas. Selain itu, INP
juga memberikan suatu gambaran besarnya pengaruh dan peranan suatu jenis
dalam suatu komunitas mangrove. Dari analisis data didapatkan bahwa indeks
nilai penting vegetasi berkisar antara 2,72-241,70 % untuk tingkat pohon, 9,58-
192,55 % untuk pacang dan 3,41-157,23 % tingkat semai. Indeks nilai penting
masing-masing jenis untuk semua tingkatan pohon disajikan pada Tabel 17.
Indeks nilai penting tertinggi didapatkan pada jenis Avicennia marina untuk
semua tingkatan pohon (pohon, pacang dan semai) dengan nilai masing-masing
secara berurutan yaitu 241,70 %, 192,55 % dan 157,23 %. Kemudian diikuti oleh
jenis Avicennia officinalis dan Rhizophora mucronata. Hal ini menggambarkan
5

bahwa jenis-jenis ini mampu bersaing dengan lingkungannya dan disebut jenis
dominan.

Tabel 17 Indeks Nilai Penting (INP) jenis mangrove pada tiap tingkatan pohon
No Jenis Nilai INP (%)
Pohon Pacang Semai
1 Avicennia marina 241,70 192,55 157,23
2 Avicennia officinalis 38,50 54,54 25,55
3 Bruguiera gymnorrhiza 2,84 9,58 -
4 Rhizophora apiculata - 4,14 3,41
5 Rhizophora mucronata 2,72 26,46 13,81
6 Soneratia alba 2,84 - -
7 Excoecaria agallocha 11,40 12,73 -
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Indeks nilai penting terendah terdapat pada jenis Rhizophora apiculata


untuk tingkat pacang dan semai dengan nilai 4,14 % dan 3,41 %. Jenis Soneratia
alba pada tingkat pohon dengan nilai 2,84 %, yang menggambarkan bahwa jenis-
jenis ini kurang mampu bersaing dengan lingkungan dan jenis-jenis lainnya.

Keanekaragaman Fauna
Secara umum, fauna hutan mangrove terdiri atas fauna akuatik (laut) dan
teresterial. Fauna teresterial misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), biawak
(Varanus salvator), berbagai jenis burung dan lain-lain. Sedangkan fauna laut
umumnya didominasi oleh Molusca, Crustaceae, dan ikan.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di lokasi penelitian, fauna yang
umum dijumpai di ekosistem mangrove Percut Sei Tuan dari kelompok fauna
akuatik adalah Mugil sp., Uca spp., Scylla serrata, Palaemonetes spp.,
Corbiculata sp., dan Anadara sp. Sedangkan dari kelompok fauna teresterial
antara lain jenis Macaca fascicularis, Presbytis cristata, Naja sputatrix, Varanus
salvator, Bufo sp., Limnocetes spp., Mycterea cinerea, Leptoptilos javanicus,
Ardea purpurea, Bubulcus ibis (Tabel 18).
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah jenis yang terbanyak adalah dari
kelompok burung, baik itu burung teresterial maupun burung air. Berdasarkan
data pengamatan burung yang dilakukan oleh Yayasan Akasia Indonesia dari
Januari 2003 sampai dengan Mei 2007, terdapat 33 jenis burung teresterial dan
60

37 jenis burung air (Lampiran 1). Dari keseluruhan jenis burung air tersebut,
terdapat 21 jenis burung migran.

Tabel 18 Jenis-jenis fauna di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan


Fauna Nama Ilmiah Nama Indonesia
Akuatik Mugil sp. Belanak
Palaemonetes spp. Udang Putih
Uca spp. Kepiting
Scylla serrata Kepiting Bakau
Corbiculata sp. Lokan
Anadara sp. Kerang Darah
Teresterial Macaca fascicularis Kera Ekor Panjang
Presbytis cristata Lutung Kelabu
Homalopsis bucatta Ular Air
Varanus salvator Biawak
Mabouya spp Kadal
Bufo spp Kodok
Limnonectes spp Katak
Ardea purpurea Cangak Merah
Bubulcus ibis Kuntul Kerbau
Mycterea cinerea Vu UU Bagau Bluwok
Leptoptilos javanicus Vu UU Bangau Tongtong
Numenius arquata* UU Gajahan Besar
Numenius phaeopus*UU Gajahan Pengala
Numenius madagariensis*Nt UU Gajahan Timur
Limnodromus semipalmatus*Nt UU Trinil Lumpur Asia
Elanus caeruleus Elang Tikus
Heliastur indus Elang Bondol
Centropus sinensis Bubut Besar
Phalacrocorax sppNt Pecuk
Keterangan :
* Burung Air Migran
UU : Undang-undang perlindungan yang berlaku di Indonesia
Vu : Vulnerable (rentan)
Nt : Near Threatened (mendekati terancam)

Burung air dalam hal ini disebut burung pantai (shore bird). Burung pantai
adalah kelompok burung air yang memanfaatkan bagian tepi berlumpur dari
wilayah pasang surut dan lahan basah. Mereka pada umumnya memiliki kaki yang
panjang, paruh membulat di bagian ujung serta sayap yang membulat panjang.
Burung pantai umumnya terdiri dari Cerek, Trinil, Kedidi, Gajahan, Berkik, Biru-
laut, Gagang-bayam, Kedidir, Terik dan beberapa jenis lainnya. Meskipun burung
pantai hidup dari laut, namun tidak semuanya bisa berenang. Burung pantai yang
tidak bisa berenang biasanya mempunyai kaki dan paruh yang panjang. Bila
mencari makan di perairan dangkal, kakinya yang panjang dicelupkan dan
paruhnya dimanfaatkan untuk menangkap mangsanya di dalam air. Kelompok
burung seperti ini biasa disebut dengan ”wader” sebagai contoh hasil penelitian
61

adalah jenis bangau bluwok (Mycterea cinerea), bangau tong-tong (Leptoptilos

javanicus), cangak merah (Ardea purpurea) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis).
Jenis-jenis burung ini merupakan jenis endemik yang umum terdapat di Indonesia.
Selain jenis burung endemik ini, pada lokasi penelitian terdapat jenis-jenis
burung pantai migran (migratory wader) seperti jenis gajahan besar (Numenius
arquata), gajahan pengala (Numeris phaeopus), gajahan timur (Numenius
madageriensis), dan trinil lumpur asia (Limnodromus semipalmatus). Kebanyakan
jenis burung migran ini berasal dari daerah yang amat jauh dan melakukan
migrasi untuk menghindari musim dingin di utara ataupun selatan dalam suatu
perjalanan dengan jalur migrasi tertentu (flyways). Indonesia merupakan salah
satu negara yang termasuk kedalam jalur terbang burung migran tersebut, dan
termasuk negara yang memiliki habitat pantai potensial bagi burung-burung pantai
baik penetap maupun migran. Sebagian dari burung migran menjadikan Indonesia
sebagai salah satu tempat persinggahan sementara saja untuk kemudian
melanjutkan lagi perjalanannya, dan ada pula menjadikannya sebagai tempat
tujuan akhir. Mereka akan kembali ke tempat asalnya untuk kawin dan bertelur
apabila disana telah memasuki musim panas.
Sejauh ini berdasarkan data SBI (2007), telah banyak lokasi-lokasi yang
teridentifikasi sebagai tempat singgah burung-burung pantai saat melakukan
migrasi ke selatan maupun ke utara, seperti Wonorejo, Surabaya; Pantai Trisik,
Yogyakarta; Muara Gembong, Bekasi; Muara Angke, Jakarta; Sayung, Semarang;
Demak; Bagan Percut, Medan; Pantai Cemara, Jambi; Tulang Bawang, Lampung;
Serangan, Bali, dan lain lain.
Bagan Percut (Paluh 80) sebagai salah satu daerah di Kecamatan Percut
Sei Tuan dan merupakan daerah kajian penelitian memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan dalam hal ini adalah pengembangan daerah wisata (wisata
ilmiah) untuk pengamat burung sebagai alternatif peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar kawasan. Selain Bagan Percut terdapat beberapa daerah yang
berpotensi untuk dikembangkan antara lain Tanjung Rejo (Paluh Getah) dan
Pematang Lalang (Gambar 8).
62

Sumber: Citra Satelit Landsat


7ET M+ Juni 2005

Gambar 8 Daerah sebaran burung pantai, burung migran dan primata.

Tingginya kelompok burung yang terdapat di ekosistem mangrove Percut


Sei Tuan menunjukkan bahwa daerah ini sangat cocok sebagai habitat burung.
Daerah ini juga merupakan salah satu daerah persinggahan beberapa jenis burung
migran seperti Numenius arquata, Numenius phaeopus, Numenius madagariensi,
Limnodromus semipalmatus dan lain-lain. Selain itu, yang menarik untuk
diperhatikan, beberapa jenis burung yang ditemukan tersebut memiliki status
dilindungi (UU Perlindungan Indonesia), rentan (vurneralibilty), dan mendekati
terancam (near threatened) antara lain jenis Numenius madagariensis (gajahan
timur) dengan status mendekati terancam dan dilindungi, Leptoptilos javanicus
(bangau tongtong) dengan status rentan dan dilindungi, Mycterea cinerea (bangau
bluwok) status rentan dan dilindungi, dan Limnodromus semipalmatus (trinil
lumpur asia) dengan status mendekati terancam dan dilindungi, dan lain-lain
(Tabel 18).
Selain terdapatnya jenis burung-burung teresterial dan migran yang
menjadi isu dan potensi dalam perlindungan dan pelestarian mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan, terdapat jenis-jenis primata yaitu kera ekor panjang
(Macaca fascicularis) dan lutung kelabu (Presbytis cristata) yang dapat dijadikan
63

isu dan potensi dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian mangrove di daerah
ini. Walaupun status kedua fauna ini tidak terancam, rentan ataupun dilindungi,
tetapi sudah masuk dalam status mendekati terancam (IUCN Red List, 2007). Hal
ini disebabkan karena adanya pemanfaatan dan perdagangan terhadap satwa ini.
Untuk itu pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 26/Kpts-
II/94 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan
beberapa satwa lainnya untuk keperluan eksport, memberikan batasan terhadap
pemanfaatan satwa ini yaitu melalukan penangkaran sendiri terhadap satwa ini
untuk keperluan ekspor, dan jumlah satwa yang dapat dieksport oleh para
eksportir yang telah mendapatkan izin, berdasarkan quota eksport yang ditetapkan
oleh Departemen Kehutanan setelah diperiksa/dinilai oleh Tim Akreditasi
berdasarkan hasil penangkaran.
Keanekaragaman jenis fauna, baik fauna akuatik dan teresterial
menunjukkan bahwa ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki
potensi yang sangat besar untuk dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu
diperlukan pengelolaan berkelanjutan demi menjaga kelestarian habitat satwa
tersebut di atas selain sebagai potensi dalam pengembangan wisata dalam
peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan mangrove.

Kondisi Fisik Kimia Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan


Suhu
Suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan
pertumbuhan mangrove (Supriharyono, 2000).
Hasil pengukuran suhu air dan suhu tanah pada saat pengambilan data
vegetasi mangrove dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini.

Tabel 19 Kisaran suhu ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.

Suhu Hasil Pengukuran ( X ± SD ) tiap Jalur


(oC)
I II III IV V VI VII VIII IX

Air 28±0.5 32±1.3 30±0.6 28±0.9 28±0.8 32±0.7 31±0. 9 31±1.2 32±0.9

Tanah 29±1.3 29±1.4 30±0.8 30±0.2 31±1.2 30±0.3 30± 1.4 29±0.8 31±0.9
64

Hasil pengukuran suhu air dan tanah pada tiap jalur pengamatan
menunjukkan bahwa suhu air di ekosistem mangrove kecamatan Percut Sei
Tuan berkisar antara 280.5 - 321.3 oC dan suhu tanah 290.8 - 311.2 oC
(Gambar 9 dan 10). Suhu air tertinggi yang tercatat yaitu pada jalur II, VI dan
IX sebesar 321.3, 320.7 dan 320.9 oC dan suhu terendah pada jalur I, IV,
dan V sebesar 280.5, 280.9 dan 280.8 oC.

40.00

1.25 0.66
35.00 0.871.150.86
0.55
0.51 0.87
30.00 0.76
Rata-rata Suhu

25.00

20.00

15.00

10.00

5.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9

0.00 Jalur Pengamatan

Gambar 9 Sebaran rata-rata suhu air pada setiap jalur pengamatan


Suhu tanah tertinggi tercatat pada jalur V dan IX sebesar 311.2 dan
310.9 oC dan terendah pada jalur I, II, dan VIII sebesar 291.3, 291.4 dan
290.8 oC.

35.00
0.86
0.76 1.18 1.36 0.76
1.37 0.20 0.25
1.35
30.00

25.00
Rata-rata Suhu

20.00

15.00

10.00

5.00

0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalur Pengamatan

Gambar 10 Sebaran rata-rata suhu tanah pada setiap jalur pengamatan


65

Tingginya suhu air dan tanah di ekosistem mangrove disebabkan karena


tutupan mangrove yang sangat rendah sehingga tingkat penyinaran (intensitas
sinar matahari) yang masuk sangat tinggi. Selain itu letak geografis Kecamatan
Percut Sei Tuan (Propinsi Sumatera Utara) yang terletak pada daerah khatulistiwa
menjadi salah satu faktor penyebab tingginya suhu. Namun demikian, kondisi
kisaran suhu ekosistem ini masih dalam batas nilai toleransi bagi kehidupan
organisme dan tumbuhan mangrove pada umumnya.
Menurut Aksornkoae (1993), kisaran suhu lingkungan untuk hutan
(ekosistem) mangrove yang alami berkisar antara 21-31 oC, suhu air berada pada
kisaran suhu 28oC. Suhu pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang rendah
dan kisaran suhu musiman. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak
kurang dari 20oC, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5oC. Suhu
yang tinggi (>40oC) cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan/atau
kehidupan tumbuhan mangrove.

Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) sangat penting sebagai parameter kualitas air
karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air.
Selain itu, ikan dan makhluk-makhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu
sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut
sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan biota.
Hasil pengukuran pH pada tiap jalur pengamatan di ekosistem mangrove
Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini.

Tabel 20 Kisaran pH ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.


Hasil Pengukuran ( X ± SD ) tiap jalur
pH
I II III IV V VI VII VIII IX

Air 6.8±0.4 7.5±0.3 7.0±0.1 7.1±0.2 6.9±0.3 7.0±0.2 6.9±0.4 6.8±0.3 6.9±0.2

Tanah 5.8±0.3 5.2±0.1 6.0±0.1 6.2±0.2 6.0±0.2 6.1±0.2 5.8±0.1 5.8±0.1 5.8±0.2

Nilai pH hasil pengukuran di ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei


Tuan menunjukkan kisaran 6.80.3 – 7.50.3 untuk air, sedangkan untuk tanah
memiliki kisaran 5.20.1 – 6.20.2 (kondisi pH basa).
66

Nilai pH air tertinggi terdapat pada jalur II dengan nilai 7.50.3, jalur IV
dengan nilai 7.10.2 dan jalur VI sebesar 7.00.2. Sedangkan pH terendah
terdapat pada jalur VIII sebesar 6.80.3 dan jalur I sebesar 6.80.4. Penyebaran
rata-rata pH air pada setiap jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.

9.0
8.0
7.0 0.30 0.15 0.21
0.40 0.06 0.25 0.20 0.35 0.29
6.0
5.0
4.0
Rata-rata pH

3.0
2.0
1.0
0.0

123456789
Jalur Pengamatan

Gambar 11 Sebaran rata-rata pH air pada tiap jalur pengamatan

Nilai pH tanah tertinggi dijumpai pada jalur IV sebesar 6.20.2 dan


terendah terdapat pada jalur II sebesar 5.20.1 (Gambar 12). Hasil ini
menunjukkan bahwa ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan memiliki
pH yang mendukung kehidupan organisme mangrove atau masih pada batas nilai
toleransi bagi kehidupan organisme dan tumbuhan mangrove pada umumnya.

8.0

0.15 0.10 0.15


7.0 0.12 0.10 0.210.17 0.06
0.25
6.0
Rata-rata pH

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9

0.0 Jalur Pengamatan

Gambar 12 Sebaran rata-rata pH tanah pada tiap jalur pengamatan


67

Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organisme


mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal
dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai pH air yang normal sekitar netral
yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar berbeda tergantung dari jenis
buangannya. Batas organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu air,
oksigen terlarut, adanya berbagi anion dan kation serta jenis organisme.

Salinitas
Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri,
et al. 2004). Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulai air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2005).
Salinitas suatu perairan sangat penting untuk pertumbuhan, ketahanan dan zonasi
jenis-jenis mangrove.
Vegetasi mangrove umumnya dapat bertahan dan mampu hidup dengan
subur pada lingkungan estuari pada kisaran salinitas antara 10-30 ‰. Namun
demikian beberapa jenis mangrove mampu tumbuh pada kisaran salinitas yang
tinggi. Sebagai contoh jenis Avicennia marina dan Excoecaria agallocha di
Australia dapat tumbuh di daerah dengan salinitas lebih kurang 85 ‰, Avicennia
officinalis dapat bertahan hidup pada kisaran salintas maksimum 63 ‰, begitu
juga dengan jenis Ceriops spp. Dapat mentolerir sampai batas maksimum 72 ‰,
Soneratia spp. 44 ‰, Rhizophora apiculata 65 ‰, dan Rhizophora stylosa 74 ‰.
dan Bruguiera spp. pada daerah dengan salinitas tidak lebih dari 37 ‰.
Tidak ada ketetapan baku yang mengindikasikan salinitas maksimum air di
daerah intertidal (interstitial water salinity) dimana mangrove dapat bertahan
hidup. Tetapi salinitas optimal untuk daerah ini berkisar antara 28-34 ‰. Jika
salinitas kurang dari 28 ‰, pertumbuhan mangrove akan mengalami penurunan.
Hasil pengukuran salinitas pada tiap jalur pengamatan di ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dilihat pada Tabel 21.
68

Tabel 21 Kisaran Salinitas ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan.


Hasil Pengukuran ( X ± SD ) tiap jalur
Parameter
I II III IV V VI VII VIII IX
Salinitas 280.8 350.5 301.3 150.7 290.6 300.6 291.1 281.0 280.8
(‰)

Dari data yang di peroleh hasil pengamatan, didapatkan bahwa kisaran


salinitas untuk semua jalur pengamatan sebesar 15-35 ‰. Salinitas terendah
terdapat pada jalur IV sebesar 150.7 ‰ dan tertinggi pada jalur II sebesar
350.2 ‰, jalur III, dan VI sebesar 301.3 dan 300.6 ‰. Untuk jalur-
pengamatan yang lain cenderung sama yaitu berkisar antara 28-29 ‰. Sebaran
salinitas untuk setiap jalur dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.

40
0.5
35
1.3 0.6 0.6
1.1 1.0 0.8
30 0.8

25
Rata-rata

20
0.7
15

10

1 2 3 4 5 6 7 8 9
0
Jalur Pengamatan

Gambar 13 Sebaran rata-rata salinitas pada tiap jalur pengamatan

Substrat
Tanah mangrove dibentuk dari akumulasi derivat sedimen yang berasal dari
pantai atau erosi sungai, ataupun erosi dari lahan atas yang terangkut di sepanjang
sungai dan kanal. Beberapa kemungkinan berasal dari sedimentasi material-
material partikel dan koloid. Sedimen yang telah terakumulasi di sepanjang pantai
dan mangrove memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan sumber sedimen
tersebut. Sedimen yang berasal dari sungai dan kanal didominasi oleh jenis tanah
berlumpur dan sedimen pantai didominasi oleh pasir. Degradasi dari bahan-bahan
69

yang terdekomposisi dalam waktu yang cukup lama juga memberikan kontribusi
bagi pembentukan tanah (substrat) di mangrove.
Berbagai penelitian mengenai komposisi tanah (substrat) di mangrove telah
banyak dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik
tanah merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan, distribusi dari jenis-jenis
mangrove dan juga ketahanan organisme mangrove.
Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan bahwa jenis substrat di
ekosistem mangrove kecamatan Percut Sei Tuan pada keseluruhan jalur
pengamatan adalah pasir berlumpur dengan komponen fraksi substrat terdiri dari
lumpur, pasir halus, pasir sedang, dan pasir kasar. Secara garis besar, fraksi
penyusun substrat dapat di lihat pada Gambar 12.

IX VIII VII VI V IV III


II
Jalur

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Persentase Fraksi Substrat


Lumpur Pasir Halus Pasir Sedang Pasir Kasar

Gambar 12 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian, Lpr = lumpur


( = 0.0625-0.0039 mm), Phl = pasir halus ( = 0.25-0.125 mm),
Psd = pasir sedang ( = 0.50-0.25 mm) dan Pks = pasir kasar
( = 1-0.5 mm)

Hasil analisis terhadap substrat menunjukkan bahwa fraksi pasir kasar


memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan fraksi lainnya untuk semua
jalur pengamatan. Sedangkan persentase terendah umumnya terdapat pada fraksi
lumpur. Persentase lumpur berkisar antara 5,21-13,87 % dengan persentase
tertinggi terdapat di jalur IX. Untuk pasir halus, persentase berkisar antara 19,66-
42,18 % dan fraksi pasir sedang memiliki persentase berkisar antara 9,69-
18,90 %. Persentase pasir kasar berkisar antara 33,84-58,54 % dimana persentase
tertinggi didapat pada stasiun VI (Tabel 22).
70

Aksornkoae et. al (1978) menemukan bahwa karakteristik fisika dan kimia


tanah berbeda pada setiap zonasi mangrove. Karakteristik tanah mangrove
berbeda dari jenis tanah di luar ekosistem mangrove. Komposisi jenis,
keanekaragaman (richness) dan distribusi organisme mangrove juga tergantung
dari karakteristik tanahnya.

Tabel 22 Persentase Fraksi Substrat Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei


Tuan
Jalur Lumpur Pasir Halus Pasir Sedang Pasir Kasar
I 5,21 29,40 18,08 54,98
II 4,53 42,18 15,02 40,29
III 13,4 30,36 10,16 43,77
IV 13,5 30,37 10,53 33,84
V 5,47 31,33 12,36 41,95
VI 6,85 33,52 18,80 58,54
VII 5,77 32,23 18,90 41,75
VIII 10,30 20,21 9,69 47,46
IX 13,87 19,66 17,72 48,35

Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Sekitar Ekosistem


Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan

Secara sosial ekonomi budaya, konsep pengelolaan berkelanjutan


mensyaratkan bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu ekosistem dan sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan pengelolaan, terutama
masyarakat yang perekonomiannya termasuk rendah, guna menjamin
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Pengelolaan juga harus
didasarkan pada karakteristik sosial budaya masyarakat yang bertujuan agar
kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan dapat diterima oleh keseluruhan
masyakarat bukan salah satu golongan atau pihak-pihak tertentu.

Sosial Ekonomi Masyarakat


Secara administratif ekosistem mangrove percut termasuk dalam 3 (tiga)
Desa, yaitu Desa Pematang Lalang, Desa Percut, dan Desa Tanjung Rejo. Tiga
desa ini merupakan desa yang menjadi obyek penelitian dimana masyarakat di desa-
desa ini mempunyai akses langsung terhadap ekosistem mangrove percut.
71

Sebagian besar masyarakat yang berdiam di desa-desa tersebut adalah suku jawa,
batak dan melayu.
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem mangrove
adalah sebagai nelayan, petani, pedagang, pensiunan, dan buruh, baik itu buruh
tani maupun buruh bangunan (Tabel 23). Secara umum kesempatan kerja di
wilayah ini sangat minim namun peluang untuk berusaha cukup tinggi mengingat
potensi sumberdaya alam khususnya hasil laut yang sangat berlimpah, namun
demikian peluang berusaha yang ada kurang bisa dimanfaatkan karena
membutuhkan modal yang relatif tinggi. Bagi masyarakat yang tidak mempunyai
modal, sebagian besar masyarakat memanfaatkan waktu luang mereka untuk
memasang tangkul (alat tradisional menangkap kepiting) di hutan mangrove selain
itu juga menangkap udang dan ikan. Namun karena tingkat degradasi ekosistem
yang tinggi, hasil tangkapan perikanan di sekitar mangrove menjadi sangat kecil
dan hampir tidak mencukupi untuk menunjang perekonomian keluarga sebagian
besar masyarakat di sekitar wilayah sehingga memaksa masyarakat mencari
alternatif usaha yang dapat menghasilkan pendapatan seperti menjadi buruh tani,
buruh bangunan dan lain-lain.

Tabel 23 Jenis mata pencaharian masyarakat di desa-desa penelitian.


Desa Nelayan Petani Pedagang Pensiunan Buruh
Pematang Lalang 42 545 13 4 52
Percut 658 598 1170 29 54
Tanjung Rejo 85 2360 90 32 67
Sumber: Percut Dalam Angnka 2005

Jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan banyak


terdapat di Desa Percut begitu juga dengan profesi sebagai pedagang. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar masyarakat hidup di pesisir dan
menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Selain itu perekonomian dan
infrastruktur di Desa Percut sudah sedikit maju dibandingkan kedua desa lainnya,
yang menyebabkan tingginya jumlah pedagang di desa ini. Tingginya jumlah
pengunjung ke Desa Percut untuk rekreasi dan berdarmawisata merupakan salah
satu faktor penyebab tingginya pedagang di desa ini.
Dari tabel dapat dilihat juga jumlah masyarakat yang bermata pencaharian
sebagai petani banyak terdapat di Desa Tanjung Rejo. Hal ini disebabkan karena
72

sebagian besar wilayah di desa ini dimanfaatkan sebagai sawah tadah hujan.
Usaha tani yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah usaha tani tanaman
tahunan dan tanaman semusim. Produksi padi tadah hujan sebagian besar terdapat
di Desa Pematang Lalang dan Tanjung Rejo. Masyarakat juga banyak
memanfaatkan lahan sebagai tambak. Namun demikian, tambak-tambak yang ada
di Desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang umumnya bukan milik
masyarakat lokal tetapi pemilik modal. Masyarakat hanya sebagai penjaga
tambak.
Dari keseluruhan jenis pekerjaan masyarakat, pada umumnya masyarakat
yang hidup di sekitar mangrove memiliki tingkat pendapatan yang relatif rendah.
Berdasarkan hasil wawancara kepada masyarakat, pendapatan masyarakat pada
umumnya berkisar Rp 15.000,- sampai dengan Rp 20.000,- perhari-nya. Jika kita
telaah dengan kebutuhan hidup sehari-hari, pendapatan ini sangat jauh dari cukup
untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat yang memiliki jumlah
anggota keluarga rata-rata 2 - 5 orang. Untuk itu masyarakat sangat berharap dan
membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah untuk dapat meningkatkan
perekonomian mereka.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian tingkat mobilitas ekonomi
masyarakat tergolong kategori sedang, dimana anggota masyarakat rata-rata
mempunyai 2 (dua) jenis pekerjaan sebagai sumber pedapatan. Tingkat mobilitas
ekonomi diukur dari jumlah jenis mata pencaharian sebagai sumber alternatif
pendapatan keluarga. Makin banyak sumber mata pencaharian maka semakin
tinggi tingkat mobilitas ekonomi masyarakat dan sebaliknya. Klasifikasi mobilitas
ekonomi ini adalah nilai 1 tergolong rendah, nilai 2 tergolong sedang dan nilai 3-4
tergolong tinggi, serta >4 tergolong sangat tinggi.
Fasilitas perekonomian yang ada di lokasi studi adalah pasar yang terdapat
di Desa Percut dan Tanjung Rejo. Namun demikian pasar yang terdapat di kedua
desa ini termasuk dalam pasar mingguan dan belum ada pasar tetap. Sedangkan di
Desa Pematang Lalang tidak memiliki pasar sama sekali (Tabel 24). Hal ini juga
menjadi faktor rendahnya tingkat perekonomian (kegiatan ekonomi) yang terdapat
di desa-desa studi. Umumnya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari berasal dari warung-warung yang menyediakan kebutuhan pokok dan
73

kebutuhan lainnya, hal ini disebabkan sulitnya trasnportasi ke pasar-pasar


tradisional maupun pasar-pasar yang terdapat di kota dan kecamatan.
Tabel 24 Jumlah dan jenis pasar yang terdapat di desa-desa studi
Desa Pasar Tetap Pasar Mingguan
Pematang Lalang - -
Percut - 1
Tanjung Rejo - 1
Sumber: Percut Dalam Angka 2005

Sosial Budaya Masyarakat


Penduduk yang berdiam di desa-desa sekitar ekosistem mangrove percut
sebagian besar adalah bersuku Jawa, Melayu dan Batak. Berdasarkan Kecamatan
Percut dalam angka 2005, data mengenai penduduk di masing-masing desa studi
secara rinci disajikan pada Tabel 25. Sumber data mengenai kependudukan ini
adalah merupakan data terakhir dan terbaru pada saat penelitian dilaksanakan.

Tabel 25 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di desa-desa penelitian


Desa Laki-laki Perempuan Total
Pematang Lalang 2275 1019 3294
Percut 5372 5463 10835
Tanjung Rejo 3695 3546 7241
Sumber: Percut Dalam Angka 2005

Hasil ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya manusia cukup tersedia


dalam mendukung kegiatan pembangunan khususnya program pengelolaan
ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Dengan jumlah penduduk
dan dalam usia yang relatif muda serta didukung dengan produktivitas yang tinggi
biasanya lebih mudah menerima masukan akan hal-hal baru yang bersifat
kemajuan dan lebih mudah untuk diajak berpartisipasi karena keinginan untuk
memperbaiki masa depan dan meningkatkan perekonomian.
Tingkat pendidikan seseorang merupakan karakteristik individu yang
menjadi bagian terpenting dalam pembangunan. Hal ini dikarenakan, dengan
pendidikan seseorang dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berguna untuk partisipasi dalam pembangunan. Secara sosiologi, tingkat
pendidikan yang rendah serta keterbatasan akses untuk mendapatkan informasi
akan mempengaruhi tingkat partisipasi. Akibatnya akan mempersulit masyarakat
untuk membayangkan tujuan pembangunan.
74

Pendidikan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pendidikan formal


karena pendidikan formal merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan manusia. Pendidikan menciptakan manusia yang
dapat berpikir secara logis, rasional, sistematis dan bijaksana. Pendidikan yang
tinggi diharapkan akan lebih mampu menganalisis manfaat yang akan di peroleh
dari suatu kegiatan yang dilakukan.
Pada umumnya tingkat pendidikan masyarakat di desa-desa studi tergolong
masih rendah. Sebagian masyarakat hanya lulusan SD dan Madrasah serta
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Rendahnya tingkat pendidikan ini diakibatkan
oleh minimnya jumlah sekolah yang ada dan sulit serta mahalnya transportasi.
Kondisi ini juga didukung oleh rendahnya kesadaran orang tua untuk
menyekolahkan anaknya serta tingkat perekonomian yang relatif rendah sebagian
besar masyarakat.
Fasilitas pendidikan yang ada di desa-desa studi pada tingkat SD terdapat di
setiap desa, namun demikian jumlah tenaga pengajarnya sangat minim hanya dan
tidak didukung oleh fasilitas yang memadai kecuali desa Percut yang aksesibilitas
ke kecamatan dan kota sangat mudah. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan
Atas hanya terdapat di Desa Percut, namun demikian jumlah dan fasilitasnya
sangat minim. Kondisi fasilitas pendidikan dan transportasi yang relatif sulit ini
mengakibatkan sebagian besar anak usia sekolah lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk membantu orang tua baik bersawah, berkebun, melaut maupun
menjadi buruh. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut akan mengakibatkan
makin bertambahnya pengangguran non keterampilan di wilayah ini. Dengan
adanya peningkatan jumlah pengangguran non keterampilan dikhawatirkan
semakin meningkatkan permasalahan-permasalahan sosial dan tindak kejahatan di
wilayah ini. Jumlah dan jenis fasilitas pendidikan yang ada di desa-desa studi
secara rinci disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26 Fasilitas pendidikan yang terdapat di desa-desa penelitian


Desa SD SLTP SLTA Madrasah
Pematang Lalang 2 - - -
Percut 9 1 2 3
Tanjung Rejo 2 - - -
Sumber: BPS Percut Dalam Angka 2005
75

Kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove akan efektif bila didukung oleh


sumberdaya manusia yang baik. Hal ini berarti seseorang memiliki kemampuan
berpikir dan keterampilan untuk berbuat sesuatu karena memiliki tingkat
pengetahuan yang tinggi. Dengan tingginya tingkat pengetahuan diharapkan
masyarakat dapat lebih memahami manfaat pengelolaan ekosistem mangrove
untuk kehidupan mereka dan juga dapat berperan aktif dalam setiap kegiatan
pengelolaan mangrove.
Data tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah dengan
ketersediaan fasilitas pendidikan yang minim seperti terlihat pada Tabel 26
menunjukkan bahwa, wajar apabila pola berpikir dan bertindak masyarakat dalam
mempertimbangkan suatu keputusan terbatas, terutama dalam pemanfaatan
sumberdaya alam mangrove di sekitar mereka. Tingkat pendidikan yang rendah
ini juga dapat menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang
lestari dan berkelanjutan kaitannya dengan upaya partisipasi dalam pengelolaan.
Selain itu dapat menimbulkan prilaku yang tidak berwawasan lingkungan dalam
hal interaksi dengan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan sekitar.

Pemahaman merupakan salah satu variabel karakteristik masyakarat yang


memegang peranan penting terwujudnya suatu pembangunan atau pengelolaan
kawasan. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap arti penting
kawasan dan sumberdaya, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan
pembangunan dan pengelolaan nantinya.
Dalam penelitian ini, pemahaman masyarakat diartikan sebagai
pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang kondisi ekosistem mangrove,
peraturan, fungsi dari hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan lingkungan.
Tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove di kawasan pesisir
Kecamatan Perrcut Sei Tuan khususnya terhadap fungsi, rehabilitasi dan
konservasi mangrove secara umum cukup baik. Namun tingkat pemahaman
terhadap kondisi dan peraturan yang terkait dengan ekosistem ini relatif rendah.
Hal ini terlihat dari jumlah responden yang paham terhadap fungsi mangrove
sebanyak 31 orang (52 %) dan terhadap rehabilitasi dan konservasi sebanyak 39
orang (65,45 %). Untuk tingkat pemahaman terhadap kondisi mangrove sebesar
20 % (12 orang), dan peraturan sebanyak 24 orang (40 %) (Tabel 27).
76

Tabel 27 Tingkat pemahaman masyarakat mengenai ekosistem mangrove


Jumlah
No Tingkat Pemahaman Masyarakat
Persentase (%)
Reponden
1 Kondisi mangrove 12 20
2 Fungsi mangrove 31 52
3 Peraturan 24 40
4 Rehabilitasi dan konservasi 39 65,45
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Adapun tingkat pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dalam


hal ini adalah sebagai pencegah abrasi dan erosi, tempat hidup, bertelur dan
berkembang biak beberapa jenis ikan, udang, kepiting dan kerang. Pemahaman
terhadap rehabiltiasi dan konservasi adalah tingkat kepentingan kedua kegiatan ini
dilakukan. Masyarakat sangat mendukung diadakannya program-program
rehabilitasi dan mengetahui fungsi dan kegunaan dari suatu kawasan yang
dikonservasi dengan syarat tidak membatasi mereka dalam memanfaatkan
sumberdaya yang ada.
Tingkat pemahaman yang rendah terhadap peraturan yang berkaitan dengan
mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan umumnya disebabkan kurangnya
sosialisasi dan informasi terhadap peraturan-peraturan yang ada yang
menyebabkan masyarakat memanfaatkan mangrove secara tidak terkendali dan
tidak ramah lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan degradasi mangrove.
Untuk itu diperlukan upaya yang lebih intensif dalam sosialisasi peraturan-
peraturan tentang perlindungan mangrove dan sanksi-sanksi terhadap peraturan
yang ada. Selain itu diperlukan juga informasi-informasi yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan dalam hal
pemanfaatan sumberdaya mangrove.
Tingkat persepsi yang berkembang dalam masyarakat dibangun oleh
beberapa faktor internal yang terdapat dalam masyarakat, faktor-faktor internal
tersebut merupakan kekuatan yang mendukung terhadap segala bentuk kegiatan
masyarakat khususnya yang menyangkut prilakunya dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada. Namun demikian persepsi masyarkaat ini tidak dapat
dijadikan ukuran mutlak untuk melihat suatu gejala, karena persepsi tersebut dapat
berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan
maupun pengetahuan seseorang.
77

Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan


Kelembagaan merupakan salah satu komponen penting dalam rangka
pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan. Kelembagaan
yang dikaji adalah meliputi kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove percut
baik pusat maupun daerah, kelembagaan masyarakat dan lembaga sosial lain yang
menaruh perhatian terhadap kelestarian ekosistem mangrove di Percut Sei Tuan.
Institusi/lembaga adalah lembaga-lembaga baik lembaga formal maupun non
formal, baik di pusat maupun di daerah yang memperoleh mandat dari hukum
untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumberdaya ekosistem mangrove.
Keterpaduan dalam hal ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-
batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan-peraturan dari
lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini akan memudahkan masing-
masing lembaga melihat hal-hal apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan.
Dengan demikian benturan kepentingan antar lembaga dapat dihindarkan,
diperkecil, diselesaikan, bahkan dihilangkan.
Adapun instansi/lembaga yang memegang peranan penting guna
menggerakkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove
percut, antara lain yaitu:

1. Lembaga Pemerintahan
Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Percut Sei
Tuan mutlak diperlukan. Pemerintah sebagai pihak (stakeholder) pengambil
kebijakan memiliki peranan penting untuk menentukan arahan kebijakan
dalam pengelolaan suatu kawasan. Keterlibatan pemerintah dalam hal ini
berarti frekuensi dan aktivitas kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah,
baik penyuluhan, penanaman maupun pemeliharaan/pengawasan mangrove.
Namun demikian, tugas pemerintah sebaiknya hanya memberikan pengarahan
secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sebab
tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam
pengelolaan dalam jangka panjang. Tetapi dalam hal pelaksanaan dan
penyusunan kegiatan program harus diserahkan ke masyarakat sehingga
muncul persepsi masyarakat bahwa mereka bukan sebagai objek
pembangunan tetapi sebagai subjek (pelaku) pembangunan.
78

Lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan


ekosistem mangrove percut adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan pemerintah daerah
khususnya Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dalam hal ini Dinas
Kehutanan sangat rendah. Belum optimalnya penyelengaraan pengelolaan
kehutanan khususnya mangrove berdasarkan Rencana Strategis Dinas
Kehutanan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2007 – 2010, disebabkan oleh
beberapa hal antara lain:
- luasnya kerusakan hutan
- kurangnya dana
- sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lemah
- kurangnya sarana dan prasarana
Adapun belum optimalnya penyelenggaraan pengelolaan ekosistem mangrove
Percut Sei Tuan ditunjukkan dengan persentase kegiatan pengelolaan
ekosistem mangrove oleh pemerintah yang masih rendah. Penyuluhan,
pendidikan dan pelatihan yang dilakukan masih kurang dirasakan oleh
masyarakat. Begitu juga dengan kegiatan rehabilitasi (penanaman pohon)
mangrove yang sangat jarang dilakukan oleh pemerintah. Namun walaupun
ada, kegiatan hanya disentralkan pada satu daerah dan tidak merata seperti
rehabilitasi hutan mangrove percut dengan luas wilayah penanaman 100 ha
bertempat dan program tambak berbasis ekologi mangrove (silvofisheries)
dengan pola empang parit di Desa Tanjung Rejo, sehingga banyak
masyarakat yang tidak mengetahui adanya kegiatan pengelolaan yang
dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, informasi, sosialiasi, pendidikan
dan pelatihan serta kemerataan program-program pengelolaan mangrove
mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan
pemahaman terhadap arti penting mangrove bagi hidup dan kehidupan
mereka.

2. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)


Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah merupakan lembaga
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 28
Tahun 1980 Jo Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 1984. Tugas
79

LKMD berdasarkan Keputusan Menteri tersebut adalah membantu Kepala


Desa/Kelurahan di bidang perencanaan pembangunan, menggerakkan
partisipasi masyarakat secara aktif dan positif untuk melaksanakan
pembangunan secara terpadu. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, LKMD
mempunyai fungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pembangunan, baik pada perencanaan maupun pelaksanaan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di desa-desa studi telah terbentuk
LKMD beserta organisasinya. Namun demikian, keberadaan LKMD ini belum
berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga kebijaksanaan pembangunan di
desa-desa studi masih didominasi oleh kalangan elite desa. Belum atau tidak
berfungsinya LKMD sebagai wadah partisipasi masyarakat dikarenakan oleh
faktor rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya respon masyarakat
terhadap informasi yang berkembang.

3. Lembaga (Kelompok) Sosial Kemasyarakatan


Pengelolaan wilayah pesisir khususnya ekosistem mangrove tidak dapat
dilakukan secara individual, tetapi dilakukan secara bersama-sama oleh
berbagai pihak yang berkepentingan terhadap ekosistem ini. Keberhasilan
akan dirasakan bila perencanaan dan pelaksanaan melibatkan masyarakat
secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan suatu wadah/kelompok masyarakat
atau diluar masyarakat (LSM) yang berfungsi sebagai penampung aspirasi
masyarakat. Lembaga/kelompok sosial kemasyarakatan adalah lembaga
informal yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Lembaga ini
biasanya terdiri dari tokoh atau pemuka masyarakat dan generasi muda.
Lembaga kemasyarakatan yang berkembang di wilayah studi berupa
Kelompok Nelayan, Kelompok Tani, Kelompok Pengajian, Organisasi
Kepemudaan dalam pelestarian ekosistem mangrove yaitu Gerakan Pemuda-
pemudi Peduli Pantai Percut (GP4) dan Kelompok Swadaya Remaja Mesjid
Paluh (KSRMP) yang merupakan kelompok binaan Yayasan AKASIA
Indonesia. Selain itu terdapat Koperasi Mitra Mina Sejahtera dengan
kelompok Bakau Tambak Mandiri, Kelompok Tani Empang Parit Nila Jaya
dan Paluh Kuba yang merupakan kelompok binaan Dinas Kehutanan
Kabupaten Deli Serdang.
80

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa peran lembaga masyarakat


untuk saat ini sangat baik dan efektif dalam mengembangkan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove percut. Sasaran utama
dari lembaga-lembaga ini adalah menyadarkan sekelompok masyarakat yang
menjadi anggota kelompok akan arti penting keberadaan ekosistem mangrove
bagi kehidupan masyarakat sekitar mangrove. Adapun kegiatan yang telah
dilakukan antara lain yaitu pembibitan, penanaman mangrove, pelatihan dan
pendidikan tentang mangrove yang difasilitasi oleh LSM lokal.

4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


Lembaga lain yang cukup potensial dalam rangka pengelolaan ekosistem
mangrove percut dan turut mengembangkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan adalah lembaga swadaya masyarakat baik yang bergerak di
bidang pengembangan masyarakat (community development) maupun yang
perhatian di bidang keanekaragaman hayati dan lingkungan. Keberadaan LSM-
LSM ini merupakan lembaga non pemerintah yang mampu memerankan fungsi
kontrol terhadap kebijakan pemerintah dan mampu berperan sebagai katalisator
tumbuhnya potensi yang ada dalam masyarakat serta mampu berkarya sampai
tingkat lapisan bawah masyarakat. Dalam bidang penelitian dan pengembangan,
keberadaan LSM ini juga merupakan faktor yang penting mengingat beberapa
LSM di Indonesia mampu memperoleh dana yang cukup besar untuk kegiatan
tersebut.
Pengamatan di wilayah studi menunjukkan bahwa LSM yang saat ini sedang
melaksanakan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove adalah Yayasan
AKASIA Indonesia yang merupakan LSM lokal yang bergerak di bidang
lingkungan hidup dengan tipe kegiatan penelitian, advokasi, pendidikan dan
pelatihan, serta kemanusiaan. Sampai saat ini beberapa program telah
dilaksanakan antara lain pendidikan dan pelatihan serta rehabilitasi ekosistem
mangrove percut dalam program ”migratory shorebird” bekerjasama dengan
kelompok masyarakat GP4 dan KSRM Paluh.

Secara umum dasar hukum bagi pembangunan dan pelaksanaan dari


kebijaksanaan mengenai pantai, termasuk kebijaksanaan mengenai pengelolaan
81

mangrove di Indonesia masih terbatas. Hukum yang saat ini relevan membentuk
kebijakan antara lain yaitu yurisdiksi maritim, perlindungan lingkungan secara
umum, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati secara keseluruhan.
Peraturan perundang-undangan utama sebagai dasar pengelolaan hutan
secara umum dan ekosistem magrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara khusus
oleh pemerintah daerah kabupaten adalah Undang-undang N0. 44 Tahun 1999
tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, PP No. 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, PP. No. 45 tentang
Perlindungan Hutan dan PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Selain itu
dalam rangka penyelenggaraan program dan kegiatan pengelolaan ekosistem
mangrove, pemerintah daerah kabupaten mengacu pada Surat Seketaris Jenderal
Departemen Kehutanan No. 277.1/II-KUM/2002/Tanggal 15 Februari 2002
tentang kewenangan kabupaten di bidang kehutanan yang berisi antara lain:
- Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.
- Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan pada hutan produksi dan
hutan lindung.
- Rehabilitasi hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan pada hutan
produksi dan hutan lindung.
- Pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan.
- Penyelenggaraan perlindungan hutan dan hasil hutan.
- Penyebarluasan informasi kehutanan.

Berkaitan dengan peraturan dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem


mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan, desa-desa yang terletak di dekat
ekosistem mangrove belum memiliki peraturan-peraturan tersebut. Baik itu
peraturan pada tingkat kecamatan, desa, maupun aturan-aturan lokal masyarakat.
Hal ini merupakan salah satu faktor pemanfaatan sumberdaya mangrove yang
dilakukan masyarakat terjadi secara besar-besaran dan tidak terkendali. Selain itu
informasi, sosialisasi dan penyuluhan pemerintah berkaitan dengan peraturan dan
perundang-undangan tentang perlindungan hutan masih sangat minim dan kurang
dirasakan masyarakat. Jikapun ada sosialisasi hanya terbatas pada sebagian
masyarakat, tidak secara keseluruhan.
82

Berdasarkan wawancara dan hasil workshop multi stakeholders tentang


pelestarian hutan mangrove oleh Yayasan AKASIA Indonesia tanggal 2-4 April
2007, ada beberapa faktor penyebab tidak berjalannya hukum dan peraturan yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan yaitu:
1) Kurangnya informasi, sosialisasi dan penyuluhan dari pemerintah maupun
pihak-pihak terkait untuk pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove.
2) Tidak dilaksanakannya prosedur pengawasan lingkungan hidup yang
konsisten oleh oknum pemerintah terkait.
3) Ketiadaan sanksi hukum yang jelas dan tegas terhadap pelanggaran.
Untuk itu diperlukan perhatian khusus oleh pemerintah dan pihak-pihak
terkait dalam peningkatan kualitas peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan
dan pelestarian ekosistem mangrove percut baik itu kejelasan peraturan, hukum,
dan sanksi.
Sejauh ini pemerintah desa sudah mencoba untuk membuat peraturan yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove percut, antara
lain tentang pelarangan penebangan kayu mangrove, perlindungan terhadap
habitat satwa yang dilindungi (burung migran), melakukan rehabilitasi
(penanaman mangrove), membuat tempat-tempat pembibitan, melakukan
pertemuan dan sosialisasi bersama masyarakat.

Arah Strategi Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Komponen dan Faktor-Faktor SWOT
Dalam pengelolaan ke depan ekosistem mangrove di kawasan pesisir
Kecamatan Percut Sei Tuan, diperlukan suatu arahan pengelolaan kawasan yang
dijabarkan dalam bentuk strategi dan program pengelolaan. Formulasi strategi
pengelolaan ekosistem mangrove memerlukan suatu proses analisis secara
multidimensi dengan mengakomodir semua aspek yang berkaitan dengan
pengelolaan ekosistem secara strategis. Arahan pengelolaan ekosistem mangrove
disusun didasarkan atau mempertimbangkan dimensi pembangunan berkelanjutan
(ekologi, ekonomi sosial budaya dan kelembagaan). Input data mengenai aspek
ekologi merupakan hasil pengukuran dan analisis yang dilakukan langsung pada
83

ekosistem mangrove selama penelitian, input data sosial dan ekonomi merupakan
hasil wawancara dengan para responden yang telah ditentukan sebelumnya dan
input data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi terkait.
Untuk mengarahkan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan
tersebut berdasarkan input data ekologi, sosial budaya, ekonomi dan
kelembagaan, maka dilakukan analisis dengan menggunakan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, Threat), yaitu suatu analisis alternatif yang
digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam
merumuskan strategi pengelolaan. Analisis SWOT merupakan pemilihan
hubungan atau interaksi antar unsur-unsur internal yaitu kekuatan dan kelemahan
terhadap unsur-unsur eksternal, yaitu peluang dan ancaman.
Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal didapatkan unsur-
unsur SWOT seperti pada Tabel 28.

Tabel 28 Komponen dan faktor-faktor SWOT pengelolaan ekosistem mangrove


Kecamatan Percut Sei Tuan
Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)
1. Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut 1. Tingkat pendapatan yang relatif rendah.
Sei Tuan. 2. Rendahnya pembinaan, pendidikan dan
2. Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian pelatihan yang dilakukan pemerintah
mangrove masyarakat semakin baik. secara intensif dan hanya melibatkan
3. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian sebagian masyarakat.
ekosistem mangrove semakin baik. 3. Sumberdaya manusia yang masih
4. Adanya wadah yang mendukung pelestarian rendah.
ekosistem mangrove. 4. Lemahnya informasi dan sosialisasi
5. Tingginya harapan dan keinginan peraturan dan penegakan hukum.
masyarakat untuk melestarikan ekosistem
mangrove.
Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats)
1. Adanya kewenangan pemerintah desa dalam 1. Belum adanya peraturan daerah
membuat peraturan-peraturan berkaitan (peraturan lokal) berkaitan dengan
dengan pelestarian dan pengelolaan pelestarian dan pengelolaan ekosistem
ekosistem mangrove. mangrove.
2. Adanya program dan dukungan masyarakat, 2. Kerusakan yang tinggi akibat degradasi
pemerintah dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove untuk pertambakan
ekosistem mangrove. oleh pemilik modal.
3. Keinginan masyarakat yang besar untuk 3. Tekanan masyarakat di luar kawasan
meningkatkan perekonomian (pendapatan) terhadap mangrove berupa pengambilan
melalui sumberdaya mangrove. (penebangan) mangrove.
4. Adanya kesiapan pemerintah daerah dan 4. Rendahnya anggaran pemerintah dalam
LSM dalam pelaksanaan program-program pendanaan program pelestarian dan
pelestarian rehabilitasi mangrove. pengelolaan ekosistem mangrove.
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
84

1) Kekuatan (Strength)
S1 : Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan.

Potensi ekologi menjadi faktor kekuatan dalam pengelolaan ekosistem


mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Dari aspek fisik, topografi yang relatif
datar di seluruh wilayah ekosistem mangrove merupakan potensi yang baik bagi
pengelolaan dan pelestarian mangrove di wilayah ini. Begitu pula dengan
lingkungan fisik-kimia ekosistem yang mendukung pertumbuhan vegetasi
mangrove dalam proses rehabilitasi mangrove.
Selain itu aspek biologi yang menjadi salah satu kekuatan berdasarkan hasil
pengamatan dan penelusuran beberapa literatur adalah adanya primata (kera ekor
panjang) dengan status mendekati terancam, adanya beberapa jenis burung,
terutama burung migran, yang memiliki status dilindungi, mendekati terancam
dan rentan sehingga hal ini dapat dijadikan isu dalam perlindungan kawasan
sebagai habitat satwa-satwa tersebut, dan pada akhirnya ekosistem mangrove di
daerah ini akan terjaga kelestariannya. Kawasan ini juga dapat menjadi alternatif
bagi pengembangan ekowisata yang cukup menarik, seperti wisata pengamatan
burung bagi pengamat dan pecinta burung.

S2 : Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove masyarakat


semakin baik.

Tingkat pemahaman masyarakat terhadap fungsi mangrove dan pentingnya


pelestarian mangrove yang semakin baik merupakan unsur kekuatan yang
diperlukan dalam menentukan arah kebijakan pelestarian mangrove. Dengan
semakin baiknya tingkat pemahaman, maka semakin mudah bagi masyarakat
untuk menerima dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di daerah ini.

S3 : Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove semakin


baik.

Keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelestarian ekosistem


mangrove, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM ataupun atas kesadaran
sendiri merupakan modal awal yang baik dalam pengelolaan dan pemanfataan
berkelanjutan nantinya. Diharapkan dengan partisipasi yang aktif ini akan
85

meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya


keberadaan ekosistem mangrove bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka
khususnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem ini.

S4 : Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem mangrove.


Wadah (kelompok) sebagai penampung aspirasi masyarakat untuk
melindungi dan melestarikan ekosistem mangrove menjadi kekuatan dalam
penentuan arah kebijakan pengelolaan. Dengan adanya wadah ini, segala aspirasi
dan keinginan masyarakat dapat diketahui sehingga mempermudah bagi pihak-
pihak terkait yang ingin mengelola kawasan dengan berbasis masyarakat. Hal ini
disebabkan karena segala permasalahan dan keinginan masyarakat telah tertampung
di wadah tersebut.

S5 : Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk melestarikan


ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya alam yang dimanfaatkan oleh


masyarakat yang hidup disekitarnya, menjadi tumpuan mencari nafkah bagi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keinginan dan harapan yang
tinggi dari masyarakat untuk melestarikan mangrove menjadi modal dasar dalam
pengelolaan ekosistem ini dengan tujuan akhir meningkatnya taraf perekonomian
masyarakat dan terjaganya kelestarian ekosistem mangrove.

2) Kelemahan (Weakness)
W1 : Tingkat pendapatan yang relatif rendah.

Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah yaitu Rp 15.000 –


Rp 20.000 per hari menjadi alasan bagi masyarakat untuk mengeksploitasi
sumberdaya ekosistem mangrove secara berlebihan atau bahkan tidak perduli
dengan segala bentuk program dan usaha-usaha pengelolaan dan pelestarian
mangrove karena terlalu sibuk untuk dapat mencari tambahan pendapatan demi
pemenuhan kebutuhan keluarga. Untuk itu diperlukan suatu alternatif solusi untuk
peningkatan pendapatan seperti alternatif usaha perikanan dan sebagainya.
86

W2 : Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan


pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan sebagian masyarakat.

Pembinaan, pendidikan dan pelatihan tentang pengelolaan dan pelestarian


yang dilakukan pemerintah dan LSM tentang mangrove yang hanya melibatkan
sebagian masyarakat dan tidak merata untuk keseluruhan masyarakat
menyebabkan tidak meratanya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang
pentingnya mengelola dan melestarikan mangrove secara berkelanjutan sehingga
banyak terjadi kegiatan-kegiatan yang dapat merusak ekosistem dan habitat
mangrove yang pada akhirnya memberikan dampak sangat merugikan masyarakat
disekitarnya. Untuk itu diperlukan suatu pembinaan, pendidikan dan pelatihan
secara merata yang melibatkan masyarakat di sekitar ekosistem mangrove untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat secara keseluruhan.

W3 : Sumberdaya manusia yang masih rendah.


Sumberdaya manusia yang masih rendah terutama penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian
mangrove, seperti teknik rehabilitasi mangrove, menyebabkan pelaksanaan
program-program pelestarian mangrove tidak maksimal sehingga hasilnya tidak
seperti yang diharapkan. Sumberdaya manusia yang rendah ini dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan masyarakat umumnya relatif rendah. Masyarakat yang
berdomisili di sekitar Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan umumnya memiliki
pendidikan yang relatif rendah yaitu SLTP, SD bahkan ada yang tidak tamat SD.
Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan masyarakat kurang memahami
pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, terutama ekosistem mangrove
yang ada di sekitar daerah mereka, untuk mendukung keberlanjutan perekonomian
mereka.

W4 : Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum.


Informasi dan sosialisasi peraturan dan penegakan hukum yang lemah
menyebabkan masyarakat kurang paham terhadap peraturan dan sanksi hukum
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan pemanfaatan ekosistem
mangrove, baik itu penebangan mangrove secara sembarangan maupun juga
perusakan lingkungan. Sebagai contoh perusakan terhadap jalur hijau (green belt).
87

3) Peluang (Opportunity)
O1 : Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan
berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.

Kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan-peraturan yang


berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove mendukung
terlaksanakan program-program pengelolaan. Peraturan dalam membatasi jumlah
mangrove yang boleh ditebang dan sanksi yang diberikan bagi penebang liar dapat
menjaga kelestarian mangrove. Begitu juga peraturan dalam membatasi jumlah
lahan mangrove yang boleh di buka (dimanfaatkan) untuk pemanfaatan lainnya
seperti tambak, bangunan, pertanian dan perkebunan.

O2 : Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM


terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.

Salah satu peluang dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove di


Kecamatan Percut Sei Tuan adalah adanya dukungan masyarakat, pemerintah dan
LSM. Kesiapan pemerintah perintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program
sangatlah tidak mungkin dapat terlaksana jika tidak adanya dukungan dari
masyarakat setempat terhadap program yang akan dijalankan.
Secara umum, pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan
Percut Sei Tuan mendapat perhatian dan dukungan yang cukup baik dari
masyarakat, pemerintah dan juga LSM. Hal ini dapat dilihat program-program
yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun LSM dengan mengikutsertakan
masyarakat berjalan cukup baik meskipun sampai saat ini belum menunjukkan
hasil yang maksimal.

O3 : Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan perekonomian


(pendapatan) melalui sumberdaya mangrove.

Perekonomian masyarakat yang relatif rendah mendorong masyarakat untuk


berupaya meningkatkannya. Keinginan masyarakat yang besar untuk
meningkatkan perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove
merupakan peluang yang baik dalam pengelolaan dan pelestarian mangrove secara
berkelanjutan nantinya. Diharapkan dengan keinginan masyarakat yang besar ini
pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove dapat dilakukan secara bijak dan
berkesinambungan tanpa merusak ekosistem mangrove secara permanen.
88

O4 : Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam pelaksanaan program-


program pelestarian rehabilitasi mangrove.

Kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam melaksanakan program


pelestarian dan pengelolaan mangrove sangat diperlukan mengingat pemerintah
sebagai pengambil kebijakan serta pelaksanaan program, dan LSM sebagai
fasilitator dan pendamping masyarakat lokal dalam program-program pengelolaan
dan pelestarian mangrove.

4) Ancaman (Threat)
T1 : Belum adanya peraturan daerah dan peraturan desa (kearifan lokal)
berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.

Peraturan daerah dan peraturan desa serta kearifan lokal mutlak diperlukan
dalam rangka pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan
Percut Sei Tuan. Peraturan-peraturan ini diperlukan untuk mengatur tingkat
pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove baik ekosistem maupun mangrove
itu sendiri. Belum adanya kebijakan dan peraturan di tengkat pemerintah dan desa
menyebabkan masyarakat secara tidak terkendali memanfaatkan sumberdaya ini.
Untuk itu diperlukan suatu bentuk peraturan dan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan pengelolaan dan pelestarian mangrove sehingga
eksistensi mangrove bisa terjaga dan pemanfaatan dapat berkelanjutan.

T2 : Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem mangrove untuk


pertambakan oleh pemilik modal.

Peningkatan jumlah tambah dengan mengkonversi hutan mangrove oleh


pemilik modal jika tidak diawasi dan dibatasi akan menyebabkan penurunan
kualitas ekosistem secara terus-menerus yang pada akhirnya dapat merusak
kelestarian dan potensi mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan. Pemerintah
sebaiknya tanggap dan bijak dalam pemberian izin pembukaan lahan untuk usaha
perikanan berupa tambak untuk menurunkan tingkat kerusakan magrove dan
meningkatkan kualitas ekosistem mangrove untuk kelestarian dan pemanfaatan
yang berkelanjutan.
89

T3 : Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove berupa


pengambilan (penebangan) mangrove.

Pemanfaatan sumberdaya mangrove berupa kayu (penebangan) berdasarkan


hasil wawancara umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar ekosistem untuk
kayu bakar, pacang rumah, bahkan untuk dijual. Hal ini merupakan ancaman
serius terhadap kelestarian mangrove dan juga penurunan ekonomi masyarakat
yang sebenarnya bukan dilakukan oleh masyarakat sekitar mangrove. Untuk itu
diperlukan pengawasan terhadap pengambilan kayu oleh masyarakat luar
sehingga sumberdaya mangrove dapat dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat
sekitar mangrove.

T4 : Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan program pelestarian


dan pengelolaan ekosistem mangrove.

Anggaran yang rendah untuk program-program pengelolaan dan pelestarian


wilayah pesisir terutama ekosistem mangrove menyebabkan pelaksanaan program
tidak berjalan dengan maksimal. Pada akhirnya program-program yang telah ada
hanya digunakan sebagai syarat dalam menyusun anggaran belanja daerah, namun
tidak ada aplikasinya. Hal ini pada akhirnya berimbas pada ekosistem mangrove
yang dibiarkan terbengkalai dalam kondisi yang memprihatinkan (rusak).

Analisis Prioritas A’WOT


Proses penentuan alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem
mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan dilakukan dengan menggunakan analisis
terhadap komponen/faktor yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan, yang dalam hal
ini diwakili oleh persepsi dari aktor/pengguna lahan (stakeholder) ayng dianggap
memiliki keahlian atau yang memiliki kemampuan dan mengerti permasalahan
terkait, serta yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Proses Hierarki Analitik (PHA) digunakan dalam menilai penentuan
alternatif kegiatan pengelolaan mangrove yang didasarkan pada tujuan dari
penelitian ini, yakni dapat memberikan pertimbangan dan arahan dalam
pengembangan dan perencanaan serta pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
90

untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sistained development) di


Kecamatan Percut Sei Tuan.
Prinsip dalam penilaian PHA adalah membandingkan tingkat kepentingan
prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan
atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Struktur yang dibangun
terdiri dari 3 tingkatan keputusan, yaitu: (i) tujuan, (ii) kriteria, dan (iii) alternatif.

(i) Tujuan
Merujuk pada pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Deli Serdang,
pemerintah kabupaten dalam hal ini Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang
telah menetapkan beberapa kebijakan strategis berkaitan dengan pengelolaan
kehutanan yang tersurat dalam Rencana Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2007 – 2010 antara lain yaitu meningkatkan pemanfaatan
sumberdaya hutan secara optimal sesuai fungsinya, memulihkan hutan dan lahan
yang rusak sehingga dapat berfungsi optimal sesuai fungsinya, mewujudkan
sumberdaya manusia bidang kehutanan yang berkualitas, dan meningkatkan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan. Khusus untuk
masalah pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal sesuai fungsinya sebagai
contoh hutan mangrove, hal ini dijabarkan lebih jauh dalam rencana pengelolaan
oleh sub bina program dinas kehutanan dimana arahan yang diambil dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove secara optimal, terpadu dan
berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengendalian
kerusakan lingkungan akibat berbagai pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan
menurut proporsinya dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan.
Dalam pelaksanaan seluruh kebijakan sebagaimana dijabarkan di atas,
dipastikan akan mucul berbagai permasalahan dan konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya mangrove antar stakeholder tergantung oleh besarnya nilai manfaat
yang diberikan oleh sumberdaya tersebut. Salah satu cara yang digunakan dalam
menghindari konflik dan pemecahan masalah berdasarkan atas persepsi
masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya adalah dengan menggunakan
model Proses Hirarki Analitik (PHA). Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis
PHA dalam penelitian ini adalah memberikan suatu rekomendasi arahan kebijakan
91

dalam "Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan


Kabupaten Deli Serdang”, sehingga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan
terhadap sumberdaya mangrove di kecamatan ini dapat terlaksana secara
terencana dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestariannya.

(ii) Kriteria
Untuk mencapai tujuan di atas, yakni pengelolaan ekosistem mangrove
secara lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Percut Sei Tuan, maka terdapat 4
kriteria yang harus diperhatikan, yaitu (1) faktor kekuatan, (2) kelemahan, (3)
peluang dan (4) faktor ancaman.
Hasil analisis pendapat gabungan responden yang telah diolah dengan
menggunakan program Expert Choice 2000 dan Microsoft Excel 2003,
menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria
terhadap tujuan yang ingin dicapai, seperti terlihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Prioritas komponen SWOT dalam pengelolaan ekosistem mangrove


Kecamatan Percut Sei Tuan
Komponen SWOT Nilai Bobot Persentase Prioritas
Kekuatan (S) 101 0,602 60,2 % P1
Kelemahan (W) 51 0,068 6,8 % P4
Peluang (P) 87 0,234 23,4 % P2
Ancaman (T) 51 0,095 9,5 % P3
290 1 100 %
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Berdasarkan pada Tabel 28, terlihat bahwa secara hirarki, kriteria yang
paling utama menurut para responden dalam mencapai tujuan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan adalah kekuatan (strenght)
dengan nilai 110 (60,2 %). Selanjutnya diikuti oleh peluang (opportunity)
dengan nilai 87 (23,4%), ancaman (threat) dengan nilai 51 atau sebesar 9,5 %, dan
kelemahan (weakness) dengan nilai 51 (6,8 %). Hasil ini menunjukkan bahwa
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan bertumpu pada
unsur kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman.
Potensi sumberdaya alam mangrove dan sosial ekonomi masyarakat menjadi basis
pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan.
92

Faktor kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman (SWOT) sebagai


kriteria dalam pengelolaan mangrove Percut dibangun oleh beberapa sub kriteria
yang didasarkan pada pengamatan, dan pengukuran langsung dilapangan serta
hasil wawancara. Sub kriteria tersebut memegang peranan penting dalam
penentuan faktor SWOT dalam pengelolaan mangrove dan memiliki prioritas
dalam penentuan setiap faktor. Berdasarkan hasil penilaian dan analisis pendapat
gabungan responden terhadap sub kriteria melalui PHA, didapatkan prioritas
terhadap setiap sub kriteria seperti pada Tabel30, 31, 32 dan 33.
Hasil analisis A’WOT untuk faktor komponen kekuatan merupakan hasil
pendapat gabungan responden dan pengukuran menunjukkan bahwa, potensi
ekologi ekosistem mangrove merupakan faktor komponen yang memiliki
persentase yang tertinggi yaitu 60,9 %, diikuti dengan pemahaman masyarakat
terhadap fungsi dan pelestarian yang semakin baik menunjang program
pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove sebesar 19,2 %, adanya wadah
yang mendukung pelestarian mangrove sebesar 9,8 %. Sedangkan faktor yang
terendah dari komponen kekuatan adalah tingginya harapan dan keinginan
masyarakat untuk melestarikan ekosistem mangrove sebesar 5,9 %, dan partisipasi
masyarakat sebesar 4,2 % (Tabel 30).

Tabel 30 Prioritas faktor komponen kekuatan (Strength) dalam pengelolaan


ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
Prioritas
No Faktor Kekuatan (Strenght) Persentase
Relatif
1
Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. 60,9 P1
2
Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove
19,2 P2
masyarakat semakin baik.
3
Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem mangrove
4,2 P5
semakin baik.
4
Adanya wadah yang mendukung pelestarian ekosistem
9,8 P3
mangrove.
5
Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk
5,9 P4
melestarikan ekosistem mangrove.
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, potensi ekologi ekosistem mangrove


Percut Sei Tuan yang terdiri dari lingkungan fisik kimia dan biologi berupa
adanya berbagai jenis burung yang dilindungi mejadi isu dalam rehabilitasi dan
perlindungan mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan yang diharapkan dapat
menjaga kelestarian dan eksistensi mangrove dalam pemanfaatannya. Begitu juga
93

dengan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian ekosistem


mangrove menjadi faktor kekuatan yang sangat mendukung dalam program-
program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan. Diharapkan dengan tingginya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan
pelestarian ekosistem mangrove akan mempermudah masyakarat untuk menerima
dan menyerap segala bentuk kegiatan dan program pengelolaan dan pelestarian
mangrove di wilayah mereka.
Untuk faktor komponen peluang, faktor adanya kewenangan dalam
membuat peraturan oleh pemerintah memiliki persentase sebesar 60,2 % dan
merupakan prioritas utama untuk ditingkatkan dan diaplikasikan sehingga segala
bentuk program-program pengelolaan dan pelestarian dapat berjalan dengan baik.
Dukungan masyarakat, pemerintah dan LSM terhadap program pengelolaan
memiliki persentase sebesar 20,8 %. Segala bentuk program pengelolaan dan
peraturan tidak akan berjalan jika tidak ada dukungan dari masyarakat sekitar,
LSM maupun pemerintah sendiri. Untuk itu faktor dukungan ini sangatlah penting
dibutuhkan dalam kesemua alternatif kegiatan pengeloaan ekosistem mangrove di
Percut Sei Tuan. Faktor keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan
perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya mangrove memiliki persentase
sebesar 12,0 %, dan kesiapan terhadap pelaksanaan program pelestarian dan
rehabilitasi memiliki persentase sebesar 6,9 % (Tabel 31).

Tabel 31 Prioritas faktor komponen peluang (Opportunity) dalam pengelolaan


ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
Prioritas
No Faktor Peluang (Opportunity) Persentase
Relatif
1 Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat
peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian 60,2 P1
dan pengelolaan ekosistem mangrove.
2 Adanya program dan dukungan masyarakat, pemerintah
20,8 P2
dan LSM terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
3 Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan
12,0 P3
perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya
mangrove.
4 Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam 6,9 P4
pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi
mangrove.
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Tingkat pendapatan yang relatif rendah pada faktor komponen kelemahan


merupakan prioritas utama yang perlu diatasi dalam rangka pengelolaan ekosistem
94

mangrove Percut dengan persentase sebesar 62,7 %. Selain itu faktor sumberdaya
manusia yang masih rendah (19,7 %) dan rendahnya pembinaan, pendidikan serta
pelatihan yang dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya melibatkan
sebagian masyarakat memiliki persentase sebesar 10,8 % merupakan faktor
kelemahan yang harus dipertimbangkan dan segera diatasi sehingga dapat
mempermudah diterima dan masuknya informasi serta kegiatan pengelolaan
mangrove oleh masyarakat. Untuk faktor lemahnya informasi dan sosialisasi
peraturan serta penegakkan hukum merupakan faktor terendah dengan persentase
sebesar 6,8 % (Tabel 32).

Tabel 32 Prioritas faktor komponen kelemahan (Weakness) dalam pengelolaan


ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
Prioritas
No Faktor Kelemahan (Weakness) Persentase
Relatif
1
Tingkat pendapatan yang relatif rendah. 62,7 P1
2
Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang
dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya 10,8 P3
melibatkan sebagian masyarakat.
3
Sumberdaya manusia yang masih rendah. 19,7 P2
4
Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan
penegakan hukum. 6,8 P4
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Faktor tingkat pendapatan masyarakat yang rendah perlu segera diatasi


karena tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan masyarakat kurang berperan
aktif dalam setiap kegiatan pengelolaan mangrove, baik yang dilakukan
pemerintah maupun LSM.
Sumberdaya manusia yang rendah dalam hal ini adalah tingkat penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat harus lebih ditingkatkan
sehingga mempermudah masyarakat untuk menerima informasi dan segala bentuk
program yang akan dilaksanakan pemerintah dan LSM nantinya. Begitu juga
dengan sarana transportasi yang harus segera diperbaiki ataupun di tambah. Hal
ini bertujuan untuk mempermudah akses bagi masyarakat dalam melaksanakan
aktivitas kehidupan mereka dan juga mempermudah masuknya program-program
pengelolaan mangrove yang akan dilaksanakan.
Faktor komponen ancaman yang menjadi prioritas utama dan perlu
diantisipasi adalah faktor belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal)
berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove dengan
95

persentase sebesar 57,8 %. Faktor kerusakan ekosistem mangrove akibat


degradasi lahan untuk tambak menjadi ancaman yang perlu diperhitungkan
dengan nilai sebesar 13,0 %. Selain itu, tekanan masyarakat di luar kawasan dan
rendahnya anggaran pemerintah untuk kegiatan pengelolaan mangrove Percut
juga merupakan ancaman serius yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak
menjadi penghambat dalam rencana dan program-program pengelolaan ekosistem
mangrove di Percut nantinya. Adapun persentase untuk kedua ancaman tersebut
adalah 8,1 % dan 21,2 % (Tabel 33).

Tabel 33 Prioritas faktor komponen ancaman (Threat) dalam pengelolaan


ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan
Prioritas
No Faktor Ancaman (Threat) Persentase
Relatif
1 Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal) berkaitan 57,8 P1
dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
2 Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem 13,0 P3
mangrove untuk pertambakan oleh pemilik modal.
3 Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap 8,1 P4
mangrove berupa pengambilan (penebangan) mangrove.
4 Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan 21,2 P2
program pelestarian dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

(iii) Alternatif

Dalam kaitannya dengan alternatif kegiatan yang dilakukan untuk


pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan,
hasil analisis A’WOT yang merupakan hasil analisis pendapat gabungan
keseluruhan responden dan hasil pengukuran, menunjukkan bahwa prioritas
alternatif kegiatan utama adalah rehabilitas, kemudian wisata ilmiah dan
konservasi dengan nilai secara berurutan yaitu 65,8 %, 19,4 % dan 14,8 %
(Tabel 34).

Tabel 34 Prioritas alternatif kegiatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove


Kecamatan Percut Sei Tuan
Alternatif Kegiatan Nilai Persentase Prioritas relatif
Rehabilitasi 0,658 65,8 P1
Konservasi 0,148 14,8 P3
Wisata 0,194 19,4 P2
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
96

Prioritas Pertama: Rehabilitasi


Kegiatan rehabilitasi sebagai alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dianggap penting mengingat kerusakan
ekosistem di daerah ini sangat tinggi. Berkurangnnya luasan mangrove sebagai
dampak pembangunan dan kegiatan ekonomi (konversi menjadi tambak,
perkebunan, pertanian) membutuhkan penanganan yang serius.
Rehabilitasi sebagai salah satu alternatif kegiatan pengelolaan mangrove
Percut merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan
penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil.
Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau
memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem.
Rehabilitasi sebagai alternatif kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove
didasarkan pada aspek ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Dari aspek
ekologi, alternatif kegiatan rehabilitasi sebagai alternatif prioritas dalam
pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan didasarkan pada
kondisi mangrove yang rusak jarang dengan nilai kerapatan pohon
362 individu/ha dan terdapatnya satwa yang dilindungi menjadi alasan mendasar
untuk dilakukannya rehabilitasi terhadap ekosistem ini dengan tujuan untuk
menanami lahan-lahan yang rusak dan melindungi habitat satwa yang dilindungi.
Selain itu kondisi fisik kimia lingkungan sangat mendukung dilakukannya
rehabilitasi yaitu salinitas yang berada pada kisaran 15–35 ‰, suhu air dan tanah
dengan kisaran 28-32 oC dan 29-31 oC, derajat keasaman tanah (pH) dengan
kisaran 6-8, dan jenis subrat yang umumnya pasir belumpur yang sangat cocok
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mangrove dalam proses rehabilitasi
nantinya.
Dari aspek sosial ekonomi yang mendasari prioritas rehabilitasi adalah
semakin baiknya pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan pelestarian
mangrove dengan rata-rata penilaian sebesar 52 % dan 65 % dari jumlah
responden yang diwawancara. Tingkat partisipasi masyarakat yang semakin baik
97

terhadap pelestarian dan rehabilitasi lahan-lahan yang gundul dan rusak disamping
keinginan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian keluarga melalui
sumberdaya mangrove tersebut menjadi faktor penting terlaksananya program
rehabilitasi. Terdapatnya wadah, dalam hal ini kelompok masyarakat dan LSM
lokal, sebagai aspek kelembagaan memberikan peranan penting dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan rehabilitasi. Dengan adanya
wadah tersebut memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan keinginan dan
aspirasinya untuk melestarikan sumberdaya mangrove yang terdapat disekitarnya
yang pada akhirnya dapat mempermudah pihak-pihak terkait yang ingin
mengelola kawasan berbasis masyarakat.

Prioritas Kedua: Wisata Ilmiah


Wisata tidak semata-mata bertujuan agar wisatawan dapat menikmati
keindahan alam atau keunikan flora dan fauna saja tetapi juga mencoba
memahami dan menghayati proses-proses yang terdapat di alam yang
mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dinamis. Kegiatan wisata
memanfaatkan potensi alam apa adanya dengan tetap menjaga kelestarian
ekosistem yang ada. Kegiatan wisata yang memiliki peluang untuk dikembangkan
di ekosistem mangrove percut adalah wisata ilmiah antara lain wisata pengamatan
burung pantai dan burung migran yang dilindungi serta primata (aspek ekologi).
Selain itu sebagai pertimbangan dari aspek sosial ekonomi adalah wisata ilmiah
yang dikembangkan akan mempunyai implikasi ekonomi yang cukup besar bagi
peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Percut
khususnya dan masyarakat umum lainnya mengingat keinginan masyarakat yang
besar dalam meningkatkan perekonomian keluarga karena saat ini pendapatan
masyarakat relatif masih rendah yaitu Rp 15.000 – Rp 20.000 perhari. Wisata
ilmiah memberikan kesempatan insan akademik, para peneliti dan ahli satwa
untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan, pendidikan dan penelitian
tentang satwa-satwa yang terdapat di eksoistem mangrove Percut. Pada bagian
lain, seluruh kegiatan sosial budaya dan sosial ekonomi pada kawasan pariwisata
tersebut akan memberikan restribusi yang cukup memadai bagi Pemerintah
Daerah Kabupaten Deli Serdang melalui berbagai dinas/unit-unit teknis terkait,
98

sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakannya di kawasan pariwisata pantai yang


dikembangkan.

Prioritas Ketiga : Konservasi

Konservasi adalah melakukan perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya


alam menurut prinsip yang menjamin keuntungan ekonomi sosial masyarakat
yang tinggi secara lestari. Konservasi ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan berarti pengelolaan mangrove yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana
dengan tetap menjaga kelestariannya. Selain itu penetapan perlindungan terhadap
ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan didasarkan pada potensi
ekosistem ini (aspek ekologi) yaitu terdapatnya satwa-satwa yang dilindungi
sehingga pada akhirnya konservasi dapat melindungi satwa beserta habitatnya.
Selain itu pertimbangan ekologi sebagai dasar alternatif kegiatan konservasi
adalah kerusakan akibat degradasi untuk pertambakan dan kegiatan pembangunan
lainnya seperti pertanian dan perkebunan, serta tekanan masyarakat berupa
penebangan liar yang umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar sistem. Saat ini
persentase pembangunan pertambakan dan kegiatan pertanian dan perkebunan
mencapai 66,66 % dari keseluruhan kegiatan pembangunan di Kecamatan Percut
Sei Tuan.
Aspek sosial budaya ekonomi masyarakat sebagai pertimbangan konservasi
adalah pemahaman masyarakat yang baik terhadap fungsi dan peran mangrove
bagi kehidupan mereka. Keinginan masyarakat untuk menjaga mangrove sebagai
warisan nenek moyang dan sebagai warisan untuk anak cucu nantinya merupakan
salah satu alasan masyarakat mendukung kegiatan konservasi. Sebagai
pertimbangan aspek kelembagaan dan peraturan adalah belum adanya peraturan
daerah dan peraturan lokal untuk melindungi ekosistem mangrove sehingga
perlindungan terhadap ekosistem mangrove Percut dianggap perlu dilakukan. Hal
ini didukung oleh adanya kewenangan dari pemerintah daerah dan kearifan lokal
dalam menyusun suatu aturan untuk melindungi dan melestarikan mangrove
Percut.
99

Analisis Faktor Komponen SWOT

Dari semua komponen faktor SWOT yang didapatkan, baik itu faktor
internal maupun eksternal dilakukan pembobotan dan skoring untuk mengetahui
tingkat kepentingan dari faktor-faktor tersebut dalam arahan alternatif kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan, baik itu kegiatan
rehabilitasi, wisata dan konservasi dimana kegiatan rehabilitasi menjadi kegiatan
prioritas tertinggi dari hasil analisis A’WOT yang dilakukan.
Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap
pengelolaan ekosistem mangrove untuk alternatif kegiatan rehabilitasi, wisata
maupun konservasi dengan nilai +1,8. Sedangkan kelemahan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove menunjukkan nilai –0,7, sehingga akumulasi nilai dari
pengaruh faktor-faktor internal adalah 1,05 (Tabel 35).

Tabel 35 Hasil analisis faktor-faktor internal (Internal Strategic Factors Analysis


Summary - IFAS)
Komponen Faktor Internal
Kode Kekuatan (Strength) Bobot Rating Skor
S1 Potensi ekologi ekosistem mangrove Percut Sei Tuan. 0,15 +4 0,6
W1 Tingkat pendapatan yang relatif rendah. 0,15 -1 -0,15
S2 Pemahaman terhadap fungsi dan pelestarian mangrove
Rendahnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan yang 0,15 +4 0,6
masyarakat semakin baik.
W2 dilakukan pemerintah secara intensif dan hanya 0,1 -1 -0,1
S3 Partisipasi masyarakat dalam pelestarian ekosistem
melibatkan sebagian masyarakat. 0,1 +3 0,3
mangrove semakin baik.
W3
S4 Sumberdaya
Adanya wadahmanusia
yang yang masih rendah.
mendukung pelestarian ekosistem 0,15 -2 -0,3
W4 Lemahnya informasi dan sosialisasi peraturan dan 0,1
0,05 +2
-3 0,2
-0,15
mangrove.
S5 penegakan hukum.
Tingginya harapan dan keinginan masyarakat untuk
TOTAL 0,05
1 +1 0,05
1,05
melestarikan ekosistem mangrove.
Sumber: Analisis Data Primer 2007Kelemahan

Selanjutnya hasil analisis komponen peluang untuk altenatif kegiatan yang


sama yaitu rehabilitasi menunjukkan nilai yang signifikan terhadap pengelolaan
ekosistem mangrove dengan nilai + 1,6, sedangkan ancaman dalam pengelolaan
ekosistem menunjukkan nilai -0,7, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor-
faktor ekternal adalah +0,9 (Tabel 36).
10

Tabel 36 Hasil analisis faktor-faktor eksternal (External Strategic Factors


Analysis Summary - EFAS)
Komponen Faktor Internal
Kode Peluang (Opportunity) Bobot Rating Skor
O1 Adanya kewenangan pemerintah desa dalam membuat
peraturan-peraturan berkaitan dengan pelestarian dan 0,15 +4 0,6
pengelolaan ekosistem mangrove.
O2 Adanya
LSM program
terhadap dan dukungan
pengelolaan masyarakat,
ekosistem pemerintah,
mangrove. +4 0,6
0,15
O3 Keinginan masyarakat yang besar untuk meningkatkan
perekonomian (pendapatan) melalui sumberdaya 0,1 +2 0,2
mangrove.
O4 Adanya kesiapan pemerintah daerah dan LSM dalam
pelaksanaan program-program pelestarian rehabilitasi 0,1 +2 0,2
mangrove.
Ancaman (Threat) Bobot Rating Skor
T1 Belum adanya peraturan daerah (peraturan lokal)
berkaitan dengan pelestarian dan pengelolaan ekosistem 0,2 -1 -0,2
mangrove.
T2 Kerusakan yang tinggi akibat degradasi ekosistem -1 -0,1
mangrove untuk pertambakan oleh pemilik 0,1
T3 Tekanan masyarakat di luar kawasan terhadap mangrove
modal. berupa pengambilan (penebangan) 0,05 -2 -0,1
T4 Rendahnya anggaran pemerintah dalam pendanaan
mangrove.
program pelestarian dan pengelolaan ekosistem 0,15 -2 -0,3
mangrove.
TOTAL 1 0,9

Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Berdasarkan hasil analisis SWOT, untuk semua faktor yaitu IFAS (internal
strategic factors analysis summary) dan EFAS (external strategic factors analysis
summary) pada Tabel 35 dan 36, menunjukkan bahwa kondisi mangrove berada
pada kuadran I dengan nilai 1,05 dan 0,9 yang artinya ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan dapat dikelola baik ditinjau dari faktor kekuatan dan
potensi wilayah untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Hasil pembobotan matriks SWOT mengindikasikan bahwa dalam
pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan mengacu pada
suatu strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang
ada seoptimal mungkin, sehingga para stakeholders dapat mengelola dan
memanfaatkan mangrove sesuai dengan peruntukan secara lestari dan
berkelanjutan. Kondisi pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan berada pada kuadran pertama (Gambar 13), yaitu posisi strategi pengelolaan
ekosistem mangrove mendukung strategi agresif. Posisi tersebut mengindikasikan
bahwa pengelolaan harus menghindari unsur-unsur ancaman. Peluang harus
10

segera dimanfaatkan karena ada kekurangan yang dapat menghambat usaha


pengelolaan.
Peluang

I. Posisi strategi pengelolaan ekosistem


mangrove 1,05 – 0,9
(mendukung strategi agresif)

Kelemahan Kekuatan

Gambar 13 Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan
Ancaman
faktor eksternal

Strategi pengelolaan yang dihasilkan dari analisis keterkaitan Faktor


internal (IFAS) dan faktor eksternal (EFAS) dikelompokkan menjadi 4 strategi,
yaitu penggunaan seluruh unsur-unsur kekuatan dalam pelaksanaan strategi untuk
memanfaatkan peluang yang ada (SO), penggunaan unsur-unsur kekuatan yang
ada untuk menghindari ancaman yang datang (ST), pengurangan kelemahan dari
pelaksanaan pengelolaan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO), dan
pengurangan kelemahan yang ada untuk meminimalkan ancaman yang akan
datang (WT).
Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi pengelolaan
menunjukkan adanya 6 (enam) alternatif arahan kebijakan dalam pengelolaan
ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan yang didasarkan pada faktor-
faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (Tabel 37).

Tabel 37 Hasil analisis matriks keterkaitan unsur SWOT untuk strategi


pengelolaan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Peluang (O) 1) Peningkatan program rehabilitasi dan 1) Peningkatan kualitas SDM masyarakat
rekayasa ekologi sekitar ekosistem mangrove
2) Peningkatan ekowisata (wisata 2) Penguatan hukum dan kelembagaan
ilmiah) sebagai alternatif peningkatan
perekonomian masyarakat
Ancaman 1) Peningkatan partisipasi 1) Peningkatan peran stakeholder
(T) masyarakat dalam pelestarian dan
pengelolaan ekosistem mangrove
Sumber: Hasil olahan data primer 2007
10

Arahan strategi kebijakan pengelolaan yang dihasilkan terdiri dari beberapa


alternatif kebijakan, dan untuk menentukan prioritas strategi yang harus
digunakan, dilakukan penjumlahan skor dari keterkaitan unsur-unsur SWOT yang
terdapat dalam suatu alternatif strategi. Jumlah skor akan menetukan rangking
prioritas alternatif strategi pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei
Tuan sebagaimana disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38 Prioritas strategi pengelolaan ekosistem mangrove


Jumlah
Percut Sei Tuan
Keterkaitan Rangking Aspek
No Strategi Faktor SWOT Skor
1 Peningkatan program rehabilitasi S1, S2, S3, 0,75 1 Ekologi
dan rekayasa ekologi S4, O2, O3
2 Peningkatan ekowisata (wisata S1, S5, O2, 0,45 5 Ekologi
ilmiah) O3, O4
3 Peningkatan kualitas SDM W2, W4, O3, 0,35 6 Sosial
masyarakat sekitar O4 Ekonomi
ekosistem
mangrove
4 Penguatan hukum dan W3, O1, O2 0,55 3 Kelembagaan
kelembagaan
5 Peningkatan partisipasi S2, S3, S4, 0,5 4 Sosial
masyarakat dalam pelestarian T2, T3
dan pengelolaan ekosistem
mangrove
6 Peningkatan peran stakeholder W1, W2, T1, 0,6 2 Kelembagaan
T2, T3
Sumber: Hasil olahan data primer 2007

Rencana Strategi dan Rencana Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Kecamatan Percut Sei Tuan

Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan sosial ekonomi dan
aktivitas masyarakat pesisir yang hidup di sekitar ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan dan digabungkan dengan faktor dari analisis SWOT
maka disusun rencana strategi dan rencana program (kegiatan) dalam pengelolaan
ekosistem mangrove. Selengkapnya rencana strategi yang kemudian diaplikasikan
dalam rencana program adalah sebagai berikut :

Strategi 1: Peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi.

Rehabilitasi merupakan alternatif kegiatan pengelolaan dan pelestarian


ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan dalam peningkatan luasan
mangrove dan peningkatan kualitas lahan yang gundul akibat penebangan dan
pemanfaatan untuk kegiatan lainnya. Diharapkan dengan rehabilitasi, lahan-lahan
yang telah rusak dapat hijau kembali. Dan dengan rekayasa ekologi dapat
10

menyatukan dua kegiatan yaitu pelestarian dan pemanfaatan tanpa harus merusak
dan menurunkan kualitas lingkungan mangrove.
Dalam rangka peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi dapat
dilakukan dengan berbagai kegiatan, antara lain yaitu:
1. Penanaman kembali mangrove untuk jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera dan
Sonneratia.
Reboisasi mangrove dilaksanakan pada daerah yang mengalami kerusakan
(Desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang) sesuai dengan Rencana
Strategis Dinas Kehutanan Kabupaten. Reboisasi dilakukan dengan menanam jenis-
jenis Rhizophora, Bruguiera dan Sonneratia mengingat jumlah dari jenis- jenis ini
sangat rendah akibat pemanfaatan yang tinggi. Selain itu reboisasi juga dilakukan
pada pinggir-pinggir sungai seperti Sungai Percut dan Sungai Sei Tuan. Tujuan
penanaman mangrove diantaranya ialah rehabilitasi lahan untuk mengembalikan
fungsi ekologi dari lahan yang telah rusak. Namun demikian, agar program
penanaman ini berjalan dengan baik dan berhasil, maka masyarakat setempat
haruslah terlibat secara penuh mulai dari perencanaan kegiatan sampai pemeliharaan
tanaman. Keterlibatan ini sangatlah penting karena masyarakatlah yang sehari-hari
berada dan berinterkasi dengan tanaman dan lokasi penanaman. Dalam upaya
melakukan rehabilitasi sebaiknya dilakukan dengan mengandalkan bibit-bibit lokal
dan penanaman yang baik (Kusmana et al. 2005). Bibit-bibit lokal dimaksudkan
untuk memudahkan dalam kegiatan rehabilitasi dan sesuai dengan kondisi
lingkungan setempat.
Teknik penanaman yang baik tidak cukup hanya secara fisik saja dalam
artian ketika bibit diperoleh dapat langsung dilakukan penanaman, karena akan
berakibat pada kematian dan kegagalan dalam proses pertumbuhan mangrove
yang ditanam. Kusmana et al. (2005) memberikan tahapan dalam melakukan
penanaman yaitu jenis bahan tanaman, pemilihan jenis bahan tanaman, penentuan
kematangan propagul, cara pengumpulan propagul, waktu penanaman, dan teknik
penanaman.
Untuk jenis bahan tanaman, secara umum ada 2 (dua) jenis bahan tanaman
(bibit) di dalam kegiatan penanaman mangrove yaitu berupa propagul (buah) dan
berupa anakan (bibit dalam pot) baik yang berasal dari penyemaian maupun yang
10

berasal dari alam. Dalam hal pemilihan jenis bahan tanaman, menurut Peraturan
Menteri Kehutanan (2004), jenis tanaman dipilih yang cocok dan disesuaikan
dengan kondisi fisik lapangan dan kesiapan masyarakat setempat. Sebagai rujukan
dapat dipilih kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor
lingkungannya seperti pada Lampiran 2. Meskipun penanaman langsung dengan
propagul (buah) lebih murah, tapi metode ini kadangkala sulit dilakukan untuk
penanaman dalam skala besar karena jadwal pelaksanaan hanya terbatas pada
musim berbuah masak (propagul tidak dapat disimpan lama) dan perlu rekruitmen
buruh dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (ketika musim
berbuah masak), karena itu kegiatan penanaman skala besar lebih banyak
mengkombinasikan penanaman langsung propagul dan bibit dalam pot untuk
meratakan beban kerja sepanjang tahun.
Waktu penanaman sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan jadual
pasang surut di lokasi penanaman sehingga diusahakan paling sedikit seminggu
setelah ditanam, tanaman tidak tergenang. Penanaman dengan menggunakan
propagul masih memungkinkan dilakukan pada saat air pasang, namun
penanaman dengan bibit dalam pot harus dilakukan pada saat air surut untuk
menghindari kerusakan media dalam pot yang menyelimuti akar bibit.
Untuk penanaman di pinggir laut, terutama di daerah pantai yang
menghadap laut terbuka, musim ombak besar perlu diketahui agar setelah
penanaman bibit/benih tidak hilang diterjang ombak. Pada daerah pantai,
penanaman sebaiknya tidak dilakukan pada saat musim barat karena pada saat
tersebut ombak sangat besar. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim timur
untuk mengurangi resiko hilangnya bibit/benih akibat terjangan ombak.
Penanaman pada tanah yang agak keras dibuat lubang dengan kedalaman yang
cukup pada saat air surut. Kemudian di dekat lubang diberi ajir sebagai tempat
mengikat propagul/anakan (bibit). Penanaman propagul dan anakan secara tegak
lurus dengan bakal kecambah menghadap ke atas. Khusus untuk anakan yang
berasal dari persemaian, sebelum ditanam kantong palstik (polybag) harus
dilepaskan sehingga tidak menghalangi pertumbuhan akar setelah pananaman.
Pemakaian ajir harus tepat yaitu ajir yang digunakan harus kokoh kedudukannya
di substrat mangrove dan tidak mudah terbawa arus air.
10

2. Membangun sarana budidaya mangrove (pembibitan dan penyemaian) di Desa


Tanjung Rejo dan Percut yang dikelola langsung oleh masyarakat.

Upaya dengan membuat tempat pembibitan dan penyemaian yang dikelola


langsung oleh masyarakat bertujuan agar masyarakat belajar dengan alam
bagaimana mendapatkan bibit yang baik serta masyarakat dapat memahami arti
penting keberadaan ekosistem ini sehingga rasa memiliki dan menjaga kelestarian
lingkungan mangrove dapat tumbuh dan terlaksana dengan baik. Selain itu dalam
pembangunan tempat pembibitan dan penyemaian diupayakan meminimalkan
setiap kebutuhan (biaya) dengan begitu masyarakat akan terbiasa dengan segala
bentuk kegiatan yang bermanfaat tanpa harus menunggu bantuan dari pemerintah
dan pihak lain, dan secara tidak langsung dapat bekerja mandiri.
Dalam membangun tempat pembibitan dan penyemaian, menurut Khazali
(2005) dari luas areal yang ditentukan untuk tempat persemaian, sekitar 70 %
dipergunakan untuk keperluan bedeng pembibitan, sisanya 30 % digunakan untuk
jalan inspeksi, saluran air, gubuk kerja dan bangunan ringan lainnya. Ukuran
tempat persemaian tergantung kepada kebutuhan jumlah buah yang akan
dibibitkan. Bahan tempat persemaian dapat menggunakan bambu. Atap/naungan
dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara 1-2
meter. Apabila disekitar lokasi persemaian terdapat banyak kambing atau hewan
lainnya, maka bangunan persemaian harus dirancang agar hewan-hewan tersebut
tidak mengganggu dan merusak. Gambaran konstruksi sarana pembibitan dan
penyemaian dapat dilihat pada Gambar 14.

Tempat persemaian (a) (b)

Bedeng persemaian:
tanah yang didalami,
tanah yang diberi batas bambu

Gambar 14 Konstruksi pembibitan dan penyemaian mangrove (Khazali 2005)


10

3. Melakukan kajian dan merumuskan sistem tambak berbasis konservasi


(silvofisheries) yang baik untuk diterapkan.
Silvofisheri sebagai salah satu altenatif rekayasa ekologi memiliki peranan
penting dalam pelestarian ekosistem mangrove di samping nilai manfaat yang
harapkan juga tinggi. Menurut Izzati (2004), rekayasa ekologi merupakan salah
satu cara pengelolaan budidaya yang menguntungkan bagi manusia maupun
lingkungan alam. Prinsip dasar dari rekayasa ekologi adalah memanfaatkan dan
meningkatkan kemampuan organisasi mandiri (self organisation) suatu budidaya
dengan jalan memberikan sebuah faktor pemicu (forcing function) yang akan
mengarahkan proses ekofisiologis sehingga budidaya dapat berfungsi sesuai
dengan yang dikehendaki. Adanya faktor pemicu menyebabkan budidaya
mengubah atau membentuk struktur komunitas baru yang akan menentukan arah
dan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologis. Selanjutnya proses perubahan ini
akan menentukan fungsi budidaya.
Petambak-petambak tradisional pada umumnya membuat tambak di hutan
mangrove dengan asumsi bahwa hutan mangrove merupakan tempat paling baik
untuk bertambak dengan alasan lebih mudah mengatur sirkulasi air tambak karena
adanya pengaruh dari air pasang. Begitu juga dengan petambak di Desa Tanjung
Rejo dan Percut. Namun seiring waktu, pembukaan tambak secara besar-besaran
di hutan mangrove mengakibatkan terjadinya degradasi terhadap ekosistem ini.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah
melakukan suatu program penghutanan kembali sejak tahun 1980 melalui sistem
silvofisheri (empang parit). Adapun tujuan utama dari program ini adalah untuk
meningkatkan kepedulian masyarakat sekitar mangrove dan menjaga kelestarian
mangrove (Prasetyo & Handayani, 1999).
Dirjen kehutanan dan rehabilitasi lahan Departemen Kehutanan
mendefensikan silvofisheri sebagai suatu pengelolaan perikanan alami di dalam
ekosistem mangrove. Sistem ini didesain sebagai alternatif dalam pengelolaan
hutan mangrove dengan tujuan mengelola dan memanfaatkan mangrove secara
optimal tanpa merusak sumberdaya mangrove dan menurunkan fungsi hutan
mangrove, dan pada waktu yang sama dapat meningkatkan kepedulian masyarakat
sekitar mangrove. Sedangkan menurut Primavera (2000), penerapan silvofisheri di
10

Indonesia sebagai panduan dalam mengurangi konflik penggunaan lahan antara


kehutanan dan perikanan. Selain itu silvofisheri dalam hal ini MFA (Mangrove-
Friendly Aquaculture) dikembangkan dengan tujuan utama penyediaan pangan
dan peningkatan pendapatan (income) melalui produksi ikan, udang dan kepiting,
dan juga untuk melindungi mangrove.
Di Indonesia, penerapan silvofisheri melalui tiga pola yaitu pola
komplangan, pola empang parit dan pola empang parit yang disempurnakan
(Gambar 15). Ketiga pola ini diadopsi sebagai suatu model dalam peningkatan
ekonomi masyarakat di sekitar mangrove disamping pelestarian ekosistem
mangrove. Setiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing serta
diterapkan (dipilih) sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar
mangrove. Pada umumnya dalam proses rehabilitasi mangrove, pola tambak yang
digunakan adalah empang parit. Pada pola ini, mangrove ditanam di tengah
tambak dan dikelilingi oleh saluran atau parit yang tertutup. Pada pola
komplangan, empang dan tanaman mangrove terpisah atau berdekatan.
Pola empang parit menurut Rahmawaty (2006) memiliki keuntungan yaitu
cahaya matahari yang menyinari cukup baik, dan biaya penyempurnaan empang
parit dapat dilaksanakan bertahap setiap pemeliharaan. Kelemahan pada pola ini
yaitu pemeliharaan ikan kurang terintegrasi, dan lebar parit terbatas sehingga
cahaya matahari yang menyinari tidak cukup banyak. Selain itu menurut
Fitzgerald (1977) dalam Prasetyo & Handayani (1999), pola empang parit
memiliki kelemahan antara lain: (1) sulit dalam manjemen tambak, (2) berpotensi
tercemar oleh tanin yang berasal dari mangrove, (3) biaya kontruksi per unit
tambak tinggi, dan (4) tutupan mangrove menghalangi intensitas cahaya yang
masuk ke tambak.
Pola komplangan memiliki keunggulan antara lain cahaya matahari yang
menyinari cukup baik, dapat diterapkan budidaya semi intensif, dan
perkembangan hutan dan ikan tidak saling menghambat. Kelemahan pola ini
adalah dibutuhkannya biaya investasi untuk pembuatan empang.
10

Mangrove

Tanggul pemisah

Pintu air Pelataran untuk mangrove Pintu air


Empang Mangrove
Tanggul
Pintu air
Empang

(A) (B)
Mangrove
Empang Pintu air

Tanggul pemisah Keterangan:


Pola Empang parit
Pola Komplangan
Pola Empang parit disempurnakan
(C)

Gambar 15 Tiga pola silvofisheries (wanamina) yang umum di Indonesia


(Kusmana et al., 2005)

Dalam rangka menjaga kelestarian mangrove dan keberlanjutan


pemanfaatan fungsi mangrove, umumnya persentase yang digunakan untuk sistem
wanamina ini adalah 20 % tambak dan 80 % mangrove. Ada pula yang
menggunakan perbandingan tambak dengan mangrove 30: 70, 40:60, dan 50:50.
Namun demikian, dibeberapa daerah perbandingan 10:90 antara tambak dengan
mangrove memiliki efisiensi dan produksi yang tinggi dibandingkan dengan
persentase perbandingan lainnya. Hasil penelitian Sutrisno et al. (2005) di
Pulau Muaraulu-Delta Mahakam menunjukkan bahwa penataan lahan dengan
menggunakan 10 % wilayahnya untuk budidaya tambak udang mempunyai
keuntungan maksimal, ditandai dengan Net Present Value (NPV) yang terbesar pada
5 tahun pertama pasca rehabilitasi.
Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian telah ada program pemerintah
berkaitan dengan silvofisheri dengan pola empang parit. Namun program ini
hanya terlaksana pada satu desa tidak secara keseluruhan desa pantai yang ada
dilokasi penelitian. Tingkat efisiensi dan produksi dari sistem ini juga belum
diketahui dengan jelas. Untuk itu diperlukan suatu kajian terhadap sistem
silvofisheri yang cocok digunakan di Kecamatan Percut Sei Tuan sebagai
10

alternatif pelestarian mangrove dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar


sesuai dengan tujuan silvofisheri itu sendiri.

Strategi 2 : Peningkatan peran stakeholder.


Peran stakeholder sangatlah penting dalam upaya pengelolaan ekositem
mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan mengingat stakeholder sebagai pelaku
pembangunan dan pengguna sumberdaya alam. Dalam rangka pengelolaan yang
lestari dan berkelanjutan, peran stakeholder haruslah ditingkatkan sehingga
pembangunan dapat berjalan dengan baik. Stakeholder dalam hal ini dapat berupa
pemerintah, swasta, LSM, dan juga masyarakat. Untuk lebih meningkatkan peran
stakeholder dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei
Tuan dapat dilakukan dengan cara:
1. Melibatkan seluruh stakeholder dalam penyusunan rencana, dan implementasi
program-program pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove.
2. Memberikan peluang sebesar-besarnya kepada seluruh stakeholder dalam
pemanfantaan sumberdaya mangrove secara lestari dan berkelanjutan.
3. Memaksimalkan kerja kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan
mangrove dengan melakukan rehabilitasi atau pembibitan secara
berkelanjutan.
4. Melibatkan pengusaha tambak yang terdapat di sekitar ekosistem mangrove
dalam menyusun program dan pelaksanaan pengelolaan ekosistem mangrove
bersama dengan pemerintah dan masyarakat sekitar.

Strategi 3 Penguatan hukum dan kelembagaan.


Peranan hukum dan kelembagaan menjadi penting karena mempunyai
kekuatan logika manajemen dan hubungan di dalam masyarakat menjadi tatanan
sosial-institusional dari masyarakat menuju proses pendemokrasian. Hukum dan
kelembagaan memberikan batasan dan aturan dalam pemanfaatan suatu
sumberdaya untuk mejaga kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan terhadap
sumberdaya tersebut selain memberikan sanksi terhadap pelanggaran dalam
pemanfaatan sumberdaya.
11

Dalam strategi penguatan hukum dan kelembagaan untuk upaya


perlindungan dan pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan
direkomendasikan beberapa alternatif rencana program (kegiatan), yaitu:
1. Membuat peraturan baik perda maupun perdes tentang larangan melakukan
penebangan mangrove terutama dalam skala besar.
2. Melakukan sosialisasi peraturan dan perundangan serta sanksi berkenaan
dengan perlindungan ekosistem mangrove.
3. Memperketat izin dan pengawasan terhadap pembukaan tambak di ekosistem
mangrove.
4. Membuat izin penebangan dan batas diameter tebang bagi stakeholders yang
memanfaatkan kayu mangrove untuk industri.

Strategi 4 Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan


pengelolaan ekosistem mangrove.

Pengelolaan mangrove berkelanjutan Kecamatan Percut Sei Tuan


khususnya desa Tanjung Rejo, Percut dan Pematang Lalang haruslah dibangun
dari kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memelihara lingkungannya.
Adapun hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan kepercayaan kepada
masyarakat untuk melaksanakan program-program pengelolaan dan pelestarian
mangrove yang akan dilaksanakan di desa mereka. Menempatkan masyarakat
pada posisi sebagai pelaku utama dalam proses pengelolaan kawasan mereka
sendiri yang dimulai dari perencanaan, pengadaan bibit, penyemaian, penanaman,
pemeliharaan, pengawasan, penataan sarana dan prasarana kebutuhan mereka
sehingga dengan begitu diharapkan rasa memiliki dan bertanggung jawab
terhadap lingkungan akan terus berkembang. Selain itu, dalam penyusunan,
pelaksanaan dan monitoring program (rehabilitasi, pelestarian, ekowisata)
haruslah melibatkan masyarakat secara langsung sehingga transparansi program
dapat dirasakan oleh masyarakat yang pada akhirnya tumbuh arti penting
masyarakat sebagai pelaku pembangunan dalam diri warga sekitar. Salah satu
contoh kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat adalah dengan melibatkan
masyarakat sebagai tenaga keamanan dalam pengawasan dan perlindungan
kawasan mangrove (daerah alami dan daerah yang direhabilitasi).
11

Strategi 5 Peningkatan ekowisata (wisata ilmiah)


Peningkatan ekowisata dalam hal ini wisata ilmiah sebagai alternatif
pengelolaan ekositem mangrove bertujuan untuk memanfaatkan ekosistem
mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dalam upaya peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar mangrove. Selain itu dapat menjadi alternatif
daerah studi dan penelitian dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan
mengingat tingginya potensi ilmiah ekosistem mangrove di kecamatan ini (burung
migran dan primata). Untuk itu direkomendaikan beberapa alternatif rencana
program (kegiatan) dalam rangka peningkatan ekowisata di Kecamatan Percut Sei
Tuan, antara lain yaitu:
1. Membangun stasiun pengamatan burung dan primata di Desa Percut dan
Tanjung Rejo untuk mempermudah pengamat dan para ahli melakukan
penelitian.
2. Membangun stasiun pengawas, pendidikan dan penelitian untuk medukung
kegiatan pariwisata (wisata ilmiah).
3. Penyediaan pusat informasi dan pemandu untuk wisata pengamatan burung.
4. Pengadaan retribusi yang sesuai dengan tingkat ekonomi masyarakat sekitar.
5. Menjalin kerjasama dengan investor dan melakukan promosi pariwisata.

Strategi 6 Peningkatan kapasitas SDM di sekitar ekosistem mangrove.


Peningkatan kapasitas SDM masyarakat di sekitar mangrove Kecamatan
Percut Sei Tuan bertujuan agar semua kegiatan dan program pengelolaan akan
lebih mudah diterima oleh masyarakat sekitar. Selain itu dapat meningkatkan
pemahaman terhadap arti penting ekosistem mangrove bagi hidup dan kehidupan
masyarakat sekitar. Peningkatan kapasitas SDM dapat dilakukan dengan:
1. Mendirikan sekolah untuk tingkat SLTP dan SLTA di Desa Tanjung Rejo dan
Pematang Lalang dan peningkatan jumlah Sekolah Dasar di kedua desa
tersebut.
2. Memasukkan mata pelajaran yang terkait dengan kelestarian sumberdaya
alam, terutama arti penting ekosistem mangrove dan sumberdaya mangrove,
sebagai muatan lokal pada kurikulum di sekolah-sekolah tersebut.
11

3. Meningkatkan intensitas pelatihan, pendidikan dan penyuluhan yang berkaitan


dengan pengelolaan dan pelestarian mangrove kepada seluruh masyarakat
seperti teknik rehabilitasi mangrove.
4. Meningkatkan intensitas pelatihan, pendidikan dan penyuluhan tentang
teknologi budidaya dan teknologi hasil perikanan sebagai alternatif
peningkatan perekonomian keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan


sebagai berikut:
1. Kondisi ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan mengalami
kerusakan sebesar 79,8 % dengan potensi mangrove yang tersisa seluas 728
Ha. Kondisi fisik kimia yang mendukung pertumbuhan mangrove dan
terdapatnya jenis satwa yang dilindungi menjadi isu diperlukannya suatu
pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan berkelanjutan.
2. Tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat yang relatif rendah
merupakan salah satu faktor kelemahan dan dapat menjadi kendala dalam
pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan.
3. Kelembagaan sebagai salah satu komponen pengelolaan ekosistem mangrove
memegang peranan penting guna menggerakkan dan meningkatkan peran
serta masyarakat. Adanya peraturan perundangan memberikan batasan dan
arahan pengelolaan dan pemanfaatan bagi seluruh stakeholder serta dapat
menghindari benturan kepentingan antar lembaga.
4. Urutan rencana strategi yang perlu dilakukan dalam pengelolaan dan
pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Percut Sei Tuan berdasarkan
faktor internal dan eksternalnya yang dianalisis dengan SWOT adalah: (1)
peningkatan program rehabilitasi dan rekayasa ekologi; (2) peningkatan peran
stekeholder; (3) penguatan hukum dan kelembagaan; (4) peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan ekosistem
mangrove; (5) peningkatan ekowisata (wisata ilmiah); (6) peningkatan
kualitas SDM masyarakat sekitar ekosistem mangrove.
114

Saran
1. Diperlukan kontinuitas dalam implementsi program-program pengelolaan dan
pelestarian ekosistem mangrove, serta pengembangannya di masa datang.
2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dalam menganalisis kesesuaian lahan
untuk menentukan zonasi pengelolaan ekosistem dan sumberdaya mangrove
di Percut Sei Tuan seperti zona pemanfaatan, zona perlindungan dan zona
rehabilitasi (pelestarian).
3. Diharapkan adanya penelitian dan penyusunan dalam pemetaan habitat burung
migran dan primata serta penetapan status sebagai kawasan pelestarian
ekosistem habitat burung migran dan primata yang dikuatkan dengan SK
Bupati atau Peraturan Daerah (Perda).
4. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dalam mengkaji keterlibatan dan
keterkaitan antar lembaga dalam pengelolaan ekosistem mangrove di
Kecamatan Percut Sei Tuan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 1988. Conservation dan Management of Mangrove Ecosystem in


Indonesia. Proceeding of Mab/Comar Mice IV Meeting: Asian and Facfic
Regional Workshop and International Symposium on The Conservation
and Management of Coral Reef and Mangrove Ecosystem. 25 September –
3 October 1987, Volume I. Okinawa. Japan.

Ahmad, T. 1989. Potentialities of Mangrove Forest Related to Coastal


Aquaculture: A Case Study in Bone-Bone Luwu, South Sulawesi. Research
Institute of Coastal Aquaculture Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia.
Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic
Considerations. Bogor. Indonesia. August 9-11,1988. Biotrop Special
Publication No.37. Published by SEAMEO-BIOTROP.

[AKASIA Indonesia] Yayasan Amanah Konservasi Alam Indonesia. 2007. Fauna


Ekosistem Mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan 2003-2007.

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. The IUCN


Wetlands Programme. Bangkok. Thailand

Badan Pusat Statistik Kabupaen Deli Serdang. 2005. Kecamatan Percut Sei Tuan
Dalam Angka 2004.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.

Bengen, D.G. 2004. Sinopsis: Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut
Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan. Institut Petanian Bogor (IPB). Bogor.

Chambers, M.J.G., dan A.S, Sobur. 1977. Problem in Assessing The Rates and
Processes of Coastal Change in the Province of South Sumatra. Center for
Natural Resource Management and Environment Studies. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cet. III. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.

Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang. 2007. Rencana Strategis Dinas


Kehutanan Kabupaten Deli Serdang 2007-2010. Sumatera Utara. Medan.

Fahrudin, A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten


Subang, Jawa Barat. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor
11

Hong, P.N., and H.S. San. 1993. Mangrove of Vietnam. The IUCN Wetlands
Programme. Bangkok. Thailand.

Inoue, Y. Oki, H. Afwan, R.S. Ketut, dan I Nyoman B. 1999. Model Pengeloaan
Hutan Mangrove Lestari, Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia.
Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan JICA
(Jepang).

IUCN Red List of Threatened Species. 2007. Categories and Criteria 1994
(version 2.3) http://www.iucnredlist.org/info/categories_criteria1994#
categories [19 Sep 2007]

Izzati, M. 2004. Peranan Rumput Laut Dalam Mengendalikan Kualitas Air


Tambak pada Model Budidaya Ganda Udang Windu-Rumput Laut.
http://digilib.bi.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbbi-gdl-s3-2004-munifatuli-1111
[19 Sep 2007]

Khazali, M. 2001. Potensi, Peran dan Pengelolaan Mangrove. Seminar dan


Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Pulau Nusa kambangan
Sebagai Sisa-sisa Hutan Hujan Dataran Rendah Berupa Ekosistem
Kepulauan di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta. 28-29 Mei 2001.

. 2002. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Mangrove


(Studi Kasus di Desa Karangson, Kecamatan Indramayu, Kabupaten
Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Jurnal PKSPL-IPB Vol.4 (3).

. 2005. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.


Wetlands International – Indonesia Programme.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat: Metode


Wawancara. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kusmana, C. 1995. Habitat Hutan Mangrove Dan Biota. Laboratorium Ekologi


Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

. 1995. Metode Survey Vegetasi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian


Bogor.

Kusmana, C., W. Sri, H. Iwan, P. Prijanto, W. Cahyo, T. Tatang, T. Adi, Yunasfi,


dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusumastanto, T. 2002. Reposisi Ocean Policy Dalam Pembangunan Ekonomi


Indonesia di Era Otonomi Daerah. Disampaikan Dalam Orasi Ilmiah
Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi
Perikanan dan Kelautan FPIK IPB. Bogor.
11

Liyanage, S. 2004. Pilot Project: Participatory Management of Seguwanthive


Mangrove Habitat in Puttlam District, Sri Lanka. Forest Departement
Sampathpaya, Rajamalwatta Road Battaramulla, Sri Lanka. Wetlands
International.

Macintosh, D.J., E.C. Ashton, and S. Havanon. 2002. Mangrove Rehabilitation


and Intertidal Biodiversity: a Study in Ranong mangrove Ecosystem,
Thailand. Estuarine, Coastal and Shelf Science 55, 331-345. Published by
Elsevier Science Ltd.

Marimin. 2004. Teknik Dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Melana, D.M., J. Atchue III, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana, and
H.I. Gonzales. 2000. Mangrove Management Handbook. Coastal Resource
Management Project of the Departement of Environment and Natural
Resources supported by the United States Agency for International
Development. Manila. Philippines.

Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan


Laboratorium. Terjemahan Yanti R. K. UI Press. Jakarta.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cet. IV. Djambatan. Jakarta.

Noor, Y.S., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. PKA dan Wetlands International – Indonesia
Programme. Bogor.

Odum, P.E. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan. Cet.
2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pangesti, M.H.T. 1995. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Kegiatan


Perhutanan Sosial (Studi Kasus di KPH Cianjur, Jawa Barat) [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Permadi, B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengenai Teori dan Aplikasi Model
The Analytical Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas. Studi
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Poerwowidagdo, S.J. 2003. Prosedur Analisis Sistem. Himpunan Materi Kuliah


Program Pascasarjana. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Prakosa, M. 2004. Pedoman Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Mangrove,


Gerakan Rehabiltiasi Hutan dan Lahan. Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P.03/MENHUT-V/2004. Tanggal 22 Juli 2004. Bagian Keempat.
BAB III. Pelaksanaan: Persiapan Bibit.
11

Prasetyo, D., and T. Handayani. 1999. The Study of Silvofishery in The Bay of
Jakarta and Seribu Island for Supporting Mariculture. Proceeding
International Seminar on Application of Seawatch Indonesia Information
System for Indonesian Marine Resources Development”, March 10-11,
1999, BPPT Jakarta.

Primavera, J.H. 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia.


Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries development Center
Tigbauan, Iloilo 5021, Philippines. From: Integrated Coastal Zone
Management. Autumn ed., pp.121-130.
http://www.iucn.org/themes /ceesp /publications/SL/ Aquaculture-
JPrimavera.pdf [19 Sep 2007]

Priyono, A. 2004. Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan


Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Purba, J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara


Lingkungan Hidup dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan


Masyarakat. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara. Medan.

Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi


Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki
Analitik untuk Pengembilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Seri
Manajemen No. 134 (Terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Jakarta.

Salusu, J. 1996. Proses Pengambilan Keputusan Perencanaan. Modul


Perencanaan Pembangunan. Pusat Studi Kebijaksanaan dan Manajemen
Pembangunan – LPPM – Universitas Hasanuddin. Program Pendidikan
dan Latihan Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat
Dasar (TMPP-D), Kerjasama OTO – BAPPENAS – Departemen Dalam
Negeri dengan Universitas Hasanuddin T.A. 1995/1996. Ujung Panjang.

Saru, A. 2007. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu


Berkelanjutan di kabupaten Barru Sulawesi Selatan [disertasi]. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[SBI] Sahabat Burung Indonesia. 2007. Monitoring Burung Pantai Indonesia.


http://www.sbi-info.org/2007/03/05/49/ [14 Sep 2007]
11

Sembiring, S.N., dan F. Husbaini. 1999. Kajian Hukum Dan Kebijakan


Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Indonesia. Lembaga Pengembangan
Hukum Lingkungan (ICEL). NRMP. Jakarta.

Singarimbun. 1995. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.

Soemodihardjo, S., dan I. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in


Indonesia. Sub Committee on Mangrove Ecosystems MAB Program
Indonesia – LIPI. Symposium on Mangrove Management: Its Ecological
and Economic Considerations. Bogor. Indonesia. August 9-11,1988.
Biotrop Special Publication No.37. Published by SEAMEO-BIOTROP.

Soselisa, A. 2006. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan


Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sugiarto, W., dan Ekayanto. 1996. Penghijauan Pantai. Panebar Swadaya.


Jakarta.

Sunoto, N. 1997. Sistem Masyarakat Pesisir dan Strategi Pengembangannya.


Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu.
Angkatan I. PKSPL-IPB & Ditjen Bangda Depdagri. Bogor.

Supriharyono. 2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Wilayah


Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sutrisno, D., J. Pariwono, J. Rais, dan T. Kusumastanto. 2005. The Impact Of Sea
Level rise on Delta Management: A Case Study Of Shrimp Pond
Management In Muaraulu Island - Mahakam Delta. Jurnal Ilmiah
Geomatika Vol.11 No.1, September 2005

Van Balen, S. 1989. The Terresterial Mangrove Birds of Java. Symposium on


Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations.
Bogor. Indonesia. August 9-11,1988. Biotrop Special Publication No.37.
Published by SEAMEO-BIOTROP.

Wang, I.Y. 1981. Management of Rural Change in Korea. University Press.


Seoul.

Wardojo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian Untuk Meningkatkan


Partisipasi Masyarakat. Dalam: Penyuluhan Pembangunan di Indonesia
Menyongsong Abad XXI, diedit oleh A.V.S. Hubeis, P. Tjitropranoto dan
W. Ruwiyanto. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.

Watson, R., dan W. Arief. 1992. Draft Panduan Pengelolaan Keanekaragaman


Hayati Laut Indonesia. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Indonesia.
12

Wijaya, N.I. 2007. Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan


Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Yefri, N. 1987. Struktur Pohon Hutan Bekas Tebangan di Air Gadang Pasaman.
[tesis]. Porgram Pascasarjana, Universitas Andalas Padang.
Lampiran 1a Daftar temuan jenis fauna (burung air) di Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut berdasarkan pengamatan pada Januari
2003 – Mei 2007 oleh Yayasan AKASIA Indonesia.

A. Burung Air
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris Status
IUCN RDB UU
1 Pecuk? Phalacrocorax spp Cormorant?
2 Cangak Abu Ardea cinerea Grey Heron
3 Cangak Merah Ardea purpurea Purple Heron
4 Kokokan Laut Butorides striatus Striated Heron
5 Kuntul Kerbau Bubulcus ibis Cattle Egret
6 Kuntul Cina Egretta eulophotes Chinese Egret Vu
7 Kuntul Besar Egretta alba Great Egret
8 Kuntul Perak Egretta intermedia Intermediate Egret
9 Kuntul Kecil Egretta garzetta Little Egret
10 Kowak-malam Abu Nycticorax nycticorax Black-crowned Night-heron
11 Bambangan? Ixobrychus sp Bittern?
12 Bambangan merah Ixobrychus cinnamomeus Cinnamon Bittern
13 Bagau Bluwok Mycterea cinerea Milky Stork Vu Vu UU
14 Bangau Tongtong Leptoptilos javanicus Lesser Adjutant Vu Vu UU
15 Mandar/Tikusan Porzana sp Rail/Crake?
16 Koreo Padi Amaurornis phoenicurus White-breasted Waterhen
17 Cerek Besar Pluvialis squatarola* Grey plover
18 Cerek Kernyut Pluvialis fulva* Pacific Golden-plover
19 Cerek Tilil Charadrius alexandrinus* Kentish Plover
20 Cerek-pasir Mongolia Charadrius mongolous* Mongolian Plover
21 Cerek-cerekan Charadrius sp* Plover?
22 Gajahan Besar Numenius arquata* Eurasian Curlew UU
23 Gajahan Pengala Numenius phaeopus* Whimbrel UU

1
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris Status
IUCN RDB UU
24 Gajahan Timur Numenius madagariensis* Far Eastern Curlew Nt Nt UU
25 Biru Laut ekor-hitam Limosa limosa* Black-tailed Godwit
26 Biru Laut ekor-blorok Limosa lapponica* Bar-tailed Godwit
27 Trinil Kaki Merah Tringa totanus* Common Redshank
28 Trinil Rawa Tringa stagnatilis* Marsh Sandpiper
29 Trinil kaki-hijau Tringa nebularia* Common Greeshank
30 Trinil Pantai Tringa hypoleucos* Common Sandpiper
31 Trinil Lumpur Asia Limnodromus semipalmatus* Asian Dowitcher Nt Nt UU
32 Kedidi Besar Calidris tenuirostris* Great Knot
33 Kedidi Belang Calidris Alpina* Dunlin
34 Kedidi Golgol Calidris ferruginea* Curlew sandpiper
35 Dara Laut Biasa Sterna hirundo* Common Tern
36 Dara Laut Kecil Sterna albifrous* Little Tern
37 Dara Laut? Sterna sp* Tern?

1
Lampiran 1b Daftar temuan jenis fauna (burung teresterial) di Desa Tanjung Rejo dan Desa Percut berdasarkan pengamatan pada Januari
2003 – Mei 2007 oleh Yayasan AKASIA Indonesia.

B. Burung Teresterial
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris
1 Elang Tikus Elanus caeruleus Black-winged Kite
2 Elang Bondol Heliastur indus Brahminy Kite
3 Punai gading Treron vernans Pink-necked Green-Pigeon
4 Perkutut Jawa Geopelia striata Zebra-Dove
5 Wiwik lurik Cocomantis sonneratii Banded Bay Cuckoo
6 Bubut Besar Centropus sinensis Greater Caucal
7 Bubut alang-alang Centropus bengalensis Lesser Coucal
8 Serak Jawa Tyto alba Barn Owl
9 Cabak Kota Caprimulgus affinis Savannah Nightjar
10 Walet Collocalia maxima Black-nest Swiftlet
11 Cekakak Cina Helcyon pileata Black-capped Kingfisher
12 Cekakak Sungai Todirhomphus chloris Collared Kingfisher
13 Pelatuk hijau Picus vittatus Laced Woodpecker
14 Caladi tilik Picoides moluccensis/Dendrocopos moluccensis Sunda Woodpecker
15 Layang-layang api Hirundo rustica* Barn Swallow
16 Layang-layang Batu Hirundo tahitica Pacific Swallow
17 Kapasan kemiri Lalage nigra Pied Triller
18 Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier Yellow-vented Bulbul
19 Gagak hutan Corvus enca Slender-billed Crow
20 Gelatik-batu Kelabu Parus major Great Tit
21 Kucica kampung Copsychus saularis Magpie Robin
22 Cinenen Kelabu Orthotomus ruficeps Ashy Tailorbird
23 Perenjak Jawa Prinia familiaris Bar-winged Prinia
24 Cici Padi Cisticola juncidis Zitting Cisticola

1
No Nama Indonesia Nama Latin Nama Inggris
25 Kipasan belang Rhipidura javanica Pied Fantail
26 Kekep babi Artamus leucorhynchus White-breasted Wood-swallow
27 Burung Madu-bakau Nectarina calcoseta Copper-throated Sunbird
28 Burung Madu-sriganti Nectarina jugularis Olive-backed Sunbird
29 Kacamata biasa Zoosterops pulpebrosus Oriental White-eye
30 Burung Gereja erasia Passer montanus Eurasian Tree Sparrow
31 Manyar tempua Ploceus philippinus Baya Weaver
32 Bondol rawa Lonchura malacca Black-headed Munia
33 Bondol haji Lonchura maja White-headed Munia

1
12

Lampiran 2 Kesesuaian beberapa jenis tanaman mangrove dengan faktor


lingkungannya.

Toleransi thd
Toleransi thd
Salinitas kekuatan Toleransi thd Frekuensi
Jenis (‰) kandungan
ombak & lumpur penggenangan
pasir
angin
Rhizophora
10-30 S MD S 20 hr/bln
mucronata
R. (bakau)
stylosa (tongke
10-30 MD S S 20 hr/bln
besar)
R. apiculata
10-30 MD MD S 20 hr/bln
(tinjang)
Bruguiera parviofa
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(bius)
B. sexangula
10-30 TS MD S 10-19 hr/bln
(tancang)
B. gymnorhiza
10-30 TS TS MD 10-19 hr/bln
(tanjang merah)
Sonneratia alba
10-30 MD S S 20 har/bln
(pedada bogem)
S. caseolaris
10-30 MD MD MD 20 hr/bln
(pedada)
Xylocarpus
10-30 TS MD MD 9 hr/bln
granatum (nyirih)
Heritiera littoralis
(bayur laut) 10-30 STS S MD 9 hr/bln
Lumnitreza
10-30 STS S MD Bbrp kali/thn
racemora (taruntum)
Cerbera manghas Tergenang
(bintaro) 0-10 STS MD MD
musiman
Nypa fruticans
0-10 STS TS S 20 hr/bln
(nipah)
Avicennia spp. 10-30 MD TS S
(api-api)
Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan (2004)

Keterangan : S= sesuai; MD= moderat; TS= tidak sesuai; STS= sangat tidak sesuai
12

Lampiran 3 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian

Jalur Ukuran Butir % Berat % Berat Fraksi Fraksi Jenis Substrat


0.074 5.21 5.21 lumpur

0.105 8.92 29.40 pasir halus


0.149 20.48
I 0.250 5.60 18.08 pasir sedang pasir
0.350 12.48 berlumpur
0.500 11.86
0.840 14.55 54.98 pasir kasar
>0.840 28.57
0.074 4.53 4.53 lumpur

0.105 13.20 42.18 pasir halus


0.149 28.98
II 0.250 4.08 15.02 pasir sedang pasir
0.350 10.94 berlumpur
0.500 11.10
0.840 14.19 40.29 pasir kasar
>0.840 15.00
0.074 13.40 13.40 lumpur
0.105 13.66 30.36 pasir halus
0.149 16.70
0.250 3.40 pasir
III 10.16 pasir sedang
0.350 6.75 berlumpur
0.500 6.78
0.840 10.13 43.77 pasir kasar
>0.840 26.86
0.074 13.50 13.50 lumpur

0.105 13.59 30.37 pasir halus


0.149 16.78
IV 0.250 3.62 10.53 pasir sedang pasir
0.350 6.91 berlumpur
0.500 6.95
0.840 10.09 33.84 pasir kasar
>0.840 16.79
0.074 5.47 5.47 lumpur

0.105 14.44 31.33 pasir halus


0.149 16.89
V 0.250 4.48 12.36 pasir sedang pasir
0.350 7.88 berlumpur
0.500 7.70
0.840 10.60 41.95 pasir kasar
>0.840 23.65
12

Lampiran 3 Persentase rata-rata fraksi sedimen di lokasi penelitian


Jenis
Jalur Ukuran Butir % Berat % Berat Fraksi Fraksi
Substrat
0.074 6.85 6.85 lumpur
0.105 12.71 33.52 pasir halus
0.149 20.81
VI 0.250 5.02 pasir
18.80 pasir sedang
0.350 13.78 berlumpur
0.500 18.93
0.840 22.74 58.54 pasir kasar
>0.840 16.87
0.074 5.77 5.77 lumpur
0.105 12.05 32.23 pasir halus
0.149 20.18
0.250 4.77 pasir
VII 18.90 pasir sedang
0.350 14.13 berlumpur
0.500 18.12
0.840 23.63 41.75 pasir kasar
>0.840 0.00
0.074 10.30 10.30 lumpur
0.105 6.70 20.21 pasir halus
0.149 13.51
0.250 2.77 pasir
VIII 9.69 pasir sedang
0.350 6.93 berlumpur
0.500 6.91
0.840 10.26 47.46 pasir kasar
>0.840 30.29
0.074 13.87 13.87 lumpur

0.105 5.77 19.66 pasir halus


0.149 13.89
IX 0.250 7.14 17.72 pasir sedang pasir
0.350 10.57 berlumpur
0.500 11.73
0.840 16.34 48.35 pasir kasar
>0.840 20.27
Lampiran 4 Penilaian Responden untuk Analisis Alternatif Kegiatan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Lestari dan Berkelanjutan
di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

TUJUAN : MENENTUKAN SKALA PRIORITAS ALTERNATIF KEGIATAN PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE


SECARA LESTARI DAN BERKELANJUTAN DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI
SERDANG SUMATERA UTARA

KRITERIA : A. Kekuatan (Strenght)


B. Kelemahan (Weakness)
C. Peluang (Opportunity)
D. Ancaman (Threat)

ALTERNATIF : 1. Rehabilitasi
2. Konservasi
3. Wisata Ilmiah

PENILAIAN RESPONDEN UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS KRITERIA DAN ALTERNATIF KEGIATAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN PERCUT SEI TUAN

I. KRITERIA TERHADAP TUJUAN


RESPONDEN RATA SKALA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 JUMLAH BOBOT
KRITERIA RATA PRIOR
KEKUATAN 9 9 9 7 7 9 7 7 7 9 7 9 5 101 7.8 0.602 1
KELEMAHAN 5 3 3 5 5 5 3 3 3 5 3 5 3 51 3.9 0.068 4
PELUANG 7 9 9 7 7 7 7 5 5 7 5 7 5 87 6.7 0.234 2
ANCAMAN 3 5 3 5 5 3 5 3 3 5 5 3 3 51 3.9 0.095 3
24 26 24 24 24 24 22 18 18 26 20 24 16 290 22.3 1.000

1
Lampiran 4 (Lanjutan)

II. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA KEKUATAN (STRENGHT)


RESPONDEN RATA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 JUMLAH BOBOT
ALTERNATIF RATA
REHABILITASI 9 9 9 7 7 7 7 7 7 9 7 7 7 99 7.6 0.689
KONSERVASI 7 7 7 7 5 7 5 5 5 5 5 5 3 73 5.6 0.106
WISATA 7 7 7 5 5 7 3 7 5 7 3 7 7 77 5.9 0.204
23 23 23 19 17 21 15 19 17 21 15 19 17 249 5.9 1.000

III. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA KELEMAHAN (WEAKNESS)


RESPONDEN RATA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 JUMLAH BOBOT
ALTERNATIF RATA
REHABILITASI 9 9 9 7 7 7 5 5 5 9 7 9 5 93 7.2 0.646
KONSERVASI 7 7 7 7 5 5 3 5 5 5 5 7 3 71 5.5 0.107
WISATA 7 7 7 7 3 3 3 3 3 5 3 5 3 59 4.5 0.247
23 23 23 21 15 15 11 13 13 19 15 21 11 223 17.2 1.000

IV. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA PELUANG (OPPORTUNITY)


RESPONDEN RATA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 JUMLAH BOBOT
ALTERNATIF RATA
REHABILITASI 9 9 9 9 7 7 7 7 7 9 7 7 7 101 7.8 0.694
KONSERVASI 7 9 9 7 7 7 5 5 5 7 7 9 7 91 7.0 0.124
WISATA 5 5 5 5 5 7 3 7 5 7 5 7 5 71 5.5 0.182
21 23 23 21 19 21 15 19 17 23 19 23 19 263 20.23 1.000

1
Lampiran 4 (Lanjutan)

V. ALTERNATIF KEGIATAN TERHADAP KRITERIA ANCAMAN (THREAT)


RESPONDEN RATA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 JUMLAH BOBOT
ALTERNATIF RATA
REHABILITASI 7 9 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 97 7.5 0.394
KONSERVASI 7 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 9 5 95 7.3 0.487
WISATA 1 3 3 1 1 3 1 1 1 1 3 3 1 23 1.8 0.119
15 21 21 17 15 17 15 15 15 15 17 19 13 215 16.54 1.000

BOBOT KOMPONEN LEVEL 2 RELATIF TERHADAP LEVEL 1

KRITERIA
KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN JUMLAH RATA-RATA
ALTERNATIF
REHABILTIASI 0.689 0.646 0.694 0.394 2.423 0.606
KONSERVASI 0.106 0.107 0.124 0.487 0.824 0.206
WISATA 0.204 0.247 0.182 0.119 0.752 0.188
1 1 1 1 4 1
Keterangan:
Skoring: 1 = Sama Penting
Jumlah Responden (Tokoh Kunci/Key Person) = 13 Orang,
3 = Sedikit Lebih Penting
terdiri dari 5 = Lebih Penting
7 = Jelas Lebih Penting
1. Kepala Dinas Perikanan Dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang 8. Kelompok Masyarakat GP4 9 = Mutlak Lebih Penting
2. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang 9. Kelompok Masyarakat Petambak
3. Kepala Bappeda Kabupaten Deli Serdang 10. Kelompok Masyarakat Koperasi Mina Mitra Sejahtera
4. Camat Percut Sei Tuan 11. Unsur Perguruan Tinggi (Universitas Sumatera Utara)
5. Kepala Desa Tanjung Rejo 12. Unsur LSM (Yayasan AKASIA Indonesia)
6. Kepala Desa Percut Sei Tuan 13. Unsur Masyarakat Umum
7. Kepala Desa Pematang Lalang

1
13

Lampiran 5 Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengelolaan


ekosistem mangrove Kecamatan Percut Sei Tuan secara lestari dan
berkelanjutan.
13

Lampiran 6 Pedoman Wawancara Penelitian

KUISIONER DATA NON GOVERNMENT STAKEHOLDER

Kota/Kabupaten : ………………………………………….. Tanggal :…………………

Profil lembaga
Nama Lembaga
:…………………………………………………………………………………….
Nama Pimpinan : 1.
…………………………………………………………………………………
2..…..……………………………………………………………………………
Alamat : …..…….………………………………………………………………………
...............….…….……….…………………………………………………….
Telephone : .…………………………….. Facsimile : ..........………………………
E-mail :.……………………………………………………………………………………
Tanggal berdiri
:.....……………………………………………………………………………….
No. Akta (bila ada):
……………………………..………………………………………………….

Struktur Organisasi:
□ Ada (terlampir) □ Tidak ada

Jenis organisasi :
□ Yayasan □ Ormas □ Orpol
□ Asosiasi □ CBO □ Koperasi
□ …………………………………………………………………………….

Tipe kegiatan :
□ Penelitian □ Advokasi □ Info-com
□ Pendanaan □ Pendidikan & lat. □ B. Kemanusiaan
□ …………………………………………………………………………...
□ ……………………………………………………………………………

Bidang kegiatan :
□ Pertanian □ Sosial □ Kebudayaan
□ Perburuhan □ Lingkungan hidup □ Ibu & anak
□ Ek. Masyarakat □ Gizi & makanan □ Industri
□ Tek. Tepat guna □ Masy. Adat □ Gender
□ Industri kecil □ Hak asasi manusi □ Ketrampilan
□ ………………………………………………………………………………..
□ ………………………………………………………………………………..
□ …………………………………………………………………………………

Wilayah Kegiatan:
□ Desa/Kel. □ Kab. Kota. □ Propinsi
□ Nasional □ Internasional

Sumber Dana:
□ Modal sendiri □ Iuran anggota □ Pemerintah
□ Donor Dlm. Neg. □ Donor LN □ Usaha sendiri
□ ………………………………………………………………………..
□ ………………………………………………………………………..
13

Mitra Kerja :

Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan

LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan

Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan

Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan

Peran Dalam Perencanaan Partisipatif

1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam


perencanaan pembangunan?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama dalam masyarakat.


□ sering □ pernah □ tidak pernah
Penjelasan rinci:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

3. Jika Anda pernah terlibat. dimana tingkat keterlibatannya:


□ Kelurahan □ Kab./kota □ Propinsi □ Nasional
Penjelasan rinci:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan


□ konsultasi □ persetujuan □ pelaksanaan
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
13

5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda


dalam pelaksanaan proyek/program?
□ memfasilitasi □ melatih □ mendampingi
□ mengawasi □ mengevaluasi □ ………………………
□ …………………………………………
□ ……………………………………………
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

Perencanaan Yang Partisipatif

1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini


□ sudah baik □ cukup baik □ tidak baik
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

2. Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?


……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

3. Pendapat tentang peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan:


□ sudah baik □ cukup baik □ tidak baik
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan


……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum


dialog pembangunan
□ perlu □ tidak perlu □ tidak tahu
mengapa:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

6. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah


□ forum dialog NGS & GS □ forum NGS saja □ tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

7. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan


□ pemda □ NGS . □ tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
13

Pengelolaan Sumberdaya Alam

1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan
oleh stakeholders (pelaku pembangunan) dalam kehidupannya
□ ekosistem mangrove □ ekosistem pantai □ ekosistem estuaria
□ ekosistem terumbu karang □ ekosistem lamun □ ……………..
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini dalam mendukung


kehidupan stakeholder atau masyarakat di sekitarnya
□ baik □ kurang mendukung □ tidak mendukung
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….

4. Apakah konservasi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu


pertimbangan dalam perencanaan pembangunan selama ini
□ sering □ pernah □ tidak pernah
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam


perencanaan pembangunan pesisir
□ perlu □ tidak perlu □ tidak tahu
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

Terima kasih
13

Lampiran 6 (Lanjutan).

KUISIONER DATA GOVERMENT STAKEHOLDER

Kota/Kabupaten : …………………………………………..
Tanggal : …………………………

Profil lembaga
Nama Dinas/Inst.:
…………………………………………………………………………………
Nama Pimpinan:
1. .………………………………………………………………………………
2. .………………………………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
Telephone : .…………………………….. Facsimile :
……………………………… E-mail : .
………………………………………………………………………………

Struktur Organisasi :
□ Ada (terlampir) □ Tidak ada

Tipe kegiatan : .………………………………………………………………………………

Mitra Kerja :

Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan

LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan

Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan

Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan
13

Peran Dalam Perencanaan Partisipatif

1. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang benar


menurut Anda apabila masyarakat
□ mengetahui □ ikut dalam setiap proses □ ada sosialisasi
□ ikut memilih dan menetapkan
□ ……………………………………
Penjelasan:
…………………….................................................................................................
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama masyarakat.


□ sering □ pernah □ tidak pernah
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

3. Batas keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan


□ konsultasi □ persetujuan □ pelaksanaan
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

4. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan dinas/instansi


dalam pelaksanaan proyek/program?
□ memfasilitasi □ melatih □ mendampingi
□ memobilisasi □ mengawasi □ mengevaluasi
□ …………………………………………
□ ……………………………………………
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

Perencanaan Yang Partisipatif

1. Pendapat mengenai mekanisme partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini


□ sudah baik □ cukup baik □ tidak baik
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan


bersama masyarakat?
□ ada □ tidak ada
Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
13

3 Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan


……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

4. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum


dialog pembangunan
□ perlu □ tidak perlu □ tidak tahu
mengapa:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

5. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah:


□ forum dialog NGS & GS □ forum NGS saja □ tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

6. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan


□ pemda □ NGS □ tidak tahu
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

Pengelolaan Sumberdaya Alam

1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang terkait


pengelolaannya dengan stakeholders (pelaku pembangunan)
□ ekosistem mangrove □ ekosistem pantai □ ekosistem estuaria
□ ekosistem terumbu karang □ ekosistem lamun □ ……………..
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini mendukung masyarakat di sekitarnya
□ baik □ kurang mendukung □ tidak mendukung
Alasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
13

4. Apakah konservasi sumberdaya pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan


dalam perencanaan pembangunan selama ini
□ sering □ pernah □ tidak pernah
Penjelasan:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam


perencanaan pembangunan pesisir
□ perlu □ tidak perlu □ tidak tahu
mengapa:
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

Terima kasih
14

Lampiran 6 (Lanjutan)

PEDOMAN WAWANCARA PENELITIAN


PENGELO L AAN KAWASAN MANGROVE
DI KECAMATAN PERCUT SEI TUAN
KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA

A. Identitas Responden
1. Nama : ................................................................
2. Umur : ................................................................
3. Alamat : ................................................................
4. Jenis Kelamin: a. Laki-laki b. Perempuan
5. Status Perkawinan : a. Kawin b. Belum Kawin c. Janda/Duda
6. Pendidikan : a. Tidak lulus SD b. Lulus SD c. Lulus SLTP/Sederajat
d. Lulus SLTA/Sederajat e. Lulus D3/Sarjana
7. Pekerjaan : ......................................................
8. Lama tinggal di daerah ini :.......................tahun
9. Dari kegiatan perikanan berapa pendapatan yang dihasilkan perbulan?
...........................................................................................
10. Disamping kegiatan perikanan apakah ada kegiatan lain yang dapat
menghasilkan pendapatan :
a. ........................................................................
b. ........................................................................
c. .......................................................................
11. Berapa rata-raa pendapatan bersih perbulan dari pekerjaan sampingan
tersebut? ................................................................
12. Organisasi kemasyarakatan apa yang anda ikuti? ..............................................
13. Peran anda sebagai apa? ............................................

B. Pemahaman Tentang Hutan Mangrove


1. Apakah anda mengerti dengan istilah mangrove?
(a) sangat mengerti (b) mengerti (c) kurang mengerti (d) tidak mengerti
2. Menurut anda bagaimana keadaan hutan mangrove yang ada di wilayah ini?
(a) sangat baik (b) baik (c) sedang (d) rusak
3. Menurut anda bagaimana bila diadakan rehabilitasi terhadap mangrove?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
4. Menurut anda bagimana bila penebangan kayu mangrove dibatasi?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
5. Bagaimana pandangan anda terhadap penebangan liar kayu mangrove?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
6. Setujukah anda bila ekosistem mangrove yang ada di kawasan ini
dilestarikan?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
14

7. Apakah ada peraturan desa/adat yang mengatur tentang pemanfaatan hutan


mangrove demi kelestariannya?
(a) banyak (b) ada (c) tidak ada (d) tahu tahu
8. Jika ada, apa bentuk peraturan tersebut? ............................................................
.............................................................................................................................
9. Apakah anda setuju dengan peraturan desa/adat tersebut?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
alasannya: ............................................................................................................
.............................................................................................................................

C. Partisipasi Masyarakat Terhadap Pelestarian Hutan Mangrove


1. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove (perencanaan
rehabilitasi) yang digerakan atau difasilitasi pemerintah atau LSM?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
2. Apakah anda pernah melakukan pemeliharaan/penanaman mangrove atas
kehendak sendiri?
(a) selalu (b) sering (c) tidak pernah (d) tidak tahu
3. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove(pelaksanaan
rehabilitasi) yang digerakan atau difasilitasi pemerintah atau LSM?
(a) sering sekali (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
4. Apakah anda pernah mengikuti kegiatan pengelolaan mangrove dalam
evaluasi pelaksanaan rehabilitasi yang digerakan atau difasilitasi pemerintah
atau LSM?
(a) sering sekali (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
5. Apakah di desa ini sering dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh
pemerintah?
(a) sering (b)kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
6. Apakah di desa ini sering dilakukan kegiatan penanaman mangrove oleh
LSM?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
7. Bagaimana menurut anda bahwa dalam pelestarian hutan mangrove perlu
dilakukan dengan pengawasan?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
8. Setujukah anda bila pemerintah melakukan program pembinaan kepada
masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat dapat
berpartisipasi terhadap pelestarian hutan mangrove?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
14

D. Keterlibatan Pemerintah Dalam Pelestarian Hutan Mangrove


1. Menurut anda pernahkah pemerintah atau LSM memprogramkan/
melaksanakan pelestarian hutan mangrove?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
2. Menurut anda adakah peraturan pemerintah yang membatasi jumlah
penebangan dan ukuran kayu mangrove yang boleh ditebang?
(a) banyak (b) ada (c) tidak ada (d) tidak tahu
3. Menurut anda pernahkah pemerintah mengadakan penyuluhan/pelatihan/
pembinaan kepada masyarakat tentang lingkungan hidup?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
4. Menurut anda pernahkah LSM mengadakan penyuluhan/pelatihan/pembinaan
kepada masyarakat tentang lingkungan hidup?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
5. Bagaimana menurut anda pembangunan sarana dan prasarana kesiapan
infrastruktur di desa ini?
(a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) buruk

6. Bagaimana menurut anda bila ada suatu ketetapan peraturan daerah yang
mengatur tentang pelestarian hutan mangrove?
(a) sangat baik (b) baik (c) tidak baik (d) buruk
7. Menurut anda bagaimana kebijakan serta koordinasi dengan instansi terkait
dalam bidang pelestarian hutan mangrove?
(a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) buruk
8. Menurut anda apakah telah ada bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan
pemerintah untuk pelestarian mangrove di desa ini?
(a) sangat baik (b) baik (c) kurang baik (d) tidak tahu

E. Kelompok Yang Berupaya Memberi Berbagai Bentuk Pelayanan


1. Adakah wadah atau organisasi yang memberikan pelayanan berkaitan dengan
pengelolaan hutan mangrove?
(a) banyak (b) ada (c) tidak ada (c) tidak tahu
2. Wadah atau organisasi apa saja yang di desa ini?
(a) wadah nelayan (b) wadah petani (c) tidak ada sama sekali
lainnya (sebutkan): ..............................................................................................
3. Apakah wadah/organisasi tersebut bermanfaat bagi anda?
(a) sangat bermanfaat (b) bermanfaat (c) kurang bermanfaat
(d) biasa saja
4. Menurut anda apakah keberadaan wadah/organisasi dapat membantu
usaha/kehidupan ekonomi anda?
(a) sangat membantu (b) membantu (c) tidak membantu
(d) tidak tahu
14

5. Agar wadah/organisasi yang memberikan pelayanan yang berkaitan dengan


pengelolaan mangrove dapat efektif dengan baik maka:
(a) perlu keterlibatan semua pihak (b) cukup masyarakat saja
(c) cukup pemerintah saja (d) tidak tahu

F. Manfaat Ekosistem Mangrove Bagi Masyarakat


1. Apakah anda setuju bahwa dengan tetap lestarinya hutan mangrove di
kawasan ini dapat membawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya?
(a) sangat setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
2. Manfaat yang anda peroleh dari hutan mangrove diantaranya adalah
menangkap udang, kepiting , ikan dengan mudah!
(a) setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
3. Pernahkah anda memanfaatkan mangrove sebagai bahan kayu bakar,
bangunan, arang?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
4. Pernahkah anda memanfaatkan mangrove sebagai bahan baku obat-obatan?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
5. Setujukah anda bahwa fungsi dari ekosistem mangrove diantaranya sebagai
pelindung pantai dari abrasi, angin badai, penangkap sedimen, limpur,
peredam gelombang?
(a) setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
6. Setujukah anda bahwa fungsi dari ekosistem mangrove diantaranya juga
sebagai tempat hidup ikan, tempat memijah dan tempat mencari makan?
(a) setuju (b) setuju (c) kurang setuju (d) tidak setuju
7. Pernahkah anda mencari kepiting (kerang) di mangrove?
(a) sering (b) kurang (c) tidak pernah (d) tidak tahu
8. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil
tangkapan ikan, kepiting, dan udang?
(a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh
(d) tidak tahu
9. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil
budidaya tambak?
(a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh
(d) tidak tahu
10. Apakah menurut anda keadaan hutan mangrove berpengaruh terhadap hasil
budidaya kerang?
(a) sangat berpengaruh (b) berpengaruh (c) tidak berpengaruh
(d) tidak tahu
14

Pertanyaan Tambahan
1. Apakah saat anda menanam/pemeliharaan mangrove, apakah bibit tanaman
mudah diperoleh?
a. Sangat sulit b. Cukup mudah c. Sangat mudah

2. Berapa kali dalam sebulan pertemuan dengan pemerintah/ LSM dilakukan?


a. Tidak pernah b. 1-2 kali c. >2 kali
3. Apakah kelompok bermanfaat bagi anda (masuk atau tidak masuk anggota
kelompok)?
a. Kurang bermanfaat b. Biasa saja c. Sangat bermafaat

4. Menurut anda apakah keberadaan kelompok dapat membantu usaha/kehidupan


ekonomi anda?
a. Tidak membantu b. Membantu c. Sangat membantu

5. Menurut anda apakah keberadaan kelompok dapat membantu pengelolaan/


penanaman mangrove?
a. Tidak membantu b. Membantu c. Sangat membentu

6. Menurut anda apakah keberadaan kelompok perlu dipertahankan?


a. Tidak perlu b. Perlu c. Sangat Perlu
7. Apakah bapak/ibu merasakan perbedaan antara kondisi hutan mangrove 4
tahun terakhir dengan sekarang?
a. Tidak b. Ya

8. Perbedaannya dimana?
a. Jarak melaut semakin jauh/dekat
b. Jumlah tangkapan berkurang/bertambah
c. Jenis ikan berkurang/bertambah
d. Sering terjadi gelombang besar/badai
e. ...................................................................
f. ...................................................................

9. Menurut bapak/ibu, apa yang menjadi kendala dalam pengembangan kawasan


tersebut? ............................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................

10. Menurut bapak/ibu, permasalahan apa yang menjadi prioritas untuk diatas di
desa ini? .............................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................

11. Menurut bapak/ibu, solusi apa dan bagaimana yang bapak/ibu harapkan? .......
..............................................................................................................................
14

Lampiran 7. Foto-foto Penelitian

Kondisi mangrove di Sei Tuan (Jalur I) Kondisi Mangrove di Desa


Pematang Desa Pematang Lalang Lalang (Jalur III)

Kondisi Mangrove di Desa Percut (Jalur V) Kondisi Mangrove di Paluh Panglima


(Jalur IX) Desa Tanjung Rejo

Pembuatan Jalur Transek Pengukuran Diameter Pohon


14

Lampiran 7 (Lanjutan)

Excoecaria agallocha Avicennia marina

Avicennia officinalis Rhizophora sp


14

Lampiran 7 (Lanjutan)

Egretta sp Mycterea cinerea

Phalacrocorax sp Ardea purpurea

Limosa sp Helcyon sp

Anda mungkin juga menyukai