Anda di halaman 1dari 179

MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI

DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT

MARGANOF

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Disertasi : Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau
Maninjau Sumatera Barat
Nama : Marganof
NRP : P 062030111

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS.


Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N.,
M.Eng.
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro,


MS.

Tanggal Ujian : 10 Juli 2007 Tanggal Lulus :


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
disertasi dengan judul: Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau
Maninjau Sumatera Barat. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
akhir penyelesaian program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini penulis telah
banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS., selaku ketua Komisi Pembimbing
yang telah banyak memberikan perhatian, nasehat, arahan dan waktu secara
sabar untuk berdiskusi dengan memberikan semangat secara terus menerus
sejak perencanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi ini.
2. Dr. Ir. Etty Riani, MS. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M.Eng.,
selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan
perhatian serta waktu dan tenaga dalam berdiskusi mulai dari perencanaan
penelitian sampai terselesaikannya disertasi ini.
3. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
memacu dan memberikan semangat untuk menyelesaikan studi secara lebih
baik.
4. Prof. Dr. Ir. Much. Sri Saeni, MS., selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian
Tertutup, yang telah memberikan koreksi, masukan, saran perbaikan dan
semangat dalam menyelesaikan studi.
5. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA dan Dr. Ir. Siti Nurbaya, MSc., selaku
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka, yang telah memberikan masukan,
kritik dan saran dalam rangka penyelesaian studi.
6. Koordinator Kopertis Wilayah X beserta staf atas izin pendidikan yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut
Pertanian Bogor.
7. Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Institut Pertanian
Bogor.
8. Gubernur Sumatera Barat yang telah memberikan dana bantuan untuk
menunjang pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini.
9. Ayahanda Karani Rasul (Alm) dan Ibunda Dahniar N, yang senantiasa
memberikan doa restu dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor dengan baik.
10. Kakakku Neldayuliarti sekeluarga dan adikku Onwarnida sekeluarga yang
telah memberikan bantuan baik moril maupun materil selama penulis
menempuh pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor.
11. Istriku Desi Darma dan anak-anakku Zahrah Marganof dan Hasnan Habib
Marganof yang telah memberikan pengorbanan selama penulis menempuh
pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor.
12. Teman-teman khususnya Dr. Ir. Gufran Darma Dirawan, MSc., Dr. Ir.
Herman, MS., Dr. Syafrani, MSi., Ir. Frida Purwanti, MSc., Dr. Drh. Ratna
Katharina, MSi., Ir. Nanti Kasih, MT., Ir. Henny Pagorai, MSi., Ir. Saharia,
MSi., Ir. Luluk Sulistiyono, MS., dan Ir. Marini Susanti, MSi., yang telah
banyak membantu dan berdiskusi selama menuntut ilmu di Institut Pertanian
Bogor.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ibu dan Bapak dengan
berlipat ganda. Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum
sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah yang sederhana
ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang
memerlukannya.

Bogor, Juli 2007

Marganof
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Naning, Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi


Sumatera Barat pada tanggal 21 September 1963 sebagai anak ke tiga dari
pasangan Karani Rasul (alm) dan Dahniar N. Pendidikan sarjana ditempuh di
Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Pendidkan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang, lulus pada
tahun 1989. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Kimia pada
Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang dan menamatkannya pada tahun
1999. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari program BPPS
Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah X yang dipekerjakan pada
Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat sejak tahun 1992. Mata kuliah yang diasuh
adalah Kimia Dasar dan Kimia Kayu.
Artikel ilmiah penulis berjudul “Analisis Beban Pencemaran, Kapasitas
Asimilasi dan Tingkat Pencemaran dalam Upaya Pengendalian Pencemaran
Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat” dalam proses penerbitan dalam
Jurnal Nature Indonesia Volume 10 No. 1 bulan Oktober 2007. Artikel lain
berjudul “Model Dinamik Pencemaran Perairan Danau Maninjau akan diterbitkan
pada CrestWater Journal Volume 1 No. 1 pada bulan Agustus 2007. Karya-karya
ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xix

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.3. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 5
1.4. Perumusan Masalah ....................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9
1.6. Novelty (Kebaruan) Penelitian ...................................................... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 10


2.1. Ekosistem Perairan Danau ........................................................... 10
2.2. Pencemaran Perairan Danau ......................................................... 12
2.3. Eutrofikasi ................................................................................... 17
2.4. Indikator Parameter Pencemaran ................................................. 20
2.4.1. Parameter Fisika ................................................................ 20
2.4.2. Parameter Kimia ................................................................ 24
2.4.3. Parameter Mikrobiologi ..................................................... 31
2.5. Dampak Pemanfaatan Lahan terhadap Kualitas Perairan ............ 31
2.6. Dampak Sedimentasi terhadap Kualitas Perairan ........................ 32
2.7. Pengendalian Pencemaran Perairan Danau .................................. 33
2.8. Pendekatan Sistem ....................................................................... 34
2.9. Modeling (Pemodelan) ................................................................. 36
2.10. Validasi dan Sensitivitas Model .................................................. 39
2.11. Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran .............. 41

III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 43


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 43
3.2. Bahan dan Alat .............................................................................. 43
3.3. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 43
3.4. Pelaksanaan Penelitian ................................................................... 44
3.5. Analisis Data .................................................................................. 49
3.5.1. Analisis Fisika, Kimia dan Mikrobiologi ........................... 49
3.5.2. Analisis Beban Pencemar .................................................... 50
3.5.3. Analisis Persepsi Masyarakat .............................................. 52
3.5.4. Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Pencemaran ......... 52
3.6. Model Pengendalian Pencemaran .................................................. 57
3.7. Asumsi yang Digunakan ................................................................ 57
3.8. Analisis Pengembangan Skenario Pengendalian Pencemaran ....... 57
3.9. Definisi Operasional ...................................................................... 60

xii
IV. PROFIL DAERAH PENELITIAN ...................................................... 62
4.1. Letak Administrasi dan Kondisi Geografis ................................. 62
4.2. Iklim dan Curah Hujan ................................................................ 63
4.3. Kondisi Tofografi ........................................................................ 64
4.4. Hidrologi ...................................................................................... 65
4.5. Geologi Kawasan Danau Maninjau .............................................. 66
4.6. Tataguna Lahan di sekitar Perairan Danau .................................. 66
4.7. Kependudukan di Kawasan Danau Maninjau............................... 67
4.8. Lapangan Kerja Penduduk ........................................................... 70
4.9. Pendidikan Masyarakat di Kawasan Danau Maninjau ................. 70
4.10.Kesehatan Masyarakat ................................................................. 71
4.11.Isu Pencemaran Perairan di Danau Maninjau ............................... 71

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 74


5.1. Kondisi Eksisting Perairan Danau ............................................... 74
5.1.1. Parameter Fisika, Kimia dan Mikrobiologi ....................... 74
5.1.2. Status Kualitas Lingkungan Perairan Danau ..................... 92
5.2. Sumber dan Jenis Pencemar Perairan Danau................................ 93
5.3. Beban Pencemaran Perairan Danau ............................................. 97
5.4. Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran ............... 105
5.5. Pemodelan Sistem ........................................................................ 109
5.5.1. Sub-model Limbah Penduduk ........................................... 110
5.5.2. Sub-model Limbah Hotel .................................................. 111
5.5.3. Sub-model Limbah Peternakan ......................................... 112
5.5.4. Sub-model Limbah Pertanian ............................................ 113
5.5.5. Sub-model Limbah KJA .................................................... 113
5.5.6. Analisis Kecenderungan Sistem ......................................... 116
5.5.7. Validasi Model .................................................................. 117
5.6. Penyusunan Skenario Pengendalian Pencemaran Perairan .......... 121
5.7. Analisis Perbandingan Penerapan antar Skenario ........................ 128
5.8. Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Perairan Danau ... 129
5.9. Analisis Sensitivitas ...................................................................... 131
5.10. Pembahasan Umum ..................................................................... 132

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 134


6.1. Kesimpulan .................................................................................... 134
6.2. Saran .............................................................................................. 135

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 136


LAMPIRAN ................................................................................................ 147

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Klasifikasi tingkat trofik (kesuburan) perairan danau ............................ 12
2. Sumber pencemar N dan P di Waduk Cirata ....................................... 16
3. Jumlah N dan P masuk ke perairan dari berbagai sumber pencemar..... 17
4. Status kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut ................. 25
5. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD5 ........................................... 26
6. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit.................................... 28
7. Jenis dan ukuran sedimen yang masuk ke perairan danau .................... 32
8. Parameter kualitas air dan metode analisis serta alat yang digunakan... 46
9. Sumber pencemar, parameter dan sumber data ..................................... 48
10. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ..................... 49
11. Kriteria indeks mutu lingkungan perairan.............................................. 50
12. Faktor konversi limbah organik ............................................................. 51
13. Analisis kebutuhan stakeholder (pelaku) .............................................. 54
14. Pedoman penilaian keterkaitan antar faktor .......................................... 59
15. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam analisis prospektif ....... 59
16. Data unsur iklim kawasan Danau Maninjau (1995-2004) .................... 63
17. Jumlah bulan basah, kering dan lembab kawasan Danau Maninjau ...... 64
18. Lebar dan debit beberapa sungai yang bermuara ke Danau Maninjau .. 65
19. Luas penggunaan lahan kawasan Danau Maninjau ............................... 67
20. Rasio jenis kelamin penduduk kawasan Danau Maninjau ..................... 68
21. Kondisi luas lahan dan kepadatan penduduk kawasan
Danau Maninjau .................................................................................... 69
22. Pertumbuhan penduduk kawasan Danau Maninjau ............................... 70
23. Tingkat pendidikan penduduk kawasan Danau Maninjau .................... 71
24. Sumber dan jenis bahan pencemar potensial di perairan
Danau Maninjau..................................................................................... 94
25. Keadaan pembuangan tinja penduduk kawasan Danau Maninjau ........ 95
26. Total beban pencemaran dari sungai yang masuk ke perairan
Danau Maninjau Januari-Juli 2006 (ton/tahun) .................................... 98
27. Sebaran karakteristik responden ............................................................ 106

xiv
28. Populasi penduduk dan jumlah KJA serta jumlah limbah yang
dihasilkan tahun 2005-2020 .................................................................. 118
29. Keterkaitan antar faktor dan state (kondisi) untuk
analisis prospektif ................................................................................ 124
30. Skenario dan kombinasi keadaan faktor ............................................... 125

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ............................................................. 7


2. Komposisi air limbah domestik ............................................................ 13
3. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem ............................................... 35
4. Peta lokasi penelitian ............................................................................ 45
5. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar .......... 52
6. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop diagram) sistem
pengendalian pencemaran perairan danau ............................................ 56
7. Diagram masukan-keluaran (input-output diagram) sistem
pengendalian pencemaran perairan danau ............................................ 57
8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ......... 60
9. Peta penggunaan lahan kawasan perairan ............................................. 68
10. Sebaran nilai rata-rata suhu di perairan danau ....................................... 75
11. Sebaran nilai rata-rata TSS di perairan danau ........................................ 76
12. Sebaran nilai rata-rata kecerahan di perairan danau .............................. 77
13. Sebaran nilai rata-rata kekeruhan di perairan danau .............................. 77
14. Sebaran nilai rata-rata TDS di perairan danau ....................................... 78
15. Sebaran nilai rata-rata warna di perairan danau ..................................... 79
16. Sebaran nilai rata-rata pH di perairan danau .......................................... 80
17. Sebaran nilai rata-rata CO2 bebas di perairan danau.............................. 81
18. Sebaran nilai rata-rata DO di perairan danau ......................................... 82
19. Sebaran nilai rata-rata BOD5 di perairan danau ..................................... 83
20. Sebaran nilai rata-rata COD di perairan danau ...................................... 84
21. Sebaran nilai rata-rata nitrat di perairan danau ...................................... 85
22. Sebaran nilai rata-rata nitrit di perairan danau ....................................... 86
23. Sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan danau................................ 87
24. Sebaran nilai rata-rata fosfat di perairan danau...................................... 88
25. Sebaran nilai rata-rata DDT di perairan danau ...................................... 89
26. Sebaran rata-rata karbofenotion di perairan danau ................................ 90
27. Sebaran nilai rata-rata fecal coliform di perairan danau ........................ 91

xvi
28. Sebaran nilai rata-rata total coliform di perairan danau ......................... 92
29. Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) danau ................................... 93
30. Hubungan antara beban pencemar TSS di muara sungai dengan
kadar TSS perairan danau ..................................................................... 102
31. Hubungan antara beban pencemar TDS di muara sungai dengan
kadar TDS perairan danau .................................................................... 103
32. Hubungan antara beban pencemar COD di muara sungai dengan
kadar COD perairan danau ................................................................... 103
33. Hubungan antara beban pencemar BOD5 di muara sungai dengan
kadar BOD5 perairan danau .................................................................. 104
34. Hubungan antara beban pencemar PO4 di muara sungai dengan
kadar PO4 perairan danau ..................................................................... 104
35. Hubungan antara beban pencemar NO3 di muara sungai dengan
kadar NO3 perairan danau ..................................................................... 105
36. Persentase persepsi masyarakat Nagari Bayur tentang pengendalian
pencemaran perairan danau .................................................................. 107
37. Persentase persepsi masyarakat Nagari Maninjau tentang
pengendalian pencemaran perairan danau ............................................ 108
38. Persentase persepsi masyarakat Nagari Sungai Batang tentang
pengendalian pencemaran perairan danau ............................................ 108
39. Diagram alir model limbah dari luar danau .......................................... 110
40. Diagram alir sub-model limbah penduduk ............................................ 111
41. Diagram alir sub-model limbah hotel ................................................... 112
42. Diagram alir sub-model limbah peternakan .......................................... 112
43. Diagram alir sub-model limbah pertanian ............................................. 113
44. Diagram alir sub-model limbah KJA .................................................... 114
45. Diagram alir model pengendalian pencemaran perairan danau ............. 115
46. Kecenderungan jumlah limbah masuk ke perairan danau...................... 117
47. Hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah limbah .................. 119
48. Grafik perbandingan jumlah penduduk hasil simulasi dengan
data empirik .......................................................................................... 120
49. Grafik perbandingan perkembangan jumlah KJA hasil simulasi
dengan data empirik .............................................................................. 120
50. Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh
pada sistem pengendalian pencemaran ................................................ 122
51. Prediksi beban limbah pada skenario pesimistik sampai tahun 2020 .... 126
52. Prediksi beban limbah pada skenario moderat sampai tahun 2020........ 127

xvii
53. Prediksi beban limbah pada skenario optimistik sampai tahun 2020 .... 128
54. Grafik perbandingan tiga skenario beban limbah dalam pengendalian
pencemaran perairan di Danau Maninjau tahun 2005-2020 .................. 129
55. Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan penduduk
dengan intervensi struktural .................................................................. 131
56. Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan KJA
dengan intervensi struktural .................................................................. 132

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ..................................... 147
2. Nilai rata-rata parameter kualitas air pada setiap stasiun pengamatan .... 149
3. Hasil perhitungan indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) .................. 150
4. Penghitungan beban limbah dari aktivitas penduduk .............................. 153
5. Persepsi masyarakat sekitar Danau Maninjau tentang pengendalian
pencemaran perairan ............................................................................... 159
6. Pengaruh langsung antar faktor pada analisis prospektif ......................... 160
7 Daftar responden pakar (expert) pengendalian pencemaran perairan di
Danau Maninjau ....................................................................................... 161
8. Hasil perhitungan KF dan tingkat kecocokan model dari
data empirik dan simulasi ........................................................................ 162

xix
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih
2
dari 5.000 km atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995),
namun status kondisi sebagian besar danau tersebut akhir-akhir ini sudah sangat
memprihatinkan. Pada saat ini fungsi dan manfaat danau dirasakan sudah semakin
berkurang. Fenomena ini disebabkan oleh terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan perairan danau serta koordinasi antar sektoral dalam pengelolaannya
yang sangat lemah atau hampir tidak ada sama sekali (Sumarwoto et al., 2004).
Pencemaran yang terjadi di perairan danau, merupakan masalah penting
yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai pihak. Hal ini disebabkan
beragamnya sumber bahan pencemar yang masuk dan terakumulasi di danau.
Sumber-sumber bahan pencemar tersebut antara lain berasal dari kegiatan
produktif dan non-produktif di upland (lahan atas), dari permukiman dan dari
kegiatan yang berlangsung di badan perairan danau itu sendiri, dan sebagainya.
Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan danau terdiri dari beberapa
macam, antara lain limbah organik dan anorganik, residu pestisida, sedimen dan
bahan-bahan lainnya.
Keberadaan bahan pencemar tersebut dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas perairan danau, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis
peruntukannya sebagai sumber air baku air minum, perikanan, pariwisata dan
sebagainya. Selain itu, pencemaran juga dapat menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati, khususnya spesies endemik (asli) danau tersebut (Khosla
et al., 1995; Kumurur, 2002). Dampak negatif lain dari pencemaran perairan
danau tidak hanya dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis dan ekologis
berupa penurunan produktivitas hayati perairan, tetapi juga dapat membahayakan
kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian manusia yang memanfaatkan
perairan danau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Fakhrudin et al., 2001).
Danau Maninjau merupakan salah satu danau terpenting di Sumatera
Barat, tepatnya di Kabupaten Agam. Bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar
danau, danau merupakan sumber kehidupan dan penghidupan. Masyarakat
2

memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan domestik seperti sumber


air baku air minum, mandi, dan mencuci (MCK). Pemanfaatan penting lainnya
adalah untuk perikanan (perikanan budidaya dan perikanan tangkap), sumber air
untuk irigasi, sebagai obyek wisata serta sebagai sumber pembangkit listrik tenaga
air (PLTA) yang mengaliri sebagian besar kebutuhan listrik untuk wilayah
Sumatera Barat.
Nilai penting lainnya dari keberadaan Danau Maninjau adalah adanya jenis
ikan endemik, yakni ikan bada (Rasbora argyrotaenia) yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi. Bahkan ikan bada yang sudah dikeringkan (”ikan bada
masiak”) harganya mencapai Rp 120.000,- per kg (Diliarosta, 2002). Keberadaan
ikan-ikan tersebut sudah semakin terancam akibat semakin meningkatnya beban
pencemaran yang masuk ke badan air danau, sehingga menyebabkan kualitas
perairan danau semakin menurun (Syandri, 2002a).
Meningkatnya beban pencemaran yang masuk ke perairan danau juga
disebabkan oleh kebiasaan masyarakat yang berdomisili di sekitar danau.
Umumnya masyarakat sekitar danau membuang limbah domestik, baik limbah
cair maupun limbah padatnya langsung ke perairan danau (Fahkruddin et al.,
2001; Haryani, 2001). Hal ini akan memberikan tekanan terhadap ekosistem
perairan danau.
Berbagai aktivitas penduduk yang ada di sempadan danau, seperti
permukiman, perhotelan, pertanian dan peternakan merupakan sumber bahan
pencemar yang masuk ke perairan danau. Kegiatan di badan perairan danau,
berupa pembudidayaan ikan dengan teknik keramba jaring apung (KJA) juga
merupakan sumber limbah yang potensial mencemari perairan danau. Bapedalda
Sumbar (2001) melaporkan bahwa penyebab utama penurunan kualitas perairan
Danau Maninjau adalah akibat dari kegiatan perikanan KJA yang sudah
melampaui daya dukung perairan danau. Fakta lain juga mengungkapkan bahwa
kualitas perairan Danau Maninjau cenderung terus menurun dari waktu ke waktu,
akibat semakin tingginya tingkat pencemaran karena buangan limbah domestik
dan pertanian (LPP UMJ, 2006).
Saat ini, kepedulian terhadap ekosistem perairan Danau Maninjau semakin
kurang diperhatikan oleh hampir seluruh pengguna ekosistem perairan danau
tersebut. Prinsip-prinsip ekologis bahwa perairan danau memiliki carrying
capacity (daya dukung) dan daya asimilasi terhadap limbah yang terbatas tidak
dipahami oleh sebagian besar masyarakat pengguna danau. Seperti contoh
pemanfaatan danau untuk kegiatan budidaya perikanan dengan teknik KJA selalu
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sampai akhir tahun 2006, terdapat 8.955
unit KJA yang beroperasi di perairan Danau Maninjau. Jumlah ini sudah sangat
melebihi daya dukung perairan danau untuk kegiatan KJA (Syandri, 2006). Hal ini
akan memberikan tekanan terhadap perairan danau semakin meningkat.
Di satu sisi, pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJA akan
memberikan dampak positif berupa penciptaan lapangan kerja baru dan
peningkatan pendapatan masyarakat setempat, namun di sisi lain usaha ini juga
akan membawa dampak negatif terhadap ekosistem perairan danau. Dalam hal ini,
kegiatan budidaya ikan dengan KJA secara langsung akan mempengaruhi
(menurunkan) kualitas perairan danau (Bappeda Agam, 2002). Pengaruh tersebut
diakibatkan oleh limbah pakan dan zat pemberantas hama perikanan. Bila
konsentrasinya melebihi ambang batas, dapat mencemari dan meracuni biota di
perairan danau tersebut. Kematian masal ikan dalam KJA sebanyak 950 ton yang
terjadi pada tahun 1997 dan 2000 yang menelan kerugian milyaran rupiah,
mengindikasikan telah terjadi penurunan kualitas perairan di Danau Maninjau
(Syandri, 2002b).
Masuknya limbah pakan (nutrien) ke perairan danau dalam jumlah yang
berlebih dapat menyebabkan perairan menjadi lewat subur, sehingga akan
menstimulir blooming (ledakan) populasi fitoplankton dan mikroba air yang
bersifat patogen. Limbah zat hara dan organik baik dalam bentuk terlarut maupun
partikel, berasal dari pakan yang tidak dimakan dan eksresi ikan, yang umumnya
dikarakterisasi oleh peningkatan total padatan tersuspensi (TSS), BOD5, COD,
dan kandungan C, N dan P. Secara potensial penyebaran dampak buangan limbah
yang kaya zat hara dan bahan organik tersebut dapat meningkatkan sedimentasi,
siltasi, hipoksia, hipernutrifikasi, dan perubahan produktivitas serta struktur
komunitas bentik (Barg, 1992).
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pencemaran yang
terjadi di perairan Danau Maninjau semakin mengkhawatirkan karena dapat
mengancam kelestarian fungsi danau. Hal ini merupakan masalah yang perlu
segera ditangani secara serius agar tidak meluas dan semakin parah di kemudian
hari.
Ekosistem danau merupakan suatu sistem, terdiri dari komponen biotik
dan abiotik yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Fenomena tentang
penurunan kualitas perairan (pencemaran) yang terjadi di perairan Danau
Maninjau, menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika
hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan
pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui
pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternatif
pendekatan baru dalam memahami dunia nyata (Forester, 1971). Pendekatan
sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya
identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu
operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2007). Oleh karena itu, kajian tentang
pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau dapat dilakukan dengan
pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian pencemarannya dalam
upaya mewujudkan perairan danau yang bersih dan lestari, sehingga pemanfaatan
fungsi danau dapat berkesinambungan.

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengendalian
pencemaran perairan di Danau Maninjau; untuk mencapai tujuan tersebut, maka
pada penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan:
1. Menganalisis kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau
Maninjau
2. Membangun model yang menggambarkan sistem pengendalian pencemaran
perairan di Danau Maninjau
3. Merumuskan alternatif atau rancangan kebijakan pengendalian pencemaran
perairan di Danau Maninjau.

1.3. Kerangka Pemikiran

Permasalahan utama yang dihadapi oleh perairan lentik (tergenang),


terutama danau dan waduk adalah masalah penurunan kualitas dan kuantitas
perairan. Permasalahan penurunan kualitas perairan umumya disebabkan oleh
adanya bahan pencemar baik organik maupun anorganik yang masuk ke badan
perairan tersebut. Sementara itu, permasalahan kekurangan air disebabkan oleh
terbatasnya presipitasi air dan penggunaan air yang berlebihan.
Danau Maninjau merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat
besar bagi masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial maupun dari aspek ekologi.
Oleh karena itu, salah satu program penting pemerintahan Kabupaten Agam yang
tertuang dalam Renstra dan Propeda Kabupaten Agam tahun 2005–2010 tentang
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjadikan kawasan
perairan danau sebagai kawasan yang bersih, sehat dan indah yang bebas dari
pencemaran (Bappeda Agam, 2005).
Danau Maninjau mempunyai banyak potensi yang menunjang secara
finansial, sehingga menyebabkan pertumbuhan penduduk dan pelayanan jasa di
sekitar danau menjadi semakin meningkat. Perkembangan penduduk di sekitar
perairan danau dengan berbagai aktivitasnya, merupakan sumber utama bahan
pencemar (limbah) yang masuk ke perairan danau, sehingga menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas perairan danau.
Pada kawasan perairan danau terdapat beberapa faktor lingkungan yang
saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu lingkungan permukiman,
lingkungan pariwisata, lingkungan pertanian dan peternakan, serta lingkungan
sosial ekonomi masyarakat baik berupa pasar, rumah sakit dan sarana sosial
lainnya. Semua hasil buangan dari kegiatan di lingkungan tersebut akan bermuara
ke perairan danau. Kenyataan yang ada dan langsung dapat dirasakan adalah
turunnya fungsi lingkungan perairan danau sebagai sumber kehidupan masyarakat
sehari-hari. Meskipun berbagai upaya penanggulangan pencemaran telah
dilakukan oleh pemerintah, seperti program pengendalian pencemaran perairan
secara biologi ”ingkongbudo”, program kalibersih (prokasih) dan program
lainnya, namun pencemaran perairan tetap terjadi.
Upaya dalam menanggulangi makin menurunnya kualitas perairan danau
akibat berbagai kegiatan masyarakat yang berada di sekitar perairan danau dan di
badan air danau, perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang
menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat di sekitar perairan danau sebagai
penghasil limbah. Menurut Jorgensen dan Vollenweider (1989), penggunaan
pemodelan dalam pengelolaan danau atau waduk merupakan suatu hal yang
bermanfaat. Hal ini disebabkan model dapat mensintesis pengetahuan dari sistem
dan permasalahan yang ada.
Pendekatan studi untuk mewujudkan pengendalian pencemaran perairan
danau yang holistik, memerlukan kajian yang mendalam mengenai permasalahan
yang terdapat di perairan danau. Permasalahan tersebut berkaitan dengan potensi
dan ancaman dalam pemanfaatan danau oleh masyarakat sekitar perairan danau.
Potensi dan ancaman tersebut diidentifikasi baik secara fisika, kimia dan
mikrobiologi maupun secara ekonomi-sosial dan budaya berdasarkan kebutuhan
stakeholder (pelaku) yang terlibat dalam pemanfaatan perairan danau. Tahap
selanjutnya adalah menyusun alternatif skenario model pengendalian pencemaran
perairan danau dan akhirnya menyusun rancangan model pengendalian
pencemaran di perairan danau yang komprehensif yang dapat mengakomodasi
semua kepentingan pelaku.
Model pengendalian yang dibangun dilakukan dengan cara identifikasi
secara mendalam tentang isu atau permasalahan yang terjadi di perairan danau
serta membangun sistem dan kontrol untuk mencegah atau meminimisasi dampak
atau kerugian lingkungan. Model pengendalian yang dibangun didasarkan pada
beban limbah dari berbagai kegiatan di sekitar danau dan di badan air danau serta
karakteristik dari danau itu sendiri. Model yang dibangun juga diharapkan sebagai
dasar dalam memformulasi kebijakan oleh pengelola dan para pengambil
keputusan dalam pemanfaatan dan pengelolaan pencemaran perairan danau.
Secara skematis kerangka pemikiran penelitian pengendalian pencemaran perairan
di Danau Maninjau diilustrasikan seperti pada Gambar 1.
indogenous (badan air danau) dan di exogenous (luar danau). Limbah yang berasal
dari kegiatan yang berlangsung di badan air bersumber dari kegiatan KJA. Beban
limbah organik yang bersumber dari KJA berupa sisa pakan dan feses ikan dapat
menurunkan kualitas perairan danau. Selain itu, penurunan kualitas perairan juga
disebabkan oleh limbah yang berasal dari luar danau berupa limbah domestik,
limbah dari kegiatan pertanian dan peternakan yang berada di sekitar perairan
danau.
Penumpukan unsur hara hasil dekomposisi bahan organik yang berlebihan
di perairan danau, akan menimbulkan permasalahan karena, unsur hara yang
berlebihan akan menyebabkan perairan mengalami pengkayaan oleh unsur hara
(eutrofikasi). Dekomposisi bahan organik yang berlebihan juga akan
menyebabkan perairan mengalami kekurangan oksigen (anoxia). Proses
dekomposisi tanpa adanya oksigen akan menyebabkan terbentuknya senyawa-
senyawa toksik (beracun), sehingga berdampak buruk terhadap organisme akuatik
dan manusia yang memanfaatkan perairan danau tersebut.
Pendangkalan yang terjadi di danau diduga dari erosi yang berasal dari
daerah tangkapan air (DTA) dan sempadan danau. Erosi yang tinggi pada daerah
tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap
sebagai sedimen di dasar danau. Akumulasi dari erosi yang terjadi terus-menerus
akan mengarah pada terjadinya pendangkalan danau, penurunan kuantitas dan
kualitas air serta dapat merusak habitat di badan perairan danau. Oleh karena itu
diperlukan upaya-upaya pengendalian sumber pencemaran yang masuk ke
perairan danau melalui pendekatan kesisteman dan kebijakan yang dapat diterima
oleh berbagai pihak.
Menurut Jorgensen (1989), penggunaan model sangat cocok untuk
memecahkan permasalahan lingkungan yang kompleks. Jorgensen (1994) juga
mengemukakan bahwa penggunaan model dalam permasalahan ekologi adalah
suatu keharusan jika ingin memahami tentang fungsi sistem yang kompleks
seperti dalam ekosistem. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah
tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi danau dengan dampak dari
pencemaran yang terjadi di perairan danau. Oleh karena itu, maka dalam konteks
pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, diajukan beberapa
pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana kualitas perairan dan tingkat pencemaran perairan di Danau
Maninjau?
2. Model seperti apa yang dapat menggambarkan sistem pengendalian
pencemaran perairan di Danau Maninjau?
3. Bagaimana skenario strategi pengendalian pencemaran perairan di Danau
Maninjau?

1.5. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
berbagai pihak, terutama :
1. Bagi pemerintah daerah, informasi ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan atau acuan dalam memformulasi kebijakan dalam pengendalian
pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau.
2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya perairan Danau Maninjau.
3. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam
menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan perairan, khususnya di Danau
Maninjau.

1.6. Novelty (Kebaruan) Penelitian


Penelitian-penelitian yang dilakukan di perairan Danau Maninjau selama
ini masih bersifat sporadik dan bersifat parsial, sedangkan dalam penelitian ini
sifat dasarnya adalah bersandarkan pada metode pendekatan sistem dengan
mengintegrasikan secara menyeluruh kepentingan para pelaku yang terlibat dalam
sistem pengendalian pencemaran. Metode ini digunakan sebagai tolok ukur dalam
merancang atau membangun pemodelannya. Oleh karena itu, kebaruan utama
dalam penelitian ini terdapat pada konsep penggunaan model dalam pengendalian
pencemaran perairan danau yang dibangun dengan pendekatan sistem untuk
memecahkan isu global yang terkait dengan degradasi lingkungan perairan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Perairan Danau


Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-
komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu
kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan
biotik (produsen, konsumen dan pengurai) yang membentuk suatu hubungan
timbal balik dan saling mempengaruhi. Perairan danau merupakan salah satu
bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau
merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau
beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen and Vollenweiden, 1989). Sementara
itu, menurut Ruttner (1977) dan Satari (2001) danau adalah suatu badan air alami
yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang
beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas
biologi yang tinggi.
Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang
yang dicirikan oleh adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1–1 cm/detik atau
tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu residence time (waktu tinggal) air bisa
berlangsung lebih lama. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya
memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan
musim.
Menurut Odum (1993), pada dasarnya proses terjadinya danau dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu: danau alami dan danau buatan. Danau alami
merupakan danau yang terbentuk sebagai akibat dari kegiatan alamiah, misalnya
bencana alam, kegiatan vulkanik dan kegiatan tektonik. Sedangkan danau buatan
adalah danau yang dibentuk dengan sengaja oleh kegiatan manusia dengan tujuan-
tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah dataran rendah.
Umumnya perairan danau selalu menerima masukan air dari daerah
tangkapan air di sekitar danau, sehingga perairan danau cenderung menerima
bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Oleh
karena itu konsentrasi zat-zat yang terdapat di danau merupakan resultante dari
zat-zat yang berasal dari aliran air yang masuk (Payne, 1986). Kualitas perairan
11

danau sangat tergantung pada pengelolaan atau pengendalian daerah aliran sungai
(DAS) yang berada di atasnya.
Cole (1988) menyatakan bahwa berdasarkan kemampuan penetrasi cahaya
matahari menembus ke dalam danau, wilayah danau dapat dibagi menjadi tiga
mintakat (zone) yaitu: zone litoral, zone limnetik, dan zone profundal. Zone litoral
merupakan daerah pinggiran danau yang dangkal dengan penetrasi cahaya sampai
ke dasar, sedangkan zone limnetik adalah daerah air terbuka dimana penetrasi
cahaya bisa mencapai daerah yang cukup dalam, sehingga efektif untuk proses
fotosintesis. Bagian air di zone ini terdiri dari produsen plantonik, khususnya
diatome dan spesies alga hijau-biru. Daerah ini juga merupakan daerah produktif
dan kaya akan plankton. Selain itu, daerah ini juga merupakan daerah untuk
memijah bagi banyak organisme air seperti insekta. Zone profundal merupakan
bagian dasar yang dalam yang tidak tercapai oleh penetrasi cahaya efektif.
Menurut Goldmen dan Horne (1989), berdasarkan kandungan hara (tingkat
kesuburan) danau diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: danau eutrofik, danau
oligotrofik dan danau mesotrofik. Danau eutropik (kadar hara tinggi) merupakan
danau yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral melimpah,
kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan tingkat
penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Sementara itu, danau oligotropik
adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan yang dalam,
dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian epilimnion.
Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral jarang dan
kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau mesotropik
merupakan danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan peralihan antara
kedua sifat danau eutrofik dan danau oligotrofik. Jorgensen (1990) menambahkan
bahwa tingkat trofik (kesuburan) suatu danau juga dapat dinyatakan berdasarkan
kandungan total nitrogen (TN), total fosfat (TP), klorofil-a dan biomassa
fitoplankton, seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan danau (Jorgensen, 1990)
Biomassa fitoplankton Klorofil-a TN TP
Tipe trofik -3
(mg C m ) (mg/l) (µg/l) (µg/l)
Oligotrofik 20 – 100 0,3 – 3 250 5
Mesptrofik 100 – 300 2 – 15 250 – 600 5 – 10
Eutrofik 300 10 – 500 500 – 1100 10 – 30
Hipertrofik - - 500 - 15000 30 – 5000

2.2. Pencemaran Perairan Danau


Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air menyatakan bahwa, pencemaran air adalah
masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas perairan turun sampai pada
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya. Peraturan ini menyatakan bahwa pencemaran harus ditanggulangi
dan penanggulangannya adalah merupakan kewajiban semua pihak.
Dari rumusan tersebut, secara singkat pencemaran air dapat dikatakan
sebagai turunnya kualitas air karena masuknya komponen-kompoen pencemar
dari kegiatan manusia atau proses alam, sehingga air tersebut tidak memenuhi
syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatannya. Terjadinya pencemaran
perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur
hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota dengan produksi yang
berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya
organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Southwick,
1976). Senada dengan hal tersebut Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran
yang terjadi di perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1)
pencemaran kimiawi berupa bahan-bahan organik, mineral, zat-zat beracun dan
radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3)
pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-tumbuhan
pengganggu air, kontaminasi organisme mikro yang berbahaya atau dapat berupa
gabungan ketiga pencemaran tersebut.
Sumber pencemaran yang masuk ke badan perairan, dibedakan atas
pencemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran karena kegiatan
manusia. Menurut Davis dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang
masuk ke perairan dapat berasal dari buangan yang diklasifikasikan sebagai: (1)
point source discharges (sumber titik) dan (2) non point source (sumber
menyebar). Sumber titik atau sumber pencemaran yang dapat diketahui secara
pasti dapat merupakan suatu lokasi tertentu seperti dari air buangan industri
maupun domestik serta saluran drainase. Pencemar bersifat lokal dan efek yang
diakibatkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air.
Sedangkan sumber pencemar yang berasal dari sumber menyebar berasal dari
sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui
run off (limpasan) dari permukaan tanah wilayah pertanian yang mengandung
pestisida dan pupuk, atau limpasan dari daerah permukiman dan perkotaan.
Dewasa ini permasalahan ekologis yang menjadi perhatian utama adalah
menurunnya kualitas perairan oleh masuknya bahan pencemar yang berasal dari
berbagai kegiatan manusia seperti, sampah permukiman, sedimentasi dan siltasi,
industri, pemupukan dan pestisida. Bahan pencemar yang berasal dari
permukiman pada umumnya dalam bentuk limbah (organik dan anorganik) dan
sampah.
Bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah dapat berupa bahan
terapung, padatan tersuspensi atau padatan terlarut. Selain itu, air limbah juga
dapat mengandung mikroorganisme seperti virus, bakteri dan protozoa.
Komposisi air limbah domestik sangat bervariasi tergantung pada tempat, sumber
dan waktu. Namun secara garis besar zat-zat yang terdapat di dalam air limbah
dapat dikelompokkan seperti Gambar 2 (Tebbut, 1998 dalam Mara, 2004).
Limbah organik yang mencemari perairan danau, berdasarkan asalnya
dapat dibedakan menjadi limbah organik yang berasal dari luar danau dan berasal
dari kegiatan di badan air danau. Limbah yang berasal dari luar danau berupa
limbah industri, domestik, dan pertanian, sedangkan yang berasal dari kegiatan di
badan perairan danau adalah sisa pellet dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA.
Ditambahkan oleh Haryadi (2003), limbah organik yang masuk ke perairan
umumnya berasal dari sisa makanan, eksresi, deterjen, bahan pembersih, minyak
dan lemak, bahan-bahan tersuspensi, sisa insektisida, pestisida dan bahan-bahan
sintetik lainnya.
Limbah organik merupakan sisa atau buangan dari berbagai aktivitas
manusia seperti rumah tangga, idustri, permukiman, peternakan, pertanian dan
perikanan yang berupa bahan organik, yang biasanya tersusun oleh karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Porpraset, 1989).
Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan akan
langsung mengendap menuju dasar perairan, sedang bentuk lainnya berada di
badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Limbah organik, jika tidak
dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya,
maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba, baik mikroba aerobik maupun
anaerobik ataupun mikroba fakultatif (Garno, 2004).
Limbah organik yang ada di badan air aerobik akan dimanfaatkan dan
diurai (dekomposisi) oleh mikroba aerobik (BAR), dengan proses seperti pada
reaksi berikut.
BAR + O2 BAR e’ CO2 + NH3 + produk lain + energi
COHNS + O2 + BAR + energi e’ C5H7O2N (sel MO baru)
Reaksi tersebut mengisyaratkan bahwa makin banyak limbah organik yang masuk
dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin besar pula kebutuhan oksigen bagi
mikroba yang mendekomposisinya. Jika keperluan oksigen bagi mikroba yang ada
melebihi konsentrasi oksigen terlarut, maka oksigen bisa menjadi nol dan mikroba
aerobpun musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang tidak
memerlukan oksigen. Sementara itu limbah organik yang masuk ke badan air
yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba
anaerobik atau fakultatif (BAN) dengan proses seperti reaksi berikut.
BAN e’ CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + energi
CHONS + BAN + energi e’ C5H7O2N (sel MO baru)
Proses reaksi tersebut mengungkapkan bahwa aktivitas mikroba yang hidup di
bagian badan air yang anaerob, selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga
menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S dan CH4 serta senyawa lain
seperti amin dan komponen fosfor. H2S, amin dan komponen fosfor adalah
senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap dan anyir. Selain
itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat
konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain,
termasuk manusia.
Pencemaran perairan danau juga dapat disebabkan oleh buangan bahan
beracun baik yang dapat diuraikan secara kimiawi oleh bakteri maupun yang
sukar diuraikan serta hara anorganik yang menyebabkan pertumbuhan alga secara
berlebihan. Bahan-bahan beracun yang berasal dari limbah buangan industri
mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik seperti logam berat; Hg, Pb,
dan Cd (Shivastava et al., 2003). Masuknya bahan pencemar tersebut ke badan
perairan dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan.
Sutamihardja (1992) menyatakan bahwa bahan pencemaran yang menurunkan
kualitas air dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan (health hazard), sanitari
(sanitary hazard) dan kerugian-kerugian secara ekonomi dan sosial.
Kegiatan dalam bidang pertanian, secara langsung maupun tidak langsung
dapat menyebabkan kualitas perairan danau menjadi menurun. Hal ini disebabkan
karena residu dari penggunaan pupuk dan pestisida akan mengalir ke badan air
danau. Residu pestisida yang masuk ke perairan, proporsi utama adalah terserap
pada partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau terpisah ke dalam substrat
organik. Residu tersebut umumnya mempunyai sifat afinitas yang kuat terhadap
komponen lipid dan bahan organik yang hidup. Bahan aktif pestisida sukar
dihilangkan setelah masuk ke badan perairan, karena memiliki tingkat kestabilan
yang cukup tinggi. Bahan aktif tersebut tidak mudah larut dalam air, tetapi larut
dalam lemak serta menempel pada partikel-partikel halus. Akibatnya residu
pestisida akan terkumpul dan terakumulasi dalam perairan, sehingga
menyebabkan perairan menjadi tercemar dan merusak ekosistem di dalamnya
(Cornel and Miller, 1995).
Residu pupuk yang tidak terserap tanaman, mengandung unsur nitrogen
dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga dapat merangsang pertumbuhan alga dan
tanaman air lainnya. Kelimpahan hara nutrisi ini dapat menyebabkan terjadinya
eutrofikasi (penyuburan perairan) (Kemka et al., 2006). Pengaruh negatif dari
eutrofikasi di perairan danau adalah terjadinya perubahan keseimbangan
kehidupan antara tanaman air dengan hewan air, sehingga beberapa spesies ikan
akan musnah dan tanaman air akan dapat menghambat laju arus air (Darmono,
2001). Seperti dilaporkan oleh Garno (2002) bahwa penyuburan yang terjadi di
Waduk Cirata oleh hara N dan P, sebagian besar bersumber dari limbah yang
berasal dari kegiatan budidaya perikanan yang ada di waduk, limbah domestik dan
limbah pertanian seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sumber pencemar N dan P di Waduk Cirata


Jenis pencemar atau hara (ton/tahun)
Sumber pencemar
Nitrogen Fosfor
*)
Domestik 2.111,20 276,64
**)
Pertanian 5,00 0,10
***)
Perikanan (KJA) 6.612 1.041
*) **) ***)
Brahmana dan Ahmad, 1997; Anonim, 1998; dan Garno, 2002

Jenis alga terutama ganggang hijau, sangat subur bila mendapatkan pupuk
nitrat. Tumbuhan ini dapat menutupi permukaan perairan, sehingga menghambat
sinar matahari yang masuk ke dalam air. Hal ini dapat menyebabkan organisme
atau tumbuhan air akan mati. Bakteri pembusuk akan menguraikan organisme
yang mati, baik tanaman maupun hewan yang terdapat di dasar air. Proses
pembusukan tersebut banyak menggunakan oksigen terlarut dalam air, sehingga
terjadi hypoksia atau kadar oksigen akan menurun secara drastis dan pada
akhirnya kehidupan biologis di perairan danau juga akan sangat berkurang.
Garno (2002) melaporkan bahwa perkiraan besarnya kandungan N dan P
yang dihasilkan dari berbagai sumber pencemar di darat yang masuk ke dalam
ekosistem perairan Waduk Saguling disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perkiraan jumlah N dan P yang masuk ke Waduk Saguling dari berbagai
sumber pencemar (Garno, 2002)
No. Nitrogen Fosfor
Sumber Pencemar (ton/tahun) (ton/tahun)
1 Limbah rumah tangga (permukiman) 9.953 1.303
2 Limbah industri 8 -
3 Pencucian dari lahan pertanian 1.022 219
4 Budidaya ikan dalam KJA 1.359 214
5 Limbah peternakan 1.197 296

Kegiatan budidaya perikanan dengan teknik keramba jaring apung yang


berlangsung di badan air, merupakan kegiatan yang langsung berhubungan
dengan perairan danau, sehingga berdampak langsung terhadap perairan danau
yaitu penurunan kualitas perairan. Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut
pada umunya berupa limbah organik berupa sisa pakan (pellet). Pakan yang tidak
termanfaatkan dari kegiatan budidaya ikan intensif merupakan suatu hal yang
dapat mengganggu lingkungan perairan serta dapat menyebabkan terpacunya
eutrofikasi di ekosistem perairan danau.
Begitu juga halnya dengan kegiatan peternakan yang terdapat di sempadan
danau, merupakan penghasil limbah organik berupa kotoran hewan dan sisa pakan
yang masuk ke badan air danau. Walaupun sebagian besar limbahnya tergolong
limbah padat, tetapi saluran drainase dari kegiatan peternakan akan membawa
limbah cair organik dengan kandungan zat tersuspensi yang tinggi. Di samping
itu, limbah ternak dapat merupakan sumber nitrogen dan fosfor yang dapat
mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada badan air. Keadaan ini dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan ekologis dan bahkan dapat menyebabkan
kematian biota perairan serta merusak estetika perairan.

2.3. Eutrofikasi
Kesuburan perairan danau secara alamiah umumnya disebabkan
pengkayaan oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran sungai dari hasil pencucian
lapisan tanah permukaan dan limbah organik dari kegiatan pertanian. Setiana
(1996) menyatakan bahwa proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui
dua cara yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut
dari tanah; dan (2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah
halus masuk ke sistem drainase. Proses terjadinya pengkayaan perairan danau oleh
unsur hara berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun proses tersebut
dapat dipercepat oleh berbagai aktivitas penduduk di sekitar perairan danau.
Peningkatan jumlah penduduk yang semakin tinggi di sekitar perairan
danau, dapat mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Hal ini akan
memberikan kontribusi pada laju penambahan zat hara dan limbah organik
lainnya yang masuk ke badan air. Jumlah unsur hara yang masuk ke badan
perairan biasanya lebih besar dari pemanfaatan unsur hara tersebut oleh biota
perairan, sehingga akan terjadi penyuburan yang berlebihan (Ahl, 1980).
Menurut Goldmen and Horne (1983), eutrofikasi perairan danau dapat
terjadi secara cultural eutrophication (kultural) maupun secara natural
eutrophication (alami). Eutrofikasi kultural disebabkan karena terjadinya proses
peningkatan unsur hara di perairan oleh aktivitas manusia, sedangkan pada
eutrofikasi alami terjadi peningkatan unsur hara bukan karena aktivitas manusia
melainkan oleh aktivitas alami.
Gejala eutrofikasi di perairan danau biasanya ditunjukkan dengan
melimpahnya konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia seperti
oksigen terlarut (OT), kandungan klorofil-a dan turbiditas serta produktivitas
primer. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi biomassa di
bagian epilimnion danau dan tingginya laju pengendapan alga ke bagian dalam
kolom air, sehingga menjadikan kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion
(Gather and Imboden, 1985). Hal senada dikemukakan oleh Agustiyani (2004),
meningkatnya unsur hara di danau akan meningkatkan biomassa jenis organisme
primer tetapi akan menurunkan jenis konsumer. Hal ini mengakibatkan
melimpahnya salah satu jenis saja dan mengurangi varietas dan kualitas. Salah
satu contohnya adalah melimpahnya alga yang biasa didominasi oleh blue green
algae (alga biru-hijau) dan berkembangnya gulma air.
Fenomena eutrofikasi juga berdampak terhadap meningkatnya jumlah
kematian ikan dan sulitnya pengolahan air untuk air minum. Hal ini disebabkan
karena disekresikannya toksin hasil metabolisme alga yang dapat menyebabkan
kematian bagi hewan. Kondisi ini pernah terjadi di daerah sub-tropis pada alga
jenis Mycrocystis sp yang menghasilkan endotoksin dan eksotoksin yang hasil
sekresinya disebut dengan Mycrosystin, dapat menyerang syaraf dan hati,
sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi hewan-hewan ternak (Kemka et al.,
2006).
Henderson-Seller and Markland (1987) mengemukakan bahwa ada enam
indikator utama yang dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya eutrofikasi di
suatu perairan danau yakni : 1) menurunnya konsentrasi oksigen terlarut di zone
hipolimnotik, 2) meningkatnya konsentrasi unsur hara, 3) menigkatnya padatan
tersuspensi, terutama bahan organik, 4) bergantinya populasi fitoplankton yang
dominan dari kelompok diatome menjadi chlorophyceae, 5) meningkatnya
konsentrasi fosfat, dan 6) menurunnya penetrasi cahaya (meningkatnya
kekeruhan).
Fosfor merupakan komponen biokimia sebagai pengubah energi di dalam
sel dan terdapat dalam bentuk adenosin fosfat, yang sangat diperlukan dalam
kehidupan sel. Kekurangan fosfor akan menghambat metabolisme secara
keseluruhan, sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan biomassa. Hal ini
senada dengan pernyataan Beveridge (1996) yang menyatakan bahwa unsur fosfor
merupakan unsur utama yang diperlukan oleh semua ikan untuk pertumbuhan
normal, pembentukan tulang, mengatur regulasi asam-basa dan metabolisme lipid
dan karbohidrat. Sementara itu, nitrogen adalah merupakan bagian dari struktur
protein dan asam amino yang penting untuk kehidupan.
Menurut Goldman & Horne (1983) dan Sastrawijaya (2000), fosfor dan
nitrogen merupakan unsur pembatas dalam proses eutrofikasi. Bila rasio N dan P
12, maka sebagai faktor pembatas adalah P, sedangkan rasio N dan P 7
sebagai pembatas adalah N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12
menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor).
Ryding & Rast (1989) menyatakan bahwa perairan termasuk dalam klasifikasi
eutrofik bila kandungan total N di perairan sebesar 0,393–6,100 mg/l dan bila >
6,100 mg/l perairan termasuk dalam klasifikasi hipertrofik.
Dampak negatif lain dari eutrofikasi adalah meningkatnya jumlah alga
yang mati dan tenggelam ke dasar perairan. Alga tersebut akan diuraikan oleh
bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar perairan, dapat mencapai ke
tingkat yang sangat rendah untuk mendukung kehidupan organisme, sehingga
menyebabkan kematian ikan. OECD (1982), menyatakan bahwa dampak dari
eutrofikasi yang paling sensitif bagi masyarakat adalah yang berkaitan dengan
fungsi danau sebagai tempat rekreasi dan wisata air. Aspek-aspek seperti
menurunnya transparansi, warna, rasa dan bau, serta meningkatnya penyakit kulit
sangat mengurangi daya tarik dan nilai estetika dari obyek wisata tersebut.

2.4. Indikator Parameter Pencemaran Perairan


Pengelolaan lingkungan perairan danau diperlukan sebagai suatu petunjuk
untuk menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan
peruntukannya atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi
kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian
pencemaran perairan danau sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai
tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut.
Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan
untuk memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam
pengambilan kebijakan pengelolaan perairan di masa yang akan datang. Beberapa
karakteristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk dianalisis
sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara lain
parameter fisika, kimia dan biologi (Manik, 2003; Effendi, 2003),

2.4.1. Parameter Fisika


Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari
permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari
badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
di badan air. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi
kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu air juga
mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4
(Haslam, 1995).
Beberapa sifat termal air seperti panas jenis, nilai kalor penguapan dan
nilai peleburan air mengakibatkan minimnya perubahan suhu air, sehingga variasi
suhu air lebih kecil bila dibandingkan dengan variasi suhu udara. Danau di daerah
0
tropik mempunyai kisaran suhu yang tinggi yaitu antara 20-30 C, dan
menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Oleh
karena itu perubahan suhu dapat menghasilkan stratifikasi yang mantap sepanjang
tahun, sehingga pada danau yang amat dalam cenderung hanya sebagian yang
tercampur (Effendi, 2003; Hadi, 2005).
Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya
lapisan air yang mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat
biasanya berada pada daerah eufotik, sedangkan lapisan yang lebih dingin
biasanya berada di bagian afotik (bagian bawah). Menurut Goldman & Horne
(1989), bila pada danau tersebut tidak mengalami pengadukan oleh angin, maka
kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu: (1) epilimnion, lapisan
yang hangat dengan kerapatan jenis air kurang, (2) hipolimnion, merupakan
lapisan yang lebih dingin dengan kerapatan air kurang, dan (3) metalimnion
adalah lapisan yang berada antara lapisan epilimnion dan hipolimnion.
Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin yaitu lapisan dimana
0
suhu akan turun sekurang-kurangnya 1 C dalam setiap 1 meter (Jorgensen &
Volleweider, 1989). Suhu merupakan controling factor (faktor pengendali) bagi
proses respirasi dan metabolisme biota akuatik yang berlanjut terhadap
pertumbuhan dan proses fisiologi serta siklus reproduksinya (Hutabarat dan
Evans, 1984). Suhu juga dapat mempengaruhi proses dan keseimbangan reaksi
kimia yang terjadi dalam sistem air (Stumm and Morgan, 1981).

Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS) dan


Total Padatan Terlarut (Total Dissolved Solid, TDS)

Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter 1


µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS
terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air.
Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan
air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga
produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan
terganggunya keseluruhan rantai makanan.
Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan
melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke
dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan
tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut
dalam badan air. Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu
biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992),
padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga
mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga
semakin meningkat. Ditambahkan oleh Nybakken (1992), peningkatan kandungan
padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik,
sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun.
Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan
tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air,
buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan
tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu
pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna
perairan.
Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang
tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 µm.
Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut
dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah
bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh
air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut
air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian.

Kekeruhan dan Kecerahan


Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di
dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan
umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat,
lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya.
Kekeruhan perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air (Davis dan Cornwell, 1991).
Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih
banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel
halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya sistem
osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesoebiono (1979),
pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara
mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun,
akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu Effendi (2003),
menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha
penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan
sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-
partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran
sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah,
sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).

Warna Perairan
Pada umumnya warna perairan dikelompokkan menjadi warna
sesungguhnya dan warna tampak. Menurut Effendi (2003), warna sesungguhnya
dari perairan adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut,
sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan
terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Warna perairan timbul disebabkan
oleh bahan organik dan anorganik, keberadaaan plankton, humus, dan ion-ion
logam seperti besi dan mangan. Oksidasi besi dan mangan mengakibatkan
perairan bewarna kemerahan dan kecoklatan atau kehitaman, sedangkan oksidasi
kalsium karbonat menimbulkan warna kehijauan. Bahan-bahan organik seperti
tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan warna kecoklatan di perairan.
Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air,
sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Untuk kepentingan estetika dan
pariwisata, warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo, sedangkan untuk
kepentingan air minum warna air yang dianjurkan adalah 5–50 unit PtCo (Santika,
1997; Effendi, 2003).
2.4.2. Parameter Kimia

Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen
dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat
keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah
netral, pH 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH
dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat,
bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-
asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah
buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.
Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari
unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat
toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah.
Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya
(Dojildo and Best, 1992).

Karbondioksida (CO2) Bebas


Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang
terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil
proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil
respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2 pada perairan dapat
mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO2 bebas
12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat
pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh
melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan
menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979).

Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)


Oksigen terlarut adalah gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen
terlarut dalam perairan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme
tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut
dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air
melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Novonty and Olem, 1994). Difusi oksigen atmosfer ke air bisa terjadi secara
langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena agitasi atau
pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari
atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun
terjadi pergolakan massa air atau gelombang.
Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil
sampingan aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida
direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen.
6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2
Di perairan danau, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang
banyak terdapat pada zone epilimnion, sedangkan pada perairan tergenang yang
dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan oksigen
lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air.
Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu,
salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan
semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer
(Jeffries and Mills, 1996). Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut
dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi
oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan
anorganik yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan
manusia), sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga.
Menurut Connel and Miller (1995), sebagian besar dari zat pencemar yang
menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Menurut Lee et
al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan
sebagai indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Status kualitas air berdasarkan kandungan DO (Lee et al., 1978)


No Kadar oksigen terlarut Status kualitas air
(mg/l)
1 6,5 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan
2 4,5 – 6,4 Tercemar ringan
3 2,0 – 4,4 Tercemar sedang
4 2,0 Tercemar berat
Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) dan
Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu


perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut
tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik
dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik.
Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di
perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob
yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978)
menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan
nilai BOD5-nya, seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD5 (Lee et al., 1978)
No Nilai BOD5 (ppm) Status kualitas air
1 ≤ 2,9 Tidak tercemar
2 3,0 – 5,0 Tercemar ringan
3 5,1 – 14,9 Tercemar sedang
4 ≥ 15 Tercemar berat

Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai
COD. Effendi (2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2 dan H2O.
Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik
dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang dapat didekomposisi
secara biologis maupun yang tidak.

Senyawa-senyawa Nitrogen
- -
Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2 , NO3 , NH3 dan
+
NH4 serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Haryadi, 2003).
Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen
bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik.
Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa
-
nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2 ),
- +
ion nitrat (NO3 ), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4 ) dan molekul N2 yang
larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea
akan mengendap dalam air. Effendi (2003) menyatakan bahwa bentuk-bentuk
nitrogen tersebut mengalami transformasi (ada yang melibatkan mikrobiologi dan
ada yang tidak) sebagai bagian dari siklus nitrogen. Transformasi nitrogen secara
mikrobiologi mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Asimilasi nitrogen anorganik (nitrat dan ammonium) oleh tumbuhan dan
mikroorganisme (bakteri autorof) untuk membentuk nitrogen organik
misalnya asam amino dan protein.
2. Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan
oleh beberapa jenis alga Cyanophyta (alga biru) dan bakteri.
+
N2 + 3 H2 2 NH3 (ammonia); atau NH4 (ion ammonium).
Ion ammonium yang tidqak berbahaya adalah bentuk nitrogen hasil
hidrolisis ammonia yang berlangsung dalam kesetimbangan seperti reaksi
+ -
berikut: H2O + NH3 NH4OH NH4 + OH
Kondisi pada pH tinggi (suasana basa) akan menyebabkan ion ammonium
menjadi ammonium hidroksida yang tidak berdisosiasi dan bersifat racun
(Goldman and Horne, 1989).
3. Nitrifikasi yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat dapat
dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH
8 dan berkurang secara nyata pada pH 7.
+ Nitrosomonas + -
NH4 + 3/2 O2 2 H + NO2 + H2O
- Nitrobacter -
NO2 + ½ O2 NO3
Hasil oksidasi ini sangat reaktif dan mudah sekali larut, sehingga dapat
langsung digunakan dalam proses biologis (Hendersen-Seller, 1987).
4. Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses
dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan
jamur yang membutuhkan oksigen untuk mengubah senyawaan organik
menjadi karbondioksida (Hendersend-Seller, 1987). Selain itu, autolisasi
atau pecahnya sel dan eksresi ammonia oleh zooplankton dan ikan juga
berperan sebagai pemasok ammonia.
-
5. Denitrifikasi yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit (NO2 ), dinitrogen oksida
(N2O) dan molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimal
pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen oksida (N2O) adalah
produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat
rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses
denitrifikasi pada kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang
atau lambat pada kondisi pH dan suhu rendah, tetapi akan berjalan
optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi anaerob di
sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-
-1 -1
rata 1 mg l hari (Jorgensen, 1980).

Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan


algae secara tak terkendali (blooming). Konsentrasi nitrogen organik di perairan
berkisar 0,1 sampai 5 mg/l, sedangkan di perairan tercemar berat kadar nitrogen
bisa mencapai 100 mg/l (Dojlido and Best, 1992). Konsentrasi nitrit yang tinggi
dapat menyebabkan perairan menjadi tercemar. Schmit (1978) dalam Wardoyo
(1989) menyatakan bahwa pencemaran perairan dapat dinilai berdasarkan
kandungan nitritnya (Tabel 6).

Tabel 6. Status kualitas air berdasarkan kandungan nitrit (Schmit, 1978


dalam Wardoyo, 1989)
No Kadar nitrit (mg/l) Status kualitas air
1 0,003 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan
2 0,003 – 0,014 Tercemar sedang
3 0,014 – 0,10 Tercemar berat

Ortofosfat
Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi
dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga
berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP)
dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi
dari asam ortofosfat adalah bentuk yang paling sederhana di perairan (Boyd,
1982). Reaksi ionisasi ortofosfat ditunjukkan dalam persamaan berikut:
+ -
H3PO4 H + H2PO4
- + 2-
H2PO4 H + HPO4
- + 3-
HPO4 H + PO4
Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam
4-
bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O7 ),
metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P4O13 6- dan P3O10 5-) serta fosfat yang terikat
secara organik (adenosin monofosfat). Senyawaan ini berada sebagai larutan,
partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Faust &
Osman, 1981; APHA AWWA, 1995).
Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara
langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis
membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai
sumber fosfor. Menurut Perkins (1974), kandungan fosfat yang terdapat di
perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima
limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang
mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, perairan yang mengandung kadar
fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan
menyebabkan terjadinya eutrofikasi.

Pestisida
Dampak negatif dari penggunaan pestisida dalam bidang pertanian adalah
berupa timbulnya pencemaran terhadap lingkungan, baik lingkungan perairan,
tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan sasaran. Pestisida masuk ke
badan air melalui banyak jalur, misalnya limpasan dari daerah pertanian, aliran
dari persawahan, buangan limbah domestik, limbah perkotaan dan industri. Dalam
badan air, proporsi utama pestisida adalah terserap pada partikel tersuspensi dan
partikel yang diam atau terpisah ke dalam subtrat organik. Pestisida
memperlihatkan afinitas yang kuat untuk komponen lipid dan bahan organik.
Jumlah pestisida yang tercakup tergantung pada karakteristik kimiawi dan
kelarutan pestisida serta karakteristik sedimen (Connell dan Miller, 1995).
Pestisida dalam air dan tanah mengalami degradasi baik secara fisik
maupun biologis. Jenis-jenis pestisida persisten praktis tidak mengalami degradasi
dalam air dan tanah, tetapi akan terakumulasi. Di dalam badan air pestisida dapat
mengakibatkan pemekatan biologis terutama pestisida yang persisten. Edward
(1975) dan Brown (1978) menyatakan bahwa pada saat pestisida memasuki suatu
perairan, pestisida tersebut akan segera diserap oleh plankton, hewan-hewan
vertebrata akuatik, tanaman akuatik, ikan dan sebagian mengendap di sedimen.
Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme
akuatik secara langsung (keracunan akut) yaitu kontak langsung atau melalui
jasad lainnya seperti plankton, perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah
dalam badan air kemungkinan besar menyebabkan kematian organisme dalam
waktu yang lama yaitu akibat akumulasi pestisida dalam organ tubuhnya
(Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya pestisida memperlihatkan sifat lebih
toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksisitasnya bervariasi
sangat luas, tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang
bersangkutan.

2.4.3. Parameter Mikrobiologi


Lingkungan perairan mudah tercemar oleh mikroorganisme patogen
(berbahaya) yang masuk dari berbagai sumber seperti permukiman, pertanian dan
peternakan. Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu
badan air adalah bakteri yang tergolong Escherichia coli, yang merupakan salah
satu bakteri yang tergolong koliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia
dan hewan (Effendi, 2003). Keberadaan bakteri ini dapat digunakan sebagai
indikator dalam menilai tingkat higienisitas suatu perairan.
Pencemaran bakteri tinja (feses) di perairan sangat tidak dikehendaki, baik
ditinjau dari segi estetika, kebersihan, sanitasi maupun kemungkinan terjadinya
infeksi berbahaya. Mikroba patogen asal tinja yang sering menyebabkan penyakit
disentri yang ditularkan melalui air mencakup salmonella, shigella dan coliform
(Lay, 1994).
Bakteri coliform total merupakan semua jenis bakteri aerobik, anaerobik
fakultatif, dan rod-shape (bakteri batang) yang dapat memfermentasi laktosa dan
0
menghasilkan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35 C. Bakteri coliform total
terdiri dari Escherichia coli, Citrobacter, Klebsiella, dan Enterobacter. Fecal
coliform adalah anggota dari coliform yang mampu memfermentasi laktosa pada
0
suhu 44,5 C dan merupakan bagian yang paling dominan (97%) pada tinja
manusia dan hewan (Effendi, 2003). Alaerts dan Santika (1994) menyatakan
bahwa Fecal coliform merupakan bakteri petunjuk adanya pencemaran tinja yang
paling efisien, karena Fecal coliform hanya dan selalu terdapat dalam tinja
manusia.

2.5. Dampak Pemanfaatan Lahan terhadap Kualitas Perairan


Keberlangsungan fungsi suatu danau sangat tergantung pada kondisi atau
keadaan lahan di sekitar daerah tangkapan air (DTA). Berbagai penggunaan lahan
di DTA, seperti untuk pertanian, perkebunan, persawahan dan permukiman.
Semua aktivitas dari kegiatan tersebut dapat menghasilkan berbagai bahan
pencemar atau limbah yang akan mengalir ke perairan danau. Hal ini dapat
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan danau.
Peningkatan jumlah penduduk di sekitar danau secara langsung akan
meningkatkan kebutuhan terhadap lahan, baik untuk permukiman, pertanian,
sarana dan prasarana lainnya dalam menunjang kehidupan. Hal ini secara
langsung maupun tidak langsung akan memberikan tekanan terhadap perairan
danau. Demikian juga penggunaan pupuk dan pestisida dalam pengolahan hasil
pertanian akan berdampak terhadap kualitas perairan danau. Residu yang berasal
dari pelindian pupuk, pestisida dan limbah cair dari agroindustri akan terbawa
oleh aliran air ke daerah hilir yang akan terakumulasi di perairan danau, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas perairan danau.
Limbah yang masuk ke perairan danau secara terus-menerus, terutama
limbah organik dapat menyebabkan terjadinya pengkayaan terhadap hara yang ada
di badan air, sehingga dapat menghasilkan suksesi perairan yang disebut
eutrofikasi. Keadaan seperti ini dapat menurunkan kualitas perairan danau,
sehingga dapat membahayakan bagi kehidupan organisme perairan danau.
Apabila danau selalu dijejali oleh buangan-buangan dari hulu yang mengandung
bahan pencemar, akan berdampak negatif terhadap perairan danau seperti
meningkatnya nilai BOD5, COD, nitrogen, fosfat, senyawa-senyawa beracun, dan
TSS (Manik, 2003). Hal ini akan menyebabkan kualitas perairan danau menjadi
menurun, sehingga perairan danau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

2.6. Dampak Sedimentasi terhadap Kualitas Perairan

Kegiatan pembukaan lahan di bagian hulu dan DTA untuk pertanian,


pertambangan dan pengembangan permukiman merupakan sumber sedimen dan
pencemaran perairan danau. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan
danau dapat meningkatkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju
fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menjadi turun,
yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makan
(Haryani, 2001).
Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi akan terbawa oleh aliran dan
diendapkan pada suatu tempat yang kecepatannya melambat atau terhenti. Proses
ini dikenal dengan sedimentasi atau pengendapan. Asdak (2002) menyatakan
bahwa sedimen hasil erosi terjadi sebagai akibat proses pengolahan tanah yang
tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi pada daerah tangkapan air di bagian
hulu. Kandungan sedimen pada hampir semua sungai meningkat terus karena
erosi dari tanah pertanian, kehutanan, konstruksi dan pertambangan. Hasil
sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang
terjadi di daerah tangkapan air yang dapat diukur pada periode waktu dan tempat
tertentu. Hal ini biasanya diperoleh dari pengukuran padatan tersuspensi di dalam
perairan danau.
Berdasarkan pada jenis dan ukuran partikel-partikel tanah serta komposisi
bahan, sedimen dapat dibagi atas beberapa klasifikasi yaitu gravels (kerikil),
medium sand (pasir), silt (lumpur), clay (liat) dan dissolved material (bahan
terlarut) (Asdak, 2002; Al-Masri et al., 2004). Tabel 7 memperlihatkan klasifikasi
sedimen menurut Asdak (2002).

Tabel 7. Jenis dan ukuran sedimen yang masuk ke perairan


danau (Asdak, 2002)
Jenis Sedimen Ukuran Partikel (mm)
Liat < 0,0039
Debu 0,0039 – 0,0625
Pasir 0,0625 – 2,0
Pasir besar 2,0 – 64,0

Ukuran partikel memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik


sedimen. Sedimen dengan ukuran partikel halus memiliki kandungan bahan
organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen dengan ukuran partikel
yang lebih kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang,
sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh
akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Wood, 1997).
Pada sedimen kasar, kandungan bahan organik biasanya rendah karena
partikel yang halus tidak mengendap. Selain itu, tingginya kadar bahan organik
pada sedimen dengan ukuran butir lebih halus disebabkan oleh adanya gaya
kohesi (tarik menarik) antara partikel sedimen dengan partikel mineral,
pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme
(Wood, 1997).

2.7. Pengendalian Pencemaran Perairan Danau


Pencemaran perairan terbuka seperti danau oleh limbah domestik maupun
limbah rumah tangga merupakan masalah yang serius yang dapat mengancam
keberadaan sumberdaya perairan dan kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu
diperlukan upaya untuk mengendalikan, sehingga dapat meminimalkan dampak
tersebut. Pengendalian pencemaran perairan diartikan sebagai upaya pencegahan
dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan kualitas air untuk menjamin
kualitas air agar sesuai dengan peruntukannya.
Brahmana et al. (2002) menyatakan upaya–upaya dalam pengendalian
pencemaran dalam hal mengurangi beban pencemar yang masuk ke perairan
sungai dan danau dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, yang antara lain :
(1) pendekatan teknologi yaitu dengan membangun IPAL untuk pengendalian
limbah penduduk dan limbah industri, (2) pendekatan hukum, yaitu dengan
penerapan perundang-undangan yang berlaku secara tegas, dan (3) pendekatan
sosial ekonomi dan budaya, yaitu dengan penerapan secara top down dan bottom
up (komunikasi dua arah).

2.8. Pendekatan Sistem


System approach (pendekatan sistem) diartikan sebagai suatu metodologi
penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau
merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif
dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Oleh karena
itu dalam pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui
pemahaman yang utuh. Pada pendekatan sistem menurut Eriyatno (2003),
umumnya ditandai oleh dua hal yaitu: (1) mencari semua faktor yang ada dalam
mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu
model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.
Tiga pola dasar yang menjadi pegangan dalam penyelesaian permasalahan
dengan pendekatan sistem, yaitu: 1) sibernetik (goal oriented), artinya dalam
penyelesaian permasalahan berorientasi pada tujuan. Tujuan ini diperoleh melalui
need analysis (analisis kebutuhan); 2) Holistik yaitu cara pandang yang utuh
terhadap totalitas sistem, atau menyelesaikan permasalahan secara utuh,
menyeluruh dan terpadu; dan 3) Efektif, artinya lebih dipentingkan hasil guna
yang operasional serta dapat dilaksanakan, bukan sekedar pendalaman teoritis.
Dengan demikian, berbagai metodologi dikembangkan sebagai karakter dalam
pendekatan sistem, sehingga beragam metode yang ada di berbagai disiplin ilmu
lainnya dapat digunakan sebagai alat bantu oleh ahli sistem.
Menurut Manetsch dan Park (1977), suatu pendekatan sistem akan dapat
berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut: 1) tujuan sistem
didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2)
prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup
jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk
dilakukan. Sedangkan menurut Ford (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu
kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki
ketergantungan antar komponen.
Lebih lanjut Eriyatno (2003) menyatakan bahwa untuk menyelesaikan
permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem melalui beberapa
tahapan, yaitu: (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi
kebutuhan dari semua pelaku dalam sistem, (2) formulasi permasalahan, yang
merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem, (3)
identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam
rangka memenuhi kebutuhan semua pelaku dalam sistem, (4) pemodelan abstrak,
pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antara analisis sistem dengan
pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak
dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem,
(5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari
sistem yang diinginkan, dan (6) operasi, pada tahap ini akan dilakukan validasi
sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya
perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Menurut Pramudya
(1989), pendekatan sistem dilakukan dengan tahapan kerja yang sistematis yang
dimulai dari analisis kebutuhan hingga tahap evaluasi, seperti disajikan pada
Gambar 3.
model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan
perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan kebijakan, stategi,
dan taktik.
Winardi (1989) menyatakan bahwa sistem harus dipandang secara holistik
(keseluruhan) dan akan bersifat sebagai goal seeking (pengejar sasaran), sehingga
terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Suatu sistem mempunyai
input (masukan) yang akan berproses untuk menghasilkan output (keluaran).
Pada suatu sistem terdapat umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur
komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan.
Sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sub-sistem (sistem kecil) yang
akan membentuk suatu hirarki.
Perubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi
komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang
sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh
faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem).
Sistem dinamis merupakan sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah
sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-
elemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai
sebelumnya dari variabel input (Djojomartono, 2000).

2.9. Modeling (Pemodelan)


Modeling (pemodelan) diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model
(Eriyatno, 2003). Pramudya (1989) mendefinisikan model adalah suatu abstraksi
dari keadaan sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk
memudahkan pengkajian suatu sistem. Sejalan dengan pernyataan tersebut
Muahammadi et al. (2001) menyatakan bahwa model adalah suatu bentuk yang
dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Dalam pelaksanaan pendekatan
sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang akan
menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan.
Disamping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubah-
peubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji.
Menurut Winardi (1989), model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia
nyata dalam hal-hal tertentu. Model tersebut memperlihatkan hubungan langsung
maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu
model yang baik akan menggambarkan dengan baik segi tertentu yang penting
dari perilaku dunia nyata .
Dalam membangun suatu model harus dimulai dari konsep yang paling
sederhana dengan cara mendefinisikan permasalahan secara hati-hati serta
menggunakan analisis sensitivitas untuk membantu menentukan rincian model.
Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variabel
secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat merepresentasikan
keadaan yang sebenarnya.
Model yang dibangun haruslah merupakan gambaran yang sahih dari
sistem yang nyata, realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan
memberikan hasil simulasi yang sangat menyimpang dari kenyataan yang ada,
sehingga akan memberikan informasi yang tidak tepat. Model yang dianggap baik
apabila model dapat menggambarkan semua hal yang penting dari dunia nyata
dalam sistem tersebut. Lebih lanjut Pramudya (1989) menyatakan bahwa ada
empat keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan menggunakan
pendekatan sistem yaitu: (1) memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat
lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat melakukan
eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu (memberikan perlakuan)
tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan
perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan (4) dapat dipakai untuk menduga
(meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang.
Penggunaan model sistem dinamis merupakan salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah yang kompleks dalam pendekatan sistem (Winardi, 1989;
Muhammadi et al., 2001). Langkah pertama dalam menyusun model sistem
dinamis adalah menentukan struktur model yang akan memberikan bentuk dan
sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem
tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku simpal causal-loop (sebab-akibat) yang
menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi
struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik.
Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis
yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model
sistem dinamis.
Menurut Muahammadi et al. (2001) dan Eriyatno (2003), model dikelom-
pokkan menjadi 3 jenis yaitu:
(1) model ikonik (model fisik) yaitu model yang mempunyai bentuk fisik
sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar
atau diperkecil,
(2) model analog (model diagramatik) yaitu model suatu proses atau sifat,
model ini sifatnya lebih sederhana dan sering dipakai pada situasi khusus,
seperti pada proses pengendalian mutu industri, dan
(3) model simbolik (model matematik) yaitu model yang menggunakan
simbol-simbol matematika.

Untuk memahami struktur dan perilaku sistem, yang akan membantu


dalam pembentukan model dinamik kuantitatif digunakan causal-loop diagram
(diagram lingkar sebab-akibat) dan flow chart diagram (diagram alir). Pada sistem
dinamis, diagram sebab akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat
diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program powersim.
Program ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem, sehingga
dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang dibangun.
Selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dan kebijakan apa
yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang
terjadi.
Kinerja pada model dinamis ditentukan oleh kekhususan dan struktur dari
model yang dibangun. Melalui simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala
atau proses yang terjadi dalam sistem yang dikaji, sehingga dapat dilakukan
analisis dan peramalan perilaku dari gejala atau proses tersebut di masa depan.
Empat tahapan dalam melakukan simulasi model (Muhammadi et al., 2001),
yaitu:
(a) Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi unsur-unsur yang
berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Dari unsur-unsur dan
keterkaitannya dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala (proses)
yang akan disimulasikan,
(b) Pembuatan model, gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap pertama
selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau
rumus,
(c) Simulasi model; pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan
memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi
dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat
antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan
untuk memahami perilaku gejala atau proses model.
(d) Validasi hasil simulasi; validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian
antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat
dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala
atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil.

2.10. Validitas dan Sensitivitas Model


Model yang baik adalah model yang dapat merepresentasikan keadaan
yang sebenarnya. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi oyektif
dilakukan uji validasi (Muhammadi et al., 2001). Ada dua jenis validasi dalam
model, yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan
untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah, sedangkan
validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauhmana model sesuai dengan
kinerja sistem nyata atau sesuai dengan data empirik.
Validitas struktur meliputi dua pengujian, yaitu validitas konstruksi dan
validitas kestabilan. Validitas konstruksi melihat apakah konstruksi model yang
dikembangkan sesuai dengan teori. Uji validitas konstruksi ini sifatnya abstrak,
tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah berdasarkan teori yang ada akan
terlihat dari konsistensi model yang dibangun (Muhammadi et al., 2001). Menurut
Barlas (1996), validitas kestabilan merupakan fungsi dari waktu. Model yang
stabil akan memberikan output yang memiliki pola yang hampir sama antara
model agregat dengan model yang lebih kecil (disagregasi).
Validitas kinerja atau output model bertujuan untuk memperoleh
keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem
nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya
adalah memvalidasi kinerja model dengan data empirik, untuk melihat
sejauhmana perilaku output model sesuai dengan perilaku data empirik. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara: (1) membandingkan pola output model dengan data
empirik, dan (2) melakukan pengujian secara statistik untuk melihat
penyimpangan antara output simulasi dengan data empirik dengan beberapa cara,
antara lain AME (absolute mean error), AVE (absolute variation error) dan U-
Theil’s (Barlas, 1996; Muahammadi et al., 2001). Disamping itu juga digunakan
uji DW (Durbin Watson) dan KF (Kalman Filter) untuk menjelaskan kesesuaian
antara hasil simulasi terhadap data aktual.
Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu
dilakukan uji sensitivitas. Uji ini dilakukan untuk mengetahui respon model
terhadap stimulus. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui alternatif tindakan
baik untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar
variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas dalam bentuk perubahan perilaku atau
kinerja model, digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model.
Uji sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua macam (Muhammadi et al.
2001): (1) intervensi fungsional, yakni dengan memberikan fungsi-fungsi khusus
terhadap model dengan menggunakan fasilitas, antara lain: step, random, pulse,
ramp dan forecast, trend, if, sinus dan setengah sinus, dan (2) intervensi
struktural, yakni dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model
dengan cara mengubah struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan
hasil-hasil intervensi terhadap unsur dan struktur sistem. Disamping itu, analisis
sensitivitas model juga berfungsi dalam menemukan alternatif tindakan atau
kebijakan, baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian hasil positif
maupun untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif.

2.11. Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian pencemaran


Konsep persepsi pada dasarnya merupakan suatu konsep dan kajian
psikologi. Persepsi merupakan pandangan individu terhadap suatu objek. Akibat
adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau
penolakan terhadap stimulus tersebut (Langevelt, 1996 dalam Harihanto, 2001).
Individu tidak hanya merespon suatu objek, tetapi juga memberi makna situasi
tersebut menurut kepentingannya.
Proses terbentuknya persepsi terjadi sebagai hasil proses penerimaan
informasi melalui penarikan kesimpulan atau pembentukan arti yang dikaitkan
dengan kesan atau ingatan untuk kejadian yang sama dimasa lalu. Kunci
pemahaman terhadap persepsi masyarakat terhadap suatu objek, terletak pada
pengenalan dan penafsiran unik terhadap objek pada suatu situasi tertentu dan
bukan merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut.
Informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu
persepsi, walau informasi tentang lingkungan itu juga bisa berupa suatu situasi
tertentu, tidak harus berupa rangkaian kalimat atau isyarat ( Thoha, 1988). Proses
kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami lingkungannya
dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan maupun
penciuman.
Ada tiga rangkaian proses yang membentuk persepsi, yaitu seleksi,
organisasi dan interpretasi. Stimulus yang diterima mula-mula diseleksi, hanya
stimulus yang sesuai dengan kebutuhan atau menarik perhatian saja kemudian
diubah menjadi kesadaran. Pada tahap organisasi, stimulus yang diterima
seseorang disusun secara sederhana dan terpadu, sedangkan pada tahap
interpretasi yakni dilakukan penilaian dan pengambilan keputusan.
Seseorang akan menangkap berbagai gejala atau rangsangan di luar dirinya
melalui indra yang dimilikinya dan selanjutnya akan memberikan interpretasi
terhadap rangsangan tersebut. Pemaknaan individu terhadap suatu objek kemudian
akan membentuk struktur kognisi di dalam dirinya. Data yang diperoleh terhadap
suatu objek tertentu akan masuk ke dalam kognisi mengikuti prinsip organisasi
kognitif yang sama dan proses ini tidak hanya berkaitan dengan penglihatan tetapi
juga melalui semua indra manusia. Hasil interpretasi tersebut merupakan
bagaimana pengertian atau pemahaman seseorang terhadap suatu objek.
Persepsi masyarakat terhadap lingkungan diperlukan untuk mengoptimal-
kan kualitas lingkungan sesuai dengan persepsi masyarakat yang menggunakan-
nya. Persepsi mengenai lingkungan yang mencakup harapan, aspirasi ataupun
keinginan terhadap suatu kualitas lingkungan tertentu sebaiknya dipahami secara
subjektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio kultur
masyarakat. Dengan demikian, kualitas lingkungan harus didefinisikan secara
umum sebagai lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang
atau sekelompok orang.
Persepsi bukanlah sesuatu hal yang memiliki sifat statis, tetapi terbuka
terhadap berbagai informasi yang muncul dari lingkungan. Krech (1985)
meyatakan bahwa perubahan persepsi dapat terjadi akibat berkembangnya
pemahaman terhadap lingkungan ataupun akibat terjadinya perubahan kebutuhan
nilai-nilai yang dianut, sikap dan sebagainya. Dengan demikian persepsi
masyarakat yang ada di sekitar perairan danau akan dipengaruhi oleh karakteristik
personalnya, seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan lokasi tempat
tinggalnya (lingkungan). Pada gilirannya persepsi masyarakat tersebut akan
mempengaruhi sikap dan perilakunya terhadap pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya alam perairan danau. Khusus dalam penelitian ini, pengertian
persepsi masyarakat sekitar danau dibatasi sebagai tanggapan mereka tentang
pengendalian pencemaran perairan Danau Maninjau dalam hal pencegahan,
penanggulangan dan partisipasi.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di perairan Danau Maninjau, Kecamatan
Tanjung Raya Kabupaten Agam Sumatera Barat. Lokasi penelitian berjarak 140
0 ’
km dari Kota Padang. Secara geografis Danau Maninjau terletak antara 0 17 –
’’ 0 ’
07.04 lintang selatan dan 100 - 09 58.0” bujur timur. Danau Maninjau
merupakan danau kaldera yang terbentuk dari aktivitas gunung berapi, terletak
pada ketinggian muka air danau sekitar 264,5 m di atas permukaan laut (dpl) yang
mempunyai luas permukaan air sekitar 9.737, 50 ha, dengan volume air sebesar
3
10.226.001.629,2 m . Penelitian ini dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, dimulai
dari bulan Januari sampai dengan Juli 2006. Beberapa pengambilan data juga
dilakukan di luar jadwal tersebut.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air, tiosulfat,
KI, H2SO4 pekat, MnSO4, K2Cr2O7, FeSO4, indikator ferroin, pereaksi Nessler,
larutan standar ammonia, brusin, larutan NaCl, larutan standar nitrat, larutan
sulfanilamid, larutan N-(1-naftil)-etilendiamin dihidroklorida, larutan standar
nitrit, amonium molibdat, stano klorida, larutan baku fosfat, Na2CO2 dan
indikator fenolptalein. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi: pH meter,
thermometer, secchi disk, kemmerer water sampler dan water quality checker,
kuesioner, program powersim versi 2,5c dan program prospektif.

3.3. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer yang berupa pengukuran kondisi fisik, kimia dan biologi
perairan danau diperoleh di lapangan dan sebagian dari hasil analisis di
laboratorium. Data persepsi masyarakat di sekitar perairan Danau Maninjau
diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden penduduk. Data primer
tentang prospek pengendalian pencemaran dimasa depan diperoleh dari hasil
kuesioner dari seluruh pelaku dan para pakar. Data sekunder diperoleh dari
44
44

berbagai sumber seperti hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, laporan
serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan topik yang dikaji.

3.4. Pelaksanaan Penelitian

A. Pengambilan Sampel Kualitas Air


Tujuan dari pengambilan data ini adalah untuk mendapatkan gambaran
tentang sifat fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau. Penentuan lokasi
pengambilan sampel parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau
ditetapkan secara purporsive (sengaja). Pengambilan sampel air lebih diarahkan
pada pusat-pusat kegiatan penduduk sebagai sumber aliran limbah yang masuk ke
perairan danau seperti permukiman, pertanian dan hotel (pariwisata) serta lokasi
kegiatan keramba jaring apung. Penentuan titik-titik pengambilan contoh air di
sungai dengan pertimbangan bahwa lokasi pengambilan sampel air diduga sebagai
aliran limbah cair dari berbagai kegiatan aktivitas penduduk yang mengalir ke
perairan danau.
Selanjutnya ditentukan titik (stasiun) pengambilan contoh air, yaitu satu di
muara sungai dan satu lagi di perairan danau dengan jarak 100 meter dari muara
sungai. Pengambilan contoh air di danau dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali
dengan interval waktu sebulan. Pengambilan contoh air dilakukan pada
kedalaman 0 m (permukaan), 2 m dan 10 m dan dilakukan secara komposit.
Lokasi penelitian dan pengambilan sampel contoh air ditunjukkan pada Gambar 4.
Lokasi pengambilan contoh air dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Muara Batang Limau Sundai, terletak di Nagari Maninjau. Kawasan daerah
ini merupakan daerah permukiman, perhotelan, pasar dan kegiatan home stay.
2. Muara Batang Maransi, terletak di Nagari Bayur. Kawasan ini merupakan
daerah pertanian lahan basah, peternakan, perhotelan, permukiman dan pasar.
3. Muara Bandar Ligin, terletak di Nagari Sungai Batang. Kawasan ini
merupakan daerah pertanian, peternakan, permukiman dan pasar.
4. Muara Sungai Jembatan Ampang, terletak di Nagari II Koto. Kawasan ini
merupakan daerah lahan pertanian dan permukiman.
5. Muara Sungai Kalarian, terletak di Nagari Koto Kaciak. Kawasan ini
merupakan daerah lahan pertanian, permukiman, pasar dan peternakan.
Gambar 4
6. Muara Sungai Tembok Asam, terletak di Nagari III Koto. Kawasan ini
merupakan daerah pertanian lahan basah dan perkebunan, permukiman dan
peternakan.

Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diukur terutama


didasarkan pada parameter kualitas air kelas 1 yaitu air yang peruntukannya dapat
digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 1). Parameter fisika, kimia dan
mikrobiologi perairan danau yang diukur, metode serta peralatan yang digunakan,
mengikuti pedoman standar methods for examination of water and waste water
(APHA, 1995), seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Parameter kualitas air dan metode analisis serta alat yang digunakan
Parameter Satuan Metode Analisis Peralatan
I. Fisika
0
1. Suhu C Pemuaian Termometer
2. TSS mg/l Gravimetri Timbangan analitik
3. TDS mg/l Gravimetri Timbangan analitik
4. Kekeruhan JTU Turbidimetri Turbiditimeter
5. Warna Unit PtCo VCM Skala PtCO
6. Kecerahan cm Visual Secchi Disc
II. Kimia
1. pH - Potensiometri pH meter
2. CO2 mg/l Titrimetrik Peralatan titrasi
3. DO mg/l Titrimetri winkler DO meter
4. BOD5 mg/l Titrimetrik Peralatan titrasi
5. COD mg/l Spektrofotometrik Spektrofotometer, titrasi
6. N-NO3 mg/l Spektrofotometrik Spektrofotometer
7. N-NO2 mg/l Spektrofotometrik Spektrofotometer
8. Ammonia mg/l Spektrofotometrik Spektrofotometer
9. Ortofosfat mg/l Spektrofotometrik Spektrofotometer
10. Pestisida mg/l Spektrofotometrik Spektrofotometer
III. Mikrobiologi
1. Fecal coliform MPN/100 ml Metode MPN Tabel MPN, filter
2. Total coliform MPN/100 ml Metode MPN Tabel MPN, filter
B. Sumber dan Beban Pencemaran Perairan Danau
Pengumpulan data untuk mengidentifikasi sumber-sumber limbah yang
masuk ke perairan danau dilakukan melalui wawancara dan dari data sekunder.
Data beban limbah yang masuk ke perairan danau melalui sungai diperoleh
melalui pengukuran konsentrasi parameter beban limbah pada setiap stasiun atau
sungai yang mengalir ke danau, sedangkan pengumpulan data beban limbah dari
KJA, peternakan dan hotel diperoleh melalui wawancara dan data sekunder.
Disamping itu, data untuk menentukan kapasitas asimilasi terhadap beban limbah
di perairan danau diperoleh melalui pengukuran parameter pencemaran pada jarak
100 meter dari muara sungai ke arah danau.

C. Persepsi Masyarakat
Pengumpulan data untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang
pengendalian pencemaran (pencegahan, penanggulangan dan partisipasi pada
pencegahan dan pananggulangan) perairan danau menggunakan kuesioner
terstruktur yang disebarkan pada responden. Penentuan responden dilakukan
dengan metode multiple stage random sampling (Nazir, 1999) pada tiga jorong
(kampung) terpilih dari tujuh nagari yang ada di sekitar Danau Maninjau. Jumlah
responden yang diambil adalah 150 kk yang terdiri dari 50 kk setiap jorong
terpilih.

D. Membangun Model Pengendalian Pencemaran Perairan


Data yang diperlukan untuk membangun model pengendalian pencemaran
di perairan danau adalah merupakan beban pencemaran yang berasal dari luar
danau dan dari dalam danau (KJA). Pengumpulan data tentang sumber-sumber
pencemaran yang masuk ke perairan danau dilakukan melalui wawancara dan data
sekunder. Data beban pencemaran yang berasal dari luar danau diperoleh melalui
pengukuran debit sungai dan konsentrasi parameter beban limbah di muara sungai
pada setiap stasiun penelitian. Data beban pencemaran yang berasal dari kegiatan
di danau (KJA) diperoleh melalui penghitungan jumlah pakan yang diberikan dan
jumlah pakan yang tidak dikomsumsi oleh ikan. Pada Tabel 9 disajikan secara
rinci sumber-sumber pencemar yang masuk ke perairan danau. Adapun jenis dan
sumber data serta cara memperolehnya dalam penelitian ini terangkum dalam
Tabel 10.

Tabel 9. Sumber pencemar, parameter dan jenis data


Sumber Jenis Data
No Parameter
Pencemar Primer Sekunder
1 Permukiman 1. Jumlah rumah tangga dan Statistik Kecamatan
penduduk
2. Jumlah pemakaian air Responden KK
3. Volume limbah padat Responden KK Dinas Pertamanan dan
4. Sarana pembuangan dan Responden KK, pera- LH
pengolahan limbah ngkat nagari/
domestik (tinja, limbah kecamatan dan
padat, limbah cair) pengamatan
2 Restoran 1.Jumlah pemakaian air Pengusaha restoran PHRI dan statistik keca-
2.Volume limbah padat dan pengamatan matan
3.Sarana pembuangan dan Pengusaha restoran Dinas Pertamanan dan
pengolahan limbah yang Pengusaha restoran LH Kabupaten
digunakan (tinja, limbah
cair dan padat)
3 Hotel 1. Jumlah kamar dan ranjang Pengusaha hotel Dinas Pariwisata Seni
2. Tingkat hunian Pengusaha hotel dan Budaya Kabupaten
3. Jumlah pemakaian air Pengusaha hotel Agam
4. Volume limbah padat Pengusaha hotel
5. Sarana pembuangan dan Pengusaha hotel dan
pengolahan limbah yang pengamatan
digunakan(tinja, limbah
cair dan padat)
4 Perikanan 1.Jumlah KJA Responden petani Statistik nagari dan
2.Lokasi KJA KJA, Pengamatan dan kecamatan
3.Jumlah pakan per hari wawancara perangkat
nagari/ kecamatan

5 Pertanian 1. Jumlah pemakaian pupuk Penyuluh pertanian Statistik nagari dan


2. Jenis pupuk kecamatan
Tabel 10. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Sumber data
Digunakan untuk
No Data yang diambil
Lapang- Laborat- Penelitian Instan Wawan Kondisi Model
an orium terdahulu si cara da na u
1 Suhu √ √
2 TSS √ √
3 TDS √ √
4 Kekeruhan √ √
5 Sedimen √ √
6 Warna √ √
7 Kecerahan √ √
8 pH √ √
9 CO2 -bebas √ √
10 DO √ √
11 BOD5 √ √
12 COD √ √
13 Ammonia √ √
14 Ortofosfat √ √
15 Nitrat √ √
16 Nitrit √ √
17 Pestisida √ √
18 Fecal Coliform √ √
19 Total Coliform √ √
20 Jumlah pakan √ √
21 P yang diperbolehkan √ √
22 Rasio pakan √ √
23 P pakan √ √
24 Jumlah ikan tebar √ √
25 Lama pemeliharaan √ √
26 Jumlah KJA √ √
27 Jumlah RT KJA √ √
28 Jumlah sapi potong √ √ √
39 Jumlah limbah sapi √ √
30 Jumlah penduduk √ √
31 Persepsi masyarakat √ √
32 Kebutuhan sistem √ √
33 Identifikasi faktor √ √
penting

3.5. Analisis Data

3.5.1. Analisis Fisika, kimia dan mikrobiologi Perairan Danau


Analisis parameter fisika, kimia dan mikrobiologi perairan danau
dilakukan berdasarkan standard methods 1995 dan memperbandingkan dengan PP
Nomor 82 tahun 2001 tentang baku mutu air kelas 1 (KLH, 2004). Analisis
dilaksanakan di Laboratorium Kimia Lingkungan FMIPA Universitas Andalas
dan Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi Sumatera Barat Padang. Selanjutnya
analisis indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) berdasarkan metode National
Sanitation Foundation Water Quality Indeks (NSF-WQI) (Ott, 1978 dan Mahbud,
1990), dengan persamaan:
n
IMLP = ∑ (Wi.Ii)
i =1

Keterangan: IMLP = Indeks mutu lingkungan perairan danau, skala 0 – 100


Wi = Konstanta pembobotan ke-i, skala 0 – 1
Ii = Nilai dari kurva baku subindeks ke-i, skala 0 - 100

Tabel 11. Kriteria indeks mutu lingkungan perairan


Nilai IMLP-NSF Mutu Lingkungan
91 – 100 Sangat baik
71 – 90 Baik
51 – 70 Sedang
26 – 50 Buruk
0 – 25 Sangat buruk

3.5.2. Analisis Beban Pencemar


1. Analisis beban pencemaran yang berasal dari luar danau (darat) dilakukan
dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju
Danau Maninjau. Cara penghitungan beban pencemaran ini didasarkan
atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai
berdasarkan persamaan (Mitsch & Goesselink, 1993):
BP = Q xC
Keterangan: BP = beban pencemaran (ton/tahun)
3
Q = debit sungai (m /detik)
C = konsentrasi limbah (mg/liter)
Total beban pencemaran dari seluruh sungai yang bermuara di perairan
danau dihitung dengan persamaan:
n
TBP = ∑ BP
i =1

Keterangan : TBP = Total beban pencemaran


n = Jumlah sungai
i = Beban limbah sungai ke-i

Untuk mengkonversi beban limbah ke dalam ton/tahun dikalikan dengan


-6
10 x 3600 x 24 x 360.
2. Untuk estimasi besarnya beban pencemaran yang berasal dari aktivitas
penduduk di sekitar perairan danau dilakukan berdasarkan pendekatan
Rapid Assesment (Kositranata et al., 1989; WHO, 1993) dengan
persamaan:
BP = a x f
Keterangan: BP = beban pencemaran dinyatakan dalam ton/tahun
a = jumlah unit penghasil limbah
f = faktor konstanta beban limbah organik

Tabel 12. Faktor konstanta beban limbah organik

Aktivitas Konversi
BOD C OD TP TN
Permukiman 53 101,6 22,7 3,8
Peternakan 694,4 1620 223,1 8,6
Hotel 12 24,2 5,4 0,9
Pertanian - - 0,04 1,68

3. Untuk menghitung besarnya beban limbah yang berasal dari kegiatan KJA
dilakukan dengan metode pendugaan total bahan organik (Iwana, 1991
dalam Barg, 1992) dengan persamaan :
O = TU + TFW
Keterangan : O = total output bahan organik partikel
TU = total pakan yang tidak dikonsumsi
TFW = total limbah feses

4. Untuk menghitung kapasitas asimilasi perairan danau terhadap beban


pencemaran dilakukan dengan menggunakan metode hubungan antara
konsentrasi parameter limbah di perairan danau dengan total beban limbah
tersebut di muara sungai. Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara
membuat grafik hubungan anatara nilai konsentrasi masing-masing
parameter limbah di perairan danau dengan parameter limbah tersebut di
muara sungai. Selanjutnya dianalisis dengan memotongkan dengan garis
nilai baku mutu air kelas 1 seperti diperlihatkan pada (Gambar 5).
Konsentrasi pencemar (mg/L)
Baku mutu

Beban pencemaran (ton/tahun)

Gambar 5. Hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi pencemar.

3.5.3. Validasi Model


Validasi merupakan usaha untuk menyimpulkan model apakah model
sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji,
yang dapat menghasilkan kesimpulan yang menyakinkan (Eriyatno, 1999).
Validasi yang dilakukan adalah terhadap struktur model dan keluaran model
(output model). Validasi struktur dilakukan melalui studi pustaka, sedangkan
validasi output dilakukan dengan membandingkan dengan data empirik. Untuk
memverifikasi penyimpangan keluaran model dengan data empirik dilakukan
dengan uji KF (Kalman Filter). Tingkat kecocokan hasil simulasi model dengan
nilai aktual adalah 47,25-52,3% dengan menggunakan perasamaan:

Vs
KF =
(Vs + Va)
Keterangan: KF = Kalman filter
Vs = Varian nilai simulasi
Va = Varian nilai aktual

3.5.4. Analisis Persepsi Masyarakat


Data karateristik masyarakat di sekitar perairan danau dianalisis dengan
menggunakan distribusi frekuensi. Untuk mengetahui persepsi atau pandangan
masyarakat di sekitar perairan danau terhadap pengendalian pencemaran
dilakukan melalui analisis deskriptif menggunakan tabel.

3.5.5. Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Pencemaran Perairan Danau


Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang
dimulai dengan mengidentifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem
ini dilakukan untuk menunjukkan kinerja intelektual berdasarkan perspektif,
pedoman, model, metodologi dan sebagainya yang diformulasikan untuk
perbaikan secara terorganisir dari tingkah laku dan perbuatan manusia (Winardi,
1989; Zhu, 1998). Oleh karena itu, menurut Eriyatno (2007) pada pendekatan
kesisteman dalam penyelesaian suatu permasalahan selalu ditandai dengan: (1)
pengkajian terhadap semua faktor penting yang berpengaruh dalam rangka
mendapatkan solusi untuk pencapaian tujuan, dan (2) adanya model-model untuk
membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang
kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.

a. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan pada dasarnya merupakan tahap awal pengkajian
dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelaikan sistem yang dibangun.
Analisis kebutuhan juga merupakan kajian terhadap faktor-faktor yang berkaitan
dengan sistem yang dianalisis (Pramudya, 1989). Oleh karena itu, dalam
penelitian ini analisis kebtutuhan diarahkan pada pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan dan keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pengendalian pencemaran perairan danau. Dalam pengendalian
pencemaran perairan danau, pihak yang mempunyai kepentingan dan terkait
secara langsung adalah (1) masyarakat lokal yaitu masyarakat yang tinggal di
sekitar danau yang memanfaatkan perairan danau untuk berbagai kepentingan, (2)
dinas instansi terkait yaitu semua dinas instansi pemerintah daerah yang
mempunyai hubungan keterkaitan dengan perairan danau baik langsung mapun
tidak, (3) akademisi (peneliti) yaitu orang yang melakukan penelitian pada
perairan danau, (4) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu lembaga yang
dibentuk masyarakat setempat yang mempunyai kepedulian terhadap kelestarian
perairan danau, dan (5) badan usaha milik negara yaitu perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha di perairan danau.
Dalam analisis kebutuhan dilakukan inventarisasi kebutuhan setiap pelaku
yang terlibat dalam sistem. Inventarisasi ini dilakukan dengan wawancara secara
terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dihasilkan analisis kebutuhan pelaku
seperti disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Analisis kebutuhan stakeholder (pelaku)
No. Pelaku Kebutuhan
1 Masyarakat lokal • Kualitas dan kuantitas air tidak menurun
• Penyediaan lapangan kerja
• Pendapatan meningkat
• Hasil tangkapan masyarakat tidak menurun
• Kegiatan usaha budidaya perikanan tetap jalan
• Kebersihan dan keindahan danau terjaga
2 Dinas Instansi terkait • Elevasi air danau tidak menurun
(Perikanan, Pertanian, • Penyediaan lapangan kerja
Pertamanan dan • Peningkatan PAD
Lingkungan Hidup, • Kebersihan dan keindahan danau tetap terjaga
Kimpraswil dan • Peningkatan perekonomian masyarakat
Pariwisata) • Kualitas dan kuantitas air danau tetap baik
3 Akademisi (peneliti) • Biodeversiti danau tetap terjaga
• Kualitas dan kuantitas air danau tetap baik
4 Lembaga Sosial Masyarakat • Kelestarian danau terjamin
(LSM) • Pendapatan masyarakat meningkat
5 PLN • Ketinggian muaka air danau tetap stabil
• Kualitas air danau baik

b. Formulasi Permasalahan Sistem


Permasalahan sistem pada dasarnya adalah terdapatnya gap antara
kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada (reel). Pada kondisi nyata di lapangan,
permasalahan sistem ditunjukan oleh adanya isu yang berkembang sehubungan
dengan terjadinya pencemaran di perairan danau. Formulasi sistem di sini adalah
merupakan aktivitas merumuskan permasalahan dalam pengendalian pencemaran
di perairan danau yang berkaitan dengan adanya perbedaan antara kebutuhan
pelaku dengan kondisi yang ada.
Berdasarkan pada analisis kebutuhan para pelaku yang terlibat dalam
pemanfaatan perairan danau dan kondisi yang dijumpai di perairan danau saat ini,
maka permasalahan pengendalian pencemaran di perairan danau dapat
diformulasikan sebagai berikut:
1. Tidak diperhatikannya limbah dari aktivitas KJA yang ditunjukan dengan
tidak adanya pemahaman mengenai dampak dari limbah KJA terhadap
kualitas air.
2. Tidak tersedianya sistem pengolahan limbah penduduk, menyebabkan
buangan limbah dari permukiman akan langsung mengalir ke perairan
danau, sehingga kualitas perairan danau menjadi turun.
3. Tidak diperhatikannya pemanfaatan tata guna lahan di kawasan sempadan
danau yaitu banyaknya pengembangan permukiman, hotel, restoran, dan
home stay serta pembukaan lahan pertanian yang tercermin dari tingginya
padatan tersuspensi di perairan danau.
4. Tidak diperhatikannya persepsi masyarakat di sekitar perairan danau
dalam upaya pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan danau.
5. Tidak adanya zonasi (penataan ruang) kawasan danau yang tercermin dari
penyebaran atau letak keramba jaring apung yang tersebar hampir di
seluruh tepian atau keliling perairan danau.

c. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Eriyatno, 2003). Hal ini sering
digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (cousal loop diagram) .
Diagram tersebut merupakan pengungkapan interaksi antara komponen di dalam
sistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam kinerja sistem, seperti
disajikan pada Gambar 6. Disamping itu, hubungan antara input (masukan) dan
output (keluaran) dalam suatu sistem digambarkan dalam sebuah diagram input-
output (masukan-keluaran) seperti disajikan pada Gambar 7. Diagram lingkar
sebab-akibat merupakan gambaran dari struktur model pengendalian pencemaran
di perairan danau yang dibuat berdasarkan diagram input-output.
Indeks
kualitas air

Pariwisata
Sisa pakan
/Hotel

Beban
limbah

Populasi

Gambar 6. Diagram lingkar sebab-akibat (cousal-loop diagram) sistem


pengendalian pencemaran perairan danau.

Menurut Manetsch dan Park (1977), secara garis besarnya variabel yang
mempengaruhi kinerja sistem ada 6 variabel yakni: (1) variabel output yang
dikehendaki; ditentukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan, (2) variabel input
terkontrol, variabel yang dapat dikelola untuk menghasilkan perilaku sistem
sesuai dengan yang diharapkan, (3) variabel output yang tidak dikehendaki;
merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama dengan
output yang diharapkan, (4) variabel input tak terkontrol, (5) variabel input
lingkungan; variabel yang berasal dari luar sistem yang mempengaruhi sistem
tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem, dan (6) variabel kontrol sistem; merupakan
pengendali terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan output yang
dikehendaki. Variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja sistem disajikan pada
Gambar 7.
Input Lingkungan
UU RI No. 7 Tahun 2004
PP RI No. 82 Tahun 2001

Output Diinginkan
Input Tidak Terkontrol 1. Beban pencemaran menurun
1. Iklim 2. Persepsi masyarakat meningkat
2. Debit air 3. Kualitas perairan danau meningkat
3. Erosi 4. Adanya program pengelolaan danau

Model Pengendalian
Pencemaran Perairan di
Danau Maninjau

Input Terkontrol
1. Jumlah pakan yang diberikan Output Tidak Diinginkan
2. Jumlah Budidaya (KJA) 1. Terjadinya pendangkalan danau
3. Jumlah penduduk 2. Terjadi eutrofikasi di perairan danau
4. Jumlah hotel 3. Bertambahnya timbulan limbah domestik
5. Jumlah peternakan 4. Penurunan kesehatan masyarakat

Manajemen Pengendalian
Pencemaran Perairan di Danau
Maninjau

Gambar 7. Diagram masukan-keluaran (input-output diagram) sistem


pengendalian pencemaran perairan danau.

3.6. Model Pengendalian Pencemaran


Model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau yang
dibangun didasarkan pada kondisi faktual yang terjadi di lapangan yang
dikombinasikan dengan studi literatur. Perangkat lunak yang digunakan sebagai
alat bantu dalam pemodelan sistem ini adalah Powersim version 2,5 c. Konsep
dasar dalam membangun model pengendalian pencemaran perairan danau
bersumber dari beban pencemaran yaang berasal dari luar danau dan dari dalam
danau. Model dinamik yang dibangun melibatkan lima sub-model, yaitu: 1) sub-
model limbah penduduk yang berdomisili di sekitar perairan danau, 2) sub-model
limbah hotel (pariwisata), 3) sub-model limbah peternakan, 4) sub-model limbah
pertanian, dan 5) sub-model limbah budidaya perikanan (KJA).

3.7. Asumsi yang Digunakan


Pembangunan model yang akan dirumuskan menggunakan beberapa
batasan, guna untuk menyederhanakan dan memahami pengertian hubungan-
hubungan antar peubah dalam model yang akan membatasi keberhasilan model.
Beberapa batasan yang dijadikan sebagai asumsi dalam model ini adalah :
(a). Laju pertambahan limbah dari permukiman yang ada di sekitar perairan
danau mengikuti pola pertumbuhan penduduk yang berdomisili di lokasi
tersebut.
(b). Nilai parameter hasil pengamatan di perairan danau dan sungai
merupakan pencerminan dari dinamika yang ada di perairan tersebut.
(c). Parameter limbah yang diacu adalah ortofosfat sebagai P dengan nilai
baku mutu sebesar 0,2 mg/l.
(d). Konstruksi dan tipe KJA di daerah penelitian dianggap homogen untuk
semua unit KJA yang tersebar di seluruh perairan danau.

3.8. Analisis Pengembangan Skenario Pengendalian Pencemaran Perairan


Pengembangan skenario pengendalian pencemaran perairan danau
dilakukan dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif
merupakan suatu analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dari analisis ini akan didapatkan
informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam pengendalian pencemaran
di perairan danau sesuai dengan kebutuhan dari para pelaku yang terlibat dalam
sistem. Selanjutnya faktor kunci tersebut digunakan untuk mendeskripsikan
perubahan kemungkinan masa depan bagi pengendalian pencemaran perairan
danau. Penentuan faktor kunci ini sepenuhnya adalah merupakan pendapat dari
pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan pakar mengenai pengendalian
pencemaran perairan. Penentuan faktor kunci menggunakan kuesioner dan
wawancara. Responden pakar yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Lampiran 7. Tahapan-tahapan dalam melakukan analisis prospektif menurut
Hardjomidjojo (2002) adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan studi
2. Identifikasi faktor-faktor penting
3. Analisis pengaruh antar faktor
4. Membuat suatu keadaan (state) suatu faktor
5. Membangun skenario yang mungkin terjadi
6. Implikasi dari skenario yang diinginkan

Untuk melihat pengaruh langsung hubungan timbal balik antar faktor


dalam sistem, dilakukan penilaian dengan skor antara 0–3. Kriteria pedoman
penilaian dapat dilihat pada Tabel 14. Untuk melihat pengaruh langsung antar
faktor dalam sistem yang dikaji dilakukan dengan cara matriks, seperti disajikan
pada Tabel 15.

Tabel 14. Pedoman penilaian keterkaitan antar faktor


Skor (nilai) Keterangan
0 Tidak berpengaruh
1 Berpengaruh kecil
2 Berpengaruh sedang
3 Berpengaruh sangat kuat

Tabel 15. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam analisis prospektif
Dari A B C D E F G H I J K
Terhadap
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
Keterangan: A – K merupakan faktor penting atau kunci dalam sistem
60
60

Pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor :


1. Apakah faktor X berpengaruh terhadap Y ?
Jika tidak berpengaruh bernilai 0
2. Jika ada pengaruh, apakah pengaruhnya sangat kuat? jika ya bernilai 3, jika
pengaruhnya sedang bernilai 2 dan jika pengaruhnya kecil bernilai 1.
Jika nilai faktor yang diberikan oleh responden lebih dari 1 (misalnya
sebanyak N), maka dilakukan analisis matriks gabungan dengan cara:
a) Apabila pengaruh antar satu faktor dengan faktor lainnya mempunyai nilai
0 dengan jumlah > ½ N, maka nilai dari sel tersebut adalah 0. Jika nilai 1,2
dan 3 bersama-sama berjumlah >1/2 N, nilai sel tersebut ditentukan
berdasarkan yang paling banyak dipilih antara 1,2 dan 3.
b) Jika jumlah faktor adalah genap dan diperoleh dalam satu sel jumlah nilai
0 sama banyak dengan jumlah nilai 1,2 dan 3, maka dilakukan diskusi
lebih lanjut dengan pakar untuk menentukan nilai sel tersebut.

Selanjutnya untuk menentukan tingkat kepentingan faktor-faktor kunci


(penting) yang berpengaruh pada sistem yang dikaji digunakan software analisis
prospektif. Hasil analisis ini akan didapatkan gambaran pada kuadran I adalah
terdiri dari faktor penentu (input factor), kuadran II terdiri dari faktor penghubung
(stakes factor), kuadran III terdiri dari faktor terikat (output factor), dan kuadran
IV terdiri dari faktor autonomous (unused factor) seperti disajikan pada Gambar
8.

Faktor Penentu Faktor Penghubung


Pengaruh

INPUT STAKES

Faktor Bebas Faktor Terikat


UNUSED OUTPUT

Ketergantungan

Gambar 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem


3.9. Definisi Operasional
1. Pengendalian pencemaran adalah upaya pencegahan dan pananggulangan
pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar
sesuai dengan baku mutu air
2. Umur adalah usia responden pada saat penelitian. Data yang diperoleh
merupakan skala ordinal dengan pengkategorian ke dalam umur muda (< 19
tahun), dewasa (19-55 tahun) dan tua atau tidak produktif (> 55 tahun).
3. Pendidikan adalah tingkat pendidikan secara formal yang pernah diperoleh
responden. Indikatornya adalah status pendidikan formal yang pernah diikuti
responden. Parameter dan pengukurannya adalah tingkat pendidikan secara
formal yang pernah diikuti responden dengan kategori rendah (tidak tamat SD
atau lulus SD), sedang (lulus SLTP dan SMU) dan tinggi (lulus perguruan
tinggi, D2, D3 dan S1).
4. Pendapatan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh
dalam satu bulan, kemudian diperhitungkan berdasarkan nilai tukar uang.
Pendapatan dikategorikan dalam skala ordinal, yaitu rendah (< Rp 500.000,-),
sedang (Rp 500.000 – Rp 1.000.000,-) dan tinggi (> Rp 1.000.000,-)
5. Persepsi masyarakat adalah pandangan responden tentang kegiatan
pengendalian pencemaran perairan danau. Cara untuk mengetahuinya adalah
melalui beberapa indikator pertanyaan yang menjelaskan pandangan
responden terhadap (a) kegiatan pencegahan pencemaran danau, (b) kegiatan
penanggulangan pencemaran danau dan (c) kegiatan dalam berpartisipasi pada
pencegahan dan penanggulangan pencemaran danau. Tiap indikator
dikembangkan menjadi beberapa pertanyaan yang dinilai responden dengan
menggunakan skala berjenjang dengan ketentuan; setuju bernilai 3, ragu-ragu
bernilai 2 dan tidak setuju bernilai 1.
IV. PROFIL DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak Administrasi dan Kondisi Geografis


Danau Maninjau secara administrasi termasuk ke dalam wilayah
Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan
0 ’
jarak 105 km dari kota Padang. Secara geografis wilayah ini terletak pada 0 17 –
’’ 0 ’
07.04 LS dan 100 - 09 58.0” BT dengan ketinggian 461,5 meter di atas
permukaan laut (dpl). Dilihat dari proses terbentuknya, Danau Maninjau
merupakan danau vulkanis, yaitu berasal dari letusan gunung berapi.
Kawasan Danau Maninjau, memanjang dari arah utara ke selatan dengan
panjang 16,4 km dan lebar 7 km, dengan batas-batas sebelah utara Kecamatan
Palembayan, sebelah selatan Kecamatan V Koto Kabupaten Padang Pariaman,
sebelah barat Kecamatan IV Nagari dan sebelah timur Kecamatan Matur.
Kawasan sekitar Danau Maninjau dikelilingi oleh 7 nagari (gabungan dari
beberapa desa). Nagari-nagari tersebut adalah Nagari Maninaju, Nagari Bayur,
Nagari Koto Kaciak, Nagari Tanjung Sani, Nagari II Koto, Nagari III Koto dan
Nagari Sungai Batang.
Curah hujan di kawasan danau tahun 2003 adalah 1.466 mm dengan
jumlah hari hujan 112 hari, sedangkan curah hujan pada tahun 2004 menurun
1.413 mm dengan jumlah hari hujan 177 hari. Pada tahun 2005 curah hujan
menurun 1.363 mm dengan jumlah hari hujan 140 hari. Bulan terkering di
kawasan Danau Maninjau adalah Juni dengan curah hujan 171,3 mm dan bulan
terbasah adalah Nopember dengan curah hujan 497,8 mm.
Danau Maninjau memiliki satu saluran air keluar yaitu Batang Antokan
yang mengalir ke Samudera Indonesia di pantai barat Sumatera Barat.
Berdasarkan laporan hasil studi LIPI (2003), batimetri danau memiliki
karakteristik sebagai berikut: luas permukaan danau adalah 9.737,50 ha, panjang
3
maksimum 16,46 km, lebar maksimum 7,5 km, volume air 10.226.001.629,2 m ,
kedalaman maksimum 105 m dengan luas daerah tangkapan air (catchment area)
sebesar 13.260 ha.
63

4.2. Iklim dan Curah Hujan


Iklim berpengaruh terhadap semua proses dinamika perairan yang terjadi,
misalnya pola arus, sebaran panas, proses ekofisiologis biota air, dan kondisi
hidrometeorologi. Perubahan dan penyimpangan iklim akan mempengaruhi
proses-proses yang ada dalam daerah tangkapan air dan badan air, seperti
hidrologi, neraca air, pola arus, sebaran panas, dan proses-proses biokimia yang
ada di dalamnya.
Berdasarkan data curah hujan dari Stasiun Maninjau mulai tahun 1993-
2005 menunjukkan bahwa pola hujan bulanan dapat dikatakan relatif merata
sepanjang tahun. Bulan November yang merupakan bulan dengan curah hujan
lebih tinggi, sedangkan bulan Juni merupakan bulan dengan curah hujan terkecil.
Rata-rata curah hujan bulanan sebesar 299 mm dan curah hujan tahunan 3661
mm. Data pendukung terhadap klasifikasi iklim di daerah kawasan danau
tercantum pada Tabel 16.

Tabel 16. Data rataan unsur iklim kawasan Danau Maninjau (1995-2004)
Bulan 0 Kelembaban Kec. Curah
Suhu ( C)
nisbi Angin hujan
Mak. Min. Rata-rata (%) (km/hr) (mm)
Januari 30,58 22,57 26,575 95,20 28,0 246,8
Februari 30,24 22,48 26,360 95,26 25,5 179,8
Maret 32,35 23,24 27,795 95,95 23,1 283,4
April 31,20 22,45 26,825 95,31 22,6 294,3
Mei 31,87 23,31 27,590 96,05 17,7 267,7
Juni 32,93 23,56 28,245 96,45 21,9 171,3
Juli 31,84 22,35 27,095 96,57 19,3 289,1
Agustus 32,29 22,46 27,375 96,11 22,4 267,6
September 30,08 22,15 26,115 95,97 24,7 323,4
Oktober 30,03 22,17 26,100 93,48 30,7 335,4
Nopember 30,63 22,05 26,340 93,08 21,0 497,8
D e s e m be r 31,19 23,15 27,170 93,07 24,9 343,4
Rata-rata 31,27 22,66 26,960 95,20 23,5 299,0
Sumber: Data diolah dari pencatatan stasiun penakar hujan PLTA Maninjau, (1995-2005)

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson kawasan


danau memiliki iklim golongan A yaitu daerah yang sangat basah dengan nilai Q
sebesar 4,52%. Hal ini berdasarkan pada jumlah bulan basah yaitu 10,41/tahun.
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Mohr, daerah kawasan Danau Maninjau
termasuk golongan I, yaitu daerah basah. Sementara itu, berdasarkan klasifikasi
Koppen, kawasan Danau Maninjau beriklim hujan tropik dengan suhu bulanan
0
terdingin 18 C. Hal ini dicirikan kondisi daerah tangkapan air selalu basah,
0
hujan rata-rata tiap bulan 60 mm, dengan suhu udara berkisar antara 18–30 C
(Handoko, 1995). Tabel 17 memperlihatkan jumlah bulan basah, kering dan
lembab di kawasan Danau Maninjau.

Tabel 17. Jumlah bulan basah, kering dan lembab di kawasan Danau Maninjau
Tahun Jumlah
Bulan basah Bulan kering Bulan lembab
1995 11 0 1
1996 11 0 1
1997 7 3 2
1998 11 0 1
1999 12 0 0
2000 10 2 0
2001 11 0 1
2002 11 1 0
2003 10 2 0
2004 11 1 0
Sumber: Data diolah dari pencatatan stasiun penakar hujan PLTA Maninjau, (1995-2005)
Keterangan: Bulan basah = bulan dengan hujan > 100 mm
Bulan kering = bulan dengan hujan < 60 mm
Bulan lembab = bulan dengan hujan 60-100 mm

Kawasan Danau Maninjau memiliki curah hujan rata-rata tahunan kurang


lebih 1.563 mm yang mengalami dua puncak hujan dalam setahun yaitu bulan
April–Mei dan Oktober–Nopember. Keragaman curah hujan di kawasan danau
juga dipengaruhi oleh sistem topografi yang memungkinkan terjadinya tipe hujan
orografik. Kondisi ini menyebabkan kawasan danau memiliki sifat relatif basah,
terjadi hujan sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan pada musim yang
lebih kering (kemarau) berkisar antara 171,3–267,6 mm, sedangkan pada musim
hujan berkisar antara 283,4–497,8 mm.

4.3. Kondisi Topografi


Secara umum, kawasan Danau Maninjau dapat dibedakan atas 2 tipologi
berdasarkan karakteristik wilayahnya:
1) Wilayah di bagian utara-barat punggung dalam Danau Maninjau.
Topografi di wilayah ini relatif datar (0-2% seluas 115,51 ha), sehingga
cenderung menjadi daerah orientasi pembangunan saat ini. Kawasan
terbangun ini menunjukan adanya konsentrasi penduduk dan kegiatan,
salah satunya adalah beberapa obyek wisata serta sarana dan prasarana
pendukungnya.
2) Wilayah di bagian timur-selatan punggung dalam Danau Maninjau.
Topografinya cenderung berbukit dan bergunung dengan kemiringan tanah
15% dengan luas 95,79 ha.

4.4. Hidrologi
Kondisi hidrologi kawasan danau secara umum dipengaruhi oleh dua
faktor utama, yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan di kawasan danau
sebagian besar mengalir melalui pola penyaluran yang telah terbentuk. Sumber air
Danau Maninjau terutama berasal dari sungai-sungai yang mengalir sepanjang
DAS yang bermuara ke danau dan air hujan.
Di kawasan danau terdapat 88 buah sungai besar dan kecil dengan lebar
maksimum 8 meter yang mengalir ke danau. Kebanyakan dari sungai tersebut
(61,4%) kering pada waktu musim kemarau, sedangkan sungai-sungai yang berair
sepanjang tahun hanya 34 buah sungai. Sungai-sungai tersebut mengalir dengan
debit yang relatif kecil. Tabel 18 menyajikan data debit beberapa sungai besar
yang mengalir ke perairan Danau Maninjau.

Tabel 18. Lebar dan debit beberapa sungai yang bermuara ke Danau Maninjau
3
No Nama sungai Lebar (m) Debit ( m /detik)
1 Batang Limau Sundai 7 0,075
2 Batang Maransi 6 0,074
3 Bandar Ligin 6 0,090
4 Jembatan Ampang 8 0,160
5 Batang Kalarian 7 0,160
6 Tembok Asam 8 0,090
Sumber: PSDA Sumatera Barat , (2005)

Sungai-sungai yang bermuara ke Danau Maninjau memiliki perbedaan


tipe. Sungai-sungai di sebelah utara Danau Maninjau memiliki pola linear (lurus
atau tidak bercabang), sedangkan sungai di sebelah barat danau pada umumnya
berpola dendritik (bercabang). Dengan demikian maka inflow air Danau Maninjau
sebagian besar bersumber dari aliran sungai dan dari dasar danau (Bapedalda
Sumbar, 2001).
4.5. Geologi Kawasan Danau Maninjau
Danau Maninjau merupakan danau kaldera yang berbentuk elips dengan
batas di sebelah timur dengan adanya volkano-tektonik yang terbentuk dari batuan
dasar kompleks yaitu granodiorit, diabas, phyllitic, sekis dan gamping. Bentuk
kaldera yang memanjang menunjukkan masa erupsi yang lama pada waktu terjadi
pergeseran lateral kanan pada jalur patahan utama Sumatera.
Jenis tanah yang terdapat di kawasan Danau Maninjau didominasi oleh
jenis tanah andosol-distrik seluas 17.319 ha (32,69%) dan yang paling sedikit
adalah jenis tanah kambisol eutrik seluas 585 ha (1,10 %). Jenis-jenis tanah yang
ada di kawasan danau secara keseluruhan meliputi 6 jenis tanah, yaitu (1) tanah
andosol distrik seluas 17.319 ha (32,69%), (2) glisol distrik seluas 13.323 ha
(25,15%), (3) kambisol distrik seluas 6.808 ha (12,85%), (4) organosol saprik
seluas 3.687 ha (6,69 %), (5) regosol seluas 1.044 ha (1,97%) dan (6) kombisol
eutrik seluas 558 ha (1,10 %).
Kawasan Danau Maninjau mempunyai bentuk lahan dari datar sampai
dengan perbukitan atau bergunung. Topografi kawasan danau terdiri dari berbagai
kelas kelerengan, yaitu lahan datar dengan kelas kelerangan (0 – 8%), landai (8–
15%), agak curam (15–25%), curam (25–40% ) dan sangat curam > 40%.

4.6. Tataguna Lahan di sekitar Perairan Danau Maninjau


Bentuk penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau terbagi dalam
bentuk tegalan, sawah, hutan dan pekarangan atau permukiman. Penggunaan
lahan yang ada akan berpengaruh terhadap penutupan tanah dan akan berpengaruh
terhadap erosi dan sedimentasi di sub-sub DAS yang bermuara di Danau
Maninjau. Besarnya erosi yang terbawa oleh limpasan yang terjadi di wilayah
kawasan danau per tahun rata-rata 16 ton per ha, dengan total sedimen yang
masuk ke danau setiap tahunnya sebanyak 2.410 ton (PSDA Sumbar, 2005).
Erosi yang terjadi di kawasan Danau Maninjau dapat menyebabkan
merosotnya produktivitas lahan, rusaknya lingkungan, dan terganggunya
keseimbangan estetika danau serta pencemaran perairan danau. Erosi akan
berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah akibat dari pengikisan tanah
atau hilangnya tanah lapisan atas, memburuknya sifat fisik dan kimia,
berkurangnya aktivitas biologi tanah dan tertutupnya tanah lapisan atas.
Penggunaan lahan yang ada akan berpengaruh terhadap penutupan tanah di
sekitar danau. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat erosi dan sedimentasi
yang masuk ke perairan danau. Tingginya pemanfaatan kawasan hutan, terutama
sebelah timur danau (Nagari Sigiran) untuk pertanian menyebabkan semakin
berkurangnya kerapatan tajuk. Hal ini nampak dari banyak tanaman semusim di
lereng-lereng sekitar perairan danau. Tabel 19 memperlihatkan penggunaan lahan
di kawasan Danau Maninjau dan peta penggunaan lahanya dapat dilihat pada
Gambar 9.

Tabel 19. Luas penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau

No Nagari Penggunaan Lahan (ha)


Sawah Tegalan Permukiman Hutan Lain-lain
1 Maninjau 205 426 110 560 9
2 Bayur 526 435 138 692 8
3 III Koto 421 258 135 152 15
4 Koto Kaciak 460 236 108 369 14
5 II Koto 390 199 144 2.037 12
6 Tanjung Sani 126 1.773 154 2.421 27
7 Sungai Batang 390 279 180 1.223 11
Jumlah 2.518 3.606 869 6.951 96
Persentase (%) 16,70 23,92 5,76 46,11 0,64
Sumber: Tanjung Raya dalam Angka, (2005) dan RLKT-Sub DAS Antokan, (2005)

4.7. Kependudukan di Kawasan Danau Maninjau


Penduduk di daerah penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di
daerah sekeliling danau yang daerahnya berbatasan langsung dengan Danau
Maninjau. Daerah tersebut adalah Nagari Maninjau, Bayur, Tanjung Sani, Sungai
Batang, Nagari II Koto, Koto Kaciak, dan Nagari III Koto. Jumlah penduduk di
kawasan Danau Maninjau relatif merata di 7 nagari. Jumlah penduduk terbesar
berada di Nagari Tanjung Sani (5.799 jiwa), diikuti oleh Nagari II Koto (4.781
jiwa) serta Nagari III Koto (4.667 jiwa), Nagari Bayur (4.255 jiwa), Nagari
Sungai Batang (4.019 jiwa), Nagari Koto Kaciak (3.670 jiwa), sedangkan Nagari
yang berpenduduk paling sedikit adalah Nagari Maninjau (3.341 jiwa). Gambaran
kondisi jumlah penduduk di kawasan Danau Maninjau disajikan pada Tabel 20.
Gambar 9. Peta penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau.

Tabel 20. Rasio jenis kelamin penduduk di kawasan Danau Maninjau


Jenis Kelamin Rasio jenis
No Nagari Jumlah
Laki-laki Wanita kelamin
1 Maninjau 1.633 1.708 3.341 0,96
2 Bayur 2.011 2.244 4.255 0,90
3 III Koto 2.294 2.373 4.667 0,97
4 Koto Kaciak 1.718 1.952 3.670 0,89
5 II Koto 2.249 2.532 4.781 0,89
6 Tanjung Sani 2.864 2.935 5.799 0,98
7 Sungai Batang 1.863 2.156 4.019 0,86
Jumlah 14.866 15.666 30.532 0,95
Sumber: Kecamatan Tanjung Raya dalam Angka, (2005)

Dari Tabel 20 terlihat bahwa di kawasan Danau Maninjau jumlah


penduduk laki-laki adalah 14.866 jiwa (48,69 %) dan jumlah penduduk
perempuan adalah 15.666 jiwa (51,31 %). Dengan demikian terdapat angka
perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan
(sex ratio) adalah 0,95.
Selain perbandingan tersebut di atas, unsur kependudukan yang paling
penting untuk diperhatikan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk
yang mendiami suatu daerah. Dilihat dari kepadatan penduduk, menunjukkan
bahwa kepadatan penduduk di kawasan Danau Maninjau tidak merata di 7 nagari,
2
sebagian besar nagari berkepadatan di atas 200 jiwa per km . Nagari yang
2
memiliki kepadatan di bawah 200 jiwa per km hanyalah Nagari II Koto dan
Tanjung Sani. Wilayah yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Nagari III Koto
2
(403 jiwa per km ), sedangkan daerah yang kepadatannya terendah adalah Nagari
2
Tanjung Sani (125 jiwa per km ). Pada tahun 2005 jumlah penduduk di
2
Kecamatan Tanjung Raya sebanyak 30.532 jiwa dengan luas wilayah 150,76 km ,
berarti kepadatan penduduk di kawasan Danau Maninjau pada tahun 2005 rata-
2
rata sebesar 203 jiwa per km . Jumlah dan kepadatan penduduk di daerah kawasan
Danau Maninjau disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Kondisi luas lahan dan kepadatan penduduk kawasan Danau Maninjau
Luas Jumlah penduduk Kepadatan
No Nagari 2 2
(km ) (jiwa) penduduk per km
1 Maninjau 15,83 3.341 211
2 Bayur 18,99 4.255 224
3 III Koto 11,56 4.667 403
4 Koto Kaciak 12,10 3.670 303
5 II Koto 28,55 4.781 167
6 Tanjung Sani 46,35 5.799 125
7 Sungai Batang 17,38 4.019 231
Jumlah 150,76 30.532 203
Sumber: Tanjung Raya dalam Angka, (2005)

Angkatan kerja yang terdapat di kawasan Danau Maninjau digambarkan


sebagai bagian dari penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, yang jumlahnya
mencapai 20.337 jiwa (66,61% dari jumlah penduduk). Jumlah penduduk
angkatan kerja mencapai 19.424 jiwa (63,62%), sedangkan jumlah penduduk
angkatan kerja yang mencari pekerjaan mencapai 9.129 jiwa (2,99%).
Pada penelitian ini pertumbuhan penduduk dihitung dari tingkat kelahiran
dan kematian serta mobilitas (datang dan pindah), sehingga dari sini didapatkan
gambaran laju pertambahan penduduk yang terjadi di kawasan Danau Maninjau.
Pertumbuhan penduduk di kawasan Danau Maninjau disajikan pada Tabel 22.
70

Tabel 22. Pertumbuhan penduduk di kawasan Danau Maninjau


Jumlah Penambahan (orang) Pengurangan (orang) Pertumbuhan
Nagari Penduduk
Lahir Datang Jumlah Meninggal Pergi Jumlah Jiwa %
Maninjau 3341 69 5 74 16 8 24 50 1,49
Bayur 4255 74 8 82 19 11 30 52 1,22
III Koto 4667 80 9 89 27 9 36 53 1,07
Koto
Kaciak 3670 67 7 74 27 10 37 37 1,01
II Koto 4781 80 11 91 26 9 35 56 1,17
Tanjung
Sani 5799 93 8 101 26 16 42 59 1,02
Sungai
Batang 4019 72 8 80 28 9 37 43 1,07
Jumlah 30.532 535 56 591 169 72 241 350 1,15
Sumber: Diolah dari data BPS Kabupaten Agam (2005) dan Puskesmas Kecamatan Tanjung Raya,
(2006)

4.8. Lapangan Kerja di sekitar Perairan Danau Maninjau


Daerah kawasan Danau Maninjau merupakan daerah pedesaan, sehingga
lapangan kerja dari angkatan kerja didominasi olah sektor pertanian. Data
penduduk yang bekerja pada berbagai bidang berjumlah 19.217 orang (62,94%).
Jumlah terbesar pekerjaan penduduk adalah pada bidang pertanian 13.978 orang
(72,47%). Selanjutnya berturut-turut diikuti oleh perikanan 1.275 orang (6,63%),
perdagangan 1.013 orang (5,27%), jasa (tukang) 886 orang (4,61%), PNS dan
pensiunan 848 orang (4,41%), wiraswasta 577 orang (3,0%), dan lainnya 813
orang (4,23%).
Sebagian penduduk yang bertempat tinggal di sempadan danau juga
memelihara ternak sebagai pekerjaan sampingan. Tidak diperoleh data yang tepat
mengenai rumah tangga yang memiliki ternak. Namun dari hasil survey di
lapangan memperlihatkan bahwa jumlah populasi ternak di sekitar kawasan danau
adalah sebagai berikut: sapi potong 955 ekor, kerbau 356 ekor, kambing 99 ekor,
ayam (buras, petelur dan kampung) 6.181 ekor serta itik 1.177 ekor.

4.9. Pendidikan Masyarakat di Kawasan Danau Maninjau


Prasarana pendidikan di lokasi penelitian masih terbatas sampai pada
jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sarana pendidikan terdiri atas 24
unit TK, 40 unit SD dan MI, 5 unit SLTP dan MTsN, 3 unit SMU dan SMK.
Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar perairan danau memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap pencemaran perairan danau. Tingkat pendidikan yang
pernah diikuti oleh penduduk di sekitar Danau Maninjau dapat dilihat pada Tabel
23.

Tabel 23. Tingkat pendidikan penduduk di sekitar Danau Maninjau


Pendidikan (orang)
Nagari Belum Tidak tamat
SD SLTP SLTA D3 S1
sekolah SD
Maninjau 271 462 691 1049 850 11 5
Bayur 345 588 881 1337 1083 14 6
II Koto 378 644 966 1466 1187 13 7
Koto Kaciak 298 507 760 1153 934 12 5
III Koto 387 660 990 1502 1217 15 7
Tanjung Sani 470 801 1200 1822 1477 18 8
Sungai Batang 325 555 832 1262 1023 12 6
Jumlah 2.474 4.217 6.320 9.591 7.771 95 44
Persentase (%) 8,11 13,82 20,71 31,43 25,47 0,31 0,14
Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Agam, (2005) dan Kec. Tanjung Raya dalam Angka (2005)

4.10. Kesehatan Masyarakat


Kondisi kesehatan masyarakat di wilayah studi dapat dilihat dari jenis
penyakit yang sering diderita masyarakat. Jenis penyakit yang umum berkembang
di kalangan masyarakat meliputi radang saluran pernapasan, disentri dan penyakit
kulit. Diantara penyakit tersebut, penyakit disentri dan penyakit kulit merupakan
penyakit yang sering diderita masyarakat. Hal ini berhubungan dengan kondisi
wilayah studi yang berada di pinggiran danau, dalam hal ini perairan danau diduga
menjadi media (sumber) penularan berbagai bakteri. Hal ini masih ditambah
dengan kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan
dan masih minimnya jumlah sarana kesehatan yang ada di kawasan Danau
Maninjau, yakni hanya ada 2 unit pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan 11
unit puskesmas pembantu.

4.11. Isu Pencemaran di Perairan Danau Maninjau


Danau Maninjau sejak tahun 1985 telah berfungsi sebagai pembangkit
listrik tenaga air (PLTA). Semenjak tahun 1992 Danau Maninjau telah
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas perikanan keramba jaring apung
(KJA). Pada mulanya jumlah keramba jaring apung yang diusahakan sebanyak 12
unit. Empat tahun kemudian (1996) terjadi peningkatan jumlah keramba hingga
157 kali lipat atau sebanyak 1886 unit. Tahun berikutnya jumlah keramba
mengalami peningkatan lagi yakni mencapai 3.500 unit keramba. Pada tahun 1997
terjadi musibah kematian masal ikan akibat penurunan kualitas air, sehingga
jumlahnya KJA mengalami penurunan menjadi 2.856 unit. Semenjak tahun 2000
jumlah KJA di perairan Danau Maninjau terus mengalami peningkatan, yakni dari
3.856 unit menjadi 8.251 unit pada tahun 2005 dengan jumlah petani ikan
sebanyak 677 kepala keluarga. Pada bulan Maret 2006 jumlah keramba di
perairan Danau Maninjau sudah mencapai 8.955 unit dengan jumlah petani ikan
sebanyak 1.264 kepala keluarga.
Kegiatan budidaya perikanan dalam KJA ini berkembang hampir pada
seluruh kawasan perairan danau. Pada umumnya keramba yang diusahakan
menggunakan model rakit dari kayu (bambu) dengan ukuran 7x7x4 meter . Ikan-
ikan dalam KJA ini diberi makan dengan pakan buatan (pellet). Peningkatan
jumlah KJA di perairan danau juga telah meningkatkan limbah KJA, yang pada
akhirnya memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan. Terjadinya
eutrofikasi yang lebih cepat dengan frekuensi yang sering, sehingga menyebabkan
mutu perairan menjadi menurun. Hal ini merupakan salah satu contoh dampak
dari peningkatan jumlah limbah KJA. Demikian juga halnya dengan limbah sisa
pakan dan kotoran ikan yang menumpuk di dasar perairan danau, untuk
selanjutnya mengalami dekomposisi atau penguraian.
Peningkatan buangan bahan organik ke dasar perairan danau akan
merangsang aktivitas bakteri, jamur dan makro-invertebrata, sehingga
meningkatkan konsumsi oksigen di sedimen. Akibat jumlah sisa pakan cukup
banyak, menyebabkan terjadinya kondisi anaerob di daerah perairan. Oleh karena
itu maka kejadian kematian ikan masal pernah terjadi, disebabkan karena adanya
pengadukan (pembalikan) massa air yang disebut dengan turnover (umbalan) pada
saat penggantian musim kemarau ke musim hujan atau pada saat terjadinya angin
kencang yang telah menelan kerugian yang sangat besar.
Kegiatan budidaya KJA secara langsung akan berpengaruh buruk terhadap
kualitas perairan danau. Hal ini disebabkan dari budidaya KJA terjadi
penambahan yang terus menerus dan penumpukan bahan organik yang berasal
dari sisa pakan dan sisa metabolisme, sehingga akan meningkatkan unsur hara di
perairan danau. Unsur hara yang berlebihan dapat menyebabkan eutrofikasi, yang
salah satu indikatornya adalah meningkatnya kekeruhan air (Henderson et al.,
1987). Kekeruhan ini dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi fosfat, terutama
yang berasal dari sisa pakan ikan. Hasil penelitian Syandri (2001) melaporkan
bahwa limbah yang masuk ke perairan danau dari aktivitas 2.410 unit KJA setiap
bulannya adalah 77,49 ton protein limbah, 12,3984 ton nitrogen limbah dan 26,95
ton urea.
Tingginya konsentrasi fosfat, selain dari sisa pakan diduga juga berasal
dari limbah manusia dan limbah domestik lainnya yaitu berupa tinja dan deterjen.
Setiap tahunnya beban limbah fosfor (P) dari deterjen yang masuk ke perairan
danau berjumlah 9,02 ton (LPP-UMJ, 2006). Hal ini akan menstimulir
peningkatan kandungan fosfat dan kekeruhan di perairan danau.
Sedimentasi sebagai akibat erosi dari pemanfaatan lahan di daerah
cathment area dan daerah sempadan danau akan menyebabkan terjadinya
pendangkalan danau, sehingga mempengaruhi elevasi air danau. Erosi juga
menyebabkan meningkatnya kekeruhan di badan air, sehingga mengurangi
penetrasi cahaya yang masuk ke badan air tersebut. Hal ini mengakibatkan
terjadinya penurunan produksi primer perairan danau.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Eksisting Perairan Danau

5.1.1. Parameter Fisika, Kimia dan Mikrobiologi Perairan Danau


Pengetahuan mengenai kondisi kualitas perairan danau yang dicerminkan
oleh nilai konsentrasi beberapa parameter kualitas air, baik secara fisika, kimia
maupun secara biologi sangat diperlukan dalam merancang pengelolaan dan
pengendalian pencemaran perairan tersebut. Penilaian ini pada dasarnya dilakukan
dengan membandingkan nilai parameter kualitas air dari hasil pengukuran di
lapangan dengan baku mutu perairan sesuai peruntukannya yang berlaku di
Indonesia yakni mengacu pada PP RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Salah satu pemanfaatan perairan
Danau Maninjau adalah digunakan sebagai sumber air baku air minum, maka
berdasarkan peraturan tersebut dalam penelitian ini sebagai pembanding
digunakan baku mutu air kelas 1, yaitu air yang peruntukannya digunakan sebagai
air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut. Hasil analisis parameter fisika, kimia dan
mikrobiologi perairan danau secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Suhu Perairan
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses
metabolisme organisme di perairan. Perubahan suhu yang mendadak atau kejadian
suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan dapat
menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan
musim, letak lintang suatu wilayah, ketinggian dari permukaan laut, letak tempat
terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran dan kedalaman air.
Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota perairan,
terutama dalam proses metabolisme. Kenaikan suhu menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak juga mengakibatkan turunnya
kelarutan oksigen dalam air. Oleh karena itu, maka pada kondisi tersebut
organisme akuatik seringkali tidak mampu memenuhi kadar oksigen terlarut untuk
75

keperluan proses metabolisme dan respirasi (Effendi, 2003). Adapun sebaran suhu
di perairan Danau Maninjau selama penelitian disajikan pada Gambar 10.

Su h u (0 C )

Gambar 10. Sebaran nilai rata-rata suhu di perairan Danau Maninjau.

Hasil pengukuran suhu pada lokasi penelitian secara keseluruhan tidak


memperlihatkan variasi yang besar, bahkan relatif stabil yaitu berkisar antara
0 0
28,15–28,47 C, dengan nilai rata-rata 28,25 C. Melihat keadaan suhu di daerah
penelitian, dapat disimpulkan bahwa kondisi suhu di perairan Danau Maninjau
masih memenuhi baku mutu air kelas 1. Dengan demikian, perairan Danau
Maninjau dapat digunakan sebagai sumber air baku air minum.

Total Padatan Tersuspensi (TSS), Kecerahan dan Kekeruhan


Padatan tersuspensi terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang
dan komponen tersuspensi koloid. Padatan tersuspensi mengandung bahan
anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik antara lain berupa liat dan butiran
pasir, sedangkan bahan organik berupa sisa-sisa tumbuhan dan padatan biologi
lainnya seperti sel alga, bakteri dan sebagainya (Peavy et al., 1986).
TSS, kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter-parameter yang
saling terkait satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi
sebanding dengan peningkatan konsentrasi kekeruhan dan berbanding terbalik
dengan kecerahan. Ketiga parameter tersebut mempunyai peranan yang sangat
penting dalam produktivitas perairan. Hal ini berkaitan erat dengan proses
fotosintesis dan respirasi organisme perairan. Keberadaan total padatan
tersuspensi di perairan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang masuk ke
dalam badan air.
Hasil pengukuran total padatan tersuspensi di perairan Danau Maninjau
berkisar antara 46,47–56,7 mg/l dengan rata-rata 51,59 mg/l (Gambar 11).
Tingginya kadar padatan tersuspensi di perairan Danau Maninjau disebabkan oleh
tinggingya pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian maupun permukiman.
Menurut Sastrawijaya (1991), nilai TSS antara 50–100 mg/l merupakan perairan
dalam kondisi mesotrof atau perairan danau dengan tingkat kesuburan sedang.
T SS ( m g /L )

Gambar 11. Sebaran nilai rat-rata TSS di perairan Danau Maninjau.

Nilai TSS apabila diperbandingkan dengan baku mutu air kelas 1 yang
mempersyaratkan konsentrasi total padatan tersuspensi maksimum 50 mg/l, maka
perairan Danau Maninjau sudah melampaui baku mutu yang diperbolehkan,
kecuali stasiun Muara Batang Maransi. Dengan demikian, perairan danau secara
umum tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai sumber baku air minum,
namun masih layak dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan.
Nilai kecerahan suatu perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya
matahari ke dalam badan air. Cahaya matahari akan membantu proses terjadinya
fotosintesis yang akan menghasilkan oksigen terlarut yang merupakan faktor
penting dalam kehidupan akuatik. Nilai kecerahan di perairan Danau Maninjau
berkisar antara 76–83 cm dengan nilai rata-rata 78,6 cm (Gambar 12).
Nilai kecerahan antar stasiun penelitian mempunyai variasi yang relatif
kecil dan hampir menyebar merata pada setiap stasiun. Adanya perbedaan nilai
kecerahan ini diduga karena pengaruh dari kuantitas maupun kualitas air dari
daerah aliran sungai yang membawa partikel-partikel bahan organik ke perairan
danau.
K ecerah an (cm )

Gambar 12. Sebaran nilai rata-rata kecerahan di perairan Danau Maninjau.

Kekeruhan digunakan untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air


yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari yang masuk ke badan perairan, sehingga dapat
menghalangi proses fotosintesis dan produksi primer perairan. Kekeruhan
biasanya terdiri dari partikel anorganik yang berasal dari erosi dari DAS dan
resuspensi sedimen di dasar danau (Wetzel, 2001). Kekeruhan memiliki korelasi
positif dengan padatan tersuspensi, yaitu semakin tinggi nilai kekeruhan maka
semakin tinggi pula nilai padatan tersuspensi. Dari hasil analisis kualitas air
menunjukkan bahwa nilai kekeruhan di perairan Danau Maninjau berkisar antara
21,94–23,97 JTU dengan nilai rata-rata 23,26 JTU (Gambar 13). WHO (1992),
mensyaratkan nilai kekeruhan untuk air minum maksimal 5 JTU, dengan
demikian perairan Danau Maninjau tidak layak digunakan sebagai sumber air
baku air minum.
K e k e ruha n (J TU )

Gambar 13. Sebaran nilai rata-rata kekeruhan di perairan Danau Maninjau.


Total Dissolved Solid (TDS)
Hasil pengukuran total padatan terlarut (TDS) di perairan Danau Maninjau
berkisar antara 113,97–117,73 mg/l, dengan nilai rata-rata 115,83 mg/l (Gambar
14). Baku mutu kualitas air kelas 1 berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 untuk total
padatan terlarut maksimum 1000 mg/l. Nilai total padatan terlarut perairan danau
masih di bawah ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan. Dengan demikian,
perairan Danau Maninjau masih layak digunakan sebagai sumber air baku air
minum.
T D S ( m g /L )

Gambar 14. Sebaran nilai rata-rata TDS di perairan Danau Maninjau.

Nilai total padatan terlarut yang didapatkan pada penelitian ini lebih tinggi
dari nilai total padatan tersuspensi. Hal ini menggambarkan bahwa padatan yang
masuk ke perairan Danau Maninjau lebih banyak yang berbentuk padatan yang
ukurannya kecil (padatan terlarut), atau padatan yang terdapat di perairan Danau
Maninjau lebih didominasi oleh padatan yang berasal dari limbah-limbah organik.

Warna Perairan
Hasil pengukuran nilai warna perairan di Danau Maninjau berkisar antara
12,99–14,73 unit PtCo, dengan nilai rata-rata 13,88 unit PtCo (Gambar 15). Nilai
ini menggambarkan bahwa perairan Danau Maninjau sudah melebihi nilai
perairan alami yang digunakan sebagai sumber air baku air minum, yaitu 10 unit
PtCo. Berdasarkan WHO (1992), yang mensyaratkan nilai warna untuk air minum
maksimal 15 unit PtCo, maka perairan Danau Maninjau masih layak digunakan
sebagai sumber air baku air minum. Nilai warna perairan ini diduga ada kaitannya
dengan masuknya limbah organik dan anorganik yang berasal dari kegiatan KJA
dan permukiman penduduk di sekitar perairan danau. Kondisi ini juga dapat
meningkatkan blooming pertumbuhan fitoplankton dari filum Cyanophyta
(Effendi, 2003).

W a rn a ( U n it P t C o )

Gambar 15. Sebaran nilai rata-rata warna air di perairan Danau Maninjau.

Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman atau pH merupakan nilai yang menunjukkan aktivitas
ion hidrogen dalam air. Nilai pH suatu perairan dapat mencerminkan
keseimbangan antar asam dan basa dalam perairan tersebut. Nilai pH berkisar
antara 1-14, pH 7 adalah batasan tengah antara asam dan basa (netral). Semakin
tinggi pH suatu perairan maka makin besar sifat basanya, demikian juga
sebaliknya, semakin rendah nilai pH maka semakin asam suatu perairan.
Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas
biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktiviatas biologi dihasilkan
gas CO2 yang merupakan hasil respirasi. Gas ini akan membentuk ion buffer atau
penyangga untuk menjaga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod, 1978).
Hasil pengukuran pH di perairan Danau Maninjau memperlihatkan bahwa
nilai pH perairan danau lebih rendah dari perairan sungai, yaitu berkisar antara
7,32–7,46, dengan nilai rata-rata 7,38. Hal ini diduga akibat adanya pengaruh
buangan limbah penduduk yang masuk ke perairan danau. Limbah atau sampah
tersebut mengandung berbagai macam senyawa kimia yang bersifat basa seperti
buangan deterjen, yang dapat meningkatkan nilai pH di perairan. Namun
demikian, secara keseluruhan pH perairan danau masih berada pada kisaran yang
aman sebagai sumber air baku air minum berdasarkan ambang batas baku mutu
kualitas air kelas 1 yang mensyaratkan nilai pH antara 6–9. Dengan demikian, pH
perairan Danau Maninjau dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya dan
dapat dipergunakan sebagai sumber air baku air minum.

pH

Gambar 16. Sebaran nilai rata-rata pH di perairan Danau Maninjau.

Karbondioksida (CO2) Bebas


Karbondioksida akan selalu bereaksi dengan air hingga menghasilkan
asam karbonat (H2CO3). Sumber utama CO2 dalam perairan dapat berasal dari
atmosfir dan hasil respirasi organisme perairan. Udara yang selalu bersentuhan
dengan air akan mengakibatkan terjadinya proses difusi CO2 ke dalam air.
Kadar karbondioksida bebas di perairan Danau Maninjau berkisar antara
7,2–8,76 mg/l, dengan kadar rata-rata 7,96 mg/l (Gambar 17). Karbondioksida
yang terdapat di dalam air merupakan hasil proses difusi CO2 dari udara dan hasil
proses respirasi organisme akuatik. Selain itu, CO2 di perairan juga dihasilkan dari
penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri (Saeni, 1989).
Kadar karbondioksida bebas di perairan berkaitan erat dengan bahan
organik dan kadar oksigen terlarut (Sastrawijaya, 1991). Peningkatan kadar CO2
diikuti oleh penurunan kadar oksigen terlarut. Karbondioksida akan
mempengaruhi proses pernafasan organisme perairan terutama pada kondisi DO <
2 mg/l. Pada kondisi demikian, maka akan terjadi keracunan CO2, sehingga daya
serap oksigen oleh hemoglobin akan terganggu yang disebut dengan
methemoglobinemia. Keadaan ini dapat mengakibatkan organisme mati lemas
karena sesak nafas.
C O 2 b eb as (m g /L )

Gambar 17. Sebaran nilai rata-rata CO2 bebas di perairan Danau Maninjau.

Oksigen Terlarut (DO)


Oksigen merupakan salah satu gas terlarut di perairan alami dengan kadar
bervariasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan
atmosfir. Selain diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan,
oksigen juga diperlukan dalam proses dekomposisi senyawa-senyawa organik
menjadi senyawa anorganik. Sumber oksigen terlarut terutama berasal dari difusi
oksigen yang terdapat di atmosfer. Difusi oksigen ke dalam air terjadi secara
langsung pada kondisi stagnant (diam) atau karena agitasi (pergolakan massa air)
akibat adanya gelombang atau angin.
Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut di perairan danau berkisar
antara 5,1–6,7 mg/l, dengan nilai rata-rata 5,96 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa
di perairan danau konsumsi oksigennya lebih tinggi sebagai akibat dari terjadinya
peningkatan jumlah limbah organik yang berasal dari kegiatan di badan perairan
danau, terutama kegiatan budidaya ikan pada KJA. Gambar 18 memperlihatkan
bahwa kandungan oksigen terlarut di perairan danau lebih rendah dari kandungan
oksigen terlarut di perairan sungai.
Kandungan oksigen terlarut di perairan danau sudah melebihi baku mutu
air kelas 1 sebagai sumber air baku air minum yang mensyaratkan kandungan
oksigen terlarut > 6 mg/l. Kandungan oksigen terlarut ini memberikan gambaran
bahwa secara umum perairan danau sudah tercemar oleh bahan organik yang
mudah terurai. Hal ini menunjukkkan bahwa perairan danau tidak lagi layak
digunakan sebagai sumber air baku air minum, namun untuk kegiatan budidaya
perikanan perairan Danau Maninjau masih layak untuk dimanfaatkan.

D O (m g /L )

Gambar 18. Sebaran nilai rata-rata DO di perairan Danau Maninjau.

Penyebab kandungan oksigen terlarut di stasiun muara Sungai Limau


Sundai dan Bandar Ligin di atas ambang batas baku mutu diduga karena padatnya
pemanfaatan lahan pada ekosistem perairan danau terutama untuk KJA, sehingga
dekomposisi bahan organik menjadi bahan anorganik oleh mikroorganisme
pengurai juga semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Beveridge
(1987) yang menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen pada budidaya KJA dua
kali lebih tinggi dari pada laju konsumsi oksigen di perairan yang tidak ada KJA-
nya. Selain itu, menurunnya kandungan oksigen terlarut ini juga disebabkan oleh
banyaknya limbah organik yang berasal dari limbah domestik dari daerah
sempadan danau.

Biochemical Oxygen Demand (BOD5)


BOD5 merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menggambarkan
keberadaan bahan organik di perairan. Hal ini disebabkan BOD5 dapat
menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis, yaitu
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecahkan
atau mengoksidasi bahan-bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Nilai
BOD5 yang tinggi menunjukkan semakin besarnya bahan organik yang
terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Adapun sebaran nilai
rata-rata BOD5 di perairan Danau Maninjau diperlihatkan pada Gambar 19.
Gambar 19 mempresentasikan bahwa nilai BOD5 di perairan danau
berkisar antara 2,89–6,42 mg/l, dengan rata-rata 4,52 mg/l. Berdasarkan baku
mutu air kelas 1, nilai BOD5 yang dipersyaratkan < 2 mg/l. Dengan demikian,
disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau sudah tercemar oleh bahan organik
mudah urai (BOD5) dan tidak layak dipergunakan sebagai sumber air baku air
minum, namun masih dapat dipergunakan untuk kegiatan budidaya KJA.
Tingginya kadar BOD5 tersebut terutama disebabkan oleh padatnya pemanfaatan
areal di sekitar sungai untuk permukiman penduduk. Hal ini akan mengintroduksi
limbah domestik masuk ke perairan danau.
BOD (mg/L)
5

Gambar 19. Sebaran nilai rata-rata BOD5 di perairan Danau Maninjau.

Pada perairan yang relatif tenang (stagnant) seperti Danau Maninjau,


limbah organik yang masuk dimungkinkan akan mengendap dan terakumulasi
pada subtrat dasar perairan, sehingga proses dekomposisi meningkat dan
menyebabkan kandungan oksigen terlarut menurun. Hal ini sesuai dengan
pendapat Anggoro (1996) yang menyatakan bahwa menumpuknya bahan
pencemar organik di perairan akan menyebabkan proses dekomposisi oleh
organisme pengurai juga semakin meningkat, sehingga konsentrasi BOD5 juga
meningkat. Di samping itu menurut Canter and Hill (1979), peningkatan nilai
BOD5 merupakan indikasi menurunnya kandungan oksigen terlarut di perairan
karena adanya aktivitas organisme pengurai.

Chemical Oxygen Demand (COD)


Parameter lain yang juga dapat digunakan sebagai penduga pencemaran
limbah organik adalah COD. Nilai COD menggambarkan total oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi (non
biodegradable) menjadi CO2 dan H2O.
Dari hasil analisis kualitas air perairan Danau Maninjau menunjukkan
bahwa nilai COD perairan berkisar antara 9,8–12,4 mg/l, dengan nilai rata-rata
10,96 mg/l. Gambar 20 memperlihatkan bahwa nilai COD perairan danau lebih
tinggi dari nilai COD sungai. Hal ini menunjukkan bahwa pada perairan danau
terjadi penumpukan bahan organik yang berasal dari kegiatan di badan perairan
danau (KJA). Nilai COD yang tinggi ditemukan pada perairan sekitar Sungai
Limau Sundai, Jembatan Ampang dan Batang Kalarian.
Berdasarkan baku mutu air kelas 1 yang mempersyaratkan nilai COD
untuk air baku air minum adalah < 10 mg/l, maka perairan Danau Maninjau telah
mengalami pencemaran oleh bahan organik sulit terurai. Dengan demikian
perairan Danau Maninjau secara umum tidak lagi memenuhi syarat untuk
digunakan sebagai sumber air baku air minum.
C O D ( m g /L )

Gambar 20. Sebaran nilai rata-rata COD di perairan Danau Maninjau.

Nilai COD yang diperoleh pada penelitian ini jauh lebih besar (mendekati
2,5 kali lebih besar) dibandingkan BOD5. Menurut Metcalf and Eddy (1979),
perbedaan nilai COD dengan BOD5 biasanya terjadi pada perairan tercemar
karena bahan organik yang mampu diuraikan secara kimia lebih besar
dibandingkan penguraian secara biologi.
- -
Nitrat (N-NO3 ), Nitrit (N-NO2 ) dan Ammonia (N-NH3)
Keberadaan senyawa nitrogen dalam perairan dengan kadar yang
berlebihan dapat menimbulkan permasalahan pencemaran. Kandungan nitrogen
yang tinggi di suatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari
limbah domestik, pertanian, peternakan dan industri. Hal ini berpengaruh terhadap
kelimpahan fitoplankton.
Hasil pengukuran kadar nitrat di perairan Danau Maninjau berkisar antara
0,21–0,38 mg/l, dengan nilai rata-rata 0,26 mg/l (Gambar 21). Secara umum,
kandungan nitrat perairan danau masih berada di bawah baku mutu air kelas 1,
yang mensyaratkan kandungan nitrat untuk air baku air minum maksimal 10 mg/l.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perairan danau tergolong tidak
tercemar oleh senyawa nitrat dan masih layak sebagai sumber air baku air minum.
N O3 ( m g /L )

Gambar 21. Sebaran nilai rata-rata nitrat di perairan Danau Maninjau.

Hasil pengukuran kandungan nitrit di perairan Danau Maninjau berkisar


antara 0,07–0,08 mg/l, dengan nilai rata-rata 0,072 mg/l. Gambar 22
memperlihatkan semua stasiun penelitian mengandung nitrit yang tinggi, kecuali
perairan danau sekitar Batang Maransi. Tingginya kandungan nitrit di perairan
danau diduga berasal dari masukan limbah rumah tangga dan limbah KJA. Secara
umum nilai nitrit di perairan danau sudah melampaui ambang batas baku mutu air
kelas 1 yang mensyaratkan kandungan nitrit < 0,06 mg/l. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau tidak layak lagi untuk digunakan
sebagai sumber air baku air minum.
NO2 (mg/L)

Gambar 22. Sebaran nilai rata-rata nitrit di perairan Danau Maninjau.

Nitrit merupakan senyawa nitrogen beracun yang biasanya ditemukan


dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada manusia, keracunan nitrit dapat
menyebabkan penyakit yang disebut methemoglobinemia (penyakit bayi biru). Hal
ini disebabkan karena senyawa nitrit dapat mengikat haemoglobin dalam darah,
sehingga dapat mengurangi kemampuan haemoglobin sebagai pembawa oksigen
dalam darah, yang pada akhirnya akan menimbulkan sindrom berupa kebiruan,
lemah dan pusing (Amdur et al., 1991; Darmono, 2001). Lebih lanjut Darmono
(2001) menyatakan bahwa tingginya kandungan nitrit dalam air minum juga dapat
mengakibatkan kanker pada lambung dan saluran pernafasan pada orang dewasa.
Oleh karena itu kandungan nitrit dalam air minum tidak boleh lebih dari 10 mg/l
(UNEP-IETC/ILEC, 2001).
Ammonia di perairan danau dapat berasal dari nitrogen organik dan
nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air berasal dari dekomposisi
bahan organik oleh mikroba dan jamur. Selain itu, ammonia juga berasal dari
denitrifikasi pada dekomposisi limbah oleh mikroba pada kondisi anaerob.
Ammonia juga dapat berasal dari limbah domestik dan limbah industri.
Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar ammonia di perairan danau
berkisar antara 0,22–0,26 mg/l, dengan nilai rata-rata adalah 0,255 mg/l.
Berdasarkan baku mutu air kelas 1 sebagai sumber air baku air minum
mensyaratkan kandungan ammonia maksimal 0,5 mg/l. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau masih layak dipergunakan sebagai
sumber air baku air minum. Adapun sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan
Danau Maninjau diperlihatkan pada Gambar 23.

NH3 (mg/L)

Gambar 23. Sebaran nilai rata-rata ammonia di perairan Danau Maninjau.

Ortofosfat
Di perairan, fosfor tidak ditemukan dalam keadaan bebas melainkan dalam
bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa
organik berupa partikulat. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat
dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan,
sehingga menjadi faktor pembatas yang mempengaruhi produktivitas perairan.
Fosfat yang terdapat di perairan bersumber dari air buangan penduduk
(limbah rumah tangga) berupa deterjen, residu hasil pertanian (pupuk), limbah
industri, hancuran bahan organik dan mineral fosfat (Saeni, 1989). Umumnya
kandungan fosfat dalam perairan alami sangat kecil dan tidak pernah melampaui
0,1 mg/l, kecuali bila ada penambahan dari luar oleh faktor antropogenik seperti
dari sisa pakan ikan dan limbah pertanian (Kevern, 1982).
Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar fosfat di perairan Danau
Maninjau berkisar antara 0,41–0,46 mg/l, dengan nilai rata-rata 0,43 mg/l. Hal ini
menunjukkan bahwa di perairan danau terjadi akumulasi fosfat yang bersumber
dari kegiatan KJA. Selain berasal dari sisa pakan ikan, menurut Percella (1985)
kotoran manusia dan deterjen juga mengandung unsur fosfor yang cukup tinggi
yang dapat meningkatkan kandungan fosfat di perairan danau. Sejalan pernyataan
tersebut Chester (1990) menyatakan bahwa fosfat yang terdapat di perairan sungai
atau danau bersumber dari kegiatan antropogenik seperti limbah perkotaan dan
pertanian serta polifosfat yang terdapat pada deterjen. Gambar 24 memperlihatkan
perairan danau mengandung kadar fosfat yang lebih tinggi dari perairan sungai.

Fosfat (mg/L)

Gambar 24. Sebaran nilai rata-rata fosfat di perairan Danau Maninjau.

Berdasarkan baku mutu air kelas 1 sebagai sumber air baku air minum
dipersyaratkan kadar fosfat 0,2 mg/l. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa perairan Danau Maninjau sudah berada di atas ambang baku mutu yang
ditetapkan dan tidak dapat digunakan sebagai sumber air baku air minum.
Tingginya kandungan fosfat berasal dari kegiatan KJA yang berlangsung di
perairan danau. Menurut Barbieri and Simona (2003), perairan yang tercemar
limbah organik, khususnya organik fosfat akan meningkatkan tegangan
permukaan air dalam bentuk lapisan tipis, sehingga dapat menghalangi difusi O2
dari udara ke dalam badan air

Pestisida
Pestisida masuk ke dalam perairan melalui berbagai jalur, antara lain
melalui buangan limbah domestik, limpasan dari persawahan, pencucian tanah,
dan curah hujan. Penyebaran residu pestisida dalam lingkungan perairan sangat
dipengaruhi oleh sejumlah proses pengangkutan interaktif seperti penguapan,
presipitasi dari udara, pencucian dan aliran. Proses penguapan berdampak pada
turunnya kepekatan dalam air, sedangkan presipitasi dari udara, pencucian dan
limpasan dari daerah sekitar perairan danau akan meningkatkan kepekatan atau
akumulasi pestisida di perairan danau.
Jenis pestisida yang di temukan di perairan Danau Maninjau adalah
dikloro difenil trikloroetana (DDT) dan karbofenotion yang digunakan sebagai
pemberantas hama pertanian. Pestisida tersebut masing-masing berupa insektisida
dari jenis klororganik dan organofosfat yang sering dipergunakan dalam
pemberantasan hama dan penyakit tanaman di sekitar perairan danau. Hasil
analisis kualitas air menunjukkan kadar DDT di perairan danau berkisar antara
0,0012–0,0023 g/L, dengan kadar rata-rata 0,0016 µg/L. Kadar DDT tersebut
relatif kecil bila dibandingkan dengan baku mutu air kelas 1 sebagai sumber air
baku air minum yaitu maksimal 2 g/L. Dapat disimpulkan, bahwa perairan
Danau Maninjau masih di bawah ambang baku mutu yang ditetapkan dan dapat
digunakan sebagai sumber air baku air minum. Namun demikian, mengingat sifat
dari pestisida ini sangat stabil di dalam air, tanah, tanaman dan hewan, bahkan
pada manusia, maka pestisida tersebut akan terakumulasi dan memberi dampak
toksik yang sangat berbahaya terhadap makluk hidup.
Kandungan DDT tertinggi berasal dari aliran Batang Maransi. Hal ini
disebabkan karena di sekitar aliran limbah kegiatan yang mendominasinya adalah
pertanian lahan sawah. Hal ini senada dengan pernyataan Krylova et al. (2003)
melaporkan bahwa kadar pestisida klororganik atau organochlorine pesticides
(OCPs) di Danau Ladoga Finlandia antara 0,00001–0,00025 µg/L berasal dari
daerah pertanian di sekitar perairan danau. Gambar 25 memperlihatkan bahwa
kandungan DDT di perairan danau lebih tinggi daripada aliran limbah (sungai).
D D T (ug/L)

Gambar 25. Sebaran nilai rata-rata DDT di perairan Danau Maninjau.

Pestisida jenis klororganik sudah dilarang penggunaannya oleh


Environmental Protection Agency (EPA) (Amdur and Klaassen, 1991), tetapi
karena harganya yang relatif murah dibandingkan dengan jenis insektisida lain
yang ramah lingkungan seperti organofosfat dan karbamat, menyebabkan
insektisida ini masih beredar di pasaran.
Hasil analisis kualitas air tentang kadar karbofenotion di perairan Danau
Maninjau berkisar antara 0,94–2,76 g/L, dengan kadar rata-rata 1,99 g/L
(Gambar 26). Karbofenotion merupakan jenis insektisida dari golongan
organofosfat yang memiliki sifat persisten yang relatif rendah (10-90 hari)
dibandingkan dengan insektisida golongan klororganik, yaitu 2–4 tahun (Khan,
1980). Walaupun kadar karbofenotion yang ditemukan di perairan danau relatif
kecil, tetapi perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat pestisida
mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan, terutama manusia dan hewan.
Karbofenotion (ug/L)

Gambar 26. Sebaran nilai rata-rata karbofenotion di perairan Danau Maninjau.

Bakteri Fecal Coliform


Bakteri Coliform dapat digunakan sebagai indikator adanya pencemaran
feses atau kotoran manusia dan hewan di dalam perairan. Golongan bakteri ini
umumnya terdapat di dalam feses manusia dan hewan. Oleh sebab itu
keberadaannya di dalam air tidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi kesehatan,
estetika, kebersihan maupun kemungkinan terjadinya infeksi yang berbahaya.
Beberapa jenis penyakit dapat ditularkan oleh bakteri coliform melalui air,
terutama penyakit perut seperti tipus, kolera dan disentri (Suriawiria, 1993).
Hasil analisis kandungan bakteri fecal coliform di perairan danau berkisar
antara 68–77 MPN/100 ml, dengan nilai rata-rata 72 MPN/100 ml (Gambar 27).
Hal ini menunjukkan bahwa perairan Danau Maninjau mengandung bahan
organik yang cukup tinggi sebagai sumber kehidupan mikroorganisme. Suriawiria
(1993) menyatakan bahwa kehadiran mikroba patogen di dalam air akan
meningkat jika kandungan bahan organik di dalam air cukup tinggi, yang
berfungsi sebagai tempat dan sumber kehidupan mikroorganisme.

F. Coliform (MPN/100 ml)

Gambar 27. Sebaran nilai rata-rata fecal coliform di perairan Danau Maninjau.

Kandungan fecal coliform tertinggi ditemukan di stasiun muara Sungai


Jembatan Ampang. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya buangan limbah
feses yang berasal dari penduduk yang bermukim di sekitar perairan danau.
Kepadatan penduduk dan jumlah ternak di sekitar perairan danau juga merupakan
faktor utama penyebab tingginya kandungan coliform di perairan danau.
Kebiasaan masyarakat membuang feses ke danau masih terus berlangsung
dan intensitasnya semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah penduduk yang
tinggal dan menggunakan danau untuk kebutuhan MCK. Kondisi ini sangat
membahayakan kesehatan penduduk yang menggunakan air dari danau, karena
dapat tertular berbagai penyakit, misalnya penyakit kulit dan disentri.
Nilai kandungan bakteri coliform yang didapatkan pada penelitin ini,
secara umum menggambarkan bahwa kandungan bakteri coliform masih di bawah
ambang batas yang diizinkan. Dapat disimpulkan bahwa perairan Danau Maninjau
termasuk dalam ambang batas yang memenuhi baku mutu air sebagai sumber air
baku air minum yang mensyaratkan nilai fecal coliform di bawah 100 MPN/100
ml.
Bakteri total coliform, seperti halnya fecal coliform juga merupakan
bakteri indikator dalam menilai tingkat higienitas suatu perairan. Hasil analisis
kandungan bakteri total coliform pada perairan Danau Maninjau didapatkan
bahwa kadar total coliform berkisar antara 75–95 MPN/100 ml, dengan
kandungan rata-rata 85 MPN/100 ml (Gambar 28). Nilai ini secara umum
menggambarkan bahwa kandungan bakteri total coliform di perairan Danau
Maninjau masih di bawah ambang batas baku mutu air kelas 1 yang mensyaratkan
kandungan total coliform maksimal 1000 MPN/100 ml. Namun demikian, nilai
total coliform ini sudah menunjukkan bahwa kualitas perairan danau termasuk
T . C o lif o rm ( M PN /1 00 m l)

kondisi jelek (Dirjen P2M dan PLP, 1995).

Gambar 28. Sebaran nilai rata-rata total coliform di perairan Danau Maninjau.

5.1.2. Status Kualitas Lingkungan Perairan Danau


Evaluasi kualitas perairan pada suatu lokasi penelitian dapat dilakukan
dengan penentuan indeks mutu lingkungan perairan. Melalui pengindeksan,
dengan kombinasi beberapa parameter kualitas air dapat digambarkan atau
dijelaskan kondisi mutu perairan secara menyeluruh. Pada penelitian ini
digunakan metode pengindeksan mutu lingkungan perairan (IMLP) modifikasi
dari Ott (1978), yang dikembangkan oleh US-National Sanitation Fundations
Water Quality (US-NSF-WQI).
Hasil perhitungan nilai indeks mutu lingkungan perairan Danau Maninjau
berkisar antara 67,75–70,47. Nilai indeks tertinggi dijumpai di stasiun Muara
Batang Maransi dan terendah di stasiun Muara Sungai Limau Sundai (Gambar
29). Rendahnya nilai indeks mutu lingkungan di stasiun tersebut dibanding
dengan stasiun lainnya, karena kegiatan dominan di sekitar daerah tersebut adalah
permukiman, pasar dan perhotelan serta KJA, yang merupakan sumber
pencemaran yang masuk ke perairan danau. Berdasarkan kriteria mutu lingkungan
perairan yang ditetapkan Ott (1978), memperlihatkan bahwa secara umum kondisi
perairan Danau Maninjau tergolong pada kondisi tercemar sedang. Hasil
perhitungan nilai indeks mutu lingkungan perairan di Danau Maninjau pada setiap
stasiun penelitian secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.

Sedang
Nilai IMLP

Buruk

Stasiun

Gambar 29. Nilai indeks mutu lingkungan perairan di Danau Maninjau.

5.2. Sumber dan Jenis Pencemar Perairan Danau


Tujuan utama yang ingin dicapai dalam analisis beban pencemar adalah
untuk mengidentifikasi sumber pencemar, jenis bahan pencemar dan besarnya
beban pencemaran yang masuk ke perairan Danau Maninjau. Secara garis besar,
sumber pencemaran yang masuk ke perairan danau dapat diklasifikasikan menjadi
dua kelompok sumber limbah, yaitu limbah yang berasal dari kegiatan luar danau
(domestik, pertanian dan peternakan) dan limbah dari dalam danau (KJA). Hal ini
sesuai dengan pendapat Garno (2002) yang menyatakan bahwa sumber utama
pencemaran waduk dan danau berasal dari limbah domestik dan kegiatan KJA.
Dari hasil pengamatan lapangan diketahui berbagai jenis kegiatan yang
berlangsung di sekitar kawasan danau, yang merupakan sumber beban pencemar
yang masuk ke perairan danau. Kegiatan tersebut antara lain permukiman,
pertanian dan peternakan, pariwisata, dan pasar. Sumber pencemar utama yang
masuk ke perairan danau berasal dari limbah domestik, limbah dari KJA dan
limbah perhotelan atau restoran serta limbah peternakan. Sumber dan jenis bahan
pencemar yang potensial masuk ke perairan Danau Maninjau disajikan pada Tabel
24.
Tabel 24. Sumber dan jenis bahan pencemar potensial perairan Danau Maninjau
Jenis Pencemar
N0 Sumber
Tinja Limbah cair Limbah padat
1 Permukiman √ √ √
2 KJA - √ √
3 Pertanian - √ -
4 Peternakan √ √ -
5 Hotel √ √ √
6 Restoran √ √ √
7 Pasar - - √
Keterangan: √ = jenis pencemar dari sumber pencemar

Dari hasil pengamatan bahan-bahan pencemar yang berasal dari sumber


pencemar (Tabel 24) masuk ke dalam perairan danau langsung tanpa pengolahan
terlebih dahulu. Dari limbah-limbah tersebut limbah KJA merupakan limbah yang
masuk secara langsung ke perairan danau dalam jumlah yang banyak, sedangkan
yang lainnya masuk secara tidak langsung melalui limpasan dari sungai-sungai
yang mengalir ke danau.
Masyarakat di sekitar perairan danau umumnya belum memiliki saluran
pembuangan air limbah rumah tangga. Limbah cair rumah tangga dibuang
langsung ke danau atau ke sungai yang mengalir ke danau. Permukiman
merupakan penyumbang beban pencemar, terutama bahan organik yang masuk ke
perairan danau. Selain itu, hingga saat ini masih banyak masyarakat sekitar danau
yang belum memiliki tanki septik untuk pembuangan tinja, seperti disajikan pada
Tabel 25. Walaupun saat ini kadar coliform belum mencapai batas ambang,
namum kondisi nilai coliform yang sudah mendekati nilai batas ambang dan
banyaknya masyarakat yang langsung membuang tinja ke dalam badan air perlu
diwaspadai mengingat pada masa yang akan datang jumlah penduduk dan jumlah
kegiatan yang ada di sekitar danau akan semakin meningkat.
Untuk kawasan Danau Maninjau telah disediakan tempat lokasi
pembuangan sampah sementara yang terletak di daerah Sungai Batang. Namun,
dari pengamatan lapang, belum dimanfaatkan oleh masyarakat secara maksimal,
tumpukan sampah masih banyak terlihat di sekitar danau, terutama yang terdapat
di pasar-pasar, seperti Pasar Pakan Rabaa, Sungai Batang dan Bayur.
Tabel 25. Keadaan pembuangan tinja penduduk kawasan Danau Maninjau
Jumlah % Pembuangan tinja melalui
No Nagari penduduk Tanki septik Lainnya
1 Bayur 4.255 97 3
2 Maninjau 3.341 96 4
3 Sungai Batang 4.019 96 4
4 II Koto 4.781 93 7
5 III Koto 4.667 97 3
6 Tanjung Sani 5.592 91 9
7 Koto Kaciak 3.670 95 5
Sumber: Dinkes (Puskesmas) Kecamatan Tanjung Raya, (2006)

Hasil wawancara dengan beberapa kepala keluarga diperoleh rata-rata


produksi sampah per keluarga adalah 8 kg/hari. Dari jumlah tersebut sekitar 10 %
sampah ditangani sendiri, yaitu dengan jalan dibakar atau ditimbun. Di lain pihak
produksi sampah di Pasar Maninjau, Pasar Rabaa dan Pasar Bayur serta Pasar
3
Sungai Batang diperkirakan 4 m /hari. Lokasi pasar tersebut terletak tidak begitu
jauh (± 200 m dari danau. Diperkirakan 25% dari sampah tersebut masuk ke
perairan danau (LPP-UMJ, 2006). Berdasarkan data tersebut, maka diperkirakan
jumlah sampah yang masuk dari permukiman ke perairan danau sebesar 506,592
ton per tahun. Hal ini setara dengan yang dilaporkan LPPM UBH (2002) bahwa
sampah yang masuk ke perairan danau sebanyak 700 ton per tahun berasal dari
sampah pertanian dan sampah rumah tangga.
Perairan Danau Maninjau selain dipergunakan untuk mandi, cuci dan
kakus, air danau juga digunakan sebagai air baku air minum. Penggunaan deterjen
untuk mencuci pakaian akan menambah beban pencemaran di perairan danau.
Peavy et al. (1986) menyatakan bahwa deterjen merupakan salah satu penyebab
kekeruhan air dan mengandung pospat, sehingga dapat merangsang pertumbuhan
alga secara cepat. Selain itu, proses penguraian deterjen dalam air berlangsung
lambat, menyebabkan deterjen akan terakumulasi di perairan. Hal ini dapat
meracuni kehidupan dalam air.
Hotel dan restoran yang berada di sekitar danau telah membuat tanki
septik untuk pembuangan tinja. Namun, dari pengamatan lapangan masih banyak
restoran yang membuang limbah cair secara langsung ke perairan danau. Hotel
yang tedapat di sekitar danau berjumlah 5 buah dengan rata-rata kamar 31 buah,
sedangkan hotel melati berjumlah sebanyak 29 buah. Jumlah restoran atau rumah
makan yang terdapat di sekitar Danau Maninjau adalah 6 buah dengan rata-rata
2
luas ruangan makan 30 m .
Limbah cair dari hotel dan restoran umumnya dibuang melalui saluran
atau dibuang langsung ke danau. Rata-rata pemakaian air dari pengunjung hotel
-1 -1
adalah 250 liter orang hari . Jumlah air limbah dari hotel diperkirakan sebesar
70% dari konsumsi air bersih (Temenggung, 2004). Rata-rata kunjungan hotel di
Danau Maninjau sebanyak 19 orang setiap hari, maka dihasilkan limbah cair
sebanyak 3.325 liter per harinya. Dengan demikian, kegiatan hotel diperkirakan
3
menyumbang limbah cair ke perairan danau sebesar 1.197 m per tahun. Hal ini
akan meningkatkan jumlah beban pencemaran di badan air danau.
Penduduk di Kecamatan Tanjung Raya, khususnya di daerah sempadan
danau banyak yang memelihara berbagai jenis hewan ternak, yang meliputi sapi
potong, kerbau, kambing dan ayam. Limbah ternak berupa tinja sebagian langsung
mengalir ke danau atau ke sungai menuju danau dan sebagian lagi ditimbun
sebagai pupuk. Pembuangan limbah ini dapat meningkatkan pengayaan unsur
hara, sehingga dapat merangsang pertumbuhan secara pesat populasi organisme
air seperti eceng gondok (Eichornia crassipes) dan plankton. Gejala ini dapat
terlihat dengan jelas pada seluruh tepian danau. Demikian juga halnya dengan
daerah yang padat dengan aktivitas keramba. Pada lokasi ini, terjadi peningkatan
unsur hara yang berasal dari limbah domestik dan dari sisa pakan ikan. Hal ini
akan menstimulir bagi perkembangan gulma air. Oleh karena itu gulma air (eceng
gondok), saat ini telah menjadi gulma yang mendominasi perairan Danau
Maninjau.
Dari sektor pertanian, konstribusi beban pencemar yang masuk ke perairan
danau diduga juga besar. Mengingat luas lahan sawah di sekitar Danau Maninjau
menurut monografi kecamatan adalah 2.518 ha. Hasil pengamatan lapang dan
wawancara dengan petugas penyuluh pertanian Kecamatan Tanjung Raya,
pemanfaatan lahan sawah oleh masyarakat, penggunaan pupuk dan pestisida dapat
dikategorikan sangat intensif. Rata-rata pemakaian pupuk kimia (ZA, Urea, TSP,
NPK dan KCl) untuk pertanian dan perkebunan berkisar antara 334–450 kg per ha
per musim tanam. Setiap tahunnya perairan danau menerima masukan beban
pencemaran berupa fosfor (P) yang berasal dari lahan sawah sebesar 5.087,60
kg/tahun (LPPM-UMJ, 2006).
Selain itu, dari sektor pertanian juga terjadi erosi lahan. Dari hasil
perhitungan PSDA Sumbar (2005), sedimentasi akibat erosi lahan di sekitar danau
yang masuk ke badan perairan danau mencapai 2.410 ton per tahun. Terjadinya
erosi dan sedimentasi ini pada akhirnya juga akan meningkatkan transpor hara
dari penggunaan lahan yang terdapat di sekitar danau yang masuk ke perairan
danau.

5.3. Beban Pencemaran Perairan Danau


Pada penelitian ini, analisis beban pencemaran yang masuk ke perairan
danau dilakukan dengan melalui 2 pendekatan, yaitu (1) penghitungan
berdasarkan beban limbah cair yang masuk melalui sungai, dan (2) estimasi
(pendugaan) berdasarkan jenis kegiatan aktivitas masyarakat di sekitar perairan
danau. Hasil estimasi diperoleh dari perkalian antara sumber penghasil limbah
dalam hal ini jenis aktivitas masyarakat dengan konstanta beban limbah organik.

A. Penghitungan Beban Pencemaran Danau melalui Sungai


Sumber pencemaran yang masuk ke perairan Danau Maninjau secara
umum berasal dari luar danau (limbah domestik) dan dari dalam danau (limbah
KJA). Penghitungan beban pencemaran bertujuan untuk mengetahui dan
mengidentifikasi sumber pencemaran, jenis pencemar dan besarnya beban
pencemar yang masuk ke perairan danau.
Penghitungan beban pencemaran yang masuk ke danau bersumber dari
landbased sources (luar danau), sangat terkait dengan debit sungai yang mengalir
masuk ke perairan danau. Penghitungan beban pencemaran dari parameter limbah
organik (COD dan BOD5), erosi (TSS), dan zat hara (nitrogen dan ortofosfat)
dihitung berdasarkan perkalian antara debit sungai dengan konsentrasi parameter
kualitas air yang diteliti. Beban pencemaran total yang berasal dari luar danau
adalah besarnya beban pencemar yang berasal dari enam sungai utama yang
mengalir ke perairan Danau Maninjau, yaitu Sungai Limau Sundai, Batang
Maransi, Bandar Ligin, Sungai Jembatang Ampang, dan Batang Kalarian serta
Sungai Tembok Asam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Total beban pencemaran dari sungai yang masuk ke perairan Danau
Maninjau Januari-Juli 2006 (ton/tahun)

Para- Stasiun
N0 SL. Bt. Br. SJ. Bt ST. Total
meter
Sundai Maransi Ligin Ampang Kalarian Asam
1 TSS 134,44 117,06 167,18 246,06 248,35 150,16 1063,25
2 COD 20,30 18,18 21,28 39,66 37,79 20,55 157,75
3 BOD5 5,60 2,72 5,96 7,61 8,31 3,86 34,05
4 N-NO3- 0,49 0,41 0,67 0,93 0,93 0,50 3,95
5 N-NH3 0,56 0,53 0,64 1,17 1,07 0,62 4,59
6 PO43- 0,37 0,28 0,64 0,89 0,70 0,42 3,30
Sumber: Data diolah, (2006)
Keterangan: SL = Sungai Limau; Bt = Batang; Br = Bandar; SJ = Sungai
Jembatan
ST = Sungai Tembok

Berdasarkan Tabel 26, terlihat bahwa beban pencemar terbesar yang


masuk ke perairan Danau Maninjau adalah berupa TSS, diikuti oleh bahan
organik sulit urai (COD). Sungai Batang Kalarian dan Sungai Tembok Asam
merupakan sumber pemasok terbesar TSS yang masuk ke perairan danau, masing-
masing menyumbang sebesar 248,35 ton dan 246,063 ton per tahun. Sungai
Jembatan Ampang dan Batang Kalarian memberikan konstribusi yang besar
terhadap pemasukan COD ke perairan danau yaitu masing-masing 39,658 dan
37,791 ton per tahun. Batang Kalarian merupakan pemasok terbesar limbah
organik mudah urai (BOD5) ke perairan Danau Maninjau, yaitu sebesar 8,305 ton
per tahun. BOD5 masuk ke perairan danau dengan jumlah yang relatif sama dari
ke enam sungai yang mengalir ke perairan danau. Untuk limbah organik hara (N-
-
NO3 , N-NH3, dan ortofosfat) Batang Kalarian merupakan pemasok limbah
tertinggi yang masuk ke perairan danau. Terjadinya perbedaan nilai dari beban
pencemaran di masing-masing sumber pencemar tersebut dipengaruhi oleh
besarnya masing-masing debit sungai yang mengalir ke danau.

B. Penghitungan Beban Pencemaran dari Aktivitas Penduduk


Daerah-daerah di sekitar sempadan Danau Maninjau dengan berbagai
aktivitasnya merupakan daerah yang potensial sebagai penyumbang limbah cair
yang masuk ke perairan danau. Besarnya beban limbah yang berasal dari berbagai
aktivitas penduduk yang berada di sekitar perairan danau dihitung berdasarkan
perkalian antara jenis aktivitas penduduk dengan konstanta beban limbah,
khususnya untuk parameter limbah organik dan hara; BOD5, COD, N dan P
(ortofosfat). Aktivitas penduduk di sekitar sempadan danau, pada umumnya
adalah permukiman, peternakan dan pertanian serta perhotelan. Penghitungan
pendugaan beban limbah secara rinci disajikan pada Lampiran 4.
Sungai Limau Sundai melalui permukiman Nagari Maninjau dengan
jumlah penduduk 3.199 jiwa dan jumlah hotel 5 unit dengan jumlah pengunjung
per tahun sebanyak 6.575 orang, home stay sebanyak 29 buah, dan jumlah ternak
sapi potong sebanyak 76 ekor. Aliran sungai ini memberikan masukan beban
limbah cair ke perairan danau berupa BOD5 sebanyak 123,753 ton per tahun,
COD 243,951 ton per tahun, 48,387 ton N per tahun serta 7,400 ton P per tahun.
Demikian juga halnya dengan Sungai Maransi yang melalui daerah permukiman
Nagari Bayur sebagai daerah pertanian lahan basah (sawah) yang berbatasan
langsung dengan danau dengan jumlah penduduk 4.255 jiwa dan jumlah ternak
sapi potong sebanyak 198 ekor. DAS ini diperkirakan memberikan sumbangan
beban limbah cair yang masuk ke perairan danau berupa BOD5 sebanyak 102,503
ton per tahun, 217,365 ton COD per tahun, dan 38,533 ton N per tahun serta 4,372
ton P per tahun.
Aliran Sungai Bandar Ligin yang melewati daerah permukiman Nagari
Sungai Batang yang jumlah penduduknya 4.019 jiwa dan jumlah ternak sapi
potong 396 ekor. Daerah ini diprediksi memberikan beban limbah cair berupa
BOD5 sebanyak 165,081 ton per tahun, COD 358,222 ton per tahun, dan 59,964
ton N per tahun serta 5,882 ton P per tahun. Sementara itu DAS Sungai Jembatan
Ampang yang melalui daerah permukiman Nagari II Koto dengan jumlah
penduduk 4.781 jiwa dan 102 ekor sapi potong, diperkirakan menyumbang beban
limbah cair ke perairan danau berupa 100,719 ton BOD5 per tahun, 203,851 ton
COD per tahun, 40,373 ton N per tahun serta 5, 667 ton P per tahun.
Aliran Sungai Batang Kalarian yang melalui daerah permukiman Nagari
Koto Kaciak yang jumlah penduduknya 3.670 jiwa dan hewan ternak sapi potong
sebanyak 94 ekor serta empat restoran, diperkirakan memberi sumbangan beban
limbah cair berupa BOD5 ke perairan danau sebanyak 84,160 ton per tahun, 170
ton COD per tahun, dan 32,751 ton N per tahun serta 4,526 ton P per tahun.
Begitu juga aliran Sungai Tembok Asam melalui daerah permukiman III Koto
dengan jumlah penduduk 4.667 jiwa dan jumlah ternak sapi potong sebanyak 91
ekor, diperkirakan memberikan beban limbah cair berupa BOD5 sebanyak 98,916
ton per tahun, COD 199,230 ton per tahun, dan 39,899 ton N per tahun serta 5,723
ton P per tahun.

C. Penghitungan Beban Limbah KJA


Berdasarkan hasil survai jumlah KJA yang terdapat di perairan Danau
Maninjau sampai pertengahan 2006 sebanyak 8.955 unit yang dipasang pada
seluruh kawasan perairan Danau Maninjau. Pada KJA tersebut dibudidayakan
ikan mas (Cyprinus carpio L) dengan padat tebar 350 kg/unit KJA dan berat ikan
rata-rata 100 gram/ekor. Dengan demikian jumlah ikan di dalam KJA tersebut
sebanyak 3.134,250 ton.
Hasil wawancara dengan petani ikan di perairan Danau Maninjau, rata-rata
jumlah pakan yang diberikan untuk ikan mas untuk satu unit KJA adalah 50
kg/hari. Jumlah pakan yang dibutuhkan untuk 1 unit KJA selama satu periode
pemeliharaan adalah 4,500 ton. Adapun lama waktu untuk satu periode
pemeliharaan (saat mulai menebar sampai panen) dibutuhkan waktu tiga bulan.
Dengan demikian jumlah pakan yang diberikan untuk 8.955 unit KJA dalam satu
kali panen adalah 40.297,5 ton atau 161.190 ton per tahun.
Hasil pengamatan lapang, menunjukkan bahwa pada umumnya petani ikan
di Danau Maninjau menggunakan pakan (pellet) dengan kandungan protein 18%.
Untuk menentukan kandungan nitrogen dan fosfor yang terdapat dalam pakan,
dilakukan dengan perkalian antara jumlah pakan (JP) yang diberikan dengan
konstanta pakan (N = 4,86% dan P = 0,26%) (Nastiti et al., 2001). Dengan
demikian, jumlah nitrogen dan fosfor yang terkandung dalam pakan yang
diberikan pada kegiatan KJA di Danau Maninjau adalah N = 7.833,834 ton dan P
= 419,094 ton. Dari pakan yang diberikan tersebut hanya 70% yang dimakan oleh
ikan, dan sisanya sebanyak 30% akan lepas ke badan perairan danau sebagai
bahan pencemar atau limbah (Rachmansyah, 2004; Syandri, 2006). Sementara itu,
15–30% dari nitrogen (N) dan fosfor (P) dalam pakan akan diretensikan dalam
daging ikan dan selebihnya terbuang ke badan perairan danau (Beveridge, 1987;
Avnimelech, 2000). Dengan demikian dapat ditentukan jumlah beban limbah
nitrogen (N) dan fosfor (P) dari kegiatan KJA yang masuk ke badan perairan
danau yaitu itrogen sebesar 6.071,221 ton per tahun, dan fosfor sebesar 324,763
ton per tahun.
Beban limbah yang masuk ke badan perairan danau tersebut, menurut
Midlen dan Redding (2000) yang berada dalam keadaan terlarut adalah 10%
fosfor (P) atau sebesar 32,4763 ton dan 65% nitrogen (N) atau sebesar 3.9463
ton. Sementara itu yang berada dalam bentuk partikel adalah 65% fosfor (P) atau
sebesar 211,096 ton dan 10 % nitrogen (N) atau sebesar 607,122 ton. Sisa pakan
dalam bentuk partikel ini akan mengendap menjadi sedimen di dasar perairan
danau.

D. Pendugaan Kapasitas Asimilasi Perairan Danau


Perairan danau memiliki kemampuan menampung beban pencemaran
sampai pada batas-batas tertentu. Kemampuan ini dipengaruhi oleh proses
pengenceran dan perombakan yang terjadi di dalamnya. Kapasitas asimilasi
didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima beban
pencemar limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang
ditetapkan sesuai peruntukannya.
Konsentrasi polutan yang masuk ke perairan danau akan mengalami tiga
fenomena, yakni dilution (pengenceran), dispersion (penyebaran) dan decay or
reaction (reaksi penguraian). Disamping itu kemampuan badan air dalam
menerima limbah yang masuk ditentukan oleh flushing time (kemampuan
pembilasan atau penggelontoran) dan purifikasi perairan danau. Apabila beban
limbah yang masuk ke perairan melebihi kemampuan asimilasinya, maka kondisi
ini dapat menyebabkan terjadinya pencemaran.
Penghitungan kapasitas asimilasi perairan danau dalam menampung beban
pencemar dilakukan secara indirect approach (tidak langsung) yaitu dengan
metode hubungan antara masing-masing parameter kualitas air di perairan danau
dengan total beban pencemar di muara sungai. Kemudian hasil yang didapat
dibandingkan dengan baku mutu air kelas 1 yang peruntukannya digunakan
sebagai sumber air baku air minum. Jika kapasitas asimilasi belum terlampaui,
menunjukkan bahwa beban pencemar yang masuk masih tergolong rendah,
dimana beban yang masuk akan mengalami proses difusi atau dispersi atau
penguraian di dalam lingkungan perairan danau. Hal ini ditandai oleh nilai
konsentrasi parameter beban pencemar yang masih di bawah nilai ambang batas
baku mutu air. Begitu juga sebaliknya, jika nilai kapasitas asimilasinya telah
terlampaui, berarti bahan yang masuk ke perairan danau tergolong tinggi.
Parameter beban pencemar yang dianalisis seperti TSS, bahan organik dan
ortofosfat telah melampui kapasitas asimilasinya, sedangkan parameter lain
seperti TDS dan NO3- masih di bawah kapasitas asimilasinya. Hal ini
memperlihatkan bahwa perairan Danau Maninjau telah tercemar oleh TSS, bahan
organik (COD, BOD5) dan ortofosfat. Grafik kapasitas asimilasi terhadap
parameter beban pencemar di perairan danau diperlihatkan pada Gambar 30-35.
Penentuan kapasitas asimilasi untuk TSS (Gambar 30) dilakukan dengan
2
persamaan regresi y = 19,72 + 0,0308 x dengan R = 0,89. Hasil perpotongan
garis regresi dengan garis nilai baku mutu TSS (50 mg/l) menghasilkan nilai
kapasitas asimilasi sebesar 984,7 ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
perairan Danau Maninjau telah tercemar oleh bahan pencemar TSS.

984,7

54
y = 19,72 + 0,0308 x
2
R = 0,89
Konsentrasi TSS (mg/l)

53

52

51

50 50

950 1000 1050 1100 1150


Be ba n limba h TSS (t on/ t
h)

Gambar 30. Hubungan antara beban pencemar TSS di muara sungai


dengan kadar TSS perairan Danau Maninjau.

Penentuan kapasitas asimilasi untuk TDS (Gambar 31) dilakukan dengan


2
persamaan regresi y = 92,35 + 0,0108 x dengan R = 0,71. Hasil perpotongan
garis regresi dengan garis nilai baku mutu TDS (1000 mg/l) menghasilkan nilai
kapasitas asimilasi sebesar 84,433 ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
perairan Danau Maninjau masih mampu “membersihkan diri” atau menguraikan
limbah TDS sebesar 84.433 ton per tahun.
Baku mutu
1000

Kapasitas asimilasi
117,5

117,0

116,5
y = 92,35 + 0,0108 x

Konsentrasi TDS (mg/l)


2
116,0 R = 0,71
115,5

115,0

114,5

114,0

2050 2100 2150 2200 2250 2300


B e b a n lim b a h T D S ( t o n / t
h)

Gambar 31. Hubungan antara beban pencemar TDS di muara sungai


dengan kadar TDS perairan Danau Maninjau.

Penentuan kapasitas asimilasi untuk COD (Gambar 32) dilakukan dengan


2
persamaan regresi y = -3,918 + 0,0942 x dengan R = 0,86. Hasil perpotongan
garis regresi dengan garis nilai baku mutu COD (10 mg/l) menghasilkan nilai
kapasitas asimilasi sebesar 147,73 ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
perairan Danau Maninjau telah tercemar oleh bahan organik sulit terurai (COD).
147,73
13,0

12,5
y = - 3,918 + 0,0942 x
R2 = 0,86
Konsentrasi COD (mg/l)

12,0

11,5

11,0

10,5

10,0 10

9,5
140 145 150 155 160 165 170 175
B e b a n lim b a h C O D ( t o n / t
h)

Gambar 32. Hubungan antara beban pencemar COD di muara sungai


dengan kadar COD perairan Danau Maninjau.

Penentuan kapasitas asimilasi untuk BOD5 (Gambar 33) dilakukan dengan


2
persamaan regresi y = 0,8925 + 0,0520 x dengan R = 0,85. Hasil perpotongan
garis regresi dengan garis baku mutu BOD5 (2 mg/l) menghasilkan nilai kapasitas
asimilasi sebesar 21,31 ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perairan
Danau Maninjau telah tercemar oleh bahan pencemar yang mudah terurai (BOD5).
21,31
3,0

2,8 y = 0,849 + 0,0520 x


R2 = 0,84

Konsentrasi BOD (mg/l)


2,6

2,4

2,2

2,0
2

20 25 30 35 40
B e b a n lim b a h B O D ( t o n / t h )

Gambar 33. Hubungan antara beban pencemar BOD5 di muara sungai


dengan konsentrasi BOD5 perairan Danau Maninjau.

Penentuan kapasitas asimilasi untuk ortofosfat (Gambar 34) dilakukan


2
dengan persamaan regresi y = 0,163 + 0,0816 x dengan R = 0,97. Hasil
perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu ortofosfat (0,20 mg/l)
menghasilkan nilai kapasitas asimilasi sebesar 0,46 ton per tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa perairan Danau Maninjau telah tercemar oleh limbah fosfat .

0 ,4 6
(mg/l)

0,45
y = 0,163 + 0,0816 x
R2 = 0,97
4

y = 0,08 x + 0,16
Konsentrasi PO

0,40 2
R = 0,97
0,35

0,30

0,25
0,20 0,2

0 1 2 3 4
Be ba n limb a h PO (t o n/ t h)
4

Gambar 34. Hubungan antara beban pencemar ortofosfat di muara sungai


dengan kadar fosfat di perairan Danau Maninjau.
-
Penentuan kapasitas asimilasi untuk N-NO3 dilakukan dengan persamaan
2
regresi y = 0,0335 x + 0,925 dengan R = 0,77. Hasil perpotongan garis regresi
-
dengan garis baku mutu NO3 (10 mg/l) menghasilkan nilai kapasitas asimilasi
sebesar 295,3 ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Danau
-
Maninjau masih mampu menguraikan limbah N-NO3 sebesar 295,3 ton per tahun
(Gambar 35).

Baku mutu

Kapasitas asimilasi
Konsentrasi NO (mg/l)
0,26

3
0,25
0,24

y = 0,925 + 0,0335 x
R2 = 0,77
0,23

0,22

0,21

0,20
3,50 3,75 4,00 4,25 4,50
B e b a n l im b a h NO ( t on/t
3
h)

-
Gambar 35. Hubungan antara beban pencemar NO3 di muara sungai
dengan kadar NO3- di perairan Danau Maninjau.

5.4. Persepsi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran Perairan Danau

A. Karakteristik Responden
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pengendalian
pencemaran perairan danau, telah dilakukan observasi terhadap 150 responden
masyarakat yang tinggal pada tiga nagari di sekitar Danau Maninjau. Karakteristik
responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan. Distribusi karakteristik responden pada tiga lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 memperlihatkan bahwa masyarakat di sekitar Danau Maninjau
paling banyak berumur dewasa (20-55 tahun) sebanyak 79,33% dan paling sedikit
berumur muda (< 19 tahun) sebanyak 3,3%. Kondisi ini menunjukkan bahwa
masyarakat tersebut berada pada usia kerja yang produktif. Pendidikan
masyarakat di sekitar danau tergolong rendah yakni tamat SD sebanyak 52,67%,
namun masyarakat yang berpendidikan sedang atau tamat SLTP–SMU juga ada
sebanyak 42%. Sedikit sekali masyarakat yang berpendidikan tinggi (tamat
perguruan tinggi) yakni 5,3%. Pada umumnya masyarakat di sekitar danau
memiliki perkerjaan sebagai petani yakni sebanyak 46%, sedangkan yang lainnya
bekerja sebagai pedagang, nelayan dan PNS dengan jumlah masing-masingnya
berturut-turut 20,6%, 12,6% dan 11,3%. Pendapatan masyarakat di sekitar danau
pada umumnya termasuk kategori rendah, yakni mencapai 64,6%. Hal ini
menunjukkan bahwa rataan tingkat pendapatan masyarakat yang relatif masih
rendah. Rendahnya tingkat pendapatan masyarakat tersebut berkaitan dengan
pekerjaan mereka yang pada umumnya adalah sebagai petani.

Tabel 27. Sebaran karakteristik responden


Karakteristik Kategori Lokasi
Total
responden pengukuran Bayur Maninjau S. Batang
N % N % N % n %
Muda (< 19 tahun) 1 2 2 4 2 4 5 3,30
Umur Dewasa (20–55 tahun) 41 82 37 74 41 82 119 79,33
Tua (> 56 tahun) 8 16 11 22 7 14 26 17,30
Rendah(≤SD tamat) 26 52 27 54 26 52 79 52,67
Sedang (SLTP-SMU
Pendidikan
tamat) 21 42 20 40 22 44 63 42,00
Tinggi (D1-Sarjana) 3 6 3 6 2 4 8 5,30
Petani 23 46 22 44 24 48 69 46,00
Nelayan 6 12 4 8 9 18 19 12,60
Pekerjaan
Pedagang 11 22 12 24 8 16 31 20,60
PNS 6 12 7 14 4 8 17 11,30
Lainnya 4 8 5 10 5 10 14 9,30
Rendah < Rp 500.000,- 34 68 27 54 36 72 97 64,60
Pendapatan Sedang (Rp 500.000-
Rp 1.000.000) 13 26 15 30 11 22 39 26,00
Tinggi (> Rp
1.000.0000,-) 3 6 8 16 3 6 14 9,30
Sumber : Data diolah, (2006)

B. Persepsi Masyarakat
Pengetahuan masyarakat yang tinggal di sekitar perairan danau
mempunyai peranan yang penting dalam proses pengendalian pencemaran yang
terjadi di perairan danau tersebut. Oleh sebab itu, untuk mengetahui peranannya
maka dilakukan analisis terhadap persepsinya dalam hal pengendalian
pencemaran perairan danau. Analisis ini bertujuan untuk lebih memudahkan
upaya pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan danau.
Persepsi masyarakat yang tinggal di sekitar perairan danau tentang
pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau dapat
ditentukan dari tiga jenis persepsi yaitu, persepsi tentang pencegahan pencemaran,
persepsi tentang penanggulangan pencemaran, dan persepsi tentang partisipasi
masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar perairan Danau Maninjau pada
umumnya memiliki persepsi yang rendah terhadap pengendalian pencemaran
perairan danau. Hasil penelitian tentang persepsi responden masyarakat sekitar
perairan Danau Maninjau diperlihatkan pada Gambar 36–38 dan Lampiran 7.

Pe rse psi ma sya ra ka t Ba


yur

P ersentase (% )

Gambar 36. Persentase persepsi masyarakat Nagari Bayur tentang pengendalian


pencemaran perairan danau.

Dari Gambar 36 terlihat bahwa responden masyarakat Nagari Bayur


memiliki persepsi yang rendah terhadap pengendalian pencemaran yang terjadi di
perairan Danau Maninjau, yaitu dalam hal pencegahan pencemaran (56%),
penanggulangan pencemaran (64%) dan partisipasi dalam pengendalian
pencemaran (68%). Sebagian kecil masyarakat yang memiliki persepsi sedang
(21,3%) dan sisanya memiliki persepsi yang tinggi (14,67%) tentang
pengendalian pencemaran perairan danau. Rendahnya persepsi masyarakat
tersebut disebabkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya pencemaran yang
masih sangat rendah dan pendidikan yang masih rendah serta kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat.
Gambar 37 memperlihatkan bahwa responden masyarakat Nagari
Maninjau memiliki persepsi yang rendah terhadap pengendalian pencemaran yang
terjadi di perairan Danau Maninjau, yaitu dalam hal pencegahan pencemaran
(54%), penanggulangan pencemaran (60%) dan partisipasi dalam pengendalian
pencemaran (64%). Hanya sebagian kecil masyarakat memiliki persepsi sedang
(24%), dan sisanya memiliki persepsi tinggi (16,67%) tentang pengendalian
pencemaran perairan danau. Rendahnya persepsi masyarakat tersebut juga
disebabkan oleh pengetahuan masyarakat tentang bahaya pencemaran yang masih
sangat rendah dan pendidikan yang masih rendah serta tidak adanya sosialisasi
kepada masyarakat.
Pe rse psi masya raka t Ma ninja u

Persen t ase ( % )

Gambar 37. Persentase persepsi masyarakat Nagari Maninjau tentang


pengendalian pencemaran perairan danau.

Gambar 38 memperlihatkan bahwa responden masyarakat Nagari Sungai


Batang memiliki persepsi yang rendah terhadap pengendalian pencemaran yang
terjadi di perairan Danau Maninjau, yaitu dalam hal pencegahan pencemaran
(68%), penanggulangan pencemaran (72%) dan partisipasi dalam pengendalian
pencemaran (68%). Sebagian kecil masyarakat yang memiliki persepsi sedang
(13,33%) dan persepsi tinggi (10,67%) tentang pengendalian pencemaran perairan
danau. Rendahnya persepsi masyarakat tersebut disebabkan pengetahuan
masyarakat tentang bahaya pencemaran yang masih sangat rendah dan
pendidikan yang masih rendah serta kurangnya sosialisasi oleh pemerintah ke
masyarakat.

Persepsi masyaraka t Sunga i Bata ng


Persen tase ( % )

Gambar 38. Persentase persepsi masyarakat Nagari Sungai Batang tentang


pengendalian pencemaran perairan danau.
Persepsi masyarakat sekitar perairan danau yang rendah merupakan suatu
kondisi yang kurang menguntungkan dalam upaya melakukan pengendalian
pencemaran perairan danau di masa depan. Untuk itu sangat di perlukan perhatian
dan keterlibatan semua pihak, terutama pemerintah daerah dalam upaya
meningkatkan persepsi atau pengetahuan masyarakat tentang pengendalian
pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau agar danau tersebut tetap
terjaga dan lestari.

5.5. Pemodelan Sistem


Pemodelan diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model yang akan
menggambarkan sistem yang dikaji (Eriyatno, 1999). Tujuan utama dari penelitian
ini adalah membangun model pengendalian pencemaran di perairan Danau
Maninjau. Pemodelan sistem pengendalian pencemaran digunakan untuk
menemukan dan penempatan peubah-peubah penting serta hubungan antar peubah
dalam sistem tersebut yang bersandarkan pada hasil pendekatan kotak gelap
(black box).
Model pengendalian pencemaran perairan danau disusun berdasarkan
sumber beban pencemaran yang masuk ke periaran danau, yaitu sumber limbah
dari kegiatan di luar danau dan dari kegiatan di badan air danau. Model tersusun
oleh beberapa sub-sub model limbah, yaitu: sub-model penduduk, sub-model
perhotelan, sub-model peternakan, sub-model pertanian dan sub-model KJA.
Kelima sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang
sesuai dengan masing-masing sub-model, kemudian diintegrasikan menjadi satu
model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau. Model yang
dibangun untuk kajian sistem adalah model simbolik (model matematika).
Pemodelan sistem dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak
(software) program Powersim versi 2.5 c.
Model umum (global) sumber beban limbah yang berasal dari luar danau
dibangun dari 4 persamaan yang dijadikan indikator sumber limbah, yaitu limbah
penduduk, hotel, pertanian dan limbah peternakan. Limbah penduduk berupa
limbah rumah tangga diperhitungkan 0,5 kg per penduduk. Limbah hotel adalah
limbah cair hotel yang dibuang langsung ke danau dengan perkiraan limbah
sebanyak 10 kg per hari. Limbah ternak sapi potong yang ada di sekitar perairan
danau adalah sebesar jumlah satuan ternak sapi dikalikan dengan 25 kg limbah
padat berupa feces dan limbah cair berupa urine (Van Horn et al., 1994).
Persamaan matematika dari jumlah limbah tersebut adalah sebagai berikut, dan
diagram alir model limbahnya disajikan pada Gambar 39.

LMB = (JPDK * fk1) + (JHTL * fk2) + (JTS * fk3) + (JLPERT *fk4)

Gambar 39. Diagram alir model limbah dari luar danau.


Keterangan : LMB = jumlah limbah pada tahun ke i (ton/th)
JPDK = jumlah penduduk pada tahun ke i (jiwa)
JHTL = jumlah hotel pada tahun ke i (unit)
JTS = jumlah ternak sapi pada tahun ke i (ekor)
JLPERT = jumlah luas lahan pertanian tahun ke i (ha)
fk1 = faktor konversi limbah cair penduduk
fk2 = faktor konversi limbah cair hotel
fk3 = faktor konversi limbah cair peternakan
fk4 = faktor konversi limbah cair pertanian
fk JPDK = fraksi jumlah penduduk
fkHTL = fraksi wisatawan fkJTS
= fraksi jumlah ternak fkPERT =
fraksi luas lahan pertanian

5.5.1. Sub-model Limbah Penduduk


Sub-model populasi menggambarkan dinamika perkembangan populasi di
sekitar perairan Danau Maninjau, berikut peubah yang menentukan dan
ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini adalah jumlah populasi,
pertambahan populasi, pengurangan populasi, kelahiran, kematian, imigrasi,
emigrasi, fraksi kelahiran, fraksi kematian, fraksi imigrasi, fraksi emigrasi, jumlah
penduduk pembuang limbah, dan fraksi penduduk pembuang limbah. Semua
peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak, diformulasikan secara
numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model populasi penduduk
dengan menggunakan powersim 2.5c dan hasilnya diperlihatkan pada Gambar 40.
Gambar 40. Diagram alir sub-model limbah penduduk.

Pada Gambar 40 terlihat bahwa beban limbah penduduk yang berfungsi


sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian antara jumlah penduduk pembuang
limbah dengan fraksi beban limbah penduduk satuannya dalam ton pertahun.
Beban limbah penduduk tersebut akan menambah peningkatan total beban limbah
yang masuk ke perairan danau.

5.5.2. Sub-model Limbah Hotel


Sub-model pariwisata atau perhotelan menggambarkan dinamika kegiatan
pariwisata (perhotelan), berikut peubah yang menentukan dan ditentukannya.
Peubah yang terlibat dalam sub-model ini meliputi jumlah hotel, jumlah kamar,
jumlah pengunjung per tahun, jumlah hunian per tahun, fraksi hunian per tahun,
fraksi pengunjung per tahun, jumlah limbah cair, fraksi limbah cair. Semua
peubah berhubungan baik secara langsung mapun tidak, diformulasikan secara
numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model hotel dengan
menggunakan powersim version 2.5c dan hasilnya seperti diperlihatkan pada
Gambar 41.
Dari Gambar 41 terlihat bahwa beban limbah cair dari hotel yang
berfungsi sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian antara jumlah pengunjung
hotel dengan fraksi limbah cair hotel. Peningkatan jumlah beban limbah yang
dihasilkan hotel akan berpengaruh terhadap peningkatan total beban limbah yang
masuk ke perairan danau.
Gambar 41. Diagram alir sub-model limbah hotel.

5.5.3. Sub-model Limbah Peternakan


Sub-model limbah peternakan menggambarkan dinamika limbah yang
dihasilkan oleh aktivitas peternakan di sekitar perairan Danau Maninjau. Limbah
peternakan sapi potong ini dapat meningkatkan beban pencemaran yang masuk
ke perairan danau. Peubah yang terlibat dalam sub-model ini meliputi jumlah sapi
potong, laju penambahan sapi potong, jumlah limbah cair per tahun, jumlah feses
pertahun. Dengan menggunakan powersim version 2.5c, semua peubah-peubah ini
berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan
secara numerik menghasilkan diagram alir sub-model limbah peternakan seperti
diperlihatkan pada Gambar 42.

Gambar 42. Diagram alir sub-model limbah peternakan.


5.5.4. Sub-model Limbah Pertanian
Sub-model limbah pertanian menggambarkan dinamika limbah yang
dihasilkan oleh aktivitas pertanian di sekitar perairan Danau Maninjau. Peubah
yang terlibat dalam sub-model ini meliputi jumlah lahan pertanian, laju konversi
lahan, fraksi laju konversi lahan, jumlah pemakaian pupuk kimia, fraksi
pemakaian pupuk kimia, limbah pupuk, fraksi limbah pupuk. Dengan
menggunakan powersim version 2,5c semua peubah-peubah ini berhubungan baik
secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik
menghasilkan diagram alir sub-model limbah pertanian (Gambar 43).

Gambar 43. Diagram alir sub-model limbah pertanian.

5.5.5. Sub-model Limbah KJA


Sub-model limbah KJA menggambarkan dinamika limbah yang dihasilkan
oleh kegiatan KJA yang ada di perairan Danau Maninjau. Limbah KJA ini dapat
meningkatkan beban pencemaran yang terjadi di perairan danau. Peubah yang
terlibat dalam sub-model ini meliputi jumlah KJA, laju penambahan KJA, fraksi
penambahan KJA, total berat ikan yang ditebar, fraksi berat ikan tebar, fraksi
jumlah ikan tebar, total pakan per hari, fraksi pakan per hari, limbah pakan per
hari, fraksi pakan per hari, luas lahan KJA dan lahan terpakai untuk KJA. Dengan
menggunakan powersim version 2,5c semua peubah-peubah ini berhubungan baik
secara langsung maupun tidak dan diformulasikan secara numerik menghasilkan
diagram alir sub-model limbah pakan KJA seperti tertera pada Gambar 44.
Gambar 44 . Diagram alir sub-model limbah KJA.

Gambar 44 mempresentasikan bahwa beban pakan per hari (limbah pakan)


yang berfungsi sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian antara jumlah pakan
perhari dengan fraksi pakan perhari, satuannya dalam bentuk ton per tahun.
Peningkatan beban limbah pakan ini akan menambah jumlah total limbah yang
masuk ke perairan danau.
Penggabungan kelima sub-model limbah (sub-model limbah penduduk,
sub-model limbah hotel, sub-model limbah peternakan, sub-model limbah
pertanian dan sub-model limbah KJA) merupakan gambaran total beban
pencemaran yang masuk ke perairan Danau Maninjau dalam hubungannya
sebagai penyumbang beban pencemar. Penyusunan diagram alir sebab akibat
dalam model ini didasarkan pada keterkaitan antara variabel-variabel dalam
struktur sistem pencemaran perairan danau, seperti pertumbuhan jumlah penduduk
di sekitar perairan danau, kegiatan di luar danau (pertanian, peternakan,
pariwisata) dan KJA di danau dengan segala faktor yang mempengaruhinya
seperti pada Gambar 6 (halaman 56). Diagram tersebut memperlihatkan bahwa
inti dari pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan danau adalah yang
berhubungan dengan pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan
(permukiman, pertanian, peternakan, perhotelan) serta kegiatan KJA dalam
menunjang kesejahteraan penduduk. Jadi semua unsur tersebut saling terkait dan
saling mempengaruhi dalam sistem. Berdasarkan diagram lingkar sebab akibat
tersebut, disusun diagram alir model pengendalian pencemaran perairan danau
dengan bentuk struktur modelnya seperti Gambar 45.
Gambar 45. Diagram alir model pengendalian pencemaran perairan
di Danau Maninjau.

Keterangan:
Bbn Lmb = beban limbah (jumlah limbah keseluruhan)
Bbn lmb Pertn = beban limbah pertanian
BM = baku mutu
Fr Bbn pkn = fraksi beban pakan
Fr Brt ikan = fraksi berat ikan
Fr Emig = fraksi emigrasi penduduk per tahun
Fr Imig = fraksi imigrasi penduduk per tahun
Fr jml ikan tebar = fraksi jumlah ikan pertama kali di tebar
Fr Pkn = fraksi jumlah fosfor dalam pakan
Fr Jml Kmr = fraksi jumlah kamar per hotel
Fr Jml Pengjng = fraksi jumlah pengunjung hotel per tahun
Fr JPP Lmb = fraksi jumlah penduduk pembuang limbah cair
Fr KAS = fraksi kapasitas asimilasi per tahun
Fr Kl Pddk = fraksi kelahiran penduduk per tahun
Fr Km Pddk = fraksi kematian penduduk per tahun
Fr lj pnb Htl = fraksi laju penambahan hotel per tahun
Fr lmb cair Pddk = fraksi limbah cair penduduk
Fr Limb Cair Htl = fraksi limbah cair hotel
Fr lmb Cair TNK = fraksi limbah cair ternak sapi per ekor per hari
Fr lmb feses TNK = fraksi limbah feses dari ternak sapi per ekor per hari
Fr Lmb TNK = fraksi limbah ternak sapi per ekor per hari
Fr Ls lhn KJA = fraksi luas lahan setiap KJA
Fr Penb KJA = fraksi penambahan KJA per tahun
Fr Lhn pert = fraksi penambahan lahan pertanian per tahun
Fr lmb Ppk = fraksi penambahan unsur fosfor dari pupuk
Fr Pmk Ppk = fraksi pemakaian pupuk per hektar per tahun
Fr Pnb TNK = fraksi penambahan ternak sapi per tahun
Jml Htl = jumlah hotel
Jml KJA = jumlah KJA
Jl PP Lmb = jumlah penduduk pembuang limbah cair
Jml kmr = jumlah kamar hotel
Jml pengjng Htl = jumlah pengunjung hotel per tahun
Kap asmls = kapasitas asimilasi terhadap PO4
Lhn trpki KJA = lahan terpakai untuk KJA
Lj Pnb TNk = laju penambahan ternak sapi potong per tahun
Lj Pn Bb Limb = laju penambahan beban limbah
Lj Penb KJA = laju penambahan KJA per tahun
Lj Penbh lhn pert = laju penambahan lahan pertanian per tahun
Lj Pnb Htl = laju penambahan hotel per tahun
Lj Penb Pddk = laju penambahan penduduk per tahun
Lj Pngr Pddk = laju pengurangan penduduk
Lmb Cair Htl = jumlah limbah cair hotel
Lmb Cair Pddk = jumlah limbah cair penduduk
Lmb Cair TNK = jumlah limbah cair ternak
Lmb feses TNK = jumlah feses ternak
Lmb Pkn KJA = jumlah limbah (sisa) pakan dari KJA
L lhn pert = jumlah luas lahan pertanian
Pmb lhn KJA = pembukaan lahan KJA
Pmk Ppk = pemakaian pupuk untuk pertanian
Pop Pddk = populasi penduduk di sekitar danau
Pop TNK = populasi ternak sapi
Ttl lmb TNK = total limbah ternak sapi
Ttl Brt ikan = total berat ikan
Ttl Pkn = total pakan yang diberikan per tahun

5.5.6. Analisis Kecenderungan Sistem (Simulasi Model)


Analisis kecenderungan sistem ditujukan untuk mengeksplorasi perilaku
sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model. Perilaku simulasi
ditetapkan selama 15 tahun, yakni dimulai tahun 2005 sampai dengan 2020.
Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin
terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah-peubah model yang akan
disimulasikan adalah limbah pakan, limbah cair penduduk, limbah cair ternak dan
limbah cair hotel. Dinamika beberapa peubah sistem dalam kurun waktu 15 tahun
disajikan pada Gambar 46.
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa jumlah penduduk di sekitar
perairan danau terus meningkat dari 30.532 jiwa pada awal simulasi menjadi
37.293 jiwa pada akhir tahun simulasi. Pola peningkatan jumlah penduduk diikuti
pula oleh jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah cair penduduk di sekitar danau
yang mengalir ke perairan danau terus bertambah, pada awal simulasi jumlah
beban limbah yang dihasilkan adalah 2183,93 ton meningkat menjadi 2.665,11
ton pada akhir simulasi. Demikian juga halnya dengan KJA di perairan Danau
Maninjau terus mengalami peningkatan, dari 8.955 unit pada awal tahun simulasi
menjadi 27.975 unit pada akhir tahun simulasi. Kondisi ini juga diikuti oleh
peningkatan beban limbah pakan yang masuk ke perairan danau. Pada awal tahun
simulasi beban limbah pakan sebesar 10.880,33 ton, meningkat menjadi 35.240,31
pada akhir tahun simulasi.

Gambar 46. Kecenderungan jumlah limbah yang masuk ke perairan danau.

5.5.7. Validasi Model


Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan
suatu model yang dibangun, apakah sudah merupakan perwakilan dari realitas
yang dikaji, yang dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Proses
validasi model dilakukan dengan dua tahap pengujian, yaitu (1) uji validitas
struktur model dan (2) uji output model (perilaku model)

(1). Uji validitas struktur model


Validasi struktur bertujuan untuk melihat sejauh mana kesesuaian struktur
model yang dibangun mendekati struktur sistem nyata. Uji ini berkaitan dengan
batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi yang digunakan
dalam sistem. Hal ini dapat dilakukan dengan uji kesesuaian strtuktur dan uji
konsistensi struktur.
Uji kesesuaian struktur bertujuan untuk memberi keyakinan bahwa
struktur model yang dibangun valid secara ilmiah. Struktur model pengendalian
pencemaran perairan yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi
penduduk, perhotelan, peternakan, pertanian dan KJA dengan beban limbah
haruslah bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Dengan demikian, hubungan
antara peubah populasi penduduk dan beban limbah yang dihasilkan haruslah
bersifat positif, demikian juga hubungan antara peubah perhotelan, perternakan,
pertanian dan keramba jaring apung dengan beban limbah haruslah bersifat
positif. Dalam model yang dibangun antar peubah tersebut haruslah dapat
dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem pencemaran di perairan danau.
Untuk maksud tersebut, dilakukan running dari model yang telah dibangun.
Kecenderungan keadaaan data penduduk Kecamatan Tanjung Raya pada
lima tahun terakhir (2000–2005), dengan laju pertumbuhan 1,15% per tahun,
maka jumlah penduduk tahun simulasi (2005-2020) mengalami kecenderungan
naik secara eksponensial. Pada tahun 2020 jumlah penduduk di kawasan Danau
Maninjau meningkat menjadi 37.293 jiwa dengan jumlah limbah cair yang
dihasilkan 2665,11 ton (Tabel 28 dan Gambar 47).

Tabel 28. Populasi penduduk dan KJA serta jumlah limbah yang dihasilkan
tahun 2005-2020
Jumlah limbah (Ton)

Jum la h pe nduduk (jiw a )

Gambar 47. Hubungan antara jumlah penduduk dengan jumlah limbah.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat


memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji
struktur, dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk
mewakili mekanisme kerja sistem nyata.

(2) Uji validasi output model (kinerja model)


Validasi kinerja model merupakan pengujian sejauhmana kinerja model
yang dibangun (output model) sesuai dengan kinerja sistem nyata, sehingga
memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta atau diterima secara
akademik. Validasi output dapat dilakukan dengan cara membandingkan data
hasil keluaran model yang dibangun dengan data empirik (Barlas, 1996).
Beberapa jenis teknik uji statistik yang dapat digunakan dalam pengujian
validasi kinerja model antara lain adalah absolute mean error (AME) dan absolute
variation error (AVE) serta U-Theil’s, dengan batas penyimpangan yang dapat
ditolerir adalah 5-10% (Barlas, 1996; Muhammadi et al., 2001). Disamping itu
juga digunakan uji Durbin Watson (DW) dan Kalman filter (KF). Dalam
penelitian ini pengujian validasi kinerja terhadap model yang dibangun
menggunakan uji Kalman Filter, dengan tingkat fitting (kecocokan) yang dapat
diterima 47,5-52,5%.
Pengujian validasi kinerja ini dilakukan terhadap dua sub model, yaitu
sub-model penduduk dan sub-model KJA yang menjadi sumber limbah dominan
yang masuk ke perairan danau. Setelah melalui berbagai penyempurnaan baik
secara struktural maupun fungsional maka hasil simulasi terhadap ke dua sub-
model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan data empiris,
seperti diperlihatkan pada Gambar 48 dan 49. Melalui penerapan formulasi
perhitungan KF (Lampiran 8) untuk variabel penduduk, diperoleh nilai kecocokan
sebesar 0,487286 (48,73%). Dengan demikian data-data hasil simulasi sub model
penduduk pada akhirnya cukup akurat, mengingat tingkat kecocokan KF antara
hasil simulasi dengan data empirik yang diperoleh berada pada batas kecocokan
(47,5–52,5%).
Jumlah Penduduk (jiwa)

Tahun

Gambar 48. Grafik perbandingan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data
Empirik.

Hasil perhitungan nilai tingkat kecocokan (KF) terhadap peningkatan


jumlah limbah dari KJA hasil simulasi dengan data perkembangan secara empirik
di lapangan, diperoleh nilai KF sebesar 0,509852 atau 50,98% (Gambar 49).
Berdasarkan nilai KF tersebut, maka model yang dikembangkan dapat dinyatakan
valid secara struktur dan dapat diterima secara akademik.
Jumlah KJA (unit)

Ta hun

Gambar 49. Grafik perbandingan perkembangan jumlah KJA hasil simulasi


dengan data empirik.
5.6. Penyusunan Skenario Pengendalian Pencemaran Perairan Danau
Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang
memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata yang ada di lapangan.
Skenario pengendalian pencemaran perairan danau dirancang berdasarkan pada
hasil analisis prospektif. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara menentukan faktor-
faktor kunci yang berperan penting terhadap berbagai kemungkinan yang akan
terjadi di masa depan.
Berdasarkan identifikasi dari expert (pakar) didapatkan 13 faktor kunci
yang dianggap berpengaruh dalam pengendalian pencemaran di perairan Danau
Maninjau di masa depan, yaitu: (1) jumlah KJA, (2) pertumbuhan penduduk, (3)
persepsi masyarakat, (4) fasilitas pengolahan limbah, (5) dukungan pemerintah
daerah, (6) pengolahan lahan di sekitar danau, (7) program pengelolaan danau, (8)
sarana dan prasarana, (9) teknologi budidaya perikanan, (10) daya dukung danau,
(11) pemetaan kawasan danau (zonasi), (12) pendangkalan danau (erosi), dan (13)
kerjasama lintas sektoral.
Hasil analisis secara matriks hubungan antara faktor kunci dari pakar
terhadap pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor kunci tersebut dari
sistem yang dikaji, secara rinci disajikan pada Lampiran 6. Selanjutnya hasil
analisis silang antar faktor kunci tersebut dipresentasikan secara grafik dalam
salib sumbu Kartesien (Bourgeois, 2002; Hardjomidjojo, 2002). Berdasarkan
grafik dalam salib sumbu tersebut, terpilih lebih sedikit faktor kunci (penting)
yang berpengaruh dalam pengendalian pencemaran di perairan Danau Maninjau di
masa yang akan datang, seperti diperlihatkan pada Gambar 50.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji

Jumlah KJA

Pengolahan lahan
Pertumbuhan penduduk Dukungan Pemda

Pengaruh Persepsi masyarakat

Sarana dan prasarana


Erosi
Program pengelolaan danau
Teknologi budidaya perikanan

Kerjasama lintas sektoral


Fasilitas pengolahan limbah

Daya dukung danau


Zonasi danau

Ketergantungan

Gambar 50. Gambaran tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada


sistem pengendalian pencemaran perairan Danau Maninjau.

Dari analisis prospektif (Gambar 50) terlihat bahwa faktor penting dalam
pengendalian pencemaran perairan danau terkelompokkan dalam 4 kuadran.
Kuadran kiri atas (kuadran I) merupakan kelompok faktor yang memberikan
pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah
terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari tiga faktor, yaitu: 1)
jumlah KJA, 2) pertumbuhan penduduk, dan 3) persepsi masyarakat. Faktor-
faktor ini akan digunakan sebagai input di dalam sistem yang dikaji. Kuadran
kanan atas (kuadran II) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh
tinggi terhadap kinerja sistem dan mempunyai ketergantungan antar faktor yang
tinggi pula, sehingga digunakan sebagai stake (penghubung) di dalam sistem.
Kuadran ini terdiri dari dua faktor yaitu: 1) pengolahan lahan dan 2) dukungan
pemerintah daerah. Kuadran kanan bawah (kuadran III) memiliki pengaruh yang
rendah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi terhadap
keterkaitan antar faktor, sehingga menjadi output di dalam sistem. Kuadran ini
terdiri dari empat faktor, yaitu: 1) program pengelolaan danau, 2) fasilitas
pengolahan limbah, 3) daya dukung danau, dan 4) zonasi danau. Kuadran kiri
bawah (kuadran IV) mempunyai pengaruh rendah terhadap kinerja sistem dan
ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri
dari empat faktor, yaitu: 1) teknologi budidaya perikanan, 2) sarana dan prasarana,
3) erosi, dan 4) kerjasama lintas sektoral.
Berdasarkan pada penilaian pengaruh langsung antar faktor sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 50, dari ke-13 faktor kunci tersebut didapatkan
sebanyak dua faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan
ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, yaitu: 1) pengolahan lahan dan 2)
dukungan pemrintah daerah, serta tiga faktor yang mempunyai pengaruh yang
tinggi terhadap kinerja sistem walaupun ketergantungan antar faktor rendah, yaitu
1) jumlah KJA, 2) pertumbuhan penduduk, dan 3) persepsi masyarakat. Oleh
sebab itu, kelima faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat state
(kondisi) yang mungkin terjadi di masa depan sehubungan dengan pengendalian
pencemaran perairan danau.
Deskripsi dari masing-masing faktor kunci hasil analisis pengaruh
langsung antar faktor adalah sebagai berikut:
a) KJA merupakan sistem pembudidayaan ikan dengan teknik keramba jaring
apung yang diberi pakan buatan (pellet). Pertambahan KJA akan
meningkatkan jumlah sisa pakan (limbah) yang masuk ke perairan danau.
Pertambahan KJA didasarkan pada pertambahan historis tiap tahunnya.
b) Pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan penduduk terjadi akibat pertambahan melalui kelahiran dan
urbanisasi serta pengurangan akibat kematian dan emigrasi. Pertumbuhan
penduduk akan mempengaruhi jumlah limbah yang dihasilkan dari kegiatan
domestik. Pertumbuhan tersebut didasarkan pada data historis tiap tahunnya.
c) Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat adalah pandangan responden tentang kegiatan
pengendalian pencemaran perairan danau. Cara mengetahuinya adalah melalui
beberapa indikator pertanyaan yang menjelaskan pandangan responden
terhadap (1) kegiatan pencegahan pencemaran danau, (b) kegiatan
penanggulangan pencemaran danau dan (3) kegiatan dalam partisipasi pada
pencegahan dan penanggulangan pencemaran danau.
d) Pengolahan lahan
Pengolahan lahan di sekitar danau oleh masyarakat terutama dalam hal
pertanian dan perkebunan dapat mempengaruhi beban limbah yang masuk ke
perairan danau.
e) Dukungan pemerintah daerah
Pemerintah daerah yang dimaksud adalah instansi yang terkait dengan
pemanfaatan perairan Danau Maninjau. Dukungan yang diberikan dapat
berupa bantuan tentang teknologi/fasilitas pengolahan limbah cair, pelatihan
dan penyuluhan pada masyarakat.

Skenario pengendalian pencemaran perairan danau dibuat berdasarkan


perkiraan responden mengenai kondisi faktor kunci di masa mendatang. Dari
perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor penting tersebut di masa
mendatang, disusun skenario yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Hasil
perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa datang, selanjutnya
dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar kondisi faktor tersebut. Dari
kombinasi antar kondisi faktor tersebut, didapatkan tiga skenario yang dinamai
dengan skenario (1) optimistik, (2) moderat, dan (3) pesimistik. Secara ringkas
penamaan dan susunan dari skenario tersebut disajikan pada Tabel 29 dan 30.

Tabel 29. Keterkaitan antar faktor dan kondisi (state) untuk analisis prospektif
No Faktor Kondisi (state) di masa datang
1 Jumlah KJA 1A 1B 1C
Meningkat, sebagai Menurun karena
akibat meningkatnya terjadinya penurunan
pendapatan sebagai Tetap kualitas air danau
hasil kegiatan KJA sehingga menurun-

kan hasil KJA


2 Pertumbuhan 2A 2B 2C
penduduk Meningkat tinggi
Tetap Meningkat sebagai akibat
urbanisasi
3 Persepsi 3A 3B 3C
masyarakat Meningkat secara Meningkat secara
Tetap bertahap (gradural) drastis karena adanya
sesuai kemampuan dan sosialisasi
pengetahuan masyarakat
4 Pengolahan 4A 4B
lahan Kurang sesuai dengan Sesuai dengan kaidah
kaidah konservasi, konservasi, efisiensi
intensif pemakaian pemakaian pupuk dan
pupuk dan pestisida pestisida
5 Dukungan 5A 5B 5C
pemerintah Kurang mendukung Mendukung dengan Sangat mendukung,
daerah karena dianggap membuat kebijakan memberikan
kurang berpengaruh pengendalian penyuluhan dan
terhadap kesejahteraan sosialisasi
masyarakat
Tabel 30. Skenario dan kombinasi keadaan faktor
No Skenario Kombinasi kondisi faktor
1 Pesimistik 1A, 2A, 2C, 3A, 4A, 5A
2 Moderat 1B, 2B, 3A, 5B,
3 Optimistik 1C, 3C, 4B, 5B

Jumlah skenario yang dapat dirumuskan dalam rangka pengendalian


pencemaran perairan di Danau Maninjau bisa lebih dari tiga, namun dari keadaan
dari masing-masing faktor kunci, kemungkinan yang paling besar diperkirakan
akan terjadi di masa yang akan datang adalah ketiga skenario tersebut.

1. Skenario Pesimistik
Skenario pesimistik dibangun berdasarkan state dan faktor kunci dengan
kondisi; 1) jumlah KJA yang semakin meningkat setiap tahun dengan
pertumbuhan > 7,89%; 2) pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi yaitu
> 1,15%, hal ini juga akan meningkatkan jumlah penduduk yang membuang
limbah ke perairan danau; 3) kurangnya sosialisasi dan penyuluhan oleh
pemerintah sehingga pengetahuan masyarakat tentang pengendalian pencemaran
perairan danau menurun menjadi < 68%; 4) pengolahan dan pemanfaatan lahan
yang kurang sesuai dengan kaedah konservasi dan semakin tingginya pemakain
pupuk kimia dan insektisida pada lahan pertanian di sekitar perairan danau. Hal
ini akan meningkatkan beban limbah pertanian (residu pupuk dan pestisida) yang
masuk ke perairan danau; dan 5) pemerintah daerah kurang mendukung, karena
mengganggap masalah pencemaran perairan danau kurang berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat sekitar perairan danau.
Penerapan konsep skenario pesimistik ini akan memberikan implikasi
berupa: 1) beban limbah dari pakan akan meningkat; 2) jumlah penduduk yang
membuang limbah ke perairan danau semakin meningkat; 3) kepedulian
masyarakat terhadap pencemaran perairan danau semakin berkurang; 4)
pemerintah daerah kurang memberi perhatian terhadap pengendalian pencemaran;
dan 5) beban limbah berupa residu pupuk dan pestisida semakin meningkat. Hasil
simulasi model pada skenario pesimistik diperlihatkan pada Gambar 51.
Gambar 51. Prediksi beban limbah pada skenario pesimistik sampai tahun 2020.

2. Skenario Moderat
Skenario moderat mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan
yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan
keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki saat ini. Skenario ini
dibangun berdasarkan state dari faktor kunci dengan kondisi sebagai berikut; 1)
jumlah KJA di perairan danau tidak mengalami peningkatan (tetap) yaitu 8955
unit; 2) pertumbuhan penduduk tetap pada tingkat 1,15%; 3) persepsi masyarakat
meningkat secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan
masyarakat; 4) pengolahan dan pemanfaatan lahan disekitar perairan danau
kurang sesuai dengan kaedah konservasi, pemakain pupuk dan pestisida sangat
intensif sehingga residu pupuk dan pestisida masuk ke perairan danau cukup
tinggi; dan 5) pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap pengendalian
pencemaran perairan danau dengan memberikan informasi dan menyediakan
fasilitas penampungan limbah atau sampah sementara.
Penerapan skenario moderat ini akan memberikan implikasi berupa: 1)
pertumbuhan jumlah KJA tetap pada tingkat petumbuhan 7,89% per tahun; 2)
beban pencemaran juga meningkat akibat pertumbuhan penduduk; 3) persepsi
masyarakat meningkat (> 68%) secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuannya. Hasil simulasi model pada skenario moderat diperlihatkan pada
Gambar 52.
Gambar 52. Prediksi beban limbah pada skenario moderat sampai tahun 2020.

3. Skenario Optimistik
Skenario optimistik dibangun berdasarkan keadaan (state) dan faktor kunci
dengan kondisi; 1) laju pertumbuhan jumlah KJA yang semakin menurun setiap
tahunnya mencapai 2% serta dengan pemberian pakan yang efektif (konversi
pakan 0,1); 2) pertumbuhan penduduk meningkat menjadi 1,25%; 3) persepsi
masyarakat meningkat akibat adanya sosialisasi dan penyuluhan oleh pemerintah.
Persepsi masyarakat terhadap pengendalian pencemaran perairan meningkat
mencapai > 85%; sehingga jumlah penduduk yang membuang limbah ke
perairan danau tinggal 15%; 4) pengolahan dan pemanfaatan lahan sudah sesuai
dengan kaedah konservasi dan efektifitas pemakain pupuk kimia serta insektisida
pada lahan pertanian di sekitar perairan danau. Hal ini dapat mengurangi beban
limbah pertanian (residu pupuk dan pestisida) yang masuk ke perairan danau; dan
5) pemerintah daerah mendukung dengan memberikan penyuluhan, sosialisasi
dan penyediaan fasilitas tentang pengendalian pencemaran perairan danau.
Penerapan konsep skenario optimistik ini akan memberikan implikasi
berupa: 1) beban limbah dari KJA akan menurun; 2) jumlah penduduk yang
membuang limbah ke perairan danau semakin berkurang; 3) pemahaman dan
kepedulian masyarakat terhadap pencemaran perairan danau semakin meningkat;
4) dukungan atau perhatian pemerintah daerah terhadap pengendalian pencemaran
semakin tinggi; dan 5) beban limbah berupa residu pupuk dan pestisida yang
masuk ke perairan danau semakin berkurang. Hasil simulasi model pada skenario
optimistik diperlihatkan pada Gambar 53.
Gambar 53. Prediksi beban limbah pada skenario optimistik sampai tahun 2020.

5.7. Analisis Perbandingan Penerapan antar Skenario


Perbandingan kinerja sistem hasil simulasi dari ketiga skenario yang
dirumuskan menjadi dasar utama untuk menentukan skenario yang paling tepat
diterapkan dalam rangka pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau.
Kinerja sistem dengan skenario pesimistik memperlihatkan kondisi sistem yang
tidak mendukung terhadap penekanan beban pencemaran yang masuk ke perairan
danau. Hal ini ditunjukkan oleh semakin tingginya jumlah limbah yang masuk ke
perairan danau. Pada skenario ini, kondisi yang akan terjadi adalah tingkat
pertumbuhan jumlah KJA mencapai 8% per tahun dan tingkat pertumbuhan
penduduk mencapai 1,25% per tahun. Persepsi masyarakat terhadap pengendalian
pencemaran perairan menurun menjadi 50%.
Skenario moderat tidak lain adalah kondisi eksisting yang berlangsung
pada saat ini, dimana state menghasilkan kinerja sistem di masa depan yang tidak
mampu menekan peningkatan beban pencemaran yang masuk ke perairan danau.
Kondisi dengan pertumbuhan jumlah KJA 7,89% per tahun dan pertumbuhan
penduduk di sekitar perairan danau sebesar 1,15% per tahun serta jumlah
penduduk yang membuang limbah ke perairan danau sebesar 75%. Hal ini akan
mengakibatkan peningkatan beban limbah, sehingga belum memenuhi baku mutu
pada tahun 2020.
Kinerja sistem dengan skenario optimistik lebih baik dari skenario
pesimistik dan moderat dan mampu menekan peningkatan beban limbah yang
masuk ke perairan danau. Dengan pertumbuhan jumlah KJA 2% per tahun,
pertumbuhan penduduk 1% per tahun, dan peningkatan kesadaran penduduk di
sekitar perairan danau sebesar 85% untuk tidak membuang limbahnya ke perairan
danau. Kondisi ini akan mengurangi peningkatan beban limbah yang masuk ke
perairan danau dan diyakini akan menurunkan beban limbah hingga mencapai
baku mutu pada tahun 2020.
Berdasarkan perbandingan ketiga skenario serta pemodelan dalam sistem
pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau, dengan segala
sumberdaya yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Agam khususnya
Kecamatan Tanjung Raya maka skenario yang paling mungkin terjadi dimasa
depan adalah pesimistik 25%, moderat 55% dan optimistik 20%. Skenario yang
terjadi mengilustrasikan bahwa dalam upaya pencegahan agar beban limbah yang
masuk ke perairan danau sesuai dengan yang diharapkan atau sesuai dengan baku
mutu, maka perlu dilakukan dengan suatu kebijakan yang kondusif.
Gambar 54 memperlihatkan perbandingan ketiga skenario yang terjadi
dimasa yang akan datang terhadap sistem dalam menghasilkan beban limbah di
perairan Danau Maninjau. Skenario optimistik merupakan skenario yang
diharapkan terjadi dimasa depan, namun pilihan responden adalah skenario
moderat, sehingga diperlukan upaya-upaya tindakan atau strategi-strategi
pengendalian pencemaran perairan Danau Maninjau.

Perbandingan antar skenario


Bebanlimbah(Ton/tahun))

Ske na rio

Gambar 54. Grafik perbandingan tiga skenario beban limbah dalam pengendalian
pencemaran perairan di Danau Maninjau tahun 2005–2020.

5.8. Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Perairan Danau


Berdasarkan pada analisis kondisi eksisting perairan Danau Maninjau yang
meliputi kondisi parameter fisika, kimia dan mikrobiologi menunjukkan bahwa
beberapa indikator paramter kualitas air sudah di atas ambang batas yang
diizinkan sebagai sumber air baku air minum. Secara umum status kualitas
perairan danau berada pada kondisi tercemar sedang. Demikian juga, berdasarkan
pemodelan yang disertai simulasi terhadap skenario yang mungkin terjadi di masa
depan, maka beberapa rumusan strategi kebijaksanaan untuk meurunkan beban
limbah yang masuk ke perairan danau dalam upaya pengendalian pencemaran
perairan danau berdasarkan prioritas adalah sebagai berikut:
1. Persepsi masyarakat sekitar perairan danau masih rendah yaitu sebesar 14%,
maka perlu melakukan upaya peningkatan persepsi dan kesadaran masyarakat
untuk tidak membuang limbah langsung ke perairan danau. Hal ini dapat
dilakukan dengan penyuluhan dan pelatihan serta sosialisasi pada masyarakat
sekitar perairan danau. Selain itu, penekanan beban limbah ke perairan danau
dapat dilakukan dengan mengupayakan peningkatan fasilitas sanitasi
lingkungan di sekitar perairan danau.
2. Tingkat pertambahan KJA cukup tinggi yaitu sebesar 7,89% per tahun, maka
perlu melakukan upaya penurunan laju pertambahan KJA pada tingkat 2% per
tahun untuk menekan beban limbah yang masuk ke perairan danau. Hal ini
dapat dilakukan melalui perizinan yang ketat terhadap penambahan KJA yang
baru. Selain itu, penekanan beban limbah dari KJA perlu melakukan upaya
pemberian pakan dengan kadar fosfor yang rendah. Hal ini dapat dilakukan
melalui kerjasama Pemda Kabupaten Agam dengan perusahaan (paberik)
penghasil pakan.
3. Penurunan jumlah beban limbah cair yang terkait dengan jumlah penduduk
dapat dilakukan dengan mengupayakan penekanan laju pertumbuhan
penduduk tidak melebihi 1,0% per tahun. Hal ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan pelayanan keluarga berencana, pembatasan usia nikah dan
membatasi penduduk yang masuk dan berdomisili di sekitar perairan danau.
4. Mengupayakan konservasi pada lahan pertanian disekitar perairan danau,
sehingga dapat menurunkan kadar total padatan tersuspensi (TSS) yang masuk
ke perairan danau. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan penghijauan serta
membatasi pengembangan permukiman di sempadan danau.
5. Mengupayakan pemakaian pupuk dan pestisida secara efektif melalui
penyuluhan dan sosialisasi.

5.9. Analisis Sensitivitas Model


Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap
stimulus, yang tujuannya adalah untuk menemukan alternatif tindakan baik untuk
mengakselerasi kemungkinan pencapaian positif maupun maupun untuk
mengantisipasi dampak negatif. Hasil simulasi model setelah dilakukan intervensi
struktural melalui fungsi IF dengan cara menurunkan tingkat laju pertumbuhan
penduduk sebesar 1% yang dimulai pada tahun 2006, ternyata tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap level atau stock total beban limbah. Intervensi penurunan
laju pertumbuhan penduduk tersebut menghasilkan jumlah beban limbah sebesar
58052,76 ton (Gambar 55).

Gambar 55. Grafik beban limbah dengan pengurangan pertumbuhan penduduk


dengan intervensi struktural.

Pertumbuhan sumber limbah khususnya jumlah KJA merupakan variabel


dominan yang menjadi penyebab terhadap masalah peningkatan jumlah limbah
yang masuk ke perairan danau. Upaya penurunan beban pencemaran (limbah)
dapat berhasil secara efektif bila kebijakan yang ditempuh adalah dengan
mengurangi laju pertumbuhan jumlah KJA. Melalui intervensi struktural dengan
menurunkan atau mengurangi rata-rata pertumbuhan KJA menjadi 1% per tahun
dengan menggunakan fungsi IF yang dimulai pada tahun 2006. Hasil simulasi
menunjukkan efek yang nyata terhadap penurunan beban limbah yang masuk ke
perairan danau. Intervensi penurunan laju pertumbuhan KJA tersebut
menghasilkan jumlah beban limbah sebesar 49816,91 ton (Gambar 56).

Gambar 56. Grafik beban limbah dengan pengurangan KJA dengan intervensi
struktural.

5.10. Pembahasan Umum


Kondisi atau kualitas lingkungan perairan Danau Maninjau berada pada
tingkat kualitas sedang atau telah mengalami pencemaran pada kategori ringan.
Hal ini diindikasikan oleh beberapa parameter fisika dan kimia yang telah
melampaui baku mutu perairan sebagai sumber air baku air minum, kecuali
parameter total padatan terlarut (TDS), fecal coliform dan pestisida. Parameter
total padatan tersuspensi (TSS) dan fosfat tinggi pada daerah aliran Bandar Ligin,
oksigen terlarut (DO) rendah pada daerah aliran Sungai Limau Sundai, sementara
untuk kebutuhan oksigen kimia (COD) dan kebutuhan oksigen biokimia (BOD5)
adalah tinggi. Parameter nitrit tinggi pada daerah aliran Sungai Jembatan Ampang
dan Batang Kalarian.
Karakteristik masyarakat yang berdomisili di sekitar perairan Danau
Maninjau terutama di daerah sempadan danau, pada umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Pekerjaan masyarakat sebagian besar adalah petani
dengan tingkat pendapatan termasuk kategori rendah. Persepsi masyarakat
mengenai pengendalian pencemaran yang terjadi di perairan danau termasuk
kategori rendah.
Aliran beban limbah yang masuk ke perairan danau selain berasal dari
daerah di sempadan danau yang membawa limbah organik juga berasal dari
kegiatan kerambah jaring apung (KJA). Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
KJA ini berupa sisa pakan yang tidak dimakan ikan dan feses yang dapat
menumpuk dan menimbulkan sedimentasi di dasar perairan danau.
Skenario yang mungkin akan terjadi di masa depan pada perairan Danau
Maninjau adalah skenario pesimistik, moderat dan optimistik. Berdasarkan
pendapat para pakar, skenario yang paling mungkin terjadi adalah moderat dan
pesimistik. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan atau strategi yang tepat
untuk mengubah kondisi pesimistik dan moderat yang menyebabkan beban
limbah melebihi baku mutu yang ditetapkan menjadi optimistik, sehingga beban
limbah di bawah ambang baku mutu yang ditetapkan. Stategi penurunan laju
pertumbuhan KJA menjadi 2%, dan penerapan pemberian pakan yang efektif
dengan rasio 3% dengan pakan yang rendah kandungan fosfornya, sehingga dapat
mengurangi limbah (sisa pakan) yang masuk ke perairan danau. Disamping itu,
strategi penekanan laju pertumbuhan penduduk tidak melebihi 1%, pembuatan
instalasi pengolahan limbah rumah tangga (tanki septik) yang berbasis masyarakat
sangat diperlukan karena mampu mengurangi beban limbah yang masuk ke
perairan danau. Hal lain yang dapat dilakukan adalah upaya penanggulangan dari
sumber beban limbah itu sendiri seperti peningkatan kesadaran masyarakat
terhadap dampak limbah terhadap perairan danau.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Parameter kualitas perairan danau yang telah melampui baku mutu air kelas 1
berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 yang peruntukannya sebagai sumber air
baku air minum adalah TSS, COD, BOD5, nitrit dan fosfat. Berdasarkan
indeks mutu lingkungan perairan (IMLP), maka mutu perairan Danau
Maninjau termasuk kualitas sedang atau tercemar ringan.
2. Model pengendalian pencemaran perairan di Danau Maninjau yang dibangun
dapat menggambarkan perilaku sistem nyata, yang tersusun dalam lima sub-
model, yaitu sub-model limbah (1) penduduk, (2) hotel, (3) peternakan, (4)
pertanian dan (5) KJA. Ada dua faktor yang memiliki pengaruh dan
ketergantungan antar faktor yang tinggi terhadap kinerja sistem, yaitu 1)
pengolahan lahan; 2) dukungan pemerintah daerah, serta tiga faktor yang
memiliki pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem namun ketergantungan antar
faktor rendah, yaitu: 1) jumlah KJA; 2) pertumbuhan penduduk; dan 3)
persepsi masyarakat.
3. Kebijakan yang dapat diterapkan untuk menekan beban limbah agar sesuai
dengan baku mutu air yang diperuntukan sebagai sumber air baku air minum
berdasarkan prioritas adalah: 1) meningkatkan persepsi dan pengetahuan
masyarakat tentang dampak pencemaran perairan danau, 2) mengurangi laju
pertumbuhan KJA; dan 3) menekan laju pertumbuhan penduduk; dan 4)
mengupayakan pembangunan instalasi pengolahan limbah rumah tangga
(tengki septik) di sekitar perairan danau.
4. Pengendalian pencemaran Danau Maninjau dapat dilakukan dengan strategi
optimistik, namun perlu didukung oleh beberapa kebijakan berupa (1)
dukungan pemerintah untuk membangun fasilitas pengolahan limbah cair
penduduk dan pengadaan pakan yang rendah kandungan fosfornya serta
infrastruktur penunjang lainnya, (2) peningkatan kesadaran, kepedulian serta
tanggungjawab masyarakat terhadap lingkungan dan (3) menyusun rencana
strategis daerah khusus bidang pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka
135

pengendalian pencemaran perairan danau dan peningkatan sanitasi


lingkungan.

6.2. Saran

1. Model pengendalian pencemaran perairan danau yang dihasilkan dapat


diaplikasikan pada perairan danau lain dengan melakukan penyesuaian atau
perubahan pada beberapa variabel tertentu yang disesuaikan dengan kondisi
eksisting perairan danau tersebut.
2. Dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran perairan danau yang lebih
efektif, pemerintah perlu melibatkan semua pelaku yang berkepentingan atau
terkait dengan keberadaan danau.
3. Penelitian ini belum menelusuri dampak dari pencemaran perairan danau
terhadap penurunan ekonomi masyarakat dan institusi terkait. Oleh karena itu
dipandang perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui kerugian ekonomi
akibat pencemaran secara akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Agustiyani, D. 2004. Proses Terjadinya Penyuburan (Eutrofikasi) dan Dampaknya


di Perairan. Di dalam Maryanto, I., dan R. Ubaidilah, [Editors].
Manajemen Bioregional Jabodetabek Profil & Strategi Pengelolaan Sungai
& Aliran Air. LIPI. Cibinong Bogor. pp. 97–107.

Ahl, T. 1980. Eutrofication of Norwegian freshwater in relation to natural


conditions. in: eutrofication of deep lakes. Progress in Water Technology
12 (2) : 49 – 61.

Al-Masri, M.S., A. Aba, H. Khalil, and Z. Al-Hares. 2002. Sedimentation rates


and pollution history of a dried lake: al-Oteibeh Lake. J. The Science of
the Total Environment 293: 177–189.

Amdur, M.O., J. Doull, and C.D. Klaassen. 1991. Casarett and Doull’s:
th
Toxicology The Basic Science of Poisons. 3 Ed. McGrow Hill, Inc.
Toronto.

Aminullah, E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Makalah


Kuliah Umum (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Anonim, 1998. Cirata and Saguling Environmental Studies and Training.


Environmental Division, Directorate of Operation PT PLN.

Alearts, G., dan S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional.
Surabaya.

Anggoro, S. 1996. Dampak Pencemaran terhadap Fisik-Kimia Air. Materi Kursus


AMDAL. PPLH Undip. Semarang.

[APHA] American Public Health Association, [AWWA] American Water Works


Association. 1995. Standart Methods for the Examination of Water and
th
Waste Water. 17 Ed. Washington.

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.

Avnimelech, Y. 2000. Nitrogen control and protein recycling: activated


suspension ponds. Advocate 3 (2) : 23–24.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan. 2005. Rencana Teknik
Lapangan. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Sub
Daerah Aliran Sungai Antokan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Padang.
137

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Agam. 2002.


Pemantauan dan Evaluasi Kualitas Air Danau Maninjau. Bappeda
Kabupaten Agam. Lubuk Basung.

. 2005. Rencana Strategis dan Program Pembangunan Daerah


Kabupaten Agam. Bappeda Kabupaten Agam. Lubuk Basung.

[Bapedalda] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera


Barat. 2001. Laporan Penelitian Pencemaran dan Kerusakan Danau
Maninjau. Bapedalda Sumatera Barat. Padang.

Barbieri, A., and M. Simona. 2003. Trophic evaluation of Lake Lugano related to
external load reduction: changes in phosphorus and nitrogen as well as
oxygen balance and biological parameters. Lakes & Reservoirs: Reseach
and Management 6 (1) : 37 – 47.

Barg, U.C. 1992. Guedelins for the Promation of Environmental Management of


Coastal Aquaculture Development. FAO Fisheries Technical Paper. FAO.
Romea.

Barlas, Y. 1996. Formal Aspetc of Model Validity and Validation Sistem


Dinamic. Sistem Dynamics Review. Vol. 12. (http://www. Albany
edu/cp/sds/sdcourses). [22 Desembar 2003].

Beveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture. Fishing. Second Edition. News


Books. London.

Boyd, C.E. 1982. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University
Agricultural Experimenta Satation. Auburn Alabama.

Bourgeois, R. 2002. Expetr Meeting Methodology for Prospective Analysis.


CIRAD Amis Ecopol.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Agam. 2004. Kecamatan Tanjung Raya
Dalam Angka 2004. Lubuk Basung.

Brahmana, S.S., and F. Achmad. 1997. Eutrophication in the Three Reservoirs at


Citarum River Basin and It’s Relation to Beneficial Uses. Workshop On
Ecosystem Approach to Lake and Reservoir Management. Denpasar 22–
25 Juli 1997.

Brahmana, S.S., U. Suyatno., S. Bahri, dan R. Fanshury. 2002. Pencemaran air


dan eutrofikasi Waduk Karangkates dan upaya penanggulangannya. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pengairan 16 (49) : 73–81.

Brower, J.E., and J.H. Zar. 1977. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. WMc. Brown Company Publisher. Dubuque Iowo.
Brown, A.W.A. 1978. Ecology of Pesticides. John Wiley & Son. New York.

Canter, L.W., dan L.G. Hill. 1979. Handbooks of Variables for Environmental
Impact Assesment. Ann Arbor Science Publisher Inc. Michigan.

Chester, R. 1990. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London.


th
Cole, G.A. 1988. Textbook of Limnology. 3 Ed. Waveland Press Inc. Illionis
USA.

Connell, D.W., and G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Y.
Koestoer [Penerjemah]; Terjemahan dari: Chemistry and Ecotoxicology
of Pollution. UI-Press. Jakarta.

Darmono. 1995. Logam Berat dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press.
Jakarta.

Davis, M.L., and D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental


Engineering. Second edition. Mc-Graw-Hill, Inc. New York.

Davies, J., G. Claridge, dan Nirarita. 1995. Manfaat Lahan Basah: Potensi Lahan
Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Asean Wetland
Bureau. Bogor.

Deswati, L. 2001. Laporan Penelitian Tinjauan Kondisi Perairan Danau Maninjau


Berdasarkan Jenis dan Kelimpahan Fitplankton. (Tidak Dipublikasikan).
Fakultas Perikanan-Universitas Bung Hatta. Padang.

Diliarosta, S. 2002. Korelasi Kepadatan Populasi Ikan Bada (Rasbora


argyrotaenia) dengan Kepadatan Populasi Ikan Barau (Hampala
macrolepidota) di Danau Maninjau [Tesis]. Program Pascasarjana,
Universitas Negeri Padang. Padang.

Direktorat Jenderal PPM dan PLP. 1995. Penyehatan Air : Materi Pelatihan bagi
Petugas Kesehatan Lingkungan Daerah TK II. Direktorat Jenderal PPM
dan PLP Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Djojomartono, M. 2000. Bahan Kuliah Dasar-Dasar Analisis Sistem Dinamik.


(Tidak Dipublikasikan). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Djunaidi, O.S. 2000. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) terpadu dan
kaitannya dengan pelestarian fungsi danau dan waduk. Di dalam
Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Proseding Semiloka
Nasional. Universitas Padjadjaran Bandung, 7 Nopember 2000. Bandung.
pp. 1-210 – 1-223.
Dojildo, J.R., and G.A. Best. 1992. Chemistry of Water and Water Pollution. Ellis
Horwood Limited. New York.
nd
Edward, C.A. 1975. Persistent Pesticidest in the Environment. 2 Ed. C.R.C
Press. Ohio.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Eriyatno. 2002. Ilmu Sistem; Apa dan Bagaimana. Centre for System Studies and
Development (CSSD) Indonesia. Jakarta.

. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.


Jilid I. Edisi ke tiga. IPB Press. Bogor.

. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB


Press. Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.

Fakhruddin, M., H. Wibowo, L. Subehi, dan I. Ridwansyah. 2001. Karakterisasi


hidrologi Danau Maninjau Sumatera Barat. Limnotek VIII (1): 65–75.

Faust, S.D., dan O.M. Aly. 1981. Chemistry of Natural Water. Ann Arbor Science
Publisher Inc. Michigan.

Ford, A. 1999. Modeling the Environment: An Introduction to System Dynamics


Models of Environmental System. Island Press. Washington, DC.

Garno, Y.S. 2002. Beban pencemaran limbah perikanan budidaya dan yutrofikasi
di perairan waduk pada DAS Citarum. J. Tek. Ling. P3TL-BBPT 3 : 112-
120.

. 2004. Biomanipulasi, paradigma baru dalam pengendalian limbah


organik budidaya perikanan di waduk dan tambak.
http://www.iptek.net.id. [8 Februari 2007].

Gather, R., and D.M. Imboden. 1985. Lake Restoration. In Stumm. W. (Ed).
Chemical Processes in Lake. John Wiley & Sons, Inc. Canada.

Golmand, C.R., dan A.J. Horne. 1989. Limnology. McGraw Hill Company. New
York.

Grant, W.E., E.K. Pedersan, and S.I. Marin. 1997. Ecology and Natural Resource
Management. System Analysis and Simulation. John Wiley & Sons. New
York.
Hadi, A. 2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. PT
Gramedia Utama. Jakarta.

Handoko. [Editor] 1995. Klimatologi Dasar; Landasan Pemahaman Fisika


Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Edisi kedua. Pustaka Jaya. Jakarta.

Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai
(Kasus di DAS Kaligarang, Jawa Tengah) [Disertasi]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardjomidjojo, H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas


Teknologi Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.

Hardjosoemantri, K. 2001. Laporan Penelitian Dampak Budidaya Ikan terhadap


Pencemaran Perairan (Studi Kasus pada Budidaya Ikan dalam KJA di
Danau Tandano Minahasa) (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana,
Ilmu Lingkungan-UI. Jakarta.

Haryadi, S. 2003. Pencemaran daerah aliran sungai (DAS). Di dalam Manajemen


Bioregional Jabodetabek: Tantangan dan Harapan. Workshop
Pengembangan Konsep Bioregional Sebagai Dasar Pengelolaan Kawasan
Secara Berkelanjutan. Bogor, 4-5 Nopember 2002. Pusat Penelitian
Biologi LIPI. Bogor. pp. 165-172.

Haryani, G.S. 2004. Menuju pemanfaatan sumberdaya perairan darat


berkesinambungan: permasalahan dan solusinya. Di dalam Peran Strategis
Data dan Informasi Sumberdaya Perairan Darat dalam Pembangunan
Nasional. Seminar Nasional Limnologi. Bogor, 28 Juli 2004. LIPI. pp. 15–
22.

Haslam, S.M. 1995. River Pollution, an Ecological Perspective. Belhaven Press.


London UK.

Hendersend-Seller, B., and H.R. Markland. 1987. Decaying Lakes, The Origin
and Control of Cultural Eutrophication. John wiley & Sons. Britain.

Husin, Y.A., dan B. Syaiful. 1991. Indeks mutu kualitas air perairan di daerah
operasi geotermal Gunung Salak. Jurnal Pusat Studi Lingkungan dan
Pembangunan 11(4) : 187–200.

Hutabarat, S., dan S.M. Evans. 1984. Pengantar Oseonografi. UI Press. Jakarta.

Jeffries, M., and D. Mills. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications.
John Wiley and Sons. Chicester UK.
Jorgensen, S.E., and R.A. Vollenweiden. 1989. Guedelines of Lakes
Management: Principles of Lakes Management Vol 1. International Lake
Environment Foundation. Shiga-Japan.

Jorgensen, S.E. 1989. Use of model. In Joregensen, S.E., R.A. Vollenweiden,


editor. Guedelines of Lakes Management. Vol 1: 71-89. Principles of
Lakes Management. International Lake Environment Foundation. Shiga-
Japan.

. 1990. Lake Management. Pergamond Press Ltd. Oxford-Great Britain.

. 1994. Fundamental of Ecological Modeling. Elsevier, Amsterdam.

Kemka, N., T. Njine, S.H.Z. Togouet, S.F. Menbohan, M. Nola, A. Monkiedje, D.


Niyetegeka, and P. Compere. 2006. Eurtofication of lakes in urbanized
areas: the case of Yaonnde municipal lake in Cameroon, Central Africa.
Lakes & Reservoirs: Reseach and Management 11 (1) : 47–55.

Kevern, N.R. 1982. A Manual of Limnological Methods.Departement of Fisheries


and Wildlife Michigan State University. Michigan.

Khan, S.U. 1980. Pesticides in the Soil Environment. Elsevier. Amsterdam.

Khosla, M.R., G.H. Alan, and P.L. Angermeier. 1995. Assesing water quality
interdisciplinary problems and approach. Interdisciplinary Scirnce
Reviews 20 (3) : 229–240.

[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Koesoebiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bag. IV Ekologi Perairan. PSL


Sekolah Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kositratana , N.A., S. Nuntapotidec, Supatanasikasem, and A. Ittharatana. 1989.


Report of the Assesment of Pollution from Land-Base source and their
Impact on the Environment. Officer of the National environmental Board
(ONEB). Thailand.

Krech, D and Crutcfield. 1985. Theory and Problem of Social Psychology. Mc.
Grow Hill. New Delhi.

Krylova, J.V., E.A. Kurashov, and N.N. Korkishko. 2003. The Pollution of Lake
Ladoga by organochlorine pesticides and petroleum products. Lakes &
Reservoirs: Reseach and Management 8 (3-4) : 231–246.

Kumurur, V.A. 2002. Aspek strategis pengelolaan Danau Tondano secara terpadu.
Ekoton 2 (1) : 73-80.
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.

Lee, C.D., S.B. Wang, and C.L. Kuo. 1978. Bhentich and fish as biological
indicator of water quality with references of water pollution in developing
countries. Bangkok.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2003. Permasalahan Danau


Maninjau dan Pendekatan Permasalahannya. Cibinong. Bogor.

[LPP-UMJ] Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Muhammadiyah


Jakarta. 2006. Audit Lingkungan, Kajian Lingkungan Sosial dan Telaahan
Teknologi PLTA Maninjau. UMJ. Jakarta.

[LPPM-UBH] Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Bung


Hatta. 2002. Penelitian Penggunaan Ikan Nilem dan Tawas sebagai Agen
Hayati Pembersih Perairan Danau Maninjau. UBH. Padang.

Mahbud, B. 1990. Penilaian Pencemaran Air dengan Indeks. J. Penelitian dan


Pengembangan Pengairan 17: 10-17.

Mahida, U. N. 1993. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
th
Manahan, S.E. 1991. Environmental Chemistry. 5 Ed. Lewis Publisher.
Michigan.

Manetsch, T.J., G.L. Park. 1977. System Analysis and Simulation with
th
Application to Economic and Social System. 3 Ed. Departement of
Electrical Engineering and System Science. Michigan State University.
East Lansing. Michigan.

Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.

Mara, D. 2004. Domestic Wastewater Treatmen in Devoloping Countries.


Earthscan. London.

Metcalf and Eddy. 1979. Wastewater Engineering; Collection, Treatment,


Disposal. McGraw Hill Inc. New delhi.

Midlen, A., and T.A. Redding. 2000. Enviromental Management for Aquaculture.
Kluwer Academic Publishers. Dordrecht.

Mitsch, W.J and J.G. Gosselink. 1994. Wetlands. In Water Quality Prevention,
Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand
Reinhold. New York.
Muhammadi., E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis
Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.

Nasaruddin. 2001. Laporan Penelitian Pencemaran dan Kerusakan Danau


Maninjau. (Tidak dipublikasikan). Bapedalda Sumatera Barat. Padang.

Nastiti, A.S., Krismono, dan E.S. Kartamiharja. 2001. Dampak budidaya ikan
dalam KJA terhadap peningkatan unsur N dan P di perairan Waduk
Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 7
(2): 22-30.

Nazir. 1993. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman, M.,
Koesoebiono, D.G. Begen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo [Penerjemah].
Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. PT.
Gramedia. Jakarta.

Novonty, V., and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and
Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York.

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Tj. Samigan. [Penerjemah]; Srigandono


[Editor]. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Gajah Mada Press.
Yogyakarta.

[OECD] Organization for Economic Cooperation and Development. 1982.


Eutrophication of Waters. OECD Publication Office. Paris.

Ott, W.R. 1978. Environmental Indices, Theory and Practice. Ann Arbor Science.
Michigan.

Parcella, M.B. 1975. Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for
Trofical Countries. AIT. Bangkok.

Parma, S. 1990. The History of eutrofication concept and eutrofication in the


Nederlands. Hydrobiological Bulletin 14 (1) : 5–21.

Payne, A.L. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and
Sons. Singapore.

Peavy, H.S., D.R. Rowe, and G. Tchobanoglous. 1986. Environmental


Engineering. McGrow-Hill Book Company. Singapore.

Perkins, E.J. 1974. The Biology of Estuaries and Coastal Water. Academi Press
Co. New York.

Pescod, M.B. 1973. Invfestigation of National Efluent and Steram Standar for
Tropical Countries. AIT. Bangkok.
Porpraset, C. 1989. Organic Water Recycling. Jhon Wiley & Sons. Chicester.

[PLN] Perusahaan Listrik Negara. 2002. Rencana Pengelolaan Lingkungan.


Pikitring PLN Sumbar-Riau. Bukittinggi.

Pramudya, B. 1989. Permodelan Sistem Pada Perencanaan Mekanisasi Dalam


Kegiatan Pemanenan Tebu Untuk Industri Gula [Disertasi]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[PSDA] Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Barat. 2005. Laporan
Akhir Pekerjaan Studi Kasus Danau Maninjau. PT. Dipo Trikarsa. Padang.

Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk


Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan
Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rao, C.S. 1992. Environmental Pollution Control Engineering. Wiley Eastern


Limited. New Delhi.

Ruttner. 1977. Fundamental of Limnology. University of Toronto Press. Canada.

Ryding, S.O., and W. Rast. (Editors). 1989. The Control of Eutrophication of


Lakes and Reservoirs. The Parthenon Publishing Group. Paris.

Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Satari, G. 2000. Pengelolaan dan pemanfaatan danau dan waduk. Di dalam


Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Proseding Semiloka
Nasional. Universitas Padjadjaran Bandung, 7 Nopember 2000.
Universitas Padjadjaran Bandung. Bandung. pp 3-41 – 3-47.
th
Sawyer, C.N., and P.L. McCarty. 1978. Chemistry for Sanitary Engineers. 3 Ed.
McGrow-Hill Book Company. Tokyo.

Setiana, A. 1996. Nitrate and phosphorus leaching and the impact to reservoir
water quality. Jurnal Alami 1 (1): 32-35.

Shivastava, P., A. Saxena., and A. Swarup. 2003. Heavy metal pollution in a


sewage-feld Lake of Bhopal, (m. p) India. Lakes & Reservoirs: Reseach
and Management 8 (1) : 1–4.
nd
Southwick, C.H. 1976. Ecology and Quality of Our Environment. 2 Ed. D. Van
Nostran Company. New York.
Soemarwoto, O., N. Djuangsih, dan A. Soeriadarma. 1979. Residu pestisida di
dalam hasil pertanian dan air. Di dalam Proseding Seminar Kualitas Air.
Bogor, 24 Agustus 1979. PUSDI-PSL IPB Bogor. pp. 444-483.

Sumarwoto, O., D. Silalahi, dan S. Sukimin. 2004. Menanganinya Harus Ada


Langkah Nyata: Waduk & Danau Kini Terancam Punah.
http://www.kompas.com. [12 Oktober 2005].

Stum, W., and J.J. Morgan. 1981. Aquatic Chemistry: an Introduction


Emphasizing Chemical Equalibra in Natural Water. John Wiley & Sons,
Inc. Canada.

Sudarmo, S. 1992. Pestisida untuk Tanaman. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Suratmo, F. G. 2002. Panduan Penelitian Multidisplin. IPB Press. Bogor.

Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan


Secara Biologis. Alumni. Bandung.

Sutamihardja, R.T.M. 1992. Pengelolaan kualitas air dan pencemaran air. Di


dalam Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management.
Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality
Management. Jakarta, 6 – 10 Januari 1992. Jakarta. pp. 43-48.

Syandri, H. 2002a. Laporan Penelitian Dampak Keramba Jaring Apung terhadap


Kualitas Perairan Danau Maninjau. Presented in Diskusi Panel Press Club
(PPC). Padang.

. 2002b. Laporan Penelitian Perikanan Keramba Jaring Apung dan PLTA


terhadap Perairan Danau Maninjau. Lembaga Studi Analisa Lingkungan
dan Sosial. Padang.

. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan Umum. Unri Press.


Pekanbaru.
nd
Tebbutt, T.H. 1977. Principle of Water Quality Control. 2 Ed. University of
Brimingham. England.

Temenggung, M.A. 2004. Penggunaan Sumur Dangkal sebagai Penyediaan Air


Bersih dan Hubungannya dengan Kesakitan Diare [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Thoha M. 1988. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT.


Rajawali. Jakarta.
146

[UNEP] Unitet Nation Environment Programme-International Environmental


Technology Centre. 2001. Planing and Management of Lakes and
Reservoirs : An Integrated Approach to Eutrophication : A Student Guide.
UNEP-IETC. Osaka/Shiga.Vesilind, P.A., J.J. Peirce, and R.F. Weiner.
th
1990. Environmental Pollution and Control. 3 Ed. Butterwort-Heineman.
Boston.

Van Horn, H.N,. A.C. Wilkie, W.J. Powers, and R.A. Nordtedt. 1994. Component
of dairy manure management system. J. Dayri Sci. 77 : 2008–2030.

Wardoyo, S.T.H. 1989. Kriteria Kualitas Air untuk Pertanian dan Perikanan.
Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan
Departemen Pekerjaan Umum. Bandung.
th
Wetzel, R.G. 2001. Limnology Lake and River Ecosystems. 3 Ed. Academica
Press. San Diego California.

[WHO] World Health Organization. 1993. Rapid Assesment of Sources of Air,


Water, and Land Pollution. Genewa, Switzerland.

Winardi. 1989. Pengantar tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Penerbit
Mandar Maju. Bandung.

Wood, M.S. 1997. Subtidal Ecology. Edward Arnoldy Limited. Australia.

Zhu, Z. 1989. System Approaches: Where the East Meets West? World Future
1999 (53): 253-276.
Lampiran 1. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Baku Mutu Keterangan
No Parameter Satuan
Kelas I
1 Temperatur 0 deviasi 3 Deviasi tempratur dari keadaan alamianya
C
2 Residu terlarut mg/L 1000
3 Residu tersuspensi mg/L 50 Pengelolaan air minum secara konvensional ≤ 5000 mg/L
4 pH - 6-9
5 BOD5 mg/L 2
6 COD mg/L 10
7 DO mg/L 6
-3
8 PO4 sebagai P mg/L 0.2
9 NO3 sebagai N mg/L 10
10 NH3 -N mg/L 0.5
11 NH2 -N mg/L 0.06 Pengolahan air minum secara konvensional ≤ 1 mg/L
12 Arsen mg/L 0.05
13 Kobalt mg/L 0.2
14 Barium mg/L 1
15 Kadmium mg/L 0.01
16 Khrom (VI) mg/L 0.05
17 Tembaga mg/L 0.02 Pengelolaan air minum secara konvensional ≤ 1 mg/L
18 Besi mg/L 0.3 Pengelolaan air minum secara konvensional ≤ 5 mg/L
19 Timbal mg/L 0.03 Pengelolaan air minum secara konvensional ≤ 0.1 mg/L
20 Mangan mg/L 0.1
21 Air Raksa mg/L 0.001
22 Seng mg/L 0.05 Pengelolaan air minum secara konvensional ≤ 5 mg/L
23 Khlorida mg/L -
24 Sianida mg/L 0.02
25 Flourida mg/L 0.5
26 Sulfat mg/L 400
27 Khlorida bebas mg/L 0.03
28 S sebagai H2S mg/L 0.002 Pengolahan air minum secara konvensional ≤ 0.1 mg/L
29 Fecal coliform Jml/100 ml 100
30 Total coliform Jml/100 ml 1000
31 Gross-A Bq/L 0.1
32 Gross-B Bq/L 1
33 Minyak dan Lemak ug/L 1000
34 Deterjen sebagai
MBAS ug/L 200
35 Fenol ug/L 1
36 BHC ug/L 210
37 Aldrin/Dieldrin ug/L 17
38 Chlordane ug/L 3
39 DDT ug/L 2
40 Heptachlor dan ug/L 14
Heptachlor epoxide ug/L
41 Lindane ug/L 50
42 Methoxychlor ug/L 35
43 Endrin ug/L 1
44 Toxaphan ug/L 5
148

Keterangan:
mg = milligram
ug = mikrogram
ml = milliliter
L = liter
Bq = Bequerel
MBAS = Methylen Blue Aktive Substance
ABAM = Air baku untuk air minum
Logam berat merupakan logam tgerlarut
Nilai diatas merupakan nilai maksimum kecuali untuk pH dan DO
Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum
Nilai DO merupakan nilai minum
Tanda ≤ adalah lebih kecil atau sama dengan
Tanda ≥ adalah lebih besar atau sama dengan
Lampiran 2. Nilai rata-rata parameter kualitas air pada setiap stasiun pengamatan

No Parameter
Stasiun Suhu TSS TDS Kekeruhan Kecerahan Warna pH CO2 bebas DO BOD5
0
( C) (mg/L) (mg/L) (JTU) (cm) (PtCo) (mg/L) (mg/L) (mg/L)
Sungai

Danau

Parameter
Stasiun COD NH3 NO3 NO2 PO4 Karbofenation DDT F. Coliform T. coliform
(mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (ug/L) (ug/L) (MPN/100 ml) (MPN/100 ml)
Sungai

Danau
150

Lampiran 3. Hasil perhitungan IMLP Danau Maninjau


Lampiran 3 (Lanjutan)
Lampiran 3. (Lanjutan)
Lampiran 4. Perhitungan beban limbah aktivitas penduduk

I Sungai Limau Sundai

A. Limba cair Tanpa diolah

B.Pakai Septic tank


Lapiran 4. ( Lanjutan )

II. Batang Maransi

A. Limba cair tanpa diolah

B.Septic tank
Lampiran 4 (Lanjutan)

III. Bandar Ligin

B. Septic tank
Lampiran 4 (Lanjutan)

IV. S. Jembatan Ampang

A. Limba cair tanpa diolah

B.Septic tank
Lampiran 4 (Lanjutan)

V. Batang Kalarian

A. Limba cair tanpa diolah

B.Septic tank
Lampiran 4 (Lanjutan)

VI. Sungai Tembok Asam

A. Limba cair tanpa diolah

B.Septic tank
159

Lampiran 5. Persepsi masyarakat sekitar Danau Maninjau tentang


pengendalian pencemaran perairan danau

A. Sebaran prekuensi persepsi masyarakat Nagari Bayur tentang


pengendalian pencemaran perairan danau
Kategori
Persepsi
Rendah Sedang Tinggi
responden
n % n % n %
Pencegahan 28 56 12 24 10 20
Penanggulangan 32 64 11 22 7 14
Partisipasi 34 68 9 18 5 10
Rataan 31,33 62,67 10,67 21,33 7,33 14,67

B. Sebaran prekuensi persepsi masyarakat Nagari Maninjau tentang


pengendalian pencemaran perairan danau
Kategori
Persepsi
responden Rendah Sedang Tinggi
n % n % n %
Pencegahan 27 54 14 28 9 18
Penanggulangan 30 60 12 24 8 16
Partisipasi 32 64 10 20 8 16
Rataan 29,67 59,3 12 24 8,3 16,7

C. Sebaran prekuensi persepsi masyarakat Nagari Sungai Batang tentang


pengendalian pencemaran perairan danau
Kategori
Persepsi
responden Rendah Sedang Tinggi
n % n % n %
Pencegahan 34 68 10 20 6 12
Penanggulangan 36 72 9 18 5 10
Partisipasi 34 68 11 22 5 10
Rataan 34,67 69,33 10 20 5,3 10,7
Lampiran 3 (Lanjutan)

Stasiun
Batang. Batang Bandar Sungai Batang
No Parameter Limau Maransi Ligin Jembatan Kalarian
Sundai Ampang
1 DO 8.84 9.01 9.01 8.5 8.67
2 Suhu 9.3 9.2 9.3 9.2 9
3 F. coliform 7.5 7.95 7.95 7.2 7.65
4 pH 10.8 11.16 10.8 11.16 10.8
5 NO3 8.8 9 8.6 9 8.9
6 PO4 6.3 6.2 6.2 6.1 6.6
7 BOD5 4 4.5 4.2 4.2 4.2
8 Kekeruhan 5.6 5.84 5.52 5.44 5.52
9 TSS 6.96 6 .8 6.96 6.88 6.88
Total 68.1 69.66 68.54 67.68 68.22
Kriteria IMLP Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Lampiran 6. Pengaruh langsung antar faktor pada Analisis Prospektif

Pemanfaatan

prasarana Sarana dan

Daya dukung
Pertumbuha n
pemerintah Dukungan
Persepsi

pengelolaan

pengolahan

Teknologi
Teknologi
Program

Kerjasama
penduduk

danau

Zonasi danau

lintas sektoral
lahan

Erosi
perikanan budidaya
Jumlah KJA
Dari

masyarakat

limbah
danau
Terhadap

Persepsi masyarakat 2 - 1 1 3 1 1 1 1 - 2 2

Dukungan pemerintah 1 2 1 2 3 2 2 - 2 3 - 1

Jumlah KJA 2 3 1 3 2 2 3 3 1 3 2 3

Pertumbuhan penduduk 3 3 2 1 3 1 3 2 - 2 1 2

Pemanfaatan lahan 1 2 2 2 3 2 2 2 3 3 1 1
Program pengelolaan
danau 2 2 2 2 1 2 3 2 2 1 1 2

Sarana dan prasarana 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 2 2


Teknologi pengolahan
limbah 2 2 1 2 1 1 - - 2 1 1 2
Teknologi budidaya
perikanan 2 2 2 2 2 2 1 1 3 2 - 1

Daya dukung danau - 2 1 - 1 2 - 2 - 2 - -

Zonasi danau 1 - 1 - 2 2 1 - 2 1 - 2

Erosi 2 3 2 2 3 3 2 2 1 2 1 1

Kerjasama lintas sektoral 1 2 1 2 2 1 1 2 1 - 1 1


expert
Lampiran 8. Hasil perhitungan KF dan tingkat kecocokan model dari data empirik dan simulasi
pertumbuhan penduduk dan keramba jaring apung (KJA)

Keterangan:
Va = Varian nilai aktual/empirik
Vs = Varian nilai simulasi
KF = Kalman Filter
Gambar 4. Peta lokasi penelitian
Keterangan: 1. Batang Maransi 3. Sungai Limau Sundai 5. Bandar Ligin
7. Batang Kalarian 9. Sungai Jembatan Ampang 11. Sungai Tembok Asam

Anda mungkin juga menyukai