Anda di halaman 1dari 15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam

berupa suatu ekosistem. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan

lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pamulardi, 1999)

Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang klimaks.Tumbuh-tumbuhan

yang terdapat di dalam hutan ini tidak pernah menggugurkan daunnya secara

serentak, kondisinya sangat bervariasi seperti ada yang sedang berbunga, ada yang

sedang berbuah, ada yang dalam perkecambahan atau berada dalam tingkatan

kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis tumbuh-tumbuhan

tersebut. Hutan hujan tropis memiliki vegetasi yang khas daerah tropis basah dan

menutupi semua permukaan daratan yang memiliki iklim panas, curah hujan cukup

banyak serta tersebar secara merata (Irwan, 1992).

Daniel, et al, (1992) menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi

kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik

dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3)

pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah

aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang,

serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil

hutan, (7) manfaat penting lainnya seperti nilai estetis, rekreasi, kondisi alam asli, dan

Universitas Sumatera Utara


taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan

dengan pengolahan hutan.

Menurut Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu type

vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU

dan 10o LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimax pada daerah

dengan curah hujan 2000 sampai 4000 mm pertahun, rata-rata temperatur 25o C

dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun dan kelembaban udara 80

%.

Hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan

dengan system penggunaan lahan pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang

tinggi. Hutan alami dengan keanekaragaman jenis pepohonan yang berumur panjang

dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi. (Hairiah dan

Rahayu, 2007).

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut

(FAO, dalam FWI, 2003), jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari

14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada Negara-negara lain di Asia dan

setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini

secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon.

2.2 Hutan Dataran Rendah

Menurut Pamulardi (1999) Hutan dataran rendah merupakan salah satu dari tiga

bentuk ekosistem alami utama selain hutan Monsoon dan Hutan Pegunungan di

Universitas Sumatera Utara


Indonesia. Ekosistem dataran rendah merupakan bagian terbesar hutan dan mencakup

kawasan yang paling luas di Indonesia, terletak pada ketinggian 0 – 1000 meter dari

permukaan laut.

Menurut Indriyanto (2006); Direktorat Jendral Kehutanan, (1976) berdasar

ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga

zona atau wilayah sebagai berikut :

1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah, karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 0 – 1.000 meter.

2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 1.000 – 3.300 meter dari permukaan laut.

3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 3.300 – 4.100 dari permukaan laut.

Selanjutnya Irwan (1992), menyatakan hutan hujan tropis sangat menarik, karena

merupakan ekosistem yang klimaks. Tumbuh-tumbuhan dalam hutan hujan tropis

tidak pernah menggugurkan daun.

Hutan dataran rendah ditandai oleh perbedaan biomasa yang sangat besar dan

jumlah ini dapat diukur dalam jumlah karbon yang ada. Dari jumlah biomassa hutan

dataran rendah hanya 1-2 % terdapat dalam serasah tumbuhan, kira-kira 40 % dalam

tanah, tetapi kira-kira 60 % dalam tumbuhan. Hutan type ini ditandai juga dengan

adanya secara nyata tumbuh-tumbuhan pemanjat pohon yang banyak dan lebat,

pohon-pohon berbanir besar dan banyak pohon-pohon dengan batang yang tinggi

bulat mempunyai kulit yang halus ( Anwar, et al.,1992 ).

Universitas Sumatera Utara


Hutan alam di Indonesia sebagian besar merupakan hutan hujan tropis basah,

karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan berada di wilayah khatulistiwa,

merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman tinggi. Di hutan bawah banyak

terdapat spesies pohon anggota family; Dipterocarpaceae terutama anggota genus

Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalonops, dan Cotylelobium. Dengan

demikian, hutan hujan bawah disebut juga :hutan Dipterocarpaceae. Selain terdapat

pohon famili Dipterocarpaceae juga terdapat anggota family Lauraceae, Myrtaceae,

Miristicaceae, dan Ebenaceae serta pohon-pohon anggota genus Agathis, Kompassia,

Altingia, Duabanga, Gosanepinus, Octomeles, dan Dyera (Soerianegara 1998)

2.3 Pohon

Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam Hutan Hujan Tropis,

yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari

berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya;

cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Pohon-

pohon kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar, di dalam iklim

mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim

mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit,

tumbuhan pencekik, parasit dan saprofit (Withmore, 1984).

Pohon-pohon menjadi organisme dominan di hutan tropis, bentuk kehidupan

pohon berpengaruh pada fisiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan

dari komunitas. Banyak ciri-ciri pohon tropis berbeda dengan daerah lain mengingat

Universitas Sumatera Utara


terdapat ciri-ciri tertentu dan kebiasaan bercabang, dedaunan, buah-buahan dan

system akar yang jarang dan tidak pernah dijumpai di bagian bumi lain (Longman

dan Jenik, 1987).

Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya

dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem hutan. Pemanfaatan

ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran

keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu

fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan.

Menurut Sutarno dan Soedarsono (1997) pohon hutan merupakan tumbuhan

yang berawakan pohon, batangnya tunggal berkayu, tegak, biasanya beberapa meter

dari tanah tidak bercabang mempunyai tajuk dengan percabangan dan daun

berbentuk seperti kepala. Menurut Witmore (1986), dalam Tamin (1991), pohon

tumbuh secara alami di hutan dalam bentuk yang dominan dalam hutan hujan, bahkan

tumbuhan bawah sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu yang mempunyai

bentuk pohon.

Pada saat ini daerah hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman jenis

pohon yang terbesar dan masih cukup baik berada di Asia Tenggara, terutama di

Indonesia dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Haeruman,

1980). Keanekaragaman jenis yang tinggi terdapat di hutan hujan tropis yang menurut

Polunin (1997) memiliki struktur yang sangat kompleks dibandingkan dengan jenis

hutan lainya.

Universitas Sumatera Utara


Di Asia Tenggara umumnya ditemukan lebih dari seratus jenis spesies pohon

yang berbeda tiap hektarnya, tidak termasuk tingkat seedling (semai) walaupun

beberapa dugaan terdahulu menyatakan bahwa kadang-kadang jumlah keseluruhan

spesies pohon mungkin hampir 400 spesies per-hektar. Daerah hutan tropis yang

relatif paling sedikit adalah Afrika, dimana lebih sedikit dari 100 spesies pohon

perhektarnya merupakan endemik (Longman dan Jenik, 1974).

Untuk keperluan inventarisasi, Kusmana (1997) membedakan vegetasi hutan

sebagai berikut:

a. Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m

b. Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih

sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm

c. Tiang yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10 - 20 cm

d. Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm yang diukur 1,3

meter dari permukaan tanah.

2.4 Karbon tersimpan.

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena

terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut

dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas karbondioksida (CO 2 ), metana

(CH 4 ) dan nitrogen oksida (N 2 O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK)

Kenaikan konsentrasi CO 2 dan GRK lain di atmosfer dapat terjadi secara alamiah,

misalnya dari erupsi gunung berapi yang melepaskan sekitar 130-200 juta ton CO 2

Universitas Sumatera Utara


per tahun. Namun pada kenyataannya, pasca revolusi industri emisi CO 2 yang

dihasilkan manusia mencapai 27-30 milyar ton per tahun, lebih dari 130 kali lipat

dibandingkan emisi dari gunung berapi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Gas-gas tersebut

memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas

sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di

atmosfer (Najiati, et al., 2005).

Menurut Hairiah dan Rahayu, (2007), konsentrasi GRK di atmosfer

meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain

adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan

adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan

pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan

serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga

negara penghasil emisi CO 2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika

Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton

CO 2 pertahunnya atau menyumbang 10 % dari emisi CO 2 di dunia.

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, air H 2 O dan gas asam arang CO 2 ,

melalui proses fotosintasis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi

karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun

dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses

penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C

sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh

Universitas Sumatera Utara


tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di

atmosfir yang diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007)

Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu, (2007), menyatakan tanaman atau pohon

berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry)

merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C =C sink) yang jauh

lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan

keragaman jenis pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpanan C

tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan

atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. berkenaan dengan upaya

pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO 2 di udara harus dikendalikan

dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin

dan menekan pelepasan (emisi) CO 2 ke udara serendah mungkin. Jadi, minimal

dengan mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-

lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi

jumlah CO 2 yang berlebihan di udara. Jumlah ”C tersimpan” dalam setiap

penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai

”cadangan karbon C”.

Perbedaan penambahan carbon tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan

kandungan CO 2 di udara. Peningkatan CO 2 di atmosfer akan meningkatkan karbon

tersimpan (sinker CO 2 ). Kandungan karbon di jalur hijau jalan lebih tinggi

dibandingkan dengan jalur hijau sungai dan pantai diduga karena tingginya emisi

CO 2 dari kendaraan bermotor dan aktivitas manusia lainnya (Channel,1996)

Universitas Sumatera Utara


Hutan berperan dalam upaya penyerapan CO 2 dimana dengan bantuan cahaya

matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklofil mampu menyerap CO 2 dari

atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosisntasis ini antara lain disimpan

dalam bentuk biomasa yang menjadikan vegetasi tumbuhan menjadi besar dan tinggi

(Adinugroho, et al., 2009).

Dampak konversi hutan menjadi lahan pertanian baru terasa apabila diikuti

dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses

fotosintesis akibat munculnya gedung-gedung bertingkat serta bangunan-bangunan

dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Masalah utama yang terkait dengan

alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke

atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C (Mg = mega gram =

106 g = ton) yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan

kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C.

Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan

karbon yang telah ada dengan cara mengelola hutan lindung, mengendalikan

deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan

gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah,

(b)meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan

(c)mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui secara

langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau

aktivitas panas bumi (Rahayu, et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara


Polunin (1997) mengatakan bahwa hutan hujan tropis mempunyai biomasa

lazimnya 450 (dengan kisaran 60-800) Ton per hektar, tergantung pada tipe vegetasi

dan tipe tanah. Dan kebanyaan biomas ini terdapat dalam batang – batang pohon.

Palm, at al. menyatakan bahwa pohon hutan menyimpan 50-80 karbon namun

akumulasinya dipengaruhi oleh, jenis, iklim, tanah dan managemen.

Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh

jenis tegakannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan

spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi

bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan

kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan "allometric

equation" berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah

(Rahayu, et al., 2007).

2.5 Vegetasi

Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh

bersama-sama pada satu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya

terdapat interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewan-

hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi

tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu

kesatuan di mana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut

sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan,1978).

Universitas Sumatera Utara


2.6. Analisis Komunitas Tumbuhan

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan

atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur tegakan. Dalam ekologi hutan, satuan

vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan

asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh

karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk

mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang

dipelajari (Indriyanto, 2006).

Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai

komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya

dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap

spesies organisme (Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto, (1994) menjelaskan,

bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat

mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antarspesies dalam

komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan

akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas.

Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan

demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara

kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter

kuantitatif. Namun persoalan yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah

bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies

tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kuantitatif dan kualitatif apa saja

Universitas Sumatera Utara


yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data, agar dapat mengemukakan

komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh

(Gopal dan Bhardwaj, 1979).

2.6.1 Parameter Kuantitatif Dalam Analisis Komunitas Tumbuhan

Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan deskripsi suatu

komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif antara

lain: densitas/kerapatan, frekuensi, dan dominansi. Kusmana (1997) mengemukakan

bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter

kuantitatif yang penting, antara lain densitas, frekuensi, dan kelindungan.

Kelindungan yang sebenarnya sebagai bagian dari parameter dominansi.

Kelindungan adalah daerah yang ditempati oleh tetumbuhan dan dapat

dinyatakan dengan salah satu atau kedua-duanya dari penutupan dasar (basal cover)

dan penutupan tajuk (canopy cover). Adapun parameter umum dari dominansi yang

dikemukakan oleh Gopal dan Bhardwaj (1979), meliputi kelindungan, biomassa, dan

produktivitas. Kusmana (1997) mengemukakan bahwa dalam penelitian ekologi

hutan pada umumnya para peneliti ingin mengetahui spesies tetumbuhan yang

dominan yang memberi ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan.

Spesies tumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui dengan mengukur

dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan dengan beberapa parameter,

antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area, indeks nilai penting, dan

perbandingan nilai penting (summed dominance ratio).

Universitas Sumatera Utara


Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat

digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur

komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parameter yang

dimaksud untuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan

indeks kesamaan komunitas (Soegianto, 1994).

2.7 Kondisi Komunitas Tumbuhan Hutan

Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang

disebabkan oleh adanya aktifitas alam maupun manusia. Aktifitas manusia yang

berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai salah satu faktor penyebab

terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan yang ada di dalamnya. Aktifitas

manusia di dalam hutan dapat bersifat merusak, juga bersifat memperbaiki kondisi

komunitas tumbuhan hutan, yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya

penebangan pohon, pencurian hasil hutan, peladangan liar, pengembalaan liar,

pembakaran hutan, dan perambahan dalam kawasan hutan. Adapun aktifitas manusia

yang bersifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan adalah kegiatan

reboisasi dalam rangka merehabilitasi areal kosong bekas penebangan, areal kosong

bekas kebakaran, maupun reboisasi dalam rangka pembangunan hutan tanaman

industri (Indriyanto, 2006).

Untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan survey

vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode pengambilan contoh

untuk analisis komunitas tumbuhan. Kemudian, kondisi komunitas tumbuhan hutan

Universitas Sumatera Utara


dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang diperlukan dan dianalisis untuk

menginterpretasi perubahan yang terjadi. Dengan demikian, kajian kondisi komunitas

hutan akan sangat berguna dalam menerapkan sistem pengelolaan hutan (Indriyanto,

2006).

Potensi dan keadaan hutan yang selalu berubah karena pertumbuhan dan

kematian yang terjadi maupun karena penebangan yang dilakukan manusia,

menyebabkan perlu adanya informasi hutan setiap jangka waktu tertentu. Informasi

ini tidak hanya dilakukan terhadap tegakan baru atau tegakan yang mengalami

perubahan besar saja, tetapi terhadap seluruh tegakan yang ada (Simon, 2007).

2.8 Analisis Tegakan

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1978) yang dimaksud analisis vegetasi

atau studi komunitas adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan

bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan.

Cain dan Castro (1959) dalam Soerianegara (1978), menyatakan bahwa

penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak

pada komposisi jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan mengetahui

sejumlah karakteristik tertentu di antaranya, kepadatan, frekuensi, dominansi dan

indeks nilai penting.

Universitas Sumatera Utara


2.9. Komposisi Tegakan

Salah satu ciri hutan hujan tropik yang juga dapat disaksikan di hutan

pegunungan (Rifai, 1993). Lapisan-lapisan ini dibedakan atas lapisan tajuk (kanopi)

(A dan B) dan lapisan bawah (C dan D), kanopi merupakan atap hutan. Rata-rata

ketinggiannya adalah 20 sampai 35 meter, tumbuh rapat, sehingga tajuknya saling

bertautan membentuk kesinambungan dan menjadi atap hutan. Lapisan B dihuni oleh

pohon-pohon yang masih muda dan kecil. Ketinggian rata-rata 4 sampai 20 meter.

Lapisan C dan D adalah lapisan semak dan lapisan penutup tanah (Hafild dan Aniger,

1984).

Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang

meliputi jumlah jenis ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan

(Wirakusuma, 1990). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor

kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran biji dan perkembangan bibit. Pada

daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi

(Anwar, et al., 1992).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai