Anda di halaman 1dari 12

Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus…| Umi Yuminarti

Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12 No. 1 Juni 2017 | 13-24

JURNAL KEPENDUDUKAN INDONESIA


p-ISSN : 1907-2902 (Print)
e-ISSN : 2502-8537 (Online)

KEBIJAKAN TRANSMIGRASI DALAM KERANGKA OTONOMI KHUSUS


DI PAPUA: MASALAH DAN HARAPAN

(TRANSMIGRATION POLICY IN THE CONTEXT OF SPECIAL AUTONOMY IN


PAPUA: PROBLEMS AND EXPECTATIONS)
Umi Yuminarti
Universitas Papua
Korespondensi Penulis: yuminartiumi@ymail.com

Abstract Abstrak

Transmigration in Papua is perceived as an important Transmigrasi di Papua masih dipandang relevan


approach to improve welfare, to achieve equity in sebagai suatu pendekatan untuk mencapai
regional development, and to bond the nation. kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta
perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun,
However, this policy has also been a subject of
kebijakan ini juga mendapat banyak kritikan. Oleh
criticism. Thus, the implementation of transmigration karena itu, penyelenggaraan transmigrasi di Papua
policy in Papua needs to be adjusted along with the perlu disesuaikan seiring dengan pemberlakuan
enforcement of Special Autonomy Law in this province. Undang-undang Otonomi Khusus di provinsi ini.
The transmigration program is expected to be pro- Program transmigrasi diharapkan dapat berpihak pada
indigenous (affirmative action). This article discusses penduduk asli (affirmative action). Artikel ini
the role of transmigration in the development of Papua membahas peran transmigrasi dalam proses
pembangunan di Papua dan berbagai isu terkait yang
with some related issues which potentially threaten the
dapat mengancam eksistensi komunitas lokal. Sumber
existence of the local community. Data and data dan informasi dalam tulisan ini adalah hasil desk
information sources in this study are the result of desk review dari berbagai laporan penelitian, artikel, buku,
reviews from research reports, articles, books, and dan dokumen pendukung lainnya. Hasil analisis
supporting documents. The result shows menunjukkan pentingnya peran transmigrasi dalam
transmigration has a significant role in the proses pembangunan di Papua. Meskipun begitu,
development process of Papua. Still, it should consider program ini harus tetap mempertimbangkan hak-hak
dasar penduduk lokal agar konflik di masyarakat dapat
the fundamental rights of the indigenous to avoid terhindar. Selain itu, pelaksanaan program transmigrasi
conflict in the community. Besides that, the harus memegang prinsip demokratis agar dapat
implementation of transmigration program should mendorong peran serta masyarakat dalam proses
follow democratic principles to foster the participation pelaksanaan pembangunan.
of communities in the development process.
Kata Kunci : Transmigrasi, Otonomi Khusus,
Keywords: Transmigration, Special Autonomy, Affirmative Action, Papua
Affirmative Action, Papua

13
Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12, No. 1, Juni 2017 | 13-24

PENDAHULUAN konflik di masyarakat, khususnya di daerah


transmigrasi. Pelaksanaan transmigrasi juga harus
Transmigrasi di Papua dimulai sejak penjajahan memegang prinsip demokratis, yang dapat mendorong
Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda memulai peran serta masyarakat dalam proses pelaksanaan
program tersebut dengan nama kolonisasi. Proses pembangunan di daerah transmigrasi. Kajian ini
pemindahan penduduk berlanjut hingga Papua masuk diharapkan dapat memberi gambaran kepada para
sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia pengambil kebijakan terkait dengan pelaksanaan
(NKRI) pada tahun 1963. Pemerintah Indonesia program transmigrasi di masa yang akan datang.
mengubah istilah kolonisasi dengan transmigrasi untuk
menempatkan petani dari daerah padat penduduk ke Metode yang digunakan tulisan ini adalah analisis
daerah-daerah kosong di luar Pulau Jawa sebagai salah deskriptif untuk memberikan gambaran secara
satu cara memecahkan masalah kemiskinan dan sistematis, faktual dan akurat tentang fakta dan kondisi
kepadatan penduduk. serta sifat-sifat hubungan berbagai fenomena di
lapangan. Sumber data dan informasi dalam tulisan ini
Transmigrasi pada era otonomi khusus berubah dari adalah hasil studi literatur dari berbagai laporan
sistem sentralistis menjadi desentralisasi, dalam arti penelitian, artikel, buku dan dokumen pendukung
pemerintah daerah memiliki peran besar dalam lainnya, serta pengalaman penulis dalam penelitian-
pelaksanaan transmigrasi. Masyarakat adat juga penelitian yang relevan.
terlibat dalam pengambilan keputusan penentuan
berlangsungnya transmigrasi, karena masyarakat adat Analisis yang digunakan untuk mendukung metode
sebagai pemilik tanah ulayat. Pada saat ini, deskriptif pada tulisan ini adalah dengan teknik analisis
transmigrasi nasional ditolak untuk sementara waktu di aktivitas (activity analysis). Teknik analisis aktivitas
Papua berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi ini memungkinkan menyelidiki suatu aktivitas,
(Perdasi) Kependudukan No. 15 Tahun 2008. menganalisis, dan memberikan interpretasi. Hasil
Pertimbangannya adalah jumlah penduduk pendatang analisis sebagai bahan rekomendasi untuk keperluan
sudah melebihi penduduk lokal dan pelaksanaan masa yang akan datang. Analisis lainnya adalah
transmigrasi kurang berpihak pada penduduk lokal. analisis komparatif (comparative analysis) yang
Walaupun demikian, transmigrasi masih diakui digunakan untuk membandingkan pelaksanaan
sebagai salah satu program yang dapat meningkatkan program transmigrasi sebelum dan setelah era Otonomi
taraf hidup masyarakat dan salah satu cara untuk Khusus serta kondisi sosial ekonomi beberapa lokasi
pengembangan dan pembangunan wilayah. transmigrasi, khususnya di Papua Barat.

Bentuk transmigrasi yang saat ini dilaksanakan sesuai PEMBERLAKUAN OTONOMI KHUSUS
dengan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 UNTUK PAPUA DAN PAPUA BARAT
yaitu transmigrasi konsep ring I atau transmigrasi
lokal. Konsep ini menempatkan kembali masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan provinsi
suatu wilayah yang padat penduduk ke wilayah yang yang didirikan dengan dasar hukum UU No. 12 Tahun
kurang penduduk atas usulan masyarakat. Namun, 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian
kekurangan transmigrasi model ini adalah para Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi
transmigran sering meninggalkan lokasi dan kembali Irian Barat dan UU No. 45 Tahun 1999 tentang
ke tempat tinggal sebelumnya karena mengalami Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi
kesulitan memenuhi kebutuhan hidup akibat Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten
keterbatasan di lokasi transmigrasi. Jika tingkat Mimika, Kabupaten Punjak Jaya, dan Kabupaten
kenyamanan tinggal rendah, maka pengembangan Sorong. Provinsi paling timur di Indonesia ini baru
wilayah transmigrasi menjadi lambat dan tujuan bergabung dalam NKRI pada tahun 1963, meskipun
pelaksanaan program ini tidak sesuai dengan harapan sering terjadi gesekan antara masyarakat Papua dan
pemerintah. pemerintah pusat yang mengarah pada keinginan/
aspirasi untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Tujuan tulisan ini adalah membahas peran transmigrasi Republik Indonesia. Tindakan tersebut antara lain
dalam pembangunan di Papua, serta mengkaji disebabkan berbagai kebijakan dan pendekatan
beberapa permasalahan terkait yang berpotensi pembangunan di masa lalu yang dirasakan tidak
mengancam keberadaan masyarakat adat. Tulisan ini berpihak pada orang asli Papua. Hal ini berimplikasi
menitikberatkan pentingnya transmigrasi dalam proses pada ketertinggalan orang Papua di segala bidang.
pembangunan di Papua dengan mempertimbangkan Dalam rangka menyelesaikan konflik tersebut,
hak-hak dasar penduduk lokal agar tidak menimbulkan pemerintah pusat membuat kebijakan dengan

14
Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus…| Umi Yuminarti

memberlakukan status otonomi khusus (otsus) bagi berlakunya otonomi khusus di Papua, yang
Provinsi Papua melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang menunjukkan masih terdapat kurang lebih 2 Peraturan
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pemerintah (PP), 2 Keppres (Keputusan Presiden), 13
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), dan 21 Perdasi
Provinsi Papua yang dimaksud dalam UU Otonomi yang belum terbentuk. Berbagai peraturan tersebut
Khusus mencakup seluruh wilayah Pulau Papua bagian menjadi dasar pencapaian otonomi khusus, yaitu
barat, mengingat pada saat UU No. 21 Tahun 2001 mencakup penghargaan terhadap hak masyarakat
diterbitkan hanya terdapat satu Provinsi Papua. Dalam Papua dalam pengelolaan SDA, perlindungan HAM,
perkembangannya, terbit Instruksi Presiden (Inpres) serta partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Adapun masalah kependudukan diatur dalam Perdasi
Undang-Undang No. 45 Tahun 1999. Inpres tersebut No. 15 Tahun 2008 tentang Pengendalian Penduduk.
menyatakan bahwa bagian sebelah barat dari Provinsi Peraturan yang membatasi terselenggaranya program
Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Sejak transmigrasi dari luar Papua dituangkan dalam Perdasi.
saat itu, pengelolaan Provinsi Papua Barat tidak berada Dalam Perdasi tersebut dijelaskan bahwa program
dalam kerangka UU No. 21 Tahun 2001. Selanjutnya, transmigrasi dapat dilaksanakan kembali jika jumlah
untuk memperoleh kepastian hukum pemberlakuan penduduk Papua telah mencapai 20 juta orang
otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat maka (Andreawaty, 2014).
presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2008 sebagai Implikasi dari Perdasi Kependudukan tersebut
revisi UU No. 21 Tahun 2001 sebagai dasar hukum mengarah pada pembatasan laju pertambahan jumlah
pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua Barat. penduduk akibat adanya migrasi penduduk melalui
Selanjutnya Perppu No. 1 Tahun 2008 diubah menjadi transmigrasi. Pemerintah daerah menilai masyarakat
UU No. 35 Tahun 2008. belum siap bersaing dengan pendatang yang memiliki
pengetahuan, ketrampilan yang lebih tinggi daripada
Pemberlakuan otonomi khusus di Provinsi Papua dan penduduk lokal. Keadaan ini dapat menyebabkan
Papua Barat diharapkan dapat memenuhi prinsip penduduk lokal semakin tersisih di wilayahnya sendiri
perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan. akibat keterbatasan aspek sosial dan ekonominya.
Perlindungan meliputi pengakuan masyarakat adat, Melalui Perdasi ini diharapkan jumlah penduduk
hak memanfaatkan sumber daya alam, peradilan adat, pendatang tidak lebih banyak dibanding penduduk
dan pemerintahan adat sebagai identitas lokal serta lokal sehingga penduduk lokal tetap sebagai tuan di
penyelesaian masalah politik-sosial dan hak asasi tanahnya sendiri. Perdasi ini juga sebagai bentuk
manusia. Keberpihakan (affirmative action) meliputi perlindungan pemerintah daerah terhadap penduduk
pewadahan kebutuhan orang asli Papua untuk lokal. Pada saat penduduk Papua mencapai 20 juta
meningkatkan pendidikan, kesehatan, partisipasi, dan orang dan program transmigrasi dilaksanakan kembali,
kesejahteraan. Prinsip pemberdayaan meliputi penduduk lokal telah siap bersaing karena telah
pembangunan fisik dan nonfisik seperti infrastruktur, berimbang dalam jumlah, termasuk dalam aspek sosial
keterisolasian, dan transportasi. dan ekonominya.

Otonomi khusus merupakan satu bagian PROGRAM TRANSMIGRASI UNTUK


penyelenggaraan negara yang bersifat desentralisasi. PENGEMBANGAN WILAYAH DAN
Hal ini sesuai dengan prinsip demokratisasi yang PENINGKATAN TARAF HIDUP
menjadi arus utama reformasi. Perbedaan otonomi
khusus dengan daerah khusus bukan hanya dari sisi Program transmigrasi atau perpindahan penduduk
struktur pemerintah daerah, melainkan juga meliputi telah dikenal sejak masa pemerintahan kolonial
perbedaan ruang lingkup hak, wewenang, dan Belanda, dengan istilah kolonisasi. Pelaksanaan
kewajiban yang dimiliki daerah, serta pola dan program kolonisasi dimulai pada tahun 1905
proporsi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah (Heeren, 1979). Selanjutnya setelah masa
khusus. kemerdekaan, program kolonisasi tetap
diselenggarakan, yang dikenal dengan istilah
Hasil penelitian Patnership mengenai kinerja otonomi transmigrasi.
khusus Papua (Djojosoekarto, Suwarto, & Suryaman,
2008) menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan Menurut Swasono (1986), selama 80 tahun
masyarakat terhadap pelaksanaan otonomi khusus pelaksanaan program kolonisasi dan transmigrasi,
Papua. Hal ini disebabkan pelaksanaan berbagai jumlah penduduk yang pergi ke luar Jawa hanya
peraturan hingga tahun 2006 atau setelah 4 tahun mencapai 3,65 juta jiwa, sementara pertambahan

15
Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12, No. 1, Juni 2017 | 13-24

penduduk pulau Jawa setiap tahunnya berjumlah dua lokal dan transmigrasi umum, yang dibiayai
juta jiwa. Kondisi ini menyebabkan tujuan sepenuhnya oleh pemerintah.
pemerintah meningkatkan taraf hidup masyarakat
sulit tercapai karena pelaksanaan program Hak sebagai peserta transmigrasi tidak hanya lahan
transmigrasi tidak disertai dengan pengendalian yang diberikan oleh pemerintah, tetapi juga bantuan
jumlah penduduk. jaminan hidup sebesar 3,5 juta rupiah per bulan selama
dua tahun dalam bentuk bahan pangan seperti beras,
Tujuan pokok program transmigrasi yang termuat lauk-pauk dan berbagai barang konsumsi lainnya.
dalam UU No. 15 Tahun 1997 tentang Selain itu, pemerintah membangun berbagai fasilitas
Ketransmigrasian adalah meningkatkan umum seperti rumah ibadah, sekolah, sarana medis,
kesejahteraan transmigran dan masyarakat serta sarana dan prasarana pendukung lainnya di lokasi
sekitarnya, meningkatkan dan memeratakan yang baru. Hingga saat ini, perhatian pemerintah
pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan terhadap transmigran masih cukup besar dengan tetap
dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, tersedianya kebutuhan dasar. Namun demikian, hak
transmigrasi diharapkan tidak sekedar pemindahan peserta transmigrasi berkurang seperti luas lahan yang
penduduk, tetapi juga sebagai upaya untuk diterima masing-masing petani yang pada awalnya dua
pengembangan wilayah, sehingga peran pemerintah hektar kemudian menjadi satu hektar, sedangkan jatah
daerah sangat penting, seperti yang tertuang dalam hidup hanya diterima selama satu tahun mulai saat
penjelasan UU No. 29 Tahun 2009 tentang penempatan.
Perubahan atas UU No. 15 Tahun 1997. UU tersebut
menjelaskan bahwa dalam tata pemerintahan telah Harapan pemerintah melalui penyediaan sarana dan
terjadi perubahan pendekatan yang semula prasarana di daerah transmigrasi adalah pembangunan
sentralistik menjadi desentralistik dengan menganut nasional dapat tercapai melalui peningkatan taraf
asas otonomi dan tugas pembantuan, yang hidup transmigran dan masyarakat di sekitarnya.
memberikan kewenangan lebih besar kepada Hal ini sesuai dengan pernyataan Witoelar (2000)
pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi bahwa pengembangan wilayah adalah upaya
pemerintahan dan pembangunan. Sebagai bagian pembangunan pada suatu wilayah atau daerah guna
integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan
negara, pengaturan mengenai tanggung jawab memanfaatkan sumber-sumber daya lokal secara
pemerintah daerah dalam pelaksanaan transmigrasi optimal dan berkelanjutan. Upaya ini dapat dicapai
diarahkan sebagai pemrakarsa pembangunan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan
transmigrasi di daerahnya. ekonomi (perdagangan, industri, dan pertanian),
perlindungan lingkungan, penyediaan fasilitas-
Menurut Yudohusodo (1998), tiga kendala utama fasilitas pelayanan, serta penyediaan prasarana
penyelenggaraan program transmigrasi, yaitu (1) untuk transportasi dan komunikasi.
kendala struktural, berupa lemahnya organisasi,
sumber daya aparat, dan masalah-masalah lain yang Pelaksanaan transmigrasi pada era otonomi didukung
berkaitan dengan integrasi dan sinkronisasi, baik oleh UU No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan UU
dengan program-program sektor lain maupun dengan No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian dan PP
instansi lain yang terkait; (2) kendala substansial yang No. 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU
berkaitan dengan kebutuhan agar pembangunan Ketransmigrasian. Sebelumnya, transmigrasi diatur
transmigrasi ikut memantapkan pembangunan dengan UU No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-
nasional; dan (3) kendala teknis operasional yang Ketentuan Pokok Transmigrasi. Perbedaan mendasar
disebabkan oleh kompleksnya masalah pembangunan regulasi ketransmigrasian sebelum dan setelah era
transmigrasi. Kompleksitas masalah teknis operasional otonomi adalah pada pengertian transmigrasi. Pada
mengakibatkan munculnya masalah baru dalam regulasi sebelum era otonomi, transmigrasi
program transmigrasi, antara lain pemilihan lokasi didefinisikan sebagai kepindahan penduduk dari satu
yang kurang tepat, studi kelayakan yang tidak tepat, daerah untuk menetap ke daerah lain untuk
penataan ruang dan pola usaha yang kurang sesuai, kepentingan pembangunan negara atau alasan-alasan
serta kurang terpadunya program lintas sektor dan yang dipandang perlu oleh pemerintah. Sementara itu,
lintas kegiatan pembangunan. setelah era otonomi, transmigrasi lebih ditekankan
pada perpindahan penduduk secara sukarela untuk
Program transmigrasi yang dikenal di Indonesia terdiri meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan
dari beberapa jenis transmigrasi. Namun, sebagian transmigrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
besar penduduk lebih tertarik mengikuti transmigrasi Oleh karena itu, pemerintah daerah mempunyai

16
Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus…| Umi Yuminarti

tanggung jawab besar dalam pelaksanaan transmigrasi Kabupaten Jayapura. Program itu disebut dengan
pada era otonomi. Selain itu, pada regulasi baru Pelopor Pembangunan Serba Guna atau Pelopor
transmigran perlu aktif terlibat dalam pembuatan Pembangunan Irian Barat (PPSG/PPIB). Program ini
program untuk rancangan pengembangan wilayah sebenarnya meneruskan program pengembangan
transmigrasi. pertanian di luar Jawa yang dimulai oleh pemerintah
kolonial Belanda, dan selanjutnya diadaptasi oleh
Perubahan dalam regulasi ketransmigrasian dibuat Presiden Soekarno dan Soeharto.
untuk memperbaiki regulasi sebelumnya dan Program transmigrasi di Papua mulai ditetapkan
disesuaikan dengan perkembangan situasi setempat. dengan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui
Namun demikian, program transmigrasi dalam Keppres No.7 Tahun 1978 tentang Penentuan
pelaksanaannya mengalami beberapa permasalahan. Provinsi Irian Jaya sebagai Salah Satu Daerah
Menurut Dwiyanto (2003), penyelenggaraan Provinsi di Indonesia. Provinsi ini dapat dikatakan
transmigrasi pada era otonomi daerah menimbulkan sebagai salah satu wilayah penerima transmigran
berbagai macam konflik, seperti konflik antara tertinggi pada tahun 1978, selain Provinsi Aceh,
masyarakat dan pemerintah daerah, konflik Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
antarmasyarakat, dan konflik antardaerah. Latar
belakang munculnya konflik antara lain (1) persoalan Menurut data Dinas Kependudukan dan
sosial, seperti perselisihan warga; (2) persoalan politik, Transmigrasi Provinsi Papua, sampai dengan 31
seperti konflik antara kepala daerah dan DPRD, Agustus 1999 jumlah pencadangan areal untuk
konflik antar-instansi, konflik antara pendukung partai transmigrasi yang telah mendapatkan Surat
politik; dan (3) persoalan ekonomi, seperti sengketa Keputusan (SK) Gubernur dan berdasarkan
tanah, perselisihan pengelolaan sumber daya alam, kesediaan pemegang tanah ulayat menyerahkan
konflik perburuhan. lahan transmigrasi seluruhnya seluas 2.100.760
hektare. Pencadangan areal tersebar pada 10
TRANSMIGRASI DI PAPUA DAHULU kabupaten yaitu Jayapura, Manokwari, Sorong,
SAMPAI ERA OTONOMI KHUSUS Nabire, Jayawijaya, Merauke, Fakfak, Mimika, Biak
Numfor, dan Yapen Waropen.
Provinsi Papua atau dikenal dengan nama Irian Jaya
merupakan salah satu provinsi terakhir yang Sampai dengan tahun 2012, jumlah transmigran yang
bergabung dalam NKRI sejak 1 Mei 1963. Sejak telah ditempatkan di Propinsi Papua sebanyak 147 Unit
tahun 1902 pemerintah Belanda sudah melakukan Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang terdiri 53.853
program transmigrasi di Papua (kolonisasi), dengan KK atau 207.277 jiwa. Luas lahan yang dicadangkan
mendatangkan orang-orang Jawa ke Merauke. dan potensial untuk lokasi permukiman sebanyak
Selanjutnya, pada tahun 1908, pemerintah Belanda 906.857 hektare dan telah mempunyai SK. Luas lahan
kembali mendatangkan penduduk dari Jawa dan yang digunakan untuk pembangunan permukiman
masyarakat Timor yang ditempatkan di daerah transmigrasi di sembilan kabupaten adalah 231.620
Kuprik dan Kampung Timor. Pada tahun 1910, hektare, sehingga sisa lahan yang belum dibuka
pemerintah Belanda mendatangkan masyarakat Jawa 675.237 hektare (Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja
dan ditempatkan di lokasi Spadem dan Mopah Lama. dan Pemukiman Provinsi Papua, 2012).

Setelah Perang Dunia II berakhir, program Manfaat program transmigrasi di Papua belum dapat
kolonisasi masih tetap berlanjut, bahkan pemerintah dinikmati oleh semua warga asli Papua yang telah
Nederlands Nieuw Guinea mengadakan penelitian membebaskan lahannya untuk program transmigrasi.
dan survei di area dekat Sungai Digul dan Bian Hal ini disebabkan transfer ilmu pengetahuan dari
hingga wilayah Muting untuk membuat daerah petani transmigran kepada masyarakat lokal sangat
persawahan. Hal tersebut dilakukan untuk membuka lambat, terutama pertanian sebagai mata pencaharian
sawah dan ladang sayur-sayuran, buah-buahan, serta utama. Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan
ternak guna memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk asli Papua yang melakukan aktivitas
pegawai pemerintah Belanda. berburu atau peramu, sehingga untuk mengubah
perilaku dan kebiasaan menjadi petani menetap atau
Setahun setelah Papua bergabung dalam NKRI, intensif sesuai program transmigrasi membutuhkan
pemerintah Indonesia mendatangkan transmigran waktu lama.
dari Jawa sebanyak 12 Kepala Keluarga (KK) ke
Kabupaten Manokwari, 27 KK ke daerah Kumbe,
Kabupaten Merauke, dan 9 KK ke daerah Dosai

17
Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12, No. 1, Juni 2017 | 13-24

Berdasarkan pelaksanaan program transmigrasi di penduduknya dan konsep ring III adalah pemindahan
Papua yang sudah berlangsung selama ini, terdapat penduduk dari provinsi yang padat penduduknya ke
lima pola transmigrasi yang dikembangkan yaitu provinsi yang jarang penduduknya.
pola tanaman pangan, pola perkebunan inti rakyat
(PIR Trans), pola nelayan (Trans Nelayan), pola Berdasarkan Perdasi No. 15 Tahun 2008 tentang
hutan tanaman industri (HTI Trans), dan pola jasa Kependudukan, program transmigrasi seharusnya
dan industri (Trans Jastri). Kebijakan pemerintah tidak dilaksanakan lagi. Pada pasal 44 ayat 1
turut mempengaruhi pola pengembangan ditegaskan bahwa program transmigrasi akan
transmigrasi di Papua. Pada masa kepemimpinan dilaksanakan setelah jumlah orang asli Papua
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencapai 20 juta jiwa. Peraturan ini untuk
dikembangkan pola transmigrasi baru yakni, mengakomodasi kekuatiran akan semakin tersisihnya
Kawasan Terpadu Mandiri (KTM) di Kabupaten masyarakat lokal dari tanahnya sendiri akibat
Merauke dan Kabupaten Keerom. terjadinya lonjakan jumlah penduduk dengan
kemampuan dan etos kerja yang lebih tinggi, sehingga
Pada era otonomi khusus penyelenggaraan masyarakat lokal yang mempunyai kemampuan
transmigrasi di Papua dan Papua Barat masih terbatas menjadi kaum minoritas. Meskipun demikian,
ditentukan oleh pemerintah pusat, tetapi perlu dalam kenyataannya Perdasi ini tidak sepenuhnya
memperoleh legitimasi dari pemerintah daerah menolak transmigrasi tetapi bertujuan untuk
bersama-sama dengan masyarakat adat dan tokoh menghindarkan ekses-ekses negatif program
agama, sehingga tidak terjadi benturan kebijakan. transmigrasi bagi masyarakat Papua. Masih
Selain itu, kebijakan transmigrasi diharapkan terselenggaranya program transmigrasi konsep ring I
berbasis pada budaya setempat. Hal ini sesuai UU menunjukkan kondisi tersebut. Konsep ini diharapkan
Otonomi Khusus pasal 43 tentang Perlindungan memungkinkan warga lokal untuk mengembangkan
Hak-Hak Masyarakat Adat. Pada ayat 4 disebutkan potensi sumber daya alamnya sendiri. Harapan
bahwa “penyediaan tanah ulayat dan tanah pemerintah daerah untuk membangun dan
perorangan warga masyarakat hukum adat untuk memberdayakan masyarakat lokal melalui
keperluan apapun dilakukan melalui musyawarah transmigrasi tampak tidak berlebihan, terutama ketika
dengan masyarakat hukum adat dan warga yang program ini lebih memperhatikan hak dasar penduduk
bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan asli dan berpihak pada penduduk asli (affirmative
mengenai penyerahan tanah yang diperlukan action), sesuai dengan keinginan/kebutuhan
maupun imbalannya”. Selanjutnya, pada pasal 61 masyarakat, berdasarkan spesifikasi kultural
tentang Kependudukan dan Ketenagakerjaan, ayat 3 masyarakat dan daerah, serta mengutamakan
menjelaskan bahwa ”penempatan penduduk di kepentingan nasional bangsa dan negara Indonesia.
Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional
yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan KONDISI SOSIAL EKONOMI
dengan persetujuan gubernur”. TRANSMIGRAN LOKAL (DI PAPUA BARAT)
SETELAH BERLAKUNYA OTONOMI
Pada era otonomi daerah termasuk otonomi khusus KHUSUS
untuk Papua, peran pemerintah pusat dalam
pelaksanaan transmigrasi hanya memfasilitasi dan Program transmigrasi konsep ring I di Papua Barat
memberi bantuan teknik, sedangkan pelaksanaan menjadi salah satu bukti keseriusan pemerintah pusat
sepenuhnya diserahkan di daerah dengan dan pemerintah daerah dalam mengaplikasikan
menerapkan konsep ring I, II dan III. Ring I adalah pesan yang tertuang dalam UU Otonomi Khusus.
penempatan transmigran dari suatu daerah yang Kajian yang pernah dilakukan terhadap program
padat penduduknya di suatu kabupaten ke daerah transmigrasi tersebut dapat digunakan untuk menilai
yang jarang penduduknya di kabupaten yang sama. taraf hidup dan pengembangan wilayah transmigrasi.
Konsep ring I ini telah diterapkan di Kabupaten Hasil survei terhadap transmigran yang diambil
Keerom melalui pemindahan anak-anak warga secara purposive pada tiga lokasi transmigrasi lokal
transmigran ke lokasi Distrik Senggi oleh Dinas (resettlement) yang telah berlangsung selama dua
Transmigrasi dan Kependudukan setempat. Di tahun di Provinsi Papua Barat juga dapat dijadikan
Provinsi Papua Barat, konsep ini diterapkan di tolok ukur keberadaan transmigrasi setelah era
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fakfak dan otonomi khusus. Daerah transmigrasi yang
Kabupaten Teluk Wondama. Sementara itu, konsep dimaksud yaitu UPT Sobey di SP III Warayaru di
ring II adalah penempatan penduduk dari kabupaten Kabupaten Teluk Wondama pada tahun 2011, UPT
yang padat penduduknya ke kabupaten yang jarang Warikon di Kabupaten Manokwari pada tahun 2012,

18
Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus…| Umi Yuminarti

dan UPT Tomage di Bomberay Kabupaten Fakfak tersebut menyebabkan masalah dalam penyediaan
pada tahun 2014. kebutuhan pangan masyarakat transmigran.
Akibatnya, banyak transmigran tidak betah berada di
Secara umum, kajian terhadap tiga lokasi lokasi transmigrasi dan kembali ke tempat tinggal
transmigrasi menunjukkan pemerintah melakukan semula.
berbagai usaha untuk memberikan bimbingan,
fasilitas, bantuan, pelayanan, pendampingan dan Kondisi sosial ekonomi pada masing-masing lokasi
pelatihan. Kegiatan tersebut dilakukan baik dalam di tiga UPT dapat diamati antara lain berdasarkan
bidang ekonomi, sosial budaya, mental spiritual, besarnya angka partisipasi sekolah, pelayanan
kelembagaan, dan pengelolaan sumber daya alam kesehatan, keamanan, pendapatan, sarana dan
sebelum pengembangan permukiman transmigrasi prasarana ekonomi. Hasil kajian disajikan pada tabel
diserahkan kepada pemerintah daerah. Tujuan tiap berikut.
kegiatan adalah agar masyarakat sejahtera, mandiri
dan mewujudkan integrasi di kawasan transmigrasi. Tabel 1. Keadaan Sosial Ekonomi Tiga Lokasi Permukiman
Transmigrasi di Papua Barat
Program transmigrasi lokal pada tiga lokasi tersebut Angka Nilai Setiap UPT
dilakukan dengan menempatkan pecahan kepala Standar
Parameter Sosial Ekonomi
2 tahun Sobey Warikon Tomage
keluarga yang berasal dari lokasi yang padat Penempatan*
penduduk ke lokasi yang kurang penduduk sebagai Pendapatan (kg beras/thn) 2400 1296 2850 1621
lokasi transmigrasi di kabupaten yang sama identik Ketenagakerjaan (%) 10 45 14 49
dengan konsep ring I atau model resettlement. Kontribusi Permukiman (%) 1 0 0,51 0,35
Transmigrasi ini memiliki tujuan yang sama dengan Partisipasi pendidikan (%) 50 70,58 66,67 80,75
Angka melek huruf (%) 50 69,70 86,5 89,70
transmigrasi pada umumnya, yaitu meningkatkan
Kebetahan (%) 3 34 9,4 80
taraf hidup masyarakat Papua dan mempercepat Partisipasi masyarakat (%) 4 30 30 0
terbukanya isolasi daerah di Papua Barat. Rasio kematian bayi (%) 0,3 0,5 0 0
* Indikator dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Berdasarkan hasil kajian, masalah legalitas lahan Sumber : Data primer tahun 2011,2012 dan 2014
merupakan faktor utama bagi transmigran. Jika
transmigran belum memiliki sertifikat maka Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga
kepemilikan lahan belum mempunyai kekuatan Kerja dan Transmigrasi, untuk transmigrasi dengan
hukum dan menyebabkan keengganan masyarakat usia penempatan selama dua tahun, standar minimal
dalam mengusahakan lahan. Luas lahan yang pendapatan setara 2.400 kg beras per tahun. Dengan
diperuntukkan bagi transmigran pada tiga lokasi ini demikian, lokasi UPT Warikon menunjukkan
tidak sama dengan luas lahan setiap keluarga peserta pendapatan yang tinggi, sedangkan UPT Sobey dan
transmigrasi nasional. Pada UPT Sobey, luas lahan Tomage masih tergolong rendah. Kondisi ini
yang diterima transmigran sebesar satu hektare disebabkan sarana dan prasarana transportasi
untuk tiap keluarga, sedangkan kondisi berbeda sebagai pelancar kegiatan ekonomi cukup tersedia di
ditemui di UPT Warikon karena luas lahan yang UPT Warikon dibandingkan dengan UPT Sobey
diperoleh petani tidak seragam. Hal ini disebabkan maupun UPT Tomage. Hal ini berdampak pada
sebagian lahan yang dicadangkan untuk lokasi kontribusi permukiman terhadap kabupaten dan
transmigrasi ternyata merupakan lahan untuk ketenagakerjaan, yang diukur dengan rasio setengah
peruntukan lainnya, sehingga beberapa transmigran pengangguran, masih berada di bawah standar.
memperoleh lahan usaha seluas satu hektare, tetapi
ada yang hanya memperoleh 0,25 hektare. Selain Pada transmigran yang ditempatkan selama dua
itu, transmigran di UPT ini masih memiliki keraguan tahun, angka partisipasi pendidikan pada tiga lokasi
untuk mengusahakan lahannya karena pemilikan transmigran berada di atas standar angka partisipasi.
lahan belum melalui tahap pelepasan adat. Hal ini mengindikasikan bahwa warga transmigrasi
lokal telah sadar pendidikan meskipun jumlah guru
Pada UPT Tomage, setiap kepala keluarga sangat terbatas. Demikian juga pelayanan kesehatan
memperoleh lahan seluas dua hektare namun di lokasi transmigrasi masih sangat terbatas karena
sertifikat kepemilikan lahan belum diterima, karena jumlah tenaga medis rata-rata satu orang, namun
masih banyak transmigran yang belum menetap. UPT rasio kematian bayi di Warikon dan Tomage telah di
Tomage direncanakan sebagai transmigrasi pola bawah standar. Kondisi keamanan pada setiap lokasi
peternakan, karena wilayahnya sebagian besar lahan tergolong aman dan terdapat kerjasama
tidak subur dan tidak dapat ditanami. Kondisi antartransmigran yang berasal dari berbagai suku di
Indonesia.

19
Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12, No. 1, Juni 2017 | 13-24

daya alamnya sendiri. Hal ini diterapkan dengan


Kebetahan transmigran di lokasi diukur dengan harapan dapat mendorong pengembangan wilayah dan
persentase transmigran yang meninggalkan lokasi. peningkatan taraf hidup yang dapat dinikmati sendiri
Nilai di tiap UPT menunjukkan berada di atas oleh masyarakat Papua atau orang asli Papua. Dengan
standar karena kesuburan lahan transmigrasi demikian, tidak ada lagi masyarakat Papua yang
menjadi kendala dalam usaha tani migran, sehingga khawatir jika kedatangan para transmigran dari luar
mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Papua akan mengambil kekayaan masyarakat
Masalah utama lainnya yaitu sarana dan prasarana setempat, begitu juga dengan anggapan bahwa
transportasi dari dan menuju lokasi transmigrasi transmigrasi sebagai bentuk penjajahan antar suku di
masih terbatas. Hasil kajian ini dapat abad modern. Anggapan ini muncul disebabkan
menggambarkan kemajuan yang telah dicapai dan persentase jumlah penduduk asli Papua lebih rendah
penghambat dari kemajuan transmigrasi lokal daripada pendatang pada beberapa wilayah penerima
(resettlement) pada era otonomi khusus. transmigrasi.

PROSPEK TRANSMIGRASI ERA OTONOMI Beberapa kasus penggunaan tanah ulayat menjadi
KHUSUS DI PAPUA masalah karena pemilik ulayat belum menerima
kompensasi akibat penggunaan tanah untuk
Transmigrasi merupakan salah satu peluang untuk transmigrasi. Hal ini menyebabkan masyarakat adat
mengubah nasib untuk memperoleh hidup yang lebih menarik kembali tanah yang menjadi milik warga
layak, meskipun pada tahap awal peserta transmigrasi transmigran namun belum digunakan. Permasalahan
menghadapi banyak masalah dan tantangan. Di tempat lain berkaitan dengan ego kedaerahan yang seharusnya
yang baru, transmigran memiliki peluang usaha tidak perlu terjadi. Pendatang kurang memahami adat
khususnya di bidang pertanian karena adanya lahan dan kebiasaan setempat sehingga menimbulkan sikap
pertanian dan perkebunan yang disediakan pemerintah. antipati penduduk setempat kepada pendatang karena
Standar luas lahan pertanian yang diberikan dianggap tidak menghargai penduduk setempat.
pemerintah secara cuma-cuma setiap kepala keluarga
adalah seluas dua hektare. Selain rumah tinggal dan Keinginan kuat transmigran untuk bertahan hidup di
pembangunan fasilitas umum seperti rumah ibadah, tempat baru dengan kemampuan dan keterampilan
sekolah, sarana medis serta sarana dan prasarana yang lebih baik dalam beberapa hal membuat
pendukung lainnya, warga transmigran memperoleh penduduk pendatang sering kali terlihat lebih berhasil
bantuan perbekalan atau jaminan hidup. secara ekonomi dibanding penduduk asli. Hal ini
sebenarnya bisa diatasi bila pemerintah terlebih dahulu
Bagi pemerintah, transmigrasi merupakan kegiatan mempersiapkan penduduk asli dengan melibatkan
investasi dengan tujuan menciptakan sentra-sentra mereka dalam program-program transmigrasi,
agribisnis dan agroindustri yang mampu menarik terutama dalam bidang sosial, ekonomi melalui
investasi swasta. Sebagai penggerak perekonomian, penyuluhan atau pembinaan keterampilan untuk
para transmigran dan penduduk sekitar menjadi pusat- menghadapi para transmigran dari luar Papua.
pusat pertumbuhan baru serta membuka kesempatan
kerja dan peluang usaha. Hal ini diharapkan dapat Selanjutnya, keputusan penggantian nama-nama lokal
mewujudkan peningkatan taraf hidup para transmigran di lokasi transmigrasi menjadi nama-nama di daerah
dan pengurangan beban pemerintah. Kenyataannya, Jawa, misalnya Desa Kertosari di lokasi transmigrasi
kemajuan yang terjadi pada transmigran tidak disertai di Jayapura, Desa Marga Mulya di lokasi transmigrasi
dengan kemajuan penduduk asli. Hal ini menjadi di Manokwari mengakibatkan hilangnya nama-nama
masalah dalam integrasi antara penduduk pendatang asli yang telah lama berakar pada masyarakat lokal.
atau para transmigran dan penduduk asli, sehingga Nama-nama asli tentu berhubungan dengan mitos dan
memicu berbagai konflik di masyarakat. asal usul tempat. Keputusan ini dianggap tidak
berpihak pada masyarakat lokal karena menyebabkan
Perdasi No.15 Tahun 2013 tentang Kependudukan di sejarah suatu tempat dapat menjadi kabur dengan
Papua membatasi pelaksanaan transmigrasi dari luar penggantian nama secara sepihak untuk kepentingan
Papua. Salah satu solusi agar transmigrasi tetap dapat para pendatang. Penempatan transmigran seharusnya
berlangsung adalah dengan konsep ring I atau program dapat disesuaikan dengan sejarah masyarakat lokal dan
transmigrasi lokal (resetlement). Program ini mendapat tidak merubah sejarah lokasi transmigrasi. Dengan
toleransi untuk tetap dilaksanakan oleh pemerintah demikian, program transmigrasi tidak hanya menjawab
daerah melalui penataan wilayah dan penempatan masalah kepadatan penduduk tetapi bermanfaat bagi
warga lokal untuk mengembangkan potensi sumber kepentingan transmigran maupun masyarakat lokal.

20
Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus…| Umi Yuminarti

tidak ditarik kembali oleh pemerintah karena


Kebijakan tentang pemerintahan desa ternyata transmigran masih bermukim di tempat tinggal semula.
menyebabkan pemerintahan tradisional masyarakat Keadaan ini merupakan masalah bagi pemerintah
adat semakin tersisih ketika peranan kepala desa diakui karena dapat menyebabkan tujuan transmigrasi tidak
dalam struktur pemerintahan formal. Meskipun begitu, dapat tercapai. Berbagai alasan para transmigran tidak
ketika ada masalah pelepasan tanah dan masalah- menetap adalah tanah di lokasi transmigrasi tidak subur
masalah adat lainnya, peranan kepala adat/tokoh-tokoh dan terbatasnya fasilitas serta sarana dan prasarana
adat masih diperlukan. Oleh karena itu, apabila tidak transportasi. Ketika jaminan hidup habis transmigran
ada kemauan dari pemerintah untuk tetap berusaha mencari uang untuk memenuhi kebutuhan
memfungsikan kepemimpinan masyarakat adat, maka keluarga, yang hanya dapat dilakukan di kota atau
peranan kepala adat makin lama akan memudar dan tempat tinggal semula.
hilang. Kepemimpinan kepala desa dalam
pemerintahan formal dan kepemimpinan kepala suku Permasalahan pada tiap lokasi transmigrasi cenderung
dalam sistem politik tradisional menimbulkan sama, yaitu terkait masalah keterbatasan sarana
dualisme kepemimpinan dalam satu wilayah kampung prasarana ekonomi dan sosial serta masalah kesuburan
atau desa. Namun demikian, keduanya harus bersinergi lahan. Transmigran yang mempunyai kemauan keras
dan diatur sehingga tidak menimbulkan benturan- dan pantang menyerah yang berhasil dalam kehidupan
benturan kepentingan di dalam masyarakat. perekonomiannya di tempat tinggal baru. Banyak
transmigran bukan hanya bekerja sebagai petani, tetapi
Transmigrasi dengan konsep ring I atau Alokasi telah meningkat sebagai pengusaha berkat kreativitas
Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi/ APPDT dan ketekunannya, sehingga taraf hidupnya meningkat
(resettlement) dianggap pemerintah daerah dapat pesat. Lokasi tujuan program transmigrasi yang telah
dilakukan karena tidak berseberangan dengan Perdasi berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
tentang Kependudukan dengan rancangan bagi menunjukkan keberhasilan program ini. Namun, jika
program transmigrasi di Papua. Kebijakan transmigrasi keberhasilan tersebut tidak disertai dengan adanya
ini diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu (1) integrasi antara para transmigran dan penduduk lokal,
menanggulangi kemiskinan yang disebabkan oleh serta tidak terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat
ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat lokal atau penduduk setempat, maka program
tinggal yang layak; (2) memberi peluang berusaha dan transmigrasi dianggap belum berhasil.
kesempatan kerja; dan (3) memfasilitasi pemerintah
daerah dan masyarakat untuk melaksanakan KESIMPULAN
perpindahan penduduk. Oleh karena itu, walaupun
konsepnya bukan mendatangkan transmigran dari UU Otonomi Khusus Papua No. 21 Tahun 2001 yang
provinsi di luar Papua, tetapi memiliki tujuan sama dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya berupa
dengan transmigrasi pada umumnya. Perdasi No. 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan
secara tegas memberi isyarat penolakan transmigrasi
Perkembangan kondisi transmigran berdasarkan dari luar Papua untuk tujuan perlindungan terhadap
konsep di atas dikaji melalui penelitian pada tiga UPT hak-hak dasar masyarakat adat atau penduduk lokal.
di Provinsi Papua Barat. Hasil kajian menunjukkan Walaupun demikian, transmigrasi lokal (APPDT) tetap
bahwa masyarakat yang mengikuti transmigrasi bukan dilaksanakan dengan memindahkan masyarakat lokal
hanya masyarakat lokal, tetapi juga sebagian dari wilayah yang padat penduduk ke wilayah kurang
diantaranya adalah para pendatang dari luar Papua penduduk atas kemauan sendiri. Usulan suatu wilayah
yang telah lama bermukim dan tidak memiliki tanah menjadi lokasi transmigrasi berasal dari masyarakat
dan rumah sendiri. Meskipun telah memiliki usaha, adat pemilik ulayat dengan persetujuan pemerintah
mereka tertarik mengikuti transmigrasi semata-mata daerah atau sebaliknya.
untuk pengembangan usaha. Konsep transmigrasi ini
lebih realistis dan dapat diterima masyarakat lokal Keberhasilan transmigrasi tergantung dari kerja keras
karena para transmigran telah lama tinggal di Papua, petani dan komitmen pemerintah untuk menyediakan
sehingga diharapkan lebih memiliki toleransi dan dapat fasilitas sarana dan prasarana, sehingga para
mengikuti adat masyarakat setempat. transmigran betah tinggal di lokasi untuk turut
membangun wilayah baru tersebut. Bagi peserta
Kondisi awal lokasi transmigrasi yang serba terbatas transmigran yang dalam jangka waktu tertentu tidak
menyebabkan para transmigran lokal tidak menetap di berada di lokasi, sebaiknya rumah dan pekarangan
lokasi. Sebagian transmigran cenderung hanya singgah beserta lahan ditarik kembali dengan aturan yang
untuk membersihkan rumah dan pekarangannya agar dibuat jelas dan tegas, agar lokasi transmigrasi dapat

21
Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12, No. 1, Juni 2017 | 13-24

digunakan untuk aktivitas lain. Bagi transmigran yang DAFTAR PUSTAKA


mampu bertahan dan mengelola lahannya dengan kerja
keras, maka pemerintah dapat memberikan Abdullah, Y., Musaad, I., Pattiasina, T. F., & Faisol A.
penghargaan dengan memberikan sertifikat (2011). Laporan penyusunan rencana
kepemilikan tanah. pengembangan masyarakat di UPT Sobey SP III
Warayaru Kabupaten Teluk Wondama Provinsi
Papua Barat. Tidak diterbitkan.
Keberhasilan yang dicapai oleh transmigran yang
tidak disertai dengan kemajuan penduduk lokal Abdullah, Y., Musaad, I., Yuminarti, U., & Kurniawan,
menjadi masalah dalam integrasi antara transmigran P., (2014). Laporan penyusunan rencana
atau penduduk pendatang dan penduduk asli akibat pengembangan masyarakat di UPT Tomage
kecemburuan sosial. Konflik yang terjadi tentu saja Distrik Bomberay Kabupaten Fakfak Provinsi
Papua Barat. Tidak diterbitkan.
dapat mengganggu proses pengembangan wilayah.
Peran pemerintah daerah sangat diperlukan agar Andreawaty, A. C. (2014, 11 November). Tantangan
kondisi sosial ekonomi penduduk lokal berimbang penolakan program transmigrasi di Papua.
dengan pendatang, dengan cara meningkatkan Diakses dari http://www.theglobal-
pendidikan sehingga mengubah perilaku sosial dan review.com/content_detail.php?lang=id&id=166
ekonominya. 17&type=108#.WT9c75KGPIU
Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemukiman
Keputusan mengganti nama-nama lokal tempat di Provinsi Papua. (2012). Laporan Dinas
lokasi transmigrasi dengan nama-nama tempat asal Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemukiman
transmigran hanya memikirkan kepentingan Provinsi Papua. Jayapura: Dinas Kependudukan,
transmigran agar betah di tempat yang baru. Hal ini Tenaga Kerja dan Pemukiman Provinsi Papua
biasanya dilakukan tanpa pertimbangan dari pemilik Djojosoekarto, A., Sumarwoto, R., & Suryaman, C. (Ed.).
ulayat. Tindakan ini dapat melukai perasaan para (2008). Kinerja otonomi khusus Papua. Diakses
pemilik ulayat karena menghilangkan sejarah asal-usul dari https://www.scribd.com/document/78497661/
wilayah ulayatnya. Melalui kebijakan transmigrasi 20101104214232-Kinerja-Otsus-Papua
pada era otonomi khusus, pemerintah daerah memiliki Dwiyanto, A. (2003). Reformasi tata pemerintahan dan
peran dalam menjaga kelestarian bukti-bukti sejarah otonomi daerah. Yogyakarta: Pusat Studi
suatu tempat di wilayah administratifnya sekaligus Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
tidak mengesampingkan hak masyarakat adat. Mada.
Hardjono. (1982). Transmigrasi: Dari kolonisasi sampai
Tanah sebagai modal utama transmigran menjadi swakarsa. Jakarta: Gramedia.
masalah jika kepemilikannya tidak dibuktikan dengan
Heeren, H. J. (1979). Transmigrasi di Indonesia. Jakarta:
sertifikat, akibatnya lahan dapat diambil kembali oleh
Yayasan Obor Indonesia.
pemilik ulayat. Faktor lain penyebab lahan diambil
kembali oleh pemilik ulayat adalah lahan tidak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. (2011).
dimanfaatkan dan dibiarkan menganggur atau tidak Konsep Pedoman perencanaan pengembangan
ditanami dalam jangka waktu lama. Keadaan ini juga masyarakat di permukiman transmigrasi. Jakarta:
Direktorat Perencanaan Teknis Pengembangan
sebagai pemicu konflik antara transmigran dan pemilik
Masyarakat dan Kawasan.
ulayat. Peran pemerintah daerah dalam hal ini adalah
mencegah terjadinya pengambilalihan lahan dengan Levang, P. (2003). Ayo ke tanah sabrang: Transmigrasi di
mempersiapkan surat-surat sebagai legalitas Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
kepemilikan lahan. Selain itu, perlu dilakukan seleksi Gramedia.
peserta transmigran yang memiliki kemauan dan Mansoben, J. R. (1994). Sistem politik tradisional di Irian
kemampuan sebagai petani yang dapat mengolah Jaya (Disertasi Doktor). Universiteit Leiden.
lahan, sehingga tujuan pengembangan wilayah dapat Peraturan Daerah Provinsi Papua No. 15 Tahun 2008 tentang
segera terwujud. Kependudukan.
Swasono, S. (1986). Reorientasi dalam transmigrasi:
Merencanakan keunggulan komparatif, dalam S.
Swasono & M. Singarimbun (Ed.), Transmigrasi di
Indonesia 1905-1985 (hal. 362-369). Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua.

22
Kebijakan Transmigrasi dalam Kerangka Otonomi Khusus…| Umi Yuminarti

Witoelar, E. (2000). Pengelolaan pantai dan pulau-pulau Yudohusodo, S. (1998). Transmigrasi: Kebutuhan negara
kecil melalui pendekatan pengembangan wilayah. kepulauan berpenduduk heterogen dengan
Prosiding seminar nasional pengelolaan ekosistem persebaran yang timpang. Jakarta: PT Jurnalindo
pantai dan pulau-pulau kecil dalam konteks negara Aksara Grafika.
kepulauan. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas
Yuminarti, U., Musaad, I., & Mustiah D. (2012). Laporan
Geografi UGM.
penyusunan rencana pengembangan masyarakat di
UPT Warikon Kabupaten Manokwari Provinsi
Papua Barat. Tidak diterbitkan.

23
Jurnal Kependudukan Indonesia | Vol. 12, No. 1, Juni 2017 | 13-24

24

Anda mungkin juga menyukai