Anda di halaman 1dari 61

KEADAAN TEGAKAN DAN PERTUMBUHAN Shorea

parvifolia Dyer PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH


TANAM JALUR (TPTJ)
(Studi Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan
Tengah)

YANDRI PETRA PERANGIN-ANGIN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

13

KEADAAN TEGAKAN DAN PERTUMBUHAN Shorea


parvifolia Dyer PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH
TANAM JALUR (TPTJ)
(Studi Kasus Di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan
Tengah)

YANDRI PETRA PERANGIN-ANGIN

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

14

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keadaan Tegakan
Dan Pertumbuhan Shorea parvifolia Dyer Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih
Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati,
Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

Yandri Petra Perangin-angin


NRP E14204037

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Binjai, Sumatera Utara pada tanggal
18 Januari 1986 dari pasangan Bapak Johanys Darma
Perangin-angin dan Ibu Riani Tarigan, merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan penulis dimulai dari
SD Taman Siswa Binjai dan lulus tahun 1998 kemudian pada
tahun 2001 menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri I
Binjai dan pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri I
Binjai.
Pada tahun 2004 penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)
dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Hutan, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007,
penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H)
yang terdiri dari Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Baturaden-Cilacap, Jawa
Tengah dan Praktek Umum Pengenalan Hutan (PUPH) di Getas, Blora, Jawa
Tengah. Selain itu penulis aktif menjadi asisten Mata Kuliah Ekologi Hutan. Pada
tahun 2008 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang
dilanjutkan dengan penelitian di PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah selama
tiga bulan dari Februari sampai Mei 2008.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota Uni Konservasi
Fauna Institut Pertanian Bogor (UKF-IPB), Forest Management Student Club
Fakultas Kehutanan (FMSC-KEHUTANAN), Tree Grower Comunity Fakultas
Kehutanan (TGC-KEHUTANAN) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor (BEM E-IPB).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dengan judul Keadaan
Tegakan Dan Pertumbuhan Shorea parvifolia Dyer Pada Sistem Silvikultur
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna
Djuliawati, Kalimantan Tengah dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry
Indrawan, MS.

16

Judul Skripsi

: Keadaan Tegakan Dan Pertumbuhan Shorea parvifolia


Dyer Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna
Djuliawati, Kalimantan Tengah)

Nama

: Yandri Petra Perangin-angin

NRP

: E14204037

Menyetujui :
Dosen Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS)


NIP 130 536 674

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr


NIP 131 578 788

Tanggal Lulus :..............................

17

KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, yang
telah memberikan kasih dan kemuliaan-NYA karena penulis masih diberi
kesempatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul Keadaan Tegakan Dan
Pertumbuhan Shorea sp. Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ), di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah .
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Dengan diperolehnya data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan hutan produksi berkaitan dengan
kegiatan pemungutan hasil kayu pada areal Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) dan dapat digunakan dalam mengevaluasi kegiatan pembinaan
hutan yang selama ini dilakukan di areal hutan produksi.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan,
maka dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, April 2009

Penulis

18

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................

DAFTAR TABEL .......................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

VI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...............................................................................

1.2 Tujuan Penelitian ...........................................................................

1.3 Manfaat Penelitian .........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Hutan Hujan Tropis ........................................................................

2.2 Pertumbuhan dan Riap Tanaman ...................................................

2.3 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) ....................

2.4 Tinjauan Ekologis Meranti (Shorea spp) dan Shorea parvifolia ...

2.5 Analisis Tanah


2.5.1 Sifat Fisik Tanah ................................................................

10

2.5.2 Sifat Kimia dan Unsur-Unsur Hara Esensial Tanah ..........

11

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................

12

3.2 Bahan dan Alat ...............................................................................

12

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1 Analisis Vegetasi.............................................................

13

3.3.2 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah .......................

14

3.3.3 Pengukuran Riap Rata-Rata Tahunan (MAI) ..................

15

3.3.4 Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Pada Jalur Tanam


..........................................................................................

15

3.4 Analisis Data


3.4.1 Analisa Vegetasi..............................................................

16

3.4.2 Pengukuran Sifat Fisik Tanah .........................................

19

3.4.3 Pengukuran Sifat Kimia Tanah .......................................

19

3.4.4 Pengukuran Riap Diameter dan Riap Tinggi ..................

20

19

3.4.5 Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Pada Jalur Tanam


.........................................................................................

21

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN


4.1 Letak dan Luas ...............................................................................

22

4.2 Topografi dan Kelerengan .............................................................

22

4.3 Geologi dan Tanah .........................................................................

23

4.4 Hidrologi ........................................................................................

24

4.5 Iklim dan Intensitas Hujan .............................................................

25

4.6 Penutup Lahan ................................................................................

25

4.7 Flora dan Fauna ..............................................................................

25

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Analisis Vegetasi
5.1.1 Dominansi Jenis ..............................................................

27

5.1.2 Komposisi Jenis ..............................................................

31

5.1.3 Indeks Kekayaan, Keanekaragaman, Kemerataan ..........

33

5.1.4 Koefisien Kesamaan Komunitas .....................................

38

5.2 Pertumbuhan Tanaman


5.2.1 Rata-rata Diameter Shorea parvifolia ............................

39

5.2.2 Rata-rata Tinggi Shorea parvifolia .................................

41

5.2.3 Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Semai


Shorea parvifolia dengan Kelerengan Lahan...................

42

5.2.4 Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Pada Jalur


Tanam...

44

5.3 Analisis Tanah


5.3.1 Sifat Fisik Tanah .............................................................

45

5.3.2 Sifat Kimia Tanah ...........................................................

47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


5.4 Kesimpulan ....................................................................................

49

5.5 Saran...............................................................................................

49

BAB VII DAFTAR PUSTAKA .................................................................

50

LAMPIRAN .................................................................................................

52

20

DAFTAR TABEL

No

Halaman

1. Tahapan kegiatan Sistem silvikultur TPTJ ........................................................ 8


2. Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah ................................................................. ..11
3. Metode Analisis Sifat Kimia Tanah ............................................................... ..20
4. Pembagian Keadaan Wilayah Kerja PT Erna Djuliawati Berdasarkan
Tingkat Kelerengan ........................................................................................ ..23
5. Formasi Geologi Areal Kerja PT Erna Djuliawati ......................................... ..23
6. Morfometri Sungai di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawat ........................... ..24
7. Lima Jenis Dominan pada Lokasi Hutan Primer............................................ ..28
8. Lima Jenis Dominan pada Areal Hutan dengan Umur 1 Tahun .................... ..29
9. Lima Jenis Dominan pada Areal Hutan dengan Umur 2 Tahun .................... ..30
10. Jumlah Jenis yang Ditemukan di Hutan Primer dan Hutan yang Ditanam
Berumur 1 dan 2 Tahun .................................................................................. ..31
11. Kerapatan (N/ha) Pohon dan Permudaan di Hutan Primer dan Hutan yang
Telah Ditanamai pada Umur 1 dan 2 Tahun .................................................. ..32
12. Indeks Kekayaan Margalllef (R1) pada Hutan Primer dan Hutan yang
Ditanam Umur 1 dan 2 Tahun ....................................................................... ..34
13. Nilai Indeks Kemerataan Shannon-Wiener (H) Tingkat Pohon dan
Permudaannya Pada Hutan Primer dan Hutan Berumur 1 dan 2 Tahun ........ ..35
14. Indeks Kemerataan Jenis (E) Pada Areal Hutan Primer dan Hutan Berumur
Tanam 1 dan 2 Tahun. .................................................................................... ..37
15. Indeks Kesamaan Komunitas (IS) pada Umur 1 dan 2 Tahun Bila Di
Bandingkan Dengan Hutan Primer dan Bila Dibandingkan Umur 1 Tahun
Dengan Umur 2 Tahun. ...................................................................... ..38
16. Rata-rata Diameter Shorea parvifolia Umur 1-2 Tahun (cm/tahun)............. ..39
17. Rata-rata Tinggi Shorea parvifolia Umur 1-2 Tahun (cm/tahun)41
18. Hasil Sidik Ragam Kelerengan dengan Diameter Pada Petak M-29 (umur 1
tahun) ........................................................................................................... ..43
19. Hasil Sidik Ragam Kelerengan dengan Diameter Pada Petak M-30 (umur 2
tahun) .............................................................................................................. ..43

21

20. Hasil Uji F dan Uji Lanjutan Kelerengan dengan Tinggi Pada Petak M-29
(umur 1 tahun) ................................................................................................ ..44
21. Hasil Uji F dan Uji Lanjutan Kelerengan dengan Tinggi Pada Petak M-30
(umur 2 tahun) ................................................................................................ ..44
22. Presentase Mortalitas dan Presentase Hidup Semai Shorea parvifolia pada
Hutan Umur Tanam 1 dan 2 Tahun ................................................................ ..44
23. Pengukuran Sifat Fisik Tanah pada Areal Hutan Primer, Hutan yang Ditanam
1 dan 2 Tahun ................................................................................................. ..45
24. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah .................................................................. ..47

22

DAFTAR GAMBAR

No

Halaman

1. Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur TPTJ....................................... 8


2. Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi pada Hutan Primer ................. ..14
3. Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H) pada
Hutan Primer dan Hutan Berumur Tanam 1 dan 2 Tahun ........................... ..36
4. Perbandingan Nilai Indeks Kemerataan pada Hutan Primer dan Hutan
Berumur Tanam 1 dan 2 Tahun ................................................................... 37
5. Histogram Nilai Indeks Kesamaan Komunitas (IS) ...................................... ..39
6. Riap Rata-rata Tahunan Diameter (MAI) Shorea parvifolia ........................ ..40
7. Riap Rata-rata Tahunan Tinggi (MAI) Shorea parvifolia ............................ ..42
8. Pengukuran Diameter Shorea parvifolia ....................................................... ..95
9. Keadaan semai Shorea parvifolia pada jalur tanam...................................... ..95
10. Analisis Vegetasi Pada Hutan Primer ........................................................... ..95
11. Jalur Tanam Sistem Silvikultur TPTJ .......................................................... ..95
12. Peta areal konsesi IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah ....... ..96

23

DAFTAR LAMPIRAN
No

Halaman

13. Nama Jenis Pohon ..................................................................................... 53


14. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Primer pada Kelerengan
Datar (0%-15%) ......................................................................................... 58
15. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Datar (0%-15%) ................................................................................

59

16. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Primer pada Kelerengan
Datar (0%-15%) ........................................................................................... 60
17. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Datar (0%-15%)

................................................................................... 61

18. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Primer pada Kelerengan
Sedang (15%-25%) ...................................................... 62
19. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Sedang (15%-25%) ............................................... 63
20. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Sedang (15%-25%) ................................................... 64
21. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Sedang (15%-25%) ............................................... 65
22. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Curam (25%-40%) ................................................. 66
23. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Curam (25%-40%) ......................................................... 67
24. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Primer pada Kelerengan
Curam (25%-40%) . 68
25. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Primer pada Kelereng
an Curam (25%-40%) ........

69

26. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Datar (0%-15%) ... 71
27. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Tanam 1 Tahun
(M-29) pada Kelerengan Datar (0%-15%) ... 72

24

28. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Datar (0%-15%) ...

73

29. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Datar (0%-15%) ...

74

30. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Sedang (15%-25%) .......

75

31. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Tanam 1 Tahun
(M-29) pada Kelerengan Sedang (15%-25%) .....

76

32. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Sedang (15%-25%) ......................................................

77

33. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Sedang (15%-25%) .....................................................

78

34. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Curam (25%-40%) .......................................................

79

35. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Tanam 1 Tahun
(M-29) pada Kelerengan Curam (25%-40%) ........................................... 80
36. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Curam (25%-40%) .......................................................

81

37. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Tanam 1 Tahun (M-29)
pada Kelerengan Curam (25%-40%) .......................................................

82

38. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Datar (0%-15%) ...........................................................

83

39. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Tanam 2 Tahun
(M-30) pada Kelerengan Datar (0%-15%) ..............................................

84

40. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Datar (0%-15%) ..........................................................

85

41. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Datar (0%-15%) ..........................................................

86

42. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Sedang (15%-25%) .....................................................

87

25

43. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Tanam 2 Tahun
(M-30) pada Kelerengan Sedang (15%-25%) .........................................

87

44. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Sedang (15%-25%) ....................................................... 88
45. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Sedang (15%-25%) ....................................................... 89
46. Indeks Nilai Penting Tingkat Semai Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Curam (25%-40%) ........................................................ 90
47. Indeks Nilai Penting Tingkat Pancang Pada Hutan Tanam 2 Tahun
(M-30) pada Kelerengan Curam (25%-40%) .......................................... 91
48. Indeks Nilai Penting Tingkat Tiang Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Curam (25%-40%) ....................................................... 92
49. Indeks Nilai Penting Tingkat Pohon Pada Hutan Tanam 2 Tahun (M-30)
pada Kelerengan Curam (25%-40%)

...................................................... 93

26

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk mendapatkan hasil hutan yang lestari, pemerintah terutama
Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam kegiatan
pengelolaan dan pengusahaan hutan yang dilakukan oleh para perusahaan
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yaitu adanya
sistem silvikultur dalam kegiatan pembalakan hutan.
Menurut Departemen Kehutanan (1998), sistem silvikultur adalah rangkaian
kegiatan berencana dalam pengelolaan hutan yang meliputi penebangan,
permudaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi
kayu diwaktu yang akan datang.
Dalam pelaksanaannya, sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan produksi
alam yang telah dikeluarkan pemerintah seperti TPI (Tebang Pilih Indonesia) dan
TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) masih memiliki kelemahan sehingga perlu
adanya penyempurnaan-penyempurnaan. Oleh karena itu untuk mendorong
tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta
dikelola dengan efektif dan efisien, maka sesuai dengan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 bahwa untuk meningkatkan ketertiban dan
memudahkan pengawasan mengenai kewajiban pelaksanaaan permudaan secara
alami atau buatan dengan pemeliharaannya oleh pemegang IUPHHK, perlu
diterapkan sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam
pengelolaan hutan produksi alam.
TPTJ adalah sistem silvikultur yang digulirkan sebagai alternatif
pembangunan hutan tanaman industri (HTI), dimana sistem TPTJ menyisakan
hutan alam diantara jalur-jalur tanam. Sistem pemanenannya adalah tebang pilih
dimana pohon yang ditebang adalah pohon komersil dengan limit diameter 40
cm. Kegiatan pembinaan hutan dalam sistem TPTJ meliputi pengadaan bibit,
penanaman,

pemeliharaan

dan

perlindungan

yang

dilakukan

secara

berkesinambungan (Suparna dan Purnomo, 2004).


Meranti (Shorea spp.) merupakan salah satu jenis pohon komersial yang
terdapat di Indonesia. Pohon ini merupakan salah satu komoditi penting hutan

27

produksi alam Indonesia khususnya PT Erna Djuliawati. Seperti yang telah


disinggung sebelumnya, bahwa salah satu kegitan pembinaan hutan dalam sistem
silvikultur TPTJ adalah mengenai pemeliharaan dan perlindungan yang dilakukan
secara berkesinambungan. Evaluasi terhadap pertumbuhan Meranti (Shorea spp.)
di areal jalur tanam dengan permudaan secara buatan perlu dilakukan, mengingat
hal tersebut sangat penting bagi kelangsungan tegakan pada masa daur berikutnya.
Dengan demikian, akan diperoleh informasi mengenai sejauh mana perawatan
terhadap permudaan Shorea spp. dapat dilaksanakan pada sistem silvikultur TPTJ
dalam pengelolaan hutan hujan tropika.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui riap diameter dan riap tinggi rata-rata tahunan (MAI)
semai Shorea parvifolia pada tingkat umur 1 dan 2 tahun pada
sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) yang
dilaksanakan di PT Erna Djuliawati.
2. Mengetahui pengaruh kelerengan datar (0% - 15%), sedang (15% 25%) dan curam ( 25%) terhadap diameter dan tinggi rata-rata
semai Shorea parvifolia pada areal jalur tanam berdasarkan sistem
silvikultur

Tebang

Pilih

dan

Tanam

Jalur

(TPTJ)

yang

dilaksanakan di PT Erna Djuliawati.


3. Mengetahui pertumbuhan Shorea parvifolia pada petak sistem
silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dengan umur
tanam t+1 dan t+2 di tiga tingkat kelerengan yaitu datar (0-15%),
sedang (15-25%), dan curam (25%).

1.3 Manfaat Penelitian


Dengan tersedianya data kuantitatif baik vegetasi, pertumbuhan tanaman
maupun data sifat fisik dan kimia tanah diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai interaksi yang terjadi antara komponen ekosistem hutan baik dihutan
primer maupun dihutan bekas tebangan (LOA) dikelerengan datar (0-15%),

28

sedang (15-25%) dan curam (>25%) yang dikelola dengan sistem silvikultur
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
Hasil penelitian mengenai hubungan antara pertumbuhan semai Shorea
parvifolia dengan kelerengan diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pengelola hutan pada kelas kelerengan berapakah semai Shorea parvifolia dapat
tumbuh secara optimal dan saran mengenai permasalahan kelerengan yang kurang
sesuai untuk pertumbuhan permudaan Shorea parvifolia.

29

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Hujan Tropis
Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005), hutan adalah masyarakat
tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan
lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Sedangkan hutan hujan
merupakan suatu komunitas yang sangat kompleks dengan ciri yang utama adalah
pepohonan dengan berbagai ukuran.
Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur yang
terdapat di sekitar wilayah tropika banyak yang menerima curah hujan sekitar
2000-4000 mm setahunnya. Suhunya tinggi (rata-rata sekitar 25-26oC) dan dengan
kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan tersebut adalah pohon
tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata 30 meter (Ewusie 1980).
Hutan hujan tropika memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Soerianegara dan
Indrawan 2005):
1) Iklim selalu basah
2) Tanah kering dan berbagai macam jenis tanah
3) Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (<1000 m dpl) dan pada
tinggi (s/d 4000 m dpl)
4) Dapat dibedakan menjadi tiga zone menurut ketinggiannya :
Hutan hujan bawah

2-1000 m dpl

Hutan hujan tengah

1000-3000 m dpl

Hutan hujan atas

3000-4000 m dpl

5) a. Hutan hujan bawah, dimana jenis kayu yang paling penting di antaranya
dari famili Dipterocarpaceae antara lain: Shorea, Hopea, Dipterocarpus,
Vatica dan Dryobalanops. Genus-genus yang umum antara lain Agathis,
Altingia, Diallium, Duabanga, Dyera, Koompassia, Octomeles.
b. Hutan huja tengah, dimana jenis kayu yang umum terdiri dari famili
Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae,
Hammamelidaceae, Ericaceae dan lain-lain

30

c. Hutan hujan atas, dimana jenis kayu utama Coneferae (Araucaria,


Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Laptospermum, Clearia, Quercus dan
lain-lain.
6) Terdapat terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan
Irian.

2.2 Pertumbuhan dan Riap Tanaman


Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan
perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil
tanaman (Sitompul 1995). Menurut Davis dan Johnson (1987) dan Vanclay (1994)
diacu dalam Rusmayanti (2001), pertumbuhan tegakan adalah perubahan ukuran
dan sifat terpilih tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode waktu
tertentu.
Riap merupakan pertambahan tumbuh didalam proses pertumbuhan pohon
atau tegakan sehingga pada sewaktu-waktu dapat berhenti. Jika riap itu berhenti
atau pertumbuhannya sama dengan nol, tetapi bukan mati maka pada saat itu
pohon dikatakan miskin riap. Jadi riap merupakan pertambahan dimensi yang
dapat dibedakan menurut macamnya, yaitu riap diameter, riap bidang dasar, riap
tinggi dan riap volume (Sutaraharja 1982 diacu dalam Rismayanti 2001).
Menurut Suharlan et al (1997) diacu dalam Arim (1995), pertumbuhan
merupakan pertambahan ukuran (dimensi) pohon atau tegakan sepanjang
umurnya, sedangkan riap adalah pertambahan ukuran (dimensi) pohon atau
tegakan dalam jangka waktu tertentu.
Nyakpa et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan adalah:
a. Faktor Genetik
Salah satu peranan penting dari faktor genetik adalah kemampuan tanaman
unutk berproduktif tinggi.
b. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah
suhu, ketersediaan air, energi surya, mutu atmosfer, struktur dan komposisi
udara tanah, reaksi tanah dan organisme tanah.

31

Laju pertumbuhan pohon atau tegakan tergantung pada faktor tapak atau
tempat tumbuh. Tapak adalah sebuah tempat dipandang dari segi ekologisnya,
dalam hubungan kemampuannya untuk menghasilkan hutan atau vegetasi lainnya
(naungan kondisi biotik, iklim dan tanah dari suatu tempat) (Anonim 1997).
Berdasarkan

PROSEA

(1994),

kemiringan

lahan

mempengaruhi

pertumbuhan tanaman. Tanaman penutup mulai berkurang laju pertumbuhannya


pada kemiringan lahan 30 dan tidak hidup lagi pada kemiringan 70. Pohon kayu
mulai menurun pertumbuhannya pada kemiringan 10 dan tidak tumbuh lagi pada
kemiringan 50.

2.3 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)


Silvikultur adalah ilmu dan seni menghasilkan dan memelihara hutan
dengan menggunakan pengetahuan silvik untuk memperlukan hutan serta
mengendalikan susunan dan pertumbuhannya. Silvikultur merangkum cara-cara
mempermuda hutan secara alami dan buatan, serta pemeliharaan tegakan
sepanjang hidupnya. Termasuk pula ke dalam silvikultur adalah pengertian
tentang persyaratan tapak atau tempat tumbuh pohon, perilaku terhadap berbagai
intensitas cahaya matahari, kemampuan untuk tumbuh secara murni atau
campuran dan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon
(Kosasih et al. 2006).
Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur yang
digulirkan sebagai alternatif pembangunan hutan tanaman industri (HTI). HTI
menggunakan sistem tebang habis sementara TPTJ menyisakan

hutan alam

diantara jalur-jalur tanam. Penerapan sistem silvikiltur TPTJ dimaksudkan sebagai


upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dengan cara membangun hutan
tanaman yang produktif. Kegiatan pembinaan hutan dalam sistem TPTJ meliputi
pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan perlindungan yang dilakukan
secara berkesinambungan (Suparna dan Purnomo 2004).
Selanjutnya Suparna dan Purnomo (2004) menyatakan bahwa melalui
penerapan sistem TPTJ ada beberapa hal penting yang dapat dicapai, antara lain
yaitu:

32

1. Peningkatan produktivitas dalam pengertian bahwa dengan


penurunan batas diameter tebang 40 cm maka produksi kayu per
hektar yang akan diperoleh menjadi lebih besar. Melalui sistem
TPTJ, areal bekas tebangan TPTI dapat dibudidayakan tanpa harus
menunggu selam 35 tahun dan untuk tebangan berikutnya produksi
kayu dapat diperoleh baik dari hasil tanaman dalam jalur tanam
maupun dari jalur antara.
2. Penurunan limit diameter tebangan menghasilkan ruang tumbuh
yang memungkinkan bagi penanaman jenis meranti didalam jalur.
3. Melalui penanaman dalam jalur, kegiatan pemeriksaan tanaman di
lapangan akan lebih efisien, murah dan mudah.
4. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja sekitar hutan melalui
program penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan secara
intensif.
5. Pengamanan areal hutan alam bekas tebangan dari perladangan
berpindah dan perambahan karena secara umum adat ada
penghormatan

terhadap

areal

yang

sudah

ada

kegiatan

penanamannya.
6. Menggunakan bibit dari jenis terpilih sehingga produktivitasnya
meningkat.
7. Keanekaragaman hayati tetap terjaga dengan adanya jalur antara.
Sistem silvikultur TPTJ didefinisikan sebagai sistem silvikultur hutan alam
yang mengharuskan adanya penanaman pada hutan pasca penebangan secara
jalur, yaitu 25 meter antar jalur dan jarak tanam 5 meter dalam jalur serta jalur
tanam dibuat selebar 3 meter yang merupakan jalur bebas naungan dan harus
bersih dari pohon-pohon yang menaungi dan pada jalur tanam tidak boleh dilewati
alat berat, kecuali pada pinggir jalur sebelum ada tanaman, sedangkan jalur antara
selebar 22 meter yang merupakan tegakan alam. Tanpa memperhatikan cukup
tidaknya anakan alam yang tersedia dalam tegakan tinggal, sebanyak 80 anakan
meranti per hektar harus ditanam untuk menjamin kelestarian produksi pada rotasi
berikutnya. Pada sistem silvikultur TPTJ pohon-pohon yang ditebang adalah

33

pohon-pohon komersil yang berdiameter 40 cm keatas (Suparna dan Purnomo


2004).
Adapun metode penanaman yang dilakukan tersaji pada Gambar 1.
Jalur

Tegakan Alam

Bebas

Bebas

Naung

Naung

an

an

A
A

Jalur

3 meter

22 meter

Keterangan :
A-B
Jalur Bebas Naungan

: Titik tanam dengan jarak tanam 5 meter


: Tegakan alam atau jalur kotor dengan lebar 22 meter
: Jalur tanam dengan lebar 3 meter

Gambar 1 Metode Penanaman dalam Sistem Silvikultur TPTJ.


Untuk mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan tahapan TPTJ
dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut:
Tabel 1 Tahapan Kegiatan Sistem Silvikultur TPTJ
No
Tahapan Kegiatan

Waktu Pelaksanaannya

Penataan Areal Kerja

T-2

Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan

T-2

Pembukaan Wilayah Hutan

T-1

Pengadaan Bibit

T-1

Penebangan

Penanaman

T+6 bulan

Pemeliharaan

T+1, 2, 3, 4, 5

Perlindungan Hutan

Terus-menerus

2.4 Tinjauan Ekologis Meranti (Shorea spp) dan Shorea parvifolia Dyer

34

Meranti (Shorea spp.) adalah tanaman yang termasuk kedalam famili


Dipterocarpaceae. Dimana sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat
pada daerah beriklim basah dan kelembaban tinggi di bawah ketinggian tempat
800 m dpl, yaitu pada curah hujan di atas 2000 mm per tahun dengan musim
kemarau yang pendek. Pada ketinggian tempat di atas 800 m dpl, sangat
sedikit jumlahnya.
Meranti sebagai salah satu jenis kayu primadona dari hutan tropika ini mulai
sulit dicari di pasaran sejalan dengan kebutuhan kayu konstruksi yang meningkat.
Sementara pengembangan jenis ini lebih banyak mengandalkan regenerasi alam,
belum lagi masa berbuahnya yang tidak beraturan (Ashton & Hall 1992) dan masa
simpan benih yang pendek menjadi batasan dalam produksi bibit secara
berkesinambungan, sebelum teknik propagasi vegetatif berhasil dikembangkan.
Tanaman Meranti adalah jenis gap opportunist dimana cahaya merupakan
faktor pembatas bagi awal pertumbuhannya atau dengan perkataan lain, waktu
semai tanaman ini butuh naungan lebih kurang 60% atau butuh intensitas cahaya
sekitar 40%. Setelah pohon meranti dewasa tidak butuh naungan lagi, kanopi
biasanya berada pada lapisan paling atas.
Shorea parvifolia Dyer. sering disebut Meranti sabut, Meranti sarang
Punai, Kantoi burung (Kalimantan Barat), Abang gunung (Kalimantan Timur).
Penyebarannya

Sumatra,

Kalimantan,

Peninsula

Malaysia,

Thailand

(Semenanjung) pada jenis tanah liat di bawah 800 mdpl (Martawijaya 1981).
Permudaan Shorea parvifolia melimpah setelah pembukaan tajuk dimana jenis ini
merupakan yang paling umum dan paling tersebar luas di hutan Dipterocarpacea
lahan pamah dan lereng-lereng bukit serta lembah khususnya Semenanjung
Malaysia (PROSEA 1999).
Di Indonesia jenis Shorea parvifolia tumbuh dalam hutan tropis dengan tipe
curah hujan yang bervariasi. Jenis ini tumbuh pada tanah latosol, podsolik merah
kuning, sampai ketinggian 1300 m dpl, juga tumbuh pada dataran yang sering
tergenang air pada musim hujan dan tepi-tepi sungai pada tanah alluvial.
Pohon Shorea parvifolia berukuran besar mencapai 65 m, tajuk besar
terbuka, berbatang lurus silindris dengan diameter mencapai diameter 200 cm dan
banir besar mencapai 3,5 m (Rudjiman & Andriyani 2002). Batang kulit luar

35

berwarna coklat, beralur dangkal, sedikit mengelupas. Warna penampang kulit


hidup merah kecoklat-coklatan. Kayu gubal berwarna kuning pucat atau kuning
muda, terasnya berwarna kemerah-merahan dan damar berwarna kuning.
Wan Razali (1989) diacu dalam Wijaya (2006) melaporkan kemampuan dari
Shorea parvifolia untuk dapat tumbuh dengan baik pada kondisi areal yang
terbuka. Berdasarkan pada Strugnell (1936) diacu dalam Wijaya (2006), Shorea
parvifolia sedikit lebih toleran terhadap cahaya dan agak lebih rendah
pertumbuhannya dibandingkan Shorea leprosula. Dalam PROSEA (1997)
dikatakan bahwa Shorea parvifolia dapat tumbuh di ranah datar atau berbukit, di
atas tanah pasir dan tanah liat pada ketinggian 300-700 m dpl.

2.5 Analisis Tanah


2.5.1 Sifat Fisik Tanah
Menurut Poerwowidodo (2004), tekstur tanah adalah perbandingan nisbi
aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah suatu
tubuh tanah. Sementara Foth (1994) mengemukakan, ukuran relatif partikel
tanah dinyatakan dalam istilah tekstur yang mengacu pada kehalusan atau
kekasaran tanah. Lebih khasnya, tekstur adalah perbandingan relatif pasir,
debu, dan tanah liat.
Struktur tanah adalah istilah untuk menunjuk pada fenomena penyusun
jarah-jarah primer tanah untuk membentuk paduan jarah tanah (jarah-jarah
sekunder tanah) (Poerwowidodo 2004). Sedangkan menurut

Hardjowigeno

(2003) struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil alami dari tanah


akibat melekatnya butir-butir primer tanah satu sama lainnya. Kemudian bobot isi
tanah (bulk density) menunjukkan berat tanah kering per satuan volume tanah
(termasuk pori-pori tanah) dan biasanya dinyatakan dalam gr/cc (Hardjowigeno
2003).
Permeabilitas adalah kecepatan laju air dalam medium massa tanah. Sifat ini
penting artinya dalam keperluan drainase dan tata air tanah. Bagi tanah-tanah
yang bertekstur halus biasanya mempunyai permeabilitas lebih lambat dibanding
tanah bertekstur kasar. Nilai permeabilitas suatu solum tanah ditentukan oleh

36

suatu lapisan tanah yang mempunyai nilai permeabilitas terkecil (Hardjowigeno


2003).
Berikut adalah kriteria permeabilitas menurut Hardjowigeno (2003) :
Tabel 2. Kriteria Nilai Permeabilitas Tanah
Deskripsi
Sangat Cepat
Cepat
Agak Cepat
Sedang
Agak Lambat
Lambat
Sangat Lambat

Permeabilitas (cm/jam)
> 25,0
12,5 25,0
6,5 12,5
2,0 6,5
0,5 2,0
0,1 0,5
< 0,1

2.5.2 Sifat Kimia dan Unsur-Unsur Hara Esensial Tanah


Bahan organik tanah adalah bahan tanah yang mengandung C-organik lebih
tinggi daripada ketentuan yang berlaku pada tanah mineral. Bahan organik
umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5%
saja tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar. Komponen bahan
organik yang penting adalah kadar C dan N. Kandungan organik pada masingmasing horison merpakan petunjuk besarnya akumulasi bahan organik dalam
keadaan lingkungan yang berbeda (Hardjowigeno 2003).
Unsur hara esensial adalah unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman
dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain, sehingga bila tidak terdapat
di alam dalam jumlah yang cukup dalam tanah, maka tanaman tidak dapat tumbuh
normal (Hardjowigeno 2003). Unsur hara esensial tersebut diantaranya adalah
unsur hara makro yang meliputi unsur C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg serta unsur
hara mikro yang meliputi unsur Mn, Fe, B, Zn, Cu, Mo, Cl.
Bertambahnya hara dalam tanaman adalah akibat proses pelapukan serasah
dan dari input curah hujan, sedangkan input hara yang berasal dari pelapukan
batuan dianggap sangat kecil. Berkurangnya hara di dalam tanah karena dua
faktor yaitu kehilangan hara akibat erosi dan kehilangan hara akibat uptake atau
penyerapan hara oleh tanaman (Indrawan 2003).

37

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan
bulan Mei tahun 2008 di areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT Erna Djuliawati, Kalimantan
Tengah dan Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah.

3.2 Bahan dan Alat


Objek penelitian ini meliputi:
1. Analisis vegetasi hutan di areal hutan yang menerapkan sistem
silvikultur TPTJ yang belum dilakukan kegiatan penebangan atau hutan
primer pada petak L 26 dan G-28 RKT 2008 dan analisis vegetasi
hutan yang sudah dilakukan pembinaan atau penanaman (Et + 1 dan Et
+ 2) dengan tiga kelas kelerengan yang berbeda, yaitu kelas kelerengan
datar (0-15%), kelas kelerengan sedang (15-25%) dan kelas kelerengan
curam (> 25%).
2. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman Shorea parvifolia yang
ditanam pada petak M-29 (Et + 1) dan petak M-30 (Et + 2) dengan tiga
kelas kelerengan yang berbeda, yaitu kelas kelerengan datar (0-15%),
sedang (15-25%) dan curam (> 25%) berdasarkan sistem silvikultur
TPTJ.
Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah:
1. Peta kerja
2. Phiband atau pita keliling 7. Tallysheet
3. Haga Hypsometer

8. Ring tanah

4. Kompas brunton

9. Alat tulis

5. Helling

Suunto

Clinometer
6. Talia rafia / tambang

10. Golok
11. Kamera
12. Patok

3.3 Metode Pengambilan Data


3.3.1 Analisis Vegetasi
Untuk mengetahui struktur tegakan dilakukan analisis vegetasi dengan cara
nested sampling, yaitu petak besar mengandung petak-petak yang lebih kecil
(Soerianegara dan Indrawan 2005). Analisa vegetasi dilakukan pada ketiga
keadaan hutan yaitu hutan primer, hutan yang telah dilakukan pembinaan pada
umur 1 dan 2 tahun pada beberapa lokasi kelerengan yaitu datar (0%-15%),
sedang (15%-25%) dan curam (>25%).
Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat tiga petak pengamatan dengan
ukuran 100 m x 100 m. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat
sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut:
a. Tingkat pohon dengan ukuran 25 m x 20 m pada hutan primer dan 22 m x 20
m setelah pembinaan atau penanaman
b. Tingkat tiang dengan ukuran petak 10 m x 10 m.
c. Tingkat pancang denggan ukuran petak 5 m x 5 m.
d. Tingkat semai dengan ukuran petak 2 m x 2 m
Untuk mengetahui tingkat permudaan pada perkembangan suksesi
dipergunakan kriteria sebagai berikut:
a. Tingkat semai (seedling), permudaan mulai berkecambah sampai setinggi 1,5
m.
b. Tingkat pancang (sapling), permudaan yang tingginya lebih dari 1,5 m dan
diameter kurang dari 10 cm.
c. Tingkat tiang (pole), pohon muda yang berdiameter 10 cm sampai 20 cm.
d. Tingkat pohon (tree), pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm.
Metode pengambilan data yang dilakukan untuk kegiatan analisis vegetasi
dapat dilihat pada Gambar 2. Data yang diambila pada analisa vegetasi adalah
nama jenis dan jumlah, keliling batang setinggi dada (DBH) untuk tingkat tiang
dan pohon sedangkan untuk tingkat semai dan pancang adalah nama jenis dan
jumlah individunya.

3m

100 m

20 m

25 m

20 m

100 m

ABC D

25 m

Keterangan :
A

= Sub petak intensif untuk tingkat semai (2m x 2m)

= Sub petak intensif untuk tingkat pancang (5m x 5m)

= Sub petak intensif untuk tingkat tiang (10m x 10m)

= Sub petak intensif untuk tingkat pohon pada hutan primer 25m x 20 m dan setelah
penanaman ukuran sub petak 22m x 20m.

Gambar 2 Bagan Petak Pengamatan Analisis Vegetasi pada Hutan Primer.

3.3.2 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Tanah


Pengambilan contoh tanah dilakukan untuk mengetahui perbedaan sifat-sifat
fisika dan kimia tanah pada masing-masing kondisi hutan. Pengukuran sifat fisik
tanah dilakukan dengan menggunakan ring tanah. Contoh tanah dilakukan dengan
mengambil tanah tidak terusik pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm untuk tiap

kelerengan. Adapun parameter sifat fisik tanah yang diamati adalah tekstur,
struktur, berat isi dan kadar air contoh tanah.
Untuk mengetahui tekstur tanah dapat dilakukan dengan pengambilan
contoh tanah tidak terusik (tanah utuh). Menurut Purwowidodo (2004), cara
pengambilan tanah tidak terusik (tanah utuh) adalah sebagai berikut :
a. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik
lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah.
b. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop.
c. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung.
d. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah.
e. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan
kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira
1 cm.
f. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan
pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan.
g. Tabung ditutup dengan tutup plastik
Pengambilan contoh tanah untuk sifat kimia tanah menggunakan metode
tanah terusik yang diambil secara sistematik (zig-zag). Contoh tanah diambil pada
kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm pada setia plot pengamatan baik dihutan
primer, hutan yang ditanam umur 1 tahun dan 2 tahun. Analisis tanah dilakukan di
laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB (Purwowidodo 2004).

3.3.3 Pengukuran Riap Rata-Rata Tahunan (MAI)


Pengukuran riap yang dilakukan berupa mengukur diameter dan tinggi
anakan meranti yang berumur 1 dan 2 tahun yang ditanam di jalur tanam pada
sistem silvikultur TPTJ di beberapa lokasi kelerengan yaitu datar (0%-15%),
sedang (15%-25%) dan curam (>25%).

3.3.4 Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Pada Jalur Tanam


Mortalitas mencerminkan tingkat kematian semai atau anakan meranti yang
ditanam pada jalur tanam plot penelitian. Tingkat mortalitas anakan pada jalur
tanam dinyatakan dalam persen (%). Persentase hidup dinyatakan dalam persen

(%) untuk melihat jumlah anakan meranti yang hidup dengan jumlah anakan
meranti yang ditanam pada jalur tanam. Data yang dikumpulkan adalah jumlah
semai yang ditanam dan jumlah anakan yang ada pada waktu akhir pengukuran.

3.4 Analisa Data


3.4.1 Analisa Vegetasi
a. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu
jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan nilai
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR),
(Mueller-Dombois dan ellenberg 1974; Soerianegara dan Indrawan 1988).
Kerapatan

= Jumlah individu suatu jenis


Luas areal sampel

Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan suatu jenis

x 100%

Kerapatan seluruh jenis


Frekuensi

= Jumlah petak ditemukannya suatu jenis


Jumlah seluruh petak

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi suatu jenis x 100%


Frekuensi seluruh jenis

Dominansi

= Jumlah LBDS suatu jenis


Luas areal sampel

Dominansi Relatif (DR)

= Dominansi suatu jenis x 100%


Dominansi seluruh jenis

b. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R1)


Untuk mengetahui besarnya kekayaan jenis digunakan indeks Margalef
(Margalef 1958 dalam Ludwig dan Reynold 1988) :

R1 =

S 1
ln(n)

dimana :

R1

= Indeks kekayaan Margallef

= Jumlah jenis

= Total jumlah individu

Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3,5 menunjukkan kekayaan


jenis yang tergolong rendah, R1 = 3,5-5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong
sedang dan R1 tergolong tinggi jika > 5,0.
c. Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk


membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan
biotik, untuk mengetahui tingkatan sukesi atau kestabilan suatu komunitas. Indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener (H) merupakan indeks yang paling banyak
digunakan dalam ekologi komunitas (Ludwig dan Reynold 1988). Indeks
Keanekaragaman Shannon-Wiener adalah sebagai berikut:
n
n
n
H ' = i ln i
N
i =1 N

dimana:
H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni

= Jumlah individu jenis ke-n

= Total jumlah individu

Berdasarkan

Magurran

(1988),

besaran

keanekaragaman

jenis

tergolong

rendah,

keanekaragaman

jenis

tergolong

sedang

keanekaragaman tergolong tinggi.

<1,5

menunjukkan

1,5-3,5

menunjukkan

dan

>

menunjukkan

3,5

d. Indeks Kemerataan Jenis

E=

H'
ln(S )
dimana:

= Indeks kemerataan jenis

= Indeks keanekaragaman jenis

= jumlah jenis

Berdasarkan Magurran (1988), besaran E < 0,3 menunjukkan kemerataan


jenis tergolong rendah, E = 0,3-0,6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E >
0,6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi.

e. Koefisien Kesamaan Komunitas


Untuk mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara
dua tegakan yang dibandingkan dapat menggunakan rumus (Bray dan Curtis 1957
dalam Soerianegara dan Indrawan 1988) :

IS =

2W
a+b

dimana :
IS

W =

Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan

komunitas

Jumlah nilai yang sama dan nilai terendah ( < ) dari jenis-jenis
yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan

a =

Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada


tegakan pertama

Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada


tegakan kedua

Nilai koefisien kesamaan komunitas berkisar antara 0-100%. Jadi, semakin


mendekati nilai 100% dua tegakan yang dibandingkan adalah mempunyai
kesamaan yang semakin tinggi. Nilai IS semakin mendekati nilai 0, maka kedua
tegakan yang dibandingkan semakin tidak sama (rendah).

3.4.2 Pengukuran Sifat Fisik Tanah


Pengukuran kepadatan tanah merupakan pengukuran berat isi tanah. Berat
isi adalah berat suatu volume tanah dalam keadaan utuh (undisturbed), dinyatakan
dalam gr/cc (Lembaga Penelitian Tanah 1979).
Penetapan berat isi tanah ditentukan dengan rumus :
a. Berat isi tanah keadaan lapang (gr/cc)

ac
V

b. Berat isi tanah keadaan kering oven (gr/cc)

bc
Vd

Pengukuran kandungan air tanah menggunakan rumus :


Kandungan air

(a c) (b c)
(b c)

dimana : a = berat contoh tanah dalam tabung sebelum di oven


b = berat contoh tanah dalam tabung setelah di oven
c = berat tabung (ring tanah)
Vd = volume tabung (bagian dalam)

3.4.3 Pengukuran Sifat Kimia Tanah


Pengukuran sifat kimia tanah adalah untuk melihat komponen-komponen
unsur hara tanah, terutama unsur-unsur hara yang mempengaruhi terhadap
pertumbuhan

tanaman dan juga menentukan tingkat kesuburannya. Dalam

penentuan tingkat kesuburan tanah maka beberapa unsur-unsur hara yang dapat
dijadikan parameter diantaranya adalah BO, N-total, P2O5 dan K2O5, KTK
(Kapasitas Tukar Kation) dan Kejenuhan Basa (KB).

Adapun metode analisis tanah yang digunakan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Metode Analisis Sifat Kimia Tanah


Parameter

Metode Analisis

pH

pH meter

C-Organik

Walkey and Black

N-Total

Kjeldahl

P-bray

Bray 1, Spektrofotometer

K, Ca, Mg

NH4OAc N pH 7.0, AAS

KTK

NH4OAc N pH 7.0, titrasi

3.4.4 Pengukuran Riap Diameter dan Riap Tinggi


Pengukuran riap diameter dan tinggi dilakukan untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan semai meranti yang ditanam pada jalur tanaman TPTJ. Parameter
yang diukur untuk pengukuran riap ini adalah diameter dan tinggi.

a. Riap Rata-rata Tahunan (MAI) Diameter


Perhitungan riap rata-rata tahunan diameter ini didasarkan pada rumus riap
tahunan rata-rata (Mean Annual Increment atau MAI), yaitu :
Id =

di
(Cm/thn)
ti

dimana: I d = Riap diameter rata-rata tahunan kelerengan-i dalam jalur (cm/thn)


t i = Umur tanaman dalam jalur ke-i (thn)

b. Riap Rata-rata Tahunan (MAI) Tinggi


Perhitungan riap rata-rata tahunan tinggi juga didasarkan pada rumus riap
tahunan rata-rata (Mean Annual Increment atau MAI), rumusnya yaitu :
Ih i =

hi
ti

dimana: Ih i = Riap tingi rata-rata tahunan kelerengan-i dalam jalur (m/thn).

ti = Umur tanaman dalam jalur ke-i (thn).

3.4.5 Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Pada Jalur Tanam


Tingkat mortalitas semai ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
M =

dimana:

( ET + 0 ET + 1)

ET + 0

x100%

= Persentase mortalitas

ET + 0 = Jumlah semai pada awal penanaman


ET + 1 = Jumlah semai pada akhir pengukuran
Persentase hidup semai ditentukan dari rumus :
% hidup = ( semai total dipetak - semai mati dalam petak ) x 100 %
semai total dipetak
Setelah dilakukan tahap pengambilan data di lapangan, selanjutnya
dilakukan kegiatan analisis data untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan
semai Shorea parvifolia dengan kelerengan lahan menggunakan ANOVA

software SPSS 14.0 dengan selang kepercayaan 95%..

BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Luas
Secara geografis areal kerja terletak pada 00o5230 LS sampai dengan
01o2230 LS dan 111o3000 BT sampai dengan 112o0730 BT dengan luas
areal konsesi 184.206 Ha.. Berdasarkan pembagian daerah aliran sungai, PT Erna
Djuliawati terletak di kelompok hutan sungai Salau dan sungai Seruyan. Secara
administrasi pemangkuan hutan, termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH) Seruyan Hulu, Dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Seruyan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Sedangkan menurut
administrasi pemerintahan Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah, areal kerja
PT. Erna Djuliawati ini termasuk wilayah desa Tb. Darap kecamatan Seruyan
Hulu, Kabupaten Seruyan dan Katingan Provinsi Dati I Kalimantan Tengah (RKT
2008).
Adapun batas-batas lokasi konsesi PT. Erna Djuliawati adalah :
a. Sebelah utara

: PT. Sari Bumi Kusuma dan Hutan Lindung

b. Sebelah barat

: PT. Indochin Aria Bima Sari dan Hutan Lindung

c. Sebelah timur

: PT. Sarmiento Parakantja Timber, PT. Berkat Cahaya


Timber, PT. Meranti Mustika

d. Sebelah selatan : PT. Indochin Aria Bima Sari dan Sungai Manjul

4.2 Topografi dan kelerengan


Areal kerja IUPHHK PT Erna Djuliawati terletak pada ketinggian antara
111-1.082 m dpl dengan kondisi topografi berkisar antara datar dan berbukit dan
kelerengan mulai dari landai sampai dengan sangat curam. Secara umum
pengelompokan kelas kelerengan dapat dilihat berdasarkan laporan pemotretan
udara, penataan garis bentuk, pemetaan vegetasi dan pemeriksaan areal kerja PT
Erna Djuliawati yang dilaksanakan oleh APHI / PT Mapindo Parama pada bulan
November 1997 yang telah memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal INTAG
No. 038/97. Hasil penafsiran kelas lereng disajikan dalam Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4 Pembagian Keadaan Wilayah Kerja PT Erna Djuliawati Berdasarkan


Tingkat Kelerengan
Kelas
Kemiringan
Topografi
Luas
Lereng
(%)
Ha
%
A
0-8
Datar
43.247
23,48
B

8-15

Landai

60.880

33,05

15-25

Agak curam

49.009

26,61

25-40

Curam

28.998

15,74

>40

Sangat curam

2.072

1,12

184.206

100

Jumlah

Sumber: Peta Garis Bentuk Areal Kerja PT Erna Djuliawati Skala 1 : 50.000 (PT Mapindo
Parama/APHI), Laporan Pemotretan Udara, Pemetaan Garis Bentuk, Pemetaan
Vegetasi dan Pemeriksaan Lapangan Areal Kerja PT Erna Djuliawati (1997).

4.3 Geologi dan Tanah


Berdasarkan Peta Geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 :
1.000.000 dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Tahun
1994, formasi geologi di areal kerja PT Erna Djuliawati adalah batuan magmatit
benua (94.5%) dan sedikit batuan alas kerak benua (5.95%). Formasi Geologi
areal kerja PT Erna Djuliawati dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini :

Tabel 5 Formasi Geologi Areal Kerja PT Erna Djuliawati


Kode
Formasi Geologi
Luas (Ha)
Pzm

Batuan Alas Kerak Bumi

(%)

10.960

5,95

156.575

85,00

Ku.2

16.671

9,05

Jumlah

184.206

100

batu sabak, batu tanduk filit, kuarsit,


sekis, magmatit, gunung api malih,
amfibolih
Batuan Magma Benua

Kl.1

tonalit, granodolit, granit, diorit kuarsa,


diorit dan gabro
lava, breksi, tufa dan aglomerat

Sumber: Peta geologi Indonesia Lembar Banjarmasin skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung, 1994

Berdasarkan Peta Tanah Pulau Kalimantan skala 1 : 1.000.000 dari Pusat


Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Bogor Tahun 1993, areal kerja PT Erna Djuliawati memiliki jenis tanah

berdasarkan SK. Mentan No. 837/Kpts/Um/11/11980 antara lain adalah latosol


(44%) dan podsolik merah kuning (56%).

4.4 Hidrologi
Areal PT. Erna Djuliawati meliputi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu:
DAS Salau 4.922 Ha, DAS Seruyan 84.721 Ha, DAS Kaleh 8.836 Ha, DAS
Manjul 74.655 Ha dan DAS Salau Hulu 11.072 Ha. Adapun sungai besar yang
mengalir melalui kawasan PT Erna Djuliawati adalah: S. Manjul, S. Seruyan dan
S. Salau. Adapun kondisi morfometri DAS di areal IUPHHK PT Erna Djuliawati
selengkapnya tersaji pada tabel 6 berikut ini :

Tabel 6. Morfometri Sungai di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati


No
Nama
Luas
Lebar
Debit
Sungai

sungai

Sifat arus
aliran

Luas

Panjang

Daerah

(Jalur

secara

Tangkapan

Terpanjang)

umum

(Ha)

(Km)

(m)

(m3/dt)

1.

S. Salau

4.922

20

35

27,48

Lambat

2.

S. Seruyan

84.721

52

45

586,63

Lambat

3.

S. Kaleh

8.836

26

20

58,08

Lambat

4.

S. Manjul

74.655

58

35

367,17

Lambat

5.

S.Salau

11.072

29

25

52,48

Lambat

Hulu
Sumber : Pengukuran Lapangan Tahun 2000. PT. Erna Djuliawati

4.5 Iklim dan Intensitas Hujan


Berdasarkan Peta Agroklimat Pulau kalimantan skala 1 : 3.000.000 dari
Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1979, keadaan iklim di areal kerja PT
Erna Djuliawati menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson sebagian besar
wilayahnya termasuk tipe hujan A (0-14.3%) dan sedikit tipe B (14.3-33.3%).
Mengacu pada data curah hujan dari Stasiun Pengamat Curah Hujan di
Kecamatan Nanga Pinoh selama 10 tahun (1991-2000), dapat diperoleh angka
curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3.599 mm dengan rataan jumlah hari hujan
238 hari. Suhu udara rata-rata adalah 26.4oC dengan kisaran suhu rata-rata

bulanan antara 26.1-29.7oC dan kelembaban udara rata-rata adalah sebesar 85%,
dengan kisaran antara 83-87%.

4.6 Penutupan Lahan


Input analisa dan identifikasi penutupan lahan atau vegetasi hasil penafsiran
dan pemeriksaan citra landsat oleh Badan Planologi Kehutanan Departemen
Kehutanan No. S. 375/VII/Pusin-1/2007 tanggal 27 Juni 2007 jenis Landsat 7
ETM+Band 542 sebagai berikut:
Areal berhutan (Virgin forest)

43.029 Ha (23,4%)

Areal bekas tebangan (LOA)

97.217 Ha (52,8%)

Areal bukan hutan

26.226 Ha (14,2%)

Tertutup awan

12.821 Ha (7,0%)

Buffer zone dan hutan lindung

1.964 Ha (1,1%)

Kawasan lindung

2.939 Ha (1,6%)

Jumlah

184.196 Ha (100%)

4.7 Flora dan Fauna


Jenis-jenis pohon yang tergolong komersil dan sering dijumpai di lapangan
antara lain adalah jenis meranti putih (Shorea faquetiana), maranti kuning (Shorea

platicarpa), meranti merah (Shorea leprosula), bangkirai (Shorea leavifolia),


rengas (Gluta renghas), mersawa (Anisoptera sp.), geronggang (Cratoxyilon

arborescens), kapur (Dryobalanops aromatica). Sedangkan jenis-jenis yang biasa


dimanfaatkan buahnya antara lain petai (Parkia speciosa), mangga hutan
(Mangifera sp.), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), langsat hutan
(Baccaurea sp.),dsb (PT Erna Djuliawati 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, jenis-jenis satwa yang ada
dikawasan PT Erna Djuliawati antara lain orang utan (Pongo pigmaeus), kelawit
(Hylobates muelleri), beruang madu (Helarcatos malayanus), trenggiling (Manis

javanica), lutung (Presbytis cristata), landak (Hystrix brachyura longicauda),


babi hutan (Sus barbatus), kijang (Muntiacus muntjak), dsb. Sedangkan jenis-jenis
burung yang umum dijumpai antara lain Anthracoceros malayanus, bubut alangalang (Centropus benggalensis), tanjaku (Rhinoplax vigil), sedangkan untuk jenis

reptil diantaranya adalah kadal kebun (Mabuya sp), biawak (Varanus spp), ular
sowa (Phyton sp) (PT Erna Djuliawati 2004).

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Vegetasi
5.1.1 Dominansi Jenis
Untuk mengetahui tingkat dominansi dan komposisi jenis di lapangan
dilakukan kegiatan analisis vegetasi di tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
Peranan suatu jenis di dalam komunitas dapat dilihat dari hasil perhitungan Indeks
Nilai Penting (INP). Jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) ternesar
adalah jenis yang paling dominan atau memiliki tingkat kesesuaian terhadap
tempat tumbuh atau adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan jenis lain.
Dominannya jenis-jenis yang ada dikarenakan jenis-jenis tersebut ditemukan
dalam jumlah yang banyak dan kerapatannya tinggi, tersebar merata diseluruh
areal penelitian, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon memiliki diameter yang
besar.
Dari table 7, 8, dan 9 dapat dilihat bahwa jenis-jenis yang mendominasi pada
kondisi hutan primer, areal penanaman dengan umur 1 dan 2 tahun baik pada
tingkat vegetasi semai, pancang, tiang dan pohon adalah jenis lempung (Shorea

leprosula Miq.) dari family Dipterocarpaceae, benitan (polyalthia laterifolia


King.) dari family Annonaceae, jambu-jambu (Eugenia sp.) dari family
Myrtaceae, medang (Litsea spp) dari family Lauraceae.

5.1.2 Komposisi Jenis


Komposisi jenis yang terdapat pada areal hutan primer maupun hutan yang
telah dilakukan penanaman pada umur 1 dan 2 tahun menunjukkan komposisi
jenis yang tinggi.
Pada Tabel 10 dapat dilihat jumlah jenis yang ditemukan pada areal hutan primer,
hutan yang ditanam 1 dan 2 tahun.

Tabel 10 Jumlah Jenis yang Ditemukan di Hutan Primer dan Hutan yang Ditanam
Berumur 1 dan 2 Tahun.
Jumlah Jenis
Kondisi Hutan
Kelerengan (%)
Semai Pancang Tiang
Pohon
Primer

Umur 1 tahun

Umur 2 tahun

0-15

39

44

45

65

15-25

38

45

48

58

25-40

41

43

44

59

0-15

40

38

34

43

15-25

48

41

28

38

25-40

42

47

40

44

0-15

34

33

42

43

15-25

26

39

32

45

25-40

36

43

34

48

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terjadi peningkatan


komposisi jenis vegetasi semai pada hutan primer sebanyak 41 jenis pada kelas
kelerengan curam (kelerengan > 25%) menjadi 48 jenis pada hutan yang ditanam
umur 1 tahun pada kelas kelerengan sedang (15-25%), kemudian pada hutan yang
ditanam umur 2 tahun terjadi penurunan jumlah komposisi jenis semai menjadi 36
jenis pada kelerengan kelas curam (kelerengan > 25%).
Untuk vegetasi tingkat pancang di hutan primer ditemukan 45 jenis, di areal
hutan yang ditanam umur 1 tahun ditemukan 47 jenis dan 43 jenis pada areal
hutan yang ditanam umur 2 tahun. Vegetasi tingkat tiang di hutan primer
ditemukan 48 jenis, di areal hutan yang ditanam 1 tahun 40 jenis dan di hutan
yang ditanam umur 2 tahun ditemukan 42 jenis. Pada vegetasi pohon di areal
hutan primer ditemukan jumlah jenis terbesar sebanyak 65 jenis yaitu pada
kelerengan datar (0-15%), di areal hutan yang ditanam umur 1 tahun sebanyak 44

jenis dan hutan yang ditanam pada umur 2 tahun sebanyak 48 jenis di kelerengan
curam (25%).
Rendahnya jumlah jenis vegetasi terutama jenis tiang dan pohon pada areal
penanaman meranti umur 1 dan 2 tahun disebabkan karena dampak pemanenan
seperti penebangan dan penyaradan serta karena adanya kegiatan persiapan lahan
sebelum dilakukan penanaman jenis meranti.

Tabel 11 Kerapatan (N/ha) Pohon dan Permudaan di Hutan Primer dan Hutan
yang Telah Ditanam pada Umur 1 dan 2 Tahun.
Kerapatan
Keadaan hutan Kelerengan (%)
Semai Pancang Tiang Pohon
Primer

1 tahun

2 tahun

0-15

20375

3413.33

1436.67

271

15-25

19916.7

3440

1235

297.67

25-40

23416.7

3433.33

631.67

208

0-15

30208.3

3320

253.33

72.73

15-25

20875

3020

230

56.82

25-40

20916.7

2866.67

328.33

79.55

0-15

24125

3240

350

98.86

15-25

21625

3213.33

241.67

104.17

25-40

18041.7

2906.67

231.67

151.89

Tabel 11 menunjukkan komposisi permudaan jenis dilihat dari kerapatannya


(N/Ha) yang terdapat pada plot penelitian. Plot penelitian hutan primer memiliki
kerapatan yang lebih tinggi dari pada hutan umur tanam 1 dan 2 tahun pada
tingkat vegetasi pancang, tiang dan pohon. Sedangkan pada tingkat vegetasi
semai, hutan umur tanam 1 dan 2 tahun memiliki jumlah kerapatan yang lebih
tinggi daripada hutan primer. Dari tabel terlihat adanya penurunan jumlah
kerapatan apabila dibandingkan antara hutan primer dengan areal hutan yang
ditanam umur 1 dan 2 tahun. Kecuali kerapatan pada tingkat vegetasi semai pada
areal hutan yang ditanam umur 1 tahun terjadi peningkatan kerapatan sebanyak
30208,33 batang/ha pada kelerengan datar (0-15%) dibandingkan pada areal hutan
primer dan hutan yang tanam pada umur 2 tahun.
Dalam permudaan hutan harus terdapat ketersediaan yang cukup terhadap
vegetasi jenis semai, pancang, tiang dan pohon untu menjamin terjadinya

regenerasi yang alami. Menurut Wyatt-Smith (1963) permudaan dianggap cukup


apabila tersedia 40% atau 1000 semai/ha, pancang 60% atau 240 pancang/ha,
tiang 75% atau 75 tiang/ha dan tingkat pohon 100% atau 25 pohon/ha yang
tersebar merata.
Berdasarkan kriteria terebut vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon
pada hutan primer, areal penanaman pada petak M-29 (umur 1 tahun) dan M-30
(umur 2 tahun) sudah dianggap memenuhi kriteria permudaan Wyatt-Smith.

5.1.3 Indeks Kekayaan, Keanekaragaman, Kemerataan dan Kesamaan


Jenis
5.1.3.1 Indeks Kekayaan Jenis (R1)
Untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal pengamatan digunakan
rumus Indeks Kekayaan Margallef (R1). Indeks Kekayaan Margallef (R1) adalah
indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya
indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah
individu dari vegetasi yang ada pada areal tersebut. Besarnya nilai Indeks
Kekayaan Margallef (R1) untuk masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat
pada Tabel 12.

Tabel 12 Indeks Kekayaan Margalllef (R1) pada Hutan Primer dan Hutan yang
Ditanam Umur 1 dan 2 Tahun.
Tingkat Vegetasi
Keadaan Hutan
Kelerengan
Semai Pancang Tiang
Pohon
Primer

Umur 1 tahun

Umur 2 tahun

0-15

6.14

6.89

6.51

9.55

15-25

6.00

7.04

7.11

8.39

25-40

6.32

6.73

7.24

9.01

0-15

5.92

5.96

6.57

7.99

15-25

7.56

6.54

5.48

7.39

25-40

6.59

7.59

7.38

8.04

0-15

5.19

5.17

7.67

7.55

15-25

4.00

6.15

6.23

7.83

25-40

5.77

6.91

6.69

7.84

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai indeks kekayaan Margallef (R1) pada
tingkat semai mengalami peningkatan pada areal hutan dengan umur tanam 1
tahun pada kelerengan sedang (15-25%) sebesar 7,56 dan mengalami penurunan
nilai indeks kekayaan Margalef (R1) pada areal hutan dengan umur tanam 2 tahun
pada kelerengan sedang (15-25%) sebesar 4,00. Pada vegetasi tingkat pancang,
tiang dan pohon diareal hutan primer menunjukkan kekayaan jenis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan areal hutan yang ditanam umur 1 dan 2 tahun. Pada
vegetasi tingkat pohon diareal hutan primer memiliki nilai indeks kekayaan
tertinggi sebesar 9,55.
Berdasarkan kriteria Magurran (1988), indeks kekayaan jenis pada plot
penelitian di hutan primer, petak M-29 (umur 1 tahun) dan M-30 (umur 2 tahun)
dapat dikatakan tinggi karena nilainya diatas 5,00 kecuali pada tingkat vegetasi
semai di petak M-30 kelerengan sedang (15-25%) yang memiliki tingkat
kekayaan jenis sedang karena nilainya berada diantara 3,5 5,00 yaitu 4,00.

5.1.3.2 Indeks Keanekaragaman Jenis (H)


Indeks keanekaragaman jenis (H) adalah parameter untuk membandingkan dua
komunitas, terutama unutk mempelajari ganguan biotik atau mengetahui tingkatan
suksesi atau kestabilan. Hasil perhitungan nilai indeks Keanekaragaman Jenis
yang menggunakan rumus Shannon-Wiener pada berbagai tipe keadaan lokasi
hutan dapat dilihat pada Tabel 13 .

Tabel 13 Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H) Tingkat Pohon dan


Permudaannya Pada Hutan Primer dan Hutan Berumur 1 dan 2 Tahun.
Tingkat Vegetasi
Keadaan Hutan Kelerengan
Semai Pancang
Tiang
Pohon
Primer

Umur 1 tahun

Umur 2 tahun

0-15

2.91

3.09

2.90

3.50

15-25

2.94

3.18

2.98

3.34

25-40

3.06

3.05

3.22

3.29

0-15

2.29

2.91

2.90

3.24

15-25

3.00

3.05

2.73

3.21

25-40

2.90

3.20

3.18

3.39

0-15

2.77

2.85

3.16

3.24

15-25

1.78

2.74

2.95

3.25

25-40

2.70

3.15

3.01

3.22

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa pada tingkat vegetasi semai, indeks
keanekaragaman jenis tertinggi diperoleh dari keadaan hutan primer pada
kelerengan curam (25%) dengan nilai 3,06 sementara pada hutan dengan umur
tanam 2 tahun terjadi penurunan indeks keanekaragaman jenis dengan nilai 1,78
pada kelerengan sedang (15-25%). Hal ini menunjukkan bahwa areal hutan
dengan umur tanam 2 tahun sedikit ditumbuhi oleh permudaan tingkat semai.
Pada tingkat pancang, nilai keanekaragaman jenis tertinggi terdapat pada
lokasi areal hutan dengan umur tanam 1 tahun pada kelerengan curam dengan
nilai 3,20 sementara nilai keanekaragaman terendah terdapat pada lokasi hutan
dengan umur tanam 2 tahun pada kelerengan sedang dengan nilai 2,74. Pada
tingkat vegetasi tiang. nilai keanekaragaman jenis tertinggi terdapat pada areal
hutan primer dengan kelerengan curam (25%) dengan nilai 3,22. Sedangkan
untuk vegetasi tingkat pohon keanekaragaman jenis tertinggi terdapat pada areal
hutan primer dengan nilai 3,50 pada kelerengan datar (0-15%).
Tingkat keanekaragaman pada hutan primer, petak M-29 (umur 1 tahun) dan
M-30 (umur 2 tahun) menunjukkan tingkat keanekaragaman yang sedang dimana
sebagian nilainya berada pada selang 1,5 3,5 (Magurran 1988). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

4
3
2
1
0

TingkatVegetasi
Semai

1525

015

TingkatVegetasi
Pohon

2540

Umur1tahun Umur2tahun

1525

TingkatVegetasi
Tiang

015

2540

Primer

2540

1525

015

TingkatVegetasi
Pancang

Gambar 3 Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H)


pada Hutan Primer dan Hutan Berumur Tanam 1 dan 2 Tahun.
5.1.3.3 Indeks Kemerataan Jenis (E)
Indeks kemerataan adalah indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis
pada suatu areal pengamatan. Semakin besar nilai indeks maka komposisi
penyebaran jenis semakin merata (tidak didominasi oleh satu atau beberapa jenis
saja).
Nilai kemerataan jenis terbesar pada tingkat vegetasi semai berada pada areal
hutan primer dengan kelerengan curam (25%) dengan nilai 0.83 dan yang
terkecil berada pada areal hutan dengan umur tanam 2 tahun pada kelerengan
sedang (15-25%) dengan nilai 0.55. Untuk tingkat vegetasi pancang nilai
kemerataan jenis terbesar terdapat pada areal hutan primer dengan kelerengan
sedang (15-25%) dan areal hutan yang ditanam umur 2 tahun pada kelerengan
curam (25%) dengan nilai kemerataan jenis sama yaitu 0,84. Untuk tingkat
vegetasi tiang dan pohon kemerataan tertinggi terdapat pada areal hutan umur
tanam 1 tahun dengan kelerengan yang sama yaitu curam (25%) dengan nilai
masing-masing 0,86 dan 0,90. Nilai Indeks kemerataan jenis (E) pada keadaan
hutan primer, hutan dengan umur tanam 1 dan 2 tahun dapat dilihat pada Tabel
14.

Tabel 14 Indeks Kemerataan Jenis (E) Pada Areal Hutan Primer dan Hutan
Berumur Tanam 1 dan 2 Tahun.
Hutan

Kelerengan

Primer

Umur 1 tahun (M-29)

Umur 2 tahun (M-30)

Tingkat Vegetasi
Semai

Pancang

Tiang

Pohon

0-15

0.80

0.82

0.76

0.84

15-25

0.81

0.84

0.77

0.82

25-40

0.83

0.81

0.85

0.81

0-15

0.62

0.80

0.82

0.86

15-25

0.78

0.82

0.82

0.88

25-40

0.78

0.83

0.86

0.90

0-15

0.79

0.82

0.84

0.86

15-25

0.55

0.75

0.85

0.85

25-40

0.75

0.84

0.85

0.83

Berdasarkan kriteria Magurran (1988), indeks kemerataan jenis diatas 0,6


memiliki indeks kemerataan jenis yang tinggi. Pada umumnya semua tingkat
vegetasi semai, pancang, tiang dan pohon pada kondisi hutan primer, petak M-29
(umur 1 tahun) dan M-30 (umur 2 tahun) menunjukkan indeks kemerataan jenis
yang tinggi di atas 0,6 kecuali pada tingkat vegetasi semai pada kelerengan
sedang (15-25%) dipetak M-30 yang nilainya dibawah 0,6 yaitu 0,55.
Untuk lebih jelasnya Indeks Kemerataan Jenis (E) pada areal hutan primer dan
hutan berumur tanam 1 dan 2 tahun dapat dilihat pada Gambar 3.
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

TingkatVegetasiSemai

Primer

2540

1525

015

2540

1525

015

2540

1525

015

TingkatVegetasiPancang
TingkatVegetasiTiang
TingkatVegetasiPohon

Umur1tahun Umur2tahun
(M29)
(M30)

Gambar 4 Perbandingan Nilai Indeks Kemerataan (E) pada Hutan Primer dan
Hutan Berumur Tanam 1 dan 2 Tahun.

5.1.4 Koefisien Kesamaan Komunitas


Kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan jenis
tumbuhan di dua kondisi yang berbeda. Nilai Indeks Kesamaan (IS) berkisar
antara 0-100%. Nilai 0% menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan antar jenis
pada kedua komunitas tersebut dan nilai 100% menunjukkan bahwa kedua
komunitas yang dibandingkan adalah sama. Menurut Kusmana dan Istomo (2005)
IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya 0 dan umumnya dua komunitas
dianggap sama apabila mempunyai IS 75%.
Komunitas yang dibandingkan adalah berdasarkan tingkat vegetasi pada
setiap kelerengan. Besarnya indeks kesamaan komunitas dapat dilihat dalam
Tabel 15 dan Gambar 5.

Tabel 15 Indeks Kesamaan Komunitas (IS) pada Umur 1 dan 2 Tahun Bila Di
Bandingkan Dengan Hutan Primer dan bila dibandingkan umur 1 tahun dengan
umur 2 tahun.
Tingkat Vegetasi
Tipe Hutan
Kelerengan
Semai Pancang Tiang Pohon
Primer dan Umur 1 tahun

Primer dan umur 2 tahun

Umur 1 dan 2 tahun

0-15

49.90

44.16

43.13

49.22

15-25

47.86

52.46

50.02

52.93

25-40

38.30

44.50

48.15

47.06

0-15

59.33

58.54

47.67

49.07

15-25

36.31

53.92

50.84

60.74

25-40

52.32

53.45

49.31

57.98

0-15

61.31

57.72

66.37

62.61

15-25

50.97

57.90

62.86

63.43

25-40

58.62

62.50

60.63

54.07

Dari Tabel 15 terlihat bahwa besarnya indeks kesamaan komunitas umumnya


berada dibawah 75%, dimana indeks yang paling tinggi terdapat pada tingkat
vegetasi tiang pada perbandingan tipe hutan umur 1 tahun dengan tipe hutan
dengan umur tanam 2 tahun dengan nilai IS 66.37% pada kelerengan datar (015%). Sedangkan nilai IS paling kecil didapat pada vegetasi semai pada
perbandingan tipe hutan primer dan hutan dengan hutan umur tanam 2 tahun pada

kelerengan sedang (15-25%) dengan nilai IS 36,31%. Dengan hasil tersebut


seluruh komunitas yang dibandingkan dapat dikatakan berbeda.
70
60
50
40
30
20
10
0

TingkatVegetasiSemai

TingkatVegetasiTiang

2540

1525

015

2540

1525

015

2540

1525

015

TingkatVegetasiPancang

TingkatVegetasiPohon

Primerdan
Primerdan Umur1dan2
Umur1tahun umur2tahun
tahun

Gambar 5 Histogram Nilai Indeks Kesamaan Komunitas (IS).


5.2 Pertumbuhan Shorea parvifolia
5.2.1 Rata-rata Diameter Shorea parvifolia
Rata-rata diameter yang dihitung dalam penelitian ini adalah rata-rata
diameter Shorea parvifolia pada umur tanam 1 dan 2 tahun pada tiga kelas
kelerengan yaitu kelerengan datar (0-15%), sedang (15-25%) dan curam (25%).
Data rata-rata diameter Shorea parvifolia umur 1 dan 2 tahun dapat dilihat pada
Tabel 16 dan Gambar 5.

Tabel 16 Rata-rata Diameter Shorea parvifolia Umur 1-2 Tahun (cm/tahun)


Rata-rata Diameter M-29 (cm)

Rata-rata Diameter M-30 (cm)

(1 tahun)

(2 tahun)

0-15

1.65

1.22

15-25

1.34

1.38

25-40

1.62

1.17

Kelerengan

Berdasarkan pada Tabel 16 terlihat bahwa rata-rata diameter meranti jenis

Shorea parvifolia pada umur 1 tahun (M-29) pada kelas kelerangan datar (0-15%)
memiliki rata-rata terbesar yaitu 1,65 cm/tahun. Pada umur tanaman 2 tahun (M30) diameter rata-rata Shorea parvifolia terbesar terdapat pada kelerengan sedang
(15-25%) dengan rata-rata diameter 1,38 cm/tahun.
Dari nilai rata-rata diameter dapat diketahui riap rata-rata tahunan diameter (MAI
= Mean Annual Increament) dihitung dengan cara membagi rataan diameter

dengan umur tanaman. Berdasarkan gambar 6, terlihat bahwa rata-rata tahunan


diameter (MAI) Shorea parvifolia pada petak M-29 (umur 1 tahun) lebih besar
jika dibandingkan pada petak M-30 (umur 2 tahun). Pada petak M-29 riap ratarata tahunan diameter Shorea parvifolia dengan kelerengan datar (0-15%)
memiliki nilai yang besar dengan MAI 1,65 cm/tahun, sedangkan pada petak M30 riap rata-rata tahunan diameter Shorea parvifolia terbesar pada kelerengan
sedang (15-25%) dengan nilai MAI 0,69 cm/tahun. Adapun penurunan riap
diameter MAI petak M-30 (umur 2 tahun) dari petak M-29 (umur 1 tahun)
disebabkan oleh kondisi fisik masing-masing lokasi penelitian seperti keberadaan
sungai yang sedikit, persaingan dengan pohon diantara jalur tanam, liana dan
sering dirusak oleh babi hutan

Diameter (cm/thn)

Riap Diameter (MAI) Shorea parvifolia


1.65

1.8
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0

1.62
1.34
MAI (cm/tahun)M-29
0.69

0.61

0-15

15-25

0.59

MAI (cm/tahun) M-30

25-40

Kelerengan

Gambar 6 Riap Rata-rata Tahunan Diameter (MAI) Shorea parvifolia.


Dari ketiga kelas kelerengan yang diamati pada petak M-29 (umur 1 tahun)
riap rata-rata tahunan diameter Shorea parvifolia pada kelerengan datar (0-15%)
menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan riap rata-rata tahunan
diameter pada kedua kelas kelerengan yang lain. Perbedaan ini bisa dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain sifat tanah pada kelerengan 0-15% yang
mempunyai ciri-ciri solum tanah lebih tebal, mempunyai kapasitas penahan air
yang baik, bahaya erosi antara nol sampai ringan, produktifitas tinggi sampai
sedang untuk suatu kisaran lebar tanaman budidaya yang diadapsi (Purwowidodo
1986). Pada petak M-30 (umur 2 tahun) riap rata-rata tahunan diameter terbesar
terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) dimana ciri-ciri tanah pada kelerengan
sedang antara lain memiliki drainase baik atau terbatas, kedalaman perakaran

lebih dari 50 cm, mengandung liat atau pasar kasar berlempung, tingkat erosi
sedang (Purwowidodo 1986).

5.2.2 Rata-rata Tinggi Shorea parvifolia


Selain pengukuran diameter pada jenis yang ditanam, juga dilakukan
pengukuran tinggi untuk mengetahui rata-rata tinggi Shorea parvifolia tiap
tahunnya. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik
sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk
mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan (Sitompul 1995).
Perhitungan riap rata-rata tahunan tinggi dihitung dengan cara membagi rataan
pertumbuhan tinggi dengan umur tanaman (MAI).
Hasil pengukuran rata-rata tinggi jenis Shorea parvifolia dapat dilihat pada
Tabel 17. Rata-rata tinggi terbesar Shorea parvifolia pada umur 1 tahun (M-29)
terdapat pada kelerengan curam (25-40%) 244.66 cm/tahun dan rata-rata tinggi
terendah terdapat pada kelerengan datar (0-15%) 220.22 cm/tahun. Pada umur
tanam 2 tahun (M-30) rata-rata tingi terbesar terdapat pada kelerengan sedang
(15-25%) 238.15 cm/tahun dan terendah terdapat pada kelerengan curam (2540%) 187.66 cm/tahun.

Tabel 17 Rata-rata Tinggi Shorea parvifolia Umur 1-2 Tahun (cm/tahun)


Kelerengan

Rata-rata Tinggi M-29 (cm)

Rata-rata Tinggi M-30 (cm)

0-15

220.22

205.63

15-25

227.36

238.15

25-40

244.66

187.66

Dari Gambar 6 dapat dilihat riap tinggi rata-rata tahunan (MAI = Mean
Annual Increament) dengan membagi rataan tinggi dengan umur tanaman. Ratarata riap tinggi tahunan (MAI) Shorea parvifolia pada petak M-29 (umur 1 tahun)
lebih besar dibandingkan pada petak M-30 (umur 2 tahun). Pada petak M-29 riap
tinggi rata-rata tahunan Shorea parvifolia dengan kelerengan curam ( 25%)
memiliki nilai yang besar dengan MAI 244,66 cm/tahun, sedangkan pada petak
M-30 riap tinggi rata-rata tahunan Shorea parvifolia terbesar pada kelerengan
sedang (15-25%) dengan nilai MAI 119,07 cm/tahun dan riap tinggi rata-rata

tahunan terendah pada petak M-30 (umur 2 tahun) dengan nilai MAI 93,83
cm/tahun.
Riap Tinggi (MAI) Shorea Parvifolia

Tinggi (cm/thn)

300
250 220.22

227.36

244.66

200
150

102.82

MAI (cm/tahun) M-29

119.07
93.83

100

MAI (cm/tahun) M-30

50
0
0-15

15-25

25-40

Kelerengan

Gambar 7 Riap Rata-rata Tahunan Tinggi (MAI) Shorea parvifolia.


Perbedaan pertumbuhan riap tinggi rata-rata tahunan tanaman meranti Shorea

parvifolia pada umur 1 dan 2 tahun dapat disebabkan oleh faktor lingkungan
seperti intensitas cahaya dimana Shorea parvifolia sedikit lebih toleran terhadap
cahaya, perbedaan perlakuan pemeliharan terhadap umur tanam dimana pada
umur tanam 1 tahun lebih diperhatikan pemeliharannya dibandingkan pada umur
tanam 2 tahun. Faktor lain yang berpengaruh terhadap riap tinggi rata-rata tahunan
pada petak penelitian ini adalah binatang, seperti monyet yang suka memakan
pucuk meranti pada jalur tanam pada meranti umur tanam 2 tahun.

5.2.3 Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Semai Shorea parvifolia


dengan Kelerengan Lahan
Untuk mengetahui hubungan antara kelerengan lahan dengan pertumbuhan
diameter dan tinggi Shorea parvifolia, maka data hasil pengamatan dianalisis
dengan menggunakan sidik ragam (Uji F) dengan menggunakan SPSS 14.0.
Pada tabel 18 dan 19 dapat dilihat hasil analisis riap rata-rata tahunan (MAI)
diameter dengan menggunakan SPSS 14 menunjukkan taraf nyata (F sig) dengan
selang kepercayaan 95%. Hubungan antara kelerengan dengan diameter untuk
petak M-29 (1 tahun) dan M-30 (2 tahun) adalah 0,424 dan 0,803. Hal ini
mengindikasikan bahwa perbedaan kelas kelerengan pada lokasi penelitian tidak
berpengaruah nyata terhadap riap rata-rata tahunan (MAI) diameter tanaman

meranti Shorea parvifolia pada umur 1 dan 2 tahun karena nilai probability >
0,05.

Tabel 18 Hasil Sidik Ragam Kelerengan dengan Diameter Pada Petak M-29
(umur 1 tahun)
Type III Sum
Source

of Squares

df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

.180(a)

.090

.992

.424

Intercept

20.897

20.897

230.042

.000

.180

.090

.992

.424

Error

.545

.091

Total

21.622

.725

Kelerengan

Corrected Total

Tabel 19 Hasil Sidik Ragam Kelerengan dengan Diameter Pada Petak M-30
(umur 2 tahun)
Type III Sum
Source

of Squares

df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

.049(a)

.025

.227

.803

Intercept

13.624

13.624

126.216

.000

.049

.025

.227

.803

Error

.648

.108

Total

14.320

.697

Kelerengan

Corrected Total

Pada tabel 20 dan 21 dapat dilihat hasil analisis rata-rata riap tinggi dengan
menggunakan SPSS 14 menunjukkan taraf nyata (F sig) dengan selang
kepercayaan 95%. Hubungan antara kelerengan dengan tinggi tanaman untuk M29 dan M-30 adalah 0,490 dan 0,229. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan
kelas kelerengan pada lokasi penelitian tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tinggi tanaman meranti Shorea parvifolia pada umur 1 dan 2 tahun
karena nilai probability > 0,05.

Tabel 20 Hasil Uji F dan Uji Lanjutan Kelerengan dengan Tinggi Pada Petak M29 (umur 1 tahun)
Type III Sum
Source

of Squares

Corrected Model

df

Mean Square

Sig.

874.361(a)

437.180

.804

.490

475783.870

475783.870

875.524

.000

874.361

437.180

.804

.490

Error

3260.564

543.427

Total

479918.794

4134.924

Intercept
Kelerengan

Corrected Total

Tabel 21 Hasil Uji F dan Uji Lanjutan Kelerengan dengan Tinggi Pada Petak M30 (umur 2 tahun)
Type III Sum
Source

of Squares

df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

3537.604(a)

1768.802

1.905

.229

Intercept

390259.699

390259.699

420.372

.000

Kelerengan

3537.604

1768.802

1.905

.229

Error

5570.208

928.368

Total

399367.511

9107.812

Corrected Total

5.2.4 Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Pada Jalur Tanam


Berdasarkan hasil penelitian terhadap 2 tipe hutan yaitu hutan dengan umur
tanam 1 tahun dengan hutan umur tanam 2 tahun, dapat diketahui persen hidup
jenis Shorea parvifolia yang ditanam dan mortalitas jenis Shorea parvifolia yang
ditanam pada jalur tanam seperti terlihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Persentase Mortalitas dan Persentase Hidup Semai Shorea parvifolia


pada Hutan Umur Tanam 1 dan 2 Tahun
Tipe
Hutan

Kelerengan

Jumlah semai

Jumlah

Persentase

Persentase

ditanam

semai mati

Mortalitas (%)

Hidup (%)

Petak

0-15

240

34

14,17

85,83

M-29

15-25

240

48

20

80

25-45

240

42

17,50

82,50

Petak

0-15

240

62

25,83

74,17

M-30

15-25

240

68

28,33

71,67

25-45

240

58

24,17

75,83

(Umur 1
tahun)

(umur 2
tahun)

Berdasarkan Tabel 22 persentase hidup terbesar tedapat pada petak M-29 pada
kelerengan datar (0-15%) sebesar 85,83% dan persentase mortalitas terkecil
sebesar 14,17% pada petak dan kelerengan yang sama. Persentase hidup terkecil
jenis Shorea parvifolia terdapat pada petak M-30 dengan kelerengan sedang (1525%) sebesar 71,67% dan persentase mortalitas terbesar senilai 28,33%.
Persentase hidup meranti Shorea parvifolia pada umur tanam 1 dan 2 tahun sudah
dapat dikatakan tinggi karena persentase hidupnya mencapai 70%. Rendahnya
persentase hidup Shorea parvifolia pada umur 2 tahun (M-30) jika dibandingkan
pada umur 1 tahun (M-29) dikarenakan oleh kerapatan permudaan pohon yang
dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan unsur hara dan sinar
matahari, kerapatan tajuk lapisan paling atas, gangguan satwa liar dan tumbuhnya
liana yang melilit jenis yang ditanam.
Menurut Alrasyid et al. (1991) cahaya matahari yang dibutuhkan tanaman meranti
sampai umur 3 tahun berkisar 50-70%. Sebagai jenis gap species meranti dapat
hidup dibawah naungan sampai dengan batas waktu tertentu.

5.3 Analisis Tanah


5.3.1 Sifat Fisik Tanah
Beberapa parameter sifat fisik tanah yang diamati dalam kegiatan penelitian
ini adalah tekstur, struktur, berat isi dan kadar air contoh tanah.

Tabel 23 Pengukuran Sifat Fisik Tanah pada Areal Hutan Primer, Hutan yang
Ditanam 1 dan 2 Tahun
Berat isi

Kadar air

(gr/cc)

(%)

0-20

1.20

Primer

20-40

Jalur Kotor M-30

Lokasi

Kedalaman

Struktur

Tekstur

Primer

32.12

Remah

Liat

1.09

24.56

Remah

Liat

0-20

1.12

24.85

Remah

Liat

Jalur Kotor M-30

20-40

0.84

13.51

Remah

Liat

Jalur Tanam M-30

0-20

1.46

22.15

Remah

Liat

Jalur Tanam M-30

20-40

1.12

21.12

Remah

Liat

Jalur Kotor M-29

0-20

1.62

28.07

Remah

Liat

Jalur Kotor M-29

20-40

1.14

23.85

Remah

Liat

Jalur Tanam M-29

0-20

1.10

18.29

Remah

Liat

Jalur Tanam M-29

20-40

1.06

23.29

Remah

Liat

Struktur tanah adalah suatu fenomena pedogenik yang menunjuk pada


penyusunan jarah-jarah primer dan sekunder tanah ke dalam satuan-satuan jarah
yang lebih besar melaui aksi penggabungan dan penyususan satuan-satuan jarah
itu ke dalam tubuh tanah sedangkan tekstur tanah adalah perimbangan nisbi
berbagai kelompok ukuran jarah tunggal yang menyusun suatu massa tanah
(Purwowidodo 1998). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan struktur tanah
dan tekstur tanah pada lokasi hutan primer, petak M-30 (umur 2 tahun) dan petak
M-29 (umur 1 tahun) adalah berstruktur remah dan bertekstur liat.
Pengukuran kadar air tanah terbesar terdapat pada hutan primer dengan
kedalaman 0-20 cm sebesar 32,12% dan terendah terdapat pada jalur kotor M-30
dengan kedalaman 20-40 cm sebesar 13,51%. Hal ini membuktikan bahwa kadar
air pada tanah lebih banyak pada kedalaman 0-20 cm dimana tanahnya relatif
mengandung banyak bahan organik seperti serasah yang dapat menahan air di atas
permukaan. Kadar air yang cukup sangat baik dalam pertumbuhan semai Shorea

parvifolia karena tumbuhan pada tingkat vegetasi semai membutuhkan air yang
cukup. Pengukuran berat isi tanah tertinggi terdapat pada jalur kotor petak M-29
pada kedalaman 0-20 cm sebesar 1,62 gr/cc dan terendah terdapat pada jalur kotor
M-30 pada kedalaman 20-40cm sebesar 0.84 gr/cc. hal ini dimungkinkan karena
pada kedalaman 20-40 cm relatif lebih gembur.

5.3.2 Sifat Kimia Tanah


Sifat kimia tanah yang diukur dalam penelitian ini antara lain adalah derajat
kemasaman tanah (pH) dan kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na, KTK). Hasil
analisis sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah


No

pH

Petak dan Kelas

Unsur hara lain

Kelerengan

H2O

KCL

Ca

Mg

Na

KTK

Primer (0-15%)

4,80

3,70

1,20

0.,70

0,30

0,38

7,64

Primer (15-25%)

4,60

3,60

1,36

0,73

0,28

0,32

7,79

Primer (25-40 %)

4,50

3,60

1,40

0,78

0,41

0,47

7,52

M-30 (0-15%)

4,90

3,70

1,20

0,72

0,31

0,38

7,71

M-30 (15-25 %)

4,60

3,90

1,23

0,70

0,27

0,33

7,64

M-30 (25-40 %)

4,40

3,60

1,27

0,66

0,40

0,46

12,22

M-29 (0-15 %)

4,70

3,60

1,40

0,76

0,46

0,50

7,41

M-29/ (15-25 %)

4,40

3,30

1,30

0,69

0,31

0,36

10,75

M-29 (25-40 %)

4,60

3,90

1,58

0,69

0,36

0,42

8,93

Reaksi (pH) tanah adalah suatu parameter penunjuk keaktifan ion-ion H+


dalam larutan tanah. Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa nilai pH pada lokasi
penelitian adalah diantara 4,40 dan 4,90 dimana batasan-batasan nilai pH ini
tergolong sangat masam. Hal ini disebabkan karena perbedaan intensitas pelindian
hasil-hasil pelapukan bahan induk tanah, khususnya kation-kation basa, curah
hujan yang tinggi dan teragih hampir sepanjang tahun (Purwowidodo 1998).
Akibatnya basa-basa mudah tercuci yang kedua adanya dekomposisi mineral
alumunium silikat akan membebaskan ion alumunium (AL+). Ion itu dapat
diserap oleh koloid tanah dan bila dihidrolisis akan menyumbangkan ion H+ yang
mengakibatkan tanah menjadi masam (Nyapka et al. 1988).
Menurut Hardjowigeno (2003), keadaan tanah pada selang 4,40 - 4,90
mengandung cukup banyak unsur Al dan H yang dapat dipertukarkan, namun jika
unsur ini terlalu banyak akan mengakibatkan keracunan pada tanaman.
Pertukaran kation adalah proses pertukaran antar kation dari kompleks
pertukaran ion dan larutan yang mengelilinginya. Berdasarkan penelitian
didapatkan hasil bahwa nilai KTK pada kondisi hutan primer, umur tanam 1 dan 2
tahun masih tergolong rendah. Nilai KTK tertinggi terdapat pada petak M-30
kelerengan curam dengan nilai 12,22. Rendahnya nilai KTK dapat disebabkan
oleh rendahnya kandungan kation basa (Ca, Mg, K, Na). Hal ini menyebabkan
nilai Kejenuhan Basa (KB) juga rendah dan akhirnya mengakibatkan nilai KTK
juga rendah. Berdasarkan Hardjowigeno (2003), tanah dengan KTK tinggi mampu
menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik jika dibandingkan dengan nilai
KTK-nya rendah. Dengan demikian status kesuburan pada lokasi penelitian ini
dapat dikatakan tidak subur.
Peningkatan KTK dapat dilakukan dengan menambahkan bahan organik pada
tanah. Dengan membaiknya sifat kimia tanah,maka aktivitas mikrobia dalam
penyediaan hara dan zat perangsang tumbuh juga membaik sehingga akan
menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang optimal (Harafiah 2005).

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.

Persentase Hidup Semai Shorea parvifolia terbesar terdapat pada umur


tanam 1 tahun (M-29) kelerengan datar (0-15%) sebesar 85,83% dan terkecil
terdapat pada umur 2 tahun (M-30) kelerengan sedang (15-25%) sebesar
71,67%.

2.

Secara umum persentase hidup meranti Shorea parvifolia pada umur tanam
1 dan 2 tahun sudah dapat dikatakan baik karena persentase hidupnya
mencapai 70%.

3.

Perbedaan kelas kelerengan datar (0-15%), Sedang (15-25%) dan curam


(25-40%) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter dan
tinggi tanaman Shorea parvifolia pada umur tanam 1 dan 2 tahun.

4.

Kesuburan tanah pada lokasi penelitian ini dapat dikatakan tidak subur
karena nilai KTK yang rendah sebesar 12,22 dan pH tanah masam (4,404,90)

6.2 Saran
1.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pertumbuhan meranti


(Shorea spp) yang ditanam pada jalur tanam pada umur 3 atau 4 tahun.

2.

Untuk pemilihan jenis tanam, sebaiknya perlu memperhatikan kondisi


topografi lahan yang akan ditanam karena jenis-jenis meranti mempunyai
keunggulan masing-masing jika ditanam pada areal yang sesuai habitatnya,
seperti Shorea parvifolia baik ditanam dikelerengan datar (0-15%).

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 1997. Hand Book of Indonesian Forestry. Jakarta: Departemen


Kehutanan.
Arim H D. 1995. Studi Pertumbuhan Tanaman Meranti (Shorea spp) di BKPH
Jasinga, KPH Bogor [Sripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Asthon, P. S and Hall, P. 1992. Comparisons of Structure Among Mixed
Dipterocarp Foresets Of North Western Borneo. Journal of Ecology, 80,
459 481.
Budiansyah, Benni. 2006. Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas
Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia
Intensif (TPTII) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati,
KalimantanTengah) [Skripsi]. Bogor : Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan IPB.
Davis , L. S. and K. N. Jhonson. 1987. Forest Management. Third Edition.
McGraw- Hill Book Company, New York.
Ewusie, J Yanney. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Tanuwidjaya Usman,
penerjemah. Bandung : ITB Press. Terjemahan dari : Elements of Tropical
Ecology.
Foth H. D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah, Edisi enam. Adisoemarto S. Jakarta:
Erlangga. Terjemahan dari: Fundamentals Of Soil Science.
Harafiah, K.A. 2005. Dasar Dasar Ilmu Tanah Hutan. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Indrawan A. 2003. Model Sistem Pengelolaan Hutan Alam Setelah Penebangan
Dengan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Jurnal Manajemen
Hutan Tropika Vol. IX No.2 : 19-33 (2003).
Kusmana C dan Istomo. 2005. Diktat Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan, ,
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Ludwiq, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology a Primer on Methods and
Computing, John Wiley & Sons, New York.
Magurran, A.E., 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm
Ltd. London.
Martawijaya, A. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan, Bogor.

dan

Misra, KC. 1980. Manual of Plant Ecology. New Delhi, India : Oxford and IBH
Publishing Co.
Mueller-Dombois, Ellenberg, H.1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology.
New York; John Wiley & Sons.

Nyapka et al. 1998. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung


Poerwowidodo. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Poerwowidodo. 2004. Mengenal Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
PROSEA. 1997. Latihan Mengenal Pohon Hutan : Kunci Identifikasi dan Fakta
Jenis. Seri Pengembangan PROSEA 5(2).3. Bogor: Yayasan PROSEA
Indonesia.
________. 1999 Pedoman Identifikasi Pohon-Pohon Dipterocarpacea: Pulau
Kalimantan. Bogor: Yayasan PROSEA Indonesia.
PT Erna Djuliawati. 2004. Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna Lokasi
Arboretum Hutan Lindung Bukit Beruang & LOA (AC-24). PT Erna
Djuliawati Logging Unit II. Base Camp Bukit Beruang. Kalimantan
Tengah.
Rudjiman and Dwi T. Andriyani. 2002. Identification Manual of Shorea spp.
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rusmayanti, Y. 2001. Model Penduga Riap Diameter Pohon Jenis Resak (Vatica
Rassack) Pada Hutan Alam Bekas Tebangan (Studi Kasus Di HPH PT.
Belayan River Timber Kalimantan Timur [Skripsi]. Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Dipublikasikan.
[RKT] PT. Erna Djuliawati. 2008. Rencana Kerja Tahunan 2008.
Sitompul M S dan Bambang Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. UGM Press.
Soerianegara dan Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Suparna N dan Purnomo S. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Meranti Di PT.
Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Jakarta : PT. Alas Kusuma
Wijaya M M. 2006. Pertumbuhan Tanaman Meranti Dalam Sistem Tebang Pilih
Tanam Jalur di HPHTI PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan
Kalimantan Tengah [skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai