Anda di halaman 1dari 82

ISSN: 1412-033X

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

PENERBIT:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta
dan
Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta
ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 387, Fax.: +62-271-646655.
E-mail: biology@mipa.uns.ac.id. Online: www.biology.uns.ac.id.
TERBIT PERTAMA TAHUN:
2000

ISSN:
1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN


DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 52/DIKTI/Kep/2002

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno
SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan, Purin Candra Purnama, Elisa Herawati
PENYUNTING PELAKSANA:
Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi),
Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan)
PENYUNTING AHLI:
Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor)
Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta)
Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia)
Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung)
Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta)
Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor)
Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor)
Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah
pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap
naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara
khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya
dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor
ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka
demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit dua kali
setahun, setiap bulan Januari dan Juli.
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta juga menerbitkan BioSMART, Journal of Biological Science untuk
mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup biologi murni dan
ilmu-ilmu serumpun. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan April dan Oktober.

PEDOMAN UNTUK PENULIS


Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi
para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya.
Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan
bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan
belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi
naskah dan satu disket ukuran 3 , kecuali naskah yang dikirim
melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk
pencetakan.
Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297
mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf
Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua
sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat
digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word.
Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain
disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama
genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali
menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah
penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L.
UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah
dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda.
Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian
Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan
IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk
nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan,
misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT)
selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI,
penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI
pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml,
dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan
untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti per-tanaman atau
per-plot. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan
dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah.
Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali
apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya
dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya
dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan % bukannya
persen. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan
efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25
halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka
menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau
sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini.
Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20
kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah
dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat
berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul
pelari (running title) sekitar 5 kata. Nama penulis atau para penulis
pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat.
Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor
jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor faksimili, alamat e-mail
dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk
korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas.
Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa
Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci
(Keywords) sekitar 5 kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila
ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan.
Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar
belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode
(Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan
cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion)
ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang
sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan
jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat
terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam
bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih
disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah
pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan
Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan,
meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan.
Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis
secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum 3 halaman, dapat
dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di
bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto
dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna
dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang
tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya
menyertakan file digital. Penulis dianjurkan menyertakan foto atau
gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah

sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data


dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan.
Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang
penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis,
maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka.
Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya
disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih,
maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk.,
misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Suranto et al., 1998; Baker
and Manwell, 1991; Smith 1982a, b). Pada sitasi bertingkat digunakan
kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau
Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999).
Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti
CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut:
Jurnal:
Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat
protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass
mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020.
Buku:
Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure
and Applied Aspects. London: Chapman and Hall.
Bab dalam buku:
Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular
markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman,
C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier
Science Publishers B.V.
Abstrak:
Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F.
Hammerschlag. 2000. Response of transgenic Royal Gala apple
(Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified
cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of
97th Annual International Conference of the American Society for
Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000.
Prosiding:
Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju
Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional
Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan
Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000.
Skripsi, Tesis, Disertasi:
Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae
UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe
terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Informasi dari Internet:
Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http://
www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html
Naskah publikasi in press dapat disitasi dan dicantumkan dalam
daftar pustaka. Komunikasi pribadi dapat disitasi, tetapi tidak dapat
dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi.
Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-),
kecuali kata ulang. Penggunaan huruf l (el) untuk 1 (satu) atau O
(oh) untuk 0 (nol) perlu dihindari. Simbol , , , dan lain-lain
dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf.
Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi.
Kemajuan Naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau
ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman.
Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai
dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya
bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan
korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada
naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang
memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah
diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal
nomor penerbitan berikutnya.
PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju
memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan
Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan
menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau
pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini
selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis
disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam
jurnal ini.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 43-47

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan


Aktivitas Bakteri Pengoksidasi Amonia
Effect of pH and organic substrate on growth and activities of
ammonia-oxidizing bacteria
DWI AGUSTIYANI1,, HARTATI IMAMUDDIN1, ERNI NUR FARIDAH2,OEDJIJONO2
1

Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16122.


Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 53122.
Diterima: 15 Januari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
The physiological character, especially the effect of pH and organic substrate on the growth and activity of some ammoniaoxidizing bacteria was carried out. The results show that eight out of twenty isolates have ability to reduce ammonium, two
of them i.e. isolate AOB1 and AOB2 could reduce more than 90% of ammonium. The growth and activity to reduce
ammonium to nitrite was attained optimum at pH 7-8. From the result also indicated that the growth and activity of both
isolate AOB1 and AOB2 were higher on the organic carbon (acetate)-containing media. This finding indicated that both of
isolate AOB1 and AOB2 were heterotrophic ammonia-oxidizing bacteria.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: organic substrate, acetate, ammonia-oxidizing bacteria, ammonium, nitrite.

PENDAHULUAN
Bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat
autotrofik adalah kelompok bakteri yang terutama
berperan dalam proses oksidasi amonia menjadi nitrit
pada siklus nitrogen, juga pada proses peruraian
nitrogen dalam sistem pengolahan limbah cair.
Bakteri autotrofik yang berperan dalam oksidasi
amonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas,
Nitrosococcus, Nitrosospira, Nitrosolobus, dan
Nitrosovibrio. Beberapa mikroorganisme yang bersifat
heterotrofik juga dilaporkan mampu mengoksidasi
amonia atau nitrogen organik menjadi nitrit atau nitrat
(Sylvia et al., 1990). Mikroorganisme yang termasuk
dalam golongan tersebut diatas antara lain adalah:
fungi (Aspergillus) dan bakteri (Alcaligenes,
Arthrobacter spp., dan Actinomycetes). Menurut
Alexander (1977), Arthrobacter dan Aspergillus flavus
mampu menghasilkan nitrat dalam media yang
mengandung amonia sebagai sumber nitrogen.
Bakteri autotrofik menggunakan CO2 sebagai
sumber karbon, sedangkan bakteri heterotrofik
menggunakan senyawa organik, seperti asetat,
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854
e-mail: atitkanti@yahoo.com

piruvat, dan oksaloasetat sebagai sumber karbon.


Laju pertumbuhan bakteri yang bersifat autotrofik
lebih
lambat
dibandingkan
dengan
bakteri
heterotrofik. Derajat keasaman (pH) merupakan salah
satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi
amonia (Esoy et al., 1998). Derajat keasaman (pH)
optimum untuk pertumbuhan bakteri pengoksidasi
amonia yang bersifat autotrofik berkisar dari 7,5
sampai 8,5 (Ratledge, 1994). Sedangkan bakteri
yang bersifat heterotrofik lebih toleran pada
lingkungan asam, dan tumbuh lebih cepat dengan
hasil yang lebih tinggi pada kondisi dengan
konsentrasi DO rendah (Zhao et al., 1999).
Sampai saat ini ekologi populasi bakteri
pengoksidasi amonia di alam masih belum diketahui
dengan jelas. Hal ini disebabkan sulitnya mengisolasi
dan mengkultivasi mikroorganisme pengoksidasi
amonia. Klasifikasi bakteri pengoksidasi amonia
terutama didasarkan pada morfologi sel, ultrastruktur
membran dan karakter fisiologinya (Watson et al.,
1989). Pada penelitian ini, sifat fisiologi beberapa
isolat bakteri pengoksidasi amonia dipelajari. Kajian
fisiologis ditekankan pada upaya mengetahui
pengaruh tingkat keasaman (pH) dan sumber organik
(asetat) terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri
pengoksidasi amonium.

44

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 43-47

BAHAN DAN METODE


Media
Media isolasi bakteri pengoksidasi amonia
(Krummel dan Harms, 1982 dalam Watson et al.,
1989). Komposisi: NH4Cl(535 mg), NaCl (584 mg),
MgSO4. 7H2O (49,3 mg), CaCl2. 2 H2O (147,0 mg),
KH2PO4 (54,4 mg), KCl (74,4 mg), FeSO4. 7H2O
(973,1 g), (NH4)6Mo7O24.4H2O (37,1 g), MnSO4.
4H2O (44,6 g), CuSO4.5H2O (25g), ZnSO4. 7H2O
(43,1 g), H3BO3 (49,1g), Cresol red (0,05%,1ml),
Akuades (1 l). Bahan-bahan tersebut dilarutkan ke
dalam akuades sampai volume 1000 ml, pH media
7,5-8 dengan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut
kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu
121oC dengan tekanan 2 atm selama 15 menit
Media pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia
(media basal). Komposisi: KH2PO4 (725 mg),
Na2HPO4 (1136 mg), MgSO4. 7H2O (50 mg), CaCl2.
2H2O (20 mg), Fe. EDTA (1 mg), Trace element (1
ml), Akuades (1 l). Trace element: Na2MoO4. 2H2O
(10 mg), MnCl2. 4H2O (20 mg), ZnSO4. 7H2O (10 mg),
CoCl2. 6H2O (0,2 mg), CuSO4. 5H2O (2 mg), Akuades
(100 ml). Bahan-bahan di atas dilarutkan ke dalam
akuades sampai volume 1000 ml, pH media 7,7 dengan penambahan HCl 1 N. Larutan tersebut kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC
dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Sebagai sumber nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2SO4 steril.
Media organik. Pembuatan media organik sama
dengan media basal ditambah dengan sodium asetat
(20 mM) sebagai sumber karbon. Sebagai sumber
nitrogen ditambahkan 200 mg/l (NH4)2 SO4 steril.
Cara kerja
Kultivasi bakteri pengoksidasi amonia
Sumber isolat bakteri adalah lumpur (sludge) dari
kolam aerasi pengolahan limbah industri minyak
kelapa sawit, PT. Tania Selatan, Palembang. Lumpur
sebanyak 1ml ditumbuhkan pada erlenmeyer (100 ml)
yang berisi 50 ml media basal (pH 7,7) yang
mengandung 200 mg/l (NH4)2SO4. Kultur tersebut
kemudian diinkubasi pada suhu ruang diatas
penggoyang (shaker). Selama inkubasi dilakukan
pengamatan pertumbuhan mikroba nitrifikasi, yaitu
dengan cara mengukur perubahan amonia dan
pembentukan nitrit secara kualitatif, menggunakan
indikator penentuan amonia dan indikator penentuan
nitrit (Gerhardt et al., 1994). Pengamatan dilakukan
secara berkala. Derajat keasaman (pH) di dalam
kultur dipertahankan pada kisaran 7-8.
Isolasi dan seleksi bakteri pengoksidasi amonia
Kultur yang menunjukkan indikasi adanya
pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia diambil
dan diisolasi secara tabur. Kultur tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu ruang selama 3-5 hari. Isolat
yang tumbuh kemudian dimurnikan dan dipindahkan
pada media agar miring. Isolat yang diperoleh
diseleksi kemampuan tumbuhnya dengan cara
menumbuhkannya dalam erlenmeyer yang berisi 50

ml media basal. Kultur tersebut diinkubasi pada suhu


ruang diatas penggoyang (shaker). Pertumbuhan
bakteri pengoksidasi amonia ditentukan dengan mengukur perubahan amonia dan pembentukan nitrit secara
kualitatif, menggunakan indikator penentu amonium
dan indikator penentu nitrit (Gerhardt et al., 1994).
Pengujian pertumbuhan isolat bakteri (pada media
tanpa senyawa organik dan media organik)
Isolat terseleksi ditumbuhkan ke dalam erlenmeyer
yang berisi 50 ml media basal tanpa bahan organik
(pH 7,7). Kultur tersebut diinkubasi pada temperatur
28C diatas penggoyang (shaker) dengan kecepatan
115 rpm. Pertumbuhan ditentukan dengan cara
mengukur kekeruhan (Optical density/OD) kultur
bakteri
tersebut
dengan
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 430 nm
dan mengukur penurunan konsentrasi amonia yang
terjadi. Pengujian dengan cara yang sama juga
dilakukan dengan menggunakan media organik.
Pembuatan starter
Isolat bakteri yang akan diuji diinokulasikan ke
dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal.
Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang
diatas penggoyang (shaker). Starter yang digunakan
untuk pengujian selanjutnya ialah yang telah
mencapai
pertumbuhan
eksponensial
dengan
kepadatan sel 107-108 sel/ml.
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan dan aktivitas
bakteri pengoksidasi amonia (pada media tanpa
senyawa organik dan media oganik)
Starter sebanyak 10 % v/v ditumbuhkan ke dalam
erlenmeyer yang berisi 50 ml media basal dalam
bufer fosfat pH 5, 6, 7, 8 dan 9. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang diatas penggoyang
(shaker) selama 72 jam. Selama inkubasi dilakukan
pengamatan setiap 24 jam terhadap pertumbuhan
dan kemampuannya dalam mengoksidasi amonia.
Pertumbuhan ditentukan dengan menghitung jumlah
sel bakteri menggunakan haemocytometer. Pengujian
dengan cara yang sama juga dilakukan dengan
menggunakan media organik.
Parameter penelitian
Parameter yang diukur adalah amonium (NH4-N),
nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N). Konsentrasi
amonium dan nitrit ditentukan dengan menggunakan
metode yang tercantum dalam Standard Method
(APHA, 1992) yang telah dimodifikasi. Konsentrasi
nitrat (NO3-N) ditentukan dengan metode yang
tercantum dalam SNI, (Anonim, 1990) yang telah
dimodifikasi (Agustiyani dan Imamuddin, 2000).
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
analisis varian (ANOVA) berdasarkan uji F dengan
tingkat kepercayaan 99% dan 95%. Jika ada beda
nyata analisis dilanjutkan dengan uji BNT dengan
taraf kesalahan 1% dan 5% (Steel dan Torrie, 1981).

AGUSTIYANI dkk. Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia

45

Tabel 1. Hasil isolasi bakteri pengoksidasi amonia dan pengujian pertumbuhan secara kualitatif.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Isolat
AM I1
AM I2 (AOB1)
AMDA3
AMDA4.1
AMDA4.2
AmB I1
AmB I2
AmB II1
AmB II2.1
AmB II2.2
AmB III
NC I
NC II1
NC II2
NC II3
NL2
EF4
AmOB1
AmOB2 (AOB2)
NE

Karakteristik Morfologi
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, transparan, tepi rata

Pengujian pertumbuhan
secara kualitatif
+++
+++
+
+++
+++
+
++
+++
++
++
++
++
++
+++
+++
+++

Keterangan: +++ = nitrit yang terbentuk banyak; ++ = nitrit yang terbentuk agak banyak; + = nitrit yang terbentuk sedikit; - =
tidak terbentuk nitrit.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Isolasi dan seleksi
Hasil isolasi bakteri dari sludge kolam aerasi
pengolahan limbah industri minyak kelapa sawit,
diperoleh 20 isolat. Isolat-isolat tersebut kemudian
diseleksi kemampuan tumbuhnya dalam media basal
yang mengandung amonium. Dari hasil pengujian
diperoleh 16 isolat yang mampu tumbuh pada media
amonium
dan
menunjukkan
kemampuannya
mengoksidasi
amonium
menjadi
nitrit
yang
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah muda
setelah penambahan indikator nitrit (Tabel 1.).
Dari 16 isolat, 8 isolat menunjukkan kemampuan
memproduksi nitrit lebih banyak daripada isolat
lainnya (Tabel 1.). Delapan isolat tersebut kemudian
diuji kemampuan tumbuhnya pada dua macam media
basal amonium yaitu media basal tanpa senyawa
organik dan media basal dengan senyawa organik
(asetat). Pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia
pada kedua media tersebut ditentukan berdasarkan
tingkat kekeruhan (Optical Density; OD) dan
kemampuannya menurunkan konsentrasi substrat.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat AOB1 dan
AOB2 mempunyai pertumbuhan paling baik,
ditunjukkan dengan kekeruhan yang tinggi dan
kemampuannya mereduksi amonia juga cukup tinggi
(Tabel 2. dan 3.). Berdasarkan hasil pengujian
tersebut, maka isolat bakteri AOB1 dan AOB2
dipergunakan untuk pengujian selanjutnya.
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan bakteri
Hasil penghitungan jumlah sel bakteri pada
perlakuan berbagai variasi pH dan uji BNT dari rata-

rata jumlah sel bakteri isolat AOB1 dan AOB2


ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Pada Tabel 4
dan 5 ditunjukkan bahwa jumlah sel bakteri
meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. Jumlah
sel isolat bakteri AOB1 mencapai nilai optimal pada
pH 7-8, sedangkan isolat bakteri AOB2 mencapai
optimal pada kisaran pH 7-9.
Tabel 2. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi
amonia dalam media tanpa senyawa organik.
Isolat
NE
NC1
AMDA 4-1
AMDA 4-2
AMI 1
AOB1
Am OB1
AOB2

Kekeruhan (OD)
0 hari
0,046
0,014
0,025
0,037
0,034
0,030
0,051
0,038

3 hari
0,080
0,100
0,159
0,154
0,133
0,222
0,196
0,290

7 hari
0,050
0,102
0,120
0,100
0,090
0,196
0,167
0,270

Konsentrasi
+
NH4
0 hari 7 hari
47,35
40,72
47,35
36,64
47,35
9,17
47,35
8,27
47,35
4,77
47,35
2,65
47,35
4,03
47,35
2,08

Tabel 3. Hasil pengujian pertumbuhan bakteri pengoksidasi


amonia dalam media yang mengandung senyawa organik.
Isolat
NE
NC1
AMDA 4-1
AMDA 4-2
AMI 1
AOB1
Am OB1
AOB2

Kekeruhan (OD)
0 hari
0, 057
0,083
0,023
0,062
0,033
0,032
0,058
0,060

3 hari
0,044
0,089
0,838
0,835
0,873
1,068
0,670
1,430

4 hari
0,052
0,092
0,830
0,770
0,675
1,050
0,575
1,195

Konsentrasi
NH4+
0 hari 4 hari
44,38
39,65
44,38
41,77
44,38
4,11
44,38
3,30
44,38
3,79
44,38
2,81
44,38
3,30
44,38
2,79

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 43-47

46

Jumlah sel rata-rata tertinggi dari kedua isolat


bakteri dicapai pada perlakuan pH 8 dengan media
yang mengandung senyawa organik asetat (P9) yaitu
35,20 x 106 sel per ml untuk isolat AOB1 dan 59,20 x
106 sel per ml untuk isolat AOB2. Jumlah sel bakteri
cenderung menurun sejalan dengan menurunnya pH.
Dari data diatas, diketahui bahwa pH sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan isolat bakteri
AOB1 maupun AOB2. Pertumbuhan kedua isolat
bakteri ini lebih baik pada media yang mengandung
senyawa organik asetat.
Tabel 4. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB1 pada
berbagai variasi pH.
Rataan jumlah
sel AOB1 (x 106)
P1 (pH 5, media tanpa organik)
4,16 b
P2 (pH 6, media tanpa organik )
4,53 c
P3 (pH 7, media tanpa organik )
21,97 f
P4 (pH 8, media tanpa organik )
22,85 fg
P5 (pH 9, media tanpa organik )
16,03 e
P6 (pH 5, media dengan organik)
3,15 a
P7 (pH 6,media tanpa organik)
13,52 d
P8 (pH 7,media tanpa organik)
34,67 i
35,20 ij
P9 (pH 8,media tanpa organik)
P10 (pH 9, media tanpa organik )
27,73 h
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
BNT 0,05 = 0,0369.
Kombinasi perlakuan

Tabel 5. Rerata jumlah sel isolat bakteri AOB2 pada


berbagai variasi pH.
Rataan jumlah
sel AOB2 (x 106)
P1 (pH 5, media tanpa organik)
4,35 ab
P2 (pH 6, media tanpa organik )
6,48 c
P3 (pH 7, media tanpa organik )
39,20 ef
P4 (pH 8, media tanpa organik )
41,60 efg
P5 (pH 9, media tanpa organik )
37,87 e
P6 (pH 5, media dengan organik)
4,32 a
P7 (pH 6,media tanpa organik)
24,29 d
P8 (pH 7,media tanpa organik)
58,40 hi
59,20 hij
P9 (pH 8,media tanpa organik)
h
P10 (pH 9, media tanpa organik )
54,93
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
BNT 0,05 = 0,0345.
Kombinasi perlakuan

Pengaruh pH terhadap aktivitas bakteri


Aktivitas bakteri pengoksidasi amonium ditentukan
dengan cara mengukur penurunan amonium dan
pembentukan nitrit. Hasil penghitungan efisiensi
penurunan amonium dan efisiensi pembentukan nitrit
oleh aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2
ditampilkan pada Tabel 6 dan 7. Dari Tabel 6 dan 7
diketahui bahwa aktivitas isolat bakteri AOB1 dan
AOB2 dalam mengoksidasi amonia menjadi nitrit
sangat dipengaruhi oleh pH. Efisiensi penurunan
konsentrasi amonia dan pembentukan nitrit mencapai
optimal pada pH 7-8. Dari Tabel 6 dan 7 juga terlihat

adanya perbedaan aktivitas oksidasi amonium pada


kedua media yang digunakan, pada media organik
aktivitas kedua isolat bakteri lebih tinggi. Namun
demikian nampak bahwa efisiensi penurunan
amonium tidak linear dengan efisiensi pembentukan
nitrit. Efisiensi penurunan amonium jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan efisiensi pembentukan nitrit.
Isolat AOB1 mempunyai efisiensi penurunan
amonium berkisar antara 9,71-99,25% dan efisiensi
pembentukan nitrit berkisar antara 0,06-15,71%.
Sedangkan isolat AOB2 mempunyai efisiensi
penurunan konsentrasi amonia berkisar antara 14,8898,98% dan efisiensi pembentukan nitrit berkisar
antara 0,15-28,22%. Efisiensi penurunan amonia
tertinggi untuk isolat AOB1 sebesar 99,25% dan
AOB2 sebesar 98,98%, akan tetapi efisiensi
pembentukan nitritnya rendah yaitu 15,71% untuk
isolat AOB1 dan 28,22% untuk isolat AOB2. Hal ini
menunjukkan rendahnya aktivitas oksidasi amonium
menjadi nitrit.
Tabel 6. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan
pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB1
(inkubasi 72 jam).
Isolat
dan
media

Efisiensi
Efisiensi
penurunan
pembentukan
amonia (%)
nitrit (%)
P1 (pH 5)
11,68 i
0,06 a
AOB1
h
P2 (pH 6)
48,56
0,25 abc
Media
d
P3 (pH 7)
87,61
1,12 ef
tanpa
c
P4 (pH 8)
89,82
1,30 efg
organik
ef
0,93 e
P5 (pH 9)
81,61
P6 (pH 5)
9,71 Ij
0,15 ab
g
AOB1
P7 (pH 6)
59,84
1,41 abcd
b
P8 (pH 7)
95,88
8,49 hi
Media
a
organik
P9 (pH 8)
99,25
15,71 ij
e
7,06 h
P10 (pH 9)
83,10
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
BNT 0,05 = 0,0369 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT
0,05 = 0,1050 (untuk konsentrasi nitrit).
Perlakuan

Tabel 7. Efisiensi penurunan konsentrasi amonia dan


pembentukan nitrit oleh aktivitas isolat bakteri AOB2
(inkubasi 72 jam).
Efisiensi
Efisiensi
penurunan
pembentukan
amonia (%)
nitrit (%)
P1 (pH 5)
19,28 i
0,06 a
AOB2
h
P2 (pH 6)
52,24
0,30 c
Media
P3 (pH 7)
89,12 cd
2,62 f
tanpa
c
P4 (pH 8)
90,14
3,05 g
organik
e
P5 (pH 9)
82,07
2,11 de
ij
P6 (pH 5)
14,88
0,15 ab
g
AOB2
P7 (pH 6)
62,18
7,00 d
Media
P8 (pH 7)
95,67 b
22,09 h
organik
P9 (pH 8)
98,98 a
28,22 j
P10 (pH 9)
80,67 ef
22,55 hi
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
BNT 0,05 = 0,2984 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT
0,05 = 0,1155 (untuk konsentrasi nitrit).
Isolat

Perlakuan

AGUSTIYANI dkk. Aktivitas bakteri pengoksidasi amonia

Dari hasil pengujian, diketahui bahwa aktivitas


oksidasi amonia menjadi nitrit dari isolat bakteri AOB1
dan AOB2 lebih tinggi di media yang mengandung
karbon organik asetat. Hal ini menunjukkan bahwa
kedua isolat tersebut bersifat heterotrofik, karena
mampu memanfaatkan senyawa organik sebagai
sumber karbonnya. Jenie dan Rahayu (1993)
menyatakan bahwa selain bakteri nitrifikasi autotrof,
juga terdapat bakteri heterotrof yang selain mampu
menggunakan senyawa organik, juga mampu
memanfaatkan nitrogen anorganik, misalnya amonia,
sebagai donor elektron dan sumber energi. Fakta
kedua yang mendukung dugaan bahwa kedua isolat
bakteri tersebut adalah bakteri pengoksidasi amonia
yang bersifat heterotrofik adalah rendahnya aktivitas
oksidasi amonium menjadi nitrit. Seperti dikemukakan
Ambarsari (1999) bahwa bakteri nitrifikasi heterotrofik
mempunyai aktivitas yang jauh lebih rendah
dibandingkan bakteri yang bersifat autotrofik.
Berbeda dengan bakteri nitrifikasi yang bersifat
autotrofik, sebagian besar bakteri heterotrofik akan
mengeluarkan
nitrit
atau
nitrat
jika
fase
pertumbuhannya telah aktif (Doxtader dan Alexander,
1966; Obaton et al., 1968; Verstraete dan Alexander,
1972). Dilaporkan juga bahwa beberapa bakteri
heterotrofik, seperti P. pantotropha dan Alcaligenes
faecalis hanya mampu mengoksidasi amonium
menjadi hydroxylamine (Otte et al., 1999). Reaksi
biokimia peruraian amonium oleh bakteri nitrifikasi
yang bersifat heterotrofik antara lain adalah sebagai
berikut: NH4+ NH2OH NOH NO2- NO3(Killham, 1986; Haynes, 1986). Dari reaksi diatas
diketahui bahwa hasil akhir dari reaksi oksidasi
amonium secara sempurna adalah nitrat (NO3-).
Dalam penelitian ini nitrat tidak terdeteksi, hanya
terdeteksi nitrit. Selain itu dalam penelitian ini
hydroxylamine juga tidak diukur, sehingga belum bisa
disimpulkan pola reaksi yang lengkap dari proses
oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1 dan
AOB2. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut masih
perlu dilakukan.
Pada pH 8, pertumbuhan sel isolat bakteri AOB1
dan AOB2 sangat baik. Seperti pada umumnya
bakteri nitrifikasi, bakteri pengoksidasi amonia lebih
menyukai lingkungan yang basa dengan tingkat pH
optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 7,5
sampai 8,5 (Imas et al., 1989 dan Ambarsari, 1999).
Sedangkan pada pH 5, pertumbuhan maupun
aktivitas oksidasi amonium oleh isolat bakteri AOB1
dan AOB2 menurun, hal ini menunjukkan terjadinya
penghambatan. Pada pH yang rendah, membran sel
menjadi jenuh oleh ion hidrogen sehingga membatasi
transport membran. Keracunan yang terjadi pada pH
rendah adalah karena sebagian substansi asam yang
tidak terurai meresap ke dalam sel, sehingga terjadi
ionisasi dan pH sel berubah. Perubahan ini
menyebabkan proses pengiriman asam-asam amino
dari RNA terhambat sehingga menghambat
pertumbuhan dan bahkan dapat membunuh mikroba.

47

KESIMPULAN
Dari penelitian ini diketahui bahwa derajat
keasaman (pH) berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 dalam
mengoksidasi amonia. Pertumbuhan dan aktivitas
oksidasi amonia mencapai optimum pada kisaran pH
7-8. Isolat bakteri AOB1 dan AOB2 memperlihatkan
pertumbuhan dan aktivitas yang jauh lebih baik pada
media yang mengandung asetat. Fakta ini
menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut
merupakan bakteri pengoksidasi amonia yang
bersifat heterotrofik. Alur reaksi oksidasi amonium
secara lengkap belum diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyani, D dan H. Imamuddin. 2000. Pertumbuhan kultur mikroba campuran pada senyawa amonium. Proseding Seminar
Nasional Biologi XVI dan Konggres Nasional Perhimpunan
Biologi Indonesia (PBI) XII, ITB Bandung, 25-27 Juli 2000.
nd
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2 edition.
Toronto: John Wiley and Sons.
Ambarsari, H. 1999. Karakteristik dan peran bakteri penitrifikasi dalam
usaha minimisasi amonia yang terakumulasi di dalam sistem
akuakultur. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 1 (2): 43-52.
Anonim. 1990. Kumpulan SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai
Kualitas Air. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
American Public Health Association (APHA). 1992. Standard
th
Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18
edition. Washington DC.: APHA.
Doxtader, K.G., and M. Alexander. 1966. Nitrification by growing
and replacement cultures of Aspergillus. Canadian Journal of
Microbiology 12: 807-815.
Esoy, A., H. Odegaard and G. Bentzen. 1998. The Effect of
Sulphide and Organic Matter on The Nitrification Activity In
Biofilm Procces. Water Science Technology 37 (1): 115-122.
Gerhardt, P., R.G.E. Murray, W. A. Wood and N. R. Krieg. 1994.
Methods for General Molecular Bacteriology. Washington DC.:
American Society for Microbiology.
Haynes, R.J. 1986. Mineral Nitrogen In the Plan-Soil System.
London: Academic Press, Inc.
Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.G. Gunawan, dan Y. Setiadi. 1989.
Mikrobiologi Tanah II. Bogor: PAU IPB.
Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Cair
Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Killham, K. 1986. Heterotrophic nitrification. In Prosser, J.I. (ed).
Nitrification. Oxford: IRL Press.
Obaton, M., N. Amarger, and M. Alexander. 1968. Heterotrofik
nitrification by Pseudomonas aeruginosa. Archipes of
Microbiology 63: 122-132.
Otte S, J. Schalk, J.G. Kuenen, and M.S. Jetten. 1999.
Hydroxylamine oxidation and subsequent nitrous oxide
production by the heterotrophic ammonia oxidizer Alcaligenes
faecalis. Applied Microbiologi and Biotechnology 51: 255-261.
Ratledge, C. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation.
Amsterdam: Kluwer Academic Publisher.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1981. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT. Gramedia.
Sylvia, D. M., J. J. Furbrmann, P. G. Hartel and D. A. Zuberer.
1990. Principles and Application of Soil Microbiology. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Verstraete, W. and M. Alexander. 1972. Heterotrophic nitrification
by Arthrobacter sp. Journal of Bacteriology 110: 955-961.
Watson, S.W. , E. Bock, H. Harms, H.P. Koops, and A.B. Kooper.
1989. Nitrifiying bacteria. In: Staley, J.T., M.P. Bryant, N.
Hennig, and J.G. Holt (eds). Bergey Manual of Systematic
Bacteriology Vol. 3. Baltimore: Williams and Wilkins.
Zhao, H.W., D.S. Mavinic, W.K. Oldham, and F.A. Koch. 1999.
Controlling factors for simultaneous nitrification and
denitrification in a two-stage intermittent aeration process
treating domestic sewage. Water Resources 33 (4): 961-970.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 48-51

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger


pada Substrat Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit
Evaluate the effect of mutans Aspergillus niger to the nutritive value of fermentation
at coconut meal and karnel palm meal

LAELA SARI1, TRESNAWATI PURWADARIA2


Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong-Bogor 16911
Balai Penelitian Ternak Ciawi PO Box 221 Bogor 16002

Diterima: 19 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT
Agricultural wastes, such as coconut meal and kernel palm meal can be used to fulfill the need of feed for ruminants or
monogastrics. Fermentation technology using Aspergillus niger has been reported allow to increase their nutritive value.
Isolation of the asporogenous strain which could spored at room temperature but could not spored at 37oC is expected to
sole the fermentation of spores in the fermentation product. The spore formation of mutants at the fourth day incubation
time (10%) was less than the wild type (100%). The variance analysis of protein content in vitro Dry Matter Digestibility
(IVDMD) and in vitro Protein Digestibility (IVPD) showed that the kind of mutants were interacted with the incubation time
(P<0,01). The highest protein content of coconut meal was obtained from E27 mutant (33.0%), kernel palm meal was
obtained from E14 mutant (31.4%) at the fourth day of incubation time. The highest IVDMD of coconut meal (62.1%), kernel
palms meal (61.8%) at the fourth day incubation time and from all E27 mutant. The highest IVPD of coconut meal was
obtained from E27 mutant (20.49%) at the fourth day incubation time, kernel palm meal was obtained from E27 mutant
(18.66%) at the fourth days incubation time.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: mutant Aspergillus niger, coconut meal, kernel palm meal, fermentation.

PENDAHULUAN
Pakan ternak sebagai sarana produksi ternak
dirasakan petani cukup mahal, hal ini disebabkan
ketersediaan bahan pakan yang berkualitas seperti
tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai belum
memadai dan sebagian besar masih diimpor. Sebagai
gambaran, pada tahun 1994 Indonesia mengimpor
tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai masingmasing sebanyak 227.213 ton, 1.109.253 ton dan
450.340 ton. Di lain pihak, berbagai limbah industri
yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan pakan
ternak seperti bungkil kelapa dan bungkil inti sawit
cukup banyak diproduksi di Indonesia (Sinurat dkk.,
1998a,b; Ketaren dkk., 1999). Oleh karena itu perlu
diteliti penggunaan bahan lain seperti bungkil kelapa
dan bungkil inti sawit. Bahan tersebut merupakan
bahan pakan yang murah, bernilai gizi tinggi, tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia dan dapat
Alamat korespondensi:
Jl Raya Bogor KM 46 Cibinong 16911
Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588.
Email: laelasari@yahoo.com

diproduksi tinggi dengan biaya serendah-rendahnya.


Bungkil kelapa merupakan hasil dari ikutan
pembuatan minyak kelapa, bungkil inti sawit
merupakan hasil ikutan industri minyak sawit. Kedua
bahan tersebut mempunyai faktor pembatas yaitu
kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan daya
cernanya rendah. Daya cernanya berkurang
dikarenakan
proses
pelumatan
serat
kasar
memerlukan banyak tenaga dan enzim (Lubis, 1963),
sehingga perlu dilakukan perlakuan pada kedua
bahan tersebut agar kualitasnya lebih baik.
Menurut Kompiang et al. (1994) dan Sinurat dkk.
(1998a,b), teknologi untuk meningkatkan mutu bahan
pakan adalah dengan fermentasi. Secara umum
semua
produk
akhir
fermentasi
biasanya
mengandung senyawa yang lebih sederhana dan
mudah dicerna daripada bahan asalnya sehingga
dapat meningkatkan nilai gizinya (Purwadaria et al.,
1995; Sinurat dkk., 1996; Supriyati dkk., 1998).
Fermentasi juga berfungsi sebagai salah satu cara
pengolahan dalam rangka pengawetan bahan dan
cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan zat
racun yang dikandung suatu bahan. Berbagai jenis
mikroorganisme mempunyai kemampuan untuk meng-

ENDRI dkk., Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus

konversikan pati menjadi protein dengan penambahan nitrogen anorganik ini melalui fermentasi.
Kapang yang sering digunakan dalam teknologi
fermentasi antara lain Aspergillus niger. A. niger
merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak
menghasilkan
mikotoksin
sehingga
tidak
membahayakan (Gray, 1970). Proses fermentasi
menggunakan kapang, selain pembentukan miselium
selalu diikuti oleh pembentukan spora yang berguna
untuk pembuatan inokulum pada proses fermentasi.
Inokulum yang berupa spora merupakan starter yang
baik dalam fermentasi (Purwadaria et al., 1994).
Keberadaan spora dapat membuat turunnya daya
cerna produk fermentasi dibandingkan dengan sel
miselium dan merupakan bahan pencemar bagi
kesehatan manusia, sehingga untuk alasan ini mutan
yang hilang kemampuan berspora pada suhu tertentu
akan mempunyai keuntungan.
Mutan asporogenous A. niger telah dikembangkan
dengan teknik mutasi ultra violet (Glenn dan Roger,
1988). Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi
pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan
ekspresinya. Proses pembentukan mutan disebut
mutagenesis. Radiasi dengan penyinaran ultra violet
sering digunakan dalam studi mutagenesis (Yusuf,
1988; Iskandar dkk, 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk membentuk mutan
asporogenous A. niger dengan menggunakan sinar
ultra violet dan mengkaji nilai gizi produk fermentasi
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit.

BAHAN DAN METODE


Substrat dan mikroba
Substrat yang digunakan adalah bungkil kelapa
dan bungkil inti sawit yang diperoleh dari toko
makanan ternak di daerah Bogor. Sedangkan
mikroba yang digunakan adalah A. niger koleksi
Balitnak Ciawi dan mikroba mutan E14 dan E27 (hasil
penelitian ini).
Teknik mutasi
Spora galur A. niger tipe liar pada media PDA
(Potato Dextose Agar) dilarutkan dengan larutan
fisiologis
dengan
pengenceran
10-6.
Setiap
pengenceran dimasukkan ke dalam botol McCartney
steril dan ditutup dengan rapat. Tempat untuk mutasi
dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian disiapkan
lampu Ultra Violet (Clemco 9015, 227 nm, 15 watt)
dengan jarak 10 cm di atas cawan petri steril. Sampel
dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut dan
disinari selama 2 (Glenn dan Roger, 1988) lalu
dimasukkan ke dalam botol McCaartney. Sebanyak
0,2 ml sampel ditumbuhkan pada cawan petri berisi
media PDA lalu diinkubasikan selama 4 hari pada
suhu 37oC. Setelah mutan yang tumbuh pada suhu
37oC diperoleh, maka dilakukan isolasi, dan
ditumbuhkan pada media PDA dan diinkubasikan
pada suhu kamar dan suhu 37oC. Selanjutnya dipilih

49

mutan yang dapat berspora pada suhu kamar namun


tidak berspora pada suhu 37oC. Mutan tersebut
ditumbuhkan pada cawan petri untuk dijadikan biakan
inokulum.
Proses fermentasi substrat padat
Substrat berupa bungkil kelapa dan bungkil inti
sawit masing-masing sebanyak 1 kg diberi larutan
mineral (Modifikasi Ramos et al., 1993) dan dilarutkan
dalam 800 ml air, campuran diaduk sampai homogen
dan dikukus selama 30 menit. Setelah dingin,
substrat diberi galur inokulum yang berbeda (E14,
E27 dan tipe liar sebagai kontrol) dan diaduk sampai
homogen. Setelah itu diletakkan dalam baki plastik
dengan ketebalan 3cm secara aerob, lalu
dinkubasikan pada suhu 37oC selama 4 hari.
Uji analisis kimia
Analisis kimia yang diuji menurut AOAC (1984)
adalah kadar protein produk fermentasi dalam bentuk
kadar protein sejati. Kadar protein sejati merupakan
kadar protein kasar dengan kadar nitogen terlarut (X
6,25). Selanjutnya diuji daya cerna bahan kering dan
daya cerna protein sejati secara in vitro dan protein
tercerna. Nilai protein tercerna merupakan perkalian
daya cerna protein dengan kadar protein.
Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial
(Suntoyo, 1993) dengan 3 ulangan menggunakan 2
faktor yaitu faktor inokulum (3 isolat) dan faktor waktu
inkubasi (0, 2, 3, dan 4 hari). Perlakuan yang
diberikan meliputi masing-masing substrat percobaan
yang difermentasikan dengan A. niger Balitnak tipe
liar, E14 dan E27 (hasil penelitian ini), serta dipanen
setelah 0, 2, 3 dan 4 hari.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam
dan BNJ (Suntoyo, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil mutasi
Hasil mutasi dengan sinar UV menunjukkan
adanya pembentukkan mutan asporogenous A. niger.
Koloni kapang yang berspora pada suhu 37oC
merupakan koloni tipe liar, sedangkan koloni yang
tidak berspora merupakan koloni mutan (Tabel 1.).
Koloni kapang yang tidak berspora tersebut
dipisahkan dan dibiakkan pada suhu kamar dan suhu
37oC. Kemudian kedua mutan tersebut diuji lebih
lanjut dengan menanamnya pada suhu kamar dan
37oC selama empat generasi. Setelah empat kali
dipindahkan ternyata mutan tersebut tetap stabil dan
mempunyai karakteristik serta sifat yang sama seperti
pada generasi pertama (dilihat dari pengamatan
pembentukan spora secara visual Tabel 2.).

B i o S M A R T Vol. 6, No. 2, Oktober 2004, hal. 48-51

50

Tabel 1. Pembentukan spora isolat mutan dan tipe liar A.


niger pada suhu inkubasi 28oC dan 37oC.
Proses Mutasi
Waktu
Pengenceran
Suhu
Suhu
Jenis
penyinaran
spora
kamar
37oC
galur
(menit)
TL
+++
++++
E14
2
10-6
+++
-,+
-6
+++
-,+
E27
2
10
Keterangan: (-) = tidak berspora; (+) = berspora sedikit;
(++) = Berspora sedang; (+++) = Berspora banyak; (++++)
= Berspora sangat banyak/sangat rapat.

Tabel 2. Pertumbuhan A. niger TL, E14, dan E27 pada


substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit.
Substrat

Hari ke
3

Bungkil kelapa
TL
E14
E27

-,+
-,+
+

++
++
++

###
++#
++#

Bungkil inti sawit


TL
E14
E27

-,+
-,+
+

++
++
++

###
++#
++#

Keterangan: (-) = Tidak tampak pertumbuhan; (-,+) = hifa


tumbuh menutupi substrat 50%; (+) = hifa tumbuh
menutupi substrat 70%; (++) = hifa tumbuh menutupi
substrat 100%; (++#) = hifa tumbuh 90%, dipinggir baki
tumbuh spora 10%; (###) = tumbuh spora warna hitam.

Fermentasi substrat padat


Dilakukan analisis pada 0 (kontrol), 2, 3 dan 4 hari,
namun tidak dilakukan pada waktu fermentasi satu
hari, karena masa tersebut merupakan waktu
adaptasi mikroba sehingga aktivitasnya belum
optimal. Menurut Fardiaz (1988), fase adaptasi
diperlukan mikroorganisme untuk menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan di sekitarnya.
Tabel 3. dan Tabel 4. menunukkan adanya
interaksi antara jenis mutan dan waktu inkubasi
(P<0,01). Analisis ragam pengaruh jenis mutan
terhadap kadar protein sejati berbeda nyata (P<0,01).
Dibandingkan dengan tipe liar, mutan E14 dan E27
tumbuh lebih baik karena pertumbuhan spora mutan
tersebut lebih sedikit dari tipe liar.
Pada substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit
lamanya waktu fermentasi memperlihatkan adanya
perbedaan nyata (P<0,01) terhadap kandungan
protein. Kenaikan kadar protein pada substrat
fermentasi padat diakubatkan oleh penambahan
protein yang diperoleh dari perubahan nitogen
inorganik menjadi protein sel selama pertumbuhan
mikroba. Meningkatnya kadar protein ini ada
hubungannya dengan pertumbuhan kapang A. niger.
Makin subur pertumbuhan kapang makin tinggi pula
kadar proteinnya, karena sebagian besar sel kapang
merupakan protein.

Tabel 3. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya


cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar,
mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil kelapa.
Analisis
(%)
Kadar
protein
Daya
cerna
bahan
kering
Daya
cerna
protein
sejati
Protein
tercerna

Galur
Tipe liar
E14
E27
Tipe liar
E14
E27

0
22,3a
21,9a
20,7a
38,7a
41,0ab
48,1bc

Tipe liar
E14
E27

70,2b
63,0a
84,6e

Waktu inkubasi (hari)


2
3
4
29,5bc
28,4b
30,3bc
31,3c
32,2c
32,7c
31,6c
32,2c
33,0c
44,1b
46,9c
40,0ab
46,1bc 52,6cd
56,3d
51,8c
58,2d
62,1e
75,5c
83,3d
81,1d

71,7bc
81,3d
75,1c

60,5a
78,2c
78,1c

Tipe liar
8.63
13.01
13.32
12.12
E14
8.98
14.43
16.94
18.41
E27
9.96
16.37
18.74
20.49
Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata (P<0,05).

Tabel 3 menunjukkan protein tertinggi pada


bungkil kelapa diperoleh pada mutan E27 (33%)
dengan waktu inkubasi 4 hari. Sedangkan protein
tertinggi pada bungkil inti sawit diperoleh pada mutan
E14 (31,4%) dengan waktu inkubasi 4 hari (Tabel 4).
Pada tipe liar terjadi penurunan kadar protein pada
hari ke empat, karena pertumbuhannya berbeda pada
jenis mutan maka yang terjadi disini adalah aktivitas
kapang yang satu lebih rendah dari yang lainnya.
Aktivitas kapang memecah protein substrat sehingga
laju pertumbuhannya menurun.
Metode yang digunakan untuk uji daya cerna
bahan kering secara in vitro merupakan pendekatan
untuk mengetahui gambaran kecernaan bahan kering
produk (Saunders et al., 1973). Analisis sidik ragam
daya cerna bahan kering dan protein sejati in vitro
menunjukkan interaksi antara jenis inokulum dan
waktu inkubasi (Tabel 3. dan Tabel 4.). Nilai daya
cerna bahan kering in vitro bungkil kelapa tertinggi
diperoleh pada mutan E27 (62,1%) waktu inkubasi 4
hari (Tabel 3.). Sedangkan nilai daya cerna bahan
kering in vitro bungkil inti sawit tertinggi diperoleh
pada mutan E27 (61,8%) waktu inkubasi 4 hari (Tabel
4.). Kecuali pada tipe liar waktu inkubasi 4 hari
menunjukkan nilai daya cerna bahan kering terendah
karena
selama
proses
fermentasi
kapang
memproduksi enzim pengurai serat kasar. Pada tipe
liar terjadi penurunan daya cerna bahan kering
karena terbentuk spora lebih banyak daripada isolat
mutan. Dinding sel spora lebih banyak mengandung
serat daripada miselium sehingga lebih sukar dicerna
dan menurunnya daya cerna bahan kering.
Pada tipe liar terjadi pada hari ke empat
penurunan daya cerna bahan kering, karena seratnya
terurai sehingga daya cerna proteinnya meningkat.
Pada tipe liar terjadi penurunan daya cerna terjadi
karena terdapat spora yang tumbuh lebat pada hari
ke empat, hal ini tersebut diduga karena spora
meningkatkan kadar serat kasar bahan. Kadar serat

ENDRI dkk., Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus

kasar yang tinggi mengakibatkan enzim pencernaan


sukar menembus dinding sel dan menyebabkan zat
gizi yang terdapat pada bahan tidak dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Pada mutan E14 dan E27 miseliumnya tumbuh subur namun hanya sedikit spora
yang tumbuh pada hari ke empat, sehingga bahan
tersebut lebih mudah dicerna dan dimanfaatkan.

51

Protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa


terdapat pada mutan E27 (20,49%) dengan waktu
inkubasi 4 hari. Protein tercerna tertinggi pada bungkil
inti sawit terdapat pada mutan E27 (18,66%) dengan
waktu inkubasi 4 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tabel 4. Nilai kadar protein, daya cerna bahan kering, daya
cerna protein sejati, protein tercerna (%) A. niger tipe liar,
mutan E14 dan E27 terhadap substrat bungkil inti sawit.
Analisis
(%)
Kadar
protein
Daya
cerna
bahan
kering
Daya
cerna
protein
sejati
Protein
tercerna

Tipe liar
E14
E27
Tipe liar
E14
E27

Waktu inkubasi (hari)


0
2
3
19,9a
26,3bc 28,3c
18,2a
29,7cd 25,6b
19,1a
26,7bc 27,5bc
33,0a
35,2ab 42,5c
37,2b
42,6c
45,5cd
40,8bc 47,7d
54,5c

4
27,1bc
31,4d
30,2cd
32,4a
48,7d
61,8f

Tipe liar
E14
E27

72,5b
65,7a
69,2ab

79,2cd
77,3cd
76,4bc

Galur

77,1c
74,6bc
81,6d

76,0bc
81,5d
72,9bc

Tipe liar
6,57
9,26
12,03
8,78
E14
6,77
12,65
11,65
15,29
E27
7,79
12,74
14,99
18,66
Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata (P<0,05).

Nilai daya cerna protein sejati tertinggi pada


bungkil kelapa dan bungkil inti sawit diperoleh pada
mutan E27, walaupun demikian untuk nilai gizi produk
fermentasi nilai daya cerna berhubungan dengan
kadar protein produk atau nilai protein tercerna. Nilai
protein tercerna tertinggi pada bungkil kelapa
diperoleh pada mutan E27 (20,49%) waktu inkubasi 4
hari (Tabel 3). Sedangkan nilai protein tercerna
tertinggi pada bungkil inti sawit pada E27 (18,66%)
waktu inkubasi 4 hari atau kapang ini terbaik untuk
nilai gizi protein (Tabel 4). Isolat mutan menunjukkan
nilai gizi protein lebih baik daripada nilai tipe lainnya
karena beberapa mutan hasil ultra violet menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim hidrolisis.

KESIMPULAN DAN SARAN


Mutan pada fermentasi bungkil kelapa dan bungkil
inti sawit menunjukkan hifa tumbuh 90%, di tepi baki
tumbuh spora 10%, sedangkan tipe liar menunjukkan
hifa dan spora tumbuh subur pada substrat (100%).
Waktu inkubasi mempengaruhi kadar protein. Kadar
protein yang paling baik diperoleh pada substrat
bungkil kelapa pada mutan E27 (33%) dengan waktu
inkubasi 4 hari.
Kenaikan daya cerna bahan kering terjadi pada
mutan E14 dan E27 sejalan dengan bertambahnya
hari fermentasi. Daya cerna bahan kering yang paling
baik diperoleh pada substrat bungkil kelapa pada
mutan E27 (62,1%) dengan waktu inkubasi 4 hari.

Karya ilmiah ini merupakan bagian dari thesis


sarjana penulis. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Balitnak, Ciawi untuk fasilitas yang diberikan
dalam penelitian ini, juga kepada Tuti Haryati, M.Sc.
atas segala bantuan dalam pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of
Official Analytical Chemists. Washingtong D.C.: AOAC.
Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pasca Sarjana PAUIPB & LSI IPB,.
Glenn, D.R. and R.E. Roger., 1988. A solid substrate fermentation
process for animal feed product, studies on funngal strain
improvement. Australian Journal of Biotechnology 2 (1): 50-54.
Gray, W.D., 1970. The Use of Fungi as Food and in Food
Processing. Ohio: CRC Press.
Iskandar, Y.M., I.Z. Udin dan A.T. Karossi. 1995. Strain
Aspergillus oryzae untuk meningkatkan produksi alfa amilase.
JKTI 5 (1): 29-33.
Ketaren, P.P., A.P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadaria, dan I.P.
Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya
sebagai pakan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 4 (2): 107-112.
Kompiang, I.P., A.P. Sinurat, S. Kompiang, T. Purwadaria, and J.
Darma. 1994. Nutrition value of protein enriched cassava:
Cassapro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7 (2): 22-25.
Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan.
Purwadaria, T., T. Haryati, A.P. Sinurat, J. Darma, and T. Pasaribu.
1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with
Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation
nd
temperatures. 2 Conference on Agricultural Biotechnology
Jakarta, 13-15 June 1995.
Ramos. A.V., M. de la Torre, and C. Casas-Campillo. 1993. Solid
Strate Fermentation of Cassava with Rhizopus oligosporus
NRRL 2710. In Ferranti, M.P., and A. Fiechter (eds.).
Production and Feeding of Single Cell Protein. London: Applied
Science Publisher.
Saunders, R.M, M.A. Corner, A.N. Booth, E.M. Bickoff, and G.O.
Kohler. 1973. Measurement of digestibility of alfaefa protein
concentrates by in vivo and in vitro methods. Journal of
Nutrition 103: 530-535.
Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, A.R. Setioko, dan J.
Darma. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan
pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 1 (3): 161-168.
Sinurat, A.P., T. Purwadaria, A. Habibie, T. Pasaribu, H. Hamid, J.
Rosida, T. Haryati, dan I. Sutikno. 1998. Nilai gizi bungkil
kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar
fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (1):
15-21.
Sinurat, A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid,
dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan
kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur
sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229.
Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998.
Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan
menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 3 (3): 165-170.
Suntoyo, Y. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan
Interpretasinya. Jakarta: PT. Gramedia.
Yusuf, M. 1994. Mutasi. Bogor: Jurusan Biologi FMIPA IPB.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman 52-60

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia


1

MUZAYYINAH1,, EDI GUHARDJA2, MIEN A. RIFAI3, JOHANIS P. MOGEA3, PETER VAN WALZEN4
Program Study of Biological Education, Department of PMIPA FKIP Sebelas Maret University Surakarta 57126, Indonesia.
2
Department of Biology, Faculty of Mathematic and Sciences, Bogor Agriculture University, Bogor Indonesia
3
"Herbarium Bogoriense", Department of Botany, Research Center of Biology -LIPI, Bogor 16013, Indonesia
4
Rijksherbarium Leiden, The Netherlands.
th
th
Received: 8 December 2003. Accepted: 17 May 2004.

ABSTRACT
The Malesian genus Koilodepas Hassk. has been revised based on the morphological and anatomical character using
available herbarium collection in Herbarium Bogoriense and loan specimens from Kew Herbarium and Leiden
Rijksherbarium. The present study is based on the observation of 176 specimens. Eight species has been recognized,
namely K. bantamense, K. cordifolium, K. frutescns, K. homalifolium, K. laevigatum, K. longifolium, K. pectinatum, and two
varieties within K. brevipes. The highest number of species is found in Borneo (5 species), three of them are found
endemically in Borneo, K. cordisepalum endemically in Aceh, and K. homalifolium endemically in Papua New Guinea. A
phylogenetic analysis of the genus, with Cephalomappa as outgroup, show that the species within the genus Koilodepas is
in one group, starting with K. brevipes as a primitive one and K. bantamense occupies in an advance position.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keyword: Koilodepas Hassk., Malesia, outgroup, phylogenetic analysis, outgroup.

INTRODUCTION
The genus Koilodepas belongs to the tribe Epiprineae of the subfamily Acalyphoideae. The characteristics of this tribe are flowers without a disk, pollen
grains coarsely reticulate or perfora-tectate, indumentum stellate, inflexed in bud (except dorsifixed in
Koilodepas), monoecious, pistillate calyx often
accrescent, and seeds ecarunculate. The Epiprineae
have been divided into two sub tribes Epiprinae and
the
monotypic
Cephalomappinae
(containing
Cephalomappa). The characteristics of the sub tribe
Epiprineae are: staminate calyx splitting into distinct
segments, the pollen sexine rather coarsely reticulate,
and the pistillate sepals often persistent and
accrescent (Webster, 1994).

MATERIAL AND METHODS


Material
Material specimen of Koilodepas was collected in
Malesia phytogeography area. The genus Koilodepas
was presented based on 176 specimens from Kew
Herbarium (K), the Rijksherbarium Leiden (L) and the
Herbarium Bogoriense (BO).
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 31a, Surakarta 57126.
Tel. & Fax.: +62-274-387781.
e-mail: yayin@uns.ac.id

Methods
The methods of research were morphological and
leaf-anatomical description. The research had been
used a large of herbarium specimens (i.e. 176 specimens) from Herbarium Bogoriense, Kew Herbarium,
and Leiden Rijksherbarium. The material specimens
were analyzed with Henning 86 programme.

RESULT AND DISCUSSION


Morphology
Characters like stipule shape, leaf margin, number
of glands, hairs on the lower leaf surface, and flower
morphology are used for the description of the
species and for a study of the relationships within the
genus.
Stipules
The genus has three forms of stipules, namely
elliptical, deltoid, and angular. The margin of the
stipules can either be pectinate, entire or serrate. The
stipules of K. bantamense are triangular and the
margin is serrate. The stipules of K. brevipes, K.
cordisepalum, and K. homalifolium are triangular and
the margin is entire. The shape of K. longifolium
stipules is deltoid and the margins are entire or
serrate. In K. laevigatum the stipules are deltoid and
the margin is entire. The stipules of K. pectinatum are
pectinate (Figure 1.).

MUZAYYINAH et al Koilodepas in Malesia

Figure 1. Stipules and margin of Koilodepas. A. elliptical and pectinate, B. entire,


C. serrate, D. entire, E. serrate.

53
in
K.
bantamense,
K.
homalifolium, and K. frutescens.
The texture of the lamina is
chartaceous in K. laevigatum and
K. homalifolium, subcoriaceous in
K. bantamense, K. frutescens, K.
brevipes, K. pectinatum, and K.
cordisepalum, and coriaceous in
K. longifolium. The tertiary
venation is scalariform, except in
K. cordisepalum, where it is
reticulate (Figure 2.).

Inflorescences
The inflorescences are axillary
racemous or branched spikes.
The staminate flowers are
arranged in glomerate heads. The
bracts are cuneate with an entire
margin and acute apex. The
lobes of the calyx are acute and
densely set with stellate long
hairs. The number of stamens
varies from 3 to 10. The filaments
are basally united into an
androphore. The filaments are
subulate in K. laevigatum and
obspathulate n the other species
(Figure 3). The anthers are
subapically dorsifixed.
The pistillate flowers are
solitary. The shape of the sepal is
somewhat different in each
species. The sepals of K.
pectinatum are free, foliolate,
cordate, chartaceous, with 6-8
lobes, persistent, the margin
serrate, but K. cordisepalum has
smaller. The sepals of K. brevipes
Figure 2. Leaf of Koilodepas Hassk. showing the margin. A. K. codisepalum
are free, subulate or elliptical,
(glabrous, serrate, caudate); B. K. pectinatum (hairy, serrate, caudate); B1. The
apex acute, 6-9 lobes, persistent.
density of stellate hairs on the lower surface; C. K. laevigatum (glabrous, entire,
In K. longifolium are free,
caudate); D. K. brevipes var. stenosepalum (hairy, serrate, caudate); D1. The
elliptical, and the apex obtuse. In
density of stellate hairs on the lower surface; E. K. brevipes var. brevipes; E1.
K. bantamense, they are connate,
The density of stellate hairs on the leaf surface; F. K. homalifolium (glabrous,
5-lobed, apex obtuse. The calyx
crenate, caudate).
of K. frutescens has 6 or 7 lobes.
The styles are connate in K.
bantamense, K. brevipes, K.
longifolium, K. frutescens, K. homalifolium, and K.
Leaves
pectinatum, and free in K. cordisepalum and K.
The Leaves are simple, alternate, and elliptical. K. laevigatum (Figure 4.).
pectinatum and K. brevipes are hairy on the lower leaf
The number of stigmas is generally 3, but K.
surface, but K. laevigatum, K. homalifolium, K. bantamense and K. frutescens has 6. The shape of
bantamense, K. cordisepalum, and K. frutescens are the stigma is somewhat difference species, K.
glabrous. The leaf margin of K. homalifolium is pectinatum, K. laevigatum, K. Pectinatum, K.
crenate, when young crenulate. The leaf margin of K. cordisepalum, and K. brevipes have antennate
laevigatum is entire, whereas in the other species it is stigmas; K. homalifolium and K. longifolium have
serrate or dentate. A pair of glands is usually found at multifid stigmas; K. frutescens and K. bantamense
the lower surface, near the base of the leaves, but have coralliform. The stigma surface is stellately hairy
there are 3-7 pairs of glands in K. brevipes. The apex (Figure 4.).
of the leaves is caudate, but acuminate to cuspidate

54

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60

Koilodepas is found in the


phytogeograpic area Malesia. K.
pectinatum, K. brevipes, and K.
laevigatum are endemic in
Borneo. K. bantamense is found
in Java and Sumatra. K.
longifolium is widespread in West
Malesia
(Malay
Peninsula,
Sumatra
and
Borneo)
K.
homalifolium is endemic in Papua
New Guinea. K. cordisepalum is
found, so far, only in Aceh (Figure
5.).

Figure 3. Variation of staminate flowers. A. Staminate inflorescences; B. K.


bantamense; C. K. pectinatum; D. K. homalifolium; E. K. longifolium; F. K.
brevipes var. brevipes; G. K. brevipes var. stenosepalum; H. K. frutescens; I. K.
laevigatum; J. K. cordisepalum.

Figure 4. Variation of pistillate flowers of Koilodepas Hassk. A. K. cordisepalum;


B. K. longifolium; C. K. bantamense; D. K. brevipes var. stenosepalum; E. K.
brevipes var. brevipes; F. K. homalifolium; G. K. pectinatum; H. K. frutescens; I.
K. laevigatum. Types of sepals: free (A,D,E,G); connate (CFH); subconnate (B,I);
types of styles: free (A,I), connate (B,C,D,E,F,G,H); types of stigma: antennate
(A,E,G,I); multifid (B,F) and coralliform (C, H).

Figure 5. Distribution map of Koilodepas Hassk. = K. bantamense; = K.


brevipes; = K. pectinatum; } = K. cordisepalum; = K. laevigatum; z = K.
longifolium; = K. homalifolium; = K. frutescens.

Distribution

Phylogenetic analysis of
Koilodepas
The phylogenetic analysis of
Koilodepas was performed using
21 characters and the genus
Cephalomappa as an outgroup
(Table 3.). The letter was selected
because it is classified in the
Cephalomappinae as the sister
sub tribe of the Epiprineae. Tribe
Cephalomappa seems to be the
SE Asian genus which shares
most primitive characters with
Koilodepas, e.g. staminate flowers
in racemes, styles free, pistillate
calyx
not
accrescent
or
involucrate, and the filaments
inflexed in bud (Webster, 1994).
The analysis is performed
using the Hennig 86 program with
optional and all the characters
unordered.
Two
cladogram
(Figure 6.) were found 29 steps,
consistency index = 0.93 and
retention index = 0.89. This tree
has short branch. K. brevipes as a
primitive one and ending with the
K. bantamense.
The outgroup is separated
from Koilodepas by a plesiomorph
character of the outgroup namely
staminate flowers is sessile (6),
surface of staminate is not stellate
but lepidote (7), stipulate absent
(9), surface of fruit is echinate
(17), surface of stigma is papillate
(20), sepal of pistillate flowers
aestivation is valvate (15), and the
inflorescences is racemose (19).
K. brevipes is separated from the
other Koilodepas by the stigma
shape (8), the type of marginal
stipules
(11)
and
the
inflorescences (19). The varieties
is allied by number of abaxial
glands (3), hairs on leaves (4),

MUZAYYINAH et al Koilodepas in Malesia

55

Figure 6. Dendrogram of Koilodepas Hassk. bre: K. brevipes var. brevipes; brs: K. brevipes var. stenosepalum; pec: K.
pectinatum; cor: K. cordisepalum; lae: K. laevigatum; lon: K. longifolium; hom: K. homalifolium; fru: K. frutescens; ban: K.
bantamense.

stigma shape (8), petiolate length (12), and sepal


shape of pistillate flowers (14). K. cordisepalum is
separated from the other five Koilodepas by sepal
shape of pistillate flowers (14), sepals of pistillate
flowers (15), leaf shape (1), and venation (13). K.
laevigatum is separated from the other species by
stigma shape (4). K. longifolium is separated from the
other two species by stigma shape (8), number of
stigma (10), and styles (18). The last branch, K.
frutescens is separated from K. bantamense by
caducous stigma (16).
Taxonomy
Koilodepas Hassk., Bot. Zeit. (1856) 802; Hassk.,
Flora 40 (1857) 531 (Coelodpas); Retzia 1 (1858) 44;
Miq., Fl. Ned. Ind I. (1859) 398; Hassk. Bull. Soc. Bot.
Fr. 6 (1859) 713; Mull Arg. In DC. Prodr. 15. 2. (1866)
759; Baill., Hist. Pl. 5 (1874) 220; Hook. F, Fl. Brit.
Ind. 5 (1890) 419; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie. 3 (1)
(1900) 196; Bourd. For. Trees Travancore (1908)
345; J.J. Sm, Meded. Depart. Landb. 12 (1910) 379;
Koord., Exkursionsfl. Java (1912) 489; Pax & K
Hoofm. In Engl., Pflanzenr. Ed 4. 147. 7 (1914) 268;
A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942) 50; Pax & K Hoffm. In
Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2, 19C. (1931)
124; Airy Shaw, Kew Bull. 14 (1960) 283; Backer &
Bakhuin. Fl. Java 1 (1963) 486; Whitemore, Tree Fl.
Malay 2 (1973) 103. Airy Shaw, Kew Bull. Add. Ser. 4
(1975) 138; Airy Shaw. Kew Bull. Add. Ser. 8 (1980)

128; Airy Shaw. Kew Bull. 36 (1981) 609. Type:


Koilodepas bantamense Hassk.
Description
Tree, monoecious. Indumentum of short and long
stellate hairs. Stipules: elliptical, subulate or cuneate,
margin entire or pectinate. Leaves: alternate, simple;
petioles terete or ungulate, basally and apically
pulvinate; lamina elliptical, subcoriaceous to
coriaceous, rarely chartaceous, at the base flat
(elevated in K. brevipes), base round, with one pairs
of glands on lower surface (K. brevipes with 3-7 pairs
of glands); margin entire, crenate, dentate, or serrate,
with glands on the lower surface; apex cuspidate or
caudate; upper surface smooth, glabrous; venation
pinnate, flat to raised above, raised below,
submarginally looped, secondary and tertiary veins
scalariform,
quartenery
veins
reticulate.
Inflorescences: axillary, spikes to simple panicles;
pistillate flowers 1-3 at the base and staminate
flowers at the apex of the rachis. Bracts subulate to
cuneate. Staminate flowers in glomerules, 7-10; calyx
3- or 4-merous, lobes rounded to acute,
membranaceous, densely covered with stellate hairs;
petals absent; stamens (3) 4-7 (10), filaments basally
united, or spathulate (K. laevigatum, subulate); anther
sub-apically dorsifixed, latrorse, 2 locular, opening
length-wise, smooth; pistillode 1, small. Pistillate
flowers: the sepal free, 5-9 lobes cordate or elliptical;

56

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60

margin entire to serrate, apex acute to obtuse,


densely covered with stellate-tomentose; petals
absent; ovary superior, densely tomentose, 3-locular;
ovules 1 per locule; style short to long, terete, with
stellate hairs; stigmas 3 or 6, antennate , multifid or
coralliform, persistent (coduceous in K. frutescens),
apex bifid or bifurcate. Fruit: a rhegma, globular, 3lobed, tomentose, wall thick, glabrous inside, woody.
Seeds: sub globular, surface smooth, glabrous, shining.
Distribution. 8 species in the Malay Peninsula,
Sumatra, Java, Borneo, and Papua New Guinea.
Note: Leaf anatomy: abaxial surface of leaf hairy
or glabrous; epidermis consisting of cells with sinuous
to deeply sinuous anticline and slightly wavy walls;
stomata elliptical.
Key to the species

The description of three species can be seen


below, i.e. Koilodepas bantamense Hassk.,
Koilodepas brevipes Merr. var. brevipes, Koilodepas
brevipes Merr. var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy
Shaw, and Koilodepas frutescens (Blume.) Airy Shaw.
Koilodepas bantamense Hassk
Koilodepas bantamense Hassk., Bot. Zeit. 14
(1856) 802; Retzia 1 (1858) 45; Mull.Aarg. in DC.,
Prodr. 15 (2) (1866) 759; Engl. & Prantl, Nat.
Pflanzenfam. (1896) 51; Boerl., Handl. Fl. Ned. Indie.
3 (1900) 286; J.J.Sm., Meded. Depart. Landb. 12
(1910) 380; Koord., Exkursionfl. Java 2 (1912) 489;
Pax & K.Hoffm. in Engl., Pflanzenr. 4 (1914) 269;
Planten. Bot. Gard. (1926) 291; Pax & K.Hoffm. in
Engl. & Harms, Nat. Pflanzenfam. Ed. 2. 19c (1931)
125; A.C. Sm, J. Arn. Arb. 23 (1942); Airy Shaw, Kew
Bull. 14. (1960) 384; Backer & Bakh. Brink., Fl. Java.
1 (1968) 486. Type: Hasskarl s.n. (L-holo). West
Java, Banten (Figure 7-8).

1.a. Stipules elliptic, margin deeply and finely pectinate


......... 1. K. pectinate
b. Stipules deltoid or triangular, margin entire to serrate
.... 2
2.a. Stipules deltoid .... 3
b. Stipules triangular ...... 5
3.a. Calyx of pistillate flowers connate
. 2. K. frutescens
b. Calyx of pistillate flowers subconnate .. 4
4.a. Filaments subulate, curveted;
sepal of pistillate flowers with an
aristate apex, stigma filamentose
.. 3. K. laevigatum
b. Filaments spathulate, erected;
sepal of pistillate flowers with an
acute apex, stigma multifid
4. K. longifolium
5.a. Sepal of pistillate flowers free,
persistent 6
b. Sepal of pistillate flowers
connate, caduceus .. 8
6.a. Sepal of pistillate flowers cordate,
apex of stigma antennate;
indumentum of fruits with stellate
hairs 5. K. cordisepalum
b. Sepal
of
pistillate
flowers
elliptical, apex of stigma bifid or
antennate; indumentum of fruits
tomentose .. 7
7.a. Sepal of pistillate flowers with
glands;
stigma
antennate;
indumenta of leaf with stiff hairs
in a rosette 6.
K. brevipes var. stenosepalum
b. Sepal of pistillate flowers no
glands, stigma bifid; indumentum
of leaf with stiff single stellate
hairs 7.
K. brevipes var. brevipes
8.a. Sepal of pistillate flowers with 9
lobes,
apex
acute,
stigma
coralliform .. 8. K. bantamense
b. Sepal of pistillate flowers with 6
lobes, apex obtuse, stigma
Figure 7. K. bantamense Hassk. A. twig with inflorescences; B. calyx of
multifid . 9.
staminate flower; C. staminate flower; D. pistillate flower; E. frit; F. opened fruit;
K. homalifolium
G. seed with brown dots (after Forbes 1532, BO).

MUZAYYINAH et al Koilodepas in Malesia

57
ovary, 2-2.25 by c. 2 mm, 9-lobed,
with densely stellate hairs, apex
acute, sometimes with glands
between the lobes; ovary 2-3 by
2-2.5 mm, stigmas 6, 1.5-2 by c. 4
mm, coralliform; style absent;
densely stellately to tomentosely
hairy. Fruit; globose c. 1.4 by 1.5
cm, outside smooth; mesocarp,
2.5 mm thick. Seed sub globular,
c.1 by 1 cm.
Distribution.
West
Java:
Banten,
Pelabuhan
Ratu;
Sumatra:
Lampung;
North
Sumatra: Sibolangit (Figure 9).
Habitat: primary forest, alt:
350-500 m asl.
Note: Specimens of Lorzing
5092, 5615, 16329 have abnormal
form of flowers. Both the
staminate and pistillate flowers
have 7 or 9 interested calines on
one axis. This phenomenon may
be caused by insect damage,
similar
to
Myrsine
avenis
(Sunarno in Sunarti, 1987).

Koilodepas brevipes Merr.


Koilodepas brevipes Merr.,
Philipp. J. Sci. 30 (1926) 80; Airy
Shaw, Kew Bull. 14 (3) (1960)
389. Kew Bull. Add. Ser 4 (1975)
Figure 8. K. bantamense Hassk. A. twig with abnormal inflorescence; B.
138
Type: D.D. Wood 1291 (BOabnormal spike (after Lorzing 5615, BO).
holo, K-iso), Borneo (Figure 11.).
Shrub to tree, up to 10 m; dbh
up to 20 cm, bark rough. Leaves:
Tree. Branches smooth, densely covered with
stellate hairs. Leaves: stipules 4-5 by 0.5 mm, stipules subulate, 5-12 by c. 1 mm, margin entire,
subulate, erect, outside with grooves, covered with apex aristate to acuminate; petioles 2-10 by 1.5-3
stellate hairs, margin serrate, apically aristate; mm, covered with dense short stellate hairs; lamina
petioles 6-8 by 1.2 mm, sulcatus, densely with stellate elliptical to above; 10-33 by 3.5-9 cm; coriaceous;
hairs. Lamina elliptical, recurved, 8-22.5 by 1.8-5 cm, basally attenuate, with 3-7 pairs of glands; margin
subcoriaceous; base obtuse to acute, with two glands dentate to serrate; glands in every apex of nerves the
on lower surface; margin dentate but basally entire; margin, apex caudate; upper surface glabrous, lower
glands in every tooth; apex acuminate to cuspidate, surface scabrous, densely covered by long and short
upper surface glabrous; lower surface scabrous, with
minute stellate hairs; venation on both sides,
especially basally, nerves 12-14 pairs, submarginally
looped, veins scalariform. Inflorescences 5-8 cm long;
with the two or three spikes together; bracts,
subulate, 1-5 mm long, glabrous, margin entire, apex
acuminate; staminate part, sub globular, c.2 by 2.5
mm, consisting of 7-25 flowers. Staminate flowers:
bracts. ovate c. 1.4 by 0.3 mm, ovate, glabrous,
margin entire; calyx 3-4 lobed, tube c. 0.4 by 1 mm;
lobes c. 0.85 by 0.35 mm, smooth, apex acute;
Stamens (3) 4 or 5 (6); filaments 0.9-1.5 mm long,
androphore 0.3-0.6 mm long, spathulate, pistillode c.
0.1 mm long. Pistillate flowers: pedicles 0.4-0.6 mm
longs, sometimes sessile, glabrous; bract ovate. c.
1.0 by 0.3 mm, glabrous, apex acute; calyx enclosing Figure 9. Distribution map of K. bantamense Hassk.

58

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60

stellate hairs; nerves 11-14 on


either side, arching at apex,
submarginally
looped,
veins
scalariform. Inflorescences: spikes
up to 10 cm long; at the base of
rachis 1-3 pistillate flowers; bracts
cuneate, 0.7-1 mm, densely
covered with stellate hairs, apex
acute; 2 glands at the base;
staminate
glomerulus,
subglobose, c.2 by 2 mm,
consisting
of
6-10
flowers.
Staminate
flowers:
bracts
cuneate, apex acute, densely
civered with stellate hairs; calyx
tube 0.5-0.7 mm long, lobes 3,
0.2-0.5 mm long, apex acute;
densely with stellate hairs;
stamens 4-7; filament 1-2.25 mm
long, basal connate, terete,
androphore 0.1-1.75 mm long;
pistillode 0.2-0.8 mm long.
Pistillate
flowers:
bracts
1,
cuneate, 0.5-1 by 1.5-2 mm long.
Apex acute to acuminate, mostly
glands at base; calyx 609 lobed,
likes elliptical, 2-15 by 1-2 mm;
covered with stellate hairs; glands
at base. Ovary c. 2 by 2 mm; style
1-3 mm long, terete, covered with
stellate hairs; stigmas 3, 0.5-8 mm
long, antennate or multifid. Fruit,
globular c. 2 by 5 mm, smooth,
Figure 11. K. brevipes var brevipes; A. twig with inflorescences; B. staminate
flower; C. pistillate flower; E. fruit; F. seed with brown dots (after Wiriadinata 802,
shining, brown dotted.
L).
Distribution:
Kalimantan
(Borneo) (Figure 10).
Habitat. Found in primary lowland forest on dry Key identification to the varieties of K. brevipes
land, rolling hills and ridges. On sand stone, sand, 1.a. Sepals of pistillate flowers with glands at base; apex of
(yellowish) black soil, yellow red soil. Altitude 30 to
stigma antennate; indumentum of leaves with stellate
300 m asl.
hairs in rosettes .. var. stenosepalum
Vernacular names: kayu gading (Kutai); ulas
b. Sepals of pistillate flowers without at base apex of
(Malay and Suluk).
stigma bifid; indumentum of leaves with stiff single
stellate hairs .... var. brevipes

Figure 10. Distribution map of K. brevipes Merr. = K.


brevipes var. brevipes; = K. brevipes var. stenosepalum.

Koilodepas brevipes var. stenosepalum


K. brevipes var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy
Shaw, Kew. Bull. Add. Ser. 4 (1975) 138- K.
stenosepalum Airy Shaw, Kew Bull. 14 (1960) 390;
Kew Bull. 16 (1963) 356. Type: L.L. Forman 442 (BOholo; L-iso) Borneo, Belayan River, Gunung Sahari
(Figure 12.).
Leaves: petioles ungulate, 3-6 by 1-3 mm; lamina
elliptical, c 0-33 by 4-9 cm; base attenuate; margin
dentate; apex caudate; surface basally covered with
long stellate hairs. Inflorescences: spikes, 4-10 cm
long, staminate flowers in glomerulus 3-4 by c. 4 mm,
sessile; calyx 3-lobed; 1.5-2.5 by 0.9-1.5 mm; apex
acute; tube 1-1.5 by c. 1 mm, lobes c. 1 by 1.5 mm,
densely covered with stellate hairs; stamens 4-6;
androphore 0.5-1.75 mm long; filament 1.9-2.55 mm

MUZAYYINAH et al Koilodepas in Malesia

Figure 12. K. brevipes var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy Shaw. A. twig with
inflorescences; B. calyx of staminate flower; C. staminate flower; D. pistillate
flower; E. fruit; F. opened fruit; G. seed (A,E,F,G: after L.L. Forman 442, BO; C,D:
after Kostermans 13949, BO,L)

59
Pflanzenr. IV. 147. VII (1914) 255;
XIV (1(19) 35; Merr., J. As. Soc.
Str. Br. (1921) 343. Ptychopyxis
frutescens (Blume) Croizat, J.
Arnold Arb. 23 (1942) 49. Type:
G. Pomathus s.n. (L-holo) Borneo,
Banjarmasin (Figure 14.).
Small tree up to 12 m high,
dbh 20-50 cm; bark rough.
Leaves: stipules cuneate to
subulate, 3-5 by 0.5-1 mm, margin
entire or serrate, apex aristate;
petioles 5-13 by 1-2.5 mm;
lamina: elliptical to ovate, 8-17.5
by 2.5-5.5 cm, subcoriaceous,
base cuneate; margin entire to
serrate, apex acute; both surface
glabrous;
nerves
9-15,
submarginallly looped, secondary
and tertiary veins scalariform.
Inflorescences: spikes or simple
panicles, with 3-5 rachises, 7-13
cm long. Staminate glomerulus
sub globular, 2-2.5 by 1.5-3mm,
with 10-20 flowers; bract cuneate,
1-2 by 1-1.5 mm, apex acute;
staminate flowers; tube 1.7-2 by
1.7-1.8 mm, lobes 0.5-0.6 mm
long, membranaceous, densely
stellate hairy; stamens 4-5;
androphore 0.1-0.5 mm long;
filaments spathulate, 0.5- 2 mm
long; pistillode 0.2-0.3 mm long.
Pistillate flower: densely stellately
to tomentosely hairy; bract 3 and
2 bracteoles, 1,2-4 by c. 2 mm,
bracteoles very short, cuneate,
margin entire, apex acute, densely
tomentose; calyx 7-lobed, tube c.
4 by 3 mm; apex obtuse; ovary 33.5 by 2.5-3 mm, densely
tomentose; styles absent; stigmas
6, coralliform, 4 by 3 mm,
caduceus. Fruit: c. 1.5 by 1.9 cm;
peduncle 5-6 by 2.5-3 mm;

long; pistillode 1-1.2 mm long, apex bifid. Pistillate


flowers: sessile; calyx persistent; tube with the top
distinctly segment, subulate; 6-9-lobed; 10-15 by 11.5 mm, covered with stellate hairs, glands at base;
ovary c. 2 by 2 mm; style terete, 1-4 mm long;
stigmas 3, 1.8-8 mm long, antennate or multifid. Fruit:
c. 1.5 by 1.5 cm. Seed sub globular, c. 1 by 1.2 cm.
Koilodepas frutescens (Blume.) Airy Shaw
K. frutescens (Bl.) Airy Shaw, Kew Bull. 14 (3)
(1960) 385; Airy Shaw, Kew Bull. Add. Ser. 4 (1975)
138. Airy Shaw, Calpigyne frutescens Blume, Mus.
Bot. Lugd. Bot. 2 (1956) 193; Mull.Arg. in DC., Prodr.
15 (2) (1866) 1255; Pax & K. Hoffm. In Engl.,

Figure 13. Distribution map of K. frutescens (Blume) Airy


Shaw.

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 52-60

60

mesocarp 2.5-2.8 mm thick; inside


smooth, densely tomentose. Seed
sub globular, c. 1.6 by 8 mm.
Distribution. N. Sumatra (Aceh)
and N. & N.E; Borneo (Figure
13.).
Habitat: Primary forest, hill top,
blackish soil, dry land; rolling hill,
yellow-red loamy soil. Alt: 80-600
m asl.

ACKNOWLEDGEMENTS
The first author (M) would like
to express her gratitude to Prof.
Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., for the
use of research facilities in the
Post Graduate Programme, the
Bogor Agriculture University and
Dr. Johanis P. Mogea, Director of
the Herbarium of Kew (K), and
Director of the Rijksherbarium/
Hortus Botanicus Leiden (L) for
sending specimens on loan. She
was under deep obligation to Prof.
Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., Prof.
Dr. Mien A. Rifai and Dr. Johanis
Figure 14. K. frutescens (Blume) Airy Shaw A. twig with inflorescences; B. calyx
P. Mogea under whose supervisor
of staminate flowers; C. staminate flower; D. pistillate flower; E. fruit; F. opened
fruit; G. seed (A,E,F,G: after de Wilde 20317. L; B, C, D: after Pomathus s.n. L).
this study has been carried out.
She was also very grateful to Dr.
Peter
van
Walzen
(Rijksherbarium, Leiden) for some
constructive discussions and valuable assistance as Croizat, L. 1942. Euphorbiaceae from the far East. Journal of the
Arnold Arboretum 23: 45-67.
well as criticism freely given during the course of this Hasskarl, J.K. 1856. Bot. Zeit. 14:802.
study and writing of the manuscript. Moreover, She Hasskarl, J.K. 1858. Hortus Bogoriensis Descriptus Amstelodami.
Sumptibus F. Gunst.44-50.
had to thank Mintoro Priyadi, M.Si for preparing
media and picture setting, and Drs. Sukarna MA, Hasskarl, J.K. 1859. Revisio Euphorbiacearum, quas nuper in
Retzia et Horto Bogoriensis Descriptio. Bull. Soc. Bot. Fr. 6:
Director of the Education Science Institute in Medan
712-719.
for continously, encouraging her in this study.
Hooker, J.D. 1890. Flora of Britis India. East Indian Compagny. 5:
REFERENCE
Airy Shaw, H.K. 1960. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew
Bulletin 14 (3): 381-391.
Airy Shaw, H.K. 1963. Note on Malaysian and other Asiatic
Euphorbiaceae. Kew Bulletin. 16: 352-370.
Airy Shaw, H.K. 1969. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew
Bulletin. 23: 82-89.
Airy Shaw, H.K. 1975. The Euphorbiaceae of Borneo. Kew Bulletin.
Additional Serie 4: 137-149.
Airy Shaw, H.K. 1981. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew
Bulletin. 36 (3): 609-615.

419.
Merrill, E.D. 1916. Euphoebiaceae. The Philippines Journal of
Science11: 66.
Merrill, E.D. 1926. Euphoebiaceae. The Philippines Journal of
Science30: 67-81.
Pax and Hoffm, K. 1914. Das Pflanzenreich IV. 147. VII: 269
Rifai, M.A. 1976. Sendi-sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi
Nasional- LIPI.
Smith, J.J. 1910. Euphorbiaceae. In: S.H. Kooders & Th. Valeton
(eds): Bijdrage 12 Tot de kennis der boomsoorten op Java.
Meded. Dep. Landbouw 10: 379-383.
Sunarti, S. 1987. Anatomi daun dan Taksonomi duku, kokosan dan
pisitas. Floribunda. 1 (4): 1-3.
Whitmore, T.C. 1973. Tree Flora of Malaya. 2: 34-105
Webster, G.L. 1994. Systematics of the Euphorbiaceae. Annals of
Missouri Botanical Garden 81 (11): 79.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 61-65

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Study of Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. Species


Commercial Values and Possible Utilization
1

TITI KALIMA1,, JASNI2


Forest Botany and Ecology, Center for Forest and Nature Conservation and Research Development, Bogor 16610.
2
Wood Anatomy, Center for Forest Product Technology and Research Development, Bogor 16610.
Received: 12th December 2003. Accepted: 17th May 2004

ABSTRACT
The selection of appropriate rattan for a certain use must be based on adequate information about its potency, anatomical
structure, and chemical properties. Standards methods of inventory development by Curtis method was used to obtain data
on its density and frequency. To know the anatomical structure of preparation were made according to Schultze method
and microtome preparation according to Staining Paraffin Section with Safranin. While to know the chemical component of
rattan stem the analyzed by Standard Industry Indonesia procedures. Calamus occidentalis is one among other Java rattan
species which its distribution is limited in the area of Ujung Kulon National Park, West Java. C. occidentalis may be utilized
for various purposes based on the following characteristics: species density of 21 cane/ha; and anatomical structure: fiber
length of 2204 m, fiber-wall thickness of 4.26 m, vascular bundle diameter of 812.5 m, metaxylem diameter of 293.75
m, proxylem diameter of 43.5 m, and phloem diameter of 37.5 m. Its chemical components are cellulose (49.95%),
lignin (22.39%), and air-dry moisture (12.27%). Based on the above information, C. occidentalis rattan species possibly
can be used as an alternative substitute of Calamus manan, an endangered rattan species, because several properties of
C. occidentalis has similar with that of C. manan.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: commercial-value, possible utilization, Calamus occidentalis.

INTRODUCTION
The technology development on the utilization of
rattan and on the other hand the increasing demand
of manau rattan species as raw material caused the
attention directed to the utilization of the species
which has sufficient potency and prospect in the
future. One of the rattan species which can be
categorized as a substitute and can be developed as
a potential commodity is Calamus occidentalis.
C. occidentalis is one among other Java rattan
species which its distribution is limited in the area of
Ujung Kulon National Park, West Java (Witono and
Dransfield, 1998). Belong to Family of Arecaceae,
and more recognized as solitary rattan (rotan
tunggal).This rattan species are grown in lowland up
to the elevation of 300 m asl (above sea level). If we
look at its contribution on human need, almost all part
of this rattan species are very beneficial, such as:
canes, leaves, fruits and its palm- pith can be utilized.
The properties of C. occidentalis stem in relation
with the possible utilization has to be known through
Alamat korespondensi:
Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia.
Tel. +62-251-633378, Fax. +62-251-633417.
e-mail: kalima@forda.org.

information on the anatomical aspect, large proportion


of fibers are found to be concentrated in the outer
portion of the cane with the inside portion composed
mostly of parenchyma; and chemical properties. The
anatomical structure of C. occidentalis rattan cane
has similarity to that of Calamus manan, so that it can
be used as alternative substitute. The utilization of
solitary rattan still needs further assessments, such
as on: physical-mechanical properties, durability, and
its processing method. In line with those mentioned
above, this paper present several important
information to develop the utilization of C. occidentalis
a multipurpose plant species.
The role of rattan as export commodity and
producer of foreign exchange are still important and
significant. The problem faced recently is how to
maintain the raw material continuity of this
commodity, in order remain as advantageous natural
resources. So far C. occidentalis, become excellent
for people surrounding forest area, because this
rattan considered as sacred rattan. Where the
activities of people who lives far from the forest area,
utilized the natural resources as their livelihood
especially as the hunter of this rattan species. This
activity has disturbed to Ujung Kulon National park
area, since long time ago, and the damage are
increasing seriously. Resulting in disappearance of

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 61-65

62

the biotic in this ecosystem. The main problem in this


matter is the method how to maintain this solitary
rattan not disappears.

MATERIAL AND METHOD


Deciding sample plot
To obtain the primary data from C. occidentalis
species, a thorough exploration and collection of all
rattan species material both fertile and sterile were
executed. Data collection was conducted during
period of August 1997. The forest condition in this
area remains good. Continuous plot transect was
adopted, 2 transect within 1 km distance. A sample
plot of 10m x 10m size was established in each
transect and resulting in a total of 200 plots with total
areas of 2 ha. Rattan data consisting of species and
number of stem were recorded in tally sheet and
analyzed using Curtis method (Mueller-Dumbois and
Ellenberg, 1974). Each of collected herbarium specimens was processed using alcohol. The identification
for scientific name had been conducted in Herbarium
Botany of Forest and Nature Conservation Research
and Development Center,
and Herbarium Bogoriense.
All data recorded were
tabulated
and
further
analyzed to describe the
rattan potency. The formula
adopted for the calculation
are: (i) Density: number of
individual per area unit, (ii)
Frequency: the percentage
of existing plant in the
experimental plots without
considering the number of
the individual.
Determining the
microscopic properties
To know the anatomical
structure of C. occidentalis
species two kinds of
preparation were made to
determine its microscopic
properties.
Maserasi
preparation
was
made
according
to
Schultze
method and microtome
preparation according to
Staining Paraffin Section
with Safranin (Mandang
and Rulliyati, 1986). While
to know the chemical
component of rattan stem
the analyzed by Standard
Industry Indonesia (SII)
procedures (Anon., 1981).

RESULT AND DISCUSSION


To obtain the information on the possible utilization
of C. occidentalis stem, has to be supported by
adequate either data or information. Following are
data on:
Morphological characteristics
Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf.
Local name: rotan tunggal, rotan keramat (Sundanese)
Description: Solitary high climbing rattan with
stems up to 100 m height, looping in lower part of
stem. Stem without sheaths 2 - 3 cm in diameter, with
sheaths up to 4 - 7 cm in diameter; internodes
between 18-30 cm lengths. Leaf sheaths green when
fresh, drying brownish green, covered in caduceus
brown indumentums, and armed with short black
irregularly arranged spines, to 14 mm length by 2 mm
width at the base. Knee conspicuous. Ocrea illdefined. Leaves cirrate to 244 cm length including
cirrus; cirrus up to 150 cm length with brown claws;
petiole about 2.7 cm length. Leaflets up to on each
side rachis, regularly arranged, lanceolate, apex
acuminate, base acute, middle longest about 15-34

Figure 2. Calamus occidentalis. a. leaf sheath, b. petiole, c. portion of rachis with leaflets,
d. cirrus, e. first branched of inflorescence, f,g. young fruit (Dransfield 1437 & Kalima 37).

KALIMA and JASNI Study of Calamus occidentalis

cm length by 3-6 cm width, the surfaces concolours,


green when fresh, drying yellowish green, mid and
marginal veins on adaxial surface armed with black
bristles, secondary parallel veins very thin.
Inflorescence eflagellate, branched to 3 orders,
partial inflorescence up to 17, the longest to 62 cm
length; rachis branch tightly tubular, to 9 x 1.6 cm,
rachillae to 22 mm length, sessile, basally enclosed
by the branch, with ca 12-15 flowers on each side;
rachilla bracts and bracteoles explanate, with dentate
margins and bearing sparse brown scales. Fruit
globose-ovoid, 17-19 x 12-15 mm, covered in 15
vertical rows of straw colored scale. Seed ca 10 mm
diameter, irregularly pitted and warded; endosperm
deeply ruminate, embryo basal.
Habitat: lowland forest, primary and secondary
forest, alluvium soil, volcanic soil, rocky, at the
altitude of 200 m above sea level.
Distribution: West Java and endemic at Ujung
Kulon National Park (Cibandawaoh, Cibunar, Cidaon,
and Mount Payung), (Figure 1a, b).
The specimen observed: Ujung Kulon Nature
Reserve: J. Dransfield 1437, 1438, 1485, N 1971;
2529, 15, VI (fertile). Ujung Kulon National Park: T.
Kalima 37. 11 August 1997 (sterile) (Figure 2).
Research results of Kalima (1999 and 2001) stated
that solitary rattan has a good prospect, so it can be
expected as structural material, handicraft, etc.
Figure 1a. Young plant of C. occidentalis

Potency of C. occidentalis rattan species


The population density for each species are
various while C. occidentalis has a relatively low
density (20 stem/ha, and 23 stem/ha). This evidence
showed that C occidentalis existence and distribution
in the Park areas are very low or rare (Kalima, 2001).
However, C. occidentalis population and its
existence in this area are threatened due to human
disturbance such as uncontrolled extraction by
community. According to recent observation, the
solitary rattan species in this Park has a relatively well
and good potency among of other things, it is
believed as a holy rattan and it has a high economic
value. During research study there were a great
number of people from far distance areas visiting this
holy place, most of them coming by foot to Sanghiang
Sirah, which is located near Mount Payung areas.
They were not only visiting and praying but also
seeking and collecting C. occidentalis which is
believed as a holy one and has a magical power. This
kind of manner is obviously resulted in a continuous
and drastically decreases of the respected species
due to its intensive extraction. In addition, this kind of
rattan considered as a rare one and has limited
distribution in this area or else called as an endemic
species.
Based on its strength and durability analysis, C.
occidentalis are closed to C. manan. It has a relatively
good bending strength properties and powerful as well.
This species considered as a potential one and can
play a significant role in ethno botanic field of study.

Figure 1b. Mature plant of C. occidentalis

63

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 61-65

64

Anatomical structure of rattan


Several results of investigation on anatomical
structures of rattan are presented in Table 1.
Metaxylem is a xylem with the biggest diameter,
has a function as the duct for mineral nutrient from
roots to leaves. Based on the observation results on
one vascular bundle there is only one metaxylem.
Protoxylem is a xylem which is form firstly in a
newly grown internodes, its diameter generally are
smaller than metaxylem (Figure 3 a, b). In the radial
section one can see that cell wall of protoxylem are
spiral form which rolled up densely, this is the factor
why rattan generally easy to bend. Phloem are
existed in vascular bundle has a similar parenchyma
distribution pattern i.e. in one vascular bundle always
exist two phloem, in left side and right side of
metaxylem (Figure 3 a, b). Anatomical structure of
rattan stem which is tightly related with the durability
properties of rattan, the size of pores (metaxylem,
phloem, and basic parenchyma, if the anatomical
structure is big, rattan is less durable because it is
easy to attack by insect and laid their eggs, and hatch
there, rattan will be attacked by these insect.
Research results of Jasni and Supriatna (1999),
informing that manau rattan are resistant to the attack
of destroying insect, so this rattan is categorized into
Resistance Class/Susceptibility I (very resistant).
Rattan destroying insect is called powder post beetle,
the species is Dinoderus minutus Farb. Observation
showed that the pores or the size of metaxylem,
phloem of C. occidentalis rattan are almost similar to
that of rotan manau; this is means that the resistance
of C. occidentalis is also the same.
The fiber length and fiber-wall thickness are the
most important parameter in determining the strength
of rattan. The longer the fiber and the thicker the
fiber-wall, the higher its strength and the heavier the
rattan. Fiber length and fiber-wall thickness are
supporting its mechanical properties (Bhat and
Thulasidas, 1993; Rachman, 1996). Research results
of Rachman (1966) stating that C. manan rattan, is
the best rattan species and easy to bend, and this
species is the most salable in market. But, C. manan
is rarely now.
Table 1. Anatomical structure of two rattan species

Scientific
name

Metoxylem
diameter
(m)

Proxylem
diameter
(m)

Phloem
diameter
(m)

C. occidentalis
C. manan

293.75
228.2

43.5
37.5

37.5
40.2

Figure 3a. C. occidentalis. Vascular bundles with one two


phloem fields (P), one mataxylem vessel (M), protoxylem
(R), fiber sheaths (F), and ground parenchyma (G), cross
section.

Figure 3b. C. manan. Vascular bundles with one two


phloem fields (P), one metaxylem vessel (M), protoxylem
(R), fiber sheaths (F), and ground parenchyma (G), cross
section.

Based on the results mentioned above, where C.


occidentalis rattan has the fiber length of 2204 m,
longer than that of C. manan (1586.7 m) and fiberwall thickness of 4.26 m almost the same as that of
C. manan, so C. occidentalis rattan species probably
can be utilized as an alternative
to substitute C. manan rattan
species which rarely found in
natural forest (Figure 3a, b).
Fiber

Length
(m)
2204
1586.7

Thickness
(m)
4.26
5.4

Table 2. Cellulose, lignin and air-dry moisture content (%) of two rattan species.
Scientific name
C. occidentalis
C. manan

Cellulose (%)

Lignin (%)

49.95
39.05

22.39
22.22

Air-dry moisture
content (%)
12.27
13.92

Chemical composition of rattan


Other
than
anatomical
structure of C. occidentalis rattan
stem, chemical composition of
rattan is also important in
determining the strength of rattan.
Chemical content of investigated
rattan and chemical content of C.
manan as comparison are
presented in Table 2. Based on
Table 2, the chemical component
content of C. occidentalis rattan

KALIMA and JASNI Study of Calamus occidentalis

are also almost the same as that of C. manan.


Cellulose, a long chain, linear molecule of sugar is
belonging to holocellulose. Cellulose and lignin
content can correlate significantly with rattan strength.
In this regard, cellulose can contribute to the tensile
strength of rattan due to presence of strong covalent
bonds in the pyranose rings and between glucose
units of the cellulose polymer chain. Consequently,
the higher the cellulose content the stronger the
modulus of rupture of rattan. Almost similar to
cellulose content, lignin can also provide significant
strength of the rattan. Likewise, the greater the lignin
content, the stronger the bonds between fibers in
rattan (Rachman, 1996).
Based on those mentioned above, cellulose and
lignin content of C. occidentalis rattan species are a
bit higher (49.95% and 22.39%) than that of C.
manan rattan species, so this C. occidentalis rattan
species can be utilized. From the anatomical and
chemical content point of view, C. occidentalis rattan
species, can also utilized as an alternative to
substitute C. manan rattan.
Problem solving alternative
From the results mentioned before, it can be
showed that C. occidentalis rattan species can be
utilized for various requirements if supported by basic
properties of existing rattan species. If observed, the
problems and challenges are revolving on raw
material, and development plan of rattan species.
From the results mentioned before can be showed
that C. occidentalis rattan species make possible to
be utilized as an alternative to substitute C. manan.
In providing raw material, the required efforts to be
done are how to select the substitute rattan species,
so the quality tend to increase and relatively
guaranteed. In these matters, two methods have to
do. First, through the potency of existing substitute
rattan species. Second, through its several basic
properties, it is that C. occidentalis rattan species is
made possible to be utilized as an alternative for
substituting C. manan rattan. Third, through direction
of the development.
According to first method, based on the research
results on C. occidentalis rattan species from the
discussion before has a good prospect as the
substitute. Therefore, in the effort to increase the
potency of this rattan species, the development of
cultivation on the plant species becomes a
determinant matter.
In case of basic properties, the mentioned C.
occidentalis rattan species has supported the main
function of as further mechanical technology
development. In relation with the development
direction of C. occidentalis rattan species, become a
good
opportunity
for
researchers,
related
entrepreneur or NGO (non government organization).
This has to be done in the effort to prevent extinction

65

of the species, to maintain the species and stabilizing


in controlling the rattan species. To maintain the
continuity of raw material without decreasing its
function and role as advantageous raw material, the
enhancement of sustainability are required either insitu or ex-situ and also the cultivation of C.
occidentalis rattan species. Those efforts are
involving the community even institution to decide the
management system becomes a positive action which
has to be enhanced. Not less important, research has
to be enhanced continuously from species inventory
up to technology engineering on the processing
method in order to make easier in enhancing its
quality.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


C. occidentalis rattan species as one of species
which has a good potency to be developed as
substitute of manau rattan species. From data of
anatomical structure, and chemical contents, the stem
of C. occidentalis can be used for various possible
utilization. Fiber cell proportion, fiber length which is
relatively long, high cellulose lignin content, it make
possible and fulfill condition as an alternative material.
In line with the development of the C. occidentalis
rattan species, the physical properties, mechanical
properties, etc. of known rattan species has
reinvestigated as a substitute species.

REFFERENCES
Anonymous. 1981. Standard Industri Indonesia. Cara Uji Kadar
Lignin Kayu dan Pulp. Jakarta: Departemen Perindustrian
Republik Indonesia. SII-0578-1981.
Bhat, K.M.N. and P.K. Thulasidas, 1993. Anatomy and
identification of South Indian rattan (Calamus sp.). IAWA
Journal 14 (1): 63-76.
Jasni and N. Supriatna. 1999. The resistance of eight rattan
species against the powder post beetle Dinoderus minutus
Farb. Proceeding of the Fourth International Conference of
Wood Science, Wood Technology and Forestry, Missenden
th
th
Abbey. 14 -16 July. Wycame-England: Forest Products
Research Centre, Buckinghamshire Chilters University College
Hight Wycame.
Kalima, T., 1999. Kunci identifikasi 17 jenis rotan untuk kawasan
Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian
Hutan 618: 31-64.
Kalima, T., 2001 Taksonomi dan Potensi jenis rotan Endemik
(Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransfield) di Taman
Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan
625: 43-48.
Mandang,Y.I dan S.Rulliyati. 1986. Anatomi Dolok. Diktat Kursus
Pengujian Rotan. Angkatan I. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan.
Mueller-Dombois,D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.
Rachman, O. 1996. Peranan Sifat Dasar terhadap Perilaku
Elastoplastisitas
Rotan.
[Dissertasi].
Bogor:
Program
Pascasarjana IPB.
Witono, J.R. and J. Dransfield. 1998. A new species of Calamus
(Palmae) fom Java. Kew Bulletin 53 (3): 747-751.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 66-70

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Deskripsi Jenis-jenis Anggota Suku Rhizophoraceae di Hutan


Mangrove Taman Nasional Baluran Jawa Timur
Species description of Rhizophoraceae family in mangrove forest at
Baluran Nasional Park East Java
SUDARMADJI
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember, Jember 68121
Diterima: 10 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
Research about species description of Rhizophoraceae family in mangrove forest at Baluran National Park was conducted
from June to October 2003. The method were plot and survey. There were nine species of Rhizophoraceae. The species at
mangrove were Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora apiculata, R.
lamarckii, R. mucronata, and R. stylosa. In addition, the number species of Rhizophoraceae family in the mangrove forest at
Baluran National Park were more completely than another places, because it was found more than 75 percent species of
Rhizophoraceae.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Rhizophoraceae, mangrove forest, Baluran National Park.

PENDAHULUAN
Di Taman Nasional Baluran, keberadaan hutan
mangrove tersebar hampir di seluruh pesisir kawasan
tersebut. Hutan mangrove relatif mendominasi hutan
pantai taman nasional ini (Sudarmadji, 1998; 2000).
Secara umum, hutan mangrove mempunyai fungsi
sebagai penghalang terjadinya erosi, ombak, dan
angin besar. Di samping itu, hutan mangrove
mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi fisik, fungsi
biologis, dan fungsi ekonomi. Jika ditinjau dari fungsi
fisiknya, kehadiran hutan mangrove adalah berfungsi
sebagai penghalang datangnya ombak dan angin,
karena letaknya yang ada di tepi pantai, sedangkan
dari fungsi biologis kehadiran hutan mangrove
berfungsi untuk membantu proses pemijahan dan
sebagai tempat asuhan bagi ikan dan hewan laut
lainnya, dan dari fungsi ekonomi hutan mangrove
banyak menghasilkan berbagai sumber ekonomi,
misalnya kayu, tanin, rayon, dan lain-lain (Tomlinson,
1986).
Berdasarkan vegetasi penyusunnya, hutan
mangrove dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu
hutan mangrove utama (major mangrove), yaitu hutan
mangrove yang tersusun atas satu jenis tumbuhan
Alamat korespondensi:
Jl. Kalimantan III/25, Jember 68121.
Tel.: +62-331-334293. Fax.: +62-331-330225.
e-mail: sdji@telkom.net

saja; hutan mangrove ikutan (minor mangrove), yaitu


mangrove yang terdiri atas jenis-jenis campuran; dan
tumbuhan asosiasi (associated plants), yaitu berbagai
jenis tumbuhan yang berada di sekitar hutan
mangrove yang kehidupannya sangat bergantung
pada kadar garam, dan kelompok tumbuhan ini
biasanya hidup di daerah yang hanya digenangi air
laut pada saat pasang maksimum saja (Tomlinson,
1986). Vegetasi penyusun hutan mangrove yang ada
di Indonesia ini tergabung dalam 37 suku tumbuhan,
yang terdiri atas pohon (14 suku), perdu (4 suku),
terna (5 suku), liana (3 suku), epifit (10 suku ), dan
parasit (1 suku). Untuk suku Rhizophoraceae, yang
semua anggotanya terdiri atas pohon meliputi
Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B.
sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Kandelia
candel, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan R.
stylosa (Kartawinata dkk., 1978), dan ada 22 suku di
antaranya terdapat di hutan mangrove Taman
Nasional Baluran, dengan suku Rhizophoraceae yang
mempunyai
jenis
paling
banyak
jumlahnya
(Sudarmadji, 2000).
Pertumbuhan setiap jenis tumbuhan akan
menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya,
sehingga morfologi yang terjadi akan berbeda antara
satu tempat dengan tempat yang lain (Steenis, 1958
dalam Kartawinata dkk., 1978). Oleh sebab itu,
morfologi tumbuhan mangrove yang terdapat di
Taman Nasional Baluran adalah khas untuk tempat
tersebut, mengingat kondisi lingkungannya berbeda

SUDARMADJI Mangrove di TN Baluran

pula. Dengan demikian tumbuhan mangrove di


daerah tersebut mempunyai deskripsi morfologi yang
berbeda pula (Sudarmadji, 1998).
Telah banyak penelitian yang dilakukan di
kawasan hutan mangrove Taman Nasional Baluran,
namun yang mencakup deskripsi (pertelaan) dari
masing-masing jenis dan khususnya seluruh jenis
yang tergabung dalam suku Rhizophoraceae belum
pernah dilakukan. Atas dasar hal itulah, maka tulisan
ini bertujuan untuk mengungkapkan deskripsi
(pertelaan) dari species tumbuhan penyusun suku
Rhizophoracea yang terdapat di hutan mangrove
Taman Nasional Baluran.

Gatel

67

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di seluruh kawasan hutan
mangrove yang ada di Taman Nasional Baluran, yang
meliputi daerah Pantai Uyahan, Si Runtoh,
Popongan, Batu Sampan, Kelor, Bama, Kajang, Si
Rondo, Si Macan, Bilik, dan Gatel (Gambar 1.).
Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu
pada bulan Juni-Oktober 2003.

Bilik

Merak

Sirondo
Simacan

Balanan

Bekol

Gunung Baluran

Gambar 1. Daerah penelitian di Taman Nasional Baluran.

68

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 66-70

Alat dan bahan


Alat yang digunakan meliputi peta rupa bumi digital (Bakosurtanal, 2001), kompas prismatik, GPS, rol
meter, kantong plastik, gunting ranting, pres tumbuhan, tali rafia, tali plastik, tiang pancang, blangko
pengumpul data, penggaris, loupe 10 x, alat tulis
menulis, dan buku identifikasi. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi alkohol 70%, kertas
label, kertas koran, karet gelang, dan isolasi plastik.
Teknik pengambilan spesimen
Spesimen dikumpulkan menggunakan metode plot
dan metode jelajah. Metode jelajah ini dilakukan
sebagai pelengkap untuk mendapatkan spesimen
yang tidak ditemukan dengan metode plot. Kedua
metode ini dapat dilakukan di masing-masing lokasi,
yang hutan mangrovenya tidak terlalu luas, sehingga
diharapkan spesimen yang dikumpulkan menjadi
lebih lengkap (Sudarmadji, 1998).
Di setiap lokasi dibuat tiga buah transek yang
masing-masing tegak lurus terhadap garis pantai, dan
setiap transek dibuat plot dengan ukuran 10 x 10 m,
yang letaknya berselang-seling sepanjang transek
yang telah dibuat. Jarak antara plot yang satu dengan
plot lainnya adalah 25 m, sedangkan jarak antara
transek yang satu dengan lainnya adalah 100 m. Tiap
transek dibuat sejauh (setebal) hutan mangrove yang
ada, sehingga jumlah plot yang dapat dibuat pada
setiap transek sangat bergantung pada tebal tipisnya
hutan mangrove yang ada di setiap lokasi penelitian.
(Cox, 1974; Mueller-Dombois dan Ellenberg. 1974).
Cara pengumpulan data
Data dikumpulkan dengan mengidentifikasi setiap
spesimen jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan,
karakteristik masing-masing spesimen diamati
dengan menggunakan loupe yang berukuran 10 x.
Semua data yang berupa ciri karakteristik tersebut,
dimasukkan ke dalam blangko pengumpul data yang
telah disiapkan (Cox, 1974).
Analisis data
Data yang telah terkumpul dari lapangan,
kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari masingmasing jenis tumbuhan dan herbarium yang telah
teruji validitasnya. Buku rujukan utama yang digunakan untuk mengidentifikasi spesimen dari lapangan
adalah karya Ashton (1988); Backer dan Bakhuizen
v.d. Brink, Jr. (1963); Chapman (1976); Ding-Hou
(1958); Fernando dan Pancho (1980); Kitamura et al.,
(1997); Noor dkk. (1999); dan Tomlinson (1986).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan
dengan teknik plot dan teknik jelajah, serta identifikasi
menggunakan berbagai referensi sebagaimana telah
disebutkan di atas; diketahui bahwa suku
Rhizophoraceae memiliki tiga marga dengan
sembilan jenis, sebagaimana pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis-jenis anggota suku Rhizophoraceae di


Taman Nasional Baluran.
No.

Jenis

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Bruguiera cylindrica (L.) Lamk.


Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.
Bruguiera sexangula (Lour.) Poir.
Ceriops decandra (Griff.) Ding-Hou
Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob.
Rhizophora apiculata Blume
Rhizophora lamarckii Montr.
Rhizophora mucronata Lamarck
Rhizophora stylosa Griff.

Deskripsi dari masing-masing jenis


ditemukan tersebut adalah sebagai berikut.

yang

Bruguiera cylindrica (L.) Lamk.


Perawakan: pohon kecil, tinggi dapat mencapai 4
m, batang silindris, kulit luar batang berwarna abuabu,
relatif
halus
dengan
sedikit
lentisel.
Percabangan biasanya monopodial. Daun: tunggal,
letak berlawanan, permukaan atas hijau muda,
bentuk bulat panjang, ukuran panjang 8-10 cm,
tangkai daun 3-4,5 cm. Karangan bunga: terletak di
ketiak daun, tersusun atas 3 bunga, bunga kecil
ukuran 8-10 mm, panjang tangkai 8 mm, mahkota
berwarna putih, kelopak 8, hijau kekuningan. Buah:
ukuran 5-10 mm, hipokotil silindris dengan sedikit
bengkok pada bagian ujungnya, warna bagian
pangkal hijau dan bagian ujung sedikit ungu
kecoklatan, panjang 10-15 cm, diameter 0,5 cm.
Akar: papan yang pendek. Habitat: pada daerah
sedikit tanah liat, dan kadangkala pada daerah yang
sedikit berbatuan (Ashton, 1988; Backer dan
Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; DingHou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et
al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986).
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.
Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 20 m,
kulit kayu abu-abu kehitaman, kasar, berlenti sel dan
bercelah. Daun: tunggal, permukaan hijau tua,
permukaan bawah hijau kekuningan, tulang daun
kadangkala berwarna kemerah-merahan, tersusun
berlawanan, ujung runcing, bentuk elip sampai bulat
panjang, ukuran panjang 8-15 cm, lebar 4-6 cm.
Bunga: soliter, terletak di ketiak daun, kelopak
berjumlah 10-14, bentuk genta, warna merah sampai
merah muda, mahkota runcing dan sedikit pendek
dari kelopak, benangsari berpasang-pasangan dan
melekat pada daun mahkota. Buah: bulat, diameter
1,5-2 cm, hipokotil halus, mirip cerutu, berwarna hijau
tua sampai ungu kecoklatan, ujung tumpul, panjang
7-15 cm, diameter 1,5-2 cm. Akar: akar papan yang
melebar, disertai akar lutut. Habitat: tanah basah,
yang sedikit berpasir (Ashton, 1988; Backer dan
Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; DingHou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et
al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986).

SUDARMADJI Mangrove di TN Baluran

Bruguiera sexangula (Lour.) Poir.


Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 10 m,
kulit kayu kasar, berwarna abu-abu gelap. Daun:
tunggal, tersusun berlawanan, bentuk elip, ujung
meruncing, ukuran panjang 6-12 cm, lebar 3-6 cm,
warna hijau kekuningan. Bunga: soliter, terletak di
ketiak, kelopak 10-14, berwarna hijau kekuningan,
mahkota 10-11, berwarna putih dan coklat setelah
tua. Buah: bulat, diameter 1,5-2 cm, berwarna hijau
sampai ungu kecoklatan, hipokotil diamet 1-1,5 cm,
panjang 6-10 cm. Akar: akar papan yang sedikit
melebar pada bagian pangkal. Habitat: tanah basah,
yang sedikit berpasir (Ashton, 1988; Backer dan
Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; DingHou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et
al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986).
Ceriops decandra (Griff.) Ding-Hou
Perawakan: perdu sampai pohon, tinggi dapat
mencapai 3 m, kulit batang relatif halus, warna abuabu kekuningan. Daun: tunggal, letak berlawanan,
permukaan atas licin, warna hijau muda sampai tua,
ujung membulat, bentuk elip bulat memanjang,
ukuran panjang 4-6 cm, lebar 2-3 cm. Karangan
bunga: bergerombol, berjumlah 5-10 bunga, dengan
tangkai bunga pendek, terletak di ketiak daun,
kelopak 5, warna hijau , daun mahkota 5, warna putih
kecoklatan. Buah: bulat, warna merah kecoklatan,
hipokotil mirip pensil, panjang 9-15 cm, halus, beralur,
dan sedikit berbintil pada bagian ujungnya. Akar:
sedikit tampak adanya akar papan. Habitat: tanah
agak kering dan sedikit berpasir (Ashton, 1988;
Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman,
1976; Ding-Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980;
Kitamura et al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson,
1986).
Ceriops tagal (Perr.) C. B. Rob.
Perawakan: perdu sampai pohon, tinggi dapat
mencapai 3 m, kulit batang bagian bawah sedikit
mengelupas, warna abu-abu kecoklatan. Daun:
tunggal, letak berlawanan, warna hijau muda sampai
tua, bagian tepi daun seringkali melengkung ke
dalam, ujung membulat, bentuk bulat telur terbalik
sampai elip, ukuran panjang 4-8 cm, lebar 2-3 cm.
Karangan bunga: bergerombol di ujung tandan,
berjumlah 5-10 bunga, dengan tangkai bunga
panjang, terletak di ketiak daun, kelopak 5, berwarna
hijau, daun mahkota 5, berwarna putih kecoklatan,
tangkai benangsari lebih panjang dari kepala sarinya.
Buah: bulat, warna merah kecoklatan, hipokotil mirip
pensil, panjang 9-18 cm, diameter 8-12 mm, beralur,
dan sedikit berbintil pada permukaannya. Akar:
sedikit tampak adanya akar papan. Habitat: tanah liat
agak kering dan sedikit berpasir. Biasanya
berdampingan dengan C. decandra (Ashton, 1988;
Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman,
1976; Ding-Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980;
Kitamura et al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson,
1986).

69

Rhizophora apiculata Blume


Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 15 m,
batang berkayu, silindris, kulit luar batang berwarna
abu-abu kecoklatan dengan celah vertikal, muncul
akar udara dari percabangannya. Daun: permukaan
halus mengkilap, ujung runcing dengan duri, bentuk
lonjong, ukuran panjang 3-13 cm, pangkal berbentuk
baji, permukaan bawah tulang daun berwarna
kemerahan, tangkai pendek. Karangan bunga:
terletak di ketiak daun, umumnya tersusun atas 2
bunga, yang bertangkai pendek, kelopak 4, berwarna
coklat kekuningan, mahkota 4, berwarna keputihan,
putik 1 berbelah 2, panjang 0,51 mm. Buah: warna
coklat, ukuran 2-3 cm, bentuk mirip buah jambu air,
hipokotil silindris berdiameter 1-2 cm, panjang dapat
mencapai 20 cm, bagian ujung sedikit berbintik-bintik,
warna hijau keunguan. Akar: tunjang. Habitat: tanah
basah, berlumpur, berpasir (Ashton, 1988; Backer
dan Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976;
Ding-Hou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980;
Kitamura et al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson,
1986).
Rhizophora lamarckii Montr.
Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 8 m,
kulit luar batang berwarna abu-abu kecoklatan,
dengan sisik-sisik yang mudah dikupas, bercelah
dangkal. Daun: bentuk bulat panjang, ujung runcing
dengan duri, panjang 5-15 cm, permukaan bawah
berwarna kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak
merata, mirip dengan daun R. apiculata. Bunga:
karangan bunga bertangkai, panjang 1,52 cm, tiap
tangkai terdiri atas 4 bunga (jarang 2 bunga) tunggal,
mahkota 4, kelopak 4, berwarna kehijauan dan sedikit
merah. Buah: steril dan dan tidak pernah
menghasilkan buah dan biji. Akar: tunjang. Habitat:
tanah lumpur berpasir (Chapman, 1976; Kitamura et
al., 1997; Tomlinson, 1986).
Rhizophora mucronata Lamk.
Perawakaan: pohon, tinggi dapat mencapai 20 m,
kulit batang kasar, berwarna abu-abu kehitaman.
Daun: bentuk elip sampai bulat panjang, ukuran 1016 cm, ujung meruncing dengan duri (mucronatus),
permukaan bawah tulang daun berwarna kehijauan,
berbintik-bintik hitam tidak merata. Karangan bunga:
tersusun atas 4-8 bunga tunggal, kelopak 4, warna
kuning gading, mahkota 4, berambut pada bagian
pinggir dan belakang, benang sari 8. tangkai putik
panjang 12 mm dengan ujung berbelah dua. Buah:
bentuk mirip jambu air, ukuran 2-2,3 cm, warna hijau
kekuningan, hipokotil silindris berdiameter 2-2,5 cm,
panjang dapat mencapai 90 cm, dengan permukaan
berbintik-bintik, warna hijau kekuningan. Akar:
tunjang. Habitat: tanah berlumpur dalam dan sedikit
berpasir (Ashton, 1988; Backer dan Bakhuizen v.d.
Brink, 1963; Chapman, 1976; Ding-Hou, 1958;
Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et al., 1997;
Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986).

70

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 66-70

Rhizophora stylosa Griff


Perawakan: pohon, tinggi dapat mencapai 15 m,
permukaan batang berwarna abu-abu kehitaman,
bercelah halus. Daun: permukaan atas halus,
mengkilap, ujung meruncing, dengan duri, bentuk
lonjong dengan lebar bagian tengah, ukuran panjang
8-12 cm, permukaan bawah tulang daun berwarna
kehijauan, berbintik-bintik hitam tidak merata.
Karangan bunga: terletak di ketiak daun, bercabang
2-3 kali, masing-masing cabang 4-16 bunga tunggal,
kelopak 4, berwarna kuning gading, mahkota 4,
berwarna keputihan, benang sari 8, tangkai putik jelas
(stilus), panjang 0,4-0,6 cm. Buah: mirip bentuk
jambu air, warna coklat, ukuran 1,5-2 cm, hipokotil
berdiameter 2-2,5 cm, permukaan halus, panjang
dapat mencapai 30 cm. Akar: tunjang. Habitat: tanah
basah, sedikit berlumpur, berpasir (Backer dan
Bakhuizen v.d. Brink, 1963; Chapman, 1976; DingHou, 1958; Fernando dan Pancho, 1980; Kitamura et
al., 1997; Noor dkk., 1999; Tomlinson, 1986).

KESIMPULAN
Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang tergabung
dalam suku Rhizophoraceae yang ditemukan di
Taman Nasional Baluran dapat dikatakan relatif
lengkap, karena ditemukan lebih dari 75 persen
jumlah jenis dari suku tersebut. Di samping itu
ditemukan pula satu jenis mangrove, yang jarang
ditemukan di Pulau Jawa yaitu Rhizophora lamarckii
di daerah penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Ashton, P.S. 1988. Manual of the Non-Dipterocarp Trees of
Sarawak Volume II. Kuala Lumpur: Dewan Bahsa dan Pustaka
Sarawak Branch For Forest Department Sarawak.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuinzen van den Brink Jr. 1963. Flora of
Java. Volume: 1. Groningen: N. V. P. Noordhoff.
Bakosurtanal. 2001. Peta Rupabumi Digital Indonesia Lembar
1708-(121-124) 1: 25.000. Bogor: Bakosurtanal.
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Vaduz: J. Cramer.
Cox, G.W. 1974. Laboratory Manual of General Ecology. Dubuque:
Wm. C. Brown Publishers.
Ding-Hou, L. 1958. Rhizophoraceae. Dalam van Steenis, C. G. G.
J. (ed.) Flora Malesiana Series I Volume 5: 429-493. Djakarta:
Noordhoff-Kolff N.V.
Fernando, E.S. and J.V. Pancho. 1980. Mangrove trees of the
Philippines. Sylvatropica, The Philippines Forest Research
Journal 5 (1): 33-51.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.K.
Tantra. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau Di Indonesia.
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove di Jakarta: MAB
Indonesia dan Lembaga Oseanologi Nasional.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997.
Handbook of Mangroves in Indonesia (Bali & Lombok).
Denpasar: ISME.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands
International Indonesia Programme.
Sudarmadji. 1998. Species Composition of Mangrove Forest at
Baluran National Park. Unpublished Special Problem. Los
Baos: Department of Botany, UPLB.
Sudarmadji. 2000. Vegetation Structure and Edaphic Factors of
Mangrove Forest at Baluran National Park, East Java,
Indonesia. [Ph.D. Dissertation]. Los Baos: University of the
Philippines Los Baos.
Sudarmadji. 2003. Komposisi Jenis Mangrove di Pantai Si Runtoh
Taman Nasional Baluran. Berkala Penelitian Hayati 8 (2): 75-79.
Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge:
Cambridge University Press.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 71-76

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Keanekaragaman Tumbuhan dan Populasinya di Gunung Kelud,


Jawa Timur
Plant diversity and population in Mount Kelud, East Java
INGE LARASHATI
"Herbarium Bogoriense", Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor 16002
Diterima: 15 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
Mount Kelud is an upper shed Brantas area which has high potential plant diversity. But the land in that upper shed had
experienced much erosion. Beside erosion process, human disturbances in the resort added the burdens to the existence
of the vegetation. That is why the existence and condition of the plants must be monitored and studied. Assessment of the
plants was conducted through literature studies, field surveys and using quadrate plot methods Oosting (Kent & Paddy,
1992) 0.75 ha each at different altitudes (600 m, 800 m and 1000 m) above sea level. The results showed that a total
number of 125 species belonging to 94 genera, and 49 families were recorded. All three plots were dominated by
Dendrocalamus asper and Villebrunea rubescens.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: plants, diversity, population, Mount Kelud, East Java.

PENDAHULUAN
Gunung Kelud adalah salah satu dari gugusan
gunung-gunung yang terdapat di Jawa Timur dengan
tinggi sekitar 1731 m dpl (di atas permukaan laut).
Hutan di kawasan cagar alam gunung Kelud
dikelompokkan dalam tipe hutan hujan dataran
rendah dengan topografi berbukit sangat terjal. Di
dalam kawasan ini terdapat sejumlah hulu anak
sungai Brantas antara lain Kali Konto, Kali Ngobo,
Kali Jengglong yang membelah Kabupaten Kediri.
Kali Putih, Kali Semut yang melewati Kabupaten
Blitar dan Pegunungan Gajah Mungkur. Keberadaan
kawasan ini sangat penting karena berfungsi sebagai
hidroorologis mengingat bahwa Kali Brantas adalah
sungai terpanjang di Jawa Timur dengan total aliran
mencapai 320 km (Heddy, 1996).
Hutan di kawasan gunung Kelud ini mengalami
kerusakan sejak dua abad yang lalu (Smiet, 1990).
Kerusakan terjadi sebagai akibat penebangan liar,
perencekan untuk kayu bakar dan pemangkasan
sebagai pakan ternak (Hadipoernomo, 1980 dan
Abdulhadi, 1981). Selain akibat gangguan manusia,
kawasan ini mempunyai kondisi kemiringan dan
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16002.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: herbogor@indo.net.id.

panjang lereng cukup besar menjadikan rawan erosi.


Laju erosi yang terjadi pada Hulu Brantas
menyebabkan terjadinya sedimentasi pada waduk
Selorejo dan waduk Karangkates (Machfudh, 1984).
Kondisi tanah yang demikian sangat berpengaruh
terhadap keanekaragaman tumbuhan.
Pemanfaatan
sumberdaya
hutan
telah
menunjukkan gangguan terhadap keseimbangan
ekosisitem hutan. Survei keanekaragaman tumbuhan
di wilayah ini belum banyak dilakukan, hanya ada
laporan perjalanan singkat yang ditulis puluhan tahun
yang lalu (van Steenis, 1972). Untuk menambah
informasi mengenai keberadaan tumbuhan di sekitar
gunung Kelud telah dilakukan analisis tumbuhan,
sebagai salah satu upaya untuk mengetahui
keanekaragaman tumbuhan dan populasinya serta
mempelajari dinamika hutan di kawasan tersebut.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan PebruariMaret 2000, di sekitar kaki gunung Kelud, Jawa Timur
pada ketinggian antara 600-1000 m dpl, terletak 60
km sebelah selatan Malang. Menurut Oldeman (1980)
hujan di daerah itu termasuk tipe agoklimat C yang
mempunyai 5-6 bulan curah hujan lebih dari 200
mm/bulan dan 2-4 bulan curah hujannya kurang dari

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76

72

100 mm/bulan. Pada umumnya musim kemarau di


tipe agroklimat C mempunyai curah hujan berkisar
75-80 mm/bulan.
Teknik pengumpulan data
Sebelum berangkat ke lokasi,
dilakukan
pengumpulan data terlebih dahulu berupa studi
literatur. Kemudian dilakukan penjelajahan/ survei
untuk mengetahui gambaran umum dan menentukan
lokasi yang akan diamati. Penelitian ini tidak
mencakup seluruh kawasan cagar alam yang terletak
di puncak, dipilih lokasi yang dianggap mewakili, yaitu
pada ketinggian 600 m , 800 m dan 1000 m dpl.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kuadrat mengikuti cara Oosting (dalam Kent
dan Paddy, 1992). Pada masing-masing ketinggian
dibuat petak penelitian berukuran 50 m x 50 m. Dari
setiap petak dibuat anak petak berukuran 10 m x 10
m untuk pencacahan pohon. Pada anak petak
tersebut dibuat sub-sub petak berukuran 5 m x 5 m
untuk pencacahan anak pohon. Pencacahan
tumbuhan bawah dilakukan dalam sub anak petak
ukuran 1 m x 1 m.
Identifikasi jenis
Pengumpulan spesimen tumbuhan dilakukan
untuk keperluan identifikasi. Pengamatan secara
morfologis dilakukan di lapangan, dan untuk
spesimen yang belum diketahui jenisnya dikumpulkan
dan diatur pada kertas koran bekas serta dimasukkan
ke dalam kantung plastik. Selanjutnya spesimen
tersebut diberi alkohol 70% hingga cukup basah
supaya tidak membusuk yang kemudian dikeringkan
di Herbarium Bogoriense, Bogor. Identifikasi
dilakukan dengan menggunakan buku Flora of Java
(Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963, 1965,
1968) dan membandingkan dengan spesimen yang
ada di Herbarium Bogoriense, Bogor.
Analisis data
Analisis data menggunakan metode kuadrat untuk
menghitung kerapatan, frekuensi dan dominansi
masing-masing jenis tumbuhan. Kerapatan adalah
jumlah individu suatu jenis per hektar; frekuensi
dihitung berdasarkan jumlah petak dimana suatu jenis
yang didapati dibagi dengan jumlah total petak;
dominansi dinyatakan dengan luas bidang dasar dari
setiap jenis per hektar untuk pohon dan anak pohon.
Untuk tumbuhan bawah digunakan persentase
penutupan tajuk. Nilai relatif dari ketiga parameter
tersebut dapat dihitung dengan cara berikut (Cox,
1992).
Nilai penting
Untuk mengetahui jenis tumbuhan yang mendominasi di suatu petak penelitian dilakukan analisis dengan menghitung nilai penting setiap petak penelitian.
NP = KR + FR + DR

NP = Nilai Penting ; KR = Kerapatan Relatif ; FR =


Frekuensi Relatif dan DR = Dominansi Relatif
Keanekaragaman jenis
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis dihitung
dengan menggunakan rumus Shannon-Wienner
(Kent dan Paddy, 1992), sebagai berikut:
i=n

H =- pi log pi
i=1

H = indeks keanekaragaman jenis


pi = proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan
jumlah individu semua jenis
Indeks kesamaan jenis
Untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis dari
dua contoh yang dibedakan dihitung dengan rumus
Jaccard (Kent dan Paddy, 1992) sebagai berikut:
a
SJ =

a+b+c

Sj = koefisien kesamaan Jaccard


a = jumlah jenis yang terdapat pada kedua contoh
yang dibandingkan
b = jumlah jenis yang terdapat pada contoh 1
c = jumlah jenis yang terdapat pada contoh 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman jenis
Pada ketinggian 600-700 m dpl kondisi medan
bergelombang dengan kemiringan lereng sangat
curam. Jumlah pohon dan anak pohon yang berhasil
dikoleksi di kawasan ini masing-masing tercatat 29
jenis. Dengan luas bidang dasar 24,27/ha untuk jenis
pohon, sedangkan kerapatan pohon di kawasan ini
tergolong rendah (320 pohon/ha) dibandingkan
dengan pengamatan pada ketinggian 800 dan 1000
m dpl (708 pohon/ha). Hal tersebut diduga karena
kawasan ini relatif masih dekat dengan aktivitas
penduduk. Tetapi untuk anak pohon, kerapatan
tergolong tinggi yaitu 772 anak pohon/ha
dibandingkan dengan dua ketinggian yang berbeda
lainnya yaitu hanya mencapai 464 anak pohon/ ha
dan 576 anak pohon/ha. Dendrocalamus asper
mendominasi kawasan dengan nilai penting 50,78.
(Tabel1.). Demikian pula untuk anak pohon, yang
melimpah adalah Dendrocalamus asper dan Croton
argyratus. Melimpahnya Dendrocalamus asper
kemungkinan besar disebabkan oleh adanya
gangguan manusia. Whitmore (1984) menyatakan
bahwa bambu Dendrocalamus asper dapat
berkembang baik di hutan yang terbakar atau hutan
yang mengalami kerusakan yang parah, namun di
lokasi pengamatan bukan disebabkan oleh kebakaran
hutan tetapi oleh kegiatan penebangan.

LARASHATI Vegetasi Gunung Kelud

73

sangat
penting
keberadaannya
bagi
kelangsungan hidup hewan pemencar bijibijian.
No.
Jenis
LBD
Fr
Kr
Dr
NP
Indeks keanekaragaman jenis (H) pohon
1 Dendrocalamus asper
5541,91 17,90 23,75 9,13 50,78
tercatat 2,92 hasil perhitungan tersebut
2 Croton argyratus
8477,58 9,00 8,75 13,97 31,72
menggambarkan bahwa pohon-pohon pada
3 Ficus infectoria
11726,06 6,00 5,00 19,32 30,32
ketinggian
ini
memiliki
tingkat
4 Ficus sp
10156,76 3,00 2,50 16,74 22,24
keanekaragaman tinggi dibandingkan dengan
5 Lithocarpus sundaicus 1813,12 6,00 7,50 2,98 16,48
keanekaragaman pohon-pohon di dua
6 Ficus variegata
708,21 1,50 1,25 11,68 14,43
ketinggian
yang
berbeda.
Indeks
7 Sterculia oblongata
91,98
6,00 6,25 1,50 13,75
keanekaragaman yang tinggi tidak dapat
8 Elaeocarpus petiolatus 903,40 4,50 5,00 1,48 10,98
dijadikan sebagai indikator untuk menentukan
9 Lain-lain jenis
1486,05 46,10 60,00 3,30 109,4
10 Jumlah
60669,07 100,00 100,00 100 300
jumlah jenis yang melimpah. Karena jumlah
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm); Fr = frekuensi (%); Kr
jenis yang melimpah ditentukan oleh nilai
= kerapatan pohon(/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting,
penting suatu jenis.
Pengamatan pada ketinggian 700-800 m
dpl. Kawasan ini memiliki topografi medan
mendatar sampai landai dengan sebagian
Tabel 2. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 700-800 m
kanopi terbuka. Di kawasan ini banyak jenisdpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%)
jenis dari suku Urticaceae dan Euphorbiaceae
. Laportea stimulans adalah jenis yang sangat
No. Jenis
LBD
Fr
Kr
Dr
NP
melimpah baik pohon maupun anak pohon
1 Laportea stimulans
20586,81 15,09 30,14 31,19 76,42
seluruhnya mencapai 76 individu, dengan nilai
2 Villebrunea rubescens 14886,41 9,43 16,17 22,58 48,18
penting 76,42 (Tabel 2.).
3 Lithocarpus sundaicus 5023,26 5,66 6,61 7,62
19,89
Villebrunea rubescens merupakan jenis
4 Bischoffia javanica
5457,93 5,66 3,67 5,70
17,61
yang melimpah setelah Laportea stimulans.
5 Amoora aphanamixis
3428,46 3,77 5,82 5,27
14,85
6 Croton argyratus
1724,34 5,66 5,14 2,62
13,42
Melimpahnya kedua jenis ini diduga karena
7 Evodia latifolia
2080,52 3,77 4,41 3,16
11,34
kerusakan hutan oleh aktivitas manusia.
8 Glochidion arborescens 3217,00 3,77 1,47 4,88
10,12
Karena apabila kerusakan diakibatkan letusan
9 Lain-lain jenis
9547,05 47,19 26,5 14,39 88,14
gunung berapi atau kebakaran, maka yang
10 Jumlah
65951,78 100 100 100
300
akan berkembang dengan baik adalah jenisKeterangan: LBD = luas bidang dasar (cm); Fr = frekuensi (%); Kr
jenis Casuarina sp atau Albizia sp (van
= kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi dan NP = nilai penting,
Steenis, 1972). Laportea stimulans dan
Villebrunea
rubescens
dikelompokkan
sebagai jenis-jenis sekunder (van Steenis,
1972 dan Riswan, 1982). Selain itu jenis-jenis
Tabel 3. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 800-1000 m
yang banyak ditemukan adalah Lithocarpus
dpl di kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%),
sundaicus, Bischoffia javanica, Amoora
No. Jenis
LBD
Fr
Kr
Dr
NP
aphanamixis, Croton argyratus, Evodia
1 Villebrune rubescens
27467,56 18
24,293 31,13 73,42
latifolia dan Glochidion arborescens. Indeks
2 Ostodes paniculata
27113,71 12
22,598 30,72 65,32
keanekaragaman jenis (H) pohon tercatat
3 Mallotus paniculata
8123,18
10
19,209 9,20 38,41
2,61 sedikit lebih rendah dibandingkan
4 Laportea stimulans
5084,86
6
12,429 5,77 24,19
dengan pada ketinggian 600-700 m dpl,
5 Lain-lain jenis
78046,61 54
21,53 23,18 98,66
namun untuk anak pohon tercatat paling tinggi
Jumlah
88237,94 100 100
100
300
dibandingkan dengan pada dua ketinggian
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm); Fr = frekuensi (%); Kr
yang berbeda yaitu 2,36. Diduga hal ini terjadi
= kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting.
karena pada ketinggian ini memiliki topografi
medan yang agak mendatar hingga landai
dan kanopi terbuka.
Jumlah pohon yang berhasil dikoleksi
dikawasan ini tercatat 31 jenis. Luas bidang
Jenis pohon utama lain diantaranya adalah Ficus dasar (LBD) pohon tergolong paling rendah hanya
infectoria, Lithocarpus sundaicus, Sterculia oblongata mencapai 6,6 per ha. Hal tersebut mencerminkan
dan Elaeocarpus petiolatus. Ficus infectoria dan bahwa pohon kecil (berdiameter < 30 cm) cukup
Artocarpus elasticus merupakan jenis pohon yang tinggi keadaan tersebut diduga karena banyaknya
memiliki diameter mencapai 111-120 cm dengan intensitas cahaya yang masuk mengakibatkan
tinggi tajuk 40-49 m. Perbedaan dua jenis pohon ini permudaan lebih banyak. Kartawinata (1989)
sangat mencolok ditinjau dari tinggi pohon dan menyatakan bahwa topografi medan, sifat-sifat fisik
ukuran batangnya dibandingkan dengan pohon dan kimia tanah sangat berpengaruh terhadap kondisi
lainnya di kawasan ini. Jenis-jenis Ficus di hutan ini tersebut.
Tabel 1. Nilai relatif jenis jenis pohon pada ketinggian 600-700 m
dpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%)

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76

74

Tabel 4. Daftar jenis dan suku tumbuhan di kawasan hutan


gunung Kelud.
No. Nama jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65

Abelmoschus moschatus Medik.


Acronychia trifoliata Zoll.
Actinodaphne glomerata Nees.
Actinodaphne procera Nees.
Alternanthera sessilis (L.) D C.
Amoora aphanamixis Roem. & Schult.
Anthropyum sp
Antidesma montanum Bl.
Antidesma tetandrum Bl.
Arcypteris sp
Ardisia crispa (Thunb.) D C.
Ardisia lanceolata Roxb.
Artocarpus elasticus Reinw. ex Bl.
Artocarpus heterophyllus Lmk.
Baccaurea racemosa (Reinw.) ex Bl. M.A.
Bischoffia javanica Bl.
Blumea balsamifera (L.) D C.
Borreria latifolia (Aubl.) K.Sch.
Bridelia glauca Bl.
Butea monosperma (Lmk.) Taub.
Caesalpinia crista Auct.non.L.
Calamus ciliaris Bl.
Callicarpa longifolia Auct. non. Lamk.
Cassia occidentalis Linn.
Cassia siamea Lamk.
Cayratia genisculata (Bl.) Gagn.
Cayratia trifolia (L.) Domin.
Celtis cinamomea Lind.ex Planch.
Chloranthus officinalis Bl.
Corypha elata Roxb.
Costus specious (Koen.)
Croton argyratus Bl.
Cryptocarya nitens K. & V.
Curculigo latifolia Dryand.ex W.T. Ait.
Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer. ex Heyne.
Desmodium gangeticum (L.) D C.
Desmodium trifoliastrum Miq.
Dillenia excelsa Gilg.
Dinochloa scandens (Blume.ex Nees.) O.K.
Diplazium esculentum Swartz.
Dracontomelum mangiferum Bl.
Dysoxylum amooroides Miq.
Elaeagnus latifolia L.
Elaeocarpus floribunda Bl.
Elaeocarpus petiolatus (Jack) Wall.
Elatostema sesquifolium (Reinw.ex Bl.) Hassk.
Eugenia aquea Burm.f
Eugenia polyantha Wight.
Eupatorium inulifolium H.B.K
Eupatorium riparium Reg.
Eupatorium triplinerve Vahl.
Evodia glabra Bl.
Evodia latifolia D C.
Ficus callosa Willd.
Ficus hispida L . F
Ficus infectoria Roxb.
Ficus recurva Bl.
Ficus sp 1
Ficus sp2
Ficus variegata Bl.
Firmiana malayana Kosterm.
Forrestia mollissima (Bl.) Kds.
Geophila repens (L) I.M. Johnston.
Globba marantina L.
Glochidion arborescens Bl.

Nama suku
Malvaceae
Rutaceae
Lauraceae
Lauraceae
Amaranthaceae
Meliaceae
Vitariaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Tectaria group
Myrsinaceae
Myrsinaceae
Moraceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Compositae
Rubiaceae
Euphorbiaceae
Papilionaceae
Caesalpiniaceae
Arecaceae
Verbenaceae
Leguminosae
Leguminosae
Vitaceae
Vitaceae
Ulmaceae
Chloranthaceae
Palmae
Zingiberaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Hypoxidaceae
Poaceae
Papilionaceea
Papilionaceae
Dilleniaceae
Poaceae
Poaceae
Anacardiaceae
Meliaceae
Elaeagnaceea
Elaeocarpaceae
Elaeocarpaceae
Urticaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Compositae
Compositae
Compositae
Rutaceae
Rutaceea
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Sterculiaceae
Commelinaceae
Rubiaceae
Zingiberaceae
Euphorbiaceae

66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
117
118
119
120
121
122
123
124
125

Glochidion rubrum Bl.


Grewia acuminata Juss.
Guioa diplopetala (Hassk.) Radlk.
Harpulia arborea (Blanco.) Radlk.
Isoglossa sp
Jaegeria sp
Lansium domesticum Corr.
Laportea stimulans (L.f.) Gaud. ex Miq.
Leea indica (Burm.f) Merr.
Leucosyke alba Z & M
Lithocarpus pseudomoluccus (Bl.) Rehd.
Lithocarpus sundaicus (Bl.) Rehd.
Litsea robusta Bl.
Litsea tomentosa Bl.
Macaranga rhizinoides (Bl.) M.A
Macaranga tanarius (L.) M.A
Maesopsis emanii Engl.
Malaisia scandens (Lour.) Planch.
Mallotus moluccanus Auct.non.(L) M.A
Mallotus paniculata (Lmk) M.A
Michelia montana Bl.
Mycetia cauliflora Reinw.
Mycetia javanica (Bl) Reinw.ex Korth.
Nauclea orientalis Auct.non. (L.) L.
Neonauclea excelsa (Bl.) Merr.
Ochrosia acuminata Valet.
Oplismenus compositus (L.) Beauv.
Ostodes paniculatus Bl.
Paspalum conjugatum Berg.
Pavetta indica L.
Piper betle L.
Planchonella nitida Dubard.
Poikilospermum suaveolens (Bl.) Merr.
Pollia secundiflora (Bl.) Bakh.f.
Pometia pinnata J.R & G. Forst.
Pouzolzia sanguinea (Bl) Merr.
Pseuduvaria reticulata Miq.
Psychotria fimbricalyx Miq.
Psychotria viridiflora Reinw.ex Bl.
Pterospermum javanicum Jungh.
Radermachera glandulosa (Bl.) Miq.
Sapindus rarak D C.
Saurauia bracteosa D C.
Stachytarpheta indica (L.) Vahl.
Sterculia foetida Linn.
Sterculia javanica R. Br.
Sterculia oblongata Bl.
Symplocos costata (Bl) Choisy.
Synedrella nodiflora Gaertn.
Syzygium lineatum (D.C) Merr & Perry.
Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.
Syzygium pycnanthum Merr. & Perry.
Syzygium sexangulatum (Miq.) Amsh.
Tabernaemontana macrocarpa Jack.
Turpinia sphaerocarpa Hassk.
Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Vitex pubescens Vahl.
Voacanga grandiflora (Miq.)Rolfe.
Xanthophyllum excelsum Miq.

Euphorbiaceae
Tiliaceae
Sapindaceea
Sapindaceae
Acanthaceae
Sapindaceae
Anacardiaceae
Urticaceae
Vitaceae
Urticaceae
Fagaceea
Fagaceea
Lauraceae
Lauraceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Rhamnaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Magnoliaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Apocynaceea
Rubiaceae
Apocynaceae
Poaceea
Euphorbiaceae
Poaceae
Rubiaceae
Piperaceea
Sapotaceae
Moraceea
Commelinaceae
Sapindaceae
Moraceea
Anonaceae
Rubiaceea
Rubiaceae
Sterculiaceae
Bignoniaceae
Sapindaceea
Saurauiaceae
Verbenaceae
Sterculiaceae
Sterculiaceae
Sterculiaceae
Symplocaceae
Compositae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Apocynaceea
Staphyleaceae
Urticaceae
Verbenaceae
Apocynaceea
Polygalaceae

Pengamatan pada ketinggian 800-1000 m dpl,


terletak pada punggung gunung dengan topografi
medan bergelombang sampai terjal dengan kanopi
hampir seluruhnya tertutup. Kondisi hutan ini masih
cukup baik diduga karena jauh dari aktivitas
penduduk. Pohon yang dapat dikoleksi dari
ketinggian ini tercatat hanya 28 jenis. Jenis-jenis yang

LARASHATI Vegetasi Gunung Kelud

melimpah di hutan ini adalah Villebrunea rubescens


dengan nilai penting 73,42 dan Ostodes paniculata
dengan nilai penting 65,32, baik pada tingkatan
pohon maupun anak pohon(Tabel 3.). Dari tiga
ketinggian yang berbeda, kerapatan pohon tertinggi
terdapat pada kawasan ini tercatat 708 per ha yang di
dominasi
oleh
jenis
Villebrunea
rubescens.
Villebrunea rubescens merupakan satu komunitas
dari enam komunitas yang pernah ditemukan di
gugusan gunung Kawi, gunung Anjasmoro dan
gunung Kelud (Smiet, 1992). Jenis ini biasa tumbuh
sangat melimpah di lembah atau di jurang yang
dalam di sekitar gunung Kelud (Clason, 1935). Selain
itu jenis yang banyak dijumpai adalah Mallotus
paniculata dan Laportea stimulans .
Indeks keanekaragaman jenis (H) pohon pada
ketinggian 800-1000 m dpl ini tergolong paling rendah
dibandingkan dengan dua ketinggian yang berbeda,
yaitu hanya mencapai 2,23. Demikian pula Indeks
keanekaragaman (H) anak pohon hanya mencapai
2,22. Kent dan Paddy (1992) menyatakan bahwa
Nilai Indeks keanekaragaman (H) berkisar antara 07. Berdasarkan kisaran nilai tersebut, maka nilai
indeks keanekaragaman pada ketinggian 800-1000 m
dpl
tergolong
rendah.
Rendahnya
indeks
keanekaragaman pohon dan anak pohon, diduga
karena kawasan ini jauh dari aktivitas penduduk.
Faktor lain yang menentukan keanekaragaman jenis
tumbuhan tidak hanya pengaruh dari fisik dan kimia
saja, namun juga keberadaan hewan dan manusia
(Kartawinata, 1989). Luas bidang dasar (LBD) pohon
tercatat paling tinggi terdapat di ketinggian ini yaitu
35,30 per ha yang di dominasi oleh suku
Euphorbiaceae. Euphorbiaceae tercatat sebagai suku
yang berperan pada awal proses pemulihan hutan
setelah
mendapat
gangguan
(Soemarno,
2001).Tumbuhan bawah yang berhasil dikoleksi dari
hutan ini tercatat 38 jenis (Tabel 4.). Jenis yang
melimpah adalah Cayratia trifolia, Chloranthus
officinalis, Costus specious, Pollia secundiflora,
Psychotria fimbricalyx, dan Stachytarpetha indica.
Pada tingkat tumbuhan bawah sebagian besar
berupa gulma dan hanya satu dua jenis saja sebagai
tumbuhan asli hutan.
Kesamaan jenis
Dari hasil analisis kesamaan jenis pada tiga
ketinggian yang berbeda, ternyata nilai indeks
kesamaan jenis pohon sangat rendah. Ketiga lokasi
kajian terdapat perbedaan komposisi yang nyata.
Indeks kesamaan paling tinggi hanya mencapai
22,22% yaitu antara lokasi pada ketinggian 600-700
m dpl dan lokasi pada ketinggian 800-1000 m dpl.
Kedua ketinggian tersebut memiliki kesamaan kondisi
medan, yaitu sangat terjal dengan kemiringan lereng
yang besar. Jenis-jenis pohon yang sama terdapat
pada kedua ketinggian tersebut adalah Laportea
stimulans, Evodia glabra, Lithocarpus sundaicus dan
Villlebrunea rubescens; sedangkan untuk anak pohon
yang sama adalah Callicarpa longifolia, Laportea

75

stimulans, Leea indica, Lithocarpus sundaicus,


Syzygium polyanthum, Syzygium pycnanthum dan
Villebrune arubescens. Indeks kesamaan terendah
adalah antara lokasi pada ketinggian 600-700 m dpl
dan lokasi pada ketinggian 700-800 m dpl yaitu
sebesar 15,38%. Jenis-jenis pohon yang sama
terdapat kedua lokasi tersebut adalah Bischoffia
javanica, Croton argyratus, Evodia glabra, Laportea
stimulans, Lithocarpus sundaicus dan Villebrunea
rubescens. Tumbuhan bawah yang sama pada dua
lokasi tersebut adalah Laportea simulans, Leea indica
dan Michellia montana. Dari ketiga ketinggian
berbeda yang dibandingkan, nilai indeks kesamaan
tidak mencapai 50% (Tabel 5.), sehingga secara
kese-luruhan nilai indeks kesamaan jenis yang
dibanding-kan relatif rendah. Fenomena tersebut
menggam-barkan semakin rendahnya nilai Indeks
Kesamaan,
maka
semakin
rendah
tingkat
kemiripannya. Hal ini diduga karena adanya variasi
tanggap yang berbeda dari setiap jenis terhadap
kondisi lingkungannya.
Tabel 5. Indeks kesamaan (Sj) pohon, anak pohon dan
tumbuhan bawah pada tiga ketinggian yang berbeda di
kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur.
Pohon

Anak
pohon

Tumbuhan
bawah

600-700 m

15,38%

27,41%

32,43%

700-800 m

22,22%

28,07%

28,33%

900-1000 m

21,73%

21,56%

27,92%

Ketinggian

KESIMPULAN
Kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup
tinggi, khususnya pada ketinggian antara 600-1000 m
dpl ditemukan 125 jenis yang tergolong ke dalam 94
marga dan 49 suku, dari jumlah jenis tersebut tidak
ditemukan jenis-jenis yang menjadi karakteristik
tumbuhan sekunder. Dari tiga ketinggian yang diteliti,
pada ketinggian 600-700 m dpl merupakan daerah
yang paling berat tingkat kerusakkannya. Hal tersebut
terbukti dengan melimpahnya jenis Dendrocalamus
asper. Komunitas Villebrunea rubescens yang banyak
ditemukan dan melimpah di ketinggian antara 7001000 m dpl, merupakan satu komunitas yang tersisa
dari enam komunitas yang pernah ditemukan oleh
Smiet (1992) di sekitar gunung Kawi, gunung
Anjasmoro, dan gunung Kelud. Euphorbiaceae
adalah suku yang mendominasi di daerah
pengamatan yang anggotanya banyak tumbuh di
pinggir-pinggir hutan. Kesamaan jenis pada tiga
ketinggian yang berbeda tergolong rendah tercatat
tidak mencapai 50% sehingga tumbuhan di kawasan
hutan ini memiliki variasi yang cukup besar.
Keanekaragaman vegetasi di kawasan hutan gunung
Kelud cukup tinggi dan sangat berpotensi oleh karena

76

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 71-76

itu faktor ekologi dan konservasi perlu diperhatikan


dengan serius serta dilakukan secara berkelanjutan.
Masyarakat sekitar hutan perlu mendapat penyuluhan
akan pentingnya hutan oleh stakeholder terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhadi, R. 1981. Laporan Perjalanan ke Konto Pujon, Malang
Jawa Timur. Bogor: LIPI.
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1963. Flora of
Java. Vol. 1. Groningen: P.Noorhoof.
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1965. Flora of
Java. Vol. 2. Groningen: P.Noorhoof.
Backer, C.A and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of
Java. Vol. 3. Groningen: P.Noorhoof.
Clason,1935. Botanical analysis recolonization. Bulletin Jardin
Botanique de Buitenzorg 3 (13): 509-518.
Cox, G.W. 1992 Laboratory Manual of General Ecology. Second
Ed. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher.
Hadipoernomo. 1980. Effects of mans behaviour on the Konto river
basin: the problems and efforts to settle them. Duta Rimba 6
(38): 21-32.
Heddy, S. 1996. Analisis keragaman vegetasi di daerah sebelum
dan sesudah bendungan Karangkates suatu pandangan
ekologi. Dalam: Suwarsono, H. dan M. Kurniati (eds.) PrinsipPrinsip Dasar Ekologi Bahasan tentang Kaidah Ekologi dan
Penerapannya. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

Kartawinata, K. 1989. Keanekaragaman flora dalam hutan pamah.


Dalam Seminar Regional Aspek Konservasi dalam
Pembangunan Sumberdaya Hutan Tropika Humida di
Kalimantan. Samarinda, 18-19 Oktober 1989.
Kent, M. and C. Paddy. 1992. Vegetation Description and Analysis:
a Practical Approach. London: BelhavenPress.
Machfud. 1984. Watershed management strategy trough the
control of erosion variable at Sumber Brantas sub watershed.
Duta Rimba 71-72: 19-28.
Oldeman, L.R. 1980. An Agro-climatic Map of Java. Contribution
from the Central Research Institute for Agriculture no. 17.
Bogor: CRIA. Riswan, S. 1982. Ecological Studies in Primary,
Secondary and Experimentally Cleared Mixed Forests
Dipterocarp Forest and Kerangas Forest in East Kalimantan,
Indonesia. [Thesis]. Aberdeen: University of Aberdeen.
Smiet, A.C. 1990. Forest ecology on Java: conversion and usage in
a historical perspective. Journal of Tropical Forest Science 2
(4): 286-302.
Smiet, A.C. 1992. Forest ecology on Java: human impact and
vegetation of montane forest. Journal of Tropical Ecology 8 (2):
129-152.
Soemarno, S. 2001. Struktur dan Komposisi Vegetasi pada Tapak
Tebang dan Pola Pemulihan Tapak Prasarana Pasca
Pembalakan Mekanis di Sikundur Taman Nasional Gunung
Leuser. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.
van Steenis, C.G.G.J. 1972. The Mountain Flora of Java. Leiden:
E.J. Brill & Co.
Whitmore, T.C. 1984. Tropical Rain Forest the Far East. Oxford:
Oxford University Press.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 77-80

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Keanekaragaman Anggrek di Situ Gunung, Sukabumi


Orchids diversity of Situ Gunung, Sukabumi
NINA RATNA DJUITA, SRI SUDARMIYATI, HENDRIUS CANDRA, SARIFAH,
SITI NURLAILI, RULLY FATHONY
Jurusan Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor, Bogor 16144
Diterima: 13 Nopember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
Study on the orchids diversity was conducted in Situ Gunung, sub district of Kadudampit, district of Sukabumi, West Java.
There were 41 collection numbers, consist of 18 terrestrial orchids, 22 epiphyte orchids, and one saprophyte orchid, belong
to 26 genera and 41 species. There were eight species of flowering orchids and the rest were not at flowering stage.
Agrostophyllum bicuspidatum J.J.Sm, Plocoglottis acuminata Bl dan Appendicula sp. were commonly found at Situ Gunung.
Species orchid of Calanthe triplicata (Willemet) Ames and Plocoglottis acuminata Bl found in a clumped group. Tainia
elongata J.J. Sm was the only endemic orchid in Java from this situ.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: orchids, Situ Gunung, Sukabumi.

PENDAHULUAN
Anggrek merupakan salah satu suku tumbuhan
yang memiliki banyak anggota. Terdapat sekitar
25.000 jenis anggrek yang telah dideskripsikan
(Schuttleworth et al., 1970). Sebagian besar
keanekaragamannya terpusat di kawasan tropis dan
subtropis. Di Indonesia terdapat sekitar 5000 jenis
anggrek (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999).
Dari jumlah tersebut, kurang lebih 731 jenis terdapat
di Pulau Jawa, dan 642 jenis terdapat di Jawa Barat
(Comber, 1990).
Keindahan bentuk bunga serta distribusi yang luas
menyebabkan anggrek menjadi tanaman yang
populer (Cady dan Rotherham, 1981). Oleh sebab itu
banyak
pemulia
tanaman
yang
melakukan
pernyilangan anggrek untuk mendapatkan tanaman
yang lebih unggul baik dalam keragaman bentuk,
warna bunga, maupun ornamentasi bunganya,
sehingga diperoleh kultivar yang lebih unik dan
menarik. Puspitaningtyas dan Mursidawati (1999)
menyatakan bahwa anggrek alam atau anggrek liar
sering menjadi bahan utama untuk mendapatkan
jenis-jenis hibrida yang komersial, namun keberadaan
jenis angrek liar sering kali terancam kepunahan
dengan semakin sempitnya lahan, karena banyak
Alamat korespondensi:
Jalan Pajajaran Baranangsiang Bogor 16144, Indonesia
Tel. & Fax.: +62-251-345011.
e-mail: nrdjnina@lycos.com

dipakai untuk pemukiman, perkebunan atau karena


adanya kerusakan alam. Ditambah lagi dengan
adanya
pengambilan
anggrek
alam
tanpa
mempertimbangkan kelestariannya. Di beberapa
tempat seperti di Ciapus Bogor dapat dijumpai
anggrek-anggrek liar yang diperjualbelikan secara
bebas seperti Macodes, Anoethochilus, dan
Schoenorchis. Pengambilan anggrek liar secara terus
menerus tanpa disertai usaha membudidayakannya
tentu sangat merugikan keberadaan anggrek
tersebut, karena dapat menyebabkan kepunahan.
Agar keberadaan jenis-jenis anggrek di suatu
wilayah dapat diketahui dengan baik, diperlukan
suatu penelitian berupa eksplorasi dan inventarisasi.
Eksplorasi bertujuan untuk mengambil contoh
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai
ilmu pengetahuan yang penting, sedangkan
inventarisasi bertujuan untuk mendata keragaman
jenis tanaman di suatu kawasan, sehingga apabila
nantinya kawasan tersebut mengalami perubahan
ekosistem, sudah tersedia data keragaman floranya
(Mujahidin dkk., 2002).
Penelitian tentang anggrek telah dilakukan di berbagai tempat. Mujahidin dkk. (2002) meneliti
keanekaragaman anggrek di Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun yang menghasilkan 31
marga dan 52 jenis. Mahyar dan Sadili (2003) yang
melakukan penelitian ulang di tempat tersebut
menemukan 74 marga dan 258 jenis anggrek. Di
daerah lainnya seperti di Cagar Alam Gunung Sim-

78

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 77-80

pang Cianjur juga ditemukan anggrek yang meliputi


49 marga dan 114 jenis (Puspitaningtyas dkk., 2002).
Semakin banyak informasi tentang anggrek yang
didapatkan dari berbagai daerah tentunya akan
semakin baik karena data yang diperoleh menjadi
semakin lengkap. Oleh karena itu penulis mencoba
untuk meneliti keberadaan jenis anggrek di Situ
Gunung. Daerah ini merupakan taman wisata alam
yang termasuk dalam wilayah Desa Kadudampit,
Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat. Secara geografi, kawasan ini terbentang di
antara 106'54'37''-106'55'30'' BT dan 06'39'40''06'41'12'' LS. Situ Gunung memiliki tipe iklim B,
dengan curah hujan berkisar 1611-4311 mm per
tahun. Dengan iklim seperti ini, diduga Situ Gunung
merupakan tempat yang baik bagi tumbuhnya
anggrek liar (Anonim, 2003). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui keanekaragaman anggrek di Situ
Gunung, Sukabumi.

BAHAN DAN METODE


Tempat dan waktu
Pengambilan koleksi dilakukan di Situ Gunung
Desa
Kadudampit,
Kecamatan
Kadudampit,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 7-9
Juli 2003. Pengamatan spesimen dilakukan di
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi
FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Cara kerja
Koleksi dilakukan dengan metode survei secara
acak dengan cara menjelajahi jalan setapak mulai
dari bawah sampai ke atas bukit. Anggrek yang
ditemukan di tanah dan di pohon diambil sampelnya,
lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik.
Selanjutnya diberi kertas koran lembab. Bunga
anggrek yang rontok disimpan dalam botol berisi
alkohol 70 %, sedangkan yang masih segar tetap
dibiarkan pada tanamannya. Anggrek yang telah
dikumpulkan, ditanam sebagai koleksi hidup dengan
menggunakan media pakis untuk anggrek epifit dan
media tanah untuk anggrek terrestrial. Koleksi
disimpan di rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA IPB
Bogor. Anggrek saprofit tidak dapat dipertahankan
keberadaannya karena cepat mati. Semua anggrek
yang
terkoleksi
diidentifikasi
dengan
cara
mencocokkan sampel koleksi dengan buku-buku flora
anggrek, khususnya Orchids of Java (Comber, 1990)
dan Orchids of Sumatra (Comber, 2001). Selain itu,
dilakukan juga pencocokkan dengan koleksi hidup
yang ada di Rumah Anggrek Kebun Raya Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keberadaan suatu jenis anggrek pada umumnya
berhubungan dengan lingkungan. Banyak anggrek
yang sensitif terhadap suhu dan ketinggian. Kawasan

Situ Gunung yang berada di ketinggian 950-1036 m


dpl dan suhu 16-28oC (Anonim, 2003), ternyata
merupakan tempat yang cocok bagi tumbuhnya
anggrek-anggrek liar. Berbagai jenis anggrek
ditemukan mulai dari bawah bukit hingga ke atas
punggung bukit. Sebagian besar anggrek tersebut
tumbuh di cabang pohon bersama dengan tumbuhan
lain, seperti paku sarang burung atau dengan
tumbuhan lumut. Sebagian lagi tumbuh pada ranting
yang telah jatuh, ada juga yang tumbuh di tanah atau
pada tumpukan seresah dan dedaunan yang telah
menjadi humus.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 41 nomor
koleksi anggrek yang terdiri atas 18 anggrek
terestrial, 22 anggrek epifit dan 1 anggrek saprofit.
Jumlah marga yang berhasil ditemukan sebanyak 26
sedangkan jumlah jenisnya sebanyak 41. Anggrek
terestrial umumnya mempunyai daun yang lebar,
helaiannya relatif tipis, tidak sukulen dan mempunyai
banyak rambut akar. Anggrek epifit umumnya
mempunyai daun tebal seperti kulit, mulut daun
tersembunyi, akarnya tidak berambut kecuali pada
bagian yang menempel pada tumbuhan lain. Anggrek
saprofit tidak mempunyai daun karena telah tereduksi
menjadi sisik-sisik (Suryowinoto,1987).
Jenis-jenis anggrek yang dijumpai di Situ Gunung
disajikan pada Tabel 1. Sebagian besar anggrek
tersebut dapat tumbuh di lingkungan baru, yakni di
rumah kaca Jurusan Biologi FMIPA IPB Bogor,
namun beberapa jenis di antaranya tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga mati.
Salah satunya adalah Apostasia wallichii R.Br.,
dimana pada lingkungan baru daunnya segera
menjadi coklat, mengering dan akhirnya mati.
Anggrek tersebut diduga mempunyai adaptasi yang
rendah terhadap lingkungan baru. Hal ini sesuai
dengan
pernyataan
Comber
(1990)
yang
menyebutkan bahwa jenis ini memang sangat rentan
terhadap pemindahan, sehingga kalau ditanam di
tempat baru, biasanya akan mati. Anggrek lainnya
masih tetap bertahan hidup walaupun kondisinya
tidak sebaik seperti di habitat semula.
Dari 6 anak suku anggrek yang ada di dunia
(Comber, 1990), hanya 5 yang ditemukan di Situ
Gunung. Anggrek dari anak suku Cypripedioideae
tidak ditemukan di kawasan ini. Apostasioideae
merupakan anak suku yang paling kecil jumlah
anggotanya dibandingkan anggrek jenis lain, karena
hanya terdiri atas dua marga yaitu Apostasia dan
Neuwiedia (Hunt, 1978). Apostasioideae yang
ditemukan di Situ Gunung hanya marga Apostasia.
Anggrek yang termasuk ke dalam Apostasioideae
mempunyai dua benangsari, sehingga ada juga yang
mengklasifikasikanya
ke
dalam
anak
suku
Diandroideae (Shukla dan Misra, 1979) Salah satu
anggota Apostasioideae adalah A. wallichii. Berbeda
halnya dengan anggrek lain, jenis ini tidak
mempunyai bibir (labellum), karena mahkota ketiga
tidak terdiferensiasi menjadi labellum (Comber,
1990). Pada anggrek lainnya, mahkota dengan jelas

DJUITA dkk. Anggrek di Situ Gunung

79

Tabel 1. Jenis-jenis anggrek yang ditemukan di Situ Gunung, Sukabumi.


No

Anak Suku

Marga

Jenis

Habitat

Apostasioideae

Apostasia

Apostasia wallichii R.Br

Epidendroideae

Agrostophyllum

Spatoglottis
Tainia

Agrostophyllum bicuspidatum J.J. Sm


A. laxum J.J. Sm
Appendicula cornuta Bl
Appendicula sp.
Bulbophyllum angustifolium (Bl) Lindl
B. lobbii Lindl
B. obtusipetalum J.J. Sm
Bulbophyllum sp.
Calanthe triplicata (Willemet) Ames
Coelogyne longifolia (Bl) Lindl
Dendrobium lamellatum (Bl) Lindl
D.mutabile (Bl) Lindl
D. reflexitepalum J.J.Sm
Dendrobium sp.
Dendrochilum pallideflavens Bl
Eria iridifolia Hook f.
E. monostachia Lindl
Eria sp.
Epigeneium sp.
Flickingeria grandiflora (Bl) A.D. Hawkes
Liparis rheedii (Bl) Lindl
L. viridiflora (Bl) Lindl
Malaxis latifolia J.E.Sm
Nephelaphyllum pulchrum Bl
N. tenuiflorum Bl
Plocoglottis acuminata Bl
P. javanica Bl
Spatoglothis aurea Lindl
Tainia elongata J.J.Sm

E
E
E
T
E
E
E
E
T
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
T
T
T
T
T
T
T
T
T

Appendicula
Bulbophyllum

Calanthe
Coelogyne
Dendrobium

Dendrochilum
Eria

Epigeneium
Flickingeria
Liparis
Malaxis
Nephelaphyllum
Plocoglottis

Orchidoideae

Aphyllorchis

Aphyllorchis pallida Bl

Spiranthoideae

Vandoideae

Goodyera
Lepidogyne
Macodes
Cleisostoma
Cymbidium

Goodyera reticulata Bl
Lepidogyne longifolia Bl
Macodes petola (Bl) Lindl
Cleisostoma javanicum (Bl) Garay.
Cymbidium ensifolium (L.) Sw
C. lancifoium Hook
Cymbidium sp.
Scoenorchis juncifolia Bl. Ex. Reinw.
Trixpermum acutilobum J.J. Sm.
Vanda sp.

T
T
T
E
T
T
T
E
E
E

Schoenorchis
Thrixpermum
Vanda
Keterangan: E = epifit, S = saprofit, T = terestrial.

terdiferensiasi menjadi labellum (Comber, 2001).


Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa anggrek
dari Situ Gunung yang mempunyai keragaman jenis
paling tinggi berasal dari anak suku Epidendroideae.
Anggotanya memiliki satu benang sari, sehingga
beberapa penulis juga mengklasifikasikannya ke
dalam anak suku Monandroideae (Shukla dan Misra,
1979). Keempat anak suku lainnya juga digolongkan
ke dalam Monandroideae.
Pada saat eksplorasi terdapat beberapa jenis
anggrek yang ditemukan sedang berbunga. Jenisjenis tersebut adalah A. wallichii, A. pallida, C.

triplicata, D. mutabile, L. longifolia, S. juncifolia T.


elongata, dan P. acuminata. Pada anggrek A. pallida
tidak dijumpai daun. Anggrek tersebut merupakan
anggrek saprofit yang telah kehilangan kemampuannya dalam mengambil gas CO2 dan zat-zat anorganik
dari tanah (Suryowinoto, 1987). Karena tidak dapat
berfotosinteis maka anggrek ini hidup sebagai
saprofit. Anggrek lainnya hanya ditemukan fase
vegetatifnya saja.
Anggrek mempunyai bermacam-macam bentuk.
Tabel 1. menunjukkan beberapa jenis anggrek yang
menarik secara morfologi. Anggrek A. bicuspidatum

80

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 77-80

mirip tumbuhan paku, A. wallichii daunnya mirip


rumput, dan L. longifolia daunnya mirip pandan.
Adanya kemiripan bentuk daun anggrek dengan
tumbuhan
lain
kadang-kadang
menyulitkan
identifikasi bagi peneliti pemula, terutama apabila
anggrek tersebut tidak berbunga. Namun hal ini dapat
diatasi dengan mencocokkan sampel pada koleksi
anggrek hidup, misalnya di Kebun Raya Bogor.
Beberapa anggrek mempunyai daun yang indah
bahkan lebih menarik daripada bunganya. Contohnya
adalah M. petola yang mempunyai corak daun
berurat kuning atau keperakan G. reticulata
mempunyai urat daun menjala berwarna putih
keperakan, N. pulchrum dan N. tenuiflorum juga
mempunyai daun yang menarik. Keempatnya disebut
juga sebagai anggrek daun. G. reticulata bahkan
disebut juga sebagai anggrek permata karena
keindahan daunnya (Schuttleworth et al., 1970).
Semua anggrek yang diidentifikasi merupakan
anggrek yang umum dijumpai, kecuali T. elongata
yang bersifat endemik di pulau Jawa. Beberapa jenis
yang paling sering ditemukan yaitu P. acuminata, A.
bicuspidatum dan Appendicula sp. Anggrek yang
disebut pertama umumnya tumbuh mengelompok
pada tanah di lereng bukit, sedangkan anggrek yang
kedua tumbuh dalam rumpun kecil pada batang
pohon. Anggrek yang ketiga ada yang tumbuh
sendiri-sendiri, namun ada pula yang tumbuh
berumpun.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 41 nomor
koleksi terdiri dari 18 anggrek terrestrial, 22 anggrek
epifit dan satu anggrek saprofit. Semuanya terdiri

atas 26 marga dan 41 jenis. Anggrek yang paling


sering
ditemukan
adalah
A.
bicuspidatum,
Appendicula sp. dan P. acuminata. Jenis-jenis yang
tumbuh mengelompok adalah C. triplicata dan P.
acuminata. Anggrek yang ditemukan di kawasan ini
merupakan anggrek yang umum dijumpai kecuali
satu jenis anggrek, yaitu T. elongata merupakan
anggrek endemik di Jawa.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Kabupaten Sukabumi dalam Angka Tahun 2003.
Sukabumi: BPS
Cady, L and E.R. Rotherham.1981. Australian Native Orchids in
Colour. Sydney: AH & AW Reed Pty Ltd.
Comber, J.B. 1990.Orchids of Java. London: The Bentham-Moxon
Trust Royal Botanic Gardens.
Comber, J.B. 2001. Orchids of Sumatra. Kinabalu: Natural History
Publications (Borneo).
Hunt, P.F. 1978. Orchidaceae. The Orchid Family. In: Dod, B (ed.).
Flowering Plants of the World. Oxford: Oxford University Press.
Mahyar, U.W., dan A.Sadili. 2003. Jenis-Jenis Anggrek Taman
Nasional Gunung Halimun. Bogor: Biodiversity Conservation
Project LIPI-JICA- PHKA.
Mujahidin, S.P., M. Marjuki, D. Supriadi, Rahmat, Atjim, dan T.
Jodi. 2002. Eksplorasi Anggrek Jawa. Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Banten. Bogor: Pusat Konservasi
Tanaman Kebun Raya Bogor -- LIPI.
Puspitaningtyas, D.M. dan S. Mursidawati. 1999. Koleksi Anggrek
Kebun Raya Bogor. Vol. 1, No. 2. Bogor: UPT Balai
Pengembangan Kebun Raya-LIPI.
Puspitaningtyas, D.M. Solehudin, M. Haris, Rukman, Oman, dan
Acim. 2002. Eksplorasi Anggrek di Cagar Alam Gunung
Simpang Cianjur, Jawa Barat. Bogor: Pusat Konservasi
Tanaman Kebun Raya Bogor LIPI.
Schuttleworth, F.S., H.S. Zim, and G.W. Dillon. 1970. A Golden
Guide Orchids. New York: Western Publishing Company, Inc.
Shukla, P and S.P. Misra. 1979. An Introduction to Taxonomy of
Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House Pvt Ltd.
Suryowinoto, M. 1987. Mengenal Anggrek Alam Indonesia. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 81-84

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Potensi Hutan Bukit Tapak Sebagai Sarana Upacara Adat,


Pendidikan, dan Konservasi Lingkungan
The potency of Bukit Tapak forest as means for traditional ceremony, environmental
conservation, and education
I WAYAN SUMANTERA
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI. Tabanan, Bali 82191.
Diterima: 15 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
Bukit Tapak (1903 m) the natural reserve of Batukau I (816.4 ha) is one of three natural reserve area of Batukau (1762.8
ha, 1974). Located at the tourism object of Bedugul, the eastern part boundaries to the Botanic Garden Eka Karya-LIPI
(154.5 ha, 1959) and settlement of Candikuning area (1152 family, 4475 persons) and near the three lakes of the water
resources of Bali; Beratan, Buyan and Tamblingan lake. The special plants; cemara geseng (Casuarina junghuhniana Miq.),
cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), nyabah (Pinanga arinasaensis J.R. Witono), paku kidang
(Dicksonia blumei Planch.), and purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benth.). The pioneer plant of the hill is cemara
geseng and the endemic is cemara pandak. The plant of needle leaves that basically the existence of Bali Botanical Garden
as the conservation ex situ flora of noodle leaves especially at the eastern Indonesian area. Nyabah, which is supposed to
be the new kind of palm named Arinasa, driven from the staff name who is the pioneer of the conservation. Paku kidang is
rare. There are ethnobotany plants of ritual ceremony such as: kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia sp.),
penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.) Blume), etc. Balinese
people believe that forest is holly and sacred. But because of the existence of Pura Teratai Bang (16 century) at the slope,
moslem cemetery (found in 1938) at the peak, and other needs (climbing, food, medicine, etc.), it can not be avoided the
entrances of people that caused the forest is damaged. The forest reservation needs the approach to the local people, so
the solution are morally and integration. The use of the forest which is potential as the environment education facilities
conservation and other alternatives such as: horticulture, the improvement of the people economy discussed here to be the
input for the forest conservation wisely and continuously.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Bukit Tapak, traditional ceremony, environment, conservation, education.

PENDAHULUAN
Cagar Alam Batukau, Bali dikukuhkan pada tahun
1979 berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.
716/Kpts./Um.11/745 tanggal 29 Nopember 1974.
Arealnya seluas 176,2 ha meliputi tiga kawasan hutan
yakni Batukau I (Bukit Tapak) 810,4 ha, Batukau II
(Bukit Pohen) 388,2 ha, dan Batukau III (Bukit
Lesung) 564,2 ha. Hutannya yang lebat dengan
kepadatan 125 pohon/ha memiliki tumbuhan khas asli
alamiah cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus
(Blume) de Laub.) dan cemara geseng (Casuarina
junghuhniana Miq.) yang pada waktu Gubernur Bali
Ida Bagus Mantra digunakan acuan sebagai upaya
menolak adanya mega-proyek listrik panas bumi,
Alamat korespondensi:
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191.
Tel. & Fax.: +62-368-21273.
e-mail: direkbg@singaraja.wasantara.net.id.

yang dikawatirkan berdampak negatif pada lingkungan Bali (Anonim, 1988).


Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak (1903 m dpl),
di bagian timur berbatasan dengan Kebun Raya Eka
Karya-LIPI (154,5ha, 15 Juli 1959) dan pemukiman
desa Candikuning (1152 KK, 4475 jiwa). Pada
puncak bukit tumbuh lebat cemara geseng sebagai
tumbuhan pioner karena mampu tumbuh pada tanah
tandus berkat dukungan akarnya yang mampu
menambat nitrogen. Tumbuhan khas lain yang ditemukan antara lain cemara pandak, nyabah (Pinanga
arinasaenis J.R. Witono), paku kidang (Dicksonia
blumei Planch.), purnajiwa (Euchresta horsfieldii
(Lesch.) Benth.), lempunah (Cyathea contaminans
(Hook.) Copel.), dan peji (Pinanga coronata (Blume
ex Mart.) Blume). Jauh sebelum ditetapkan sebagai
cagar alam, di kawasan Bukit Tapak sudah ada
bangunan masyarakat sekitarnya. Di puncak bukit
terdapat kuburan Islam/keramat yang ditemukan oleh
Salim pencari rotan tahun 1938. Makam ini banyak

82

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 81-84

diziarahi umat, terutama pada hari lebaran (ketupat).


Di kaki bukit terdapat Pura Teratai Bang dari abad 16
yang berdampingan dengan sumber belerang. Pura
keramat ini dikelola warga dusun Bukit Catu, Candikuning dengan piodalan pada Tumpek Landep (Bali,
odalan: senjata atau alat dari besi) (Anonim, 1988).
Keanekaragaman tumbuhan Bukit Tapak bermanfaat banyak bagi lingkungan sekitarnya. Berfungsi
menjaga siklus hidrologi, sumber air minum, dan
sumber air untuk ketiga danau di sekitarnya, yakni
danau Beratan, danau Buyan, dan danau Tamblingan
yang merupakan sumber air Bali. Di samping itu,
berperan pula menahan erosi atau banjir pada tanah
vulkanis yang mudah longsor. Adanya cemara
pandak dan cemara geseng yang berdaun jarum
menjadi inspirasi pembangunan Kebun Raya Eka
Karya Bali (154,5 ha, pada awalnya 50 ha), sebagai
tempat konservasi ex situ tanaman berdaun jarum
khususnya dari kawasan timur Indonesia. Secara
tradisional penduduk lokal memanfaatkan keduanya
dalam upacara adat Hindu, bahan obat, pakan,
peralatan, dan tanaman hias (Anonim, 1988).
Dalam upaya pendidikan dan konservasi lingkungan, pemanfaatan potensi etnobotani hutan Bukit
Tapak terutama dalam upacara adat merupakan
media komunikasi budaya yang patut diberdayakan,
selain potensi lain seperti kajian botani dan sosioekonomi. Kajian potensi hutan dalam tulisan ini bertujuan agar masyarakat atau pelajar yang ingin
memasuki kawasan Bukit Tapak dapat memanfaatkan kearifan lokal untuk berpartisipasi aktif dalam
melestarikan tumbuhan secara bijak dan lestari.
BAHAN DAN METODE
Dengan metode eksploratif dikumpulkan potensi
tumbuhan Bukit Tapak berupa tumbuhan khas yang
digunakan dalam upacara adat. Pelaksanaannya
dengan penelusuran pustaka, dan inventarisasi
tumbuhan hutan yang digunakanpada upacara adat
Hindu di Pura Teratai Bang dan masyarakat
sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli
2003 untuk mendapatkan keragaman tum-uhan
etnobotani, yang berguna sebagai media komunikasi
budaya, pendidikan, dan konservasi lingkungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak yang berbatasan dengan Kebun Raya Eka Karya, pemukiman
penduduk Candikuning, serta adanya Pura Teratai
Bang dan Kuburan Islam di dalamnya, menjadikan
masuknya warga ke kawasan yang dilindungi
tersebut. Perbedaan kepentingan antara konservasi
hutan dan keperluan masyarakat menjadikan adanya
benturan kepentingan tak terelakan yang patut
dicarikan solusinya secara bijak dan berkesinambungan. Dalam era reformasi sekarang tentunya
masyarakat tidak boleh dilarang begitu saja masuk

hutan, terutama untuk mencari tumbuhan yang


secara tradisional digunakan secara turun-temurun
seperti untuk upacara adat, obat, pakan, dan
keperluan lain (kayu bakar, tali, dan peralatan).
Upaya konservasi untuk mengantisipasi permasalahan ini telah dilakukan dengan berbagai cara,
seperti adanya proyek kehutanan memanfaatkan
tanaman berguna, pakan rumput gajah, maupun
bambu sebagai tumbuhan penyangga agar dapat mengurangi masuknya penduduk ke hutan. Kemajuan
pariwisata secara langsung mampu meningkatkan
taraf hidup masyarakat Candikuning, dengan menjadi
petani sayur, peternak sapi dan pedagang di pasar
wisata Candikuning yang secara tidak langsung akan
mengurangi orang mengambil tumbuhan hutan.
Dalam menjaga kelestarian hutan Bukit Tapak
yang luas, tentunya tidak dapat mengandalkan petugas, yang hanya tiga orang di KSDA Candikuning.
Sangat membutuhkan partisipasi semua pihak terutama masyarakat sekitar, di samping mencari solusi
alternatif yang dimulai dari pendidikan lingkungan.
Berbagai model paket pendidikan dapat dimanfaatkan, di antara model kebun raya meliputi: Repling =
Rute Pendidikan Lingkungan; rute tanaman hias, rute
tanaman upacara adat, rute hutan tropis, dan rute
tanaman purba (Hendarti dan Nugraha, 1997); Apik =
Aktifitas Pendidikan Interaktif, seperti mencari jejak,
tanaman dan lingkungan, mengenal tumbuhan dan
klasifikasi tumbuhan, jalur hutan hujan tropis, dan
jalur tanaman berguna Bali (Meredith 1999); dan Elup
= Enam Jalur Perjalanan (Adjie, 1999), etnobotani,
tanaman upacara adat, budaya, dan lain-lain.
Semuanya ditujukan agar orang yang masuk hutan
sadar etika pelestarian seperti dengan menghayati
makna slogan pencinta lingkungan, sehingga bila ke
hutan jangan mengambil sesuatu kecuali gambar/
foto, jangan membunuh sesuatu kecuali waktu,
jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak.
Sebagai upaya menggali potensi hutan Bukit
Tapak untuk diberdayakan dalam program pelestarian tumbuhan, maka diadakan penelitian lapang dan
penelusuran pustaka. Berdasarkan penelitian tumbuhan hutan Cagar Alam Batukau I Bukit Tapak pada
upacara adat di Pura Teratai Bang pada Tumpek
Landep 19 April 2003 setiap 210 hari (6 bulan Bali)
dan masyarakat sekitarnya pada bulan April-Juli
2003, maka dapat diketahui 10 jenis tumbuhan khas
dan 15 jenis digunakan dalam upacara adat Hindu.
Tumbuhan khas adalah cemara pandak, cemara
geseng, nyabah, paku kidang, lempunah, lemputu
(Cyathea latebrosa (Wall) Copel.), purnajiwa, anggrek
macan (Vanda tricolor Lindl.), pradah (Garcinia
cerlebica Linn), dan dadem (Ficus fistilosa Reinw. ex
Blume). Tumbuhan yang digunakan upacara adat
adalah cemara geseng, cemara pandak, biu lalung
(Musa sp.), nyabah, peji, ambengan (Imperata cylindrica Beauv.), dadap (Erythrina sp.), tiing (Bambusa
sp.), kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia
sp.), penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis
sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.)

SUMANTERA Potensi adat, pendidkan, dan konservasi hutan Bukit Tapak


Blume), kepelan (Mangletia glauca Blume), dan
anggur bogor (Passiflora ligularis A. Juss.).
Tumbuhan khas di Bukit Tapak meliputi:
1. Cemara geseng (C. junghuhniana) merupakan
tanaman pioner karena akarnya mampu menambat nitrogen, tumbuh subur menghijau di puncak.
Getahnya untuk obat sakit perut, daunnya untuk
upacara adat ngaben, dan kayunya untuk tangkai
peralatan (madik, kandik, dan dapak).
2. Cemara pandak (D. imbricatus), merupakan tumbuhan endemik. Kayu yang berserat halus
diminati sebagai bahan bangunan dan mebel.
3. Palem nyabah (P. arinasaensis) diidentifikasi
sebagai jenis baru dan diberikan nama honor staf
Kebun Raya Bali Ida Bagus Ketut Arinasa yang
berperan besar dalam upaya pelestariannya.
Palem ini mulai jarang, karena anakannya sulit
menjadi tumbuhan dewasa.
4. Paku kidang (D. blumei), tumbuh terbatas di
sekitar Pura Teratai Bang, yang kini habitatnya
telah terkubur oleh perluasan sarana pelayanan
pura. Paku tiang langka ini berbulu kecoklatan
pada pohon dan tulang daun, sehingga indah
sebagai tanaman hias.
5. Paku lempunah (C. contaminans) adalah paku
tiang yang berbulu putih pada pangkal daunnya.
Sebagai tanaman hias, bentuknya bagaikan
payung di taman. Batang yang diserut menampakkan rupa yang artitistik untuk karya seni.
6. Paku lemputu (C. latebrosa), paku tiang yang
batang dan tangkai daun berduri hitam-keras.
Keberadaannya terancam, terutama akar dan
batang, karena dijadikan media anggrek. Batangnya untuk tiang rumah tidak permanen seperti
kandang sapi, huma, dapur, dan pelinggih pura.
7. Purnajiwa (E. horsfieldii), tumbuh baik pada
humus di bawah pepohonan, namun sulit
dibudidayakan. Pemburu berupaya mendapatkan
buahnya. Buah hitam ini sulit didapatkan, hingga
timbul kepercayaaan bahwa buahnya disenangi
macam. Buahnya yang pahit berguna untuk obat
kecing manis, sakit perut, afrodisiak, dan lain-lain.
8. Peji (P. coronata), palem alami yang di daerah
pegunungan berguna sebagai pengganti kelapa
dalam upacara adat, daunnya untuk anyaman
sengkui. Bermanfaat sebagai tanaman hias atau
penggarah pinggir jalan.
9. Anggrek macan (V. tricolor), berbunga besar dan
loreng menyerupai bulu macan, sehingga sangat
menarik sebagai tanaman hias. Keberadaannya
sudah jarang, serung diambil orang sebelum
sempat berbunga untuk meneruskan turunannya.
10. Pradah (G. celebica), manggis hutan yang dapat
ditanam sebagai tanaman hias. Kayunya berguna
sebagai tongkat bertuah, sebagai penolak bala.
11. Dadem (F. fistilosa), mudah ditanam dengan stek
batang, petani memanfaatkan sebagai tanaman
pagar dan daunnya sebagai pakan sapi, terutama
pada musim kemarau, saat persediaan rumput
tidak mencukupi.

83

Tumbuhan di Bukit Tapak yang digunakan dalam


upacara adat oleh masyarakat sekitarnya mencakup:
1. Cemara geseng (C. junghuhniana), daunnya berguna sebagai simbul rambut pada upacara
pengabenan.
2. Cemara pandak (D. imbricatus), daunnya berguna sebagai simbul rambut pada upacara pengabenan dan komponen daun sesajen canang.
3. Biu lalung (Musa sp.), adalah pisang alami yang
umumnya tumbuh kurang subur, sehingga hanya
berbuah satu sisir pada tandannya. Bersama
beringin (Ficus benyamina L.), ancak (Ficus
rumphii Bl.), uduh (Caryota mitis Lour), dan peji
dikenal sebagai lima tumbuhan surga (pancavriksha), sehingga digunakan untuk personifikasi
surga dengan memasangnya pada tempat pemujaan utama, maupun bangunan darurat sanggah
Tawang dan sanggah Tutuan (Supartha, 2000).
4. Nyabah (P. arinasaensis), da-unnya sebagai
pengganti daun kelapa dalam upacara adat
seperti untuk sengkui. Upihnya se-bagai klukuh
wadah tuak pada upacara perkawinan.
5. Peji (P. coronata), bersama uduh dan biu lalung
digunakan sebagai sarana sanggah Surya/
Tawang Sthana Sang Hyang Widiwasa/Tuhan
Yang Maha Esa (Siregar dkk., 2002). Anyaman
daunnya untuk sengkui, menggantikan daun
kelapa yang tidak terdapat di pegunungan.
6. Ambengan (I. cylindrica) adalah rumput suci
berkat mendapatkan percikan tirtha amertha (air
kehidupan), sehingga daunnya dibutuhkan untuk
upacara penyucian seperti untuk memercikan
tirtha, serta sebagai karowista ikat kepala saat
upacara penyumpahan, potong gigi, tiga bulanan
anak, dan medwijati (Siregar dkk., 2002).
7. Dadap (Erythrina sp.), dijuluki kayu sakti berkat
keampuhan seperti daunnya untuk upacara
penawar (tepung tawar). Pucuknya sebagai
sarana tetandingan banten agar sakti secara
niskala. Batangnya sebagai tiang hidup sanggah
Turus Lumbung. Kayunya untuk bahan bakar api
suci Pala Asep (Sumantera, 1993).
8. Tiing (Bambusa sp.), selalu dibutuhkan dalam
setiap upacara adat, paling tidak sebagai semat
untuk penjahit banten/sesajen. Manfaat lainnya
adalah untuk penjor, sanggah cucuk, kelakat,
wadah, sate, bumbung tirtha, tali, dan lain-lain.
9. Kayu tulak (Schefflera elliptica Harms), tumbuhan
liana yang dipercaya sebagai tanaman penolak
bala, sehingga digunakanuntuk banten dan ditanam di samping pintu masuk pekarangan (Surayin, 1992). Mudah diperbanyak dengan stek batang, dan dibudidayakan sebagai tanaman hias.
10. Kayu tulung (Brassaia sp.), daunnya diperlukan
untuk upacara pengabenan dan tanamannya dipercaya bertuah menolong mencapai kedamaian
keluarga, sehingga baik ditanam di pekarangan
atau untuk pot di dalam ruangan.
11. Penjalin (Calamus sp.), batangnya untuk tali
dandan penuntun rombongan upacara adat agar

84

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 81-84

seiring sejalan mencapai kedamaian hidup


sebagai tujuan upacara, seperti dapat disaksikan
pada upacara ngaben untuk menarik wadah
saat menuju kuburan (setra).
12. Paku pidpid (Nephrolepis sp.), merupakan paku hias
yang daunnya dibutuhkan untuk hiasan ceniga
pada sanggah cucuk dan sebagai daun pelawa
dari tumbuhan pegunungan (Supartha, 2000).
13. Trijata (M. speciosa), dipercaya sebagai pohon
surga, sehingga digunakan pada banten Dewa
Yadnya dan sanggah Surya sebagai personifikasi
surga agar lebih mudah dihayati.
14. Anggur bogor (P. ligularis) merupakan tanaman
introduksi yang didatangkan Kebun Raya Bali dari
Bogor, sehingga dinamai demikian. Kini buah ini
telah menyebar ke hutan setelah dimakan kera,
burung, dan lain-lain. Buahnya merupakan bahan
persembahan pada pajegan upacara adat,
sebagai rasa syukur ke hadapan-Nya yang telah
melimpahkan buah.
15. Kepelan (M. glauca) termasuk kayu harum
(merik) yang disucikan, sehingga dibutuhkan
pura, terutama untuk panel ukiran.
Keberadaan tumbuhan Bukit Tapak tidak lepas
dari gangguan manusia yang memburunya, sehingga
terjadi erosi genetis pada beberapa jenis tumbuhan.
Tumbuhan cemara pandak, anggrek macan, trijata,
dan kepelan mulai sulit ditemukan. Nyabah, paku
kidang, dan purnajiwa termasuk tumbuhan langka,
sehingga perlu upaya pelestarian seperti yang
dilakukan Kebun Raya Bali dengan mengkoleksinya.
Pemanfaatan potensi tumbuhan Bukit Tapak perlu
dibatasi karena merupakan kawasan konservasi
Cagar Alam. Kalaupun ada pendakian sambil
sembahyang ke kuburan di puncaknya, supaya
kegiatan tersebut dilakukan seminimal mungkin dan
tidak merusak tumbuhan alaminya. Untuk mengetahui
keanekaragaman jenis tumbuhan Bukit Tapak dapat
dilakukan tanpa harus langsung melakukan koleksi di
kawasan tersebut, yakni dengan memperlajari aneka
tumbuhannya yang telah dikoleksi Kebun Raya Bali.
Pendidikan tersebut dapat mendorong kepedulian
pada lingkungan dan upaya konservasi. Untuk
menjaga keberadaan tumbuhan alami, perlu upaya
perbanyakan baik oleh lembaga konservasi maupun
masyarakat. Pembibitan diperlukan untuk memenuhi
permintaan konsumen, sehingga tidak lagi terjadi
pengambilan langsung ke hutan. Upaya budidaya
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar
selain dari bidang pariwisata, sehingga mengurangi
kebiasaan buruk menganggu tumbuhan di hutan.
Kebun Raya Raya Bali yang berbatasan di
sebelah barat dengan Bukit Tapak, sangat besar
maknanya
sebagai
zone
penyangga
untuk
mengurangi intensitas masuknya orang ke hutan,
sehingga kondisi hutan ini jauh lebih baik sejalan
dengan membaiknya penanganan Kebun Raya Bali
dalam 30 tahun terakhir. Pengunjung kebun raya
yang berlimpah setiap tahun, sekitar 265.773 orang
(Siregar, 2002), telah meningkatkan jumlah

pedagang, sehingga dapat mendorong peningkatan


pendapatan mayarakat. Pada saat ini, banyak
anggota masyarakat yang telah mampu membeli
bahan bakar masak non kayu seperti gas elpiji dan
minyak tanah, sehingga tidak perlu mencari lagi kayu
bakar ke hutan. Tanaman koleksi dan program
pendidikan lingkungan di kebun raya merupakan
upaya nyata agar masyarakat dapat lebih mengenal
manfaat tumbuhan dan menyadari perlunya upaya
pelestarian, sehingga sejalan dengan fungsi hutan
Bukit Tapak sebagai kawasan konservasi in situ.
KESIMPULAN
Penelitian mendapatkan 10 jenis tumbuhan khas
dan 15 jenis tumbuhan yang berguna dalam upacara
adat. Erosi genetis menyebabkan cemara pandak (D.
imbricatus), anggrek macan (V. tricolor), trijata (M.
speciosa), dan kepelan (M. glauca) sudah sulit
ditemukan. Nyabah (P. arinasaenis), paku kidang (D.
blumei), dan purnajiwa (E. horsfildii) termasuk
tumbuhan langka, sehingga perlu upaya melestarikan
seperti telah dilakukan oleh Kebun Raya Bali dengan
mengkoleksinya sebagai tanaman koleksi.
Adanya kuburan Islam di puncak dan Pura Teratai
Bang di kaki timur Bukit Tapak yang menjadi tujuan
berziarah, menyebabkan sulitnya membatasi orang
yang memasuki Cagar Alam Batukau I. Oleh karena
itu, untuk meminimalkan gangguan kelestarian perlu
upaya pendidikan lingkungan, seperti pemanfaatan
tanaman koleksi kebun raya untuk perbanyakan bibit
dan penelitian, serta peningkatan taraf hidup masyarakat, sehingga merubah pola hidup dari menggunakan bahan bakar kayu ke bahan bakar lain yang
akhirnya menggurangi kebiasaan merambah hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1988. Buku Informasi Konservasi Sumber Daya Hutan
Propinsi Bali. Bali: Kanwil Kehutanan Propinsi Bali.
Adjie, B. 1999. Enam Jalur Perjalanan di Kebun Raya Bali. Bali:
Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI.
Hendarti, l. dan E. Nugraha. 1997. Rute Pendidikan Lingkungan
(Repling) di Kebun Raya Bali. Bali: RMI-Hanns Seidel
Foundation-Kebun Raya Bali.
Meredith, S., I.B.K. Arinasa, B. Adjie, dan I.W. Sumantera. 1999.
Aktifitas Pendidikan Lingkungan (APIK) Kebun Raya Bali. Bali:
Kebun Raya Adelaide-Eka Karya Bali.
Siregar, M., I.N. Lugrayasa, D. Mudiana, dan Hartutiningsih. 2002.
Koleksi Tanaman Upacara Adat Kebun Raya Bali. Bali: UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka karya Bali-LIPI.
Siregar, M. 2002. Laporan Tahunan 2002. Bali: UPT Balai
Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka karya Bali-LIPI.
Sumantera, I.W. 1993. Pemanfaatan dadap sebagai upaya
mendukung pelestariannya di Bali. Makalah Seminar Nasional
Biologi XI. Perhimpunan Biologi Indonesia-Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang, 20-21 Juli 1993
Supartha, N.O. 2000. Fungsi Tumbuhan dalam Upacara Agama
Hindu. Proseding Seminar Nasional Etnobotani III, UNUD
Denpasar Bali 5-6 Mei 1988. Laboratorium Etnobotani,
Balitbang Botani, Puslitbang Biologi-LIPI.
Surayin, I.A.P. 1992. Melangkah ke Arah Persiapan UpacaraUpacara Yadnya. Denpasar: PT Upada Sastra.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 85-88

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

Pengujian Mikroba sebagai Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan


Tanaman Acacia mangium pada Pasir Steril di Rumah Kaca
Effect of microbe as fertilizer on the growth of Acacia mangium on the sand sterile in
green house
SRI PURWANINGSIH
Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi-LIPI, Bogor 16122
Diterima: 13 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
An experiment on the effect of microbe as fertilizer on the growth of Acacia mangium on the sand sterile in greenhouse. The
aim of the experiment the effect and potency of the microbe as fertilizer to increase the growth of A. mangium. The
experiment was carried out in green house condition in Microbiology division, Research Center for Biology-LIPI with sterile
sand medium. The Rhizobium strains used of: 1.Bio 199R, 2. Bio 203R, 3. Bio 205R, 4 Bio 238R, 5. Bio 251R, 6.Bio 7R,
and 7. mixed strains (Bio 199R+Bio 203R+Bio 205R+Bio 238R+Bio 251R+Bio 7R) The controls were uninoculated with
Rhizobium strain and without urea fertilizer (K1), uninoculated and with urea fertilizer equal 100 kg/ha (K2). The research
design was Completely Randomized Design with three replications for each treatment. The plants were harvested after 70
days; the parameters of investigation were the dry weight of canopy, roots, nodules root, total plants, number of nodules
and symbiotic capacity. The results showed that all of experiment plant able to from nodule. Strain number of mixed
strains has given the best results on the growth of A. mangium plant.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Rhizobium strain, Acacia mangium.

PENDAHULUAN
Acacia mangium merupakan tanaman yang
termasuk dalam famili Leguminosae (polongpolongan) dan merupakan salah satu jenis tanaman
HTI (Hutan Tanaman Indrustri). Tanaman ini
merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan
cepat, perakarannya luas, mampu beradaptasi pada
tanah yang miskin unsur hara dan tahan terhadap
kekeringan, serta mempunyai nilai ekonomi tinggi,
kayunya mempunyai kualitas yang cukup baik
khususnya sebagai bahan pulp/kertas maupun
mebel. Selain itu tanaman ini mampu bersimbiosis
dengan bakteri penambat nitrogen (Rhizobium) dan
melaksanakan proses penambatan N bebas dari
udara, sehingga tanaman dapat memenuhi
kebutuhan unsur N melalui penambatan secara
hayati
sehingga
mengurangi
ketergantungan
terhadap penggunaan pupuk N buatan.
Keberadaan unsur hara nitrogen sangat penting
bagi setiap kehidupan, khususnya mikroba tanah dan
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854
e-mail: rizal_pur@yahoo.com

tanaman Leguminosae. Unsur nitrogen termasuk


unsur utama dan merupakan faktor pembatas dalam
pertumbuhan, sehingga merupakan kunci keberhasilan pertumbuhan tanaman. Bakteri penambat nitrogen (Rhizobium) mempunyai kemampuan menambat
nitrogen bebas (N2) dari udara dan merubahnya
menjadi amonia (NH3) yang akan diubah menjadi
asam amino yang akan digunakan oleh tanaman
untuk tumbuh dan berkembang (Alexander, 1977).
Cadangan nitrogen di alam meliputi 78% volume
atmosfer, tetapi tidak tersedia bagi tanaman (Allen
dan Allen, 1981). Namun secara alami unsur nitrogen
ini dapat tersedia apabila lingkungan kaya bakteri
penambat nitrogen yang biasanya bersimbiosis
dengan kelompok tanaman dari famili Legumonosae.
Penambatan nitrogen secara biologis diperkirakan
menyumbang lebih dari 170 juta ton nitrogen ke
biosfer pertahun, 80% merupakan hasil dari simbiosis
antara bakteri Rhizobium dengan tanaman Leguminosae (Peoples et al., 1997 dalam Prayitno, 2000).
Salah satu alternatif untuk memperbaiki kondisi tanah
dan lingkungan serta meningkatkan kesuburan tanah
adalah dengan teknologi pemupukan secara hayati,
yaitu dengan menginokulasi mikroba pemacu
pertumbuhan (bakteri penambat nitrogen) pada
benih/bibit atau tanah maupun keduanya pada

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 85-88

86

tanaman. Pengaruh inokulasi akan terlihat nyata


apabila digunakan pada lahan yang mengandung
unsur hara atau ketersediaan air rendah, sehingga
inokulasi dapat mempercepat pemulihan lahan
(Carpenter dan Allen, 1988), mampu bersaing dan
beradaptasi terhadap lingkungannya, serta cocok
dengan tanaman inangnya (Yutono, 1985).
Kerjasama antara mikroba yang diinokulasikan
dan tanaman serta unsur-unsur hara dalam tanah
sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman A.
mangium untuk mencapai hasil yang maximum,
karena tidak semua biakan Rhizobium mampu hidup
bersimbiosis dan efektif melaksanakan proses
penambatan nitrogen dari udara bebas. Dengan
adanya biakan terpilih maka pemberian inokulum
sebagai pupuk hayati dapat tercapai secara optimal.
Berdasar hal tersebut, dilakukan penelitian ini untuk
mendapatkan inokulum yang cocok dan efektif serta
efisien dalam upaya meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Biakan yang efektif diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk hayati, terutama untuk
tanaman A. mangium.

Sebagai kontrol tanaman tanpa diinokulasi dan


tanpa ditambah pupuk N (K1), dan tanaman tanpa
diinokulasi dan ditambah pupuk N setara dengan 100
kg/ha (K2). Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan masing-masing
perlakuan 3 kali ulangan. Untuk mempertahankan
kelembaban (24%) dilakukan penyiraman setiap hari
dengan menggunakan larutan hara tanpa N terikat
seperti yang dilakukan oleh Saono dkk. (1976).
Komposisi larutan hara (10 liter larutan A + 10 ml
larutan B + 100 ml larutan C + 10 ml larutan D)
disajikan pada Tabel 1a.
Tanaman dipanen pada umur 70 hari, parameter
yang diamati adalah bobot kering tajuk, akar, bintil
akar, tanaman total, dan jumlah bintil, komponen
tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC
selama 24 jam. Untuk mengetahui kemampuan
bersimbiosis (Sc) biakan-biakan Rhizobium yang
diinokulasikan dilakukan penetapan dengan menggunakan cara Brockwell et al (1965) sebagai berikut:
I-U
Sc = ----------------N-U

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di rumah kaca Bidang
Mikrobio-logi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, dengan
menggunakan pasir steril, dalam pot-pot plastik
berukuran 0,5 galon. Sebanyak 1,8 kg pasir steril
digunakan sebagai media tumbuh, kemudian setelah
biji ditanam di atasnya ditambah pasir yang telah
dicampur dengan parafin dan benzol (steril) setinggi 2
cm sebagai penutup biji yang ditanam.
Biakan yang digunakan adalah (i) Bio 199R (isolat
dari Acacia villosa), (ii) Bio 203 R (isolat dari Albizia
sinensis), (iii) Bio 205R (isolat dari Albizia saponaria),
(iv) Bio 238R (isolat dari Erythrina fusca), (v) Bio
251R (isolat dari Pterocarpus indicus), (vi) Bio 7R
(isolat dari Vigna silindrica), dan (vii) biakan
campuran (Bio 199R+Bio 203R+Bio 205R+Bio
238R+Bio 251R+Bio7R).

Sc =
I
=
U

kemampuan bersimbiosis.
rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang
diinokulasi.
rata-rata bobot kering tanaman tanpa
diinokulasi dan tanpa N (K1).
rata-rata bobot kering tanaman tanpa
diinokulasi dan ditambah N (K2).

Nilai Sc dibagi dalam 4 katagori yaitu: E (sangat


efektif) jika Sc>0,67, e (efektif) jika 0,33<Sc<0,67, e(kurang efektif) jika Sc<0,33, dan I (tidak efektif) jika
Sc<0. Selain dengan Sc, pengujian tingkat keefektifan
dilakukan juga dengan membandingkan bobot kering
tanaman total yang diuji dengan bobot kering
tanaman kontrol yang ditambah dengan pupuk N (K2)
yang dinyatakan dengan persen seperti yang
dikemukakan oleh Date (dalam Vincent, 1982)

Tabel 1a. Komposisi larutan hara (larutan A, B, C, dan D).


Larutan
A.

Standar larutan calcium


sulfur

B.

Standar larutan ferric


citrate
Standar larutan fosfat

C.

D.

Standar larutan trace


element

Kandungan
unsur
CaSO42H2O
MgSO47H2O
akuades steril
ferric citrate
akuades steril
KH2PO4
KOH
akuades steril
MnSO4H2O
ZnSO45H2O
CuSO45H2O
NaMoO22H2O
H3BO3
CaCl26H2O)
akuades steril

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah
2,5 g
2,5 g
10 liter
30 g
1 liter
34 g
1,96 g
1 liter
1g
0,25 g
0,25 g
0,06 g
0,50 g
0,05 g
1 liter

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biakanbiakan Rhizobium yang diinokulasikan terhadap


tanaman A. mangium semuanya mampu membentuk
bintil akar, hal ini menunjukkan bahwa semua biakan
tersebut dapat bersimbiosis secara efektif dan efisien
dengan tanaman tersebut, yang ditandai dengan
pertumbuhan vegetatif tanaman yang diinokulasi lebih
bagus dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa
diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1). Seperti yang
dilaporkan oleh Stowers dan Elkan (1980), bahwa
kemampuan simbiosis yang efektif dan efisien
diketahui
bahwa
biakan
Rhizobium
yang
diinokulasikan mampu membentuk bintil akar, yang
berarti pengikatan nitrogennya berjalan dengan baik.

PURWANINGSIH Mikroba pupuk hayati Acacia mangium

Parameter yang diamati menunjukkan bahwa


untuk tinggi tanaman, nilai tertinggi diperoleh pada
tanaman yang diinokulasi dengan biakan campuran
pada pengukuran umur 4, 6, dan 8 minggu, masingmasing mengalami peningkatan sebesar 85, 83%,
69,93%, dan 76,9%, serta biakan Bio 7R dan biakan
campuran pada umur 10 minggu, keduanya
mengalami
peningkatan
sebesar
59,01%
dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan
tanpa dipupuk N (K1). Untuk jumlah daun, nilai
tertinggi diperoleh pada tanaman yang diinokulasi
dengan biakan campuran pada pengamatan umur 4,
6 dan 8 minggu, masing-masing mengalami
peningkatan sebesar 128,75%, 46,18%, 53,2%
dibandingkan dengan tanaman tanpa diinokulasi dan
tanpa dipupuk N (K1). Pada umur 10 minggu jumlah
daun tertinggi diperoleh pada tanaman yang
diinokulasi dengan biakan Bio 7R dan biakan
campuran,
keduanya
mengalami
peningkatan
sebesar 50,09%. Untuk bobot kering tajuk, akar, bintil
akar dan tanaman total nilai tertinggi pada tanaman
yang diinokulasi dengan biakan campuran, masingmasing mengalami peningkatan sebesar 70,37%,
60%, 0%, 68,22% dibandingkan dengan tanaman
tanpa diinokulasi dan tanpa dipupuk N (K1) (Tabel 1.,
2., dan 3.).
Tabel 1. Nilai rata-rata tinggi tanaman pertumbuhan tanaman A. mangium yang diinokulasi dengan mikroba (cm)
Umur (minggu)
4
6
8
10
Bio 199R
2,66 ab
3,66 a
4,66 ab
6,00 ab
Bio 203R
3,00 ab
3,66 a
5,00 ab
6,00 ab
ab
a
ab
Bio 205R
2,66
3,66
5,00
3,33 ab
ab
bc
bc
Bio 238R
3,66
5,33
6,00
7,66 ab
ab
ab
abc
Bio 251R
3,00
4,00
5,66
7,66 ab
abc
abc
cd
Bio 7R
3,33
4,66
7,00
9,00 b
Campuran
4,33 c
5,66 c
7,66 d
9,00 b
a
a
a
K1 (tanpa N)
2,33
3,33
4,33
5,66 a
K2 (+N)
3,33 abc
3,66 abc
5,66 abc
7,00 ab
BNT 5%
1,26
1,60
1,54
3,06
Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.
Perlakuan

Tabel 2. Nilai rata-rata jumlah daun pertumbuhan tanaman


A. mangium yang diinokulasi dengan mikroba.
Umur (minggu)
4
6
8
10
Bio 199R
2,66 a
4,00 a
4,66 a
6,00 ab
Bio 203R
2,66 a
4,33 ab
5,66 b
7,66 bc
a
ab
b
Bio 205R
2,33
4,33
5,33
6,33 ab
a
ab
b
Bio 238R
3,00
4,33
5,33
6,00 ab
a
a
b
Bio 251R
2,66
4,00
5,33
7,66 bc
Bio 7R
5,33 b
6,00 ab
7,00 c
8,00 c
b
b
c
Campuran
5,00
6,33
7,66
8,00 c
K1 (tanpa N)
2,33 a
4,33 ab
5,00 a
5,33 a
K2 (+N)
2,66 a
4,33 ab
5,66 b
6,66 abc
BNT 5%
1,15
2,1
0,91
1,71
Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.
Perlakuan

87

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa untuk


semua parameter pertumbuhan yang diamati terdapat
perbedaan yang nyata antar biakan, hal ini
menunjukkan bahwa biakan tersebut mempunyai
kemampuan simbiosis yang efektif yang mana
mampu menambat nitrogen dari udara secara
maksimal, sehingga pertumbuhan tanaman lebih
baik. Pasaribu (1983) mengemukakan bahwa
simbiosis yang efektif dan efisien akan menghasilkan
N tertambat yang tinggi, dimana N dapat digunakan
oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang,
sehingga pertumbuhannya akan menjadi lebih baik.
Dari keseluruhan parameter yang diamati
diketahui bahwa dari tujuh biakan yang diinokulasikan
diperoleh hasil pertumbuhan yang sangat bervariasi,
tetapi apabila dibandingkan dengan tanaman yang
tidak diinokulasi dan tidak dipupuk N (K1) terjadi
kenaikan pertumbuhan, hal ini berarti bahwa ada
kecocokan/keserasian
antara
biakan
yang
diinokulasikan dengan tanaman inang. Keberhasilan
inokulasi tergantung pada keefektifan dan efisiensi
dari biakan yang berperan, dan mempunyai
keserasian dengan tanaman inangnya (Sumarno dan
Harnoto, 1983). Freire (1977) menambahkan bahwa
teknik dan waktu inokulasi juga sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan hasil.
Ke-7 biakan Rhizobium yang diinokulasikan
terhadap tanaman A. mangium menunjukkan
kemampuan bersimbiosis. Biakan Bio 238R, Bio
251R, Bio 7R dan campuran menunjukkan nilai Sc
yang sangat efektif dan biakan Bio 199R dan Bio
205R menunjukkan efektif, hal ini berarti bahwa
simbiosis ke-6 biakan tersebut dengan tanaman A.
mangium cukup efektif, sedangkan biakan Bio 203R
menunjukkan hasil yang kurang efektif (Tabel 4). Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya
faktor ketidakcocokan antara biakan dengan tanaman
inang, misalnya tanaman yang diinokulasi dengan
biakan Bio 203R hasilnya tidak efektif karena biakan
tersebut dari tanaman Acacia sinensis.

Tabel 3. Nilai rata-rata bobot kering tajuk (BKT), akar


(BKA), bintil akar (BKB), dan tanaman total (BKTT)
terhadap pertumbuhan tanaman A. mangium yang
diinokulasi dengan mikroba (gram).
Perlakuan

BKT
c

BKA
ab

BKB

BKTT
a

Bio 199R
0,74
0,64
0,0157
1,3957 bc
ab
cd
ab
Bio 203R
0,59
0,76
0,0192
1,3789 b
bc
cd
abc
Bio 205R
0,70
0,77
0,0213
1,4913 bcd
cd
de
bcd
Bio 238R
0,81
0,84
0,0297
1,6797 def
d
de
cde
Bio 251R
0,86
0,83
0,0255
1,7155 ef
Bio 7R
0,88 d
0,76 cd
0,0285 de
1,6685 cde
Campuran
0,92 d
0,88 e
0,0337 e
1,8337 f
a
a
K1 (tanpa N)
0,54
0,55
0
1,0900 a
d
bc
K2 (+N)
0,87
0,72
0
1,5900 cde
BNT 5%
0,11
0,09
0,0073
0,0248
Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 85-88

88

Seperti dikemukakan oleh Bergensen (1982) yang


menyatakan bahwa ketidakefektifan bintil akar, seperti perkembangan bintil akar yang tidak sempurna
akibat ketidaksesuaian antar biakan Rhizobium dengan tanaman inang maupun biakan yang diinokulasikan mempunyai hubungan yang serasi dengan
tanaman A. mangium. Kenyataan ini sejalan dengan
hasil penelitian Yutono (1985) yang menyatakan
bahwa simbiosis antara strain-strain Rhizobium dengan jenis tanaman Leguminosae terdapat perbedaan keserasian, bahkan perbedaan keserasian itu
dapat pula terjadi antara strain Rhizobium dengan
varietas Leguminosae.
Tabel 4. Pembintilan, jumlah bintil, nilai symbiotic capacity
dan prosentase keefektifan mikroba yang diinokulasikan
terhadap tanaman A. mangium (umur 70 hari).
Pembintilan
Bio 199R
+
Bio 203R
+
Bio 205R
+
Bio 238R
+
Bio 251R
+
Bio 7R
+
Campuran
+
14,00 b
K1 (tanpa N)
K2 (+N)
BNT 5%
Perlakuan

Jumlah Symbio- Kapasitas


Sc (%)
bintil
tic riil
nisbi
a
9,00
e
0,60
87,77
9,33 a
e0,15
86,72
10,66 a
e
0,48
93,79
a
E
0,81
105,64
10,66
11,33 ab
E
0,96
107,89
ab
E
1,03
104,93
11,00
E
1,15
115,33
0
0
3,28

0
0
-

0
0
-

0
0
-

Dari hasil pengujian kemampuan bersimbiosis


dapat disimpulkan bahwa walaupun biakan-biakan
Rhizobium yang diinokulasikan mampu menginfeksi
suatu tanaman, namun belum tentu biakan tersebut
efektif terhadap tanaman inangnya (A. mangium).
Seperti dikatakan Usman (1983), bahwa suatu bakteri
yang dapat menginfeksi tanaman inang tertentu tidak
selalu efektif. Banyak jenis Rhizobium yang sangat
atau cukup efektif pada suatu tanaman, namun sama
sekali tidak efektif atau inefektif parsial pada tanaman
lain, dimana biakan tersebut dapat menambat N,
namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan N
tanaman inangnya.
Prosentase keefektifan biakan Rhizobium yang
tertinggi dijumpai pada tanaman yang diinokulasi
dengan biakan campuran, diikuti tanaman yang
diinokulasi dengan biakan Bio 251R, Bio 238R, Bio
7R, Bio 205R, Bio 199R, dan terendah pada tanaman
yang diinokulasi dengan biakan Bio 203R.
Prosentase keefektifan ini sangat bervariasi
tergantung dari jenis biakan yang diinokulasikan dan
kecocokan terhadap tanaman inang, apabila cocok
maka akan terjadi simbiosis yang efektif. Selain itu
faktor lingkungan dan fisiologi juga sangat
berpengaruh. Bergensen (dalam Gibson, 1980)
mengemukakan bahwa pembentukan bintil akar yang
baik dari hasil penambatan N pada akar tanaman
legum merupakan suatu rangkaian yang kompleks
dari proses fisiologi yang meliputi interaksi antara
tanaman inang dengan biakan yang diinokulasikan.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua biakan yang diinokulasikan mampu membentuk
bintil akar, namun tidak semua biakan efektif untuk
tanaman A. mangium. Hasil terbaik diperlihatkan oleh
biakan campuran (yang terdiri dari biakan Bio199R+
Bio203R+Bio205R+Bio238R+Bio251R+Bio7R). Biakan
tersebut dapat dikembangkan sebagai inokulum
pupuk hayati untuk tanaman A. mangium.
DAFTAR PUSTAKA
nd

Alexander, M. 1977. Soil Microbiology. 2 edition. New York: John


Wiley and Sons, Inc.
Allen. O.N and E.K. Allen. 1981. The Leguminosae; A. Source
Book of Characteristics Uses and Nodulation. Winconsin: The
University of Winconsin Press.
Bergensen. F.J. 1982. Root Nodules of Legume. Chichester:
Structure and Function Research Studies Press.
Brockwell. J.F.W. Hely, and C.A. Neal-Smith. 1965. Some
Symbiotic as effective field nodulation of Lobus hipidus.
Australian Journal of Experimental Agriculture and Animal
Husbandry 6 (23): 365-370.
Carpenter, A.T and F.F. Allen. 1988. Responses of Hedysanum
boreale nutt to mycorrhizas and Rhizobium: plant and soil
nutrient changes in a disturbed shrubsteppe. New Phytology
109: 125-132.
Freire, J.R.J. 1977. Inoculation of Soybean. In. J.M. Vincent. A.S
Whitney and J. Bose (eds). Exploiting the Legume Rhizobium
symbiosis in Tropical Agriculture. Coll. Trop. Agric. Misc. Publ.
145. Hawaii: Department of Agronomy and Soil Science,
University of Hawaii.
Gibson. A.H. 1980. Host determinants in nodulation and nitrogen
fixation. Advancea in Legume Science. England: University of
Reading.
Pasaribu, D., N. Sunarlim, M. Fathan, M. Sudjadi, Hartono, dan L.
Sumarsono. 1988. Maksimalisasi Hasil Kedelai di WonosariYogyakarta. Identifikasi Komponen dan Paket tehnologi
Kacang-kacangan pada Lahan Tegalan. Bogor: Balai penelitian
tanaman Pangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.
Prayitno, J., J.J. Weinman, M.A. Djordjevic, and B.G. Rolfe. 2000.
Pemanfaatan protein pendar hijau (green fluoresecent protein)
untuk mempelajari kolonisasi bakteri Rhizobium. Prosiding
Seminar Nasional Biologi XVI: 372-277.
Saono. S., H. Karsono, and D. Suseno. 1976. Studies on the effect
of different rhizobial strains on Phaseolus lunatus in sand
culture. Annales Bogoriense 6 (3): 143-154.
Stowers. M.D and G.H. Elkan. 1980. Criteria for selecting infektive
and efficient strains of Rhizobium for use in tropical
agriculture. North Caroline Agriculture Service Technology
Bulletin: 264.
Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok
tanamnya. Bulletin Teknik. No 6: 67. Bogor: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Usman, R. 1983. Penelitian Mengenai Isolasi, Media Pembiakan
serta Metode Pengelompokan Species Rhizobium. [Disertasi].
Bandung: Universitas Padjadjaran,.
Vincent, J.M. 1982. Nitrogen Fixation in Legumes. New York:
Academic Press.
Yutono. 1985. Inokulasi Rhizobium pada kedelai. Dalam
Somaatmadja., S., M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam., S.O.
Manurung, dan Yuswadi (ed). Kedelai. Bogor: Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangtan.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 89-95

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

R E V I E W:

Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia


Ecological distribution of Dipterocarpaceae species in Indonesia
PURWANINGSIH
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor 16122
Diterima: 25 Pebruari 2004. Disetujui: 17 Mei 2004

ABSTRACT
Dipterocarpaceae is one of the biggest family with >500 species in the world, and most of dipterocarps population are
grown in Indonesia which have high economical value of wood. One of the most important value from dipterocarps species
is high on endemicities; there are up to 128 species (53.78%) from 238 dipterocarps species in Indonesia. Distribution of
dipterocarps species would be affected by some factors especially edaphic, climate, and altitude. In Indonesia the
dipterocarps species distribution could be shown from islands groups, number of species and forest types. Based on the
observation of herbarium collection in Herbarium Bogoriense the distribution of the most dipterocarps species was in the
altitude of 0-500 m and 500-1000 m on the dipterocarps forest type. Kalimantan and Sumatra were the two bigger islands
with have the dipterocarps species distributed relatively high on population and species.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Dipterocarpaceae, ecological distribution, altitude, Indonesia.

PENDAHULUAN
Indonesia termasuk dalam kawasan fitogeografi
Malesia yang memiliki kawasan hutan hujan tropis
terbesar setelah Brazil, hal ini berkaitan dengan
keanekaragaman jenis tumbuhan yang sangat tinggi
dan formasi hutan yang beragam (Tabel 1.).
Dipterocarpaceae (dipterocarp) merupakan salah
satu suku besar dengan jumlah jenis di seluruh dunia
mencapai 506 jenis, tergolong dalam 14 marga yang
sebagian besar (76%) jenis tumbuh di kawasan
Malesia, terutama di Indonesia. Secara geografis,
persebaran jenis dipterocarp tidak merata di wilayah
Indonesia, berbeda dengan jenis dari suku lain
misalnya Myrtaceae, Euphorbiaceae, Lauracaeae,
Moraceae,
dan
Annoceae
yang
umumnya
mempunyai persebaran luas (pantropis) (Bawa,
1998). Secara ekologi jenis dipterocarp mempunyai
beberapa faktor pembatas untuk pertumbuhan dan
penyebarannya. Faktor yang paling menentukan
adalah faktor tanah, iklim dan ketinggian tempat.
Pada umumnya Dipterocarpaceae tumbuh pada jenis
tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian
dibawah 1300 m dpl., dan curah hujan >1000mm per
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: herbogor@indo.net.id

tahun (Whitmore, 1975).


Jumlah marga dan jenis dipterocarp di Asia
memiliki diversitas lebih tinggi dibanding Afrika dan
Amerika. Kekayaan dipterocarp di kawasan Malesia
juga tertinggi di daerah yang lebih basah.
Dipterocarpaceae Asia menduduki habitat yang
sangat bervariasi (Symington, 1943) dari pantaidaratan, sungai-gambut dan lahan kering, undulatingdataran, punggung, lereng, lembah, dan tanah yang
subur-miskin nutrient (hara). Di Semenanjung Malaya
terdapat beberapa zonasi tipe habitat berdasarkan
ketinggian tempat (altitude), yakni: ketinggian 0-300
m (low undulating dipterocarp forest), 300-750 m (hill
dipterocarp forest), dan 750-1200 m (upper
dipterocarp forest). Sedangkan untuk Kalimantan
zonasi ini akan berbeda. Hutan dipterocarp,
khususnya pada daerah basah di kawasan Malesia,
mempunyai kekayaan jenis flora dan fauna terbesar
di dunia. Hutan gambut air tawar (freshwater swamp),
khususnya di bagian yang lebih kering akan lebih
kaya jenis dipterocarp dibandingkan dengan gambut
tebal yang akan miskin jenis (Corner, 1978, dalam
Jacobs, 1988).
Jenis dipterocarp umumnya berupa pohon
menjulang (emergent trees) yang pertumbuhannya
lambat dan kayunya digunakan sebagai bahan
bangunan, apabila jenis-jenis ini dieksploitasi secara
terus menerus maka lama-kelamaan akan mengalami
pengurangan jumlah populasi yang sangat drastis

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95

90

dan untuk memulihkannya menjadi hutan primer akan


memakan waktu yang sangat lama. Kayu
Dipterocarpaceae mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi, sehingga menguasai perdagangan kayu
internasional, khususnya di Asia Tenggara (Apannah,
1998). Selain kayunya juga terdapat beberapa produk
minor non kayu dari dipterocarp seperti minyak,
damar, resin, dan kamper, akan tetapi hasil non kayu
ini sering diabaikan karena nilai ekonominya tidak
sebesar kayu. Dipterocarp merupakan sumber
penting untuk menghasilkan resin. Resin dipterocarp
terdapat dua macam yaitu (i) resin cair yang
mengandung bahan-bahan resinous dan minyak
esensial yang sering disebut sebagai oleoresin dan
(ii) resin keras yang sering disebut sebagai damar.
Kamper (kapur barus) dihasilkan oleh Dryobalanops
aromatica terutama di daerah Sumatera Utara dan
Johor. Kamper ini didapatkan dari rongga atau aluralur kulit batang dalam bentuk padat atau cairan
terang disebut sebagai minyak kamper. Minyak
(mentega) tengkawang (illipe nuts) dihasilkan dari biji
dipterocarp yang buahnya besar. Biasanya mentega
tengkawang ini digunakan untuk campuran coklat dan
kosmetika. Oleh karena itu buah tengkawang banyak
diekspor ke luar negeri yaitu Eropa dan Jepang.
Dipterocarp yang menghasilkan biji tengkawang
adalah Shorea sect. Pachycarpae, misalnya Shorea
pinanga, Sh. stenoptera, Sh. macroptera, dan Sh.
mecistopterix (Tantra, 1979). Di Kalimantan
masyarakat di sekitar hutan membuat minyak goreng
dari buah tengkawang (Anderson, 1975).
Pada hutan hujan lahan pamah yang selalu hijau
(evergreen lowland forest) terlihat pohon-pohon
menjulang tinggi mencapai 45 m atau lebih dan
sejumlah besar pohon menjalin hidup bersama. Tidak
terdapat jenis yang benar-benar dominan dan
biasanya 2/3 atau lebih dari pohon mencuat (emergent
trees) bersifat individual dan kontribusinya tidak lebih
dari 1% dari total jumlah jenis. Dalam formasi ini

terdapat tiga lapisan pohon: lapisan atas (top layer)


adalah pohon-pohon mencuat yang tingginya > 40 m,
umumnya adalah pohon dari jenis primer antara lain
Dipterocarpaceae; lapisan dibawahnya dengan tinggi
pohon 24-36 m biasanya lapisan ini jumlah jenisnya
lebih besar dan terdiri dari banyak suku; serta lapisan
bawah dengan tinggi 10-15 m yang biasanya
merupakan pohon kecil dan tahan terhadap naungan.

DIPTEROCARPACEAE DI INDONESIA
Dipterocarpaceae di Indonesia tersebar tidak
merata di setiap pulau, menurut Ashton (1982) bahwa
penyebaran dipterocarp ke arah timur keanekaragamannya semakin kecil. Keanekareagaman jenis
dipterocarp secara lokal pada masing-masing marga
tidak merata, bahkan terdapat beberapa marga yang
tidak dijumpai di belahan Indonesia timur. Dipterocarpaceae di kawasan Indonesia mencapai 62% (238
jenis) dari jumlah jenis yang terdapat di kawasan
Malesia (386 jenis). Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk
pertumbuhan dipterocarp, terutama di Indonesia
bagian barat (Tabel 2.). Terdapat 4 marga yang
penyebarannya meluas di kawasan Malesia yaitu
Anisoptera (11 jenis, 10 jenis terdapat di Malesia),
Vatica (65 jenis, 55 jenis di Malesia), Hopea (102
jenis, 84 jenis di Malesia), dan Shorea (194 jenis, 163
jenis di Malesia) (Ashton, 1982). Kalimantan dan
Sumatera merupakan dua pulau besar yang memiliki
persebaran kelompok jenis dipterocarp cukup
menonjol, baik dari populasi maupun jumlah jenisnya.
Bahkan sebagian besar hutan primer yang masih
tersisa di Kalimantan vegetasinya masih didominasi
oleh dipterocarp sehingga sering disebutnya sebagai
hutan
Dipterocarpaceae.
Apannah
(1998)
mengatakan bahwa Kalimantan dan Sumatera
merupakan pusat pertumbuhan Dipterocarpaceae di

Tabel 1. Formasi hutan hujan tropis.


Tipe hutan
Hutan hujan
tropis

Iklim
Selalu
basah
(everwet)

Tanah-air

Tidak berair Pedalaman


(dry-land)

Berair
(kadang
secara
periodik)

Kemarau
musiman
Hutan luruh
(monsoon)

Lokasi

Kering
moderat
tahunan
Kering
tergantung
musim

Jenis tanah

Elevasi

Formasi hutan
Hutan hujan lahan pamah tropis
Hutan hujan perbukitan tropis
Hutan hujan pegunungan tropis
Hutan sub-alpin tropis
Hutan kerangas
Hutan bukit kapur
Vegetasi pantai
Hutan mangrove (bakau)
Hutan air-payau
Hutan gambut
Hutan rawa air-tawar
Hutan rawa musiman

0-1000m
1000-1500m
1500-3000m
>3000m
Pasir podsolik
Lahan pamah
Limestone
Lahan pamah
Tanah gambut
Selalu tergenang Tergenang secara periodik
-

Hutan luruh basah tropis


Formasi lain dengan
meningkatnya musim kemarau

Pantai
Air-asin
Air payau
Air tawar
Tanah
eutropik

Hutan hujan semi-evergreen


tropis

PURWANINGSIH Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia

91

Tabel 3. Sebaran jenis dipterocarp di Kepulauan Indonesia.


J
Sl
4 (6,8%)
0 (0%)
2 (4,7%)
2 (4,7%)
1 (1,7%)
2(3,4%)
1 (0,7%)
2 (1,4%)
1 (8,3%)
1(8,3%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
9 (2,59%) 7 (2,01%)

M
Irian Jaya Jumlah %-tase
0 (0%)
0 (0%)
59
16,95
1 (2,4%)
1 (2,4%)
42
12,07
2 (3,4%)
10
60
17,24
2 (1,4%)
0 (0%)
152
43,68
1(8,3%)
1(8,3%)
12
3,45
0 (0%)
0 (0%)
9
2,59
0 (0%)
0 (0%)
9
2,59
0 (0%)
0 (0%)
4
1,15
0 (0%)
0 (0%)
1
0,29
6 (1,72%) 12 (3,45%)
348

11
16
11
3
2
6
77
24
2
152

1
4
2
3
2
7
36
3
1
59

1
6
2
3
3
9
26
2
0
52

1
5
1
2
3
4
36
3
0
55

1
2
1
1
0
0
7
2
0
14

1
2
1
0
1
2
3
0
0
10

0
0
0
0
0
2
8
2
0
12

Cotylelobium

Parashorea

Gambut
Pantai
Kerangas
Bukit kapur
Rawa air tawar
Tepi sungai
Lahan pamah
Bukit
Peg. rendah
Jumlah

Dryobalanops

Tipe Hutan

Anisoptera

Tabel 5. Sebaran jenis dipterocarp di beberapa tipe hutan.


Dipterocarpus

daerah lembab (humid). Di kawasan hutan dataran


rendah yang belum banyak terganggu, khususnya di
pedalaman Kalimantan populasi jenis dipterocarp
terlihat dominan, dari data spesimen yang ada di
Herbarium
Bogoriense
ternyata
Kalimantan
menyimpan paling banyak jenis dipterocarp yaitu
200 jenis (tidak termasuk Kalimantan Utara).
Penyebaran jenis dipterocarp di Asia meluas di
seluruh daratan yang terbagi dalam beberapa
mintakat secara geografis ataupun secara klimatis.
Jenis dipterocarp di Indonesia terbagi menjadi dua
kelompok berdasarkan jumlah jenisnya, kelompok
besar terdiri dari 4 marga yaitu Shorea, Vatica,
Dipterocarpus, dan Hopea, dalam kelompok ini
jumlah jenisnya lebih dari 10 dan kelompok yang
kedua adalah marga kecil diantaranya Anisoptera,
Dryobalanops, Parashorea, dan Cotylelobium.

NT
2 (3,4%)
0 (0%)
1 (1,7%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
3 (0,86%)

Vatica

S
25 (42,4%)
10 (23,8%)
14 (23,3%)
52 (%)
4 (3,6%)
2 (1,8%)
3 (2,7%)
1 (0,9%)
0 (0%)
111 (31,9%)

Hopea

K
28 (47,6%)
26 (61,9%)
30 (50%)
95 (62,5%)
4 (33,3%)
7 (77,8%)
6 (66,7%)
3 (75%)
1 (100%)
200 (57,47%)

Shorea

Marga
Dipterocarpus
Vatica
Hopea
Shorea
Anisoptera
Dryobalanops
Parashorea
Cotylelobium
Upuna
Total

0
1
1
1
0
0
2
1
0
6

Tabel 2. Marga dipterocarp dengan jumlah jenisnya yang


terdapat di Indonesia dan Malesia.
Jumlah jenis di
Indonesia
Malesia
95
161
Shorea
35
55
Vatica
38
54
Dipterocarpus
44
84
Hopea
7
10
Anisoptera
8
10
Parashorea
7
7
Dryobalanops
1
1
Upuna
0
1
Neobalanocarpus
3
3
Cotylelobium
Total
238
386
Marga

Keberadaan
jenis
59%
64%
70%
52%
70%
80%
100%
100%
0%
100%
62%

Tabel 4. Sebaran jenis dipterocaps berdasarkan ketinggian


tempat.
Marga
Dipterocarpus
Hopea
Shorea
Vatica
Anisoptera
Parashorea
Dryobalanops
Cotylelobium
Upuna

0-500
24
41
64
27
3
3
5
1
1

Ketinggian tempat (dpl.)


500-1000 1000-1500 >1500
17
1
10
2
52
13
10
5
4
1
3
2
3
1
-

Tabel 6. Jenis dipterocarp yang tumbuh di daerah gambut.


Jenis gambut
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Anisoptera marginata Korth.


Dipterocarpus coriaceus Sloot.
Dipterocarpus elongatus Korth.
Dipterocarpus semivestitus Sloot.
Dipterocarpus tempehes Sloot.
Dipterocarpus validus Bl.
Dryobalanops oblongifolia Dyer ssp. occidentalis Ashton
Dryobalanops rappa Becc.
Hopea pentanervis Sym
Shorea albida Sym (ex Thomas)
Shorea balangeran (Korth.) Burck
Shorea foraminifera Ashton
Shorea hemsleyana (King) King ex Foxw. ssp. hemsleyana
Shorea longiflora (Brandis) Sym.
Shorea macrantha Brandis
Shorea pachyphylla Ridl.
Shorea palembanica Miq.
Shorea platycarpa Heim
Shorea scabrida Sym.
Shorea sumatrana (Sloot.ex Thorenaar) Sym.
Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis
Shorea uliginosa Foxw.
Vatica chartacea Ashton
Vatica pauciflora (Korth.) Bl.
Vatica teysmaniana Burck

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95

92

Tabel 7. Jenis dipterocarp yang tumbuh di daerah kerangas.


Jenis kerangas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

Cotylelobium lanceolatum Craib.


Dipterocarpus borneensis Sloot.
Hopea kerangasensis Ashton
Hopea micrantha Hook.f.
Hopea pterygota Ashton
Shorea coriacea Burck
Shorea induplicata Sloot.
Shorea materialis Ridl.
Shorea multiflora (Burck) Sym.
Shorea retusa Meijer
Shorea revoluta Ashton
Shorea richetia Sym.
Vatica brunigii Ashton
Vatica compressa Ashton
Vatica parvifolia Ashton
Vatica rotata Ashton

Berdasarkan Flora Malesiana, pulau Indonesia


terbagi menjadi 7 bagian pulau besar (Ashton, 1982)
(Tabel 3.). Sebaran dipterocarp sebagian besar berada di Kalimantan (200 jenis; 57.5%) dan Sumatera
(111 jenis; 31.9%), sedangkan ke arah timur tidak
lebih dari 4% pada setiap pulau dan yang paling
miskin jenis dipterocarp adalah Nusa Tenggara. Dari
10 marga yang terdapat di Indonesia ternyata marga
Shorea yang paling beragam jenisnya dan sebagian
besar tumbuh di Kalimantan, beberapa marga seperti
Dryobalanops, Dipterocarpus, dan Parashorea penyebarannya tidak mencapai Indonesia bagian timur.
SEBARAN EKOLOGI DIPTEROCARPACEAE
Persebaran jenis dipterocarp sangat tergantung
pada faktor alam yang mempengaruhi pertumbuhannya, terdapat dua faktor pembatas yaitu iklim dan
ketinggian tempat. Pada umumnya dipterocarp
terdapat pada daerah tropis basah dengan curah
hujan >1000 mm per tahun dan/atau musim kemarau
(kering) kurang dari 6 bulan, sehingga dipterocarp
tumbuh subur di hutan lahan pamah hujan tropis
(lowland rain forest) (Whitmore, 1988) dengan
ketinggian tempat tidak lebih dari 1500 m dpl. Faktor
iklim sangat mempengaruhi penyebaran dipterocarp,
berdasarkan data curah hujan (Schmidt dan
Ferguson, 1951, dalam Whitmore, 1975) perbandingan bulan hujan dan bulan kering mempunyai nilai Q
yang rendah, artinya kawasan Indonesia sebagian
besar termasuk beriklim basah dan sebagian kecil
saja yang beriklim kering seperti Nusa Tenggara.
Di Indonesia, jenis dipterocarp tidak mampu
tumbuh pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl.
Semakin
tinggi
altitudenya
semakin
sedikit
diketemukan jenis dipterocarp, bahkan pada
ketinggian >1500 m dpl di Indonesia tidak
diketemukan jenis Dipterocarp, sedangkan di wilayah
lain seperti di Brunei, jenis Shorea ovata, Sh.
Longisperma, Hopea cernua, dan Hopea beccariana
Burk mampu tumbuh pada ketinggian 1750 m.

Sebagian besar jenis dipterocarp tumbuh di daerah


lereng dan punggung bukit, tumbuh sebagai pohon
menjulang (emergent) dengan tinggi mencapai 50 m
(strata
A).
Pohon-pohon
tersebut
biasanya
mempunyai nilai komersial yang tinggi (Ashton,
1982). Di Indonesia berdasarkan hasil pengamatan
koleksi herbarium di Herbarium Bogoriense, terlihat
bahwa penyebaran dipterocarp yang paling banyak
pada ketinggian 0-500 m dan 500-1000 m (Tabel 4.).
Dari hasil pemilahan data berdasarkan tipe hutan
(Tabel 5.) terlihat bahwa tipe hutan yang paling
banyak diduduki jenis dipterocarp adalah hutan lahan
pamah, perbukitan, tepi sungai, dan hutan pantai,
sedangkan pada tipe hutan yang kondisinya ekstrim
dimana tanahnya miskin hara dan drainasenya jelek
akan mempengaruhi jumlah jenis yang mampu
tumbuh pada kondisi tersebut. Pada beberapa tipe
hutan ekstrim seperti hutan gambut, bukit kapur, dan
hutan kerangas terlihat sedikit jenis yang mampu
beradaptasi pada kondisi tersebut (Tabel 6. dan 7.).
Hal ini mungkin karena pemencaran bijinya kurang
baik, biji mudah rusak dan mudah terisolasi secara
alami seperti pada sungai kecil di lembah-lembah,
serta cepatnya perubahan faktor tanah (Ashton,
1972).
Menurut
Maury-Lechon
dkk.
(1998),
endemisitas di Kalimantan lebih rendah (58-55%,
158-155/267 jenis) dibandingkan Sri Lanka (98%, 43/44
jenis), India (85%, 11/13 jenis) dan New Guinea (73%,
11
/15 jenis). Terdapat tiga marga besar dipterocarp endemik di Malesia, yaitu marga Upuna di Kalimantan,
Neobalanocarpus di Malaya, dan Dryobalanops di
dataran Sunda (Sumatera, Kalimantan, dan Malaya).
Dipterocarpaceae mempunyai nilai endemisitas yang
tinggi yaitu 128 jenis (53,78%) dari 238 jenis
dipterocarp yang terdapat di Indonesia. Kalimantan
mempunyai jenis endemik yang tinggi yaitu 103 jenis
(80,47%), hal ini menunjukkan adanya hubungan
dengan pemencaran biji dan sifat biji yang recalcitrant
yaitu tidak tahan lama (Tabel 8.).
Tabel 8. Jenis dipterocarp yang populasinya sedikit di alam.
Dipterocarpaceae langka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Dipterocarpus conformis Sloot.ssp. conformis


Dipterocarpus fusiformis Ashton
Dipterocarpus gracilis Bl.
Hopea bancana (Boerl.) Sloot.
Hopea bullatifolia Ashton
Hopea depressinerva Ashton
Hopea latifolia Sym
Hopea pedicellata (Brandis) Sym
Parashorea globosa Sym.
Shorea andulensis Ashton
Shorea blumutensis Foxw.
Shorea cordata Ashton
Shorea macrobalanos Ashton
Shorea obovoidea Sloot.
Vatica bantamensis (Hassk.) B.H. ex Miq.
Vatica congesta Ashton
Vatica havilandii Brandis
Vatica parvifolia Ashton
Vatica ridleyana Brandis

PURWANINGSIH Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia

Upuna merupakan jenis tunggal di Kalimantan dan


juga merupakan jenis endemik di Indonesia.
Pemencaran biji berkaitan dengan pola pembungaan,
untuk jenis dipterocarp pola pembungaan di dalam
hutan tidak terjadi setiap tahun, tetapi mempunyai
interval waktu yang tidak teratur dengan intensitas
yang bervariasi, dimana kadang-kadang pembungaan
melimpah (Krishnapillay dan Tompsett, 1998).
Contoh, pada tahun 1955 di Sabah 2/3 dari 200 jenis
dipterocarp berbunga. Pembungaan pada beberapa
jenis dipterocarp ada yang terjadi setiap 2 tahun dan
ada pula setiap 5 tahun. Pembungaan dipterocarp
membutuhkan sinar matahari yang cukup, hal ini
terlihat pada pohon menjulang, dimana kebutuhan
sinar matahari sangat banyak sehingga pada waktu
musim pembungaan hampir seluruh tajuknya
berbunga, sedangkan pohon-pohon dipterocarp yang

93

berada pada lapisan di bawahnya pembungaan akan


terjadi secara sporadis, yakni hanya pada cabangcabang yang terkena matahari langsung. Umur pohon
untuk bisa berbunga juga bervariasi, pada pohon
menjulang dapat bertahun-tahun untuk mencapai usia
berbunga, tergantung pada kondisi lingkungan hutan.
Pohon dipterocarp yang ditanam memiliki usia
pembungaan setelah 15-30 tahun. Jenis dipterocarp
mempunyai kecepatan tumbuh yang sangat
bervariasi, beberapa jenis yang tidak toleran terhadap
intensitas cahaya rendah mempunyai kecepatan
tumbuh yang tinggi. Usia dewasa dicapai setelah
berumur sekitar 60 tahun, dan usia hidupnya diduga
dapat mencapai 250 tahun. Sedangkan jenis lain
yang toleran terhadap naungan akan mempunyai
kecepatan pertumbuhan yang lambat, tetapi usianya
bisa mencapai 1000 tahun (Ashton, 1982).

Tabel 9. Jenis endemik yang terdapat di Kepulauan Indonesia.


Jenis endemik

NT

SL

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
-

+
-

+
-

+
+
+
+
+
+
+
-

Anisoptera grossivenia Sloot.


Anisoptera marginata Korth.
Cotylelobium burkii (Heim) Heim
Dipterocarpus applanatus Sloot.
Dipterocarpus caudiferus Merr.
Dipterocarpus cinereus Sloot.
Dipterocarpus confertus Sloot.
Dipterocarpus geniculatus Vesque ssp. geniculatus
Dipterocarpus littoralis Bl.
Dipterocarpus mundus Sloot.
Dipterocarpus stellatus Vesque ssp. parvus Ashton
Dipterocarpus tempehes Sloot.
Dryobalanops beccarii Dyer
Dryobalanops fusca Sloot.
Dryobalanops keithii Sym.
Dryobalanops lanceolata Burk
Dryobalanops rappa Becc.
Hopea altocollina Ashton
Hopea andersonii Ashton
Hopea aptera Ashton
Hopea bancana (Boerl.) Sloot.
Hopea bullatifolia Ashton
Hopea celebica Burck
Hopea celtidifolia Kosterm.
Hopea centipeda Ashton
Hopea dasyrrachis Sloot.
Hopea enicosanthoides Ashton
Hopea fluvialis Ashton
Hopea inex pectata Ashton
Hopea iriana Sloot.
Hopea megacarpa Ashton
Hopea micrantha Hook.f.
Hopea nigra Burck
Hopea nodosa Sloot.
Hopea novoguineensis Sloot.
Hopea ovoidea Ashton
Hopea papuana Diels
Hopea paucinervis Parijs
Hopea pterygota Ashton
Hopea rudiformis Ashton

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 89-95

94

Tabel 9. Jenis endemik yang terdapat di Kepulauan Indonesia (lanjutan).


Jenis endemik

NT

SL

41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
-

+
-

+
+
-

Hopea scabra Ashton


Hopea similis Sloot.
Hopea sphaerocarpa (Heim) Ashton
Hopea tenuinervula Ashton
Parashorea aptera Sloot.
Parashorea macrophylla Wyatt-Smith ex Ashton
Parashorea parvifolia Wyatt-Smith ex Ashton
Parashorea smythiesii Wyatt-Smith ex Ashton
Parashorea tomentella (Sym.) Meijer
Shorea agamii Ashton
Shorea albida Sym (ex Thomas)
Shorea amplex icaulis Ashton
Shorea andulensis Ashton
Shorea angustifolia Ashton
Shorea argentifolia Sym.
Shorea asahii Ashton
Shorea beccariana Burck
Shorea brunescens Ashton
Shorea carapae Ashton
Shorea colaris Sloot.
Shorea confusa Ashton
Shorea conica Sloot.
Shorea cordata Ashton
Shorea coriacea Burck
Shorea crassa Ashton
Shorea domatiosa Ashton
Shorea elliptica Burck
Shorea faguetioides Ashton
Shorea fallax Meijer
Shorea ferruginea Dyer ex Brandis
Shorea flaviflora Wood ex Ashton
Shorea foraminifera Ashton
Shorea furfuracea Miq.
Shorea hypoleuca Meijer
Shorea induplicata Sloot.
Shorea leptoderma Meijer
Shorea longiflora (Brandis) Sym.
Shorea macrobalanos Ashton
Shorea macrophylla (De Vriese) Ashton
Shorea mecistopteryx Ridl.
Shorea montigena Sloot.
Shorea myrionerva Sym.ex Ashton
Shorea obovoidea Sloot.
Shorea obscura Meijer
Shorea ochracea Sym.
Shorea ochrophloia (Sym.apud Desh) Strugnell
Shorea pachyphylla Ridl.
Shorea parvistipulata Heim
Shorea patoensis Ashton
Shorea pilosa Ashton
Shorea pinanga Scheff.
Shorea polyandra Ashton
Shorea quadrinervis Sloot.
Shorea retusa Meijer
Shorea richetia Sym.
Shorea rubella Ashton
Shorea rubra Ashton
Shorea rugosa Heim
Shorea sagittata Ashton
Shorea scaberrima Burck

PURWANINGSIH Sebaran Dipterodarpaceae di Indonesia

95

Tabel 9. Jenis endemik yang terdapat di Kepulauan Indonesia (lanjutan).


Jenis endemik

NT

SL

101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
-

+
-

+
-

+
-

Shorea selanica Bl.


Shorea slootenii Wood ex Ashton
Shorea smithiana Sym.
Shorea splendida (De Vriese) Ashton
Shorea stenoptera Burck
Shorea superba Sym.
Shorea xanthophylla Sym.
Upuna borneensisSym.
Vatica albiramis Sloot.
Vatica badiifolia Ashton
Vatica bantamensis (Hassk.) B.H. ex Miq.
Vatica cauliflora Ashton
Vatica chartacea Ashton
Vatica congesta Ashton
Vatica dulitensis Sym.
Vatica endertii Sloot.
Vatica flavovirens Sloot.
Vatica globosa Ashton
Vatica granulata Sloot.
Vatica micrantha Sloot.
Vatica oblongifolia Hook.f.
Vatica obovata Sloot.
Vatica pentandra Ashton
Vatica rotata Ashton
Vatica rynchocarpa Ashton
Vatica sarawakensis Heim
Vatica soepadmoi Ashton
Vatica teysmaniana Burck
Vatica vinosa Ashton

Keterangan: K: Kalimantan, S: Sumatera, J: Jawa, NT: Nusa Tenggara, Sl: Sulawesi, M: Maluku, I: Irian (Papua).

PENUTUP
Populasi jenis Dipterocarpaceae saat ini sedang
mengalami degradasi yang sangat cepat. Hal ini
disebabkan proses pembalakan yang terjadi secara
terus menerus dengan skala besar, sehingga dapat
berakibat terhadap keberadaan jenis tersebut. Tabel
8. memperlihatkan beberapa jenis anggota famili
Dipterocarpaceae yang keberadaan/populasinya di
alam sudah mulai menurun. Oleh karena itu, taksa
bernilai ekonomi tinggi ini perlu perhatian serius agar
terjaga kelestariannya.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.A.R., 1975. The potential of illipe nuts (Shorea spp.) as
an agricultural crop. In: Wiliams (ed.). Proceedings of
Symposium on Southeast Asian Plant Genetic Resources,
Bogor-Indonesia. 20-22 March, 1975. Bogor: BIOTROP.
Apannah, S., 1998. A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology
and Sylviculture. CIFOR. Bogor-Indonesia.
Ashton, P.S., 1972. Precursor to a taxonomic revision of Ceylon
Dipterocarpaceae. Blumea 20: 357-366.
Ashton, P.S., 1982. Dipterocarpaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J
(ed.) Flora Malesiana (9): 237-552.

Ashton, P.S., 1988. Dipteocarp biology as window to the


understanding of tropical forest structure. Annual Review of
Ecology and Systematics 19: 347-370.
Bawa, K.S (1998). Conservation of genetic Resources in the
Dipterocarpaceae. Biogeography and evolutionary Systematics
of Dipterocarpaceae. In: Apannah, S. and J.M. Turnbull (eds.).
A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Sylviculture.
Bogor: CIFOR.
Jacobs, M., 1988. The Dipterocarps. In: Earl of Cranbrook (ed.)
Malaysia. Key Environments Series. Oxford: Pergamon Press.
Krishnapilly, B. and P.B. Tompsett, 1998. Seed Handling. Biogeography and evolutionary systematics of Dipterocarpaceae.
In: Apannah, S. and J.M. Turnbull (eds.). A Riview of
Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Sylviculture. Bogor:
CIFOR.
Maury-Lechon, G. and L. Curtet, 1998. Biogeography and
evolutionary Systematics of Dipterocarpaceae. In: Apannah, S.
and J.M. Turnbull (eds.). A Riview of Dipterocarps: Taxonomy,
Ecology and Sylviculture. Bogor: CIFOR.
Symington, C.F., 1943. Forester manual of dipterocarps. Malayan
Forest Record no. 16. Kuala Lumpur: Forest Department.
Tantra, I.G.M., 1979. The establishment of tengkawang plantations
in Indonesia. In: Proceedings of the Symposium on
Management of Forest Production in Southeast Asia, April, 1922, 1977. Bangkok-Thailand, Biotrop Special Publication No.4.
Bogor: BIOTROP.
Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rainforest of the Far East. Oxford:
Clarendon Press.
Whitmore, T.C., 1988. Forest types and forest zonation. In: Earl of
Cranbrook (ed.) Malaysia. Key Environments Series. Oxford:
Pergamon Press.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 96-104

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

R E V I E W:

Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman


Nasional Baluran Jawa Timur
Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. and Problematical in Baluran National Park, East Java
D J U F R I 1,2,

Jurusan PMIPA FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 23111


Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 16144
Diterima: 10 Desember 2003. Disetujui: 17 Mei 2004.

ABSTRACT
Acacia nilotica (L.) Del. is a thorny wattle native in India, Pakistan and much of Africa. This acacia is widely distributed in
tropical and subtropical Africa from Agypt and Mauritania to South Africa. In Africa and the Indian Subcontinent, Acacia
nilotica is extensively used as browse, timber and fire-wood species. The bark and seeds are used as source of tannins.
The species is olso used for medicinal purposes. Bark of Acacia nilotica has been used for treathing haemorrhages, colds,
diarrhoea, tuberculosis and leprosy; while the roots have been used as an aphrodisiac and the flowers for treathing syphillis
lessions. The invasion of Acacia nilotica has resulted in the reduction of savanna in Baluran National Park reaching about
50%. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Acacia nilotica, biology, ecology, grassland, Baluran National Park.

PENDAHULUAN
Akasia (Acacia nilotica) diperkirakan berasal dari
India, Pakistan, dan juga banyak ditemukan di Afrika.
Sekarang ini telah dikenal beberapa spesiesnya
seperti A. nilotica sub spesies indica, A. leucoploea
Willd., A. farnesiana Willd., A. ferruginea DC., A.
catechu Willd., A. horrida (l.f) Willd., A. sinuata (Lour.)
Merr., A. pennata Willd., dan A. senegal Willd.
(Brenan, 1983). Akasia tersebar luas di Afrika tropis
dan subtropis dari Mesir dan Mauritania sampai Afrika
Selatan. Beberapa spesies tersebar luas di Asia
Timur seperti Birma. Acacia nilotica sub spesies
indica juga tumbuh di Ethiopia, Somalia, Yaman,
Oman, Pakistan, India, dan Myanmar. Kemudian juga
berhasil ditanam di Iran, Vietnam (Ho Chi Min City),
Australia (Sydney dan Queensland) dan di Karibia
(Brenan, 1983). Sub spesies ini umum dijumpai pada
tanah dengan kandungan liat yang tinggi, tetapi dapat
juga tumbuh pada tanah lempung berpasir yang
dalam dan di area dengan curah hujan yang tinggi.
Umumnya tumbuh di dekat jalur air terutama di
Alamat korespondensi:
Jl. Ciremai Ujung 18 RT 04 RW 02 Bantarjati Atas Bogor 16153
Tel. +62-251-359860. Fax. +62-251-384242.
e-mail: arrijani@yahoo.com

daerah yang sering mengalami banjir dan sangat


toleran terhadap kondisi salin. Tumbuhan ini dapat
tumbuh pada area yang menerima curah hujan
kurang dari 350-1500 mm per tahun. Spesies ini
dilaporkan sangat sensitif terhadap kebekuan/dingin,
namun dapat tumbuh pada area dimana rata-rata
temperatur bulanan sangat dingin yaitu 160C (Gupta,
1970). Menurut Duke (1983) A. nilotica berasal dari
Mesir Selatan lalu tersebar ke Mozambique dan
Natal, kemudian di introduksi ke Zanzibar, Pemba,
India dan Arab. Saat ini A. nilotica merupakan gulma
yang menimbulkan masalah serius di Afrika Selatan.
Di Australia, sebagian besar area A. nilotica
dijumpai di Queensland dengan laju invasi dilaporkan
masih rendah terutama di bagian utara, New South
Wales, dan Australia Selatan. Data yang diberikan
Bolton dan James (1985) menunjukkan invasi sekitar
6,6 juta ha, atau 25% dari luas padang rumput
Mitchell, dengan kepadatan sekitar 0,6 juta ha. Distribusi dan kepadatan spesies ini terus menunjukkan
peningkatan (Reynold dan Carter, 1990).
A. nilotica yang di introduksi ke Indonesia
merupakan sub spesies indica. Introduksi dilakukan
pada tahun 1850, melalui Kebun Botani di Kalkuta
(India) dengan tujuan untuk menjadikan tumbuhan ini
sebagai salah satu tumbuhan yang memiliki nilai
komersial yaitu sebagai penghasil getah (gum) yang

DJUFRI Acacia nilotica di TN Baluran

berkualitas tinggi. Namun setelah tumbuhan ini


ditanam di Kebun Raya Bogor, ternyata produksi
getahnya sangat rendah sehingga pohon-pohon
tersebut ditebang 40 tahun kemudian. Introduksi
tumbuhan ini ke Taman Nasional Baluran di
Banyuwangi Jawa Timur tidak diketahui secara pasti,
diperkirakan terjadi pada tahun awal 1960-an atau
sebelumnya. Tujuan introduksi ini adalah sebagai
sekat bakar untuk menghindari menjalarnya api dari
savana ke kawasan hutan jati (Anonim, 1999).
Namun invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran
telah menyebabkan terdesaknya berbagai jenis
rumput sebagai komponen utama penyusun padang
rumput Baluran.
Rumput merupakan sumber pakan utama satwa di
daerah tersebut. Dengan adanya A. nilotica,
pertumbuhan rumput terdesak, sehingga satwa
mencari pakan lain, salah satunya adalah daun dan
biji A. nilotica. Namun sebagai sumber pakan utama,
rumput tetap tidak dapat tergantikan (Sabarno, 2002).
Fenomena ini tentunya dapat mengakibatkan
terganggunya keseimbangan ekosistem Taman
Nasional
Baluran,
misalnya
berkurang
dan
menyusutnya pakan utama bagi herbivora. Kondisi ini
pada gilirannya dapat mengancam keberadaan satwa
herbivora di kawasan ini. Kondisi padang rumput
Baluran saat ini sedang mengalami proses
perubahan dari ekosistem terbuka yang didominasi
suku Poaceae (rumput-rumputan) menjadi areal yang
ditumbuhi A. nilotica. Pada tempat-tempat tertentu
pertumbuhan Acacia ini sangat rapat sehingga
membentuk kanopi tertutup, akibatnya beberapa jenis
rumput tidak mampu hidup di bawahnya. Kejadian ini
kemungkinan disebabkan kompetisi kebutuhan
cahaya atau adanya faktor alelopati. Untuk
memperoleh jawaban atas fenomena tersebut perlu
dilakukan kajian mengenai A. nilotica ini.

DESKRIPSI
A. nilotica tergolong pohon kecil (treeless) dengan
tinggi 2,5-20 m, namun ada yang mencapai 25 m.
Memiliki
satu
batang
utama
(monopodial),
percabangan dapat terjadi dekat permukaan tanah
dan membentuk bagian puncak pohon yang bulat
atau mendatar. Kulit kayu dari batang dan cabang
utama berwarna kelabu hingga hitam atau kecoklatan
dengan permukaan yang kasar oleh adanya celahcelah atau retakan-retakan longitudinal. Percabangan
ke arah atas. Duri berpasangan berukuran 1-13 cm,
lurus hingga membentuk sudut 1100-1200, ujung duri
runcing, berwarna putih hingga keperakan. Daun
berwarna hijau terang, kadang sedikit kusam. Ibu
tangkai daun memiliki 1-2 kelenjar. Anak daun
berpasangan berjumlah 7-36 pasang, panjang anak
daun 1-7 x 0,5-1,5 mm. Bunga majemuk berwarna
kuning dengan bau menyengat, memiliki rambutrambut halus. Bunga ditopang oleh ibu tangkai bunga

97

yang panjangnya 1,5-4,5 cm. Diameter mahkota


setiap anak bunga 6-15 mm. Bunga biseksual atau
jantan saja. Buah tunggal atau sepasang pada ujung
tangkai yang kuat, coklat gelap hingga abu-abu, lurus
hingga berlekuk-lekuk. Kulit buah seperti beludru,
panjang 5-20 cm x 1,2-2,2 cm. Jumlah polong yang
dihasilkan adalah 2-3 polong per 1000 anak bunga
sehingga setiap pohon mampu menghasilkan 143150 polong atau rata-rata 832 polong per pohon
(Anonim, 1999).

HABITAT
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa A. nilotica
merupakan gulma di habitat asalnya yaitu Afrika
Selatan (Holm et al., 1979), namun di kawasan
lainnya ditanam untuk keperluan kehutanan atau
untuk mereklamasi lahan yang mengalami degradasi
(Purl dan Khybri, 1975; Shetty, 1977). Di Asia dan
Afrika, polong dan biji tumbuhan ini dimakan oleh
hewan peliharaan seperti sapi, biri-biri, kambing dan
unta (Gupta, 1970). Spesies hewan yang lainnya juga
memakan polong dan bijinya, misalnya rusa
Thompson, rusa Dorces, dikdik, gajah, jerapah, kuda,
dan kambing pegunungan (Lamprey et al., 1974).
Pemencaran biji sebagian besar dilakukan oleh
hewan-hewan yang memakan biji tersebut. Di
Australia biji disebarkan oleh hewan peliharaan. Di
Afrika dan India, juga banyak insekta yang
menyerang biji dewasa.
Menurut Duke (1981) A. nilotica tumbuh dengan
subur di daerah yang kering, pada ketinggian 101340 m dpl. Jenis ini hidup pada kisaran kondisi yang
luas, juga tumbuh dengan baik pada kisaran variasi
tanah yang luas, kelihatannya sangat berkembang
pada tanah aluvial, tanah lapisan atas tipis berwarna
hitam (black cooton soils), tanah liat, juga dapat
tumbuh pada kondisi tanah yang miskin unsur hara
(N.A.S, 1980). Kisaran hidupnya dari gurun subtropis
ke subtropis kering sampai gurun tropis ke zona
kehidupan kering hutan tropis. A. nilotica dilaporkan
juga toleran terhadap presipitasi tahunan berkisar
3,8-22,8 dm (rata-rata dari 12 kasus = 12,0 dm), ratarata temperatur tahunan 18,7-27,80C (rata-rata dari
12 kasus = 24,10C), dan pH berkisar 5-8 (rata-rata
dari 10 kasus = 6,9).

SIKLUS HIDUP
Model identifikasi enam tahapan A. nilotica adalah
kumpulan biji (seedbank), anakan (seedling), remaja
(juvenile), dewasa (adult), bunga (flowers), dan biji di
dalam polong (seeds-in-pods). Bunga dan biji di
dalam polong merupakan fase endogen yaitu: fase
hidup dari anakan sampai dewasa. Pendekatan siklus
hidup tersebut termasuk di dalamnya pemilihan

98

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104

bunga yang mengalami aborsi dan polong yang


mengalami kerusakan akibat kekeringan, misalnya
perbedaan laju perkembangbiakan polong yang
bergantung pada kemampuan spesifik kohor pada
kondisi lingkungan di tempat hidupnya.
Model inkoperasi yang digunakan bergantung
pada ukuran kompetisi intraspesifik (Thomas dan
Weiner, 1989). Konsep mekanisme inkoperasi
dipengaruhi oleh zona (Mitchell, 1969) dan teori
lapangan ekologi (Walker dan Dowling, 1990). Pohon
dewasa yang menempati wilayah yang luas akan
menghasilkan kanopi, anakan, dan remaja dengan
densitas yang tinggi. Di asumsikan bahwa tumbuhan
berkompetisi secara eksklusif untuk memperebutkan
ruang di luar kanopinya selama terjadi musim kering,
tetapi mereka juga toleran terhadap kepadatan yang
tinggi selama periode basah dan pada tempat-tempat
yang lembab (misalnya di sepanjang sungai atau
pantai).
Dalam siklus tersebut juga termasuk mekanisme
untuk perkecambahan, kerusakan biji, mekanisme
pengawetan tumbuhan, pertumbuhan, maturasi,
pengaruh kepadatan terhadap pertumbuhan dan
mortalitas, reproduksi (termasuk yang mengalami
aborsi), herbivora, kompetisi interspesifik dengan
spesies rumput dan perbedaan pemencaran biji
dalam kaitannya dengan pola penyimpanan (stoking)
(Radford et al., 1999).
FENOLOGI
Di Queensland, A. nilotica berbunga dari Maret
sampai Juni dengan warna biji hijau, muncul pada
tahun-tahun kering Juli sampai Desember. Produksi
daun dan serasah ditentukan oleh kondisi
kelembaban tanah (Carter dan Cowan, 1988) dan
gugur mencapai di atas 75% pada musim kering.
Kenyataan bahwa di Sudan masa pembungaan tidak
beraturan, tetapi yang umum dalam periode
September dan munculnya anakan Januari-Mei.
Rontoknya daun secara intensif terjadi pada April-Mei
dengan pembentukan daun kembali (refoliasi) MaretApril. Produksi daun dan serasah dipengaruhi oleh
faktor yang sama yaitu curah hujan, sedangkan
temperatur berpengaruh terhadap pembungaan dan
pembentukan buah. Di Australia buah yang matang
jatuh dari bulan Nopember-Pebruari (Khan, 1970).
PRODUKSI BIJI
Produksi biji A. nilotica sangat tergantung pada
ketersedian air. Pohon-pohon yang ditanam di
sepanjang saluran air (drainase), dam atau selokan,
produksi biji setiap tahun tinggi. Di tempat dengan
sumber air yang tidak permanen, maka produksi biji
rendah (hanya sedikit buah per pohon) kecuali pada
musim dengan jumlah curah hujan yang signifikan.
Sepanjang 3 km dari saluran air (bore drain) menurut

hasil riset dari Stasiun Riset Toorak (Toorak Risearch


Station) mengestimasi produksi biji pada tahun
1986/1988 dan 1987/1988 adalah 18,6 dan 24 juta
biji. Ada korelasi yang kuat antara basal area dengan
jumlah biji yang dihasilkan (Bolton et al., 1987).
Umur biji yang diproduksi oleh pohon pada saluran
air adalah antara 10 dan 12 bulan, tetapi dapat juga
lebih panjang. Biji yang dihasilkan tergolong keras
bila tidak ada suplai air yang permanen. Bila polong
yang mengandung biji jatuh, akan segera dimakan
hewan dan akan disebarkan. Biji yang mati cepat
dikonsumsi, dan direduksi oleh predasi seperti
insekta. Misalnya insekta jenis Caryedon serratus
(Coleoptera; Bruchidae) sebagai kumbang yang
sering dijumpai di dalam biji dan Bruchidius sahbergi
Schilsky (Coleoptera: Bruchidae). Insekta masuk ke
dalam biji dengan cara melubangi. Ada pemikiran
menggunakan insekta dalam upaya pengendalian
secara biologi. Namun, pengendalian secara biologi
yang demikian sangat tidak efektif, karena hewan
akan segera makan buah saat sudah matang
(Lamprey et al., 1974).
Pemencaran biji A. nilotica terjadi dengan
beberapa cara. Pemencaran dengan jarak yang
sangat jauh dilakukan oleh hewan dengan memakan
biji, kemudian membawanya ke tempat yang berjarak
sangat jauh, yang dapat mencapai 1000 km atau
lebih. Beberapa cara penyebaran biji lainnya dapat
terjadi misalnya oleh angin dan air. Sapi sangat
efektif sebagai agen dalam pemencaran biji mencapai
81% biji yang ditelan dibawa oleh hewan masih
dalam keadaan utuh. Hasil tes menunjukkan bahwa
paling sedikit 41% dari biji tersebut dapat
berkecambah secara cepat (Harvey, 1981).
Pemencaran biji oleh biri-biri melalui tiga mekanisme
berikut: (i). Biji dikeluarkan bersama air liurnya dan
buah polong mengalami kerusakan (35%), biasanya
dijumpai di bawah pohon; (ii). Biji dikeluarkan
bersama air liur bersama material muntahan (14%).
(iii). Biji yang tersisa di dalam pencernaan hewan
(2%). Perjalanan biji di dalam saluran pencernaan
kurang lebih 6 hari. Pemencaran biji oleh kambing
dilakukan dengan cara yang sama dengan biri-biri
yaitu dengan cara mengeluarkan biji bersama air
liurnya sekitar 24%, dibuang bersama kotoran sekitar
2,3%. Biji yang dimuntahkan (passed) oleh biri-biri
dan kambing lebih dari 80% dapat berkecambah
(viable). Pemencaran biji jarak pendek dalam bentuk
tumpukan lumpur yang menempel pada kuku hewan
selama periode hujan (basah) atau melalui angin
yang dapat menerbangkan polong dari pohon yang
tinggi dengan jarak mencapai 25 m. Banjir dapat
membawa biji untuk jarak yang sangat signifikan. Di
sepanjang sejumlah selokan di Barat Daya
Queensland banyak tumbuh A. nilotica. Hal ini terjadi
karena polong terakumulasi di dalam selokan
tersebut. Sistem drainase ke teluk Carpentaria dan
danau Eyre menyebabkan invasi A. nilotica di tempat
tersebut sangat signifikan mengingat terjadi
penyebaran secara inter dan intra (Harvey, 1981).

DJUFRI Acacia nilotica di TN Baluran

KANDUNGAN KIMIA
A. nilotica dilaporkan mengandung L-arabinose,
catechol, galactan, galactoaraban, galactose, Nacetyldein kolic, N-acetyldein kolic acid, sulphoxides
pentosan, saponin, dan tanin. Biji mengandung
protein kasar 18,6%, ekstrak eter 4,4%, serat 10,1%,
ekstrak nitrogen bebas 61,2%, abu 5,7%, silika
0,44%, fosfor 0,29%, dan kalsium 0,9% (Duke, 1983).
Menurut Pande et al. (1982) banteng jantan
memperoleh biji dan kulit biji (2:1) pada kondisi harian
padang rumput yang kering, bobot mencapai 1,82,
0,91, dan 5,35 kg. Total bobot yang diterima/100 kg
berat badan adalah 1,40 kg. Hewan menyimpan 20,8
g N dan 7,4 g Ca per hari, tetapi keseimbangan P
adalah rendah. Walker (1980) mengemukakan
kandungan C/P pada pohon A. nilotica (browse)
12,9%, dan serat kasar 15,2% (Duke, 1983;
McMeniman et al., 1986a).
Daun A. nilotica sangat mudah dicerna dan
mengandung protein yang tinggi (Tabel 1.), mikro
nutrien dengan pengecualian sodium cukup memadai
untuk kebutuhan hewan. Kandungan asam amino
sama dengan beberapa daun rumput yang ada di
padang rumput Mitchell di Australia. Dalam buah
mengandung asam glutamat dan aspartat yang tinggi
tetapi kandungan asam aminonya rendah (Tabel 2.).
Asam amino methionin yang merupakan asam amino
esensial untuk pertumbuhan domba, tidak dijumpai
pada buah yang berasal dari Australia, namun ada di
dalam biji bahan yang diambil dari Afrika
(McMeniman et al., 1986b).
Kandungan tanin kental tinggi di dalam seluruh
komponen organ (browsed). Kandungan dalam
polong 5,4%, daun 7,6%, kulit batang 13,5%, dan
ranting 15,8%. Total polifenolik dalam buah berkisar
30-60% (Ehoche et al., 1983; Reed, 1986; Tanner et
al., 1990). Level tanin yang tinggi pada bagian
tumbuhan terikat dengan protein pada level tinggi,
yang dapat meningkatkan produksi hewan secara
signifikan. Banteng memakan 45% minyak hasil
ekstrak biji A. nilotica menunjukkan diet reduksi
tambahan berat (68 g/hari-16 g/hari) dan terjadi
pengurangan sebanyak 5% (Pande et al., 1982).
Selain itu kandungan tanin A. nilotica yang dapat
dimanfaatkan untuk membuat kue biji katun (cake
seed) yang berperan dalam melindungi rumen dari
degradasi protein. Termasuk 5% tanin (kemungkinan
total polifenolik), tambahan berat basah dari anak biribiri meningkat mencapai 36%; 10% di antaranya
termasuk dari rata-rata penambahan per hari
menurun mencapai 18% (Ehoche et al., 1983). Biribiri yang memakan polong A. nilotica yang
mengandung bahan kasar 204-347 g/hari mempunyai
laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan makanan yang dikontrol (Tanner et al.,
1990).

99

Tabel 1. Kandungan nutrien daun dan buah A. nilotica


(McMeniman et al., 1986b).

Parameter
Protein (%)
Fat (%)
NFE (%)
CF (%)
ADF (%)
Ash (%)
Tanin (%)
Lignin (%)
P (%)
Ca (%)
Mg (%)
Na* (%)
K (%)
Si (%)
S (%)
Cl (%)
Cu (mg/kg)
Zn (mg/kg)
Mn (mg/kg)
Fe (mg/kg)
ME (mg/kg)
OMD (%)

Buah (polong dan


biji)
Mean SD Sampel Mean SD Sampel
29
28
13,92 2,53
12,30 2,03
13
23
6,63 3,41
1,93 1,14
19
22
60,99 3,41
63,68 7,35
13
23
10,35 2,85
13,92 2,53
8
2
20,38 6,35
25,44 4,16
22
23
9,29 2,95
5,26 1,29
13
2
7,62 100
5,45 1,48
6
6,95 2,17

15
18
0,23 0,22
0,26 0,21
15
18
2,53 1,13
0,64 0,19
11
70
0,18 0,08
0,13 0,02
< 0,32
5
< 0,01
4
9
5
1,25 0,79
1,28 0,22
4
9
0,45 0,47
0,24 0,21
4
2
0,26 0,03
0,59 0,11
3
2
0,70 0,26
0,36 0,04

6
4
6,43 0,90
4
2
25,63 9,20
28,50 9,76
4
2
90,25 19,00
26,50 0,71
4
2
428 205
100 86,27
9
2
8,69 1,09
10,19 0,16
3
67,20
1
69,90 5,20
Daun

Tabel 2. Komponen asam


(McMeniman et al., 1986b).
Asam
Amino
Lysin
Histidin
Arginin
As. Aspartik
Threonin
Serin
As. Glutamik
Prolin
Glisin
Alanin
Valin
Methionin
Isoleusin
Tyrosin
Phenylalanin
Cystin
Leusin

amino

(%)

A.

nilotica

Komposisi asam amino (%)


Buah Buah
Inti
Kulit
Muda Tua Daun
Biji
Biji
4,98
2,63
5,07
28,69
3,20
4,58
8,97
11,81
4,05
4,59
5,00
0,00
3,06
2,34
3,23
2,35
5,45

4,08
2,57
2,64
36,53
2,74
4,27
6,57
15,52
3,17
3,71
4,65
0,00
2,51
2,12
2,47
2,34
4,12

6,17
2,34
5,92
11,19
4,92
5,03
11,87
5,73
5,71
6,62
6,10
1,86
4,92
4,00
5,52
2,66
9,41

6,38
2,34
10,39
9,54
3,16
4,91
15,06
5,81
0.00
4,33
4,05
6,89
3,62
3,11
4,23
5,91
8,79

11,92
12,03
3,80
16,95
3,65
8,99
10,43
3,90
0.00
3,81
3,47
0,78
2,81
2,47
2,93
6,95
5,12

Biji
7,69
2,58
10,04
10,72
3,10
5,59
14,01
4,72
0,00
3,87
3,19
5,22
2,97
2,99
3,33
9,87
7,41

KEGUNAAN
A. nilotica memiliki nilai tambah yang
dimanfaatkan di berbagai benua. Di Afrika dan
benua India, A. nilotica digunakan secara
sebagai pakan ternak (browse) dan sebagai

telah
anak
luas
kayu

100

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104

bakar (Gupta, 1970; Mahgoub, 1979; New, 1984).


Batang dan biji digunakan sebagai sumber tanin
(New, 1984; Shetty, 1977). Spesies ini juga
digunakan untuk bahan obat. Batangnya dapat
digunakan untuk mengobati penyakit ambien
(haemorrhages), pilek, tuberkulosis, dan penyakit
kusta. Akarnya dapat digunakan sebagai perangsang
birahi (aphrodisiac) dan bunganya untuk mengobati
penyakit sipilis (New, 1984). Getah Acacia sinegal
kadang-kadang digunakan sebagai bahan tambahan
dalam pembuatan getah arabik (arabic gum)
walaupun mutunya tergolong rendah (Gupta, 1970).
Di Sudan A. nilotica digunakan untuk bahan baku
pembuatan kertas dan pembuatan pulp yang memiliki
kualitas setara dengan kayu di daerah tropis
(Nasroun, 1979).
Menurut Duke (1983) bagian kulit kayu A. nilotica
mengandung tanin, digunakan untuk penyamakan
dan celupan kulit berwarna hitam. Kulit kayu yang
muda digunakan sebagai serat, rantingnya digunakan
untuk bahan tusuk gigi (chwstickes). Pohonnya
menghasilkan getah arabik (arabic gum). Getah
arabik digunakan untuk membuat lilin, tinta, korek api,
dan cat (N.A.S, 1980). Di Sudan polongnya yang
lunak, dan tunasnya digunakan untuk pakan ternak
seperti unta, biri-biri, dan kambing, diyakini dapat
meningkatkan produksi susu. Bijinya merupakan
makanan penting bagi sapi. Kulit biji yang dibakar
kadang-kadang digunakan sebagai penyedap dan
kemudian dihaluskan sebagai bahan celupan untuk
pakaian berwarna hitam oleh wanita Nankani. Di
Sudan pohon digunakan untuk penghutanan kembali
(reforestation) terutama di daerah yang sering
mengalami banjir. Getahnya berwarna putih-kuning,
bagian tengah kayu digunakan untuk bahan
bangunan, pipa air, papan, alat membajak, lemari, stir
mobil, gagang martil, dan untuk keperluan lainnya.
Hasil kayunya sangat berkualitas, tahan terhadap api
dan sangat baik dijadikan kayu arang. Cairan ekstrak
buahnya banyak mengandung tanin (18-23%)
menunjukkan
aktivitas
melawan
sejumlah
mikroorganisme antara lain: Chrococcus, Clostridium,
Coelastrum, Cosmarium, Cycclotella, Euglena,
Microcystis, Oscillatoria, Pediastrum, Rivularia,
Spirogyra, dan Spirulina (Ayoub, 1983).
Masyarakat Zulu menggunakan kulit kayu A.
nilotica untuk obat batuk, masyarakat Chipi
menggunakan akarnya untuk obat tuberkulosis
(TBC). Masyarakat Masai kulit kayunya digunakan
untuk minuman yang memabukkan dan akarnya
digunakan sebagai jamu-jamuan, diyakini berfungsi
untuk memberi rangsangan keberanian, sebagai
aphrodisia, dan digunakan juga sebagai obat
impotensi. Di Afrika Kulit kayu digunakan sebagai
obat diare, disentri, dan penyakit kusta. Daunnya
digunakan sebagai tapal untuk obat borok. Pada
masyarakat Hatwell getah dan kulit kayunya
digunakan untuk mengobati kanker dan tumor
(telinga, mata, dan biji kemaluan) dan untuk
menyembuhkan penyakit hati dan limfa, condylomas,

dan dapat menurunkan berat badan. Dikatakan juga


dapat menyembuhkan kanker, pilek, kongesti, batuk,
diare, disentri, demam, sakit empedu, pendarahan,
ambien, leucorrhea, opthalmia, sklerosis, cacar dan
tuberkulosis. Kulit kayu, getah, daun, dan polong
yang masih muda sangat baik untuk menurunkan
kadar gula darah dan dapat digunakan sebagai
makanan kunyah. Di Senegal daun dan polongnya
digunakan sebagai antiscorbutic, di Ethiopia
digunakan sebagai lactogogue. Kulit kayunya dibuat
sebagai minuman jamu untuk mengobati penyakit
usus dan diare. Sedian yang lainnya digunakan untuk
mengobati batuk, obat kumur, obat sakit gigi,
opthalmia, dan borok sipilis. Di Tonga, akarnya
digunakan untuk mengobati tuberkulosis. Di Lebanon
resin dan bunga A. nilotica dicampur digunakan
sebagai bahan infus untuk memulihkan orang baru
sakit tipus. Di Afrika, kayunya digunakan untuk
mengobati cacar. Masyarakat Nubians Mesir
meyakini penderita diabetes dapat mengkonsumsi
karbohidrat tidak terbatas sepanjang mereka secara
rutin mengkonsumsi bubuk polong A. nilotica. Ekstrak
dari spesies ini juga dapat menyembuhkan beberapa
macam penyakit yang disebabkan oleh jamur
(Umalkar et al., 1976).
Di India digunakan secara ekstensif sebagai kayu
bakar dan arang kayu, spesies ini juga digunakan
dalam industri lokomotif dan kapal api. Di Sudan, A.
nilotica sengaja ditanam sebagai bahan baku industri.
Nilai kalor getah dari kayunya mencapai 4.800
kcal/kg, bagian dalam kayu (heartwood) mencapai
4,950 kcal/kg. Spesies ini juga mempunyai nodul
sehingga dapat memfiksasi nitrogen bebas (Duke,
1983).
PENGARUH A. NILOTICA TERHADAP PRODUKSI
RUMPUT
Di padang rumput Mitcheell (barat daya
Queensland) kehadiran A. nilotica menekan produksi
padang rumput sangat mengejutkan mencapai 50%
pada penutupan kanopi pohon 25-30% atau 2 m2
basal area per hektar (Gambar 1). Penutupan kanopi
maksimum dan basal area untuk A. nilotica di Barat
Daya Queensland sekitar 35% dan 3,5 m2/hektar.
Nilai tersebut terkait dengan rata-rata tahunan adalah
sama dengan yang ditemukan pada komunitas
Euclayptus dan Mulga. Teknik perhitungannya
menggunakan persamaan berikut:
y = A + B* e-kx
dimana:

y = hasil spesies herba


x = basal area pohon
k = garis slope

Berkaitan dengan hal tersebut di atas generalisasinya dikembangkan oleh Scanland dan Burrows
(1990) menunjukkan bahwa slope dari kurva (nilai k)

DJUFRI Acacia nilotica di TN Baluran

dapat berubah karena faktor kelembaban dan nutrien


(potensi lingkungan) setempat. Di bawah kondisi ideal
maka bentuk kurva cenderung datar (flat), dengan
terjadinya penekanan rumput secara linier dengan
basal area pohon, oleh karenanya kondisi akan
memburuk selama musim kering, sehingga pohon
dapat meningkatkan produksi rumput secara
mengejutkan. Produksi tahunan spesies tumbuhan
berlangsung
sebentar
saja
ternyata
tidak
menunjukkan pengaruh terhadap kepadatan pohon.

Gambar 1. Pengaruh invasi A. nilotica terhadap produksi


padang rumput (kg/ha) di Mitcheell Queensland (Carter et
al., 1990).

Implikasi ekologi menggunakan A. nilotica sebagai


sumber pakan (browse) adalah kurang tepat karena
mempercepat kerusakan lahan. Pohon A. nilotica
berkompetisi dengan rumput terhadap keterbatasan
kelembaban tanah, mengurangi suplai makanan, dan
meningkatkan tekanan terhadap padang rumput yang
tersisa terutama rumput perenial yang digemari oleh
herbivora. Sejumlah fakta dari monitoring lapangan
menyarankan bahwa strategi pengembalaan dengan
menggunakan biri-biri dapat mengendalikan sebagian
kecil perkecambahan A. nilotica. Sapi kurang
berpengaruh terhadap perkecambahan A. nilotica.
Survei yang dilakukan oleh Bolton dan James (1985)
menunjukkan
bahwa
hanya
biri-biri
yang
memperlihatkan pengurangan secara cepat dan
signifikan terhadap A. nilotica dibandingkan sapi atau

101

campuran kedua hewan tersebut. Terakhir dicoba


menggunakan kambing untuk mengendalikan A.
nilotica menunjukkan bahwa, pada saat musim kering
kambing mengurangi jumlah perkecambahan dan
penutupan kanopi pohon (Carter et al., 1990).
BEBERAPA KELEBIHAN A. NILOTICA SEBAGAI
SPESIES INVASIF
Introduksi tumbuhan yang ditanam dengan
sengaja maupun tidak dari pohon legum dapat
menyebabkan bencana lingkungan misalnya A.
nilotica. Sejumlah karakter A. nilotica yang
menyebabkan spesies ini dapat tersebar dengan
cepat karena: (i) Anakan dari pohon muda terlindung
dari pengembalaan (grazing) karena berduri, (ii)
Perkembangbiakan aktif oleh pengguna lahan di
awal-awal tahun, (iii) Jarak pemencarannya yang jauh
melalui mekanisme (hewan peliharaan, satwa liar dan
banjir), sehingga penyebarannya tidak dapat
dikontrol, (iv) Produksi biji sangat besar (di atas
175.000/pohon), (v) Biji dapat hidup untuk jangka
waktu yang lama, (vi) Tumbuhan muda dapat tumbuh
dengan cepat, (vii) Toleran terhadap pengembalaan,
kekeringan, api, dan salinitas, (viii) Merupakan pohon
kecil pada habitat yang sering terbakar akan
menyerbu secara cepat, (ix) Pohon dapat hidup
dalam jangka waktu yang panjang (30-60 tahun), (x)
Kemungkinan dapat tumbuh pada kisaran iklim yang
ekstrim (Carter et al., 1990).
Pelajaran yang berharga yang dapat diambil dari
invasi ini dan sejumlah saran yang perlu diperhatikan
bahwa semua tumbuhan introduksi harus disaring
dan diteliti secara cermat. Penyaringan tersebut
termasuk observasi di lingkungan habitat asalnya dan
di kawasan tempat diintroduksi meliputi: (i) Mengukur
produksi biji dan lamanya hidup; (ii) Menentukan
metode pemantauan pemencaran biji; (iii) Pengujian
kerentanan perkecambahan dan pohon berukuran
kecil sebagai pakan ada atau tanpa duri; (iv) Analisis
bioiklim dan tanah untuk memprediksi potensinya di
tempat yang baru; (v) Meneliti pengaruh insekta
predator tumbuhan patogen dan pengendalian
tumbuhan dengan api di lingkungan asalnya; (vi)
Meneliti metode praktis untuk mengendalikan baik
secara kimia, mekanis dan biologi sebagai gulma
yang bersifat sangat invasif (Carter et al., 1990).
Beberapa kesulitan untuk melakukan pengendalian terhadap spesies ini adalah: (i) Tidak dapat
diramal pola pertumbuhannya setelah dipindahkan ke
tempat lain, sehingga tidak ada patogen aslinya,
insekta dan hewan pemakan browse; (ii) Tidak dapat
diramal keadaan di bawah kondisi iklim yang baru,
baik untuk dikelola maupun kaitannya dengan api,
selain itu potensi genful spesies tidak penting di
kawasan endemik; (iii) Penyimpangan genetik atau
hibridasi dapat merubah karakter tumbuhan yang
diintroduksi (Carter et al., 1990).
Sekali spesies di introduksi maka diperlukan
upaya yang dapat menjawab: (i) Monitoring jangka

102

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104

panjang (tidak hanya ditunjukkan untuk 50-100


tahun), (ii) Aksinya sangat cepat jika dikaitkan dengan
masalah gulma. Tidak dapat dipungkiri bahwa satu
tumbuhan gulma biasanya tidak mungkin untuk
dieliminasi dan tindakan biasanya menyangkut
pengendalaian penyebaran (sangat mahal dan sering
menjadi proses yang sia-sia). Dengan demikian
diperlukan perubahan strategi pengelolaan baru
untuk mengatasinya dan menguasai pengaruh dari
gulma. Pengendalian secara biologi dapat secara
sempurna, namun tidak dapat diandalkan sebagai
upaya terakhir. Para ilmuwan berkeyakinan bahwa
semua tumbuhan introduksi dianggap gulma sebelum
diperoleh bukti sebaliknya (Carter et al., 1990).
INVASI A. NILOTICA DI TAMAN NASIONAL
BALURAN
Saat ini A. nilotica telah tersebar di hampir seluruh
savana yang ada di Kawasan Taman Nasional
Baluran Banyuwangi Jawa Timur antara lain Savana
Bekol, Kramat, Kajang, Balanan, Lempuyang, Dadap,
Asam Sabuk, Curah Udang, Widuri, dan Merak. Pada
savana Kramat, Kajang, dan Balanan, tumbuhan ini
telah membentuk kanopi yang tertutup. Savana yang
belum terinvasi seluruhnya hanya savana Talpat.
Selain di daerah savana, tumbuhan ini juga
ditemukan di daerah hutan pantai misalnya Kelor dan
Popongan (Anonim, 1999).
Kondisi iklim dan alam di Taman Nasional Baluran
merupakan faktor yang sangat mendukung cepatnya
penyebaran serta suburnya pertumbuhan A. nilotica.
Intensitas cahaya matahari yang tinggi dan
kekeringan
merupakan
pendorong
utama
dimakannya biji-biji tumbuhan ini oleh herbivora
seperti banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus
timorensis), kijang (Mutiacus muntjak), kerbau liar
(Bubalus bubalis) dan babi hutan (Sus sp.). Akibatnya
biji-biji yang keluar bersama kotoran satwa tersebut
tersebar di seluruh kawasan yang dilintasi oleh satwa
tersebut. Intensitas cahaya yang tinggi ditambah
curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun 1998
dan 1999 telah merangsang pertumbuhan biji-biji
yang dorman. Akibatnya pada savana Bekol yang
kondisinya terbuka setelah pembongkaran A. nilotica
dilakukan, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
segera ditumbuhi kembali oleh anakan A. nilotica.
Kecepatan pertumbuhan anakan di savana Bekol
tergolong sangat pesat, dalam waktu yang singkat
sudah dapat mencapai tinggi 100 cm. Hal ini terlihat
dari kondisi savana Bekol setelah kegiatan
pencabutan anakan A. nilotica yang dilakukan pada
tahun 1998/1999 seluas 175 ha, telah ditumbuhi
kembali, dan kerapatannya sekarang sudah
mencapai tingkat mengkhawatirkan.
A. nilotica tergolong ke dalam tumbuhan yang
toleran terhadap kondisi kering (xerofit) yaitu
tumbuhan yang dapat hidup dengan baik pada
kelembaban udara yang rendah, sehingga dalam

kondisi air yang terbatas (curah hujan yang rendah)


tumbuhan ini mampu melakukan regenerasi vegetatif.
Hal ini dapat dilihat karena tumbuhnya kembali tunastunas dorman yang terdapat di sisa-sisa tonggak
yang belum tercabut dan dibakar atau pada batangbatang pohon yang tertinggal. Pada musim hujan
pertumbuhan
tunas-tunas
dorman
tersebut
berlangsung cepat dan subur sehingga dengan
segera membentuk kumpulan A. nilotica berupa
semak berduri yang rapat dan sulit untuk ditembus,
dengan mencapai tinggi 4,5 m dan lebar tajuk 1,5 m.
Pertumbuhan A. nilotica tahun 1998/1999 terjadi
sangat pesat sehingga tidak sesuai lagi dengan
rencana kerja pengendalian yang telah disusun pada
tahun sebelumnya (Anonim, 1999).
Savana Baluran sebagai salah satu ciri khas dan
identitas Taman Nasional Baluran mempunyai arti
sangat penting yang apabila kelestariannya
terganggu, akan berpengaruh terhadap ekosistemekosistem lainnya. Oleh karena itu setiap tekanan
atau gangguan terhadap kelestarian ekosistem ini
harus ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu
gangguan yang cukup mengkhawatirkan dan
merupakan ancaman terbesar bagi kelestararian
ekosistem ini adalah semakin luasnya invasi A.
nilotica. Kecepatan tumbuh dan penyebaran tanaman
eksotik ini telah mengakibatkan penurunan kualitas
dan kuantitas savana Baluran, serta merubah pola
prilaku satwa liar herbivora yang salah satu
komponen habitatnya adalah padang rumput atau
savana (Sabarno, 2002).
Kualitas suatu padang rumput dapat diketahui dari
beberapa parameter, antara lain produktivitas dan
daya
dukungnya.
Pengamatan
di
lapangan
menunjukkan produktivitas dan daya dukung padang
rumput Taman Nasional Baluran terhadap kebutuhan
pakan satwa menurun. Menurut Alikodra dalam
Sabarno (2002) produktivitas suatu kawasan
merupakan
modal
yang
secara
ekonomis
menguntungkan untuk mengembangkan populasi
suatu satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas produktivitas
padang rumput yaitu suksesi, persaingan, jenis
rumput,
pengaruh
musim
dan
overgrazing.
Sedangkan daya dukung yang optimal menunjukkan
suatu keseimbangan antara produksi rumput pada
periode tertentu dengan jumlah satwa yang
merumput. Oleh karena itu suatu kawasan
mempunyai daya dukung rendah apabila jumlah
satwa yang merumput lebih tinggi dari pada nilai daya
dukung optimal. Menurut Utomo dalam Sabarno
(2002) padang rumput Bekol yang luasnya seluas 75
ha, memiliki produktivitas sebesar 13.700 gr/ha/hari.
Menurut Syarif dalam Riyawati (1999) kebutuhan rusa
per hari adalah 10% berat tubuh, yaitu rata-rata 5,5
kg/hari/ekor, maka savana Bekol seluas 75 ha hanya
mampu mendukung kurang lebih 114 ekor rusa
dewasa. Dengan demikian padang pengembalaan
Bekol sudah tidak dapat mendukung kehidupan
satwa secara optimal, mengingat dalam sensus

DJUFRI Acacia nilotica di TN Baluran

ditemukan kurang lebih 192 ekor rusa di dalamnya.


Studi kasus di atas menunjukkan bahwa savana di
Taman Nasional Baluran tidak lagi optimum dalam
mendukung kehidupan satwa liar yang ada, sehingga
kelestariannya semakin terancam dan populasinya
akan semakin menurun.
UPAYA PENANGGULANGAN
Upaya penanggulangan invasi A. nilotica telah
banyak dilakukan, baik dengan cara mekanis maupun
kimia. Pertimbangan yang diambil dalam pemberantasan A. nilotica selain aspek ekologi juga aspek
ekonomi, karena kegiatan yang dilakukan di suatu
kawasan pelestarian (Taman Nasional) berbeda
dengan kegiatan lain di luar. Menurut hasil evaluasi,
kegiatan pemberantasan A. nilotica secara kimiawi
kurang efektif dan efisien. Metode ini membutuhkan
biaya yang besar dalam pengadaan bahan kimia dan
tidak signifikan dengan luas areal serta kerapatan
tegakan yang harus dimusnahkan (Anonim, 1999).
Pemberantasan
secara
mekanis
dengan
penebangan/pemotongan belum berhasil optimal.
Bahkan memicu pertumbuhan biji-biji yang dorman
dan regenerasi vegetatif dari tonggak yang tertinggal
(trubusan), dimana satu tonggak dapat tumbuh 5-6
batang/cabang baru (Anonim 1999). Begitu juga
dengan cara pengkatrolan, karena membutuhkan
waktu yang lama sehingga tidak efisien. Sedangkan
dengan cara pembongkaran dengan buldoser,
dianggap cukup efektif, akan tetapi dampak
pembalakan/lahan bekas pembongkaran tonggak
berpengaruh terhadap perubahan struktur tanah.
Kegiatan yang dilakukan saat ini yaitu penebangan
dan pembakaran tonggak, diikuti dengan pencabutan
anakan (seedling). Kegiatan ini membutuhkan tenaga
kerja yang banyak, kontinuitas dan pengawasan yang
cermat. Pemberantasan A. nilotica pada saat ini baru
dapat dilaksanakan dengan kecepatan rata-rata
pembongkaran seluas 62,3 ha per tahun. Sehingga
perkiraan
waktu
yang
diperlukan
untuk
membersihkan seluruh savana dari invasi tanaman
eksotik ini adalah 73 tahun, dengan asumsi areal
yang dibersihkan tidak terinvasi kembali oleh A.
nilotica (Anonim, 1999).
PENUTUP
Meskipun manfaat Acacia nilotica sangat banyak,
namun di Indonesia belum dimanfaatkan secara
optimal. Kehadiran A. nilotica di Taman Nasional
Baluran pada saat ini justru menjadi masalah karena
telah merubah struktur dan komposisi spesies
penyusun padang rumput di tempat tersebut. Telah
dilakukan sejumlah upaya untuk mengendalikannya,
namun sampai saat ini belum berhasil ditemukan
suatu strategi yang jitu untuk mengendalikan invasi A.
nilotica tersebut.

103

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Rancangan Pencabutan Seedling/Anakan Hasil
Pembongkaran secara Mekanis, 150 ha di Savana Bekol.
Taman Nasional Baluran. Banyuwangi: Taman Nasional
Baluran.
Ayoub, S.M.H. 1983. Algicidal properties of Acacia nilotica.
Fitoterapia 53 (55-56): 175-178.
Bolton, M.P., J.O. Carter, and W.J. Dorney. 1987. Seed production
in Acacia nilotica subsp. indica (Berth.) Brenan. In:
Proceeding of Weeds Seed Biology Workshop, Orange, N.S.W.
September 1987.
Bolton, M.P. and James P.A. (1985). A survey of prickly acacia
(Acacia nilotica) in five Western Queensland shires. Stock
Routes and Rural Lands Protection Board, Brisbane. Internal
Report, Nopember 1985.
Brenan, J.P.M. 1983. Manual on taxonomy of Acacia species:
present taxonomy of four species of Acacia (A. albida, A.
senegal, A. nilotica, A. tortilis). Rome: FAO.
Carter, J.O. and Cowan, D.C. 1988. Phenology of Acacia nilotica
th
subsp. indica (Berth.) Brenan. In: Proceeding 5 Biennial
Conference, Australian Rangelands Society. Longreach,
Queensland. pp. 9-12.
Carter, J.O., Newman, P. Tindale, P. Cowan, D. and Hodge, P.B.
1990. Complementary grazing of sheep and goats on Acacia
th
nilotica, In Proceedings 6 Biennial Conference. Australian
Rangelands Society. Carnovan, Western Australia, pp. 271272.
Duke, J.A. 1981. Handbook of Legums of World Economic
Importance. Plenum Press. New York.
Duke. 1983. Medicinal Plants of the Bible. Owerri, New York:
Trado-Medic Books.
Ehoche, O.W., Y.M. Theresa, V. Buvanendran, and I.F. Adu. 1983.
The nutritive value of tannin treated cottonseed cake for
growing lambs. Journal of Animal Production Research 3: 1525.
Gupta, R.K. 1970. Resource survey of gummiferous acacias in
Western Rajasthan. Tropical Ecology 11: 148-161.
Harvey, G.J. 1981. Recovery and viability of prickly acacia (Acacia
nilotica subsp. indica seed ingested by sheep and cattle. In:
Proceedings, 6 th Australian Weeds Conference, I: pp. 197201.
Holm, L.G., J.V. Poncho, J.P. Herberger, and D.L. Plucknett, 1979.
A Geographical Atlas of World Weeds. New York: John Wiley
and Sons.
Khan, M.A.W. 1970. Phenology of Acacia nilotica and Eucalyptus
microtheca at Wad Medani (Sudan). The Indian Forester 96:
226-248.
Lamprey, H.F., G. Halevy, and S. Makacha, 1974. Interaction
between Acacia, bruchid seeds (Acacia nilotica) for use as
livestock feed. Animal Feed Science and Technology 11: 4548.
Mahgoub, S. 1979. On the subspecies of Acacia nilotica in the
Sudan. Sudan Silva 4: 57-62.
McMeniman, N.P., I.F. Beale, and G.M. Murphy, 1986a. The
nutritional evaluation of south-west Queensland pasture. I. The
botanical and nutrien content of diets selected by sheep
grazing on mitchell grass and mulga/grassland association.
Australian Journal of Agricultural Research 37: 289-302.
McMeniman, N.P. 1986b. The nutritional evaluation of south-west
Queensland pasture. II. The intake and digestion of organic
matter and nitrogen by sheep grazing on mitchell grass and
mulga/grassland association. Australian Journal of Agricultural
Research 37: 303-314.
Mitchell, K.J. 1969. Simulation of the growth of oven-aged stands of
white spruce. Yale University School of Forestry Bulletin 75: 148.
N.A.S. 1980. Firewood Crops, Scrub and Tree Species for Energy
Production. Washington, DC.: National Academy of Sciences.
Nasroun, T.H. 1979. Pulp and paper making properties of some
tropical hardwood species grown in the Sudan. Sudan Silva 4:
22-32.
New, T.R. 1984. A Biology of Acacia. Melbourne: Oxford University
Press.

104

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 96-104

Pande, M.B., P.M. Talpada, Z.N. Patel, L.P. Purohit, and P.C.
Shukla, 1982. Note on processed babul feeding to mature
Kankrej bullocks. Indian Journal of Animal Science 52: 798799.
Purl, D.N. and M.L. Khybri. 1975. Economics of chambal ravine
afforesttion. Indian Forester 101: 448-451.
Reed, J.D. 1986. Relationship among soluble phenolic, insoluble
proanthocyanidins and fibre in East African Browse Species.
Journal of Range Management 39: 5-7.
Radford, I.D., D.J. Kriticos, M. Nicholas, and J.R. Brown, 1999.
Towords an integrated approach to management of Acacia
nilotica in northern Austrlaia. Proceedings of the VI
International Rangland Congress, Jul. 17-23 1999. Townsville.
Reynolds, J.A. and J.O. Carter. 1990. Woody weeds in central
western Queensland In: Proceedings 6 th Biennial Conference,
Australian Rangelands Society, Carnarvon, Western Australia.
pp. 304-306.
Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor (Cervus
timorensis) di Savana Bekol Balai Taman Nasional Baluran
Banyuwangi Jawa Timur. [Skripsi]. Malang: Institut Pertanian
Malang.
Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran.
Biodiversitas 3: 207-212

Scanland, J.C. and W.H. Burrows. 1990. Woogy overstory impact


on herbaceus understorey in Eucalyptus spp. Communities in
central Queensland. Australian Journal of Ecology 15: 191-197.
Shetty, K.A.B. 1977. Social forestry in Tamil Nadu. Indian Farming
26: 82.
Tanner, J.C., J.D. Reed, and E. Owen. 1990. The nutritive value of
fruits (pods with seeds) from four Acacia spp. Copared with
extrated noug (Guizotia abyssinica) meal as supplements to
maize stover for Ethiopian higtland sheep. Animal Production
51: 127-133.
Thomas, S.C. and J. Weiner. 1989. Including competitive
asymmetry in measure of local interference in plant
populations. Oecologia 80: 349-355.
Umalkar, C.V., S. Begum, K.M.A. Nehimiah. 1976. Inhibitory effect
of Acacia nilotica extracs on pectolytic enzyme production by
some pathogenic fungi. Indian Phytopathology (publ. 1977) 29
(4): 469-470.
Walker, B.H. 1980. A review of browse and its role in livestock
production in southern Africa. P. 7-24. In: LeHouerou, H.N.
(ed.). Browse in Africa. Addis Ababa, Ethiopia: International
Livestock Centre for Africa.
Walker, J. and T.I. Dowling. 1990. A non-stochastic,
physiologically-based model of plant invasion using ecological
field theory. Plant Protection Quarterly 6 (1): 10-13.

BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 105-118

ISSN: 1412-033X
Juli 2004

R E V I E W:

Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi


Mangrove ecosystem in Java: 2. Restoration
AHMAD DWI SETYAWAN1,2, KUSUMO WINARNO1,2, PURIN CANDRA PURNAMA1
1

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126


Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
Diterima 15 Desember 2002. Disetujui 15 Juli 2003.

ABSTRACT
The restoration of mangroves has received a lot of attentions world wide for several reasons. Mangrove ecosystem is very
important in term of socio-economic and ecology functions. Because of its functions, wide range of people paid attention
whenever mangrove restoration taken place. Mangrove restoration potentially increases mangrove resource value, protect
the coastal area from destruction, conserve biodiversity, fish production and both of directly and indirectly support the life of
surrounding people. This paper outlines the activities of mangrove restoration on Java island. The extensive research has
been carried out on the ecology, structure and functioning of the mangrove ecosystem. However, the findings have not
been interpreted in a management framework, thus mangrove forests around the world continue to be over-exploited,
converted to aquaculture ponds, and polluted. We strongly argue that links between research and sustainable management
of mangrove ecosystem should be established.
2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: mangrove, restoration, management, Java.

PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan penduduk
yang
berimplikasi
pada
besarnya
kegiatan
pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan
sedimentasi,
serta
pencemaran
lingkungan.
Ekosistem mangrove memiliki fungsi sosial-ekonomi,
sosial-budaya, dan peran ekologi yang sangat
penting, sehingga banyak pihak (stakeholders) yang
memberi perhatian lebih untuk mengembalikan fungsi
ekosistem ini melalui restorasi. Restorasi mangrove
dapat menaikkan nilai sumber daya ini, memberi
mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan
pantai, menjaga biodiversitas, menjaga hasil
tangkapan
perikanan,
serta
mempengaruhi
kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara
langsung atau tidak langsung (Setyawan dkk., 2003).
Terdapat tiga kata kunci yang penting dalam
manajemen ekosistem mangrove, yaitu restorasi,
kreasi (pembentukan), dan pengkayaan spesies
(Lewis, 1990; Mish, 1989). Restorasi adalah tindakan

Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375.
e-mail: biology@mipa.uns.ac.id

untuk mengembalikan sesuatu ke kondisi semula;


kreasi adalah tindakan untuk membuat, menemukan
atau menghasilkan sesuatu; sedangkan pengkayaan
adalah menambahkan atau menaikkan sesuatu
(Mish, 1989). Selanjutnya muncul istilah rehabilitasi
sebagai payung yang mencakup istilah restorasi dan
kreasi (Streever, 1999). Menurut Whitten et al.,
(2000) restorasi adalah suatu taktik untuk
mengembalikan lahan yang terdegradasi ke kondisi
asli atau mendekati kondisi asli, sedangkan
rehabilitasi adalah suatu strategi manajemen untuk
mencegah
degaradasi
suatu
lanskap
dan
menjadikannya bermanfaat. Di samping itu terdapat
pula istilah reforestasi dan afforestasi. Menurut Lewis
dan Streever (2000), reforestasi adalah penanaman
mangrove pada bekas area hutan mangrove, sedang
afforestasi adalah penanaman mangrove pada area
yang semula bukan hutan mangrove.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan aktivitas
restorasi ekosistem mangrove khususnya di Jawa,
sehingga fungsinya dapat kembali seperti semula.
Penelitian yang luas telah dilakukan untuk memahami
ekologi, struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Namun, temuan-temuan tersebut belum diterapkan
dalam kerangka kerja manajemen, terbukti hutan
mangrove di seluruh dunia terus mengalami
penurunan terutama akibat eksploitasi berlebih,

106

SETYAWAN dkk. Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

konversi ke tambak ikan dan udang, serta


pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu
kiranya mengaitkan penelitian mangrove dengan
manajemen lestari ekosistem tersebut.

SEJARAH RESTORASI MANGROVE


Penanaman dan pengelolaan mangrove memiliki
sejarah panjang di Asia Tenggara (Watson, 1928),
meskipun catatan tertua mengenai manajemen
mangrove sebagai penghasil kayu terdapat di
Sundarbans, suatu hutan mangrove seluas 6.000 km2
di perbatasan India dan Banglades, yang dikelola
sejak 1769, dimana rencana kerja lengkap pengelolaannya telah disempurnakan pada tahun 1893-1894
(Chowdhury dan Ahmed, 1994). Hutan mangrove
seluas 40.000 ha di Matang, Malaysia yang dikelola
sejak 1902 untuk menghasilkan kayu bakar (Watson,
1928), merupakan contoh tertua dan terbaik manajemen hutan mangrove (Khoon dan Eong, 1995).
Pada saat ini mangrove dikelola secara terintegrasi untuk budidaya ikan dan udang (Primavera,
1995), ekoturisme (Bacon, 1987), mencegah erosi
(Teas, 1977), eksperimen biologi (Rabinowitz, 1978),
melindungi dari badai (Hamilton dan Snedaker,
1984), dan merestorasi kerusakan ekosistem akibat
tumpahan minyak (Duke, 1996). Restorasi ekosistem
mangrove yang rusak antara lain dibahas oleh
Watson (1928), Noakes (1951), Chapman (1976),
Lewis (1982), Hamilton dan Snedaker (1984), Lewis
(1990a, 1990b), Crewz dan Lewis (1991), CintronMolero (1992), Saenger dan Siddiqi (1993), Siddiqi et
al. (1993), dan Field (1996).
Penanaman kembali hutan-hutan daratan yang
rusak (reboisasi) telah dilakukan selama ratusan
tahun, namun reboisasi ekosistem mangrove baru
akhir-akhir ini mendapatkan perhatian serius, seperti
di Indonesia, Malaysia, Banglades, dan Cina.
Banglades mempelopori penghutanan mangrove
dengan sukses sejak 1966 di atas tanah seluas
113.000 ha (Choudhury, 2000). Malaysia sejak 1980
menanam berbagai tumbuhan mangrove untuk
membatu regenerasi alami dan memantapkan
penutupan hutan (Hassan, 1981). Penghutanan
mangrove di Cina dimulai pada akhir 1950-an dan
diaktifkan lagi pada tahun 1980 (Baowen et al., 1997).
Di Indonesia, reboisasi mangrove diawali di Sinjai,
Sulawesi pada tahun 1985 diprakarsai sekelompok
nelayan. Kesuksesan upaya ini mendorong reboisasi
mangrove di seluruh Indonesia (Choudhury, 1996). Di
atas kertas, rehabilitasi mangrove mendapatkan
perhatian cukup besar dalam Strategi Nasional
Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Anonim, 2003),
namun implementasi di lapangan tampaknya masih
jauh dari harapan. Kegagalan beberapa kegiatan
restorasi ditengarai karena pendekatan proyek yang
menyebabkan lemahnya manajemen pelaksanaan.
Silvikultur mangrove (penanaman, pemeliharaan,
dan pemanenan) telah dilaksanakan sejak abad ke-

19 di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam


(Teas, 1980; Teas et al., 1975). Kegiatan manajemen
meliputi penanaman, penjarangan, penyiangan
spesies yang tidak dikehendaki, dan persemaian
propagul, khususnya Rhizophora. Informasi silvikultur
mangrove untuk restorasi relatif masih sedikit. Pada
saat ini telah diketahui spesies-spesies pohon yang
dapat digunakan untuk restorasi, namun kegiatan
penciptaan ekosistem yang bernilai bagi perikanan
dan konservasi masih jarang (Kaly dan Jones, 1996).
Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan
konservasi mangrove dilakukan oleh Perhutani dan
masyarakat di pantai utara Jawa dengan sistem
empang parit (tambak tumpangsari). Sistem ini
merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia,
dimana pada hutan mangrove dibuat lajur-lajur
tambak untuk memelihara ikan, atau sebaliknya di
atas tambak dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove,
misalnya di Brebes, Pemalang, Cirebon, Indramayu,
Purwakarta, Karawang, dan Tanggerang (Anonim,
1991, 1997; Fitzgerald dan Savitri, 2002; Fitzgerald,
1997, 2002; Tessar dan Insan, 1993; Hartina, 1996;
Widiarti dan Effendi, 1989).
Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove
tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan
lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini
terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif
terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove
yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil
adalah penanaman Rhizophora spp. di sepanjang
pantai utara Rembang, khususnya di kecamatan kota.
Pada tahun 1980-an, pemerintah setempat bersama
para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove
pada area dengan panjang sekitar 3000 m, dan lebar
antara 100-300 m. Pada saat ini tegakan yang
terbentuk sudah dapat menjalankan fungsi utamanya
sebagai penahan gelombang laut, angin dan
mencegah pantai dari abrasi. Untuk menjaga
kelestarian tumbuhan ini, masyarakat setempat
diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani yang
memiliki hak untuk memanen ekosistem yang ada,
dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah
satu kegiatan terkait konservasi yang cukup berhasil
adalah pembibitan Rhizophora spp. untuk memenuhi
kebutuhan bibit proyek-proyek rehabilitasi hutan
bakau di Jawa. Kawasan ini merupakan salah satu
pusat pembibitan Rhizophora spp. terbesar di Jawa.
Pantai utara Rembang merupakan tidal flat bagi
sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok,
Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga
memungkikan terus berlanjutnya perluasan ekosistem
mangrove ke arah laut. Suatu tindakan yang hingga
saat ini masih terus dilakukan oleh pemerintah
setempat. Pada akhirnya lokasi ini bernilai konservasi
karena menarik berbagai hidupan liar yang megah,
khususnya spesies-spesies burung air. Di samping itu
terdapat pula nilai edukasi dan turisme, dimana
sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan
menjadi lokasi praktikum dan penelitian mahasiswa
dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Universitas

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118

Diponegoro Semarang, dan lain-lain (ADS, 20022003, pengamatan pribadi). Upaya restorasi mangrove
dengan pola serupa, yakni memberi peran aktif
kepada masyarakat juga dilakukan di Probolinggo,
Jawa Timur (Sudarmadji, 2003, komunikasi pribadi).
Tampaknya pelibatan aktif masyarakat merupakan
salah satu unsur utama keberhasilan pengelolaan
kawasan pesisisir (Suara Pembaruan, 03/03/2002).
Salah satu contoh upaya restorasi mangrove yang
kurang berhasil terjadi di muara Sungai Bogowonto,
satu-satunya ekosistem mangrove di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Upaya ini telah dilakukan sejak
tahun 1990-an, namun hasilnya tidak memuaskan.
Tidak adanya kesamaan persepsi antara para pihak
yang berkepentingan tampaknya menjadi penyebab
utama kegagalan. Universitas, lembaga swadaya
masyarakat, dan sebagian organ pemerintah setempat merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Pengusaha dan sebagain
organ pemerintah lainnya mencoba mengambil
keuntungan ekonomi dengan membuat tambak.
Adapun masyarakat setempat secara turun-temurun
memanfaatkan tepian lahan untuk bertani dan bagian
tengah untuk padang penggembalaan kerbau (Bos
bubalis). Semua kepentingan tersebut tidak dikelola
secara integratif, sehingga boleh jadi saling merugikan. Upaya konservasi dengan mengembalikan lahan
menjadi hutan mangrove dapat menafikan upaya
pengusaha untuk membuat tambak dan upaya petani
untuk terus memanfaatkannya sebagai lahan bertani
dan menggembalakan ternak. Upaya pembuatan
tambak dapat menggusur lahan bercocok tanam dan
penggembalaan ternak, serta berpotensi menghancurkan lahan mangrove yang tersisa. Sedangkan
upaya petani mempertahankan lahan untuk bertanam
dan menggembala ternak dapat menghambat upaya
perluasan tambak dan mematikan benih mangrove
yang diharapkan dapat menyebar dan menutupi
seluruh laguna sebagaimana dahulu. Apabila tidak
dikelola dengan tepat, permasalahan ini akan menghabiskan energi, dana, dan sumber daya tanpa hasil
yang memadahi (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
Kegiatan restorasi lahan mangrove di Jawa
dengan ukuran yang signifikan, antara lain juga telah
dilakukan di teluk Jakarta, Muara Angke, Bekasi,
Indramayu, Pemalang, Tegal, dan Demak dengan
dipelopori oleh Yayasan Mangrove Indonesia)
(Anonim, 2003). Kegiatan restorasi juga dilakukan di
Segara Anakan oleh Badan Pengelola Kawasan
Segara Anakan (BPKSA) (Suara Pembaruan,
19/04/2003), muara sungai Porong oleh Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo (Republika Online, 15/07/2002),
Telukawur-Semat,
Jepara
oleh
Universitas
Diponegoro Semarang (Suara Merdeka, 09/04/2003),
dan lain-lain. Dalam jumlah yang lebih kecil, kegiatan
ini diyakini banyak di lakukan di berbagai lokasi,
termasuk pada muara-muara sungai di pantai selatan
Jawa, misalnya di Purworejo dan Kebumen (ADS,
2002-2003, pengamatan pribadi).

107

TUJUAN RESTORASI
Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada
ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari
kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut
(Anonim, 2001). Restorasi diperlukan apabila
ekosistem telah terdegradasi dan berubah jauh, tidak
dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali
ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan
fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan
pengelolaan dan perlindungan (Stevenson et al.,
1999; Morrison, 1990). Pada kondisi ini, homeostasis
ekosistem secara permanen terhenti, sehingga
menghambat proses suksesi sekunder secara normal
untuk menyembuhkan area yang rusak (Stevenson et
al., 1999). Konsep ini belum banyak dibahas,
pembahasan baru dilakukan antara lain oleh
Detweiler et al. (1976), Ball (1980), dan Lewis (1982).
Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya
landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi
sumberdaya alam (khususnya perikanan dan kayu),
melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial
budaya (Watson, 1928; Field, 1996; Morrison, 1990;
Lewis, 1992, Aksornkoea, 1996; Stevenson et al.,
1999). Tujuan restorasi perlu ditetapkan berdasarkan
masukan dari para pihak dan merupakan konsensus
bersama, sehingga mendapat dukungan secara luas
(Fitzgerald, 1997), tanpa dukungan para pihak setempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang
sangat kecil (Primavera dan Agbayani, 1996).
Keuntungan restorasi komunitas mangrove
meliputi: konservasi dan pengembalian spesies yang
pernah ada, spesies yang memiliki daerah jelajah
luas, dan burung-burung migran; mendaur-ulang
nutrien dan menjaga keseimbangan nutrisi pada
muara sungai; melindungi jaring-jaring makanan pada
hutan mangrove, muara, dan laut; menjaga habitat
fisik dan tempat pembesaran anakan berbagai
spesies laut komersial; melindungi lahan dari badai,
menjaga garis pantai, dan mengendapkan lumpur;
meningkatkan kualitas dan kejernihan air dengan
menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang
dibawa air permukaan dari hulu sungai. Pada
akhirnya, preservasi ekosistem mangrove membantu
menjaga keseluruhan kondisi alami dan keindahan
panorama muara sungai dan nilai ekonomi kawasan
pesisir (Anonim, 2001).
Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya
fungsi tertentu saja yang ingin dikembalikan, karena
beberapa parameter seperti kondisi dan tipe tanah,
serta spesies tumbuhan dan hewan telah berubah
(Lewis, 1990b, 1992). Restorasi yang bertujuan
mengembalikan suatu area sepenuhnya ke kondisi
alami seperti sebelum dibangun, memiliki tingkat
kegagalan jauh lebih tinggi dibandingkan restorasi
karakter dan fungsi ekosistem tertentu saja (Lewis et
al., 1995). Restorasi ke tipe habitat asli kemungkinan
juga bukan pilihan terbaik untuk skala regional,
khususnya apabila ekosistem yang rusak hanya

108

SETYAWAN dkk. Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

bagian kecil dari suatu tipe ekosistem yang umum,


namun apabila tipe ekosistem tersebut sangat langka
maka restorasi ke kondisi asli barangkali diperlukan
(Cairns, 1988). Dalam tulisan ini, hanya disinggung
praktek restorasi mangrove dengan tujuan melindungi
pantai, mengembalikan tambak yang rusak, serta
mengatasi kerusakan akibat tumpahan minyak.

Pelindung pantai
Di kawasan yang penuh aktivitas dan padat
penduduk, restorasi dapat ditujukan untuk melindungi
pantai (Stevenson et al., 1999). Di pantai utara Jawa,
abrasi merupakan fenomena yang sering terjadi,
seperti di Tangerang (Media Indonesia, 19/08/2002,
03/10/2003), Jakarta (Media Indonesia, 17/06/2002),
Indramayu (Pikiran Rakyat, 27/12/2002; Republika
Online, 17/04/2002; Suara Pembaruan, 07/07/2002,
11/12/2002; Pikiran Rakyat, 14/03/2003), Cirebon
(Media Indonesia, 08/04/2003), Brebes (Media
Indonesia, 28/07/2003), Tegal (Kompas, 06/08/2002),
Pemalang,
Pekalongan
(Media
Indonesia,
31/05/2002; Republika Online, 15/07/2003), Kendal,
Semarang, Demak, Jepara, dan Pati (Kompas,
15/08/2002; Suara Merdeka, 26/01/2003).
Pembabatan mangrove di beberapa kawasan
terkait erat dengan kerusakan ekosistem ini,
meskipun dapat pula terjadi karena perubahan arus
laut akibat pengerukan pasir (Pikiran Rakyat,
04/04/2002; Media Indonesia, 15/09/2003), reklamasi
pantai (Kompas, 06/10/2003), gangguan/pemindahan
muara sungai (Kompas, 10/11/2002), dan kerusakan
terumbu karang (Whitten et al., 2000). Restorasi
ekosistem mangrove diharapkan dapat memulihkan
kondisi lingkungan seperti semula, meskipun harapan
ini tidak selalu berhasil mengingat pada kasus
tertentu kerusakan yang timbul bersifat permanen
sehingga penanaman mangrove tidak dapat
mengatasi, tanpa perubahan kondisi-kondisi lain yang
menyebabkan perubahan arus laut. Di samping itu
kesembuhan ekosistem mangrove bersifat jangka
panjang, dimana pada kasus tertentu, kecepatan
abrasi jauh melebihi kemampuan tumbuhnya
mangrove. Meskipun pada akhirnya abrasi akan
terhenti dengan sendirinya apabila pola arus laut
kembali seimbang. Dalam hal ini pembangunan
tanggul dan pemecah gelombang tampaknya lebih
sesuai (Pikiran Rakyat, 27/12/2002).

Restorasi mangrove pada bekas tambak udang


Restorasi secara khusus dapat pula ditujukan untuk
mengembalikan bekas tambak udang ke ekosistem
mangrove. Hingga kini sangat sedikit laporan
berkenaan dengan restorasi tambak (Stevenson dkk.,
1999). Pembangunan tambak udang merupakan
salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem
mangrove di Jawa. Tambak ikan memiliki sejarah
panjang di Jawa, dimana bandeng (Chanos chanos)
telah dibudidayakan sejak abad ke-15, namun pada

tahun 1970 terjadi akselerasi pertambakan, khususnya dengan ditemukannya metode budidaya intensif
udang di tambak (Fitzgerald dan Savitri, 2002),
sehingga sejumlah besar area mangrove di pantai
utara Jawa diubah menjadi tambak. Namun tambak
udang intensif berkonsekuensi pada perubahan
kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit,
dan pencemaran lingkungan, sehingga ratusan hektar
tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak
tidak terurus (Setyawan dkk., 2002). Dalam kondisi
demikian, Stevenson et al. (1999) menyarankan agar
dilakukan restorasi mangrove pada tambak udang
yang rusak, diikuti pembukaan area mangrove baru
untuk tambak udang.
Pengamatan di beberapa kawasan pantai utara
Jawa
menunjukkan,
tingginya
sedimentasi
menyebabkan garis pantai cenderung terus menuju
ke arah laut, dengan segaris mangrove tepi sebagai
batas antara laut dengan lahan budidaya masyarakat,
umumnya berupa tambak bandeng, tambak udang
atau tambak garam. Mangrove tepi ini sekaligus
berfungsi sebagai pelindung dari ombak, badai, dan
abrasi. Dalam periode tertentu, luasan dataran
lumpur yang ditumbuhi mangrove cukup untuk diubah
menjadi tambak dengan menyisakan segaris
mangrove tepi, biasanya berupa tegakan Avicennia
atau Rhizophora. Pembukaan kawasan mangrove ini
umumnya dimulai dengan proses pelelangan oleh
aparat desa setempat, sehingga area ini berubah dari
tanah publik menjadi tanah pribadi. Dalam hal ini,
tambak lama letaknya akan semakin jauh dari pantai,
akumulasi perubahan kondisi hidrologi, edafit,
penyakit, dan pencemaran lingkungan menyebabkan
tambak ini tidak lagi ekonomis untuk diusahakan.
Upaya untuk mengembalikan area ini kembali ke
ekosistem mangrove merupakan tindakan mahal,
mengingat tanah tersebut merupakan milik pribadi,
serta adanya perubahan pola hidrologi. Akibatnya
banyak bekas-bekas tambak yang dibiarkan tidak
terawat (Jawa: bera). Dalam jumlah cukup signifikan,
kondisi demikian dapat dijumpai pada cekungan
antara gunung Muria dan gunung Lasem, salah satu
produsen bandeng budidaya terbesar di Jawa, yang
meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. Pada kondisi
ketersediaan air tawar mencukupi, secara gradual
bekas tambak dapat diubah menjadi sawah, seperti di
sepanjang pesisir Demak, meskipun untuk itu perlu
dibangun tanggul dan bendungan untuk mencegah
masuknya air laut di kala pasang (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi).
Di Indonesia, upaya restorasi mangrove pada
bekas tambak udang dalam luasan yang signifikan
dan cukup berhasil antara lain dilakukan di teluk
Benoa, Bali. Budidaya udang di kawasan ini dimulai
pada tahun 1991, dan program restorasi dimulai sejak
tahun 1995, dimana sekitar 350 ha tambak udang
rusak ditanami mangrove kembali. Penanaman
dimulai dari bekas tambak paling dekat daratan
menuju arah laut (Stevenson dkk., 1999).

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118

Restorasi akibat tumpahan minyak


Mangrove yang mati akibat tumpahan minyak
dapat direstorasi untuk mengembalikan fungsi dan
penampakannya. Langkah ini dapat mempercepat
kesembuhan ekosistem. Biasanya restorasi hanya
ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci,
restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara
keseluruhan tergantung pada proses alami.
Regenerasi baik secara alami maupun buatan segera
setelah tumpahan minyak tidak mungkin dilakukan,
karena minyak yang tersisa akan mematikan atau
menghambat pertumbuhan mangrove. Contoh toksisitas pasca tumpahan minyak ditunjukkan di Panama
tahun 1986, dimana propagul Rhizophora yang
ditanam 4 dan 6 bulan pasca kecelakaan semuanya
mati, sedang propagul yang ditanam 9 bulan atau
lebih setelah kecelakaan dapat hidup (IPIECA, 1993).
Lama waktu degradasi racun minyak bumi tergantung tipe tanah, arus pasang surut, dan curah hujan.
Penanaman mangrove tidak harus menunggu racun
tersebut sepenuhnya hilang. Regenerasi alamiah
mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat
terjadi, tetapi proses ini kemungkinan sangat lambat
karena adanya sisa-sisa minyak yang beracun,
kurangnya suplai propagul dari kawasan sekitarnya
atau hambatan propagul untuk mencapai lokasi,
akibat adanya sisa-sisa batang dan akar mangrove
mati yang menghalanginya (IPIECA, 1993).
Regenerasi buatan atas ekosistem mangrove
yang rusak oleh tumpahan minyak dapat dipercepat
dengan mengganti tanah tercemar pada lubang
penanaman dengan tanah dari daratan, baru ditanami
propagul. Dapat pula dengan menanam bibit pada
wadah yang memisahkannya dari tanah tercemar,
dengan berjalannya waktu wadah ini akan rusak dan
toksisitas tanah akan menurun, sehingga bibit dapat
tumbuh normal. Dapat pula dilakukan pembibitan
propagul, sehingga bibit akan siap ditanam pada saat
toksisitas tanah sudah menurun. Cara regenerasi di
atas berhasil diterapkan di Panama, dimana area seluas 75 ha ditanami lebih dari 86.000 bibit mangrove.
Dua tahun pasca tumpahan minyak, saat regenerasi
alami mulai terbentuk, bibit hasil penanaman telah
mencapai tinggi 1 meter dengan tingkat keberhasilan
hidup lebih dari 90% (IPIECA, 1993).
Di Jawa restorasi ekosistem mangrove yang rusak
akibat tumpahan minyak bumi tampaknya belum pernah dilakukan. Dalam skala Indonesia, hal ini pernah
dilakukan di delta Mahakam, Kalimantan Timur
dengan bibit Sonneratia caseolaris (Dutrieux et al.,
1990). Di Jawa, dampak negatif tumpahan minyak
bumi terhadap ekosistem mangrove dapat diamati di
sekitar sungai Donan, Segara Anakan, Cilacap
dimana terdapat industri pengilangan minyak.
Kawasan ini secara periodik terpengaruh tumpahan
minyak baik dari industri tersebut maupun kapal-kapal
tangker yang melayaninya. Ukuran pohon mangrove
yang dekat dengan lokasi tersebut umumnya lebih
kecil, lebih pendek, dan lebih jarang dibandingkan
lokasi yang jauh (Hardjosuwarno, 1989).

109

KERANGKA KERJA RESTORASI


Secara umum dapat diformulasikan tiga langkah
utama untuk meriset restorasi habitat mangrove,
yaitu: (i) menggambarkan status ekosistem, serta
menentukan tujuan dan kriteria keberhasilan restorasi
(Lewis, 1990; Kusler dan Kentula, 1990; Pratt, 1994),
(ii) pengembangan teknologi, meliputi pemilihan
spesies, penentuan perlu tidaknya pekerjaan fisik dan
restorasi buatan (Kaly dan Jones, 1996), (iii) menilai
keberhasilan restorasi, berdasarkan besarnya biaya
dan kecepatan kesembuhan ekosistem (Henry dan
Amoros, 1995), yakni kembalinya aspek fungsional
ekosistem tersebut (Kaly dan Jones, 1996).
Restorasi biasanya ditekankan pada penanaman
tumbuhan mangrove, namun sebelumnya perlu
diketahui penyebab kerusakan, menghilangkan
penyebab tersebut, dan membiarkan proses
penyembuhan secara alami (Lewis dan Streever,
2000; Hamilton dan Snedaker, 1984). Keberhasilan
restorasi mangrove akan meningkat apabila kondisi
habitat telah diidentifikasi; memperhatikan hak milik
atas tanah dan rencana perlindungan habitat liar
secara menyeluruh; pengelolaan hidrologi dan
introduksi tumbuhan asing untuk memperkaya,
merestorasi, dan menjaga keanekaragaman spesies;
dan terdapat peraturan perundang-undangan yang
tegas (Anonim, 2001). Hutan mangrove dapat
memulihkan diri sendiri tanpa upaya restorasi melalui
suksesi sekunder pada periode 15-30 tahun, apabila
siklus hidrologi normal dan tersedia biji atau propagul
dari ekosistem mangrove di sekitarnya (Watson,
1928;
Lewis,
1982;
Cintron-Molero,
1992).
Regenerasi buatan hanya diperlukan untuk
mempercepat proses alami (McKee dan Faulkner,
2000) atau apabila kesembuhan alami tidak mungkin
terjadi akibat perubahan homeostasis yang terlalu
jauh (Lewis dan Streever, 2000). Kegagalan melihat
penyebab degradasi merupakan penyebab utama
kegagalan restorasi mangrove.
Menurut Sanyal (1998) antara tahun 1989-1995
area seluas 9,050 ha di Bengali Barat, India ditanam
mangrove, namun tingkat keberhasilannya hanya
1,52%. Sebaliknya Soemodihardjo et al. (1996)
melaporkan bahwa hanya 10% area yang ditebangi di
Tembilahan, Indonesia (715 ha) yang memerlukan
penanaman ulang, sebab kawasan tersebut masih
menyisakan lebih dari 2.500 seedling alami setiap ha.
Mangrove
dapat
juga
dibentuk
dengan
menghutankan kawasan intertidal yang tidak
bervegetasi atau area lain yang secara alami tidak
memungkinkan kedatangan propagul mangrove,
misalnya tanah timbul, namun area ini sering juga
melayani tujuan ekologis lain seperti menjadi tempat
mencari makan burung-burung air (Lewis dan
Streever, 2000). Penanaman ini juga dapat
mempengaruhi vegetasi akuatik lain seperti padang
lamun (Phillips dan McRoy, 1980).
Terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan
restorasi mangrove (Lewis dan Marshall, 1997):

110

SETYAWAN dkk. Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

(i) Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove,


meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan
pemantapan seedling.
(ii) Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi
distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies
mangrove yang diinginkan.
(iii) Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat
mencegah suksesi sekunder secara alami.
(iv) Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan
penggunaan propagul alami.
(v) Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen
alami tidak mencukupi untuk penyembuhan.

KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN RESTORASI


Pada bagian pertama tulisan ini telah
dikemukakan kondisi terkini ekosistem mangrove di
Jawa, termasuk keterancaman dan kerusakan
(Setyawan dkk., 2003). Keberhasilan restorasi
mangrove antar lokasi sulit digeneralisasikan, karena
tergantung kondisi lingkungan setempat dan spesies
yang ditanam, sehingga perlu diketahui pola yang
mendasari terbentuknya tegakan mangrove (Field,
1998a). Umumnya pola hidrologi dianggap sebagai
faktor utama yang mempengaruhi daya tahan dan
pertumbuhan seedling mangrove (Field, 1996,
1998b). Oleh karena itu, mangrove ditanam pada
lokasi dengan ombak kecil, dimana tingkat erosi
pantai minimal. Pengetahuan zonasi spesies
mangrove diperlukan untuk menentukan area yang
sesuai untuk spesies yang berbeda (Kairo et al.,
2001). Zonasi ini merupakan hasil toleransi
lingkungan dan pilihan fisiologis setiap spesies
(Rabinowitz, 1978). Setiap spesies mangrove
mempunyai suatu cakupan toleransi yang spesifik
terhadap parameter-parameter lingkungan, seperti
kadar garam, genangan pasang surut, keteduhan,
elevasi daratan dan lain-lain. Hal ini membatasi zona
yang sesuai bagi keberadaannya. Sonneratia alba
dan Rhizophora akan tumbuh pada perbatasan
ekosistem mangrove dengan laut, sebab tidak
mampu menoleransi fluktuasi konsentrasi garam
yang besar, sedang Ceriops tagal dan Avicennia
marina dapat menoleransi kadar garam yang tinggi
sehingga ditemukan pada batas ekosistem mangrove
dengan daratan. Oleh karena itu, Sonneratia dapat
ditanam pada dataran lumpur yang berbatasan
langsung dengan laut, sedangkan Ceriops dan
Avicennia dapat ditanam pada lokasi kering yang
berbatasan dengan daratan (Kairo et al., 2001).
Faktor penting lainnya yang menentukan
keberhasilan proyek restorasi adalah tingkat
kerjasama dari masyarakat dan para pemimpin lokal.
Tekanan populasi lokal akan mempengaruhi struktur
dan fungsi ekosistem mangrove di sekitarnya.
Pendidikan lingkungan dapat mendorong keterlibatan
aktif dan keikutsertaan publik yang lebih besar.
Keduanya merupakan isu penting dalam manajemen
dan konservasi mangrove. Keputusan manajemen

menyertakan masukan lokal akan lebih berhasil dan


mendapatkan dukungan politis lebih besar. Dua
pendekatan telah digunakan di restorasi area
mangrove yang terdegradasi, yaitu regenerasi buatan
dan alami (Kairo et al., 2001).
Keberhasilan harus dapat diukur sebagai derajat
dimana fungsi ekosistem alami yang digantikan dapat
ditingkatkan. Hal ini tidak hanya ditentukan
berdasarkan spesies yang hadir dan fungsi yang
terkait denganya, tetapi juga sifat fisik, kimia dan
biologi habitat. Ekosistem yang direstorasi juga harus
dapat merespon cekaman dan perubahan lingkungan
sepanjang waktu sebagaimana ekosistem alami.
Beberapa faktor penting yang terkait dengan
keberhasilan restorasi wetland adalah kemampuan
untuk mengakses dan membuat kembali hidrologi,
serta mengelola dan melindungi wetland baru dalam
jangka panjang (Kusler dan Kentula, 1990).
Secara
ringkas,
faktor-faktor
yang
perlu
diperhatikan dalam restorasi mangrove mencakup
stabilitas tanah dan pola penggenangan (Pulver,
1975), pasang surut dan ombak (Lewis, 1992, Field,
1996), elevasi (Hoffman et al., 1985), salinitas dan
aliran air tawar permukaan (Jiminez, 1990),
ketersediaan propagul (Loyche, 1989, Kairo et al.,
2001), predasi propagul (Dahdouh-Guebas et al.,
1997, 1998), jarak dan kerapatan (FAO, 1985, Kairo
et al., 2001), eradikasi gulma (Saenger dan Siddique,
1993), teknik pembibitan (Siddique et al., 1993),
pemantauan
(Lewis,
1990b),
keikutsertaan
masyarakat (Kairo dkk., 2001) dan biaya yang
dibutuhkan (Field, 1998a). Di Jawa, kegagalan
restorasi mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan
pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe
tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan
ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan
ketiadaan partisipasi masyarakat (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi).
Kelemahan manajemen dan tidak adanya peran
aktif masyarakat merupakan penyebab utama
kegagalan restorasi di beberapa lokasi di Jawa,
selain akibat melanggar langkah-langkah penting lain.
Kegagalan restorasi mangrove di muara Bogowonto
antara lain juga disebabkan kesalahan pemilihan
sumber propagul dan pemahaman pola genangan.
Penanaman Sonneratia spp. dengan bibit dari Segara
Anakan Cilacap ke Sungai Bogowonto pada tahun
1997 menunjukkan kegagalan pertumbuhan akibat
adanya genangan. Secara alami, setiap tahun di
musim
kemarau
muara
Sungai
Bogowonto
mengalami penggenangan sekitar 4-6 minggu. Hal ini
terjadi karena terbentuknya gumuk pasir (sanddunes)
yang membendung muara sungai. Bendungan ini
akan jebol dengan sendirinya ketika volume air yang
terbendung melimpah. Bibit Sonneratia spp. dapat
bertahan hingga tahun 1999, karena pada tahun 1998
tidak terjadi genangan yang cukup berarti akibat
curah hujan dan debit air sungai cukup tinggi
sepanjang tahun sehingga mampu menembus gumuk
pasir di muara sungai. Namun pada musim kemarau

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118

tahun 1999, kembali terjadi genangan selama 6


minggu, sehingga hampir semua populasi Sonneratia
spp. dari Segara Anakan Cilacap mati terendam,
namun populasi lokal tetap bertahan (Tjut S. Djohan,
2001, komunikasi pribadi). Pengamatan isozim oleh
penulis menunjukkan adanya perbedaan pola pita
isozim populasi Sonneratia spp dari kedua lokasi
tersebut. Menurut McPhaden (1999), badai El Nino
South Oscillation (ENSO) pada tahun 1997-1998
merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, hingga
mencurahkan cukup banyak air ke kawasan barat
Pasifik,
setelah
sebelumnya
menyebabkan
kekeringan hebat. Di samping itu kegagalan juga
disebabkan perumputan oleh kerbau, sebagaimana
terjadi pada populasi Rhizophora spp (ADS, 20022003, pengamatan pribadi).
Di pantai selatan Jawa, kegagalan restorasi juga
terjadi di muara sungai Cakrayasan, Purworejo dan
muara sungai Luk Ulo, Kebumen. Pada tahun 2000,
dilakukan restorasi ekosistem mangrove di kedua
lokasi ini dengan spesies Rhizophora spp. Di muara
sungai
Cakrayasan,
kegagalan
restorasi
kemungkinan besar disebabkan akumulasi sampah
dari hulu sungai pada awal musim hujan. Sampah,
seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lainlain menutupi area penanaman sehingga anakan
mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan
sebagian besar seedling yang perakarannya masih
lemah ikut terhanyut ke laut. Di pantai utara Jawa, di
sepanjang muara-muara sungai di Demak, Jepara,
Pati, dan Rembang, kematian seedling akibat
terjerat sampah domestik merupakan kejadian
umum. Secara unik penjeratan ini juga dilakukan
oleh sejenis algae lembaran, Ulva spp. Spesies ini
hidup mengapung di tepi pantai dangkal terbuka,
yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi
propagul alami, dan dipilih dalam program
penghijauan mangrove. Pada saat air pasang, Ulva
akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan
tersangkut, melekat, dan mati pada seedling
mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan
mematikan
seedling
tersebut.
Kondisi
ini
menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada
program penghijauan bakau di tepi pantai Pasar
Banggi, Rembang. Di Segara Anakan, kegagalan
restorasi akibat sampah, kurang teramati mengingat
luasnya area mangrove tersebut (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi). Ancaman terbesar ekosistem
mangrove di kawasan ini adalah sedimentasi
(Winarno dan Setyawan, 2002).
Di muara sungai Luk Ulo, Kebumen selain
sampah, pola genangan, dan jenis tanah berpasir
yang cenderung kurang cocok bagi Rhizophora;
tampaknya penggembalaan merupakan penyebab
utama kegagalan restorasi. Lokasi mangrove yang
direstorasi merupakan area penggembalaan ternak
sapi (Bos sondaicus), sehingga seedling yang ditanam tidak tersisa akibat perumputan. Hal sama terjadi
di muara sungai Bogowonto, dimana area mangrove
merupakan kawasan penggembalaan kerbau (Bos

111

bubalis), sehingga seedling alami hanya dapat bertahan di kawasan yang sulit dijangkau ternak, sedangkan penanaman sengaja hanya dapat dilakukan pada
area yang dipagari, yang biasanya telah rusak sebelum seedling cukup tinggi, sehingga akan dimakan
kerbau (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
Di pantai utara Jawa, kegagalan restorasi juga
dapat disebabkan perubahan arus laut. Hal ini terjadi
pada pantai-pantai terabrasi, dimana penanaman
mangrove akan sia-sia, selama penyebab utama
abrasi belum diatasi, karena seedling yang ditanam
ikut tergerus arus laut. Salah satu contoh
keberhasilan penanaman mangrove untuk mencegah
abrasi ditemukan di kawasan Bulak-Semat, Jepara.
Pada tahun 1980-an pantai di kawasan ini terabrasi
akibat kerusakan terumbu karang dan pembabatan
hutan mangrove. Pembuatan tanggul pemecah
gelombang dan penanaman mangrove terbukti dapat
mengurangi efek abrasi. Pada saat ini Rhizophora
yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut,
dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih,
menunjukkan garis pantai berhenti di bawah tegakan
komunitas ini (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).

TEKNIK RESTORASI
Kebanyakan restorasi hanya bertumpu pada
penanaman pohon mangrove, kurang memperhatikan
struktur komunitas dalam jangka panjang atau
kaitannya dengan ekosistem di sekitarnya (Kusler
dan Kentula, 1990; Simberloff, 1990). Kebanyakan
proyek restorasi mangrove hanya bersangkutan
dengan introduksi pohon mangrove, dengan harapan
hidupan lain seperti kepiting, meiofauna, algae, ikan,
dan fauna mangrove lain akan mengikuti dengan
sendirinya ketika habitat yang dibuat telah mapan
(Kaly dan Jones, 1996). Biasanya restorasi hanya
ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci,
restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara
keseluruhan tergantung pada proses alami berikutnya
(IPIECA, 1993).
Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau
propagul, anakan pohon, atau pohon yang lebih
besar. Penanaman biji atau propagul dapat dilakukan
secara langsung di area yang direstorasi, atau
disemaikan dahulu hingga setinggi 0,3-1,2 m
(Thorhaug, 1990). Penyemaian biji atau propagul
menjadi anakan pohon dapat meningkatkan
keberhasilan penanaman dibandingkan menanamnya
secara langsung (Hannan, 1975; Thorhaug, 1990),
meskipun demikian suatu eksperimen di kawasan
tropis Australia menunjukkan bahwa keberhasilan
hidup dan pertumbuhan bibit mangrove tidak ada
perbedaan signifikan antara benih hasil semaian,
cangkokan, dan benih yang ditanam langsung (Kaly
dan Jones, 1996).
Strategi menghilangkan makrofauna pada awal
restorasi dapat membantu pertumbuhan mangrove,
karena menjadi pemangsa atau parasit propagul dan

112

SETYAWAN dkk. Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

tumbuhan muda. Smith (1987a,b,c) menemukan


bahwa kepiting merupakan predator bibit mangrove
yang signifikan, dan dapat mempengaruhi distribusi
spesies di hutan mangrove. Kepiting dapat
memusnahkan sama sekali Avicennia marina dengan
mengkonsumsi 100% propagul. Menurut Tampa dan
Tampa (1988), Kumbang parasit Coccotrypes fallax
(Scolytidae) dapat mengerumuni sampai 95%
propagul dan seedling. Menurut Kitamura et al.
(1997), jenis hama dan penyakit utama seedling
mangrove pada kebun bibit di Bali adalah kepiting,
kumbang dan tikus.

RESTORASI FISIK HABITAT


Sebelum dilaksanakan penanaman tumbuhan
mangrove, perlu dilakukan restorasi fisik habitat
sehingga memungkinkan tumbuhan mangrove yang
ditanam dapat tumbuh sehat. Secara umum habitat
fisik yang perlu diperhatikan mencakup pola hidrologi,
kondisi tanah dan adanya bahan pencemar.
Hidrologi. Ekosistem mangrove sudah lama
dikenal sebagai pelindung dan pemantap garis pantai
(Othman, 1994), sehingga selamat dari angin topan
dan gelombang laut, namun mangrove hanya dapat
mempengaruhi tingkat pengendapan sedimen atau
erosi, tetapi tidak mengendalikannya (Gill, 1971;
Hannan, 1975). Oleh karena itu pada pantai yang
terabrasi akibat perubahan arus laut, tetap
memerlukan tanggul pemecah ombak seperti batu,
kuadrapot, tiang pancang, karung goni atau bekas
ban (Teas et al., 1975; Hannan, 1975). Struktur
tersebut dapat mempercepat kesembuhan ekosistem
mangrove (Lin dan Beal, 1995) dan mendorong
terbentuknya mangrove baru pada kawasan
sekitarnya.
Hidrologi
yang
mempengaruhi
keberhasilan restorasi mangrove, meliputi: pola
pasang surut (frekuensi dan periode), ketinggian
sedimen dan drainase, serta masukan air tawar (Kaly
dan Jones, 1996). Kegagalan restorasi seringkali
akibat sulitnya memperbaiki pola hidrologi (Kusler
dan Kentula, 1990). Pada area dimana terjadi
sedimentasi
pasir,
kemungkinan
diperlukan
pengerukan untuk mencapai tanah mangrove yang
kaya bahan organik. Restorasi hidrologi termasuk
menghubungkan kembali area dengan laut terbuka
sehingga terjadi arus pasang surut yang normal
(Brockmeyer et al., 1997, Turner dan Lewis, 1997),
serta pembatasan pengaruh gelombang akibat lalu
lintas perahu (Knutson et al., 1981).
Kondisi tanah. Tanah sulfat asam (acid soil), yang
umum ditemukan pada area mangrove di seluruh
dunia tropis serta diakibatkan oleh oksidasi dan
asidifikasi sedimen yang mengandung pirit ketika
penggalian dan pengeringan, merupakan tantangan
potensial dalam restorasi ekosistem mangrove
(Brinkman dan Singh, 1982). Tanah ini dapat memiliki
pH 2 (Kaly dan Jones, 1996). Brinkman dan Singh
(1982) mengurangi kondisi sulfat asam dengan

mengeruk tanah di permukaan tambak yang


dikeringkan setebal 15 cm dan ditambahkan kapur
untuk mencegah pelepasan asam. Cara lain adalah
menggenangi tanah dengan air pasang dan
membiarkan waktu untuk mengoksidasi asam
sebelum ditanami kembali. Tanah dikembalikan ke
kondisi anoksik sebagaimana area lumpur pasang
surut alami. Di ekosistem mangrove tropis, bakteri
tanah memainkan peranan penting dalam jejaring
makanan benthos, seperti memineralisasikan detritus
organik dan mendaur ulang nutrien penting (Kaly dan
Jones, 1996). Oleh karena itu, proses biogeokimia
alami perlu didorong untuk menumbuhkan bakteri
(Alongi, 1994).
Polutan. Mangrove merupakan ekoton antara
kawasan daratan dan laut, sehingga pencemaran
yang terjadi di darat maupun di laut dapat menumpuk
di kawasan ini. Salaha satu jenis bahan pencemar
yang menarik adalah tumpahan minyak bumi. Dalam
suatu studi, Sonneratia caseolaris, digunakan
sebagai tumbuhan pionir dan ditanam pada tanah
yang terpolusi minyak di delta Mahakam, sebagian
dari lokasi ini juga terpolusi pupuk nitrat dan sisa-sisa
dispersan minyak. Dalam hal ini restorasi diarahkan
hanya untuk mengembalikan satu spesies mangrove
yang paling kuat sebagai starter. Minyak mempengaruhi kematian dan pertumbuhan seedling yang ditanam, tetapi dispersan berpengaruh lebih buruk lagi.
Untuk itu area mangrove yang tertumpahi minyak sebaiknya tidak disemprot dispersan dan penanaman
ditunda hingga beberapa bulan (Dutrieux et al., 1990).

REGENERASI ALAMI
Regenerasi mangrove secara alami menggunakan
biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber
bibit, sehingga komposisi spesies yang tumbuh
tergantung pada populasi mangrove tetangganya.
Kemampuan mangrove menyebar dan tumbuh
dengan sendirinya tergantung pada kondisi hutan,
arus pasang surut, dan stabilitas tanah (Kairo et al.,
2001). Pada famili Rhizophoraceae, propagul
dilengkapi dengan hipokotil runcing yang akan jatuh
dan menanam diri sendiri pada lumpur tidak jauh dari
induknya (La Rue dan Muzik, 1954), namun apabila
propagul tersebut jatuh pada saat air pasang atau
ombak tinggi, kadang-kadang tidak dapat menancap
di lumpur, bahkan tersapu dan terbawa arus laut,
hingga tumbuh jauh dari induknya (Rabinowitz, 1978;
van Speybroeck, 1992).
Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
dapat menurunkan stabilitas tanah, sehingga
propagul dan anak pohon mudah dihanyutkan ombak
dan regenerasi alami sulit terbentuk (Kairo et al.,
2001). Di Malaysia, direkomendasikan agar disisakan
sebanyak 12 pohon induk per ha, sebagai penyuplai
biji regenerasi alami (Tang, 1978, FAO, 1994), namun
pada lokasi-lokasi dengan tingkat regenerasi rendah
jumlah tersebut dapat dinaikkan. Di Thailand,

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118

penggunaan pohon induk diganti lajur-lajur mangrove


yang tidak ditebangi untuk menjaga regenerasi (FAO,
1985). Kelebihan dan kekurangan regenerasi alami
dan regenerasi buatan tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelebih dan kekurangan regenerasi secara alami
(Kairo et al., 2001).
Kelebihan

Lebih murah.
Tidak memerlukan tenaga kerja dan peralatan.
Lebih sedikit disturbansi pada tanah.
Pertumbuhan anakan pohon lebih subur.

Kekurangan

Spesies pengganti kemungkinan berbeda dengan


spesies semula.
Ketiadaan pohon induk menyebabkan bibit sedikit atau
tidak ada.
Pengkayaan genetika sulit terjadi.
Ombak laut dapat menyebabkan sulit mapan.
Terjadi predasi bibit oleh makrofauna (seperti kepiting
dan siput).
Jarak tanam, asal dan komposisi spesies bibit sulit
dikontrol.

REGENERASI BUATAN
Regenerasi mangrove secara alami dapat berlangsung lambat, karena perubahan kondisi tanah, pola
hidrologi, dan terhambatnya suplai bibit. Regenerasi
buatan pertama-tama harus memperbaiki pola hidrologi dan penanaman hanya dilakukan jika rekrutmen
alami tidak mencukupi atau kondisi tanah menghalangi pemantapan alami. Penanaman mangrove telah
berhasil dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, India,
Filipina, Thailand, dan Vietnam. Kebanyakan spesies
yang ditanam termasuk dalam famili Rhizophoraceae,
Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae (Kairo et al.,
2001). Teknik regenerasi buatan umumnya
menggunakan propagul, kadang-kadang anak pohon
(tinggi < 1,2 m), tetapi jarang menggunakan pohon
kecil (tinggi > 6 m). Metode ini sudah digunakan sejak
Watson (1928) hingga kini (Kogo et al., 1987,
Qureshi, 1990, Siddique et al., 1993).
Propagul Rhizophora sering dipilih karena memiliki
hipokotil panjang sehingga dapat ditancapkan
langsung di lapangan, namun teknik ini tidak dapat
digunakan pada anggota genus mangrove lain. Pada
umumnya, propagul ditanam dengan jarak 1 meter
(10.000 per ha). Pada mangrove, angka kematian
bibit awal relatif rendah, tetapi tingkat daya hidup
yang diharapkan biasanya hanya sekitar 50%,
sehingga diperoleh kepadatan hutan mangrove
dewasa yang ideal, sekitar 1.000 pohon per hektar (1
pohon per 10 m2). Penanaman anak pohon sebaiknya
dilakukan pada awal musim hujan, meskipun dapat
pula ditanam sepanjang tahun (Kairo et al., 2001).

113

Pada spesies mangrove tertentu ketersediaan


propagul tergantung musim. Propagul mangrove yang
telah masak dikoleksi dari pohon induk, dari bawah
pohon atau dari pantai. Pada Rhizophora dan Ceriops
warna hipokotil dapat digunakan untuk membedakan
propagul muda dari yang masak. Pada Avicennia,
propagul masak dapat dipetik dengan mudah dari
induknya dengan meninggalkan kelopak. Propagul
hasil koleksi dapat disimpan dalam kantung plastik
lembab selama tiga hari hingga beberapa minggu, di
tempat teduh, untuk meningkatkan daya tahan
terhadap serangan kepiting (Watson, 1928, DahdouhGuebas et al., 1997). Propagul juga dapat dilindungi
dengan mengecat hipokotil atau meletakkannya
dalam buluh bambu (FAO, 1994). Sepanjang
kelembaban dijaga, propagul mangrove dapat
disimpan selama enam bulan (Kairo et al, 2001).
Pada saat penanaman anak pohon baik dari
kebun pembibitan atau hutan alam perlu dilakukan
upaya melindungi akar, baik ketika dicabut atau
ditanam. Hal ini biasanya dilakukan dengan
menyekop anak pohon dengan diameter tanah
separuh tinggi anak pohon. Daya tahan propagul atau
anak pohon lebih baik (80-100% dari 70.000 setelah
24 bulan) dibanding pohon kecil (< 5% setelah 12
bulan). Anak pohon dari kebun pembibitan memiliki
daya tahan lebih tinggi (80-100% setelah 24 bulan)
dibandingkan seedling alami (Kairo et al., 2001).
Bibit mangrove dapat pula diperoleh dengan
mencangkok, misalnya pada Rhizophora mangle,
Avicennia germinans, dan Laguncularia racemosa
(Calton dan Moffler, 1978). Keberhasilan teknik ini
tergantung spesies, terdapat perbedaan signifikan
(p<0,001) keberhasilan pertumbuhan akar antara
Sonneratia alba (58,8%), Lumnitzera racemosa
(36,5%),
dan
Xylocarpus
granatum
(4,4%).
Regenerasi buatan memiliki beberapa keuntungan
antara lain: distribusi dan komposisi spesies dapat
diatur, tumbuhan dapat diperkaya secara genetik, dan
serangan hama dapat dikendalikan (Field, 1998a).

SPESIES YANG DITANAM


Informasi teknik pembibitan mangrove memusat
pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar
60 spesies pohon dan semak mangrove mayor dan
minor, serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi,
hanya 12 spesies yang biasa digunakan untuk
restorasi, yaitu Rhizophora, Avicennia, Sonneratia,
Bruguiera, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, Cassurina, dan Hibiscus.
Penentuan spesies yang dipilih tergantung pada
tekstur tanah, kadar garam, dan lama penggenangan,
serta iklim mikro lainnya (Choudhury, 1996; 2000).
Di kebanyakan negara, pada mulanya penanaman
mangrove dilakukan dengan propagul atau seedling
yang dikumpulkan dari lantai hutan. Sekarang
material yang digunakan adalah seedling alami, biji
atau propagul, dan seedling pembibitan. Hutan

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118

Tabel 2. Teknik penanaman beberapa spesies mangrove yang utama di Bali (Kitamura dkk., 1997).

Musim buah

Rhizophora
mucronata
September-Desember

Rhizophora apiculata
Desember-Pebruari

Bruguiera
gymnorrhiza
Mei-Desember

Sonneratia alba

Avicennia marina

Ceriops tagal

April-Juni dan
September-Oktober
Buah jatuh dari pohon,
biji mengapung di air
tawar.

Desember-Pebruari

Agustus-Desember

Berat buah tanpa


kelopak 1,5 g, panjang
> 1,8 cm. Sebelum
ditanam direndam air
semalam untuk
membuang kulitnya.
Tanah tepi tambak.

Kotiledon kuning,
panjang > 20 cm,
dipilih propagul yang
bebas penyakit.

Buah kuning hingga


cokelat, permukaan
biji cokelat kekuningan
dengan bintik-bintik
kelabu, tali ari tampak.

Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

Biji dipendam sedalam


1/3 panjangnya,
diletakkan bebas dari
pasang surut hingga
berakar.
30%.
Disiram dua kali
sehari pada saat tidak
ada pasang, dan
sekali ketika ada
pasang, saat air surut.
Tikus, kepiting, dan
ulat.
Tikus memakan biji, ,
diatasi dengan
memasang jaring
keliling kebun.
Kepiting memakan
tunas muda dan daun,
diatasi dengan
memasang lembaran
plastik keliling kebun.
Ulat diatasi dengan
memasang jaring
halus keliling kebun.

Biji dipendam
sedalam 5 cm.

Biji diletakkan di atas


tanah dengan posisi
radikula di bawah.

50%.
Mengikuti arus pasang
surut, dan disiram
pada saat air surut.

30%.
Mengikuti arus pasang
surut, dan disiram
pada saat air surut.

Tidak ada yang cukup


berarti.

Tidak ada yang cukup


berarti.

6-7 bulan, tinggi


seedling > 20 cm,
jumlah daun > 2
pasang.
Polibag dibuang dan
1/3 bagian propagul
dibenamkan.

3-4 bulan, tinggi


seedling > 20 cm,
jumlah daun > 2
pasang.
Polibag dibuang.

Kriteria buah

Kotiledon hijau muda


atau kuning, panjang >
50 cm, dipilih propagul
yang bebas penyakit.

Kotiledon merah,
panjang > 20 cm,
diameter > 1,4 cm,
dipilih propagul yang
bebas penyakit

Kotiledon hijau tua


hingga merah,
panjang > 20 cm.

Media tanam

Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

Tanah tepi tambak.

Pembibitan

Propagul ditancapkan
sedalam 10 cm.

Propagul ditancapkan
sedalam 5 cm.

Propagul ditancapkan
sedalam 5 cm.

Naungan
Pengairan

50%
Mengikuti arus
pasang-surut.

50%.
Mengikuti arus
pasang-surut.

30%.
Mengikuti arus
pasang-surut.

30%.
Mengikuti arus
pasang-surut dan
pengairan buatan
setiap hari.

Hama dan penyakit

Kepiting, ulat, dan


kumbang.
Kepiting memakan
propagul baru, diatasi
dengan meletakkan
pangkal bibit setinggi
20 cm di atas dasar.
Ulat dan kumbang
memakan ujung
propagul, diatasi
secara manual.

Tidak ada yang cukup


berarti.

Tidak ada yang cukup


berarti.

Lama pembibitan

4-5 bulan, tinggi


seedling > 55 cm,
jumlah daun 2 pasang.

4-5 bulan, tinggi


seedling > 30 cm,
jumlah daun 2 pasang.

Penanaman

Polibag dibuang dan


1/3 bagian propagul
dibenamkan.

Polibag dibuang dan


1/3 bagian propagul
dibenamkan.

3-4 bulan, tinggi


seedling > 35 cm,
jumlah daun > 3
pasang.
Polibag dibuang dan
1/3 bagian propagul
dibenamkan, pada
penaman langsung
kelopak tidak dibuang.

Tikus, kepiting, dan


ulat.
Tikus memakan biji,
daun muda dan tunas
muda, diatasi dengan
memasang jaring
keliling kebun.
Kepiting memakan
tunas muda dan daun,
diatasi dengan
memasang lembaran
plastik keliling kebun.
Ulat diatasi dengan
memasang jaring
halus keliling kebun.
5-6 bulan, tinggi
seedling > 15 cm,
jumlah daun > 3
pasang.
Polibag dibuang.

Cara mengatasi

Tanah yang dicampur


30% pupuk kandang.
Biji dipendam sedalam
separuh panjangnya,
dua biji per pot.

3-4 bulan, tinggi


seedling > 30 cm,
jumlah daun > 3
pasang.
Polibag dibuang.

Xylocarpus
granatum
September-Desember

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118

mangrove alami biasanya memiliki sejumlah besar


seedling alami. Mereka sering kali sama tingginya
umurnya bervariasi mulai dari 1-6 tahun. Seedling
alami yang bangsor, halus, dan sehat memiliki
kemampuan tumbuh lebih baik (Choudhury, 1996).
Penggunaan biji dan propagul di penghutanan
mangrove biasa dilakukan, khususnya propagul
vivipar. Beberapa spesies tumbuhan mangrove
memerlukan kebun pembibitan. Di Bali, pembibitan
dilakukan
terhadap
Rhizophora
mucronata,
Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza,
Sonneratia alba, Avicennia marina, Ceriops tagal, dan
Xylocarpus granatum (Kitamura dkk., 1997). Di Jawa,
pembibitan umumnya dilakukan terhadap Rhizophora
spp. seperti dilakukan kelompok tani di pesisir
Rembang, Probolinggo, dan Perhutani di Indramayu.
Para petani membibitkan Rhizophora untuk
memenuhi kebutuhan proyek-proyek restorasi
mangrove. Proyek-proyek ini sering kali identik
dengan penanaman bakau yang memiliki bentuk
perakaran khas. Masyarakat di pantai utara Jawa
juga biasa menggunakan seedling alami Rhizophora,
Avicennia dan Sonneratia untuk menguatkan tanggultanggul tambak, terutama yang berbatasan langsung
dengan sungai atau laut (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi).

TEKNIK PEMBIBITAN DAN PENANAMAN


Di Bali, pembibitan dilakukan di kebun persemaian
yang letaknya di lokasi mangrove, sehingga bibit
dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan di area
penanaman. Seedling ditanam dalam polibag yang
diisi tanah, dimana penyiraman umumnya mengikuti
arus pasang laut. Penanaman langsung propagul
Rhizophora dimungkinkan pada lokasi yang dangkal
(Kitamura dkk., 1997). Di Rembang, pembibitan tidak
dilakukan pada area khusus, tetapi di bawah tegakan
mangrove yang agak terbuka atau di tepian area
mangrove, pada batas dengan daratan. Propagul
ditanam pada polibag yang cukup tinggi untuk
mengurangi pemangsaan oleh kepiting (ADS, 20022003, pengamatan pribadi). Cara pembibitan
berbagai spesies mangrove antara lain dipublikasikan
oleh Choudhury (1994, 1996, 2000) berdasarkan
penelitian di Banglades, namun dalam tulisan ini
hanya dikemukan cara pembibitan mangrove tujuh
spesies di Bali oleh Kitamura et al. (1997), mengingat
kedekatan ekosistemnya dengan Jawa (Tabel 2.).
Penanaman seedling umumnya dilakukan pada
bulan Desember s.d. Januari, pada awal musim
hujan. Waktu penanaman juga memperhatikan kalender hijriah, dimana penanaman dilakukan seminggu
setelah tanggal 14 atau 15 saat pasang sedang
rendah. Bibit yang digunakan biasanya berketinggian
sekitar 60 cm, bibit yang lebih tinggi dapat ditanam
pada area dengan tingkat penggenangan lebih
dalam, tetapi bibit dengan ketinggian lebih dari 1,5 m
sebaiknya tidak digunakan. Di Indonesia dan

115

Malaysia biasanya dipilih propagul dalam praktek


penanaman, sehingga spesies yang ditanam
umumnya Rhizophora (Choudhury, 2000).
Penanaman
mangrove
memerlukan
masa
perawatan intensif sekitar 75 hari setelah tanam,
dimana diperlukan penggantian bibit yang tersapu
ombak, tererosi, dimakan kepiting, bibit yang tidak
sehat dan mati serta menjaga drainase, membuang
sampah, dan menjaga dari erosi. Semak-semak
mangrove yang tebal dapat terbentuk setelah 5
tahun. Adapun pohon mangrove dewasa dengan
tinggi lebih dari 5 m, akar penyangga kuat, rangkaian
akar nafas luas, dan kanopi rapat dapat terbentuk
dalam waktu 15 tahun (Choudhury, 1996). Perbedaan
signifikan komposisi dan keanekaragaman fauna
mulai teramati 5 tahun setelah penanaman.
Kepadatan makrofauna tanah pada ekosistem yang
direstorasi lebih tinggi daripada ekosistem yang
dibiarkan terbuka, serta sama dengan ekosistem
alami (Kairo et al., 2001).

PEMANTAUAN AREA RESTORASI


Area restorasi mangrove perlu dipantau (Tabel 3).
Tabel 3. Aktivitas pemantauan
mangrove (Field, 1998b).

setelah

penanaman

Aktivitas

Tindakan di lapangan

Memantau
perkembangan spesies
Memantau laju
pertumbuhan sejalan
dengan umur

Mengecek kebenaran asal usul


propagul dan biji
Mengamati kerapatan sapling
dan pohon, diameter batang,
tinggi dan volume pohon.
Mengukur pertambahan tahunan.
Mengamati struktur batang,
nodus, fenologi, pembuahan,
serta resistensi terhadap hama
dan penyakit.
Menyiapkan penjelasan ilmiah
mengenai kegagalan ini.
Mencatat asal sampah dan
langkah yang diambil untuk
mengatasinya.
Mencatat tingkat kelebatan,
regenerasi buatan atau alami.
Mencatat pertumbuhan pohon.

Memantau
pertumbuhan sifat-sifat
khusus
Mencatat tingkat
kegagalan anak pohon
Mencatat tingkat
akumulasi sampah
Mengatur kerapatan
seedling dan anak
pohon pada tingkat
optimum
Memperkirakan total
biaya akhir proyek
restorasi

Memantau dampak
penebangan hutan
mangrove di sekitarnya
Memantau sifat-sifat
ekosistem mangrove
yang direstorasi

Mencatat semua pengeluaran,


meliputi persiapan lokasi, koleksi
propagul, pembibitan di kebun,
penanaman di lapangan dan
lain-lain.
Hal ini merupakan catatan
restorasi jangka panjang
Mengukuran secara terinci
mengenai fauna, flora dan
parameter lingkungan dari
ekosistem hasil restorasi dan
membandingkannya dengan
ekosistem mangrove alami.

116

SETYAWAN dkk. Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah


ditanam sangat diperlukan untuk
menjamin
keberhasilan program restorasi. Parameter yang
perlu diperhatikan dalam proyek restorasi disajikan
pada Tabel 3. Aktivitas ini serupa dengan aktivitas
yang dilakukan pada proyek kehutanan pada
umumnya (Field, 1998b).

PENUTUP
Mangrove
merupakan
ekosistem
yang
menghubungkan hidupan laut dan daratan, serta
menjadi daerah penyangga dan ekoton antar kedua
hidupan tersebut. Semua aktivitas yang dilakukan di
darat dan di laut dapat mempengaruhi eksistensi
ekosistem ini. Nilai penting ekosistem mangrove telah
diketahui secara luas, namun hingga kini penurunan
luasan mangrove di seluruh dunia yang terus
berlanjut. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan
antara teori yang menyatakan perlunya pemanfaatan
ekosistem mangrove secara lestari dan praktek yang
menunjukkan dilaksanakannya pemanfaatan secara
tidak lestari. Mangrove merupakan ekosistem yang
sangat viabel. Ekosistem mangrove yang rusak dapat
memulihkan diri sepanjang faktor-faktor lingkungan
seperti pola hidrologi, kondisi tanah, dan ketersediaan
propagul mendukung, namun pada kondisi daya
lenting terpatahkan perlu dilakukan campur tangan
dengan melakukan regenerasi secara buatan. Teknik
manajemen mangrove yang ada saat ini sering kali
gagal untuk mempertahankan kelestarian sumber
daya ini. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan yang
lebih luas dengan mengintegrasikan manajemen
kawasan pesisir, dengan memasukkan unsur-unsur
penting seperti ekologi, sosial ekonomi, dan sosial
budaya sehingga dapat memenuhi hajat hidup orang
banyak, sekaligus memelihara biodiversitas secara
luas.

DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1996. Reforestation in mangrove forests in
Thailand, A case study in Pattani Province. In Field, C.D. (ed.)
Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International
Society for Mangrove Ecosystems.
Alongi, D.M. 1994. The role of bacteria in nutrient recycling in
tropical mangrove and other coastal benthic ecosystems.
Hydrobiologia 285: 19-32.
Anonim. 1991. Application social forestry strategy by using
silvofishery system for supporting national food production.
Bandung: Perum Perhutani Unit III West Java.
Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon,
Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia
6: 31-34.
Anonim. 2001. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South
Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf.
Anonim. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di
Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular
Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104-117.
Ball, M. C. 1980. Patterns of secondary succession in a mangrove
forest in south Florida. Oecologia (Berl.) 44: 226-235.

Baowen, L. 1997. The present situation and prospects of mangrove


afforestation in China. World Forestry Congress 1997.
Brinkman, R., and V.P. Singh, 1982. Rapid reclamation of
fishponds on acid sulphate soils. In Dost, H. & N. van Breemen
(ed.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid
Sulphate Soils. ILRI. Wageningen, Nederlands, Publication 31:
318-330.
Brockmeyer, R.E. Jr., J.R. Rey, R.W. Virnstein, R.G. Gilmore, and
L. Ernest. 1997. Rehabilitation of impounded estuarine
wetlands by hydrologic reconnection to the Indian River
Lagoon, Florida (USA). Wetlands Ecology and Management 4
(2): 93-109.
Cairns, J. 1988 Restoration ecology: the new frontier. In
Restoration of Damaged Ecosystems, Volume 1. Boca Raton,
Flo.: CRC Press.
Calton, J.M. and M.D. Moffler. 1978. Propagation of mangroves by
air-layering. Environmental Conservation 5: 147-150
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein:
J.Cramer Verlag.
Choudhury, J.K. 1994. Mangrove re-afforestation in Bangladesh.
Proceedings on the Workshop on ITTO Project Development
and Dissemination of Re-afforestation Techniques on
Mangrove Forests: 18-20 April 1994. Bangkok Thailand.
Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove
Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta:
Asia Development Bank.
Choudhury, J.K. 2000. Sustainable management of coastal
mangrove forest development and social needs. Mangroves
and
Other
Coastal
Forests.
www.fao.org/montes/
foda/wforcong/ PUBLI/PDF/V6E_T386.PDF.
Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest
management. In Hussain Z. and G. Acharya (ed.). Mangroves
of the Sundarbans, Vol. 2: Bangladesh. Gland, Switzerland:
IUCN Wetlands Program.
Cintron-Molero, G. 1992. Restoring mangrove systems. In Thayer,
G.W. (ed.). Restoring the Nations Marine Environment.
Maryland: Maryland Seagrant Program, College Park.
Crewz, D.W. and R.R. Lewis. 1991. An evaluation of historical
attempts to establish emergent vegetation in marine wetlands
in Florida. Florida Sea Grant Technical Publication No. 60,
Gainesville, Flo:.Florida Sea Grant College.
Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, and N. Koedam.
1997. Food preferences of Neosarmatium meinerti de Man
(Decapoda: Sesarminae) and its possible effect on the
regeneration of mangroves. Hydrobiologia 347: 83-89
Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, D. Van Speybroeck,
and N. Koedam. 1998. Propagule predators in Kenyan
mangroves and their possible effect on regeneration. Marine
and Freshwater Research 49: 345-350
Detweiler, T.E., F.M. Dunstan, R.R. Lewis, and W.K. Fehring. 1976.
Patterns of secondary succession in a mangrove community.
Proceedings of the Second Annual Conference on Restoration
of Coastal Plant Communities in Florida. Tampa, FL:
Hillsborough Community College.
Duke, N. 1996. Mangrove reforestation in Panama: an evaluation of
planting areas deforested by a large oil spill. In: Field C. (ed.)
Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International
Tropical Timber Organization and International Society for
Mangrove Ecosystems.
Dutrieux, E., F.Martin, and A. Debry. 1990. Growth and mortality of
Sonneratia caseolaris planted on an experimentally oilpolluted soil. Marine Pollution Bulletin 21: 62-68.
FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and
Indonesia. Rome: FAO Environment Paper.
FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO
Forestry Paper.
Field, C. 1996. Restoration of mangrove Ecosystems. Okinawa:
International Tropical Timber Organization and International
Society for Mangrove Ecosystems.
Field, C. 1998a. Rationales and practices of mangrove
afforestation. Marine and Freshwater Research 49: 353-358
Field, C. 1998b. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an
overview. Marine Pollution Bulletin 37: 383-392
Fitzgerald, B. 2002. Case study 5: integrated mangrove forest and
aquaculture systems (silvofisheries) in Indonesia. In Macintosh
D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the

B I O D I V E R S I T AS Vol. 5, No. 2, Juli 2004, hal. 105-118


Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp
Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared under the
World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on
Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for
Public Discussion. Published by the Consortium.
Fitzgerald, B. and L.A. Savitri. 2002. Case study 6: integration of
silvofisheries into coastal management and mangrove
rehabilitation in Java, Indonesia. In Macintosh D.J., M.J.
Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the Thematic
Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture.
Case studies 1-6. Report prepared under the World Bank,
NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp
Farming and the Environment. Work in Progress for Public
Discussion. Published by the Consortium.
Fitzgerald, W.J. 1997. Silvofisheries-an environmentally sensitive
integrated mangrove forest and aquaculture system.
Aquaculture Asia 2 (3): 9-17.
Gill, A. M. 1971. Mangroves-is the tide of public opinion turning?
Fairchild Tropical Garden Bulletin 26: 5-9.
Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove
Area Management. Honolulu: Environment and Policy Institute,
East-West Center.
Hannan, J. 1975. Aspects of red mangrove reforestation in Florida.
Proceedings of the Second Annual Conference on the
Restoration of Coastal Vegetation in Florida.
Hardjosuwarno, S. 1989. The impact of oil refinery on the
mangrove vegetation. BIOTROP Special Publications 37: 187192.
Hartina, 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH
Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis].
Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Hassan, H.H.A. 1981. A Working Plan for the Second 30-year
Rotation of the Matang Mangrove Forest Reserve Perak 198089. Perak, Malaysia: State Forestry Department Publication.
Hoffman, W.E., M.J. Durako, and R.R. Lewis. 1985. Habitat
restoration in Tampa bay. In: Simon, S.A.F., R.R. Lewis, and
R.R. Whiman. (eds.) Treat, Proc. Tampa Bay Area Scientific
Inf. Symp. Tampa: Florida Sea Grant College & Bellwether
Press.
IPIECA. 1993. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves.
IPIECA Report No. 4. London: International Petroleum Industry
Environmental Conservation Association.
Jimenez, JjA. 1990. The structure and function of dry weather
mangroves on the Pacific coast of Central America, with
emphasis on Avicennia bicolor forests. Estuaries 13: 182-192
Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001.
Restoration and management of mangrove systems a
lesson for and from the East African region. South African
Journal of Botany 67: 383-389.
Kaly, U.L. and G.P. Jones. 1996. Mangrove Restoration: a
Potential Tool for Ecosystem Management of Coastal
Fisheries. Queensland: Department of Marine Biology, James
Cook University, Queensland, Australia.
Khoon, G.W. and O.J. Eong. 1995. The use of demographic
studies in mangrove silviculture. Hydrobiologia 295: 255-261.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997.
Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok.
Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove
Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan
International Cooperation Agency.
Knutson, P.L., J.C. Ford, M.R. Inskeep, and J. Oyler. 1981.
National survey of planted salt marshes (vegetative
stabilization and wave stress), Journal of the Society of
Wetland Scientists 1, 129-156.
Kogo, M., D. Kamimura, and T. Miyagi. 1987. Research for
rehabilitation/reforestation of mangroves in Truk Island. In:
Mangroves of Asia and the Pacific: Status and Management.
Technical Report of the UNDP/UNESCO Research and
Training Pilot Programme on Mangrove Ecosystems in Asia
and the Pacific (RAS/79/002). Quezon City, Phillipines:
UNESCO.
Kompas, 06/08/2002. 29 Hektar Pantai Muara Reja Terkena Abrasi
Kompas, 06/10/2003. Reklamasi Pantai Jakarta Memperparah
Abrasi
Kompas, 10/11/2002. Pantai Dadap Direklamasi Untuk Tempat
Wisata

117

Kompas, 15/08/2002. Parah Abrasi di Pantura


Kusler, J.A. and M.E. Kentula. 1990. Wetland Creation and
Restoration: The Status of the Science. Washington: Island
Press.
La Rue, C.D. and T.J. Muzik. 1954. Does mangrove really plant its
seedling. Nature 114: 661-662
Lewis, R.R. 1982. Low marshes, peninsular Florida. In Lewis, R.R.
(ed.). Creation and restoration of coastal plant communities
Boca Raton, FL.: CRC Press.
Lewis, R.R. 1990a Creation and restoration of coastal wetlands in
Puerto Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E.
Kentula (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of
Science. Washington: Island Press.
Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/enhancement
terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and
M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The
Status of the Science. Island Press, Washington, D.C., USA.
Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery
management tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of
Coastal Fish Habitat Loss; Proceedings of a Symposium on
Conservation of Coastal Fish Habitat, Baltimore, MD, USA,
March 7-9 1991. National Coalition for Marine Conservation,
Inc., Savannah, Georgia, USA.
Lewis, R.R. and M.J. Marshall. 1997. Principles of successful
restoration of shrimp aquaculture ponds back to mangrove
forests. Programa/resumes de Marcuba 97, September 15/20,
Palacio de Convenciones de La Habana, Cuba.
Lewis, R.R., and B. Streever. 2000. Restoration of mangrove
habitat. WRP Technical Notes Collection (ERDC TN-WRP-VNRS-3.2). Vicksburg, MS.: U.S. Army Engineer Research and
Development Center. www.wes.army.mil/el/wrp.
Lewis, R.R., J.A. Kusler, and K.L. Erwin. 1995. Lessons learned
from five decades of wetland restoration and creation in North
America. pp. 107-122 In Montes, C., G. Oliver, F. Molina, and
J. Cobos (eds.) Bases Ecologicas para la Restauracion de
Humedales en la Cuenca Mediterranea. Proceedings of a
meeting held at the University of La Rabida, Spain. 7-l 1 June
1993. Junta de Andaluca, Spain.
Lin, J. And J.L. Beal. 1995. Effects of mangrove marsh
management on fish and decapod communities. Bulletin of
Marine Sciences 57: 193-201.
Loyche M. 1989. Mangrove of West Africa the forest within the
sea. Mangroves and Fish. IDAF Newsletter 9: 18-31
McKee, K.L., and P.L. Faulkner. 2000. Restoration of
biogeochemical function in mangrove forests. Restoration
Ecology 8: 274-259
McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the 1997-1998 El-Nino.
Science 283: 950-954.
Media Indonesia, 03/10/2003. Abrasi Pantura Tangerang Makin
Mengkhawatirkan
Media Indonesia, 08/04/2003. 20 Km Pantura Cirebon dan
Indramayu Mengalami Abrasi
Media Indonesia, 15/09/2003. Nelayan Keluhkan Pengerukan Pasir
Laut
Media Indonesia, 17/06/2002. 124 Pantai di Indonesia Mengalami
Kerusakan
Media Indonesia, 19/08/2002. Desa-desa di Pesisir Tangerang
Makin Terancam Abrasi
Media Indonesia, 28/07/2003. Ribuan Hektare Tambak di Brebes,
Cirebon, dan Indramayu Lenyap Terkena Abrasi
Media Indonesia, 31/05/2002. Pantai Slamaran di Pekalongan
Alami Abrasi
Mish, F.C. (ed.). 1989. Websters ninth new collegiate dictionary.
Springfield, MS.: Merriam-Webster Inc.
Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous
disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity
and Disturbance. New York: Springer-Verlag.
Noakes, D.S.P. 1951. Notes on the silviculture of the mangrove
forest of Matang, Perak. Malaysian Forester 14: 183-196.
Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection.
Hydrobiologia 285: 277-282.
Phillips, R.C. and C.P. McRoy (eds.). 1980. Handbook of Seagrass
Biology and Ecosystem Perspective. New York: Garland STPM
Press.
Pikiran Rakyat, 04/04/2002. Pantai Pakisjaya Dikeruk Warga
Khawatirkan Abrasi.

118

SETYAWAN dkk. Ekosistem mangrove di Jawa: 2. Restorasi

Pikiran Rakyat, 14/03/2003. Ribuan Hektare Pantai Habis Digerus


Abrasi.
Pikiran Rakyat, 27/12/2002. 20 Kilometer Pantai Rusak Karena
Abrasi.
Pratt, J.R. 1994. Artificial habitats and ecosystem restoration:
Managing for the future. Bulletin of Marine Sciences 55: 268275.
Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture
in the Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309.
Primavera, J.H. and R.F. Agbayani. 1996. Comparative strategies
in community based mangrove rehabilitation programs in the
Philippines. Proceedings of the ECOTONE V Regional
Seminar:
Community
Participation
In
Conservation,
Sustainable Use and Rehabilitation of Mangroves In Southeast
Asia. Ho Chi Minh City, Vietnam, 8-12 January, 1996.
Mangrove Ecosystem Research Centre (MERC), and Vietnam
National University.
Pulver, T.R. 1975. Suggested mangrove transplanting techniques.
Proceedings of the Second Annual Conference on the
Restoration of Coastal Vegetation in Florida.
Qureshi MT. 1990. Experimental plantation for rehabilitation of
mangrove forests in Pakistan. Mangrove Ecosystem
Occasional Papers 4. UNESCO, COMAR, UNDP
Rabinowitz, D. 1978. Early growth of mangrove seedlings in
Panama, and hypothesis concerning the relationship of
dispersal and zonation. Journal of Biogeography 5: 113-133.
Republika Online, 15/07/2002. Kawasan Pantai Sidoarjo Akan
Ditanami 20.000 Pohon Mangrove.
Republika Online, 15/07/2003. Sejumlah Tambak Terkena Dampak
Abrasi.
Republika Online, 17/04/2002. Abrasi Laut Ancam Permukiman
Ratusan Warga Indramayu.
Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the
mangrove afforestation proqramme of Bangladesh. Ocean and
Coastal Management 20: 23-29.
Sanyal, P. 1998. Rehabilitation of degraded mangrove forests of
the Sunderbans of India. Program of the International
Workshop on the Rehabilitation of Degraded Coastal Systems.
Phuket Marine Biological Center, Phuket, Thailand. 19-24
January 1998.
.
Setyawan, A.D., K. Winarno, P.C. Purnama 2003. REVIEW:
Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas
4 (2): 133-145.
Siddique, N.A., M.R. Islam, M.A.S. Khan, and M. Shahidullah.
1993. Mangrove nurseries in Bangladesh. International Society
for Mangrove Ecosys stems Occasional Papers No.1. Okinawa:
International Society for Mangrove Ecosystems.
Simberloff, D. 1990. Reconstructing the ambiguous: Can island
ecosystems be restored? In Towns, D.R., C.H. Daugherty, and
I.A.E. Atkinson. Ecological Restoration of New Zealand Islands;
Conservation Sciences Publication No. 2. Wellington:
Department of Conservation, New Zealand.
Smith, T.J. 1987a. Seed predation in relation to tree dominance
and distribution in mangrove forests. Ecology 68: 266-273.
Smith, T.J. 1987b. Effects of seed predators and light level on the
distribution of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in tropical, tidal
forests. Estuarine, Coastal and Shelf Science 25: 43-51.
Smith, T.J. 1987c. The influence of seed predators on structure and
succession in tropical tidal forests. Proceedings Ecological
Society Australia 15: 203-211.

Soemodihardjo, S., P. Wiroatmodjo, F. Mulia, and M.K. Harahap.


1996 Mangroves in Indonesia, a case study of Tembilahan,
Sumatra. In Fields, C. (ed.) Restoration of Mangrove
Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove
Ecosystems.
Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused
shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W.
(ed.). An International Perspective on Wetland Rehabilitation.
Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Streever, W. (ed.). 1999. An International Perspective on Wetland
Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Suara Merdeka, 09/04/2003. Kampanye Tanam Bakau di
Telukawur.
Suara Merdeka, 26/01/2003. Abrasi Pantai di Kendal dan Demak.
Suara Pembaruan, 03/03/2002. Pengelolaan Pesisir Harus
Libatkan Warga Lokal
Suara Pembaruan, 07/07/2002. Abrasi Mengancam Desa
Limbangan
Suara Pembaruan, 11/12/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa
Mengkhawatirkan
Suara Pembaruan, 19/04/2003. 25.000 Batang Mangrove Ditanam
di Segara Anakan
Suara Pembaruan, 30/06/2002. Dilema Lingkungan Akibat Tambak
Udang
Tampa, S. and P. Tampa. 1988. Establishment and growth of
mangrove seedlings in mangrove forests of southern Thailand.
Ecological Research 3: 227-238.
Tang, H.T. 1978. Regeneration stocking adequacy standards.
Malaysian Forester 41: 176-182
Teas, H.J. 1977. Ecology and restoration of mangrove shorelines in
Florida. Environmental Conservation 4: 51-58
Teas, H.J. 1980. Saline silviculture. 2nd International Workshop on
Biosaline Research, La Paz, Baja, California sur, Mexico.
Teas, H.J., W. Jurgens, and M.C. Kimball. 1975. Planting of red
mangroves (Rhizophora mangle L.). In: Lewis RR (ed.)
Proceedings of the 2nd Annual Conference on the Restoration
of Coastal Vegetation, Florida; May 17, 1975, Hillsborough
Community College, Tampa, Florida.
Tessar, B. dan K.I. Insan. 1993. Melacak gubug akhir hutan bakau.
Warta Konservasi Lahan Basah 2 (2): 8-9.
Thorhaug, A. 1990. Restoration of mangroves and seagrasseseconomic benefits for fisheries and mariculture. In Berger, J.J.
(ed.) Environmental Restoration: Science and strategies for
restoring the earth ed. Washington, D.C.: Island Press.
Turner, R.E. and R.R. Lewis. 1997. Hydrologic restoration of
coastal wetlands. Wetlands Ecology and Management 4 (2):
65-72.
van Speybroeck, D. 1992. Regeneration strategy of mangroves
along the Kenyan coast: A first approach. Hydrobiologia 247:
243-251
Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula.
Kulala Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology
of Java and Bali. Singapore: Periplus.
Widiarti, A. and R. Effendi. 1989. Socio-economic aspects of
brackishwater pond forest in mangrove forest complex.
Symposium Mangrove Management in Indonesia. Biotrop
Special Publication No. 37: 275-279.
Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan
Sungai Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem
mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.

THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK

ISSN: 1412-033X

Pengaruh pH dan Substrat Organik Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri


Pengoksidasi Amonia
DWI AGUSTIYANI, HARTATI IMAMUDDIN, ERNI NUR FARIDAH, OEDJIJONO

43-47

Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil
Kelapa dan Bungkil Inti Sawit
LAELA SARI, TRESNAWATI PURWADARIA

48-51

The Genus Koilodepas Hassk. (Euphorbiaceae) in Malesia


MUZAYYINAH, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, JOHANIS P. MOGEA,
PETER VAN WALZEN

52-60

Study of Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. Species Commercial Values
and Possible Utilization
TITI KALIMA, JASNI

61-65

Deskripsi Jenis-jenis Anggota Suku Rhizophoraceae di Hutan Mangrove Taman


Nasional Baluran Jawa Timur
SUDARMADJI

66-70

Keanekaragaman Tumbuhan dan Populasinya di Gunung Kelud, Jawa Timur


INGE LARASHATI

71-76

Keanekaragaman Anggrek di Situ Gunung, Sukabumi


NINA RATNA DJUITA, SRI SUDARMIYATI, HENDRIUS CANDRA, SARIFAH,
SITI NURLAILI, RULLY FATHONY

77-80

Potensi Hutan Bukit Tapak Sebagai Sarana Upacara Adat, Pendidikan, dan Konservasi
Lingkungan
I WAYAN SUMANTERA

81-84

Pengujian Mikroba sebagai Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Tanaman Acacia


mangium pada Pasir Steril di Rumah Kaca
SRI PURWANINGSIH

85-88

REVIEW: Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia


PURWANINGSIH

89-95

REVIEW: Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional
Baluran Jawa Timur
DJUFRI

96-104

REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi


AHMAD DWI SETYAWAN, KUSUMO WINARNO, PURIN CANDRA PURNAMA

105-118

Gambar sampul depan:


Koilodepas frutescens (Blume) Airy Shaw
Terbit dua kali setahun

Anda mungkin juga menyukai