PENERBIT:
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta
dan
Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta
ALAMAT PENERBIT/REDAKSI:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 387, Fax.: +62-271-646655.
E-mail: biology@mipa.uns.ac.id. Online: www.biology.uns.ac.id.
TERBIT PERTAMA TAHUN:
2000
ISSN:
1412-033X
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB:
Sutarno
SEKRETARIS REDAKSI:
Ahmad Dwi Setyawan, Purin Candra Purnama, Elisa Herawati
PENYUNTING PELAKSANA:
Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Agung Budiharjo (Zoologi),
Wiryanto, Kusumo Winarno (Biologi Lingkungan)
PENYUNTING AHLI:
Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. (IPB Bogor)
Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. (UNS Surakarta)
Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. (Murdoch University Australia)
Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. (UGM Yogyakarta)
Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. (ITB Bandung)
Dr. Setijati Sastrapradja (Yayasan KEHATI Jakarta)
Dr. Dedi Darnaedi (Kebun Raya Bogor)
Dr. Elizabeth A. Wijaya (Herbarium Bogoriense Bogor)
Dr. Yayuk R. Suhardjono (Museum Zoologi Bogor)
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah
pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap
naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara
khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya
dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Hingga nomor
ini, jurnal dikirimkan kepada institusi-institusi yang meminta tanpa biaya pengganti, sebagai bentuk pertukaran pustaka
demi mendorong penelitian, perlindungan dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati. Jurnal ini terbit dua kali
setahun, setiap bulan Januari dan Juli.
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta juga menerbitkan BioSMART, Journal of Biological Science untuk
mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup biologi murni dan
ilmu-ilmu serumpun. Jurnal ini terbit dua kali setahun, setiap bulan April dan Oktober.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 43-47
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
The physiological character, especially the effect of pH and organic substrate on the growth and activity of some ammoniaoxidizing bacteria was carried out. The results show that eight out of twenty isolates have ability to reduce ammonium, two
of them i.e. isolate AOB1 and AOB2 could reduce more than 90% of ammonium. The growth and activity to reduce
ammonium to nitrite was attained optimum at pH 7-8. From the result also indicated that the growth and activity of both
isolate AOB1 and AOB2 were higher on the organic carbon (acetate)-containing media. This finding indicated that both of
isolate AOB1 and AOB2 were heterotrophic ammonia-oxidizing bacteria.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: organic substrate, acetate, ammonia-oxidizing bacteria, ammonium, nitrite.
PENDAHULUAN
Bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat
autotrofik adalah kelompok bakteri yang terutama
berperan dalam proses oksidasi amonia menjadi nitrit
pada siklus nitrogen, juga pada proses peruraian
nitrogen dalam sistem pengolahan limbah cair.
Bakteri autotrofik yang berperan dalam oksidasi
amonia menjadi nitrit adalah Nitrosomonas,
Nitrosococcus, Nitrosospira, Nitrosolobus, dan
Nitrosovibrio. Beberapa mikroorganisme yang bersifat
heterotrofik juga dilaporkan mampu mengoksidasi
amonia atau nitrogen organik menjadi nitrit atau nitrat
(Sylvia et al., 1990). Mikroorganisme yang termasuk
dalam golongan tersebut diatas antara lain adalah:
fungi (Aspergillus) dan bakteri (Alcaligenes,
Arthrobacter spp., dan Actinomycetes). Menurut
Alexander (1977), Arthrobacter dan Aspergillus flavus
mampu menghasilkan nitrat dalam media yang
mengandung amonia sebagai sumber nitrogen.
Bakteri autotrofik menggunakan CO2 sebagai
sumber karbon, sedangkan bakteri heterotrofik
menggunakan senyawa organik, seperti asetat,
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854
e-mail: atitkanti@yahoo.com
44
45
Tabel 1. Hasil isolasi bakteri pengoksidasi amonia dan pengujian pertumbuhan secara kualitatif.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Isolat
AM I1
AM I2 (AOB1)
AMDA3
AMDA4.1
AMDA4.2
AmB I1
AmB I2
AmB II1
AmB II2.1
AmB II2.2
AmB III
NC I
NC II1
NC II2
NC II3
NL2
EF4
AmOB1
AmOB2 (AOB2)
NE
Karakteristik Morfologi
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, tipis, transparan, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi tidak rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih, tepi rata
Koloni berbentuk bulat sedang, tebal, putih krem, tepi rata
Koloni berbentuk bulat kecil, transparan, tepi rata
Pengujian pertumbuhan
secara kualitatif
+++
+++
+
+++
+++
+
++
+++
++
++
++
++
++
+++
+++
+++
Keterangan: +++ = nitrit yang terbentuk banyak; ++ = nitrit yang terbentuk agak banyak; + = nitrit yang terbentuk sedikit; - =
tidak terbentuk nitrit.
Kekeruhan (OD)
0 hari
0,046
0,014
0,025
0,037
0,034
0,030
0,051
0,038
3 hari
0,080
0,100
0,159
0,154
0,133
0,222
0,196
0,290
7 hari
0,050
0,102
0,120
0,100
0,090
0,196
0,167
0,270
Konsentrasi
+
NH4
0 hari 7 hari
47,35
40,72
47,35
36,64
47,35
9,17
47,35
8,27
47,35
4,77
47,35
2,65
47,35
4,03
47,35
2,08
Kekeruhan (OD)
0 hari
0, 057
0,083
0,023
0,062
0,033
0,032
0,058
0,060
3 hari
0,044
0,089
0,838
0,835
0,873
1,068
0,670
1,430
4 hari
0,052
0,092
0,830
0,770
0,675
1,050
0,575
1,195
Konsentrasi
NH4+
0 hari 4 hari
44,38
39,65
44,38
41,77
44,38
4,11
44,38
3,30
44,38
3,79
44,38
2,81
44,38
3,30
44,38
2,79
46
Efisiensi
Efisiensi
penurunan
pembentukan
amonia (%)
nitrit (%)
P1 (pH 5)
11,68 i
0,06 a
AOB1
h
P2 (pH 6)
48,56
0,25 abc
Media
d
P3 (pH 7)
87,61
1,12 ef
tanpa
c
P4 (pH 8)
89,82
1,30 efg
organik
ef
0,93 e
P5 (pH 9)
81,61
P6 (pH 5)
9,71 Ij
0,15 ab
g
AOB1
P7 (pH 6)
59,84
1,41 abcd
b
P8 (pH 7)
95,88
8,49 hi
Media
a
organik
P9 (pH 8)
99,25
15,71 ij
e
7,06 h
P10 (pH 9)
83,10
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
BNT 0,05 = 0,0369 (untuk konsentrasi amonia) dan BNT
0,05 = 0,1050 (untuk konsentrasi nitrit).
Perlakuan
Perlakuan
47
KESIMPULAN
Dari penelitian ini diketahui bahwa derajat
keasaman (pH) berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan aktivitas isolat bakteri AOB1 dan AOB2 dalam
mengoksidasi amonia. Pertumbuhan dan aktivitas
oksidasi amonia mencapai optimum pada kisaran pH
7-8. Isolat bakteri AOB1 dan AOB2 memperlihatkan
pertumbuhan dan aktivitas yang jauh lebih baik pada
media yang mengandung asetat. Fakta ini
menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut
merupakan bakteri pengoksidasi amonia yang
bersifat heterotrofik. Alur reaksi oksidasi amonium
secara lengkap belum diketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyani, D dan H. Imamuddin. 2000. Pertumbuhan kultur mikroba campuran pada senyawa amonium. Proseding Seminar
Nasional Biologi XVI dan Konggres Nasional Perhimpunan
Biologi Indonesia (PBI) XII, ITB Bandung, 25-27 Juli 2000.
nd
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2 edition.
Toronto: John Wiley and Sons.
Ambarsari, H. 1999. Karakteristik dan peran bakteri penitrifikasi dalam
usaha minimisasi amonia yang terakumulasi di dalam sistem
akuakultur. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 1 (2): 43-52.
Anonim. 1990. Kumpulan SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai
Kualitas Air. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
American Public Health Association (APHA). 1992. Standard
th
Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18
edition. Washington DC.: APHA.
Doxtader, K.G., and M. Alexander. 1966. Nitrification by growing
and replacement cultures of Aspergillus. Canadian Journal of
Microbiology 12: 807-815.
Esoy, A., H. Odegaard and G. Bentzen. 1998. The Effect of
Sulphide and Organic Matter on The Nitrification Activity In
Biofilm Procces. Water Science Technology 37 (1): 115-122.
Gerhardt, P., R.G.E. Murray, W. A. Wood and N. R. Krieg. 1994.
Methods for General Molecular Bacteriology. Washington DC.:
American Society for Microbiology.
Haynes, R.J. 1986. Mineral Nitrogen In the Plan-Soil System.
London: Academic Press, Inc.
Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.G. Gunawan, dan Y. Setiadi. 1989.
Mikrobiologi Tanah II. Bogor: PAU IPB.
Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Cair
Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Killham, K. 1986. Heterotrophic nitrification. In Prosser, J.I. (ed).
Nitrification. Oxford: IRL Press.
Obaton, M., N. Amarger, and M. Alexander. 1968. Heterotrofik
nitrification by Pseudomonas aeruginosa. Archipes of
Microbiology 63: 122-132.
Otte S, J. Schalk, J.G. Kuenen, and M.S. Jetten. 1999.
Hydroxylamine oxidation and subsequent nitrous oxide
production by the heterotrophic ammonia oxidizer Alcaligenes
faecalis. Applied Microbiologi and Biotechnology 51: 255-261.
Ratledge, C. 1994. Biochemistry of Microbial Degradation.
Amsterdam: Kluwer Academic Publisher.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1981. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: PT. Gramedia.
Sylvia, D. M., J. J. Furbrmann, P. G. Hartel and D. A. Zuberer.
1990. Principles and Application of Soil Microbiology. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Verstraete, W. and M. Alexander. 1972. Heterotrophic nitrification
by Arthrobacter sp. Journal of Bacteriology 110: 955-961.
Watson, S.W. , E. Bock, H. Harms, H.P. Koops, and A.B. Kooper.
1989. Nitrifiying bacteria. In: Staley, J.T., M.P. Bryant, N.
Hennig, and J.G. Holt (eds). Bergey Manual of Systematic
Bacteriology Vol. 3. Baltimore: Williams and Wilkins.
Zhao, H.W., D.S. Mavinic, W.K. Oldham, and F.A. Koch. 1999.
Controlling factors for simultaneous nitrification and
denitrification in a two-stage intermittent aeration process
treating domestic sewage. Water Resources 33 (4): 961-970.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 48-51
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
Agricultural wastes, such as coconut meal and kernel palm meal can be used to fulfill the need of feed for ruminants or
monogastrics. Fermentation technology using Aspergillus niger has been reported allow to increase their nutritive value.
Isolation of the asporogenous strain which could spored at room temperature but could not spored at 37oC is expected to
sole the fermentation of spores in the fermentation product. The spore formation of mutants at the fourth day incubation
time (10%) was less than the wild type (100%). The variance analysis of protein content in vitro Dry Matter Digestibility
(IVDMD) and in vitro Protein Digestibility (IVPD) showed that the kind of mutants were interacted with the incubation time
(P<0,01). The highest protein content of coconut meal was obtained from E27 mutant (33.0%), kernel palm meal was
obtained from E14 mutant (31.4%) at the fourth day of incubation time. The highest IVDMD of coconut meal (62.1%), kernel
palms meal (61.8%) at the fourth day incubation time and from all E27 mutant. The highest IVPD of coconut meal was
obtained from E27 mutant (20.49%) at the fourth day incubation time, kernel palm meal was obtained from E27 mutant
(18.66%) at the fourth days incubation time.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: mutant Aspergillus niger, coconut meal, kernel palm meal, fermentation.
PENDAHULUAN
Pakan ternak sebagai sarana produksi ternak
dirasakan petani cukup mahal, hal ini disebabkan
ketersediaan bahan pakan yang berkualitas seperti
tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai belum
memadai dan sebagian besar masih diimpor. Sebagai
gambaran, pada tahun 1994 Indonesia mengimpor
tepung ikan, jagung dan bungkil kedelai masingmasing sebanyak 227.213 ton, 1.109.253 ton dan
450.340 ton. Di lain pihak, berbagai limbah industri
yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan pakan
ternak seperti bungkil kelapa dan bungkil inti sawit
cukup banyak diproduksi di Indonesia (Sinurat dkk.,
1998a,b; Ketaren dkk., 1999). Oleh karena itu perlu
diteliti penggunaan bahan lain seperti bungkil kelapa
dan bungkil inti sawit. Bahan tersebut merupakan
bahan pakan yang murah, bernilai gizi tinggi, tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia dan dapat
Alamat korespondensi:
Jl Raya Bogor KM 46 Cibinong 16911
Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588.
Email: laelasari@yahoo.com
ENDRI dkk., Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus
konversikan pati menjadi protein dengan penambahan nitrogen anorganik ini melalui fermentasi.
Kapang yang sering digunakan dalam teknologi
fermentasi antara lain Aspergillus niger. A. niger
merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak
menghasilkan
mikotoksin
sehingga
tidak
membahayakan (Gray, 1970). Proses fermentasi
menggunakan kapang, selain pembentukan miselium
selalu diikuti oleh pembentukan spora yang berguna
untuk pembuatan inokulum pada proses fermentasi.
Inokulum yang berupa spora merupakan starter yang
baik dalam fermentasi (Purwadaria et al., 1994).
Keberadaan spora dapat membuat turunnya daya
cerna produk fermentasi dibandingkan dengan sel
miselium dan merupakan bahan pencemar bagi
kesehatan manusia, sehingga untuk alasan ini mutan
yang hilang kemampuan berspora pada suhu tertentu
akan mempunyai keuntungan.
Mutan asporogenous A. niger telah dikembangkan
dengan teknik mutasi ultra violet (Glenn dan Roger,
1988). Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi
pada bahan genetik yang menyebabkan perubahan
ekspresinya. Proses pembentukan mutan disebut
mutagenesis. Radiasi dengan penyinaran ultra violet
sering digunakan dalam studi mutagenesis (Yusuf,
1988; Iskandar dkk, 1995).
Penelitian ini bertujuan untuk membentuk mutan
asporogenous A. niger dengan menggunakan sinar
ultra violet dan mengkaji nilai gizi produk fermentasi
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit.
49
50
Hari ke
3
Bungkil kelapa
TL
E14
E27
-,+
-,+
+
++
++
++
###
++#
++#
-,+
-,+
+
++
++
++
###
++#
++#
Galur
Tipe liar
E14
E27
Tipe liar
E14
E27
0
22,3a
21,9a
20,7a
38,7a
41,0ab
48,1bc
Tipe liar
E14
E27
70,2b
63,0a
84,6e
71,7bc
81,3d
75,1c
60,5a
78,2c
78,1c
Tipe liar
8.63
13.01
13.32
12.12
E14
8.98
14.43
16.94
18.41
E27
9.96
16.37
18.74
20.49
Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata (P<0,05).
ENDRI dkk., Pengaruh ekstrak buah Phaleria macrocarpa pada hepar Rattus norvegicus
51
Tipe liar
E14
E27
Tipe liar
E14
E27
4
27,1bc
31,4d
30,2cd
32,4a
48,7d
61,8f
Tipe liar
E14
E27
72,5b
65,7a
69,2ab
79,2cd
77,3cd
76,4bc
Galur
77,1c
74,6bc
81,6d
76,0bc
81,5d
72,9bc
Tipe liar
6,57
9,26
12,03
8,78
E14
6,77
12,65
11,65
15,29
E27
7,79
12,74
14,99
18,66
Keterangan: *Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda
nyata (P<0,05).
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of
Official Analytical Chemists. Washingtong D.C.: AOAC.
Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pasca Sarjana PAUIPB & LSI IPB,.
Glenn, D.R. and R.E. Roger., 1988. A solid substrate fermentation
process for animal feed product, studies on funngal strain
improvement. Australian Journal of Biotechnology 2 (1): 50-54.
Gray, W.D., 1970. The Use of Fungi as Food and in Food
Processing. Ohio: CRC Press.
Iskandar, Y.M., I.Z. Udin dan A.T. Karossi. 1995. Strain
Aspergillus oryzae untuk meningkatkan produksi alfa amilase.
JKTI 5 (1): 29-33.
Ketaren, P.P., A.P. Sinurat, D. Zainuddin, T. Purwadaria, dan I.P.
Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya
sebagai pakan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 4 (2): 107-112.
Kompiang, I.P., A.P. Sinurat, S. Kompiang, T. Purwadaria, and J.
Darma. 1994. Nutrition value of protein enriched cassava:
Cassapro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7 (2): 22-25.
Lubis, D.A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan.
Purwadaria, T., T. Haryati, A.P. Sinurat, J. Darma, and T. Pasaribu.
1995. In vitro nutrient value of coconut meal fermented with
Aspergillus niger NRRL 337 at different enzimatic incubation
nd
temperatures. 2 Conference on Agricultural Biotechnology
Jakarta, 13-15 June 1995.
Ramos. A.V., M. de la Torre, and C. Casas-Campillo. 1993. Solid
Strate Fermentation of Cassava with Rhizopus oligosporus
NRRL 2710. In Ferranti, M.P., and A. Fiechter (eds.).
Production and Feeding of Single Cell Protein. London: Applied
Science Publisher.
Saunders, R.M, M.A. Corner, A.N. Booth, E.M. Bickoff, and G.O.
Kohler. 1973. Measurement of digestibility of alfaefa protein
concentrates by in vivo and in vitro methods. Journal of
Nutrition 103: 530-535.
Sinurat, A.P., P. Setiadi, T. Purwadaria, A.R. Setioko, dan J.
Darma. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan
pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 1 (3): 161-168.
Sinurat, A.P., T. Purwadaria, A. Habibie, T. Pasaribu, H. Hamid, J.
Rosida, T. Haryati, dan I. Sutikno. 1998. Nilai gizi bungkil
kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar
fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (1):
15-21.
Sinurat, A.P., T. Purwadaria, J. Rosida, H. Surachman, H. Hamid,
dan I.P. Kompiang. 1998. Pengaruh suhu ruang fermentasi dan
kadar air substrat terhadap nilai gizi produk fermentasi lumpur
sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (4): 225-229.
Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998.
Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan
menggunakan Aspergillus niger. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner 3 (3): 165-170.
Suntoyo, Y. 1993. Percobaan, Perancangan, Analisis, dan
Interpretasinya. Jakarta: PT. Gramedia.
Yusuf, M. 1994. Mutasi. Bogor: Jurusan Biologi FMIPA IPB.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman 52-60
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
MUZAYYINAH1,, EDI GUHARDJA2, MIEN A. RIFAI3, JOHANIS P. MOGEA3, PETER VAN WALZEN4
Program Study of Biological Education, Department of PMIPA FKIP Sebelas Maret University Surakarta 57126, Indonesia.
2
Department of Biology, Faculty of Mathematic and Sciences, Bogor Agriculture University, Bogor Indonesia
3
"Herbarium Bogoriense", Department of Botany, Research Center of Biology -LIPI, Bogor 16013, Indonesia
4
Rijksherbarium Leiden, The Netherlands.
th
th
Received: 8 December 2003. Accepted: 17 May 2004.
ABSTRACT
The Malesian genus Koilodepas Hassk. has been revised based on the morphological and anatomical character using
available herbarium collection in Herbarium Bogoriense and loan specimens from Kew Herbarium and Leiden
Rijksherbarium. The present study is based on the observation of 176 specimens. Eight species has been recognized,
namely K. bantamense, K. cordifolium, K. frutescns, K. homalifolium, K. laevigatum, K. longifolium, K. pectinatum, and two
varieties within K. brevipes. The highest number of species is found in Borneo (5 species), three of them are found
endemically in Borneo, K. cordisepalum endemically in Aceh, and K. homalifolium endemically in Papua New Guinea. A
phylogenetic analysis of the genus, with Cephalomappa as outgroup, show that the species within the genus Koilodepas is
in one group, starting with K. brevipes as a primitive one and K. bantamense occupies in an advance position.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keyword: Koilodepas Hassk., Malesia, outgroup, phylogenetic analysis, outgroup.
INTRODUCTION
The genus Koilodepas belongs to the tribe Epiprineae of the subfamily Acalyphoideae. The characteristics of this tribe are flowers without a disk, pollen
grains coarsely reticulate or perfora-tectate, indumentum stellate, inflexed in bud (except dorsifixed in
Koilodepas), monoecious, pistillate calyx often
accrescent, and seeds ecarunculate. The Epiprineae
have been divided into two sub tribes Epiprinae and
the
monotypic
Cephalomappinae
(containing
Cephalomappa). The characteristics of the sub tribe
Epiprineae are: staminate calyx splitting into distinct
segments, the pollen sexine rather coarsely reticulate,
and the pistillate sepals often persistent and
accrescent (Webster, 1994).
Methods
The methods of research were morphological and
leaf-anatomical description. The research had been
used a large of herbarium specimens (i.e. 176 specimens) from Herbarium Bogoriense, Kew Herbarium,
and Leiden Rijksherbarium. The material specimens
were analyzed with Henning 86 programme.
53
in
K.
bantamense,
K.
homalifolium, and K. frutescens.
The texture of the lamina is
chartaceous in K. laevigatum and
K. homalifolium, subcoriaceous in
K. bantamense, K. frutescens, K.
brevipes, K. pectinatum, and K.
cordisepalum, and coriaceous in
K. longifolium. The tertiary
venation is scalariform, except in
K. cordisepalum, where it is
reticulate (Figure 2.).
Inflorescences
The inflorescences are axillary
racemous or branched spikes.
The staminate flowers are
arranged in glomerate heads. The
bracts are cuneate with an entire
margin and acute apex. The
lobes of the calyx are acute and
densely set with stellate long
hairs. The number of stamens
varies from 3 to 10. The filaments
are basally united into an
androphore. The filaments are
subulate in K. laevigatum and
obspathulate n the other species
(Figure 3). The anthers are
subapically dorsifixed.
The pistillate flowers are
solitary. The shape of the sepal is
somewhat different in each
species. The sepals of K.
pectinatum are free, foliolate,
cordate, chartaceous, with 6-8
lobes, persistent, the margin
serrate, but K. cordisepalum has
smaller. The sepals of K. brevipes
Figure 2. Leaf of Koilodepas Hassk. showing the margin. A. K. codisepalum
are free, subulate or elliptical,
(glabrous, serrate, caudate); B. K. pectinatum (hairy, serrate, caudate); B1. The
apex acute, 6-9 lobes, persistent.
density of stellate hairs on the lower surface; C. K. laevigatum (glabrous, entire,
In K. longifolium are free,
caudate); D. K. brevipes var. stenosepalum (hairy, serrate, caudate); D1. The
elliptical, and the apex obtuse. In
density of stellate hairs on the lower surface; E. K. brevipes var. brevipes; E1.
K. bantamense, they are connate,
The density of stellate hairs on the leaf surface; F. K. homalifolium (glabrous,
5-lobed, apex obtuse. The calyx
crenate, caudate).
of K. frutescens has 6 or 7 lobes.
The styles are connate in K.
bantamense, K. brevipes, K.
longifolium, K. frutescens, K. homalifolium, and K.
Leaves
pectinatum, and free in K. cordisepalum and K.
The Leaves are simple, alternate, and elliptical. K. laevigatum (Figure 4.).
pectinatum and K. brevipes are hairy on the lower leaf
The number of stigmas is generally 3, but K.
surface, but K. laevigatum, K. homalifolium, K. bantamense and K. frutescens has 6. The shape of
bantamense, K. cordisepalum, and K. frutescens are the stigma is somewhat difference species, K.
glabrous. The leaf margin of K. homalifolium is pectinatum, K. laevigatum, K. Pectinatum, K.
crenate, when young crenulate. The leaf margin of K. cordisepalum, and K. brevipes have antennate
laevigatum is entire, whereas in the other species it is stigmas; K. homalifolium and K. longifolium have
serrate or dentate. A pair of glands is usually found at multifid stigmas; K. frutescens and K. bantamense
the lower surface, near the base of the leaves, but have coralliform. The stigma surface is stellately hairy
there are 3-7 pairs of glands in K. brevipes. The apex (Figure 4.).
of the leaves is caudate, but acuminate to cuspidate
54
Distribution
Phylogenetic analysis of
Koilodepas
The phylogenetic analysis of
Koilodepas was performed using
21 characters and the genus
Cephalomappa as an outgroup
(Table 3.). The letter was selected
because it is classified in the
Cephalomappinae as the sister
sub tribe of the Epiprineae. Tribe
Cephalomappa seems to be the
SE Asian genus which shares
most primitive characters with
Koilodepas, e.g. staminate flowers
in racemes, styles free, pistillate
calyx
not
accrescent
or
involucrate, and the filaments
inflexed in bud (Webster, 1994).
The analysis is performed
using the Hennig 86 program with
optional and all the characters
unordered.
Two
cladogram
(Figure 6.) were found 29 steps,
consistency index = 0.93 and
retention index = 0.89. This tree
has short branch. K. brevipes as a
primitive one and ending with the
K. bantamense.
The outgroup is separated
from Koilodepas by a plesiomorph
character of the outgroup namely
staminate flowers is sessile (6),
surface of staminate is not stellate
but lepidote (7), stipulate absent
(9), surface of fruit is echinate
(17), surface of stigma is papillate
(20), sepal of pistillate flowers
aestivation is valvate (15), and the
inflorescences is racemose (19).
K. brevipes is separated from the
other Koilodepas by the stigma
shape (8), the type of marginal
stipules
(11)
and
the
inflorescences (19). The varieties
is allied by number of abaxial
glands (3), hairs on leaves (4),
55
Figure 6. Dendrogram of Koilodepas Hassk. bre: K. brevipes var. brevipes; brs: K. brevipes var. stenosepalum; pec: K.
pectinatum; cor: K. cordisepalum; lae: K. laevigatum; lon: K. longifolium; hom: K. homalifolium; fru: K. frutescens; ban: K.
bantamense.
56
57
ovary, 2-2.25 by c. 2 mm, 9-lobed,
with densely stellate hairs, apex
acute, sometimes with glands
between the lobes; ovary 2-3 by
2-2.5 mm, stigmas 6, 1.5-2 by c. 4
mm, coralliform; style absent;
densely stellately to tomentosely
hairy. Fruit; globose c. 1.4 by 1.5
cm, outside smooth; mesocarp,
2.5 mm thick. Seed sub globular,
c.1 by 1 cm.
Distribution.
West
Java:
Banten,
Pelabuhan
Ratu;
Sumatra:
Lampung;
North
Sumatra: Sibolangit (Figure 9).
Habitat: primary forest, alt:
350-500 m asl.
Note: Specimens of Lorzing
5092, 5615, 16329 have abnormal
form of flowers. Both the
staminate and pistillate flowers
have 7 or 9 interested calines on
one axis. This phenomenon may
be caused by insect damage,
similar
to
Myrsine
avenis
(Sunarno in Sunarti, 1987).
58
Figure 12. K. brevipes var. stenosepalum (Airy Shaw) Airy Shaw. A. twig with
inflorescences; B. calyx of staminate flower; C. staminate flower; D. pistillate
flower; E. fruit; F. opened fruit; G. seed (A,E,F,G: after L.L. Forman 442, BO; C,D:
after Kostermans 13949, BO,L)
59
Pflanzenr. IV. 147. VII (1914) 255;
XIV (1(19) 35; Merr., J. As. Soc.
Str. Br. (1921) 343. Ptychopyxis
frutescens (Blume) Croizat, J.
Arnold Arb. 23 (1942) 49. Type:
G. Pomathus s.n. (L-holo) Borneo,
Banjarmasin (Figure 14.).
Small tree up to 12 m high,
dbh 20-50 cm; bark rough.
Leaves: stipules cuneate to
subulate, 3-5 by 0.5-1 mm, margin
entire or serrate, apex aristate;
petioles 5-13 by 1-2.5 mm;
lamina: elliptical to ovate, 8-17.5
by 2.5-5.5 cm, subcoriaceous,
base cuneate; margin entire to
serrate, apex acute; both surface
glabrous;
nerves
9-15,
submarginallly looped, secondary
and tertiary veins scalariform.
Inflorescences: spikes or simple
panicles, with 3-5 rachises, 7-13
cm long. Staminate glomerulus
sub globular, 2-2.5 by 1.5-3mm,
with 10-20 flowers; bract cuneate,
1-2 by 1-1.5 mm, apex acute;
staminate flowers; tube 1.7-2 by
1.7-1.8 mm, lobes 0.5-0.6 mm
long, membranaceous, densely
stellate hairy; stamens 4-5;
androphore 0.1-0.5 mm long;
filaments spathulate, 0.5- 2 mm
long; pistillode 0.2-0.3 mm long.
Pistillate flower: densely stellately
to tomentosely hairy; bract 3 and
2 bracteoles, 1,2-4 by c. 2 mm,
bracteoles very short, cuneate,
margin entire, apex acute, densely
tomentose; calyx 7-lobed, tube c.
4 by 3 mm; apex obtuse; ovary 33.5 by 2.5-3 mm, densely
tomentose; styles absent; stigmas
6, coralliform, 4 by 3 mm,
caduceus. Fruit: c. 1.5 by 1.9 cm;
peduncle 5-6 by 2.5-3 mm;
60
ACKNOWLEDGEMENTS
The first author (M) would like
to express her gratitude to Prof.
Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., for the
use of research facilities in the
Post Graduate Programme, the
Bogor Agriculture University and
Dr. Johanis P. Mogea, Director of
the Herbarium of Kew (K), and
Director of the Rijksherbarium/
Hortus Botanicus Leiden (L) for
sending specimens on loan. She
was under deep obligation to Prof.
Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., Prof.
Dr. Mien A. Rifai and Dr. Johanis
Figure 14. K. frutescens (Blume) Airy Shaw A. twig with inflorescences; B. calyx
P. Mogea under whose supervisor
of staminate flowers; C. staminate flower; D. pistillate flower; E. fruit; F. opened
fruit; G. seed (A,E,F,G: after de Wilde 20317. L; B, C, D: after Pomathus s.n. L).
this study has been carried out.
She was also very grateful to Dr.
Peter
van
Walzen
(Rijksherbarium, Leiden) for some
constructive discussions and valuable assistance as Croizat, L. 1942. Euphorbiaceae from the far East. Journal of the
Arnold Arboretum 23: 45-67.
well as criticism freely given during the course of this Hasskarl, J.K. 1856. Bot. Zeit. 14:802.
study and writing of the manuscript. Moreover, She Hasskarl, J.K. 1858. Hortus Bogoriensis Descriptus Amstelodami.
Sumptibus F. Gunst.44-50.
had to thank Mintoro Priyadi, M.Si for preparing
media and picture setting, and Drs. Sukarna MA, Hasskarl, J.K. 1859. Revisio Euphorbiacearum, quas nuper in
Retzia et Horto Bogoriensis Descriptio. Bull. Soc. Bot. Fr. 6:
Director of the Education Science Institute in Medan
712-719.
for continously, encouraging her in this study.
Hooker, J.D. 1890. Flora of Britis India. East Indian Compagny. 5:
REFERENCE
Airy Shaw, H.K. 1960. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew
Bulletin 14 (3): 381-391.
Airy Shaw, H.K. 1963. Note on Malaysian and other Asiatic
Euphorbiaceae. Kew Bulletin. 16: 352-370.
Airy Shaw, H.K. 1969. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew
Bulletin. 23: 82-89.
Airy Shaw, H.K. 1975. The Euphorbiaceae of Borneo. Kew Bulletin.
Additional Serie 4: 137-149.
Airy Shaw, H.K. 1981. Note on Malaysian Euphorbiaceae. Kew
Bulletin. 36 (3): 609-615.
419.
Merrill, E.D. 1916. Euphoebiaceae. The Philippines Journal of
Science11: 66.
Merrill, E.D. 1926. Euphoebiaceae. The Philippines Journal of
Science30: 67-81.
Pax and Hoffm, K. 1914. Das Pflanzenreich IV. 147. VII: 269
Rifai, M.A. 1976. Sendi-sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi
Nasional- LIPI.
Smith, J.J. 1910. Euphorbiaceae. In: S.H. Kooders & Th. Valeton
(eds): Bijdrage 12 Tot de kennis der boomsoorten op Java.
Meded. Dep. Landbouw 10: 379-383.
Sunarti, S. 1987. Anatomi daun dan Taksonomi duku, kokosan dan
pisitas. Floribunda. 1 (4): 1-3.
Whitmore, T.C. 1973. Tree Flora of Malaya. 2: 34-105
Webster, G.L. 1994. Systematics of the Euphorbiaceae. Annals of
Missouri Botanical Garden 81 (11): 79.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 61-65
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
The selection of appropriate rattan for a certain use must be based on adequate information about its potency, anatomical
structure, and chemical properties. Standards methods of inventory development by Curtis method was used to obtain data
on its density and frequency. To know the anatomical structure of preparation were made according to Schultze method
and microtome preparation according to Staining Paraffin Section with Safranin. While to know the chemical component of
rattan stem the analyzed by Standard Industry Indonesia procedures. Calamus occidentalis is one among other Java rattan
species which its distribution is limited in the area of Ujung Kulon National Park, West Java. C. occidentalis may be utilized
for various purposes based on the following characteristics: species density of 21 cane/ha; and anatomical structure: fiber
length of 2204 m, fiber-wall thickness of 4.26 m, vascular bundle diameter of 812.5 m, metaxylem diameter of 293.75
m, proxylem diameter of 43.5 m, and phloem diameter of 37.5 m. Its chemical components are cellulose (49.95%),
lignin (22.39%), and air-dry moisture (12.27%). Based on the above information, C. occidentalis rattan species possibly
can be used as an alternative substitute of Calamus manan, an endangered rattan species, because several properties of
C. occidentalis has similar with that of C. manan.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: commercial-value, possible utilization, Calamus occidentalis.
INTRODUCTION
The technology development on the utilization of
rattan and on the other hand the increasing demand
of manau rattan species as raw material caused the
attention directed to the utilization of the species
which has sufficient potency and prospect in the
future. One of the rattan species which can be
categorized as a substitute and can be developed as
a potential commodity is Calamus occidentalis.
C. occidentalis is one among other Java rattan
species which its distribution is limited in the area of
Ujung Kulon National Park, West Java (Witono and
Dransfield, 1998). Belong to Family of Arecaceae,
and more recognized as solitary rattan (rotan
tunggal).This rattan species are grown in lowland up
to the elevation of 300 m asl (above sea level). If we
look at its contribution on human need, almost all part
of this rattan species are very beneficial, such as:
canes, leaves, fruits and its palm- pith can be utilized.
The properties of C. occidentalis stem in relation
with the possible utilization has to be known through
Alamat korespondensi:
Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610, Indonesia.
Tel. +62-251-633378, Fax. +62-251-633417.
e-mail: kalima@forda.org.
62
Figure 2. Calamus occidentalis. a. leaf sheath, b. petiole, c. portion of rachis with leaflets,
d. cirrus, e. first branched of inflorescence, f,g. young fruit (Dransfield 1437 & Kalima 37).
63
64
Scientific
name
Metoxylem
diameter
(m)
Proxylem
diameter
(m)
Phloem
diameter
(m)
C. occidentalis
C. manan
293.75
228.2
43.5
37.5
37.5
40.2
Length
(m)
2204
1586.7
Thickness
(m)
4.26
5.4
Table 2. Cellulose, lignin and air-dry moisture content (%) of two rattan species.
Scientific name
C. occidentalis
C. manan
Cellulose (%)
Lignin (%)
49.95
39.05
22.39
22.22
Air-dry moisture
content (%)
12.27
13.92
65
REFFERENCES
Anonymous. 1981. Standard Industri Indonesia. Cara Uji Kadar
Lignin Kayu dan Pulp. Jakarta: Departemen Perindustrian
Republik Indonesia. SII-0578-1981.
Bhat, K.M.N. and P.K. Thulasidas, 1993. Anatomy and
identification of South Indian rattan (Calamus sp.). IAWA
Journal 14 (1): 63-76.
Jasni and N. Supriatna. 1999. The resistance of eight rattan
species against the powder post beetle Dinoderus minutus
Farb. Proceeding of the Fourth International Conference of
Wood Science, Wood Technology and Forestry, Missenden
th
th
Abbey. 14 -16 July. Wycame-England: Forest Products
Research Centre, Buckinghamshire Chilters University College
Hight Wycame.
Kalima, T., 1999. Kunci identifikasi 17 jenis rotan untuk kawasan
Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian
Hutan 618: 31-64.
Kalima, T., 2001 Taksonomi dan Potensi jenis rotan Endemik
(Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransfield) di Taman
Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan
625: 43-48.
Mandang,Y.I dan S.Rulliyati. 1986. Anatomi Dolok. Diktat Kursus
Pengujian Rotan. Angkatan I. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan.
Mueller-Dombois,D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons.
Rachman, O. 1996. Peranan Sifat Dasar terhadap Perilaku
Elastoplastisitas
Rotan.
[Dissertasi].
Bogor:
Program
Pascasarjana IPB.
Witono, J.R. and J. Dransfield. 1998. A new species of Calamus
(Palmae) fom Java. Kew Bulletin 53 (3): 747-751.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 66-70
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
Research about species description of Rhizophoraceae family in mangrove forest at Baluran National Park was conducted
from June to October 2003. The method were plot and survey. There were nine species of Rhizophoraceae. The species at
mangrove were Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Rhizophora apiculata, R.
lamarckii, R. mucronata, and R. stylosa. In addition, the number species of Rhizophoraceae family in the mangrove forest at
Baluran National Park were more completely than another places, because it was found more than 75 percent species of
Rhizophoraceae.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Rhizophoraceae, mangrove forest, Baluran National Park.
PENDAHULUAN
Di Taman Nasional Baluran, keberadaan hutan
mangrove tersebar hampir di seluruh pesisir kawasan
tersebut. Hutan mangrove relatif mendominasi hutan
pantai taman nasional ini (Sudarmadji, 1998; 2000).
Secara umum, hutan mangrove mempunyai fungsi
sebagai penghalang terjadinya erosi, ombak, dan
angin besar. Di samping itu, hutan mangrove
mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi fisik, fungsi
biologis, dan fungsi ekonomi. Jika ditinjau dari fungsi
fisiknya, kehadiran hutan mangrove adalah berfungsi
sebagai penghalang datangnya ombak dan angin,
karena letaknya yang ada di tepi pantai, sedangkan
dari fungsi biologis kehadiran hutan mangrove
berfungsi untuk membantu proses pemijahan dan
sebagai tempat asuhan bagi ikan dan hewan laut
lainnya, dan dari fungsi ekonomi hutan mangrove
banyak menghasilkan berbagai sumber ekonomi,
misalnya kayu, tanin, rayon, dan lain-lain (Tomlinson,
1986).
Berdasarkan vegetasi penyusunnya, hutan
mangrove dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu
hutan mangrove utama (major mangrove), yaitu hutan
mangrove yang tersusun atas satu jenis tumbuhan
Alamat korespondensi:
Jl. Kalimantan III/25, Jember 68121.
Tel.: +62-331-334293. Fax.: +62-331-330225.
e-mail: sdji@telkom.net
Gatel
67
Bilik
Merak
Sirondo
Simacan
Balanan
Bekol
Gunung Baluran
68
Jenis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
yang
69
70
KESIMPULAN
Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang tergabung
dalam suku Rhizophoraceae yang ditemukan di
Taman Nasional Baluran dapat dikatakan relatif
lengkap, karena ditemukan lebih dari 75 persen
jumlah jenis dari suku tersebut. Di samping itu
ditemukan pula satu jenis mangrove, yang jarang
ditemukan di Pulau Jawa yaitu Rhizophora lamarckii
di daerah penelitian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ashton, P.S. 1988. Manual of the Non-Dipterocarp Trees of
Sarawak Volume II. Kuala Lumpur: Dewan Bahsa dan Pustaka
Sarawak Branch For Forest Department Sarawak.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuinzen van den Brink Jr. 1963. Flora of
Java. Volume: 1. Groningen: N. V. P. Noordhoff.
Bakosurtanal. 2001. Peta Rupabumi Digital Indonesia Lembar
1708-(121-124) 1: 25.000. Bogor: Bakosurtanal.
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Vaduz: J. Cramer.
Cox, G.W. 1974. Laboratory Manual of General Ecology. Dubuque:
Wm. C. Brown Publishers.
Ding-Hou, L. 1958. Rhizophoraceae. Dalam van Steenis, C. G. G.
J. (ed.) Flora Malesiana Series I Volume 5: 429-493. Djakarta:
Noordhoff-Kolff N.V.
Fernando, E.S. and J.V. Pancho. 1980. Mangrove trees of the
Philippines. Sylvatropica, The Philippines Forest Research
Journal 5 (1): 33-51.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.K.
Tantra. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau Di Indonesia.
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove di Jakarta: MAB
Indonesia dan Lembaga Oseanologi Nasional.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997.
Handbook of Mangroves in Indonesia (Bali & Lombok).
Denpasar: ISME.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
Vegetation Ecology. New York: John Wiley & Sons.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands
International Indonesia Programme.
Sudarmadji. 1998. Species Composition of Mangrove Forest at
Baluran National Park. Unpublished Special Problem. Los
Baos: Department of Botany, UPLB.
Sudarmadji. 2000. Vegetation Structure and Edaphic Factors of
Mangrove Forest at Baluran National Park, East Java,
Indonesia. [Ph.D. Dissertation]. Los Baos: University of the
Philippines Los Baos.
Sudarmadji. 2003. Komposisi Jenis Mangrove di Pantai Si Runtoh
Taman Nasional Baluran. Berkala Penelitian Hayati 8 (2): 75-79.
Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge:
Cambridge University Press.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 71-76
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
Mount Kelud is an upper shed Brantas area which has high potential plant diversity. But the land in that upper shed had
experienced much erosion. Beside erosion process, human disturbances in the resort added the burdens to the existence
of the vegetation. That is why the existence and condition of the plants must be monitored and studied. Assessment of the
plants was conducted through literature studies, field surveys and using quadrate plot methods Oosting (Kent & Paddy,
1992) 0.75 ha each at different altitudes (600 m, 800 m and 1000 m) above sea level. The results showed that a total
number of 125 species belonging to 94 genera, and 49 families were recorded. All three plots were dominated by
Dendrocalamus asper and Villebrunea rubescens.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: plants, diversity, population, Mount Kelud, East Java.
PENDAHULUAN
Gunung Kelud adalah salah satu dari gugusan
gunung-gunung yang terdapat di Jawa Timur dengan
tinggi sekitar 1731 m dpl (di atas permukaan laut).
Hutan di kawasan cagar alam gunung Kelud
dikelompokkan dalam tipe hutan hujan dataran
rendah dengan topografi berbukit sangat terjal. Di
dalam kawasan ini terdapat sejumlah hulu anak
sungai Brantas antara lain Kali Konto, Kali Ngobo,
Kali Jengglong yang membelah Kabupaten Kediri.
Kali Putih, Kali Semut yang melewati Kabupaten
Blitar dan Pegunungan Gajah Mungkur. Keberadaan
kawasan ini sangat penting karena berfungsi sebagai
hidroorologis mengingat bahwa Kali Brantas adalah
sungai terpanjang di Jawa Timur dengan total aliran
mencapai 320 km (Heddy, 1996).
Hutan di kawasan gunung Kelud ini mengalami
kerusakan sejak dua abad yang lalu (Smiet, 1990).
Kerusakan terjadi sebagai akibat penebangan liar,
perencekan untuk kayu bakar dan pemangkasan
sebagai pakan ternak (Hadipoernomo, 1980 dan
Abdulhadi, 1981). Selain akibat gangguan manusia,
kawasan ini mempunyai kondisi kemiringan dan
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16002.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: herbogor@indo.net.id.
72
H =- pi log pi
i=1
a+b+c
73
sangat
penting
keberadaannya
bagi
kelangsungan hidup hewan pemencar bijibijian.
No.
Jenis
LBD
Fr
Kr
Dr
NP
Indeks keanekaragaman jenis (H) pohon
1 Dendrocalamus asper
5541,91 17,90 23,75 9,13 50,78
tercatat 2,92 hasil perhitungan tersebut
2 Croton argyratus
8477,58 9,00 8,75 13,97 31,72
menggambarkan bahwa pohon-pohon pada
3 Ficus infectoria
11726,06 6,00 5,00 19,32 30,32
ketinggian
ini
memiliki
tingkat
4 Ficus sp
10156,76 3,00 2,50 16,74 22,24
keanekaragaman tinggi dibandingkan dengan
5 Lithocarpus sundaicus 1813,12 6,00 7,50 2,98 16,48
keanekaragaman pohon-pohon di dua
6 Ficus variegata
708,21 1,50 1,25 11,68 14,43
ketinggian
yang
berbeda.
Indeks
7 Sterculia oblongata
91,98
6,00 6,25 1,50 13,75
keanekaragaman yang tinggi tidak dapat
8 Elaeocarpus petiolatus 903,40 4,50 5,00 1,48 10,98
dijadikan sebagai indikator untuk menentukan
9 Lain-lain jenis
1486,05 46,10 60,00 3,30 109,4
10 Jumlah
60669,07 100,00 100,00 100 300
jumlah jenis yang melimpah. Karena jumlah
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm); Fr = frekuensi (%); Kr
jenis yang melimpah ditentukan oleh nilai
= kerapatan pohon(/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting,
penting suatu jenis.
Pengamatan pada ketinggian 700-800 m
dpl. Kawasan ini memiliki topografi medan
mendatar sampai landai dengan sebagian
Tabel 2. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 700-800 m
kanopi terbuka. Di kawasan ini banyak jenisdpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%)
jenis dari suku Urticaceae dan Euphorbiaceae
. Laportea stimulans adalah jenis yang sangat
No. Jenis
LBD
Fr
Kr
Dr
NP
melimpah baik pohon maupun anak pohon
1 Laportea stimulans
20586,81 15,09 30,14 31,19 76,42
seluruhnya mencapai 76 individu, dengan nilai
2 Villebrunea rubescens 14886,41 9,43 16,17 22,58 48,18
penting 76,42 (Tabel 2.).
3 Lithocarpus sundaicus 5023,26 5,66 6,61 7,62
19,89
Villebrunea rubescens merupakan jenis
4 Bischoffia javanica
5457,93 5,66 3,67 5,70
17,61
yang melimpah setelah Laportea stimulans.
5 Amoora aphanamixis
3428,46 3,77 5,82 5,27
14,85
6 Croton argyratus
1724,34 5,66 5,14 2,62
13,42
Melimpahnya kedua jenis ini diduga karena
7 Evodia latifolia
2080,52 3,77 4,41 3,16
11,34
kerusakan hutan oleh aktivitas manusia.
8 Glochidion arborescens 3217,00 3,77 1,47 4,88
10,12
Karena apabila kerusakan diakibatkan letusan
9 Lain-lain jenis
9547,05 47,19 26,5 14,39 88,14
gunung berapi atau kebakaran, maka yang
10 Jumlah
65951,78 100 100 100
300
akan berkembang dengan baik adalah jenisKeterangan: LBD = luas bidang dasar (cm); Fr = frekuensi (%); Kr
jenis Casuarina sp atau Albizia sp (van
= kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi dan NP = nilai penting,
Steenis, 1972). Laportea stimulans dan
Villebrunea
rubescens
dikelompokkan
sebagai jenis-jenis sekunder (van Steenis,
1972 dan Riswan, 1982). Selain itu jenis-jenis
Tabel 3. Nilai relatif jenis-jenis pohon pada ketinggian 800-1000 m
yang banyak ditemukan adalah Lithocarpus
dpl di kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%),
sundaicus, Bischoffia javanica, Amoora
No. Jenis
LBD
Fr
Kr
Dr
NP
aphanamixis, Croton argyratus, Evodia
1 Villebrune rubescens
27467,56 18
24,293 31,13 73,42
latifolia dan Glochidion arborescens. Indeks
2 Ostodes paniculata
27113,71 12
22,598 30,72 65,32
keanekaragaman jenis (H) pohon tercatat
3 Mallotus paniculata
8123,18
10
19,209 9,20 38,41
2,61 sedikit lebih rendah dibandingkan
4 Laportea stimulans
5084,86
6
12,429 5,77 24,19
dengan pada ketinggian 600-700 m dpl,
5 Lain-lain jenis
78046,61 54
21,53 23,18 98,66
namun untuk anak pohon tercatat paling tinggi
Jumlah
88237,94 100 100
100
300
dibandingkan dengan pada dua ketinggian
Keterangan: LBD = luas bidang dasar (cm); Fr = frekuensi (%); Kr
yang berbeda yaitu 2,36. Diduga hal ini terjadi
= kerapatan pohon (/ha); Dr = dominansi; NP = nilai penting.
karena pada ketinggian ini memiliki topografi
medan yang agak mendatar hingga landai
dan kanopi terbuka.
Jumlah pohon yang berhasil dikoleksi
dikawasan ini tercatat 31 jenis. Luas bidang
Jenis pohon utama lain diantaranya adalah Ficus dasar (LBD) pohon tergolong paling rendah hanya
infectoria, Lithocarpus sundaicus, Sterculia oblongata mencapai 6,6 per ha. Hal tersebut mencerminkan
dan Elaeocarpus petiolatus. Ficus infectoria dan bahwa pohon kecil (berdiameter < 30 cm) cukup
Artocarpus elasticus merupakan jenis pohon yang tinggi keadaan tersebut diduga karena banyaknya
memiliki diameter mencapai 111-120 cm dengan intensitas cahaya yang masuk mengakibatkan
tinggi tajuk 40-49 m. Perbedaan dua jenis pohon ini permudaan lebih banyak. Kartawinata (1989)
sangat mencolok ditinjau dari tinggi pohon dan menyatakan bahwa topografi medan, sifat-sifat fisik
ukuran batangnya dibandingkan dengan pohon dan kimia tanah sangat berpengaruh terhadap kondisi
lainnya di kawasan ini. Jenis-jenis Ficus di hutan ini tersebut.
Tabel 1. Nilai relatif jenis jenis pohon pada ketinggian 600-700 m
dpl kawasan hutan Gunung Kelud (berdasarkan NP > 10%)
74
Nama suku
Malvaceae
Rutaceae
Lauraceae
Lauraceae
Amaranthaceae
Meliaceae
Vitariaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Tectaria group
Myrsinaceae
Myrsinaceae
Moraceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Compositae
Rubiaceae
Euphorbiaceae
Papilionaceae
Caesalpiniaceae
Arecaceae
Verbenaceae
Leguminosae
Leguminosae
Vitaceae
Vitaceae
Ulmaceae
Chloranthaceae
Palmae
Zingiberaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Hypoxidaceae
Poaceae
Papilionaceea
Papilionaceae
Dilleniaceae
Poaceae
Poaceae
Anacardiaceae
Meliaceae
Elaeagnaceea
Elaeocarpaceae
Elaeocarpaceae
Urticaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Compositae
Compositae
Compositae
Rutaceae
Rutaceea
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Moraceae
Sterculiaceae
Commelinaceae
Rubiaceae
Zingiberaceae
Euphorbiaceae
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
117
118
119
120
121
122
123
124
125
Euphorbiaceae
Tiliaceae
Sapindaceea
Sapindaceae
Acanthaceae
Sapindaceae
Anacardiaceae
Urticaceae
Vitaceae
Urticaceae
Fagaceea
Fagaceea
Lauraceae
Lauraceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Rhamnaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Magnoliaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Apocynaceea
Rubiaceae
Apocynaceae
Poaceea
Euphorbiaceae
Poaceae
Rubiaceae
Piperaceea
Sapotaceae
Moraceea
Commelinaceae
Sapindaceae
Moraceea
Anonaceae
Rubiaceea
Rubiaceae
Sterculiaceae
Bignoniaceae
Sapindaceea
Saurauiaceae
Verbenaceae
Sterculiaceae
Sterculiaceae
Sterculiaceae
Symplocaceae
Compositae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Apocynaceea
Staphyleaceae
Urticaceae
Verbenaceae
Apocynaceea
Polygalaceae
75
Anak
pohon
Tumbuhan
bawah
600-700 m
15,38%
27,41%
32,43%
700-800 m
22,22%
28,07%
28,33%
900-1000 m
21,73%
21,56%
27,92%
Ketinggian
KESIMPULAN
Kawasan hutan gunung Kelud, Jawa Timur memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup
tinggi, khususnya pada ketinggian antara 600-1000 m
dpl ditemukan 125 jenis yang tergolong ke dalam 94
marga dan 49 suku, dari jumlah jenis tersebut tidak
ditemukan jenis-jenis yang menjadi karakteristik
tumbuhan sekunder. Dari tiga ketinggian yang diteliti,
pada ketinggian 600-700 m dpl merupakan daerah
yang paling berat tingkat kerusakkannya. Hal tersebut
terbukti dengan melimpahnya jenis Dendrocalamus
asper. Komunitas Villebrunea rubescens yang banyak
ditemukan dan melimpah di ketinggian antara 7001000 m dpl, merupakan satu komunitas yang tersisa
dari enam komunitas yang pernah ditemukan oleh
Smiet (1992) di sekitar gunung Kawi, gunung
Anjasmoro, dan gunung Kelud. Euphorbiaceae
adalah suku yang mendominasi di daerah
pengamatan yang anggotanya banyak tumbuh di
pinggir-pinggir hutan. Kesamaan jenis pada tiga
ketinggian yang berbeda tergolong rendah tercatat
tidak mencapai 50% sehingga tumbuhan di kawasan
hutan ini memiliki variasi yang cukup besar.
Keanekaragaman vegetasi di kawasan hutan gunung
Kelud cukup tinggi dan sangat berpotensi oleh karena
76
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 77-80
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
Study on the orchids diversity was conducted in Situ Gunung, sub district of Kadudampit, district of Sukabumi, West Java.
There were 41 collection numbers, consist of 18 terrestrial orchids, 22 epiphyte orchids, and one saprophyte orchid, belong
to 26 genera and 41 species. There were eight species of flowering orchids and the rest were not at flowering stage.
Agrostophyllum bicuspidatum J.J.Sm, Plocoglottis acuminata Bl dan Appendicula sp. were commonly found at Situ Gunung.
Species orchid of Calanthe triplicata (Willemet) Ames and Plocoglottis acuminata Bl found in a clumped group. Tainia
elongata J.J. Sm was the only endemic orchid in Java from this situ.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: orchids, Situ Gunung, Sukabumi.
PENDAHULUAN
Anggrek merupakan salah satu suku tumbuhan
yang memiliki banyak anggota. Terdapat sekitar
25.000 jenis anggrek yang telah dideskripsikan
(Schuttleworth et al., 1970). Sebagian besar
keanekaragamannya terpusat di kawasan tropis dan
subtropis. Di Indonesia terdapat sekitar 5000 jenis
anggrek (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999).
Dari jumlah tersebut, kurang lebih 731 jenis terdapat
di Pulau Jawa, dan 642 jenis terdapat di Jawa Barat
(Comber, 1990).
Keindahan bentuk bunga serta distribusi yang luas
menyebabkan anggrek menjadi tanaman yang
populer (Cady dan Rotherham, 1981). Oleh sebab itu
banyak
pemulia
tanaman
yang
melakukan
pernyilangan anggrek untuk mendapatkan tanaman
yang lebih unggul baik dalam keragaman bentuk,
warna bunga, maupun ornamentasi bunganya,
sehingga diperoleh kultivar yang lebih unik dan
menarik. Puspitaningtyas dan Mursidawati (1999)
menyatakan bahwa anggrek alam atau anggrek liar
sering menjadi bahan utama untuk mendapatkan
jenis-jenis hibrida yang komersial, namun keberadaan
jenis angrek liar sering kali terancam kepunahan
dengan semakin sempitnya lahan, karena banyak
Alamat korespondensi:
Jalan Pajajaran Baranangsiang Bogor 16144, Indonesia
Tel. & Fax.: +62-251-345011.
e-mail: nrdjnina@lycos.com
78
79
Anak Suku
Marga
Jenis
Habitat
Apostasioideae
Apostasia
Epidendroideae
Agrostophyllum
Spatoglottis
Tainia
E
E
E
T
E
E
E
E
T
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
E
T
T
T
T
T
T
T
T
T
Appendicula
Bulbophyllum
Calanthe
Coelogyne
Dendrobium
Dendrochilum
Eria
Epigeneium
Flickingeria
Liparis
Malaxis
Nephelaphyllum
Plocoglottis
Orchidoideae
Aphyllorchis
Aphyllorchis pallida Bl
Spiranthoideae
Vandoideae
Goodyera
Lepidogyne
Macodes
Cleisostoma
Cymbidium
Goodyera reticulata Bl
Lepidogyne longifolia Bl
Macodes petola (Bl) Lindl
Cleisostoma javanicum (Bl) Garay.
Cymbidium ensifolium (L.) Sw
C. lancifoium Hook
Cymbidium sp.
Scoenorchis juncifolia Bl. Ex. Reinw.
Trixpermum acutilobum J.J. Sm.
Vanda sp.
T
T
T
E
T
T
T
E
E
E
Schoenorchis
Thrixpermum
Vanda
Keterangan: E = epifit, S = saprofit, T = terestrial.
80
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 41 nomor
koleksi terdiri dari 18 anggrek terrestrial, 22 anggrek
epifit dan satu anggrek saprofit. Semuanya terdiri
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Kabupaten Sukabumi dalam Angka Tahun 2003.
Sukabumi: BPS
Cady, L and E.R. Rotherham.1981. Australian Native Orchids in
Colour. Sydney: AH & AW Reed Pty Ltd.
Comber, J.B. 1990.Orchids of Java. London: The Bentham-Moxon
Trust Royal Botanic Gardens.
Comber, J.B. 2001. Orchids of Sumatra. Kinabalu: Natural History
Publications (Borneo).
Hunt, P.F. 1978. Orchidaceae. The Orchid Family. In: Dod, B (ed.).
Flowering Plants of the World. Oxford: Oxford University Press.
Mahyar, U.W., dan A.Sadili. 2003. Jenis-Jenis Anggrek Taman
Nasional Gunung Halimun. Bogor: Biodiversity Conservation
Project LIPI-JICA- PHKA.
Mujahidin, S.P., M. Marjuki, D. Supriadi, Rahmat, Atjim, dan T.
Jodi. 2002. Eksplorasi Anggrek Jawa. Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Banten. Bogor: Pusat Konservasi
Tanaman Kebun Raya Bogor -- LIPI.
Puspitaningtyas, D.M. dan S. Mursidawati. 1999. Koleksi Anggrek
Kebun Raya Bogor. Vol. 1, No. 2. Bogor: UPT Balai
Pengembangan Kebun Raya-LIPI.
Puspitaningtyas, D.M. Solehudin, M. Haris, Rukman, Oman, dan
Acim. 2002. Eksplorasi Anggrek di Cagar Alam Gunung
Simpang Cianjur, Jawa Barat. Bogor: Pusat Konservasi
Tanaman Kebun Raya Bogor LIPI.
Schuttleworth, F.S., H.S. Zim, and G.W. Dillon. 1970. A Golden
Guide Orchids. New York: Western Publishing Company, Inc.
Shukla, P and S.P. Misra. 1979. An Introduction to Taxonomy of
Angiosperms. New Delhi: Vikas Publishing House Pvt Ltd.
Suryowinoto, M. 1987. Mengenal Anggrek Alam Indonesia. Jakarta:
PT. Penebar Swadaya.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 81-84
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
Bukit Tapak (1903 m) the natural reserve of Batukau I (816.4 ha) is one of three natural reserve area of Batukau (1762.8
ha, 1974). Located at the tourism object of Bedugul, the eastern part boundaries to the Botanic Garden Eka Karya-LIPI
(154.5 ha, 1959) and settlement of Candikuning area (1152 family, 4475 persons) and near the three lakes of the water
resources of Bali; Beratan, Buyan and Tamblingan lake. The special plants; cemara geseng (Casuarina junghuhniana Miq.),
cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), nyabah (Pinanga arinasaensis J.R. Witono), paku kidang
(Dicksonia blumei Planch.), and purnajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benth.). The pioneer plant of the hill is cemara
geseng and the endemic is cemara pandak. The plant of needle leaves that basically the existence of Bali Botanical Garden
as the conservation ex situ flora of noodle leaves especially at the eastern Indonesian area. Nyabah, which is supposed to
be the new kind of palm named Arinasa, driven from the staff name who is the pioneer of the conservation. Paku kidang is
rare. There are ethnobotany plants of ritual ceremony such as: kayu tulak (Schefflera sp.), kayu tulung (Brasaia sp.),
penjalin (Calamus sp.), paku pidpid (Nephrolepis sp.), trijata (Medinilla speciosa (Blume ex Mart.) Blume), etc. Balinese
people believe that forest is holly and sacred. But because of the existence of Pura Teratai Bang (16 century) at the slope,
moslem cemetery (found in 1938) at the peak, and other needs (climbing, food, medicine, etc.), it can not be avoided the
entrances of people that caused the forest is damaged. The forest reservation needs the approach to the local people, so
the solution are morally and integration. The use of the forest which is potential as the environment education facilities
conservation and other alternatives such as: horticulture, the improvement of the people economy discussed here to be the
input for the forest conservation wisely and continuously.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Bukit Tapak, traditional ceremony, environment, conservation, education.
PENDAHULUAN
Cagar Alam Batukau, Bali dikukuhkan pada tahun
1979 berdasarkan SK. Menteri Pertanian No.
716/Kpts./Um.11/745 tanggal 29 Nopember 1974.
Arealnya seluas 176,2 ha meliputi tiga kawasan hutan
yakni Batukau I (Bukit Tapak) 810,4 ha, Batukau II
(Bukit Pohen) 388,2 ha, dan Batukau III (Bukit
Lesung) 564,2 ha. Hutannya yang lebat dengan
kepadatan 125 pohon/ha memiliki tumbuhan khas asli
alamiah cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus
(Blume) de Laub.) dan cemara geseng (Casuarina
junghuhniana Miq.) yang pada waktu Gubernur Bali
Ida Bagus Mantra digunakan acuan sebagai upaya
menolak adanya mega-proyek listrik panas bumi,
Alamat korespondensi:
Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191.
Tel. & Fax.: +62-368-21273.
e-mail: direkbg@singaraja.wasantara.net.id.
82
83
84
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 85-88
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
ABSTRACT
An experiment on the effect of microbe as fertilizer on the growth of Acacia mangium on the sand sterile in greenhouse. The
aim of the experiment the effect and potency of the microbe as fertilizer to increase the growth of A. mangium. The
experiment was carried out in green house condition in Microbiology division, Research Center for Biology-LIPI with sterile
sand medium. The Rhizobium strains used of: 1.Bio 199R, 2. Bio 203R, 3. Bio 205R, 4 Bio 238R, 5. Bio 251R, 6.Bio 7R,
and 7. mixed strains (Bio 199R+Bio 203R+Bio 205R+Bio 238R+Bio 251R+Bio 7R) The controls were uninoculated with
Rhizobium strain and without urea fertilizer (K1), uninoculated and with urea fertilizer equal 100 kg/ha (K2). The research
design was Completely Randomized Design with three replications for each treatment. The plants were harvested after 70
days; the parameters of investigation were the dry weight of canopy, roots, nodules root, total plants, number of nodules
and symbiotic capacity. The results showed that all of experiment plant able to from nodule. Strain number of mixed
strains has given the best results on the growth of A. mangium plant.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Rhizobium strain, Acacia mangium.
PENDAHULUAN
Acacia mangium merupakan tanaman yang
termasuk dalam famili Leguminosae (polongpolongan) dan merupakan salah satu jenis tanaman
HTI (Hutan Tanaman Indrustri). Tanaman ini
merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan
cepat, perakarannya luas, mampu beradaptasi pada
tanah yang miskin unsur hara dan tahan terhadap
kekeringan, serta mempunyai nilai ekonomi tinggi,
kayunya mempunyai kualitas yang cukup baik
khususnya sebagai bahan pulp/kertas maupun
mebel. Selain itu tanaman ini mampu bersimbiosis
dengan bakteri penambat nitrogen (Rhizobium) dan
melaksanakan proses penambatan N bebas dari
udara, sehingga tanaman dapat memenuhi
kebutuhan unsur N melalui penambatan secara
hayati
sehingga
mengurangi
ketergantungan
terhadap penggunaan pupuk N buatan.
Keberadaan unsur hara nitrogen sangat penting
bagi setiap kehidupan, khususnya mikroba tanah dan
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-324006. Faks.: +62-251-325854
e-mail: rizal_pur@yahoo.com
86
Sc =
I
=
U
kemampuan bersimbiosis.
rata-rata bobot kering tajuk tanaman yang
diinokulasi.
rata-rata bobot kering tanaman tanpa
diinokulasi dan tanpa N (K1).
rata-rata bobot kering tanaman tanpa
diinokulasi dan ditambah N (K2).
B.
C.
D.
Kandungan
unsur
CaSO42H2O
MgSO47H2O
akuades steril
ferric citrate
akuades steril
KH2PO4
KOH
akuades steril
MnSO4H2O
ZnSO45H2O
CuSO45H2O
NaMoO22H2O
H3BO3
CaCl26H2O)
akuades steril
87
BKT
c
BKA
ab
BKB
BKTT
a
Bio 199R
0,74
0,64
0,0157
1,3957 bc
ab
cd
ab
Bio 203R
0,59
0,76
0,0192
1,3789 b
bc
cd
abc
Bio 205R
0,70
0,77
0,0213
1,4913 bcd
cd
de
bcd
Bio 238R
0,81
0,84
0,0297
1,6797 def
d
de
cde
Bio 251R
0,86
0,83
0,0255
1,7155 ef
Bio 7R
0,88 d
0,76 cd
0,0285 de
1,6685 cde
Campuran
0,92 d
0,88 e
0,0337 e
1,8337 f
a
a
K1 (tanpa N)
0,54
0,55
0
1,0900 a
d
bc
K2 (+N)
0,87
0,72
0
1,5900 cde
BNT 5%
0,11
0,09
0,0073
0,0248
Keterangan: nilai yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 uji BNT.
88
0
0
-
0
0
-
0
0
-
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua biakan yang diinokulasikan mampu membentuk
bintil akar, namun tidak semua biakan efektif untuk
tanaman A. mangium. Hasil terbaik diperlihatkan oleh
biakan campuran (yang terdiri dari biakan Bio199R+
Bio203R+Bio205R+Bio238R+Bio251R+Bio7R). Biakan
tersebut dapat dikembangkan sebagai inokulum
pupuk hayati untuk tanaman A. mangium.
DAFTAR PUSTAKA
nd
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 89-95
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
R E V I E W:
ABSTRACT
Dipterocarpaceae is one of the biggest family with >500 species in the world, and most of dipterocarps population are
grown in Indonesia which have high economical value of wood. One of the most important value from dipterocarps species
is high on endemicities; there are up to 128 species (53.78%) from 238 dipterocarps species in Indonesia. Distribution of
dipterocarps species would be affected by some factors especially edaphic, climate, and altitude. In Indonesia the
dipterocarps species distribution could be shown from islands groups, number of species and forest types. Based on the
observation of herbarium collection in Herbarium Bogoriense the distribution of the most dipterocarps species was in the
altitude of 0-500 m and 500-1000 m on the dipterocarps forest type. Kalimantan and Sumatra were the two bigger islands
with have the dipterocarps species distributed relatively high on population and species.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Keywords: Dipterocarpaceae, ecological distribution, altitude, Indonesia.
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk dalam kawasan fitogeografi
Malesia yang memiliki kawasan hutan hujan tropis
terbesar setelah Brazil, hal ini berkaitan dengan
keanekaragaman jenis tumbuhan yang sangat tinggi
dan formasi hutan yang beragam (Tabel 1.).
Dipterocarpaceae (dipterocarp) merupakan salah
satu suku besar dengan jumlah jenis di seluruh dunia
mencapai 506 jenis, tergolong dalam 14 marga yang
sebagian besar (76%) jenis tumbuh di kawasan
Malesia, terutama di Indonesia. Secara geografis,
persebaran jenis dipterocarp tidak merata di wilayah
Indonesia, berbeda dengan jenis dari suku lain
misalnya Myrtaceae, Euphorbiaceae, Lauracaeae,
Moraceae,
dan
Annoceae
yang
umumnya
mempunyai persebaran luas (pantropis) (Bawa,
1998). Secara ekologi jenis dipterocarp mempunyai
beberapa faktor pembatas untuk pertumbuhan dan
penyebarannya. Faktor yang paling menentukan
adalah faktor tanah, iklim dan ketinggian tempat.
Pada umumnya Dipterocarpaceae tumbuh pada jenis
tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian
dibawah 1300 m dpl., dan curah hujan >1000mm per
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122.
Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538.
e-mail: herbogor@indo.net.id
90
DIPTEROCARPACEAE DI INDONESIA
Dipterocarpaceae di Indonesia tersebar tidak
merata di setiap pulau, menurut Ashton (1982) bahwa
penyebaran dipterocarp ke arah timur keanekaragamannya semakin kecil. Keanekareagaman jenis
dipterocarp secara lokal pada masing-masing marga
tidak merata, bahkan terdapat beberapa marga yang
tidak dijumpai di belahan Indonesia timur. Dipterocarpaceae di kawasan Indonesia mencapai 62% (238
jenis) dari jumlah jenis yang terdapat di kawasan
Malesia (386 jenis). Hal ini menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk
pertumbuhan dipterocarp, terutama di Indonesia
bagian barat (Tabel 2.). Terdapat 4 marga yang
penyebarannya meluas di kawasan Malesia yaitu
Anisoptera (11 jenis, 10 jenis terdapat di Malesia),
Vatica (65 jenis, 55 jenis di Malesia), Hopea (102
jenis, 84 jenis di Malesia), dan Shorea (194 jenis, 163
jenis di Malesia) (Ashton, 1982). Kalimantan dan
Sumatera merupakan dua pulau besar yang memiliki
persebaran kelompok jenis dipterocarp cukup
menonjol, baik dari populasi maupun jumlah jenisnya.
Bahkan sebagian besar hutan primer yang masih
tersisa di Kalimantan vegetasinya masih didominasi
oleh dipterocarp sehingga sering disebutnya sebagai
hutan
Dipterocarpaceae.
Apannah
(1998)
mengatakan bahwa Kalimantan dan Sumatera
merupakan pusat pertumbuhan Dipterocarpaceae di
Iklim
Selalu
basah
(everwet)
Tanah-air
Berair
(kadang
secara
periodik)
Kemarau
musiman
Hutan luruh
(monsoon)
Lokasi
Kering
moderat
tahunan
Kering
tergantung
musim
Jenis tanah
Elevasi
Formasi hutan
Hutan hujan lahan pamah tropis
Hutan hujan perbukitan tropis
Hutan hujan pegunungan tropis
Hutan sub-alpin tropis
Hutan kerangas
Hutan bukit kapur
Vegetasi pantai
Hutan mangrove (bakau)
Hutan air-payau
Hutan gambut
Hutan rawa air-tawar
Hutan rawa musiman
0-1000m
1000-1500m
1500-3000m
>3000m
Pasir podsolik
Lahan pamah
Limestone
Lahan pamah
Tanah gambut
Selalu tergenang Tergenang secara periodik
-
Pantai
Air-asin
Air payau
Air tawar
Tanah
eutropik
91
M
Irian Jaya Jumlah %-tase
0 (0%)
0 (0%)
59
16,95
1 (2,4%)
1 (2,4%)
42
12,07
2 (3,4%)
10
60
17,24
2 (1,4%)
0 (0%)
152
43,68
1(8,3%)
1(8,3%)
12
3,45
0 (0%)
0 (0%)
9
2,59
0 (0%)
0 (0%)
9
2,59
0 (0%)
0 (0%)
4
1,15
0 (0%)
0 (0%)
1
0,29
6 (1,72%) 12 (3,45%)
348
11
16
11
3
2
6
77
24
2
152
1
4
2
3
2
7
36
3
1
59
1
6
2
3
3
9
26
2
0
52
1
5
1
2
3
4
36
3
0
55
1
2
1
1
0
0
7
2
0
14
1
2
1
0
1
2
3
0
0
10
0
0
0
0
0
2
8
2
0
12
Cotylelobium
Parashorea
Gambut
Pantai
Kerangas
Bukit kapur
Rawa air tawar
Tepi sungai
Lahan pamah
Bukit
Peg. rendah
Jumlah
Dryobalanops
Tipe Hutan
Anisoptera
NT
2 (3,4%)
0 (0%)
1 (1,7%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
3 (0,86%)
Vatica
S
25 (42,4%)
10 (23,8%)
14 (23,3%)
52 (%)
4 (3,6%)
2 (1,8%)
3 (2,7%)
1 (0,9%)
0 (0%)
111 (31,9%)
Hopea
K
28 (47,6%)
26 (61,9%)
30 (50%)
95 (62,5%)
4 (33,3%)
7 (77,8%)
6 (66,7%)
3 (75%)
1 (100%)
200 (57,47%)
Shorea
Marga
Dipterocarpus
Vatica
Hopea
Shorea
Anisoptera
Dryobalanops
Parashorea
Cotylelobium
Upuna
Total
0
1
1
1
0
0
2
1
0
6
Keberadaan
jenis
59%
64%
70%
52%
70%
80%
100%
100%
0%
100%
62%
0-500
24
41
64
27
3
3
5
1
1
92
93
NT
SL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
-
+
-
+
+
+
+
+
+
+
-
94
NT
SL
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
-
+
+
-
95
NT
SL
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.
120.
121.
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
-
+
-
+
-
Keterangan: K: Kalimantan, S: Sumatera, J: Jawa, NT: Nusa Tenggara, Sl: Sulawesi, M: Maluku, I: Irian (Papua).
PENUTUP
Populasi jenis Dipterocarpaceae saat ini sedang
mengalami degradasi yang sangat cepat. Hal ini
disebabkan proses pembalakan yang terjadi secara
terus menerus dengan skala besar, sehingga dapat
berakibat terhadap keberadaan jenis tersebut. Tabel
8. memperlihatkan beberapa jenis anggota famili
Dipterocarpaceae yang keberadaan/populasinya di
alam sudah mulai menurun. Oleh karena itu, taksa
bernilai ekonomi tinggi ini perlu perhatian serius agar
terjaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.A.R., 1975. The potential of illipe nuts (Shorea spp.) as
an agricultural crop. In: Wiliams (ed.). Proceedings of
Symposium on Southeast Asian Plant Genetic Resources,
Bogor-Indonesia. 20-22 March, 1975. Bogor: BIOTROP.
Apannah, S., 1998. A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology
and Sylviculture. CIFOR. Bogor-Indonesia.
Ashton, P.S., 1972. Precursor to a taxonomic revision of Ceylon
Dipterocarpaceae. Blumea 20: 357-366.
Ashton, P.S., 1982. Dipterocarpaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J
(ed.) Flora Malesiana (9): 237-552.
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 96-104
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
R E V I E W:
ABSTRACT
Acacia nilotica (L.) Del. is a thorny wattle native in India, Pakistan and much of Africa. This acacia is widely distributed in
tropical and subtropical Africa from Agypt and Mauritania to South Africa. In Africa and the Indian Subcontinent, Acacia
nilotica is extensively used as browse, timber and fire-wood species. The bark and seeds are used as source of tannins.
The species is olso used for medicinal purposes. Bark of Acacia nilotica has been used for treathing haemorrhages, colds,
diarrhoea, tuberculosis and leprosy; while the roots have been used as an aphrodisiac and the flowers for treathing syphillis
lessions. The invasion of Acacia nilotica has resulted in the reduction of savanna in Baluran National Park reaching about
50%. Pressure to the savanna has a great impact on the balance and preservation of whole ecosystem in Baluran.
2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: Acacia nilotica, biology, ecology, grassland, Baluran National Park.
PENDAHULUAN
Akasia (Acacia nilotica) diperkirakan berasal dari
India, Pakistan, dan juga banyak ditemukan di Afrika.
Sekarang ini telah dikenal beberapa spesiesnya
seperti A. nilotica sub spesies indica, A. leucoploea
Willd., A. farnesiana Willd., A. ferruginea DC., A.
catechu Willd., A. horrida (l.f) Willd., A. sinuata (Lour.)
Merr., A. pennata Willd., dan A. senegal Willd.
(Brenan, 1983). Akasia tersebar luas di Afrika tropis
dan subtropis dari Mesir dan Mauritania sampai Afrika
Selatan. Beberapa spesies tersebar luas di Asia
Timur seperti Birma. Acacia nilotica sub spesies
indica juga tumbuh di Ethiopia, Somalia, Yaman,
Oman, Pakistan, India, dan Myanmar. Kemudian juga
berhasil ditanam di Iran, Vietnam (Ho Chi Min City),
Australia (Sydney dan Queensland) dan di Karibia
(Brenan, 1983). Sub spesies ini umum dijumpai pada
tanah dengan kandungan liat yang tinggi, tetapi dapat
juga tumbuh pada tanah lempung berpasir yang
dalam dan di area dengan curah hujan yang tinggi.
Umumnya tumbuh di dekat jalur air terutama di
Alamat korespondensi:
Jl. Ciremai Ujung 18 RT 04 RW 02 Bantarjati Atas Bogor 16153
Tel. +62-251-359860. Fax. +62-251-384242.
e-mail: arrijani@yahoo.com
DESKRIPSI
A. nilotica tergolong pohon kecil (treeless) dengan
tinggi 2,5-20 m, namun ada yang mencapai 25 m.
Memiliki
satu
batang
utama
(monopodial),
percabangan dapat terjadi dekat permukaan tanah
dan membentuk bagian puncak pohon yang bulat
atau mendatar. Kulit kayu dari batang dan cabang
utama berwarna kelabu hingga hitam atau kecoklatan
dengan permukaan yang kasar oleh adanya celahcelah atau retakan-retakan longitudinal. Percabangan
ke arah atas. Duri berpasangan berukuran 1-13 cm,
lurus hingga membentuk sudut 1100-1200, ujung duri
runcing, berwarna putih hingga keperakan. Daun
berwarna hijau terang, kadang sedikit kusam. Ibu
tangkai daun memiliki 1-2 kelenjar. Anak daun
berpasangan berjumlah 7-36 pasang, panjang anak
daun 1-7 x 0,5-1,5 mm. Bunga majemuk berwarna
kuning dengan bau menyengat, memiliki rambutrambut halus. Bunga ditopang oleh ibu tangkai bunga
97
HABITAT
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa A. nilotica
merupakan gulma di habitat asalnya yaitu Afrika
Selatan (Holm et al., 1979), namun di kawasan
lainnya ditanam untuk keperluan kehutanan atau
untuk mereklamasi lahan yang mengalami degradasi
(Purl dan Khybri, 1975; Shetty, 1977). Di Asia dan
Afrika, polong dan biji tumbuhan ini dimakan oleh
hewan peliharaan seperti sapi, biri-biri, kambing dan
unta (Gupta, 1970). Spesies hewan yang lainnya juga
memakan polong dan bijinya, misalnya rusa
Thompson, rusa Dorces, dikdik, gajah, jerapah, kuda,
dan kambing pegunungan (Lamprey et al., 1974).
Pemencaran biji sebagian besar dilakukan oleh
hewan-hewan yang memakan biji tersebut. Di
Australia biji disebarkan oleh hewan peliharaan. Di
Afrika dan India, juga banyak insekta yang
menyerang biji dewasa.
Menurut Duke (1981) A. nilotica tumbuh dengan
subur di daerah yang kering, pada ketinggian 101340 m dpl. Jenis ini hidup pada kisaran kondisi yang
luas, juga tumbuh dengan baik pada kisaran variasi
tanah yang luas, kelihatannya sangat berkembang
pada tanah aluvial, tanah lapisan atas tipis berwarna
hitam (black cooton soils), tanah liat, juga dapat
tumbuh pada kondisi tanah yang miskin unsur hara
(N.A.S, 1980). Kisaran hidupnya dari gurun subtropis
ke subtropis kering sampai gurun tropis ke zona
kehidupan kering hutan tropis. A. nilotica dilaporkan
juga toleran terhadap presipitasi tahunan berkisar
3,8-22,8 dm (rata-rata dari 12 kasus = 12,0 dm), ratarata temperatur tahunan 18,7-27,80C (rata-rata dari
12 kasus = 24,10C), dan pH berkisar 5-8 (rata-rata
dari 10 kasus = 6,9).
SIKLUS HIDUP
Model identifikasi enam tahapan A. nilotica adalah
kumpulan biji (seedbank), anakan (seedling), remaja
(juvenile), dewasa (adult), bunga (flowers), dan biji di
dalam polong (seeds-in-pods). Bunga dan biji di
dalam polong merupakan fase endogen yaitu: fase
hidup dari anakan sampai dewasa. Pendekatan siklus
hidup tersebut termasuk di dalamnya pemilihan
98
KANDUNGAN KIMIA
A. nilotica dilaporkan mengandung L-arabinose,
catechol, galactan, galactoaraban, galactose, Nacetyldein kolic, N-acetyldein kolic acid, sulphoxides
pentosan, saponin, dan tanin. Biji mengandung
protein kasar 18,6%, ekstrak eter 4,4%, serat 10,1%,
ekstrak nitrogen bebas 61,2%, abu 5,7%, silika
0,44%, fosfor 0,29%, dan kalsium 0,9% (Duke, 1983).
Menurut Pande et al. (1982) banteng jantan
memperoleh biji dan kulit biji (2:1) pada kondisi harian
padang rumput yang kering, bobot mencapai 1,82,
0,91, dan 5,35 kg. Total bobot yang diterima/100 kg
berat badan adalah 1,40 kg. Hewan menyimpan 20,8
g N dan 7,4 g Ca per hari, tetapi keseimbangan P
adalah rendah. Walker (1980) mengemukakan
kandungan C/P pada pohon A. nilotica (browse)
12,9%, dan serat kasar 15,2% (Duke, 1983;
McMeniman et al., 1986a).
Daun A. nilotica sangat mudah dicerna dan
mengandung protein yang tinggi (Tabel 1.), mikro
nutrien dengan pengecualian sodium cukup memadai
untuk kebutuhan hewan. Kandungan asam amino
sama dengan beberapa daun rumput yang ada di
padang rumput Mitchell di Australia. Dalam buah
mengandung asam glutamat dan aspartat yang tinggi
tetapi kandungan asam aminonya rendah (Tabel 2.).
Asam amino methionin yang merupakan asam amino
esensial untuk pertumbuhan domba, tidak dijumpai
pada buah yang berasal dari Australia, namun ada di
dalam biji bahan yang diambil dari Afrika
(McMeniman et al., 1986b).
Kandungan tanin kental tinggi di dalam seluruh
komponen organ (browsed). Kandungan dalam
polong 5,4%, daun 7,6%, kulit batang 13,5%, dan
ranting 15,8%. Total polifenolik dalam buah berkisar
30-60% (Ehoche et al., 1983; Reed, 1986; Tanner et
al., 1990). Level tanin yang tinggi pada bagian
tumbuhan terikat dengan protein pada level tinggi,
yang dapat meningkatkan produksi hewan secara
signifikan. Banteng memakan 45% minyak hasil
ekstrak biji A. nilotica menunjukkan diet reduksi
tambahan berat (68 g/hari-16 g/hari) dan terjadi
pengurangan sebanyak 5% (Pande et al., 1982).
Selain itu kandungan tanin A. nilotica yang dapat
dimanfaatkan untuk membuat kue biji katun (cake
seed) yang berperan dalam melindungi rumen dari
degradasi protein. Termasuk 5% tanin (kemungkinan
total polifenolik), tambahan berat basah dari anak biribiri meningkat mencapai 36%; 10% di antaranya
termasuk dari rata-rata penambahan per hari
menurun mencapai 18% (Ehoche et al., 1983). Biribiri yang memakan polong A. nilotica yang
mengandung bahan kasar 204-347 g/hari mempunyai
laju pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan makanan yang dikontrol (Tanner et al.,
1990).
99
Parameter
Protein (%)
Fat (%)
NFE (%)
CF (%)
ADF (%)
Ash (%)
Tanin (%)
Lignin (%)
P (%)
Ca (%)
Mg (%)
Na* (%)
K (%)
Si (%)
S (%)
Cl (%)
Cu (mg/kg)
Zn (mg/kg)
Mn (mg/kg)
Fe (mg/kg)
ME (mg/kg)
OMD (%)
15
18
0,23 0,22
0,26 0,21
15
18
2,53 1,13
0,64 0,19
11
70
0,18 0,08
0,13 0,02
< 0,32
5
< 0,01
4
9
5
1,25 0,79
1,28 0,22
4
9
0,45 0,47
0,24 0,21
4
2
0,26 0,03
0,59 0,11
3
2
0,70 0,26
0,36 0,04
6
4
6,43 0,90
4
2
25,63 9,20
28,50 9,76
4
2
90,25 19,00
26,50 0,71
4
2
428 205
100 86,27
9
2
8,69 1,09
10,19 0,16
3
67,20
1
69,90 5,20
Daun
amino
(%)
A.
nilotica
4,08
2,57
2,64
36,53
2,74
4,27
6,57
15,52
3,17
3,71
4,65
0,00
2,51
2,12
2,47
2,34
4,12
6,17
2,34
5,92
11,19
4,92
5,03
11,87
5,73
5,71
6,62
6,10
1,86
4,92
4,00
5,52
2,66
9,41
6,38
2,34
10,39
9,54
3,16
4,91
15,06
5,81
0.00
4,33
4,05
6,89
3,62
3,11
4,23
5,91
8,79
11,92
12,03
3,80
16,95
3,65
8,99
10,43
3,90
0.00
3,81
3,47
0,78
2,81
2,47
2,93
6,95
5,12
Biji
7,69
2,58
10,04
10,72
3,10
5,59
14,01
4,72
0,00
3,87
3,19
5,22
2,97
2,99
3,33
9,87
7,41
KEGUNAAN
A. nilotica memiliki nilai tambah yang
dimanfaatkan di berbagai benua. Di Afrika dan
benua India, A. nilotica digunakan secara
sebagai pakan ternak (browse) dan sebagai
telah
anak
luas
kayu
100
Berkaitan dengan hal tersebut di atas generalisasinya dikembangkan oleh Scanland dan Burrows
(1990) menunjukkan bahwa slope dari kurva (nilai k)
101
102
103
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Rancangan Pencabutan Seedling/Anakan Hasil
Pembongkaran secara Mekanis, 150 ha di Savana Bekol.
Taman Nasional Baluran. Banyuwangi: Taman Nasional
Baluran.
Ayoub, S.M.H. 1983. Algicidal properties of Acacia nilotica.
Fitoterapia 53 (55-56): 175-178.
Bolton, M.P., J.O. Carter, and W.J. Dorney. 1987. Seed production
in Acacia nilotica subsp. indica (Berth.) Brenan. In:
Proceeding of Weeds Seed Biology Workshop, Orange, N.S.W.
September 1987.
Bolton, M.P. and James P.A. (1985). A survey of prickly acacia
(Acacia nilotica) in five Western Queensland shires. Stock
Routes and Rural Lands Protection Board, Brisbane. Internal
Report, Nopember 1985.
Brenan, J.P.M. 1983. Manual on taxonomy of Acacia species:
present taxonomy of four species of Acacia (A. albida, A.
senegal, A. nilotica, A. tortilis). Rome: FAO.
Carter, J.O. and Cowan, D.C. 1988. Phenology of Acacia nilotica
th
subsp. indica (Berth.) Brenan. In: Proceeding 5 Biennial
Conference, Australian Rangelands Society. Longreach,
Queensland. pp. 9-12.
Carter, J.O., Newman, P. Tindale, P. Cowan, D. and Hodge, P.B.
1990. Complementary grazing of sheep and goats on Acacia
th
nilotica, In Proceedings 6 Biennial Conference. Australian
Rangelands Society. Carnovan, Western Australia, pp. 271272.
Duke, J.A. 1981. Handbook of Legums of World Economic
Importance. Plenum Press. New York.
Duke. 1983. Medicinal Plants of the Bible. Owerri, New York:
Trado-Medic Books.
Ehoche, O.W., Y.M. Theresa, V. Buvanendran, and I.F. Adu. 1983.
The nutritive value of tannin treated cottonseed cake for
growing lambs. Journal of Animal Production Research 3: 1525.
Gupta, R.K. 1970. Resource survey of gummiferous acacias in
Western Rajasthan. Tropical Ecology 11: 148-161.
Harvey, G.J. 1981. Recovery and viability of prickly acacia (Acacia
nilotica subsp. indica seed ingested by sheep and cattle. In:
Proceedings, 6 th Australian Weeds Conference, I: pp. 197201.
Holm, L.G., J.V. Poncho, J.P. Herberger, and D.L. Plucknett, 1979.
A Geographical Atlas of World Weeds. New York: John Wiley
and Sons.
Khan, M.A.W. 1970. Phenology of Acacia nilotica and Eucalyptus
microtheca at Wad Medani (Sudan). The Indian Forester 96:
226-248.
Lamprey, H.F., G. Halevy, and S. Makacha, 1974. Interaction
between Acacia, bruchid seeds (Acacia nilotica) for use as
livestock feed. Animal Feed Science and Technology 11: 4548.
Mahgoub, S. 1979. On the subspecies of Acacia nilotica in the
Sudan. Sudan Silva 4: 57-62.
McMeniman, N.P., I.F. Beale, and G.M. Murphy, 1986a. The
nutritional evaluation of south-west Queensland pasture. I. The
botanical and nutrien content of diets selected by sheep
grazing on mitchell grass and mulga/grassland association.
Australian Journal of Agricultural Research 37: 289-302.
McMeniman, N.P. 1986b. The nutritional evaluation of south-west
Queensland pasture. II. The intake and digestion of organic
matter and nitrogen by sheep grazing on mitchell grass and
mulga/grassland association. Australian Journal of Agricultural
Research 37: 303-314.
Mitchell, K.J. 1969. Simulation of the growth of oven-aged stands of
white spruce. Yale University School of Forestry Bulletin 75: 148.
N.A.S. 1980. Firewood Crops, Scrub and Tree Species for Energy
Production. Washington, DC.: National Academy of Sciences.
Nasroun, T.H. 1979. Pulp and paper making properties of some
tropical hardwood species grown in the Sudan. Sudan Silva 4:
22-32.
New, T.R. 1984. A Biology of Acacia. Melbourne: Oxford University
Press.
104
Pande, M.B., P.M. Talpada, Z.N. Patel, L.P. Purohit, and P.C.
Shukla, 1982. Note on processed babul feeding to mature
Kankrej bullocks. Indian Journal of Animal Science 52: 798799.
Purl, D.N. and M.L. Khybri. 1975. Economics of chambal ravine
afforesttion. Indian Forester 101: 448-451.
Reed, J.D. 1986. Relationship among soluble phenolic, insoluble
proanthocyanidins and fibre in East African Browse Species.
Journal of Range Management 39: 5-7.
Radford, I.D., D.J. Kriticos, M. Nicholas, and J.R. Brown, 1999.
Towords an integrated approach to management of Acacia
nilotica in northern Austrlaia. Proceedings of the VI
International Rangland Congress, Jul. 17-23 1999. Townsville.
Reynolds, J.A. and J.O. Carter. 1990. Woody weeds in central
western Queensland In: Proceedings 6 th Biennial Conference,
Australian Rangelands Society, Carnarvon, Western Australia.
pp. 304-306.
Riyawati. 1999. Studi Jenis Pakan Rumput Rusa Timor (Cervus
timorensis) di Savana Bekol Balai Taman Nasional Baluran
Banyuwangi Jawa Timur. [Skripsi]. Malang: Institut Pertanian
Malang.
Sabarno, M.Y. 2002. Savana Taman Nasional Baluran.
Biodiversitas 3: 207-212
BIODIVERSITAS
Volume 5, Nomor 2
Halaman: 105-118
ISSN: 1412-033X
Juli 2004
R E V I E W:
ABSTRACT
The restoration of mangroves has received a lot of attentions world wide for several reasons. Mangrove ecosystem is very
important in term of socio-economic and ecology functions. Because of its functions, wide range of people paid attention
whenever mangrove restoration taken place. Mangrove restoration potentially increases mangrove resource value, protect
the coastal area from destruction, conserve biodiversity, fish production and both of directly and indirectly support the life of
surrounding people. This paper outlines the activities of mangrove restoration on Java island. The extensive research has
been carried out on the ecology, structure and functioning of the mangrove ecosystem. However, the findings have not
been interpreted in a management framework, thus mangrove forests around the world continue to be over-exploited,
converted to aquaculture ponds, and polluted. We strongly argue that links between research and sustainable management
of mangrove ecosystem should be established.
2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Key words: mangrove, restoration, management, Java.
PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan sangat drastis, akibat tingginya tekanan penduduk
yang
berimplikasi
pada
besarnya
kegiatan
pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan
sedimentasi,
serta
pencemaran
lingkungan.
Ekosistem mangrove memiliki fungsi sosial-ekonomi,
sosial-budaya, dan peran ekologi yang sangat
penting, sehingga banyak pihak (stakeholders) yang
memberi perhatian lebih untuk mengembalikan fungsi
ekosistem ini melalui restorasi. Restorasi mangrove
dapat menaikkan nilai sumber daya ini, memberi
mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan
pantai, menjaga biodiversitas, menjaga hasil
tangkapan
perikanan,
serta
mempengaruhi
kehidupan masyarakat di sekitarnya baik secara
langsung atau tidak langsung (Setyawan dkk., 2003).
Terdapat tiga kata kunci yang penting dalam
manajemen ekosistem mangrove, yaitu restorasi,
kreasi (pembentukan), dan pengkayaan spesies
(Lewis, 1990; Mish, 1989). Restorasi adalah tindakan
Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375.
e-mail: biology@mipa.uns.ac.id
106
Diponegoro Semarang, dan lain-lain (ADS, 20022003, pengamatan pribadi). Upaya restorasi mangrove
dengan pola serupa, yakni memberi peran aktif
kepada masyarakat juga dilakukan di Probolinggo,
Jawa Timur (Sudarmadji, 2003, komunikasi pribadi).
Tampaknya pelibatan aktif masyarakat merupakan
salah satu unsur utama keberhasilan pengelolaan
kawasan pesisisir (Suara Pembaruan, 03/03/2002).
Salah satu contoh upaya restorasi mangrove yang
kurang berhasil terjadi di muara Sungai Bogowonto,
satu-satunya ekosistem mangrove di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah. Upaya ini telah dilakukan sejak
tahun 1990-an, namun hasilnya tidak memuaskan.
Tidak adanya kesamaan persepsi antara para pihak
yang berkepentingan tampaknya menjadi penyebab
utama kegagalan. Universitas, lembaga swadaya
masyarakat, dan sebagian organ pemerintah setempat merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Pengusaha dan sebagain
organ pemerintah lainnya mencoba mengambil
keuntungan ekonomi dengan membuat tambak.
Adapun masyarakat setempat secara turun-temurun
memanfaatkan tepian lahan untuk bertani dan bagian
tengah untuk padang penggembalaan kerbau (Bos
bubalis). Semua kepentingan tersebut tidak dikelola
secara integratif, sehingga boleh jadi saling merugikan. Upaya konservasi dengan mengembalikan lahan
menjadi hutan mangrove dapat menafikan upaya
pengusaha untuk membuat tambak dan upaya petani
untuk terus memanfaatkannya sebagai lahan bertani
dan menggembalakan ternak. Upaya pembuatan
tambak dapat menggusur lahan bercocok tanam dan
penggembalaan ternak, serta berpotensi menghancurkan lahan mangrove yang tersisa. Sedangkan
upaya petani mempertahankan lahan untuk bertanam
dan menggembala ternak dapat menghambat upaya
perluasan tambak dan mematikan benih mangrove
yang diharapkan dapat menyebar dan menutupi
seluruh laguna sebagaimana dahulu. Apabila tidak
dikelola dengan tepat, permasalahan ini akan menghabiskan energi, dana, dan sumber daya tanpa hasil
yang memadahi (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
Kegiatan restorasi lahan mangrove di Jawa
dengan ukuran yang signifikan, antara lain juga telah
dilakukan di teluk Jakarta, Muara Angke, Bekasi,
Indramayu, Pemalang, Tegal, dan Demak dengan
dipelopori oleh Yayasan Mangrove Indonesia)
(Anonim, 2003). Kegiatan restorasi juga dilakukan di
Segara Anakan oleh Badan Pengelola Kawasan
Segara Anakan (BPKSA) (Suara Pembaruan,
19/04/2003), muara sungai Porong oleh Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo (Republika Online, 15/07/2002),
Telukawur-Semat,
Jepara
oleh
Universitas
Diponegoro Semarang (Suara Merdeka, 09/04/2003),
dan lain-lain. Dalam jumlah yang lebih kecil, kegiatan
ini diyakini banyak di lakukan di berbagai lokasi,
termasuk pada muara-muara sungai di pantai selatan
Jawa, misalnya di Purworejo dan Kebumen (ADS,
2002-2003, pengamatan pribadi).
107
TUJUAN RESTORASI
Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada
ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari
kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut
(Anonim, 2001). Restorasi diperlukan apabila
ekosistem telah terdegradasi dan berubah jauh, tidak
dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali
ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan
fungsi sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan
pengelolaan dan perlindungan (Stevenson et al.,
1999; Morrison, 1990). Pada kondisi ini, homeostasis
ekosistem secara permanen terhenti, sehingga
menghambat proses suksesi sekunder secara normal
untuk menyembuhkan area yang rusak (Stevenson et
al., 1999). Konsep ini belum banyak dibahas,
pembahasan baru dilakukan antara lain oleh
Detweiler et al. (1976), Ball (1980), dan Lewis (1982).
Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya
landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi
sumberdaya alam (khususnya perikanan dan kayu),
melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial
budaya (Watson, 1928; Field, 1996; Morrison, 1990;
Lewis, 1992, Aksornkoea, 1996; Stevenson et al.,
1999). Tujuan restorasi perlu ditetapkan berdasarkan
masukan dari para pihak dan merupakan konsensus
bersama, sehingga mendapat dukungan secara luas
(Fitzgerald, 1997), tanpa dukungan para pihak setempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang
sangat kecil (Primavera dan Agbayani, 1996).
Keuntungan restorasi komunitas mangrove
meliputi: konservasi dan pengembalian spesies yang
pernah ada, spesies yang memiliki daerah jelajah
luas, dan burung-burung migran; mendaur-ulang
nutrien dan menjaga keseimbangan nutrisi pada
muara sungai; melindungi jaring-jaring makanan pada
hutan mangrove, muara, dan laut; menjaga habitat
fisik dan tempat pembesaran anakan berbagai
spesies laut komersial; melindungi lahan dari badai,
menjaga garis pantai, dan mengendapkan lumpur;
meningkatkan kualitas dan kejernihan air dengan
menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang
dibawa air permukaan dari hulu sungai. Pada
akhirnya, preservasi ekosistem mangrove membantu
menjaga keseluruhan kondisi alami dan keindahan
panorama muara sungai dan nilai ekonomi kawasan
pesisir (Anonim, 2001).
Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya
fungsi tertentu saja yang ingin dikembalikan, karena
beberapa parameter seperti kondisi dan tipe tanah,
serta spesies tumbuhan dan hewan telah berubah
(Lewis, 1990b, 1992). Restorasi yang bertujuan
mengembalikan suatu area sepenuhnya ke kondisi
alami seperti sebelum dibangun, memiliki tingkat
kegagalan jauh lebih tinggi dibandingkan restorasi
karakter dan fungsi ekosistem tertentu saja (Lewis et
al., 1995). Restorasi ke tipe habitat asli kemungkinan
juga bukan pilihan terbaik untuk skala regional,
khususnya apabila ekosistem yang rusak hanya
108
Pelindung pantai
Di kawasan yang penuh aktivitas dan padat
penduduk, restorasi dapat ditujukan untuk melindungi
pantai (Stevenson et al., 1999). Di pantai utara Jawa,
abrasi merupakan fenomena yang sering terjadi,
seperti di Tangerang (Media Indonesia, 19/08/2002,
03/10/2003), Jakarta (Media Indonesia, 17/06/2002),
Indramayu (Pikiran Rakyat, 27/12/2002; Republika
Online, 17/04/2002; Suara Pembaruan, 07/07/2002,
11/12/2002; Pikiran Rakyat, 14/03/2003), Cirebon
(Media Indonesia, 08/04/2003), Brebes (Media
Indonesia, 28/07/2003), Tegal (Kompas, 06/08/2002),
Pemalang,
Pekalongan
(Media
Indonesia,
31/05/2002; Republika Online, 15/07/2003), Kendal,
Semarang, Demak, Jepara, dan Pati (Kompas,
15/08/2002; Suara Merdeka, 26/01/2003).
Pembabatan mangrove di beberapa kawasan
terkait erat dengan kerusakan ekosistem ini,
meskipun dapat pula terjadi karena perubahan arus
laut akibat pengerukan pasir (Pikiran Rakyat,
04/04/2002; Media Indonesia, 15/09/2003), reklamasi
pantai (Kompas, 06/10/2003), gangguan/pemindahan
muara sungai (Kompas, 10/11/2002), dan kerusakan
terumbu karang (Whitten et al., 2000). Restorasi
ekosistem mangrove diharapkan dapat memulihkan
kondisi lingkungan seperti semula, meskipun harapan
ini tidak selalu berhasil mengingat pada kasus
tertentu kerusakan yang timbul bersifat permanen
sehingga penanaman mangrove tidak dapat
mengatasi, tanpa perubahan kondisi-kondisi lain yang
menyebabkan perubahan arus laut. Di samping itu
kesembuhan ekosistem mangrove bersifat jangka
panjang, dimana pada kasus tertentu, kecepatan
abrasi jauh melebihi kemampuan tumbuhnya
mangrove. Meskipun pada akhirnya abrasi akan
terhenti dengan sendirinya apabila pola arus laut
kembali seimbang. Dalam hal ini pembangunan
tanggul dan pemecah gelombang tampaknya lebih
sesuai (Pikiran Rakyat, 27/12/2002).
tahun 1970 terjadi akselerasi pertambakan, khususnya dengan ditemukannya metode budidaya intensif
udang di tambak (Fitzgerald dan Savitri, 2002),
sehingga sejumlah besar area mangrove di pantai
utara Jawa diubah menjadi tambak. Namun tambak
udang intensif berkonsekuensi pada perubahan
kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit,
dan pencemaran lingkungan, sehingga ratusan hektar
tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak
tidak terurus (Setyawan dkk., 2002). Dalam kondisi
demikian, Stevenson et al. (1999) menyarankan agar
dilakukan restorasi mangrove pada tambak udang
yang rusak, diikuti pembukaan area mangrove baru
untuk tambak udang.
Pengamatan di beberapa kawasan pantai utara
Jawa
menunjukkan,
tingginya
sedimentasi
menyebabkan garis pantai cenderung terus menuju
ke arah laut, dengan segaris mangrove tepi sebagai
batas antara laut dengan lahan budidaya masyarakat,
umumnya berupa tambak bandeng, tambak udang
atau tambak garam. Mangrove tepi ini sekaligus
berfungsi sebagai pelindung dari ombak, badai, dan
abrasi. Dalam periode tertentu, luasan dataran
lumpur yang ditumbuhi mangrove cukup untuk diubah
menjadi tambak dengan menyisakan segaris
mangrove tepi, biasanya berupa tegakan Avicennia
atau Rhizophora. Pembukaan kawasan mangrove ini
umumnya dimulai dengan proses pelelangan oleh
aparat desa setempat, sehingga area ini berubah dari
tanah publik menjadi tanah pribadi. Dalam hal ini,
tambak lama letaknya akan semakin jauh dari pantai,
akumulasi perubahan kondisi hidrologi, edafit,
penyakit, dan pencemaran lingkungan menyebabkan
tambak ini tidak lagi ekonomis untuk diusahakan.
Upaya untuk mengembalikan area ini kembali ke
ekosistem mangrove merupakan tindakan mahal,
mengingat tanah tersebut merupakan milik pribadi,
serta adanya perubahan pola hidrologi. Akibatnya
banyak bekas-bekas tambak yang dibiarkan tidak
terawat (Jawa: bera). Dalam jumlah cukup signifikan,
kondisi demikian dapat dijumpai pada cekungan
antara gunung Muria dan gunung Lasem, salah satu
produsen bandeng budidaya terbesar di Jawa, yang
meliputi Kabupaten Pati dan Rembang. Pada kondisi
ketersediaan air tawar mencukupi, secara gradual
bekas tambak dapat diubah menjadi sawah, seperti di
sepanjang pesisir Demak, meskipun untuk itu perlu
dibangun tanggul dan bendungan untuk mencegah
masuknya air laut di kala pasang (ADS, 2002-2003,
pengamatan pribadi).
Di Indonesia, upaya restorasi mangrove pada
bekas tambak udang dalam luasan yang signifikan
dan cukup berhasil antara lain dilakukan di teluk
Benoa, Bali. Budidaya udang di kawasan ini dimulai
pada tahun 1991, dan program restorasi dimulai sejak
tahun 1995, dimana sekitar 350 ha tambak udang
rusak ditanami mangrove kembali. Penanaman
dimulai dari bekas tambak paling dekat daratan
menuju arah laut (Stevenson dkk., 1999).
109
110
111
bubalis), sehingga seedling alami hanya dapat bertahan di kawasan yang sulit dijangkau ternak, sedangkan penanaman sengaja hanya dapat dilakukan pada
area yang dipagari, yang biasanya telah rusak sebelum seedling cukup tinggi, sehingga akan dimakan
kerbau (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
Di pantai utara Jawa, kegagalan restorasi juga
dapat disebabkan perubahan arus laut. Hal ini terjadi
pada pantai-pantai terabrasi, dimana penanaman
mangrove akan sia-sia, selama penyebab utama
abrasi belum diatasi, karena seedling yang ditanam
ikut tergerus arus laut. Salah satu contoh
keberhasilan penanaman mangrove untuk mencegah
abrasi ditemukan di kawasan Bulak-Semat, Jepara.
Pada tahun 1980-an pantai di kawasan ini terabrasi
akibat kerusakan terumbu karang dan pembabatan
hutan mangrove. Pembuatan tanggul pemecah
gelombang dan penanaman mangrove terbukti dapat
mengurangi efek abrasi. Pada saat ini Rhizophora
yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut,
dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih,
menunjukkan garis pantai berhenti di bawah tegakan
komunitas ini (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
TEKNIK RESTORASI
Kebanyakan restorasi hanya bertumpu pada
penanaman pohon mangrove, kurang memperhatikan
struktur komunitas dalam jangka panjang atau
kaitannya dengan ekosistem di sekitarnya (Kusler
dan Kentula, 1990; Simberloff, 1990). Kebanyakan
proyek restorasi mangrove hanya bersangkutan
dengan introduksi pohon mangrove, dengan harapan
hidupan lain seperti kepiting, meiofauna, algae, ikan,
dan fauna mangrove lain akan mengikuti dengan
sendirinya ketika habitat yang dibuat telah mapan
(Kaly dan Jones, 1996). Biasanya restorasi hanya
ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci,
restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara
keseluruhan tergantung pada proses alami berikutnya
(IPIECA, 1993).
Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau
propagul, anakan pohon, atau pohon yang lebih
besar. Penanaman biji atau propagul dapat dilakukan
secara langsung di area yang direstorasi, atau
disemaikan dahulu hingga setinggi 0,3-1,2 m
(Thorhaug, 1990). Penyemaian biji atau propagul
menjadi anakan pohon dapat meningkatkan
keberhasilan penanaman dibandingkan menanamnya
secara langsung (Hannan, 1975; Thorhaug, 1990),
meskipun demikian suatu eksperimen di kawasan
tropis Australia menunjukkan bahwa keberhasilan
hidup dan pertumbuhan bibit mangrove tidak ada
perbedaan signifikan antara benih hasil semaian,
cangkokan, dan benih yang ditanam langsung (Kaly
dan Jones, 1996).
Strategi menghilangkan makrofauna pada awal
restorasi dapat membantu pertumbuhan mangrove,
karena menjadi pemangsa atau parasit propagul dan
112
REGENERASI ALAMI
Regenerasi mangrove secara alami menggunakan
biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber
bibit, sehingga komposisi spesies yang tumbuh
tergantung pada populasi mangrove tetangganya.
Kemampuan mangrove menyebar dan tumbuh
dengan sendirinya tergantung pada kondisi hutan,
arus pasang surut, dan stabilitas tanah (Kairo et al.,
2001). Pada famili Rhizophoraceae, propagul
dilengkapi dengan hipokotil runcing yang akan jatuh
dan menanam diri sendiri pada lumpur tidak jauh dari
induknya (La Rue dan Muzik, 1954), namun apabila
propagul tersebut jatuh pada saat air pasang atau
ombak tinggi, kadang-kadang tidak dapat menancap
di lumpur, bahkan tersapu dan terbawa arus laut,
hingga tumbuh jauh dari induknya (Rabinowitz, 1978;
van Speybroeck, 1992).
Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
dapat menurunkan stabilitas tanah, sehingga
propagul dan anak pohon mudah dihanyutkan ombak
dan regenerasi alami sulit terbentuk (Kairo et al.,
2001). Di Malaysia, direkomendasikan agar disisakan
sebanyak 12 pohon induk per ha, sebagai penyuplai
biji regenerasi alami (Tang, 1978, FAO, 1994), namun
pada lokasi-lokasi dengan tingkat regenerasi rendah
jumlah tersebut dapat dinaikkan. Di Thailand,
Lebih murah.
Tidak memerlukan tenaga kerja dan peralatan.
Lebih sedikit disturbansi pada tanah.
Pertumbuhan anakan pohon lebih subur.
Kekurangan
REGENERASI BUATAN
Regenerasi mangrove secara alami dapat berlangsung lambat, karena perubahan kondisi tanah, pola
hidrologi, dan terhambatnya suplai bibit. Regenerasi
buatan pertama-tama harus memperbaiki pola hidrologi dan penanaman hanya dilakukan jika rekrutmen
alami tidak mencukupi atau kondisi tanah menghalangi pemantapan alami. Penanaman mangrove telah
berhasil dilaksanakan di Indonesia, Malaysia, India,
Filipina, Thailand, dan Vietnam. Kebanyakan spesies
yang ditanam termasuk dalam famili Rhizophoraceae,
Avicenniaceae, dan Sonneratiaceae (Kairo et al.,
2001). Teknik regenerasi buatan umumnya
menggunakan propagul, kadang-kadang anak pohon
(tinggi < 1,2 m), tetapi jarang menggunakan pohon
kecil (tinggi > 6 m). Metode ini sudah digunakan sejak
Watson (1928) hingga kini (Kogo et al., 1987,
Qureshi, 1990, Siddique et al., 1993).
Propagul Rhizophora sering dipilih karena memiliki
hipokotil panjang sehingga dapat ditancapkan
langsung di lapangan, namun teknik ini tidak dapat
digunakan pada anggota genus mangrove lain. Pada
umumnya, propagul ditanam dengan jarak 1 meter
(10.000 per ha). Pada mangrove, angka kematian
bibit awal relatif rendah, tetapi tingkat daya hidup
yang diharapkan biasanya hanya sekitar 50%,
sehingga diperoleh kepadatan hutan mangrove
dewasa yang ideal, sekitar 1.000 pohon per hektar (1
pohon per 10 m2). Penanaman anak pohon sebaiknya
dilakukan pada awal musim hujan, meskipun dapat
pula ditanam sepanjang tahun (Kairo et al., 2001).
113
Tabel 2. Teknik penanaman beberapa spesies mangrove yang utama di Bali (Kitamura dkk., 1997).
Musim buah
Rhizophora
mucronata
September-Desember
Rhizophora apiculata
Desember-Pebruari
Bruguiera
gymnorrhiza
Mei-Desember
Sonneratia alba
Avicennia marina
Ceriops tagal
April-Juni dan
September-Oktober
Buah jatuh dari pohon,
biji mengapung di air
tawar.
Desember-Pebruari
Agustus-Desember
Kotiledon kuning,
panjang > 20 cm,
dipilih propagul yang
bebas penyakit.
Biji dipendam
sedalam 5 cm.
50%.
Mengikuti arus pasang
surut, dan disiram
pada saat air surut.
30%.
Mengikuti arus pasang
surut, dan disiram
pada saat air surut.
Kriteria buah
Kotiledon merah,
panjang > 20 cm,
diameter > 1,4 cm,
dipilih propagul yang
bebas penyakit
Media tanam
Pembibitan
Propagul ditancapkan
sedalam 10 cm.
Propagul ditancapkan
sedalam 5 cm.
Propagul ditancapkan
sedalam 5 cm.
Naungan
Pengairan
50%
Mengikuti arus
pasang-surut.
50%.
Mengikuti arus
pasang-surut.
30%.
Mengikuti arus
pasang-surut.
30%.
Mengikuti arus
pasang-surut dan
pengairan buatan
setiap hari.
Lama pembibitan
Penanaman
Cara mengatasi
Xylocarpus
granatum
September-Desember
115
setelah
penanaman
Aktivitas
Tindakan di lapangan
Memantau
perkembangan spesies
Memantau laju
pertumbuhan sejalan
dengan umur
Memantau
pertumbuhan sifat-sifat
khusus
Mencatat tingkat
kegagalan anak pohon
Mencatat tingkat
akumulasi sampah
Mengatur kerapatan
seedling dan anak
pohon pada tingkat
optimum
Memperkirakan total
biaya akhir proyek
restorasi
Memantau dampak
penebangan hutan
mangrove di sekitarnya
Memantau sifat-sifat
ekosistem mangrove
yang direstorasi
116
PENUTUP
Mangrove
merupakan
ekosistem
yang
menghubungkan hidupan laut dan daratan, serta
menjadi daerah penyangga dan ekoton antar kedua
hidupan tersebut. Semua aktivitas yang dilakukan di
darat dan di laut dapat mempengaruhi eksistensi
ekosistem ini. Nilai penting ekosistem mangrove telah
diketahui secara luas, namun hingga kini penurunan
luasan mangrove di seluruh dunia yang terus
berlanjut. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan
antara teori yang menyatakan perlunya pemanfaatan
ekosistem mangrove secara lestari dan praktek yang
menunjukkan dilaksanakannya pemanfaatan secara
tidak lestari. Mangrove merupakan ekosistem yang
sangat viabel. Ekosistem mangrove yang rusak dapat
memulihkan diri sepanjang faktor-faktor lingkungan
seperti pola hidrologi, kondisi tanah, dan ketersediaan
propagul mendukung, namun pada kondisi daya
lenting terpatahkan perlu dilakukan campur tangan
dengan melakukan regenerasi secara buatan. Teknik
manajemen mangrove yang ada saat ini sering kali
gagal untuk mempertahankan kelestarian sumber
daya ini. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan yang
lebih luas dengan mengintegrasikan manajemen
kawasan pesisir, dengan memasukkan unsur-unsur
penting seperti ekologi, sosial ekonomi, dan sosial
budaya sehingga dapat memenuhi hajat hidup orang
banyak, sekaligus memelihara biodiversitas secara
luas.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1996. Reforestation in mangrove forests in
Thailand, A case study in Pattani Province. In Field, C.D. (ed.)
Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International
Society for Mangrove Ecosystems.
Alongi, D.M. 1994. The role of bacteria in nutrient recycling in
tropical mangrove and other coastal benthic ecosystems.
Hydrobiologia 285: 19-32.
Anonim. 1991. Application social forestry strategy by using
silvofishery system for supporting national food production.
Bandung: Perum Perhutani Unit III West Java.
Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon,
Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia
6: 31-34.
Anonim. 2001. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South
Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf.
Anonim. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di
Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular
Caribbean. Annals of Tourism Research 14: 104-117.
Ball, M. C. 1980. Patterns of secondary succession in a mangrove
forest in south Florida. Oecologia (Berl.) 44: 226-235.
117
118
ISSN: 1412-033X
43-47
Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil
Kelapa dan Bungkil Inti Sawit
LAELA SARI, TRESNAWATI PURWADARIA
48-51
52-60
Study of Calamus occidentalis J.R. Witono & J. Dransf. Species Commercial Values
and Possible Utilization
TITI KALIMA, JASNI
61-65
66-70
71-76
77-80
Potensi Hutan Bukit Tapak Sebagai Sarana Upacara Adat, Pendidikan, dan Konservasi
Lingkungan
I WAYAN SUMANTERA
81-84
85-88
89-95
REVIEW: Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional
Baluran Jawa Timur
DJUFRI
96-104
105-118